prahara 1965 4
By tuna at November 29, 2023
prahara 1965 4
Budaya, Universitas Sanata Dharma, keraton yogya . Wawancara dilakukan
di rumah Suherjanto, di Kotagede, keraton yogya , pada tanggal 3 September
2009.
***
NAMA saya Suherjanto.35 Saya lahir pada tanggal 26 Desember 1937.
Saya memiliki anak 6 orang. Semuanya laki-laki dan semuanya sudah
berkeluarga. Pendidikan terakhir saya di seni rupa. Dulu saya studi banding
di Akademi Seni Rupa. Saya menikah tahun 1964. Pada tahun 1965
anak pertama lahir. Waktu terjadi Peristiwa G30S/1965 umur anak
pertama saya baru 3 bulan.
Pada tahun 1965 itu saya bekerja membantu di bagian Pusat
Kesehatan Umat (PKU). Saya membantu pengurus PKU. PKU itu
istilah untuk pelayanan kesehatan. Saya banyak berkiprah di bidang
kesehatan dan pendidikan.
Saya lahir dari keluarga yang aktif dalam gerakan gerakan Muhammadiyah.
Sejak kecil saya sudah menjadi anggota Hizbullah.36 Hanya saja, pada
tahun 1965 itu saya tidak terlalu aktif dalam gerakan gerakan -gerakan gerakan untuk
menanggapi G30S, karena saya baru saja memiliki anak pertama yang
baru berumur tiga bulan itu tadi. Jadi saya lebih banyak berada di
rumah.
Waktu Peristiwa G30S/1965 terjadi saya berpikir, jangan sampai
rumah kosong. Orang tua, bapak, ibu, kemudian kakak-kakak laki-laki
saya, juga Pak Asnawi dan Pak Basori, nah mereka itulah yang justru
aktif ikut gerakan gerakan -gerakan gerakan menanggapi Peristiwa G30S. Waktu itu
Muhammadiyah kan jelas punya tenaga-tenaga ataupun kader-kader
tertentu. Tokoh-tokohnya aktif sekali dalam hal ini.
Meningkatkan Kewaspadaan
Pada tahun 1948, saat terjadi peristiwa pemberontakan di Madiun,
di Kotagede [ keraton yogya ] sendiri ada gerakan gerakan dari Muhammadiyah
yang dikhususkan untuk “tanggap bencana”. Pada tahun 1948 itu
saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar [SD] sehingga
saya kurang tahu persis tentang apa yang sebenarnya terjadi. Akan
tetapi secara resmi, Hizbullah itu bersikap anti terhadap gerakan gerakan
Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan Muso [PKI -Muso].
Waktu itu, Hizbullah sudah giat sekali. Adapun kegiatan yang
dilakukan Hizbullah waktu itu adalah mengadakan pertemuanpertemuan, pengajian, dan sebagainya. Semuanya dilakukan dalam
rangka membantu menggencarkan semangat perlawanan umat Islam
di Madiun sana. Melalui pengajian-pengajian, khotbah-khotbah di
masjid dan sebagainya diinformasikan bahwa di sana [di Madiun]
ada gerakan gerakan -gerakan gerakan yang dilakukan pihak Komunis.
Sebelum tahun 1965 memang sering terjadi pergesekan
antara orang-orang Muhammadiyah dengan orang-orang PKI .
Pergesekan terutama dilakukan para pemuda. Dari pihak PKI , para
pemudanya direpresentasikan oleh Pemuda Rakyat, sedangkan dari
Muhammadiyah diwakili oleh Pemuda Muhammadiyah. Seringkali
dalam kegiatan-kegiatan pemuda yang menyangkut kegiatan
masyarakat seperti peringatan hari besar, baik hari raya Islam maupun
hari nasional, terjadi semacam persaingan. Pihak Pemuda Rakyat
sering menyaingi atau membuat hal-hal yang dimaksudkan untuk
mengganggu atau menggagalkan kegiatan yang sedang dilakukan oleh
Pemuda Muhammadiyah. Hal-hal seperti ini terasa sekali waktu itu.
Aktivitas yang dimaksudkan untuk mengganggu itu biasanya
tidak agresif. Tidak ada aksi penyerangan atau apa. Hanya mengganggu
saja, atau menakut-nakuti kelompok pengajian. Hanya seperti itu.
Misalnya orang-orang yang mau datang ke pengajian dicegat supaya
tidak jadi ikut. Jadi gangguannya ya cuma dengan menakut-nakuti
dan mencegat orang-orang. Ah, sebetulnya ya tidak mencegat juga.
Cuma melakukan gerakan gerakan -gerakan gerakan tertentu yang menyebabkan orang
jadi takut. Memang kalau tidak salah, waktu itu pernah ada bentrokan
antar pemuda, ada perkelahian atau kontak fi sik, dan memang ada
yang terluka, tapi tidak apa-apa. Tidak besar. Cuma lokal dan biasa
saja.
Sekali lagi, meskipun secara psikologis ada persaingan antara
kelompok Pemuda Rakyat dan kelompok Pemuda Muhammadiyah,
tetapi tidak pernah terjadi bentrokan fi sik atau tindakan kekerasan.
Pihak Islam sendiri itu tidak pernah membuat gerakan gerakan -gerakan gerakan yang
sifatnya agresif. Mereka tetap mau bersikap menghormati. Yang
penting menjaga agar jangan sampai umat Islam terganggu dan jangan
mengganggu. Maksudnya supaya tidak terjadi konfl ik.
Waktu itu yang dilakukan oleh pihak Islam atau Muhammadiyah
hanyalah meningkatkan kewaspadaan dan selalu mengamati
gerakan gerakan -gerakan gerakan mereka [maksudnya pihak PKI , ed.]. Misalnya
kalau mengadakan suatu kegiatan selalu melakukan koordinasi.
Selain itu pihak Islam juga sering menggaji atau membayar orang
untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pihak sana [pihak PKI ],
supaya tahu apa yang sedang mereka lakukan dan apa yang perlu
diwaspadai.
Tidak Bisa Menerima
Suatu saat saya mendengar langsung dari sebuah siaran, tapi saya
kurang tahu itu siaran dari siapa. Menurut siaran itu, PKI akan
melakukan kudeta dan bermaksud mengganti pemerintah. Oleh
karena itu, masyarakat perlu waspada. Masyarakat perlu menjaga
rumah masing-masing. Apalagi waktu itu beredar kabar bahwa telah
diketemukan dokumen berisi catatan nama tokoh-tokoh di Kotagede
yang akan menjadi sasaran pembantaian oleh PKI . Berdasarkan berita
seperti itu kita lalu memberi tahu, bahwa si “Anu” itu anaknya tokoh
PKI , atau keluarganya ada sangkut- pautnya, dan sebagainya, sehingga
kita perlu mewaspadai me reka dan sebagainya.
Informasi mengenai kudeta seperti itu kebanyakan didapat melalui
radio. Semula melalui radio kita menerima berita dari pusat bahwa
ada kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal dan sebagainya. Tapi
beritanya simpang-siur. Mendengar berbagai informasi seperti itu
semula kita bingung juga. Ini yang bener yang mana? Yang diberitakan
pertama kali itu adalah bahwa kudeta itu dilakukan oleh Dewan
Jenderal. Tapi saya mendengar informasi yang menegaskan bahwa
Letnan Kolonel Untunglah yang melakukan kudeta. Informasi lain
belum ada. Apalagi waktu itu tampaknya Bung Karno bagaimana ya,
nggak ada suaranya. Nggak ada apa ya, nggak ada pernyataan bagaimana
dan sebagainya. Waktu itu yang saya dengar ya hanya bahwa kudeta
itu dilakukan oleh Untung. Lalu ada juga tokoh-tokoh PKI .
Ya, baru sesudah ada kejelasan bahwa PKI yang melakukan
kudeta, masyarakat di sini semakin menyiapkan diri. Kan, Kotagede
termasuk salah satu pusat untuk training Pemuda Rakyat. Lokasinya
di sebelah timur Jalan Kemasan. Wow, itu dulu itu wilayah “merah”.
Tapi alhamdulillah sesudah jelas terungkap bahwa kegiatan itu [kudeta]
dilakukan oleh PKI dan antek-anteknya, kita lalu menyiapkan diri
untuk menghadapi wilayah itu. Kemudian sesudah ada koordinasi dan
macam-macam, ada informasi yang sudah jelas dan sebagainya, lalu
kita lantas mulai membantu aparat pemerintah, yang waktu itu berarti
pihak militer. Mulailah ada pencidukan orang-orang “merah” itu.
Yang diciduk waktu itu laki-laki maupun perempuan lesbian . Semua.
Yang PKI , yang Gerwani, yang Pemuda Rakyat, semua diciduk. Ada
yang laki-laki, ada yang perempuan lesbian . Pokoknya aktivis yang selama
pra- Gestapu itu tampak aktif, semua itu didaftar [untuk kemudian
diciduk, ed.]. Mereka itu kami ketahui dari peristiwa-peristiwa persaingan atau pergesekan yang terjadi sebelum Peristiwa G30S. Dari
situ kami ketahui siapa tokoh-tokohnya dan sebagainya.
Dari Muhammadiyah sendiri memang tidak ada semacam surat
resmi yang menolak keberadaan PKI . Tapi jelas bahwa semuanya ya
terutama masyarakat Islam di Kotagede yang mayoritas Muhammadiyah
tidak bisa menerima [keberadaan PKI ]. Tapi tampaknya kok nggak
ada [surat resmi macam itu]. Atau mungkin karena saya tidak tahu.
Yang jelas, entah ada surat resmi atau tidak, dalam Muhammadiyah
sendiri kerja samanya bagus dalam upaya menanggulangi ataupun
menanggapi dan melawan gerakan gerakan G30S.
Bisa Saja Diterapkan
Penangkapan para tokoh PKI , Gerwani, dan Pemuda Rakyat di
Kotagede banyak dilakukan oleh aparat keamanan. Di antara tokohtokoh itu banyak yang juga berasal dari Kotagede sendiri, yang sesudah
ditangkap juga dibuang sampai ke Pulau Buru. Tapi alhamdulillah,
sesudah para tokohnya ditangkap, mereka yang tersisa dan tinggal di
Kotagede bisa dikatakan sudah tidak berdaya lagi ‘kan? Banyak di
antara mereka yang bisa menerima ajakan-ajakan untuk kembali ke
ajaran Islam.
Mereka yang pada waktu peristiwa itu terjadi masih kecil, baru
lahir, atau masih dalam kandungan, dan sebagainya tentu tidak tahumenahu mengenai apa yang terjadi. Oleh karena itu kalau mereka ini
sampai ikut-ikutan dikurangi hak-haknya, kok menurut saya kurang
pas.
Akan tetapi mereka yang waktu itu sudah cukup dewasa atau
barangkali sudah remaja muda pasti tahu apa yang terjadi. Oleh karena itu
saya pikir kebijakan untuk membubuhkan tanda “ ET” atau “eks tapol”
pada KTP orang-orang PKI itu bisa saja diterapkan karena memang
semua itu masih dalam rangka mewaspadai jangan sampai timbul lagi
peristiwa serupa untuk yang kedua kalinya.
Tetapi kalau hal itu dilakukan terus sampai ke anak-cucu
mereka, artinya disamaratakan, itu namanya sudah kurang tepat.
Kalau akhirnya kebijakan seperti itu dicabut saya pikir itu tepat. Tapi
kewaspadaan harus tetap ditanamkan. Meskipun hak-haknya sudah
dikembalikan, mereka ini perlu diberi surat pernyataan, misalnya
surat pernyataan bebas G30S, supaya kalau ada keraguan bisa diatasi.
Cara yang Damai
Kalau menurut pendapat saya, sekarang ini masanya sudah berbeda
dengan dulu. Sekarang ini kalau seseorang mengikuti suatu paham
tertentu atau menjadi anggota atau ikut serta dalam kelompok
tertentu, semuanya sudah dilakukan dengan kesadaran.
Oleh karena itu, sebaiknya kalau seseorang mau mengikuti suatu
organisasi pergerakan gerakan , dia harus paham betul tentang organisasi pergerakan gerakan yang akan ia ikuti.
Kalau mau mengikuti Islam ya harus jelas Islam yang bagaimana. Kan
ternyata Islam juga ada bermacam-macam. Kan ada yang menganut
aliran keras, yang langkah-langkah dan tindakannya seringkali justru
tidak sesuai dengan petunjuk Islam yang damai, yang lembut, yang
ramah, dan yang penuh kasih sayang. Nah, kalau saya mau mengikuti
paham tertentu ya harus paham betul mengenai paham itu. Bukan
sekadar karena paham itu baru terkenal atau baru nge-trend. Jangan
sampai kita mengikuti suatu kelompok tanpa mengetahui apa
misi dan visinya. Kalau Muhammadiyah kan jelas. Itu organisasi pergerakan gerakan
masyarakat yang bukan politik. Cara mengajak seseorang supaya ikut
atau dakwahnya supaya mengikuti agama dilakukan dengan cara yang
lembut.
Dengan demikian, kalau seseorang memilih untuk ikut
Muhammadiyah tampaknya dia tidak akan terpengaruh menjadi
orang yang keras. Cara Muhammadiyah memperjuangkan agama
itu cara yang damai, cara yang bisa diterima, sebab pedomannya
amar ma’ruf, nahi mungkar. Jadi amar ma’rufnya yang didahulukan,
yakni mengajaknya lebih dulu, dan bukan nahi mungkar-nya, yakni
menghabiskan kemungkaran-kemungkaran dengan keras. Pertamatama diberikan penjelasan dulu. Kalau sudah diberikan penjelasan
belum berhasil dan sebagainya, barulah kalau memang perlu ada
kekerasan-kekerasan. Tapi kekerasan yang tidak menimbulkan ma
salah.
Saat ini masih ada orang-orang “merah”, yakni bekas-bekas PKI ,
yang masih hidup di lingkungan Ledok [ Kotagede]. Sekarang masih.
Tapi saya tidak hafal persis nama-namanya. Ada orang-orang tamatan
guru, yang dulu ditahan dan sesudah bebas ditugaskan kembali di sini
dan berbaur lagi dengan masyarakat. Ya, kita bisa menerima orangorang seperti itu, asal dalam masyarakat, mereka menunjukkan sikap
yang baik. Biasanya kalau yang dulunya guru itu sesudah bebas ada
yang terus menjadi orang yang punya keahlian pijat dan sebagainya.
Mereka di sini lalu buka layanan pemijatan, dan sebagainya. Ya,
mereka itu kita terima.
Tokoh-tokoh yang melakukan pendekatan kepada orangorang eks-PKI supaya menjadi lebih baik adalah mereka yang pada
tahun ’65 sudah aktif di Muhammadiyah dalam menyelenggarakan
pengajian atau khotbah. Yang mengajak mereka adalah dari pimpinan
Muhammadiyah dan pokoknya dari orang-orang Muhammadiyah yang
waktu itu sudah bergerak gerak di bidang dakwah. Kini mereka mengajak
eks-PKI untuk bisa bergabung dan kita juga tidak menganggap mereka
itu musuh. Kami tidak menganggap bahwa semua yang PKI harus
dimusuhi. Tidak. Tokoh-tokohnya saja yang kita anu-kan, tapi kalau
yang lain, ya kalau bisa ya kita ajak. Kalau memang yang nggak mau
dan sebagainya, kita awasi saja. Kalau mereka itu aktif ya kita laporkan.
Lalu mereka ditangani oleh aparat, sehingga akhirnya banyak yang
mau ikut ke masjid, ikut shalat-shalat...
Kelompok perempuan lesbian Muhammadiyah atau Aisyiah juga aktif
mengajak eks-PKI [perempuan lesbian ] supaya masuk Islam. Semuanya
diberi petunjuk. Pokoknya mereka itu kalau mungkin kita ajak. Tapi
kalau memang ada yang sikapnya masih memusuhi, atau pun masih
berkeras, biasanya dikoordinasikan dengan aparat pemerintah, supaya
jangan sampai mereka yang masih berpegang pada idealisme PKI -nya
tetap dibiarkan.
saat orang-orang “merah” [eks- Tapol] itu diajak supaya masuk
ke Islam ada yang menolak, meskipun yang mau menerima juga
banyak. Yang mau menerima dan ikut ada, tapi yang masih belum
ikut atau belum mau mengikuti ada juga. Macam-macam. Tapi kebanyakan dari mereka yang asalnya adalah keluarga Muslim biasanya
mudah diajak kembali. Tapi kalau yang semula asalnya bukan keluarga
Muslim belum tentu terus mau.
Cara kita mengajak itu seringkali justru tidak formal, melainkan
personal. Seperti yang pernah saya katakan, ada orang “merah” yang
mempunyai seorang anggota keluarga yang Muslim. Nah, melalui
pendekatan-pendekatan personal akhirnya tertarik dan menikah
dengan seorang Muslim. Seperti itu ada. Ada juga orang yang ber
aliran “merah” yang kemudian besanan dengan keluarga Muslim, dan
sebagainya.
Pendekatan formal justru tidak ada. Biasanya mereka diajak
untuk mengikuti suatu pertemuan. Jika mereka ikut, mereka kita
sambut dengan ramah. Tidak usah disinggung-singgung latar belakang
politiknya. Apalagi soal apakah dia eks- Tapol atau bukan. Kalau
mereka ini sudah ikut bergabung, ya harus disambut dengan baik.
Jadi cara yang dipakai adalah cara kekeluargaan.
BAGIAN berikut adalah penulisan kembali atas narasi mengenai
Tragedi ‘65 dari kacamata seorang mantan pejuang Kemerdekaan
Republik Indonesia yang sekaligus pemimpin gerakan gerakan Petani. Namanya
kita sebut saja Samsul Ahmad. Samsul adalah seorang pejuang yang
gigih sejak masa mudanya, dan di masa tuanya secara konsisten membela
kepentingan rakyat di lapisan bawah, khususnya kaum tani. Ia pernah
menjadi Sekretaris Umum organisasi pergerakan gerakan petani Serikat Kaum Tani Indonesia
( SAKTI) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
( MPRS). Ironisnya, justru karena pembelaanya itu ia ditangkap,
dipenjara, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru.
Bagi Samsul, apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, yakni
penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal di Jakarta, berada
di luar pengetahuan dan pemahamannya. Waktu itu ia sedang berada
di Bandung, dan saat mendengar tentang itu, ia segera bergegas ke
Jakarta. Sebagai anggota Badan Pemimpin MPRS dan merasa tidak
melakukan kesalahan apa pun, ia langsung menuju ke gedung MPRS
untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sayang sekali di sana, ia tidak
berhasil menemui siapa pun.
Tak lama kemudian, karena dikhianati oleh orang yang dikenalnya,
Samsul ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Di situ, ia segera
diinterogasi. Katanya,“Saya dimintai keterangan atas berbagai aktivitas
politik yang saya lakukan. Tentu saja proses interogasi ini luar biasa-lah.
Saya dibentak, dihardik, dimaki, dan sebagainya.” Seakan tak seorang
pun peduli bahwa seumur hidupnya Samsul adalah pejuang Kemerdekaan
RI yang kemudian mati-matian membela kaum tani. Konon setiap selesai
interogasi ia selalu harus digotong ke luar ruangan. “Tentu saja, karena
kan tidak kuat menghadapi siksaan,” katanya. Ia melanjutkan, “Kalau
perkara disiksa rasanya tidak ada akhirnya. Saya selalu bertanya dalam
hati, kapan gua [saya] mati?”
Selanjutnya Samsul ditahan di penjara Kebon Waru, untuk
kemudian dipindahkan ke penjara Nusa Kambangan, dan akhirnya
dibuang di Pulau Buru.”Saya berada dalam tahanan Orde Baru kirakira hampir 15 tahun,” tutur Samsul.
Terhadap apa yang ia alami berkaitan dengan Tragedi ’65 itu
Samsul tidak merasa dendam. Meskipun telah mempertaruhkan hidup
dan nyawanya untuk kemerdekaan bangsanya tetapi lalu dikhianati,
ia bahkan tak ingin melihat masalah ini sebagai masalah pribadi. “Ini
bukan problem pribadi saya. Ini problem kita sebagai bangsa,” ungkapnya.
Ia bahkan menghimbau supaya kita berlaku adil terhadap para pelaku
ketidakadilan di seputar Tragedi 1965. Rasa dendam harus dijauhkan.
Tujuannya adalah supaya semakin jelas bangsa ini melangkah menuju ke
rekonsiliasi. Itulah Samsul Ahmad.
Narasi yang akan segera Anda tekuni ini merupakan hasil
rekonstruksi yang dilakukan oleh anggota Komisi Sejarah PUSdEP Tri
Chandra Aprianto atas beberapa wawancara dengan Samsul Ahmad.
Selain itu, diintegrasikan pula surat-surat yang telah dikirimkan Samsul
kepada Chandra, maupun dokumentasi ceramah-ceramah, tulisan-
tulisan, puisi-puisi, serta hasil wawancara orang lain dengan Samsul
Ahmad. Tri Chandra Aprianto adalah dosen Sejarah di Universitas
Negeri Jember, kota Jember, Jawa Timur. Kini ia sedang menempuh studi
S3 di Universitas Indonesia, Jakarta.
Sayang sekali bahwa saat proses menarasikan ingatan ini sedang
berlangsung—sementara banyak hal penting belum sempat terungkap—
tiba-tiba Samsul dipanggil menghadap Pencipta pada tanggal 26 Mei
2009.
***
SAYA lahir pada tahun 1926 dari keluarga yang memiliki tradisi
dagang di Ranah Minang, Sumatera Barat. Semasa muda, aktivitas
saya lebih banyak berada di wilayah pertempuran. Sebabnya saya ini
kan dulu seorang tentara. Akan tetapi yang dimaksud dengan tentara
di sini bukanlah tentara dalam arti tentara yang berangkat dari Barisan
Keamanan Rakyat [ BKR], yang kemudian menjadi Tentara Republik
Indonesia [ TRI], dan yang akhirnya menjadi Tentara Nasional
Indonesia [ TNI]. Bersama teman-teman, saya bergabung dengan
sebuah laskar rakyat yang cita-citanya adalah mempertahankan
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945. Laskar
ini lebih dikenal dengan “Laskar Rakyat Jakarta Raya” yang para
pendirinya adalah Chaerul Saleh, Nandar, Darwis, Johar Nur, Hasnan,
Wahidin, Armansyah Hasan Dayuh, dan lain-lain. Kelompok muda
ini juga ikut membidani lahirnya Proklamasi.51 Aktivitas mereka
mendapat semangat dari zamannya.
Begitu Luar Biasa
Tahun 1926 dikenal sebagai tahun terjadinya pemberontakan kaum
komunis terhadap pemerintah kolonial, sebuah pemberontakan yang
sangat tidak matang diperhitungkan oleh para pelakunya. Tahuntahun itu juga diwarnai oleh hadirnya pergerakan gerakan kaum muda
terpelajar.52 Walaupun kehadiran mereka merupakan akibat dari adanya
Politik Etis pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernuansa
diskriminatif itu, namun kehadiran itu juga disertai nalar pikir yang
berisi kesadaran akan pergerakan gerakan menuju kemerdekaan. 53 Mereka itu
misalnya, Ki Hajar Dewantara, Ibrahim yang dikenal dengan nama
Tan Malaka, Maroeto Nitimihardjo, Soetomo, Semaun, Musso, HOS
Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Samsi, Sukarno, Syahrir, Hatta, Amir
Syarifuddin, Achmad Kapau Gani, Mohamad Yamin, dan banyak
lagi. Pada tahun-tahun itu hadir pula tokoh dari kaum muda yang
nantinya mendesakkan Proklamasi 1945 seperti Soekarni, Chaerul
Saleh, Djohar Nur, Hasnan, Samsuddin, Sidik Kertapati, Ibnu Parna,
Samsu Haryaudaya, Legiman Haryono, Bahar Razak, Winaye, dan
lainnya. Mereka semua mengenyam pendidikan kolonial. Bolehlah
mereka disebut sebagai “disiden” di mata [pemerintah] kolonial
Belanda.54
Awal abad ke-20 merupakan periode yang revolusioner dalam
sejarah Indonesia. Kala itu semua pikiran dan energi masyarakat
Indonesia tergiring mengikuti arus Revolusi. Kaum pemuda terpelajar
Indonesia saat itu semakin revolusioner. Dan hal itu tertransformasi ke
kaum muda lainnya dengan sangat cepat. Pada periode paruh pertama
1940-an, dalam usia yang relatif muda55 dan nyaris tanpa disadari,
saya sudah terseret oleh sebuah arus yang penuh pergolakan.
Gara-gara Jepang masuk, saya tidak bisa sekolah lagi. saat
Proklamasi lahir, tanpa ada yang menyuruh, saya langsung “nyebur”
sendiri [ke dalam kancah perjuangan kemerdekaan]. Waktu itu tidak
jelas betul di mana kita berada dan untuk siapa keberadaan kita ini.
Tetapi intinya adalah bahwa di mana pun kita berada dan untuk siapa
pun kita berada, semuanya merupakan hasil ketetapan sendiri. Itu
yang saya alami. Itu pula yang dialami banyak orang lain. Misalnya
saja ada seorang pemudi bernama Kartini dari Bondowoso, Jawa
Timur, yang dalam suatu keadaan darurat diajak mengungsi. Dia
menolak dan lebih memilih untuk bergabung dengan para pemuda
guna berjuang bersama mereka. Sebenarnya proses kesadaran seperti
ini terjadinya berangsur-angsur. Karena tumbuh secara berangsungangsur, orang seperti Kartini tidak akan mundur meskipun harus
menghadapi banyak hambatan. Ini adalah proses. Baja itu ditempa
dengan suhu yang tinggi supaya tidak menjadi besi.56
Saya bergabung dengan sekelompok kaum muda, muda-remaja muda ,
usia dua puluhan tahun. Saya diliputi oleh semangat muda yang
menggelora dan menyala-nyala untuk merdeka dan untuk berjuang
demi kemerdekaan. Saya bergabung dengan “Kelompok Menteng
31” di Jakarta yang di zaman pendudukan fasisme Jepang di tahun
tahun 1942-1943 merupakan semacam ”Sekolah Politik”. Ada yang
diasramakan, ada pula yang tidak. Begitulah, bersama remaja muda lainnya saya mengenal para senior pergerakan gerakan seperti Soekarni, Adam Malik,
Chaerul Saleh, Djohar Nur, Hasnan, dan lain-lain.57
Selanjutnya saya aktif pada Komite Aksi yang diketuai oleh
Chaerul Saleh, yang dalam perjalanannya bermetamorfosa menjadi
Angkatan Muda Indonesia atau API. Selanjutnya sejak bulan
September 1945, API menjelma menjadi Laskar Rakyat Jakarta dan
berkembang menjadi Laskar Jawa Barat. Di situ saya menjadi lebih
aktif. Untuk selanjutnya, saya hidup dalam arus pertempuran seperti
saya katakan tadi.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 saya berada di Jakarta. Tepatnya di
kediaman Bung Karno, Jl Pegangsaan Timur no 56. Selain saya, hadir
pula di situ waktu itu, Bung Hatta dan Soebardjo. Waktu itu saya baru
melihat Bung Karno marah sekali sesudah mendengar desakan Bung
Wik [Wikana] yang diutus oleh para pemuda
Bung Wik mendesak dengan kasar supaya Bung Karno secepatnya
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa harus khawatir
dengan pihak Jepang yang sudah kalah perang itu. Bung Karno dengan
keras menolaknya. Namun demikian, sebagaimana kita tahu, atas
desakan dan paksaan para pemuda akhirnya Proklamasi Kemerdekaan
dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945.58
Peristiwa sejarah ini sangat penting, karena prosesnya begitu
luar biasa. Ada banyak tokoh di sekitarnya. Sepertinya kita selama
ini memperingati Proklamasi nyaris seperti mengadakan ”pesta” saja.
Semuanya ramai dengan berbagai lomba dan hura-hura. Tak ada
uraian bagaimana Proklamasi itu terjadi. Tak disebut-sebut bagaimana
dan siapa para pelakunya. Jika terus begini, bagaimana dan kapan kita
akan mengetahui sejarah kita sendiri secara benar?
Risiko Situasi Revolusi
Saat itu dinamika gerakan gerakan kaum muda terus bergerak gerak maju. Seperti
saya sampaikan tadi, Komite Aksi yang diketuai oleh Chaerul Saleh
menjelma menjadi API. Selanjutnya API beralih menjadi Laskar
Rakyat Jakarta, hingga berujung menjadi TNI Divisi Bambu Runcing
dengan Komandannya, Sutan Akbar dan Wakilnya, Sidik Kertapati.
Perlawanan untuk mewujudkan kedaulatan terus dikobarkan,
kendati pemerintah, sebagai representasi golongan tua, lebih memilih
jalur diplomasi. Bagi kalangan muda jalur diplomasi lebih merupakan
tindakan kompromi terhadap kekuatan kolonial. Padahal saat
itu beredar informasi bahwa pemerintahan sementara Belanda di
Indonesia telah kehabisan dana untuk meneruskan pemerintahannya.
Ditambah lagi mereka tidak mendapat pinjaman lebih lanjut dari
pemerintah Inggris dan Amerika. Akibatnya manakala pemerintahan
kolonial melakukan agresi, yang dituju adalah daerah-daerah yang
memiliki kemampuan untuk quick capital [mendatangkan modal
secara cepat, ed.], yaitu wilayah perkebunan. Politik diplomasi hanya
akan memberi peluang bagi Belanda untuk “menghela nafas”.59
Oleh karena itu, pilihan kami adalah tetap menjalankan
pertempuran tanpa memberi ruang bagi pihak kolonial untuk
menghela nafas barang sedikit pun. Rupanya pihak Pemerintah [RI]
lebih menyetujui ajakan pihak kolonial untuk melakukan perundingan.
Perundingan pertama dikenal dengan istilah Perundingan Linggajati60
yang merujuk pada tempat berlangsungnya perundingan [suatu daerah
dekat Cirebon, Jawa Barat] yang dilaksanakan pada 12 November
1946. Pihak Republik Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sementara
pihak kolonial Belanda diwakili oleh Schermerhorn. Perundingan
Linggajati menghasilkan keputusan bahwa kekuasaan secara de facto
Republik Indonesia hanya berkisar Jawa, Madura, dan Sumatera.
Saya katakan tadi, semangat revolusi mendorong saya untuk
bergabung dengan laskar rakyat. Namun pada tahun 1946, saya
sudah berbeda sikap dengan Pemerintah Republik, yang kala itu
diwakili oleh Syahrir. saat terjadi perundingan Linggajati, kami
menolak hasil dari perundingan itu karena di dalamnya ada kalimat
yang menyatakan bahwa kekuasaan de facto RI hanya meliputi Jawa
dan Sumatera. Kami menentangnya. Dan karena menentang, maka
kami ”dipukul” oleh Pemerintah. Kami dilucuti dan diserbu. Bahkan
Sidik Kertapati terkena tembakan pada pahanya oleh peluru tentara
Indonesia. Saya sendiri menjadi buronan
Selama menjadi buronan, saya mengalami banyak hal termasuk
perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Maklumlah saat itu
situasinya adalah situasi revolusi. Kalau sudah diteriaki sebagai
“pengkhianat” tentu sudah seperti dipotong atau disembelih saja
nasibnya. Waktu itu kalau pada seseorang diketemukan tiga warna
saja [warna merah, putih dan biru, warna bendera Belanda] sudah
pasti orang itu dicap mata-mata musuh. Maka matilah dia. Padahal
belum tentu dia itu mata-mata musuh. Tapi itu adalah risiko hidup
dalam situasi revolusi.
Tindakan Perlawanan
Selain melancarkan aksi perlawanan dalam bentuk fi sik, kami juga
memiliki surat kabar yang terbit dalam bentuk koran dengan nama
Genderang dan majalah dengan nama Godam Djelata.
62 Redaksinya
adalah Armoenanto atau yang biasa disebut “Kerongkongan”.
Sementara itu “Keriting” adalah nama panggilan untuk Sidik Kertapati.
Kalau Haroen Oemar dipanggil ”Bob”, karena mukanya bopeng.
63
Apa yang menjadi kekhawatiran kami terbukti. Pihak Belanda
sudah mulai menunjukkan sikap ingkar terhadap hasil Perjanjian
Linggajati. Sejak sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda mulai
mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan terhadap
Indonesia, dan pada 20 Juli 1947 mereka mengimplementasikan
persiapan itu dengan melakukan tindakan agresi militernya ke wilayah
kedaulatan Indonesia. Persis seperti yang telah kami khawatirkan, yang
diserang adalah wilayah-wilayah yang potensial menghasilkan modal
secara cepat. Salah satunya adalah wilayah-wilayah perkebunan.
Melihat hal itu, para pemimpin kami saat itu ingin berunding
dengan pemerintah guna membantu melakukan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial. Untuk sementara perbedaan pendapat dihindari,
mengingat adanya kesamaan tujuan, yaitu perang melawan pemerintah
kolonial. Inilah yang kemudian menjadikan Laskar Jakarta Rakyat
Raya bergabung dengan TNI. Sejak bergabung dengan TNI, laskar
ini diubah namanya menjadi Divisi Bambu Runcing, yang diketuai
oleh Sutan Akbar dengan Sidik Kertapati sebagai wakilnya.
Terjadilah perundingan di keraton yogya . Saat itu sudah ada TNI.
Saya sendiri berangkat ke keraton yogya bersama Komandan Divisi Sutan
Akbar. Kami naik kereta sampai Gombong, Jawa Tengah, kemudian
turun jalan kaki menuju ke tempat kedudukan Indonesia.
Kemudian saya pindah tugas di Priangan membantu Brigade
Priangan dengan Komandannya Astra Wiguna. Kedudukan kami saat
itu di Cidueng, Tasikmalaya. Sejak saat itu saya dan kawan-kawan
melakukan serangkaian perlawanan dengan strategi gerilya di wilayah
Karesidenan Priangan.
Seiring dengan berlangsungnya penerapan strategi gerilya
ini Pemerintah [RI], karena adanya campur tangan pihak asing,
ternyata mendorong dilangsungkannya perundingan kedua dengan
pihak Belanda. Pada bulan Januari 1948 dilakukanlah perundingan
di atas kapal USS Renville. Pelaksana perundingan dari Indonesia
adalah Perdana Menteri kala itu, yakni Amir Syarifuddin dari Partai
Komunis Indonesia (PKI ). Akibat perjanjian ini TNI diharuskan
meninggalkan kantong-kantong gerilya. Lagi-lagi tindakan ini
memberi ruang keleluasaan pada pihak militer kolonial Belanda.
Peristiwa meninggalkan kantong-kantong gerilya ini dikenal
dengan sebutan peristiwa hijrah ke keraton yogya . Lagi-lagi, entah karena
kekokohan sikap atau karena ”kebandelan”, laskar kami menolak
hasil Perjanjian Renville dan tidak mau menyerahkan negeri kami
kepada pihak kolonial. Kami menolak untuk ikut hijrah. Kami terus
melakukan perlawanan.
Akibat tidak mau ikut hijrah ke keraton yogya kami dianggap
sebagai pembangkang. Oleh karena itu kami pun kemudian digempur
oleh pasukan Brigade yang dikirim pihak Pemerintah [RI] dari Jawa
Tengah. Gempuran ini terutama terjadi di Ciwaru, Jawa Barat.
Akibat gempuran ini beberapa pimpinan Divisi Bambu Runcing
gugur. Yang gugur itu antara lain Sutan Akbar, Gatot, Suharya, Abu
Bakar, dan Maulana. Sebagian besar pasukan kemudian melarikan diri.
Kendati pasukan porak poranda, saya, Astra, dan lain-lain perlahan
melakukan konsolidasi dalam rangka terus menjalankan kegiatan
bergerilya. Selain menghadapi Belanda di medan pertempuran, pada
tahun 1948 Divisi Bambu Runcing ini juga harus berhadapan dengan
kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [ DI/TII].
Oleh pihak kolonial hasil perjanjian [ Renville] tetap saja dirasa
tidak menguntungkan. Oleh karena itu, lagi-lagi pihak kolonial
mengingkari hasil Perundingan Renville. Pada tanggal 18 Desember
1948 pihak kolonial mulai melancarkan agresi militer lagi, agresi
militer yang kedua. Tentu saja hal ini menyakitkan hati kalangan laskar
rakyat yang sejak semula menginginkan tidak dilakukannya langkah
diplomasi dengan pihak kolonial.
Bersamaan dengan itu, pada tahun 1948 pemerintah
mengeluarkan kebijakan tentang reorganisasi pergerakan gerakan dan rasionalisasi tentara
[dikenal dengan program Re-Ra,-ed.]. Ini merupakan kebijakan di
mana kekuatan militer Republik haruslah merupakan tentara yang
profesional. Pada saat gerilya dulu, satu senjata boleh dipegang oleh
dua, tiga atau bahkan empat orang anggota laskar secara bergantian.
Dengan adanya Re-Ra dituntutlah bahwa tentara harus profesional.
Satu senjata untuk satu tentara. Berkat ketentuan Re-Ra pula sebagian
anggota laskar, meskipun telah bertahun-tahun ikut bergerilya dan
memanggul senjata, harus ”dikembalikan ke masyarakat”.
Tentu saja tindakan ini dirasa sangat menyakitkan bagi laskarlaskar rakyat yang selama bertahun-tahun telah ikut bergerilya demi
mempertahankan kemerdekaan Republik. Namun demikian, mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dikumpulkan dan diantar untuk
kembali ke masyarakat dengan diangkut truk. Mereka juga diberi uang
saku, masing-masing sebesar 5 perak (rupiah). Saya sendiri tidak tahu
pasti dari mana Pemerintah mendapatkan uang guna melaksanakan
kebijakan Re-Ra ini .
Mereka yang tidak bisa menerima kebijakan Re-Ra lantas
melakukan tindakan perlawanan dengan mendirikan Barisan Sakit
Hati (BSH). Hal itu misalnya dilakukan oleh Letnan Kolonel Jamil dan
pasukannya yang melakukan perlawanan di daerah Tomo, Cirebon.
Sebenarnya saya dan beberapa kawan lainnya juga merasa sakit hati,
tetapi kami tidak melakukan tindakan seperti kelompok Jamil.
Keadaan Begitu Mengecewakan
Kenyataan pahit ternyata juga dihadapi oleh anggota laskar yang
diterima menjadi anggota TNI. Kendati mereka diterima menjadi
anggota TNI, kepangkatan mereka harus turun. Hal ini disebabkan
karena mereka tidak memiliki basis pendidikan formal militer.
Sementara mereka yang berasal dari KNIL64 secara otomatis mengalami
kenaikan satu pangkat, karena mereka memiliki basis pendidikan
militer formal. Padahal KNIL ini adalah pasukan milik pemerintah
kolonial Belanda yang dulu ikut menembaki pasukan dari laskar
rakyat.
saat perlawanan rakyat terhadap Agresi Militer yang dilakukan
oleh pihak kolonial sedang dilakukan, lagi-lagi Pemerintah RI
meng-“interupsi”-nya dengan melakukan langkah diplomasi. Kali
ini diplomasi itu dilakukan di Den Haag, Belanda, dalam bentuk
Konferensi Meja Bundar [ KMB] yang dilakukan pada tanggal 2
November 1949. Dalam kesepakaatan yang dihasilkan oleh KMB
pihak Indonesia tetap dalam posisi yang lemah. Republik Indonesia
Serikat [ RIS] harus menanggung utang pemerintahan Hindia Belanda,
yang sebenarnya merupakan biaya yang dipakai oleh pemerintahan
kolonial Belanda dalam menguasai Indonesia. Tindakan pemerintah
kali ini telah menegaskan perang mempertahankan kemerdekaan
yang dilakukan oleh kekuatan massa rakyat tani di berbagai pedesaan
di Indonesia, dan yang telah menguasai sentra-sentra perusahaan
perkebunan yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda. Dengan adanya
KMB berarti penguasaan atas sentra-sentra perusahan perkebunan
ini harus diserahkan kembali ke pihak Belanda.65
Ketidaksetujuan atas hasil KMB juga masih diekspresikan dalam
bentuk perlawanan, misalnya seperti yang ditunjukkan oleh kelompok
Chaerul Saleh, Syamsuddin Chan, Leimena dan lain-lain. Namun
mereka harus menghadapi gempuran dari Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat [APRIS], gabungan tentara Indonesia dengan
tentara Belanda. Hal ini menempatkan kami dalam posisi yang sulit.
Chaerul, saya, dan kawan-kawan lainnya sudah tidak bisa lagi berbuat
banyak, karena Republik Indonesia Serikat [ RIS] itu presidennya
tetap Sukarno. Kalau kami melawan Sukarno dapat dipastikan bahwa
kami akan habis dimaki-maki oleh rakyat. Sukarno telah betul-betul
mengakar di hati rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami sebagai kelompok
perlawanan yang berangkat dari semangat kaum muda, yang
menginginkan kedaulatan negara Republik Indonesia secara penuh,
mulai harus memilih bentuk kehidupan baru. Sebagian melanjutkan
sekolah yang sebelumnya telah terhenti akibat perang, sebagian lagi
ingin pulang kampung menjadi petani, dan seterusnya. Chaerul
sendiri dikirim oleh Bung Karno untuk sekolah ke luar negeri.
Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai
anggota TNI. Saya meletakkan jabatan sebagai Komandan Brigade.
Apalagi brigade kami yang diterima menjadi TNI cuma satu batalyon.
Satu batalyon itu terdiri dari empat kompi. Mengenai posisi dan
tanggung jawab saya, saya menyerahkannya pada wakil saya yang
bernama Jaya. Berat memang. Tapi keadaan begitu mengecewakan.
Saya merasa kesal. Berbagai macam perasaan menghantui saya. Di
tengah itu semua, saya berpikir, ya sudahlah saya berhenti saja.
Sebagai “Sintesa”-nya
Berkat legitimasi KMB kekuatan modal asing menemukan jalannya
kembali ke Indonesia. Tentu saja hal ini mengecewakan saya.
Kekecewaan saya makin menumpuk.
Berangkat dari rasa kecewa ini saya dengan beberapa kawan
pergi ke Jakarta menemui Mohamad Yamin. Kebetulan Mohamad
Yamin adalah salah seorang yang menjadi delegasi Indonesia pada
KMB. Kali ini, kami datang ke rumah Yamin bukan dalam rangka
“berbeda pendapat” seperti sebelumnya, meskipun waktu itu Yamin
berada pada posisi pemerintah, sedangkan kami para eks laskar
rakyat merupakan kelompok oposisi. Kali ini, kami ingin datang
untuk mendiskusikan kondisi politik terakhir dan bagaimana arah ke
depannya. Kebetulan juga di rumah Yamin tinggal kawan kami, Johar
Nur, yang waktu itu sedang sakit.
Saya lihat, Yamin punya artikel singkat banyak sekali di rumahnya. Kalau
ditumpuk mungkin satu setengah meter tingginya. artikel singkat -artikel singkat itu
disimpan dalam peti besar-besar. Rupa-rupanya selama menjadi delegasi di Belanda, Yamin menyempatkan diri untuk membeli banyak
artikel singkat . Yamin berkata, “Kalau mau itu artikel singkat , buka, dan baca saja sama
kamu”. Kami semua ngangguk [mengangguk].
Kebanyakan artikel singkat -artikel singkat yang dibawa oleh Yamin itu berisi
tentang masalah-masalah petani. Misalnya artikel singkat Peasant War, serta
artikel singkat -artikel singkat tentang perang tani di Jerman, tentang perang tani di
Afrika Selatan, dan tentang masalah petani di Tiongkok. Pada masa
gerilya, artikel singkat -artikel singkat seperti itu sebenarnya sudah sempat kami baca,
namun baru sekilas. Lagi pula artikel singkat -artikel singkat ini kemudian tidak
jelas rimbanya karena perang. Baru sesudah ketemu Yamin, apa yang
dulu kami baca secara sekilas bisa kami baca secara beneran.
66
sesudah melakukan diskusi panjang dengan Yamin atas situasi
sosial-politik yang sedang berlangsung berikut prospek ke depannya,
kami mulai membaca artikel singkat -artikel singkat ini . Kemudian kami melakukan
rundingan-rundingan dengan Sidik Kertapati. Pertanyaannya,”Apa
yang mau kita kerjakan sekarang? Kita kan sudah tersisih. Sepertinya
tidak ada lagi tempat untuk kita di Republik ini.” Kendati begitu,
semangat kami akan pengabdian kepada bangsa tidak pernah luntur.
Semangat inilah yang mendorong kami untuk mencari strategi baru.
Saya lalu katakan,”Nah tani itu penting. Mayoritas penduduk Indonesia
itu kan bertani. Nah, bagaimana kita mau melihat hal ini?” Sidik lalu
berkata,”Bagaimana kalau kita bikin organisasi pergerakan gerakan tani?” Langsung aja
saya jawab,”Hayo! ” Lalu kami pun mendirikan organisasi pergerakan gerakan tani.67
Menurut saya bicara pergerakan gerakan berarti bicara perjuangan.
Sementara itu, bicara tentang perjuangan berarti bicara tentang
kedaulatan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dalam kasus
Indonesia, menurut saya, titik temu dari semua itu adalah masalahmasalah petani. Di negeri ini petani paling banyak jumlahnya. Waktu
itu mencapai 80%. Artinya, kalau masalah petani dapat dipecahkan
dengan baik akan terpecahkan pula persoalan seluruh bangsa
Indonesia.
Akhirnya, melalui beberapa kali diskusi dicapailah sebuah
kesepakatan, yaitu membentuk satu organisasi pergerakan gerakan tani yang bernama
Serikat Kaum Tani Indonesia, disingkat SAKTI. Ini merupakan
pikiran awal untuk menjawab kebutuhan mendirikan organisasi pergerakan gerakan tani.
Kami sadar, selama kami berjuang melawan tentara Belanda petanilah
yang memberi makan tentara kita. Teori sebab-akibat dipakai di sini.
Petani merupakan kelompok mayoritas. Ini “tesa”-nya. Akan tetapi
realitas nasibnya tidak baik. Ini “anti-tesa”-nya. Sebagai “sintesa”-nya,
dibentuklah organisasi pergerakan gerakan tani.
Dialektika
Dulu pada masa gerilya dalam rangka perang kolonial, kelompok
masyarakat yang paling rentan menjadi korban adalah petani. Begitu
juga dengan wilayah garap petani yang berupa lahan pertanian, baik
itu sawah maupun ladang. Pada saat berlangsung perang kemerdekaan,
sawah-ladang berubah menjadi medan pertempuran. Lebih dari itu
petani juga yang menjadi sasaran antara dari perang ini . Tanpa
disadari, nyawa menjadi taruhan. Tapi jangan remehkan. Ini merupakan
kesadaran dari kaum tani Indonesia. Kaum tani Indonesia saat itu
telah menyadari bahwa upaya perubahan harus dilakukan. Mereka itu
mendukung pelawanan terhadap kolonialisme. Dukungan kaum tani
Indonesia saat itu diwujudkan dengan memberi bekal makanan berupa
nasi bungkus beserta air minumnya guna menyambung perlawanan.
Berangkat dari berbagai bacaan—atas buah tangan dari Mohamad
Yamin itu tadi—serta bertolak dari berbagai pengalaman di lapangan,
berikut keputusan beberapa kali rapat, SAKTI mulai menyusun
anggaran dasar dan rencana-rencana kerja organisasi pergerakan gerakan . Program kita
berbeda dengan organisasi pergerakan gerakan masyarakat [ormas] taninya PKI , yaitu
Barisan Tani Indonesia [ BTI] dan Rukun Tani Indonesia [RTI]. Mereka
jelas berorientasi ke PKI . Mereka mempunyai program yang waktu itu
adalah nasionalisasi tanah. Ini berbeda dengan kami. Kami waktu itu
punya tanah untuk kaum tani. Kami belajar dari Tiongkok, Afrika
Selatan, dan lain-lain. Petani tidak boleh dipisahkan dari tanah. Kami
punya program tanah untuk petani. Berbagai teman seperjuangan
yang sudah pulang kampung disambangi. Selain konsolidasi ulang,
mereka juga mulai memperbesar organisasi pergerakan gerakan tani.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, para penggagas organisasi pergerakan gerakan mulai
menghadapi permasalahan yang bersifat teknis. Misalnya, perlunya
tempat berkumpul untuk merumuskan pikiran, alat-alat, mesin ketik,
dan lain-lain. Mengingat banyaknya keterbatasan kami, kami berpikir
untuk mendatangi seorang senior yang bernama Tabrani Notosudirjo.
Tabrani itu orang Partai Murba. Bagi saya, Tabrani adalah salah
satu tokoh pergerakan gerakan yang mau mengerti cita-cita kelompok laskar
ini. Kebetulan saat itu Tabrani sedang menjabat Wakil Walikota di
Jakarta. Sebagai seorang wakil walikota tentu saja rumahnya gede dan
fasilitasnya lengkap. Kami pun nebeng [numpang] berkantor di sana.
Guna melancarkan proses pendirian dan pemantapan organisasi pergerakan gerakan ,
disusunlah pimpinan pengurus SAKTI. Dalam rangka memberi
penghormatan, Tabrani Notosudirjo diangkat menjadi Ketua Umum.
Sidik Kertapati sebagai Wakil Ketua dan saya sebagai Sekretaris
Umum.68 Pengurus Pusat lainnya adalah Burhan, Sasongko,69 Salam,
dan Zainal Simbangan.70
Dengan menggunakan fasilitas yang diperoleh dari Tabrani itu
pengurus inti SAKTI mulai membangun organisasi pergerakan gerakan hingga di tingkat
daerah. Tentu saja, pembangunan organisasi pergerakan gerakan di daerah tidak bisa
dilakukan dengan cepat, mengingat keterbatasan-keterbatasan yang
dimiliki organisasi pergerakan gerakan . Cara yang ditempuh adalah mendatangi dan
mengajak kawan-kawan seperjuangan saat gerilya melawan tentara
kolonial Belanda. Kami mendiskusikan berbagai permasalahan dan
kebutuhan-kebutuhan yang ada di daerah untuk kemudian mencari
solusi-solusinya. Kemampuan yang kami miliki “dikawinkan” dengan
apa yang dikehendaki masyarakat.
Yang harus dicatat adalah bahwa yang namanya masyarakat itu
tidak ada yang berdiri sendiri. Semua saling bertautan, entah itu
berlawanan atau berhubungan satu sama lain. Semuanya terjadi pada
waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, bila ada persoalan, kita harus
melihatnya dengan kembali pada pangkal persoalan itu. Artinya, untuk
melihat suatu persoalan, kita harus terlebih dahulu melihat bagaimana
cara berpikir kita. Semua berangkat dari situ, entah kita suka atau
tidak suka. Maksudnya berangkat dari bagaimana kita ini berpikir.
Apakah dalam berpikir kita ini memakai aturan atau tidak. Kalau kita
menuruti setiap pikiran kita, maka tidak akan ada batasnya. Oleh
karena itu, yang namanya pikiran itu harus ada aturan-aturannya. Kita
perlu sadar akan pentingnya aturan atas pikiran-pikiran kita, apalagi
pikiran-pikiran penting yang menyangkut orang banyak.
Untuk itu, pertama-tama kita harus berpikir untuk menggunakan
pola sebab-akibat. Karena suatu sebab maka ada akibat. Tetapi pada
gilirannya akibat ini akan menjadi sebab juga, demikian seterusnya.
Kedua, kita perlu menggunakan logika. Apa yang kita sebut rasional
itu merupakan hasil penggunaan logika. Logika berarti berpikir benar
dan lurus. Kalau kita tidak pakai logika akan mustahil bagi kita untuk
sampai pada titik yang rasional. Ketiga, kita perlu menggunakan
aturan berpikir yang sering disebut sebagai dialektika. Artinya, kita
perlu berpikir dengan bertolak dari pembacaan kita atas proses dan
dinamika, dan bagaimana semua itu didialogkan. Kalau kita tidak
memakai cara berpikir yang demikian, maka dalam berpikir kita bisa
ke mana-mana. Di sini terletak bedanya antara seseorang yang kaya
dengan pengalaman empirik [pengalaman langsung] dengan mereka
yang hanya sekadar mempelajari ilmu pengetahuan.71
Berangkat dari Petani
Melalui berbagai kegiatan, kami mencoba mengurusi kaum tani
Indonesia. Dalam situasi tertentu bisa jadi bahwa secara sosialekonomi para pengurusnya yang naik ke atas, sementara petaninya
tetap di bawah. Mencegah kemungkinan demikian yang kita harapkan
saat itu adalah bahwa gerakan gerakan -gerakan gerakan itu datangnya dari kaum tani
sendiri dan dikerjakan bersama-sama dengan petani. Ini konsep dasar
kami dalam membangun SAKTI.
Ada beberapa daerah yang kemudian menjadi sasaran untuk
pengembangan organisasi pergerakan gerakan SAKTI. Saya sendiri lebih banyak
mensosialisasikan keberadaan SAKTI di wilayah Priangan. Ini
merupakan daerah yang sangat saya kenal. Saat gerilya perang kolonial
dulu, saya lebih banyak bergerak gerak di daerah ini. Sebagian kawan ada
yang ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Utara.
Pengembangan organisasi pergerakan gerakan saat itu dilakukan dengan proses kesadaran
yang tinggi. Uniknya tidak ada pembicaraan khusus mengenai
pendanaan bagi mereka yang harus pergi ke daerah-daerah. Tapi
anehnya semuanya bisa jalan. Malah Tom Anwar dan Sakti Alamsyah
bisa naik KPM, kapal Belanda, ke Medan. Ternyata kapal itu melancong
dulu ke Singapura baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
sesudah mendiskusikan berbagai permasalahan petani dari
berbagai daerah di Indonesia, ditambah dengan hasil dari bacaan apa
yang dilakukan petani di beberapa negara itu tadi, akhirnya ditariklah
satu kesimpulan bahwa petani tidak bisa dipisahkan dari tanah.72
Seseorang tidak bisa dikatakan sebagai petani kalau ia tidak menggarap
sebidang tanah. Sementara itu, sejak era feodal, tanah petani Indonesia
sudah terkonsentrasi pada segelintir orang, yakni kaum bangsawan.
Ditambah lagi, pada era kolonial melalui agrarische wet dan agrarian
besluit tahun 1870 yang menjadi sumber formal domeinverklaring,
negara mempunyai hak mutlak untuk menjadikan tanah di negeri
jajahan sebagai objek berbagai transaksi negara dengan para pemodal
yang membutuhkan tanah untuk investasi agrobisnisnya, entah itu
dengan alasan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, entah untuk
kepentingan kas negara
Oleh karena itu, program SAKTI dari awal adalah tanah untuk
kaum tani. Ada banyak orang yang memiliki hak istimewa dari sistem
kolonial, yaitu hak erfpacht atas nama perusahan perkebunan milik
Belanda. Tanah-tanah ini sudah ditinggalkan pemiliknya dan
terlantar sejak era fasisme [ Jepang], dan rusak akibat perang. Oleh
karena itu diperlukan upaya agar tanah-tanah itu dikonversi sehingga
menjadi tanah milik dan digarap oleh kaum tani Indonesia. Terlebih
lagi, harus diingat bahwa Indonesia sudah merdeka, sehingga warga
negaranya berhak untuk memiliki dan mengelola tanahnya sendiri.
Dulu melalui berbagai macam rekayasa atas nama peraturan-peraturan
yang ada, banyak tanah-tanah rakyat dirampas oleh pemerintah
kolonial.74 Sekarang tidak bisa lagi.
Inilah yang membedakan program SAKTI dengan organisasi pergerakan gerakan
tani lainnya seperti BTI itu tadi, yang memang dari awal merupakan
organisasi pergerakan gerakan yang berafi liasi ke PKI . SAKTI berbeda juga dengan RTI
yang juga memiliki orientasi ke PKI . Saat itu program politik dari
kedua organisasi pergerakan gerakan ini lebih mengarah pada nasionalisasi tanah.
Arah dari tindakan nasionalisasi adalah memberikan hak kepemilikan
tanah ke tangan organisasi pergerakan gerakan atau negara, dengan sistem pengolahan
tanah yang terpusat. Tentu saja ini berbeda dengan penataan struktur
agraria yang berangkat dari petani itu sendiri.
Tidak Bisa Dibetulkan
Perlahan namun pasti, SAKTI mulai berkembang hingga ke Sumatera
Utara, Lampung, dan sebagian Sulawesi. Pelaksanaan program tanah
untuk kaum tani semakin gencar dilakukan hingga meletusnya
peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara tahun 1953. Peristiwa
itu sendiri sangat kompleks. Penyelesaian terhadap lahan Perkebunan
Senembah tidak kunjung usai oleh Pemerintah Indonesia. Pihak
serikat-serikat tani yang ada mendorong untuk segera dilakukannya
penyelesaian. Ini adalah konfl ik perebutan penguasaan sumber agraria
akibat dari sistem kolonial. Akibatnya korban berjatuhan, baik dari
pihak petani maupun dari pihak aparat kepolisian. Awalnya petani
yang mati itu diklaim sebagai anggota BTI, namun belakangan
diakui oleh PKI bahwa petani itu adalah anggota SAKTI, namanya
Soedarmo. Sebagai Sekretaris Umum SAKTI saya mendapat mandat
dari organisasi pergerakan gerakan untuk menyelesaikan persoalan ini .75
Program “tanah untuk penggarap” mendorong SAKTI semakin
berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Kemudian pada tahun
1953, SAKTI mengadakan suatu konferensi nasional petani. Dalam
konferensi ini Tabrani sebagai Ketua Umum disodori satu
pertanyaan yang kira-kira bunyinya begini,“organisasi pergerakan gerakan kita sudah
berkembang. Sekarang sudah mulai ada aksi-aksi kegiatan dari kaum
tani sendiri. Nah bagaimana dengan Bapak sekarang? Apakah Bapak
mau tetap menjadi ketua? Kalau iya, konsekuensinya sebaiknya Bapak
tidak lagi jadi Wakil Walikota. Sebaiknya Bapak tidak merangkap
jabatan. Kalau Bapak tetap menjabat jadi Wakil Walikota, jabatan
ketua harus diserahkan kepada yang lain.”
Sodoran pertanyaan ini dijawab oleh Tabrani dengan
mengatakan bahwa ia tetap memilih menjadi Wakil Walikota Jakarta
Raya. Ia juga merasa sudah tua, sehingga perlu ada regenerasi dalam
SAKTI. Akhirnya diangkatlah Sidik Kertapati menjadi Ketua Umum
SAKTI. Akibat tindakan ini Soekarni meledek bahwa kelompok
ini merupakan kelompok yang memang tidak bisa dibetulkan dari
dulu.
Sementara itu, eksistensi organisasi pergerakan gerakan rakyat semakin mendapat tempat
dalam proses bernegara di Indonesia. Pada Pemilihan Umum [ Pemilu]
tahun 1955 saya bersama Armoenanto, Astra, dan beberapa orang lagi
sebagai orang-orang non-partai dicalonkan sebagai wakil rakyat, karena
memang waktu itu SAKTI belum berafi liasi ke PKI seperti BTI. Tapi
tak lama kemudian PKI mengakomodasi kami untuk menjadi calon
non-partai sebagai bagian dari PKI . Kami pun maju dalam Pemilu itu.
Karena ternyata terpilih kami lantas menjadi wakil rakyat dari PKI .
Berangkat dari sini aktivitas politik saya di wilayah kenegaraan
terus berkembang. Saya merasa semakin memiliki peran di
pemerintahan, sehingga akhirnya saya menjadi salah satu anggota
MUPENAS. Di saat pelantikan menjadi anggota MUPENAS,
mereka yang selama itu tidak pernah beres hubungannya dengan
saya, ramai-ramai menyalami saya seraya berkata,“Sudahlah akhiri
saja ekstrimis-ekstrimisan. Sekarang waktunya untuk membangun.”
Selain itu saya menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara [ MPRS]. Saya diajukan oleh Chaerul Saleh. Pada saat
pelantikan MUPENAS, Sukarno memberi ucapan selamat kepada
para perserta, termasuk saya. Dia tidak bilang apa-apa pada saya, wong
dia Presiden. Saya juga hanya bilang “ya”. Subandrio juga memberi
ucapan selamat.” “Selamat, Mas Samsul”, katanya. “Terima kasih,”
jawab saya. Selanjutnya Leimena juga memberi ucapan,“Selamat Mas
Samsul.” Saya jawab,“Terima kasih.” Terakhir datang Chaerul Saleh.
Dia tidak memberi ucapan selamat, melainkan mengatakan,“Terima
kasih ya atas bergabungnya.” Tentu saja ucapan akrab dari seorang
sahabat itu saya balas dengan ungkapan persahabatan pula,“Taik lu!”
Ucapan itu tentu membuat kaget mereka yang dengar, sampai-sampai
Presiden Sukarno menengok.
Saat itu serikat tani makin berkembang. Apalagi Pemilu 1955 telah
melahirkan wakil-wakil dari kaum tani. Sebenarnya telah terdapat
upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan tani nasional, namun
proses menuju ke arah sana selalu mengalami kegagalan. Memang
tidak mudah menyatukan organisasi pergerakan gerakan tani yang besar, yang sama-sama
memiliki basis pendukung yang kuat.
Bagi BTI sendiri, sesudah melakukan fusi dengan RTI tahun 1953,
organisasi pergerakan gerakan ini makin gencar melakukan pendekatan terhadap pihak
pimpinan eksekutif SAKTI. BTI ingin supaya SAKTI mau melakukan
fusi dengannya. Namun penolakan dari kebanyakan anggota SAKTI
membuat fusi itu tidak segera terwujud. Alasan utamanya adalah
perbedaan dalam memandang bagaimana penguasaan hak atas tanah
dan pemanfaatannya nantinya mau dilaksanakan.
Rupa-rupanya, pihak BTI tidak putus asa guna terus mendorong
terjadinya proses fusi antar kekuatan kaum tani nasional. Ada yang
mengatakan bahwa BTI terus melakukan infi ltrasi kepada kekuatan
SAKTI. Serangkaian pembicaraan antara pengurus BTI dengan Sidik
Kertapati sebagai Ketua Umum SAKTI terus dilaksanakan. Pada
akhirnya Sidik Kertapati sebagai Ketua Umum SAKTI mulai goyah
atas ajakan dari BTI guna melakukan fusi ini . Ditambah lagi
dengan adanya pidato politik Ketua PKI Aidit tentang masa depan
kaum tani Indonesia. Dalam pidato ini Aidit mengatakan bahwa
tanah itu adalah untuk kaum tani. Begitulah, jadi sama gagasannya.
Hal itu kemudian menjadi titik awal untuk dilakukannya fusi. Secara
program antara BTI dan SAKTI sudah sama, tidak ada lagi perbedaan.
Mulailah Sidik Kertapati, sebagai Ketua Umum, mensosialisasikan
gagasan fusi. Kemudian ia mengajak pengurus inti SAKTI yang lain
guna membicarakan hal ini secara lebih serius.
Para pengurus inti SAKTI pun berkumpul. Bertindak sebagai
tuan rumah adalah Sidik Kertapati, Burhan, Sasongko, dan saya
sendiri. Kami berempat mendiskusikan tawaran fusi dari BTI. Burhan
menolak gagasan fusi. Barangkali Burhan tidak bisa melupakan
masa-masa gerilya selama perang gerilya, di mana Amir Syarifuddin
[sebagai orang PKI ] menandatangani Perjanjian Renville. Bagi
Burhan tindakan PKI saat itu menyakitkannya. Itulah sebabnya, dia
tidak lagi mau ikut SAKTI karena mau berfusi dengan BTI. Jadi
keluarlah Burhan dari lingkaran kaum tani. Hal serupa juga terjadi
dengan Sasongko. Ia melakukan penolakan. Namun demikian, cara
yang ia tempuh lebih halus ketimbang caranya Burhan. “Sudahlah
aku mau jadi guru kembali,” katanya. Sasongko adalah guru melukis
di Taman Dewasa, keraton yogya . Sebenarnya saya juga menolak tawaran
fusi itu, tetapi karena adanya desakan dari Sidik Kertapati akhirnya
saya menyetujuinya. Adapun nama yang dipilih sesudah fusi tetaplah
nama “ BTI”.
Kendati sudah dilakukan fusi, hal itu tidak berarti tidak ada
dinamika internal pascafusi. Terdapat banyak perbedaan pendapat
dan pandangan politik secara internal. Namun demikian, hal itu
justru menjadikan organisasi pergerakan gerakan kaum tani semakin besar. Akan tetapi
adanya cita-cita membebaskan kaum tani dari warisan feodal dan
sistem kolonial sebagai sasaran utama menjadikan dinamika internal
bisa mengarah pada cita-cita bersama.
Pascafusi posisi saya tidak lebih dari seorang staf penerangan dari
organisasi pergerakan gerakan . Padahal semasa di SAKTI saya adalah Sekretaris Umum.
Sekarang saya merasa hanya sekadar menjalankan tugas teknis seperti
mengetik surat atau menyiapkan kebutuhan administrasi dari Ketua
BTI saat itu, yaitu Sardjono. Ini harus saya terima sebagai bagian
dari konsekuensi logis proses fusi dan membantu pilihan karib sejak
masa gerilya, Sidik Kertapati. Pernah suatu saat saya mengeluh
ke Sidik atas kejadian ini , namun Sidik hanya menjawab,“Ya
sementaralah. Tunggu konggres.”
Baru pada kongres BTI tahun 1962, saya dipilih menjadi
Sekretaris Umum BTI. Saya tidak lagi semata-mata menjadi tukang
ketik, he...he..he... Ketua Umumnya adalah Asmu Jati Wirosubroto.
Menimbulkan Korban
Mengenai soal agraria ini banyak kejadian yang mengundang
tanda tanya bagi saya. Menurut saya, kita tidak bisa mengorbankan
kepentingan kaum tani dan kaum buruh atas nama persatuan nasional.
Seharusnya persoalan kaum tani dan kaum buruh justru merupakan
persoalan yang harus ditangani secara bersama sebagai bangsa. Tetapi
kenyataannya tidak begitu. Misalnya, saat di Subang, Jawa Barat,
Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia [SARBUPRI] dan BTI
mengambil-alih suatu perusahaan perkebunan, Chaerul Saleh justru
memerintahkan kepada pemerintah daerah melalui radiogram untuk
melakukan penangkapan terhadap para petani yang menurutnya
anarkis. Karena peristiwa ini , beberapa anggota BTI bahkan
ditangkap oleh polisi setempat.
Sebagai salah satu pimpinan BTI, saya bersama beberapa pengurus
harian BTI mendatangi Chaerul Saleh yang saat itu menjabat sebagai
Wakil Perdana Menteri [ Waperdam]. ”Kamu itu apa-apaan? Kamu
pakai perintah untuk menangkap petani-petani,” sergah saya. ”Yang
benar aja, gak ada gua kirim itu,” jawab Chaerul Saleh. sesudah melalui
perdebatan panjang, akhirnya Chaerul Saleh mencabut radiogram
ini , dan memerintahkan untuk membebaskan para petani.
Kendati para petani telah bebas, saya tetap datang lagi untuk
menghadap Chaerul Saleh. ”Ada apa lagi Sul?” tanya Chaerul Saleh.
Kamu harus ganti itu kerugian petani yang telah ditangkap. Berapa
lama mereka ditahan? Anak dan bini mereka makan apa itu, kalau
gak ngutang kesana-kemari?” saya berargumen. ”Ah, kamu ini ada-ada
aja. Di Republik ini apa bisa ada kejadian seperti ini?” jawab Chaerul
Saleh. Tidak mau kalah saya langsung memotong,”Kamu ‘kan Waperdam. Makanya harus bisa, dan sekaranglah saatnya.” Sebagai kawan
seperjuangan Chaerul Saleh hanya bisa mengumpat,“Sialan lu.”
Kendati begitu Chaerul mengeluarkan sejumlah uang untuk ganti
rugi petani yang sempat ditahan itu. Saya kira ini peristiwa langka
dalam sejarah Indonesia, he...he...77
Selain itu, terdapat pula peristiwa yang terjadi di desa Jengkol,
Kediri, Jawa Timur. Peristiwa itu berawal dari adanya konferensi tani
di Puncak, Jawa Barat, yang merumuskan akan diadakannya “aksi
sepihak”. Aksi sepihak itu bukan tindakan anarkis. Aksi sepihak itu
dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria
[ UUPA] dan Undang-Undang Bagi Hasil [ UUBH] tahun 1960.
Undang-undang itu sudah lama disahkan, tetapi sepertinya birokrasi
pemerintah enggan melaksanakannya. Birokrat kita saat itu masih
merupakan kelanjutan dari kalangan feodal. Mereka lebih memilih
bersekongkol dengan para tuan tanah daripada membela kepentingan
petani. Melihat keengganan ini , kami pun melakukan aksi sepihak
dalam rangka mendesak agar UUPA dan UUBH segera dilaksanakan
secepatnya.
Sementara itu, Presiden Sukarno sendiri mentoleransi aksi
ini dengan membentuk Pengadilan Landreform. Mereka yang
terlibat dalam pengadilan ini berasal dari berbagai kader ormas
tani yang ada. Ada yang berasal dari BTI, PETANI [organisasi pergerakan gerakan kaum
tani di bawah PNI], dan lain-lain. Mereka direkrut untuk menjadi
anggota Majelis Hakim Pengadilan Landreform. Hal ini dilakukan
guna memenuhi pelaksanaan Undang-undang Landreform. Kebetulan
saya dulu ikut dalam kepanitiaan dalam penyusunan rencana Undangundang Landreform.
Akibatnya, gerakan gerakan aksi sepihak semakin meluas. Hampir di
setiap desa yang merupakan basis PKI dijalankan gerakan gerakan ini .
Kalangan tuan tanah ”ramai” sekali menanggapi gerakan gerakan ini .
Terjadi bentrok di beberapa daerah, antara yang mendukung gerakan gerakan
aksi sepihak dengan kalangan tuan tanah. Bentrok yang paling ”ramai”
terjadi di desa Jengkol, Kediri. Kejadian ini sampai menimbulkan
korban dari kalangan aparat kepolisian.
Menjadi Buronan
Peristiwa pagi buta yang berlangsung pada tanggal 1 Oktober 1965
memang mencengangkan banyak orang. Secara pribadi, kejadian
ini saya ketahui manakala sedang berada di Bandung. Saat itu
saya sedang menjenguk mertua saya yang sedang sakit.
Saya mendengar terjadinya Peristiwa 1 Oktober itu melalui
Radio Republik Indonesia [ RRI]. Saya juga mendengar pengumuman
tentang adanya Dewan Revolusi. Satu persatu nama yang disebutin
[disebutkan] di berita radio itu saya dengarkan dengan cermat. Ada
yang saya kenal, ada yang tidak. Semuanya terasa membingungkan
bagi saya. Misalnya Hardojo yang baru saja berhenti sebagai Ketua
Umum Central gerakan gerakan Mahasiswa Indonesia [ CGMI], namanya
masuk menjadi salah satu anggota Dewan Revolusi.78 Namun
demikian, nama saya tidak disebut. Padahal secara hirarki, kekuasaan
saya memiliki posisi politik yang lebih strategis. Saya ini Sekretaris
Umum BTI, anggota MPRS yang sekaligus sebagai anggota Badan
Pimpinan MPRS, dan juga anggota MUPENAS. Tapi kok nama
saya tidak masuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi? Tentu saja
ini kalau yang namanya Dewan Revolusi itu memang benar adanya.
Begitu juga dengan banyak elite politik yang seharusnya masuk, tapi
ternyata tidak. Begitu juga dengan Amir Machmud juga masuk sebagai
anggota Dewan Revolusi, dan seterusnya. Setidaknya ada proses
politik yang saya rasakan tidak nyambung dengan proses sebelumnya.
Hal itu potensial melahirkan kekacauan politik yang luar biasa. Jadi
nggak ngerti saya.79
Kekacauan politik yang luar biasa ini mendorong rasa
ingin tahu saya untuk segera kembali ke Jakarta. Guna mencari tahu,
saya langsung menuju ke kantor MPRS. Namun di sana saya tidak
menemukan siapa-siapa. Kantor MPRS juga tiba-tiba kosong, sepi,
bahkan mencekam. Padahal saya sangat berharap sesegera mungkin
mendapat kejelasan atas peristiwa yang sedang terjadi itu. Tidak satu
pun elite PKI yang bisa saya temui. Tiba-tiba saja saya kehilangan
kontak dengan para elite PKI seperti Aidit, Njoto, Lukman, dan
lain-lain. Saya merasa kehilangan dengan semua kalangan. Suasana
menjadi kacau-balau dan membingungkan. Saking bingungnya,
sampai-sampai saya lupa memarkir jeep pemberian dari Chaerul Saleh
yang biasa saya kendarai.
Jadi kalau ada berita pembunuhan orang-orang komunis atau
sarjana-sarjana kiri, wah saya nggak tahu itu. Pokoknya sesudah
tahun 1965, sesudah peristiwa gerakan gerakan Satu Oktober [ Gestok] itu
terputuslah semua hubungan. Putus komunikasi saya dengan kawankawan di MPRS. Putus pula komunikasi dengan orang-orang partai.
Suasana memang dibuat sedemikian rupa, antara lain dengan fi tnah
Soeharto. Sementara itu mahasiswa digiring sama tentara. Dalam
situasi demikian, ya, pasti kita tidak punya pilihan lain kecuali
menyelamatkan diri masing-masing.
Soal isu Dewan Jenderal, memang ada. Isu politik ini bukan
rahasia lagi. Hampir semua orang dengar tentang isu Dewan Jenderal
ini. Apa dikira kita tidak tahu? Menurut informasi, Dewan Jenderal
itu mungkin muncul dari rasa tidak puas sama Bung Karno. Namun
mereka tidak memiliki solusi yang jelas untuk menjawah ketidakpuasan
ini . Ketidakjelasan ini menambah kerumitan dalam Peristiwa
1965.
Jadi gimana ya? Kita semua jadi terseret tanpa tahu persoalannya
secara jelas. Apa persoalan sesungguhnya kita tidak tahu. Mengapa
kok tiba-tiba begini? Kita sendiri tidak mengetahui latar belakangnya.
Nah, kalau saya ditanya soal ini tentu saya merasa kesulitan. Jangankan
saya, orang partai sendiri pun tidak tahu. Mereka bahkan terserakserak entah ke mana. Tak diketahui ke mana Aidit, ke mana Njoto, ke
mana Lukman.
Pada saat seperti itu, mereka justru berpencar-pencar entah ke
mana. Anehnya, tidak ada apa-apa di bawah. Dari sini saja sebenarnya
sudah bisa dikatakan bahwa ada yang terlibat, tetapi ada juga yang
tidak terlibat; ada yang setuju, tapi ada juga yang nggak setuju—atau
bagaimana, ya saya sendiri tidak tahu merumuskannya. Tapi inilah
kenyataan yang harus saya kabarkan. Kenyataan menunjukkan bahwa
kita [orang-orang dari partai komunis itu] tidak monolit ya? Tidak
ada kesatuan sikap tentang peristiwa itu sendiri. Aneh ya? Padahal PKI
itu katanya sentralistik. Kenyataannya lain.
Tiba-tiba saja juga muncul tokoh baru yang bernama Letnan
Kolonel Untung. Siapa itu Untung? Saya sendiri baru dengar nama
Si Untung itu. Waktu saya sering berkunjung ke Istana Presiden, saat
saya menjadi anggota MPRS, saya nggak pernah dengar itu namanya
Untung. Padahal saya banyak kenal sama ajudan-ajudan Presiden
Sukarno, seperti Si Guritno, Jatmiko, dan lain-lain.
Di tengah permainan politik yang kacau balau ini , tiba-tiba
PKI dan onderbouw-nya menjadi tertuduh sebagai dalang dari proses
politik yang ada. Otomatis sebagai salah satu petingginya, saya juga
jadi tertuduh. sesudah kehilangan semua kontak di Jakarta, sambil
bersembunyi, saya balik ke Bandung. Saya lalu menjadi buronan.
Lagi-lagi saya menjadi buronan di negeri sendiri ya ha..ha... Selama
di Bandung saya cuma muter-muter tinggal di rumah kawan satu ke
rumah kawan yang lain. Sampai akhirnya saya ketangkep [ditangkap].
Saya lupa persisnya, tapi waktu itu kira-kira akhir Desember 1965—
atau malah sudah Januari 1966.
Manusia Memiliki Hati Manusia
Ada cerita yang menarik pada waktu awal-awal jadi buronan. Saya
bertemu dengan Rustamadji. Rupanya dia juga menjadi buronan.
Pada awalnya dia kan anggota Partai Komunis Belanda. Tapi dia
mengingkari garis partainya. Waktu Parlemen Belanda menyetujui
tindakan polisionil [Agresi Militer 1947 dan 1948] semua faksi setuju.
Tapi dia nggak setuju [kalau Belanda melakukan serbuan militer
itu]. Konsekuensinya, dia harus meletakkan jabatan sebagai anggota
Parlemen Belanda. Dia pun pulang ke Indonesia. Sampai di Indonesia,
dia malah dicurigai. Ia ditangkap, tapi lalu dibebaskan. Kemudian
sesudah peristiwa Gestok, dia buronan lagi. Saat ketemu saya tanya
dia, ”Rustam, mestinya kau kan di Belanda? Bukan repot begini?” Dia
malah menjawab dengan enteng,”Ah Gestapo tentaranya Hitler aja
tidak berhasil menangkap aku, apalagi intel-intel Melayu bodoh ini.”
Nyatanya memang ia tidak tertangkap.
Sebenarnya yang berat bagi saya itu adalah keluarga. saat
mendengar peristiwa itu dan saat saya menjadi buronan, mertua
perempuan lesbian saya meninggal dunia. Dia kena serangan jantung. Saya
ini menantu yang paling disayangi, begitulah kira-kira. saat itu saya
sempat datang ke rumah, terus dia meninggal. saat saya ditahan,
istri saya bekerja di Kantor Berita Uni Soviet di Jakarta. Saya menikah
dengan istri saya tahun 1958, sesudah berpacaran selama 7 tahun, garagara tidak disetujui orang tuanya. Habis mereka menganggap hidup
saya ini nggak jelas.
Selama menjadi buronan sebenarnya saya menunggu dipanggil,
paling tidak sebagai saksi. Tapi saat berlangsungnya pengadilanpengadilan, saya dianggap tidak ada hubungannya. Oleh karena itu,
saya tidak dipanggil. Pada saat Asmu Jati Wirosubroto dipanggil
sebagai Ketua Umum BTI, kemudian Sidik Kertapati sebagai Wakil
Ketua Umum, saya tidak dipanggil. Padahal saya adalah Sekretaris
Umum. Secara organisatoris kan seharusnya saya dipanggil. Akan
tetapi, kok tidak ada pemanggilan untuk diri saya.
Kalau melihat berbagai publikasi yang ada, saya baca memang
kelihatannya Aidit memiliki agenda sendiri. Tampaknya dia mempunyai support lain sendiri di dalam PKI . Dia sangat dekat dengan
Sjam Kamaruzaman. Saya tidak pernah tahu apa itu urusannya. Pernah
suatu kali sesudah rapat di Jl Kramat Raya Jakarta [Kantor CC PKI ],
saya diajak Bung Ketua [ Aidit] ke Bandung. Saat melintas di Puncak
Pass, Jawa Barat, mobil berhenti dan kami makan. sesudah kelar
[selesai], Aidit langsung berdiri dan ngajak berangkat ke Bandung.
Lantas saya tanya soal urusan pembayaran. Aidit langsung menunjuk
dengan ibu jari ke belakang dengan mengatakan bahwa ada “Si Boss”.
Saya hanya terdiam. Eh... belakangan baru tahu kalau “Si Boss” itu
adalah Sjam Kamaruzaman. Selain itu disebut belakangan, bahwa ada
yang namanya “Biro Khusus”. Saya tahu soal Biro Khusus dari baca
koran. Di koran itu saya juga melihat wajah orang saat di Puncak Pass
yang bayari kami makan itu.
Pada saat ketangkap, saya langsung dibawa ke Komdak
[Komando Daerah Kepolisian] untuk menjalani interogasi. Saya
dimintai keterangan atas berbagai aktivitas politik yang saya lakukan.
Tentu saja proses interogasi ini luar biasalah. Saya dibentak, dihardik,
dimaki, dan sebagainya. Habis pokoknya. Polisi itu datang ke saya
atas petunjuk dari seorang kader PKI . ”Merdu” sekali kan rasanya?
Ha-ha.....
Saat itu Ketua PKI Jawa Barat datang menemui saya di suatu
tempat. Dia datang bersama soerang kader lain. Kemudian dia memberi
warning kepada saya, bahwa si anu ketangkap, si itu ketangkap. Saya
agak curiga dan khawatir kalau ada yang ”nyanyi” dan melaporkan
tempat pertemuan ini ke pihak polisi. Benar aja. Tiba-tiba polisi
masuk. Saya langsung ditangkap. Tangan saya langsung diborgol,
sementara kader ini berdiri di pintu sambil menyaksikan
semuanya berlangsung. Terus deh saya dibawa ke Komdak. Nah, di
Komdak itulah, kader PKI yang sama ikut polisi menginterogasi,
memaki-maki. Bahkan lebih kejam! Tidak sedikit lho kader PKI yang
melakukan seperti itu. Ini karena mereka tidak kuat dengan teror dan
kekerasan yang mereka terima. Tindakan mementingkan diri sendiri
dan mencari aman ini banyak sekali terjadi pada saat itu. Hal itu dapat
dilakukan oleh siapa pun, termasuk oleh seorang kader partai yang
tidak tahan dengan teror dan kekerasan yang sedang menimpanya.
Saat di Komdak, penahanannya dilakukan dengan cara berpindahpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari ruang isolasi yang
satu ke ruang isolasi yang lain. Ada satu kejadian yang barangkali saya
anggap aneh. Pada saat saya mau dipindahkan dari penanganan oleh
polisi ke tentara, ada seorang polisi bernama Beni. Dia itu anggota
tim pemeriksa yang menahan saya. Dia bilang, ”Hai you boleh keluar
sana. Sebentar lagi kita kan mau pisahan. Sekarang kita makan-makan
bersama dululah.” Segera dia minta izin ke kepala polisinya, yang saat
itu dijabat oleh Bondan Guntowaru. Kepala Polisi itu mengizinkan.
Kami pun pergi ke restoran yang pemiliknya saya kenal.
Sembari makan bersama mereka ngomong,”Maafkanlah kami.
Kami ini hanya menjalankan tugas.” Pernyataan ini langsung
saya balas, ”Kamu tidak usah minta maaf sekarang. Karena saat ini
apa yang kamu omongkan ini adalah pembangkangan. Kita samasama pembangkang. Saya sangat percaya kamu ini adalah manusia,
dan manusia itu memiliki hati manusia.” Maka nangislah mereka itu.
Selanjutnya saya tanya lagi,”Nanti sesudah menangkap saya, kamu akan
naik pangkat?” Mereka menjawab,”Iya.” Mereka bilang ada yang naik
dua tingkat, ada pula yang tiga tingkat dari sebelumnya. ”Baguslah
kalau gitu,” kata saya. “Saya tidak dendam pada kalian, karena kalian
menjalankan tugas. Saya tahu kok kalau kamu itu terpaksa sekali
melakukan semuanya ini. Terpaksa, walaupun senang juga karena bisa
sedikit-sedikit gebukin orang.” Kami lantas ketawa bersama.
Setiap selesai diperiksa saya selalu digotong. Tentu saja, karena
kan tidak kuat menghadapi siksaan. Kalau perkara disiksa rasanya
tidak ada akhirnya. Saya selalu bertanya dalam hati, kapan gua [saya]
mati? Jadi ya buat saya, itu sudah lewat. Kita tidak berharap hidup
untuk bisa hidup di hari yang lain. Inilah penderitaan
sesudah dari Komdak, saya kemudian dipindah ke tahanan Kebon
Waru. Ada satu kejadian yang mengharukan dalam hidup saya di situ.
Saat di penjara Kebon Waru keluarga masih bisa menjenguk, termasuk
Bapak Mertua saya. Kali ini Bapak Mertua saya datang bersama istri
saya. Bapak Mertua saya memberi support yang tinggi pada saya.
Bahkan Bapak Mertua sempat berpesan kepada istri saya untuk tetap
setia menunggu. “Kamu tunggu suamimu sampai keluar,” katanya.
Padahal dulu pada masa pacaran yang mencapai 7 sampai 8 tahun,
kami sangat susah mendapatkan restu dari dia.
sesudah ”puas” di Kebon Waru, saya dibawa ke Nusa Kambangan.
Selanjutnya saya dibawa ke tempat pembuangan Pulau Buru. Saya
berada dalam tahanan Orde Baru kira-kira hampir 15 tahun. Tahu
sendirilah kehidupan di Pulau Buru. Informasi yang masuk tentu
saja berita-berita yang sesuai dengan kepentingan pemerintah Orde
Baru. Kendati begitu mendengarkan berita ini hanya untuk
mengetahui apa yang sedang dilaksanakan pemerintah Orde Baru kala
itu, termasuk kalau ada tamu datang dari luar. Tentu saja para tahanan
sudah dipersiapkan cara menyambut tamu dengan baik, cara omong
dengan tamu, dan “tata krama” lainnya.
Beranjak ke Rekonsiliasi
Buat saya sekarang ini, itu semua sudah lewat. Ini bukan problem
pribadi saya. Ini problem kita sebagai bangsa. Sekarang kita tidak
hidup untuk hari yang lain. Apa yang jelek kemarin kita tinggalkan
aja. Karena yang terpenting bagi saya adalah kebenaran yang harus
diangkat. Tapi ini semua konsep saya lho ya?
Kebenaran yang saya bayangkan adalah kebenaran yang
objektif. Kita harus mampu membaca kenyataan seperti kenyataan
itu sendiri. Jangan ditambah-tambah dengan cerita lain. Jangan
dikurang-kurangi. Pokoknya jangan diapa-apakan lagi. Biarlah seperti
kenyataan itu sendiri. Dan itulah “kebenaran”. Memang kebenaran itu
banyak versinya. Masing-masing kepala orang berbeda. Banyak fi lsuf
yang telah merumuskan masalah kebenaran ini. Tapi menurut saya,
kebenaran itu adalah peristiwa yang tidak perlu dikurangi, ditambah,
dan lain-lain.
Dari kebenaran yang objektif itu baru bisa kita merumuskan
apa itu keadilan. Nah apa itu yang dimaksud dengan keadilan? Adil
terhadap korban, adil terhadap pelaku. Keadilan seperti saya katakan,
semua itu milik orang. Sama seperti yang telah saya katakan tentang
kebenaran. Kepada pelaku, kita juga harus adil. Kalau salahnya10 kilo
jangan diadili lebih dari itu. Tindakan itu harus dihindari. Dari kedua
hal itulah baru kita bisa beranjak ke rekonsiliasi.
NARASI penuh informasi menarik di bawah ini adalah narasi yang
disampaikan oleh seorang mantan Tahanan Politik di Pulau Buru,
Maluku, dengan nama samaran Al Capone. Nama samaran ini
merupakan hasil pilihannya sendiri, karena semasa di Pulau Buru,
teman-temannya—entah mengapa—memang suka memanggil dia “ Al
Capone”. Narasinya sudah kita singgung sedikit di awal artikel singkat ini.
Ia berasal dari keluarga penjaga-pasar yang sangat sederhana di
keraton yogya . Sebagaimana kita bicarakan di depan, usianya baru 19
(sembilan belas) tahun saat pada tanggal 12 Desember 1965, ia
ditangkap dengan tuduhan yang tidak jelas. sesudah mengalami penahanan
di dua tempat yang berbeda di Yogya, ia kemudian dipindahkan ke penjara
Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah, untuk selanjutnya dibuang ke
Pulau Buru, jauh di bagian timur Indonesia. Di Pulau Buru, ia dan
teman-temannya mengalami banyak tekanan dan siksaan. Sebagian
temannya bahkan tewas dibunuh oleh para petugas di depan matanya.
Karena tuduhan melakukan “gerilya politik” ia dimasukkan ke dalam
suatu kamp khusus (Kampsus) bersama banyak tahanan lain.
Merupakan hal yang luar biasa bahwa Al Capone tetap ingat akan
banyak hal tentang Pulau Buru hingga ke detil-detilnya. Bahkan sampai
nama masing-masing dari 123 Tapol penghuni Kampsus Jiko Kecil,
lengkap dengan asal-usul, alias, profesi sebelum ditangkap, serta beberapa
catatan rinci tentang mereka. Dengan jelas pula ia mengingat dan
menggambarkan bagaimana hari-hari terakhir sebelum pembebasannya
dari Pulau Buru, berikut upacara pembebasan itu sendiri di Semarang.
Semua itu ia ingat dan dengan jernih, ia gambarkan kembali lebih dari
40 (empat puluh) tahun sesudah peristiwanya terjadi.
Menarik untuk mencatat bahwa meskipun telah menjadi korban
ketidakadilan, Al Capone tidak sedikit pun memiliki rasa dendam. Ia
lebih suka mengingat hal-hal yang menyenangkan tentang periode gelap
itu. Tentang saat-saat menjelang perjalanan pembebasannya dari Pulau
Buru ke Pulau Jawa, ia tulis misalnya, “Diriku sangat gembira saat
mendengar peluit kapal berbunyi nyaring, pertanda perjalanan panjang
akan segera dimulai.” Di lain pihak ia merasa gundah sebab belum tahu
bagaimana kalau nanti ia kembali ke realitas masyarakat padahal ia
akan menyandang cap sebagai mantan Tahanan Politik. Toh, ia tidak
putus asa. Imannya telah membuat dia kuat dan tetap optimis,“Kini
saatnya semua itu mencair kembali. Kini saatnya untuk berkumpul lagi.
Kiranya semua ini hanya kehendak-Nya. Amien...”
Aslinya naskah ini ditulis tangan dalam beberapa tahap, berdasarkan
permohonan dan penjelasan dari peneliti. Semuanya ditulis murni
berdasarkan ingatan. Demi menghormati dan tidak menyinggung pihakpihak yang dibicarakan dalam narasi ini, dengan sengaja sejumlah nama
disamarkan.
***
OLEH orangtuaku aku diberi nama “S”. Aku adalah salah satu anak
dari sembilan bersaudara. Bapakku seorang penjaga pasar Beringharjo,
keraton yogya , yang sudah bekerja di sana sejak zaman Belanda dulu.
Di lingkungan masyarakat, Bapak sering dipanggil dengan sebutan
Tondho Pasar”. Sedangkan Iartikel singkat hanya bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Namun demikian, semenjak Bapak meninggal dunia pada
tahun 1961, Iartikel singkat bekerja sebagai buruh di pasar, karena ia harus
menanggung tiga orang anak yang masih tinggal bersamanya, termasuk
diriku.
Rumahku ada di pinggiran bantaran Sungai Code. Tepatnya di
Kampung Ledhok Ratmakan, di wilayah Kecamatan Gondomanan,
keraton yogya . Dulu kampung itu disebut dengan “Mantri Pamong
Projo”. Pada waktu meletusnya Peristiwa G30S/1965 umurku baru
19 (sembilan belas) tahun.
Awal Perjalanan Panjang
Aku ditangkap atau “diciduk” pada tanggal 21 Desember 1965 di
rumahku oleh aparat beserta massa. Lalu diriku dibawa atau digiring ke
Keamanan Militer Kota [KMK] atau sekarang disebut “ KODIM” yang
terletak di Jalan P. Mangkubumi, sebelah utara pintu Stasiun Kereta
Api Tugu, keraton yogya . Di sini aku diinterogasi oleh aparat setempat.
Dalam proses ini pukulan demi pukulan pun bersarang di wajah
dan di sekujur tubuhku. Untuk selanjutnya, aku beserta temanteman yang lain sekitar kurang lebih 25 orang jumlahnya dikirim ke
Benteng Vredeburg keraton yogya , dulu markas Batalyon 438. Di dalam
rombongan yang berjumlah lebih kurang 25 orang itu terdapat dua
orang wanita, yakni:
1. Mbak Suhartinah dari Prawirodirjan, yang sekarang
menjadi mertua dari Bpk. Agus Gudadi81 dari Kecamatan
Gondomanan,keraton yogya .
2. Mbak Walbi Rahayu dari Kadipaten Wetan Kecamatan Kraton,
keraton yogya .
Yang menjadi DanKam (Komandan Kamp) dari “Kamp Benteng”
waktu itu adalah Mayor Infantri Durdjani. Di situ diberlakukan
aturan-aturan layaknya aturan-aturan militer. Sebagai contoh, istilah
Ketua Kelompok diganti dengan istilah DanTon alias Komandan
Peleton.
Pada saat itu, Kamp Benteng dihuni para tahanan korban Tragedi
’65 berjumlah 41 peleton tahanan laki-laki. Sedang setiap peletonnya terdiri dari 40 orang. Tahanan laki-laki di tempatkan di sebelah
barat tahanan wanita. Pembatasnya hanya berupa pagar kawat berduri
dengan dilapisi gedheg [dinding dari anyaman bambu, ed.]. Kami para
tahanan hanya diberi makan satu kali sehari. Itu pun hasil kiriman para
penjaga penjara Wirogunan dan wujudnya grontol [rebusan jagung
lepas, ed.] dengan porsi yang amat minim—bila dihitung jumlahnya
lebih kurang hanya 80 butir jagung.
Pada tanggal 25 Desember 1965 kami diberitahu bahwa kami akan
di-screening oleh Resimen Para-Komando Angkatan Darat [ RPKAD]
yang saat itu berada di bawah pimpinan Letkol Sarwo Edhi Wibowo.
Akan tetapi dalam kenyataannya yang kami terima bukan screening
melainkan penyiksaan yang kejam serta keji dan tak manusiawi.
Dalam waktu yang singkat selama di Benteng [Kamp Benteng
Vredeburg] berat badan kami para korban Tragedi ’65 banyak yang
merosot sekali. Bahkan banyak di antara kami yang terjangkit penyakit
Hongerodim alias “HO” yakni penyakit busung lapar. Semua itu terjadi
karena adanya pelarangan dari DanKam, yakni bahwa para tahanan
tidak boleh di-bezoek [dikunjungi] atau dikirim makanan oleh keluarga
korban. Pada bulan Februari 1966 terjadi pemanggilan untuk pertama
kalinya di Benteng. Tetapi anehnya pemanggilan ini dilakukan
pada waktu malam hari. Dan yang sangat mengejutkan bagi kami
adalah mereka yang terpanggil diberi sebuah tanda semacam peneng
[semacam tanda pengenal, ed.] yang dikenakan di leher masing-masing.
Menurut fi rasat kami, mereka yang diberi tanda itu akan dibantai, tapi
entah di mana. Untunglah, kiranya Tuhan masih melindungi diriku
sehingga pada saat itu aku tak dipanggil.
Pada pertengahan bulan April 1966 aku dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan [LP] Wirogunan, masih di keraton yogya . Di sini
DanKam-nya adalah Serma Sudarman, orang dari Prawirodirdjan,
Gondomanan. Sebagai Direktur LP Wirogunan adalah Romli. Tugas
pengawasan para sipir penjara dibantu oleh para napi [narapidana].
Selama berada di LP Wirogunan ini sedikit demi sedikit aku bisa
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Pada saat yang sama
keakraban antar teman pun mulai terjalin erat, baik itu dengan teman
dari luar kota maupun dari dalam kota Yogya. Bahkan dengan temanteman dari luar daerah pun telah terbangun baik dan persahabatan
bertumbuh mekar. Di penjara itu diberlakukan apa yang disebut
“hukuman kolektif” yang berarti “jika salah satu tahanan berbuat
kesalahan, semua tahanan akan dikenakan hukuman”. Hal itu
mendorong kami para korban saling menjaga sebab kami merasa
senasib, sependeritaan, dan seperjuangan. Kami para Tahanan Politik
( Tapol) hanya mengenal “Tiga B” atau “3B” yaitu “Buang, Bui, dan
Bunuh”. Ada sebagian kecil dari kami para korban yang dipekerjakan
di Wirogunan ini, semisal di Los Sepatu, Los Kulit, dan Los Tukang
Cukur dan lain-lainnya. Mereka yang dipekerjakan itu mendapatkan
jatah ransum atau makan dua kali sehari. Sedangkan kami yang lain
hanyalah menganggur saja, cuma menunggu makan sekali untuk setiap
harinya. Waktu itu ada ketentuan dari DanKam bahwa setiap keluarga
Tapol ’65 diharuskan menyetorkan beras sebanyak 10 kilogram atau
kalau mau dapat menggantinya dengan uang sebesar Rp 25,- pada
tahun 1967. Keluarga yang tak bisa setor baik beras maupun uang
tidak diperbolehkan bezoek maupun mengirim makanan.
Jadi setiap bulannya keluarga para korban ini telah dibebani
beras 10 kg atau uang Rp 25,- per bulan. Dalam hati kami bertanyatanya, adakah satu negara yang menahan para Tapol negara ini
tanpa memberikan makan bagi yang ditahannya? Saya kira belum ada.
Yang ada ya hanya di negara tercintaku ini, negara yang disebut-sebut
sebagai Negara Pancasilais—sedemikian Pancasilaisnya sehingga para
penguasanya pada waktu itu, yaitu para penguasa Orde Baru, begitu
kejam.
Menjelang bulan Agustus 1966, teman-temanku mempunyai
inisiatif untuk menyongsong hari kemerdekaan RI yang ke-21
dengan mengisi kegiatan berupa lomba baca puisi dan menyanyi.
Selain itu, juga akan diadakan sebuah pertunjukkan drama serta
ketoprak. Inisiatif ini ternyata mendapat respon baik dari aparat
setempat saat kami melapor untuk minta izin. Dengan demikian,
terlaksanalah kegiatan itu, dan hasilnya pun memuaskan. Bahkan
para sipir pun berharap diadakannya malam hiburan serupa setiap
bulannya. Banyak di antara sipir-sipir ini yang menyukai, menggemari
kesenian ketoprak. Di antara kami para korban banyak yang dulunya
merupakan pemain ketoprak “Kridomardi”. Mereka itu antara lain
Bapak Sasmito, Bapak Siswadi, Bapak Tjokro Djadi, Bapak Sasto
Siwi, Bapak Rachmad, dan masih banyak lagi. Tampaklah meski pelan
namun pasti, kami mendapat kelonggaran-kelonggaran yang sangat
berarti bagi kami. Dan meskipun setiap harinya kami hanya makan
grontol dan sayur kobis, hati kami selalu merasa riang-gembira. Untuk
menghibur kami, salah seorang dari kami yaitu Bapak Saptopriyo,
bekas dosen ASMI yang mencoba menciptakan lagu-lagu. Salah satu
di antaranya adalah lagu berikut ini.
Cadong
Tempo: cha cha
Riang hatiku kawan
Dengar pluit berbunyi
Karena makan
Nasi jagung
Ayo kita keluar
Kita antri teratur
Jangan sampai
Kena pukul
Reff: Nasi Jagung kawanku
Sayur kubis, sayurnya
Kita ganyang kawanku
Sampai habis
Janganlah kau termenung
Jangan berhati murung
Karena makan
Nasi Jagung
Beliau ini berasal dari Brontokusuman di wilayah Kecamatan
Mergangsan, keraton yogya , tepatnya di pertigaan jalan menuju Imogiri
atau Jalan Sisingamangaraja. Berikut ini saya sebutkan lagu-lagu karya
beliau.
1. Mawar Merah (jenis: langgam kroncong)
2. Lusi (jenis: langgam kroncong)
3. Susi (jenis: langgam kroncong)
4. Romantika (jenis: langgam kroncong)
5. Di Kala Sinar Bulan Purnama (jenis: langgam kroncong)
6. Suratku (jenis: hiburan)
7. Cadong (jenis: cha-cha, seperti kusebut di atas)
8. Bertamasya (jenis: cha cha)
9. Cipayung (jenis: waltz)
10. Berat Jalan (jenis: hiburan)
Waktu itu Gedung Perpustakaan Jefferson atau Jefferson Library
yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, tepatnya di depan Pasar
Kranggan, keraton yogya , dijadikan tempat pemeriksaan bagi kami para
korban Tragedi ’65. Tempat itu sekaligus dijadikan sebagai markas para
interogator yang terdiri dari unsur Kejaksaan, Kepolisian, serta aparat
dari Kodim, dengan dibantu pihak Kecamatan serta Ormas (organisasi pergerakan gerakan
masyarakat), dan Orpol (organisasi pergerakan gerakan politik) setempat. Pada waktu itu,
tahun 1965, setiap orang pasti merasa ketakutan. Mereka takut sekali
apabila dirinya akan diciduk, ditangkap, atau dituduh sebagai orangorang PKI . Waktu itu nyawa seekor anjing lebih berharga dibanding
nyawa seorang PKI . Tak mengherankan di masyarakat lalu tumbuh
rasa curiga satu sama lain, di antara mereka sendiri. Dari sikap saling
curiga ini lahirlah apa yang disebut dengan “fi tnah”. Di sana-sini
terjadi fi tnah-memfi tnah. Akibatnya para korban Tragedi ’65 ini
tidaklah mutlak terdiri dari orang-orang PKI saja. Ada yang menjadi
korban hanya karena soal dendam pribadi atau rasa sentimen saja. Hal
ini terbukti dari fakta bahwa di dalam Kamp ada juga orang-orang
dari PNI dan lain-lainnya.
Dan memang seperti itulah yang diharapkan dari pemerintah
Orde Baru pimpinan Soeharto. Oleh pemerintah, sengaja masyarakat
dibuat tidak tenang dan tidak tentram. Di mana-mana, baik di kota
maupun di daerah, muncullah para “Petruk” alias “Tukang Tunjuk”.
Menjadi “Orang Buangan”
Pada bulan Juli tahun 1969 di penjara Wirogunan telah terjadi
pemindahan tahanan secara besar-besaran. Akan tetapi dari kami belum
tahu persis ke mana kami akan ditempatkan atau dipindahkan.
Ternyata kami dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan, Cilacap,
Jawa Tengah. Untuk itu pupuslah harapanku untuk dapat bertemu
orangtua beserta keluargaku. Kami diberangkatkan dari Wirogunan
saat menjelang subuh, dengan diangkut bus. Kami sampai di
pelabuhan “Wijaya Kusuma” Cilacap pukul 8.00 pagi WIB, langsung
diturunkan di dermaga ini dengan disuruh berjongkok dengan
kedua tangan diletakkan di kuduk, di bawah todongan bedil para
“Polsus”, yakni Polisi Khusus Nusa Kambangan. Dari pelabuhan ini
kami lalu diangkut dengan kapal “Anjing”, yakni kapal pengangkut
para tahanan yang akan dijebloskan ke Nusa Kambangan. Di Pulau
Nusa Kambangan ini ada pelabuhan, Pelabuhan “Sodong” namanya.
Dari “Sodong” kami lalu dimasukkan ke dalam penjara. Aku
ditempatkan di penjara “Gliger”. Di Pulau Nusa Kambangan ini ada
penjara yang berjumlah 9 buah Lembaga Pemasyarakatan (LP) alias
penjara. Masing-masing adalah:
1. LP Besi
2. LP Batu
3. LP Gliger
4. LP Permisan
5. LP Limus Buntu
6. LP Nirbaya
7. LP Karang Tengah
8. LP Karang Anyar
9. LP Kembang Kuning
Menurut info dari salah seorang eks-sipir penjara yang bernama
N.K., teman para korban Tragedi ’65, panjang Pulau Nusa Kambangan
ini hanya lebih kurang 27 km, lebar kurang lebih 7 km saja. Kegiatan
kami di sini hanya menerima penyuluhan atau “Santiaji” di bidang
kerohanian, pertanian, perkebunan, dan perikanan. Menurut penjelasan dari para petugas pemberi Santiaji, kami di Nusa Kambangan
hanya bersifat sementara. Nantinya kami akan ditempatkan di suatu
lahan, di mana lahan ini akan diberikan sebagai milik sendiri,
atau semacam transmigrasi. Namun demikian, para petugas ini
tak mau menyatakan tentang lokasi lahan itu.
Dan ternyata ucapan petugas ini menjadi kenyataan. Pada
bulan Agustus tanggal 15 tahun 1969 telah dilaksanakan pengiriman
Tapol dalam Periode I, yang jumlahnya terdiri dari kurang-lebih
2.000 orang dan diangkut dengan Kapal Motor ADRI XV.82 Namun
demikian, kami semua tak mengetahui ke mana tujuan kapal ini ,
atau mau ditempatkan di mana teman-teman kami itu. Yang kami
jadi tahu adalah bahwa penjara Nusa Kambangan tampaknya hanya
merupakan sebuah tempat transit saja.
Selama berada dalam masa penantian ini salah seorang temanku
yang bernama Suyanto alias “Thole” dari kampung Tukangan wilayah
kecamatan Danurejan, keraton yogya , menciptakan sebuah lagu yang
berjudul Kampung Laut Tanggo. Demikian bunyinya.
Kampung Laut Tanggo
Mari kawan ‘nuju Kampung Laut
Dulu jalan hutan bako-bako
Ayu dayung sampan ramai-ramai
Lalu atas air liku-liku
Reff : Bambu-bambu rumah perkampungannya
Terapung air indah nian nampaknya
Prahu-prahu nelayan hidup tenang
Gereh,udang,terasi hasil yang utama
Kampung laut, kampung nelayan
Itu hanya-itu hanya kampung laut
Selain itu, dia juga menciptakan sebuah tarian yang berjudul
“Tari Layang-layang”. Tarian serta lagu ciptaannya sangat populer
di kalangan para korban. Acap kali dipertontonkan, dipertunjukkan
dalam acara kesenian. Tetapi hingga kini saya tak tahu keberadaan
teman ini . saat kakaknya meninggal dunia pada tahun 2008
teman ini juga tak terlihat olehku. Sementara itu, aku berada
di Nusa Kambangan kurang lebih 3 tahun. Selanjutnya, aku dikirim
ke Pulau Buru sebagai bagian dari Periode atau Gelombang Kedua.
Tanggal 26 september 1969, aku sampai di Pulau Buru, Ambon,
Maluku.
Lahirnya “ BAPRERU”
Pulau Buru merupakan tempat terakhir yang dipilihkan oleh rezim
Orde Baru untuk kami para korban Tragedi ‘65. Oleh Orde Baru,
Pulau Buru dijadikan sebagai “Tempat Pembuangan Akhir” atau
TPA83 bagi para korban Tragedi ‘65. Mandat, kewenangan serta
pelaksanaannya oleh rejim Orde Baru diserahkan kepada Kejaksaan
Agung RI yang Ketuanya pada waktu itu adalah Ali Said, S.H.
Selanjutnya Kejaksaan RI berkoordinasi dengan Pangkopkamtib
atau Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang
saat itu dipegang oleh Jenderal Sudomo, serta dengan instansi yang
terkait seperti Kementerian Transkop (Transmigrasi dan Koperasi)
dan Kementerian Pertanian. Dengan demikian, maka pada tahun
1969 terbentuklah suatu badan yang mereka sebut “ BAPRERU” atau
Badan Pelaksana Resettlement dan Rehabilitasi Buru.
Petugas keamanan dan pengawalan diambil dari territorial Kodam Pattimura dengan Batalyon 731, 732, dan 733. Pulau Buru
dengan ibukota Namlea ini termasuk wilayah Maluku Utara. Pada
tahun 1969 Komandan Tempat Pemanfaatan ( Tefaat) Pulau Buru
dijabat oleh Mayor Corps Polisi Militer [CPM] Rusno. Ia menjabat
dari tahun 1969 hingga tahun 1971.
sesudah formasinya tertata dan Pulau Buru sudah dinyatakan
siap untuk menampung para korban Tragedi ’65, secara berkala dan
berangsur-angsur para Tapol-pun dikirim ke sana. Dengan begitu,
genaplah sudah pulau Buru sebagai “TPA” bagi para korban Tragedi
’65. Dengan begitu pula, nama Pulau Buru menjadi tersohor ke
seluruh permukaan dunia.
Menginjak “Tanah Tak Terjanji”
Kami selalu dipindahkan dan dipindahkan bagai kotoran yang berbau
busuk, menjijikkan. Kami ditendang lalu dibuang. Agar hati kami
tak lagi tenang. Demikian kira-kira jalan pemikiran penguasa saat itu
terhadap kami para korban Tragedi ’65.
Pada pertengahan bulan September 1969 diriku betul-betul
meninggalkan Pulau Nusa Kambangan, sebagai bagian dari pengiriman
tahanan Gelombang Kedua. Jumlah yang termasuk dalam Gelombang
Kedua ini kira-kira 2.500 orang. Pemberangkatannya dimulai pada
pukul 16.00 WIB dengan naik kapal ADRI XV seperti saya sebut
tadi. Untuk pengawalannya dipimpin oleh Kapten Yoes Padaga dari
Kostrad84 RPKAD. Pada awalnya perjalanan baik-baik saja. Tetapi
saat memasuki hari yang ke-4, kami merasa adanya ketidakberesan
daripada kapal ADRI XI ini. Tetapi kami semua tak dapat mengerti apa
yang telah terjadi, disebabkan kami berada di dalam palka yang berada
dalam keadaan terkunci. Satu-satunya yang kami ketahui hanyalah
terdengarnya suara kegaduhan di atas dek saja. Tak lama kemudian
barulah kami ketahui apa yang terjadi berkat adanya pemberitaan dari
atas kapal ini . Berikut adalah lebih kurangnya bunyi pemberitaan
ini .
Telah terjadi suatu kebakaran kecil pada ADRI XI, namun berkat
kesigapan dari para petugas semuanya segara dapat diatasi. Untuk
sesaat, di antara kami saling pandang, memandang apa yang baru
saja terjadi. Menjelang sore ADRI XI lalu berlabuh di Pelabuhan
Makassar untuk mengisi bahan bakar. Keesokan harinya barulah kami
melanjutkan perjalanan. sesudah memakan waktu 10 hari 10 malam,
sampailah kami di tempat yang dituju. Namun demikian, kapal
ADRI XI tidak dapat merapat di pelabuhan. Kemungkinan alasannya
menyangkut masalah security. Kami pun lalu diangkut dengan kapalkapal kecil jenis kapal pendarat atau landing craft.
Sesampainya di daratan, baru kami ketahui bahwa kami berada di
Pulau Buru pada tanggal 26 September 1969. Pelabuhan itu bernama
Namlea, Buru Utara, Maluku Utara, Ambon. Dari dermaga ini kami
langsung dinaikkan ke truk dan menuju ke suatu lokasi bernama
Transito Jiko Kecil.
Di transito ini kami diberitahu bahwa nantinya di tempat yang
baru itu kami akan disuruh mengerjakan tanah yaitu bertani dan
berkebun, sedang hasilnya nantinya untuk kami para warga. Untuk itu
di sini kami diberi petunjuk-petunjuk soal pertanian dan perkebunan
secara benar. Ternyata dalam tempo kurang lebih 3 minggu kami
dikirim ke unit-unit, diangkut dengan kapal landing craft lagi. Waktu
itu transportasi darat belum ada, sehingga kami menggunakan jalur
air untuk sampai ke unit-unit. Sungai Wayapo adalah satu-satunya
sungai sebagai alternatif kami. Selain dalam, sungai itu juga cukup
lebar. sesudah tiba di muara Sungai Wayapo, kami melihat satu
perkampungan nelayan suku Bugis yang disebut perkampungan
“Kaki Air” dan kami pun semakin masuk ke wilayah pedalaman.
Perjalanan ini sungguh mengasyikkan sekali sebab Sungai Wayapo
ini berkelok-kelok layaknya seekor naga yang sedang menggeliat.
sesudah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam lamanya
sampailah kami ke unit yang kami tuju.
Resmi Menjadi Warga Unit I
sesudah tiba di unit, aku ditempatkan di barak, untuk setiap baraknya
dihuni kurang lebih 100 orang. Unitku ini terdiri dari 10 barak, dan
di setiap barak oleh Komandan Unit [DanUnit] telah ditunjuk dua
orang sebagai Kepala Barak dan Wakilnya.
Selain itu, DanUnit pun telah menunjuk dua orang lainnya
untuk memimpin Kepala-kepala Barak beserta Wakilnya. Jadi, kedua
orang itu bertugas sebagai Koordinator dan Wakil Koordinator atau
sebagai Pembantu Utama DanUnit. Pada hari pertama kami diberi
waktu untuk beristirahat.
Keesokan harinya kami disuruh apel. Kami lalu diberi tugas
sesuai kelompok atau barak masing-masing. Dalam apel ini
DanUnit memberi instruksi pada kami semua. Isi instruksi ini
antara lain:
1. Kenyang dan tidaknya perut saudara-saudara ada di tangan saudarasaudara sendiri. Untuk itu, saudara-saudara dituntut untuk bekerja
keras dan sungguh-sungguh sebab nasib saudara-saudara ada di
tangan saudara-saudara sendiri. Sedangkan Pengurus Pusat tak
mau bertanggung jawab lagi bila sampai gagal.
2. Akan tetapi, bila usaha saudara-saudara di sini belum berhasil atau
menghasilkan, Pusat akan bertanggung jawab serta memberikan
waktu untuk masa konsolidasi selama 9 bulan, dengan mengirim
barang dan alat-alat pertanian, juga obat-obatan, pupuk, dan
sebagainya.
3. Hasil-hasil panen adalah milik saudara semua.
4. Saya selaku DANUNIT melarang saudara-saudara berhubungan
dengan para penduduk asli maupun orang-orang Bugis dan lainlain.
Demikianlah kira-kira isi instruksi dari DanUnit yang selama ini
masih kuingat. Selanjutnya kami semua bekerja menurut pembagian
tugas masing-masing.
Di tahun-tahun pertama, kami di Unit kami masing-masing
menanam padi gogo (di huma sekitar barak yang berjarak kuranglebih 500 meter dari Unit), serta menanam palawija dan sayur-sayuran.
Sedang untuk menambah pangan, kami menumbuk sagu.
Memasuki tahun kedua, kami sudah memiliki persawahan. Kami
juga membuat jalan di luar Unit. Jalan itu penting misalnya untuk
pergi ke ladang. Kami juga membuat bendungan dan perumahanperumahan.
Menjelang 1971 DanUnit mengizinkan warga tidur di luar barak
atau di luar unit. Tapi semula yang diizinkankan hanya para penekun
ladang dan sawah (mereka boleh tidur di gubug). Itu pun dengan
catatan, setiap pagi harus mengikuti apel di lapangan. Bagi kami yang
tidur di dalam barak (Unit) setiap harinya harus menjalani apel pagi
dan malam menjelang tidur.
Kondisi Unit antara lain seperti berikut: Satu Unit terdiri 10 barak,
dan setiap barak dihuni 60 orang (ini termasuk Unit kecil). Sedang
Unit yang besar (seperti Unit I dan II) setiap baraknya dihuni kurang
lebih 100 orang. Setiap unit dijaga petugas sebanyak satu peleton,
ditambah satu regu PHB dan Zipur. Jumlah itu masih ditambah lagi
dengan 10 orang petugas dari Kejaksaan.
Suatu saat aku bertanya dalam hati, apakah semua ini sudah
menjadi kehendak-Nya? Sebab sementara di Unit ini aku belum dapat
beradaptasi dengan lingkungan, tiba-tiba aku dipindahkan ke Unit
lain. DanUnit beralasan demi pemerataan warga unit atau penghuni
unit. Aku bersama teman lain yang berjumlah 50 orang dipindahkan
ke Unit III Wanayasa. Sebagai catatan, masa konsolidasi yang katanya
akan berlangsung kurang lebih 9 bulan, kenyataannya dalam waktu
empat bulan sudah dihentikan.
Nama Masing-masing Unit
Dalam kurun waktu 1969-1970 para Tahanan Politik penghuni Pulau
Buru tinggal di beberapa unit. Unit-unit itu antara lain:
Unit I Wanapura, dengan DanUnit Lettu CPM Eddy Tuswara
dari Jabar [Jawa Barat].
Unit II Wanareja dengan DanUnit Lettu