• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label teologi 20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 20. Tampilkan semua postingan

teologi 20


 
Pendidikan Agama Kristen diletakkan atas bebarapa landasan utama dua diantaranya 
yaitu  landasan teologis dan landasan filosofis. Kedua Fondasi Ini sangat berkorelasi 
merumuskan dan mengembangkan prinsip dan praksis Pendidikan Agama Kristen. 
Sangat penting meletakkan dasar teologi dan filsafat kristiani dalam mengikis 
pandangan sekuler dan liberalisme dalam dunia pendidikan yang sangat kuat 
pengaruhnya bagi prinsip iman dan praksis PAK seperti penekanan pada otonomisasi 
rasio, pengalaman dan kemampuan manusia dibanding dengan otoritas Allah dan 
firman-Nya. Artikel ini menekankan pentingnya memahami korelasi landasan teologis 
dan filosofis dalam perumusan dan pengembangan prinsip dan praksis PAK. riset  
ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Jakarta dengan 
mengunakan metode riset  kepustakaan dengan mengumpulkan data atau teori 
dari berbagai sumber, dianalisis dan dieksplorasi serta diberikan kesimpulan dengan 
penulis sebagai instrumen utamanya. riset  ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 
2020. Temuan riset  ini yaitu  mengenal korelasi Filsafat dan Teologi dalam PAK, 
mengetahui Landasan Filosofis PAK. Mengenal metafisika, epistemologi, dan aksiologi 
dalam Pendidikan Kristen, mengetahui integrasi iman dan ilmu dalam prinsip dan 
praksis PAK.  
Dunia terus mengalami dinamika kehidupannya sesuai dengan tantangan pada 
zamanya. Filsafat umum dan filsafat kristiani juga selalu berakselerasi dengan dunia 
nyata dari waktu ke waktu. Buah-buah pemikiran yang konstruktif akan menjadi ladang 
dan persemaian yang subur bagi rasio yang sedang berjuang menganalisa kehidupan 
dan buah-buahnya yang dapat dijadikan warisan dari zaman ke zaman.  Segala 
perspektif yang mendekati kebenaran hakiki akan terpelihara bahkan akan mengalami 
proses pembersihan, peremajaan, dan pematangan, sementara buah-buah pikiran yang 
tak memiliki dasar kebenaran akan larut, terhempas dan terhilang dari derasnya arus 
pemikiran baik sekuler maupun yang kristiani.  
Betapa pentingnya meletakkan dasar yang kuat khususnya bagi pendirian dan 
pengembangan prinsip dan praksis filosofis pendidikan Kristen. Tatkala filsafat sekuler 
meletakan dasar pada rasio dan pengalaman yang terbatas dan telah distorsi oleh dosa, 
spekulasi, kemunafikan serta kebodohan manusia, filsafat kristian terus menjadi garam 
dan terang serta marcusuar yang tegak berdiri karena diletakkan pada sang pemilik dan 
sumber pengetahuan dan hikmat itu sendiri, yaitu Allah. Untaian prinsip-prinsip dan 
praksis-praksis pendidikan menjadi pesona indah dan menggiurkan menarik daya nalar 
dan rasio untuk menggali dan mengembangkannya karena semuanya itu diperoleh dari 
rumusan-rumusan teologi yang dapat dipertanggungjawabkan metodologinya secara 
historis-kritis melalui penelaahan dan penafsiran Alkitab yang begitu bertanggung 
jawab dari sisi metodologi dan ilmu penafsirannya.  
Bangunan-bangunan teologi itu, menjadi ciri yang mencolok di setiap zaman dan 
masanya, tetapi pada satu prinsip yang tak berubah yaitu  terletak pada otoritas Alkitab 
yang diterima sebagai firman Allah. Isi, tujuan, dan metode serta komponen-komponen 
lainnya dari pendidikan dan pembelajaran secara kristiani akan terus mengalami 
pembaruan yang dinamis dan membuahkan hasil yang maksimal apabila para pelaku 
pendidikan menaklukkan pikiran pada pribadi dan karya Kristus sebagai finalitas dari 
pendidikan Kristen.  
Metode yang dipakai  dalam riset  ini yaitu  memakai  metode 
riset  kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Menurut Creswel riset  
studi literatur yaitu  kajian yang tertulis secara ringkas mengenai artikel dan buku 
serta dokumen lain yang berhubungan dengan apa yang diteliti melalui 
mendeskripsikan secara informal teori ini  secara lengkap dan utuh. Dalam 
melakukan kajian ini , maka diperlukan tahapan-tahapan, yakni: Pertama, 
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku-buku, jurnal, internet dan 
lain-lain yang bertalian dengan topik yang diteliti, kedua dengan mengkaji, 
membandingkan dan menganalisis berbagai informasi dan teori, memberikan 
kesimpulan terhadap kajian yang dilakukan untuk memberikan gambaran tentang 
korelasi landasan teologis dan filosofis dalam perumusan dan pengembangan 
Pendidikan Agama Kristen. 
Filsafat dan Teologi Dalam Pendidikan Agama Kristen 
Menurut Khoe Yao Tung kata filsafat atau philosophy berasal dari kata Yunani yang 
terdiri dari aka kata philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. 
Secara etimologi, filsafat bisa berarti mencintai atau mencari kebijaksanaan. Cabang-
cabang dari filsafat pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu metafisika 
(aspek kosmologi, teologi, antropologis, dan ontologis), epistemologi (sumber 
pengetahuan berupa panca indra, wahyu, otoritas, dan intuisi), dan aksiologi (aspek 
etika dan estetika).1 Pemaparan lain bahwa secara etimologi “filsafat” yang merupakan 
padanan kata “falsafah” dari bahasa Arab dan “philosophy” dari bahasa Inggris berasal 
dari kata Yunani “philosophia”. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri 
dari kata “philos” dan “sophia”, istilah “philos” artinya kasih, bisa juga berarti sahabat. 
                                                             
Adapun “sophia” berarti kebijaksanaan atau kearifan atau pengetahuan. Jadi secara 
hurufiah “philosophia” mencintai kebijaksanaan sahabat pengetahuan.2  
Alkitab yaitu  sumber pengetahuan bagi orang-orang percaya. Alkitab menuntun 
seseorang untuk mencintai hikmat dan mencintai pribadi yang memberikan hikmat 
yaitu Allah. Filsafat kristiani bukan hanya memandu seorang percaya “cinta akan 
hikmat” tetapi juga mencintai sang pemberi hikmat sejati. Pazmino mengatakan bahwa 
orang Kristen selalu diingatkan dalam Kitab Suci bahwa Tuhanlah yang memberikan 
hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian (Ams. 2:6), dan bahwa 
takut akan Tuhan yaitu  awal dari pengetahuan atau hikmat (Ams.1:7; 9:10). Suatu 
klaim yang menakjubkan yaitu  dalam Kristus tersembunyi segala rahasia hikmat dan 
pengetahuan (Kol.2:3).3   
Menurut John Chaffee, mendefinisikan filsafat tidak terlepas dari empat aspek 
penting, yaitu: (1) Aspek wonder (keheranan), mempelajari filsafat karena 
keheranan, pertanyaan akan sesuatu yang ada atau terjadi. (2) Aspek Wisdom 
(kebijaksanaan), mempelari filsafat karena mencari esesni dari sesuatu, mencari 
kebenaran, dan mencintai kebijaksanaan. (3) Aspek truth (kebenaran), belajar filsafat 
karena mengarah pada ilmu yang mempertimbangkan kebenaran-kebenaran yang 
hakiki. (4) Aspek a dynamic process (proses yang dinamik), mempelajari filsafat berawal 
dari proses, dari runtutan konflik opini-opini, dan terus menerus sampai memperoleh 
jawaban yang memuaskan.
Menurut Imanuel Kant ada empat masalah pokok yang ingin dipecahkan oleh 
filsafat:5 Pertama, apa yang dapat saya harapkan (was darf hoffen?) pertanyaan ini 
mengandung makna “hakikat hidup ini” dan keyakinan bahwa manusia masih memiliki 
harapan yang baik setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Permasalahan ini dikupas 
dalam cabang filsafat metafisika (meta = dibalik dan filsafat = yang nampak). Kedua, 
apakah yang dapat saya ketahui (was kann ich wissen)? Pertanyaan ini ingin 
mengungkapkan masalah kebenaran yaitu sejauh mana pengetahuan saya itu benar. 
Dari mana asal dan sumber pengetahuan serta apakah kebenaran itu? Permasalahan ini 
dikupas dalam cabang filsafat Epistemologi (episteme = penegtahuan). Ketiga, apa yang 
harus saya perbuat (was sool ich tun)? Pertanyaan ini ingin mengungkapkan masalah 
pedoman hidup, norma-norma yang berlaku dan nilai-nilai. Permasalahan ini dikupas 
dalam cabang filsafat Aksiologi (axios = nilai). Dan keempat, apakah manusia itu (was ist 
der mensch)? Pertanyaan ini ingin mengungkapkan masalah pokok dalam filsafat yaitu 
tentang hakikat manusia. Permasalahan ini dikupas dalam cabang filsafat manusia 
(antropologi filsafat = manusia dipandang dari sudut filsafat). 
Pemikiran-pemikiran di atas menjadi dasar worldview membicarakan fisafat 
termasuk filsafat Pendidikan Kristen. Arthur Holmes, seorang filsuf Kristen 
mendiskripsikan sebuah cara pandang kristiani dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) 
memiliki  tujuan yang holistik yang berusaha melihat seluruh area kehidupan dan 
pemikiran secara integratif; (2) memakai  pendekatan yang memberikan suatu  
perpektif, dengan cara menilai segala sesuatu berdasar  cara pandang yang sudah 
dianut seseorang sebelumnya dengan tujuan untuk memperoleh suatu kerangka 
berpikir yanh integratif; (3) menyajikan suatu proses yang eksploratif, dengan cara 
menyelidiki hubungan satu area kehidupan dengan area lainnya dari perspektif yang 
utuh; (4) bersifat pluralistik sehingga perspektif dasar yang sama bisa diartikulasikan 
dengan berbagai cara yang berbeda-beda; dan (5) menunjukkan hasil berupa tindakan, 
                                                             
yang dihasilkan dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita nilai berharga dan apayang 
akan kita lakukan.6 
Dirk Roy Kolibu mengutip pemikiran Waren S. Benson dari buku “Introducing 
Christian Education” menjelaskan tentang jenjang atau hirarki filsafat Kristen didasari 
oleh teologi sistematik.7 Pemikiran Benson didasarkan pada pendapat Norman DeJong 
yang memberikan jenjang filsafat Kristen, yakni dasar otoritas, hakikat manusia, tujuan 
dan sasaran, organisasi struktural, implementasi, dan evaluasi. Pertama dan terpenting 
yaitu  dasar otiritas yaitu  Kitab Suci. Firman Tuhan yaitu  kerangka referensi utama 
dari pendidikan Kristen. Suatu pandangan yang sesuai dengan pandangan Kristus 
tentang Alkitab. Yesus berkata: “Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama 
belum lenyap langit dan bumi ini, suatu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan 
dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Mat.5:18). Dalam Yohanes 10:35 
Juruselamat mengatakan “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan.” Dan dalam Yohanes 17:17, 
“Kuduskanlah mereka dalam kebenaran, firman-Mu yaitu  kebenaran.”. Kedua, yaitu  
hakikat manusia. Apa dan siapakah manusia, yang dituliskan oleh Kitab Suci. Ketiga, 
tujuan dan sasaran, didasarkan pada teologi yang memberikan arah, tujuan dan sasaran 
yang akan dicapai. Keempat hingga keenam yaitu  organisasi, struktural, implementasi 
dan evaluasi.8 
Pendidikan Agama Kristen harus mengembangkan filsafat dan teologi sebagai 
upaya mengemukakan kebenaran Alkitab tentang berbagai isu kehidupan. Kebenaran 
sejati (the true truth) bersumber dari Tuhan yang dinyatakan dalam wahyu-Nya: Wahyu 
umum dan wahyu khusus. Melalui wahyu umum kita melihat kebenaran Allah melalui 
alam semesta, hati nurani, dan sejarah hidup manusia, suku dan bangsa). Melalui wahyu 
khusus kebenaran Allah dinyatakan dalam diri Kristus, Alkitab, dan Roh Kudus. Tentu 
kebenaran itu dinyatakan dalam pelbagai cara (Ibr. 1:1-2). Kebenaran Allah juga 
dinyatakan dalam kata, ide, dan berbagai peristiwa. Tugas pendidik dan teolog Kristen 
yaitu  mencari dengan semboyan “all truth is God truth wherever they may be found.” 
Walaupun kita sadari juga bahwa manusia dalam segala keterbatasannya karena dosa 
tentu terbatas memperoleh dan memahami kebenaran itu. Keterbatasan itu membuat 
manusia menderita dan sakit. Holmes menjelaskan “All truth is God truth” bahwa 
manusia saat ini menderita dengan tiga alasan penting: Manusia kehilangan fokus 
kebenaran, manusia kehilangan keuniversalan kebenaran, dan manusia kehilangan 
kesatuan kebenaran. Kebenaran ini setelah ditelaah oleh filsafat kristiani harus 
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pendapat Sokrates, bahwa tanpa 
upaya (cinta) untuk memahami (memiliki) kebijaksanaan, hidup ini tiada arti, “tanpa 
usaha untuk memahaminya, kehidupan ini tidak ada artinya”. Plato dan Aristoteles 
menggubah pendapat klasik ini, yakni “mengetahui kebaikan (terutama kebenaran) 
yaitu  untuk melakukannya.”
Dari penjelasan di atas, para pendidik Kristen seyogianya mampu merumuskan 
filsafat pendidikan Kristen yang dapat mengarahkan para peserta didik dan pembaca 
memahaminya. Brown sangat tegas mengatakan bahwa filsafat Kristen sangat peduli 
tentang realitas dan kebenaran Allah. Bagi orang Kristen, Allah yaitu  sumber 
kebenaran dan realitas, membicarakan filsafat Kristen harus selalu berhubungan 
                                                            
manusia dengan Allah pencipta/penebus. Bagian menjadi jelas melalui penegasan “the 
role of scripture…The core of Christian faith is the confidence tha our Creator Gpd is, that 
He has acted in Christ Jesus to redeem, and that He has revealed both Himself and Truth to 
us in the written Word.”
Itulah sebabnya usulan definisi DeJong yang dikutip Robert W. Pazmino dapat 
dijadikan sebagai referensi dalam merumuskan filsafat pendidikan Kristen, yaitu “suatu 
usaha untuk menyusun secara sistematis beberapa pemikiran tentang pendidikan ketika 
diberikan makna berdasarakan pengajaran yang alkitabiah yang menyatakan iman 
Kristen yang ortodoks.” Menjadi tantangan tersendiri bagi pendidik kristiani untuk 
menyusun formula pendidikan Kristen yang alkitabiah dan terus sikap yang 
berkomitmen pada otoritas Alkitab. 
 
Landasan Filosofis Pendidikan Agama Kristen 
Fondasi filosofi dikaitkan dengan fondasi Alkitab dan teologi, akan memberikan 
dasar-dasar universal yang bersifat transcultural dan kultural dalam rangka memandu 
pola pikir dan praktek pendidikan Kristen.13 Menarik kaitan antara fondasi Alkitab, 
fondasi teologi, dan fondasi filosofi dari pemikiran Charlotte Mason, dikatakan bahwa 
“sebagaimana aliran air tidak bisa naik lebih tinggi daripada sumbernya, maka tidak 
akan ada upaya pendidikan apa pun yang bisa melampaui seluruh skema dari pemikiran 
asal mulanya.”14 Bagi Mason, pendidikan yaitu  buah dari akar filosofinya yang 
didasarkan dari Alkitab dan teologi. Bagi Pazmino menjadi tantangan bagi pendidik 
Kristen yaitu  menyusun suatu filosofi pendidikan yang bersifat eksplisit dan konsisten 
dengan cara pandang kristiani sementara tetap memberi tempat bagi terjadinya 
pradoks.
Koe Yao Tung menjelaskan bahwa berkenaan dengan hubungan filsafat dan teologi 
Kristen mengatakan bahwa pendidikan Kristen yaitu  pendidikan yang berpusat pada 
Tuhan, suatu implikasi dalam interpretasi kasih Tuhan. Berkhof dan Van Till 
mengatakan pendidikan Kristen memakai  filsafat teistik yang berlandaskan pada 
kebenaran firman Tuhan (teologi) dan jelas berbeda dengan filsafat pendidikan 
sekuler.16 Menurut Gordon Brown, tujuan pendidikan Kristen berhubungan langsung 
dengan tujuan hidup orang Kristen itu sendiri yaitu bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya. 
Maka pendidikan dipandang sebagai sarana yang dipakai  Roh Kudus untuk 
membawa peserta didik kepada persekutuan dengan Tuhan, bagi hidup dalam 
kekekalan. Pendidikan Kristen diperuntukan pada pengembangan pemikiran dalam 
perspektik Kristen dan untuk melatih mereka dalam kehidupan yang taat sehingga 
mereka dapat memenuhi tujuan Tuhan bagi keseluruhan hidup. Oleh sebab itu, 
sentralitas Alkitab memainkan peranan dan fokus dari filsafat pendidikan Kristen. 
ada  lima titik berangkat untuk memahami filsafat pendidikan Kristen, yakni: 
Realitas ciptaan Tuhan, mandat penciptaan, mandat budaya, perjanjian, dan mandat 
                                                             
Amanat Agung.   Mengapa memakai  pendekatan filsafat bukan murni teologi 
saja?. Hal ini tidak mudah memahami dan menjawabnya. Samuel Sidjabat melihat sifat 
dan model filsafat pendidikan aman menolong memberi pemahaman tentang kebijakan 
serta pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, yakni dimulai dari sifat filsafat hidup, 
filsafat pendidikan, kebijaksanaan dan praktik pendidikan, dan kegiatan belajar 
mengajar.  Dari ketiga sifat dasar ini, filsafat merupakan pencarian akan kebenaran yang 
dimulai dari mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup yang 
hakiki (the ques of life).  
Dalam konteks pendidikan, filsafat sering dibicarakan para ilmuwan berkaitan 
dengan ilmu pengetahuan (sains), walaupun filsafat tidak identik dengan ilmu 
pengetahuan. Young dalam “A Christian Approach To Philosophy” menjelaskan bahwa 
filsafat berupaya mengintegrasikan berbagai informasi yang ditemukan oleh sains, 
khususnya ilmu-ilmy fisika, menerapkan pendekatan analisis, sedangkan filsafat 
menempuh pendekatan sinotip (integratif-sintesis) dalam kegiatan berpikir. Sains 
memutuskan perhatiannya kepada riset  dan penemuan data factual 
(empiris),sedangkan filsafat tertarik kepada usaha mencari dan mengemukakan makna 
dan prinsip kerja yang ditempuh serta dari data yang tersedia. Young sangat jelas 
memposisikan ilmuan yaitu  penemu (discoverer) sedangkan filosof yaitu  penafsir 
(intepreter), namun diakuinya bahwa juga tidak murni karena ilmuwan memerlukan 
pendekan filosofis dalam memahami ilmu pengetahuan sehingga lahirlah filsafat ilmu 
pengetahuan.  
Harus diakui bahwa teologi dan filsafat berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. 
Van Peursen dalam “Orientasi di Alam Filsafat” melihat relasi filsafat dan teologi dari dua 
sudut pandang, yakni Barat dan Timur. Di Timur (Asia) filsafat berkembang dalam 
konteks religious, sedangkan di Barat, agama (konsep-konsep teologis) berkembang 
dalam konteks filsafat (perenungan). Karena itulah dalam konteks Barat, jika kita belajar 
teologi, filsafat teologi (filsafat agama) merupakan bidang studi yang mendapat 
perhatian penting. Bagi Van Peursen pendekatan teologi berkaitan dengan filsafat, 
Timur lebih ke konteks keagamaan, dan Barat lebih kepada konteks filsafat. 
Bagi Nico Syukur dalam karyanya “Filsafat Agama Kristen mengakui bahwa teologi 
sebagai pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan koheren, tentang apa 
yang diwahyukan Tuhan. Bisa dikatakan bahwa teologi yaitu  refleksi “ilmiah” tentang 
iman. Dasarnya yaitu  wahyu Tuhan, yang menyatakan diri secara adikodrati. 
Berteologi dan berfilsafat dalam konteks panggilan umat Kristen dan pendidikan 
Kristen yaitu  panggilan dalam memperkaya pikiran dan wawasan cara berpikir secara 
komprehensif.  Arhur Holmes dalam “Philosophy A Christian Perspectives” gaya berpikir 
filosofis seperti berpikir sistematis, sintesis, deskriptif, dan normatif dalam memenuhi 
panggilan hidup kekristenan sangatlah berguna untuk membuat kita lebih efektif. 
Filsafat dapat lebih memperkaya pemikiran teologi dan upaya berteologi (worldviewish 
theology) kita sendiri. Kemudian filsafat dapat mendorong kita dalam berapologetika 
dengan mengemukakan perspektif dan memberikan jawaban yang jelas (clarity) tentang 
berbagai isu yang muncul serta menantang, diterangi oleh Roh Kudus dan firman Tuhan 
(1 Pet. 3:15).  
Filsafat pendidikan kristiani tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan 
gerejawi. Pelayanan pendidikan hendaknya menjadi domain dan core dari pelayanan 
gereja. Filosofi ini akan melahirkan energy baru dalam pelayanan gerejawi melebihi 
pelayanan-pelayanan konvensional yang dijalankan selama ini. Rex E. Johnson 
mendefinisikkan filosofis berdasar  kamus Webster yaitu “sebuah analisis atas dasar 
dan konsep yang mengekspresikan kepercayaan fundamental”. Jika dikaitkan dengan 
                                                            
pelayanan, maka pertanyaan sebagai pengarah yaitu  apakah dasar kepercayaan anda 
tentang pelayanan?, ketika kita melayani, kita sedang memainkan sebuah filosofi 
pelayanan. Menurutnya ada delapan keuntungan dari gereja-gereja yang telah 
meletakkan dasar filosofinya dengan benar,19 yakni: (1) dapat menentukan lingkung 
pelayanannya; (2) dapat secara terus menerus mengevaluasi ulang pengalaman 
kelompoknya dalam pengertian pesan-nya; (3) dapat mengevaluasi pelayanannya 
berdasar  kriteria yang dipertimbangkan masak-masak, bukan atas dasar popularitas 
suatu program; (4) dapat lebih mungkin mempertahankan pelayanannya tetap 
seimbang dan fokus pada apa yang penting; (5) dapat memobilisasi proporsi sebagian 
besar jemaatnya menjadi pendeta; (6) dapat menentukan keuntungan relatif dari 
sebuah pelayaan prospektif; (7) dapat menjadi komunitas alternatif yang jelas dan 
menarik bagi orang-orang yang mencari pelarian dari sebuah kegagalan sistemik; (8) 
dapat memilih untuk bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan gereja-gereja lain 
dan pelayanan para gereja. 
Sangat ditegaskan bahwa filsafat Kristen tidak sama dengan filsafat dunia 
(sekuler). Perbendaannya terletak pada sumber yang dipakai , yaitu kebenaran 
absolut. Untuk membedakannya dipakai  pengertian worldview, yaitu filsafat yang 
sudah menjadi pandangan dan menjadi keyakinan seseorang. Ada dua jenis worldview, 
yaitu worldview sekuler dan worldview Kristen. Adapun worldview sekuler mencakup: 
Sementara, berkembang, bertentangan dengan sejarah, dapat direvisi, natural dan 
rasional. Sedangkan worldview Kristen yakni: kekal, tidak berubah, sejalan sejarah, 
biblikal, permanen, dan theistic. 
 
Metafisika, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Pendidikan Kristen 
Meracik filosofi pendidikan Kristen akan lebih komprehensi tentunya dengan 
memperhatikan tiga unsur pembentukan filsafat yaitu aspek metafisika, epistemology, 
dan aksiologi. Gambaran umum ketiga hal, diuraikan singkat Robert W. 
Pazmino21,bahwa metafisika yaitu  studi tentang apa yang menyatakan tentang natur 
realitas dan apa yang dinyatakan dalam realitas ini . Dalam studi metafisika 
diajukan pertanyaan berikut, “apa yang nyata” dan metafisikan mencakup beberapa 
disiplin ilmu seperti teologi, antropologi, ontology, dan kosmologi. Teologi yaitu  studi 
tentang Allah yang mana berfungsi sebagai fondasi esensial bagi para pendidik teistik, 
sementara antropologi yaitu  studi tentang manusia, masyarakat, dan budaya. Ontologi 
yaitu  studi tentang keberadaan manusia dan kehidupan itu sendiri dan kosmologi 
yaitu  studi tentang dunia dan benda materi. Pembahasan kedua tentang epistemologi 
yaitu  studi tentang pengetahuan, membahas satu pertanyaan kunci, “apa yang benar”. 
Aksiologi sebagai pembahasan ketiga yaitu  studi tentang nilai dan membahas satu 
pertanyaan kunci, yaitu “apa yang bernilai?. Aksiologi berhubungan dengan aspek 
penting yaitu etika dan estetika. Etika yaitu  studi tentang standar penilaian yang 
mempertimbangkan apa yang benar dan baik. Estetika yaitu  studi tentang keindahan 
yang mempertimbangkan apa yang indah.
1. Metafisika dan pendidikan 
Metafisika merupakan pemahaman mengenai realitas (metaphysics=ta meta ta 
physika) yaitu apa itu realitas (what is real?)  atau perkara di balik yang berwujud dan 
bergerak (the after physic). Realitas sesungguhnya tidaklah terbatas kepada atau 
tepatnya tidak sebatas kemampuan pengindraan, persepsi dan pemahaman manusia. 
DeJong menegaskan bahwa ide-ide penting dalam metafisika akan memengaruhi 
pendidik Kristen. Metafisika harus berkaitan dengan spekulasi keberadaan alam dan 
amkna dari realitas. Dengan potensi dan pemahaman yang kita miliki, kita dapat 
memberikan penjelasan mengenai aspek-aspek keyakinan metafisis.  
Pertama, aspek kosmologi mencakup studi mengenai teori-teori tentang asal dari 
sesuatu, sifat dan perkembangan dari alam semesta sebagai sistem yang teratur. Dalam 
kaitannya dengan pendidikan Kristen kosmologi berbicara tentang keyakinan atas 
kejadian asal-usul, tujuam dan keteraturan (order) susunan dalam alam semesta 
(kosmos). Kosmologi mempelajari adakah “kekuatan atau “pribadi” di balik alam 
semesta? Jika ada siapakah dia?, dapatkah dia dijelaskan? (ada pemisah yang jelas atau 
tidak) atau monistik-hirarkis (menyatu dalam susunan atas-bawah). Tung 
menambahkan metafisika menyangkut keterkaitan hukum-hukum semesta dalam 
massa, ruang dan waktu. Bagaimana awal alam semesta terbentuk dan 
berkembang?,adakah tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan alam semesta?.  
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan lebih dahulu mengemukakan 
bahwa dalam terang iman Kristen, realitas tertinggi yaitu  Tuhan, pencipta, dan 
pemelihara alam semesta. Alam semesta ada karena ada yang menciptakannya 
(mengadakannya), namanya Tuhan. Alam semesta tidak identik dengan Tuhan 
begitupun sebaliknya. Apa makna dalam pendidikan Kristen? Jika Tuhan yaitu  
pencipta alam semesta, maka Ia juga yaitu  pencipta gagasan pendidikan, pengajaran, 
dan disiplin. Alkitab menuturkan bagaimana Tuhan mendidik manusia, baik individu 
maupun kelompok dari masa ke masa, agar mereka mengenal dan memuliakan Tuhan. 
Penulis Ibrani menyatakan bahwa Tuhan telah berbicara kepada orang-orang zaman 
dahulu, para nabi, dan rasul dengan berbagai cara. Pada puncaknya, Tuhan telah 
menyatakan diri kepada manusia di dalam atau melalui Yesus Kristus. Tung menjelaskan 
bahwa dalam iman Kristen berakhirnya dunia dengan kedatangan Yesus Kristus untuk 
kedua kalinya merupakan aspek yang harus dijawab dari aspek pendidikan Kristen dan 
teologi. Jadi Tuhan sendiri menjadi sumber inspirasi bagi manusia. Tuhan sendirilah 
yang ingin berbuat, serta melalui karya pendidikan yang manusia upayakan (Flp. 2:13). 
Kedua, aspek teologi mencakup studi religious yang berkaitan dengan Tuhan. 
Teologi merupakan kajian yang membahas soal keberadaan, sifat dan perbuatan Tuhan 
bagi keutuhan ciptaan-nya. Pemahaman tentang Tuhan memiliki banyak varian seperti 
pemahaman yang berkembang tentang Tuhan seperti ateis, agnostik, deisme, animistic, 
panteistik, monoteistik, deistic, animistic, dinamistik, politeistik, dan teistik. Beberapa 
pemahaman sentral pada aspek teologis antara lain: apakah Tuhan itu ada?, bagiamana 
sifat-sifat Tuhan?, apakah Tuhan itu hanya satu atau lebih dari satu? Jika Tuhan itu baik 
dan berkuasa, bagaimana dengan kejahatan itu ada?, apa hubungannya dengan roh-roh, 
malaikat, dan setan?, jika ada apakah hubungannya roh-roh dengan Tuhan? Dalam 
kenyataanya manusia terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dalam cara dan 
keyakinannya untuk menjawab pertanyaan ini . Kelompok ateis menyatakan Tuhan 
tidak ada. Kaum agnostik meragukan keberadaan Tuhan dan tidak dapat menyarakan 
apakah Tuhan itu ada atau tidak. Kaum deisme menyatakan Tuhan menciptakan hukum 
alam dan moral, tetapi Tuhan memisahkan keberadaan-Nya karena tidak tertarik pada 
manusia dan alam fisik. Tuhan itu mahajauh dari manusia, tak terhampiri oleh manusia. 
Harus ada perantara manusia dengan Tuhan. Mereka percaya hanya ada satu Tuhan 
yaitu pencipta. Manusia harus hidup memakai  akal budi yang Tuhan berikan 
kepadanya. Kaum animisme menyatakan Tuhan identic dengan roh (anima) yang juga 
ada dimana-mana. Di mana roh menguasai dan mengendalikan dunia nyata.  
Kaum politeisme menyatakan bahwa ada sejumlah Tuhan, Tuhan itu majemuk, dan 
banyak wujud dan bentuknya. Tuhan dapat beruba rupa atau bentuk apa saja yang 
dikehendakinya. Kaum Monoteisme menyatakan hanya ada satu Tuhan. Kaum panteistik 
mengatakan Tuhan berada dimana saja di dalam semesta ini, di tanah, air, udara dan api. 
Tuhan dan alam identeik, “Tuhan yaitu  segala-galanya, dan segala-galanya yaitu  
Tuhan.” Kaum monistik, manusia dengan Tuhan dapat menyatu, dan menurutnya 
panggilan manusia yaitu  menyatu dengan Tuhan asal mulanya sendiri. Manusia yaitu  
pancaran dari Tuhan sendiri. Akhirnya pemahaman teistik bahwa Tuhan itu mahatinggi 
namun mahadekat karena Dia yaitu  Mahapribadi yang tak terbatas. Dia tetap ikut 
campur tangan dalam kehidupan manusia di dunia ini. Dia berkomunikasi dan berbicara 
dengan manusia.  
Pandangan metafisika Kristen menyangkut dua lapisan dalam metafisikanya 
(theistic viewphysics) yaitu: Pertama, created universe, yaitu ciptaan yang terbatas, 
menempati, ruang tergantung, dan tidak tetap. Kedua, uncreated being of God, yaitu 
tidak terbatas, kekal, berada dengan sendirinya, self-sufficient, dan tidak diciptakan. 
Iman Kristen memiliki pemahaman tentang Tuhan secara teistik. Jika kita mempelajari 
teologi, kita harus terlibat dalam perbuatan “berteologi” (doing theology). Tidak hanya 
menyerap teologi sebagai hasil pemikiran orang lain  atau para pakar, sekalipun kita 
orang biasa, sejauh kita mengalami relasi yang dinamis dengan Tuhan melalui Alkitab, 
Yesus Kristus, dan Roh Kudus, kita akan mampu berteologi. Pendidikan Kristen harus 
membimbingan orang dalam persekutuan dengan Tuhan, membimbing orang ke dalam 
komunikasi dan relasi dengan Tuhan sehingga dapat memahami kehendak-Nya dengan 
jelas untuk mendorong mengadakan refleksi, mengutarakan pemikiran secara sistematis 
tentang imannya dan pengalamannya sebagai hasil “pejumpaan (ancounter) dengan 
Tuhan dalam aktivitas berteologi. Pada akhirnya matefisika teologi Kristen mengarah 
pada Kisah Para Rasul 17:28 “sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, 
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu” Sebab kita ini dari 
keturunan Allah juga”. 
Ketiga, aspek antropologi (Yunani: antropos dan logos) berkaitan dengan 
sifat,struktur manusia, termasuk pertanyaan sekitar asal dan tujuan hidup manusia?, 
apakah hubungan antara akal dan tubuh?, bagaimana interaksinya?, apakah akal budi 
lebih fundamental dibandingkan tubuh?, bagaimana status moral kemanusiaan?, apakah 
orang dilahirkan baik, jahat, atau netral scara moral?, sampai dimana setiap hidup 
individu dan bebas?.23  Pespektif iman Kristen, kita memiliki pemahaman bahwa ada 
manusia di dalam semesta bukanlah sebagai hasil peristiwa kebetulan. Manusia ada 
karena ada dan berkarya, karena adanya Tuhan yang menciptakan dan memelihara. 
Tuha sudah ada sebelum segala sesuatu ada, Ia menciptakan dari yang tiada (creation ex 
nihilo). Jadi manusia memiliki dimensi keutuhan dalam dirinya, sebagai mahkluk 
individu dan sosial. Manusia memiliki dimensi adikodrati sehingga manusia memiliki 
kemampuan mengenal Sang Penciptanya secara total dan dinamis. Sejak kejadiannya 
manusia diberikan nafas hidup (Kej.2:7), dimensi kekekalan (Pkh.3:11) suara hati 
manusia semacam “hakim” membedakan yang benar, baik dan buruk (Rm.2:14-15), dari 
dimensi adikodrati membuat manusia tidak bisa tidak beragama, tetapi juga harus hidup 
mandiri dan hidup bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan sarana 
agama, manusia mencari dan berjuang dekat dengan Tuhan, pribadi yang lebih besar 
                                                             
dan berkuasa melindungi dan memelihara bahkan menghukumnya. Suara hati (hati 
nurani) manusia memberikan kesaksian rohani dan moral bahwa Tuhan  itu ada dan 
memiliki sifat yang kasih dan adil. Inilah dasar dalam pembelajaran kristiani, kita harus 
sadar ada dimensi spiritual dalam proses pendidikan dimana Allah berintervensi 
melalui Roh Kudusnya  melakukan pendidikan dan pembinaan bagi umat manusia (Fil. 
4:8,13).  
Dengan demikian antropologi pada dasarnya berpusat pada natur manusia. Dari 
sudut padang kristiani, manusia dipandang sebagai ciptaan Allah yang diciptakan 
segambar dan serupa dengan Allah dan karenanya memiliki  tanggung jawab dan 
kewajiban sebagai pembawa gambar Allah. Namun manusia juga  dipandang sebagai 
mahkluk yang sudah jatuh dan tercemar dosa yang membawa konsekuensi terhadap 
seluruh lapiran kehidupan manusia baik secara personal maupun secara korporat.
Implikasi dalam dunia pendidikan bahwa manusia terus menerus didorong untuk 
bertindak secara bertanggung jawab dalam setiap relasi dan interaksinya lewat 
pendidikan, agar setiap peserta didik hidup sesuai tujuan Allah, memuliakan Tuhan 
dalam hidupnya, manusia juga harus dididik dengan natur kreatif Allah sehingga mereka 
menjadi pembaharu, membawa inovasi, dan produktif bagi bagi dirinya, keluarga, 
masyarakat, gereja dan bangsa negara. Semua disiplin pendidikan harus dipengaruhi 
dan diterangi oleh karya penebusan Kristus dan mengalami pemulihan hidup agar 
tujuan pendidikan itu sendiri dapat dicapai. 
Tepatlah perkataan Pazmino, bahwa dengan mengenal natur manusia sebagai 
mahkluk ciptaan Allah, peserta didik bisa didorong untuk menjadi partisipan aktif dalam 
pendidikan mereka serta berinteraksi dengan dunia sebagai fokus hidup mereka. Karena 
itu studi tentang antropologi memaksa kita untuk mempertimbangkan hal yang tidak 
sekadar soal individu dan ruang kelas yang terisolasi. Manusia juga perlu dipandang 
dalam hubungannya dengan masyarakat dan budaya, hubungannya dengan sejarah yang 
bersifat antar pribadi dan korporat dan nasionalisme. Hal ini mendorong para pendidik 
Kristen untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat antar pribadi, 
antar kelompok, antar masyarakat, dan antar budaya. Dalam kontek masyarakat ada 
berbagai kekuatan kelompok, gerakan, dan isntitusi yang bisa dinilai sebagai suatu 
tekanan atau justru sebagai suatu yang melegakan dalam rangka eksistensi manusia 
secara antropologi.25  
Keempat,masalah ontology. Aspek ontology membahas sifat keberadaan (the 
nature of exsistence). Apakah yang dimaksudkan dengan keberadaan? Apakah yang ada? 
Sebenarnya terletak pada materi, atau juga non materi atau spritualkah?. Atau apakah 
hakikat dasar didapati unsur roh atau spiritual? Apakh hakikat itu tersusun dari satu 
unsur roh atau fisik, atau terdiri dari dua unsur?, apakah hakikat itu sudah tersusun 
dengan teratur atau mengikuti aturan dengan sendirinya?  Pemahaman mengenai sifat 
keberadaan akan menentukan kembali jawaban terhadap apa yang paling bernilai dalam 
hidup. Manakah yang paling bernilai, yang material atau spiritual?, apakah kita hidup 
dalam tata nilai dualistic yang memisahkan perkara duniawi dengan perkara surgawi?  
Ontologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat dari eksistensi (keberadaan atau 
maknanya bagi apa pun yang ada. Aspek ontology sering disebut dengan aspek isologi26 
karena fungsi ontologi yaitu  menentukkan hal yang kita maksudkan ketika kita 
menyatakan sesuatu itu dengan mendefinisikannya.  
Secara ontology pendidikan harus berkaitan dengan hakikat utama yang menjadi 
sentral dari semua konsep pendidikan. Pendidikan harus didasarkan pada fakta bukan 
                                                             
hanya imajinasi apalagi ilusi. Teologi Kristen memandang bahwa keberadaan manusia 
tidak terbatas kepada yang sifatnya material belaka, tetapi juga terkait kepada yang 
spiritual. Manusia memiliki dimensi jasmani dan rohani dalam kesatuan namun manusia 
dibatasi ruang dan waktu dalam dimensi materialnya. Ia dapat hadir nanum tidak 
mahatahu, tidak mahahadir,dan tidak mahakuas. Manusia di dalam ruang dan waktu 
memerlukan pemenuhan segi spritualnya, sehingga beralih dari ruang dan waktu 
material ke ruang dan waktu kekekalan (1Kor.15:40-49). Pendidikan Kristen 
mengemban tugas menolong peserta didik agar dapat mengenal keberadaannya yang 
terbatas namun tidak pernah statis. Pendidikan Kristen terpanggil untuk melengkapi 
orang menjalani “pengembaraannya” di dalam dunia secara badani menuju kekekalan. 
Orang Kristen hadir sebagai orang buangan dan musafir di dunia, namun ia juga yaitu  
seorang anggota kerajaan Allah yang menjalani hidup untuk mengalami pembaruan dan 
menyatakan hidup dari karya penebusan Kristus, manusia harus menjadi ciptaan baru 
dalam Kristus dan mengemban tugas mewartakan pendamaian Kristus bagi dunia (2 
Kor. 5:17-21).27 
Pendidik kristiani harus sadar pada dirinya dan menyadarkan peserta didiknya 
bahwa menjalani hidup di dunia ada batasnya namun punya tujuan kekal, maka sangat 
perlu roh takut akan Tuhan dan kerendahana hati bahwa semuanya dari kepada Tuhan 
dan memuliakan Tuhan (Pkh. 12:1-3, Mrk.12:29-30). Dalam pendidikan kristiani, hal 
utama dari metafisika secara ontology yaitu  kedaulatan Allah dalam setiap aspek 
kehidupan manusia.
 
2. Epistemology dan Pendidikan 
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata epistemη – 
episteme (pengetahuan) dan logoz – logos (kata, pikiran, percakapan, ilmu). Jadi 
epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu 
pengetahuan.29 Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan.30 Menurut 
Uyoh Sadulloh mengutip pemikiran Runes (1963:94) bahwa epistemology is the branch 
of philosophy which investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge” 
(Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, 
struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan).31  
Pemikiran yang sama dengan itu yaitu  seperti pemikiran secara tradional bahwa 
yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi yaitu  sumber, asal mula, dan sifat 
dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan, serta validitas dan 
reliabilitas (reability) dari berbagai klaim terhadap pengetahuan.32 Adapun ciri-ciri dari 
Epistemologi yaitu : (a) Bersifat sentral; posisi antara subjektif dan objektif. (b) 
Landasan bagi segenap tindakan mns dlm kehdpn sehari-hari. (c) Dasar bagi 
pengembangan pemikiran ilmiah. (d) Jembatan antara alam keharusan (das Sollen) yg 
bersifat kejiwaan dan alam empirik (das Sein) yg bersifat inderawi.  
Selanjutnya untuk memperluas pemahaman kita tentang istilah epistemologi, 
Sriyulianti dalam bahan ajarnya menyebutkan beberapa istilah yang dapat dihubungkan 
dengan epistemologi, yaitu:33 (a) Kriteriologia: Menetapkan benar/tidaknya pikiran atau 
                                                            
pengetahuan berdasar  ukuran tentang kebenaran. (b) Kritikan Pengetahuan: 
Tinjauan secara mendalam utk menentukan benar/tidaknya pengetahuan manusia. (c) 
Gnoseologia: Gnosis (pengetahuan), logos (ilmu). Usaha untuk memperoleh hakikat 
pengetahuan yang bersifat keilahian. (d) Logika Material: Usaha menetapkan kebenaran 
suatu isi pemikiran.  
Epistemologi memiliki cakupan yang sangat luas, hal itu dapat lihat pengertiannya, 
yaitu:34 (a) Epistemologi (teori pengetahuan) merupakan salah satu cabang filsafat yg 
mempelajari hakikat pengetahuan, sumber-sumbernya, syarat-syarat memperoleh 
pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan serta hakikat kehendak dan 
kebebasan manusia dalam memperoleh pengetahuan. (b) Epistemologi yaitu  cabang 
filsafat yang khusus mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan 
mendasar tentang pengetahuan. (c) Suatu upaya rasional untuk menimbang dan 
menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, dan 
lingkungan sekitarnya. (d) Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif 
(tentukan tolak ukur) dan kritis (mempertanyakan dan menguji). (e) Epistemologi atau 
filsafat pengetahuan yaitu  cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan 
kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta 
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. (f) 
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara 
harafiah berarti “pengetahuan”). (g) Epistemologi membahas berbagai hal tentang 
pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. 
Epistemologi berusaha membahas persoalan pengetahuan. Oleh sebab itu sering 
muncul serangkaian pertanyaan yang dapat diajukan untuk mendalami permasalahan 
yang dipersoalkan epistemologi, seperti: (a). Apakah pengetahuan itu?, (b). Apakah yang 
menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, (c). Apakah pengetahuan itu berasal dari 
pengamatan, pengalaman, atau akal budi?, (d). Apakah pengetahuan itu yaitu  
kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? 
Menurut Jan Henrik Rapar, pengetahuan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yang 
dijelaskan sebagai berikut35: Pertama, Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). 
Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-
ilmiah yaitu  hasil pencerapan dengan indera terhadap objek tertentu yang dijumpai 
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah 
yaitu  hasil pencerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran 
rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan memakai  
metode ilmiah. Kedua, Pengetahuan ilmiah (Scientific Knowledge).Yang dimaksudkan 
dengan pengetahuan ilmiah yaitu  pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan 
metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang 
demikian dikenal juga dengan sebutan science. Ketiga, Pengetahuan filsafati 
(Philosophical Knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasional 
yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan 
pemikiran-pemikrian logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan filsafati yaitu  
pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang 
dipersoalkan selaku objek yang diketahui. 
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan?. Para filsuf memberi 
jawaban yang berbeda-beda terhadap pernyataan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan 
Leibniz mengatakan bahwa akal budi atau rasio yaitu  sumber utama bagi pengetahuan. 
Bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa aka budi yaitu  satu-satunya 
sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat 
                                                            
bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak 
mungkin benar. Bagi mereka, pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses 
mengetahui.36 Paham yang menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio 
atau akal budi disebut paham atau aliran rasionalisme. Tokoh yang sangat terkenal 
mengembangkan aliran ini yaitu  Rene Descartes. 
John Locke mengatakan  bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari 
sensasi dan lewat refleksi terhadap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apa pun 
juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman inderawi. Paham 
yang menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi 
yaitu  paham atau aliran empirisisme. Tokohnya yang sangat terkenal yaitu  John 
Locke. 
Imanuel Kant, seorang filsuf yang tidak sealiran dengan John Locke, menjembatani 
kedua aliran sumber pengetahuan yaitu rasio dan pengalaman inderawi mengatakan 
bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori (suatu ide atau konsep 
ada pada dirinya sendiri) sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya 
dapat di aplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan 
konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain, 
Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat berfungsi sebagaimana 
mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman.38 berdasar  pemikiran dari 
beberapa filsuf di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pengetahuan 
berasal dari rasio atau akal budi dan pengalaman inderawi manusia. 
Selain itu dilihat dari sumber pengetahuan, Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat 
Pendidikan mengatakan bahwa manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, 
yang dapat diperolehnya dengan melalui beberapa sumber yaitu pengetahuan wahyu 
(reveled knowledg), pengetahuan intuitif (intuitive knowledge), pengetahuan rasional 
(rational knowledge), pengetahuan empiris (empirical knowledge), dan pengetahuan 
otoritas  (authoritative knowledge).39  Pertama. Pengetahuan Wahyu (Reveled 
Knowledge).  Dalam perjalanan hidup manusia, sebagaian manusia memperoleh 
pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. 
Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran kepada munusia pilihannya, yang 
dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman 
Tuhan.  Kebenarannya yaitu  mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, 
artinya pengetahuan ini  berasal dari luar manusia. Kedua, Pengetahuan intuitif 
(Intuitive Knowledge). Dalam pengertian umum, intuisi merupakan metode untuk 
memperoleh pengetahuan tidak berdasar  penalaran rasio, pengalaman, dan 
pengamatan indera. Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, 
pada saat ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam 
kesadaran manusia. Mengenai proses kerjanya, manusia itu sendiri kadangh-kadang 
tidak menyadarinya.  
Ketiga, Pengetahuan Rasional (Rational Knowledge). Pengetahuan rasional 
merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio/akal semata, tidak 
disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual.  Prinsip logika formal 
dan matematika murni merupakan paradigma pengetahuan rasional, dimana 
kebenaranya dapat ditunjukan dengan pemikiran abstrak. prinsip pengetahuan rasional 
dapat di terapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak kesimpulan dari pengalaman 
                                                             
indera. Rasionalisme yaitu  aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk 
memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme berpandangan bahwa akal 
merupan faktor fundamental dalam pengetahuan.  Akal manusia memiliki  
kemampuan untuk mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat 
diketahui melalui observasi. Menurut rasionalisme,  pengalaman tidak mungkin dapat 
menguji kebenaran hukum “sebab-akibat” karena peristiwa yang tidak terhingga dalam 
kejadian alam ini tidak mungkin dapat di observasi.    
Keempat, Pengetahuan Empiris (Empirical Knowledge. Pengetahuan emperis 
diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan,  pendengaran, dan sentuhan 
indera-indera lainya, sehinga kita memiliki  konsep duynia di sekitar kita. Paradigma 
pengetahuan emperis yaitu  sains, dimana hipotesis-hipotesis sains diuji  dengan 
observasi  atau dengan eksperimen. Aliran yang menjadikan emperis (pengalaman) 
sebagai sumber pengetahuan di sebut empirisme. Emperisme merupakan aliran dalam 
filsafat yang membicarakan pengetahuan.Emperisme beranggapan bahwa pengetahuan 
dapatb diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi, atau penginderaan. 
Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam penetahuan, sehingga merupakan 
sumber dari pengetahuan manusia. Apa yan kita ketahui berasal dari segala apa yang 
kita dapatkan melalui alat indera. Pengalaman merupakan proses interaksi antara 
manusia dan lingkunganya. Pengalaman tidak hanya sekedar dunia fakta, melainkan 
termasuk pula dunia riset , dimana dalam pengertian ini termasuk dunia sains. 
Kelima, Pengetahuan Otoritas (Authoritadiive Knowledge). Kita menerima suatu 
pengetahuan itu benar bukan karena telah menceknya diluar kita, melainkan telah 
dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang beribawa, memiliki wewenang, berhak) di 
lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia yaitu  seorang pakar dalam 
bidangnya. Misalnya kita menerimah petuah agama dari seorang kiai, karena beliau 
merupakan orang yang sangat ahli dan menguasai sumber ajaran agama islam,tanpa kita 
mencek dari sumber aslinya (Quran dan Sunnah). Kita sering mengutamakan pandangan 
kita dengan mengutip dari ensiklopedia atau hasil karya tulis para pakar yang terkenal. 
Pada saman kerajaan, sabda raja merupakan manusia yang paling berkuasa. 
Menurut Louis O. Kattsoff, kebenaran menunjukkan bahwa makna suatu 
pernyataan, artinya proposisinya – sungguh-sungguh merupakan halnya.  Hal ini sejalan 
dengan pemikiran dari penganut idealisme, seperti F.H. Bradley, mengatakan bahwa 
kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah makna yang merupakan halnya, dan 
karena kenyataan ialah juga merupakan halnya,  maka keduanya dipandang sama 
sepenuhnya. Misalnya, karena makna pernyataan “di luar hawanya dingin”, artinya 
proposisi di luar hawanya dingin, sekarang sungguh-sungguh merupakan halnya pada 
waktu menulis catatan ini, maka keadaan-dingin-di luar merupakan bagian dari keadaan 
kenyataan yang ada pada waktu sekarang serta pada tempat ini, proposisi ini  
dikatakan benar.40  
Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang 
diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Jika apa 
yang kita ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari ide-ide 
yang dihubungkan secara tepat, kebenaran merupakan keadaan-saling-berhubungan 
(coherence) di antara ide-ide ini  atau keadaan saling berhubungan di antara 
proposisi-proposisi. Jika sebaliknya, kita dengan suatu cara tertentu mengetahui 
kenyataan, maka pengetahuan atau ide-ide yang benar terdiri dari – seperti yang 
dikatakan Spinoza – kejumbuhan antara ide dengan ideantumnya, atau selanjutnya 
kesesuaian (correspondence) antara ide-ide dengan apa yang diwakili.
Beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah ukuran 
pengetahuan itu benar atau salah, yaitu: 1). Teori korepondensi; 2). Teori koherensi, dan 
3). Teori pragmatisme. Pertama, Teori Korespodensi (Correspondence Theory). Paham 
yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya 
sunguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan “paham korespondensi”. Keadaan atau 
keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan 
oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa 
yang merupakan fakta-faktanya.Apakah yang dimaksudkan dengan istilah 
kesesuaian?.  Menurut  K. Rogers seorang penganut realisme kritis dari Amerika, 
mengatakan bahwa kesesuaian itu berlaku di antara esensi-esensinya. Setiap esensi 
memiliki  dua segi, yang satu ada  di dalam objeknya dan yang lain sebagai 
makna. Segi esensi yang berupa makna bersifat kejiwaan. Dalam suatu pencerapan, kita 
secara diam-diam mengenal esensi yang termasuk objeknya, maupun apa yang 
dimaksudkan oleh esensi ini . Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh Rogers 
ialah, bahwa keadaan-keadaan terletak dalam kesesuaian antara esensi atau makna 
yang kita berikan dengan esensi atau makna yang ada  di dalam objeknya. Maka 
yang berkesesuaian itu bukanlah makna dengan objeknya, melainkan esensi sebagai 
makna dengan esensi yang ada  di dalam objek.43 
Menurut teori korespodensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan 
situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam pemikiran 
dengan situasi lingkungannya. Teori ini paling luas diakui oleh kaum realis. Sebagai 
contoh, saya berpendapat bahwa pulau Jawa merupakan pulau ada  penduduk di 
Indonesia . pendapat saya itu benar bukan karena bersesuai dengan pendapat orang lain 
sebelumnya, atau karena di terima oleh banyak orang, melainkan karena persesuaian 
dengan  kenyataan yang sebenarnya. Ini merupakan ciri  dari ilmuan yang selalu mencek 
atau mengontrol pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan.44 
Kedua, Teori Koherensi (Coherence Theory). Penganut kohenrensi tentang 
kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filsuf Britania F.H. 
Bradley (1846-1924). Secara singkat paham ini  mengatakan bahwa suatu 
proposisi cenderung benar jika proposisi ini  dalam keadaan saling berhubungan 
dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan 
saling berhubungan dengan pengalaman kita. Contoh, bagaimana cara kita mengatakan 
bila seseorang bohong dalam banyak hal? Jawabnya dengan jalan menunjukkan bahwa 
apa yang dikatakan tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau 
dikerjakannya.45 
Teori koherensi menganut hukum-hukum keadaan saling berhubungan. Bradley 
mengatakan bahwa yang dimaksudkan para penganut idealis tentang hukum-hukum 
keadaan saling berhubungan, dapat diketahui dari dua ciri pokok, yaitu: Pertama, 
adanya keharusan bahwa semua fakta terangkum. Ide-ide tidak mungkin saling 
berhubungan jika ide-ide itu hanya merupakan bagian-bagian dari kebenaran 
seluruhnya. Kedua, ide-ide ini  harus teratur secara selaras dan tidak mengandung 
kontradiksi.  Kenyataan (dan karenanya, kebenaran) oleh para penganut idealisme 
digambarkan sebagai sistem kebenaran yang teratur, yang logis, yang didalamnya tidak 
ada  kontradiksi.
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan bersesuai antara pikiran dengan 
kenyataan , melainkan kesesuaian secara harmonis antar pendapat/pikiran kita dengan 
pengetahuan kita yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan 
idealis. Pengertian persesuaian dalam teori ini ada  konsistensi (ketetapan, sehingga 
teori ini berarti ada  konsistensi (ketetapan, sehingga teori ini disebut juga teori 
konsistensi) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang 
telah kita miliki satu dengan yang lain. Kalau kita menerima pengetahuan baru, karena 
pengetahuan ini  sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki,atau apa bilah kita 
melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru ini  lebih bertautan secara 
harmonis dengan keseluruhan pangalaman pengetahuan kita. 
Kedua, Teory Pragmatisme (Pragmatism Theory).Menurut teori pragmatisme, 
kebenaran tidak bersesuai dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari 
pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut pragmatisme, teori koherensi yaitu  
normal dan rasional. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui 
apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas. Oleh klarena itu, 
pragmatisme merupakan penganut emperisme yang fanatik untuk memberikan 
interperensi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang 
mutlak dan abadi. Kebenaran itu dibuat dalam proses penyusaian manusia. 
Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran 
merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu, 
berarti kita memberikan penilain terhadapnya. Istilah benar yaitu  suatu pernyataan 
yang berguna,  sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna. 
Seseorang menyatakan pendapatnya bahwa  benar, karena telah memenuhi 
kepentinganya. Dapat terjadi seseorang menyatakan benar, tetapi suatu saat  ia 
menyatakan pendapatnya itu salah, karena pendapatnya itu sudah tidak berguna, tetapi 
hanya dapat memenuhi kepentinganya. Tetapi, dalam hal ini tidak berarti bahwa benar 
dan salah merupakan hal yang bersifat individual. Kebenaran merupakan hasil 
hubungan sosial. Kebenaran individual dikontrol atau dikoreksi di bawah pengaruh 
sosial, sampai akhirnya kebenaran itu diterima secarah umum. 
Para penganut ajaran-ajaran pragmatisme berbeda-beda coraknya, sesuai dengan 
konsekuensi-konsekuensi yang mereka tekankan. Namun, semua penganut 
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. 
Sebagai contoh, William James, mengatakan bahwa proposisi “Tuhan ada” yaitu  benar 
bagi seseorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Ini 
berarti bahwa proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita, yaitu  benar. 
Dalam batas-batas ini , kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat 
dilaksanakan di dalam suatu situasi. Dan orang memiliki  kehendak serta hak untuk 
percaya akan hal-hal yang membantu menetapkan hubungan yang memuaskan dengan 
sisa pengalaman mereka. Kiranya jelas, bahwa kesulitan besar tentang definisi mengenai 
kebenaran sebagai sesuatu uang berguna dalam menetapkan penyesuaian-penyesuaian 
yang memuaskan, tergantung pada apa yang dimaksudkan dengan “dapat dilaksanakan” 
atau “berguna”, dan tergantung pada apakah yang merupakan hubungan-hubungan yang 
memuaskan dengan sisa pengalaman kita.47 
Karena itu untuk mencari kebenaran, kaum pragmatis berpaling pada metode 
sains (ilmiah), sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna dalam menafsirkan 
gejala-gejala alam. Kriteria pragmatisme banyak dipakai  oleh ilmuan untuk 
menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karen seperti yng telah 
dikemukakan di atas, bagi pragmatisme tidak ada kebenaran mutlak dan abadi.  
                                                              
Keempat, Teori Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth).Perihal teori 
Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth) dan Teori Kesahihan Logikal yang 
berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of Truth)  dikutip dari tulisan Jan Hendrik 
Rapar.48 Yang dimaksudkan teori Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth) yaitu  
teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori kesahihan semantik, 
proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada 
referen atau realitas dan bisa juga arti definitif dengan menunjuk ciri khas yang ada. 
Kelima. Teori Kesahihan Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of 
Truth). Teori Kesahihan Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of 
Truth) yaitu  sebuah teori yang hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang 
memiliki term berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia 
telah menjadi suatu benda logik yang berlebih-lebihan. Contoh: siklus yaitu  lingkaran 
atau lingkaran yaitu  bulatan dan sebagainya. Dengan demikian, proposisi lingkaran 
atau bulat tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.49 
Dalam perspektif iman Kristen, epistemology Kristen yaitu  firman Tuhan dalam 
mendapatkan pengetahuan. Prinsip dan praksis pendidikan harus berdasar  
pandangan Akitab. Dalam Amsal 3:5-6 “percayalah kepada Tuhan dengan segenap 
hatimu, dan jangalah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala 
lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu”. Demikian pula dalam Mazmur 119:15 
“firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”. Landasan ini akan memberi 
pencerahan dan tugas kepada stakeholder pendidikan Kristen bahwa kebenaran firman 
Tuhan harus menjiwai seluruh proses pendidikan kristiani. Kebenaran firman Tuhan 
harus dipahami sebagai kesatuan dalam tritunggal Allah berkaitan dengan prinsip dan 
praksis pendidikan, yakni: Firman yang berkenaan dengan penciptaan, firman yang 
hidup dan berikarnasi dalam Yesus Kristus, dan firman yang dituliskan untuk manusia 
yaitu Alkitab (2 Tim.3:16).50 
Perspektif yang alkitabiah harus menjadi bagian terpenting mendalami 
epistemology kristiani. George Knight menjelaskan bahwa: (a) Perspektif Alkitab 
menyatakan seluruh kebenaran yaitu  kebenaran Allah, itu berarti mengeliminir 
pemahaman bahwa ada perbedaan kebenaran sekuler dengan kebenaran rohani, (b) 
Kebenaran dari penyataan kristiani yaitu  benad adanya sesuai dengan apa yang ada di 
alam semesta, sehingga orang Kristen harus berusaha mendapatkannya tanpa kuatir 
adanya kontradiksi. (c) Kekuatan jahat berusaha merendahkan Alkitab, membelokkan 
pemikiran manusia, dan mengarahkan manusai untim bergantung pada 
ketidakmampuan diri sendiri yang sudah jatuh dalam dosaa dalam upaya mencari 
kebenaran tidak akan berhasil. (d) Alkitab tidak hanya berisi kebenaran abstrak, tetapi 
juga kebenaran berkaitan dengan kehidupan. Karena itu pengetahuan Alkitab dalam 
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (e) berbagai sumber pengetahuan tersedia 
bagi orang Kristen (wahyu umum dan wahyu khusus) bersifat saling melengkapi dan 
saling meneguhkan seturut pola Alkitab. (f) Adanya keutuhan kebenaran, penerimaan 
epistemology kristiani tidak bisa dipisahkan dari metafisika kristiani.
 
3. Aksiologi dan Pendidikan 
                                                            
Aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang berbicara tentang nilai (what is of 
value). Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna, dan 
bertujuan dalam kehidupan sehari-hari manusia, baik secara individu dan kelompok. 
Umumnya orang menimbang nilai dari kadar baik dan buruk. Disamping itu nilai 
mengarahkan tindakan, mendasari perbuatan, dan membuat preferensi nilai (sistem 
nilai atau tata nilai), dalam hidup manusia memiliki sistem nilai dalam angan (conceived 
values) dan nilai dalam praktik sebagai suatu keharusan (operatif values). Pendidikan 
kristiani menawarkan nilai hidup baru yang bersumber pada Alkitab dan penebusan 
Yesus Kristus. Yesus Kristus mengajarkan dan memberikan nilai hidup bagi para 
pengikut-Nya dan mendorong untuk menghidupi dan mewujudkan nilai-nilai itu ke 
dalam hidup nyata yang menembus ragam manusia, budaya, masyarakat dan bangsa.  
Aspek aksiologi menyangkut etika dan estetika. Etika yaitu  studi tentang prinsip 
moral dan praktiknya. Etika berurusan dengan realitas dosa dan panggilan kristiani 
untuk melayani dan berkorban bagi dunia. Estetika yaitu  studi tentang keindahan dan 
dimensi kreatif dalam hidup.52 Etika merupakan studi tentan nilai-nilai moral dan 
perilaku. Etika menjawab pertanyaan: “apakah itu kebaikan, apa yang seharusnya 
dilakukan orang pada saat situasi seperti ini?”. Estetika yaitu  studi dari nilai-nilai 
umum, prinsip-prinsip yang mengatur penciptaan dan penghargaan terhadap keindahan 
dan seni. Estetika menjawab pertanyaan: “apakah itu keindahan, apa yang indah dari 
seni ini ?. Etika dan estetika pendidikan Kristen bertujuan memuliakan Tuhan dan 
mengasihi sesama. Etika bersumber dari pewahyuan khusus, estetika bersumber pada 
doktrin keindahan realitas ciptaan Allah. Studi tentang etika merupakan studi dari 
kehendak bebas manusia dengan kesadaran untuk bertindak benar atau salah.
Pertama, masalah etika yaitu  masalah yang baik dan buruk berkaitan dengan 
masalah ukuran, norma terhadap apa yang kita sebut baik dan apa yang kita sebut 
buruk. Pendidikan Kristen berurusan dengan pembentukan dan pengembanghan nilai 
hidup. Nilai yang diajarkan itu yaitu  yang mampu membentuk dasar moral dan etis 
kehidupan orang percaya. Nilai hidup itu bersumber dari Tuhan bukan dari manusia dan 
dunia. Nilai-nilai dari yang diajarkan Yesus dalam khotbah di bukit Matius 5-7 tentang 
kebenaran dan hidup secara pribadi, dasar ibadah, dan dasar dari agama. Nilai hidup 
harus konsisten dan selarah dengan kehidupan itu sendiri, Yesus secara tegas 
mengatakan diri-Nya tidak berubah, baik kemarin,hari ini, dan selama-lamanya (Ibr. 
13:8). Panggilan pendidikan Kristen yang sangat mendesak yaitu  membimbing orang 
agar mengenal Tuhan yang mahakudus, mahaadil, mahabenar. Relasih kekudusan hidup 
harus menjadi benih yang hidup bagi kehidupan etikan orang percaya (Mzm. 119:19).  
Kedua, masalah estetika. Aksiologi tidak terlepas dari masalah estetika, yakni 
bidang yang membahas keindahan, kerapian, kreatifitas dan inovasi setiap individu. 
Estetika juga sangat berhubungan dengan masalah emosi, kognisi, serta efeksi. 
Pendidikan  Kristen mengarahkan dalam proses belajar mengajar dimana 
memperhitungkan segi-segi keindahan dan kerapian serta penampilan diri sehingga 
nampak kehormatan dan peradaban hidup dari manusia itu sendiri. Imajinasi dan 
kreatifitas serta inovasi yaitu  bagian dari hakikat manusia sebagai pembawa rupa dan 
gambar Tuhan (imago dei) (Kej.1:26-27). Manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki daya 
cipta dan kreasi, daya imajinasi dan khayal ilmiah, yang diperlukan  bagi pengembangan 
ilmu pengetahuan dan hasil-hasilnya yang berguna bagi kesejahteraan manusia.   
Dalam persepktif Kristen, etika yaitu  bentukan normatif dari suatu panduan yang 
tidak berubah, tidak subjektif, dan tidak situasional. Etika Kristen tidak berbasis pada 
                                                             
nilai yang berdasar  prinsip-prinsip yang ditentukan komunitas atau rentang waktu 
tertentu, tetapi berdasar  kebenaran firman Tuhan.54 Menghidupkan etika kristiani 
haruslah menghindari kesombongan dan pemberontakan manusia, dan semuanya 
memikirkan dan menghidupi dengan nyata apa yang dikatakan Paulus dalam Filipi 4:8 
“jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, 
semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut 
kebajikan dan patut di dipuji pikirkanlah semuanya itu.”  
Bagi orang Kristen, estetika didasarkan pada fakta bahwa Allah menciptakan dunia 
itu indah, dan ini mengimplikasikan suatu tanggung jawab pribadi baik untuk 
menghargai maupun untuk menciptakan keindahan. Hubungan aksiologi dan 
pendidikan bisa dieksplorasi dengan mempertimbangkan berbagai sistem nilai yang 
berbeda yang memengaruhi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan. Paulo Freire 
menekankan betapa pentingnya artikulasi yang jelas dari nilai-nilai ini  dalam 
pendidikan dan perlunya refleksi kritis terhadap nilai-nilai dan terhadap 
problematisasinya.  
Aspek-aspek aksiologi kristiani yang termaktup dalam segi etika dan estetika 
haruslah bersumber pada panggilan pelayanan pendidikan yang mencintai dan melayani 
Tuhan, mencintai dan melayani sesame manusia, mencintai dan menghidupi firman 
Tuhan dan hukum-hukum Tuhan dan alam semesta. Tujuan pembelajaran etika dan 
estetika hendaknya bermuara pada pengembangan karakter, pengembangan 
keterampilan pelayanan, dan pengembanga  tanggung jawab manusia bagi sesamanya 
dan bagi alam semesta terutama kepada Tuhan. 55 Tujuan akhir dari etika dan estetika 
kristiani yaitu  pembentukan karakter Kristen dan mengembangkan seni dan 
keindahan sebagai pemberian dan anugerah Tuhan yang diwujudkan dalam kehidupan 
sehari-hari bagi hormat dan kemuliaan Tuhan, bagi kesejahteraan manusia dengan 
segala kelimpahan sukacitanya. 
 
Integrasi Iman dan Ilmu dalam Praksis PAK 
Berbicara ilmu tidak terlepas dari aspek rasio yang melatarbelakanginya. Banyak 
manusia ingin membuktikan kebenaran melalui rasionya. Rasio merupakan bagian yang 
ada dalam diri manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Dari rasiolah menjadi dewa 
dalam konteks ilmu pengetahuan. Para abad 17 dan 18 seperti Hegel, Charles Darwin, 
Karl Mark, Ludwig Feuerbach, Immanuel Kant, mendalilkan bahwa rasio yaitu  segala-
galanya lalu seolah-olah tidak lagi mengakui iman dan ajaran Kristen dan bahkan 
menolak keberadaan Allah. Darwin dengan teori revolusionernya tentang evolusi 
seolah-olah menegaskan manusia dan rasionya yaitu  segala-galanya. Tetapi sekarang 
dimanakah mereka semuanya?, mereka telah tenggelam dalam kematian yang 
mengerikan jika tidak bertobat. Mereka lpau bahwa semua kebenaran tidak dapat diuji 
kebenarannya hanya dengan ilmu pengetahuan dan rasio saja tetapi juga harus diterima 
dengan iman sebagaimana Alkitab menegaskan dalam Roma 10:17, “iman timbul dari 
pedengaran, dan pendengaran oleh firman Yesus Kristus, berarti ada dua pihak yang 
saling terlibat, yaitu manusia dengan iman dan rasionya dan Allah dengan kasih, 
keadilan dan kedaulatan-Nya. 
Jika kita berbicara tentang Pendidikan Agama Kristen, kita juga tidak bisa 
melepaskan dari peranan iman dan rasio. PAK merupakan proyeksi iman yang 
disosialisasikan melalui berbagai aspek kehidupan sedangkan ilmu sebagai cara untuk 
                                                             
menganalisis, mengkritisi, dan mengevaluasi. Para pemikir Kristiani telah bergulat 
dalam sejarah dimasanya untuk mencari hakikat yang benar dari pendidikan Kristen. 
Benar ada ketegangan khususnya dalam dinamika PAK, seperti penyataan dari Thomas 
Groome bahwa benar ada ketegangan khususnya terjadi disekitar perbedaan persektif 
prinsip, praksis, dan metode mengajar, seperti ketegangan dari pemikiran Comenius 
(1592) yang mengusulkan metode mengajar induktif di bawah bimbingan alam, para 
pendidik lain seperti Pattalozzi dan Froebel yang mengusulkan pendidikan yang 
berorientasi dan berpusat pada peserta didik. Whitehead, mengusulkan pendidikan 
harus berbasis keagamaan.  
Hal ini terjadi karena perbedaan worldwiew. Soegiharjo mengatakan bahawa “cara 
pandang manusia atau pandangan tentang dunia yang benar inilah yang seharusnya 
dimiliki dan dipahami oleh setiap orang Kristen yang akan membantunya untuk menilai 
segala sesuatu secara benar dan sesuai dengan iman yang diterimanya. Manusia pada 
hakekatnya yaitu  mahkluk rasional yang dapat memahami ilmu pengetahuan secara 
teori dan praksis. Dalam iman Kristen dengan ilmu pengetahuan, rasio manusia dapat 
meresapi, menemukan, dan menciptakan suatu kebenaran empiris yang dapat menguji 
dan membuktikan segala sesuatu yang dapat berguna bagi kemanusiaan. Namun semua 
kebenaran ilmiah, kebenaran ilmu pengetahuan harus tetap dievaluasi oleh dan harus 
tunduk pada firman Tuhan. Ibrani 11:3 bahwa karena “iman kita mengerti bahwa alam 
semesta ini telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi 
dari apa yang tidak dapat kita lihat.” 
Stephen Tong, meyakini bahwa harus ada keseimbangan kita tidak boleh 
meniadakan rasio tetapi juga tidak boleh memperilah rasio. Orang Kristen harus 
memakai  rasio sebaik mungkin tetapi tidak boleh jatuh menjadi seorang 
rasionalis.56 Ibrani 11:1 yaitu  jawabannya bahwa iman yaitu  dasar dari segala 
sesuatu. Iman yang dipahami orang Kristen yaitu  iman yang memberi ruang kepada 
rasio untuk mengeksplorasi semua ilmu pengetahuan dan alam semesta alam untuk 
menemukan kebesaran dan kedasyatan kuasa Allah.  
Namun benar yang dikatakan para pemikir Kristen seperti Thomas Groome, 
Benhoeffer “tidak ada anugerah yang murah”, dalam praksis pendidikan bahwa 
pendidikan itu tidak gampang, tidak mudah, dan merupakan suatu usaha sadar dari 
bentuk kerja keras dan bertanggung jawab. Pertama, Thomas Groome dengan praksis 
pemikiran Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia boleh bebas dalam berpikir 
dengan cerdas dengan cara theoria, praxis, dan poiesis. Ketiga gaya ini sebagai gaya 
hidup spekulatif, praktis, dan produktif. Cara pandang theoria yaitu  pencarian 
kebenaran dengan proses kontemplatif atau reflektif atau tidak terlibat. Cara 
mengetahui praksis dengan keterlibatan reflektif dalam situasi sosial. Sedang poiesis 
sebagai cara mengetahui yang terwujud dalam dan muncul dalam cara “membuat”. 
Ketiganya berbeda dalam tujuan dan yang diharapkan yaitu  hasil-hasilnya. Bagi 
Aristoteles konteks praksis berarti tindakan reflektif dan memiliki tujuan yang 
bermanfaat yang dengannya pengetahuan muncul melalui “keterlibatan” dalam situasi 
sosial. Dalam praksis muncul fronesis yang diartikan sebagai “keadaan yang benar, 
masuk akal, dan mampu bertindak mengenai hal-hal yang baik atau buruk bagi manusia. 
Fronesis yaitu  keadaan pikiran dari mana praksis muncul dan kemudian 
dikembangkan lagi oleh praksis. Pronesis merupakan kebijaksanan praktis. Sedangkan 
poiesis yaitu  cara berhubungan dengan realitas di mana benda konkrit dihasilkan. 
Hasil ini  mengandung pengetahuan tertentu dan produksinya melibatkan proses 
pengetahuan. Ini yaitu  pengetahuan yang diekspresikan dalam pekerjaan pemahat 
patung, tukang, pedagang, dan dalam ekspresi yang tinggi, penyair. Praksis 
                                                             
menunjukkan pada kegiatan membuat yang membutuhkan keahlian. Praksis yaitu  
pengetahuan praktis yang tujuannya yaitu  tindakan yang terus menerus sedangkan 
poiesis termasuk tindakan produktif dan beakhir pada apa yang dihasilkan.  
Jika yang menimbulkan praksis yaitu  fronesis maka yang menimbulkan poiesis 
yaitu  techne. Melalui techne, cara mengetahui poiesis terjadi, dan penggunaan poiesis 
mempertajam keahlian atau kemampuan membuat sesuatu didalamnya ada dimensi 
intelektual yang bersifat reflektif dalam poiesis.Perbedaannya yaitu  dalam “praksis” 
pikiran digabungkan dengan melakukan, sedangkan dalam poiesis pikiran dibangun 
dengan berbuat/membuat. Bagi Aristoteles pendidikan yang dilakukan dengan sengaja 
harus didasarkan pada cara mengetahui praksis. Ilmu pengetahuan yaitu  praksis tidak 
hanya teori. Baginya tujuan pendidikan menciptakan watak moral yang baik bagi warga 
negara yang siap menghadirkan kesejajteraan negara. Thomas Groome memadukan 
dialektika antara teori dan praktek. 
Kedua, Thomas Groome dengan Hegel dan praksis Geist. Salah tema filsafat Hegel 
yaitu  geist. Yang merupakan gabungan dari konsep Yunani tentang akal yang tertinggi 
serta tradisi Yudeo-Kristiani tentang transenden-imanent.  Orang-orang Yunani 
memahami dunia yang hakikatnya bersifat rasional dan seluruh pengertian  tentang 
rasionalitasnya merupakan sumbangan dari akal yang tertinggi yang yaitu  sumbernya. 
Bagi Yunani, akal bukan asas yang aktif dalam proses menjadi, tetapi telah ada di dunia 
dan dapat dibawa ke kesadaran manusia oleh theoria.  Geist yaitu  asas rasional yang 
aktif yang mengaktualisasikan dirinya dalam sejarah, bagi Hegel geist yaitu  bukan 
kebijaksanaan yang abstrak dan transenden, tetapi akal yang aktif dan tidak terbatas 
yang mengarahkan dunia dengan pemeliharaannya. Kata-kata Hegel ‘yaitu  benar 
pemeliharaan, yakni pemeliharaan ilahi, memimpin peristiwa-peristiwa dunia sesuai 
dengan asas-asas kita, karfean pemelihraan ilahi yaitu  kebijaksanaan yang diberikan 
bersama kekuatan yang tidak terbatas yang mewujudkan tujuan miliknya sendiri, yakni 
tujuan dunia yang final, rasional, dan absolut. Di sini, akal yang lebih tinggi dari filsafat 
Yunani dan Allah yang efektif, aktif dari pemikiran Yudaisme dan Kristen digabung. Geist 
yaitu  akal yang mengaktualisasikan dirinya di dunia. Dalam arti ini, geist bukan saja 
keadaan tertinggi dan realita, tetapi juga penyebab dunia yang efisien dan utama. Bagi 
Hegelm geist bergerak maju ke level-level aktualisasi yang lebih tinggi. Hakikat yang 
sesungguhnya yaitu  Roh dan tindakan. Roh membuat sendiri apa yang pada dasarnya 
ada. Roh yaitu  produk miliknya sendiri, pekerjaan miliknya sendiri. Geist bergerak kea 
rah aktualisasi diri dengan dinamika batiniah sendiri. Peran manusia hanya melalui 
kesadaran dan kehendaknya menjadi perantara atau refleksi dari kegiatan aktualisasi 
diri. Bagi Hegel geist yaitu  bagian di dalam sejarah manusia.  Hegel mendukung teori 
dan praksisnya menjadi praksis-historis yang merupakan pencarian sumber 
pengetahuan.  
Ketiga, Thomas Groome tentang cara mengetahui praksis dari Karl Mark. Mark 
menyatakan bahwa kebebasan yang belum direalisasikan oleh proses evolusioner yang 
dicita-citakan adlah bukan kebebasan sama sekali.  Mark menola geist dari Hegel yang 
hanyalah suatu ketakjuban dalam alam pikir. Bagi Mark pengetahuan bersifat gagasan 
sekarang menjadi proses menusia dan historisnya. Bagi Mark pengetahuan buka refleksi 
dari geist melainkan refleksi dari materialism historis yakni kondisi-kondisi kehidupan 
materil, dan khsusnya bagaimana memproduksi benda yang diwujudkan masyarakat 
dan sejarah. Dalam epistemologinya Mark memadang kerja sebagai perantara antara 
subjek dan objek, kerja tidak hanya cara terlibat dalam dunia, kerja yaitu  juga cara 
mengetahui dunia, melalui pengetahuan. Mengetahui dunia melalui reflektif kritis dan 
mengubah dunia.  
Keempat, Thomas Groome dengan Paulo Freire dengan praksis pendidikannya. 
Freire memulai pendidikan dari praksisnya. Ia mengajar orang-orang untuk membaca 
paling sedikit enam minggu. Suatu emansipasi menurut Groome. Ada tiga asumsinya, 
pertama, humanisasi yaitu  panggilan utama manusia, kedua orang-orang harus 
mampu mengubah realitas mereka, menciptakan kebudayaan mereka. Ketiga, 
pendidikan tidak pernah netral, pendidikan selalu ada konsekuensinya secara politik. 
Bagi Freire pendidikan harus membebaskan untuk mencapai hal itu ia mengusulkan 
model pemecahan masalah, sebagai refleksi kritis dan membuka mite-mite yang menipu 
dan mengabaikan. 
Dalam usaha ketekese yang paling awal membawa pemikiran bahwa gaya hidup 
yang diperbaharui Roh Kudus dan firman yaitu  jalan menuju keselamatan dan 
kehidupan yang bermoral di dunia. Augustinus dari aliran Alexandaria, menekankan the 
city of God dan connesions yaitu  refleksi spritualitas atas relasi pribadi dengan Tuhan. 
Tujuan teologisnya yaitu  pencarian kebijkasanaan spiritual dan praktis. Thomas 
Aguinas sangat menekankan pentingnya peran kecerdasarn dalam proses pengetahuan, 
dengan metodenya yang diperluas dari theoria. Dimana tidak ada jalan menuju 
kecerdasan jika tidak dimulai dari pengalaman indera-indera yang bersifat reflektif dan 
ia menyebutnya sebagai summa. 
Memang Marti Luther menolak intelektual dari penganut skolastika yang mencoba 
mencari Allah dari rasionalitas manusia. Bagi Luther menekankan iman sebagai bentuk 
kepercayaan kepada Allah dibanding dengan dalil-dalil yang doctrinal. Bagi Groome 
faktor pengalaman bersama Allah di dunia tidak bisa diabaikan dalam berbagai 
kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Allah yaitu  penguasa seluruh kehidupan 
termasuk dalam dunia pendidikan, maka siapapun yang mau taat dan menyembahnya 
dalam seluruh lapangan kehidupan pastilah mengalami pemeliharaan dan pertolongan 
Allah. 
 
Filsafat PAK didasarkan pada teologi yang alkitabiah, dimana firman Tuhan yang 
tertulis dalam Alkitab menjadi tolak ukur dalam berfilsafat secara kristiani. Teologi 
sistematik merupakan formula yang baik dalam mengembangkan prinsip dan praksis 
filsafat pendidikan Kristen. Otoritas firman secara tertulis yaitu Alkitab dan firman yang 
menjadi daging atau manusia dalam diri Yesus Kristus harus memengaruhi setiap gaya 
berpikira dan tata laku dari praksis pendidikan. 
Fondasi filosofis pendidikan kristiani mencakup tiga unsur utama yang juga 
menjadi perhatian serius dalam menjalankan pendidikan dan proses pembelajaran yaitu 
pada unsur metafisika, epistemologi dan aksiologi.  
Dalam dinamika dan pengembangan pendidikan kristiani tidak bisa mengabaikan 
dan bahkan memisahkan antara ilmu dan iman. Pendidikan Kristen memadukan atau 
mengintegrasikan antara iman dan ilmu pengetahuan, dimana rasio menjadi hal penting 
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan iman sebagai dasar dalam melakukannya. 
Rasio harus tunduk pada otoritas firman Tuhan dan iman mendorong untuk menerima 
dan mempercayai hal-hal yang ada di dalam, lebih dan atau di luar dari nalar manusia. 
Dengan demikian kita menemukan korelasi landasan teologis dan filosofis perumusan 
dan pengembangan Prinsip dan Praksis Pendidikan Agama Kristen.