an
hadis Nabi saw., antara lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. an-
Nisa’ [4]: 5 9:
ْن َُِْم ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ لا ام ُيَِطأَت َه تلا ام ُيَِطأ امََُمَآ َفِْذ لا اَهُّوَْأ َاْ.
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -(Nya) dan ulil amri di antara kamu sakalian. (Q.S.
an-Nisa’ [4]: 59 )
Wajh al - dilalah kata “ al- amr ” dalam ayat di atas merupakan
sinonim dengan kata “ al- sya’n ” yang berarti urusan atau bidang. Ini
sifatnya umum, mencakup bidang keagamaan dan bidang keduniaan.
Dalam bidang keduniaan, yang berwenang mengaturnya yaitu
kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara, atau pemimpin
lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang
berwenang mengaturnya yaitu para ulama. Dengan demikian,
pemahaman hukum yang dapat diambil dari ayat ini yaitu
bahwa umat Islam wajib taat kepada ulil amri jika mereka telah
menyepakati hukum suatu masalah atau telah memproduk ijmak
berdasar nas Alquran dan atau Sunah.83
Ayat lain yang dikemukakan oleh golongan ini ialah firman
Allah swt. dalam Q.S. al-Nisa’ [4] : 83 sebagai berikut .
ُُّ ََ ْمَلَت ْنُهْوَِم َُه ُم ِبََْوتْسَْ َفِْذ لا ُهَلِت ََل ْنُه ْوَِم ِْمَْلْا ُِتأ َلَِإَت ِلمَُ لا َلَِإ ُهت.
Artinya : bila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang hendak
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan ulil amri). (Q.S. an-Nisa’ [4] : 83 )
Ayat ini memerintahkan agar umat Islam merujuk
kepada Alquran dan atau Sunah manakala berselisih pendapat. Oleh
karena itu, bila para mujtahid telah bersepakat, maka umat Islam
diperintahkan untuk mengikuti hasil kesepakatan ini dan hal
yang demikian sama artinya dengan kembali atau merujuk kepada
Alquran dan atau Sunah.84 Dengan merujuk pada hadis Nabi saw.,
Ibnu H azm menafsirkan “ ulil amri ” sebagai para penguasa (uma ra)
dan para ahli (ulama).85
Demikian juga firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 :
هِّلَمُو َيََِِّمْؤُلْلا ِليِب ََ َ ْويَغ ْعِب تَوَْت ىَُدْلْا َُهل َ يََّوبَوت اَم ِد َْوب ْفِم َلمَُ لا ِقِقاَشُْ ْفَمَت ِهِتْص َُت لََمَوت اَم
َن ََهَج ْتَءا ََ َتانيرِصَم.
Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam J ahanam dan, jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali. (Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 )
Melalui a yat ini , Allah swt. mengingatkan orang-orang
yang menentang Rasulullah saw. dan mengikuti jalan orang yang
tidak beriman dengan ancaman siksa di neraka. Bahkan , orang-
orang yang mengikuti jalan orang yang tidak beriman disetarakan
dengan orang-orang yang menentang Rasul ullah saw. Oleh karena
itu, hukum mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman yaitu
sesat dan haram dan mengikut jalan orang-orang beriman yaitu
wajib. Dengan demikian, maka ijmak yaitu hujah karena merupakan
kesepakatan ulama dan jalan orang-orang beriman.86
Menurut Ibnu H azm, dalam ayat di atas Allah swt. sebenarnya
tidak hanya mengancam orang-orang yang mengikuti jalan orang-
orang yang tidak beriman, tetapi juga mengancam orang-orang yang
menentang Rasulullah saw. Pengertian jalan orang -orang yang
beriman (sab il al- mu ’ min in) yaitu mengikuti Alquran dan Sunah
Rasul ullah saw. (termasuk ijmak ulama yang tidak didukung oleh
nas), bukanlah jalan orang-orang yang beriman, melainkan jalan
orang-orang kafir.87 Penafsiran ini menurutnya lebih tepat dan yang
sejalan dengan firman Allah swt. dalam ayat sebagai berikut.
ْويَوب َن ُْحَِيل ِِهلمَُ َََت ِه تلا َلَِإ ام ُُُ اَذِإ َيَّ
َِِمْؤُلْلا َلْمَوق َناَم َا نَِّإ َكَِئلُتأَت اََ ََْطأَت اََ ْ َِسَ امُلمُقَوْ َْنأ ْنُهَوَ
ُنُه َنمُحِتْفُلْلا.
Artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka
dipanggil kepada Allah dan Rasul -Nya agar Rasul
mengadili di antara mereka, ialah ucapan “kami
mendengar dan kami patuh”. Mereka itulah orang -orang
yang beruntung. (Q.S. an-Nur [24]: 51)
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa kesepakatan para
mujtahid M uslim pada dasarnya merupakan representasi pendapat
umat Islam secara keseluruhan. Telah banyak hadis dan astar
sahabat yang mengisyaratkan infalibilitas kesepakat-an umat Islam.
Di antaranya ialah:
ٍةَلَيَِ ىَت َ ِتِ م ُأ ُعِلَتَْتَ َلَ.8 8
Artinya : Umatku tidak akan menyepakati kesalahan atau kesesatan.
orang yang tidak beriman, tetapi juga mengancam orang-orang yang
menentang Rasulullah saw. Pengertian jalan orang -orang yang
beriman (sab il al- mu ’ min in) yaitu mengikuti Alquran dan Sunah
Rasul ullah saw. (termasuk ijmak ulama yang tidak didukung oleh
nas), bukanlah jalan orang-orang yang beriman, melainkan jalan
orang-orang kafir.87 Penafsiran ini menurutnya lebih tepat dan yang
sejalan dengan firman Allah swt. dalam ayat sebagai berikut.
ْويَوب َن ُْحَِيل ِِهلمَُ َََت ِه تلا َلَِإ ام ُُُ اَذِإ َيَّ
َِِمْؤُلْلا َلْمَوق َناَم َا نَِّإ َكَِئلُتأَت اََ ََْطأَت اََ ْ َِسَ امُلمُقَوْ َْنأ ْنُهَوَ
ُنُه َنمُحِتْفُلْلا.
Artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka
dipanggil kepada Allah dan Rasul -Nya agar Rasul
mengadili di antara mereka, ialah ucapan “kami
mendengar dan kami patuh”. Mereka itulah orang -orang
yang beruntung. (Q.S. an-Nur [24]: 51)
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa kesepakatan para
mujtahid M uslim pada dasarnya merupakan representasi pendapat
umat Islam secara keseluruhan. Telah banyak hadis dan astar
sahabat yang mengisyaratkan infalibilitas kesepakat-an umat Islam.
Di antaranya ialah:
ٍةَلَيَِ ىَت َ ِتِ م ُأ ُعِلَتَْتَ َلَ.8 8
Artinya : Umatku tidak akan menyepakati kesalahan atau kesesatan.
ُة َا سلا َمْمُقوَوت تَِح ِّقَْلْا ىَت َ َفِْْ ِهَاظ ِتِ ُمأ ْفِم ٌةَِفئَاط ُلَازَوت َلَ.89
Artinya : Segolongan dari umatku senantiasa akan membela
kebenaran sampai datang hari kiamat.
ٌفَسَح ِللها َدَْ ِ َمُهَوْ اَنَسَح َنْمُلِتْسُلْلا ُهآََ اَم.90
Artinya : Apa yang dianggap baik oleh orang-orang M uslim, maka ia
baik juga di sisi Allah.
K elompok ini mengemukakan bahwa beberapa hadis Nabi saw.
yang telah dikemukakan di atas intinya yaitu menekankan
infalibilitas ijmak umat Islam. Hadis -hadis ini , meskipun tidak
sahih dari segi lafal, matan, dan rangkaian sanadnya, namun antara
hadis yang satu dengan yang lain saling mendukung sehingga dapat
dikatakan sahih dari segi maknanya. Oleh karena itu, hadis-hadis
ini menunjang teori ijmak.91
Pengertiannya ialah bahwa umat Islam tidak akan pernah
menyepakati kebatilan dan pasti akan selalu ada yang menegakkan
kebenaran.
Dengan kata lain, hadis ini bukan membolehkan ulama
berijmak tanpa dukungan nas sebagaimana dipahami oleh sebagian
ulama ushul yang lain.
Kelompok ini juga menyatakan bahwa ketika para ulama
berijmak, ijmak pastilah disandarkan pada dalil. Jika mereka tak
menemukan sandaran dalil pun, ijtihadnya tetap memperhatikan
maq ashid al-syari‘ ah yang umum. Para ulama juga memakai
metode istinb ath tertentu seperti kias, istihsan, dan lain sebagainya.
Oleh karena produk istinbat h mereka selalu disandarkan pada dalil
syarak, maka kesepakatan para mujtahid dapat di pertanggung
jawabkan dan mempunyai kuatan hukum.
berdasar paparan pendapat jumhur ulama dalam masalah
otoritas ijmak dapat diketahui bahwa ijmak itu memiliki validitas dan
otoritas, meskipun tidak independen, masih memerlukan sandaran
dalil dari Alquran dan atau Sunah.
2) Ijmak Bukanlah Hujah
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ijmak itu
bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh a n-Nizh am (dari golongan
Mu’tazilah) serta sebagian Khawarij dan Syi’ah. 93 Kelompok ini
berpendapat bahwa ijmak bukanlah hujah dengan mengemukakan
beberapa asalasan dari nas Alquran, Sunah, dan dalil logika. Nas
Alquran yang dijadikan alasan untuk menolak kehujahan ijmak
yaitu Q.S. an-Nisa’ [4] : 59 :
تلا ام ُيِطَأ امََُمَآ َفِْذلا اَهُّوَْأ اْ َلَِإ ُهتُُّ َُوْ ٍءْيَش ِ ْنُت َْزاَََوت ْنَِإْ ْن َُِْم ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ لا ام ُيَِطأَت َه
ِلمَُ لاَت ِه تلا.
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -(Nya) dan ulil amri dari kamu sekalian, dan bila
kamu sekalian berselisih mengenai suatu masalah, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul -Nya.
Menurut kelompok ini, berdasar ayat ini, maka bila
ada masalah yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan
kepada kitab Allah dan Sunah Nabi saw., tidak ada perintah untuk
kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid. Ini suatu bukti bahwa
ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah. Demikian
juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang dasar -
dasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan
keputusan peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah
disetujui Rasul ullah saw.
Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam
penetapan hukum, pastilah itu akan disebutkan.
berdasar paparan pendapat jumhur ulama dalam masalah
otoritas ijmak dapat diketahui bahwa ijmak itu memiliki validitas dan
otoritas, meskipun tidak independen, masih memerlukan sandaran
dalil dari Alquran dan atau Sunah.
2) Ijmak Bukanlah Hujah
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ijmak itu
bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh a n-Nizh am (dari golongan
Mu’tazilah) serta sebagian Khawarij dan Syi’ah. 93 Kelompok ini
berpendapat bahwa ijmak bukanlah hujah dengan mengemukakan
beberapa asalasan dari nas Alquran, Sunah, dan dalil logika. Nas
Alquran yang dijadikan alasan untuk menolak kehujahan ijmak
yaitu Q.S. an-Nisa’ [4] : 59 :
تلا ام ُيِطَأ امََُمَآ َفِْذلا اَهُّوَْأ اْ َلَِإ ُهتُُّ َُوْ ٍءْيَش ِ ْنُت َْزاَََوت ْنَِإْ ْن َُِْم ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ لا ام ُيَِطأَت َه
ِلمَُ لاَت ِه تلا.
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -(Nya) dan ulil amri dari kamu sekalian, dan bila
kamu sekalian berselisih mengenai suatu masalah, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul -Nya.
Menurut kelompok ini, berdasar ayat ini, maka bila
ada masalah yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan
kepada kitab Allah dan Sunah Nabi saw., tidak ada perintah untuk
kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid. Ini suatu bukti bahwa
ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah. Demikian
juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang dasar -
dasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan
keputusan peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah
disetujui Rasul ullah saw.
Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam
penetapan hukum, pastilah itu akan disebutkan.
Mengenai Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 :
َمَتهِّلَمُو َيََِِّمْؤُلْلا ِليِب ََ َ ْويَغ ْعِب تَوَْت ىَُدْلْا ُهَل َ يََّوبَوت اَم ِدو َْوب ْفِم َلمَُ لا ِقِقاَشُْ ْف ِهِتْص َُت لََمَوت اَم
انيرِصَم ْتَءا ََ َت َن ََهَج.
Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam J ahanam. Dan, Jahanam itu seburuk -buruk
tempat kembali.
Menurut kelompok yang menolak kehujahan ijma k, ancaman
dalam ayat ini ditujukan kepada orang yang tidak patuh
kepada Nabi saw. dan mengikuti jalan orang yang tidak beriman.
Antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
bila dikatakan, dilarang pertentangan setelah terjadi ijmak, maka
bagaimana dengan kebolehan setiap ahli hukum untuk mengikuti
pendapatnya masing-masing, berarti memang perbedaan itu tidak
dilarang dan tetap ditolerir.
Kelompok ini menolak pemakaian beberapa hadis yang
dipakai sebagai argumentasi untuk mendukung kehujahan ijmak,
sebab hadis-hadis ini dinyatakan sebagai hadis ahad,
sedangkan hadis ahad kualitas kehujahannya tidak kuat. Andaikan
dianggap mutawatir dari segi makna, tafsirannya yang benar yaitu
terpeliharanya umat dari kesesatan dan kesalahan, yakni
menyepakati kekufuran atau menyalahi dalil-dalil qath‘i . Dengan
kata lain, hadis-hadis ini menurut kelompok ini tidak mengacu
pada legimitasi serta infalibilitas hasil ijmak.
Bahkan, Nabi saw. sendiri telah memprediksi bahwa pada
suatu saat warga luas mungkin saja melakukan kesalahan,
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis Nabi saw. sebagai
berikut.
انبْوِْ َغ َأََدب اَلَم ُُْم َُوي ََ َت انبْْو َِغ ُمَي َْ ِْلا َأََدب. )نتسمَهاَت (97
Artinya : Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan ia akan
kembali menjadi asing seperti semula, maka berbahagialah
orang-orang (Islam) yang merasa terasing. (H.R. Muslim)
ُةَُ اَهَش ُقِبْسَت ٌمْمَوق ُئْيَِيُ ُثْ ْنُهَو ْمُتَوْ َفْْ ِذ لا ُثْ ْنُهَو ْمَُتوْ َفْْ ِذ لا ُثْ ِنِ َْوق ِسا َلا ُ ْويَخ َت ُهََ ْوِيَيَ ْنِهِدَحأ
)َى اخبلا هاَت ( .َُهتَُ اَهَش ُهَُ ْوِيَيَ98
Artinya : Sebaik-baik manusia yaitu (orang yang hidup) pada
generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan kemudian
generasi sesudahnya lagi. Sesudah itu akan muncul suatu
golongan yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului kesaksiannya. (H.R. al-Bukhari)
Kelompok ini juga menolak infalibilitas d an validitas ijmak
berdasar logika akal sehat. Menurut kelompok ini, tidak masuk
akal bahwa sekelompok orang yang secara perorangan tidak
ma‘shum kemudian akumulasi pendapat orang banyak yang tidak
ma‘shum ini menjadi ma‘shum . Atau sebaliknya, mungkin saja
karena secara individu seseorang itu tidak ma‘s hum , kemudian akan
menyepakati sesuatu yang tidak benar. Logika yang membenarkan
ijmak sama dengan logika yang menyatakan, “ M asing-masing dari
individu itu berbaju hitam, tetapi sekelompok orang yang terdiri atas
individu -individu berbaju hitam itu tidaklah hitam. ” Dengan
demikian, maka tidak masuk akal pula menganggap ijmak sebagai
hujah. Tak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali harus mengikuti
Alquran dan Sunah.
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis Nabi saw. sebagai
berikut.
انبْوِْ َغ َأََدب اَلَم ُُْم َُوي ََ َت انبْْو َِغ ُمَي َْ ِْلا َأََدب. )نتسمَهاَت (97
Artinya : Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan ia akan
kembali menjadi asing seperti semula, maka berbahagialah
orang-orang (Islam) yang merasa terasing. (H.R. Muslim)
ُةَُ اَهَش ُقِبْسَت ٌمْمَوق ُئْيَِيُ ُثْ ْنُهَو ْمُتَوْ َفْْ ِذ لا ُثْ ْنُهَو ْمَُتوْ َفْْ ِذ لا ُثْ ِنِ َْوق ِسا َلا ُ ْويَخ َت ُهََ ْوِيَيَ ْنِهِدَحأ
)َى اخبلا هاَت ( .َُهتَُ اَهَش ُهَُ ْوِيَيَ98
Artinya : Sebaik-baik manusia yaitu (orang yang hidup) pada
generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan kemudian
generasi sesudahnya lagi. Sesudah itu akan muncul suatu
golongan yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului kesaksiannya. (H.R. al-Bukhari)
Kelompok ini juga menolak infalibilitas d an validitas ijmak
berdasar logika akal sehat. Menurut kelompok ini, tidak masuk
akal bahwa sekelompok orang yang secara perorangan tidak
ma‘shum kemudian akumulasi pendapat orang banyak yang tidak
ma‘shum ini menjadi ma‘shum . Atau sebaliknya, mungkin saja
karena secara individu seseorang itu tidak ma‘s hum , kemudian akan
menyepakati sesuatu yang tidak benar. Logika yang membenarkan
ijmak sama dengan logika yang menyatakan, “ M asing-masing dari
individu itu berbaju hitam, tetapi sekelompok orang yang terdiri atas
individu -individu berbaju hitam itu tidaklah hitam. ” Dengan
demikian, maka tidak masuk akal pula menganggap ijmak sebagai
hujah. Tak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali harus mengikuti
Alquran dan Sunah.
Di samping itu, bila keabsahan ijmak harus disandarkan
pada dalil yang berasal dari Alquran atau Sunah, maka yang menjadi
hujah yaitu Alquran atau Sunah itu, bukan dalil ijmak, dan bila
sandaran dalil ijmak itu bersifat zha nni, maka kecil kemungkinan
terjadinya kesepakatan pendapat karena metode istinba th yang
dipakai para ulama berbesa-beda. Lagi pula, sulit untuk
mendeteksi telah terjadinya ijmak karena para ulama tersebar di
berbagai penjuru dunia.
Anggapan bahwa kaum Syi’ah dan N izh amiyah menolak ijmak
boleh jadi merupakan suatu penilaian dan anggapan yang under
estimate . Sebab, polemik yang direkonstruksikan dalam berbagai
kitab ushul fiqh memang mengesankan “direkayasa” untuk membela
jumhur ulama. Al-Subuki dan beberapa ulama lainnya menyatakan
bahwa al-Nizh am sendiri sebenarnya menerima ijmak. Beberapa
pengikutnyalah yang menolak, namun kemudian dinisbahkan
kepada-nya.101 Memang jika ditelusuri beberapa ajaran dasar
golongan Syi’ah sebenarnya menolak prinsip ijmak secara mutlak.
Mereka memiliki penafsiran tersendiri mengenai hal ini. Mereka
memberikan treatment yang besar pada kepatuhan tanpa syarat
kepada imam yang menurut keyakinan mereka yaitu terpelihara
dari berbuat salah ( ma‘s hum ). Maka , otoritas tasyri‘ sepeninggal Nabi
saw. berada di tangan imam. Inilah salah satu doktrin dalam aliran
Syi’ah.
berdasar keterangan di atas, dapat diketahui bahwa
jumhur ulama menganggap ijmak sebagai hujah sekaligus
menjadikan ijmak sebagai sarana pencegahan kemungkinan salah
hasil ijtihad individual. Adapun menurut golongan Nizh amiyah dan
sebagian Khawarij , ijmak bukanlah hujah. Syi’ah tidak menganggap
ijmak sebagai hujah yang berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan
dengan pribadi imam yang ma‘shum , sebab mereka menganggap
imam sebagai penentu final dalam masalah-masalah hukum. Mereka
tolak teori ijmak jumhur ulama karena tidak mengaitkan ijmak
dengan pribadi imam. Sebaliknya, jika Syi’ah menerima teori jumhur
ulama, hal ini identik dengan pengingkaran “keimanan” terhadap ke-
ma ‘shu m -an imam.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ijmak telah menjadi
objek perselisihan pendapat termasuk dalam hal kehujahannya.
Meskipun ijmak telah dijustifikasi dengan ayat -ayat Alquran, Sunah,
dan argumentasi-argumentasi rasional, tetapi tetap saja bukti-bukti
atau dalil-dalil itu tidak dapat secara jelas dan tegas mendukung
otoritas ijmak. Bahkan , justifikasi itu terkesan di-fait accompli - kan.
Sebab, para penentang ijmak kemudian juga memakai ayat-ayat
Alquran, Sunah, dan rasio untuk meng-counter pendapat jumhur
ulama. Menurut hemat penulis , perselisihan pendapat ini
dikarenakan dalil-dalil yang dipakai untuk mendukung ijmak
hanya bersifat “kemungkinan” ( al- ihtim al), tidak secara eskplisit
untuk ijmak.
Dalam hubungan ini, penulis kurang sependapat dengan
golongan yang menolak kuhujahan ijmak (al-Nizh am, Syi’ah , dan
Khawarij). Terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh golongan
yang menolak otoritas ijmak, terutama yang berkaitan dengan
lemahnya dasar nas yang dipakai untuk menjustifikasi ijmak,
dapat dikemukakan bahwa hadis-hadis itu dapat dikategorikan
mutawatir ma‘nawi . Tentang argumentasi bahwa generasi pasca-
sahabat akan dilanda kebobrokan moral sebagaimana diisyratkan
oleh hadis Nabi saw., harus dimaknai bahwa hadis itu hanya
mempresiksi kemungkinan apa yang akan terjadi pada masa yang
akan datang, tetapi tidak menutup kemungkinan masih adanya
orang-orang yang masih akan tetap mempertahankan dan
menegak-kan kebenaran. Dengan demikian, tidak tertutup
kemungkinan generasi pasca-sahabat berijmak dalam rangka
mempertahankan dan menegakkan kebenaran.
Tentang argumentasi bahwa sekumpulan orang yang tidak
terjamin dari berbuat salah (tidak ma ‘shu m ) tidak mungkin akan
melahirkan kesepakatan yang terjamin dari kesalahan ( ma ‘shu m ),
dengan tamsil bahwa kelompok orang yang berbaju hitam pasti akan
dengan pribadi imam. Sebaliknya, jika Syi’ah menerima teori jumhur
ulama, hal ini identik dengan pengingkaran “keimanan” terhadap ke-
ma ‘shu m -an imam.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ijmak telah menjadi
objek perselisihan pendapat termasuk dalam hal kehujahannya.
Meskipun ijmak telah dijustifikasi dengan ayat -ayat Alquran, Sunah,
dan argumentasi-argumentasi rasional, tetapi tetap saja bukti-bukti
atau dalil-dalil itu tidak dapat secara jelas dan tegas mendukung
otoritas ijmak. Bahkan , justifikasi itu terkesan di-fait accompli - kan.
Sebab, para penentang ijmak kemudian juga memakai ayat-ayat
Alquran, Sunah, dan rasio untuk meng-counter pendapat jumhur
ulama. Menurut hemat penulis , perselisihan pendapat ini
dikarenakan dalil-dalil yang dipakai untuk mendukung ijmak
hanya bersifat “kemungkinan” ( al- ihtim al), tidak secara eskplisit
untuk ijmak.
Dalam hubungan ini, penulis kurang sependapat dengan
golongan yang menolak kuhujahan ijmak (al-Nizh am, Syi’ah , dan
Khawarij). Terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh golongan
yang menolak otoritas ijmak, terutama yang berkaitan dengan
lemahnya dasar nas yang dipakai untuk menjustifikasi ijmak,
dapat dikemukakan bahwa hadis-hadis itu dapat dikategorikan
mutawatir ma‘nawi . Tentang argumentasi bahwa generasi pasca-
sahabat akan dilanda kebobrokan moral sebagaimana diisyratkan
oleh hadis Nabi saw., harus dimaknai bahwa hadis itu hanya
mempresiksi kemungkinan apa yang akan terjadi pada masa yang
akan datang, tetapi tidak menutup kemungkinan masih adanya
orang-orang yang masih akan tetap mempertahankan dan
menegak-kan kebenaran. Dengan demikian, tidak tertutup
kemungkinan generasi pasca-sahabat berijmak dalam rangka
mempertahankan dan menegakkan kebenaran.
Tentang argumentasi bahwa sekumpulan orang yang tidak
terjamin dari berbuat salah (tidak ma ‘shu m ) tidak mungkin akan
melahirkan kesepakatan yang terjamin dari kesalahan ( ma ‘shu m ),
dengan tamsil bahwa kelompok orang yang berbaju hitam pasti akan
tampak hitam pula, analogi dan tamsil ini tidak bisa diterima. Sebab,
sesuatu yang immateri (abstrak), seperti pendapat, fungsi, dan lain
sebagainya, tidak dapat dianalogikan dengan sesuatu yang bersifat
materi. Sebagai contoh, fungsi setetes air tidak dapat
menghilangkan rasa haus, tetapi segelas air minum dapat
menghilangkan rasa dahaga. Demikian juga halnya, seutas kawat
kecil tidak mempunyai kekuatan, tetapi seikat kawat kecil dapat
dijadikan tali yang cukup kuat.
Menurut mereka, karena ijmak itu harus diduku ng oleh dalil
nas, maka yang menjadi hujah sebenarnya yaitu dalil nas itu
sendiri, sehingga ijmak menjadi kehilangan arti dan fungsi. Dalam
konteks ini, dapat dikemukakan bahwa fungsi ijmak yaitu untuk
menguatkan sandaran dalil ijmak yang bersifat zha nni. Adapun
dalam masalah yang telah ada dalil qa th‘i -nya, maka menurut hemat
penulis, ijmak memang tidak diperlukan lagi. Tentang pendapat
golongan Syi’ah yang mengaitkan ajaran ijmak dengan ke - ma ‘su m -
an individu sang ima m, dapat dijawab bahwa tidak ada satu pun nas
yang menjamin ke- ma ‘shu m -an individu selain Nabi saw. Dengan
demikian, argumentasi golongan ini kurang dapat di pertanggung
jawabkan secara syarak.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa
ijmak itu merupakan hujah bagi umat Islam. Sebab, fakta dan
realitasnya ijmak telah didukung oleh dalil-dalil dari berbagai
sumber secara kolektif, baik dari Alquran, Sunah, maupun dalil
logika sebagai suatu kesatuan. Memang dalil -dalil itu berbeda-beda
objek ataupun pola pendekatannya dan tidak secara langsung
menunjuk pada kehujahan ijmak. Beberapa hadis yang dipakai
untuk mendukung kehujahan ijmak juga termasuk lemah karena
termasuk hadis ahad. Akan tetapi, para ulama mengakui bahwa dalil-
dalil itu memiliki arah dan makna yang sama serta saling mendukung
sehingga pada gilirannya dapat mendatangkan kepastian.104
Andaikan secara teoretis ijmak masih diperdebatkan, namun
fakta sejarah telah membuktikan bahwa ia telah memainkan peranan
penting dalam mem-persatukan umat dan meminimalkan side effect
dari perselisihan yang ada, baik secara sosiologis105 maupun
politis. Oleh karena itu, “kepercayaan” kepada otoritas ijmak
perlu dipertahankan.
c . Kualitas Otoritas Ijmak
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh dalam hal apakah
kehujahan ijmak itu berdiri sendiri ataukah membutuhkan dalil
penunjang. Perbedaan pendapat ini kemudian berimplikasi pada
perbedaan pendapat dalam penentuan kualitas kehujahan ijmak,
apakah bersifat qa th‘i ataukah zha nni. Dalam konteks ini, sebagian
ulama berpendapat, oleh karena teori ijmak bersumber dari Alquran
dan atau Sunah, maka secara umum dianggap bahwa ijmak yaitu
suatu hujah yang qath‘i .
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya ialah Shairafi,
Ibnu Burhan, a d-Dabbusi, dan Ibnu Taimiyah.107
Al-Bazdawi juga berpendapat bahwa kehujahan ijmak itu
bersifat qath‘i dan menyatakan bahwa fungsi ijmak memang
meningkatkan kualitas suatu peraturan, yang semula bersifat zhanni
atau masih diperselisihkan, dapat menjadi qath‘ i setelah adanya
persetujuan atau ijmak. Oleh karena itu, jika telah dicapai kata
sepakat, pendapat yang menyimpang boleh diabaikan.108 Adapun
kelompok ulama lainnya, termasuk ar-Razi dan al -Amidi,
menyatakan bahwa ijmak yaitu hujah yang bersifat zhanni , sebab
ijmak ditetapkan dalam masalah-masalah yang didasarkan pada kias
atau hadis-hadis ahad yang sifatnya juga zhanni. Pendapat yang
lebih moderat menyatakan bahwa jika ijmak ditetapkan dengan
105 Sebagaimana dinyatakan oleh al-Juwaini, ijmak telah berperan sebagai penjaga
dan penopang yurisprudensi hukum Islam, terutama pemikiran hukum Islam warisan
ulama salaf. Lihat Abu al-Ma’ali al - Juwaini, al- Burhan , hlm. 436.
106Sebagai contoh yaitu dalam peristiwa pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah.
Menurut Munawir Syadzali, dalam peristiwa pemilihan dan pengangkatan Abu Bakar
sebagai khalifah, permusyawaratan dan konsensus ditempuh untuk keperluan yang nyata
dan sungguh-sungguh mendesak, yakni untuk mengisi kevakuman “kepemimpinan”
setelah Nabi saw. wafat.
dari perselisihan yang ada, baik secara sosiologis105 maupun
politis. Oleh karena itu, “kepercayaan” kepada otoritas ijmak
perlu dipertahankan.
c . Kualitas Otoritas Ijmak
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh dalam hal apakah
kehujahan ijmak itu berdiri sendiri ataukah membutuhkan dalil
penunjang. Perbedaan pendapat ini kemudian berimplikasi pada
perbedaan pendapat dalam penentuan kualitas kehujahan ijmak,
apakah bersifat qa th‘i ataukah zha nni. Dalam konteks ini, sebagian
ulama berpendapat, oleh karena teori ijmak bersumber dari Alquran
dan atau Sunah, maka secara umum dianggap bahwa ijmak yaitu
suatu hujah yang qath‘i .
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya ialah Shairafi,
Ibnu Burhan, a d-Dabbusi, dan Ibnu Taimiyah.
Al-Bazdawi juga berpendapat bahwa kehujahan ijmak itu
bersifat qath‘i dan menyatakan bahwa fungsi ijmak memang
meningkatkan kualitas suatu peraturan, yang semula bersifat zhanni
atau masih diperselisihkan, dapat menjadi qath‘ i setelah adanya
persetujuan atau ijmak. Oleh karena itu, jika telah dicapai kata
sepakat, pendapat yang menyimpang boleh diabaikan. Adapun
kelompok ulama lainnya, termasuk ar-Razi dan al -Amidi,
menyatakan bahwa ijmak yaitu hujah yang bersifat zhanni , sebab
ijmak ditetapkan dalam masalah-masalah yang didasarkan pada kias
atau hadis-hadis ahad yang sifatnya juga zhanni. Pendapat yang
lebih moderat menyatakan bahwa jika ijmak ditetapkan dengan
kesepakatan bulat dari para ahli, maka ia bersifat qath‘i . Tetapi jika ia
didahului dengan ketidaksepakatan, seperti ijmak sukut i, atau
mereka yang tidak setuju itu hanyalah minoritas, maka ijmak ini
yaitu zhanni .
Menarik apa yang dikemukakan dalam kitab Jam‘u al - Jawa m i‘
bahwa jika ijmak itu berkenaan dengan hal-hal yang termasuk
kategori ‘ulima min al - din bi al- dharurah, seperti wajibnya salat lima
waktu, haji ke Baitullah, puasa bulan Ramadan, maka penentangnya
diaggap kafīr. Tetapi terhadap materi ijmak yang tidak terkaver oleh
nas, termasuk ijmak khafi atau sukut i, seperti rusaknya ibadah haji
karena jimak sebelum wukuf, maka penentangnya tidak kafir.
Paparan ini di atas menunjukkan bahwasanya ada
dua kategori kualitas ijmak, yaitu ijmak qath ‘i jika didukung oleh nas
yang qath ‘i atau berkenaan dengan hal-hal yang termasuk kategori
‘ulima min al - din bi al - dharurah. Penentang terhadap ijmak yang
demikian yaitu kafir. Adapun terhadap ijmak yang berkualitas
zhanni , yaitu ijmak dalam masalah-masalah yang didukung oleh dalil
zhanni atau dalam masalah-masalah yang tidak ada nasnya secara
eksplisit dalam nas syarak, penentang terhadap ijmak yang termasuk
kategori demikian tidaklah kafir.
d. Macam- macam Ijmak.
berdasar proses bagaimana kesepakatan atau konsensus
dari antara para mujtahid itu terjadi, ijmak dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu ijmak sharih dan sukuti . Kedua jenis
ijmak dan statusnya dalam sistem penetapan hukum Islam akan
diuraikan berikut ini.
1) Ijmak sharih atau ijmak q auli yaitu kesepakatan para mujtahid
pada zamannya tentang hukum suatu perkara di mana seluruh
mujtahid menyatakan pendapat dengan jelas melalui perkataan
( qaul ) atau perbuatan nyata (fi‘l ). Secara teknis, proses ijmak
sharih ini terbentuk bila para mujtahid berkumpul melalui
sebuah forum, kemudian masing-masing mujtahid menyatakan
pendapat hukumnya dengan jelas mengenai suatu masalah yang
menjadi objek kajian dan pendapat mereka mengenai hal
ini menyatu. Kemungkinan lain, masing -masing para
mujtahid mempunyai pendapat hukum suatu masalah dan tanpa
bertemu dalam suatu forum. Setelah pendapat mereka beredar
di warga , diketahui bahwa ternyata pendapat para mujtahid
mengenai masalah ini sama. Menurut Abd al -Wahh ab
Khall af, ijmak yang demikian inilah yang benar.112 Bagi kelompok
ulama yang mendukung kehujahan ijmak, status ijmak sharih ini
dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak ada perselisihan di
antara mereka.
2) Ijmak sukuti atau ijmak rukhs ah yaitu ijmak yang didasarkan
pada asumsi karena kesepakatannya terbentuk melalui
pernyataan atau perbuatan sebagian ulama berkenaan dengan
hukum suatu masalah, dan setelah informasi ini menyebar di
warga , sebagian ulama yang lain diam (sukut ) dan tidak
menyatakan pendapatnya meski telah cukup waktu untuk
menelaahnya.
Berkenaan dengan kehujahan ijmak sukuti , sebagian ulama
berpendapat bahwa ijmak sukuti dianggap sebagai ijmak yang sah,
sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ijmak sukuti ini
bukanlah hujah.
Mayoritas ulama Hanafiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagian
ulama Syafi’iyah, dan jumhur ulama berpendapat bahwa ijmak sukuti
dapat dijadikan sebagai hujah.
sharih ini terbentuk bila para mujtahid berkumpul melalui
sebuah forum, kemudian masing-masing mujtahid menyatakan
pendapat hukumnya dengan jelas mengenai suatu masalah yang
menjadi objek kajian dan pendapat mereka mengenai hal
ini menyatu. Kemungkinan lain, masing -masing para
mujtahid mempunyai pendapat hukum suatu masalah dan tanpa
bertemu dalam suatu forum. Setelah pendapat mereka beredar
di warga , diketahui bahwa ternyata pendapat para mujtahid
mengenai masalah ini sama. Menurut Abd al -Wahh ab
Khall af, ijmak yang demikian inilah yang benar.112 Bagi kelompok
ulama yang mendukung kehujahan ijmak, status ijmak sharih ini
dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak ada perselisihan di
antara mereka.
2) Ijmak sukuti atau ijmak rukhs ah yaitu ijmak yang didasarkan
pada asumsi karena kesepakatannya terbentuk melalui
pernyataan atau perbuatan sebagian ulama berkenaan dengan
hukum suatu masalah, dan setelah informasi ini menyebar di
warga , sebagian ulama yang lain diam (sukut ) dan tidak
menyatakan pendapatnya meski telah cukup waktu untuk
menelaahnya.
Berkenaan dengan kehujahan ijmak sukuti , sebagian ulama
berpendapat bahwa ijmak sukuti dianggap sebagai ijmak yang sah,
sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ijmak sukuti ini
bukanlah hujah.
Mayoritas ulama Hanafiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagian
ulama Syafi’iyah, dan jumhur ulama berpendapat bahwa ijmak sukuti
dapat dijadikan sebagai hujah.
Imam Malik juga berpendapat bahwa ijmak sukuti sebagai
hujah. Menurut ulama Hanafiyah, ijmak sukuti menjadi hujah
bila ketetapan hukum yang mewarga dan ada jeda waktu
bagi para mujtahid untuk mengkajinya, serta tidak ada hal yang
ditakutkan untuk menyatakan pendapatnya.
Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama pendukung
kehujahan ijmak sukuti yaitu : (a) Setiap mujtahid berkewajiban
untuk menyatakan pendapatnya, terutama ketika ada pendapat yang
salah. Oleh karena itu, jika seorang mujtahid diam menyikapi
pendapat hukum yang telah beredar, berarti ia membenarkan dan
menyetujuinya. (b) Mustahil akan dapat mendeteksi keberadaan dan
pendapat seluruh mujtahid yang tersebar di berbagai daerah.
Padahal, Allah swt. tidak pernah mempersulit hamba-Nya. (c) Pada
galibnya yang berfatwa yaitu para tokoh ulama besar saja,
sedangkan ulama yang lain menerima dan mengikuti pendapat
tokoh ulama besar tesebut. Artinya, diam itu merupakan persetujuan
secara tidak langsung. berdasar alasan ini pula, maka ijmak
mayoritas juga sah. (d)
Para ulama telah sepakat bahwa dalam masalah teologi ijmak
suku>ti> dianggap sah, maka dapat dianalogikan bahwa dalam
masalah fiqh pun seharusnya demikian.
Sebagian ulama Syafi’iyah , sebagian ulama M alikiyah, dan al-
Baqill ani berpendapat bahwa ijmak sukuti bukan ijmak dan bukan
hujah. Para ulama yang menolak kehujahan ijmak sukuti ini
mengemukakan beberapa alasan, yaitu:
a. Bahwasanya dalam teori ijmak disyaratkan adanya kejelasa n dan
kepastian pendapat seluruh mujtahid tentang suatu masalah dan
semuanya menyepakatinya. Oleh karena itu, bila ada
sebagian ulama yang tidak sependapat atau diam, ijmaknya tidak
sah. Sebab, diamnya seseorang mengandung keraguan.
Kemungkinan orang di am itu setuju, atau dia belum berijtihad
tentang kasus ini , atau telah berijtihad tetapi belum
menghsilkan kesimpulan apapun, atau bisa jadi telah
menghasilkan keputusan hukum yang berbeda dengan hukum
yang telah diputuskan ulama lain tetapi takut akan
menyampaikannya kepada publik, dan lain sebagainya. Dalam
konteks inilah al-Syafi’i menyatakan:
ٌلْمَوق ٍَ ِما ََ َلَِإ ُبَسَْووُووْ َلَ.121
b. ada beberapa atsar sahabat yang mengindikasikan bahwa
diamnya sahabat itu tidak berarti setuju. Sebagai contoh ialah
kisah Umar yang bermusyawarah dengan para sahabat tentang
sisa hartanya yang diperoleh dari rampsan perang. Umar
mengisyaratkan akan menunda pembagian harta ini dan
menahannya sambil menunggu waktu yang tepat. Ali bin Abi
Thalib terlihat diam saja sehingga Umar bertanya, “Bagaimana
pendapatmu, Ali?” Kemudian Ali menjawab, “Kami tidak
bermaksud akan membuat keyakinanmu berubah menjadi ragu
dan ilmumu menjadi hilang. Saya berpendapat Engkau
membagikan harta ini kepada kaum Muslimin (sekarang
juga).” Seraya Ali membaca -kan sebuah hadis tentang pembagian
sisa harta rampasan.
c. Menerima kehujahan ijmak berarti menerima kehujahan ijmak
mayoritas ulama. Padahal, ijmak mayoritas ulama tidak sah dan
tidak dapat dijadikan hujah.
Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pembatalan ijmak
(naskh a l- ijma ‘ ), menurut teori klasik, setiap peraturan yang
ditetapkan melalui ijmak, tidak dapat dibatalkan ijmak yang muncul
sedudahnya. Adapun al-Bazdawi menyata -kan bahwa ijmak dapat
sebagian ulama yang tidak sependapat atau diam, ijmaknya tidak
sah. Sebab, diamnya seseorang mengandung keraguan.
Kemungkinan orang di am itu setuju, atau dia belum berijtihad
tentang kasus ini , atau telah berijtihad tetapi belum
menghsilkan kesimpulan apapun, atau bisa jadi telah
menghasilkan keputusan hukum yang berbeda dengan hukum
yang telah diputuskan ulama lain tetapi takut akan
menyampaikannya kepada publik, dan lain sebagainya. Dalam
konteks inilah al-Syafi’i menyatakan:
ٌلْمَوق ٍَ ِما ََ َلَِإ ُبَسَْووُووْ َلَ.121
b. ada beberapa atsar sahabat yang mengindikasikan bahwa
diamnya sahabat itu tidak berarti setuju. Sebagai contoh ialah
kisah Umar yang bermusyawarah dengan para sahabat tentang
sisa hartanya yang diperoleh dari rampsan perang. Umar
mengisyaratkan akan menunda pembagian harta ini dan
menahannya sambil menunggu waktu yang tepat. Ali bin Abi
Thalib terlihat diam saja sehingga Umar bertanya, “Bagaimana
pendapatmu, Ali?” Kemudian Ali menjawab, “Kami tidak
bermaksud akan membuat keyakinanmu berubah menjadi ragu
dan ilmumu menjadi hilang. Saya berpendapat Engkau
membagikan harta ini kepada kaum Muslimin (sekarang
juga).” Seraya Ali membaca -kan sebuah hadis tentang pembagian
sisa harta rampasan.
c. Menerima kehujahan ijmak berarti menerima kehujahan ijmak
mayoritas ulama. Padahal, ijmak mayoritas ulama tidak sah dan
tidak dapat dijadikan hujah.
Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pembatalan ijmak
(naskh a l- ijma ‘ ), menurut teori klasik, setiap peraturan yang
ditetapkan melalui ijmak, tidak dapat dibatalkan ijmak yang muncul
sedudahnya. Adapun al-Bazdawi menyata -kan bahwa ijmak dapat
dibatalkan oleh ijmak sesudahnya dalam generasi yang sama atau
dalam generasi selanjutnya. Suatu peraturan yang ditetapkan
melalui ijmak yang terdahulu dapat dibatalkan oleh ijmak sama
bentuknya yang muncul kemudian dalam generasi yang sama atau
dalam generasi yang berbeda. Suatu ijmak yang qath‘i bisa
dibatalkan oleh ijmak yang qath‘i pula dan tidak oleh ijmak yang
zhanni .
Al-Bazdawi menyatakan bahwa ketentuan -ketentuan yang
dibuat melalui ijtihad dan ijmak bisa dibatalkan seiring berlalunya
waktu penetapan ijmak dan ijmak bisa terjadi setiap saat. Para ulama
dari generasi berikutnya mungkin akan mengemukakan
argumentasi, dengan segala kemungkinan, atas dasar suatu hujah
yang lebih baik daripada para ulama dari generasi sebelumnya. Ijmak
ini mungkin akan bertentangan dengan ijmak sebelumnya. Ijmak
yang muncul belakangan mengenai masalah yang sama akan
berperan sebagai suatu tanda berakhirnya masa berlaku peraturan
sebelumnya yang didasarkan atas ijmak.
Menurut Al -Bazdawi, masa berlakunya suatu peraturan hukum
akan berakhir bila kepentingan dan manfaat ( mashlahah ) yang
dikandungnya sudah tidak ditemukan lagi, dan ulama generasi
berikutnya bisa saja menyepakati suatu peraturan hukum yang
bertentangan dengan peraturan hukum sebelumnya. Kesepakatan
ulama atas peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan
hukum sebelumnya menunjukkan bahwa peraturan ini telah
berubah sejalan dengan berubahnya kepentingan dan manfaat yang
dirasakan oleh warga dan bahwa masa berlakunya peraturan
hukum sebelumnya telah berakhir.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat
yang kuat, kualifikasi ijmak yang menjadi objek kajian yang
sebenarnya dalam yaitu zhanni .
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa yaitu mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.127 Sebagai contoh yaitu
mengukur kain atau pakaian dengan meteran. Sedangkan pengertian
secara istilah menurut ulama ushul fiqh, qiyas yaitu :
ْـٌـلـُح شـِـػ ٠ك خٔـٜـًحشـظـشلْشـخآ ّٞـِـؼـٓ ٠ك ِّٞـؼـٓ ْـٌـك َـؼـٓ صخزـػا
128
Artinya : menyamakan hukum suatu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada hukum kejadian lain yang ada nashnya
lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu pada
illat atau alasan hukumnya.
Sebagai contoh, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya
haram berdasar QS Al-Maidah : 90 dengan illat hukumnya yaitu
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang ada illat
memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.
a. Rukun- Rukun Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut :
1) Al - Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya ada dalam nash.
Rukun ini biasanya disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai
ukuran).
2) Al - far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak ada di
dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al- ashl, biasa
disebut juga al maqis (yang
diukur).
3) Hukm al - ashl; yaitu hukum syarak yang ada nashnya
menurut al- ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al- far’ .
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa yaitu mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.127 Sebagai contoh yaitu
mengukur kain atau pakaian dengan meteran. Sedangkan pengertian
secara istilah menurut ulama ushul fiqh, qiyas yaitu :
ْـٌـلـُح شـِـػ ٠ك خٔـٜـًحشـظـشلْشـخآ ّٞـِـؼـٓ ٠ك ِّٞـؼـٓ ْـٌـك َـؼـٓ صخزـػا
128
Artinya : menyamakan hukum suatu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada hukum kejadian lain yang ada nashnya
lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu pada
illat atau alasan hukumnya.
Sebagai contoh, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya
haram berdasar QS Al-Maidah : 90 dengan illat hukumnya yaitu
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang ada illat
memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.
a. Rukun- Rukun Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut :
1) Al - Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya ada dalam nash.
Rukun ini biasanya disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai
ukuran).
2) Al - far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak ada di
dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al- ashl, biasa
disebut juga al maqis (yang
diukur).
3) Hukm al - ashl; yaitu hukum syarak yang ada nashnya
menurut al- ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al- far’ .
4) Shifat atau ‘illat ; yaitu keadaan tertentu yang dipakai dasar
bagi hukum ashl, kemudian al- far’ itu disamakan kepada ashl
dalam hal hukumnya.
b. Qiyas sebagai sandaran Ijmak
Para ulama berbeda pendapat apakah qiyas dapat dijadikan
sandaran ijmak. Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa
qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijmak sebab ijmak itu qath’i ,
sedangkan dalil qiyas yaitu zhanni . Menurut kaidah, yang qath’i itu
tidak sah didasarkan pada yang zhanni . Pada ulama yang
menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijmak beragumen
bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama,
juga dikarenakan qiyas itu termasuk salah satu dalil syarak maka sah
dijadikan sandaran ijmak.
Dalam sering dikemukan pembahasan tentang
dalil-dalil hukum syarak yang tidak sepakati oleh para ulama.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa dalil-
dalil hukum yang disepakati para ulama meliputi Alquran, Sunah,
Ijmak dan Qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati
meliputi Isthisan, istish - hsab, ‘urf , mashlahah mursalah, syar’u man
qablana, Saddudzdzari’ah dan mazhab Sahabat. S ebagai umat Islam
kita harus mengetahui dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, untuk
membekali diri dalam menetapkan sebuah hukum, apakah dalam
kehidupan sehari-hari merujuk kepada dalil-dalil ini atau
tidak. Artinya, kita harus menghindarkan diri jangan sampai ada
keraguan mengenai suatu hukum.
berdasar sudut pandang kesepakatan ulama, klasifikasi
sumber hukum fiqh dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sumber hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dalam
hal ini yaitu Alquran dan Sunah.
2. Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama,
yang menempati kedudukan ini selain Alquran dan Sunah, yaitu
ijmak dan qiyas.
3. Sumber hukum yang menjadi perdepatan para ulama. Yang
menempati kedudukan ini yaitu ‘urf (kebiasaan), istish- hab
(pemberian hukum berdasar keberadaannya pada masa
lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu), mashlahah
Dalam sering dikemukan pembahasan tentang
dalil-dalil hukum syarak yang tidak sepakati oleh para ulama.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa dalil-
dalil hukum yang disepakati para ulama meliputi Alquran, Sunah,
Ijmak dan Qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati
meliputi Isthisan, istish - hsab, ‘urf , mashlahah mursalah, syar’u man
qablana, Saddudzdzari’ah dan mazhab Sahabat. S ebagai umat Islam
kita harus mengetahui dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, untuk
membekali diri dalam menetapkan sebuah hukum, apakah dalam
kehidupan sehari-hari merujuk kepada dalil-dalil ini atau
tidak. Artinya, kita harus menghindarkan diri jangan sampai ada
keraguan mengenai suatu hukum.
berdasar sudut pandang kesepakatan ulama, klasifikasi
sumber hukum fiqh dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sumber hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dalam
hal ini yaitu Alquran dan Sunah.
2. Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama,
yang menempati kedudukan ini selain Alquran dan Sunah, yaitu
ijmak dan qiyas.
3. Sumber hukum yang menjadi perdepatan para ulama. Yang
menempati kedudukan ini yaitu ‘urf (kebiasaan), istish- hab
(pemberian hukum berdasar keberadaannya pada masa
lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu), mashlahah
mursalah (penetapan hukum berdasar prinsip kemaslahtan
bersama).
Berikut akan diuraikan d alil-dalil hukum syarak yang
diperselisihkan oleh para ulama.
1. Istihsan
Istihsan ini telah menjadi perdebatan serius di antara ulama
ushul fiqh. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap sesuatu itu
baik, sedangkan menurut istilah isitihsan yaitu berpalingnya
seorang mujtahid dari pemakaian qiyas yang jaly (nyata) kepada
qiyas yang khafy (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang menurut logika
membenarkannya.131 Menurut ahli ushul fiqh yang lain, istihsan
yaitu satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang mujtahid yang
menetapkan kerajihan qiyas khafy dari pada qiyas jaly, atau
mendahulukan ketentuan hukum yang khusus (juz’y ) dari ketentuan
umum (kully )”. Dengan demikian istihsan ialah berpaling dari
qiyas khafi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena
ada dalil yang lebih kuat.
Bentuk -bentuk istihsan berdasar dalil-dalil yang
mendukungnya, dapat dibedakan menjadi 6 (enam), yaitu istihsan
dengan nash, dengan ijmak, dengan dharurah, dengan qiyas khafi ,
dengan ‘urf atau dengan mashlahah .
a. Istihsan bil qiyas al khafi; ialah pencetusan hukum melalui
perenungan dan penelitian yang mendalam, atas sebuah kasus
atau peristiwa yang memiliki dua dalil , yakni berupa qiyas jali
dan qiyas khafi , dan masing-masing dalil ini memiliki
konsekuensi hukum sendiri.
b. Istihsan bin nash ; ial ah diperbolehkannya pelanggaran atas
hukum yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi
kaidah umum, karena secara spesifik ada nash dari Alquran
atau Sunah yang memperbolehkannya hal ini .
c. Istihsan bil ijma’; ialah fatwa para mujtahid tentang suatu
hukum dalam permasalahan kontemporer yang menyalahi
aturan-aturan universal yang telah menjadi kaidah umum
karena sebuah kebiasaan.
d. Istihsan bi al - dharurah; ialah pengecualian atas hukum yamg
telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan gerjadi jika hukum
atau ketetapan ini diunakan.
e. I stihsan bi al- mas hlahah; ialah hukum yang bertentangan
dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk
kepentingan dan keselamatan bersama
f. Istihsan bi al - ‘urf; ialah berpindahnya suatu hukum atau kaidah
umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang
berlaku.
Sebagai contoh istihsan ialah, bahwa secara prinsip hokum
sysarak melarang mengadakan perikatan dan memperjualbelikan
barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi
kemudian syarak memberikan rukhshah, diperkenankan
menjalankan salam, yaitu jual beli dengan cara pembayaran terlebih
dahulu (DP), sedangkan barangnya dikirim kemudian. Demikian pula
hokum syarak memperbolehkan istishna’, yakni memesan untuk
dibuatkan sesuatu atau jeal beli indent.
2. Ist ish- hab
Pengertian istish- hab menurut bahasa ialah membawa atau
menemani. Al-Asnawy (w. 772H) berpendapat bahwa pengertian
istish- hab yaitu penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu
perkara di masa berikutnya atas dasar bahwa hukum itu telah
berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan atas hukum ini . Atau
menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga hukumyang baru
merubahnya.
kaidah umum, karena secara spesifik ada nash dari Alquran
atau Sunah yang memperbolehkannya hal ini .
c. Istihsan bil ijma’; ialah fatwa para mujtahid tentang suatu
hukum dalam permasalahan kontemporer yang menyalahi
aturan-aturan universal yang telah menjadi kaidah umum
karena sebuah kebiasaan.
d. Istihsan bi al - dharurah; ialah pengecualian atas hukum yamg
telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan gerjadi jika hukum
atau ketetapan ini diunakan.
e. I stihsan bi al- mas hlahah; ialah hukum yang bertentangan
dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk
kepentingan dan keselamatan bersama
f. Istihsan bi al - ‘urf; ialah berpindahnya suatu hukum atau kaidah
umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang
berlaku.
Sebagai contoh istihsan ialah, bahwa secara prinsip hokum
sysarak melarang mengadakan perikatan dan memperjualbelikan
barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi
kemudian syarak memberikan rukhshah, diperkenankan
menjalankan salam, yaitu jual beli dengan cara pembayaran terlebih
dahulu (DP), sedangkan barangnya dikirim kemudian. Demikian pula
hokum syarak memperbolehkan istishna’, yakni memesan untuk
dibuatkan sesuatu atau jeal beli indent.
2. Ist ish- hab
Pengertian istish- hab menurut bahasa ialah membawa atau
menemani. Al-Asnawy (w. 772H) berpendapat bahwa pengertian
istish- hab yaitu penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu
perkara di masa berikutnya atas dasar bahwa hukum itu telah
berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan atas hukum ini . Atau
menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga hukumyang baru
merubahnya.
Dari definisi di atas melahirkan suatu kaidah :
َٕ خ ًَ خ َٓ ٠ََِػ َٕ خ ًَ خ َٓ ُءَخوَـر َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hukum sesuatu yaitu tetap berlakunya
hukum yang telah ada sebelumnya.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad,
istishhab termasuk dalil atau acuan yang terakhir bagi seorang
mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Alquran, Sunah,
ijmak atau qiyas. Al-Syaukani misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan istishhab yaitu menetapkan atau
memberlakukan hukum yang telah ada, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya.
Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia
harus mencari hukumnya dalam Alquran, kemudian al-Sunah, lalu
ijmak, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana),
maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘mena rik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ ( istishhab al - hal).
Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
yaitu bahwa hukum itu tetap berlaku.
a. Jenis -jenis Istish - hab :
Para ulama menyebutkan beberapa jenis istishhab ini dan
berikut ini akan
disebutkan yang terpenting di antaranya, yaitu:
1) Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil
lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat
dan haram jika ia membawa mudharat dengan perbedaan
pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya,
yaitu apakah hukum asal sesuatu itu yaitu mubah atau
haram. Salah satu contohnya yaitu jenis makanan dan
minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan
hukumnya dalam Alquran dan Sunah, atau dalil lainnya
seperti ijmak dan qiyas.
2) Istishhab al - bara’ah al- ashliyah, atau bahwa hukum asalnya
seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu.
3) Isti shhab hukum yang ditetapkan oleh ijmak pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
b. Kehujahan Ist ish- hab
Istish - hab pada dasarnya bukanlah untuk menetapkan suatu
hkum yang barumelainkan untuk melanjutkan berlakunya hokum
yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, istish- hab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang
mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli
berpendapat bahwa sesungguhnya istishhab merupakan jalan
terakhir rujukan fatwa. Ia yaitu pemberlakuan hukum atas sesuatu
dengan hukum yang telah ada sebelumnya, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya.
Sebagai contoh yaitu status hukum oang yang mafqud , yakni
orang yang bepergian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada
kabar dan berita, tanpa diketahui rimbanya. Dengan memakai
dalil istish- hab , maka si mafqud harus dianggap masih hidup,
memberlakukan hukum yang telah ada, di mana sewaktu pergi si
mafqud masih hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada bukti yang
sah dan meyakinkan tentang meninggalnya si mafqud ini .
Ketetapan hokum yang demikian semata -mata untuk menolak
status kematiannya dengan segala konsekuensi hukum yang
menyertainya, seperti membagi waris harta benda miliknya, diputus
perjanjian sewa menyewanya atau diputus cerai isterinya.
hukumnya dalam Alquran dan Sunah, atau dalil lainnya
seperti ijmak dan qiyas.
2) Istishhab al - bara’ah al- ashliyah, atau bahwa hukum asalnya
seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu.
3) Isti shhab hukum yang ditetapkan oleh ijmak pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
b. Kehujahan Ist ish- hab
Istish - hab pada dasarnya bukanlah untuk menetapkan suatu
hkum yang barumelainkan untuk melanjutkan berlakunya hokum
yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, istish- hab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang
mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli
berpendapat bahwa sesungguhnya istishhab merupakan jalan
terakhir rujukan fatwa. Ia yaitu pemberlakuan hukum atas sesuatu
dengan hukum yang telah ada sebelumnya, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya.
Sebagai contoh yaitu status hukum oang yang mafqud , yakni
orang yang bepergian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada
kabar dan berita, tanpa diketahui rimbanya. Dengan memakai
dalil istish- hab , maka si mafqud harus dianggap masih hidup,
memberlakukan hukum yang telah ada, di mana sewaktu pergi si
mafqud masih hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada bukti yang
sah dan meyakinkan tentang meninggalnya si mafqud ini .
Ketetapan hokum yang demikian semata -mata untuk menolak
status kematiannya dengan segala konsekuensi hukum yang
menyertainya, seperti membagi waris harta benda miliknya, diputus
perjanjian sewa menyewanya atau diputus cerai isterinya.
3.‘ Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai
dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan
diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut ulama ushul
fiqh, ‘urf yaitu sesuatu yang yang telah dibiasakan oleh manusia,
secara terus menerus dikerjakan dalam jangka waktu yang lama,
atau ada perkataan atau istilah yang disepakati memiliki pengertian
khusus dan tidak terdengar asing bagi mereka.139
Ditinjau dari bentuknya ada 2 ( dua) macam :
a. Al - ‘u rf al- q aliyah; yaitu kebiasaan yang berupa perkataan,
seperti kata lahm (daging) dalam hal ini tidak termasuk daging
ikan;
b. Al - ‘u rf al- fi’ly ; yaitu kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti
perbuatan jual beli dalam warga tanpa mengucapkan akad
jual-beli.140
Adapun syarat-syarat ‘ urf agar dapat diterima sebagai hukum
Islam yaitu meliputi :
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam
Alquran atau Sunah.
b. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at
termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau
kesempitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan
beberapa orang saja.
Selanjutnya berkenaan dengan status atau kualitas ‘urf di mata
syarak, ada 2 (dua) macam yaitu ‘urf shahih (benar) dan ‘urf fasid
(rusak).142
a. ‘urf shahih ; ‘urf shahih yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syarak, tidak
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
Sebagai contoh yaitu bentuk perdagangan dengan cara indent
atau pesan sebelumnya, model pembayaran mahar dengan cara
kontan atau terhutang, kebiasaan pemberian hadiah oleh
mempelai pria kepada mempelai wanita di luar mahar, dan lain
sebagainya.
b. ‘urf fasid ; yaitu adat kebiasaan orang-orang yang bertentangan
dengan ketentuan syarak. Sebagai contoh ialah kebia