ilmu ushul fiqh 2

 



lasik yang sangat bernilai.  

Dalam   akan banyak diperkenalkan pada 

pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum dan metode 

ijtihad yang dipakai  oleh para ulama dalam mengambil keputusan 

suatu hukum. Di antara dalil-dalil hukum ini  ada  dalil-

dalil hukum yang sepakati pemakaian nya oleh jumhur ulama, tapi 

ada juga dalil-dalil hukumyang tidak sepakati atau masih 

diperselisihkan. Dalil hukum yang disepakati yaitu  Alquran, Sunah, 

Ijmak dan Qiyas. Hanya saja mengenai dalil Ijmak dan Qiyas sebagian 

ulama menyepakati, tapi ada juga sebagian ulama yang tidak sepakat 

meskipun jumlahnya sedikit. 

Allah swt. telah berfirman dalam QS al-Nisa’ :

 

 َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ  ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ  َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣

 َش ٢ِك ْْ ُظْػَصَخَ٘ط ِّ ْٞ َ٤ُْ ح َٝ  ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ  ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ  ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢ْ

/ ءخغُ٘ح]  ًلً٣ِٝ

َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ  ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح59[ 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika 

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 

kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul 

(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah 

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama 

(bagimu) dan lebih baik akibatnya. 

berdasar  ayat di atas dapat dijelaskan bahwa perintah taat 

kepada Allah, menunjukkan perintah untuk menjadikan Alquran yang 

merupakan firman Allah sebagai sumber hukum pertama dan utama. 

Perintah taat kepada Rasul menunjukkan adanya perintah untuk 

menjadikan sunah sebagai sumber hokum kedua setelah Alquran. 

Adapun perintah taat kepada ulil amri  menunjukkan adanya 

perintah untuk menjadikan kesepakatan ulama atau ijmak sebagai 

sumber hukum ketiga. Adapun sumber hukum yang keempat yaitu 

qiyas ditunjukkan oleh perintah kembali kepada Allah dan Rasul 

(kembali kepada Alquran dan sunah), jika ada perselisihan pendapat, 

yakni dengan cara analogi. 

Menurut jumhur ulama tertib sumber hukum Islam yaitu  

Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Alquran yaitu  sumber hukum Islam 

pertama karena merupakan fīrman Allah swt., sedangkan Sunah 

sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian, 

penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang 

diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi 

ada karena memang ada restu dari Alquran. Sementara itu, 

keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil -dalil 

Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia 

haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaih -

nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya 

Alquran dan Sunah-lah yang merupakan sumber hukum utama, 

sedangkan ijmak dan kias merupakan sumber hukum subordinatif. 

Ijmak dan kias memang membawa semangat wahyu, namun untuk 

dapat dikategorikan sebagai sumber hukum tidak independen 

karena harus melalui proses tertentu dan harus merujuk kepada 

Alquran dan Sunah.

Tertib sumber hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat 

pula diperhatikan dialog antara Nabi saw. dengan Mua dz  bin Jabal 

ketika ditutus ke Yaman untuk menjabat  sebagai hakim. 

berdasar  ayat di atas dapat dijelaskan bahwa perintah taat 

kepada Allah, menunjukkan perintah untuk menjadikan Alquran yang 

merupakan firman Allah sebagai sumber hukum pertama dan utama. 

Perintah taat kepada Rasul menunjukkan adanya perintah untuk 

menjadikan sunah sebagai sumber hokum kedua setelah Alquran. 

Adapun perintah taat kepada ulil amri  menunjukkan adanya 

perintah untuk menjadikan kesepakatan ulama atau ijmak sebagai 

sumber hukum ketiga. Adapun sumber hukum yang keempat yaitu 

qiyas ditunjukkan oleh perintah kembali kepada Allah dan Rasul 

(kembali kepada Alquran dan sunah), jika ada perselisihan pendapat, 

yakni dengan cara analogi. 

Menurut jumhur ulama tertib sumber hukum Islam yaitu  

Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Alquran yaitu  sumber hukum Islam 

pertama karena merupakan fīrman Allah swt., sedangkan Sunah 

sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian, 

penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang 

diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi 

ada karena memang ada restu dari Alquran. Sementara itu, 

keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil -dalil 

Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia 

haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaih -

nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya 

Alquran dan Sunah-lah yang merupakan sumber hukum utama, 

sedangkan ijmak dan kias merupakan sumber hukum subordinatif. 

Ijmak dan kias memang membawa semangat wahyu, namun untuk 

dapat dikategorikan sebagai sumber hukum tidak independen 

karena harus melalui proses tertentu dan harus merujuk kepada 

Alquran dan Sunah.

Tertib sumber hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat 

pula diperhatikan dialog antara Nabi saw. dengan Mua dz  bin Jabal 

ketika ditutus ke Yaman untuk menjabat  sebagai hakim. 

 ِﷲ ٍَ ْٞ ُعَس َّٕ أ ٍَ َزَؿ ِٖ ْر ِرخَؼ ُٓ  ْٖ َػ-  َْ ََِّع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط-  ِٖ َٔ َ٤ ُْ ح ٠َُا َُٚؼـَؼَـر خ َّٔ َُ

 ْْ َُ ْٕ َبك : ٍَ َخه ،ِﷲ ِدَخظٌِ ِر ٠ِؼْهأ : ٍَ َخه ؟ٌءخََؼه ََيُ َعِشـُػ حَِرا ٠ِؼْوَـط َق٤ْـ ًَ  : ٍَ َخه

 َُِّ٘غَزك : ٍَ َخه ِ؟ﷲ ِدَخظًِ  ٠ِك ْذ ِـ َط ِ؟ﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ِشَُّ٘ع ٠ِك ْذ ِـ َط ْْ َُ ْٕ َبك : ٍَ َخه ، ِﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ِش

 ٠َػَْش٣ خ َٔ ُِ ِﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ٍَ ْٞ ُعَس َن ّـَك َٝ  ِٟزَُّح ِللَّ ُذ ْٔ َلُْ  َح : ٍَ َخه َٝ   ٠ِ٣ْأَس ُذِٜ َظْؿأ : ٍَ َخه

 ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس. 44 

 

Artinya : (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah 

saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada 

Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika 

dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab 

Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila  tidak 

Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muad z menjawab, 

“berdasar  Sunah Rasulullah.” Rasulullah saw. bertanya 

lagi, “Bagaimana bila  tidak engkau dapati dasarnya 

dalam Sunah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad 

berdasar  pemikiran saya.” Rasulullah saw. bersabda, 

“Segala puji bagi Allah ya ng telah menunjukkan utusan 

Rasulullah atas sesuatu yang diridai Rasulullah .”   

 

Sedangkan dalil-dalil hukum yang tidak disepakati meliputi 

isthisan, istishhab, mashlahah mursalah, ‘urf, mazhzb shahabi, dan 

syar’u man qablama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan 

dalil-dalil ini  sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak 

sepakat. Artinya, dalil-dalil hukum dapat diklasifikasikan menjadi 2 : 

a) dalil-dalil hukum yang disepakati oleh para ulama; dan b) dalil -

dalil  yang tidak disepakatikeberadaanya sebagai sumber hukum.  

Dengan kondisi karakter dalil-dalil hukum yang demikian, 

maka umat Islam harus mengetahui dalil-dalil  hukum yang 

disepakati dan dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, sebagai bekal 

dalam mengambil sebuah hukum, apakah dalam proses pengambilan 

hukum sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil ini  atau 

                                                           

tidak sehingga tidak ada lagi keraguan dalam mengenai status suatu 

hokum yang diambilnya. 

 

1.  Pengertian Dalil Hukum  

Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil 

secara etimologis sebagai sesuatu yang dapat memberi petunjuk 

kepada apa yang dikehendaki atau dicari.45  Dapat juga dikatakan 

bahwa kata dalil secara bahasa mengandung beberapa makna, yakni: 

penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti 

dan saksi. Denghan kata lain, dalil yaitu  penunjuk kepada sesuatu, 

baik yang bersifat inderawi-kasat mata (hissi) maupun yang abstrak 

( ma’nawi).  

Sementara itu Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa 

pengertian dalil menurut bahasa ialah  sesuatu yang dapat member 

petunjuk kepada sesuatu yang lain, dapat dirasakan atau dipahami, 

yang sifatnya baik meupun yang tidak baik.  Adapun pengertian dalil 

secara terminologisnya yaitu  sebagai berikut : 

 

ـُك ٠َِـَػ ِٚ ـ٤ِْـك ِقـ٤ْـِلـ َّظـُح ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر ٍُّ َِذظـْغَـ٣ خ َٓ َِ ٤ِْـزـَع ٠ََِػ ٍّ٠ِِـ َٔ ـَػ ٍّ٠ِػْشـَش ٍْ ـ ٌْ

 ٠ِّ٘ ّـَظُح ِٝ َأ ٠ِؼـْطَـوـُْ ح46 

 

Artinya : Segala sesuatu yang berdasar  teori yang benar dapat 

menunjukkan adanya hukum syarak suatu perbuatan, baik 

secara qat’i  maupun secara zha nni”.  

 

  memiliki dua tema kajian utama yakni : (1) 

menetapkan suatu hukum berdasar  dalil; dan (2) menetapkan 

dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian,   tidak 

dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum itu 

sendiri. 

Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil 

menurut para ulama ushul fiqh, di antaranya yaitu  sebagai berikut. 

                                                           

tidak sehingga tidak ada lagi keraguan dalam mengenai status suatu 

hokum yang diambilnya. 

 

1.  Pengertian Dalil Hukum  

Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil 

secara etimologis sebagai sesuatu yang dapat memberi petunjuk 

kepada apa yang dikehendaki atau dicari.45  Dapat juga dikatakan 

bahwa kata dalil secara bahasa mengandung beberapa makna, yakni: 

penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti 

dan saksi. Denghan kata lain, dalil yaitu  penunjuk kepada sesuatu, 

baik yang bersifat inderawi-kasat mata (hissi) maupun yang abstrak 

( ma’nawi).  

Sementara itu Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa 

pengertian dalil menurut bahasa ialah  sesuatu yang dapat member 

petunjuk kepada sesuatu yang lain, dapat dirasakan atau dipahami, 

yang sifatnya baik meupun yang tidak baik.  Adapun pengertian dalil 

secara terminologisnya yaitu  sebagai berikut : 

 

ـُك ٠َِـَػ ِٚ ـ٤ِْـك ِقـ٤ْـِلـ َّظـُح ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر ٍُّ َِذظـْغَـ٣ خ َٓ َِ ٤ِْـزـَع ٠ََِػ ٍّ٠ِِـ َٔ ـَػ ٍّ٠ِػْشـَش ٍْ ـ ٌْ

 ٠ِّ٘ ّـَظُح ِٝ َأ ٠ِؼـْطَـوـُْ ح46 

 

Artinya : Segala sesuatu yang berdasar  teori yang benar dapat 

menunjukkan adanya hukum syarak suatu perbuatan, baik 

secara qat’i  maupun secara zha nni”.  

 

  memiliki dua tema kajian utama yakni : (1) 

menetapkan suatu hukum berdasar  dalil; dan (2) menetapkan 

dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian,   tidak 

dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum itu 

sendiri. 

Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil 

menurut para ulama ushul fiqh, di antaranya yaitu  sebagai berikut. 

                                                           

1. Menurut Abd al -Wahhab al -Subki, dalil yaitu  sesuatu yang 

mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan memakai  

pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang 

diinginkannya. 

2.  Menurut Al -Amidi, para ahli ushul fiqh biasa memberi definisi 

dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] 

kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.  

3.  Menurut Wahbah al -Zuhaili dan Abd al -Wah hab Khallaf, dalil 

yaitu  sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar 

dalam memperoleh hukum syarak yang bersifat praktis.47  

  

Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan Alquran dan 

Sunah sebagai dalil, namun mereka  berbeda pendapat mengenai 

dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada 

yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan 

menolak yang selebihnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalil 

yaitu  merupakan sesuatu yang dari padanya diambil hukum syarak 

yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik 

dengan jalan qath ’ i atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan 

kebenaran.  

 

2.  Dalil Hukum yang Disepakati  

berdasar  literatur yang ada dapat dijelaskan bahwa jumhur 

ulama telah bersepakat menetapkan empat sumber dalil Alquran, 

Sunah, Ijmak, dan Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, 

ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang 

terakhir, Ijma dan Qiyas. Demikian juga halnya Ahmad Hassan, 

pendiri Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijmak, 

terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari 

Bek, para ulama dari kalangan mazhab Zhahiri (di antara tokohnya 

yaitu  Imam Daud dan Ibnu Hazm al -Andalusi) dan para ulama 

Syiah tidak mengakui Qiyas sebagai dalil yang disepakati. 

                                                          

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil -dalil hukum 

yang disepakati oleh mayoritas ulama yaitu Alquran, Sunah, Ijmak 

dan Qiyas. 

 

1. Alquran 

a. Pengertian Alquran   

Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran  dalam perspektif 

etimologis merupakan bentuk mashdar  dari kata qara’a , yang bisa 

dimasukkan pada waza n fu’lan , yang berarti bacaan atau apa yang 

tertulis padanya.48  Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS 

Al-Qiyamah 17 –  18 :  

 

 : شٓخ٤ـوـُح( َُٚٗحَءْشُـه َٝ  ُٚـَؼـ ْٔ ـَؿ َخ٘ـ٤َْـِـَػ خَِّٗا17-18)  

 

Dari aspek bahasa, lafaz qur’an  memiliki arti “mengumpulkan 

dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain 

dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.  

 

Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, 

pengertian Alquran secara ialah :  

 

 ٍِ ْٞ ُـوـْ٘ ـ َٔ ُْ ح ِقـِكخـَظـ َٔ ُْ ح ٠ََِػ ِد ْٞ ُـظـ ٌْ َٔ ـُْ ح ٍِ ْٞ ـُع َّشُح ٠ََِػ ٍُ َّضَـ٘ـ ُٔ ـُْ ح َٞ ُـٛ ُٕ آْشُـوـُْ َأ

 ٍشَـٜـْزـُش َِلًرحًِشطح َٞ َـظـ ُٓ  ًلًـْوَـٗ ُٚـْ٘ ـَػ49  

 

Artinya : Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi 

Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang 

diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang 

mutawatir, tanpa ada keraguan. 

 

Alquran  merupakan  kitab suci agama Islam dan umat Islam 

memercayai bahwa Alquran merupakan puncak dan penutup wahyu 

                                                           

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil -dalil hukum 

yang disepakati oleh mayoritas ulama yaitu Alquran, Sunah, Ijmak 

dan Qiyas. 

 

1. Alquran 

a. Pengertian Alquran   

Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran  dalam perspektif 

etimologis merupakan bentuk mashdar  dari kata qara’a , yang bisa 

dimasukkan pada waza n fu’lan , yang berarti bacaan atau apa yang 

tertulis padanya.48  Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS 

Al-Qiyamah 17 –  18 :  

 

 : شٓخ٤ـوـُح( َُٚٗحَءْشُـه َٝ  ُٚـَؼـ ْٔ ـَؿ َخ٘ـ٤َْـِـَػ خَِّٗا17-18)  

 

Dari aspek bahasa, lafaz qur’an  memiliki arti “mengumpulkan 

dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain 

dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.  

 

Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, 

pengertian Alquran secara ialah :  

 

 ٍِ ْٞ ُـوـْ٘ ـ َٔ ُْ ح ِقـِكخـَظـ َٔ ُْ ح ٠ََِػ ِد ْٞ ُـظـ ٌْ َٔ ـُْ ح ٍِ ْٞ ـُع َّشُح ٠ََِػ ٍُ َّضَـ٘ـ ُٔ ـُْ ح َٞ ُـٛ ُٕ آْشُـوـُْ َأ

 ٍشَـٜـْزـُش َِلًرحًِشطح َٞ َـظـ ُٓ  ًلًـْوَـٗ ُٚـْ٘ ـَػ49  

 

Artinya : Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi 

Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang 

diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang 

mutawatir, tanpa ada keraguan. 

 

Alquran  merupakan  kitab suci agama Islam dan umat Islam 

memercayai bahwa Alquran merupakan puncak dan penutup wahyu 

                                                           

Allah swt. yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan 

kepada Nabi Muhammad  saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril . 

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Alquran 

ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat 

Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., isinya tak dapat 

ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu 

disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan 

dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.  

 

b. Kedudukan Alquran sebagai Sumber Hukum  

Alquran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur 

jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya 

ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia 

berhakim kepada Alquran. Alquran lebih lanjut memerankan fungsi 

sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup 

manusia di masa lalu. M isalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi 

oleh Allah swt. Di samping itu Alquran juga mampu memecahkan 

problem-problem kemanusiaan dari berbagai aspek kehidupan, baik 

rohani, jasmani, sosial, ekonomi  maupun politik dengan pemecahan 

yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Allah swt. 

Pada setiap problem itu Alquran meletakkan sentuhannya 

yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan 

landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula 

dengan zaman. Dengan demikian, Alquran selal u memperoleh 

kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam yaitu  

agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh 

seorang pakar bahwa Islam yaitu  suatu sistem yang lengkap, ia 

dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia yaitu  negara dan tanah 

air atau pemerintah dan bangsa. Ia yaitu  moral dan potensi atau 

rahmat dan keadilan. Ia yaitu  undang-undang atau ilmu dan 

keputusan. Ia yaitu  materi dan kekayaan atau pendapatan dan 

kesejahteraan. Ia yaitu  jihad dan dakwah atau tentara dan ide. 

Begitu pula ia yaitu  akidah yang benar dan ibadah yang sah.  


c. Hukum - hukum dalam Alquran  

Hukum -hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3 

macam, yaitu: 

Pertama ; hukum -hukum i’tiqadiyah , yakni, hukum-hukum 

yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman 

kepada Allah, Malaikat -malaikat-Nya, Kitab -kitab-Nya, Rasul -rasul-

Nya dan hari pembalasan. 

Kedua ; hukum -hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang 

berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya 

dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat 

yang tercela. 

Ketiga ; hukum -hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan 

perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama 

manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan 

itulah yang hendak dicapai oleh   .l  

Hukum -hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua 

macam, yakni: 

1) Hukum ibadat; seperti  shalat, puasa, zakat, haji dan lain 

sebagainya. Hukum -hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk 

mengatur hubungan hamba dengan Tuhan. 

2) Hukum -hukum muamalat; seperti segala macam hokum 

perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat  

(hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum -hukum 

muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur 

hubungan antar sesame manusia, baik sebagai perseorangan 

maupun sebagai anggota warga . Hukum -hukum selain 

ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.  

 

Hasil kajian para ulama tentang ayat -ayat Alquran yang 

berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-

hukum Alquran yang berkaitan dengan ibadat dan ahwal al-

syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum -hukum ini 

bersifat ta’abudi  (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan 

kesempatan fukaha untuk menginterpretasikannya dan hukum ini 

                                                          

c. Hukum - hukum dalam Alquran  

Hukum -hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3 

macam, yaitu: 

Pertama ; hukum -hukum i’tiqadiyah , yakni, hukum-hukum 

yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman 

kepada Allah, Malaikat -malaikat-Nya, Kitab -kitab-Nya, Rasul -rasul-

Nya dan hari pembalasan. 

Kedua ; hukum -hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang 

berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya 

dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat 

yang tercela. 

Ketiga ; hukum -hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan 

perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama 

manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan 

itulah yang hendak dicapai oleh   .  

Hukum -hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua 

macam, yakni: 

1) Hukum ibadat; seperti  shalat, puasa, zakat, haji dan lain 

sebagainya. Hukum -hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk 

mengatur hubungan hamba dengan Tuhan. 

2) Hukum -hukum muamalat; seperti segala macam hokum 

perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat  

(hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum -hukum 

muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur 

hubungan antar sesame manusia, baik sebagai perseorangan 

maupun sebagai anggota warga . Hukum -hukum selain 

ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.  

 

Hasil kajian para ulama tentang ayat -ayat Alquran yang 

berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-

hukum Alquran yang berkaitan dengan ibadat dan ahwal al-

syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum -hukum ini 

bersifat ta’abudi  (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan 

kesempatan fukaha untuk menginterpretasikannya dan hukum ini 

                                                          

bersifat permanen, tetap, tidak dapat berubah-ubah lantaran 

perubahan suasana dan lingkungan. 

Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-

syakhshiyah , seperti hukum perdata, pidana, perundang-undangan 

internasional, ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al - maliyah),  

maka dalil-dalil hukumnya merupakan ketentuan yang umum atau 

masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah 

terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum -hukum ini  

berkembang sesuai dengan perkembangan warga  dan 

kemaslahatan yang sangat dihajatkan.

Dalam hal ini Alquran hanya memberi ketentuan-ketentuan 

umum dan dasar-dasar yang bersifat pokok saja agar penguasa 

setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-

undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang 

secara riil memang dibutuhkan, asal tidak bertentangan dengan 

ketentuan-ketentuan dan ruh syari’at Islam.  

 

2. Sunah 

a. Pengertian Sunah  

Pengertian Sunah secara etimologis yaitu  jalan yang biasa 

dilalui atau suatu cara yang selalu dilakukan, tanpa 

mempermasalahkan apakah jalan atau cara ini  baik atau 

buruk.52  

Sunah atau al- hadits yaitu  segala sesuatu yang disandarkan 

kepada Nabi saw. baik berupa qaul  (ucapan), fi’il  (perbuatan) maupun 

taqrir  (persetujuan) Nabi saw. berdasar  tiga ruang lingkup Sunah 

yang disandarkan kepada Rasulullah saw., maka Sunah dapat 

dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:  

1) Sunah qauliyah ; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam 

beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda Nabi sebagai 

berikut : 

 َسحَشـِػ َلَ َٝ  َسَشـَػ َلَ 

                                                           

Hadis di atas termasuk Su nah qauliyah  yang bertujuan 

memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat 

kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain. 

2)  Sunah fi’liyah;  ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai 

contoh yaitu  tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima)  

waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara, 

syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, 

dan sebagainya. 

3)  Sunah taqririyah ; ialah perkataan atau perbuatan sebagian 

sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang 

tidak diingkari oleh Rasulullah saw..atau bahkan disetujui 

melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan 

atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap 

sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau 

sendiri.

 

Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat 

dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut: 

1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, 

yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad 

saw., baik perkataan, perbuatan sebagai perkataan atau 

perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri. 

2)   , menurut ulama ahli ushul fiqh sunah yaitu  

segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., berupa 

perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan 

hukum. 

3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir 

sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul 

fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga dimaksudkan 

sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan 

yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak 

berdosa bila  ditinggalkan.l

Hadis di atas termasuk Su nah qauliyah  yang bertujuan 

memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat 

kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain. 

2)  Sunah fi’liyah;  ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai 

contoh yaitu  tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima)  

waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara, 

syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, 

dan sebagainya. 

3)  Sunah taqririyah ; ialah perkataan atau perbuatan sebagian 

sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang 

tidak diingkari oleh Rasulullah saw..atau bahkan disetujui 

melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan 

atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap 

sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau 

sendiri.

 

Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat 

dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut: 

1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, 

yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad 

saw., baik perkataan, perbuatan sebagai perkataan atau 

perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri. 

2)   , menurut ulama ahli ushul fiqh sunah yaitu  

segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., berupa 

perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan 

hukum. 

3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir 

sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul 

fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga dimaksudkan 

sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan 

yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak 

berdosa bila  ditinggalkan.

b. Kedudukan Sunah Sebagai Dalil Hukum   

Kedudukan Sunah sebagai sumber ajaran Islam, selain 

didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis, juga 

didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah 

bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti Sunah Rasulullah saw. 

Para ulama telah sepakat bahwa Sunah dapat dijadikan hujjah 

(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang 

sifatnya mutaba’ah  (diikuti) yaitu tha’ah  dan qurbah (dalam taat dan 

taqarrub kepada Allah), misalnya dalam urusan akidah dan ibadah, 

tetapi ada juga yang ghair muttaba’ah  (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah  

(budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh 

jibiliyyah  seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai 

dan lain sebagainya. Adapun contoh khushushiyyah  yaitu  beristri 

lebih dari empat, puasawishal(menyambung) sampai 2 hari dan 

shalat 2 rakaat bakda ashar.  

Hukum -hukum yang dipetik dari Sunah wajib ditaati 

sebagaimana hukum-hukum yang diistinbath kan dari Alquran sesuai 

yang diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,  

 

 ْٕ ِ َبك ٍَ ُٞع َّشُح َٝ  َ َّﷲحٞـُؼ٤َِؽأ َْ ُه / ٕحشٔؼُآ]   َٖ ٣ِشِـكخ ٌَ ُْ ح ُّذُِل٣َلَ َ َّﷲ َّٕ ِ َبكح ْٞ َّ ـُ َٞ َـط32[ 

 

Artinya : Katakanlah “Taatilah Allah dan Rasul -Nya, jika kamu 

berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai 

orang-orang kafir.Al- Nisa: 80,  

 

 َْذه ٍَ ُٞع َّشُح ِغُِط٣ ْٖ َٓ خ َٔ َك ٠َُّ َٞ َط ْٖ َٓ َٝ  َ َّﷲ َعَخَؽأ  ًخظ٤ِلَك ْْ ِٜ ٤ََِْػ َىَخِْ٘ َعَْسأ

/ءخغُ٘ح[80[ 

Artinya : Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia 

telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling 

(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk 

menjadi pemelihara bagi mereka. 

 

 ْػَصَخَ٘ط َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ  ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ  َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣ ْْ ُظ

 ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح ِّ ْٞ َ٤ ُْ ح َٝ  ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ  ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ  ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢َْش ٢ِك

/ ءخغُ٘ح]  ًلً٣ِٝ

َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ59[ 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika 

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 

kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul 

(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah 

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama 

(bagimu) dan lebih baik akibatnya. 

 

 ْٖ ِٓ  ُسََش٤ِخُْ ح ُْ َُُٜ َٕ ٞ ٌُ َ٣ ْٕ َأ حًش ْٓ َأ ُُُُٚٞعَس َٝ  ُ َّﷲ ٠ََؼهحَِرا ٍَش٘ ِٓ ْئ ُٓ َلَ َٝ  ٍٖ ِٓ ْئ ُٔ ُِ َٕ خ ًَ خ َٓ َٝ

/ دحضكلْح]  ًخ٘٤ِز ُٓ  ًلََلًَػ ََّ َػ َْذَوك َُُُٚٞعَس َٝ  َ َّﷲ ضَْؼ٣ ْٖ َٓ َٝ  ْْ ِٛ ِش ْٓ َأ36[ 

 

Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak 

(pula) bagi perempuan yang mukmin, bila  Allah dan 

Rasul -Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada 

bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. 

Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul -Nya, maka 

sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. 

 

c . Hubungan Sunah dengan Alquran  

Sunah dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari 

dua aspek, yakni hubungannya dengan Alquran dan Sunah yang 

bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan Alquran, Sunah 

yaitu  sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hubungan ini 

disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, Sunah 

sebagai penjelas bagi Alquran disebut hubungan fungsional.  

Di antara dasarnya yaitu  firman Allah swt. dalam QS. al- 

Hasyr: 7  

 

ُٞع َّشُح ُْ ًُ َخَطآ خ َٓ َٝ/ ششلُح]  حَُٜٞظْٗ َخك ُْٚ٘ َػ ْْ ًُ َخَٜٗ خ َٓ َٝ  ُُٙٝزَُخك ٍُ7[ 

  35

 ْػَصَخَ٘ط َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ  ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ  َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣ ْْ ُظ

 ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح ِّ ْٞ َ٤ ُْ ح َٝ  ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ  ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ  ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢َْش ٢ِك

/ ءخغُ٘ح]  ًلً٣ِٝ

َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ59[ 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika 

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 

kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul 

(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah 

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama 

(bagimu) dan lebih baik akibatnya. 

 

 ْٖ ِٓ  ُسََش٤ِخُْ ح ُْ َُُٜ َٕ ٞ ٌُ َ٣ ْٕ َأ حًش ْٓ َأ ُُُُٚٞعَس َٝ  ُ َّﷲ ٠ََؼهحَِرا ٍَش٘ ِٓ ْئ ُٓ َلَ َٝ  ٍٖ ِٓ ْئ ُٔ ُِ َٕ خ ًَ خ َٓ َٝ

/ دحضكلْح]  ًخ٘٤ِز ُٓ  ًلََلًَػ ََّ َػ َْذَوك َُُُٚٞعَس َٝ  َ َّﷲ ضَْؼ٣ ْٖ َٓ َٝ  ْْ ِٛ ِش ْٓ َأ36[ 

 

Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak 

(pula) bagi perempuan yang mukmin, bila  Allah dan 

Rasul -Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada 

bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. 

Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul -Nya, maka 

sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. 

 

c . Hubungan Sunah dengan Alquran  

Sunah dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari 

dua aspek, yakni hubungannya dengan Alquran dan Sunah yang 

bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan Alquran, Sunah 

yaitu  sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hubungan ini 

disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, Sunah 

sebagai penjelas bagi Alquran disebut hubungan fungsional.  

Di antara dasarnya yaitu  firman Allah swt. dalam QS. al- 

Hasyr: 7  

 

ُٞع َّشُح ُْ ًُ َخَطآ خ َٓ َٝ/ ششلُح]  حَُٜٞظْٗ َخك ُْٚ٘ َػ ْْ ًُ َخَٜٗ خ َٓ َٝ  ُُٙٝزَُخك ٍُ7[ 

Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, 

dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah  

 

خ َٓ  ِطخَُِِّ٘ َٖ ِّ٤َُزِظَُش ًْ ِّزُح َي٤َُِْا َخُْ٘ َضْٗ َأ َٝ  َُ َٝ  ْْ ِٜ ٤َُِْا ٍَ ِّضُـٗ/ َلُ٘ح]  َٕ ُٝشـٌَّ َـلَــَظـ٣ ْْ ُ ََِّٜؼ44[ 

 

Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu 

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah 

diturunkan kepada mereka dan supaya   mereka 

memikirkan 

 

 َزُـظِـُ َِّلَا َدخَـظـٌِ ُْ ح َيـ٤َِْـَػَخُْ٘ َضْٗ َأ خ َٓ َٝ ًش َٔ ْكَس َٝ  ًٟذُـٛ َٝ  ِٚ ٤ِـك حُٞـَلـَِـظْخح ١ِزَُّح ُْ َُُٜ َٖ ِّ ـ٤ـ

/ َلُ٘ح]  َٕ ُٞـ٘ ِٓ ُْئـ٣ ٍّ ْٞ َـوِـُ64[ 

 

Artinya : Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al -Kitab (Alquran) 

ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada 

mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi 

eptunjuk dan rahmat bagi kamu yang beriman. 

 

d. Fungsi Sunah terhadap Alquran  

Fungsi Sunah terhadap Alquran dari segi kandungan hukum 

mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.  

1. Sunah sebagai bayan  (penjelas); takhshish  (pengkhusus) dan 

taqyid  (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal  (global), 

‘ am  (umum) atau muthlaq  (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat 

Alquran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan 

bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam Sunah. Misalnya, 

perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan Sunah. 

Nabi Saw. bersabda:  

٠ِِّـَُطأ ٠ِـٗ ْٞ ــ ُٔ ـُـظــ٣ْأَس خـ َٔ ــ ًَ  ح ْٞ ُِّـَط 

Artinya : Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) 

aku shalat. (HR. Bukhari)  

2.  Sunah berfungsi sebagai menmabhakan hukum-hukum yang 

telah ada dasar-dasarnya secara garis besar dalam Alquran. 

Artinya Alquran sebagai penetap hukum dan Sunah sebagai 

36   

penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan 

shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.  

3.  Sunnah menetapkan hukum yang tidak ada  nashnya dalam 

Alquran.55  

 

3. Ijmak 

a.  Pengertian  Ijmak  

Guna memperoleh wawasan yang komprehensif tentang 

paradigma ijmak klasik serta untuk mengetahui hakikat ijmak secara 

utuh, diperlukan telaah dari aspek ontologi, aspek epistemologi, dan 

aspek aksiologi, karena antara ketiga aspek ini akan saling kait-

mengait. Untuk aspek pertama, secara ontologis pertanyaan yang 

pertama kali muncul terkait dengan istilah ijmak ialah “ apakah ijmak 

itu?”. Untuk itu, terlebih dahulu akan diuraikan pengerti an ijmak 

menurut semantika kebahasaan dan menurut pengertian 

terminologisnya. Dari telaah ini kelak diharapkan akan terungkap 

pengertian dan hakikat ijmak yang sebenarnya. 

Istilah ijmak bagi umat Islam pada umumnya dan fukaha pada 

khususnya sudah sangat familier, apalagi kata ijmak sesungguhnya 

telah dikenal di dunia Arab jauh sebelum Islam datang.56  Dalam 

literatur Islam abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, istilah ijmak juga sudah 

sering muncul, namun dipakai  dalam pengertian non-teknis.57  

Istilah ijmak mulai mengkristal dalam artian teknis-metodologis 

bersamaan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pemikiran 

dalam Islam yang semakin tajam. Memang timbulnya ijmak 

(kesepakatan) yaitu  karena berawal dari adanya perbedaan 

(ikhtil af), sehingga orang sering mengatakan bahwa antara ijmak dan 

ikhtil af  sama tuanya.  

Secara etimologis, ijmak merupakan derivasi dari ajma‘a  ( 

 َغـ َٔ ـْؿأ(yang dapat berarti “mengumpulkan, menyatukan, 

menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik 

                                                           

penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan 

shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.  

3.  Sunnah menetapkan hukum yang tidak ada  nashnya dalam 

Alquran.55  

 

3. Ijmak 

a.  Pengertian  Ijmak  

Guna memperoleh wawasan yang komprehensif tentang 

paradigma ijmak klasik serta untuk mengetahui hakikat ijmak secara 

utuh, diperlukan telaah dari aspek ontologi, aspek epistemologi, dan 

aspek aksiologi, karena antara ketiga aspek ini akan saling kait-

mengait. Untuk aspek pertama, secara ontologis pertanyaan yang 

pertama kali muncul terkait dengan istilah ijmak ialah “ apakah ijmak 

itu?”. Untuk itu, terlebih dahulu akan diuraikan pengerti an ijmak 

menurut semantika kebahasaan dan menurut pengertian 

terminologisnya. Dari telaah ini kelak diharapkan akan terungkap 

pengertian dan hakikat ijmak yang sebenarnya. 

Istilah ijmak bagi umat Islam pada umumnya dan fukaha pada 

khususnya sudah sangat familier, apalagi kata ijmak sesungguhnya 

telah dikenal di dunia Arab jauh sebelum Islam datang.56  Dalam 

literatur Islam abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, istilah ijmak juga sudah 

sering muncul, namun dipakai  dalam pengertian non-teknis.57  

Istilah ijmak mulai mengkristal dalam artian teknis-metodologis 

bersamaan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pemikiran 

dalam Islam yang semakin tajam. Memang timbulnya ijmak 

(kesepakatan) yaitu  karena berawal dari adanya perbedaan 

(ikhtil af), sehingga orang sering mengatakan bahwa antara ijmak dan 

ikhtil af  sama tuanya.  

Secara etimologis, ijmak merupakan derivasi dari ajma‘a  ( 

 َغـ َٔ ـْؿأ(yang dapat berarti “mengumpulkan, menyatukan, 

menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik 

                                                          

bersama”. 58  Menurut Abu Luwis Ma’luf, ij mak memiliki arti 

“kehendak” dan “kesepakatan” ( al- ‘azm -  al- ittifaq ).59  Perbedaannya, 

“kehendak” dapat terlahir dari satu orang, sedangkan “kesepakatan” 

memerlukan keterlibatan dua orang atau lebih. Oleh karena itu, 

dalam konteks disertasi ini, kata ijmak akan lebih tepat jika dimaknai 

sebagai “kesepakatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  

disebutkan bahwa kata ijmak memiliki pengertian “kesesuaian 

pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau 

peristiwa”. 60 

Contoh pemakaian  kata ijmak d engan pengertian 

“kesepakatan”, dalam ungkapan bahasa Arab dikatakan  ٠ِػ ّٞوُح غٔـؿأ

حزً, jika kaum itu telah menyepakatinya atas yang demikian. Adapun 

contoh pemakaian  kata ijmak dalam arti “kehendak”, dalam Q.S. 

Yunus [10]: 71 Allah swt. berfirman:  

 َأَْ ْنَُم َْمأ ام ُ ِْجْ 

Maka, bulatkanlah kehendakmu (dalam menyelesaikan) 

urusanmu. (Q.S. Yunus [10]: 71)  

 

Rasulullah saw. pernah bersabda:  

.ِلْي تلا َفِم َماَيِّصلا ِعِلُْيُ ْنَول ْفَلِل َماَيِص َلَ61 

Artinya : Tidak sah puasa orang yang tidak menyengaja berpuasa 

sejak malam. 

 

Lazimnya suatu takrif atau definisi akan muncul setelah ilmu 

terkait tersusun secara sistematis dan mapan. Penulis akan mencoba 

merunut bagaimana persepsi para ulama terhadap ijmak dari waktu 

ke waktu seiring dengan dinamika   itu sendiri.  

Al-Syafi’i (w. 204 H) yang tercatat sebagai ulama pertama 

penyusun   tidak memaparkan definisi ijmak, namun 

mengakui eksistensi ijmak sebagai hujah.  

                                                           

Untuk ini, al-Syafi’i menyatakan, “Saya menerima kehujahan 

ijmak umat Islam yang di dalamnya tidak ada perselisihan di antara 

mereka karena mereka tidak akan sepakat atau berbeda pendapat 

kecuali atas dasar kebenaran. Seseorang tidak diperkenankan 

menyatakan pendapat hukum (membolehkan, melarang, atau 

menetapkan hak seseorang) kecuali memiliki dasar nas dari Alquran 

dan atau Sunah.” 

berdasar  penjelasan ini , dan dari beberapa 

pernyataan al-Syafi’i  dalam kitab ar- Risalah 63  dan kitab Jima‘ al -

‘ Ilm ,64  dapat diketahui persepsi al-Syafi’i  tentang hakikat ijmak, 

bahwa ijmak merupakan kesepakatan bulat seluruh umat Islam 

dalam masalah-masalah yang diketahui dengan jelas dan pasti 

(‘ ulima min al - din bi al - dharurah) seperti dalam masalah wajib salat 

lima kali, wajib zakat fitrah, wajib haji bagi yang mampu, dan lain 

sebagainya, serta secara implisit menolak ijmak ulama yang tidak 

didukung nas syarak.  

Hanya saja ketika berbicara tentang kemungkinan 

terwujudnya ijmak pada tataran praktis, menurut al-Syafi’i  akan 

menemui beberapa kendala.65 Di antara-nya yaitu  bahwa untuk 

mengetahui keberadaan dan pendapat para mujtahid yang tersebar 

di berbagai daerah yang berjauhan sangatlah sulit. Di samping itu, 

tidak ada kriteria yang disepakati tentang siapa yang memiliki 

kecakapan sebagai mujtahid. Kendala juga akan ditemui ketika 

menyangkut masalah-masalah yang dasar hukumnya zhanni , di 

mana dalam hal yang demikian selalu terjadi perbedaan pendapat di 

antara para ulama. Demikian pula halnya, untuk menelusuri validitas 

informasi telah terjadinya ijmak di kalangan ulama juga mustahil.66 

Jika demik ian halnya, maka dapat dikatakan bahwa pada akhirnya 

                                                          

Untuk ini, al-Syafi’i menyatakan, “Saya menerima kehujahan 

ijmak umat Islam yang di dalamnya tidak ada perselisihan di antara 

mereka karena mereka tidak akan sepakat atau berbeda pendapat 

kecuali atas dasar kebenaran. Seseorang tidak diperkenankan 

menyatakan pendapat hukum (membolehkan, melarang, atau 

menetapkan hak seseorang) kecuali memiliki dasar nas dari Alquran 

dan atau Sunah.” 

berdasar  penjelasan ini , dan dari beberapa 

pernyataan al-Syafi’i  dalam kitab ar- Risalah 63  dan kitab Jima‘ al -

‘ Ilm ,64  dapat diketahui persepsi al-Syafi’i  tentang hakikat ijmak, 

bahwa ijmak merupakan kesepakatan bulat seluruh umat Islam 

dalam masalah-masalah yang diketahui dengan jelas dan pasti 

(‘ ulima min al - din bi al - dharurah) seperti dalam masalah wajib salat 

lima kali, wajib zakat fitrah, wajib haji bagi yang mampu, dan lain 

sebagainya, serta secara implisit menolak ijmak ulama yang tidak 

didukung nas syarak.  

Hanya saja ketika berbicara tentang kemungkinan 

terwujudnya ijmak pada tataran praktis, menurut al-Syafi’i  akan 

menemui beberapa kendala.65  Di antara-nya yaitu  bahwa untuk 

mengetahui keberadaan dan pendapat para mujtahid yang tersebar 

di berbagai daerah yang berjauhan sangatlah sulit. Di samping itu, 

tidak ada kriteria yang disepakati tentang siapa yang memiliki 

kecakapan sebagai mujtahid. Kendala juga akan ditemui ketika 

menyangkut masalah-masalah yang dasar hukumnya zhanni , di 

mana dalam hal yang demikian selalu terjadi perbedaan pendapat di 

antara para ulama. Demikian pula halnya, untuk menelusuri validitas 

informasi telah terjadinya ijmak di kalangan ulama juga mustahil.66 

Jika demik ian halnya, maka dapat dikatakan bahwa pada akhirnya 

                                                           

pendapat al-Syafi’i  dalam hal ini mirip dengan pendapat Ahmad bin 

Hanbal yang menyatakan, barang siapa yang mengklaim telah terjadi 

ijmak, berarti dia telah berdusta.

Pendapat orisinal Im am M alik (w. 17 9 H) mengenai masalah 

ijmak sulit dilacak, kecuali dari beberapa informasi yang 

disampaikan oleh para pengikutnya. Pada awalnya ulama Malikiyah 

memakai  ijmak dalam konteks periwayatan dan pengawalan 

hadis yang dianggap sahih. Oleh karena itu, Imam M alik yang 

berdomisili di Madinah serta ulama Malikiyah pada umumnya 

mengakui validitas ijmak penduduk Madinah karena para sahabat 

Madinah mendominasi periwayatan hadis.   Sebagaimana 

dimaklumi, Madinah merupakan tempat berdomisilinya para sahabat 

besar yang menerima hadis secara langsung dari Nabi saw. Dengan 

demikian, maka dapat dimaklumi bila  Imam Malik dan ulama 

Malikiyah sangat memegang tegung ijmak ulama Madinah. 69 

Menurut sebagian ulama ushul, pendapat ini sejatinya bukan 

karena lokalitas (Madinah)nya, tetapi karena totalitasnya, di mana 

pada periode ini  para sahabat belum banyak yang keluar dari 

Madinah.70  Oleh karena itu, tidak lebih dari 48 masalah fiqh yang 

diakui oleh Imam Malik dalam al- Muwat}t}a’  sebagai ijmak ulama 

Madinah periode sahabat dan  tabi’in, sedangkan untuk periode 

sesudahnya, Imam Malik tidak mengakuinya. 71  Akan tetapi, hal ini 

dibantah oleh al-Qarafi dan Ibnu al-Hajib bahwa kehujahan ijmak 

Madinah yaitu  karena didasarkan pada kualitas dalil yang kuat. 72  

Artinya, pengkuna ijmak Madin ah yaitu  bukan karena totalitasnya, 

melainkan karena kualitas dan lokalitasnya. 

Paparan di atas menunjukkan adanya persamaan dan 

perbedaan persepsi tentang ijmak antara al-Syafi’i dengan Imam 

Malik. Kedua ulama ini  sama -sama mengakui kehujahan ijmak. 

Adapun perbedaannya, menurut al-Syafi’i, ijmak bersifat global dan 

                                                          

universal (kesepakatan total seluruh mujtahid), harus didukung nas 

syarak, mengunci ijmak pada masalah-masalah yang ‘ulima min al -

din bi al- dharurah, dan secara implisit menolak terwujudnya ijmak 

pascasahabat. Sementara, Imam M alik dapat mererima kehujahan 

ijmak lokal, sepanjang memiliki kualitas baik dari aspek dukungan 

dalil nas ataupun para mujtahidnya. 

Ulama ushul fiqh berikutnya, Abu Bakr Ahmad al -Jashshash (w. 

370 H), dalam kitab al- F ushul fi al- Ushul , juga tidak mengemukakan 

definisi ijmak. Sama halnya dengan al-Syafi’i,  al-Jashshash 

menyebutkan dua kategori ijmak, yaitu: (a) ijmak umat Islam di mana 

seluruh umat Islam harus sepakat atasnya, tidak boleh ada yang 

berbeda pendapatnya; d an (b) ijmak ulama di mana hanya ulama 

yang memiliki kemampuan spesifik saja yang berkompeten, yakni 

dalam masalah-masalah yang memerlukan proses penalaran untuk 

memahaminya, seperti masalah objek zakat mal . Berbeda dengan al-

Syafi’i, al-Jashshash  tidak mensyaratkan ijmak total,  hanya

mensyaratkan  terpublikasikannya  masalah  yang  diijmakkan  di 

warga .

Tampaknya pendapat al-Jashshash  tidak jauh berbeda dengan 

pendapat al-Syafi’i. K edua tokoh ini  mengemukakan tiga unsur 

ijmak, yaitu masalah otoritas atau kehujahan ijmak, masalah orang 

yang memiliki kompetensi untuk berijmak, dan masalah objek ijmak. 

Menurut kedua tokoh ini , ijmak memiliki nilai kehujahan atau 

dalil dalam menentukan hukum Islam. Perbedaannya, al -Syafi’i 

mensyaratkan totalitas kesepakatan umat Islam yang 

direpresentasikan oleh para ulama, sedangkan al-Jashshash tidak 

mensyaratkan yang demikian. Mengenai objek ijmak, menurut 

keduanya, ruang lingkupnya dibatasi pada hukum syarak saja.  

Dalam kitab al- Muhalla , Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan 

bahwa ijmak haruslah merupakan kesepakatan seluruh umat Islam, 

dan bahwa ijmak yang benar harus didukung oleh nas Alquran dan 

atau Sunah yang diriwayatkan secara mutawatir , muttashil , dan 

diterima dari Nabi saw. Masalah -masalah yang memenuhi kriteria 

ini  dikenal dengan istilah ‘ulima min al - din bi al - dharurah, 

                                                           

universal (kesepakatan total seluruh mujtahid), harus didukung nas 

syarak, mengunci ijmak pada masalah-masalah yang ‘ulima min al -

din bi al- dharurah, dan secara implisit menolak terwujudnya ijmak 

pascasahabat. Sementara, Imam M alik dapat mererima kehujahan 

ijmak lokal, sepanjang memiliki kualitas baik dari aspek dukungan 

dalil nas ataupun para mujtahidnya. 

Ulama ushul fiqh berikutnya, Abu Bakr Ahmad al -Jashshash (w. 

370 H), dalam kitab al- F ushul fi al- Ushul , juga tidak mengemukakan 

definisi ijmak. Sama halnya dengan al-Syafi’i,  al-Jashshash 

menyebutkan dua kategori ijmak, yaitu: (a) ijmak umat Islam di mana 

seluruh umat Islam harus sepakat atasnya, tidak boleh ada yang 

berbeda pendapatnya; d an (b) ijmak ulama di mana hanya ulama 

yang memiliki kemampuan spesifik saja yang berkompeten, yakni 

dalam masalah-masalah yang memerlukan proses penalaran untuk 

memahaminya, seperti masalah objek zakat mal . Berbeda dengan al-

Syafi’i, al-Jashshash  tidak mensyaratkan ijmak total,  hanya  

mensyaratkan  terpublikasikannya  masalah  yang  diijmakkan  di 

warga .

Tampaknya pendapat al-Jashshash  tidak jauh berbeda dengan 

pendapat al-Syafi’i. K edua tokoh ini  mengemukakan tiga unsur 

ijmak, yaitu masalah otoritas atau kehujahan ijmak, masalah orang 

yang memiliki kompetensi untuk berijmak, dan masalah objek ijmak. 

Menurut kedua tokoh ini , ijmak memiliki nilai kehujahan atau 

dalil dalam menentukan hukum Islam. Perbedaannya, al -Syafi’i 

mensyaratkan totalitas kesepakatan umat Islam yang 

direpresentasikan oleh para ulama, sedangkan al-Jashshash tidak 

mensyaratkan yang demikian. Mengenai objek ijmak, menurut 

keduanya, ruang lingkupnya dibatasi pada hukum syarak saja.  

Dalam kitab al- Muhalla , Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan 

bahwa ijmak haruslah merupakan kesepakatan seluruh umat Islam, 

dan bahwa ijmak yang benar harus didukung oleh nas Alquran dan 

atau Sunah yang diriwayatkan secara mutawatir , muttashil , dan 

diterima dari Nabi saw. Masalah -masalah yang memenuhi kriteria 

ini  dikenal dengan istilah ‘ulima min al - din bi al - dharurah, 

                                                           

7 3  Ahmad bin ‘Al i al-Jashshash, al- Fushul fi al - Ushul, Juz VII  (Kuwait: Mau qi’ al -

Islam, 1985) , hlm. 220.  

yaitu masalah-masalah yang diketahui secara jelas dan pasti. Dengan 

demikian, ijmak menurut Ibnu Hazm merupakan kesepakatan total 

seluruh ulama Islam dan menolak ijmak generasi pascasahabat, 

karena hanya pada generasi sahabat saja ijmak total dapat dicapai.

Teori ijmak yang cukup liberal dikemukakan oleh al-Basri (w. 

463) yang menyebutkan bahwa  

 

 ا مِإ َِْمُمُْلْا َفِم  ٍْمأ ىَت َ ٍة ََاَجْ ْفِم ُقاَفوِّت ِْلا َمُه ُعَاْجْ ِْلَا ٍك َْوت ْتأ ٍل ِْْ. 7 5 

 

Artinya : Ijmak ialah kesepakatan sekelompok umat mengenai suatu 

masalah tertentu, baik melalui perkataan, perbuatan, 

maupun sikap.  

 

Dengan deskripsi ijmak yang demikian, maka dapat diketahui 

bahwa terkait objek ijmak, tidak ada klasifikasi keagamaan atau 

keduniaan dan al-Basri dapat menerima keabsahan ijmak sukuti . 

Al-Sarakhsi (w. 483 H) juga tidak mengemukakan konsep ijmak 

secara definitif. Hal baru yang dikemukakan oleh as -Sarakhsi yaitu  

bahwa kehujahan ijmak itu bukan karena total atau tidaknya 

kesepakatan mujtahid, melainkan karena “penghormatan” kepada 

umat dalam kehidupan beragama. Mengenai standar orang yang 

dinggap cakap dalam proses berijmak, menurut as-Sarakhsi yaitu  

orang yang memiliki ilmu yang mendalam, mampu berijtihad, dan 

tidak memiliki cacat moral, di samping syarat “kurun waktu” bahwa 

ijmak itu bukan menjadi monopoli generasi tertentu saja.76  

Adapun al-Gazali (w. 505 H) mendeskripsikan ijmak sebagai 

kesepakatan secara lisan atau secara langsung (sharih) dari umat 

Islam pada suatu generasi dalam masalah-masalah keagamaan, baik 

ijmak itu disandarkan pada nas syarak maupun pada hasil ijtihad.  

                                                           

berdasar  penjelasan ini , tersirat bahwa al -Gazali 

menolak ijmak secara diam-diam (sukuti ) karena sikap orang yang 

diam itu mengandung keraguan. Al-Gazali juga menyatakan bahwa 

di Madinah tidak pernah terjadi ijmak total, baik sebelum maupun 

sesudah Nabi saw. hijrah, karena di antara mereka selalu ada yang 

sedang berperang, berkelana, atau menetap di luar Madinah.

Al-Syathibi (w. 790 H) tidak banyak membicarakan teori ijmak, 

ia hanya menekankan bahwa ijmak telah mendapatkan justifikasi 

dari syarak berdasar  kolektivitas dalil -dalil yang bersumber dari 

objek dan pendekatan yang berbeda-beda, baik dari Alquran, Sunah, 

maupun dalil akal. 78  Al-Amidi (w. 931 H) berpendapat bahwa  

 

 ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ  ِش َّٓ ُأ ْٖ ِٓ  ِذـْوـَؼُْ ح َٝ  َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمخَـل ّـِِطا ْٖ َػ ٌسَسَخزِػ ُعخ َٔ ْؿَْلْح

 ِِغثَخه َٞ

ُْ ح َٖ ِٓ  ٍشَِؼهح َٝ  ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 79 

 

Artinya : Ijmak ialah kesepakatan ahl al- hill wa al- ‘aqd  dari umat 

Muhammad pada suatu generasi tertentu atas hukum 

setiap kejadian.  

 

Tampak jelas, tidak klasifikasi tentang objek ijmak, tidak 

terbatas pada masalah keagamaan saja. Menurut al -Amidi, kata 

ittifaq mencakup perkataan dan perbuatan atau sikap sehingga 

dapat saja kesepakatan terjadi melalui pernyataan secara terang-

terangan (sharih} ) atau secara diam-diam (sukuti ).80   

Menurut al -Syaukani (w. 1250 H),  

 

 ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ  ِش َّٓ أ ْٖ ِٓ  ِذـْوـَؼُْ ح َٝ  َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمَخلِِّطا ْٖ ـَػ ٌسَسَخزـِػ ُعخ َٔ ْؿ َِْلْح

 ِِغثَخه َٞ

ُْ ح َٖ ِٓ  ٍشَِؼهح َٝ  ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 81 

                                                          

berdasar  penjelasan ini , tersirat bahwa al -Gazali 

menolak ijmak secara diam-diam (sukuti ) karena sikap orang yang 

diam itu mengandung keraguan. Al-Gazali juga menyatakan bahwa 

di Madinah tidak pernah terjadi ijmak total, baik sebelum maupun 

sesudah Nabi saw. hijrah, karena di antara mereka selalu ada yang 

sedang berperang, berkelana, atau menetap di luar Madinah.  

Al-Syathibi (w. 790 H) tidak banyak membicarakan teori ijmak, 

ia hanya menekankan bahwa ijmak telah mendapatkan justifikasi 

dari syarak berdasar  kolektivitas dalil -dalil yang bersumber dari 

objek dan pendekatan yang berbeda-beda, baik dari Alquran, Sunah, 

maupun dalil akal. 78  Al-Amidi (w. 931 H) berpendapat bahwa  

 

 ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ  ِش َّٓ ُأ ْٖ ِٓ  ِذـْوـَؼُْ ح َٝ  َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمخَـل ّـِِطا ْٖ َػ ٌسَسَخزِػ ُعخ َٔ ْؿَْلْح

 ِِغثَخه َٞ

ُْ ح َٖ ِٓ  ٍشَِؼهح َٝ  ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 79 

 

Artinya : Ijmak ialah kesepakatan ahl al- hill wa al- ‘aqd  dari umat 

Muhammad pada suatu generasi tertentu atas hukum 

setiap kejadian.  

 

Tampak jelas, tidak klasifikasi tentang objek ijmak, tidak 

terbatas pada masalah keagamaan saja. Menurut al -Amidi, kata 

ittifaq mencakup perkataan dan perbuatan atau sikap sehingga 

dapat saja kesepakatan terjadi melalui pernyataan secara terang-

terangan (sharih} ) atau secara diam-diam (sukuti ).80   

Menurut al -Syaukani (w. 1250 H),  

 

 ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ  ِش َّٓ أ ْٖ ِٓ  ِذـْوـَؼُْ ح َٝ  َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمَخلِِّطا ْٖ ـَػ ٌسَسَخزـِػ ُعخ َٔ ْؿ َِْلْح

 ِِغثَخه َٞ

ُْ ح َٖ ِٓ  ٍشَِؼهح َٝ  ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 81 

                                                          

Artinya : Ijmak yaitu  kesepakatan para mujtahid umat Muhammad 

setelah Nabi saw. wafat pada masa tertentu atas suatu 

masalah, baik masalah keagamaan maupun duniawi.   

 

Para ulama yang datang terkemudian tidak membawa 

perubahan berarti dalam pendefinisian ijmak, sampai dengan 

munculnya kritik dan gugatan atas teori ijmak ulama klasik oleh 

tokoh-tokoh pembaru hukum Islam. 

berdasar  paparan di atas, dapat diketahui bahwa definisi 

tentang ijmak yang dikemukakan oleh para ulama bereda-beda. Hal 

ini menunjukkan keragaman teori serta persepsi ijmak di antara para 

ulama karena perbedaan definisi merupakan akibat logis dari 

persoalan persepsi tentang ijmak.  

 

b.  Kehujahan Ijmak : Antara Q ath‘i  dan Zha nni  

Masalah otoritas atau kehujahan ijmak merupakan isu sentral 

dalam kajian konsep atau teori ijmak. Sebab, pokok permasalahan 

ijmak memang beranjak dari silang pendapat para ulama mengenai 

eksistensi ijmak sebagai salah atau dalil hukum Islam (al- adillah at-

tasyri‘ iyyah). Dalam konteks ini, maka muncul pertanyaan, apakah 

ijmak dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan hukum 

Islam. Terkait dengan kehujahan ijmak ini, kemudian muncul juga 

pertanyaan, siapakah orang-orang yang memenuhi standar mujtahid 

dan berkompeten untuk ikut serta dalam proses ijmak. 

Berkenaan dengan masalah kehujahan ijmak , pendapat para 

ulama secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua, 

sebagaimana akan dikemukakan berikut ini. 

 

1)  Ijmak Sebagai Hujah  

Sebagian ulama berpendapat bahwa ijmak merupakan hujah. 

Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama 82  seperti al-Syafi’i, Ibn u al-

Hum am, al-Ja shshash, al-Gazal i, asy-Syathibi, as-Sarakhsi, Ibnu 

H azm , dan para ulama kontemporer lainnya.  

                                                           

Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk 

mendukung kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran dan 

hadis Nabi saw., antara lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. an-

Nisa’ [4]:  5 9:  

 

 ْن َُِْم  ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ   لا ام ُيَِطأَت َه تلا ام ُيَِطأ امََُمَآ َفِْذ لا اَهُّوَْأ َاْ. 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -(Nya) dan ulil amri  di antara kamu sakalian. (Q.S. 

an-Nisa’ [4]:  59 ) 

 

Wajh al - dilalah kata “ al- amr ” dalam ayat di atas merupakan 

sinonim dengan kata “ al- sya’n ” yang berarti urusan atau bidang. Ini 

sifatnya umum, mencakup bidang keagamaan dan bidang keduniaan. 

Dalam bidang keduniaan, yang berwenang mengaturnya yaitu  

kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara, atau pemimpin 

lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang 

berwenang mengaturnya yaitu  para ulama. Dengan demikian, 

pemahaman hukum yang dapat diambil dari ayat ini  yaitu  

bahwa umat Islam wajib taat kepada ulil amri jika mereka telah 

menyepakati hukum suatu masalah atau telah memproduk ijmak 

berdasar  nas Alquran dan atau Sunah.83  

Ayat lain yang dikemukakan oleh golongan ini ialah firman 

Allah swt. dalam Q.S. al-Nisa’  [4] : 83 sebagai berikut . 

 

 ُُّ ََ ْمَلَت ْنُهْوَِم َُه ُم ِبََْوتْسَْ َفِْذ لا ُهَلِت ََل ْنُه ْوَِم  ِْمَْلْا ُِتأ َلَِإَت ِلمَُ   لا َلَِإ ُهت. 

 

Artinya : bila  mereka menyerahkannya kepada Rasul  dan ulil 

amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang hendak 

mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya 

dari mereka (Rasul  dan ulil amri). (Q.S. an-Nisa’  [4] : 83 ) 

                                                           

Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk 

mendukung kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran d