marhaenisme
By tuna at November 29, 2023
marhaenisme
Ideologi menjadi begitu penting
jika dikaitkan dengan sistem
pemerintahan atau kekuasaan tertentu
dalam suatu negara. Setiap pergantian
pemerintahan yang menjadi pergumulan
adalah ideologi yang berpengaruh dalam
diri penguasa ini . Ide merupakan
sebuah pemikiran yang dihasilkan dari
renungan seseorang melalui berbagai
pertimbangan dan kebijakan yang ada
dalam dirinya dan dipengaruhi oleh jiwa
jaman untuk diaplikasikan dalam
kehidupannya, masyarakat, bangsa dan
negaranya. Sukarno sosok pejuang
dalam masa pergerakan dan
kemerdekaan tidak terlepas usahanya
untuk mencapai kemerdekaan. Pada
masa kolonial Belanda, Sukarno tidak
segan-segan melawan secara terangterangan terhadap berbagai kebijakan
pemerintah Hindia Belanda.
Keberpihakannya terhadap kaum
pribumi yang melarat dan penuh
kesengsaraan menginspirasi Sukarno
membentuk sebuah partai radikal (PNI)
dan mengembangkan pemikirannya
mengenai konsep Marhaenisme.
Marhaenisme diperkenalkan
semasa jaman pergerakan dalam
suasana kehidupan ekonomi rakyat
dikuasai oleh modal produksi kolonial,
dimana rakyat hanya diperlakukan
sebagai pekerja upahan. Sukarno
melihat ada petani kecil yang tetap
menguasai alat-alat produksi
pertaniannya yang mampu bertahan
dalam keterbatasannya, sehingga dapat
digeneralisasikan menjadi kondisi rakyat
Indonesia yang dapat digerakan kearah
masyarakat yang maju. Sebagai sebuah
ideologi, Marhaenisme menjadi
penentang rezim kolonial yang
kapitalistis, dimana sebagian besar
alat-alat produksi (sumber daya alam
dan modal) dikuasai oleh penguasa dan
pemodal besar
Bagi Sukarno, Marhaen bukan
hanya melambangkan perwakilan
terbaik kelas bawah layaknya partai
buruh di negara-negara maju, misalnya
bagi kaum proletar (buruh, buruh tani,
pengrajin, dsb). Sukarno menganggap
Marhaen mewakili mayoritas rakyat kecil
Indonesia yang pada umumnya hidup
termarjinalkan. Bahkan, eksistensi
mereka pun sangat rapuh. Mereka
berada diambang batas kelangsungan
hidupnya, sebagian besar kebutuhan
materi, ekonomi, sosial dan politiknya
hampir sama sekali tidak terpenuhi.
Mayoritas orang Indonesia hidup
menderita dan menghadapi resiko
eksistensial dari waktu kewaktu. Inilah
rakyat Indonesia yang tidak mampu
untuk memenuhi standar hidup minimal,
hilangnya standar keamanan dan
keadilan dalam kehidupannya yang
notabene hidup di kampungnya sendiri.
Buah Pikiran Sukarno Masa Pergerakan
Tampaknya Sukarno memiliki
kesimpulan serupa dengan Cliford
Geertz mengenai involusi ketika
membalikan kesimpulan J.H. Boeke
mengenai dualisme ekonomi. Sukarno
menyatakan bahwa masyarakat desa di
Jawa telah menjadi miskin oleh
penjajahan, sehingga mereka menjadi
statis hampir tak ada perubahan dalam
kehidupannya. Walaupun Sukarno
mengerti dan membedakan antara
imperialisme kuno dan modern, tetapi
pada hakekatnya adalah sama, yaitu
nafsu menguasai atau mengendalikan
perekonomian bangsa dan negara lain
untuk kepentingan kekuasaan kolonial,
dimana kepentingan imperialisme
bertentangan dengan kepentingan
negara satelit. Negara penjajah
mempertahankan kekuasaannya agar
dapat menguras sebanyak mungkin
sumber daya alam, sedangkan negara
terjajah ingin secepatnya membebaskan
diri dari cengkraman nafsu
imperialisme. Namun, Sukarno kurang
berminat berbicara mengenai nilai-nilai
positif dalam imperialisme.
Di mata Sukarno, imperialisme
penuh dengan tipu daya yang
membutakan rakyat dengan
keterbelakangan. Kebencian Sukarno
terhadap Imperialisme dituangkan
melalui tulisannya yang diberi judul
¥Nasionalisme, Islamisme dan
Marxismeµ menyerukan agar ketiga
kelompok aliran ini bersatu
menghancurkan imperialisme yang
dimanifestasikan kekuasaan kolonial
Hindia Belanda. µ%XNDQQ\D NLWD
mengharap yang nasionalis itu supaya
berubah paham menjadi Islamis atau
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh
Marxis dan Islamis berbalik menjadi
Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah
kerukunan, persatuan antara tiga
JRORQJDQWHUVHEXWµ (Soekarno, 1964: 5).
Ketiga paham ini memang
memiliki kekuatan yang besar
pengaruhnya dikalangan pribumi
termasuk dalam jiwa Sukarno. Nurani
Soyomukti (2008:80) berpendapat
bahwa pemikiran Islam Sukarno banyak
dipengaruhi oleh Haji Misbach sebab
banyak pemikiran dari Sukarno tentang
Islam yang hampir sama dengan Haji
Misbach. Selain itu, Sukarno banyak
berguru bahkan hidup bersama dengan
Cokroaminoto, kemungkinan dari
pemikiran Cokroaminoto ini paham
Sukarno tentang Islam terbentuk. Selain
dengan Cokroaminoto, Sukarno dekat
juga dengan Ahmad Hasan (Hasan
Bandung) pendiri Persatuan Islam
(Persis) sebagai guru spiritualnya.
Sukarno menaruh perhatian terhadap
penghisapan ekonomi, diskriminasi dan
penghancuran nilai-nilai sosial yang
menyertai imperialisme, dan itu (antiimperialisme) adalah salah satu bentuk
pandangan politik Sukarno yang tetap
dipertahankan sampai dia menjadi orang
nomor satu di Indonesia setelah
kemerdekaan.
Sukarno melihat disemua negeri
terjajah, termasuk di Indonesia,
perjuangan melawan kolonial ini ada
dua warna yang dominan yaitu dengan
bendera Islam ataupun bendera Sosialis
(Marxis). Sukarno mengakui bahwa
Islamisme dan Marxisme adalah ideologi
yang lintas bangsa tetapi benang merah
yang diambil Sukarno adalah semua
perjuangan diberbagai negeri adalah
sama yaitu untuk memerdekakan
negerinya dari kolonialisme dan
imperialisme. Maka dari itu Sukarno
selalu menekankan bahwa segala macam
warna perjuangan yang ada di Indonesia
adalah untuk Tanah Air Indonesia,
semua harus bersatu, bahu-membahu
demi Tanah Air tempat dimana Bangsa
Indonesia hidup.
Dalam perjalanannya konsep
Nasionalis, Islamisme, dan Marxisme
Sukarno berubah menjadi Nasakom;
Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Sukarno memperluas konsep Islamisme
menjadi Agama, yang harapanya semua
agama bisa terwakili dalam konsep
persatuannya ini . Sukarno benarbenar berusaha sekuat tenaga untuk
mewujudkan kebhinekaan tiga golongan
ini menjadi Tunggal Ika, dalam balutan
Ibu pertiwi walau sebenarnya Sukarno
sadar benar golongan-golongan ini
rentan sekali bertikai karena perbedaan
paham yang sangat lebar.
Sukarno melihat bahwa
keterbelakangan negara di Dunia Ketiga
adalah akibat keserakahan dari negaranegara yang tidak pernah puas dan
selalu mengadakan penghisapan
terhadap bangsa-bangsa yang dilanda
kelaparan dan kemiskinan. Walaupun
pemahaman sosialis begitu menonjol
dalam pemikiran Sukarno tampaknya dia
tidak menggantungkan konsep-konsep
pemikirannya secara kuat pada salah
seorang pemikir sosialis tertentu,
seperti Bauer, Brailsford, Engels,
Jaures, Kaustky, Marx dan Troelstra,
melainkan sesuai dengan kebutuhannya
untuk mengemukakan atau
mempertajam konsep-konsepnya sendiri
, Sukarno
memadukan antara Nasionalisme,
Sosialisme dan Islamisme yang
merupakan paham-paham yang
berkembang di Hindia Belanda awal
abad keduapuluhan.
Munculnya Marhaenisme Awal Abad
ke-20
Kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda yang tidak berpihak kepada
mayoritas pribumi sepertinya membuat
Sukarno gerah. Segenap pikirannya terus
dicurahkan untuk mendapatkan cara
melakukan sebuah terobosan yang
memiliki dukungan dari kalangan
mayoritas penduduk Hindia Belanda
(Indonesia). Situasi yang serba
memprihatinkan bagi rakyat kebanyakan
sepertinya lebih mengispirasi Sukarno
merumuskan pemikirannya mengenai
Marhaenisme. Kebanyakan rakyat ketika
itu hidup sebagai masyarakat sublatern
bahkan lebih dari itu yakni masyarakat
melarat. Masyarakat sublatern menurut
Gramsci adalah term sebagai kelompok
yang kalah dan terpinggirkan dalam
kekuasaan (sebagai kelompok inferior)
yang didalamnya adalah petani, buruh,
dan kelompok yang tidak memiliki
akses pada kekuasaan ,
Ranajit Guha mengatakan bahwa
masyarakat subaltern adalah kelompok
non-elit kelompok yang bukan penguasa.
Gayatri Chakravarthy Spivak dalam
bukunya yang berjudul Can The
Subaltern Speak? mengatakan bahwa
masyarakat subaltern adalah mereka
yang bukan elit dan kaum yang tidak
bisa bicara karena tidak diberi hak
dalam wacana kolonialisme. Subaltren
adalah mereka yang selalu dalam posisi
dipresentasikan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan seperti politik, birokrat,
sementara mereka tidak bisa
mempresentasikan dirinya sendiri
karena akses yang tidak dimilikinya.
Atau bahkan masyarakat subaltern
dalam kelompok yang tidak berdaya dan
tidak dapat berbicara di media publik
dan sifat marginal (petani, pekerja,
wong cilik) , Konsep ini tentu begitu
sesuai dengan kondisi masyarakat yang
dilihat Sukarno pada masa kolonial,
dimana masyarakat terbungkam oleh
kaum kapitalis barat dan priyayi
pribumi.
Konsep Marhaenisme
Ajaran Marhaenisme telah
dicetuskan tahun 1927 suatu ajaran yang
menurut Sukarno mengandung ilmu
perjuangan revolusioner untuk
menggalang persatuan kaum Marhaen.
Kata Marhaen mulai mencuat ketika
Sukarno melakukan pembelaannya
dihadapan raad van indie di Bandung
tahun 1930. Marhaen berasal dari nama
seorang petani miskin yang memiliki
lahan dan alat pertanian sendiri di
daerah Jawa Barat.
permulaan propaganda PKI istilah
ini sering dipakai mengacu pada
kaum proletar, hal ini memaksa
Sukarno untuk mencari istilah baru.
Ada dua versi mengenai munculnya
istilah marhaen. Pertama, Marhaen
adalah seorang petani di daerah
Bandung yang memiliki sebidang tanah
kemudian menggarap sendiri, alatnya
punya dia sendiri dan hasilnya cukup
untuk kebutuhan keluarganya. Pada
suatu hari, ketika sedang jalan-jalan di
daerah Kiduleuen, Cigelereng, Bandung
Selatan. Sukarno berjumpa dengan
seorang petani yang sedang
mengerjakan sawah miliknya sendiri
dengan alat-alat yang dimiliki sendiri
walaupun sederhana, seperti dijelaskan
oleh Sukarno dikemudian hari, jelas
gambaran sosok petani diatas bukan
proletar (karena ia tidak menjual
tenaganya), tetapi walaupun demikian
hidupnya dalam kemiskinan. Sukarno
menanyakan namanya, Marhen, jawab si
petani. (Bernhard Dahm a.b. Hasan
Basri, 1987:175). Dari situlah Sukarno
mulai menggunakan kata Marhaen
sebagai sebuatan untuk rakyat miskin
kebanyakan yang berada di bawah
tekanan dibawah kekuasaan kolonial.
Dalam berbagai pidatonya Sukarno yakin
bahwa kemerdekaan akan tercapai jika
rakyat Marhaen bersatu dalam sebuah
wadah organisasi yang baik. Tanpa itu
kemerdekaan sulit dicapai sehingga
mutlak dibutuhkan sebuah ideologi
revolusioner ,
Versi yang kedua, mengatakan
Marhaen berasal dari akronim Marx,
Hegel dan Engels. Versi ini memiliki
alasan bahwa arah pemikiran Sukarno
mengenai Marhaenisme berpijak pada
teori dialektika yang dikembangkan oleh
Hegel dan didukung oleh Karl Marx dan
F. Engels. Bahkan menurut Ruslan
Abdulgani jika akan mengmahami
Marhaenisme maka orang ini harus
paham Marxsisme terlebih dahulu
Konsep Marhaen yang dirumuskan
Sukarno, tentu berbeda dengan konsep
proletarnya Karl Marx. Disini terlihat
Sukarno bersifat kritis tidak begitu saja
mengambil konsep yang dilontarkan
pemikir-pemikir sosialis Barat. Konsep
proletar hanya memiliki relevansi di
negara-negara industri Barat, untuk
masyarakat Indonesia yang merupakan
masyarakat agraris tidak
memungkinkan.
Terdapat perbedaan konsep
Marhaen dengan proletar, konsep
Marhaen mewakili sebagian besar
anggota masyarakat yang sengsara dan
tertindas, sedangkan Proletar hanya
mencakup sedikit anggota masyarakat
saja yakni buruh. Selain itu, yang
membedakan keduanya adalah kaum
Marhaen yang memiliki alat produksi,
tetapi kaum proletar tidak memiliki alat
produksi dan hanya menjual jasa.
Melalui Marhaenisme sebagai teori
perjuangan dipakainya untuk mengubur
sistem kapitalisme maupun imperialisme
dari muka bumi Indonesia yang kaya
sumber alamnya, tetapi rakyatnya
miskin.
Sukarno dalam menjelaskan
Marhaenisme tidak pernah keluar dari
benang merah yang telah digariskan
sejak tahun 1927 tentang Marhaenisme,
diantaranya:
1. Marhaen adalah kaum melarat
Indonesia, yang terdiri dari
buruh, tani, pengusaha kecil,
pegawai kecil, tukang, kusir, dan
kaum kecil lainnya. Sukarno
sering menyebutkan Marhaen
adalah rakyat Indonesia yang
dimiskinkan oleh imperialisme.
2. Marhaen Indonesia ada yang
berdomisili di pantai, di gunung,
di dataran rendah, di kota, di
desa dan di mana saja. Marhaen
itu ada yang beragama Islam,
Kristen, Hindu, Budha, dan ada
juga yang menganut animisme.
3. Kaum Marhaen, sesuai dengan
kodratnya, berupaya melepaskan
belenggu kemiskinan dan
mengharapkan terjadinya
perbaikan nasib.
4. Marhaenisme adalah ideologi
yang bertujuan menghilangkan
penindasan, penghisapan,
pemerasan, penganiayaan dan
berupaya mencapai serta
mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur, melalui
kemerdekaan nasional, melalui
demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi.
5. Terhapusnya kemiskinan dan
terwujudnya masyarakat adil dan
makmur, hanya bisa dicapai
dengan kemerdekaan nasional,
dimana kemerdekaan itu
hanyalah jembatan emas. Di
seberang jembatan emas itu
terbuka dua jalan. Satu jalan
menuju masyarakat yang adil dan
makmur, dan jalan satu lagi
menuju masyarakat celaka dan
binasa ,
Menurut putusan Partindo,
Marhaenisme yakni sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi, yang
beranggotakan kaum proletar, pertani
dan kaum melarat lainnya, Marhaenisme
merupakan juru selamat untuk kaum
Marhaen, Marhaenisme merupakan azas
yang menghendaki susunan masyarakat
yang menyelamatkan kaum Marhaen,
perjuangan revolusioner adalah jalan
yang ditempuh untuk mencapai
masyarakat Marhaen, perjuangan
ini yakni menghancurkan
imperialisme dan kapitalisme
Penyebaran paham-paham baru
banyak dirasakan kaum jelata (rakyat
kecil) dari berbagai media massa
melalui kaum kelas menengah. Berbagai
organisasi muncul secara modern yang
mempegaruhi kehidupan masyarakat
dengan hal-hal baru. Tokoh seperti
Marco Kartodikromo, Cipto
Mangunkusumo, Haji Misbach, dan
Semaun banyak tampil dikalangan
masyarakat kecil dan mempengaruhi
pola pikir rakyat untuk menentang
kolonialisme dengan pemogokan dan
mendirikan sekolah atau kursus politik
untuk rakyat (Nurani Soyomukti,
2008:80). Melalui media massa Fikiran
Rakjat Marhaenisme berkembang,
Sukarno mencoba mengembangkan
pemikiran ini sebagai gerakan nonkooperatif.
Asas Marhaenisme
Pemikiran Sukarno terpengaruh
oleh paham Marxis. Menurut Sukarno
untuk memahami konsep Marhaenisme
maka harus mengerti dua hal yakni
pengetahuan tentang situasi dan kondisi
Indonesia, serta pengetahuan tentang
Marxisme . Dalam
sebuah pidato memperingati HUT
Marhaenisme 4 Juli 1963 Sukarno
mengatakan bahwa:
....ja, saja toepassen, saja
trap-kan kepada situasi
masjarakat Indonesia. Dan
sebagai hasil daripada
penggunaan, atau toepassing
atau pentrapan historismaterialisme Karl Marx
dimasjarakat Indonesia dengan
iapunja kondisi sendiri, dengan
iapunja sedjarah sendiri, iapunja
kebudadajaan sendiri dan
sebagainya lagi itu, maka saja
datang kepada adjaran
Marhaenismeµ ,
Marhaenisme menggunakan asas
yakni sosio-Nasionalisme dan SosioDemokrasi. Hal ini yang menjadi
landasan pemikiran Marhaenisme
yang mencoba akan diterapkan pada
masyarakat Indonesia.
1. Sosio-Nasionalisme adalah
nasionalisme yang
berperikemanusiaan, nasionalisme
yang lapang dada, nasionalisme yang
internasionalisme, nasionalisme yang
bergetar hatinya untuk membela
apabila melihat masih ada bangsa
yang terjajah. Sosio-nasionalisme
bukanlah nasionalisme yang
berpandangan sempit dan
menumbuhkan chauvinisme,
intoleran atau disebut xeno phobia.
Sosio-nasionalisme juga bukan
nasionalisme yang hanya berorientasi
pada internasionalisme minded saja,
tanpa memperhatikan harga diri atau
identitas nasional atau disebut xeno
mania. Bagi Marhaenisme,
internasionalisme harus dibarengi
oleh nasionalisme atau patriotisme
dan disebut sosio-nasionalisme
Sosio-nasionalisme diartikan
sebagai nasionalisme masyarakat yang
mencari keselamatan bagi seluruh
masyarakat. Jelas nasionalisme
Marhaen sangat anti terhadap sistem
borjuisme yang menjadi penyebab
kepincangan sistem dalam
masyarakat. Sosio-nasionalisme juga
merupakan nasionalisme politik dan
ekonomi yang berusaha untuk mencari
kemapanan politik dan kemapanan
ekonomi. Kaum Marhaen harus
terlepas dari gencatan kapitalisme
dan mengobarkan semangat
perlawanan kaum buruh dan
mengorganisasikannya kedalam
badan-badan serikat sekerja yang kuat
(Ign. Gatut Saksono, 2008:51).
Sukarno menegaskan bahwa
nasionalisme di dunia Timur itu lantas
terpadu dengan Maxisme menjadi
satu nasionalisme Baru. Nasionalisme
Baru inilah yang kini hidup dikalangan
rakyat Marhaen Indonesia yang harus
tumbuh berkembang untuk
mewujudkan kedaulatan yang
sepenuhnya mampu menyelesaikan
masalah-masalah kebangsaan yang
dari dulu hingga sekarang tidak
pernah kunjung usai seperti
kemiskinan, penganguran, kebodohan,
ketidak adilan, ketergantungan
kepada asing, korupsi dan masalah ²
masalah kebangsan lainnya yang itu
mutlak harus diperangi (Yuddy
Chrisnandi, www. marhaenisme.com,
diakses pada 24 September 2011).
2. Sosio-demokrasi meliputi demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi.
Demokrasi politik hanya akan
melahirkan political power centris
yang menyuburkan aliran yang
Darwinisme. Menurut Sukarno,
demokrasi politik yang seperti ini
berwatak liberalisme dan menjurus
kepada free fight competition dan
bertentangan dengan Marhaenisme
yang sosialistis. Dengan demikian,
demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi sejajar dengan Marhaenisme.
Apabila Marhaenisme dikembangkan
maka akan melahirkan Sosionasionalisme menjadi nasionalisme,
perikemanusiaan dan Sosio-demokrasi
menjadi demokrasi, kedaulatan politik
dan keadilan sosial.
Demokrasi masyarakat tumbuh
karena sosio-nasionalisme yang
merangkul semua seluruh kepentingan
masyarakat Indonesia. Sosiodemokrasi sebagai reaksi dari
demokrasi Barat. Menurut Sukarno
demokrasi Barat dianggap lebih
bersifat liberalis. Sementara
pergerakan rakyat Marhaen lebih
disebabkan karena kemerlaratan yang
menginginkan kehidupan yang lebih
baik dan sempurna. Perbaikan dalam
sendi-sendi kehidupan bisa tercapai
jika imperialisme dan kapitalisme
telah hilang di negeri ini dengan
syarat kemerdekaan dan kekuasaan
ditangan Marhaen. Tantangan yang
begitu besar bagi kaum Marhaen untuk
melakukan sebuah pergerakan massa
yang ingin mengubah sifat masyarakat
sampai kepada akar-akarnya.
Perubahan itu harus didukung oleh
kemauan yang besar dari masyarakat
sendiri dengan melakukan massa aksi
Sukarno selalu memperingatkan
kepada massa Marhaen untuk tidak
meniru demokrasi yang dipraktekan di
luar negeri. Dia yakin demokrasi seperti
itu (parlementer) tidak akan menjamin den
hak-hak politik, tidak menjamin
kesejarhteraan rakyat, dan menambah
keterpurukan dalam bidang ekonomi.
Mengenai bahaya Demokrasi barat
(parlementer) Sukarno justru mengkritisi
perjuangan kaum proletar yang tidak
mendapatkan haknya setelah
kemerdekaan karena demokrasi
parlemen itu. Liberte, fransternite,
egalite, hanya semboyan untuk
membakar semangat massa namun
setelah tujuan tercapai massa tidak
mendapatkan haknya karena kapitalisme
tetap subur dan memihak golongan atas
Awas, kaum Marhaen, awas
dengan nasionalismekeborjuisan dan nasionalisme
keningratan itu! Ikutilah hanya
itu partai saja yang benderanya
menyala-nyala dengan
semboyan sosionasionalisme
dan sosio-demokrasi,
teriakkanlah semboyan sosionasionalisme dan sosiodemokrasi itu dengan suara
yang mendengung
menggetarkan langit, gemuruh
sebagai guruhnya guntur.
Dengungkanlah sampai
melintasi tanah-datar dan
gunung dan samudra, bahwa
Marhaen seberangnya
jembatan-emas akan
mendirikan suatu masyarakat
yang tiada keningratan dan
tiada keborjuisan, tiada kelas,
Sosio-Demokrasi yang merupakan
asas bagaimana kelak susunan peri
kehidupan kebangsaan di alam
kemerdekaan dijalankan, dan dalam
bidang ekonomi bagaimana susunan
perekonomian harus dibangun agar
dapat mengangkat martabat kaum
Marhaen menuju kemakmuran,
memerlukan cara-cara perjuangan. Cara
perjuangan itu, tetap bertumpu
bagaimana penguasaan alat-alat
produksi dapat dilakukan untuk
kemakmuran rakyat. Salah satu upaya
setelah kemerdekaan adalah melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda/Asing yang masih beroperasi di
Indonesia.
Upaya ini dapat dipandang dalam
rangka merebut alat-alat produksi,
walaupun dalam pelaksanaanya ternyata
alat-alat produksi itu tidak dikuasai oleh
rakyat sebagaimana disyaratkan dalam
sosio-demokrasi, tetapi dikuasai oleh
aparat negara yang baru terbentuk,
dengan mengatas namakan negara,
untuk memperkaya diri. Kondisi kaum
Marhaen dengan alat produksi yang
dikuasai oleh asing maupun oleh bangsa
sendiri tidak jauh berbeda. Kaum
Marhaen tetap dijauhkan dari
penguasaan alat-alat produksi di alam
kemerdekaan, dan mereka tatap kaum
kecil miskin dan melarat secara
ekonomi, sehingga Marhaenisme tetap
perlu diperjuangkan ,
Seorang Marhaen adalah orang
yang memiliki alatalat yang sedikit,
orang kecil dengan milik kecil, dengan
alatalat kecil, sekedar cukup untuk
dirinya sendiri. Bangsa kita yang
puluhan juta jiwa, yang sudah
dimelaratkan, bekerja bukan untuk
orang lain dan tidak ada orang bekerja
untuk dia. Perkembangan paham
marhaenisme tidak terlepas dari peran
media massa dan berbagai organisasi
yang digagas oleh Sukarno sebagai
media komunikasi kaum intelektual
akademis dengan massa. Selain itu
kondisi masyarakat ketika itu hampir
sebagian besar merupakan masyarakat
subaltern sebagai akibat dari feodalisme
dan kolonialisme.
Konsep Marhaenisme jelas
merupakan sebuah kajian turunan dari
konsep Marxisme, namun kemudian
sukarno memodifikasi menjadi konsep
yang sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia abad ke-20an. Kata Marhaen
hampir sama dengan konsep proletar,
kemudian untuk membedakan itu
Sukarno memperluas arti kaum Marhaen.
Jika kaum Proletar merupakan
sekelompok buruh maka Marhaen
mecakup petani miskin, pedagang
miskin, dan rakyat miskin lainnya.
Marhaenisme juga tidak terlepas dari
pandangan politik Sukarno yang
menginginkan persatuan seluruh rakyat
Indonesia yang pada abad ke-20
sebagian besar adalah kaum miskin
untuk melawan kolonialisme,
imperialisme, dan feodalisme.
Konsep Marhaen terus dibawa oleh
Sukarno pada perumusan dasar negara
tahun 1945 juga setelah dia menjadi
Presiden. Pemikiran itu telihat dari
penyatuan unsur ideologi yakni
(Nasionalisme Agama Komunis
(Nasakom). Itu juga yang menjadi
bumerang bagi Sukarno ketika terjadi
tragedi berdarah 30 September 1965
yang membuat Sukarno lengser
tersingkir dari kursi kepresidenan
(lengser keprabon).