Tampilkan postingan dengan label pendidikan islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan islam. Tampilkan semua postingan
pendidikan islam
By tuna at Januari 24, 2024
pendidikan islam
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tidak terlepas dari peran umat Islam,
khususnya dalam perjuangan mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia.
Melalui bidang pendidikan, para tokoh-tokoh Islam menetapkan pendidikan
Islam untuk memperkuat pondasi agama dan bagi rakyat untuk melawan
sistem pendidikan yang dibawa oleh penjajah Belanda. Sistem pendidikan Islam
menjadi satu-satunya pendidikan formal yang memiliki sistem dan pengelolaan
tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda.
Peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat dan keras
terhadap aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, tidak
membuat pendidikan Islam menjadi lumpuh dan porak poranda. Sebaliknya,
jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik, di mana para ulama dan kyai
bersikap non cooperative dengan Belanda dan mereka pun menyingkir dari
tempat yang dekat dengan Belanda. Tekanan yang serupa dialami sistem
pendidikan Islam di jaman pendidikan Jepang. Di mana pemerintah Jepang
mewajibkan guru untuk belajar bahasa Jepang dan mewajibkan hormat kepada
Tenno (Kaisar). Kekuatan prinsip para ulama tokoh pendidik Islam telah
menunjukkan kemampuan pendidikan Islam bertahan sesuai dengan prinsip
Islam, tanpa pengaruh dari kekuatan manapun yang sedang berkuasa.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari umat
Islam, termasuk dalam perjuangan mengusir penjajah. Umat Islam sebagai
umat yang mayoritas dalam negeri ini tentunya mempunyai tanggungjawab
moral untuk menata dan membangun negeri ini. Dalam bidang pendidikan
para tokoh-tokoh Islam menetapkan fondasi pendidikan Islam yang di masa
penjajahan tidak terakomodir oleh pemerintah penjajah. Pendidikan Islam
tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran terutama sekolah-sekolah yang
dibangun oleh pemerintah penjajah. Karena itu para tokoh Islam mendirikan
sekolah dan menampung orang-orang Islam untuk diberikan pendidikan
Agama Islam ,
Sebelum Belanda datang ke Indonesia dengan memperkenalkan
sekolah-sekolah dan sistem modern sebagaimana berkembang di Barat,
Indonesia sudah mempunyai sistem pendidikan formal yaitu sistem
pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam selaku satu-satunya pendidikan
formal yang ada pada masa itu memiliki sistem dan pengelolaan tersendiri
yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda ,
Pendidikan di Indonesia selama penjajahan Belanda dapat
dikelompokkan kedalam dua priode, yaitu periode VOC (Vereenigde Oost-
indische Compagnie) dan priode pemerintah Hindia Belanda
(NederlandsIndie). Pada periode VOC, pendidikan di Indonesia didasarkan
pada prinsip bisnis yaitu berdasarkan untung rugi dalam hukum-hukum
ekonomi. VOC tidak segan-segan untuk berperang bila ada yang menghalagi
tujuan mareka. Ini bisa perhatikan dari hak aktroinya yang terdapat dalam
suatu pasal yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila
perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan agama Kristen dengan
mendirikan sekolah (Arif Subhan, 2012:45). Hal ini menyebabkan
terpecahnya pendidikan yang ada di Indonesia. Di satu pihak adanya
pendidikan dengan sistem pesantren dengan orientasi agama saja. Di pihak
yang lain adanya pendidikan dengan sistem barat dengan orientasi sekuler
yang tidak mempedulikan agama.
Pecahnya sistem pendidikan di Indonesia tentu tidak menguntungkan
bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Di satu sisi diperlukan
pemahaman untuk mengetahui perkembangan dunia luar dengan metode
dan teknologi yang dikembangkan oleh barat. Di sisi lain juga dibutuhkan
pemahaman keagamaan sebagaimana telah ditanamkan sebelum VOC datang
ke Indonesia. Untuk memadukan dua sistem ini kemudian muncul madrasah-
madrasah yang berkelas, memakai bangku dan meja yang dipelopori oleh
para pembaharuan di Indonesia.
Setelah Belanda ditaklukkan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8
Maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari Indonesia semenjak itu mulailah
penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia,
bangsa Jepang bercita-cita besar menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Sejak
tahun 1940 Jepang berencana untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia
Raya. Dalam rencana tersebur Jepang menginginkan menjadi pusat suatu
lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah mansyuria, daratan Cina,
kepulauam Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand.
Oleh karena itu rencana “kemakmuran bersama Asia Raya” dianggap
sebagai suatu keharusan. Dengan semboyan “Asia untuk bangsa Asia” Jepang
menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa yang antara
lain menghasilkan 50% poduksi karet dan 70% timah dunia. Indonesia yang
kaya sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan
dimanfa’atkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Sehingga
Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber
bahan-bahan mentah yang kaya raya dan tenaga manusia yang banyak
tersebut sangat besar artinya demi kelangsungan perang pasifik, dan hal ini
sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya
Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Pemerintah Belanda mulai menjajah di Indonesia pada tahun 1619 M,
yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan
Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayidin
Panotogomo. Menurut Zuhairini, (2011:146), pada zaman Sultan ini,
hitungan tahun Saka diasimilasikan dengan tahun Hijriyah yang berlaku di
seluruh negara.
Sejak zaman VOC, terutama ketika Van den Bosh menjadi Gubernur
Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-
sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah
Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan
satu dan di tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat
membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati
tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah
untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”
Jiwa dari surat edaran di atas menggambarkan tujuan daripada
didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang
ada di pondok-pondok pesantren, masjid, mushalla, dan lainnya dianggap
tidak membantu pemerintah Belanda. Bahkan, para santri pondok masih
dianggap buta huruf latin. Dengan demikian para santri tidak bisa memahami
undang-undang yang telah dibuat.
Menurut Samsul Nizar (2008:307-308) politik yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen
dan rasa kolonialismenya. Dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan
kebijakan sebagai berikut:
a) Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang disebut “Priesterraden.” Atas nasihat dari badan inilah maka pada
tahun 1905 M pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya
bahwa orang yang memberikan pengajaran (baca: pengajian) harus minta
izin terlebih dahulu.
b) Kemudian pada tahun 1925 M pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan Islam, yaitu bahwa
tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pengajaran. Peraturan ini
diberlakukan karena adanya gerakan organisasi pendidikan yang sudah
tampak tumbuh, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat
Islam (PSI), Al-Irsyad, dan lain-lain.
c) Pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak diberikan izin untuk
memberikan pengajaran atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan
Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 M, yaitu berupa Sumpah
Pemuda.
Jika dicermati peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang
demikian ketat dan keras mengenai pengawasan, tekanan dan
pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia,
maka seolah-olah dalam waktu yang tidak lama pendidikan Islam di
Indonesia akan menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan tetapi, apa yang
disaksikan sejarah adalah kenyataan sebaliknya. Jiwa Islam tetap terpelihara
dengan baik. Para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda
dan mereka pun menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan
bumiputera, karena yang memasuki pendidikan Islam seluruhnya orang
pribumi Indonesia. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga
macam, yaitu:
1) Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam; Sistem ini merupakan sistem
pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu
dengan Islam. Sistem ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi
murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para
bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para murid
mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak
lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga
termasuk rakyat jelata.
2) Sistem pendidikan surau (langgar)
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas,
murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya
tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk
memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. Dalam proses
pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada
hanya kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai
metode ceramah, membaca dan menghafal. Materi pembelajaran yang
diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai
dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi
pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa
catatan penting di sisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan
buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal
dengan istilah halaqoh.
3. Sistem Pendidikan Pesantren
Metode yang digunakan adalah metode sorogan, atau layanan individual
yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang
santri yang masih dalam tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri
yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri
menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan
beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai
santri benar-benar membaca dengan baik. Bagi santri yang telah
menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif ialah metode
mengajar dengan sistem ceramah. Dalam metode ini kyai biasanya
membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang
sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan kyai sambil
membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Metode Musyawarah
Adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap
masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri
ditingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu
santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah
ditentukan kiyainya. Kiyai harus menyerahkan dan memberi bimbingan
seperlunya.
Kurikulum Pesantren Menurut Karel A Steenbrink (1984:39)
semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren
sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar
pendidikan dari Belanda. Berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia
mengkomplikasi kitab kuning meliputi kitab-kitab fikih, baik fikih secara
umum maupun fikih ibadah, tata bahasa Arab, ushuludin, tasawuf dan tafsir.
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, Karel A. Steenbrink
menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai di pesantren hampir
semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. Pada umumnya
pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun
mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak diabaikan sama
sekali. Dalam hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat,
pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. Pengajaran bahasa Arab
adalah ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa
Arab tersebut terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi
santri untuk melakukan pengajian kitab dengan begitu, santri harus memiliki
pengetahuan bahasa Arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang
sebenarnya dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah
pengajian fikih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih
tersebut ditulis dalam bahasa Arab.
Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti
peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi
pendidikan di luar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah
semakin hati-hati terhadap sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam
yang menjadi sumber kekhawatiran pemerintah tersebut agaknya tidak
terbatas adanya institiusi pendidikannya saja.
Lebih jauh dari itu, mereka memandang kemungkinan pendidikan
Islam tersebut memengaruhi sekolah-sekolah swasta lainnya. Adanya latar
belakang tersebut pemerintah Belanda merubah sikapnya dalam menghadapi
kemungkinan buruk yang bakal timbul dari peningkatan jumlah madrasah
dan sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan pencagahan, dikeluarkan
ordonansi tanggal 28 Maret 1932 Lembaran Negara no 136 dan 260 isinya
berupa pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah
swasta.Sistem ini tidak memberi keuntungan bagi perkembangan institusi
pendidikan Islam. Bahkan dalam ordonansi yang dikeluarkan tahun 1932,
dinyatakan bahwa semua sekolah yang tidak dibangun pemerintah atau tidak
memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dahulu,
sebelum sekolah itu didirikan. Dengan kebijakan ini pemerintah kolonial
Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam terlebih
di Minangkabau. Hal ini karena umat Islam Minangkabau melihat adanya
“sesuatu” yang akan merugikan Agama Islam jika kebijakan ini dilaksanakan.
Atas reaksi yang sedemikian besar, akhirnya pemerintahan Belanda melalui
Gubernur Jendralnya memberi jawaban bahwa ordonansi guru di
Minangkabau belum ada niat kapan untuk dilaksanakan. Lambat laun
kebijakan ordonansi guru tidak jalan dan akhirnya kebijakan ini di batalkan
dan hilang dari peredaran. Walaupun sebelum keputusan ini di buat
sesungguhnya Belanda telah berusaha membujuk beberapa tokoh Islam
Minangkabau untuk mendukung pelaksanaan ordonansi ini, namum mereka
tidak berhasil.
Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah berhasil mengusir pemerintah
Hindia Belanda dalam Perang Dunia II. Meraka menguasai Indonesia pada
tahun 1942, dengan membawa semboyan: “Asia Timur Raya untuk Asia.”
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri
seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat
untuk kepentingan Perang Dunia II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia
mereka menempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain:
1) KUA (Kantor Urusan Agama) yang pada zaman Belanda disebut Voor
Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda,
diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama
Islam sendiri yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur.
2) Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat kunjunan dan bantuan
dari pembesar Jepang.
3) Pemerintah Jepang mengizinkan pembentuka barisan Hisbullah untuk
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
4) Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan
Mohammad Hatta.
5) Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis
diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA).
6) Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Maksud dari pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan
membela kepentingan Islam tidak lain hanyalah upaya Jepang menyusun
kekuatan dari umat Islam dan nasionalis Indonesia agar dapat dibina demi
kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Dunia
pendidikan yang seharusnya dikembangkan tetapi secara umum
terbengkalai. Para siswa di sekolah tiap harinya hanya disuruh gerak badan,
baris-berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya.
Mereka tidak mendapatkan pengajaran yang layak sebagaimana mestinya
Adapun tujuan pendidikan masa penjajahan Jepang secara garis besar
meliputi 2 hal pokok, yaitu untuk mempertebal akan keyakinan Islam itu
sendiri dan mempertahankan hak-hak manusia dengan jalan politik atau
perlawanan perang.
Tujuan pendidikan yang dicantumkan pada pendidikan Islam ketika
zaman penjajahan Jepang antara lain:
1) Asas tujuan Muhammadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenarnya dan asas perjuangannya dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi
munkar.
2) I.N.S (Indonesische Nederlanshe School) dipelopori oleh Muhammad
Syafi’I pada tahun 1899-1969, yang bertujuan mendidik anak agar
berpikir rasional, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan membentuk
manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan.
3) Tujuan Nahdlatul Ulama, sebelum menjadi partai politik, memegang teguh
empat mahzab, di samping mengerjakan apa-apa yang menjadi
kemaslahatan umat Islam itu sendiri. mengatakan bahwa, sikap penjajah Jepang
terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak
pendidikan lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan Islam untuk
berkembang:
1) Pada masa awal pendudukan Jepang, madrasah berkembang dengan cepat
terutama dari segi kuantitas. Hal ini dapat dilihat terutama di daerah
Sumatra yang terkenal dengan madrasahnya, yang diilhami oleh majlis
ulama tinggi.
2) Pendidikan agama di sekolah Sekolah negeri diisi dengan pelajaran budi
pekerti. Hal ini memberi kesempatan pada guru agama Islam untuk
mengisinya dengan ajaran agama, dan di dalam pendidikan agama
tersebut juga di masukan ajaran tentang jihad melawan penjajah
3) Perguruan tinggi Islam Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya
sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH.
Muzakkar, dan Bung Hatta. Walaupun Jepang berusaha mendekati umat
Islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan dalam
mengembangkan pendidikan namun para ulama tidak akan tunduk
kepada pemerintahan Jepang, apabila mereka menggangu akidah umat hal
ini kita dapat saksikan bagaimana masa Jepang ini perjuangan KH. Hasyim
Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang
memerintahkan untuk melakukan seikere (menghormati kaisar jepang
yang dianggap keturunan dewa matahari).
Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang
selama 8 bulan. Ramayulis juga menyimpulkan bahwa, meskipun dunia
pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya sekolah
setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris-berbaris, kerja bakti, bernyanyi
dan sebagainya. Yang agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang ada
di dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengwasan langsung
pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih
dapat berjalan secara wajar.
Ada satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan yang
diterapkan Jepang yakni penerapan sistem pendidikan militer. Sistem
pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa
memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan harus mampu
menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya,
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai
pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru
wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan oleh pemerintah
Jepang. Dengan demikian sistem pendidikan yang diterapkan Jepang di
Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan sistem
pendidikan yang diterapkan Belanda yakni pendidikan masa penjajahan
Belanda bersifat lebih liberal namun terbatas untuk kalangan tertentu saja,
sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak ada tetapi terjadi
penurunan kualitas secara drastis baik dari sisi keilmuan maupun mutu
murid dan guru. Kondisi ini tidak terlepas dari target pemerintah Jepang
melalui pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan
mempelopori dan mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur
Raya yang diimpi-impikan Jepang. Satu hal yang menarik untuk dicermati
adalah adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar
masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno
(Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari (Omiterasi
Omikami). Sistem penghormatan kepada Kaisar dengan cara
membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei.
Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu
kebangsaan Jepang (kimigayo). Tidak semua rakyat Indonesia dapat
menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan
Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan
KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa
Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna ,
Dari uraian makalah di atas, dapat dipahami intisari dari pendidikan
Islam masa pendudukan Belanda dan Jepang, bahwa Pendidikan pada Islam
masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda sangat
membatasi aktivitas madrasah dan guru yang mengajar di madrasah. Mereka
melakukan itu karena perasaan takut terhadap Umat Islam yang sudah mulai
berkembang.
Sementara pada saat Jepang berkuasa pendidikan Islam sedikit lebih
bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Akan tetapi
Jepang dengan misinya, mewajibkan guru untuk belajar bahasa Jepang dalam
memberikan pelajaran dan mengganti bahasa Belanda menjadi bahasa
Indonesia, termasuk mewajibkan hormat kepada Tenno (Kaisar). Inilah yang
oleh tokoh Islam tidak diterima akhirnya mereka ditangkap.