marhaenisme

Ideologi menjadi begitu penting 
jika dikaitkan dengan sistem 
pemerintahan atau kekuasaan tertentu 
dalam suatu negara. Setiap pergantian 
pemerintahan yang menjadi pergumulan 
adalah ideologi yang berpengaruh dalam 
diri penguasa ini . Ide merupakan 
sebuah pemikiran yang dihasilkan dari 
renungan seseorang melalui berbagai 
pertimbangan dan kebijakan yang ada 
dalam dirinya dan dipengaruhi oleh jiwa 
jaman untuk diaplikasikan dalam 
kehidupannya, masyarakat, bangsa dan 
negaranya. Sukarno sosok pejuang 
dalam masa pergerakan dan 
kemerdekaan tidak terlepas usahanya 
untuk mencapai kemerdekaan. Pada 
masa kolonial Belanda, Sukarno tidak 
segan-segan melawan secara terang￾terangan terhadap berbagai kebijakan 
pemerintah Hindia Belanda. 
Keberpihakannya terhadap kaum 
pribumi yang melarat dan penuh 
kesengsaraan menginspirasi Sukarno 
membentuk sebuah partai radikal (PNI) 
dan mengembangkan pemikirannya 
mengenai konsep Marhaenisme. 
Marhaenisme diperkenalkan 
semasa jaman pergerakan dalam 
suasana kehidupan ekonomi rakyat 
dikuasai oleh modal produksi kolonial, 
dimana rakyat hanya diperlakukan 
sebagai pekerja upahan. Sukarno 
melihat ada petani kecil yang tetap 
menguasai alat-alat produksi 
pertaniannya yang mampu bertahan 
dalam keterbatasannya, sehingga dapat 
digeneralisasikan menjadi kondisi rakyat 
Indonesia yang dapat digerakan kearah 
masyarakat yang maju. Sebagai sebuah 
ideologi, Marhaenisme menjadi 
penentang rezim kolonial yang 
kapitalistis, dimana sebagian besar 
alat-alat produksi (sumber daya alam 
dan modal) dikuasai oleh penguasa dan 
pemodal besar 
Bagi Sukarno, Marhaen bukan 
hanya melambangkan perwakilan 
terbaik kelas bawah layaknya partai 
buruh di negara-negara maju, misalnya 
bagi kaum proletar (buruh, buruh tani, 
pengrajin, dsb). Sukarno menganggap 
Marhaen mewakili mayoritas rakyat kecil 
Indonesia yang pada umumnya hidup 
termarjinalkan. Bahkan, eksistensi 
mereka pun sangat rapuh. Mereka 
berada diambang batas kelangsungan 
hidupnya, sebagian besar kebutuhan 
materi, ekonomi, sosial dan politiknya 
hampir sama sekali tidak terpenuhi. 
Mayoritas orang Indonesia hidup 
menderita dan menghadapi resiko 
eksistensial dari waktu kewaktu. Inilah 
rakyat Indonesia yang tidak mampu 
untuk memenuhi standar hidup minimal, 
hilangnya standar keamanan dan 
keadilan dalam kehidupannya yang 
notabene hidup di kampungnya sendiri. 
Buah Pikiran Sukarno Masa Pergerakan 
Tampaknya Sukarno memiliki  
kesimpulan serupa dengan Cliford 
Geertz mengenai involusi ketika 
membalikan kesimpulan J.H. Boeke 
mengenai dualisme ekonomi. Sukarno 
menyatakan bahwa masyarakat desa di 
Jawa telah menjadi miskin oleh 
penjajahan, sehingga mereka menjadi 
statis hampir tak ada perubahan dalam 
kehidupannya. Walaupun Sukarno 
mengerti dan membedakan antara 
imperialisme kuno dan modern, tetapi 
pada hakekatnya adalah sama, yaitu 
nafsu menguasai atau mengendalikan 
perekonomian bangsa dan negara lain 
untuk kepentingan kekuasaan kolonial, 
dimana kepentingan imperialisme 
bertentangan dengan kepentingan 
negara satelit. Negara penjajah 
mempertahankan kekuasaannya agar 
dapat menguras sebanyak mungkin 
sumber daya alam, sedangkan negara 
terjajah ingin secepatnya membebaskan 
diri dari cengkraman nafsu 
imperialisme. Namun, Sukarno kurang 
berminat berbicara mengenai nilai-nilai 
positif dalam imperialisme. 
Di mata Sukarno, imperialisme 
penuh dengan tipu daya yang 
membutakan rakyat dengan 
keterbelakangan. Kebencian Sukarno 
terhadap Imperialisme dituangkan 
melalui tulisannya yang diberi judul 
¥Nasionalisme, Islamisme dan 
Marxismeµ menyerukan agar ketiga 
kelompok aliran ini  bersatu 
menghancurkan imperialisme yang 
dimanifestasikan kekuasaan kolonial 
Hindia Belanda. µ%XNDQQ\D NLWD
mengharap yang nasionalis itu supaya 
berubah paham menjadi Islamis atau 
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh 
Marxis dan Islamis berbalik menjadi 
Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah 
kerukunan, persatuan antara tiga 
JRORQJDQWHUVHEXWµ (Soekarno, 1964: 5). 
Ketiga paham ini  memang 
memiliki  kekuatan yang besar 
pengaruhnya dikalangan pribumi 
termasuk dalam jiwa Sukarno. Nurani 
Soyomukti (2008:80) berpendapat 
bahwa pemikiran Islam Sukarno banyak 
dipengaruhi oleh Haji Misbach sebab 
banyak pemikiran dari Sukarno tentang 
Islam yang hampir sama dengan Haji 
Misbach. Selain itu, Sukarno banyak 
berguru bahkan hidup bersama dengan 
Cokroaminoto, kemungkinan dari 
pemikiran Cokroaminoto ini  paham 
Sukarno tentang Islam terbentuk. Selain 
dengan Cokroaminoto, Sukarno dekat 
juga dengan Ahmad Hasan (Hasan 
Bandung) pendiri Persatuan Islam 
(Persis) sebagai guru spiritualnya. 
Sukarno menaruh perhatian terhadap 
penghisapan ekonomi, diskriminasi dan 
penghancuran nilai-nilai sosial yang 
menyertai imperialisme, dan itu (anti￾imperialisme) adalah salah satu bentuk 
pandangan politik Sukarno yang tetap 
dipertahankan sampai dia menjadi orang 
nomor satu di Indonesia setelah 
kemerdekaan. 
Sukarno melihat disemua negeri 
terjajah, termasuk di Indonesia, 
perjuangan melawan kolonial ini ada 
dua warna yang dominan yaitu dengan 
bendera Islam ataupun bendera Sosialis 
(Marxis). Sukarno mengakui bahwa 
Islamisme dan Marxisme adalah ideologi 
yang lintas bangsa tetapi benang merah 
yang diambil Sukarno adalah semua 
perjuangan diberbagai negeri adalah 
sama yaitu untuk memerdekakan 
negerinya dari kolonialisme dan 
imperialisme. Maka dari itu Sukarno 
selalu menekankan bahwa segala macam 
warna perjuangan yang ada di Indonesia 
adalah untuk Tanah Air Indonesia, 
semua harus bersatu, bahu-membahu 
demi Tanah Air tempat dimana Bangsa 
Indonesia hidup. 
Dalam perjalanannya konsep 
Nasionalis, Islamisme, dan Marxisme 
Sukarno berubah menjadi Nasakom; 
Nasionalis, Agama, dan Komunis. 
Sukarno memperluas konsep Islamisme 
menjadi Agama, yang harapanya semua 
agama bisa terwakili dalam konsep 
persatuannya ini . Sukarno benar￾benar berusaha sekuat tenaga untuk 
mewujudkan kebhinekaan tiga golongan 
ini menjadi Tunggal Ika, dalam balutan 
Ibu pertiwi walau sebenarnya Sukarno 
sadar benar golongan-golongan ini 
rentan sekali bertikai karena perbedaan 
paham yang sangat lebar. 
Sukarno melihat bahwa 
keterbelakangan negara di Dunia Ketiga 
adalah akibat keserakahan dari negara￾negara yang tidak pernah puas dan 
selalu mengadakan penghisapan 
terhadap bangsa-bangsa yang dilanda 
kelaparan dan kemiskinan. Walaupun 
pemahaman sosialis begitu menonjol 
dalam pemikiran Sukarno tampaknya dia 
tidak menggantungkan konsep-konsep 
pemikirannya secara kuat pada salah 
seorang pemikir sosialis tertentu, 
seperti Bauer, Brailsford, Engels, 
Jaures, Kaustky, Marx dan Troelstra, 
melainkan sesuai dengan kebutuhannya 
untuk mengemukakan atau 
mempertajam konsep-konsepnya sendiri 
, Sukarno 
memadukan antara Nasionalisme, 
Sosialisme dan Islamisme yang 
merupakan paham-paham yang 
berkembang di Hindia Belanda awal 
abad keduapuluhan. 
Munculnya Marhaenisme Awal Abad 
ke-20 
Kebijakan Pemerintah Hindia 
Belanda yang tidak berpihak kepada 
mayoritas pribumi sepertinya membuat 
Sukarno gerah. Segenap pikirannya terus 
dicurahkan untuk mendapatkan cara 
melakukan sebuah terobosan yang 
memiliki  dukungan dari kalangan 
mayoritas penduduk Hindia Belanda 
(Indonesia). Situasi yang serba 
memprihatinkan bagi rakyat kebanyakan 
sepertinya lebih mengispirasi Sukarno 
merumuskan pemikirannya mengenai 
Marhaenisme. Kebanyakan rakyat ketika 
itu hidup sebagai masyarakat sublatern 
bahkan lebih dari itu yakni masyarakat 
melarat. Masyarakat sublatern menurut 
Gramsci adalah term sebagai kelompok 
yang kalah dan terpinggirkan dalam 
kekuasaan (sebagai kelompok inferior) 
yang didalamnya adalah petani, buruh, 
dan kelompok yang tidak memiliki  
akses pada kekuasaan ,
Ranajit Guha mengatakan bahwa 
masyarakat subaltern adalah kelompok 
non-elit kelompok yang bukan penguasa. 
Gayatri Chakravarthy Spivak dalam 
bukunya yang berjudul Can The 
Subaltern Speak? mengatakan bahwa 
masyarakat subaltern adalah mereka 
yang bukan elit dan kaum yang tidak 
bisa bicara karena tidak diberi hak 
dalam wacana kolonialisme. Subaltren
adalah mereka yang selalu dalam posisi 
dipresentasikan oleh pihak-pihak yang 
berkepentingan seperti politik, birokrat, 
sementara mereka tidak bisa 
mempresentasikan dirinya sendiri 
karena akses yang tidak dimilikinya. 
Atau bahkan masyarakat subaltern
dalam kelompok yang tidak berdaya dan 
tidak dapat berbicara di media publik 
dan sifat marginal (petani, pekerja, 
wong cilik) , Konsep ini  tentu begitu 
sesuai dengan kondisi masyarakat yang 
dilihat Sukarno pada masa kolonial, 
dimana masyarakat terbungkam oleh 
kaum kapitalis barat dan priyayi 
pribumi. 
Konsep Marhaenisme 
Ajaran Marhaenisme telah 
dicetuskan tahun 1927 suatu ajaran yang 
menurut Sukarno mengandung ilmu 
perjuangan revolusioner untuk 
menggalang persatuan kaum Marhaen. 
Kata Marhaen mulai mencuat ketika 
Sukarno melakukan pembelaannya 
dihadapan raad van indie di Bandung 
tahun 1930. Marhaen berasal dari nama 
seorang petani miskin yang memiliki  
lahan dan alat pertanian sendiri di 
daerah Jawa Barat. 

permulaan propaganda PKI istilah 
ini  sering dipakai mengacu pada 
kaum proletar, hal ini  memaksa 
Sukarno untuk mencari istilah baru. 
Ada dua versi mengenai munculnya 
istilah marhaen. Pertama, Marhaen 
adalah seorang petani di daerah 
Bandung yang memiliki sebidang tanah 
kemudian menggarap sendiri, alatnya 
punya dia sendiri dan hasilnya cukup 
untuk kebutuhan keluarganya. Pada 
suatu hari, ketika sedang jalan-jalan di 
daerah Kiduleuen, Cigelereng, Bandung 
Selatan. Sukarno berjumpa dengan 
seorang petani yang sedang 
mengerjakan sawah miliknya sendiri 
dengan alat-alat yang dimiliki sendiri 
walaupun sederhana, seperti dijelaskan 
oleh Sukarno dikemudian hari, jelas 
gambaran sosok petani diatas bukan 
proletar (karena ia tidak menjual 
tenaganya), tetapi walaupun demikian 
hidupnya dalam kemiskinan. Sukarno 
menanyakan namanya, Marhen, jawab si 
petani. (Bernhard Dahm a.b. Hasan 
Basri, 1987:175). Dari situlah Sukarno 
mulai menggunakan kata Marhaen 
sebagai sebuatan untuk rakyat miskin 
kebanyakan yang berada di bawah 
tekanan dibawah kekuasaan kolonial. 
Dalam berbagai pidatonya Sukarno yakin 
bahwa kemerdekaan akan tercapai jika 
rakyat Marhaen bersatu dalam sebuah 
wadah organisasi yang baik. Tanpa itu 
kemerdekaan sulit dicapai sehingga 
mutlak dibutuhkan sebuah ideologi 
revolusioner ,
 Versi yang kedua, mengatakan 
Marhaen berasal dari akronim Marx, 
Hegel dan Engels. Versi ini memiliki  
alasan bahwa arah pemikiran Sukarno 
mengenai Marhaenisme berpijak pada 
teori dialektika yang dikembangkan oleh 
Hegel dan didukung oleh Karl Marx dan 
F. Engels. Bahkan menurut Ruslan 
Abdulgani jika akan mengmahami 
Marhaenisme maka orang ini  harus 
paham Marxsisme terlebih dahulu 
Konsep Marhaen yang dirumuskan 
Sukarno, tentu berbeda dengan konsep 
proletarnya Karl Marx. Disini terlihat 
Sukarno bersifat kritis tidak begitu saja 
mengambil konsep yang dilontarkan 
pemikir-pemikir sosialis Barat. Konsep 
proletar hanya memiliki  relevansi di 
negara-negara industri Barat, untuk 
masyarakat Indonesia yang merupakan 
masyarakat agraris tidak 
memungkinkan. 
Terdapat perbedaan konsep 
Marhaen dengan proletar, konsep 
Marhaen mewakili sebagian besar 
anggota masyarakat yang sengsara dan 
tertindas, sedangkan Proletar hanya 
mencakup sedikit anggota masyarakat 
saja yakni buruh. Selain itu, yang 
membedakan keduanya adalah kaum 
Marhaen yang memiliki alat produksi, 
tetapi kaum proletar tidak memiliki alat 
produksi dan hanya menjual jasa. 
Melalui Marhaenisme sebagai teori 
perjuangan dipakainya untuk mengubur 
sistem kapitalisme maupun imperialisme 
dari muka bumi Indonesia yang kaya 
sumber alamnya, tetapi rakyatnya 
miskin. 
Sukarno dalam menjelaskan 
Marhaenisme tidak pernah keluar dari 
benang merah yang telah digariskan 
sejak tahun 1927 tentang Marhaenisme, 
diantaranya: 
1. Marhaen adalah kaum melarat 
Indonesia, yang terdiri dari 
buruh, tani, pengusaha kecil, 
pegawai kecil, tukang, kusir, dan 
kaum kecil lainnya. Sukarno 
sering menyebutkan Marhaen 
adalah rakyat Indonesia yang 
dimiskinkan oleh imperialisme. 
2. Marhaen Indonesia ada yang 
berdomisili di pantai, di gunung, 
di dataran rendah, di kota, di 
desa dan di mana saja. Marhaen 
itu ada yang beragama Islam, 
Kristen, Hindu, Budha, dan ada 
juga yang menganut animisme. 
3. Kaum Marhaen, sesuai dengan 
kodratnya, berupaya melepaskan 
belenggu kemiskinan dan 
mengharapkan terjadinya 
perbaikan nasib. 
4. Marhaenisme adalah ideologi 
yang bertujuan menghilangkan 
penindasan, penghisapan, 
pemerasan, penganiayaan dan 
berupaya mencapai serta 
mewujudkan masyarakat yang 
adil dan makmur, melalui 
kemerdekaan nasional, melalui 
demokrasi politik dan demokrasi 
ekonomi. 
5. Terhapusnya kemiskinan dan 
terwujudnya masyarakat adil dan 
makmur, hanya bisa dicapai 
dengan kemerdekaan nasional, 
dimana kemerdekaan itu 
hanyalah jembatan emas. Di 
seberang jembatan emas itu 
terbuka dua jalan. Satu jalan 
menuju masyarakat yang adil dan 
makmur, dan jalan satu lagi 
menuju masyarakat celaka dan 
binasa ,
Menurut putusan Partindo, 
Marhaenisme yakni sosio-nasionalisme 
dan sosio-demokrasi, yang 
beranggotakan kaum proletar, pertani 
dan kaum melarat lainnya, Marhaenisme 
merupakan juru selamat untuk kaum 
Marhaen, Marhaenisme merupakan azas 
yang menghendaki susunan masyarakat 
yang menyelamatkan kaum Marhaen, 
perjuangan revolusioner adalah jalan 
yang ditempuh untuk mencapai 
masyarakat Marhaen, perjuangan 
ini  yakni menghancurkan 
imperialisme dan kapitalisme 
Penyebaran paham-paham baru 
banyak dirasakan kaum jelata (rakyat 
kecil) dari berbagai media massa 
melalui kaum kelas menengah. Berbagai 
organisasi muncul secara modern yang 
mempegaruhi kehidupan masyarakat 
dengan hal-hal baru. Tokoh seperti 
Marco Kartodikromo, Cipto 
Mangunkusumo, Haji Misbach, dan 
Semaun banyak tampil dikalangan 
masyarakat kecil dan mempengaruhi 
pola pikir rakyat untuk menentang 
kolonialisme dengan pemogokan dan 
mendirikan sekolah atau kursus politik 
untuk rakyat (Nurani Soyomukti, 
2008:80). Melalui media massa Fikiran 
Rakjat Marhaenisme berkembang, 
Sukarno mencoba mengembangkan 
pemikiran ini  sebagai gerakan non￾kooperatif. 
Asas Marhaenisme 
Pemikiran Sukarno terpengaruh 
oleh paham Marxis. Menurut Sukarno 
untuk memahami konsep Marhaenisme 
maka harus mengerti dua hal yakni 
pengetahuan tentang situasi dan kondisi 
Indonesia, serta pengetahuan tentang 
Marxisme . Dalam 
sebuah pidato memperingati HUT 
Marhaenisme 4 Juli 1963 Sukarno 
mengatakan bahwa: 
....ja, saja toepassen, saja 
trap-kan kepada situasi 
masjarakat Indonesia. Dan 
sebagai hasil daripada 
penggunaan, atau toepassing
atau pentrapan historis￾materialisme Karl Marx 
dimasjarakat Indonesia dengan 
iapunja kondisi sendiri, dengan 
iapunja sedjarah sendiri, iapunja 
kebudadajaan sendiri dan 
sebagainya lagi itu, maka saja 
datang kepada adjaran 
Marhaenismeµ ,
Marhaenisme menggunakan asas 
yakni sosio-Nasionalisme dan Sosio￾Demokrasi. Hal ini yang menjadi 
landasan pemikiran Marhaenisme 
yang mencoba akan diterapkan pada 
masyarakat Indonesia. 
1. Sosio-Nasionalisme adalah 
nasionalisme yang 
berperikemanusiaan, nasionalisme 
yang lapang dada, nasionalisme yang 
internasionalisme, nasionalisme yang 
bergetar hatinya untuk membela 
apabila melihat masih ada bangsa 
yang terjajah. Sosio-nasionalisme 
bukanlah nasionalisme yang 
berpandangan sempit dan 
menumbuhkan chauvinisme, 
intoleran atau disebut xeno phobia. 
Sosio-nasionalisme juga bukan 
nasionalisme yang hanya berorientasi 
pada internasionalisme minded saja, 
tanpa memperhatikan harga diri atau 
identitas nasional atau disebut xeno 
mania. Bagi Marhaenisme, 
internasionalisme harus dibarengi 
oleh nasionalisme atau patriotisme 
dan disebut sosio-nasionalisme 

Sosio-nasionalisme diartikan 
sebagai nasionalisme masyarakat yang 
mencari keselamatan bagi seluruh 
masyarakat. Jelas nasionalisme 
Marhaen sangat anti terhadap sistem 
borjuisme yang menjadi penyebab 
kepincangan sistem dalam 
masyarakat. Sosio-nasionalisme juga 
merupakan nasionalisme politik dan 
ekonomi yang berusaha untuk mencari 
kemapanan politik dan kemapanan 
ekonomi. Kaum Marhaen harus 
terlepas dari gencatan kapitalisme 
dan mengobarkan semangat 
perlawanan kaum buruh dan 
mengorganisasikannya kedalam 
badan-badan serikat sekerja yang kuat 
(Ign. Gatut Saksono, 2008:51). 
Sukarno menegaskan bahwa 
nasionalisme di dunia Timur itu lantas 
terpadu dengan Maxisme menjadi 
satu nasionalisme Baru. Nasionalisme 
Baru inilah yang kini hidup dikalangan 
rakyat Marhaen Indonesia yang harus 
tumbuh berkembang untuk 
mewujudkan kedaulatan yang 
sepenuhnya mampu menyelesaikan 
masalah-masalah kebangsaan yang 
dari dulu hingga sekarang tidak 
pernah kunjung usai seperti 
kemiskinan, penganguran, kebodohan, 
ketidak adilan, ketergantungan 
kepada asing, korupsi dan masalah ²
masalah kebangsan lainnya yang itu 
mutlak harus diperangi (Yuddy 
Chrisnandi, www. marhaenisme.com, 
diakses pada 24 September 2011). 
2. Sosio-demokrasi meliputi demokrasi 
politik dan demokrasi ekonomi. 
Demokrasi politik hanya akan 
melahirkan political power centris
yang menyuburkan aliran yang 
Darwinisme. Menurut Sukarno, 
demokrasi politik yang seperti ini 
berwatak liberalisme dan menjurus 
kepada free fight competition dan 
bertentangan dengan Marhaenisme 
yang sosialistis. Dengan demikian, 
demokrasi politik dan demokrasi 
ekonomi sejajar dengan Marhaenisme. 
Apabila Marhaenisme dikembangkan 
maka akan melahirkan Sosio￾nasionalisme menjadi nasionalisme, 
perikemanusiaan dan Sosio-demokrasi 
menjadi demokrasi, kedaulatan politik 
dan keadilan sosial. 
Demokrasi masyarakat tumbuh 
karena sosio-nasionalisme yang 
merangkul semua seluruh kepentingan 
masyarakat Indonesia. Sosio￾demokrasi sebagai reaksi dari 
demokrasi Barat. Menurut Sukarno 
demokrasi Barat dianggap lebih 
bersifat liberalis. Sementara 
pergerakan rakyat Marhaen lebih 
disebabkan karena kemerlaratan yang 
menginginkan kehidupan yang lebih 
baik dan sempurna. Perbaikan dalam 
sendi-sendi kehidupan bisa tercapai 
jika imperialisme dan kapitalisme 
telah hilang di negeri ini dengan 
syarat kemerdekaan dan kekuasaan 
ditangan Marhaen. Tantangan yang 
begitu besar bagi kaum Marhaen untuk 
melakukan sebuah pergerakan massa 
yang ingin mengubah sifat masyarakat 
sampai kepada akar-akarnya. 
Perubahan itu harus didukung oleh 
kemauan yang besar dari masyarakat 
sendiri dengan melakukan massa aksi 
Sukarno selalu memperingatkan 
kepada massa Marhaen untuk tidak 
meniru demokrasi yang dipraktekan di 
luar negeri. Dia yakin demokrasi seperti 
itu (parlementer) tidak akan menjamin den
hak-hak politik, tidak menjamin 
kesejarhteraan rakyat, dan menambah 
keterpurukan dalam bidang ekonomi. 
Mengenai bahaya Demokrasi barat 
(parlementer) Sukarno justru mengkritisi 
perjuangan kaum proletar yang tidak 
mendapatkan haknya setelah 
kemerdekaan karena demokrasi 
parlemen itu. Liberte, fransternite, 
egalite, hanya semboyan untuk 
membakar semangat massa namun 
setelah tujuan tercapai massa tidak 
mendapatkan haknya karena kapitalisme 
tetap subur dan memihak golongan atas 
Awas, kaum Marhaen, awas 
dengan nasionalisme￾keborjuisan dan nasionalisme 
keningratan itu! Ikutilah hanya 
itu partai saja yang benderanya 
menyala-nyala dengan 
semboyan sosionasionalisme 
dan sosio-demokrasi, 
teriakkanlah semboyan sosio￾nasionalisme dan sosio￾demokrasi itu dengan suara 
yang mendengung 
menggetarkan langit, gemuruh 
sebagai guruhnya guntur. 
Dengungkanlah sampai 
melintasi tanah-datar dan 
gunung dan samudra, bahwa 
Marhaen seberangnya 
jembatan-emas akan 
mendirikan suatu masyarakat 
yang tiada keningratan dan 
tiada keborjuisan, tiada kelas,
Sosio-Demokrasi yang merupakan 
asas bagaimana kelak susunan peri 
kehidupan kebangsaan di alam 
kemerdekaan dijalankan, dan dalam 
bidang ekonomi bagaimana susunan 
perekonomian harus dibangun agar 
dapat mengangkat martabat kaum 
Marhaen menuju kemakmuran, 
memerlukan cara-cara perjuangan. Cara 
perjuangan itu, tetap bertumpu 
bagaimana penguasaan alat-alat 
produksi dapat dilakukan untuk 
kemakmuran rakyat. Salah satu upaya 
setelah kemerdekaan adalah melakukan 
nasionalisasi perusahaan-perusahaan 
Belanda/Asing yang masih beroperasi di 
Indonesia. 
Upaya ini dapat dipandang dalam 
rangka merebut alat-alat produksi, 
walaupun dalam pelaksanaanya ternyata 
alat-alat produksi itu tidak dikuasai oleh 
rakyat sebagaimana disyaratkan dalam 
sosio-demokrasi, tetapi dikuasai oleh 
aparat negara yang baru terbentuk, 
dengan mengatas namakan negara, 
untuk memperkaya diri. Kondisi kaum 
Marhaen dengan alat produksi yang 
dikuasai oleh asing maupun oleh bangsa 
sendiri tidak jauh berbeda. Kaum 
Marhaen tetap dijauhkan dari 
penguasaan alat-alat produksi di alam 
kemerdekaan, dan mereka tatap kaum 
kecil miskin dan melarat secara 
ekonomi, sehingga Marhaenisme tetap 
perlu diperjuangkan ,
Seorang Marhaen adalah orang 
yang memiliki  alatalat yang sedikit, 
orang kecil dengan milik kecil, dengan 
alatalat kecil, sekedar cukup untuk 
dirinya sendiri. Bangsa kita yang 
puluhan juta jiwa, yang sudah 
dimelaratkan, bekerja bukan untuk 
orang lain dan tidak ada orang bekerja 
untuk dia. Perkembangan paham 
marhaenisme tidak terlepas dari peran 
media massa dan berbagai organisasi 
yang digagas oleh Sukarno sebagai 
media komunikasi kaum intelektual 
akademis dengan massa. Selain itu 
kondisi masyarakat ketika itu hampir 
sebagian besar merupakan masyarakat 
subaltern sebagai akibat dari feodalisme 
dan kolonialisme. 
Konsep Marhaenisme jelas 
merupakan sebuah kajian turunan dari 
konsep Marxisme, namun kemudian 
sukarno memodifikasi menjadi konsep 
yang sesuai dengan kondisi masyarakat 
Indonesia abad ke-20an. Kata Marhaen 
hampir sama dengan konsep proletar, 
kemudian untuk membedakan itu 
Sukarno memperluas arti kaum Marhaen. 
Jika kaum Proletar merupakan 
sekelompok buruh maka Marhaen 
mecakup petani miskin, pedagang 
miskin, dan rakyat miskin lainnya. 
Marhaenisme juga tidak terlepas dari 
pandangan politik Sukarno yang 
menginginkan persatuan seluruh rakyat 
Indonesia yang pada abad ke-20 
sebagian besar adalah kaum miskin 
untuk melawan kolonialisme, 
imperialisme, dan feodalisme. 
Konsep Marhaen terus dibawa oleh 
Sukarno pada perumusan dasar negara 
tahun 1945 juga setelah dia menjadi 
Presiden. Pemikiran itu telihat dari 
penyatuan unsur ideologi yakni 
(Nasionalisme Agama Komunis 
(Nasakom). Itu juga yang menjadi 
bumerang bagi Sukarno ketika terjadi 
tragedi berdarah 30 September 1965 
yang membuat Sukarno lengser 
tersingkir dari kursi kepresidenan 
(lengser keprabon).