• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label maria magdalena 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label maria magdalena 1. Tampilkan semua postingan

maria magdalena 1

 


Perempuan selalu didiskriminasi sebagai the second class dalam

budaya patriarki Yahudi. Maria Magdalena yang seharusnya menjadi satu

di antara murid-murid Yesus tersubordinasi oleh tulisan-tulisan yang

memojokkannya. Padahal dalam komunitas Yesus ia telah memasuki

sebuah komunitas pemuridan yang sederajat. Memanfaatkan beberapapendapat dari para teobg feminis, maka tulisan ini bertujuan melihat teks

Yoh 20:11-18 sebagai teks androsentrik yang sarat akan bias patriarkal

untuk ditafsir dengan pendekatan hermeneutik feminis dengan

memanfaatkan studi hermeneutik kecurigaan feminis dari Schiissier

Fiorenza dan kriteria pengalaman dari Ruether. Studi ini diharapkan

bermuara pada rekonstruksi bahwa perempuan dan laki-laki dipanggil

dalam kesederajatan untuk tergabung dalam basileia Allah dan memasuki

sebuah komunitas inklusif.

Penafsiran teks dalam perpektifteologi feminis

Teobgi Feminis

Teologi feminis merupakan usaha untuk mengembalikan

perempuan kepada sejarah dan sejarah kepada perempuan. Sementara

sebagian teks Perjanjian Baru mendiamkan perempuan, teologi feminis

berusaha menemukan suara perempuan di dalam teks-teks yang ditulis

oleh perempuan dan membaca berbagai teks tentang perempuan yang

ditulis oleh laki-laki.1

Teologi feminis ini tidak saja dibangun oleh

perempuan tetapi juga oleh laki-laki yang ingin perempuan dijadikan

subjek. Selanjutnya, teologi feminis dibangun oleh perempuan yang

sedang berusaha mencari sejarah dan jati did, tidak bersedia

menyamakan dirinya dengan laki-laki, dan berusaha membebaskan

dirinya dari pola-pola lama yang membelenggu yang ditentukan oleh laki￾laki.2

Beberapa ahli mendefinisikan teobgi feminis dalam beberapa

pengertian. Anne M Clifford mendefinisikannya sebagai gerakan yang

memperjuangkan pembebasan bagi kaum perempuan dari semua bentuk

seksisme dengan memperhatikan pengalaman relasi kaum perempuan

dengan Allah.3 Anna Nasimiyu-Wasika mengatakan bahwa feminisme

menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu

mewujudkan keutuhan hidupnya.4

Phyllis Trible mendefinisikannya tidak

saja sebagai sebuah kritik terhadap budaya dalam terang misogini

(pembend perempuan] melainkan juga melibatkan kritik teobgis.5

Rosemary R. Ruether menekankan prinsip teobgi feminis, yakni the full

humanity of women, perempuan menuntut prinsip kemanusiaan penuh

bagi dirinya sendiri.6

Semua usaha teobg feminis ini diarahkan pada

rekonstruksi paradigma gender agar perempuan dapat terlibat secaraperempuan dapat terlibat secara penuh dan setara dalam peran

kemanusiaan. Dalam rangka mencapai tujuan dalam semua definisi ini,

para teolog feminis telah berupaya membangun teologi feminis

berdasarkan pemahaman dan metcdenya masing-masing. Ruether

dengan lingkaran hemeneutik, Elisabeth Schiissier Fiorenza dengan

hermeneutik feminis, Stanton dengan'The Woman's Bible dan Ti ible

dengan penafsiran retorik.

Cara Pandang dan Pernaknaan Terhadap Teks

Anne Clifford rnengemukakan tiga cara pandang orang Kristen

terhadap Alkitab. Pertama, orang yang memandang Alkitab sebagai

firman Allah yang harus diterbna tanpa syarat. Kedua, orang yang

memandang Alkitab sebagai wa' u ilahi dalam rekaman manusia yang

ditulis di masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan

hidup dan iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah tetapi diberi

makna baru. Ketiga, orang yang bingung menentukan sikap terhadap

Alkitab. Berdiri pada cara pandang yang kedua, para teolog feminis

reformis mengernbangkan dengan bebas pandangannya terhadap teks

Alkitab dan dengannya membangun metode untuk rekonstruksi teks.

Clifford melihat teks Alkitab sebagai teks kuno yang ditulis selama

beberapa abad yang berbeda, di tempat berbeda, oleh para pengarang

yang berbeda untuk tujuan yang berbeda juga yang membentuk sebuah

perpustakaan teks-teks religius.7

la memaknai teks Alkitab dengan

memperlihatkan keandrosentrikan teks Alkitab sekaligus peluang besar

untuk melihat realitas historis teks Alkitab.

Letty M. Russel memahami Alkitab sebagai kabar baik, tuhsan

rahasia karena berfungsi sebagai tulisan atau semangat hidup, yakni

undangan Tuban untuk bergabung dalam pemulihan keutuhan,

kedamaian, keadilan di dunia. Bersama Schiissier Fiorenza, Russel yakin

bahwa Alkitab memberikan sebuah bentuk dasar bagi kisah hidupnya

yang membentuk pengalaman emosional dan ajakan transformasi.

Russel percaya bahwa di mata Tuhan ia bukanlah marginal tetapi seperti

orang kulit hitam dan hispanik ia adalah ciptaan Allah dan terpanggil

pada janji Alkitab untuk menjadi seperti yang Tuhan inginkan, yakni

menjadi rekan dalam pemulihan ciptaan.Phyllis Trible memilih untuk memusatkan perhatian pada teks

Alkitab dan menolak usaha apa pun untuk membedakan teks dari tradisi,

bentuk dan isi secara metodobgis dan menekankan pada struktur teks

Alkitab. Baginya, Alkitab adalah seorang pengembara yang berkenala

melalui sejarah untuk menggabungkan masa lampau dan masa kini dan

suara Allah identik dengan teks Alkitab. Untuk menemukan niat Allah, ia

harus 'mendengarkan' dan menafsirkan teks seakurat mungkin dan ia

memilih metode penafsiran kritik retorik untuk memusatkan perhatian

pada gerak teks.9

Pembacaan kembali berciri retoris dan penerapan

hermeneutik kecurigaan dan kenangan ini menolongnya memberikan

sebuah tafsiran rekonstruktif dengan peluang kebebasan, seperti tafsiran

baru terhadap Kej 2;4b-3;24.10

Katharina Doob Sakenfeld memperkenalkan tiga pendekatan

bagaimana seorang feminis harus membaca Alkitab, pertama,

memperhatikan nas Alkitab yang bertentangan dengan nas yang biasa

dipakai untuk mernbatasi perempuan, kedua, memperhatikan seluruh

Alkitab untuk memperoleh suatu perspektif teobgis yang kritis terhadap

patriarki, ketiga, memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah

dan cerita perempuan (duiu/kini) yang hidup dalam suatu lingkungan

masyarakat patriarkal.11

Schiissier Fiorenza mengusulkan hal yang lain. Melihat kenyataan

bahwa pada satu sisi teks-teks Alkitab bersifat androsentrik dan di sisi

lain teks-teks ini menjadi sumber kekuatan bagi perempuan untuk

menemukan uraian historis yang hilang dan menentukan realitas

kehidupan yang seharusnya bagi perempuan baik dalam pengalaman

yang sebenarnya pada masa Alkitab maupun pengalaman masa kini, ia

menegaskan betapa metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik

kenangan adalah suatu kebutuhan mendesak terhadap teks-teks Alkitab.12

Hermeneutik kecurigaan feminis membangkitkan semangat yang

menuntut seseorang untuk turut mempertimbangkan pengaruh dari

berbagai peran dan pola sikap menyangkutjenis kelamin yang ditentukan

secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian

bahwa patriarkat secara mendalam berdarnpak atas teks-teks Alkitab dan

tafsiran-tafsiran atasnya di dalam tradisi Kristen yang mencakupbagaimana teks-teks Alkitab memperlakukan perempuan di dalam

berbagai penuturan kisahnya dan sama sekali mengabaikan pengalaman

perempuan tidak saja mengenai apa yang dikatakan tetapi juga apa yang

didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik kenangan

merupakan sisi lain dari hermeneutik feminis yang mengakui

perendahan martabat, pembuangan, penganiayaan dan perbudakan masa

lampau yang dialami oleh kaum perempuan dan menjadikan pengalaman

tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah

yang kaya bagi kita saat ini untuk merancang sebuah teologi zaman ini

yang menyembuhkan penderitaan dan kemerdekaan dalam perjuangan.

Sejalan dengan ini maka aturan-aturan metodofogis berikut ini sangat

diperlukan.13 Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi

maupun Kristen harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua,

pengagungan maupun penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam

teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai bangunan realitas sosial dalam

pengertian patriarkal atau sebagai proyeksi tentang realitas lelaki. Ketiga,

kanon-kanon resmi dari hukum patriarkal yang dikodifikasikan pada

umumnya lebih membatasi dibandingkan dengan interaksi dan hubungan

yang sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki dan realitas sosial

yang diaturnya. Keempat, status sosial-keagamaan perempuan yang

sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi ekonomi dan

peranan-peranan sosial mereka daripada oleh pernyataan-pernyataan

ideologis ataupun apa yang seharusnya. Dengan demikian penafsiran

feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-tengah

rekonstruksi historis sebagai tanggapan perempuan terhadap perubahan

sosial yang mempengaruhi hidup mereka, serta di tengah-tengah upaya

perempuan untuk mentransformasikan dan mengubah struktur dan

pranata kemasyarakatan.

Ruether menekankan bahwa kanon Alkitab merupakan langkah

pertama untuk mencari akar pengalaman perempuan yang

termarginalkan dalam tradisi gereja dan teologi tradisional dalam rangka

membangun teologi feminis.14 Metodologi yang digunakan adalah metode

lingkaran hermeneutik untuk menguji pengalaman unik perempuan yang

merupakan kekuatan bagi teori kritis dalam menguji teologi tradisional

dan tradisi gereja. Kriteria pengalamannya adalah pengalamanperempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki, pengalaman

laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang

mengadopsinya, pengalaman universal, pengalaman penuh laki-laki dan

perempuan setara dalam pengertian hukum. Manusia tidak hanya diukur

dan diisi oleh pengalaman imajinasi laki-laki tetapi juga keduanya baik

laki-laki maupun perempuan sama-sama menjadi subjek dalam

pembentukan kualitas manusia. Ruether membuat hal ini penting karena

ia menentukan posisi, prinsip norma dan sumber teologi sebagai pijakan

untuk melihat pengalaman unik perempuan dalam tradisi.

Langkah-Langkah Studi Hermeneutik Feminis

Berdasarkan berbagai macam cara pandang, pemaknaan, dan

metode yang dikembangkan dalam upaya melakukan rekonstruksi teks￾teks Alkitab, maka penulis menentukan langkah-langkah dalam

melakukan suatu studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18

seperti berikut

1. Teks Yob 20:11-18 harus dipahami sebagai tulisan basil refleksi

penulis terhadap sesuatu hal untuk kepentingan tertentu, sebagai

produk budaya patriarkal dan ia memperolah bias-bias patriarkaL

Sepenggal kisah ini akan menjadi pintu masuk untuk melihat gunung

es yang tersembunyi di bawah realitas historis yang nampak dari teks.

2. Melakukan studi hermeneutik feminis terhadap teks dengan

menerapkan metode hermeneutik kecurigaan dari Schiissier Fiorenza

dengan memperhatikan kriteria pengalaman menurut Ruether

3. Merekonstruksi model pemuridan yang sederajat dari kisah Maria

Magdalena dalam teks Yob 20:11-18 berdasarkan basil studi

hermeneutik feminis yang telah dilakukan.

Memahami Maria Magdalena Dari Studi Hermeneutik Feminis

LatarBelakang Injil Yohanes

Saya setuju dengan pendapat para ahli bahwa penulis injil

Yohanes adalah seseorang yang diidentifikasi sebagai murid yang dikasihi

Yesus dalam injil Yohanes. Tetapi ia tidak dapat diketahui secara pasti

karena tidak mencantumkan identitasnya dalam injil Yohanes. Ia hanya

dapat dikatakan berasal dari kebmpok Yohanin yang masih memelihara


tradisi Yahudi dan hidup ketika kekristenan sudah tersebar luas dan

menuliskan tradisi dan ajaran Yohanes untuk kepentingan tertentu.

Terhadap kemungkinan penulis, ada tiga tokoh yang dapat dirujuk.

Pertama, ditulis oleh Yohanes, sang Rasul (Yoh bin Zebedeus). Yohanes

adalah orang yang paling mungkin diidentifikasi sebagai murid terkasih

dengan pertimbangan nama Yohanes tidak pernah disebut dalam injil

keempat dan kerendahan hati sebagai alasan Yohanes rasul tidak

menyebutkan namanya,15 Kedua, ditulis oleh Yohanes penatua dari

Efesus. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa murid yang dikasihi

Yesus memang adalah Yohanes rasul tetapi ia bukanlah penulis injil

keempat. Yohanes penatualah yang menulis injil keempat berdasarkan

pemikiran dan ingatan Yohanes rasuL16 Ketiga, ditulis oleh Maria

Magdalena. Hipotesa ini dikemukakan oleh Ramon A Jusino berdasarkan

pertimbangan pada teks-teks gnostik. Teks-teks gnostik memang

menyebut Maria Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus. Teks pra￾kanonik dari injil Yohanes menurutnya, memang menyebutkan Maria

Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus tetapi kemudian teks ini

direvisi oleh kelompok Apostolik untuk kepentingan diterima dalam

kanon sehingga memunculkan dua pribadi yang berbeda dalam peristiwa

yang sama, yakni memisahkan Maria Magdalena dan murid yang dikasihi

Yesus sebab tidak mungkin gereja akan menerima sebuah tulisan yang

ditulis oleh seorang perempuan karena pelayanan kerasulan seorang

perempuan tidak diakui.17

Membandingkan kemungkinan pengidentifikasian murid yang

dikasihi Yesus sebagai Yohanes anak Zebedeus, Yohanes sang Penatua

dan Maria Magdalena merupakan hal yang sukar. Jika membandingkan

dengan tempat penulisan dan penanggalan surat, yang terjadi di Efesus18

sekitar tahun 100 ZB19 maka kemungkinan kepenulisan atas diri mereka

disangsikan sebab tulisan ini ditujukan pada orang Kristen generasi

kedua atau ketiga. Hal ini akan menjadi lebih rumit lagi jika

memperhatikan karakteristik injil Yohanes yang sudah sangat

dipengaruhi oleh budaya dan filsafat Yunani. Selain itu, setiap ucapan

Yesus dalam injil Yohanes lebih tepat untuk dilihat sebagai ipsissima verba

(ucapan yang ditempelkan dalam mulut Yesus) sebab injil Yohanes tidak

sedang bercerita mengenai laporan historis dari kejadian di masa lalumelainkan berdasarkan pendapat banyak penafsir bahwa khotbah atau

pengajaran dalam injil Yohanes bukan berasal dari Yesus, tetapi dari

penulis yang diletakkan di dalam mulut Yesus.

Kedudukan Perempuan dalam Budaya Yahudi, Yunani dam Injil Yohanes

Dalam budaya Yahudi, perempuan tidak dianggap sebagai manusia

yang memiliki nilai, arti, dan hak yang sama seperti laki-laki. Hampir

semua penafsiran diarahkan pada sebuah kesimpulan bahwa perempuan

adalah the second claSs. Kebudayaan Yunani (Aristoteles] menganggap

perempuan sebagai laki-laki yang tidak sempurna. Dunia Perjanjian Baru

pun menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki (patria

potestas).20 Injil Yohanes menawarkan sesuatu yang berbeda. Injil ini

merangkum beberapa bagian dari pengalaman kaum perempuan.

Yohanes mengawali dan mengakhiri injilnya dengan menyebut peran

perempuan.21 Perempuan-perempuan ini disebut karena mereka

memiliki peran yang besar dan bahwa tindakan mereka patut menjadi

potret bagi pemuridan dalam komunitas Yesus. di tengah budaya

patriarkal yang sangat kentaL Injil Yohanes muncul dengan padangan dan

pemahaman yang berbeda terhadap perempuan. Injil Yohanes sangat

menaruh perhatian terhadap pergerakan perempuan.

Studi Hermeneutik Feminis Terhadap Yoh 20:11-18

History in text belum tentu mewakili apa yang sebenarnya sedang

terjadi. Informasi yang muncul ke atas permukaan teks hanya sebagian

kecil dari gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan.22 Oleh

gereja Katholik Roma, Maria Magdalena dikenal sebagai seorang pelacur

yang bertobat, perempuan yang dari padanya Yesus pernah mengusir

tujuh roh jahat, oleh Paus Gregory I pada abad 6 diidentifikasi sebagai

perempuan yang mencuci kaki Yesus dengan rambutnya dalam Lukas

7:37 dan dinobatkan sebagai salah satu orang kudus berdasarkan

kesetiaan yang ditunjukkannya pada Yesus di sekitar kubur Yesus.

Rekaman data ini menuju prapaham teks Yoh 20:11-18 yang

menempatkan Maria Magdalena pada posisi sebagai perempuan berdosa

yang memperoleh kasih karunia dari Allah. Yesus yang bangkit dilihat

pertama kali oleh Maria Magdalena dan menjadikan Maria Magdalena

sebagai saksi kebangkitan karena kesetiaan yang ditunjukannya disekitar kubur Yesus. Namun, saya tidak setuju dengan prapaham teks ini.

Kemungkinan besar prapaham teks mengenai menonjolnya peran Maria

Magdalena sebagai saksi pertama kebangkitan hanyalah puncak dari

gunung es yang muncul di permukaan laut sedangkan gunung es yang

sesungguhnya tersembunyi di bawah permukaan laut. Untuk itu, teks Yob

20:11-18 akan ditafsirkan berdasarkan metode hermeneutik kecurigaan

feminis dengan menekankan pada beberapa poin berikut

1. Maria Magdalena Dan Pemuridan Yang Sederajat

Meskipun Yesus berasal dari Yahudi dan tumbuh dalam latar

belakang kehidupan Yahudi, namun la berani melakukan perubahan

terhadap kebudayaan Yahudi melalui gerakannya. Gerakan Yesus

merupakan gerakan yang berbagi meja dengan mereka yang

tersingkir (orang-orang mlskin, lemah, tidak dianggap, sampah

masyarakat Palestina) yang tidak tergolong dalam bangsa yang kudus.

Kepada mereka Yesus memberitakan visi eskatologis dan realitas

pengalaman yang akan datang dan yang sudah hadir. Mereka yang

hampir mati kelaparan dan putus asa karena tidak melihat jalan keluar

dari kemiskinan mereka ke masa depan dijanjikan basileia bahwa

Allah akan menjadikan perjuangan mereka keprihatinan Allah

sendiri.23 Gerakan Yesus tidak memanggil orang-orang saleh dari Israel

melainkan mereka yang cacat secara keagamaan dan secara sosial

kaum pecundang dan pemanggilan ini ingin menyatakan kesederajatan

antara orang benar dan orang berdosa, miskin dan kaya, laki-laki dan

perempuan, orang farisi dan murid Yesus, serta kesederajatan antar

bangsa yang diprakarsai oleh seorang perempuan yang diikuti oleh

murid-murid perempuan yang lain yang tetap setia mengikut Yesus ke

jalan salib saat semua murid laki-laki melarikan diri. Perempuan

menjadi saksi pertama kebaikan Allah dalam Yesus Kristus. Murid￾murid perempuan meneruskan ajaran Yesus setelah kematianNya dan

Maria Magdalena agaknya adalah pemimpin dari gerakan Yesus sebab

ialah orang pertama yang menerima penglihatan dari Tuhan yang

bangkit.24

Penerimaan menjadi anggota dalam kemuridan yang sederajat ini

menuntut baik laki-laki maupun perempuan untuk menyerahkan diri

yang penuh pada Yesus. Anggota ini terbebas dari pengaruh dominasikekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam keluarganya. Mereka

tidak lagi menghargai ikatan keluarga patriarkal sehingga terbentuk

sebuah keluarga altruistik yang terdiri dari saudara-saudari dan ibu

serta Allah sebagai Bapa untuk semua dimana bapa-bapa patriarkal

tidak dapat mendominasi lagi. Dan Maria Magdalena menjadi bagian

dari kemuridan ini.

2. Peran Maria Magdalena Dalam Teks Yob 20:11-18

Solidaritas dalam Kesederajatan

Sebuah artikel yang ditulis dari sudut pandang Maria Magdalena

memberikan sebuah gambaran baru mengenai dirinya yang bukan

seperti rekaman data gereja Katholik Roma. la hanya seorang

perempuan yang berdukacita dan Yesus mengubah hidupnya,

mengampuni, menyembuhkan dan menyelamatkannya dari depresi,

ketakutan, kecintaan terhadap diri sendiri, keraguan, kemalasan,

kebencian dan mengasihani diri sendiri.25 Penerimaan Maria

Magdalena menjadi bukti bahwa gerakan Yesus menerima perempuan

sebagai anggota yang sederajat dalam komunitasNya. Penerimaan

karena etos bela rasa ini melahirkan rasa solidaritas yang tinggi di

antara sesama anggota yang tergabung dalam komunitas Yesus.

Eksekusi terhadap Yesus terjadi atas tuduhan sebagai

pemberontak politik yang membuat para pengikutnya menghilang.

Tentu mengaku sebagai anggota dari gerakan Yesus seperti yang

dilakukan oleh Maria Magdalena adalah sebuah keputusan berbahaya

apalagi melakukan tindakan berisiko pada hari Paskah untuk

mengunjungi kubur seseorang yang tereksekusi karena alasan politik.

Hal ini, menurut Schottroff hanya dapat dilakukan karena sebuah rasa

solidaritas yang tinggi terhadap Yesus yang kemudian menjadi awal

dari proklamasi kebangkitan Yesus.26

Sikap Maria Magdalena pada ayat 11 mengindikasikan dua haL

Pertama, menurut peraturan waktu dan tradisi Yahudi, waktu Yahudi

dibagi menjadi 4 bagian, yakni pagi, siang, sore dan malam. Hari

pertama dimulai pada pukul 6 sore saat matahari terbenam dan

berakhir pada pukul 6 sore berikutnya.27 Pemilihan waktu pada pagi

hari ketika keadaan masih gelap untuk merempahi mayat Yesus tentumerupakan pilihan yang tepat. Waktu dimana orang-orang belum

terjaga, waktu yang tepat bagi seorang perempuan Yahudi untuk

berada di luar rumah terutama untuk alasan Maria Magdalena dapat

kembali ke rumah sebelum batas waktu keluar bagi perempuan

berakhir. Agaknya perkiraan ini meleset karena mayat Yesus hilang

dan Maria Magdalena harus menempuh perjalanan pulang dan

memberitahu murid-murid Iain mengenai hilangnya mayat Yesus.

Rentang waktu ini menyebabkan Maria Magdalena masih berada di

luar rumah hingga waktu keluar rumah bagi seorang perempuan

Yahudi berakhir. Jika dilihat dari sudut pandang ini maka penulis injil

Yohanes sedang menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang

perempuan "pembangkang/pelacur" karena melanggar tradisi.28

Kedua, jika dilihat dari sudut pandang Maria Magdalena, ia

memilih menentang tradisi itu agar dapat mencari mayat Yesus.

Penentangan terhadap tradisi ini dilakukan atas dasar rasa solidaritas

yang dialami Maria Magdalena bersama Yesus. Ia menunjukkan bahwa

cara Yesus membuatnya berharga dalam kesederajatan yang dialami

dalam kornunitas Yesus jauh lebih berharga dari tradisi Yahudi dan

hukum pentahirannya. Pada sisi lain, penulis injil memang berusaha

menampilkan profil Maria Magdalena sebagai perempuan

pembangkang terhadap tradisi tetapi di sisi yang lain ia sedang

memaparkan alasan penting dibalik sikap pembangkang Maria

Magdalena. Rasa solidaritas yang lahir dari etos bela rasa mengalahkan

ketakutan seorang perempuan, memberi keberanian menanggung

risiko dan penolakan atas pertanyaan malaikat (13) dan pertanyaan

Yesus (15). Sikap yang tidak ditunjukkan oleh para murid laki-laki

Yesus.

Teladan Kemuridan Sejati

Gerakan Yesus merupakan kesederajatan yang membuka

peluang bagi perempuan untuk berperan terutama dalam ranah

keagamaan dengan tidak ditafsirkan secara seksual tetapi altruistik.

Dalam pengaruh helenisme yang memberikan peluang bagi

perempuan untuk memimpin, gerakan Yesus juga melakukan hal yang

sama dengan membuka peluang bagi Maria Magdalena untukmemimpin. Ayat 16 menunjukkan bahwa dibalik metafor 'Gembala

yang baik' yang diciptakan penulis injil Yohanes untuk meredam peran

perempuan, ayat ini sedang menunjukkan fakta dan posisi Maria

Magdalena sebagai seorang murid Yesus dengan sapaannya "Rabbuni".

Kata rabbuni berasal dari kata rabbouni yang dalam bahasa Aram

disebut r'abbi, dan dalam bahasa Yunani menggunakan kata didaskale.

Kata rabbouni dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan master dan

kata didaskale juga diterjemahkan teacher atau rabbi yang berarti guru.

Kata ini sering digunakan oleh murid laki-laki Yesus ketika mereka

menyapa Yesus karena mereka sedang menempatkan diri sebagai

murid. Posisi ini juga berlaku bagi seorang perempuan seperti Maria

Magdalena ketika ia menyapa Yesus dengan sebutan Guru. Dengan

sapaan ini Maria Magdalena mendeklarasikan dirinya sebagai murid

Yesus. Lagipula sapaan ini diucapkan dalam bahasa Aram rabbouni

bukan dalam bahasa Yunani didaskale seperti yang lazim digunakan

oleh murid-murid lain. Dalam hemat saya, penggunaan kata rabbuni

mengindikasikan bahwa kata ini benar berasal dari zaman gerakan

dan komunitas Yesus dan Maria Magdalena adalah murid Yesus yang

pada masa itu menggunakan bahasa Aram sebagai bahasa percapakan

sehari-hari.

Di dalam PB, pemuridan berarti berada dalam perjalanan

bersama Yesus, yakni menjadi seorang pengelana, seseorang yang

sementara saja tinggal di suatu tempat, menjadi seseorang yang tidak

memiliki tempat untuk membaringkan kepala. Pemuridan

mengharuskan seseorang berbela rasa. Kaum perempuan yang

mengikut Yesus menunjukkan ciri pemuridan ini. Oleh Borg, mereka

digolongkan sebagai murid-murid yang paling setia hingga kematian

Yesus.29

Dalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh

Maria Magdalena. Ia tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,

berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi ia

menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas bersama

Yesus dan membuktikan diri sebagai murid yang mampu berbela rasa

tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama terhadap Yesus

sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak mampuDalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh

Maria Magdalena. la tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,

berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi

ia menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas

bersama Yesus dan membuktikan did sebagai murid yang mampu

berbela rasa tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama

terhadap Yesus sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak

mampu melakukannya. Kesetiaan dan bela rasa Maria Magdalena

hingga kematian dan kebangkitan Yesus dalam hemat saya adalah

alasan penting mengapa Maria Magdalena perlu mendapatkan gelar

sebagai teladan kemuridan yang sejati.

Apostle Apostolarum: Aku Telah M- 'iihat Tuhan

Tidak dapat disangkal bahwa Maria Magdalenalah merupakan

saksi pertama kebangkitan Yesus. Mengenai hal ini ayat 18

mengatakannya dengan jelas; "aku telah melihat Tuhan". Kata melihat

yang digunakan dalam bagian ini menggunakan kata etopccKa dari kata

dasar o opato yang digunakan berulang kali dalam injil Yohanes. Kata

ini dalam injil Yohanes digunakan sebagian besar untuk merujuk

pada arti melihat sesuatu yang selalu berkaitan dengan yang ilahi,

seperti melihat Tuhan [1:18], melihat Roh Kudus (1:33). melihat.

Yesus (1:34). Kata ini dipakai penulis injil Yohanes untuk

menunjukkan bahwa Maria Magdalena telah melihat (kopaKa) Yesus

dalam gambaran ilahi, dalam kemuliaanNya sebagaimana kata etopocKa

hanya digunakan untuk kata kerja yang menunjuk pada pekerjaan￾pekerjaan Allah. Sebuah penafsiran lain dari Sanrie de Beer dan Julian

MGDller mengatakan bahwa kebangkitan Yesus hanyalah sebuah visi

yang diterirna Maria Magdalena dalam sebuah mimpi. Menurutnya,

bagi Maria Magdalena kebangkitan Yesus hanyalah simbol kelahiran

kembali dengan memberi Maria Magdalena sebuah keberanian

menghadapi Petrus dan Yohanes yang mempertanyakan

peranannya.30

Penafsiran ini tidak sejalan dengan ayat 18 sebab kata

ewpara menggambarkan aktifitas menyaksikan/melihat secara kasat

mata sebuah pekerjaan Allah. Penggunaan kata ini menegaskan

bahwa Maria Magdalena benar-benar telah berjumpa denganYesus.untuk membuktikan kesaksian Maria Magdalena ketika mendengarnya

mengatakan bahwa mayat Yesus telah diambil orang. Namun jika

memperhatikan hal ini dengan seksama, respon yang ditunjukkan oleh

Petrus dan murid yang dikasihi Yesus adalah reaksi yang wajar bagi

seorang murid untuk membuktikan kabar kehilangan sang guru.

Tetapi menurut saya, hal ini justru menunjukkan bahwa kesaksian

Maria Magdalena dipercaya oleh murid-murid laki-laki sehingga

mereka segera berlari ke kubur Yesus. Dengan kata lain, tradisi

kesaksian seorang perempuan yang tidak dianggap sah tidak berlaku

dalam komunitas Yesus. Hal ini menjelaskan alasan Maria Magdalena

memberi kesaksian kepada murid-murid lain tanpa ragu-ragu.

Kesaksiannya tidak mempertimbangkan tradisi karena tradisi

tersebut tidak berlaku dalam komunitas Yesus dimana penerimaan

terhadap laki-laki dan perempuan berlaku dalam komunitas pemuridan

yang sederajat.33 Perjumpaan dan kesaksiannya ini mengantarnya

pada sebuah penemuan terbesar, yakni menemukan gamban- i

kemanusiaan yang utuh terhadap dirinya sendiri dan penegakan

kedudukannya sebagai murid Yesus yang tidak lagi terpengaruh oleh

pandangan, sikap dan perlakuan laki-laki dan lingkungan sekitar

terhadap dirinya. la menyadari bahwa citra dirinya sebagai

perempuan adalah citra diri yang mewakili citra Allah. Penyetaraan ini

dipertegas dengan perkataan Yesus: "pergilah kepada saudara￾saudaraku". la diutus dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang

perempuan yang setara dalam pemuridan yang sederajat dalam

komunitas Yesus.

3. Meredam Peran Maria Magdalena

Siapakah yang Engkau Cari?

Sebuah usaha pembungkaman terbesar terhadap peran

seseorang diperlihatkan dengan cara mematikan usaha yang sedang

diperjuangkan olehnya. Pertanyaan malaikat pada Maria Magdalena

"Ibu, mengapa engkau menangis?" termasuk dalam bentuk

pembungkaman terhadap peran Maria Magdalena. Kalimat yang dalam

bahasa Yunani berbunyi yvvai, tl KXaieic;; memperlihatkan sebuah

kesedihan mendalam yang dialami oleh Maria Magdalena. Kata KAxueic;

menggambarkan sebuah kepedihan mendalam, tangisan dan ratapan,

yang tidak dapat dihibur oleh siapa pun karena sesuatu yang telah

hilang tidak akan mungkin ditemukan kembali. Terdapat penggunaan

akar kata yang sama dalam Mat 2:18 untuk menunjukkan kepedihan

yang sama yang dialami Rahel karena ditinggal mati oleh anak￾anaknya. Pertanyaan para malaikat merupakan sebuah

pembungkaman peran perempuan sebab ia sama sekali tidak

mengapresiasi usaha yang sedang dilakukan oleh Maria Magdalena.

Pertanyaan Yesus, "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah

yang engkau car/.7

" memperjelas usaha pembungkaman terhadap

Maria Magdalena. Sebuah tradisi yang berlaku terhadap perempuan

pada masa itu seolah-olah tersirat dalam pertanyaan Yesus ini. Dalam

tradisi Yahudi, makan di luar rumah, tanpa keluarga hanya dapat

dilakukan kaum pria saja (dan jika perempuan hadir di acara makan￾makan di luar rumah, maka ia akan dipandang sebagai pelacur￾pelacur). Jati did seorang perempuan ada di dalam did ayah atau

suaminya.34 Dan pertanyaan Yesus ini menimbulkan kesan

keberpihakan pada tradisi semacam ini. Hal ini memang tidak dapat

dibuktikan secara jelas namun bias-bias yang ditimbulkan adalah

kesan terhadap keberpihakan terhadap tradisi yang 'melindungi'

perempuan.

Metafor: 'Gembala yang baik'

Beberapa teolog seperti Barclay, A.W Pink, J Wesley Brill,35

sepakat menafsirkan ayat 16 dalam kerangka pemahaman Yesus

sebagai gembala yang baik yang mengenal domba-dombaNya dan

respon Maria Magdalena yang mengenal gembalanya. Bahkan

Schiissier Fiorenza pun menafsirkan hal yang sama. Penafsiran atas

bagian ini didasarkan pada pasal 10 mengenai gembala yang baik

adalah gembala yang mengenal domba-dombanya dan memanggil

mereka dengan namanya satu per satu dan pasal 20 ketika penulis Injil

berbicara mengenai perintah Yesus kepada Simon Petrus untuk

menggembalakan kawanan domba. Beberapa penafsir terjebak dalam

kerangka pemikiran semacam ini dengan menempatkan konteks ayat

16 pada konteks pasal 10 dan pasal 20. Berdasarkan tatanan seperti

itu, maka ayat 16 dapat dengan mudah menimbulkan kesan Yesus

sebagai gembala yang baik. Dalam hemat penulis, kesan yangditimbulkan oleh ayat ini adalah kesan yang dihasilkan karena

penggunaan metafor Yesus adalah gembala yang baik dalam injil

Yohanes.

Penggunaan metafor mengakibatkan usaha peredaman

terhadap peran Maria Magdalena luput dari pandangan dan penafsiran

para ahli sehingga seringkali oknum yang di'salahkan dalam penafsiran

terhadap bagian ini adalah Maria Magdalena karena ia tidak mampu

tnengenali Yesus yang bangkit, juga oleh penafsiran yang

memojokkannya dengan mengatakan bahwa Maria Magdalena terlalu

fokus pada permasalahan yang dialaminya sehingga sulit melihat

Yesus dengan jelas. Kenyataan ini memaksa para pembaca untuk

mernahami sebuah teks berdasarkan konteks sehingga tidak terjebak

dalam kesan umum yang dihadirkan oleh penulis teks sebab hal ini

akan mengaburkan maksud sebenarnya yang ingin diuangkapkan oleh

teks. Metafora Yesus gembala yang baik adalah kesan yang digunakan

agar usaha peredaman terhadap peran Maria Magdalena yang

ditempelkan ke mulut Yesus oleh penulis Injil tidak terlihat

sebagaimana adanya.

Hal ini tidak dapat disalahkan, karena bagaimana pun juga

seorang penulis penulis teks bersikap netral dan mendukung

perempuan, ia berada dalam konteks masyarakat patriarkal yang bias￾bias dominasi terhadap perempuan masih terlihat. Hal ini menjelaskan

alasan mengapa teks ini menonjolkan perempuan tetapi pasa saat

yang sama ia menunjukkan usaha-usaha peredaman terhadap peran

perempuan.

Jangan Sentuh Aku, Perempuan!

Tradisi Yahudi mengharuskan seorang rabbi untuk tidak

bersinggungan dengan perempuan yang bukan isteri atau saudarinya

dan tidak boleh memiliki murid perempuan.36 Perempuan diberi

kesempatan untuk masuk ke dalam sinagoge tetapi tidak dapat menjadi

murid seorang rabbi mana pun kecuali jika suami atau ayahnya adalah

seorang rabbi. Sepanjang tradisi Yahudi tidak pernah ada perempuan

yang meninggalkan keluarganya dan melakukan perjalanan bersama

seorang guru. Maria Magdalena dan beberapa perempuan tidak sajameninggalkan rumah melainkan bergabung dalam komunitas Yesus

dan menyertaiNya dalam perjalananNya. Yesus tidak saja 'melawan'

terhadap tradisi semacam ini tetapi menunjukkan penolakan terhadap

ajaran rabbi Yahudi yang mendiskriminasi perempuan karena gender

dan alasan biobgis.37 Dalam konteks komunitas yang berbela rasa

terhadap persamaan derajat, Yesus menunjukkan bahwa perempuan

pantas dan berhak memasuki sebuah komunitas pemuridan. Namun

sikap Yesus pada ayat 17 yang tidak mau disentuh oleh Maria

Magdalena patut dipertanyakan. Yesus seolah-olah berdiri pada tradisi

para rabbi Yahudi. Kata Yunani yang dipakai adalah airtou yang dapat

diterjemahkan ignite; midd, take hold of, touch yang berarti menyentuh

dalam arti fisik. Yesus tidak mau disentuh Maria Magdalena dengan

alasan Yesus belum naik kerada Bapa yang jika dilihat dari sudut

pandang tradisi Yahudi, tindakan ini berkaitan dengan hukum

pentahiran bagi seorang perempuan untuk boleh bersentuhan dengan

laki-laki. Argumentasi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa delapan

hari kemudian Yesus memberi dirinya disentuh oleh Thomas, seorang

laki-laki (20:20]. Dalam hemat penulis, perintah untuk tidak

menyentuh Yesus merupakan salah satu cara penulis injil

memberitakan bahwa sekali pun perempuan telah memasuki

hubungan yang sederajat dengan laki-laki, perempuan tidak dapat

benar-benar melupakan masalah pentahiran diri. Hal ini oleh

Schiissier Fiorenza disebut sebagai imajinasi teobgis yang masih

bersifat androsentrik sebab penulis baik laki-laki maupun perempuan

disosialisasikan dalam alam pemikiran yang sama, yakni

kepengarangan maskulin.38

Relevansi Pemuridan Yang Sederajat Bagi Kehidupan Bergereja Di

Indonesia

Membaca Teks Yoh 20:11-18 Dari Sudut Pandang Teologi Feminis

Injil Yohanes merupakan jendela bagi penafsir untuk dapat

melihat dengan lebih jelas ke dalam kehidupan komunitas Yesus,

bagaimana komunitas Yesus dibangun dan dipertahankan serta lebih

kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan yang dalam tulisan inidiwakilkan oleh Maria Magdalena. Teks Yob 20:11-18 merupakan sebuah

kesaksian iman dari penulis Injil untuk mengungkapkan komunitas Yesus

yang sederajat dan usaha-usaha seorang penulis yang berjiwa feminis

dalam memperjuangkan dan menegakkan peran dan kedudukan Maria

Magdalena. Harus diakui tulisan ini dihasilkan oleh 'seorang feminis'

dalam konteks budaya patriarkal sehingga meninggalkan bias-biasnya

yang saya golongkan sebagai bentuk peredaman terhadap peran Maria

Magdalena sehingga usaha yang dilakukan penulis Injil Yob tidak benar￾benar berdasarkan kasih yang altruistik melainkan kasih yang

dikondisikan dan disosialisasikan dalam kerangka berpikir androsentrik

yang menekankan kepengarangan maskulin.

Karena itu, saya mengusulkan cara baru untuk membaca teks Yoh

20:11-18. Ketika membaca sebuah teks, pembaca tidak benar-benar

meninggalkan konteks dimana ia hidup dan dibesarkan. Asumsi,

pengetahuan, dan pengalaman pembaca dibawa masuk sebagai

prapaham ketika membaca teks dan tidak jarang prapaham ini membuat

penafsiran yang dilakukan tidak pernah benar-benar objektif dan jujur.

Keterbukaan untuk mengakui dan jujur menerima konteks pembaca saat

ini sebagai sebuah konteks yang memang bermasalah karena tidak

benar-benar memperhatikan keutuhan kemanusiaan antara laki-laki dan

perempuan akan memberikan kacamata yang baru agar dapat membaca

teks ini dari sudut pandang yang baru dan membebaskan seperti yang

telah penulis lakukan dengan studi hermeneutik feminis. Teks ini harus

didekati dengan pendekatan yang berbeda dengan pertama-tama

menggunakan hermeneutik kecurigaan dan menempatkan diri pada

sudut pandang seorang perempuan Yahudi agar penafsiran yang

dilakukan berjiwa feminis sekali pun dihasilkan dalam kepengarangan

maskulin dan membebaskan perempuan (Maria Magdalena) terutama

bagi konteks saat ini.

Relevansi Pemikiran Pemuridan Yang Sederajat

Tulisan ini dapat direlevansikan dalam berbagai aspek kehidupan

dimana perempuan dan laki-laki mengambil peran di dalamnya. Namun

pada tulisan ini, penulis hanya akan memaparkan relevansi pemuridan

yang sederajat bagi kehidupan bergereja di Indonesia. Sepanjang sejarahkekristenan sebelum lahirnya teobgi feminis, perempuan selalu

tersubordinasi di bawah kaum laki-laki. Gereja turut andil dalam posisi

subordinasi perempuan sehingga bertahun-tahun lamanya perempuan

tidak dapat menduduki jabatan kepemimpinan dalam gereja. Keadaan ini

baru berakhir di akhir abad 20 dengan pengakuan pada kepemimpinan

kaum perempuan dalam gereja tetapi pengecualian pada gereja Katholik

Roma. Sebagai sebuah lembaga, gereja memiliki jabatan struktural

dimana dibutuhkan pemimpin-pemimpin untuk mengisi jabatan

tersebut. Tetapi berdasarkan keputusan Sidang Raya PGI di Surabaya

pada Oktober 1989 bahwa perempuan harus menduduki 30% jabatan

kepemimpinan dalam gereja maka dapat disimpulkan bahwa presentasi

keterlibatan perempuan dalam lembaga gereja masih sangat minim

meskipun pengunjung gereja 1' V.h banyak kaum perempuan.39 Hal ini

disebabkan oleh budaya organisasi yang patriarki dan persepsi yang salah

mengenai perempuan yang mengakibatkan ketidaklayakan seorang

perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.

Di sisi lain, secara spiritual, gereja pun bertanggung jawab

terhadap ajarannya mengenai peran kaum laki-laki dan perempuan.

Peran ini bersumber dari tiga hal, Alkitab, Zending yang datang ke

Indonesia, dan budaya Indonesia yang cukup mendukung.40 Dari Alkitab

orang kristen belajar mempercayai Allah yang monoteis dalam Yahudi.

Kepercayaan Monoteis ini berakar dari sistem patriarkat dimana unsur

maskulin dominan terhadap unsur feminine. Cerita-cerita Alkitab sangat

menekankan pada hukum pentahiran bagi seorang perempuan sehingga

terdapat banyak pantangan bagi perempuan untuk datang mendekat dan

menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah baik dalam kebaktian

sinagoge maupun dalam jabatan keimaman. Kedatangan Zending yang

mengkristenkan suku-suku di Indonesia juga mendukung hal ini dengan

pembagian kerja menurut jenis kelamin yang sukar diubah hingga kini

karena budaya setempat ikut mendukung hal ini. Tidak dapat dipungkiri

bahwa gereja-gereja di Indonesia terutama gereja suku sangat kental

dengan kebiasaan ini. Kaum yang dipercaya mampu memimpin dan

mewakili Allah adalah kaum laki-laki karena sebagian besar suku di

Indonesia mengutamakan keutamaan seorang laki-laki daripada

perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki dapat dengan mudahmemperoleh jabatan kepemimpinan dan keimanan dalam gereja tanpa

memperhitungkan kemampuan dan potensi kaum perempuan untuk

jabatan tersebut. Padahal jika mengacu pada gerakan Yesus dan gerakan

Kristen, kaum perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan

kaum laki-laki untuk menjadi anggota dan berperan aktif di dalamnya,

bahkan dari teladan Maria Magdalena dalam 'solidaritas dalam

kesederajatan' menunjukkan bahwa kaum perempuan membuktikan diri

memiliki potensi dan kepekaan yang seringkali melebihi kaum laki-laki.

Gereja-gereja masa kini perlu belajar dari kemuridan yang sederajat ini.

Hukum pentahiran tidak lagi relevan untuk masa kini. Gerakan Yesus telah

memungkinkan semua perempuan untuk tahir secara utuh dan

dengannya dapat memasuki sebuah hubungan intim dengan Allah dalam

kebaktian dan jabatan keimaman. Perempuan menjadi layak karena Allah

dalam Yesus melayakkannya.

Mengenai kepemimpinan, tidak ada yang salah dengan

kepemimpinan perempuan. Kesalahan utama terletak pada respon dan

ketidakpercayaan gereja untuk membiarkan laki-laki dan perempuan

bergandengan tangan memasuki pemuridan yang sederajat dari gerakan

Yesus karena pada dasarnya kaum perempuan pun adalah anggota jemaat

Allah. Gelar apostle apostolarum dianugerahkan kepada Maria Magdalena

karena ia pantas memperolehnya. Jika gereja peka, gelar ini seharusnya

dikenakan kembali pada perempuan dan laki-laki yang telah

menunjukkan dedikasi pelayanannya dalam perjalanan pemuridan

bersama Yesus di dalam gereja.


Studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18

menghasilkan sebuah pemahaman baru bahwa pemuridan yang

sederajat mencakup perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, orang

sehat dan orang sakit, orang benar dan orang berdosa, dan orang Yahudi

dan non Yahudi. Tulisan ini terutama didedikasikan bagi perempuan￾perempuan Kristen yang sedang berjuang menemukan dan menegakkan

kembali gambaran kemanusiaannya yang utuh mengenai diri sendiri dan

kesadaran bahwa di dalam dirinya sebagai perempuan, Allah ingin setiap

perempuan menegaskan citra diri Allah tersebut dalam peran-perannyadi keluarga, gereja dan masayarakat. Perempuan tidak lagi terbelenggu

oleh pemahaman bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki melainkan

pada usaha bagaimana menegaskan keperempuannya: perempuan

memiliki potensi yang hanya dapat diekspresikan dan direalisasikan oleh

dirinya sendiri. Allah telah memungkinkan dia melalui kisah Maria

Magdalena dan kini saatnya perempuan harus bertanggung jawab

terhadap kemungkinan yang dianugerahkan Allah tersebut.

Bag! gereja, gereja perlu melihat perempuan sebagaimana Allah

melihat perempuan, membaca Alkitab dari sudut pandang perempuan

untuk memungkinkan setiap perempuan memasuki relasi yang benar

dan jujur dengan Allah. Bagi keluarga yang masih menekankan

keutamaan anak laki-laki sepertf keluarga Sumba, Batak, dan Toraja agar

menyadari bahwa anak perempuan pun anugerah Allah yang perlu

diterima, diakui, dan dihargai. Untuk sekolah, agar merevisi kurikulum

dan buku ajar agar lebih bersikap adil terhadap peran perempuan dan

laki-laki, memosisikan mereka dalam pemuridan yang sederajat dari

gerakan Yesus, memberi peluang dan kepercayaan bagi perempuan dan

laki-laki untuk mengasah kemampuan dan mengembangkan bakatnya

serta membimbing mereka untuk dapat meneladani model pemuridan

yang sederajat seperti Maria Magdalena.