Al-Quran
Al-Quran disebut juga al-Kitab, adalah wahyu-wahyu yang diturunkan
Tuhan kepada RasulNya, dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada manusia.
Kumpulan dari semua wahyu itu, yang berjumlah menurut perhitungan
yang umum 6,236 ayat, terdiri daripada 1 14 Surat, diturunkan dalam dua masa.
Pertama di Makkah, dalam masa 13 tahun, yang sejak Rasulullah s.a.w.
ditentukan Tuhan dan ditetapkanNya menjadiRasul pada tahun ke41 daripada
usianya, sampaibeliau berpindah ke Madinah. Kedua ialah masa Madinah, yaitu
sejak beliau berpindah ke negeri itu sampai beliau wafat, dalam masa sepuluh
tahun.
Arti al-Quran menurut bahasa (loghah) ialah barang yang dibaca.
Dan al-Quran itu menurut undang-undang bahasa adalah kalimat
Mashdar, yaitu pokok kata, yang berarti bacaon, tetapi diartikan lebih dekat
kepada sesuatu yang dikerjakan (isim maful), menjadi artinya yang dibaca.
Menurut ahli-ahli Syariat, al-Quran itu ialah Kalamullah (sabda Tuhan)
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang dituliskan di dalam
Mushhal.
Dan ahli Fiqh menentukan pula bahwasanya al-Quran itu adalah nama
yang diberikan kepada keseluruhan al-Quran dan dinamakan juga bagisukusukunya atau bagian-bagiannya.
Baik dari asal ambilan bahasa, ataupun setelah dia diistilahkan, namun
keduanya itu telah tergabung menjadi makna yang satu. Yaitu bahwasanya alQuran memang dibaca; kekuatannya terjadi pada pembacaannya. Walaupun
kita baca sampai khatam, ataupun hanya satu ayat, namun dia tetap al-Quran.
Apabila kita renungi al-Quran itu kita akan berjumpa perbedaan isidari
Surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Makkah ataupun yang turun di
Madinah. Ayat-ayat yang turun diMakkah adalah khas bagimenetapkan dan
meneguhkan akidah (kepercayaan) lslam yang pokok yaitu Tauhid. Dan menentang penyembahan berhala dan menuhankan benda dan seruan atau
da wah kepada manusia agar mereka memerdekakan akal dan jiwa dari perbudakan adat, kebiasaan, tradisi dan taqlid, menurut saja kepada nenekmoyang, dengan tidak usul-periksa. Dan orang selalu disuruh mempergunakan
'akal, fikiran, perenungan dan penyelidikan yang mendalam.
Kalau kita telah masuk kepada ayat-ayat yang diturunkan diMadinah, di
sana mulailah kita bertemu dengan hukum-hukum Fiqh, peraturan dan segalayang bertalian dengan negara dan kemasyarakatan. Di Madinahlah mulai
diterangkan hukum-hukum dan undang-undang yang mengenai peperangan,
tentang hubungan di antara satu kekuasaan negara dengan kekuasaan negara
lain, peraturan-peraturan mengenai perjanjian dan perdamaian, urusan persuami-isterian dan pembinaan rumahtangga, mengenai nikah, talak dan rujuk,
peraturan tentang perwarisan, dan membangun masyarakat yang adil dan
makmur dengan udu.ryu peraturan zakat dan haji, dan utusah-utusan lain yang
semuanya bersendikan persamaan derajat dan adil.
Sebab-sebab perbedaan itu tentu sudah dapat diketahui oleh orang yang
mempelajari sejarah hidup Rasulullah dan sejarah turunnya ayat-ayat al-Quran
itu sendiri. Di Makkah barulah menyusun teman-teman sefaham atau kaderkader untuk menentang kekuasaan yang masih tegak, yaitu kekuasaan berhala.
Maka belumlah tepat waktunya kalau di Makkah telah diturunkan hukumhukum yang mengenai masyarakat sebagai yang tersebut tadi. Di Makkah
barulah memperkokoh akidah yang kelak akan diperjuangkan di muka dunia
ini. Lain halnya dengan keadaan setelah Hijrah ke Madinah. Sebab diMadinah
Islam telah menjadi Daulah, telah merupakan suatu kekuasaan yang nyata dan
dapat menegakkan hukum serta ada ummat yang akan m6matuhinya.
Dan dengan sebab itu pula dapatlah difahamijika al Quran itu, baik di kala
turun di Makkah ataupun setelah zaman Madinah, tidaklah dia diturunkan
sekaligus, melainkan sebagian-sebagian, seayat dua ayat, atau tiga dan empat
ayat, menurut keperluan, terutama jika mengenai Surat-surat yang panjang.
Bahkan satu Surat yang panjang kadang-kadang melalui masa berbulan-bulan
sampai bertahun, baru selesai, yaitu supaya duduknya suatu soalyangtengah
dituntunkan oleh Tuhan, mantap dalam fikiran dan jelas memutuskannya,
sehingga kejadian lain yang terjadi di belakang dapat diqiyaskan kepada kejadian yang pertama itu yang dinamai asbabun nuzul.
Orang musyrikin sendiripun pernah menyatakan perasaan sebagai tersebut di dalam Surat 25 (al-Furqan) ayat 32. Di dalam ayat itu disebutkan
bahwa kaum musyrikin bertanya-tanya, mengapa al-Quran diturunkan tidak
sekaligus (jumlatan wahidatan). Lalu Tuhan menyatakan sebabnya, yaitu supaya lebih mantap ayat-ayat itu dengan bacaan yang amat teratur sekali.
Hal ini dapat kita misalkan dengan kejadian didirikita sehari-harididalam
mempelajari ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang bahasa atau ilmu
yang lain. Walaupun misalnya sesuatu bahasa telah kita hafal kalimat-kalimatnya satu persatu, sebab telah kita pelajari sekaligus, barulah dia akan mantap
dalam fikiran, apabila kita telah menghadapi kejadian itu sendiri dan dialami.
Itulah sebabnya maka orang merasa amat penting mengadakan reseorch, yaitu
penyelidikan ilmu pengetahuan dengan seksama, dengan menghadapi satu
kenyataan. Meskipun telah belajar bahasa bertahun-tahun, barulah akan mantap, kalau tinggal di negeri yang empunya bahasa itu agak sekian bulan.
Jadi di dalam ayat 32 daripada Surat 43 itu terdapatlah dua hikmah.
Pertarna untuk memantapkan tiap-tiap persoalan itu di dalam hati Nabi, kedua
supaya ayat-ayat al-Quran itu bisa dibaca dengan sebenar-benar bacaan. Dan
dengan turunnya semasa demi semasa itu, 13 tahun di Makkah, 10 tahun diMadinah, amat pentingnya, karena senantiasa ada hubungan dengan Rasul
s.a.w. dengan cahaya dari langit. Sedang kalau datang sekaligus, hanya sekali
ketika turun itu sajalah hubungan beliau dengan langit. Oleh sebab itu maka
masa 23 tahun itu benar-benar beliau rasakan selalu adanya hubungan, dan
dirasakan pula oleh sahabat-sahabat Rasulullah, yang setiap ayat turun, dibacakan dengan seksama oleh Rasul, lalu mereka terima dan mereka hafalkan dan
mereka baca.
Perkara pembacaan al-Quran, sehingga al-Quran telah menjadi nama dari
seluruh Surat itu, amat penting sangkut-pautnya dengan keadaan ummat yang
didatangi itu sendiri. Terkenallah oleh dunia keliling pada waktu itu, bahwa
ummat Arab Hejaz yang didatangi Rasulitu ialah ummat yang ummi, artinya
sangat sedikit sekali, hanya agak seorang di dalam 1,000 orang yang pandai
menulis dan membaca. Tuhanpun telah mentakdirkan pula rupanya, suatu
hikmat yang tertinggidari sebab keummian mereka ini. Sebab orang yang tak
pandai menulis dan membaca, ingatan mereka amat kuat. Kita di zaman
sekarang, setelah semuanya mahir menulis dan membaca, lemah ingatan
menghafal. Sebab itu maka mata yang buta tidak menghalangi orang buat maju
dalam ilmu pengetahuan yang meminta kecerdasan otak, yang hanya bergantung kepada kekuatan ingatan. Takdir Tuhan telah berlaku, bahwa ummat
yang ummi itu setiap al-Quran turun seayat atau duaayat, tigaatau empat ayat,
ataupun satu Surat sejak dibacakan oleh Nabi, mereka telah menghafalnya.
Ada yang menghafal seluruhnya, ke seratus empatbelas Suratnya dan ada yang
sebagiannya. Sehingga tersebut di dalam al-Quran sendiri bahwa suatu kali
pernah Rasulullah menggegas-gegas, atau mendesak-desak kepada Jibril,
membaca mana ayat yang telah turun, sebelum turun sambungannya, karena
ingin hendak menghafalnya, sebagaimana tersebut dalam Surat 75 al-Qiyamah.
Tetapi dilarang oleh Tuhan dan disuruh beliau mendengarkan dan mengikutinya dengan bacaan yang sama.
Sebagaimana yang kita katakan tadi, hanya sedikit yang pandaimenulis.
Tetapi yang pandai menulis yangsedikit itupun tidak meluangkan kesempatan
buat mencatat, sehingga di samping banyaknya yang mdnghafal ada pula sedikit
yang mencatat, sampai sempurnalah turunnya dalam beberapa waktu saja
sebelum beliau meninggal dunia. Menurut suatu fladis, setelah hampir sempurna turun semua, maka pada buian Ramadhan, bnam bulan sebelum beliau
wafat, Jibril rhasih membacakan dan mengulang kembali sekalian ayat atau
Surat yang telah diturunkan itu, sebagai jalan untuk melancarkan bacaan itu.
Oleh karena itu dapatlah saudara-saudara memahamkan hikmat al-Quran
turun secara berangsur-angsur demikian. Kalau diturunkan sekaligus, tidaklah
akan sanggup agaknya sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. itu menghafalnya,
sebab hanya beberapa orang saja di antara mereka yang mempunyai waktu
senggang, sebagai Ahlush-Shuffah, termasuk Abu Hurairah. Yang sebagian
besar ikut berperang mengiringkan Nabi, atau berniaga masuk keluar pasar.
Dan kalau diturunkan sekaligus, sebagai Hukum Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa, tidak pula ada waktu itu seorang yang akan dapat menyalinnya sekaligus, sebab ummat rata-rata adalah ummi.Memikirkan keadaan bangsa Arab di waktu itu tidak serupa dengan
memikirkan bangsa tetangganya yang telah lebih maju atau lebih tua peradabannya, sebagai bangsa Yunani atau Romawi atau Persia.
OIeh sebab itu maka turunnya secara berangsur-angsur itu menjadikan
bertambah kokohnya dia dihafal sejak dari mulaiturunnya. Dan hafalan dalam
dada jauh lebih berhasil memelihara keasliannya daripada memeliharanya
dengan tulisan. Sedangkan buku-buku zaman moden kita sekarang ini, lagi
dapat bertukar makna karena kehilangan titik atau salah zet, apatah lagi di
zaman nukil-menukil, salin-menyalin dengan tangan dahulu; tentu saja bisa
terdapat kesalahan. Tetapi dengan adanya hafalan karena kekuatan ingatan,
dari beratus bahkan beribu orang, sehingga menjadi mutawatir, dan diturunkan
pula dariguru kepada murid, dari ayah kepada anak. Dan ditambah lagi, bahwa
meskipun al-Quran telah ditulis, telah dikumpul dalam mushhaf, telah disalin
beribu-ribu dan dicetak berjuta-juta, namun keistimewaan al-Quran belumlah
tercapai sebelum dibaca; dibaca oleh yang ahli membacanya.
Bacaan ituptin dijasa, sampai kepada makhraj (tempat keluar) huruf dan
cara mengucapkannya, yang dinamai i/mu Tajwid, dan sampai pula kepada
macam-macam cara orang membaca (Qira'at).
Sejak al'Quran itu diturunkan, sejak berdirinya- Daulah Islamiyah di
Madinah, sampai saat sekarang ini, kaum Muslimin tetap memelihara hal itu.
Meskipun sudah berjuta-juta al-Quran dicetak, namun masih banyak orang
yang menyediakan waktunya buat mgnghafal al-Quran. Di mana-mana diadakan perkumpulan berlomba menghafal al-Quran, sehingga apa yang tertulis
dan tercetak, selalu dikontrol oleh apa yang dihafal.
Demikian pula, telah menjadi tradisi bagi seluruh negeri Islam mengajar
anak dari waktu masih kecil membaca al-Quran dengan lidah yang fasih dan
makhraj yang tepat, dengan tidak memandang bangsa. Itulah pula sebabnya
maka salah satu usaha penting dari negeri-negeri yang menjajah dunia Islam,
ialah menghalang-halang dan membelokkan perhatian ibu-bapa daripada mengajar anak-anaknya mengaji al-Quran. Di kala negeri kita masih dijajah oleh
Belanda, sudah mulai ada anak-anak yang diserahkan kepada sekolah Belanda
yang tidak lagidiberiwaktu buat belajar al-Quran, sehingga setelah tanahair kita
merdeka, sudah banyak orang yang tidak pandai lagi, walaupun hanya sekedar
membaca Syahadat di waktu kawin. Malahan banyak orang besar-besar beragama Islam seketika diambil sumpahnya tidak sanggup mengucapkan Demi
Alloh dengan suara yang tepat dan fasih.
Maka oleh sebab al-Quran adalah bacaan, seyogianyalah bagi orang yang
beragama Islam memfasihkan bacaannya, dan mendidik lidah anak-anaknya,
menyerahkan anak-anak kepada guru-guru yang fasih membacanya, sebab alQuran adalah untuk dibaca dan diamalkan. Sebab al-Quran itulah yang telah
membentuk kebudayaan dan peri-hidup penganut Islam, yang ditegakkan di
atas budi, memperhalus perasaan, memperkaya ingatan dan melemah-lembutkan ucapan lidah.Arti i' jaz ialah pelemahkan. Yaitu lemah orang buat meniru atau menyamai,
apatah lagi menandingi dan melebrhinya. Sebab itu samalah pendapat Ulamaulama ahli bahasa dan sastra, bahwasanya al-Quran ini adalah mu'jizat bagi
NabiMuhammad s.a.w. Sebagaimana bagiNabiMusa ada mu'jizat membelah
laut dengan tongkat, bagi Nabi lsa ada mu'jizat menyembuhkan orang sakit
lepra hanya semata-mata dengan menjamah.
Maka timbullah pertanyaan orang, mengapa mu'jizat Muhammad hanya alQuran yang dibaca, atau satu kitab yang dipelajari, bukan sebagai mu'jizat yang
mengagumkan akal? Mengapa tidak tongkat sebagai yang ada pada NabiMusa?
Mengapa tidak api yang tidak menghangusi sebagai mu'jizat lbrahim? Atau
sebagai Isa menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra itu?
Di zaman kita inipun masih ada orang yang bertanya-tanya demikian, dan
orang-orang musyrikin di Makkah dahulupun pernah meminta supaya Nabi
Muhammad s.a.w. menunjukkan suatu mu'jizat, misalnya bukit Shafa menjadi
emas, atau beliau sendiri mempunyai sebuah rumah dari emas, dan beberapa
permintaan yang lain, sebagaimana kelak akan tersebut di dalam Surat 17, alIsra', ayat 93 dan beberapa ayat pada Surat lain. Tetapi permintaan mereka itu
tidak dikabulkan Allah atau tidak memandang itu lebih penting daripada
mu'jizat al-Quran. Beberapa Hadrs yang sahih telah diriwayatkan oleh sahabatsahabat beliau, bahwa beliaupun pernah mempertunjukkan mu'jizat yanganehaneh dan ganjil, misalnya keluar air yang diminum oleh 1,200 orang dari dalam
timba beliau yang kecil di Hudaibiyah, atau hujan lebat disekitar kemah tentara
saja dan tidak turun di tempat lain sehingga dapat semuanya menampung air,
yang banyaknya 30,000 orang dalam perjalanan ke peperangan Tabuk dan
beberapa mu'jizat yang lain. Tetapi mu'jizat-mu'jizat yang demikian tidaklah
beliau jadikan tantangan kepada kaum musyrikin. Beliau menentang lawan
hanyalah dengan mu'jizat al-Qoran. Dengan al'Quran beliau mengokohkan
risalatnya dan dengan al-Quran beliau menambah iman pengikut-pengikut
beliau, kaum yang beriman, sampai hari kiamat.
Mu'jizat seorang Rasul ataupun seorang Nabi selalu disesuaikan Tuhan
dengan zaman hidup Rasul atau Nabi itu sendiri, dan harus sesuai pula dengan
macam-ragam risalat yang dibawanya. Apabila risalatnya itu adalah risalat yang
merata untuk seluruh manusia, yang kekal dan tidak akan berubah lagi sampai
selama-lamanya, hendaklah mu'jizatnya itu yang kekal dan merata pula, yang
kian mendalam orang berfikir, kian mengaku akan mu'jizat itu. Mu'jizat itusekali-kali tidak akan kekal, kalau dia hanya merupakan suatu kejadian yang
dapat dilihat mata di suatu masa. Sebab apabila Rasul yang membawa mu'jizat
itu telah berpulang ke Rahmatullah, mu'jizat itu tidak akan bertemu lagi. Dan
ada pula suatu kejadian yang dipandahg mu'jizat di zaman hidup Nabiyang
bersangkutan, namun setelah beberapa abad di belakang, keangkeran mu'jizat
itu tidak ada lagi karena kemajuan ilmu pengetahuan. Sebab itu maka mu'jizat
yang diberikan kepada NabiMuhammad bukanlah mu'jizat untuk dilihat mata
dan pancaindera (hissi), tetapi untuk dilihat hati dan meminta pemikiran
(ma'nawi).
Mu'jizat yang hissi telah habis pengaruhnya dengan habis zamannya,
Mu'jizat Musa dan Isa hanya dilihat oleh manusia yang sezaman dengan beliau.
orang Yogi yang kuat mengadakan pertapaan sudah bisa berjalan di atas api
yang tengah menyala, sehingga mu'jizat Nabi Ibrahim sudah hampir disamai.
Kemajuan ilmu kedokteran di zaman sekarang telah memungkinkan sembuhnya penyakit-penyakit hebat sebagai yang telah disembuhkan oleh jamahan
tangan Nabi Isa. sudah ada pula orang yang menaksir bahwa terbelah laut di
zaman Musa adalah lantaran pasang yang selalu sangat surut.
sedangkan mu'jizat Nabi Muhammad s.a.w. sendiri tentang Isra'dan Mi'raj
masih juga menjadi pertikaian faham di antara ulama-ulama Islam sendiri sejak
lagi di zaman sahabat, apakah beliau itu Isra' dan Mi'raj dengan tubuh dan
nyawa beliau atau hanya dengan nyawa saja. Aliran yang dua itu tetap ada, yang
berarti bahwa bagi golongan berkepercayaan dengan nyawa saja, urusan Isra'
dan Mi'raj dengan sendirinya tidak begitu hebat lagi. Dan tidak pula mereka
kafir kalau mereka berpendapat begitu.
Lantaran itu dapatlah kita berkata bahwasanya mu'jizat segala Nabi dan
Rasul, dan mu'jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang selain dari al-euran, adalah
hal kenyataan yang dapat dilihat mata, yang habis dengan sendirinya setelah
lewat zamannya. Tetapi mu'jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama alQuran ini adalah mu'jizat untuk seluruh masa dan bangsa, yang datang setelah
akal dan kecerdasan manusia sudah lebih tinggi daripada zaman purbakala
yang telah dilaluinya itu. Tegasnya, dahulu mu'jizat untuk dilihat mata, sekarang
mu'jizat al-Quran untuk dilihat akal. Akal dari seluruh manusia, turunan demi
turunan.Al-Quran mula diturunkan ialah kepada bangsa Arab dalam bahasa Arab.
Di zaman turunnya, bangsa Arab dalam hal perkembangan bahasa telah sampai
kepada tingkat yang tinggi sekali, terutama dalam sastra, baik puisi ataupun
prosa (manzhum dan mantsur). Syair yang lulus di dalam sayembara bersyair
telah digantungkan di dinding Ka'bah, dihormati dan dimuliakan, karena di
pandang puncak keindahan bahasa. Tetapi setelah al-Quran turun, diatasinya
segala perkembangan sastra itu, bahkan dibuatnya lemah bangsa Arab, ahli-ahli
sastranya buat mendatangkan susunan kata dan arti yang seperti itu. Malahan
al-Quran menantang, siapakah di antara mereka yang sanggup membuat agak
satu Suratpun yang sama mutunya dengan al-Quran.* Ayat-ayat itu berisi
tantangan yang tegas kepada ahli ahli sastra dan bahasa Arab itu, kalau
sanggup, cobalah kemukakan pula barang satu Surat sebagai bandingan dan
gandingan. Maka di ayat 24 Surat al-Baqarah dinyatakan dengan tegas bahwa
mereka tidak akan sanggup membuatnya, walaupun bagaimana mereka usahakan. Dan ternyata mereka tidak sanggup, sampai kepada zaman kita inipun
tidak sanggup, meskipun tidak juga mau percaya mereka yang kafir, karena
kafirnya.
Tidak dikenal di dalam sejarah zaman lampau bahwa ada mereka yang
sanggup. Ada juga yang mencoba, tetapi gagal. Para ulama ahli bahasa dan
agama telah bersepakat, makanya mereka tidak sanggup ialah karenaal-Quran
itu sendiri memang mu'jizat, memang tidak dapat diatasi, atau disamai. Baik
dalam susun katanya, atau dalam pilihan tiap-tiap kata dan hubungannya
dengan yang lain, ataupun sampai kepada makna yang terkandung di dalamnya. Bertambah tinggi ilmu orang, sampai kepada zaman sekarang, di dalam
bahasa Arab, dari segi seni bahasa dan sastra, yang telah tersusun menjadi
Balaghah, Fashahah, ilmu balaghah, ilmu bayan, ilmu ma'ani dan badi' bertambah terasa letak al-Quran itu tetap di atas dariapa yang dapat dicapaioleh
kesanggupan manusia.
Suatu waktu diterjemahkan oranglah kitab "Veda" dariHindu ke dalam
bahasa Arab. Dalam kalangan penganut Hinduisme itu ada satu pendapat
bahwa kitab Veda pegangan mereka itu bisa juga ditiru susunannya oleh
manusia, tetapi manusia tidak mau menirunya lantaran menjaga kesuciannya.
Kalau manusia mau tentu bisa saja. Faham inipun menjalar pula kepada
setengah orang Islam di zaman itu. Mereka berkata bahwa al-Quran itu bisa
ditandingi, tetapi kita tidak boleh menandinginya. Lantaran itu majulah beberapa ulama ahli balaghah menentang pendapat yang kemasukan itu. Mereka
berkata bahwa tidak ada larangan meniru dan menandingi al-Quran, bahkan
disuruh mencoba kalau sanggup (al-Baqarah S urat2 ayat23). Pada waktu itulah
tampil ke muka pelopor-pelopor ahli balaghah menguraikan keaslian dan
keindahan al-Quran itu dari segi balaghahnya, yang tidak dapat ditandingidan
tidak dapat ditukar dan tidak ada pilihan kata lain yang dapat menyamainya.
Timbullah al-Baqillani, dengan bukunya I'jaz al"Quron, dan menulis pula Abdul
Qahir al-Jurjani, buku yang bernamaDalailull'jaz. KemudiandatangpulalahazZamakhsyari dengan tafsirnya yang bernama al-Kasysyafyang lebih menekankan perhatian kepada kuasa i'jaz itu pada tiap-tiap ayat.
Kalau orang Arab yang empunya bahasa itu sendiri telah mengaku bahwa
tidak ada kesanggupan manusia menandinginya, usahkan mengatasinya, betapa lagi bangsa yang lain, yang memakai bahasa lain?
Sebagaimana kita ketahui, sampai sekarang ada sekelompok kecil bangsa
Arab yang memeluk Agama Keristen, yang sejak zaman Rasul s.a.w. dan zaman
sahabat menjadi dzimmah (di bawah perlindungan Islam); terdapat kira-kira
satu setengah juta di Libanon, Suria dan Palestina. Di Mesir terdapat dua juta
Keristen-Kopti. Mereka juga memakai bahasa Arab. Dikalangan mereka timbul
juga ahli-ahli sastra yang besar. Maka tidaklah ada di kalangdn mereka yang
sanggup meniru al-Quran, bahkan sebaliknya. Yaitu ahliahli sastra mereka
selalu menganjurkan bahwa untuk memperkaya kesusasteraan dan memperhalus rasa bahasa, selain mengetahui syair-syair Arab purbakala, untuk memperlengkap diri menjadi penyair dan pujangga, seyogianyalah mengetahui alQuran.
Maka menjadi kepercayaanlah bagiseluruh bangsa Arab, selama 14 abad
sampai sekarang bahwa mereka tidak sanggup menyusun lagi kata lain untuk
menandingi balaghah dan fashahat al-Quran. Kelemahan meniru itu bukan
karena dilarang, bahkan ditantang supaya dicoba. Maka al-Quran itu sendirilah
yang mengelukan lidah dan tangan orang buat menirunya. Orang Arab apabila
mendengar orang membaca al-Quran, walaupun dia bukan orang Islam, mesti
terpesona oleh balaghahnya dan terpukau oleh makna yang terkandung di
dalamnya, dan tenggelamlah perasaan halus mereka kepada butir katanya,
susunannya dan gaya bahasanya serta kandungan isinya.
Seorang ahli bahasa yang besar, sastrawan terkemuka di zaman Nabi,
yaitu al-Walid bin al-Mughirah seketika diminta oleh Abu Jahal, bagaimana
kesannya tentang susun kata al-Quran itu telah menyatakan: "Demi Allah!
Tidak ada di dalam kalangan kita yang sepintar saya menilai syair-syair, yang
mengenal Rajaznya dan Kadhidnya. Demi Allah! Apa yang diucapkan oleh
Muhammad itu tidak dapat diserupakan dengan sembarang syairpun. Demi
Allah! Kata-katanya ini manis didengar, indah diucapkan, puncaknya menim'
bulkan buah, dasarnya memancarkan kesuburan. Perkataan ini selalu di atas
dan tidak dapat diatasi, dan yang di bawahnya mesti hancur dibuatnya.Al-walid tidak masuk Islam, dia tetap dalam kufur. Tetapi inti kebenaran
dalam keistimewaan al-Quran tidak dapat dibantahnya. Dia tidak dapat memutar-balik kenyataan. Sebab itu maka al-Quran mempengaruhijuga kepada
orang yang memusuhinya, sebagaimana mempengaruhi orang yang beriman
kepadanya. orang musyrikin menentang Rasulullah s.a.w. ialah karena takut
bahwa pengaruhnya akan bertambah besar, sebab al-Quran itu senjata yang
tidak dapat diatasi. Sampai ada di antara orang kafir itu yang memberi nasihat
kepada kawan-kawannya, supaya mereka jangan suka mendengarkannya, dan
hendaklah hiruk-pikuk seketika al-Quran itu dibaca oleh Rasul, supaya jangan
sampai terdengar, karena hanya dengan jalan demikianlah mereka merasa
bahwa mereka akan menang berjuang menentang Rasul, (lihat Surat 41, Fushshilat, ayat 26).
Sejarah dan perkembangan penilaian terhadap al-Quran itu telah memberikan tiga kesimpulan tentang i'jaz. Yang pertama ialah keistimewaan yang
telah pernah dicapai oleh bangsa Arab, yang kedua ialah makna atau ma'aninya,
yang hakiki, yang telah terbukti bahwa puncak tertinggi yang manapun dari
fikiran mereka tidaklah akan sampaike martabat makna al-Quran. Ketiga ialah
ajaran akhlaknya. Ajaran akhlak al-Quran itu, kalau dimisalkan bukanlah dia
ajaran agama, namun puncak budi dari manusia yang cerdas, tidaklah dapat
membantah bahwa itulah akhlak yang baik.
Sebab itu i'jaz ini telah menjadi salah satu ilmu yang wajib diperhatikan juga
seketika menafsirkan al-Quran.
Dan i'jaz al-Quran ini adalah terhadap seluruh manusia. Kalau bangsa Arab
dengan bahasa Arab adalah bahasa yang tidak mati, malahan bertambah
berkembang dan berpengaruh di dalam abad keduapuluh ini, dan orang-orang
Arab sendiri, terutama sarjana-sarjana bahasanya telah mengakui kelemahan
mereka, apatah lagi seluruh manusia. Dan memang Muhammad s.a.w. diutus
kepada seluruh manusia di muka bumi ini*.
Dengan secara ringkas dan pokok saja, kita hendak mencoba mengemukakan empat rupa I'jaz al-Quran.
Pertama: Fashahah dan Balaghah, amat tinggi derajat kata dan maknanya,
yang mempesona pendengarnya, yang dimulai oleh orang Arab yang empunya
bahasa itu sendiri, yang lebih tahu apa susun, irama, gaya dan pengaruh
ungkapan kata yang dapat menarik dan mempesona. Bangsa yang sebelum alQuran turun mengadakan sayembara perlombaan syair-syair pada tiap-tiap
tahun di pasar Ukaadz, dan syair yang menang mendapat kehormatan digantungkan di Ka'bah; bangsa yang terdiri dari kabilah-kabilah, dan tiap-tiap
kabilah merasa rendah diri kalau dalam kalangannya tidak ada ahli syair atau
ahli pidato yang fashih dan kalau mereka kagum terpesona oleh al-Quran,
bolehlah kita bangsa yang lain mempercayai kekaguman mereka itu.
' Susunan al-Quran bukanlah susunan syair, dengan susun rangkaikata
menurut suku-kata bilangan tertentu, dan bukan dia puisi dan bukan dia prosa
dan bukan pula dia sajak, tetapi dia berdiri sendiri melebihi syair, nashar dan
nazham, yang belum pernah sebelumnya turun, orang Arab belum pernah
mengenal kata seperti itu. Demikianlah terpesona mereka itu, lebih terpesona
p"-Jku-p"-uka mereka sendiri, sebagai Abu Jahal, Abu Sufi7an, al-Walid bin
al-Mughirah dan lain-lain.
Tidak ada kata lain yang dapat mereka pilih untuk menilainya, sehingga
mereka katakan saja bahwa al-Quran itu adalah sihir. Seorang pedusunan dari
Bani Ghifar, bernama Anis, yaitu saudara dari Abu Zar al-Ghifari berkata
kepada Abu zar "Saya bertemu di Makkah seorang laki-laki memeluk
agamamu ini, dia mengatakan bahwa dia utusan Tuhan Allah." Lalu Abu Zar
berkata: "Apa kata orang tentang dirinya?"
Anis menjawab: "Ada orang yang mengatakan bahwa dia itu seorang ahli
syair, kata orang yang lain dia itu kahin (tukang tenung) dan kata yang lain lagi
d:ia itu ahli sihir." Lalu Abu Zar bertanya kepada Anis, karena diapun seorang
penyair: "Engkau sendiri bagaimana pendapatmu tentang dia?" Anis menjawab:
lAku telah pernah mendengar perkataan kahin, namun ini bukan kata-kata ahli
kahin. Aku sudah perbandingkan kata-katanya ini dengan syair-syair ahli
syair, maka tidak ada samasekali persamaan kata-katanya ini dengan syair.
pendeknya, demi Allah, dia adalah benar. Dan penyair adalah bohong."
Kedua: Al-Quran banyak menceritakan berita tentang masa-masa telah
lalu; berita tentang kaum 'Aad,Tsamud, kaum Luth, kaumNuh, kaum lbrahim,
kaum Musa, ,,"g"ii Madiyan, ceritera tentang kesucian Maryam dan kelahiran
puteranya (lsa Almasih), tentang lahirnya Yahya bin Zakariya. Segala berita
yang dibawanya itu bendr dan semuanya bertepatan dengan kenyataan yang
t"nur, dan banyak persesuaian dengan cerita ahlul-kitab, sedang yang membawa terita al-Quran ini dikenal oleh semua yang hidup sezaman dengan dia
bahwa dia ummi (butahuru0, tak pandai menulis dan tak tahu membaca. Dan
tidak pula pernah belajar kepada seorang guru, dan masyarakat Makkah
sendiri, tempat dia lahir dan dibesarkan bukanlah masyarakat ahlul-kitab,
melaini<an masyarakat menyembah berhala. Bukan sebagai di Madinah yang
dipengaruhi oleh Yahudi dan bukan sebagai di Najran yang berpenduduk
Nasrani.
Meskipun kaum Orientalis kadang-kadang mencari segala macam lobang,
walaupun lobang paling kecil, untuk menegakkan teori bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. pernah belajar kepada ahlul-kitab, namun teoriyang dibikinbikin itu adalah laksana menegakkan benang basah. Berfikir yang benar'
hanyalah sampai kepada kesimpulan bahwa "orang ini" dan Nabi Muhammad
,.u.,Ju., mendapat wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di dalam al-Quran
sendiii Tuhan bersabda kepadanya: "Bahwa sebelum al-Quran ini turun, dia
belum pernah membaca satu kitabpun, dan belum pernah dia menulis apa-apa
dengan tangannya."*
Satu hal yang lucu telah kejadian. Di Makkah ada tinggal seorang panddi
besi berasal dari negeri Rum, menerima upah membuat pedang- Orang itu tidakberapa fasih berbahasa Arab dan bukanlah dia seorang failasuf atau guru,
meskipun berasal dari Romawi. Kepandaiannya hanyalah semata-mata menempa besi. Nabi Muhamamd s.a.w. pernah datang dua tiga kali ke bengkel
tempat orang itu bekerja. Mungkin tertarik melihat kepandaiannya membuat
pedang. Maka disebarkanlah berita oleh musuh-musuhnya ketika itu berita
bahwa Nabi Muhammad belajar kepada orang Rum pandai besiitu. Berita inilah
yang dibantah oleh al-Quran dengan cara berfikir yang teratur di dalam Surat
an-Nahl (Surat 16, ayat 103), bahwa Tuhan mengetahui apa yang mereka
tuduhkan itu, yaitu bahwa Muhammad diajar oleh manusia, bukan wahyu dari
Tuhan. Manusia itu ialah pandai besi orang Rumi. Padahal lidah Rumiitu ialah
lidah ajami, sedang wahyu yang turun ini adalah lidah atau bahasa Arab yang
terang, yang jelas lagi fasih.
cobalah fikirkan dengan akalyang teratur, adakah mungkin diakal bahwa
seorang Rumi yang tidak fasih berbahasa Arab mengajar Nabi tentang wahyu
dengan bahasa Arab yang sangat indah, di atas dari segala keindahan?
Sedang pemuka-pemuka Quraisy yang ahli dalam bahasa, selama ini tidak
mengenal sedikitpun tentang pandai besi Rumi itu lain dari langganan yang baik
dalam pembikinan pedang?
Ketiga: Di dalam al-Quran pemah diberitakan pula hal yang akan kejadian.
Di dalam surat Rum (surat 30, di ayatnya yang perrnutaan diwahyukan kepada
Nabi Muhammad s.a.w.) bahwa mulanya orang Rum kalah berperang dengan
orang Persia, tetapi sesudah beberapa tahun kemudian, orang Rum pasti akan
menang kembali.
Ketika orang Rum itu kalah dipermulaan, musyrikin euraisy bergembira
hati, sebab orang Persia yang mengalahkan mereka adalah penyembahLrhala
pula. sedang kaum Muslimin bersedih hati, sebab orang Rum adalah pemeluk
Nasrani, yang pada pokoknya bertauhid juga, artinya dekat dengan Istam. Tapi
kedatangan ayat memberi kepastian kepada kaum Muslimin bahwaRum akan
menang kembali tidak berapa tahun lagi: Bidh'i sinina. Artinya diantara tujuh
dan sembilan tahun lagi. sampaiAbu Bakar bertaruh dengan orang euraisy
beberapa ekor unta, bahwa Rum pasti akan menang kembati. Dan setelah
sampaiwaktunya, terjadilah kemenangan Rum dan kalahlah persia. Abu Bakar
yakin dan pasti menang, sebab dia yakin akan bunyiayat ini. (Ketika itu zaman
Makkah, belum ada larangan bertaruh). Maka diterimatah kemenangan pertaruhannya.
Demikian juga janji kemenangan menghadapi euraisy di peperangan
Badar, dan demikian juga janji bahwa Nabi dan sahabatnya akan dapat melakukan Umrah dengan aman sesudah Perdamaian Hudaibiyah. semuanya Insya
Allah akan bertemu di dalam Suratnya masing-masing kelak. semuanya itu
dijanjikan sebelum terjadi sesungguhnya*.
Yang lebih hebat lagi ialah janji kemenangan pasti, bahwa mereka akan
memerintah di bumi, sebagaimana ummat-ummat yang terdahulu juga dan
ketakutan akan berganti dengan keamanan, sebagai tersebut dalam Surat an-
Nur ayat 35 (Juzu' i8). Maka dari Makkah ke Madinah, dari Madinah dalam
nruru i0 tahun seluruh Tanah Arab telah ditaklukkan oleh Rasulullah sendiri. Di
bawah pimpinan Abu Bakar kaum Muslimin mulai menyerbu kekuasaan Romawi dan di ,u1nun umar, takluk Persia dan Mesir, dan diteruskan lagi oleh
Khalifah-khalifah yang datang di belakang, sehingga kekuasaan yang pernahdi'
capai Islam, pernah meliputi Afrika, Andalusia, Asia Tengah dan menjulur
sampai kepada anak benua India, dan terus juga ke Kasigar (bagian daritanah
Cina). Dan kejatuhan mereka yang datang di belakang sampai negerinegeri
mereka dijajah oleh musuhnya, telah dibayangkan di dalam ayat yang satu itu
juga, yaitu bahwa kebesaran akan dicabut kalau.telah kufur dan fasik.
Keempat: I,jaz yang lebih mengagumkan lagi ialah terdapatnya beberapa
pokok ilmiah yang tinggi di dalam al-Quran mengenai alam. Dibicarakan di
dalamnya soal kejadian langit dan bumi; bintang-bintang, bulan dan matahari.
Dari hal turunnya hujan dan hubungannya dengan kesuburan dan kehidupan.
Beberapa kali dibicarakan darihal lautan, pelayaran dan perkapalan. Pernah
juga dikatakan bahwa pada mulanya langit dan bumiitu adalah satu, kemudian
dipecahkan (al-Anbiya" surat 21 ayat 30) yang beratus tahun kemudian
penyelidikan ilmu pengetahuan alam menjelaskan bahwasanya bumi ini adalah
pecahan dari matahari. Dibicarakan juga soal asal-usul keiadian manusia, sejak
dari tanah lalu menjadi mani, nuthfah, alaqah dan mudhghah, lalu mudhghah
itu terbentuk menjadi tulang, lalu tulang itu diselimuti oleh daging, kemudian
menjadi manusia yang bernyawa. (surat 23; al-Mu'minun, ayat 12 sampai 14).
Dibicarakan juga dari hal kayu-kayuan, kebun-kebun yang indah, pengaruh
angin berhembus untuk mempertemukan "jantan betina" pada tumbuh-tumbuhan.
Soal-soal alam yang dibicarakan ini sangatlah mengagumkan, karena
bertambah dalam penyelidikan manusia dalam berbagai macam ilmu pengetahuan alam, bertambah jelas maksud ayat-ayat itu' Sedang NabiMuhammad
s.a.w. bukanlah seorang ahli ilmu alam.
Beliau membicarakan beberapa kalitentang lautan, ombak bergulung dan
kapal belayar, sangat menarik perhatian orang-orang pelaut. Sehingga seorang
nakhoda kapal Inggeris bernama Mr. Brown, yang di dalam pelayarannya
pulang-pergi di antara tanah Inggeris dan India selalu membaca terjemahan alQurun, sangat kagum bila membaca ayat-ayat yang mengenailaut dan bahtera,
lalu beliau bertanya kepada orang-orang Islam di India, pernahkah Nabi
Muhammad s.a.w. itu belayar. Maka diterangkanlah kepadanya bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. tidak pernah melayari lautan selama hidupnya. Mendengar
keterangan itu ditambah lagi dengan penyelidikannya tentang sejarah hidup
Rasulullah, bahwa memang beliau tidak pernah belayar, timbullah iman
nakhoda Inggeris itu bahwa al-Quran itu memang wahyu Ilahi, dan diapun
langsung memeluk Agama Islam.
Di dalam riwayat ada tersebut bahwa seorang sahabat NabiMuhammad
pernah meminta nasihat beliau, karena maksud sahabat itu hendak menanam
bibit pohon kurma. Menurut kebiasaan, kurma yang subur buahnya ialah yangdikawinkan terlebih dahulu. Karena pohon kurma itu berjantan berbetina pula.
Lalu beliau beri nasihat, tidak perlu mengawinkan itu. Nasihat beliau itu
diterima oleh sahabat yang bersangkutan, lalu dia pergi bertanam kurma.
Kemudian ternyata memang kurma yang ditanam dengan tidak perjodohan
terlebih dahulu (okulasi), tidak menghasilkan buah. Lalu beliau sendiriMuhammad s.a.w. mengakuibahwa soaldemikian bukanlah keahlian beliau, sebab hal
itu adalah urusan keduniawian semata-mata, yang ahli masing-masing cabang
pekerjaan lebih mengerti daripada beliau dalam urusan itu. Maka setelah
dilakukan orang kembali perjodohan sebelum menanam kurma itu, benarlah
terjadi sebagaimana biasa, menghasilkan buah yang subur.
Belumlah sampai penyelidikan penafsir ini apakah soal penanaman kurma
initerlebih dahulu kejadian daripada turunnya ayat22 dalam Surat al-Hijr surat
15, yang menerangkan bahwa Tuhan Allah mengirimkan angin buat menyuburkan (lawaqih) dari pokok kata lqaah, yaitu mencecerkan bibit. Maka dimusim
angin berhembus sepoi-sepoi basa, angin itulah yang memindahkan bibit
kembang yang jantan yang betina. Besar sekali kemungkinan bahwa sahabat
Rasulullah menanam kurma itu, kejadian setelah zaman Madinah, danSurat alHijr adalah turun di Makkah. Artinya terlebih dahulu turun ayat itu darisahabat
berkebun kurma itu. Sebab setelah terjadi masyarakat Islam di Madinah
barulah sahabat-sahabat berkebun-kebun. Maka kedua bukti ini menunjukkan
dengan sangat jelas bahwa Nabi kita s.a.w. bukanlah seorang ahli perkebunan,
dan tidaklah beliau sendiri mengerti, diukur dengan ilmu perkebunan, bahwa
anginpun mempunyai tugas untuk mengawinkan bibit. Sedang maksud ayat22
dari Surat al-Hijr itu dapatlah difahamkan orang di belakang, setelah orang
menyelidiki ilmu pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan lebih mendalam. Dan
sudah dapat pula kita katakan bahwa beliaupun tidaklah mengerti pecahnya
sebagian dari matahari lalu menjadi bumi, meskipun ayat itu turun ke atas diri
beliau sendiri. Ahli ilmu alamlah kelak yang akan membuka rahasia itu.
Di sinilah terletaknya mu'jizat. Nabi kita s.a.w. tidak pandairnenulis, tidak
ahli membaca, tidak masuk satu sekolah. Bahkan sesuatu yang patut dinamai
sekolah belum ada pada waktu itu. Sesuatu yang agak patut disebut ilmu pada
masa itu hanyalah ilmu-ansab, yaitu ilmu nasab-keturunan, yang diajarkan dari
mulut ke mulut. Itupun diakui oleh ahli sejarah bahwa beliau tidak ada ilmu
tentang itu. Sahabat setianya Abu Bakar yang ahlidalam ilmu keturunan sukusuku Arab itu, bukan beliau.
Kata orang "lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat."
Perjalanannya yang jauh selama hidupnya hanya dua kali, keduanya ke tempat
yang sama, yaitu Syam. Perjalanan yang pertama dalam usia 12 tahun dibawa
pamannya. Perjalanan kedua dalam usia 25 tahun membawa perdagangan
Khadijah, yang kemudian menjadi isterinya. Dalam perjalanan yang hanya dua
kali itu, keduanya jalan darat, jalan kafilah, secara insaf dan jujur haruslah kita
fahami bahwasanya tidak mungkin dalam masa sependek itu dia menemui
seorang Profesor atau ahli cendekia dan sarjana untuk menuntut ilmu, sehingga
beliau sanggup mengarang al-Quran lalu mengatakan bahwa langit dan bumi itu
dahulunya satu dan kemudian pecah. Pengetahuan tentang inipun belum
sampai pada masa itu. Atau bahwa ada semacam hembusan angin yang bisa
menjodohkan bibit jantan dan bibit betina pada tumbuh-tumbuhan. Atau bahwa
proses yang dilalui manusia sejak dari dalam rahim ialah nuthfah, jadi alaqah,
jadi mudhghah, jaditulang, lalu tulang diseliputi oleh daging. Kalau ada Hadis
yang begitu pula bunyinya, ialah setelah beliau mendapat pengetahuan dari alQuran, bukan setelah beliau berguru kepada seorang dokter yang ahli dalam
soal kelahiran manusia dan lain-lain itu.
Selain dari itu bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat al-Quran ialah
menyuruh manusia memperhatikan alam kelilingnya, merenung dan memikirkannya. Ditekankan seruan agar mempergunakan akal. Dan setelah maju ilmu
pengetahuan moden, bertambah jelas pulalah arti yang terkandung di dalam
ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi buktial-Quran bukanlah karangan Nabi
Muhammad s.a.w. melainkan langsung turun dari Allah Subhanahu wa Ta ala.
Kalau ada beberapa penafsir dari ayat-ayat al-Quran memberikan tafsir
yang tidak tepat, misalnya tentang yang berkenaan dengan alam tadi, bukanlah
berarti bahwa ayat itu yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, melainkan
penafsir itulah yang tidak ada ilmu pengetahuan.
Di antara I'jaz itu ada yang umum dirasai oleh seluruh bangsa manusia,
terutama berkenaan dengan susunan bahasanya, balaghah dan fashahahnya,
adalah khas dirasai oleh yang berbangsa Arab.
Lain daripada bukti-bukti yang empat perkara itu ada lagi i'jaz yang lain,
yang berkenaan dengan syariat al-Quran. Al-Qurthubi, ahlitafsiryangterkenal
di dalam kejayaan ilmu di Andalusia berkata: "Dan setengah daripada kandungan al-Quran ialah ilmu yang berguna untuk memelihara keselamatan hidup
manusia, yang berkenaan dengan halal dan haram dan sekalian hukum-hukum
yang lain."
Tidak dapat diragui lagi, bahwa Nabi Muhammad dengan turunnya wahyu
dan Agama Islam ini telah dengan sendirinya mendirikan sebuah kekuasaan,
atau daulat, dan telah diatur dan disusunnya, baik organisasi atau administrasinya. Segala perselisihan yang terjadi dalam negara yang beliau dirikan itu
diputuskan dengan hukum al-Quran. Bahkan ada beberapa riwayat menerangkan bahwa orang Yahudi sendiripun pernah meminta perkara mereka diputuskan dengan hukum dari Rasulullah sendiri, meskipun mereka tidak masuk
Islam.
Oleh sebab itu maka al-Quran adalah sumber hukum. Kelak di dalam
penafsiran kita akan berjumpa hukum rumahtangga, nikah, talak, rujuk, hadhanah, (pengasuhan anak), wasiat, pemeliharaan harta anak yatim minoritas
(golongan kecil) di bawah kekuasaan Islam, sampai kepada peraturan berburu
dan makanan yang halal dan haram. Dan lain-lain sebagainya. Ada hukum yang
diberikan oleh al-Quran secara Mufash-shal, secara terperinci.
Hukum-hukum al-Quran itu diperjelas lagi dengan Sunnah Rasul, baik
perkataannya, (aqwaluhu) atau perbuatannya (afaluhu) atau perbuatan orang
lain dihadapan beliau yang tidak ditegurnya (taqriruhu). Maka hukum-hukum
al-Quran itulah yang menimbulkan lapangan luas bagi mujtahid untuk berijtihad, sehingga timbullah ilmu fiqh dengan keempat bagiannya (rubu'), sejakibadat, sampai kepada mu'amalat, sampai kepada munakahat dan sampai
kepada hukum jinayat.
Semuanya ini, jangan dilupakan, telah keluar dari seorang ummi, tidak
pandai menulis dan membaca, dan tidak pernah mengambil contoh dari salah
satu kerajaan yang lebih maju dan teratur di masa itu, yaitu Romawi dan Persia
(lran), yang undang-undangnya telah teratur dan tradisinya telah kuat. Semua
ahli sejarah tahu bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah mendirikan sebuah
negara yang berdaulat di atas kehidupan berkabilah yang kecil. Dibawakepada
hidup yang lebih luas dan besar, menggabung kabilah-kabilah dan bangsa, jadi
satu ummat.
Perhatikanlah dua kerajaan yang dianggap puncak tertinggi dari pemerintahan di masa itu, yaitu Romawi dan Persia. Dua kerajaan yang megah itu
berdiri atas dasar despotisme (kesewenang-wenangan raja), dan hak raja
adalah mutlak, sedang rakyat tidak mempunyaihak apa-apa. Rakyat hanyalah
sebagai barang-barang atau binatang pengembalaan yang seluruh hidupnya
dikurbankan untuk raja. Di tengah dua kekuasaan besar itu Rasulullah mendirikan negara yang mempunyai dasar pertama ialah syura, musyawarat. Dan
penguasa tertinggi di dalam negara yang beliau dirikan itu bukanlah Srimaharaja
diraja yang tidak pernah bersalah dan tidak boleh disalahkan, melainkan
seorang yang dipilih dengan kerelaan ummat.
Demikian juga, kalau dikaji secara seksama segala undang-undang dan
hukum yang ada dalam al-Quran itu, adalah dia perseimbangan di antara hak
dan kewajiban antara hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
sesamanya, berlandaskan persaudaraan, persamaan dan kemerdekaan,dengan sebenarnya dan sejujurnya.
Setelah beliau wafat, negara yang telah beliau dirikan itu dilanjutkan oleh
keempat Khalifah-khalifahnya. Kemudian disambung oleh Mu'awiyah dengan
mendirikan Kerajaan Bani Umaiyah, tetapi diputarnya dasar pokok pertama
pilihan Khalifah dengan kehendak orang banyak menjadidinasti keturunan.
Kemudian disambung oleh Bani Abbas. Lamanya sejak dari zaman Nabi
sampai akhir Bani Abbas ialah 656 tahun. Kemudian disambung lagi oleh
beberapa negara-negara Islam. Sehingga nyatalah bahwa al-Quran itu pernah
dijadikan dasar dan pedoman hukum berabad-abad. Semuanya mengalami
pasang naik dan pasang turun. Tetapi satu hal adalah nyata, bahwa al-Quran itu
telah pernah dipraktekkan dalam kenegaraan. Kalau sekiranya terdapat kemunduran dan kemuraman, bukanlah karena dia dijalankan, melainkan setelah
dia ditinggalkan. Yang dia berikan ialah pokok dan dasar, bukan tekniknya.
Karena teknik bisa berubah-ubah, namun dasar tidak akan berubah.
Semuanya ini adalah dari seorang yang ummi, tidak tahu menulis dan tidak
pandai membaca. Tidak pernah belajar, apatah lagi belajar ketatanegaraan.
Oleh sebab itu tidaklah ada lain kemungkinan lagi, hanyalah satu. Yaitu
bahwasanya al-Quran ini memang wahyu llahi, disampaikan kepada ummat
manusia melalui seorang Rasul yang ummi.
Setelah kita tinjau dengan seksama pendapat ulama-ulama yang terdahulu,
maka terdapatlah kesatuan pendapat yang umum, yaitu bahwa al-Quran itu
bukanlah semata-mata pada maknanya saja, melainkan mencakupi lafaz dan
makna. Sebab itu makanya terdapat beberapa ayat di dalam al-Quran yang
dengan tegas menyatakan sifat al-Quran itu, yaitu Arabi. Ayat ketiga dariSurat
14, dengan tegas menyebut Qur'anan'Arabiyan, artinya al-Quran yang berbahasa Arab. Sebab itu tidak ada al-Quran lain dengan bahasa lain, yang alQuran ialah yang bahasa Arab itu. Kalau dia telah diterjemahkan ke dalam
bahasa selain Arab, namanya bukan al-Quran lagi, melainkan terjemahan alQuran.
Seluruh Imam-imam Mazhab sama berpendapat dalam hal itu, yang alQuran ialah yang bahasa Arab itu. Hanya satu kali saja terdapat sedikit
pertikaian faham, yaitu karena Imam Abu Hanifah pernah berkata, bahwa bagi
orang Ajam yang baru memeluk Islam, kalau lidahnya belum sanggup membaca
al-Quran dalam sembahyang dengan lafaz Arabnya, bolehlah dia sementara
waktu, sebelum pandai membaca bahasa Arabnya, sembahyang dengan
bahasanya sendiri.
Sebagaimana diketahui oleh ahli-ahli sejarah, Imam Hanafi itu sendiri
memang keturunan Persia (lran) berasal dari daerah Kabul (Afghanistan)
sekarang ini. Jadi beliau mengalami dan menyaksikan sendiri banyaknya orang
sebangsanya berduyun-duyun masuk Islam, tetapi lidah mereka masih belum
lancar mengucapkan huruf'huruf al-Quran, sedang dalam agama tidak ada
paksaan. Itu sebabnya beliau berpendapat bahwa sebelum fasih, biarlah sembahyang dengan bahasa sendiri, tetapiwajib selalu berusaha, sehingga makhrajmakhraj huruf Arab itu bisa diucapkan dengan tepat.
Lantaran beliau pernah menyatakan pendapat seperti ini, maka adalah
orang yang datang kemudian memperluas pula dengan kesimpulan sendiri
ijtihad beliau yang demikian. Lalu mereka berkata bahwa Imam Hanafi berpendapat bahwa al-Quran itu hanyamakna saja,tidak usah lafaznya. Padahal
setelah dikaji dan ditilik kitab-kitab yang menuliskan ijtihad Imam Hanafi,
tidaklah pernah beliau mengatakan bahwa al-Quran itu hanyamaknasaja.Dan
tidak pula masuk di akal kita bahwa Imam Hanafi yang bergelar al-lmamul
A'zham akan mengemukakan pendapat demikian, karena sudah menjadi
pengetahuan umum, bahwasanya makna yang asli dari satu bahasa, terlalu
sukar dapat diartikan di dalam bahasa yang lain. Bahkan terjemahan ke dalamsatu bahasa sajapun tidaklah sama di antara satu penterjemah dengan lain
penterjemah. Dan bahasa tempat menterjemahkan itupun selalu berkembang,
yang kadang-kadang satu patah perkataan 100 tahun yang telah lalu, sudah
berbeda dengan yang sekarang ini. Kita misalkan saja kata "pemancar" yang
100 tahun yang lalu artinya ialah pancaran air, sedang arti pada zaman sekarang
ialah satu stasiun radio.
Oleh karena itu kita terjemahkan dan kita tafsirkan al-Quran ini ke dalam
bahasa lndonesia Moden yang sedang berkembang, dengan berpegang kepada
pendapat Imam Abu Hanifah tadi, yaitu untuk membimbing orang yang tidak
tahu bahasa Arab tetapi ingin mengetahui isi al-Quran, dan kita peringatkan
bahwa ini adalah terjemah. Sudah lebih daripada 10 macam terjemah al-Quran
ke dalam bahasa Indonesia, namun bahasa dan gaya bahasa dari terjemah yang
lebih 10 itu tidaklah sama, sebab semua itu adalah pendapat manusia, dan
dalam atau dangkalnya pengetahuan manusia, bukanlah dia al-Quran.
Di zaman Islam dan negara-negara Islam dalam puncak kekuatannya,
Ulama-ulama Islam berpendapat bahwa naskah al-Quran tidak boleh dibawa ke
negeri orang kafir dan al-Quran tidak boleh (haram) jika diterjemahkan ke
dalam bahasa lain. Sebab larangan membawa ke negeri yang bukan Islam, ialah
karena takut al-Quran itu akan diperhina-hina. Dan larangan terjemah ialah
karena sudah nyata bahwa terjemahan tidak akan sama dengan aslinya. Tetapi
fatwa-fatwa yang demikian sekarang telah mulai berubah, sebab zamanpun
telah berubah, terutama dengan adanya alat-alat pencetak, sehingga al-Quran
yang mula-mula dicetak dengan percetakan bukanlah di Mesir, Damaskus atau
diMakkah, tetapi di Hamburg Jerman.
Tentang hal terjemah, kian lama, karena kian melihat kenyataan, tidaklah
besar lagijumlah Ulama yang mengharamkannya, sebab telah dirasai betapa
ter.iemah al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Barat, yang kadang-kadang mereka katakan bahwa itulah yang al-Quran dan kadang-kadang terdapat pula
terjemahan yang salah. Maka untuk menandingi ini tidak ada lagijalan lain bagi
Ulama-ulama lslam yang bertanggungiawab, melainkan membolehkan penterjemahan. Tetapi sama pula pendapat sekalian Ulama Islam Zaman Moden,
bahwa hendaklah ayat-ayatnya yang asli dengan huruf Arabnya dan nomornomor ayat dicantumkan pula di samping terjemahan itu, supaya dapat dibanding oleh ahli-ahli yang lain benar atau salahnya, tepat atau janggalnya
terjemahan itu.
Syukurlah kita kepada Tuhan, sebab baik bacaan al-Quran dengan makhraj dan hurufnya dan tajwid atau perkembangan tulisannya, masih tetap asli
menurut naskah yang pertama. Inilah keutamaan al-Quran yang melebihi
naskah Taurat dan Injil. Keaslian al-Quran adalah mutawatir, artinya diterima
dan dihafal oleh beribu-ribu orang yang mustahil akan sepakat berdusta dan
diajarkan turun temurun dari nenek kepada anak dan kepada cucu.
Sekarang kita terjemahkanlah tiap-tiap ayat al-Quran yang 30 Juzu', 114
Surat dan 6,236 ayat itu, ke dalam bahasa Indonesia atau Melayu, dan di
samping terjemah, penulis ini mencantumkan pula bunyi ayat aslinya dengan
huruf Arabnya. Tidak ada salinan bacaan-bacaan bahasa Arab al-Quran itu ke
dalam huruf lain. Kecuali sedikit-sedikit beberapa kalididalam tafsir. Sebab
penulis "Tafsir" ini insaf benar bahwa huruf Latin (Rumi) yang hanya 26 buah
tidaklah cukup untuk menggantikan huruf Arab yang 29 buah.
Maka Tafsir al-Quran, Tafsir Al-Azhar ini; yang di dalamnya kita telah
mencoba menterjemahkan ayat demi ayat ke dalam bahasa lndonesia atau
Melayu, adalah menyambung usaha nenek-moyang yang terdahulu sebagai
Syaikh Abdurrauf bin A.li Fanshuri di dalam abad ketujuhbelas Masehi di negeri
Aceh Darussalam, dan menyertai pula usaha teman-teman sebaya yang lain dan
terjemahan mereka masing-masing. Mungkin akan terdapat kealpaan, sebab
yang aku kerjakan ini adalah satu pekerjaan amat besar dibandingkan kepada
kecilnya diriku dan piciknya ilmuku. Maka kepada peminat al-Quran kita
serukan bahwa penafsiran dari tiap-tiap penafsir tidaklah sama, masing-masing
diberiwarna oleh keperibadian penafsir itu sendiri, dalam dandangkalilmunya,
pendidikannya dan pengalamannya. Sebab itu kita ingatkan sekali lagi bahwa
tafsir ini belumlah cukup. Yang cukup dan lengkap hanyalah al-Quran itu
sendiri.
Maka untuk mendekati kecukupannya itu sebaiknyalah angkatan muda
lslam jangan hanya membaca terjemah dan tafsir, cukupkanlah segala terjemah
dan tafsir yang telah ada, di antaranya Tafsir Al-Azhar ini sebagaipembimbing
saja bagi mencapai masuknya Nur ayat-ayat al-Quran ke dalam jiwa masingmasing saudara, sehingga menjadi seorang Muslim yang mencukupi artikata
dengan Nur al-Quran itu.
Dan sebagai kita katakan di awal kata di atas tadi, hendaklah selalu Muslim
menfasihkan membacanya. Kalau sudah kelu lidahnya, karena bekas pengaruh
penjajahan, hendaklah dia menyerahkan anaknya belajar bacaan al-Quran itu
kepada seorang guru yang pandai dan fasih, yang mengenai tajwid dan qiraat alQurannya. Sebab sebagai dikatakan tadi, al-Quran ialah lafaznya dan maknanya. Al-Quran ialah yang bahasa Arab itu. Dan kalau dia diterjemahkan, maka
nama terjemahan itu tetap terjemahan, bukan al-Quran.Tafsir yang utama dan yang pertama dari al-Quran, tidak lain, ialah Sunnah.
Yaitu perkataan (aqwal) dan perbuatan (afaal) Nabidan perbuatan orang lain.
Yaitu sahabat-sahabatnya, yang mereka kerjakan di hadapan beliau, lalu
dibiarkannya saja tidak dicegahnya (taqrir). Itulah Tafsir Al-Quran yang pertama. Ini dijelaskan oleh Tuhan di dalam Surat an-Nahl, Surat 16, ayat 44 (ujung
ayao.
"Dan telah Kami turunkan kepada engkau peringatan, supoya engkau
jelaskan kepada monusio aw yang diturunkan kepada mereko, supaya
mereka semuonya berlikir -" (an-Nahl: 214)
Zikir artinya peringatan atau ingatan atau ingat. Artinya segala perbuatan
Rasulullah yang kita namai Sunnah itu adalah beliau kerjakan dengan sadar,
supaya Sunnah beliau menjadi keterangan dan penjelasan daripada al-Quran
itu. Sehingga'Aisyah seketika ditanya orang bagaimanakah akhlak Rasulullah
s.a.w. itu? Isteribeliau itu menjawab: "Akhlaknya ialah al-Quran itu sendiri!"
Oleh sebab itu maka Sunnah Rasulullah adalah penjelasan dari al-Quran,
sehingga tidaklah boleh seseorang menafsirkan al-Quran yang berlawan dengan Sunnah. Bahkan wajiblah Sunnah menyoroti tiap-tiap Tafsir yang hendak
ditafsirkan oleh seorang Penafsir. Kalau di dalam al-Quran terdapat yang
mujmal (secara umum), Sunnahlah yang menjelaskannya (mufashshal) secara
terperinci. Al-Quran menyuruh berwudhu' dan sembahyang, maka Sunnah
perbuatan Rasulullah dijadikan teladan bagaimana menjalankan wudhu' dan
sembahyang itu.
Sunnahlah pensyarah, penafsir, penjelasan bagi al-Quran. Sedang al-Quran itu sendiri bila diteropong dari segi Sunnah itu terbagi pada tiga bagian:-
Bagian pertama, yaitu dia mengandung hukum-hukum yang bersangkutan
dengan halaldan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintahyangmesti)
atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang dan dihukum siapa yang
melanggarnya (mahzhurat). Di samping itu ialah beberapa peraturan, undang-
undang dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (kenegeraan
Islam), atau lebih jelas lagi. Hal-hal inidinyatakan dengan tegas tafsirnya oleh
Sunnah Nabi, dan akal tidak banyak kesempatan buat menerawang lagi
mencari penafsiran yang lain daripada yang telah ditentukan Nabiitu. Karena
bagian pertama inilah intipati dariRisalat Muhammadiyah. Nabi telah menjelaskannya dengan perkataan dan perbuatan dan pengakuannya. Kalau Nabitidak
menjelaskannya, maka belumlah sempurna dia menjalankan tugasnya sebagai
Rasul. Maka mustahillah Nabi tidak menyampaikan dengan sempurna dan
lengkap apa yang dia disuruh menyampaikan kepada kita. Lantaran itu maka
segala hukum-hukum Fiqhiyah yang ada dalam al-Quran, baik berkenaan
dengan ibadat, ataupun dengan mu'amalat ataupun untuk menyusun masyarakat kemanusiaan yang dimulai dasar pertamanya dari keluarga (usrah),
sampai meningkat kepada berkarnpung halaman, berkota bernegeri, sampai
kepada bernegara dengan wilayah kekuasaannya, dan hubungan di antara yang
memerintah dengan diperintah, sampai kepada hubungan kaum Muslimin
dengan golongan lain dalam damai atau dalam perang; semuanya itu dijelaskan
oleh Sunnah Nabi. Dan syukur Alhamdulillah Sunnah Rasul, sejak dariperkataan-perkataan beliau, sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur;
dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab Hadis,
mana yang mustafidh (sangat dikenal), mana yang sahih, mana yang hasan dan
mana yang dha'if.
Kita jelaskan sekali lagi:
Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja al-Quran yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman kepada
Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar daripada garis yang
ditentukan oleh syariat. Sebab itu tidak seyogianya, tidak masuk akalbahwa
seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul beraniberani saja
menafsirkan al-Quran yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahalSunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi
telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama
terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dari
dalam agama ini, atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih
berpegang teguh kepada yang dua itu, yaitu Kitab dan Sunnah. Maka barangsiapa yang hendak mengenal Fiqhil-Quran, tidaklah akan berhasil maksudnya
kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan alQuran yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal
Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai Qiyas,
padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak
demikian, tidaklah lagi berfikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.
Pengecualian halinihanya satu. Yaitu apabila terdapat Nash al-Quran itu
jelas, terang, nyata, sehingga tidak perlu tafsiran lagi, lalu bertemu pula Hadis
Aahad, yaitu Hadis Rasulullah s.a.w. yang diberitakan oleh perawi-perawiHadis
dengan jalan yang bukanmasyhur,sedang isi makna Hadis itu berlawanan
dengan Nash yang shahih (jelas) dan nyata dari al-Quran itu.Di dalam hal yang seperti ini kita berhadapan dengan Nash al'Quran yang
jelas nyata, masuk akal, tidak meragukan, bertentangan dengan Hadis yang
maknanya bertentangan dengan al-Quran dan ragu akan kebenaran Hadis itu,
sebab kebenaran tidak dua, hanya satu. Pada saat itu barulah Hadis tadi
ditinggalkan. Dengan kesadaran bukanlah Rasulullah yang diragui kebenarannya, melainkan kekhilafan daripada perawi-perawi Hadis itu.
Hal-hal yang seperti ini akan berjumpa dua tiga kali didalam tafsir kita ini,
Insya Allah.
Bagian kedua dari al-Quran ialah bersangkutan dengan "Akidah", atau
kepercayaan, dan dikenal juga dengan kata bahasa asing yang telah kita
populerkan dalam bahasa Indonesia, yaitu doktrin. Uhtuk menegakkan akidah,
al-Quran kerapkali mengemukakan perbandingan dan anjuran-anjuran supaya
meninjau dan mencurahkan perhatian. Lalu dia membukakan sedikit tabir
rahasia kejadian alam, semua langit dan bumi, perjalanan matahari dan bulan
dan bintang-bintang, perkisaran angin dan awan, turunnya hujan dan suburnya
bumi, dan lain-lain.
Segala perumpamaan al-Quran yang membawa rahasia alam itu, maksudnya ialah buat mendapat kesadaran Iman kepada Allah di dalam jiwa kita. Dia
adalah bahan-bahan atau fakta-fakta yang indah sekalibuat diilmukan. Maka di
dalam menafsirkan ayat-ayat keadaan alam ini adalah dua hal yang perlu:Pertama pengetahuan kita tentang makna dari tiaplafaz yang tertulis dalam
ayat itu.
Keduo ialah
ayat itu.
Terusterang kita katakan di sini, bahwa Rasulullah s.a.w. atau Sunnah
tidaklah banyak meninggalkan penjelasan tentang itu. Pengetahuan tentang
alam belumlah meluas pada masa itu, baik dalam masyarakat Arab sekeliling
ataupun pada diri Rasulullah sendiri. Tidaklah kita salah kalau kita katakan
bahwa Rasulullah tidak mengetahui ilmu falak dan ilmu hisab dan itu tidaklah
satu kehinaan dan cacat bagi beliau, malahan itulah kemegahan beliau. Bacalah
surat Yunus, (surat 10, ayat 5). Di sana diterangkan bahwa Allah menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditentukan jangka ukuran jalannya
masing-masing. Dalam ayat itu nyata-nyata diterangkan bahwa yang demikian
itu ialah supaya kamu mengetahui bilangan tahun ke tahun dan ilmu hitung,
tetapi Nabi sendiri tidak pandai ilmu hisab.
DidalamSurat al-lsra',Surat 17 ayat ll,punbertemumaknayangsama.
Di sana dikatakan bahwa Allah menjadikan malam dan siang sebagaidua tanda
dari kebesaran Tuhan, pertandaan malam dihapuskan dan pertandaan siangpun datang dengan terang-benderang, supaya kamu dapat berusaha mencari
kurnia Allah, dan supaya kamupun tahu bilangan tahun dan hisab. Ean ayat
yang serupa maksudnya dari mulut Nabi supaya ummatnya mengetahui hal itu
dan menambah ilmunya, padahal di dalam satu Hadis yang sahih riwayat
Bukhari dan Muslim beliau bersabda bahwa beliau dan ummat dikelilingnya di
27
pengetahuan kita tentang ilmu alam yang berkenaan dengan
waktu itu adalah ummat yang ummi, tak tahu tulis dan tak tahu baca; bilangan
bulan yang nyata ialah 29 dan 30. Cuma itu beliau yang tahu.
Maka dalam soal-soal yang berkenaan dengan hal-ihwal dalam aram ini,
seorang penafsir hendaklah menuruti perkembangan ilmu pengetahuan. Kalau
kita tilik tafsir-tafsir yang dikarang di zaman lampau, dapatliih kita lihat betapa
corak ilmu orang di zaman itu, yang masih sangat ketinggalan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan alam di zaman moden ini. Tiap dilihat ayat-ayat itu dengan
kaca ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, kian tampak perubahan tafsirnya. Adapun Ulama zaman kita ini yang banyak menafsirkan panjang-lebar
tentang ilmu pengetahuan keadaan alam itu ialah syaikh rhanthawiJauhari.
Asalsaja kita ingat tujuan ayat-ayat itu, yaitu memperkuatTauhiduluhiyah
dan Rububiyah, tidaklah ada salahnya jika kita tafsirkan ayat-ayat itu menurut
pengetahuan kita. Dan jika didalam tafsir kita ini terdapat beberapa keterangan
yang tidak memuaskan terhadap ayat-ayat yang demikian, sekallkali bukanlah
ayat itu sendiri dan makna yang terkandung di dalamnyayangsalah, melainkan
tentu saja penafsirlah yang kurang pengetahuan. Dan itupun dapat dimaklumi,
karena pengetahuan penulis "Tafsir" ini tentang ilmu keadaan alam itu sangatlah kurang.
Bagian ketiga dari al-Quran ialah yang bersangkut dengan kisah-kisah dan
ceritera-ceritera zaman lampau. Maksud dan tujuan ceritera itu ialah untuk
pengajaran dan i'tibar. Di dalamnya banyak disebutkan perjuangan Nabi-nabi
dan Rasul-rasul Allah menegakkan faham Tauhid dan soal-jawab di antara
mereka dengan ummat yang mereka datangi. Banyak kita bertemu namaNabinabi, sejak dari Nuh, Idris, Ibrahim, Musa, Ismail dan lain-lain, dan yang
terbanyak sekali disebutkan ialah kisah Musa, baik seketika beliau menentang
Fir'aun, ataupun setelah memimpin Bani Israil selepas menyeberangi laut
Qulzum menuju Palestina.
Maksud segala kisah itu, termasuk kisah panjang seluruh surat, yaitu kisah
Nabi Yusuf, bukanlah kisah itu sendiri, melainkan isi pengajaran dan perbandingan (i'tibar) yang ada di dalamnya. cara penafsirannya ialah bahwa satu
bagian dapat melengkapkan bagi yang lain. Misalnya kisah perjuangan Musa;
kita dapat mengetahui keadaan Musa sejak dia baru lahir ke dunia sampai
seluruh tingkat-tingkat perjuangannya dengan menafsirkan satu bagian ke
bagian yang lain. Dan setelah kita selidiki di dalam Hadis-hadis Nabi yang
shahih, penafsiran tentang kisah iniadalah sedikit sekali. Yang ada agak banyak
ialah dari riwayat sahabat Rasulullah s.a.w. yang terkemuka sekali, Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Mas'ud. Tetapi kadang-kadang beliaupun mengakui
bahwa tafsir itu juga yang beliau terima daririwayat ahlul-kitab. Kemudian itu
banyak lagi rabi'in, yaitu murid-murid dari sahabat-sahabat Rasulullah mengeluarkan riwayat-riwayat sebagai tambahan dari apa yang tertulis dalam alQuran.
Kita kemukakan di sini satu misal, yaitu kisah pertemuan Nabi Musa
dengan NabiKhidir. Sebagaimana kita ketahui, NabiMusa berjalan diiringioleh
bujangnya (menurut riwayat setengah ahli tafsir, ialah Nabiyusya'). Dalam alQuran disebutkan bahwa ikan dijinjing bujang itu melompat ke laut danmembuat jalannya sendiri dengan ajaib dalam laut. Maka menurut Tafsir dari
Said bin Jubair, ikan itu ialah seekor ikan yang telah dikeringkan dan dibelah,
dan telah diasin, dan sebagian dari kepalanya telah dimakan..oleh Yusya'.
Artinya ia akan mati melompat ke laut.
Ini adalah tafsir, yang kata Said bin Jubair diterimanya daripada riwayat
Ibnu Abbas, tetapi dari Hadis Nabi yang shahih tidak ada dan dalam ayat itu
sendiri tidak ada tersebut ikan itu telah,mati, dikeringkan, dan diasin, sehingga
kalau kita tidak membaca tafsir, bahkan langsung saja membaca ayat kita bisa
memahamkan bahwa ikan itu adalah hidup, lalu melompat ke laut setelah
melihat air, sebagai ikan semelang atau ikan panjang atau ikan belut dan
beberapa macam ikan lagi yang bisa tahan berjam-jam di luar air, dan langsung
melompat ke air kalau ada kesempatan.
Bagian ketiga inilah yang agak rumit di dalam penafsiran al-Quran- Di
bagian inilah kita kerap kali bertemu dongeng-dongeng yang tidak masuk akal
kalau dibangsakan kepada Agama Islam yang menghormati kemurnian akal.
Sebagai satu tafsir tentang bintang "Seroja" (Bintang Timur) yang menurut satu
tafsir, katanya, bintang itu ialah penjelmaan dari seorang perempuan cantik
yang pernah diganggu oleh Malaikat Harut dan Marut.
Di dalam inilah campur-aduk di antara yang masuk akal dengan yang karut,
di antara dongeng-dongeng dengan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran
ayat al-Quran diliputi oleh lumut khurafat yang tak masuk akal. Inilah yang
dinamakan Israiliyat, yaitu cerita-cerita yang kerapkali dibawa oleh orang
Yahudi yang masuk Islam. Yang sangat terkenal ialah Ka'bulAhbar dan Wahab
bin Munabbih, keduanya orang Yahudi masuk Islam, banyak membawa dongeng Israiliyat itu, didengar oleh sahabat, lalu mereka salin. Apatah lagioleh
Tabi'in. Kadang-kadang mereka salin dengan tidak memakai komentar, hanya
semata-mata untuk bahan saja bagi kita yang datang di belakang.
Maka terhadap bagian ini penafsir hendaklah hati-hati. Tidaklah mengapa
kalau suatu riwayat yang bukan shahih dariNabiditinggalkan saja, dan tidaklah
mengapa kalau dibatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal, dan tidak
diperdulikan kalau tidak sesuai samasekali dengan maksud al-Quran. Gunanya
ialah untuk memberantas pengaruh tafsir-tafsir yang telah beredar dalam
masyarakat kita, yang dijadikan alat untuk mengasyikkan orang mendengar
tabligh oleh setengah guru-guru yang tidak bertanggungiawab. Dan penafsir
bersedia dituduh keluar dari "Ahlus Sunnah wal Jama'ah" kalau sekiranya
membatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal itu dipandang salah oleh
golongan-golongan yang hanya menjadi budak dari tafsir-tafsir yang semacam
itu.
Barangkali timbul pertanyaan mengapa sahabat-sahabat Rasulullah s.a-w.
atau Tabi'in menyalin juga riwayat yang demikian, dengan tidak ada pertimbangan mereka sendiri atas benar dan tidaknya? Ialah karena Rasulullah s.a.w.
pernah memesankan, bahwa kalau mereka mendengar kisah dari ahlul-kitab
itu, dengarkan sajalah, jangan diakui kebenarannya dan iangan pula segera
didustakan.
Maka jauhlah lebih aman jika ayat-ayat yang mengenaikisah-kisah itu kita
turuti bagaimana adanya di dalam al-Quran itu saja, dengan sedikit analisa
menurut tanggapan sendiri dengan catatan bahwa analisa itupun barangkali
benar barangkali salah. Sebab yang dimaksudkan dengan segala kisah didalam
al-Quran itu bukanlah perincian kisah melainkan tersebut di dalam al-Quran
sendiri, sebagai tersebut di dalam Surat Yusuf, pada ayatnya yang penghabisan
sekali (ayat 111).
'
"Sesungguhnya dalam kisah orong-orang itu, adalah untuk pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai intr-t'ikiran; bukanlah dia dongeng yang
dibuat-buat, melainkan membenarkan apa yang telah terdahulu daripadanya
dan penjelasan bagi segala sesuofu, petunjuk dan rahmat untukkaumyang
beriman." (Yusuf: 111)
Begitu jelas dimaksudkan Tuhan menerangkan kisah-kisah sebagai wahyu,
bukan untuk dongeng yang dibuat-buat, artinya bukan ceritera roman atau
mythos laksana ceritera Ramayana dan Mahabrata. Tetapi apabila penafsir
melihat beberapa tafsir, di antaranya Talsir al-Khaezin, bertemulah banyak
tambahan yang telah membelokkan tujuan kisah al-Quran daripada untuk
pengajaran dan petunjuk, menjadi dongeng-dongeng yang disadari atau tidak,
telah mengotori al-Quran.
Itulah martabat pertama dari tafsir.
Adapun martabat yang kedua ialah perkataan sahabat-sahabat Rasulullah.
Tentu saja sesudah mencari penafsiran daripada Sunnah, kita mencarinya
pada pendapat dan perkataan sahabat-sahabat Rasulullah; sebab sudah nyata
bahwa mereka hadir di hadapan Rasulullah seketika ayat diturunkan. Dan lagi
mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun-Nuzul). Sebab-sebab turun ayat itu tidak dapat tidak, adalah dia jalan yang jelas dan nyata untuk
ditempuh. Kemudian itu, sehabis mengetahuiturunnya ayat, tentu disadari pula
bahwa ayat ini akan berlaku terus menerus di dalam hal yang sama'illatnya. Di
sinilah timbul suatu ungkapan ahli-ahli Fiqh dan Ushul-Fiqh:
' -
)'
"Yang jadi perhatian inilah arti yang umum yang dimaksud oleh lafaz,
bukan ferkhusus kepada sebob mengapa dia diturunkan.
Kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam menafsirkan al-Quran itu
mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir sama kedudukannya dengan
Sunnah Nabi sendiri bila bersangkutan dengan hukum-hukum syara'sebab kita
percaya bahwa pada pokoknya tentu sahabat itu menerimanya daripada
Rasulullah s.a.w. Tetapikalau ada dalilbahwa itu hanyalah pendapat sahabat itu
sendiri, maka tidaklah sama derajat pendapat beliau-beliau itu dengan Sunnah
Rasul s.a.w. Malahan kadang-kadang terdapat perlainan pendapat (ra'yi) di
antara mereka, seumpama perselisihan pendapat mereka tentang nenek lakilaki, apakah dia mendapat waris dari cucunya yang telah mati atau tidak. Abu
Bakar mengatakan nen€k mendapat, apabila ayah tidak ada lagi. SedangAlibin
Abu Thalib berpendapat bahwa nenek laki'laki itu berkedudukan sebagai
Kalaalah dari saudara kandung atau saudara sebapa, dengan memperhatikan
makna kebapaan padanya. Sebab itu Ali dan yang sefaham dengan dia menempatkan nenek sebagai saudara laki-laki, jika ada saudara kandung atau
sebapa. Dan tidak terdinding seseorangpun berhak mengambil bagian faridh'
nya. Dia mengambil sisa yang tinggal seorang diri atau bersama-sama beserta
'ashabah-'ashabah yang lain dengan syarat bagian nenek laki-laki itu tidak
kurang dalam kedua hal itu dari seperenam. Baikpun dia sendiri mengambil
yang sisa atau bersama-sama dengan saudara si mati terhadap yang sisa.
Lain pula pendapat Zaid bin Tsabit. Beliau memandang nenek laki-laki
sebagai Kalaalah dari saudara sekandung atau sebapak dengan syarat tidak
kurang si nenek itu mendapat dari sepertiga.
Semuanya ini adalah ra'yi atau ijtihad dari sahabat-sahabat itu sendiri,
malahan itulah sebabnya maka pendapat mereka berbeda, sebab tidak ada
Nash keterangan terperinci dari Nabi sendiri tentang soal itu.
Ulama-ulamapun tidak ragu-ragu membahas tentang penafsiran yang timbul daripada pendapat (ra'yi) sahabat-sahabat Rasulullah itu. Mereka tidak ragu
buat mengatakan bahwa pendapat sahabat bukan wahyu sebab itu tidak akan
sunyi daripada salah dan benar. Ahli-ahli Fiqh berpendapat bahwa kalau
pendapat sahabat Rasulullah itu hanya satu macam, dan tidak ada bantahan
daripada sahabat yang lain, artinya itu adalah ijma' sahabat adalah hujjah,
artinya boleh dipegang. Cuma kaum Syi'ah saja yang mengecualikan diridari
pendapat itu. Bagi mereka ijma sahabat tidak hujjah.
Kalau terdapat pertikaian pendapat di antara sahabat-sahabat Rasulullah,
maka Ulama-ulamapun memperbincangkan pula. Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat, hendaklah dipilih manakah kata-kata
mereka yang Iebih dekat kepada hukum-hukum Fiqh yang jelas daripelaksanaan Nabi s.a.w. dan yang ada Nashnya di dalam al-Quran. Kalau pilihan sudah
jatuh kepada pendapat yang lebih dekat menurut pertimbangan sipenimbang
kepada al-Quran dan Sunnah Rasul tadi, hendaklah yang lain ditinggalkan dan
pilih yang lebih dekat itu. Imam Hanafitegas mengatakan bahwa dia tidak mau
pindah-pindah saja daripada satu pendapat sahabat kepada pendapat sahabatsahabat yang lain. Imam Syafi'ipun menuliskan demikian di dalam karangannya
ar-Risalah.lmam Malik pun bersikap demikian. Imam Ahmad bin Hanbalbiasa
menguraikan pendapat-pendapat sahabat yang berlain-lain itu di dalam menjelaskan pendapatnya sendiri.
Semuanya itu ialah berkenaan dengan tafsir sahabat-sahabat Rasulullah
yang mengenai hukum halal dan haram. Perlainan-perlainan pendapat itu
banyak terdapat di dalam Kitab Fiqh. Terutama seketika membicarakan ayatayat yang mengenai peperangan atau perdamaian, perjanjian atau jaminan
keamanan. Apatah lagi sesudah Rasulullah s.a.w. wafat, sahabat-sahabat Rasulullah itu meneruskan jihad, menaklukkan negeri, menundukkan musuh,
membuat perjanjian-perjanjian damai, pemungutan Jizyoh dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan hal-hal yang sedemikian banyak terdapat pertikaian cara,
yang di zaman kita dinamai kebijaksanaon atau beleid di antara satu sahabat
dengan sahabat yang lain. Tetapi bahan-bahan yang mengenai urusan seperti ini
lebih banyak kebijaksanaon atau beleid di antara satu yang di zaman kita
dinamai khilaliyah. Al-lmam Muhammad bin Hasan asy-Syaibanilah yang
mula-mula mengarang sebuah kitab yang khas mengenai itu, dengan dokumentasi yang lengkap yang beliau kumpulkan dari cara pelaksanaan sahabat
itu, yang berdasar kepada keadilan, perlkemanusiaan, kasih-sayang, rahmat
dan karamah (menghormati hak hak manusia). Maka di dalam kitab beliau ini
banyaklah bertemu tafsir pendapat dan pelaksanaan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. mengenai urusan yang demikian.
Mengenai ayat-ayat yang menyebut rahasia alam, kejadian langit dan bumi,
bintang, bulan dan matahari, hujan, lautan dan daratan, ombak dan tumbuhtumbuhan dan sebagainya itu, yang di atas sudah kita katakan bahwa maksudnya ialah untuk memperkuat akidah Tuhan; demikian pula ayat-ayat yang
mengandung kisah-kisah. Maka terhadap kedua persoalan ini, tidaklah banyak
keterangan dari sahabat-sahabat Rasulullah. Memang terdapat beberapa riwayat tentang itu dari kata-kata sahabat, tetapi yang shahih, yang bisa dipertanggunglawabkan Sanad (sandaran) adalah teramat sedikit.
Itu dapat kita fahami. Sebab sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. itu lebih
banyak perhatiannya kepada menjaga halal dan haram, dan lebih tertumpah
kepada menyusun masyarakat yang baru tumbuh, berperang dan berdamai,
menaklukkan dan menerima Jizyah. Adapun tentang rahasia alam, kejadian
langit dan bumi, atau tentang kisah-kisah Nabi-nabiyang terdahulu itu, mereka
percaya bulat saja kepada apa yang dikatakan al-Quran. Tak usah banyak
bising lagi.
Tetapi setelah zaman Khulafaur-Rasyidin (Khalifah yang berempat) artinya
setelah Nabi wafat, dan setelah banyak orang Yahudi dan orang Nasrani masuk
Islam, pada masa itu timbullah satu golongan yang dinamai "tukang cerita" (alQashshaash). Tukang-tukang cerita itu duduk membuat halaqah di dalam
mesjid-mes.iid, lalu bercerita macam-macam ceritera, termasuk kisah yang ada
dalam al-Quran itu, maksudnya ialah untuk memberikan pengajaran-pengajaran, sebagai tabligh-tabligh di zaman kita sekarang ini. Supaya ceritera itu
lebih enak didengar, lebih menarik hati, banyaklah ditambahibumbu-bumbu
yang tidak asli, terutama dari ceritera-ceritera Israiliyat tersebut. Pada waktu itusahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang masih hidup menunjukkan kurang suka
kepada cara yang demikian. Setelah Saiyidina Ali menjadi Khalifah yang
keempat, satu kali beliau masuk ke dalam mesjid dan dia turut mendengar
tukang-tukang ceritera itu. Dengan tegas mulai waktu itu beliau larang, dan
beliau beri peringatan bahwa barangsiapa yang hendak memakaijuga memberi
tabligh cara berkisah itu, hendaklah menurut yang tersebut dalam al-Quran
saja, jangan dilebih-lebihi. Yang beliau suruh meneruskan mengajar atau
bertabligh didalam mesjid itu hanya seorang saja, yaitu Imam Hasan al-Bishri
yang terkenal, sebab kalau beliau berkisah, tidaklah melebih-lebihi, sehingga
maksud kisah sebagai da'wah tidak bertukar menjadi semacam dongengdongeng. Bahkan Saiyidina Ali turut pula mendengarkannya sebentar tanda
sukanya, lalu keluar.
Kemudian datanglah Zaman Tab'in. Kalau mengenai hukum-hukum halal
dan haram, sebagian besar mereka tetaplah menuruti saja garis guru mereka,
yaitu sahabat-sahabat Rasulullah. Tetapidalam ayat-ayat yang mengenai ilmu
alam tadi, dan mengenai kisah-kisah ummat Yahudi dan Nasrani, atau sengaja
diambil oleh penafsir sendiri, ceritera-ceritera yang tidak masuk akal atau
dongeng-dongeng. Waktu itulah masuk menyelundup misalnya hikayat bahwa
bumi kita ini terletak di atas tanduk lembu, dan kalau lembu itu bergerak
terjadilah gempa bumi
Bertambair jauh dari zaman Rasul dan
Islam dari ilmu pengetahuan, bertambah
macam ini.
Israiliyat itu dapat kita bagi tiga:
Pertama yang sesuai dengan kebenaran, yang ada persetujuannya dengan
al-Quran, sebab ada riwayatnya yang shahih dari Nabi s.a.w. Yang semacam itu
tentu tidak ditolak. Meskipun kita sadar bahwa bukanlah al-Quran yang
dikuatkan oleh ceritera itu melainkan ceritera itulah yang menjadi ada nilainya
sebab ada kesaksiannya dari al-Quran.
Kedua ialah ceritera-ceritera yang terang dustanya, yang berlawanan
dengan riwayat yang shahih dan yang ma'tsur dari Nabi s.a.w. atau berlawan
dengan maksud ayat, atau tidak sesuai dengan dasar ajaran Islam; seumpamanya ceritera Gharaniq yang terkenal, yang terdapat riwayat bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. telah berdamai dengan kaum Quraisy, sebab beliau telah
sudi mengakui berhala Gharaniq.*
Ketiga ialah yang tidak membawa persoalan baru, tidak bertentangan
dengan al-Quran, dan tidak pula membenarkannya, dan kedatangan riwayat itu
tidak membawa faedah bagi agama dan kalau ditinggalkan tidak pula merugikan. Yang semacam ini menurut lbnu Taimiyah tidaklah kita benarkan dan
tidak pula kita dustakan. Lain daripada itu riwayat-riwayat semacam inikadangkadang ahlul-kitab sendiripun berselisih di dalam membawakan riwayatnya.
Misalnya perselisihan ceritera ahlul-kitab tentang beberapa orangkah banyak-
nya pemuda-pemuda yang tidur di dalam Gua (ash-habul kahfi); setengah
mengatakan hanya bertiga, empat dengan anjingnya. Setengah mengatakan
berlima, enam dengan anjingnya (al-Kahfi ayat 22). Sampai juga pertikaian
mereka tentang warna anjing itu. Dan banyak juga Israiliyat tentang tongkat itu
bercabang dua. Bahkan ada pula riwayat bahwa tongkat itu ada beberapa
tulisan beberapa rajah "isim" dan beberapa huruf, yang disuntingkan pula oleh
al-Buni di dalam kitab "perdukunan"nya yang terkenal bernama Syomsul
Ma'arif al-Kubro.
Tafsir kita ini ditulis di zaman moden, di zaman ahli-ahli agama yang
berpengetahuan luas telah bertemu dengan ahli-ahli pengetahuan yang mendapat pendidikan moden. Maka kalau tafsir inidicampur-aduk dengan Israiliyat,
niscaya tidaklah ada akan harganya buat menjadi da'wah kepada orang yang
hendak langsung mengetahui isial-Quran. lsrailiyat itu adalah sebagaidinding
yang menghambat orang dari kebenaran al-Quran. Kalau di dalam tafsir ini ada
kita bawakan riwayat-riwayat Israiliyat itu, lain tidak ialah buat peringatan saja.
Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penafsiran, mengenai
empat bidang dari isi al-Quran yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran pertama
hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah s.a.w. Kedua daripenafsiran
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. dan ketiga dari penafsiran Tabi'in.
Bolehkah kita menambah pula?
Tadi sudah dikatakan panjang lebar, bahwa mengenai halal haram, cara
ibadat, nikah-talak-rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak
boleh menambah tafsir lain. Sebab tafsiran yang lain bisa membawa bid'ah
dalam agama. Tetapi dalam halyang lain-lain terdapat pula perlainan pendapat
Ulama. Imam Taqiyuddin lbnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkan alQuran dengan ra'yi(pendapat sendiri), dengan tidak berdasar darisumber yang
telah ditentukan itu adalah haram.
Di dalam kitab Tuh/otun-Nazhzhor pengembara lslam yang terkenal di
abad keempatbelas, yaitu lbnu Bathuthah mengatakan bahwa dia mendengar
berita yang dapat dipercaya, bahwa Imam lbnu Taimiyah itu selama dalam
penjara telah menulis Tafsir al-Quran, tebalnya 45 jilid. Rupanya naskah itu
telah hilang atau belum bertemu sampai sekarang, sehingga tafsir lbnu Taimiyah yang bertemu sekarang hanya Tafsir Surat an-Nur dan beberapa naskah
lain yang jauh daripada lengkap untuk dikatakan 45 jilid. Maka didalam tafsir
Ibnu Taimiyah yang ada itu kita melihat bagaimana cara beliau menafsirkan,
sehingga tersunyi daripada apa yang beliau beri nama ra'yi.
Mula-mula sekali beliau menafsirkan al-Quran ialah dengan al-Quran sen'
diri. Kalau kita ragu memahamkan suatu ayat, hendaklah sambungkan fahamnya dengan ayat yang lain. Sebab hal yang kurang nyata di satu ayat, akan ada
kenyataannya di ayat yang lain. Misalnya diSurat Thaha kita baca bahwa Nabi
Musa merasa takut melihat tali-tali dan tongkat tukang sihir telah menyerupai
ular yang hendak menggigit (lihat Surat Thaha ayat 57). Kalau ayat itu saja yang
kita baca tentu kesan yang pertama timbul dalam hati kita ialah bahwa Nabi
Musa penakut. Maka untuk menghilangkan keraguan karena hanya membaca
satu ayat dalam Surat Thaha, hendaklah kita baca ayat 116Surat al'A'raf. Disana dikatakan bahwa orang banyak yang menonton telah dipertakut-takuti
oleh penipuan ahli-ahli sihir itu, yang hebat sunglapnya, sehingga tongkat.
tongkat dan tali-tali menyerupai ular. Dengan membaca ayat 116 surat al-A'raf
ini mengertilah kita bahwa bukanlah Musa takut kepada tongkat-tongkat dan
tali-tali tukang sihir yang telah disunglap itu, melainkan takut orang banyak yang
bodoh-bodoh, terutama Bani lsrail yang beliau pimpin akan tergoncang imannya kalau tidak lekas-lekas Tuhan Allah menunjukkan kuatkuasaNya dengan
mu'jizat.
Ada lagi beberapa contoh yang lain, menunjukkan bahwa satu ayat hendaklah ditafsirkan dengan ayat yang lain. Di sinilah terasa betapa pentingnya
selalu membac-a al-Quran, sedapat-dapatnya hafal al-Quran sehingga tahu
memasangkan di antara satu ayat dengan ayat yang lain, ayat yang kurang jelas,
akan dijelaskan oleh ayat yang lain. Ayat yang mujmal (secara umum) dimufashalkan (diperincikan) oleh ayat yang lain pula.
Kalau tidak dapat lagiayat ditafsirkan dengan ayat, barulah beliau pindah
kepada Sunnah Nabi. Sebab Nabi sendiripun pernah mengatakan:
"Ketahuilah olehmu, sesungguhnya aku telah diberi ilmu al-Kitab, dan
seumpamanya itu pula sertanya!"
Artinya bahwa NabiMuhammad s.a.w. telah diberiTuhan ilmu-ilmu yang
berkenaan dengan al-Kitab, yaitu al-Quran, dan bersama dengan ilmu al-Quran
itu diturunkan Tuhan pula tafsirnya dengan Sunnah beliau.
Kalau saMa Nabi tidak pula bertemu yang mengenai itu, beliau tiliklah kata
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Sebab riwayat-riwayat darisahabat-sahabat
itu diterimanya dan disaksikannya dariNabi. Ibnu Mas'ud pernah mengatakan:
"Demi Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Tidaklah diturunkan suatu
ayatpun daripada Kitab Allah, melainkan sayalah yang tahu kepada siapa dia
diturunkan dan dimana dia diturunkan. Dan kalau aku mengetahui ada se.
seorang yang lebih tahu daripadaku tentang Kitab Allah, betapapun jauh
tempat kediamannya, asal masih dapat dicapai dengan kenderaan, niscaya
kudatangi dia."
Dan Nabi s.a.w. pun pernah mendoakan agar Abdullah bin Abbas diberi
petunjuk oleh Tuhan: "Ya Allah, berilah kiranya dia faham yang dalam tentang
agama dan berilah dia pengetahuan tentang ta'wil."
Arti ta'wil hampir sama dengan tafsir.
Kalau beliau
-
lbnu Taimiyah
-
tidak mendapat lagi bahan tafsir darikata.
kata sahabat Rasulullah, beliaupun pindah kepada pendapat Tabi'in. Tetapidi
sini beliau lakukan saringan lebih keras. Yaitu beliau ambil mana yang ijma'di
antara mereka. Kalau ada satu pendapat yang mereka perselisihkan, beliau
pilihlah pendapat yang lebih dekat kepada bahasa al-Quran (loghat) dan
pengetahuan tentang Sunnah (llmu Sunnah).
Dengan pendirian dan cara demikian beliau mempunyaikeyakinan bahwa
tidak ada satu ayatpun daripada ayat yang 6,236 itu yang tidak dapat ditafsirkan.
Beliau dan orang-orang yang sefaham dengan dia tetap berpendirian bahwa
penafsiran dl-Quran tidak boleh dicampuri dengan pendapat sendiri.
Tetapi ada lagi pendapat yang kedua, yang dipelopori oleh alJmam Jarullah
az-Zamakhsyari dan disokong oleh beberapa ahli tafsir yang lain, bahwa
menafsirkan al-Quran pendapat sendiriyang sihat tidak ada salahnya. Malahan
yang dernikian tidak bisa dielakkan. Sebab bila orang merenung-renung tiap
tiap ayat, menurut peredaran waktu dan tempat, orang selalu akan berjumpa
makna yang baru. Orang selalu akan mendapat ilham, yang di dalam tafsir-tafsir
yang terdahulu tidak ditemui.
Dasar pendirian inipernah diuraikan pula oleh Imam Ghazalidalam lhyoo'
Ulumiddin demikian:
Di dalam al-Quran terdapat segala ilmu agama. Yangsetengah diterangkan
secara langsung dan setengahnya lagi cukup dengan isyarat saja. Setengah
dengan ijmal dan setengah lagi dengan tafshil. Semuanya itu hanya akan didapat
dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidik. Tidak cukup
dengan hanya menilik zahir ayat, bahkan tidak pula cukup dengan hanya
penggantungan harapan kepada pendapat Salaf. Bahkan dia meminta renungan yang mendalam dan kesanggupan mengeluarkan butir-butir makna yang
tersimpan di dalamnya, laksana mutiara yang tersimpan di dalam kulit giwang di
dasar laut, yang tidak bertentangan dengan pokok dasar. AMullah bin Mas'ud
pemah berkata: "Barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu orangpurbakala dan
ilmu orang yang datang kemudian, hendaklah merenungkan al-Quran.". Keinginan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada perenungan sendiri.
Dan lagi di dalam al-Quran itulah yang selengkap-lengkapnya diterangkan
sifat-sifat dan nama-nama Allah (al-Asma-ul Husna) dan diterangkan iuga
perbuatanNya dan zatNya yang suci. Di dalam kehidupan Tauhid, akal manusia
tidak cukup hanya membaca yang tertulis. Dia menghendakipemahamanyang
mendalam.
Nabi s.a.w. pernah bersaMa:
"Barangsiapa yang memahamkan al-Quran, dia dapat mentafsirkan sejumlah besar ilmu."
Selain dari itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 296 Tuhan memfirmankan
bahwa Dia akan mengurniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki.
Dan orang yang telah diberikurnia hikmah itu samalah artinya dengan mendapat anugerah yang sangat banyak sekali. Hikmah diartikan orang juga kebijaksanaan, diartikan orang juga filsafat, diartikan orang j