• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label prahara 1965 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prahara 1965 2. Tampilkan semua postingan

prahara 1965 2

pemuda Pelajar Indonesia atau KAPPI dan Kesatuan 
Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI. Tempat yang dulunya menjadi 
markas Pemuda Rakyat dan Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia 
[IPPI], yang terletak di selatan Alun-alun Selatan, yang sekarang 
menjadi lokasi Warung sate Pak Ahmad, diduduki KAMI/ KAPPI. 
sesudah  terjadinya Tragedi ‘65 itu golongan Islam agak naik daun, 
karena golongan komunis dianggap atheis alias tidak beragama.
Tidak Boleh Menjadi Hakim
Pasca- Tragedi ‘65 itu situasi ekonomi memang terasa parah. Kalau 
soal situasi sosial-politiknya, karena waktu itu saya masih kecil, saya 
kurang begitu tahu. sesudah  pemerintahan dipegang Soeharto ekono￾mi terasa lebih parah lagi. Kantor-kantor yang dulu mendapat jatah 
beras, sekarang mendapat beras tetapi beras pengguk [berbau apek] 
karena lama di gudang itu. Sebagian lagi hanya diberi bulgur berwarna 
coklat, yang rasanya cethil-cethil. Sebagian lagi berupa jagung yang 
digiling, tetapi hanya pecah-pecah dan tidak sampai menjadi tepung. 
Jauh sesudah  Soeharto memerintah, saat  wakil presidennya Sri Sultan 
Hamengku Buwono IX ada jatah “Beras Tekad”. Yang meresmikan 
program itu adalah Sri Sultan HB IX. Saya sendiri pernah merasakan 
pengalaman disuruh orangtua untuk mengambil jatah beras. Saya 
pergi dari Panembahan ke Kantor Pajak di Jalan Senopati. Kantor itu 
dekat dengan sekolah saya. Saya bersepeda memboncengkan beras 
jagung yang sudah digiling. Padahal kalau sekarang ini jagung hanya 
untuk pakan ayam. Dulu jagung itu untuk makanan manusia. Itu 
zaman Bung Karno menjelang turun, kira-kira tahun 1966-1967. 
Kami makan beras campur bulgur [semacam gandum], lalu beras 
campur jagung. Saya ingat terus hal itu, karena sayalah yang ambil 
jatah beras-jagung itu. Pasokan bahan pangan lebih parah di awal￾awal pemerintahan Pak Harto. Pada masa Sukarno, pegawai negeri 
makanan pokoknya tetap beras. sesudah  ganti pemerintahan, beras 
diganti dengan bulgur dan beras-jagung. Benar-benar jagung giling 
itu yang baunya penguk. Itu yang saya rasakan. Tentang urusan sekolah 
semuanya tetap lancar-lancar saja, tidak ada gangguan.
Sekarang sesudah  dewasa, sesuai dengan ajaran yang saya pegang, 
saya meyakini bahwa tidak ada suatu keadaan yang terjadi tanpa sebab. 
Semua hal di atas terjadi hanya akibat saja dari kejiwaan seseorang 
yang melanggar aturannya Tuhan. Karena adanya pelanggaran itu 
akhir nya terjadi suatu penderitaan. Dalam pemahaman Jawa, di 
dunia ini sebenarnya orang hanya ngundhuh pakerti (memetik hasil 
dari tindakannya) dari kehidupan sebelumnya. Karena itu, sekarang 
kita diwajibkan nandur kabecikan (menamam kebaikan) supaya apa 
yang diunduh [dipetik] besok adalah kabecikan atau kebaikan. Entah 
pada periode berikutnya nanti orang tumimba lahir lagi [dilahirkan 
kembali] atau langsung kembali kepada Yang Maha Esa itu kita 
tidak tahu. Itu urusannya Tuhan. Yang kita tahu adalah bahwa kita 
diwajibkan menanam kebaikan. Mengenai Tragedi Kemanusiaan 
1965, mungkin itu merupakan unduh-uduhane [buah atau hasil] dari 
apa yang terjadi sebelumnya. Mungkin saja di kehidupan terdahulu di 
zaman Majapahit atau zaman Mataram terjadi sesuatu, lalu pada tahun 
1965 itu kita meng-unduh [memetik] hasilnya ta? Jadi memanen apa 
yang dulu dia tanam.
Apakah hal itu berarti bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 
itu bisa disebut “alami” atau “sah” terjadi? Menurut pandangan 
saya begini. Manusia itu sebetulnya boleh memilih untuk menjadi 
lantaran [perantara] kebaikan atau lantaran piweleh [keburukan]. Itu 
kenyataan yang tidak bisa diingkari. Karena itu sekarang ini kita wajib 
dengan penuh kesadaran menanam kebaikan, berbakti kepada Tuhan, 
berbakti kepada negara, berbakti kepada pimpinan negara, berbakti 
kepada guru, berbakti kepada orang tua, berbakti kepada saudara tua, 
dan sebagainya. Juga, kita perlu berbakti kepada ajaran keutamaan, 
tidak mencela agama lain, dan sebagainya. Hal-hal di atas wajib 
dilakukan supaya terjadi ketenteraman dalam kehidupan, supaya 
kehi du pan bernegara dan bermasyarakat itu tenteram dan damai. Jika 
hal-hal itu dilanggar pasti akan terjadi kekacauan. Penderitaan atau 
penebusan dosa itu ada dua, yakni fi sik dan jiwa. Misalnya begini. 
Ada orang yang suka sekali berbakti, yang ibadahnya bagus, tetapi 
badannya sakit-sakitan, yang secara kejiwaan stabil dan bagus, tetapi 
secara fi sik sakit. Itu berarti orang ini  sedang ngunduh hasil dari 
perbuatannya yang dulu. Sebaliknya, jika kita melihat orang yang 
fi siknya bagus, tetapi jiwanya sakit itu berarti karma yang ia terima 
adalah karma jiwa. Nah, dalam hal ini perlu dilihat, dulu itu dia 
berbuat apa kok sekarang dia ngunduh penderitaan jiwa seperti itu. Itu 
menurut pandangan ajaran Pengestu yang saya pegang teguh.
Menurut ajaran Kejawen, seharusnya orang tidak boleh ikut 
terlibat dalam pembunuhan, penangkapan atau pengucilan terhadap 
orang lain dengan alasan apa pun. Kenapa? Karena itu berarti 
menghakimi orang lain. Hal ini tidak boleh dilakukan. Kepada siapa 
pun kita harus bersifat kasih sayang. Harus didasari [keyakinan] bahwa 
Tuhan itu Maha Pengampun, dan oleh karena itu manusia harus 
belajar saling mengampuni. Orang tidak boleh membenci siapa pun. 
Yang berhak menghukum itu hanya Tuhan. Dalam kasus mereka yang 
berprofesi Hakim, mereka itu menghakimi, tetapi hal itu dilakukan 
karena pekerjaannya memang menjalankan hukum negara. Tetapi 
bagaimana pun ia harus memutuskan sesuatu atas nama Tuhan. Oleh 
karena itu harus berpegang pada dasar-dasar yang ada dan tidak boleh 
asal-asalan.
Pada prinsipnya kita tidak mungkin menjadi hakim terhadap 
sesama manusia, karena kita bukanTuhan. Karena Tuhan itu Maha 
Pengampun, maka kita harus belajar mengampuni. Karena Tuhan 
itu Maha Penolong maka kita harus belajar untuk menolong orang 
yang mengalami kesusahan atau sengsara. Kalau orang mau menebus 
dosanya maka ia harus belajar banyak untuk memaafkan, lalu suka 
menghibur orang yang susah. Orang tidak boleh menjadi hakim 
terhadap sesamanya.
Takut Dikira Ikut-ikutan
Konfl ik politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an itu 
dampaknya dirasakan sampai ke tingkat keluarga. Waktu itu terjadi 
perpecahan antara kakak dan adik dalam satu keluarga, atau antara 
Paklik [paman lebih muda] dan Pakdhe [paman yang lebih tua] gara￾gara pilihan politiknya berbeda. Pada waktu itu suatu pilihan politik 
itu benar-benar dilakukan karena ideologi, sehingga orang cenderung 
menjadi ideologis. Sekarang ini orang berpartai bukan karena ideologi, 
tetapi hanya karena selera. Misalnya hari ini orang ikut partai A, lalu 
besok ganti ke partai B, dan sebagainya. Zaman dulu tidak begitu. 
Dulu itu sampai ada istilah pejah gesang nderek Bung Karno [hidup atau 
mati ikut Bung Karno]. Kalau sekarang apa ada yang berani seperti 
itu? Apa ada yang sampai mengatakan pejah gesang nderek Soeharto?..
Tidak ada. Kalau waktu itu slogannya jelas: pejah gesang nderek Bung 
Karno.
Pada masa pemerintahan Sukarno, orang memilih suatu partai 
politik karena partai itu ada ideologinya, ada cita-citanya, ada 
programnya yang jelas. Misalnya kalau PNI jelas dasarnya Pancasila, 
cita-citanya menuju Indonesia yang adil dan makmur, dan programnya 
mendukung program politik Sukarno. Jadi, jelas bahwa pemimpinnya 
itu Sukarno, partainya itu PNI Front Marhaenis, dan cita-citanya 
adalah menuju Indonesia Jaya berdasarkan Pancasila. Kalau sekarang 
partai-partai itu kabur. Waktu SMP saja saya sudah tahu politik. Saya 
sudah bisa merasakan politik dan semangat cinta tanah air dan bangsa 
yang sangat berkobar. Semangat itu sangat tertanam. Ada grenseng￾nya [gairahnya]. Kami kumpul-kumpul berorganisasi pergerakan gerakan   berpolitik. 
Walau masih kecil, masih pelajar di tingkat SMP, tetapi jiwanya sudah 
terbakar semangat patriotisme dan nasionalisme. 
Salah seorang yang hebat dalam berpidato pada waktu itu bukan 
Megawati, melainkan adiknya, yakni Rahmawati Soekarnoputri. 
Rahmawati pada tahun 1960-an itu pernah menggembleng Pemuda 
Marhaen di Gedung Negara di keraton yogya —sekarang Gedung Agung. 
Di situ ia menerangkan arti Pancasila itu sambil mengepalkan tangan 
kirinya, sambil berteriak “Marhaen menang”, “dengan dasar Pancasila 
wong cilik akan menang!” Dulu itu PNI nasionalismenya betul￾betul murni. Sementara itu, partai-partai lain tidak. Mereka tidak 
mengedepankan nasionalisme. Waktu itu Pancasila, semangat cinta 
tanah air, dan rasa nasionalisme benar-benar berkobar. Bukan hanya 
di bibir saja, melainkan betul-betul dihayati, dari pikiran sampai ke 
hati dan tindakan. Pokoknya cita-citanya adalah Indonesia itu jaya 
berdasarkan Pancasila. Di dalam benak kami yang namanya pemimpin 
itu ya Sukarno. Tidak ada yang lain. Pejah gesang nderek Bung Karno!
Nah, dengan adanya situasi seperti itu seringkali hubungan antar￾keluarga bisa menjadi renggang. Kalau dalam suatu keluarga besar 
ada anggotanya yang pernah ikut komunis, maka hubungan keluarga 
itu akan menjadi renggang, atau akan agak dikucilkan. Misalnya ada 
anggota keluarga jauh saya dari pihak Eyang, siapa namanya saya lupa, 
anak-anaknya banyak yang ikut komunis dan oleh karena itu, banyak 
yang diciduki. Lalu hubungan kami jadi renggang, tidak tahu karena 
apa. Bertahun-tahun sesudah nya, tetap saja ada semacam trauma. Baru 
kemudian diketahui: ooo..., ternyata mereka itu ikut komunis. Belum 
tentu benar apakah dia itu ikut atau tidak, apakah dia itu salah atau 
tidak, karena memang tidak ada proses pengadilan, tetapi langsung 
saja mereka ini dituduh ikut komunis untuk kemudian dikucilkan 
dari masyarakat. 
Waktu itu ada suatu kenyataan yang berkembang secara diam￾diam, yaitu yang dilakukan oleh pihak Gereja. Gereja memberikan 
uluran tangan kasih kepada para korban Tragedi ’65. Khususnya me￾reka yang dikucilkan. Mereka itu lalu menjadi umat Kristiani bersama 
keluarganya. Itu banyak contohnya. Misalnya beberapa orang di daerah 
.... [narasumber menyebut satu nama tempat tetapi tidak jelas, ed.]. 
Dulu di daerah itu ada keluarga yang orangtuanya tersangkut, lalu 
diayomi oleh Gereja. Akhirnya mereka diberi ideologi Kristiani dan 
sampai sekarang terus berkembang. Itu hanya sebagian saja ya, tidak 
semuanya. Jadi waktu itu memang Kristiani banyak berkembangnya 
dari segi itu. Perasaan sosial itu menolong. 
Dalam bidang rohani keagamaan anak-anak dari keturunan PKI 
mengalami perkembangan yang menarik. Mereka intensif memeluk 
agama. Entah apa alasannya, tetapi kebanyakan meme luk Kristen atau 
 Budha. Barangkali karena Islam sangat membenci mereka. Bagi Islam 
mereka itu aib besar. Karena tidak diterima di golongan Islam, mereka 
lalu memeluk Kristen, Katolik, atau Budha. 
Contohnya adalah ada kakak saya dari eyang jauh yang kemudian 
memilih menjadi Budha. sesudah  situasi menjadi aman beberapa tahun 
kemudian kami saling berkunjung lagi. Saya kaget karena sekarang 
dia sudah berubah. Omongannya sudah lain. Yang diomongkan 
sudah berkaitan dengan agama-agama, khususnya ke-Tuhan-an yang 
sumbernya dari ajaran Budha. Dulu sebelum Peristiwa 1965, setiap 
kali lebaran, saudara-saudara datang berkunjung ke eyang-eyang. Akan 
tetapi sesudah  Tragedi ’65, tidak pernah lagi untuk saling bertandang. 
Alasannya karena takut kalau dikira ikut-ikutan.
Tidak Boleh Mendapat Tempat
Menurut beberapa ahli, para pendukung PNI dan PKI itu mayoritasnya 
dari kalangan Kejawen atau Abangan. Memang ada golongan yang 
tidak memakai agama formal, tetapi memakai kepercayaan, karena 
dia sudah mempunyai keyakinan bahwa orang Jawa itu juga memiliki 
sumber kepercayaan sendiri yang benar. Menurut mereka, bangsa ini 
memiliki dasar-dasar spiritualitas sendiri. Di mata mereka meskipun 
agama-agama yang datang dari luar Indonesia itu juga benar, tetapi 
mereka merasa tidak perlu memeluknya, karena kita ini sudah 
memiliki kebenaran yang asli. Saya sendiri beragama Islam, karena 
saya dari kalangan keluarga Islam. Tetapi secara kepercayaan, saya 
adalah penganut Pangestu atau Paguyuban Ngesti Tunggal. Pangestu 
itu organisasi pergerakan gerakan   yang sudah berdiri sejak tahun 1949.
Karena merebaknya tuduhan bahwa mayoritas pendukung PKI 
dan PNI yang mengikuti aliran kepercayaan itu “atheis”, dampakya 
adalah bahwa para Penghayat Kepercayaan seolah-olah tidak boleh 
mendapat tempat. Ada anggapan bahwa para Penghayat Kepercayaan 
itu tidak beragama. Anggapan macam ini muncul karena orang 
memandang bahwa agama yang paling benar itu adalah agama yang 
diresmikan oleh negara. Di situ letak kesalahannya. Tetapi waktu 
zaman Pak Harto di dalam Tap MPR No IV tahun 1978, disebutkan 
istilah “Agama/Kepercayaan”.
Memberi Contoh
Kalau saya harus menjawab pertanyaan “Apa yang sebenarnya terjadi 
dengan gerakan gerakan  30 September?” atau “Sebenarnya pada tanggal 1 
0ktober 1965 dini hari itu ada persoalan apa?” saya akan mengatakan 
bahwa saat itu kehadiran ideologi komunis yang seolah-olah ingin 
mendominasi itu memang merupakan persoalan politik. Sampai 
sekarang yang namanya politik itu selalu mengandung keinginan 
untuk mendominasi. Dalam kampanye kan itu yang mereka lakukan. 
Jadi keinginan untuk mendominasi itu berlaku untuk kelompok 
politik apa pun. Persaingan politik itu biasa. 
Menurut saya apa yang terjadi pada tahun 1965 itu ada 
hubungannya dengan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur 
waktu itu. Waktu itu Blok Barat, terutama Amerika Serikat, merasa 
ketakutan terhadap ideologi komunis yang sedang berkembang pesat 
di mana-mana. Apalagi dalam program politiknya, Bung Karno saat 
itu mencanangkan prinsip poros Jakarta- Peking-Pnompenh. Saya kira 
waktu itu Amerika Serikat dan seluruh Blok Barat merasa ketakutan 
di segala bidang. Mereka pun mendukung apa yang terjadi pada tahun 
1965. Nyatanya sesudah  terjadinya Tragedi ‘65 mereka melakukan 
penjajahan ekonomi di sini. Produk-produk mereka menjadi bisa 
bebas dipasarkan di sini. sesudah  tahun 1965 di sini terjadi dominasi 
politik Blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Nyatanya begitu.
Seandainya Bung Karno tidak dilengserkan dan program-program 
pemerintahannya tentu akan masih bisa berjalan. Pertanyaannya, 
kira-kira kalau program-program itu berjalan, apakah negara dan 
masyarakat Indonesia ini bisa lebih maju? Menjawab pertanyaan ini, 
menurut saya begini. Ukurannya bukan maju atau tidak maju. Yang 
jelas, kalau saja program pemerintahan Sukarno bisa berjalan penuh, 
pasti setidak-tidaknya masyarakat Indonesia akan memiliki kepribadian 
bangsa. Bangsa Indonesia itu mempunyai warna yang khas Indonesia, 
dan memiliki tingkah laku yang khas Indonesia. Cita-citanya Sukarno 
itu jelas. Dia tunjukkan bahwa kepribadian Indonesia itu sepert ini, 
kebudayaannya seperti ini, dan tingkah lakunya seperti ini. Nilai yang 
dipegang teguh Bung Karno, nasionalisme. Tetapi bukan nasionalisme 
yang chauvinistik. Kita mengakui nasionalisme orang lain juga, kita 
bergaul dengan bangsa-bangsa lain juga. Sayangnya Bung Karno 
itu lemah di bidang ekonomi. Ini karena dia itu basisnya bukan 
ilmu ekonomi. Selain itu, juga karena dia terlalu berambisi untuk 
menekankan “politik mercusuar”. Dia ingin mengangkat egonya 
supaya bisa menjadi sederajat dengan bangsa-bangsa lain. 
Menurut saya apa yang dilakukan oleh Bung Karno itu terlalu 
dini. Program-programnya tidak didukung oleh kondisi ekonomi, 
sosial, dan politik yang kuat. Menurut saya saat itu belum waktunya. 
Akan tetapi, Bung Karno sudah [tidak sabar untuk tampil] ke depan. 
Tapi yang dilakukan itu memang luar biasa. Ditolak di Olimpiade, 
ia mennyelenggarakan “ Ganefo” atau Games of the New Emerging 
Forces; ia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika Amerika Latin; ia 
membuat “ Conefo” atau Conference of the New Emerging Forces; ia juga 
berani pidato di PBB; ia bahkan berani mengatakan kepada Amerika 
“Go to hell with your aid!”. Ia sadar, bantuan yang diberikan oleh 
negara-negara Blok Barat khususnya Amerika Serikat itu akan sering 
dijadikan sarana untuk menjajah bangsa ini. 
Dalam bidang ekonomi, masa Orde Baru benar-benar maju, 
tetapi ideologi ekonominya lemah. Ideologi ekonominya lemah 
dan kepribadian bangsanya ambruk. Harusnya pembangunan itu 
pembangunan yang seutuhnya, bukan hanya pembangunan fi sik, 
namun juga pembangunan mental bangsa. Ini belum tercapai. Dalam 
pengertian Sukarno itu namanya nation and character building. Itu 
yang penting, pembangunan fi sik dan mental. Sayangnya, hal itu 
sekarang ini masih kacau. 
Sekarang bangsa ini masih goyah dan silau dengan gemerlap 
materi, gemerlap dunia. Apalagi masalah duit. Ini terjadi karena 
karakter sebagai bangsa Indonesia belum terbentuk. Jadinya ya
bubrah [bubar]. Idealnya para pemimpin yang di atas itu memberi 
contoh. Mereka harus berbuat seperti ksatria, berbudi luhur. Sekarang 
ini watak satrio pinandito itu masih jauh dari harapan. Lalu apakah 
nantinya cita-cita adil makmur itu akan tercapai? Menurut para 
sesepuh dibutuhkan waktu 75 tahun bagi suatu bangsa untuk menata 
dirinya sesudah  merdeka. Kalau begitu baru sesudah  seratus tahun kita 
akan bisa sama dengan Amerika Serikat dalam hal kehidupan sosial, 
ekonomi, dan politik. 
Bangsa Kita Sendiri
Berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, sebenarnya yang namanya 
kekerasan dan tragedi kemanusiaan itu tidak boleh terjadi. Manusia 
tidak boleh berlaku sampai begitu. Situasi rukun, damai, tenang, 
penuh kasih sayang harus terbentuk dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara. Termasuk di dalamnya adalah sikap saling mengasihi satu 
negara terhadap negara lain. Sebagaimana kita ingat, salah satu cita￾cita program luar negeri bangsa adalah turut memajukan perdamaian 
dunia. Ke dalam harusnya lebih dalam hal mengusahakan perdamaian. 
Dalam ideologi Pancasila itu jelas bahwa yang ingin dicapai adalah 
kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh 
rakyat Indonesia. Itu sudah tercermin di situ. Kita nggak boleh keluar 
dari itu. Kalau keluar dari situ, itu namanya menyalahi apa yang telah 
disepakati. Jadi, apa yang terjadi pada bangsa ini bukan merupakan 
hukuman dari Tuhan, melainkan hasil dari perbuatannya sendiri, dari 
perbuatan bangsa Indonesia sendiri. Kita perlu ngunduh pembelajaran 
supaya di masa yang akan datang tragedi seperti itu jangan terjadi 
lagi. Supaya hal seperti itu tidak terjadi lagi, sebagai bangsa Indonesia 
kita harus mengikuti ideologi Pancasila. Itu pasti pas. Berke-Tuhan￾anlah yang benar sesuai agama masing-masing, hiduplah rukun antar 
berbagai pemeluk agama, maka akan tenteram. Kalau kita saling 
mengejek dan saling bentrok pasti akan terjadi kekacauan. 
Guna kepentingan pembelajaran dalam hal demokrasi dan etika 
politik di masa depan, saya berharap bahwa generasi sekarang memegang 
unsur-unsur kepribadian Indonesia, menjadi manusia Indonesia yang 
seutuhnya. Masyarakat Jepang, misalnya, kepribadiannya jelas. Mereka 
memakai kimono dan sebagainya dengan rasa bangga. Kalau bangsa 
kita? Apa kita bangga pakai blangkon? Mungkin malah menertawakan. 
Kita malah lebih suka pakai jas. Padahal itu hanya mode berpakaian, 
yang bisa berubah-ubah. Namun demikian, yang lebih penting lagi 
adalah memperkuat moral dan kejiwaannya. Kita harus merasa bangga 
disebut bangsa Indonesia. 
Sebaliknya sekarang ini kita menjadi pembantu rumah tangga di 
negara-negara lain. Di zaman Bung Karno hal-hal seperti ini benar￾benar diperangi. Dia katakan: kita itu bukan bangsa kuli, bukan 
“bangsa tempe”; ini dadaku mana dadamu!? Pada masa penjajahan 
dulu sikap mental semacam ini tertempa. Di zaman modern sekarang 
ini, di era penjajahan ekonomi ini, bangsa ini telah terseret oleh arus 
modal kapitalis. Orang kita sendiri banyak yang jadi kapitalis. Sekarang 
Nekolimnya [Neo-Kolonialis dan Neo-Imperialisnya] adalah bangsa 
kita sendiri.
ARIF Uun lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Maret 
1934. Ayahnya bernama Kwee Goen Hok dan Ibunya bernama Oei Tau 
Nio, dua orangtua yang dengan kuat memengang tradisi Konghucu. Ia 
pernah menempuh pendidikan di Sekolah Siauw Shiuk Chung Hoa di 
Kutoarjo. Pada tahun 1947 keluarganya pindah ke keraton yogya  dan ia 
pun belajar di Sekolah Rakyat Santo Yosef di kota itu.
Di masa mudanya Arif Uun (bukan nama asli tentu saja) aktif 
dalam berbagai kegiatan remaja muda  . Ia misalnya terlibat dalam 
kegiatan organisasi pergerakan gerakan   Persatuan Pemuda Kristen, organisasi pergerakan gerakan   Tjing Nien 
Hwee [TNH], sebuah organisasi pergerakan gerakan   pemuda Tionghoa yang merupakan 
bagian dari Chung Hua Tjung Hwee [ CHTH]. Ia juga aktif dalam 
kegiatan-kegiatan Pemuda Pembaruan Indonesia [ PPI], yang merupakan 
anak organisasi pergerakan gerakan   Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan 
Indonesia).
Sejauh yang ia ketahui, sebelum terjadinya Tragedi ’65 keadaan 
di Kutoarjo aman-aman saja, bahkan bisa dikatakan sangat harmonis. 
“Tidak ada konfrontasi terbuka antara golongan Tionghoa dan pribumi,” 
katanya. Meskipun demikian, ia akui bahwa di bawah permukaan bisa 
saja ada semacam ketegangan akibat adanya kesenjangan ekonomi, sosial, 
dan politik. Kesenjangan ini terutama berbentuk kesenjangan kaya￾miskin antara orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi.
saat  penangkapan-penangkapan terjadi pada tahun 1965, Arif 
Uun selamat. Waktu itu ia sedang berada di keraton yogya  karena sakit. 
Namun demikian, sejumlah anggota keluarganya menjadi sasaran tentara 
yang datang untuk menggeledah rumah mereka. Ia bercerita, “Sebagian 
tentara masuk ke dalam rumah, dan sebagian lagi menuju ke belakang 
rumah untuk mengantisipasi kemungkinan ada yang melarikan diri. 
Para tentara ini  masuk tanpa permisi, tanpa surat tugas, dan tanpa 
sepatah kata terucap. Semua kamar digeledah, termasuk isi lemari.”
Arif melihat bahwa apa yang terjadi tahun 1965 itu tidak terjadi 
begitu saja, melainkan sengaja dibuat. Dia katakan,“Tragedi ’65 itu 
merupakan rekayasa yang dibuat oleh pemerintah dan menjadi ajang 
bagi golongan Pribumi yang memiliki rasa dendam terhadap orang￾orang Tionghoa.” Sebagaimana bisa kita lihat di bawah, menurutnya 
sebagian orang pribumi yang sebelum tahun 1965 sudah memiliki rasa 
dendam menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan dendamnya 
dengan mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang tidak disukainya 
adalah anggota Partai Komunis Indonesia. “Padahal pada waktu 
sebelum meletusnya tragedi ini  tidak ada konfl ik fi sik yang terjadi,” 
tambahnya.
Wawancara dengan Arif Uun dilakukan oleh anggota Komisi 
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, alumnus lulusan jurusan Sejarah 
 Universitas Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di 
program Magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya .
***
NAMA saya Arif Uun, saya tinggal di keraton yogya . Saya lahir dari 
keluarga miskin. Ayah saya bernama Kwee Goen Hok dan Ibu saya 
bernama Oei Tau Nio. Saya lahir pada tanggal 24 Maret 1934 di desa 
Kemiri Kerep, Kutoarjo, Jawa Tengah. Pendidikan yang pernah saya 
lalui adalah Sekolah Siauw Shiuk Chung Hoa yang dulu beralamat di 
Jl. Pasar Kutoarjo. Kemudian saat  pada tahun 1947 terjadi Agresi 
Militer Belanda Pertama, Kutoarjo menjadi ajang pertempuran antara 
 Belanda dan Pasukan Pejuang kemerdekaan Indonesia. Keluarga 
saya terpaksa pindah ke keraton yogya . Di tempat yang baru inilah saya 
bersekolah di Sekolah Rakyat “Santo Yosef”. Setamat dari Sekolah 
Rakyat Santo Yosef keraton yogya , saya kembali ke Kutoarjo. Pada 
permulaan tahun 1951 saya berangkat ke Bandung. Selain untuk 
mengantar kakak saya yang bernama Ping Liang, saya juga mengambil 
kursus fotografi selama satu tahun. Selesai dari kursus, saya bekerja di 
Studio Foto “Lovely” di Bandung. Kurang dari satu tahun kemudian, 
saya harus kembali ke Kutoarjo untuk membantu bekerja sebagai 
fotografer di studio foto milik Ping An, kakak saya. Tetapi kemudian 
studio ini  bangkrut, disebabkan saya sering tinggal pergi untuk 
mengikuti kegiatan organisasi pergerakan gerakan   yang saya ikuti.
Memperkokoh Kesatuan
Sepengetahuan saya, kehidupan masyarakat di Kutoarjo dan 
 keraton yogya  sebelum terjadinya Tragedi ‘65 sangatlah harmonis. Tidak 
ada konfrontasi terbuka antara golongan Tionghoa dan pribumi. 
Namun demikian, perlu ada sedikit catatan kecil. Waktu itu sudah 
bisa diduga bahwa harmoni itu tidak akan berlangsung lama. Apabila 
timbul suatu masalah tentu akan timbul ketegangan. Waktu itu 
ada sejumlah kesenjangan di masyarakat. Tapi apakah kesenjangan 
ekonomi, sosial, atau politik yang bisa menjadi sumber ketegangan itu 
tidak ada yang dapat menebaknya. Kalau menurut saya yang paling 
potensial untuk itu adalah kesenjangan ekonomi dan sosial, yakni 
kesenjangan antara kaya dan miskin. Waktu itu kesenjangan sosial￾ekonomi antara golongan Tionghoa dan pribumi sangat terasa. Di 
permukaan, yang kelihatan memang adalah harmoni, tetapi di bawah 
permukaan ada semacam ketegangan akibat adanya berbagai macam 
perbedaan kepentingan.
Di Kutoarjo sendiri terdapat golongan Tionghoa yang berbeda 
pendapat mengenai masalah proses “asimilasi”, yang nantinya akan 
berpengaruh terhadap Peristiwa 1965. Beberapa orang Tionghoa dari 
Baperki, lebih memilih mendukung program Bung Karno, yakni 
proses “integrasi” bangsa. Tujuannya adalah untuk memperkokoh 
kesatuan dan persatuan Indonesia. Kalau yang beragama Kristen atau 
 Tionghoa Kristen biasanya lebih mendukung proses asimilasi.
Rasa Saling Membantu
Waktu meletus peristiwa berdarah tahun 1965 saya sedang berada di 
Yogya. Sebulan sebelumnya, saya menderita sakit dan harus berobat 
ke keraton yogya . Waktu itu saya berobat ke Rumah Sakit Bethesda. 
Saya itu orangnya tidak bisa diam. Dari muda hingga tua sekarang 
saya selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasi pergerakan gerakan  an. Berhubung 
sekarang usia saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti 
banyak organisasi pergerakan gerakan  , saya hanya aktif di kegiatan Gereja dan olahraga, 
khususnya golf. Berbeda saat  saya masih muda dulu. Saya selalu aktif 
dalam organisasi pergerakan gerakan  . Misalnya, di Kutoarjo saya ikut organisasi pergerakan gerakan   Pemuda 
Kristen. Memang agak aneh ya, kok saya bisa kena kasus 1965. Padahal 
saya ini beragama Katolik. Ini ada kaitannya dengan keikutsertaan 
saya dalam kegiatan-kegiatan organisasi pergerakan gerakan   Pemuda Kristen.
Saya berasal dari keluarga yang masih memegang teguh ajaran 
Khonghucu. Papa saya selalu memperlakukan anak-anaknya sesuai 
aturan adat. Jika tidak menurut, kami digebuki [dipukul] Papa dengan 
rotan yang biasanya dipakai  untuk nggebuki [memukuli] kasur itu 
sebagai hukuman.
Saat itu saya duduk di bangku kelas 5 di Siauw Shiuk Chung 
Hoa Hwee Koan [Sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa, Ed.]. 
Lahir dari keluarga Khonghucu membuat saya saat itu memandang 
tetangga yang beragama lain sebagai orang-orang yang berbeda. Dari 
sekian banyak tetangga yang kepercayaannya berbeda dari kepercayaan 
keluarga saya, terdapat sebuah keluarga seorang pendeta Kristen yang 
waktu itu bertugas di Gereja Kie Tok Kauw Hwee. Nama pendeta 
ini  adalah Tjoa Tjien Tauw. Saya sering banget berkunjung ke 
rumah pendeta ini  dan bermain dengan anak-anaknya. Rumah 
Pendeta Tjoa ini bersebelahan dengan rumah orangtua saya kala 
itu. Keluarga ini adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan 
peraturan agama. saat  makan bersama, mereka selalu mendahuluinya 
dengan doa bersama. 
Dari sekian banyak hal yang saya amati, yang sangat menarik 
perhatian saya dari keluarga pendeta itu adalah cara bagaimana mereka 
minum obat. saat  menyuruh anak-anaknya untuk minum obat, 
pendeta itu sama sekali tidak melakukan pemaksaan. Hal ini berbeda 
dengan keluarga saya.
Sebagai sebuah keluarga yang hidup di daerah yang rawan wabah 
malaria, semua anak di keluargaku diwajibkan untuk secara berkala 
minum jamu daun pepaya. Tentu itu merupakan hal yang baik. Tapi 
cara Papa menyuruh anak-anaknya untuk minum jamu menurut saya 
terlalu keras. Ia keras dalam hal mendisiplinkan anak-anaknya untuk 
minum jamu. Ia suka secara langsung menunggui anak-anaknya 
supaya meminum jamu daun pepaya pahit ini . Kalau ada yang
tidak mau minum, maka gagang rotan yang tadi saya bilang itu selalu 
siap dipukulkan olehnya ke pantat anaknya yang tidak menurut.
Pemandangan ini berbeda jauh dengan di keluarga pendeta Tjoa. 
Dalam keluarga itu saya menemukan hubungan yang hangat antara 
orangtua dan anak-anaknya. Maka di rumah itu saya selalu merasa 
krasan [betah] bermain. Dari situ pulalah saya mulai berkenalan 
dengan ajaran Kristiani. Lalu ajaran itu semakin meresap lebih dalam 
di diri saya, saat  saya bersekolah di Sekolah Rakyat “Santo Yosef” 
di keraton yogya .
Selain mengikuti kegiatan di organisasi pergerakan gerakan   Persatuan Pemuda Kristen, 
saya juga ikut organisasi pergerakan gerakan   Tjing Nien Hwee [TNH], yakni organisasi pergerakan gerakan   
pemuda Tionghoa yang merupakan bagian dari Chung Hua Tjung 
Hwee [ CHTH]. Lalu saya aktif juga dalam kegiatan-kegiatan di Pemuda 
Pembaruan Indonesia [ PPI], anak organisasi pergerakan gerakan   Baperki. Di PPI ini saya 
mewakili golongan pemuda Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan 
Indonesia (Baperki) wilayah Kutoarjo untuk mengikuti penataran 
di Magelang, yakni penataran mengenai kewarganegaraan. Sebagai 
anggota dari PPI, saya juga kerap membantu kegiatan-kegiatan di 
organisasi pergerakan gerakan   lain, seperti kegiatan yang diadakan para pemuda dari 
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI]. 
Lha, waktu kumpul-kumpul seperti itu ya tidak ada rasa 
bermusuhan, tak ada rasa perbedaan dan sebagainya. Adanya ya cuma 
rasa saling membantu. Tapi ada juga beberapa orang pemuda yang 
tidak suka satu sama lain, tapi malah dipendam saja. Ini yang nantinya 
berujung pada sikap saling menuding bahwa dia PKI atau bukan. 
Waktu aktif di PPI saya kenal dengan beberapa pengurus Baperki 
Kutoarjo, walaupun saya bukan pengurus PPI. Kalau tidak salah ingat, 
namanya Gwan Hien [Ketua Baperki Kutoarjo] dan Untung. Tapi ini 
bukan Letkol Untung yang terlibat G30S itu lho. Orangnya baik kok. 
Cuma, kalau Gwan Hien itu cenderung ke kiri dalam pandangan 
ideologinya. Makanya, dia itu akhirnya lama dijebloskan ke dalam 
penjara, dan tidak kembali lagi. 
Penangkapan Brutal
Waktu meletus Peristiwa gerakan gerakan  Satu Oktober [ Gestok] itu sebetulnya 
saya yang hampir kena. Tapi karena saya sedang sakit di RS Bethesda 
Yogya akhirnya saya selamat dari maut. Tapi akibatnya, keluarga saya 
justru yang jadi sasaran. Saya dapat kabar dari Encik [adik laki-laki 
dari Ayah], bahwa [waktu itu tanggal 3 November 1965], saat  Ping 
Gwan sedang membaca koran di rumah, satu truk Tentara Resimen 
Para Komando Angkatan Darat [ RPKAD] Baret Merah datang ke 
rumah saya. Sebagian tentara masuk ke dalam rumah, dan sebagian lagi 
menuju ke belakang rumah untuk mengantisipasi kemungkinan ada 
yang melarikan diri. Para tentara ini  masuk tanpa permisi, tanpa 
surat tugas, dan tanpa sepatah kata terucap. Semua kamar digeledah, 
termasuk isi lemari. sesudah  tidak ada barang yang dicurigai, tentara￾tentara ini  mengangkut Ayah, adik, dan adik ipar saya, untuk 
dibawa ke asrama Angkatan Darat [AD] di Purworejo. Di sana sudah 
ada sekitar 100 orang lain yang ditahan. 
Setiap harinya mereka mendapat jatah makanan yang tidak layak, 
seperti sedikit nasi dan sayur yang ditaruh di atas piring seng tipis 
yang sudah berkarat. Di dalam rumah tahanan ini  Djing Tiok—
adik ipar saya—mendapat “bogem mentah” [pukulan] dari beberapa 
tentara karena dianggap menghina. Djing Tiok terlahir dengan penya￾kit gangguan syaraf. Akibatnya mata kanannya tidak bisa terbuka 
dengan sempurna dan selalu berkedip. Keadaan ini oleh para tentara 
itu dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap mereka. Selama 
dua hari, ketiga anggota keluarga saya itu tidak diperiksa. Baru pada 
hari ketiga mereka dipindahkan ke Kutoarjo. Mereka ditempatkan 
di belakang kantor Bank Rakyat Indonesia [BRI] Kutoarjo. Di 
tempat baru inilah ada sedikit keleluasaan bagi para tahanan. Di situ 
keadaannya tidak seketat di Purworejo. Mereka masih boleh ditengok 
dan dikirimi makanan oleh keluarga.
Selama kurang lebih sekitar 20 hari Papa, adik dan adik ipar 
saya ditahan, tanpa ada pemeriksaan terhadap mereka. sesudah  23 
hari, mereka diangkut kembali ke Purworejo untuk diinterogasi satu￾persatu. Ping Gwan ditanya studi banding  di mana, mengapa pulang, dan 
lain sebagainya. Dia menjawab semua dengan jujur dan apa adanya. 
Akhirnya Ping Gwan diizinkan pulang ke rumah. Sementara Papa dan 
Djing Tiok juga dibebaskan selang beberapa hari sesudah  pembebasan 
Ping Gwan. Namun mereka masih punya kewajiban melapor setiap 
seminggu sekali. Saya sendiri yang kala itu menjalani rawat inap 
di RS Bethesda juga mengalami proses penangkapan paksa, tetapi 
keberuntungan masih berpihak pada saya. 
Kala itu ada dua staf dari Komando Distrik Militer [Kodim] 
datang ke RS Bethesda dengan maksud mengambil saya karena ada 
isu yang beredar bahwa saya ini orang PKI . Awalnya mereka menemui 
bagian perawat depan [resepsionis] menanyakan apakah ada nama saya 
tercatat sebagai pasien. Lalu suster jaga meminta mereka menemui 
dokter Hoorweg yang merawat saya, dan mengatakan padanya bahwa 
saya harus ditangkap. Tetapi dokter Hoorweg menolak mentah￾mentah dengan alasan bahwa saya adalah pasiennya dan berada di 
bawah tanggung jawab serta pengawasannya. Akhirnya dua orang dari 
Kodim ini  batal menangkap saya. Yang aneh, saat itu di dalam 
artikel singkat  daftar pasien, saya itu tercatat sebagai pasien penderita kanker 
otak. Lha, tentu saja ini adalah kesalahan suster yang menulisnya. 
Tetapi justru karena kesalahan inilah maka saya ikut terselamatkan 
dari penangkapan paksa pihak militer, karena dianggap pasien yang 
menderita sakit berat dan umurnya tidak panjang.
Lalu cerita lain mengenai nasib orang-orang Tionghoa dalam 
 Tragedi ‘65 adalah penangkapan brutal seorang pegawai rendahan 
di Pabrik Sien Hien bernama Soe Ging. saat  peristiwa itu terjadi, 
Soe Ging bekerja di satu kantor dengan Engkoh [kakak laki-laki] 
saya bernama Tik Kiong, di Pabrik Sien Hien. Soe bekerja sebagai 
pembantu umum yang sehari-harinya bertugas membuatkan minum 
untuk seluruh karyawan-karyawan di pabrik dan di kantor. Waktu 
kejadian 1965 itu, Soe ditangkap dan dibawa ke Purworejo dengan 
paksa. Bahkan beberapa bulan kemudian dia dipindahkan ke Pulau 
 Buru. Padahal dia bukan anggota PKI . Usut punya usut, ternyata 
saat  di kampungnya ada hajatan ulang tahun Pemuda Rakyat yang 
notabene merupakan organisasi pergerakan gerakan   pemuda di bawah payung PKI , Soe 
diminta untuk ikut membantu menarik kabel dan memasang lampu￾lampu untuk acara itu. Oleh sebab peristiwa inilah, Soe dicap sebagai 
bagian dari PKI .41
Sikap Sosial
Saya pikir Tragedi ’65 itu merupakan rekayasa yang dibuat oleh 
pemerintah dan menjadi ajang bagi golongan Pribumi yang memiliki 
rasa dendam terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka mau meman￾faatkan situasi ini  untuk menjatuhkan Tionghoa yang dibencinya, 
dengan cara melaporkan bahwa orang Tionghoa [yang dibencinya] itu 
adalah PKI . Padahal pada waktu sebelum meletusnya tragedi ini  
tidak ada konfl ik fi sik yang terjadi. Itu semua muncul disebabkan oleh 
adanya dendam akibat dari ulah sebagian orang Tionghoa yang dirasa 
cukup mengecewakan orang-orang Pribumi. Salah satunya adalah 
sikap sosial yang ditunjukkan oleh Tionghoa dalam pergaulannya 
dengan masyarakat sekitar. Pada akhirnya semua itu melahirkan apa 
yang bisa disebut “ilmu nuding” [tindakan menunjuk dengan amarah], 
yang di dalamnya berisi kata-kata: Titenana Kowe [artinya: tunggu 
saja, suatu saat nanti tindakanmu itu akan kami balas
NARASI selanjutnya disampaikan oleh Dra. B. Ninik S. Rahayu, 
M.A., seorang mantan dosen yang sejak masa mudanya sudah aktif dalam 
bidang organisasi pergerakan gerakan   remaja muda  . Keluarganya adalah sebuah keluarga 
 Katolik dan Jawa tradisional yang sekaligus sangat taat beragama, 
dalam hal ini agama Katolik. sesudah  menyelesaikan belajarnya di SD 
Kanisius, ia melanjutkan ke SMP dan SMA Stella Duce dan kemudian 
ke Universitas Gadjah Mada, semuanya di keraton yogya .
Dikisahkan oleh Ninik S. Rahayu (seperti yang lain, bukan nama 
aslinya), antara tahun 1960 dan 1965 situasi ekonomi di Indonesia 
pada umumnya, khususnya di keraton yogya  tempat ia tinggal, sangat 
sulit.”Makanan dan pakaian sangat susah diperoleh,” katanya. Dalam 
situasi ekonomi yang sulit seperti itu menurutnya masyarakat menjadi 
mudah terprovokasi. Ia contohkan misalnya provokasi tentang adanya 
para “ Kabir” (Kapitalis Birokrat) yang memperkaya diri dan menjadi 
penyebab kesengsaraan rakyat. Dengan mudah rakyat di daerah menerima 
provokasi macam itu, karena situasi memang sedang sulit.
Di tengah krisis sosial, ekonomi dan politik waktu itu, menurut 
Ninik, Gereja Katolik berada dalam posisi yang tidak mudah. Tokoh 
politik Katolik I.J. Kasimo menentang gagasan Presiden Sukarno tentang
Nasakom ( Nasionalis, Agama dan Komunis). Di mata Kasimo, ketiga 
unsur itu tidak bisa dipaksakan secara politis untuk bersatu, mengingat 
ketiganya berbeda secara mendasar dalam hal visi masing-masing. 
Sementara itu di panggung politik para pemimpin Komunis terkesan 
menyisihkan dan bersifat memaksakan kehendak terhadap kaum Agama. 
Pada saat yang sama, menanggapi situasi demikian, kaum Nasionalis 
terpecah. Untunglah, menurut Ninik, di tengah suasana sulit seperti itu 
 Gereja Katolik tetap menjalankan misinya, yakni secara konsisten terus 
berusaha menanggapi krisis sosial dan ekonomi yang sedang terjadi. 
Misalnya, menyediakan makanan dan pakaian semampunya guna 
membantu masyarakat.
Di mata Ninik, salah satu pelajaran sangat berharga yang bisa 
ditarik dari apa yang terjadi pada tahun 1965 adalah kesadaran akan 
pentingnya peran media massa dalam membentuk opini publik. Orang 
bisa dengan gampang memandang apa yang disiarkan lewat radio, surat 
kabar atau televisi sebagai “kebenaran”. Berdasarkan apa yang didapat 
dari media massa itu masyarakat bisa dengan cepat beropini, dan dengan 
opini itu lantas melakukan tindakan-tindakan tertentu. Padahal, 
menurut Ninik, waktu itu banyak berita sengaja dibuat dengan maksud 
untuk menyesatkan opini rakyat tanpa rakyat menyadarinya. Ia lantas 
mengingatkan,“Cara-cara seperti ini berlanjut pada era Orde Baru. 
Akibatnya masyarakat menjadi tidak berani bersikap kritis.”
Semula wawancara dengan Dra. B. Ninik S. Rahayu, M.A. 
dilakukan oleh Tim PUSdEP secara lisan. Namun demikian, supaya 
lebih jelas dan luas cakupannya, wawancara dilanjutkan dalam bentuk 
tertulis. Hasilnya adalah narasi menarik dan personal sebagaimana 
tertera di bawah ini.
SAYA adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Keluarga saya adalah 
sebuah keluarga Katolik dan Jawa tradisional. Orangtua saya sangat 
taat kepada agama, maka kami bersaudara dipermandikan sejak 
berumur satu minggu. Saya dibesarkan di Kompleks Rumah Sakit 
Mata “Dr. Yap” keraton yogya , karena Bapak saya adalah seorang 
mantri kesehatan spesialis mata, asisten Dokter Yap. Selain mendapat 
pendidikan di rumah dari orang tua saya—Ibu berasal dari keluarga 
priyayi Kraton sedang Bapak berasal dari keluarga petani—saya 
menghabiskan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Kanisius, Kota 
Baru. Pendidikan SMP dan SMA saya jalani di SMP dan SMA Stella 
Duce. Tahun 1962, saya lulus dari SMA Stella Duce, lalu melanjutkan 
studi banding  di Fakultas Ekonomi/HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial Politik) 
 Universitas Gadjah Mada ( UGM), keraton yogya . Saya mengambil 
Jurusan Ekonomi dan Sosiologi. Saya sangat berminat untuk belajar 
ilmu multi-disipliner. Saya lulus tahun 1968.
Selain mendapat gelar Sarjana di bidang Ekonomi dan Sosiologi 
saya juga mendapatkan diploma dari Akademi Kewanitaan (AKWA) 
Tarakanita. Saya pun mendapat beberapa diploma dari kursus-kursus 
singkat seperti kursus tentang Gender, Feminisme, dan Metode 
Pekerjaan Sosial. Di Maryknoll School of Theology, New York, 
 Amerika Serikat, saya belajar Teologi hingga mendapatkan diploma 
Pastoral Konseling dan Master of Arts di bidang Justice and Peace 
pada tahun 1984.
sesudah  lulus dari UGM itu, saya mengajar sebagai dosen ti dak 
tetap di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya 
 keraton yogya ; Jurusan Ekonomi IKIP Sanata Dharma;42 Fakultas Sosial 
Politik Universitas Widyamataram; dan di Akademi Kesejahteraan 
Sosial (AKS) Tarakanita, semuanya di keraton yogya . Mengikuti 
panggilan saya untuk memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi 
perempuan lesbian , saya memilih AKS Tarakanita sebagai tempat mengajar 
tetap. Saya mengajar sebagai dosen tetap AKS Tarakanita sejak tahun 
1968-1999. Selain mengajar, di AKS Tarakanita saya bertugas sebagai 
Direktur selama 15 tahun (1974-1989). sesudah  pensiun dari AKS 
Tarakanita tahun 1999, saya mengajar Teologi Feminis pada program 
Pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma ( USD) 
 keraton yogya  sampai tahun 2009. Di samping pekerjaan mengajar, 
sebagai aktivis perempuan lesbian  beragama Katolik saya diangkat oleh 
Presiden Habibie menjadi anggota komisioner Komisi Nasional Anti￾Kekerasan terhadap perempuan lesbian  ( Komnas perempuan lesbian ) saat  terjadi 
kerusuhan Mei 1998, bersama dengan 16 anggota komisioner lainnya. 
Saya bertugas di Komnas perempuan lesbian  sampai tahun 2008 (dua periode 
masa bakti).
Berlanjut Sampai Sekarang
Sejak belajar di Sekolah Rakyat, saya suka berkomunitas dan melakukan 
aktivitas bersama kawan-kawan saya. Saya mengenal organisasi pergerakan gerakan   saat  
saya masuk SMP dan saya aktif sebagai pengurus organisasi pergerakan gerakan   Siswa 
(semacam OSIS). Kesukaan saya berorganisasi pergerakan gerakan   berlanjut pula saat  
saya belajar di SMA, dan makin menjadi saat  saya studi banding . Tahun 
1963, saya diajak aktif dalam organisasi pergerakan gerakan   Pemuda Katolik, hingga 
saya dipilih menjadi Ketua I Pemuda Katolik Komda DIY (Daerah 
Istimewa keraton yogya ) yang mengurus internal organisasi pergerakan gerakan  . Pekerjaan 
mendampingi anggota Pemuda Katolik membentuk saya menjadi 
aktivis militan. Selain mengajak anggota aktif berorganisasi pergerakan gerakan   saya 
juga mendapatkan pendidikan kader di bidang sosial, ekonomi, dan 
politik
Kaderisasi dalam Pemuda Katolik sungguh membuat kaum 
muda menjadi aktivis yang militan. Semboyan “Pro Ecclesia et Patria”
[Untuk Gereja dan Tanah Air, ed.] dan ajakan Mgr. Alb.Sugiyopranata, 
SJ “100 % Katolik dan 100 % Indonesia”, membuat kami aktivis 
 Pemuda Katolik bersemangat berorganiasi dan berpolitik. Situasi 
sosial politik mendukung semangat kaum muda Indonesia karena 
Presiden Sukarno secara periodik memberikan kursus berpolitik dan 
berpidato kepada kaum muda. Dalam pandangan Presiden Sukarno, 
pemuda adalah salah satu pilar di samping perempuan lesbian , buruh, petani, 
dan nelayan. Menurut Bung Karno, pemuda, perempuan lesbian , buruh, 
petani, dan nelayan adalah pilar-pilar pendukung kokohnya negara 
Indonesia. Oleh karena itu, perhatian Bung Karno sangat besar 
terhadap kelompok-kelompok ini. Saya sendiri pernah mengikuti 
kursus berpidato dari Bung Karno, dan bersama Ibu saya—sebagai 
anggota Wanita Katolik Republik Indonesia [ WKRI]—saya mengikuti 
kursus politik bagi perempuan lesbian  dari Bung Karno.
Kegemaran saya berorganisasi pergerakan gerakan   berlanjut sampai sekarang. Di 
samping melakukan pekerjaan sebagai dosen di kampus saya juga 
aktif dalam organisasi pergerakan gerakan   masa perempuan lesbian  Perkumpulan Solidaritas 
perempuan lesbian  [SP]. Saya menjadi Ketua Badan Eksekutif Nasional SP 
tahun 1998-2002. Saya selalu bergabung dengan gerakan gerakan  rakyat 
seperti gerakan gerakan  Keadilan Konsumen. Di bidang gerakan gerakan  teologi, saya 
bergabung dalam EATWOT (Ecumenical Association of the Third 
World Theologian) bertugas sebagai Koordinator Regional Asia.
Peduli Kepada Rakyat
saat  terjadi tragedi G30S, saya berumur 22 tahun (saya lahir 21 
Agustus 1943) dan masih studi banding  Fakultas Ekonomi UGM. Keadaan 
Kampus UGM sangat kacau. Pendidikan sempat terhenti. Beberapa 
mahasiswa anggota Central gerakan gerakan  Mahasiswa Indonesia ( CGMI) 
dan dosen anggota Himpunan Sarjana Indonesia ( HSI), ditangkap 
karena dituduh telibat dengan G30S.
Antara tahun 1960-1965 situasi kehidupan rakyat, khususnya 
di keraton yogya  di mana saya tinggal, sangat susah. Makanan dan 
pakaian sangat susah diperoleh. Kami sekeluarga tidak mampu lagi 
makan nasi, tetapi harus makan jagung dan singkong, karena harga 
jagung dan singkong lebih murah dari harga beras. Masyarakat sering 
mendapatkan pembagian nasi bulgur, bantuan dari Gereja. Situasi 
sosial ekonomi sungguh buruk. Rakyat kecil benar-benar mengalami 
krisis sosial ekonomi. Saya bersama kawan-kawan dari organisasi pergerakan gerakan   
perempuan lesbian  Gerwani, bersama masyarakat kampung kami membentuk 
Koperasi Konsumsi (collective buying) dan Koperasi Simpan Pinjam. 
Kami membagikan minyak tanah, beras, dan gula pasir agar semua 
warga mendapatkan bagian bahan kebutuhan pokok ini . Akibat 
situasi krisis ini mendorong masyarakat sangat mudah kena provokasi 
terutama provokasi tentang kelompok Kapitalis Birokrat (KABIR). 
Di telinga rakyat pedesaan dan perkampungan, selalu dikampanyekan 
kejelekan kelompok KABIR ini. Mereka diinformasikan sebagai 
pembuat rakyat sengsara demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Dalam situasi krisis sosial, ekonomi, dan politik pada tahun 1960-
an posisi Gereja Katolik terancam. Namun para pemimpin Gereja 
dan tokoh politik Katolik tanggap atas situasi ini. Seperti misalnya 
Bapak I.J. Kasimo sangat tidak setuju dengan konsep Bung Karno 
 Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM). Beliau berpendapat 
tiga unsur ini  tidak mungkin dipaksakan untuk bersatu secara 
politik, karena ada perbedaan visi secara prinsip. Para pemimpin 
 Komunis, khususnya di bidang legislatif dan eksekutif nampak dan 
terasa memaksakan kehendak dan menyisihkan tokoh-tokoh Agama. 
Tokoh-tokoh Nasionalis pecah karena berbeda pandangan. Tetapi 
Gereja tetap menjalankan misinya menanggapi situasi krisis sosial 
dan ekonomi secara konsisten. Melalui lembaga Gereja dan umat, 
Gereja tetap berbagi sandang dan pangan dari bantuan luar negeri 
(bulgur dan pakaian bekas). organisasi pergerakan gerakan   Katolik seperti organisasi pergerakan gerakan   guru 
 Katolik, Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik 
Indonesia (PMKRI) dan Wanita Katolik Republik Indonesia ( WKRI) 
semua menanggapi situasi krisis dengan hati-hati. Partai Katolik, 
 Pemuda Katolik, dan PMKRI tampak dan terasa sangat tanggap pada 
situasi politik.
Beberapa pemimpin Katolik baik di bidang politik, sosial, dan 
pendidikan secara aktif memberikan informasi secara rutin dan 
mendampingi kaum muda Katolik. Saya sebagai aktivis Pemuda Katolik 
merasakan situasi sosial politik rawan, tetapi sikap Gereja sangat jelas, 
hati-hati dan terus membantu ekonomi umat. Romo A.Sumandar, 
SJ dan Romo A.Jayasiswaya, Pr sebagai moderator Pemuda Katolik 
selalu mengingatkan agar kami berhati-hati, tidak mudah terpancing 
gerakan gerakan  rakyat yang sedang memanas. Di pedesaan, gerakan gerakan  Barisan 
Tani Indonesia ( BTI), di perkotaan gerakan gerakan  Pemuda Rakyat bertambah 
aktivitasnya. Mereka menunjukkan bahwa merekalah pembela rakyat. 
gerakan gerakan  “show of force” ini memancing kelompok organisasi pergerakan gerakan   massa 
kaum muda lainnya, termasuk Pemuda Katolik, Pemuda Marhaen, 
 Pemuda Ansor, dan sebagainya. gerakan gerakan  Wanita Indonesia ( Gerwani) 
melakukan kegiatan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan 
budaya. Melalui kegiatan pembelian bahan kebutuhan pokok secara 
bersama-sama, pendidikan untuk anak-anak, dan latihan kesenian 
yang sangat giat mereka menunjukkan bahwa mereka peduli kepada 
rakyat.
Membaca Situasi
Menjelang akhir tahun 1965 situasi sosial politik makin memanas. 
Konfl ik terjadi di mana-mana, di antara golongan apa pun, baik 
konfl ik internal golongan maupun konfl ik antar golongan. Konfl ik 
juga melanda umat Katolik di Yogya, khususnya terhadap para 
pemimpin Katolik yang tidak menunjukkan ke- Katolik-annya. 
organisasi pergerakan gerakan   Pemuda Katolik DIY, misalnya, tidak percaya kepada 
wakil Katolik43 yang menjabat sebagai Badan Pimpinan Harian 
(BPH) Propinsi DIY. Oleh karena itu, Pemuda Katolik memasang 
iklan di harian Kedaulatan Rakyat, menyatakan bahwa tidak mengakui 
pejabat ini  sebagai wakil dari umat Katolik. Peristiwa ini menjadi 
masalah besar bagi Pemuda Katolik, khususnya Komda DIY. Untuk 
menyelesaikan masalah ini  saya diutus ke Jakarta menemui 
Pimpinan Pusat Partai Katolik (Bapak Kasimo dan Bapak Frans Seda) 
untuk menjelaskan duduk persoalannya. 
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 7.00 pagi, saya berangkat ke 
Jakarta menggunakan kereta api pagi dari Stasiun Tugu. Tetapi sebelum 
berangkat, Ibu saya yang mendengarkan Berita RRI berpesan agar 
saya hati-hati karena di Jakarta ada kudeta Dewan Jenderal. Tanpa 
perasaan takut, saya berangkat ke Jakarta ditemani Sulanjana, rekan 
 Pemuda Katolik yang juga anggota Angkatan Laut Republik Indonesia 
(ALRI). Dalam kereta, saya duduk berdampingan dengan seorang 
laki-laki membawa radio transistor dan selalu mendengarkan berita 
radio. sesudah  sampai di Cirebon, laki-laki tadi menghilang, radio dan 
tas pakaiannya ditinggal. saat  itu hati saya mulai merasakan sesuatu 
tidak beres yang berkaitan dengan berita kudeta Dewan Jenderal di 
Jakarta. Kekhawatiran saya bertambah besar saat  tiba di stasiun 
Gambir, karena tempat itu sudah penuh dengan tentara. 
Tujuan saya menginap di rumah paman saya di kompleks Halim 
saya batalkan karena daerah menuju ke sana diblokir tentara. Maka 
saya dan Sulanjana menuju ke Pusroh [Pusat Rohani] Katolik, di 
Jalan Gunung Sahari. Di sana kami disambut oleh Romo Wijoyo, SJ, 
Koordinator Pusroh Katolik. Kami dimarahi karena dalam situasi yang 
sangat genting kami pergi ke Jakarta. Kami hanya boleh menginap satu 
malam dan disarankan untuk segera pulang ke Yogya. Tetapi karena 
tujuan kami menemui Pimpinan Pusat Partai Katolik belum terlaksana, 
maka kami pindah menginap di rumah saudara di daerah Kemayoran. 
Namun sial, saya dimarahi kakak saya karena ketahuan Sulanjana 
membawa pistol, padahal hari itu sedang diadakan pembersihan di 
Kompleks Perumahan kakak. Sadar bahwa kami sedang menghadapi 
situasi genting, Sulanjana memisahkan diri. Sejak itu saya tidak tahu 
bagaimana nasibnya. 
Di rumah saudara saya ini, saya menyaksikan berita tentang 
pembunuhan para Jenderal. Kami semua menyadari bahwa ini semua 
perbuatan PKI , tetapi tidak berani bicara terbuka. Bersama kakak 
saya, saya menyaksikan pemakaman para Jenderal bersama banyak 
orang yang memadati sepanjang jalan menuju makam. sesudah  tiga 
hari saya berada di Jakarta dan tidak dapat menemui Pimpinan Pusat 
Partai Katolik, saya disuruh pulang ke Yogya oleh kakak saya. Ia tidak 
berani menanggung keselamatan saya karena saya selalu keluar dari 
rumah mereka untuk berusaha ketemu Pak Kasimo dan Pak Frans 
 Seda. Akhirnya saya pulang ke Yogya, sendiri. 
Sampai di Yogya, saya melihat bahwa situasi tegang melanda 
kawan-kawan karena hilangnya Pak [Brigjen] Katamso dan Pak 
[Letkol] Sugijono, Komandan Resimen dan Komandan Kodim 
DIY. Suasana menjadi bertambah mencekam saat  jenazah mereka 
ditemukan di Kompleks tentara Kentungan, keraton yogya , dalam
keadaan mengenaskan. Sejak itu situasi kami aktivis Pemuda Katolik 
sudah tidak aman lagi. Berkali-kali saya dicari anggota Pemuda 
Rakyat yang datang ke rumah saya. Ibu saya selalu melindungi saya 
dan mengatakan bahwa saya tidak di rumah. Saya dan kawan-kawan 
aktivis Katolik dari organisasi pergerakan gerakan   Katolik lainnya terpaksa sembunyi dan 
mengadakan pertemuan rutin untuk membaca situasi.
Ikut Terseret Arus
Situasi sosial politik makin tidak menentu. Berita yang dimuat di surat 
kabar Jakarta sangat mempengaruhi pikiran rakyat, walaupun sering 
berbeda dengan kenyataan di daerah. Berita-berita mengerikan yang 
dituduhkan kepada PKI sangat menakutkan. Membaca berita surat 
kabar, mendengar cerita pengalaman kawan-kawan dan mengalami 
sendiri kejadian-kejadian aneh, saya sadar bahwa pada waktu itu 
telah terjadi peristiwa luar biasa. Saya mengalami peristiwa sangat 
mengerikan saat  saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana 
tentara baret merah membunuh sekelompok orang di pinggir Sungai 
Wedi di daerah Klaten, Jawa Tengah. 
saat  itu, saya akan menjemput tunangan saya yang bekerja di 
sebuah bank di Bayat, Klaten. Saya sangat khawatir karena sudah dua 
minggu tunangan saya tidak pulang, padahal biasanya setiap Sabtu 
pulang. Sepanjang jalan, saya melihat pohon-pohon ditebangi untuk 
merintangi jalan. saat  sampai di Sungai Wedi44, saya menyaksikan 
pembunuhan massal itu. Mayat para korban dibuang begitu saja di 
sepanjang sungai. Kejadian lain yang mengerikan dialami oleh sahabat 
saya mahasiswa ekonomi. Ibunya yang menjadi Lurah di suatu Desa 
di Pati, Jawa Tengah, dibunuh di depan dia, bapak dan saudaranya, 
karena Ibu Lurah ini  adalah anggota Gerwani. Masih banyak lagi 
kejadian mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober-Desember 
1965. 
Menghadapi situasi yang menegangkan ini  kami para 
aktivis Katolik makin mendalami persoalan sosial-politik melalui 
diskusi-diskusi dan analisis fakta. Kami berkumpul secara rutin. Agar 
aman, kami berpindah-pindah tempat. Pertemuan selalu dihadiri para 
aktivis Katolik dari organisasi pergerakan gerakan   massa dan organisasi pergerakan gerakan   politik. Walaupun 
kami membuat analisis sosial politik secara kritis, media massa telah 
berhasil membentuk opini publik sehingga kami cenderung percaya 
bahwa yang membuat kekacauan adalah PKI . Oleh karena itu saat  
suasana politik membawa angin untuk membubarkan PKI , kami 
para aktivis Katolik ikut terseret arus bergabung dalam demonstrasi 
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda 
dan Pelajar Indonesia ( KAPPI), dan Keatuan Aksi Wanita Indonesia 
(KAWI). Kami bergabung dengan organisasi pergerakan gerakan   Islam dan Nasionalis. 
Suasana politik membawa umat Katolik mendukung pembubaran 
PKI dan semua organisasi pergerakan gerakan   di bawah payungnya, tanpa bisa berpikir 
jernih.
Ada Skenario Besar
Sebagai aktivis organisasi pergerakan gerakan   Pemuda Katolik saya juga bergabung dalam 
demonstrasi untuk mendukung pembubaran PKI dan organisasi pergerakan gerakan  ￾organisasi pergerakan gerakan   di bawah payungnya. Pada waktu itu, saya merasa ada 
arus politik sangat kuat yang mendorong rakyat agar semua setuju 
PKI dan sekutunya dibubarkan. Media massa, baik surat kabar, 
radio, dan televisi sangat berperan membentuk opini publik dan 
semua menyalahkan PKI . Tetapi sebagai seorang aktivis Katolik yang 
sebelumnya sangat akrab bekerja dengan para aktivis Gerwani dalam 
menanggapi krisis ekonomi dengan kegiatan sosial, pendidikan dan
ekonomi, saya merasakan telah terjadi kekerasan dan ketidakadilan 
terhadap anggota organisasi pergerakan gerakan   di bawah naungan PKI . Lebih-lebih saat  
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap terlibat 
organisasi pergerakan gerakan   komunis menjadi membabi buta. Teman Bapak saya yang 
menggantikan Bapak menjadi Ketua Serikat Buruh Kesehatan DIY 
juga ikut ditangkap.45 Padahal beliau beragama Protestan. 
Penangkapan kawan-kawan saya sekampung yang menjadi anggota 
 Gerwani juga merisaukan hati saya. Ada dua orang ibu anggota aktif 
 Gerwani yang bekerja sama dengan saya dalam Koperasi Kampung 
juga ditangkap. Saya sangat marah dan tidak bisa menerima kejadian 
itu. Maka saya beranikan diri untuk membela mereka walaupun saya 
terpaksa menjadi bulan-bulanan petugas Polisi Militer di Makodim 
 keraton yogya . Melalui kesaksian Romo A. Jayasiswaya, Pr (moderator 
 Pemuda Katolik) dan Bapak FX. Sastraharjana (polisi yang selalu 
menolong kami) tentang diri saya, saya berhasil membebaskan rekan 
kerja sekampung saya itu. 
Kerisauan saya bahwa ada yang tidak beres dengan cara-cara 
menghadapi Tragedi ’65 ini mendapat jawaban saat  saya diminta 
membantu Romo P. De Blot, SJ untuk mendampingi keluarga para 
tahanan politik yang ditampung di Wisma Realino, keraton yogya . Dari 
cerita pengalaman mereka, saya makin yakin bahwa ada skenario besar 
di belakang Tragedi 1965.
Bersikap Rasional
Sebagai seorang Katolik, saat  itu pandangan saya masih terbentuk 
oleh ajaran-ajaran Gereja yang memisahkan politik dan non-politik 
secara dikotomis. Oleh karena itu saya tidak heran kalau Gereja dan 
para pemimpin Gereja tampak “menjaga jarak” dari kegiatan berbau 
politik, seperti membuat pernyataan atau memberi dukungan tentang 
suatu sikap politik tertentu. Perilaku politik kami dipimpin oleh 
Partai Katolik, yang kami percaya mendapatkan restu dari Gereja. 
Karena itu saat  Partai Katolik mendukung pembubaran PKI , kami 
mengikutinya.47 Secara perseorangan beberapa umat Katolik, Awam, 
Pastor, Bruder, Suster terlibat langsung dalam pekerjaan kemanusiaan, 
walaupun belum banyak yang berani secara terbuka. 
 Gereja Katolik baik para pemimpin maupun umatnya lebih 
memilih menanggapi Tragedi 1965 dengan melayani pekerjaan 
kemanusiaan. Saya sebagai aktivis organisasi pergerakan gerakan   pemuda juga 
mengurangi kegiatan berpolitik praktis. Lebih-lebih sesudah  saya 
ditangkap polisi, ditahan dua hari di Mapolda keraton yogya  karena 
harus mempertanggungjawabkan kerusuhan yang terjadi saat  kami 
melakukan demonstrasi bersama organisasi pergerakan gerakan   pemuda lainnya. Nama 
saya ada dalam daftar intel Makodim untuk dipantau terus di mana 
keberadaan saya. Karena itu, saya harus bersikap rasional agar tidak 
mati konyol.
Pada tahun 1965 itu menurut pengamatan saya, masyarakat 
 keraton yogya  pada umumnya dilanda kecemasan karena peristiwa￾peristiwa mengerikan yang terjadi di sekitar wilayah keraton yogya . 
Misalnya di Desa Manisrenggo, sebelah timur Prambanan. Desa itu 
terkenal sebagai tempat pembunuhan orang-orang yang dituduh 
terlibat PKI . Masyarakat resah karena setiap hari dihadapkan pada 
berita tentang orang-orang yang hilang, ditangkap, dibunuh. Berita 
tentang sumur di desa-desa tertentu sebagai kuburan massal menjadi 
berita yang disajikan setiap hari. Namun demikian, kehidupan 
masyarakat tetap tenang dan tidak ada gejolak yang menonjol.
Kekuasan Ekonomi Internasional
Menurut pengamatan saya memang terjadi perubahan situasi sosial, 
ekonomi, dan politik di Indonesia pasca-Tragedi 1965. Perubahan 
diawali dengan terjadinya kekerasan dan politik represif dari militer. 
Di bidang sosial, masyarakat yang semula kebingungan, takut kepada 
orang-orang komunis, mulai berproses dan percaya kepada militer, 
khususnya Angkatan Darat yang tampil sebagai “pelindung” rakyat. 
Rakyat yang pandangan sudah terbentuk bahwa PKI adalah dalang 
dari tragedi 1965, menjadi percaya bahwa Angkatan Darat adalah 
“penyelamat”. Kekuasaan birokrasi mulai diganti dari pimpinan sipil 
menjadi pimpinan militer. Hampir semua Gubernur dan Bupati 
di wilayah seluruh Indonesia dijabat oleh militer. Militerisme yang 
terwujud dalam bentuk kekerasan mulai dialami rakyat Indonesia. 
Para aktivis yang membuat gerakan gerakan  di akar rumput dicurigai, diculik, 
atau ditangkap secara terbuka.
 Situasi politik membuat orang tidak berani mengkritik, membuat 
analisis sosial politik, berorganisasi pergerakan gerakan   mandiri atau melakukan gerakan gerakan  
massa. Alasannya karena takut dituduh PKI . Berorganisasi pergerakan gerakan   harus 
minta izin. Bahkan segala kegiatan yang melibatkan orang banyak 
harus minta izin. Politik pemerintah yang represif, penyalahgunaan 
wewenang dari pimpinan terjadi di mana-mana, khususnya persoalan 
tanah. Para pejabat membeli tanah rakyat. Para aktivis organisasi pergerakan gerakan   
masa, baik organisasi pergerakan gerakan   sosial dan budaya banyak yang hilang diculik. 
Saya sendiri tidak berani melakukan kegiatan berorganisasi pergerakan gerakan   di luar 
pekerjaan saya sebagai dosen, karena telah terjadi kekerasan yang 
tidak manusiawi. Perspektif militer mulai mempengaruhi masyarakat, 
memandang golongan lain sebagai kawan atau lawan.
Kehidupan ekonomi mulai terasa membaik, karena pemerintah 
mulai mengadakan kerja sama dengan negara-negara kapitalis. Utang 
Luar Negeri dan investasi asing mulai mengalir. Situasi ini memicu 
Peristiwa MALARI sekitar tahun 1970-an. Peristiwa ini terjadi karena 
para aktivis mahasiswa secara kritis mulai sadar bahwa perbaikan 
ekonomi yang terjadi adalah perbaikan semu. Namun demikian, 
demonstrasi ini ditumpas dengan kekerasan militer. Oleh pemerintah 
 Orde Baru, bangsa Indonesia mulai dilibatkan dengan kekuasaan 
ekonomi internasional.
Kapitalis juga Diuntungkan
Tragedi 1965 sangat merugikan masyarakat yang dituduh terlibat, 
padahal mereka sebagai anggota organisasi pergerakan gerakan   tidak tahu-menahu tentang 
rencana peristiwa itu. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari keluarga 
PKI dan organisasi pergerakan gerakan   di bawahnya diberi tanda “ ET” yang berarti Eks-
 Tahanan Politik. Mereka diperlakukan diskriminatif dan disingkirkan. 
Para aktivis organisasi pergerakan gerakan   sosial kemasyarakatan juga dirugikan karena 
banyak organisasi pergerakan gerakan   yang dibekukan atau dibubarkan. Masyarakat tidak 
bebas untuk membentuk organisasi pergerakan gerakan  . Bahkan kaum perempuan lesbian  juga 
jadi takut berorganisasi pergerakan gerakan  , karena bisa dituduh Gerwani. perempuan lesbian , 
pemuda, petani, buruh yang semula aktif dan militan berorganisasi pergerakan gerakan   
semakin menurun jumlahnya atau berhenti sama sekali. Dalam situasi 
rakyat takut berorganisasi pergerakan gerakan   ini, pemerintah membentuk organisasi pergerakan gerakan   
seperti PKK dan Dharma Wanita untuk perempuan lesbian . Pemerintah juga 
membentuk organisasi pergerakan gerakan   untuk buruh, petani, dan pemuda, bahkan 
membentuk Koperasi versi pemerintah.
Pihak yang diuntungkan dari peristiwa ini  adalah militer, 
khususnya Angkatan Darat. Kekuasaan penuh ada di tangan mereka. 
Pemerintah bekerja sama dengan negara-negara kapitalis. Untuk 
memperbaiki perekonomian dan demi pembangunan, pemerintah 
membuka investasi asing. Pembangunan Indonesia bersifat develop￾mentalist, berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional saja, tanpa 
memperhatikan aspek pemerataan. Kekuasaan diktator membawa 
masyarakat tidak berani melawan. Situasi represif membuat masyarakat 
takut sehingga menjadi tidak kritis. Dalam situasi seperti ini para 
kapitalis juga diuntungkan.
Tetap Tidak Berani Kritis
Politik Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri saat itu 
memperkuat terjadinya kemiskinan struktural yang membuat 
banyak orang menderita. Padahal realitas menunjukkan bahwa ada 
sekelompok masyarakat yang hidup berkelimpahan. Masyarakat sadar 
bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam kehidupan. Jurang antara 
kaya dan miskin semakin lebar, sehingga muncul kecemburuan sosial. 
Dalam situasi seperti ini rakyat mudah dihasut dan dimanfaatkan 
bagi kepentingan tertentu. Pada tahun 1960-an penderitaan rakyat 
semakin berat dan meluas. Cita-cita Bung Karno “berdiri di atas kaki 
sendiri” makin jauh dari kenyataan. Perekonomian makin terpuruk 
mengingat Indonesia itu sangat luas sementara situasi sosial, ekonomi, 
dan budayanya sangat beragam. Penderitaan rakyat ini rupanya 
dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk menghasut rakyat. 
Melalui kampanye didengung-dengungkanlah pertanyaan “siapa” 
yang membuat penderitaan, dan bukan “apa” yang menyebabkan.
Dengan menekankan sisi “siapa”-nya berarti terbukalah pintu untuk 
mengkambing-hitamkan pihak-pihak tertentu, dan pihak tertentu itu 
harus dilawan, dibunuh, dimusnahkan. 
Pengalaman belajar Teologi Pembebasan dari Amerika Latin, 
membuat saya bisa merasakan bahwa situasi rakyat di negara-negara 
Dunia Ketiga,48 di termasuk Indonesia, sama dengan situasi rakyat 
di negara-negara Amerika Latin. Kemiskinan struktural tidak dapat 
diselesaikan dengan sedekah yang bersifat karitatif. Di Amerika Latin 
juga terjadi kemiskinan struktural, di mana para pemimpin Negara 
dan Gereja menghadapinya secara karitatif. Tetapi perbedaan besar 
antara Indonesia dan Amerika Latin adalah cara penyadaran rakyat. 
Di Amerika Latin, khususnya di Brazil,49 rakyat diajak memikirkan 
pengalaman hidup dan merefl eksikan iman mereka. Mereka diajak 
untuk mencari apa yang menyebabkan kemiskinan, lalu diajak untuk 
menyadari kemiskinan sebagai keprihatinan bersama, untuk kemudian 
diajak mencari penyelesaiannya secara bersama-sama. Kalau di Indonesia, 
rakyat digiring untuk mencari kambing hitam siapa yang membuat 
kemiskinan. Akibatnya terjadi kemarahan rakyat yang mendorong 
perbuatan anarkis melawan golongan yang dituduh sebagai pembuat 
penderitaan rakyat. Sebagaimana kita tahu, persoalan kemiskinan dan 
penindasan itu sangat sarat muatan emosi yang mudah disulut dan 
mudah meledak.
Pada tahun 1960-an, umat Katolik termasuk saya masih me￾man dang politik secara sempit. Secara dikotomis dibedakan dan 
dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan beragama. Ajaran 
Gereja yang membentuk pandangan seperti itu membuat saya harus 
benar-benar membedakan kegiatan politik dan kegiatan beragama. 
Politik dipandang sebagai kekuasaan duniawi. Oleh karena itu, saya 
tidak heran kalau pada tahun 1965-1966 Gereja seolah-olah “diam”, 
sehingga umat Katolik juga ikut “diam”. Bahkan banyak umat Katolik 
mengecam sesama umat yang melakukan kegiatan politik di luar partai 
politik. Misalnya, umat mengecam Pastor yang ikut menandatangani 
pernyataan “40 tokoh masyarakat” tentang keprihatinan rakyat DIY, 
saat  Bapak Kardinal J. Darmoyuwono bergabung dengan gerakan gerakan  
Ratu Adil mencita-citakan keadilan dan perdamaian. Ingat misalnya 
kasus Sawito. Masih banyak umat Katolik yang memberi komentar 
sinis pada karya kenabian para imam ini . Ajaran Gereja yang 
diterima umat seperti itu membuat umat Katolik kurang berani tampil 
menyuarakan kebenaran, membela keadilan, dan memperjuangkan 
perdamaian.
Pelajaran lain yang sangat besar yang saya petik adalah peranan 
luar biasa media massa dalam membentuk pandangan masyarakat. 
Berita yang tersiar melalui surat kabar, radio, dan televisi ternyata 
sangat mudah dianggap sebagai kebenaran, walaupun tidak sedikit 
yang menyesatkan. Apalagi telah terjadi monopoli informasi. Berita 
yang didengar, dilihat, dan dibaca dianggap sebagai kebenaran dan 
akhirnya membentuk opini publik. Berita-berita dibuat dengan sengaja 
untuk menyesatkan rakyat tanpa rakyat mampu menyadarinya. Cara￾cara seperti ini berlanjut pada era Orde Baru. Akibatnya masyarakat 
menjadi tidak berani bersikap kritis.
Bergabung
Belajar dari pengalaman saya berada dalam suasana Tragedi 1965, 
saya menjadi sadar bahwa pandangan dikotomis terhadap politik dan 
agama ternyata tidak realistis. Saya sadar dan makin memahami konsep 
Feminis Radikal yang mengatakan, “the personal is political”. Artinya 
aspek personal-politik, domestik-publik, duniawi-ilahi, dan sebagainya 
harus dipandang secara utuh, tidak secara dikotomis. Oleh karena 
itu, pemahaman saya tentang politik telah berubah. Politik tidaklah 
sekadar perebutan kekuasaan, melainkan bagaimana kita berperan serta 
dalam menentukan keputusan-keputusan yang dimaksudkan untuk 
membuat pranata kehidupan agar manusia dan ekologi makin saling 
memberikan manfaat sehingga terciptalah keadilan dan perdamaian. 
Untuk menghilangkan pandangan dikotomis atas politik dan agama 
perlu disadari bahwa berpolitik dan refl eksi iman merupakan suatu 
kesatuan utuh. Proses “Aksi–Refl eksi–Aksi Lanjut” merupakan proses 
berpolitik untuk melakukan perubahan sosial, politik, ekonomi dan 
budaya.
Karya Yesus Kristus mewartakan Kerajaan Allah dan menyerukan 
pertobatan belum selesai. Oleh karenanya, kita yang mengaku murid￾murid Yesus wajib melanjutkan karya ini . Melanjutkan karya 
Yesus tidak mungkin terjadi kalau kita tidak berpolitik. Mewartakan 
Kerajaan Allah berarti menciptakan dunia baru yang adil dan damai, 
karena hanya Allah yang me-Raja. Cara yang dipilih Yesus untuk 
melaksanakan karya-Nya adalah melakukan gerakan gerakan  rakyat dengan 
metoda Aktif Tanpa Kekerasan. gerakan gerakan  perubahan sosial, ekonomi, 
politik, dan budaya, menuju dunia baru dilakukan dengan kegiatan 
politik. 
Agar tetap setia menjadi murid Yesus, sampai sekarang saya 
bergabung dengan gerakan gerakan  ini. Di dunia sudah bergulir gerakan gerakan  rakyat 
yang mencita-citakan terwujudnya “dunia baru”. gerakan gerakan  dunia 
dilakukan oleh pribadi dan lembaga atau organisasi pergerakan gerakan   yang bergabung 
dalam World Social Forum (WSF). gerakan gerakan  dunia yang bersemboyan 
another world is possible itu berawal dari Puorto Allegre, Brazil, dan 
sekarang sudah menyebar ke seluruh dunia guna mengajak semua 
orang agar mencita-citakan dunia adil dan damai. gerakan gerakan  yang boleh 
diikuti oleh siapa saja tanpa diskriminasi ini selalu dibarengi dengan 
refl eksi teologi para teolog dunia yang bergabung dalam World Forum 
on Theology and Liberation (WFTL).
Saya mengajak semua pengikut Yesus untuk bergabung dalam 
gerakan gerakan  dunia ini.[
























PADA umumnya suatu narasi sejarah tidak dibuat demi dirinya 
sendiri. Narasi sejarah dibuat demi tujuan-tujuan tertentu, termasuk 
tujuan-tujuan sosial, politis, atau yang lain. Itulah sebabnya hampir 
setiap kelompok masyarakat merasa perlu untuk menyampaikan 
sejarahnya dari satu generasi ke generasi lain. Sebagaimana dikatakan 
oleh Paul Thompson dalam artikel singkat  The Voice of the Past, melalui sejarah 
masyarakat berusaha memahami apa yang bergerak gerak  dan berkembang 
di lingkungannya, baik secara sosial, politik, kultural maupun 
ekonomi. Suatu narasi sejarah, misalnya, diharapkan dapat membantu 
masyarakat semakin menyadari bahwa ternyata peristiwa-peristiwa 
yang terjadi di masa lalu itu tidak serta merta berhenti di masa lalu, 
melainkan tetap “hidup” dan mempengaruhi gerak dan cara berpikir 
masyarakat sekarang ini. Pengaruh itu mungkin akan terus berlanjut 
bahkan hingga ke waktu-waktu yang akan datang.6
Dalam menyampaikan narasi sejarah biasanya masyarakat 
menggunakan cara tertulis atau cara lisan, meskipun mungkin juga 
kombinasi antara keduanya. Sementara cara pertama menggunakan medium atau sarana tulis yang hasilnya bisa dibaca berulang-ulang, cara 
kedua mengandalkan penyampaian melalui tuturan langsung tanpa 
tulisan. Cara pertama biasanya banyak dipakai  oleh masyarakat￾masyarakat yang sudah lama mengenal dan terbiasa dengan budaya 
tulis-menulis. Sementara itu cara kedua (lisan) bisa dengan mudah 
ditemukan dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan budaya 
tulis. Bisa juga di antara warga masyarakat yang untuk jangka waktu 
yang lama tersisihkan atau terbatas aksesnya terhadap sarana-sarana 
pendidikan modern.
Pada gilirannya baik medium tertulis maupun lisan akan ber￾gu na bagi sejarawan dalam melakukan penelitian dan penulisan 
sejarah. Dalam penelitian atau penulisannya, seorang sejarawan dapat 
menggunakan sumber-sumber tertulis maupun lisan yang datang dari 
masyarakat. Bagi para sejarawan, baik sumber-sumber tertulis mau￾pun lisan penting dalam rangka studi dan penelitian sejarah-sebagai￾ilmu maupun dalam rangka memahami dan menerangkan sejarah￾seba gai-peristiwa. Dengan demikian, jika dikerjakan dengan baik, 
penu lisan sejarah yang dasarnya adalah sumber-sumber lisan (sering 
disebut “sejarah lisan” begitu saja), dapat memperkaya tidak hanya 
penulisan sejarah itu sendiri, melainkan juga pemahaman akan masa 
lalu masyarakat atau bangsa dengan segala dinamikanya.
Makin Kuat
Salah satu keuntungan dari sejarah lisan adalah bahwa melaluinya, 
kita dapat memberi “ruang” yang lebih luas kepada orang-orang yang 
selama ini tidak mendapat cukup kesempatan untuk menarasikan 
sejarahnya, khususnya mereka yang berasal dari kelas bawah, mereka 
yang memiliki keterbatasan akses ke publik, maupun mereka yang
terlanjur dianggap “kalah” oleh elemen-elemen tertentu dalam 
masyarakat.7
 Sekaligus sejarah lisan memberi kesempatan kepada 
para sejarawan untuk menyampaikan pesan sosial sejarah dengan cara 
mendengarkan dan menarasikan ungkapan hati dan pikiran mereka. 
Lebih dari itu, sejarah lisan dapat menjadi semacam alternatif bagi 
narasi besar dan resmi yang diproduksi dan direproduksi oleh para 
penguasa dan yang untuk jangka waktu yang lama beredar luas serta 
dianut oleh sebagian besar warga masyarakat.8
Dengan mengangkat suara-suara dan dari masyarakat di lapisan 
bawah yang selama ini kurang terdengar atau bahkan terbungkam, 
cakupan penulisan sejarah menjadi lebih luas. Narasi sejarah tak 
lagi didominasi oleh suara elite, apalagi elite pemegang kekuasaan, 
melainkan terbuka terhadap berbagai pandangan dan dimensi yang 
berasal dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam kata-kata Paul 
 Thompson disebutkan: 
By introducing new evidence from the underside, by shifting the focus and 
opening new areas of inquiry, by challenging some of the assumptions and 
accepted judgements of historians, by bringing recognition to substantial groups 
of people who had been ignored, a cumulative process of transformation is set in 
motion... History becomes, to put it simply, more democratic.9
Sebagaimana sering terjadi, suatu kekuasaan yang bersifat totaliter 
cenderung merepresi ingatan-ingatan yang tidak sejalan dengan 
kepentingannya, termasuk ingatan-ingatan yang sifatnya personal, 
lokal, dan berasal dari para korban kekuasaan totaliter ini . Apa 
yang diinginkan oleh suatu rezim totaliter seperti itu adalah bahwa masyarakat hanya boleh mengingat narasi-narasi yang diizinkan oleh 
rezim untuk diingat.10
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa narasi sejarah resmi yang 
berasal dari kekuasaan totaliter seperti itu harus disingkirkan begitu 
saja. Ada unsur-unsur tertentu dalam narasi sejarah versi penguasa 
yang tetap perlu untuk dicermati karena unsur-unsur itu merupakan 
cerminan dari suatu realitas atau kepentingan tertentu. Sebagaimana 
sekarang makin disadari, setiap “teks” lahir dari “konteks” tertentu.11
Demikian halnya teks-teks sejarah yang lahir dari para penguasa 
otoriter.
Itulah sebabnya suatu studi sejarah akan menjadi lebih menarik 
jika di dalamnya terkandung narasi-narasi baik yang disampaikan 
oleh para penguasa dengan segala kepentingannya, maupun oleh 
mereka yang berada di luar kepentingan kekuasaan itu, serta mereka 
yang telah menjadi korban dari kepentingan kekuasaan ini . 
Dengan memadukan bahan-bahan yang diperoleh secara lisan dari 
para korban serta mereka yang berada di luar lingkaran kepentingan 
kekuasaan dengan bahan-bahan yang berasal dari mereka yang berada 
di dalam lingkaran kekuasaan diharapkan bahwa seorang sejarawan 
dapat melakukan rekonstruksi masa lalu secara lebih realistik dan 
lebih mendalam. Hal itu penting, mengingat bahwa yang namanya 
realitas itu bersifat multidimensional. Melalui sejarah lisan, seorang 
sejarawan dapat membantu menunjukkan multidimensionalitas dari 
realitas itu.
Dalam kaitan dengan penulisan sejarah lisan yang berasal dari 
orang-orang di luar kepentingan kekuasaan, para pemikir besar seperti 
E.P. Thompson dan James Hinton sebenarnya merupakan perintis 
penulisan sejarah yang tidak bersumber pada elite kekuasaan. Namun 
demikian, keduanya masih mendasarkan karya-karya mereka pada 
dokumen-dokumen yang ditulis oleh para petugas yang digaji oleh 
pemerintah. Bahan-bahan yang mereka dapatkan belum benar-benar 
berasal dari hasil perjumpaan dan wawancara langsung dengan rakyat 
di lapisan bawah. Sekarang ini makin kuat desakan untuk menulis 
sejarah yang melibatkan sumber-sumber yang datang langsung dari 
warga masyarakat di lapisan akar rumput, khususnya yang diperoleh 
dengan secara langsung menemui dan mewawancarai mereka.
Ingatan
Perlu disadari, suatu proses penulisan sejarah lisan tidak hanya 
menguntungkan masyarakat atau pembaca pada umumnya. Proses 
penulisan sejarah lisan juga menguntungkan para sejarawan itu sendiri. 
Dengan mewawancarai narasumber, misalnya, seorang sejarawan 
didorong (baca: diberi kesempatan) untuk menjumpai dan bekerja 
sama secara langsung dengan orang lain, sehingga ia tidak hanya 
“asyik” bekerja sendirian di ruang tertutup ber-AC yang penuh dengan 
dokumen dan artikel singkat -artikel singkat  rujukan. Melalui sejarah lisan, seorang 
sejarawan mendapat kesempatan untuk memperkaya pengalaman 
dalam hal relasi antar manusia (human relationship). Sekaligus dengan 
begitu, seorang sejarawan mendapat ruang untuk mendengarkan serta 
berbagi pengalaman dan pandangan dengan para narasumber sebagai 
sesama manusia (sharing experience on a human level). Artinya, seorang 
sejarawan dapat berelasi dengan orang lain bukan dalam konteks relasi 
antara seorang peneliti di satu sisi dan seorang terteliti di sisi lain, atau 
relasi antara orang yang merasa diri lebih tahu dengan orang lain yang 
dianggap kurang tahu, melainkan dalam relasi antar sesama manusia 
yang posisinya sejajar, meskipun mungkin memiliki pengalaman dan 
pandangan yang berbeda.
Lebih dari itu, wawancara dalam rangka sejarah lisan dapat 
mempertemukan orang dari berbagai latar belakang sehingga mereka 
bisa berbincang satu sama lain secara langsung. Suatu kesempatan 
yang sulit terbangun jikalau tidak dalam rangka kepentingan penulisan 
sejarah lisan. Jadi, peneliti mungkin akan sulit untuk bertemu dan 
berbincang dengan banyak narasumber jika tanpa proses wawancara. 
Melalui wawancara dalam rangka penulisan sejarah lisan, seorang 
sejarawan dimungkinkan untuk berjumpa dengan orang-orang lain 
yang memiliki nilai-nilai atau pandangan yang berbeda dengan 
pandangan yang selama ini telah ia miliki, sehingga ia dapat terbantu 
untuk membuka atau memperbaharui cakrawala pandangnya 
sendiri.13
Itulah sebabnya seorang sejarawan perlu mengusahakan agar 
hubungan yang berlangsung antara dirinya sebagai seorang peneliti 
sejarah dan para narasumbernya, serta hubungan antara sejarah dan 
masyarakat, tidak merupakan suatu hubungan yang sifatnya linear 
atau searah, melainkan hubungan yang bersifat timbal-balik, dinamis, 
dialektik dan saling memperkaya. Dengan kata lain, karena menulis 
dengan semangat demikian dan menyusun studinya di seputar 
manusia-manusia konkret di lapangan, diharapkan bahwa seorang 
sejarawan akan dapat membantu manusia-manusia lain agar semakin 
menjadi manusia
Catatan demikian itu penting, mengingat bahwa seharusnya 
sejarah mampu mendorong seorang sejarawan (atau siapa pun juga) 
un tuk secara kritis dan terus-menerus berpikir ulang atas pemahaman￾pemahaman lamanya akan realitas, sekaligus men dorongnya untuk 
secara rutin melakukan perubahan, baik itu perubahan di tingkat 
individual, atau itu di tingkat sosial. Ditarik lebih jauh, dengan 
menulis sejarah yang melibatkan sumber-sumber yang diperoleh dari 
kalangan elite maupun yang didapat secara lisan dari kalangan bawah, 
seorang sejarawan mendorong orang lain maupun dirinya sendiri 
untuk tidak hanya melakukan renungan tentang dunia, melainkan 
untuk “mengubah” dunia.15
Salah satu unsur pokok dalam sejarah lisan tentu saja adalah 
apa yang disebut dengan “ingatan” atau memory, khususnya ingatan 
yang dimiliki oleh para narasumber yang merupakan subjek pene￾litian sejarah lisan. Ingatan yang dimiliki oleh para narasumber itu 
merupakan bahan utama yang diolah oleh sejarawan agar selanjutnya 
menghasilkan suatu narasi sejarah lisan. Namun demikian, penga￾laman menunjukkan bahwa masalah ingatan dalam kaitannya dengan 
penelitian dan penulisan sejarah lisan bukanlah masalah yang ringan. 
Apalagi jika subjek penelitian dan penulisan itu adalah korban 
pelanggaran hak-hak asasi manusia ( HAM) yang ingatannya penuh 
dengan ingatan akan praktik-praktik kekerasan yang menimpanya 
di masa lalu. Dalam banyak kasus, oleh para korban sejumlah unsur 
dari ingatan itu telah direpresi atau bahkan coba “dihapus” dari benak 
mereka. Alasannya bisa karena adanya desakan dari luar, bisa juga 
karena adanya desakan dari dalam diri orang yang bersangkutan. 
Desakan dari diri sendiri itu muncul misalnya karena adanya rasa 
takut atau karena faktor-faktor yang lain.
Ruang Relasi
Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, jelaslah bahwa narasi-narasi 
sejarah yang ada dalam artikel singkat  ini tidak dimaksudkan demi dirinya 
sendi ri, melainkan demi tujuan-tujuan tertentu. Salah satunya adalah 
membantu masyarakat dalam memahami apa yang bergerak gerak  dan 
berkembang di sekitarnya, sekaligus menyadari bahwa banyak peristiwa 
yang terjadi di masa lalu itu tidak serta merta berhenti pada masa lalu 
itu, melainkan tetap “hidup” dan terus memiliki pengaruhnya hingga 
sekarang bahkan mungkin hingga ke masa-masa yang akan datang. 
Ada banyak narasi disuguhkan dalam artikel singkat  ini, dan kebanyakan 
sumbernya adalah tuturan lisan dari para narasumbernya. Sebagian 
narasi berasal dari mereka yang telah menjadi korban kekerasan dan 
pelanggaran HAM di masa lalu, yakni mereka yang menjadi korban
Tragedi ’65. Sebagian lagi berasal dari para saksi, yakni orang-orang 
yang bukan merupakan korban dari tragedi ini , meskipun mereka 
juga tidak termasuk dalam kalangan para pelaku. Dengan memadukan 
bahan-bahan yang diperoleh secara lisan dari kedua kelompok ini  
diharapkan artikel singkat  ini dapat membantu Anda dan para pembaca 
lainnya agar mampu merekonstruksi masa lalu secara lebih realistik 
dan lebih lengkap. Sekali lagi, realitas itu multidimensional dan narasi 
sejarah yang berasal dari pihak-pihak yang berbeda diharapkan dapat 
membantu menangkap multidimensionalitas realitas itu.
Berkaitan dengan ingatan para narasumber sebagaimana telah 
kita singgung di atas, kita perlu bersyukur, mengingat bahwa sedikit 
banyak para narasumber yang ada dalam artikel singkat  ini telah mampu 
mengatasi rasa takut seperti itu. Seperti dikatakan oleh Ronnie Hatley, 
di sini mereka berani untuk menghadirkan kembali ingatan mereka 
mengenai bermacam ketidakadilan dan kekerasan yang mereka alami 
di masa lampau. Mereka berani mengalahkan rasa takut itu untuk 
kemudian semampu mungkin menyampaikan apa yang dulu pernah 
mereka alami. Itulah sebabnya dalam arti tertentu, melalui artikel singkat  ini, 
Anda diajak untuk “merayakan kemenangan ingatan”. Anda dan para 
pembaca lain diajak untuk bersama-sama mensyukuri fakta bahwa 
ingatan telah mengalahkan berbagai macam praktik kekerasan dan 
pelanggaran HAM yang bentuknya bisa berupa siksaan, hinaan, 
tuduhan, penahanan, dan pemenjaraan tanpa alasan yang jelas, 
ketidakpastian nasib, ingatan-ingatan palsu yang coba dipaksakan 
oleh penguasa, atau bermacam tindak lain yang bersifat represif. Di 
sini kita diajak untuk menyaksikan bahwa pada akhirnya ingatan itu 
menang. Bahkan lebih dari itu, karena dinarasikan dan ditulis untuk 
kalangan lebih luas, Anda diajak untuk terus berharap bahwa ingatan 
yang menang itu nantinya akan melahirkan pemikiran-pemikiran 
baru, untuk selanjutnya melahirkan bibit-bibit kehidupan baru.
 Sudah sejak semula, bagi para narasumber yang ada dalam 
artikel singkat  ini (khususnya para mantan korban) yang namanya “ingatan” 
itu merupakan sesuatu yang sangat penting. Di tengah penderitaan 
yang mereka alami waktu itu, mereka tetap mampu bertahan hidup 
atau survive karena mereka telah “diselamatkan” oleh ingatan mereka: 
ingatan akan orang-orang yang dekat di hati mereka, yang terpaksa 
mereka tinggalkan saat mereka ditangkap dan ditahan. Orang-orang 
itu bisa orangtua, anak, suami, istri, teman, tetangga, atau yang lain. 
Di balik ingatan akan orang-orang itu terkandung sebersit harapan 
bahwa jika mereka nanti bisa bebas kembali, mereka akan bisa bertemu 
lagi dengan orang-orang yang telah mereka tinggalkan, tetapi yang 
tetap “hidup” dalam ingatan mereka itu.
Sebagaimana sering kita sadari, bagi kita pun sebenarnya ingatan 
itu juga sangat penting artinya. Ingatan merupakan “alat” yang kita 
perlukan untuk memaknai berbagai peristiwa yang kita alami atau 
yang berlangsung di sekitar kita. Sekaligus ingatan juga penting bagi 
kita untuk memaknai orang-orang yang pernah, sedang dan akan kita 
jumpai dalam berbagai peristiwa hidup kita. Dengan kata lain, yang 
namanya ingatan pada prinsipnya bersifat relasional. Artinya, ingatan 
itu selalu terkait dengan orang lain—atau setidaknya dengan peristiwa 
yang kita alami bersama orang lain. Kaitan itu bisa dalam arti kaitan 
antar personal, antar kelompok, atau bahkan antar generasi. Mengutip 
 Passerini:
After all, memory is the tool we have in order to give meaning to our lives, if 
we understand it in the sense of an inter-subjective (or inter-human) work that 
connects different generations, times, and places.17
Itulah sebabnya kita berharap bahwa ingatan yang mendasari 
narasi-narasi dalam artikel singkat  ini akan bisa membantu menciptakan 
“ruang relasi” yang tidak hanya menyangkut relasi antara pembaca 
dengan para narasumber, melainkan juga relasi antara satu kelompok 
dengan kelompok lain, antara satu generasi dengan generasi lain. 
Misalnya antara generasi mereka yang hidup pada tahun 1960-an 
dengan generasi-generasi yang lahir jauh sesudah nya.
Berpikir Kritis
Dalam kaitan dengan sejarah Indonesia, pentingya mengolah ingatan 
akan masa lalu itu terasa mendesak, mengingat bahwa sejak pertengahan 
1960-an hingga beberapa dekade berikutnya masyarakat berada di 
bawah sistem pemerintahan yang totaliter, yang ingin mengontrol 
hampir semua aspek kehidupan rakyatnya. Itulah yang terjadi selama 
pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Oleh 
pemerintah ini  tidak hanya kebebasan politik dan ekonomi 
rakyat yang mau dikontrolnya, melainkan juga ingatan masyarakat 
akan masa lalu atau sejarahnya. Pemerintah rajin mengeluarkan artikel singkat ￾artikel singkat  sejarah, tetapi pada saat yang sama dengan keras melarang dan 
mengawasi artikel singkat -artikel singkat  sejarah yang bertolak dari sudut pandang yang 
berbeda, khususnya yang bertolak dari sudut pandang masyarakat. 
Persis seperti yang dikatakan oleh Luisia Passerini dalam artikel singkat 
Memory and Totaliarianism, totaliatarianisme ternyata tidak hanya 
menyangkut bidang politik, melainkan juga bidang-bidang lain, 
termasuk mentalitas, bahasa, ekspresi kultural dan ingatan masa silam. 
Totalitarianisme menekankan keseragaman, membatasi kebebasan 
berekspresi dan mendesakkan pentingnya kegiatan mengulangi dan 
meniru.18
Menariknya, bahkan sesudah  Orde Baru yang totaliter itu 
tumbang pada tahun 1998, upaya kontrol dan dominasi terhadap 
ingatan masyarakat akan masa lalu tidak dengan sendirinya berhenti. 
Meskipun untuk sementara waktu sempat ada kelonggaran, pelan￾pelan upaya-upaya totalitarian itu muncul lagi. artikel singkat -artikel singkat  sejarah 
yang mendukung narasi resmi yang menguntungkan kepentingan 
kekuasaan boleh beredar secara leluasa, namun artikel singkat -artikel singkat  teks yang 
berusaha menolak distorsi-distorsi historis yang ada, dilarang atau 
bahkan dibakar.
Berhadapan dengan situasi demikian makin perlulah dilakukan 
berbagai penelitian dan penulisan sejarah yang tujuannya lebih luas 
daripada sekadar melanggengkan suatu kepentingan kekuasaan 
dengan cara mengontrol pikiran masyarakat. Makin mendesak untuk 
dilakukan penelitian dan penulisan sejarah yang justru dimaksudkan 
untuk mendorong masyarakat berpikir secara lebih kritis; untuk
mampu memahami masa lalu secara lebih menyeluruh; dan untuk 
semakin terbuka terhadap suara-suara dari mereka yang selama ini 
terbungkam atau tidak terdengar suaranya. Dengan begitu narasi 
sejarah tidak akan lagi didominasi oleh narasi sejarah resmi yang 
diproduksi dan direproduksi oleh elite kekuasaan, melainkan terbuka 
terhadap partisipasi masyarakat seluas mungkin. Di sinilah antara lain 
terletak pentingnya penelitian dan penulisan sejarah lisan. 
Selanjutnya, bertolak dari gagasan seperti itu pulalah narasi-narasi 
yang disuguhkan dalam artikel singkat  ini menjadi penting. Melalui artikel singkat  ini, 
Anda disuguhi narasi-narasi tentang apa yang terjadi di pertengahan 
tahun 1960-an, tetapi yang tidak berasal dari elite kekuasaan, 
melainkan dari kalangan di luar elite kekuasan, termasuk mereka yang 
telah menjadi korban dari elite kekuasaan ini .
Tentu saja narasi-narasi itu tidak harus sepenuhnya diterima. 
Tidak perlu semuanya diterima mentah-mentah. Mengingat bahwa 
narasi-narasi yang disampaikan dalam artikel singkat  ini dasarnya adalah ingatan 
personal, sangat mungkin ada hal-hal tertentu yang ditekankan, dan 
ada hal-hal lain yang kurang mendapat tekanan; ada peristiwa-peristiwa 
tertentu yang diingat, tetapi ada juga yang mungkin terlupakan; 
demikian seterusnya. Sangat mungkin pula bahwa saat  harus 
memaknai pengalaman masa lalu itu para narasumber memberikan 
pesan-pesan moral tertentu (moralizing the narrative) yang dasarnya 
adalah pandangan atau penilaian pribadi yang sangat subjektif.
Semua itu tentu wajar, mengingat bahwa yang diinginkan 
dari paparan atas narasi-narasi yang ada dalam artikel singkat  ini bukanlah 
munculnya sikap hitam-putih untuk menerima atau menolak, untuk 
mendukung atau melawan. Yang diharapkan adalah kesadaran bahwa 
entah kita menerima atau menolaknya, hendaknya narasi-narasi 
yang ada di sini akan bisa merangsang kita untuk berpikir kritis dan
selanjutnya mendorong kita untuk menyampaikan narasi-narasi kita 
sendiri.
Ternyata Tidak Sesuai
Dengan bertumpu pada pengertian di atas, diharapkan kita akan bisa 
melihat secara lebih utuh sejarah seputar Tragedi Kemanusiaan 1965, 
serta bagaimana selama ini sejarah tentang tragedi itu dinarasikan dan 
dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini penting mengingat 
bahwa, sebagaimana telah kita singgung, untuk jangka waktu yang 
lama—tepatnya selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru—
narasi yang secara dominan beredar di masyarakat adalah narasi 
yang diproduksi pemerintah ini  guna menunjang kepentingan￾kepentingannya sendiri. Sementara itu narasi yang berasal dari 
masyarakat—khususnya mereka yang dianggap “kalah” dan karena 
itu dianggap “bersalah”—jarang kita dengar.
Seperti banyak diketahui, menurut narasi resmi Orde Baru apa 
yang terjadi adalah sebuah proses linear sebab-akibat yang terkesan 
kronologis, masuk akal, dan sepertinya bisa diterima begitu saja. 
Dikatakan misalnya, pada tanggal 1 Oktober 1965 tujuh orang 
Jenderal diculik dan dibunuh oleh gerakan gerakan  Tiga Puluh September 
yang dimotori oleh sebuah partai politik, dalam hal ini Partai Komunis 
Indonesia ( PKI). sesudah  penculikan dan pembunuhan itu mayat para 
Jenderal dibawa ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Di sana, 
masih menurut narasi ini , mayat para korban disayat-sayat oleh 
sejumlah perempuan lesbian  anggota sebuah organisasi pergerakan gerakan   perempuan lesbian  bernama 
“ gerakan gerakan  Wanita Indonesia” yang sangat keji dan berada di luar batas￾batas kemanusiaan. Para perempuan lesbian  itu “menyilet-nyilet” mayat para 
korban sambil menari-nari secara erotis dalam sebuah tarian ritual 
yang katanya disebut “tari harum bunga”. sesudah  itu mayat para 
korban dimasukkan ke dalam sebuah lobang sumur, yakni di “lubang 
buaya”.19
Narasi resmi yang coba dibangun saat itu dicari dukungannya 
lewat media massa. Melalui koran Angkatan Bersendjata (yang dekat 
dengan para penguasa militer saat itu) edisi 11 Oktober 1965, misalnya, 
dikatakan bahwa mata para korban penculikan itu “dicongkel” 
dengan alat tertentu, sementara kemaluan mereka dipotong-potong. 
Disampaikan melalui harian ini : “... sukarelawan-sukarelawan 
 Gerwani telah bermain-main dengan para Jenderal, dengan 
menggosok-gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri...” Pada 
hari berikutnya 12 Oktober 1965, melalui koran Duta Masyarakat, 
yang dimiliki oleh lembaga keagamaan tertentu, dikatakan: “... 
menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari￾nari telanjang di depan korban-korban mereka.”20 Tidak diterangkan 
siapa dan bagaimana identitas “sumber yang dapat dipercaya” itu.
Masih menurut narasi para (calon) penguasa saat itu, karena 
kekejaman-kekejaman seperti itu, akhirnya rakyat marah dan 
melakukan balas dendam kepada para anggota PKI di seluruh 
Indonesia. Ada ribuan orang tewas dalam tindak balas dendam yang 
berwujud pembunuhan massal ini, tetapi menurut narasi ini  
hal itu merupakan tindakan yang sudah sewajarnya, sebab prinsip 
yang berlaku waktu itu adalah “membunuh atau dibunuh”. Artinya, 
kalau seseorang tidak membunuh anggota PKI, merekalah yang akan 
dibunuh oleh PKI. sesudah  pembunuhan selesai, rezim penguasa negeri
yang baru, yakni pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal 
Soeharto, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan 
kepada orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI yang masih 
hidup. Mereka ini ditahan di penjara-penjara lokal maupun nasional. 
Banyak perempuan lesbian  anggota Gerwani juga ditahan dan dipenjara. 
Selanjutnya, mengingat bahwa orang-orang yang ditahan itu 
menurut narasi para penguasa waktu itu merupakan anggota PKI, 
sedang PKI merupakan “pengkhianat” negara, maka sesudah  keluar dari 
penjara pun mereka harus tetap diawasi, dicurigai, dilabeli dengan cap￾cap negatif tertentu, dan kalau perlu terus dipersulit dan dikucilkan. 
Kartu Tanda Pengenal (KTP) mereka pun perlu diberi kode khusus 
“ ET”, singkatan dari “Eks Tapol”. Kode itu dibutuhkan oleh rezim 
 Orde Baru untuk menunjukkan bahwa pemegangnya merupakan 
mantan Tahanan Politik, dan oleh karena itu harus diawasi secara 
khusus. Selama pemerintahannya, para penguasa Orde Baru di satu 
pihak mengklaim diri bahwa mereka telah “sukses” menghancurkan 
 PKI sampai ke akar-akarnya (caranya antara lain adalah dengan tindak 
pembunuhan dan pemenjaraan massal itu tadi), namun di lain pihak 
menyatakan kepada rakyat untuk selalu waspada karena menurut 
mereka bahaya PKI “tetap ada” dan merupakan “bahaya laten” bagi 
bangsa Indonesia. Kontradiktif, memang.
Tanpa harus mengatakan paparan macam itu benar atau salah, 
terhadap narasi seperti itu ada sejumlah hal yang kiranya bisa (dan 
patut) dikaji lebih lanjut, mungkin bahkan dipertanyakan kembali. 
Misalnya, berkaitan dengan masih belum jelasnya siapa sebenarnya 
orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap gerakan gerakan  
Tiga Puluh September. Bagaimana dengan kenyataan bahwa ketiga 
pemimpin gerakan gerakan  Tiga Puluh September—yakni Letnan Kolonel 
 Untung, Kolonel Abdul Latief, dan Brigadir Jenderal Soepardjo—
adalah personil militer dan tidak pernah secara resmi menjadi anggota 
partai politik mana pun? Bagaimana dengan kesaksian Letnan Kolonel 
 Abdul Latief sebagai salah seorang pemimpin gerakan gerakan  Tiga Puluh 
September bahwa ia telah memberi laporan kepada Jenderal Soeharto 
tentang rencana-rencana gerakan gerakan  Tiga Puluh September yang turut ia 
pimpin sebelum penculikan para Jenderal terjadi?21
Mengapa pula meskipun tahu bahwa di ibukota Jakarta akan 
terjadi peristiwa besar, Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai 
Pangkostrad tidak melapor kepada pimpinannya, yakni Jendral A. 
Yani atau kepada Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI yakni 
Presiden Sukarno? Bagaimana dengan kemungkinan bahwa konteks 
internasional, khususnya dinamika Perang Dingin, turut menjadi 
latar belakang terjadinya Tragedi ’65? Bagaimana pula dengan laporan 
tentang “penyayat-nyayatan” dengan silet atas jenasah para korban 
yang ternyata tidak sesuai dengan hasil visum et repertum yang dicatat 
dan dilaporkan oleh tim dokter resmi dari Universitas Indonesia 
yang ditugaskan untuk melakukan otopsi? Padahal pemberitaan dan 
narasi resmi tentang penyayat-nyayatan jenasah para korban itu telah 
terlanjur menjadi penyulut bagi terjadinya histeria pembunuhan dan 
pemenjaraan massal 1965.22
Ruang Belajar yang Terbuka
Sebagaimana kita tahu, tentang apa yang terjadi pada tahun 1965 
sebenarnya ada dua peristiwa yang tak terpisahkan namun dapat 
dibedakan. Peristiwa pertama adalah peristiwa penculikan dan 
pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di 
 Jakarta. Peristiwa kedua adalah peristiwa pembantaian massal yang 
mulai terjadi di Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965, 
yang berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada 
bulan Desember 1965 di Bali. Dalam peristiwa pertama korbannya 
adalah tujuh perwira tinggi militer yang semuanya tinggal di Jakarta. 
Dalam peristiwa kedua korbannya adalah ratusan ribu warga sipil 
yang tinggalnya tersebar di berbagai tempat di tanah air.23 Ada sekitar 
tiga minggu jarak antara terjadinya peristiwa pertama dan terjadinya 
peristiwa kedua.
Jika narasi resmi para penguasa pada waktu itu banyak memberi 
keterangan mengenai peristiwa 1 Oktober 1965 (yakni peristiwa
perta ma), bagaimana dengan narasi atau keterangan tentang apa yang 
terjadi sejak pekan ketiga bulan Oktober 1965 (yakni peristiwa kedua)? 
Padahal peristiwa kedua ini korbannya tidak sedikit, yakni setengah 
juta nyawa rakyat Indonesia. Belum jelas diterangkan misalnya, jika 
pembunuhan massal itu merupakan tindakan “balas dendam spontan” 
masyarakat atas apa yang terjadi di Jakarta serta (konon) atas “penyayat￾nyayatan” tubuh para korban di kompleks Bandar Udara Halim 
Perdanakusuma, mengapa pembunuhan massal ini  terjadinya 
secara bergelombang? Pada bulan Oktober 1965 pembunuhan terjadi 
di Jawa Tengah, pada bulan November di Jawa Timur, dan baru pada 
bulan Desember terjadi di Bali. Mengapa pula di Jawa Barat justru 
tidak terjadi pembantaian massal? Padahal geografi s Jawa Barat jauh 
lebih dekat dengan ibukota Jakarta daripada daerah-daerah lain. 
Perlu dijawab pula pertanyaan mengenai bagaimana dengan para 
korban di berbagai tempat di Indonesia yang ditangkap dan dipenjara, 
tetapi tanpa terlebih dahulu dibuktikan salah atau benarnya di 
pengadilan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia 
sebagai negara hukum. Jika yang bersalah adalah Partai Komunis 
Indonesia, mengapa banyak pendukung Presiden Sukarno ikut 
ditangkap dan ditahan? Lihat, misalnya para menteri yang ditangkapi 
pada tanggal 18 Maret 1966 atas perintah Jenderal Soeharto. Mereka 
ini adalah para menteri negara dan bukan