kecemasan 1

GANGGUAN SEKSUAL
Seksualitas merupakan salah satu ranah yang paling privat dalam kehidupan individu. Setiap 
orang adalah mahluk seksual dengan minat dan fantasi yang dapat mengejutkan atau bahkan 
mengagetkan kita dari waktu ke waktu dimana itu adalah normal. Namun ketika fantasi atau hasrat 
tersebut mulai membahayakan diri dan orang lain maka dapat dikategorikan abnormal. Dalam hal 
seksualitas sendiri terdapat 3 bagian besar yang dikatagorikan sebagai abnormal diantaranya 
gangguan identitas gender, paraphilia, dan disfungsi seksual. 
1. Gangguan identitas gender 
a. Definisi 
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau 
wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 
2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri 
seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Gangguan identitas gender bermula di masa 
kanak-kanak hal itu dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian 
seperti lawan jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, dan melakukan 
permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan lawan jenisnya. Gangguan identitas 
gender pada anak-anak biasanya teramati oleh orang tua ketika si anak berusia antara 2-4 tahun 
(Green & Blanchard, 1995). 
Menurut DSM-IV (2000) definisi gangguan identitas gender yaitu adanya perasaan tidak nyaman 
dengan jenis kelamin yang dimiliki atau adanya perasaan tidak cocok dengan peran gender dari jenis 
kelamin yang dimiliki.Identitas gender biasanya ditemukan sejak awal masa kanak-kanak (18-24 
bulan). Seorang anak bisa saja menyukai aktivitas yang kadang terlihat lebih tepat untuk lawan 
jenisnya, tetapi anak-anak dengan identitas gender yang normal masih melihat dirinya sebagai 
bagian dari seks biologis mereka sendiri. 
b. Karakteristik 
Adapun karakteristik dari orang dengan gangguan identitas gender antara lain: 
1) Merasa bahwa dirinya adalah orang yang bejenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini. 
2) Tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. 
3) Bukti anatomi mereka tidak membuat mereka merasa merasa bahwa mereka adalah orang 
dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka. 4) Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia 
anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja 
dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, 
berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya. 
5) Umumnya bila ada ketertarikan dengan sesama jenisnya dianggap ketertarikan tersebut pada 
dasarnya heteroseksual. 
Adapun kriteria gangguan identitas gender menurut DSM IV TR adalah: 
 Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 
 Pada anak-anak, terdapat 4 atau lebih dari ciri, yaitu: 
1) Berulang kali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah 
lawan jenis 
2) Lebih suka memakai pakaian lawan jenis 
3) Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus menerus berfantasi 
menjadi lawan jenis 
4) Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis 
5) Lebih suka bermain dengan teman-teman lawan jenis 
 Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simton seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, 
berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa 
emosinya adalah tipikal lawan jenis. 
 Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari 
peran gender jenis kelamin tersebut. 
1) Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya; pada laki-laki merasa jijik dengan 
penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai 
permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan 
cara duduk; yakin bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan payudara yang membesar 
dan menstruasi; merasa benci/tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional 
2) Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal di antaranya; keinginan kuat untuk 
menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormone dan/atau operasi; 
c. Penyebab gangguan identitas gender 
1) Faktor Biologis 
Secara spesifik bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon. Sebuah studi 
yang dilakukan di republic Dominika terhadap keluarga para anggota sebuah keluarga batih yang 
dimana para peserta disini tidak mampu memproduksi hormon yang bertanggung jawab atas 
pembentukan penis dan skortum pada masa pertumbuhan janin laki-laki. Mereka yang lahir hanya 
memiliki penis dan skortum yang kecil dn mirip lipatan bibir. Dua pertiganya dibesarkan sebagai 
perempuan, namun ketika mereka memasuki pubertas kadar testosteronnya meningkat sehingga 
penis mereka membesar dan testikelmengecil menjadi skortum. Hasilnya 17 dari 18 peserta 
kemudian memiliki identitas gender laki-laki. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak-anak 
manusia dan primate lain dari ibu yang mengonsumsi hormone seks selama hamil seringkali 
berperilaku seperti lawan jenis dan mengalami abnormalitas. Meskipun anak-anak tersebut tidak 
selalu memiliki identitas gender yang tidak normal, hormon seks yang dikonsumsi oleh sang ibu 
semasa hamil tampaknya memang menimbulkan minat dan prilaku lintas gender dalam tingkat yang 
lebih tinggi dari normal. 
2) Faktor Sosial dan Psikologis 
Dalam beberapa keluarga, ketika anaknya menunjukkan prilaku lintas gender banyak mendapat 
perhatian dan malah mendapat penguatan dari orang tua ataupun kerabatnya. Wawancara dengan 
orang tua yang anaknya menunjukkan tanda-tanda GIG, berulang kali mengatakan bahwa mereka 
tidak pernah mencegah Dan dalam banyak kasus jelas mendorong perilaku memakai pakaian lawan 
jenis pada anak-anak mereka yang tidak normal terutama pada anak laki-laki yang feminim. Reaksi 
yang semacam itu yang yang diberikan anggota keluarga terhadap anak yang tidak normal mungkin 
berkontribusi besar dalam konflik antar jenis kelamin anatomisnya dan identitas gender yang 
dikembangkannya (Green, 1947, 1987; Zuckerman & Green, 1993). Satu factor yang dapat 
berkontribusi terhadap pola perilaku orang tua semacam itu adalah daya tarik si anak. Anak laki-laki 
yang mengalami GIG memiliki tingkat daya tarik yang lebih besar daripada yang tidak, sedangkan 
anak perempuan yang mengalami GIG kurang memiliki daya tarik. Selain itu para pasien laki-laki 
yang mengalami GIG menuturkan bahwa mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah, 
sedangkan para perempuan menuturkan riwayat penyiksaan fisik atau seksual. 
d. Prevensi 
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya GIG pada anak antara lain: 
1) Menyediakan pakaian yang sesuai gender. 
2) Menyediakan mainan yang sesuai gender. 
3) Tidak memberikan reinforcement ketika anak melakukan perilaku lintas gender. 
4) Pada anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya sehingga ada modeling. 
5) Pada anak perempuan didekatkan dengan ibunya sehingga ada modeling. 
e. Terapi Gangguan Identitas Gender 
1) Perubahan Tubuh 
Orang yang mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh umumnya 
diminta untuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai gender yang 
diinginkan (Harry Benjamin Internasional Gender Dysphoria Assosiation, 1998). Terapi umumnya 
tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin dialami orang yang 
bersangkutan, namun juga pada berbagai pilihan yang ada untuk mengubah tubuhnya. Banyak 
transeksual juga mengonsumsi hormone agar tubuh mereka secara fisik lebih mendekati keyakinan 
mereka tentang gender mereka. Banyak yang mengalami gangguan identitas gender tidak 
menggunakan metode yang lebih jauh dari itu, namun beberapa orang mengambil langkah 
tambahan dengan menjalani operasi perubahan kelamin. 
2) Operasi perubahan kelamin 
Operasi perubahan kelamin adalah operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih sama 
dengan kelamin lawan jenis. Dalam operasi perubahan kelamin laki-laki ke perempuan, alat kelamin 
laki-laki hampir seluruhnya di buang dan beberapa jaringan dipertahankan untuk membentuk vagina 
buatan. Minimal setahun sebelum operasi, berbagai hormone perempuan dikonsumsi untuk 
memulai proses perubahan tubuh. Sebagian besar transeksual laki-laki ke perempuan harus 
menjalani elektrolisis yang ekstensif dan mahal untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan tubuh 
dan mendapatkan pelatihan untuk menaikkan nada suara mereka, hingga hormone-hormon 
perempuan yang dikonsumsi membuat bulu-bulu tidak lagi tumbuh dan suaranya menjadi kurang 
maskulin. Operasi kelamin itu sendiri biasanya tidak dilakukan sebelum berakirnya masa uji coba 
selama satu atau dua
tahun. Hubungan seks heteroseksual konvensional dimungkinkan bagi transeksual laki-laki ke 
perempuan, meskipun kehamilan tidak akan mungkin terjadi karena alat kelamin bagian luar di 
ubah. 
Proses perubahan kelamin perempuan ke laki-laki dalam beberapa hal lebih sulit, namun, dalam 
beberapa hal lain lebih mudah. Di satu sisi, penis yang di buat melalui operasi berukuran kecil dan 
tidak mengalami ereksi normal sehingga dibutuhkan alat bantu buatan untuk melakukan hubungan
seksual konvensional. Di sisi lain, lebih sedikit penanganan kosmetik lanjutan yang diperlukan di 
banding pada transeksual laki-laki ke perempuan karena hormon laki-laki yang yang di konsumsi 
perempuan yang ingin berubah gender secara drastic mengubah distribusi lemak dan menstimulasi 
pertumbuhan bulu-bulu di wajah dan tubuh. Operasi perubahan kelamin merupakan pilihan yang 
sering kali diambil oleh laki-laki daripada perempuan. 
3) Perubahan gender identitas 
Operasi dan pemberian hormone sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya penanganan yang 
dimungkinkan untuk gangguan identitas gender karena berbagai upaya psikologis untuk mengubah 
identitas gender secara konsisten mengalami kegagalan. Identitas gender diasumsikan tertanam 
terlalu dalam utuk diubah. Sejumlah kecil prosedur mengubah identitas gender melalui terapi 
perilaku yang tampaknya berhasil. Para peneliti mengatakan, para klien mereka kemungkinan 
berbeda dari orang-orang lain yang mengalami GIG karena mereka bersedia berpartisipasi dalam 
program terapi yang bertujuan mengubah identitas gender. Sebagian besar transeksual menolak 
penanganan itu. Bagi mereka mengubah tubuh mereka secara fisik merupakan satu-satunya tujuan 
yang diinginkan. Namun, jika tidak terdapat pilihan operasi, akan lebih banyaklah tenaga 
professional yang dikeluarkan untuk mengembangkan prosedur psikologis yang mengubah identitas 
gender. 
f. Kasus 
Dian adalah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Dian tinggal dirumah bersama orang tua dan 
seorang pembantu. Orang tua Dian merupakan seorang pengusaha sehingga sangat jarang ada 
waktu untuk Dian, sehingga Dian lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pembantunya 
dirumah. Dian juga memiliki banyak teman seumuran disekitar rumahnya sehingga Dian tidak 
pernah merasa sedih ketika ditinggal bekerja oleh orang tuanya. Dian sangat suka melihat ibunya 
yang sedang menggunakan make up sebelum berangkat bekerja. Dian juga seringkali mengambil 
make up ibunya dan menggunakannya. Pembantunya sering melihat kelakuan Dian tersebut namun 
karena terlihat lucu pembantu tersebut juga sering membantu Dian untuk menggunakan make up. 
Selain itu Dian sangat sering mengambil baju-baju lama ibunya dan menggunakannya ketika berada 
dirumah. Di sekolah Dian lebih senang berkumpul dan bermain dengan teman-teman wanita 
dibandingakan yang pria. Dengan teman-temannya dirumah pun begitu, Dian lebih senang bermain 
masak-masakan, lompat tali, ataupun bermain boneka bersama teman wanitanya ketimbang 
bermain sepakbola bersama teman-teman pria. Dian juga sangat senang mengajak teman-temannya 
bermain permainan peran dirumahnya, dimana Dian selalu menginginkan peran sebagai seorang 
putri raja ketimbang peran sebagai seorang pangeran.Dengan senangnya Dian 
melakukan perilaku yang dilakukan oleh anak wanita, Dian selalu berpikir bahwa dirinya ini adalah 
seorang wanita. Ketika berusia 12 tahun Dian melihat teman-teman wanitanya yang sudah mulai 
tumbuh payudaranya, dan disana Dian merasa sedih karena payudaranya tidak mau tumbuh seperti 
teman-teman wanitanya. Dian pun mulai merasa sangat tidak nyaman dengan perbedaan￾perbedaan yang dimilikinya saat ini dengan teman-teman wanitanya. 
2. Parafilia 
Menurut DSM IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual 
terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Terdapat deviasi 
(para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung 
setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat 
memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang dimiliki oleh seorang parafilia, namun yang 
bersangkutan tidak dapat didiagnosis menderita parafilia jika fantasi atau perilaku yang muncul tidak 
berulang atau bila tidak mengalami distress karenanya. 
a. Fetishisme 
Fetishisme adalah ketergantungan pada benda-benda mati untuk menimbulkan gairah seksual . 
Orang yang mengidap fetishisme (hampir seluruhnya laki-laki) memiliki dorongan sesksual berulang 
dan intens terhadap berbagai benda mati (fetis), keberadaan fetis dangat diinginkan atau bahkan 
merupakan keharusan agar dapat tumbuh gairah seksual. Benda-benda yang umumnya digunakan 
untuk menimbulkan gairah seksual bagi para fetish seperti sepatu, stoking transparan, benda-benda 
dari karet (jas hujan, sarung tangan, perlengkapan toilet), pakaian dari bulu, dan terutama celana 
dalam. Fetisis sering kali mengidap jenis parafilia lain seperti pedofilia, sadism, dan masokisme 
(Mason, 1997). 
Kriteria fetishisme dalam DSM IV-TR 
-benda yang menimbulkan gairah seksual tidak terbatas pada bagian pakaian perempuan 
yang dikenakannya sebagai lawan jenis atau alat-alat yang dirancang untuk menstimulasi alat 
kelamin secara fisik, sepeti vibrator. 
b. Fetishisme Transvestik 
Apabila seorang laki-laki mengalami gairah seksual dengan memakai pakaian perempuan meskipun 
ia tetap merasa sebagai lelaki maka kondisi ini disebut sebagai fetishisme transversik atau 
transvestisme. Para transvestit adalah heteroseksual, selalu laki-laki, dan secara umum hanya 
memakai pakaian lawan jenis secara episodik, bukan secara rutin. Mereka cenderung 
berpenampilan, berperilaku, dan memiliki minat seksual maskulin. Banyak yang menikah dan 
menjalani kehidupan yang konvensional. Memakai pakaian lawan jenis biasanya dilakukan sendirian, 
secara diam-diam dan hanya diketahui oleh sedikit anggota keluarga. Dorongan untuk memakai 
pakaian lawan jenis dapat menjadi lebih sering seiring perjalanan waktu dan kadang disertai dengan 
disforia gender namun tidak sparah 
yang dialami GIG. Transvestisme komorbid dengan tipe parafilia lain, terutama masokisme (Zucker & 
Blanchard, 1997). 
Kriteria fetishisme tranvestik dalam DSM-IV-TR
c. Pedofilia dan Incest 
Pedofil adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak fisik dan sering 
kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. 
Pelakunya minimal berusia 16 tahun dan minimal berusia 5 tahun lebih tua dari si anak. Pedofilia 
lebih banyak diidap oleh laki-laki daripada perempuan. Gangguan ini seringkali komorbid dengan 
gangguan mood dan anxietas, penyalahgunaan zat, dan tipe parafilia lainnya. Pedofil bisa 
heteroseksual atau homoseksual. Kekerasan jarang menjadi bagian dalam perilaku pedofilia. 
Meskipun demikian, sejumlah kecil pedofil juga dapat diklasifikasikan sebagai sadistis seksual atau 
berkepribadian antisosial, menyakiti objek nafsu mereka secara fisik dan menyebabkan cedera 
serius. 
Incest dicantumkan dalam DSM-IV-TR sebagai subtipe pedofilia, adalah hubungan seksual antar 
kerabat dekat yang dilarang untuk menikah. Hal ini paling sering terjadi antara saudara kandung laki￾laki dan perempuan. Kemudian bentuk paling umum berikutnya, yang dianggap lebih patologis, 
antara ayah dan anak perempuannya. 
Perbedaan utama antara incest dan pedofilia 
ayah mulai tertarik kepada anak perempuannya ketka si anak mulai mengalami kematangan fisik,
sedangkan pada pedofil biasanya tertarik pada anak-anak jelas karena anak tersbut belum mencapai 
kematangan seksual) 
Kriteria pedofilia dalam DSM-IV-TR 
menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan melakukan kontak seksual dengan seorang anak 
prapubertas
d. Voyeurisme 
Voyeurisme adalah kondisi dimana seseorang memiliki preferensi tinggi untuk mendapatkan 
kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan 
hubungan seksual. Orgasme seorang voyeur dicapai dengan melakukan masturbasi, baik sambil 
tetap mengintip atau setelahnya (sambil mengingat apa yang 
dilihatnya). Kadang mereka juga berfantasi melakukan hubungan seksual dengan orang yang 
diintipnya, namun hal itu tetap menjadi fantasi karena dalam voyeurisme jarang terjadi kontak 
antara orang yang diintip dengan orang yang mengintip. Voyeur sejati (hampir semuanya laki-laki) 
tidak akan merasa bergairah dengan melihat perempuan yang sengaja membuka pakaiannya untuk 
kesenangan si voyeur (elemen risiko sangat penting karena voyeur merasa bergairah dengan 
kemungkinan reaksi si perempuan yang diintipnya jika ia mengetahuinya). 
Kriteria voyeurisme dalam DSM-IV-TR 
yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan tindakan mengintip orang lain yang sedang 
tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa diketahui yang bersangkutan 
menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah interpersonal 
e. Eksibisionisme 
Eksibisionisme adalah preferensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan 
memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya. Seperti 
halnya pada voyeurisme, jarang ada upaya untuk melakukan kontak secara nyata dengan orang yang 
tidak dikenal tersebut. Gairah seksual terjadi dengan berfantasi memamerkan alat kelaminnya atau 
benar-benar melakukannya, dan eksibisionis melakukan masturbasi ketika berfantasi atau benar￾benar memamerkannya 
Kriteria eksibisionisme menurut DSM-IV-TR 
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang 
yang tidak dikenal yang tidak menduganya. 
bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi 
tersebut menyebabkan mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal. 
f. Froteurisme 
Froteurisme adalah gangguan yang berkaitan dengan melakukan sentuhan yang beroirentasi seksual 
pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh curiga akan terjadinya hal itu. Froteur bisa 
menggosokkan penisnya ke paha atau pantat seorang perempuan, menyentuh payudara, atau alat 
kelaminnya. Tindakan ini umumnya dilakukan ditempat umum (contoh: didalam bis yang penuh 
penumpang atau trotoar yang penuh dengan pejalan kaki) yang memudahkan pelaku untuk 
mearikan diri. 
Kriteria froteurisme dalam DSM-IV-TR 
 Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, atau 
perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan menyentuh atau 
menggosokkan bagian tubuhnya pada orang yang tidak menghendakinya. 
 Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan 
fantasi tersebut menyebabkan distress atau mengalami masalah interpersonal. 
g. Sadisme Seksual dan Masokisme Seksual 
Karakteristik utama dari sadisme seksual adalah preferensi kuat untuk mendapatkan atau 
meningkatkan kepuasan seksual dengan menimbulkan rasa sakit atau penderitaan psikologis (seperti 
dipermalukan) pada orang lain. Sedangkan masokisme seksual adalah preferensi kuat untuk 
mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menjadikan diri sendiri sebagai subjek 
rasa sakit atau kondisi dipermalukan. Kedua gangguan ini terjadi dalam hubungan heteroseksual dan 
homo seksual. 
Kriteria masokisme seksual dalam DSM-IV-TR 
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) yang dilakukan 
oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul dirinya. 
atau pekerjaan. 
Kriteria sadisme seksual dalam DSM-IV-TR 
ns, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, atau perilaku 
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) yang dilakukan 
oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul dirinya. 
bagi orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya dalam fungsi sosial 
atau pekerjaan atau orang tersebut betindak berdasarkan doronga tersebut kepada orang lain yang 
tidak menghendakinya.
h. Etiologi Parafilia 
1) Perspektif Psikodinamika 
Teori ini memandang parafilia sebagai :  
Contohnya pada kasus voyeurisme (orang yang mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat 
orang lain tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seks). Pandangan psikodinamika 
beranggapan bahwa individu yang melakukan voyeurisme dikarenakan individu tersebut 
menganggap bahwa menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan hal yang menakutkan, maka 
dari itu ia lebih memilih untuk mengintip perempuan untuk mendapat kepuasan seksual tanpa perlu 
menjalin hubungan dengannya. 
2) Perspektif Behavioral dan Kognitif 
Pada pandangan behavioral menganggap bahwa individu yang mengidap parafilia disebabkan karena 
mereka sendiri dulunya merupakan korban pelecehan seksual atau dibesarkan dari keluarga yang 
tidak harmonis. Pengalaman masa lalu tersebut berpengaruh terhadap kemampuan sosial, 
penurunan harga diri, dan keterbatasan hubungan intim yang dimiliki. Contohnya pada beberapa 
kasus pedofilia, setelah ditelusuri ternyata si pelaku dulunya juga merupakan korban pedofilia. 
Sedangkan pada pandangan kognitif beranggapan bahwa individu pengidap parafilia memiliki 
kelainan pola pikir dalam memandang hal-hal berbau seksual. Misalnya pada kasus voyeur, si pelaku 
bisa jadi beranggapan bahwa seorang perempuan sengaja tidak menutup tirainya saat berganti baju 
dan mempersilahkan dirinya untuk diintip, padahal kenyataannya tidak begitu. 
3) Perspektif Biologis 
Pandangan biologis beranggapan bahwa androgen (hormon utama laki-laki) berperan dalam
gangguan ini. Janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan kelakilakiannya baru 
timbul akibat pengaruh hormonal, sehingga munculnya hormon androgen dikaitkan sebagai peyebab 
kesalahan dalam perkembangan janin. Selain faktor hormonal, perbedaan dalam otak juga 
berpengaruh, disfungsi pada lobus temporalis berkaitan dengan sedikit kasus sadisme & 
eksibisionisme. Namun kemungkinan besar faktor biologis hanya mengambil peran yang minim 
dalam kasus-kasus parafilia, terdapat penyebab lain yang lebih kompleks seperti pengalaman masa 
lalu yang lebih berperan (Meyer, 1995). 
i. Terapi Parafilia 
1) Terapi Psikoanalisis 
Pandangan ini menganggap penyebab munculya gangguan parafilia adalah karakter dari individu itu 
sendiri sehingga sulit untuk merubahnya, pandangan psikoanalisis hanya memberikan sedikit 
kontribusi terhadap keefektifan suatu terapi. 
2) Terapi Behavioral 
Terdapat beberapa teknik terapi yang mencakup terapi behavioral diantaranya adalah terapi aversi, 
yaitu dengan memberikan kejutan listrik atau hal lain yang kurang menyenangkan setiap kali individu 
dengan parafilia menerima stimulus seksualnya yang menyimpang, misalnya seorang pedofilia 
diberikan kejutan listrik saat menatap foto seorang anak yang telanjang, harapannya agar setiap kali 
si pedofilia menemui stimulus seksualnya ia akan langsung mengingat kejadian yang tak 
menyenangkan tersebut sehigga mengurangi gairah seksualnya. Kemudian ada teknik reorientasi 
orgasmik yaitu dengan cara menyandingkan stimulus perangsang yang bersifat normal (foto 
perempuan seksi) ketika pasien sedang memberikan respon seksualnya pada stimulus yang 
disukainya (yang tidak normal), hal ini bertujuan membantu pasien lebih terangsang pada stimuli 
seksual yang wajar. Contohnya pada kasus individu dengan sadistik diinstruksikan untuk memikirkan 
hal-hal sadis yang dapat merangsangnya secara seksual (ereksi), kemudian ia melakukan masturbasi 
sambil menatap foto wanita seksi (stimulus wajar), proses 
dilakukan berulang hingga lama kelamaan pasien akan terangsang pada stimulus yang wajar. 
3) Terapi Kognitif 
Digunakan untuk mengatasi pola pikir yang salah pada pengidap parafilia. Misalnya pada kasus 
pedofilia, terapis akan meluruskan pikiran pasien bahwa sebenarnya anak kecil tidak suka bila diajak 
berhubungan seksual, berlawanan dengan pemikiran pasien sebelumnya yang menganggap bahwa 
anak kecil tertarik pada perilaku seksual. Teknik ini juga dikombinasikan dengan pelatihan empati, 
yaitu mengajari pasien untuk memikirkan efek perilaku buruknya terhadap korban. 
4) Terapi Biologis 
Dengan pemberian MPA yang dapat menurunkan kadar testosteron pada laki-laki, penggunaan obat 
ini diasumsikan dapat menghambat gairah seksual sehingga mengurangi perilaku yang menyimpang. 
Namun terdapat kelemahan dari terapi ini diantaranya apabila putus obat maka pasien akan kembali 
pada perilaku seksual menyimpangnya, selain itu penggunaan obat ini juga menimbulkan efek 
samping yaitu diabetes dan kemandulan. 
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi pelaku kejahatan seksual 
agar tekun menjalani terapi, diantaranya : 
agar si pelaku mengurangi pertahanan dirinya dan mau mengakui kejahatannya. 
mengendalikan perilakunya juga menekankan pada konsekuensi negatif yang diterima pelaku 
apabila menolak menjalani penanganan, misalnya ia akan dipindahkan ke penjara yang lebih kejam. 
ahwa ia bisa menjalani 
terapi yang dijalaninya, sehingga menjadi tantangan bagi si pelaku untuk membuktikan kepada 
terapis bahwa sebenarnya ia bisa. 
pelaku yang dapat mengungkap kecenderungan seksualnya tanpa perlu pengakuannya. Sehingga tak 
ada cara berbohong yang bisa dilakukan pelaku untuk menutupi kecenderungan seksualnya dan 
satu-satunya jalan untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan mengikuti terapi. 
3. Perkosaan 
Perkosaan dibagi dalam dua kategori yang pertama secara paksa dan yang kedua secara hukum. 
Perkosaan secara paksa adalah hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukannya. 
Perkosaan secara hukum adalah perkosaan yang dilakukan dengan seseorang yang berumur di 
bawah umur dewasa. Umur dewasa ditentukan oleh hukum-hukum tertentu pada umumnya di 
bawah 18 tahun. karena di bawah umur dewasa tidak dapat dimintai 
pertanggung jawaban terhadapa aktivitas seksualnya. Perkosaan secara hukum tidak melibatkan 
pemaksaan hanya hubungan sekes dengan seseorang di bawah umur dewasa. 
a. Kejahatan Perkosaan 
Kasus pemerkosaan sangat bervariasi, beberapa pemerkosaan direncanakan dan beberapa dianggap 
lebih impulsif, suatu kejahatan yang dilakukan secara spontan. Beberapa pemerkosaan tampaknya di 
motivasi oleh hasrat tuk mengendalikan orang lain dan di motivasi oleh nafsu seksual, meskipun 
dalam beberapa kasus pemerkosa mengalami kegagalan dalam mencapai orgasme. Pemerkosaan 
jauh lebih dianggap sebagai tindakan kekerasan, agresi dan dominasi daripada sebagai tindakan 
seks, karena tidak hanya dilakukannya penetrasi pada vagina tetapi juga meliputi oral dan anal. Tidak 
hanya perempuan yang jadi korban pemerkosaan tetapi laki-laki juga tidak luput dari permerkosaan 
yang dilakukan oleh sesama laki-laki. Pembahasan ini difokuskan pada perempuan karena 
pemerkosaan pada umumnya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. 
Banyak kelompok feminis keberatan dengan klasidikasi perkosaan sebagai kejahatan seksual semata 
kareana dikhawatirkan terminologi tersebut dapat menutupi karakteristik tindakan tersebut yang 
pada dasarnya merupakan penyerangan dan pada umumnya brutal dan menciptakan suatu atmosfer 
yang mempertanyakan motif seksual korban. 
Perkosaan juga terjadi dalam suasana kencan, yang disebut dengan perkosaan oleh kenalan. Jenis 
perkosaan ini melebihi jumlah perkosaan oleh orang yang tidak dikenal dengan perbandingan 3:1 
(Kilpatrick & Best, 1990). Korban akan lebih cenderung disalahkan atas perkosaan tersebut dan akan 
cenderung lebih menyalahkan diri sendiri. Pandangan tersebut sangat ditentang karena tidak 
mengindahkan hak pihak yang lemah. Kesedian perempuan untuk diajak makan malam, berciuman 
dan berpelukan merupakan hal yang berbeda dengan kesediaan untuk melakukan sesuatu yang 
lebih intim. 
Perkembangan dari perkosaan oleh teman kencan penggunaan obat penenang Rohhypnol. Obat ini 
tidak berbau tidak berasa dan dapat dengan mudah dicampurkan ke dalam minuman, efek obat ini 
menyebabkan peminumnya pingsan dan hanya dapat mengingat sedikit, atau bahkan tidak dapat 
mengingat sama sekali, tentang apa yang terjadi. Sebanyak 25 persen dari jumlah perempuan di 
Amerika Serikat akan diperkosa suatu saat dalam hidup mereka (Kilpatrick & Best, 1990), paling 
sering oleh orang yang mereka kenal (Hudson & Ward, 1997) dan kemungkinan lebih dari 80 persen 
dari seluruh penyerangan seksual tidak dilaporkan. Jika diperhitungkan aktivitas seksual dengan 
paksaan yang tidak sampai ke tindakan pemerkosaan, temuan menunjukan bahwa sebanyak 75 
persen mahasiswa perempuan pernah menjadi korban semacam bentuk aktivitas seksual yang tidak 
diinginkan (Koss, 1985). 
b. Korban, Serangan dan Pascakejadian 
Keyakinan masyarakat luas pada korban perkosaan adalah seseorang berusia muda dan 
berpenampilan menarik, tetapi itu hanya mitos, walaupun banyak gambaran seperti itu yang terjadi. 
Usia dan penampilan fisik bukan halangan bagi beberapa pemerkosa. 
Korban perkosaan biasanya menjadi trauma oleh serangan tersebut, fisik maupun mental (Calhoun, 
Atkeson, & Resick, 1982; Resick, 1993; Resick dkk., 1986; Rothbaum dkk,. 1992). Dua minggu setelah 
diperkosa, 94 persen perempuan mengalami gangguan stress 
akut dan sembilan bulan kemudian, 42 persen mengalami PTSD penuh (Rothbaum & Foa, 1993) 
Sebelum penyerangan terjadi biasanya korban sudah mulai menyadari situasi yang berbahaya 
namun hampir tidak mempercayai apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal utama yang sangat 
ditakutkan oleh korban adalah keselamatan jiwanya, korban juga biasanya merasakan 
ketidakmampuan untuk melawan penyerangannya yang umumnya lebih kuat. Terlebih lagi pelaku 
biasanya melakukan hal yang tidak terduga dan membawa senjata untuk menintimidasi, tidakan 
perlawanan sangat terhambat karena besarnya rasa takut. DSM-IV-TR menyebutkan perkosaan 
sebagai jenis trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stres pascatrauma. Banyak 
korban yang merasa tegang dan malu setelah diperkosa. Meraka merasa bersalah karena tidak 
mampu melawan dan ingin melakukan balas dendam, mengalami mimpi buruk dan depresi, 
hilangnya harga diri umum terjadi pada korban. Beberapa korban mengalami fobia berada di tempat 
umum atau tempat yang gelap, merasa terancam bila ada orang di belakangnya atau bila sedang 
berada sendirian. 
Banyak kasus pada perempuan yang menjadi korban perkosaan yang bersikap negatif terhadap seks, 
dan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan suami atau kekasih mereka (Becker, Skinner, 
dkk., 1986). Tanoa intervensi, simtom-simtom kecemasan dan depresi dalam beberapa kasus, pada 
beberapa perempuan dapat berlangsung PTSD penuh selama bertahun-tahun setelah penyerangan 
tersebut (Calhoun & Atkenson, 1991; Resick, 1993) Risiko bunuh diri dan penyalahgunaan zat juga 
sering terjadi pada korban perkosaan. Dari penelitian tentang efek stress terhadap kesehatan tubuh, 
didapatkan bahwa korban perkosaan dapat mengalami berbagai masalah somatik dan mereka 
cenderung menjadi lebih sering berobat (Phelps, Wallace, & Waigant, 1989). 
Karakteristik dan durasi gangguan pada korban perkosaan sangat tergantung pada pola kehidupan 
korban sebelum dan sesudah penyerangan. Faktor-faktor yang dapat mengurangi kondisi negatif 
pasca perkosaan antara lain adalah pasangan dan teman-teman yang supportif. Pasca kejadian lebih 
merupakan fungsi penilaian korban terhadap kejadian tersebut dan bukan karena kejadian itu 
sendiri, cara orang-orang mengintrepretasikan berbagai kejadian merupakan hal yang penting. 
c. Pemerkosa 
Fakta bahwa laki-laki dengan kekuatan yang umumnya lebih besar biasanya dapat menggaghi 
perempuan memperkuat pandagan tentang fungsu perkosaan di masa lalu dan hingga saat ini masih 
berfungsi sebagai cara untuk mengandalikan dan mengintimidasi perempuan (Brownmiller,1975). 
Kompenen seksual itu snediri tampaknya merupakan kompinenpenting dalam sevagian besar 
perkosaan (Seto & Barbaree, 2000) 
Perkosaan dalam perang : para penjelajah memperkosa sepanjang perjalannya mereka melintasi 
Eropa dalam perjalanan ziarah suci pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Orang-orang jerman 
memperkosa ketika mereka menyerbu Belgia pada perang Dunia I, para tentara Amerika memerkosa 
para perempuan dewasa dan anak-anak Vietnam ketika mereka melakukan pencarian dan 
penghancuran. Brownmiller berpendapat bahwa perkosaan sebenarny diharpkan dalam 
peperangan. Menurutnya, menjadi anggota militer mendorong timbulnya rasa superioritas maskulin 
yang keji dan menciptakan suatu iklim dimana perkosaan dapat diterima. 
Siapakah si pemerkosa? Pemerkosa pada umumnya adalah salah satu dari semua laki-laki dari 
berbagai kalangan dan berbagai kondisi baik maupun tidak baik, yang sering kali melakukan 
perkosaan pada situasi-situasi tertentu dan dengan alasan tertentu. 
Para pemerkosa memiliki kesamaan alasan untuk melakukan kekerasan yaitu timbulnya keyakinan 
bahwa dirinya sudah dikhianati, disakiti, ditipu dan direndahkan oleh perempuan atau memiliki 
pengalam masa kecil disiksa oleh kedua orangtuanya. Selain itu dorongan untuk melakukan 
perkosaan karena pelaku merasa kesepian, kemarahan, dipermalukan, merasa tidak adekuat, dan 
ditolak. 
Dari perspektif sosiologis, semakin masyarakat menerima kekerasan interpersonal sebagai cara 
mengatasi konflik, dan menyelasikan masalah, makan semakin tinggi frekuensi perkosaan (sanday, 
1981) dari penilitian menunjukan bahwa perkosaan dapat didorong oleh pornografi dimana 
menggambarkan perempuan yang menikmati hubungan seksual dengan paksaan. 
d. Terapi Bagi Pemerkosa dan Korban Perkosaan 
1) Terapi Untuk Pemerkosa 
Program terapi yang dilakukan untuk mengurangi pelaku perkosaan mengalami residivisme setelah 
keluar dari penjara adalah dengan teknik-teknik kognitif yang bertujuan meluruskan distorsi 
keyakinan dan mengubah sikap yang tidak benar terhadap perempuan, berbagai upaya untuk 
meningkatkan empati, mengontrol kemarahan dan mengurangi penyalahgunaan zat. Terapi 
psikologis juga dilengkap dengan terapi biologis untuk mengurangi dorongan seks si pemerkosa. 
Berbagai meta analisis menghasilkan kesimpulan bahwa terapi kognitif dan intervensi biologis cukup 
dapat menurunkan tingak residivisme, terutama di kalangan mereka yang menyelesaikan program 
penanganan (Hall,1995; Hanson & Bussiere, 1998; Maletsky, 2002) 
2) Terapi Untuk Korban Perkosaan 
Melakukan berbagai konselin bagi para korban perkosaan. Memfokuskan untuk menormalkan reaksi 
emosional korban, mendorong korban untuk menyampaikan perasaanya, dan membantunya 
mengatasi berbagai masalah yang mendesak, seperti mengurus penjagaan anak atau meningkatkan 
sistem keamanan dirumah korban. Singkatnya adalah membantu korban menyelesaikan masalah 
dan menhadapi situasi segera setelah kejadian traumatik tersebut. Mencegah untuk menyalahkan 
diri sendiri juga hal yang penting (Frazier, 1990) 
Konselor mendorong korban unutuk tidak menarik diri dari pergaulan sosial atau menjadi tidak aktif, 
pusat krisi memberikan pendamping untuk korban perkosaan dalam menyelesaikan masalahnya dari 
mulai masalah hukum dan maslaah-masalah yang timbul dari kejadian traumatik tersebut. 
Sebagian besar terapi korban perkosaan memiliki kesamaan dengan terapi PTSD. Korban diminta 
untuk menceritakan secara detail peristiwa tersebut kepada terapis, pemaparan ulang pada trauma 
dirancang untuk menghilangkan rasa takut. Depresi dapat ditangani dengan cara membatu pasien 
mengevaluasi perannya dalam peristiwa tersebut, karena dalam hal ini korban juga merasa ikut 
bertanggung jawab atas kejadian tersebut. 
Sebuah intervensi kognitif perilaku yang mulai dievaluasi secara empiris adalah terapi proses kognitif 
yang dikembangkan oleh Patricia Resick. Terapi ini mengkombinasikan pemaparan dengan berbagai 
memori trauma yang teradapat dalam berbeagai intervensi untuk mengurangi kecemasan dengan 
jenis restrukturisasi kognitif. Contohnya, korban didorong untuk menentang setiap kecenderungan 
sepenuhnya aspek-aspek kejadian tersebut yang berada diluar kendalinya. 
Berikut beberapa alasan mengapa korban perkosaan ketidakmauan untuk melaporkan perkosaan, 
yaitu : 
-temannya 
idak efisien, tidak efektif dan tidak sensitive 
Perjalanan sidang dapat menimbulkan stress pada korban, terlebih lagi bila pelaku merupakan 
kenalan dari korban, maka keputusan bersalah akan lebih sulit dicapai. Dan yang terakhir, meskipun 
pelaku sudah melakukan ratusan kali tindakan pemerkosaan tetapi hanya dipenjarakan dalam waktu 
yang tidak lama atau penyerangannya tersebut. 
4. Disfungsi Seksual 
Berbagai masalah seksual yang biasanya dianggap mencerminkan hambatan dalam siklus respons 
seksual normal. Disfungsi seksual dapat menjadi sangat parah sehingga menghilangkan sensitivitas 
seksual itu sendri, apalagi kepuasan yangf lebih intens dalam hubungan seks. 
a. Disfungsi Seksual dan Siklus Respons Seksual Manusia 
DSM-IV-TR membagi disfungsi seksual menjadi empat kategori utama: gangguan nafsu seksual, 
gangguan gairah seksual, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri seksual. Diagnosis disfungsi 
seksual tidak ditegakkan jika gangguan tersebut diyakini disebabkan sepenuhnya oleh penyakit 
medis (seperti diabetes lanjut, yang dapat menyebabkan masalah ereksi pada laki-laki) atau jika 
disebabkan oleh gangguan Aksis I lainnya ( seperti depresi mayor). 
Empat fase dalam siklus respon seksual manusia secara umum dapat diidentifikasi; fase tersebut 
dianggap tidak jauh berbeda pada laki-laki dan perempuan. 
1) Keinginan (Appetitive). Dikemukakan oleh Kaplan (1974), tahap ini merujuk minat atau nafsu 
seksual, yang sering kali berhubungan dengan fantasi yang menimbulkan gairah seksual. 
2) Kegairahan (Excirtement). Merupakan tahap awal dalam konsep Masters dan Jhonson, yaitu suatu 
pengalaman subjektif tentang kenikmatan seksual yang dihubungkan dengan perubahan fisiologis 
yang disebabkan meningkatnya aliran darah ke alat kelamin dan pada perempuan juga ke payudara. 
Pembengkakan tersebut, yaitu mengalirkan darah ke jaringan-jaringan, terlihat dalam bentuk ereksi 
penis pada laki-laki dan pada perempuan pembesaran payudara dan perubahan dalam vagina, 
seperti meningkatnya lubrikasi. 
3) Orgasme. Pada fase ini kenikmatan seksual mencapai puncaknya dengan cara yang mempesona 
para penyair dan orang-orang awam seperti kita selama ribuan tahun. 
Pada laki-laki ejakulasi dirasakan tidak terhindarkan dan memang hampir selalu terjadi ( dalam 
beberapa kasus yang jarang terjadi beberapa laki-laki8 dapat mengalami orgasme tanpa ejaulasi, dan 
sebaliknya) . Pada perempuan, tepi-tepi bagian luar ketiga pada vagina mengalami kontraksi. Pada 
kedua jenis kelamin terjadi ketegangan otot pada umumnya dan sentakan pada panggul yang terjadi 
dengan sendirinya. 
4) Resolusi. Tahap akhir dalam konsep Masters dan Johnson merujuk pada relaksasi dan rasa 
nyaman yang biasanya mengikuti orgasme. Pada laki-laki terjadi periode pengerasan, di mana ereksi 
dan gairah lebih jauh tidak mungkin terjadi, naming selama kurun waktu yang berbeda-beeda pada 
setiap individu dan b ahkan pada individu yang sama pada saat berbeda-beda. Perempuan sering kali 
hampir secara langsung mampu kembali merespon kenikmatan seksual, yang memungkinkan 
terjadinya orgasme ganda. 
Versi siklus respons seksual manusia ini adalah suatu kontrak sebagai suatu cara untuk 
mengonseptualisasikan serangkaian pikiran, perasaan, perilaku, dan reaksi-reaksi biologis yang 
berkesinambungan ke dalam tahap-tahap yang berbeda. 
b. Deskripsi dan Etiologi Disfungsi Seksual 
Dalam kriteria diagnostik diagnostik untuk setiap disfungsi seksual kalimat “ terus menerus atau 
berulang” digunakan untuk menggarisbawahi fakta bahwa suatu masalah memang harus serius agar 
dapat ditegaskan suatu diagnosis. Selain itu, terdapat tingkat komorbiditas yang cukup tinggi pada 
berbagai disfungsi seksual. 
1) Gangguan nafsu seksual 
DSM IV-TR membedakan dua jenis gangguan nafsu seksual. Gangguan nafsu seksual hipoaktif dan 
gangguan keengganan seksual. 20 hingga 30 persen dari populasi orang dewasa umum, lebih banyak 
perempuan disbanding pada laki-laki, kemungkinan mengalami gangguan nafsu seksual hipoaktif. 
Kriteria gangguan nafsu seksual hipoaktif dalam DSM IV-TR : 
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum Kriteria gangguan keengganan seksual pada DSM IV-TR : 
oleh gangguan Aksis I lain ( kecuali disfungsi seksual lain) 
Gangguan nafsu seksual hipoaktif merujuk pada kurangnya atau tidak adanya fantasi dan dorongan 
seksual. Gangguan keengganan seksual mencerminkan bentuk gangguan ini yang lebih ekstrem, 
dimana seseorang secara aktif menghindari hampir semua kontak genital dengan orang lain. 
Di antara orang-orang yang berupaya mendapatkan penanganan untuk disfungsi seksual, lebih dari 
separuhnya mengeluhkan rendahnya nafsu seksual, di antara mereka gangguan tersebut sering 
sekali komorbid dengan gangguan orgasme. 
Tidak banyak yang diketahui mengenai penyebab gangguan nafsu seksual hipoaktif atau gangguan 
keengganan seksual. Karena para perempuan yang mengalami gangguan tersebut menunjukan 
respon seksual normal terhadap stimuli seksual dalam berbagai studi laboratorium, tidak tampak 
bahwa mereka tidak mampu untuk merasakan gairah sepenuhnya. 
Di antaranya berbagai penyebab dorongan seks rendah pada orang-orang yang ditangani secara 
klinis adalah ortodoksitas agama, mencoba melakukan hubungan seks dengan orang yang tidak 
bejenis kelamin sesuai yang diinginkan, takut kehilangan kendali, takut hamil, depresi, efek samping 
konsumsi obat seperti antihipertensi dan penenang, kurangnya rasa tertarik karena disebabkan 
factor-faktor kuangnya kebersihan diri pada pasangan, mengalami gangguan disfungsi seksual lain 
seperti gangguan ereksi. 
Faktor lain adalah riwayat trauma seksual, seperti perkosaan atau pelecehan seksual dimasa kanak￾kanak, dan takut terkena penyakit menular seksual. Nafsu seksual menjadi lebih rendah bila 
seseorang mengalami stress sehari-hari dalam kadar yang tinggi. 
2) Gangguan Gairah Seksual 
Kriteria gangguan gairah seksual pada perempuan dalam DSM IV-TR 
-menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual 
(lubrikasi dan pembengkakan genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual 
i seksual lainnya) atau efek fisiologis 
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum 
Kriteria gangguan ereksi pada Laki-Laki dalam DSM IV-TR 
-menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual 
(lubrikasi dan pembengkakan genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual 
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum 
Dua subkategori gangguan gairah adalah gangguan gairah seksual perempuan (frigiditas) dan 
gangguan ereksi laki-laki (impotensi). Istilah frigiditas dan impotensi diganti menjadi gangguan gairah 
seksual karena istilah tersebut memiliki arti yang bersifat merendahkan. 
Tingkat prevalensi gangguan gairah pada perempuan adalah sekitar 20 persen (Laumann dkk., 1994). 
Pada laki-laki gangguan ereksi diperkirakaan tiga hingga Sembilan persen (a.l.,Ar, 1997; Frank, 
Anderson, & Rubenstein, 1978) dan meningkat tajam pada orang dewasa yang lebih tua. Beberapa penyebab spesifik diyakini mendasari masalah gairah peempuan adalah seorang 
perempuan bias saja kurang mengetahui hal-hal yang dapat membuatnya terangsang dan bahkan 
kurang mengetahui anatomi tubuhnya sendiri. Konflik perkawinan tampaknya menjadi faktor, 
seperti juga masalah medis (seperti kurangnya estrogen dan diabetes) dan beberapa obat-obatan 
(seperti obat-obat hipertensi). 
Sebanyak dua pertiga masalah ereksi memiliki penyebab biologis, yang biasanya dikombonasikan 
dengan faktor-faktor psikologis. Pada umumnya, setiap penyakit, obat, atau ketidak seimbangan 
hormone yang dapat memengaruhi jalur saraf atau pasokan darah ke penis dapat berkontribusi 
terhadap masalah ereksi. Faktor-faktor somatic biasanya berinteraksi dengan faktor-faktor psikologis 
untuk dapat menimbulkan masalah ereksi dan membuatnya terus berlangsung. 
3) Gangguan Orgasme 
Kriteria gangguan orgasme perempuan dalam DSM IV-TR 
-menerus setelah periode gairah seksual 
normal dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan stimulasi seksual 
yang diterimanya 
sonal 
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum 
Kriteria gangguan orgasme laki-laki dalam DSM IV-TR 
secara terus-menerus setelah periode gairah seksual 
normal dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan stimulasi seksual 
yang diterimanya 
lainnya (kecuali disfungsi seksual lainnya) atau efek fisiologis 
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum 
Terdapat perbedaan penting antra masalah yang dapat dialami perempuan daam mengalami gairah 
seksual dan masalah yang dapat dialaminya dalam mencapai orgasme. Pada laki-laki, ejakulasi yang 
hampir selalu disertai dengan orgasme. Perembuan yang atau tidak pernah melakukan masturbasi 
sebelum mereka melakukan hubungan seks memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk tidak 
mengalami orgasme dibandingkan dengan perempuan yang melakukan masturbasi. Konsumsi 
alcohol kronis dapat menjadi faktor somatic dalam disfungsi orgasme pada perempuan. Perempuan 
memiliki ambang batas orgasme yang berbeda. Faktor kemungkinan lain adalah rasa takut kehilangan kendali, beberapa perempuan merasa takut 
bahwa mereka akan berteriak tanpa kendali, membuat dirinya tampak bodoh, atau pingsan. Sumber 
hambatan yang berkaitan dengan hal ini adalah suatu keyakinan yang mungkin tidak benar bahwa 
membiarkan dan 
mengizinkan tubuh untuk mengambil alih kesadaran dan kendali pikiran merupakan suatu yang tidak 
pantas. 
Kondisi hubungan juga merupakan hal penting, meskipun beberapa perempuan dapat menikmati 
hubungan seksual dengan seseorang yang sedang menjadi sasaran kemarahannya , atau bahkan 
kebenciannya, sebagian besar menarik diri dalam situasi semacam itu. 
4) Gangguan orgasme pada laki-laki dan ejakulasi prematur (dini) 
Kriteria ejakulasi prematur dalam DSM IV-TR 
menginginkannya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi durasi fase 
kegairahan seperti umur, masih awam dengan situasi atau pasangan, dan frekuensi hubungan 
seksual dalam beberapa waktu terakhir 
-mata disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu obat 
Gangguan orgasme pada laki-laki atau kesulitan mengalami ejakulasi, relative jarang oleh 4 hingga 
10 pasie yang menjalani penanganan. Berbagai penyebab yang dikemukakan antara lain takut bila 
pasangannya hamil, menyembunyikan rasa cinta, mengekspresikan kekasaran dan seperti halnya 
gangguan orgasme perempuan yaitu takut untuk melepaskan kendali. 
Ejakulasi dini kemungkinan merupakan disfungsi seksual yang paling banyak terjadi pada laki-laki. 
Penyebab terjadinya adalah penis yang sangat sensitive. Pembelajaran juga dianggap sebagai suatau 
faktor. Contohnya, seorang anak laki-laki dapat memiliki kecendrungan untuk cepat berejakulasi 
sebagai akibat hubungan seks yang dilakukan terburu-buru karena dilakukan ditempat yang tidak 
pribadi dan takut diketahui orang lain. 
Kekhawatiran mengalami ejakulasi terlalu dini dapat merupakan akibat alamiah dari penekanan yang 
berlebihan pada kontak kelamin dalam hubungan seks dikalangan heteroseksual. 
5) Gangguan Nyeri Seksual 
Dua gangguan rasa nyeri yang berhubungan dengan seks tercantum dalam DSM IV-TR adalah 
Dispareunia dan Vaginismus 
Kriteria Dispareunia dalam DSM IV-TR 









EATING DISORDER 
Eating disorder atau gangguan makan pada DSM IV TR dibagi menjadi 3, yaitu 
anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan berlebih (Binge Eating Disorder). 
Gambaran Klinis
1. Anoreksia Nervosa
Kata “anorexia” memiliki arti hilangnya selera makan, dan “nervosa” memiliki 
arti sebab emosional. Maka anoreksia nervosa bermakna hilangnya selera makan yang 
disebab emosional. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena orang yang mengalami 
anoreksia tidak selalu kehilangan selera makannya. Anoreksia nervosa adalah sebuah 
gangguan di mana seseorang melaparkan dirinya atau menolak untuk makan karena 
memiliki ketakutan bahwa berat badannya akan bertambah. Ketakutan bahwa 
seseorang akan bertambah gemuk menyebabkan orang yang mengalami anoreksia 
akan melakukan berbagai cara untuk menguruskan diri, biasanya dengan diet 
berlebihan atau tidak mau makan. Diet ini akan menyebabkan mereka menjadi sangat 
kurus. Namun bahkan ketika seseorang sudah sangat kurus, mereka tidak pernah puas 
dengan bentuk tubuh mereka dan tetap memiliki ketakutan bahwa berat badannya 
akan bertambah, sehingga tetap melakukan diet atau menolak asupan makan. Tidak 
jarang kondisi ini menyebabkan penderita anoreksia meninggal. 
Perubahan biokimiawi yang disebabkan oleh kelaparan atau rasa bersalah dan 
rasa malu yang dialami pasien telah membuat beberapa peneliti mempertimbangkan 
kemungkinan bahwa anoreksia menyebabkan depresi. Perubahan fisik yang terjadi 
pada penderita anoreksia ditandai dengan tekanan darah menurun, denyut jantung 
melambat, ginjal dan sistem pencernaan menjadi bermasalah, masa tulang berkurang, 
kulit mengering, kuku jari menjadi mudah patah, kadar hormon berubah, anemia 
ringan, kerontokan rambut, perubahan struktur otak seperti rongga yang meluas atau 
kelebaran sulcal, juga dapat terjadi namun dapat diperbaiki.
Kriteria DSM IV TR untuk anoreksia adalah :
a. Menolak untuk mempertahankan berat badan normalnya.b. Sangat takut bila berat badannya bertambah, dimana rasa takut ini juga tidak 
berkurang ketika berat badan mereka berkurang (tidak pernah merasa kurus).
c. Memiliki pandangan yang menyimpang tentang bentuk tubuh mereka.
d. Pada perempuan, kondisi tubuh yang kurus menyebabkan amenorea, yaitu 
berhentinya periode menstruasi.
DSM IV-TR membedakan dua tipe dari anoreksia:
a. Tipe terbatas : menurunkan berat badan dengan membatasi asupan makanan.
b. Tipe binge-pengurasan : orang yang bersangkutan secara rutin juga makan 
berlebihan kemudian mengeluarkannya.
Anoreksia nervosa umumnya terjadi pada awal hingga pertengahan remaja, 
dan bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Prevalensi anoreksia pada 
perempuan 10x lebih banyak daripada laki-laki, di mana beberapa ahli berpendapat 
hal ini dikarenakan adanya stereotype bahwa perempuan dinilai dari bentuk tubuh 
mereka, sementara laki-laki dari keberhasilan mereka.
Pada umumnya anoreksia komorbid dengan gangguan lain, terutama depresi 
dan anxiety disorder. Anxiety disorder (cenderung pada bentuk tubuh) dapat 
menyebabkan anoreksia di mana anoreksia ini juga dapat menyebabkan depresi, atau 
depresi dapat terjadi bersamaan dengannya.
2. Bulimia Nervosa
Istilah “Bulimia” berasal dari bahasa Yunani yang bermakna “lapar seperti 
sapi jantan”. Bulimia nervosa adalah sebuah gangguan di mana seseorang akan 
melakukan binge (makan berlebih) kemudian melakukan perilaku pengurasan. 
Perilaku binge atau makan secara berlebihan biasanya dilakukan dalam waktu kurang 
dari 2 jam, dan lebih mungkin dilakukan saat sedang sendirian pada pagi hari. 
Penderita biasanya menghindari makanan kesukaan pada satu hari kemudian makan 
berlebihan esok paginya. 
Berbagai studi menyatakan bahwa makan berlebihan juga bisa terjadi setelah 
interaksi sosial yang negatif atau setidaknya persepsi atas hubungan sosial yang 
negatif. Para pasien menuturkan bahwa mereka hilang kendali ketika binge atau 
merasa bahwa bukan diri mereka yang ada saat binge terjadi dan merasa malu serta jijik dengan kondisi tersebut bahkan mencoba menutupinya. Rasa malu dan jijik 
inilah, yang ditambah dengan ketakutan bahwa berat badan mereka akan bertambah 
setelah makan berlebihan, yang menyebabkan munculnya perilaku pengurasan. 
Perilaku ini dapat berupa muntah (yang paling sering), puasa, atau olahraga 
berlebihan. Perilaku ini dilakukan sebagai kompensasi dan untuk menghilangkan efek 
asupan kalori karena makan berlebihan. Dalam DSM IV TR, episode binge dan 
pengurasan harus terjadi sekurang-kurangnya dua kali seminggu selama tiga bulan 
untuk ditegakkan sebagai bulimia nervosa.
Kriteria DSM-IV TR untuk gangguan Bulimia Nervosa: 
1. Makan berlebihan secara berulang.
2. Pengurasan berulang untuk mencegah bertambahnya berat badan.
3. Simtom-simtom terjadi sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama sekurang￾kurangnya 3 bulan. 
4. Penilaian diri sangat tergantung pada bentuk tubuh dan berat badan.
Pada Bulimia nervosa, terdapat dua tipe purging atau mencahar:
a. Purging type (mencahar), yaitu pada saat episode bulimia nervosa 
berlangsung, penderita bulimia nervosa secara teratur muntah dengan 
sengaja, memakai obat pencahar atau obat-obatan lain dalam dosis yang 
salah.
b. Unpurging type (tidak mencahar), yaitu pada saat episode bulimia terjadi, 
penderita bulimia nervosa melakukan puasa, olah raga, dan diet yang 
berlebihan.
Bulimia nervosa banyak ditemukan pada wanita di kalangan menengah keatas 
dan sepersepuluh pria pada rentang usia remaja atau dewasa awal. Kebanyakan 
diantara mereka memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu kurang percaya diri, merasakan 
cemas yang berlebihan, dan merasa bahwa tubuhnya tidak sesuai keinginannya, maka 
tidak jarang diantara penderita bulimia nervosa terindikasi terkena Anxiety disorder 
atau pun Mood disorder. Perubahan fisik yang terjadi pada penderita bulimia nervosa 
adalah amenorea, kekurangan potassium, diare, denyut jantung tidak teratur, rusaknya 
jaringan lambung dan tenggorokan, hilangnya enamel gigi.
Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa memiliki perbedaan walaupun 
keduanya memiliki ketakutan akan meningkatnya berat badan dan kecenderunganyang mirip, seperti binge, purging, hingga melakukan diet, latihan, dan puasa yang 
ketat. Pada berat badan, penderita anoreksia nervosa mengalami penurunan berar
badan yang drastis, sedangkan penderita bulimia nervosa tidak. Pada penderita 
anoreksia nervosa, mereka berusaha keras untuk tidak makan sesuatu, kalaupun 
mereka makan, hanya dalam porsi yang sedikit sekali, sedangkan pada penderita 
bulimia nervosa, mereka makan yang banyak dan diikuti perlaku memuntahkan atau 
melakukan kegiatan fisik secara berlebihan.
3. Binge Eating Disorder
Binge eating disorder atau gangguan makan berlebih di cantumkan dalam 
DSM-IV-TR sebagai suatu diagnosis yang memerlukan studi lebih jauh dan bukan 
sebagai diagnosis resmi. Ganguan ini terjadi perilaku makan berlebih yang berulang 
dalam waktu dua kali seminggu selama sekurang-kurangnya enam bulan. Gangguan 
ini memiliki ciri-ciri kurangnya kontrol diri selama episode makan berlebih dan 
merasa tertekan karena makan berlebihan dan karakteristik lainnya adalah makan 
dengan cepat dan makan secara diam-diam.
Gangguan ini berbeda dengan anoreksia nervosa dalam hal ini gangguan 
makan berlebih tidak mengalami penurunan berat badan secara derastis dan berbeda 
dengan Bulimia nervosa karena tidak adanya perilaku kompensatori (pengurasan, 
berpuasa dan olahraga yang berlebih). Gangguan ini lebih sering terjadi pada 
perempuan di bandingkan pada pada laki-laki yang dihubungkan pada obesitas dan 
riwayat melakukan diet. Gangguan ini dikaitkan dengan hendaya fungsi pekerjaan dan 
sosial, depresi, harga diri rendah, penyalahgunaan zat dan ketidakpuasan dalam
bentuk tubuh. Faktor-faktor resiko terbentuknya gangguan makan berlebihan 
mencakup obesitas pada masa kanak-kanak, komentar dengan nada mengkritik atas 
berat badan berlebihan, konsep diri yang rendah, depresi dan penyiksaan fisik atau 
seksual pada masa kanak-kanak
Etiologi
1. Faktor Biologis
Eating disorder dapat terjadi dalam satu keluarga, sehingga disenyalir gen 
merupakan salah satu penyebabnya. Kerabat tingkat pertama dari perempuan 
penderita anoreksia memiliki kemungkinan 10x lebih besar disbanding rata-rata untuk 
menderita gangguan yang sama. Sedangkan kerabat tingkat pertama dari perempuan 
penderita bulimia memiliki kemungkinana 4x lebih besar. Hal serupa juga terjadi pada 
laki-laki, dimana kerabat pertama laki-laki penderita eating disorder akan memiliki 
kerentanan lebih besar dibanding rata-rata untuk menderita gangguan yang sama.
Gen memiliki pengaruh yang lebih besar pada orang-orang kembar yang 
menderita gangguan makan dibandingkan dengan faktor-faktor lingkungan. Beberapa 
penelitian juga menunjukkan bahwa ketidakpuasan atas bentuk tubuh, keinginan yang 
kuat untuk menjadi langsing, makan berlebihan, dan preokupasi dengan berat badan 
dapat diturunkan dalam keluarga.
Penelitian menunjukan bahwa Hipotalamus (bagian pada otak yang mengatur 
rasa lapar), opioid endogenus (bagian yang menekan selera makan), dan serotonin 
(meyebabkan rasa kenyang) berperan dalam eating disorder namun terkadang bukan 
sebagai penyebabab tapi lebih kepada akibat yang ditimbulkan. Pasien anoreksia yang 
melaparkan dirinya menyebabkan akan menyebabkan turunya kadar kortisol (hormon 
yang diatur oleh hipotalamus) yang menyebabkan seseorang tidak ingin makan. 
Kelaparan pada anoreksia juga akan meningkatkan kadar opiod sehingga seseorang 
menjadi semakin tidak mau makan. Penelitian menunjukkan bahwa makan berlebihan 
pada penderita bulimia bisa disebabkan oleh kurangnya kadar serotonin yang 
menyebabkan mereka tidak merasa kenyang saat makan. Selain itu, asupan makanan 
yang terbatas juga akan menghambat sistem serotonin sehingga penderita tidak 
merasa kenyang dan melakukan binge.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai standar yang ditetapkan oleh masyarakat mengenai tubuh yang ideal 
(terutama perempuan) memiliki peranan yang besar dalam terjadinya eating disorder. 
Seperti yang telah dijelaskan diatas, penderita eating disorder biasanya memiliki 
pikiran yang menyimpang tentang tubuh mereka dan sangat terobsesi untuk menjadi 
kurus. Pikiran ini bisa berasal dan diperkuat oleh stereotype masyarakat tentang tubuh 
ideal.
Pada abad ke 17, lukisan-lukisan perempuan akan berupa perempuan yang 
berisi. Namun, saat ini kebanyakan para model, artis, maupun public figure yang 
menjadi panutan lainnya bertubuh langsing atau bahkan sangat kurus. Namun 
sementara standar bergerak kearah tubuh yang lebih kurus, semakin banyak orang 
yang mengalami kelebihan berat badan. Hal ini menjadi tahap awal konflik anatar 
bentuk tubuh ideal dan realitas berdasarkan budaya.
Nilai-nilai sosiokultural juga bisa menjadi penyebab mengapa lebih banyak 
perempuan yang mengalami eating disorder disbanding laki-laki. Salah satu nilai 
tersebut adalah stereotype yang mendorong objektivitas tubuh perempuan sedangkan 
kaum laki-laki lebih dihargai berdasarkan keberhasilan mereka.
3. Pandangan Psikodinamika
Menyatakan bahwa penyebab utama adalah hubungan orang tua-anak yang 
terganggu. Anoreksia nervosa merupakan usaha yang dilakukan anak-anak untuk 
menghilangkan rasa tidak berguna, tidak efektif, dan tidak berdaya yang muncul 
akibat pola asuh yang memaksakan keinginan orang tua pada anak-anak. Sedangkan 
menurut Goodsitt, episode pengurasan yang dilakukan penderita bulimia merupakan 
symbol dari penolakan anak terhadap ibu dikarenakan adanya konflik ibu-anak..
4. Kepribadian
Para penderita eating disorder memiliki beberapa kepribadian yang sama yaitu
tingkat neurotisme tinggi, harga diri rendah, cenderung patuh, tertutup, dan 
perfeksionist. Dimana sifat-sifat ini berpengaruh secara tidak langsung pada 
munculnya eating disorder.
5. Karakteristik Keluarga
Self report dari pasien sendiri secara konsisten mengungkap tingkat konflik 
yang tinggi dalam keluarga. Rendahnya dukungan keluarga merupakan salah satu 
karakteristik yang sering terlihat dalam kondisi pasien gangguan makan. Tipe 
psikopatologi lain, termasuk depresi dan gangguan kepribadian. Dengan demikian, 
pola keluarga tersebut tidak spesifik hanya dalam patologi gangguan makan, namun 
dapat merupakan hal umum dalam keluarga yang salah satu anggotanya menderita 
psikopatologi secara umum. 
6. Penyiksaan Anak & Gangguan Makan
Angka pelecehan seksual yang tinggi ditemukan pada individu yang menderita 
gangguan makan yang belum pernah mendapatkan penanganan dan pada individu 
yang pernah mendapatkan penanganan. 
7. Pandangan Kognitif-Perilaku
Rasa takut terhadap kegemukan & gangguan citra tubuh diprediksi sebagai 
faktor-faktor yang memotivasi untuk melakukan kondisi melaparkan diri dan kondisi 
pengurasan.
Penanganan
Sering sekali sulit untuk membuat pasien dengan gangguan makan untuk menjalani 
penanganan karena umumnya pasien mengingkari bahwa ia memiliki masalah. Oleh karena 
itu, mayoritas penderita gangguan makan 90% diantaranya tidak dalam penanganan.
Penanganan untuk Anoreksia Nervosa 
1. Biologis
a. Perawatan di rumah sakit, yang kadang dijalani dengan terpaksa, seringkali diperlukan 
untuk menangani pasien anoreksia agar asupan makanan pasien dapat ditingkatkan 
secara bertahap dan dipantau dengan teliti. Berat badan dapat sangat kurang sehingga 
diperlukan pemberian makan melalui infus untuk menyelamatkan nyawa pasien. 
b. Obat-obatan juga digunakan dalam upaya menangani anoreksia nervosa. Sayangnya, 
hal itu tidak terlalu berhasil. Hanya terdapat sangat sedikit keberhasilan dengan obat￾obatan untuk meningkatkan berat badan secara signifikan, juga tidak mengubah gejala￾gejala utama anoreksia, atau memberikan manfaat tambahan yang signifikan dalam 
program standar penangan pasien rawat inap.
2. Psikologis
a. Operant Conditioning
Program terapi operant-conditioning cukup berhasil untuk menambah berat 
badan dalam jangka pendek. Namun mempertahankan pertambahan berat badan dalam 
jangka penjang belum dapat dicapai secara reliable melalui berbagai intevensi medis, 
perilaku atau psikodinamika tradisional.
b. Terapi keluarga
Minuchin dan para koleganya berpendapat bahwa simtom-simtom gangguan 
makan paling baik dipahami dengan memahami pasien dan bagaimana simtom-simtom 
tersebut tertanam dalam struktur keluarga yang disfungsional. Dapat dilakukan dengan 
cara terapis bertemu dengan keluarga dalam acara makan siang keluarga karena konflik 
yang berhubungan dengan anoreksia diyakini paling terlihat ketika acara makan 
berlangsung. Acara makan siang tersebut memiliki 3 tujuan besar : 
1. Mengubah peran pasien dari penderita anoreksia 
2. Mendefinisi ulang masalah makan sebagai masalah interpersonal
3. Mencegah orang tua memanfaatkan anoreksia yang dialami anaknya sebagai alat 
untuk menghindari konflik
Penanganan Bulimia Nervosa
1. Biologis
Karena bulimia sering kali mengalami komorbid dengan depresi, gangguan ini 
ditangani dengan berbagai antidepresan yaitu fluoksetin yang lebih memberikan hasil 
dibandingkan plasebo untuk mengurangi makan berlebihan dan muntah, juga mengurangi 
depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan makan. Namun sebagian besar 
pasien berhenti ditengah jalan dalam melakukan terapi obat ini sehingga mengakibatkan 
kekambuhan.
2. Psikologis
CBT (cognitif behavior therapy) Merupakan standar penangan bulimia yang paling 
baik tervalidasi dengan baik dan paling terkini. Namun, tidak dapat menyembuhkan 
bulimia bagi sebagian besar pasien. Terapinya adalah :
a. Pasien didorang untuk mempertanyakan berbagai standar masyarakat terkait 
dengan daya tarik fisik.
b. Pasien juga harus mngungkap dan mengubah keyakinan yang mendorong mereka 
melaparkan diri sendiri untuk mencegah bertambahnya berat badan.
c. Membantu pasien untuk melihat bahwa berat badan normal dapat dipertahankan 
tanpa harus menjalani diet sangat ketat dan bahwa pembatasan asupan makan yang 
tidak realistis sering kali dapat memicu makan berlebihan.
d. Mengajari mereka bahwa semua tidak hilang hanya dengan makan satu gigit 
makanan berkalori tinggi dan bahwa menguda tidak perlu memicu makan  berlebihan, yang akan diikuti dengan muntah secara sengaja atau minum obat 
pencaharyang akan menyebabkan harga diri semakin rendah dan depresi.
e. Mengubah pola pikir “ semua atau tidak sama sekali “ tersebut membantu para 
pasien mulai makan secara lebih wajar.
f. Mengajari mereka keterampilan asertivitas untuk membantu mereka mengahadapi 
tuntutan yang tidak masuk akal dari orang lain, dan mereka juga mempelajari cara 
berhubungan yang lbih memuaskan dengan orang lain.
g. Relaksasi dilakukan untuk mengendalikan dorongan muntah dengan sengaja.
CONTOH KASUS
Kasus Anoreksia
Karin adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Medan. Usianya 21 tahun, Ia 
bingung dengan kebiasaan yang dilakukannya tiga tahun belakangan ini. Sejak usianya 18 
tahunKarin selalu merasa badannya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak. Karin pernah 
mengikuti kontes Ratu di kampus, tetapi saat itu IA tidak masuk nominasi. Teman-temannya 
mengatakan bahwa Ia terlalu gemuk untuk menang, biarpun wajah dan postur tubuhnya 
sudah cukup mendukung. Semenjak itu kebiasaan Karin untuk makan pun berubah. Karin 
mengurangi porsi makan dan makan sedikit sekali untuk mencapai berat badan ideal, bahkan 
sesekali tidak makan sama sekali seharian. Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. 
Teman-temannya mengatakan bahwa Karin sudah kurus, tetapi tetap saja Karin tidak yakin 
dan menganggap teman-temannya berbohong.
Selama ini keadaan Karin terlihat baik-baik saja, tidak seorangpun mengetahui ketakutannya 
mengalami kegemukan. Orang tua Karin tidak mengetahui, karena selama kuliah Karin 
tinggal di kost, dan pulang ke rumah seminggu sekali. Kekhawatiran Karin mulai timbul 
karena 4 bulan ini ia tidak mengalami menstruasi, padahal saya Karin tidak mempunyai 
pacar. Selain itu badan Karin terlihat sangat lemas dan sudah beberapa hari tidak bisa buang 
air besar. Padahal sebelumnya bila tidak bisa buang air Karin terbiasa memakan obat 
pencahar agar bisa buang air besar. Tetapi untuk saat ini, obat pencahar sudah tidak berfungsi 
dan Ia tetap kesulitan untuk buang air besar. 
Karin selalu berusaha percaya bahwa saya sehat, tetapi Ia merasa ada yang salah dengannya. 
Karin sering mendapat saran dari teman untuk tidak menurunkan berat badan lagi karena 
sudah sangat kurus. Tetapi setiap kali Ia makan, Ia berfikir akan menimbulkan kegemukan 
dan itu sangat menakutkan baginya. 
Kasus Bulimia
Susi adalah seorang remaja berusia 18 tahun yang tinggal dengan orang tuanya. Hubungan 
yang terjalin dengan orang tuanya kurang harmonis. Orang tuanya kerap menuntut Susi agar 
memiliki tubuh yang “ideal” sehingga tampil menarik seperti remaja pada umumnya tanpa 
memberikan arahan bagaimana diet yang sehat. Dalam lingkungan pergaulannya, perempuan 
yang lebih kurus dianggap ideal dan lebih disukai.
Susi merasa tertekan, ia makan berlebih yang kemudian ia muntahkan kembali makanan 
yang sudah dimakannya. Meskipun begitu, Susi menyangkal makan berlebihan dan 
menyangkal sengaja memuntahkan makanan tersebut. Susi mengaku sudah berdiet sejak 
umur 11 tahun, tetapi tetap saja ia merasa terlalu tinggi dan gemuk. Pada saat berusia 13 
tahun, Susi mulai makan berlebih dan memuntahkannya kembali. Dia mengikuti kelas zumba 
setiap waktu dan hal itu penting untuk menurunkan berat badannya. Selama beberapa hari, 
Susi mencoba menghindari makanan, tetapi hal itu justru menimbulkan keinginannya untuk 
makan lebih banyak. Hal itu mengakibatkant setiap malam, Susi mencari makanan di lemari 
es, seperti es krim dan kue. Hal tersebut dilakukan Susi tanpa diketahui kedua orang tuanya. 
Setiap kali makan, Susi dapat menghabiskan seperempat wadah es krim, satu stoples kue, dan 
beberapa makanan pencuci mulut lainnya. 
Susi akan makan terus menerus sampai perutnya terasa penuh, yang justru mengakibatkan 
Susi semakin merasa tertekan dan ketakutan jika berat badannya bertambah. Untuk mengatasi 
hal tersebut, Susi merangsang dirinya sendiri agar memuntahkan makanan yang sudah 
dimakannya. 
Ketika berusia 14 tahun, Susi hanya mengalami satu kali dalam enam minggu periode makan 
berlebih dan muntah, tanpa mengalami berat badan berlebih. Ketika berusia 16 tahun, episode 
makan berlebih dan muntah bertambah, yaitu berlangsung empat kali seminggu. 
Kasus Makan Berlebih
Wilona, seorang SPG berusia 33 tahun terbiasa memulai harinya dengan sarapan telur dan 
roti bakar sebelum bekerja. Kemudian ia mulai menyukai makan-makanan manis seperti 
kue-kue kering, donat, biskuit yang diolesi selai kesukaannya, krim keju dan jelly, permen, 
serta semangkuk sereal gandum dan susu coklat semuanya dapat ia habiskan dalam waktu 
yang singkat. Wilona merasa malu bila terlihat makan berlebih dan merasa menyesal 
sesudahnya. Namun Wilona tidak melakukan apapun untuk mengurangi perasaan bersalahnya 
karena telah makan secara berlebihan. Pada usia 30 tahun Wilona menunjukkan kondisi 
makan berlebihan setidaknya 2 hari dalam seminggu dan di usianya yang 33 tahun meningkat 
menjadi 5 hari dalam seminggu. Hal ini juga menimbulkan hubungan yang kurang harmonis 
dengan rekan-rekan kerjanya karena ia sering meminta dan mengambil jatah makan teman￾temannya

GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIVITAS
Menurut DSM IV-TR, Attention Deficit/ Hiperactivity Disorder merupakan gangguan 
pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas dengan pola menetap yang ditunjukan dalam 
bentuk perilaku dan nampak lebih parah jika dibandingkan dengan individu pada tahap 
perkembangan yang sama. Ganguan ini ditunjukan sebelum usia 7 tahun dan terjadi minimal 
dalam dua lingkungan yang berbeda seperti rumah dan sekolah. 
Kriteria Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas dalam DSM-IV TR
A. Enam atau lebih wujud kurangnya konsentrasi selama minimal 6 bulan hingga ke 
tingkat yang maladaptive dan lebih besar dari yang diharapkan, menilik tingkat 
perkembangan orang yang bersangkutan
Inattention
- Sering kali tidak teliti dan melakukan kesalahan dalam tugas sekolah, 
pekerjaan, dan aktivitas lainnya
- Sulit untuk memberikan perhatian secara terus menerus pada tugas atau 
aktivitas bermain
- Terlihat tidak memperhatikan saat diajak berbicara
- Sering kali tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, 
ataupun pekerjaan
- Sering mengalami kesulitan saat menyusun tugas dan kegiatan
- Sering menghindar, tidak menyukai, ataupun enggan mengerjakan tugas yang 
menggunakan aktivitas mental yang terus menerus seperti pekerjaan rumah
- Mudah teralihkan oleh stimulus dari luar diri
- Sering tidak mengingat kegiatan sehari-hari
 Enam atau lebih wujud hiperaktivitas-impulsivitas yang terjadi selama minimal 6 
bulan hingga ke titik yang maladaptif dan lebih besar dari yang diharapkan, menilik 
tingkat perkembangan orang yang bersangkutan
Hiperaktivitas
- Sering kali menggerakan tangan dan kaki dengan gelisah, dan menggerakan 
tubuh saat duduk
- Sering kali meninggalkan tempat duduk di kelas dan situasi lainnya
- Sering kali berlari, memanjat pada waktu yang tidak tepat
- Sulit bermain atau ikut serta dalam sebuah aktivitas dengan tenang
Banyak bicara
Impulsivitas
- Sering kali menjawab sebelum pertanyaan usai diucapkan
- Sulit untuk menunggu
- Sering kali mengganggu atau memaksa orang lain (seperti dalam berbicara dan 
bermain)
 Beberapa dari karakteristik diatas terjadi sebelum usia 7 tahun
 Terjadi di dua lingkungan atau lebih, seperti, di rumah, dan di sekolah atau di tempat 
kerja
 Disabilitas yang parah dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan
 Tidak terdapat karakteristik gangguan lain seperti skizofrenia, gangguan anxietas 
gangguan mood.
DSM-IV TR mencantumkan tiga subkategori ADHD
1. Tipe Predominan Inatentif : Anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya tingkat 
Konsentrasi, menunjukan sekurang-kurangnya 6 simptom 
inattentive selama kurang lebih enam bulan.
2. Tipe Predominan Hiperaktif-Impulsif : Anak-anak yang masalah utamanya terutama 
diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif, symptom hiperaktivitas ditunjukan 
sekurang-kurangnya 6 simptom selama kurang lebih enam bulan
3. Tipe Kombinasi : Anak-anak yang mengalami kedua rangkaian di atas.
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas
 Teori Biologis
- Faktor Genetik
Biederman dkk. (1995) mengungkapkan bahwa bila orang tua mengalami ADHD, 
sebagian anak mereka memiliki kemungkinan mengalami gangguan tersebut. 
- Struktur Otak
Struktur otak anak ADHD jika dibandingkan dengan otak pada anak-anak normal 
terdapat perbedaan. Bagian frontal lobe anak dengan ADHD kurang responsive 
terhadap stimulus (Rubia dkk., 1999; Tannock, 1998), dan aliran darah pada 
bagian selebral berkurang. Beberapa bagian otak lainnya seperti frontal lobe, 
nucleus kaudat, dan globus pallidus pada anak dengan ADHD lebih kecil dari 
ukuran normal. Berdasarkan dari beberapa tes neuropsikologis terhadap frontal 
lobe yang dilakukan, anak ADHD menunjukan performa yang lebih rendah jika 
dibandingkan dengan anak normal (Barkley, 1997; Klorman dkk., 1999; Nigg, 
1999; 2001; Tannock 1998).
- Faktor Perinatal dan Pranatal
Salah satu prediktor yang cukup spesifik bagi perkembangan ADHD adalah berat 
lahir rendah, dan berbagai komplikasi lain yang berhubungan dengan kelahiran, 
dan zat yang dikonsumsi ibu seperti tembakau dan nikotin.
- Racun Lingkungan
Zat-zat aditif pada makanan memengaruhi kerja sistem saraf pusat (Feingold, 
1973). Studi lainnya menunjukan bahwa 22 persen ibu dari anak-anak ADHD 
menuturkan bahwa mereka mengkonsumsi rokok setiap hari semasa hamil jika 
dibandingkan dengan angka 8 persen pada ibu-ibu yang anak-anaknya tidak 
mengalami ADHD (Milberger dkk., 1996). Berdasarkan dari studi terhadap hewan 
menunjukan bahwa pemaparan kronis pada nikotin meningkatkan aktivitas 
dopamine dalam otak dan menyebabkan hiperaktivitas (Fung & Lau, 1989; Johns 
dkk., 1992). Sehingga Milberger menarik hipotesis bahwa merokok semasa hamil 
dapat mempengaruhi sistem dopamine pada janin yang menyebabkan ADHD.
 Teori Psikologis ADHD
- Teori Psikoanalisa
Hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan tersebut 
dipasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian (Bettelheim, 1973). 
Seorang anak yang memiliki disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah 
berubah moodnya mengalami stress karena orang tua yang mudah menjadi tidak 
sabar dan marah, anak tidak mampu menghadapi tuntutan orang tuanya untuk 
selalu patuh.
- Teori Belajar
Salah satu teori belajar terkait dengan gangguan ADHD adalah adanya penguatan 
yang diberikan sehingga meningkatkan frekuensi ataupun intensitas perilaku 
hiperaktif. Selain itu berdasarkan teori modelling, Ross dan Ross (1982) 
mengemukakan bahwa hiperaktivitas dapat merupakan peniruan perilaku orang 
tua dan saudara kandung.
Penanganan ADHD
Penanganan yang dapat diberikan kepada anak dengan ADHD yakni dengan memberikan 
obat stimulant dan penanganan psikologis. Berdasarkan dari prinsip-prinsip operant bagi 
penanganan anak dengan ADHD seperti pelatihan bagi orang tua dan perubahan manajemen 
kelas. Orang tua dapat menggunakan papan bintang, anak diberikan bintang pada setiap 
perilaku yang ingin dikuatkan dimunculkan oleh anak, dimana bintang tersebut nantinya 
dapat ditukarkan dengan hadiah. Tujuan dari penanganan ini adalah meningkatkan 
kemampuan anak dalam bidang akademik, kemampuan menyelesaikan tugas, serta 
keterampilan sosial yang spesifik. Selain itu, menciptakan suasana kelas yang positif juga 
dapat meningkatkan kemampuan anak ADHD seperti tutor sebaya serta guru membuat 
laporan mengenai perilaku anak di sekolah, yang nantinya akan dilanjutkan dengan hadiah 
ataupun konsekuensi di rumah. 
GANGGUAN TINGKAH LAKU
Definisi gangguan tingkah laku menurut DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang yang 
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial. Tipe perilaku yang dianggap 
sebagai simptom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejaman terhadap orang lain 
atau hewan, merusak kepemilikan, berbohong dan mencuri. Gangguan tingkah laku ini 
merujuk pada tindakan kasar dan sering dilakukan yang melampaui kenakalan dan tipuan 
praktis yang biasa dilakukan anak-anak atau remaja. Ditandai dengan kesewenang-wenangan, 
kekejian dan kurangnya penyesalan yang membuat gangguan tingkah laku merupakan salah 
satu kriteria historis dalam gangguan kepribadian antisosial pada orang dewasa. 
Gangguan yang sering kali komorbid dengan gangguan tingkah laku adalah ADHD, 
gangguan belajar dan gangguan komunikasi. Perbedaan antara ADHD dengan gangguan 
tingkah laku adalalah anak-anak dengan GSM melakukan kegaduhan dengan kesengajaan 
dibandingkan anak-anak dengan ADHD. GSM lebih sering dialami oleh anak laki-laki 
daripada perempuan.
Kriteria Gangguan Tingkah Laku dalam DSM-IV-TR
 Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau 
norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih 
perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam 
enam bulan terakhir:
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai 
perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan, 
memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual. 
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalism.
c. Berbohong atau mencuri, contohnya masuk dengan paksa ke rumah orang lain, 
menipu, mengutil. 
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya, tidak pulang ke rumah hingga larut 
malam sebelum berusia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, 
sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun.
 Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik, dan pekerjaan.
 Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak 
memenuhi gangguan kepribadian antisosial. 
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
 Faktor Biologis :
Sebuah studi menjelaskan bahwa perilaku criminal dan agresif dipengaruhi oleh 
faktor biologis dan faktor lingkungan, tetapi faktor lingkungan memiliki peran yang 
lebih besar. Menurut Hinshaw dan Lee (di media), mengatakan bahwa hal yang 
mungkin diturunkan dalam gangguan tingkah laku adalah karakteristik temperamen 
yang berinteraksi dengan berbagai masalah biologis lainnya (kelemahan 
neuropsikologis seperti keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi 
pelaksanaan, masalah memori, dan IQ yang rendah) serta dengan sekumpulan faktor 
lingkungan (pola asuh, informa disekolah, pengaruh teman sebaya). 
 Faktor Psikologis :
Salah satu teori pembelajaran yang terlibat adalah modeling dan pengondisian 
operant. Anak-anak dapat meniru tindakan agresif yang