Tampilkan postingan dengan label teologi 20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 20. Tampilkan semua postingan
teologi 20
By tuna at Januari 19, 2024
teologi 20
Pendidikan Agama Kristen diletakkan atas bebarapa landasan utama dua diantaranya
yaitu landasan teologis dan landasan filosofis. Kedua Fondasi Ini sangat berkorelasi
merumuskan dan mengembangkan prinsip dan praksis Pendidikan Agama Kristen.
Sangat penting meletakkan dasar teologi dan filsafat kristiani dalam mengikis
pandangan sekuler dan liberalisme dalam dunia pendidikan yang sangat kuat
pengaruhnya bagi prinsip iman dan praksis PAK seperti penekanan pada otonomisasi
rasio, pengalaman dan kemampuan manusia dibanding dengan otoritas Allah dan
firman-Nya. Artikel ini menekankan pentingnya memahami korelasi landasan teologis
dan filosofis dalam perumusan dan pengembangan prinsip dan praksis PAK. riset
ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Jakarta dengan
mengunakan metode riset kepustakaan dengan mengumpulkan data atau teori
dari berbagai sumber, dianalisis dan dieksplorasi serta diberikan kesimpulan dengan
penulis sebagai instrumen utamanya. riset ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni
2020. Temuan riset ini yaitu mengenal korelasi Filsafat dan Teologi dalam PAK,
mengetahui Landasan Filosofis PAK. Mengenal metafisika, epistemologi, dan aksiologi
dalam Pendidikan Kristen, mengetahui integrasi iman dan ilmu dalam prinsip dan
praksis PAK.
Dunia terus mengalami dinamika kehidupannya sesuai dengan tantangan pada
zamanya. Filsafat umum dan filsafat kristiani juga selalu berakselerasi dengan dunia
nyata dari waktu ke waktu. Buah-buah pemikiran yang konstruktif akan menjadi ladang
dan persemaian yang subur bagi rasio yang sedang berjuang menganalisa kehidupan
dan buah-buahnya yang dapat dijadikan warisan dari zaman ke zaman. Segala
perspektif yang mendekati kebenaran hakiki akan terpelihara bahkan akan mengalami
proses pembersihan, peremajaan, dan pematangan, sementara buah-buah pikiran yang
tak memiliki dasar kebenaran akan larut, terhempas dan terhilang dari derasnya arus
pemikiran baik sekuler maupun yang kristiani.
Betapa pentingnya meletakkan dasar yang kuat khususnya bagi pendirian dan
pengembangan prinsip dan praksis filosofis pendidikan Kristen. Tatkala filsafat sekuler
meletakan dasar pada rasio dan pengalaman yang terbatas dan telah distorsi oleh dosa,
spekulasi, kemunafikan serta kebodohan manusia, filsafat kristian terus menjadi garam
dan terang serta marcusuar yang tegak berdiri karena diletakkan pada sang pemilik dan
sumber pengetahuan dan hikmat itu sendiri, yaitu Allah. Untaian prinsip-prinsip dan
praksis-praksis pendidikan menjadi pesona indah dan menggiurkan menarik daya nalar
dan rasio untuk menggali dan mengembangkannya karena semuanya itu diperoleh dari
rumusan-rumusan teologi yang dapat dipertanggungjawabkan metodologinya secara
historis-kritis melalui penelaahan dan penafsiran Alkitab yang begitu bertanggung
jawab dari sisi metodologi dan ilmu penafsirannya.
Bangunan-bangunan teologi itu, menjadi ciri yang mencolok di setiap zaman dan
masanya, tetapi pada satu prinsip yang tak berubah yaitu terletak pada otoritas Alkitab
yang diterima sebagai firman Allah. Isi, tujuan, dan metode serta komponen-komponen
lainnya dari pendidikan dan pembelajaran secara kristiani akan terus mengalami
pembaruan yang dinamis dan membuahkan hasil yang maksimal apabila para pelaku
pendidikan menaklukkan pikiran pada pribadi dan karya Kristus sebagai finalitas dari
pendidikan Kristen.
Metode yang dipakai dalam riset ini yaitu memakai metode
riset kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Menurut Creswel riset
studi literatur yaitu kajian yang tertulis secara ringkas mengenai artikel dan buku
serta dokumen lain yang berhubungan dengan apa yang diteliti melalui
mendeskripsikan secara informal teori ini secara lengkap dan utuh. Dalam
melakukan kajian ini , maka diperlukan tahapan-tahapan, yakni: Pertama,
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku-buku, jurnal, internet dan
lain-lain yang bertalian dengan topik yang diteliti, kedua dengan mengkaji,
membandingkan dan menganalisis berbagai informasi dan teori, memberikan
kesimpulan terhadap kajian yang dilakukan untuk memberikan gambaran tentang
korelasi landasan teologis dan filosofis dalam perumusan dan pengembangan
Pendidikan Agama Kristen.
Filsafat dan Teologi Dalam Pendidikan Agama Kristen
Menurut Khoe Yao Tung kata filsafat atau philosophy berasal dari kata Yunani yang
terdiri dari aka kata philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan.
Secara etimologi, filsafat bisa berarti mencintai atau mencari kebijaksanaan. Cabang-
cabang dari filsafat pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu metafisika
(aspek kosmologi, teologi, antropologis, dan ontologis), epistemologi (sumber
pengetahuan berupa panca indra, wahyu, otoritas, dan intuisi), dan aksiologi (aspek
etika dan estetika).1 Pemaparan lain bahwa secara etimologi “filsafat” yang merupakan
padanan kata “falsafah” dari bahasa Arab dan “philosophy” dari bahasa Inggris berasal
dari kata Yunani “philosophia”. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri
dari kata “philos” dan “sophia”, istilah “philos” artinya kasih, bisa juga berarti sahabat.
Adapun “sophia” berarti kebijaksanaan atau kearifan atau pengetahuan. Jadi secara
hurufiah “philosophia” mencintai kebijaksanaan sahabat pengetahuan.2
Alkitab yaitu sumber pengetahuan bagi orang-orang percaya. Alkitab menuntun
seseorang untuk mencintai hikmat dan mencintai pribadi yang memberikan hikmat
yaitu Allah. Filsafat kristiani bukan hanya memandu seorang percaya “cinta akan
hikmat” tetapi juga mencintai sang pemberi hikmat sejati. Pazmino mengatakan bahwa
orang Kristen selalu diingatkan dalam Kitab Suci bahwa Tuhanlah yang memberikan
hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian (Ams. 2:6), dan bahwa
takut akan Tuhan yaitu awal dari pengetahuan atau hikmat (Ams.1:7; 9:10). Suatu
klaim yang menakjubkan yaitu dalam Kristus tersembunyi segala rahasia hikmat dan
pengetahuan (Kol.2:3).3
Menurut John Chaffee, mendefinisikan filsafat tidak terlepas dari empat aspek
penting, yaitu: (1) Aspek wonder (keheranan), mempelajari filsafat karena
keheranan, pertanyaan akan sesuatu yang ada atau terjadi. (2) Aspek Wisdom
(kebijaksanaan), mempelari filsafat karena mencari esesni dari sesuatu, mencari
kebenaran, dan mencintai kebijaksanaan. (3) Aspek truth (kebenaran), belajar filsafat
karena mengarah pada ilmu yang mempertimbangkan kebenaran-kebenaran yang
hakiki. (4) Aspek a dynamic process (proses yang dinamik), mempelajari filsafat berawal
dari proses, dari runtutan konflik opini-opini, dan terus menerus sampai memperoleh
jawaban yang memuaskan.
Menurut Imanuel Kant ada empat masalah pokok yang ingin dipecahkan oleh
filsafat:5 Pertama, apa yang dapat saya harapkan (was darf hoffen?) pertanyaan ini
mengandung makna “hakikat hidup ini” dan keyakinan bahwa manusia masih memiliki
harapan yang baik setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Permasalahan ini dikupas
dalam cabang filsafat metafisika (meta = dibalik dan filsafat = yang nampak). Kedua,
apakah yang dapat saya ketahui (was kann ich wissen)? Pertanyaan ini ingin
mengungkapkan masalah kebenaran yaitu sejauh mana pengetahuan saya itu benar.
Dari mana asal dan sumber pengetahuan serta apakah kebenaran itu? Permasalahan ini
dikupas dalam cabang filsafat Epistemologi (episteme = penegtahuan). Ketiga, apa yang
harus saya perbuat (was sool ich tun)? Pertanyaan ini ingin mengungkapkan masalah
pedoman hidup, norma-norma yang berlaku dan nilai-nilai. Permasalahan ini dikupas
dalam cabang filsafat Aksiologi (axios = nilai). Dan keempat, apakah manusia itu (was ist
der mensch)? Pertanyaan ini ingin mengungkapkan masalah pokok dalam filsafat yaitu
tentang hakikat manusia. Permasalahan ini dikupas dalam cabang filsafat manusia
(antropologi filsafat = manusia dipandang dari sudut filsafat).
Pemikiran-pemikiran di atas menjadi dasar worldview membicarakan fisafat
termasuk filsafat Pendidikan Kristen. Arthur Holmes, seorang filsuf Kristen
mendiskripsikan sebuah cara pandang kristiani dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
memiliki tujuan yang holistik yang berusaha melihat seluruh area kehidupan dan
pemikiran secara integratif; (2) memakai pendekatan yang memberikan suatu
perpektif, dengan cara menilai segala sesuatu berdasar cara pandang yang sudah
dianut seseorang sebelumnya dengan tujuan untuk memperoleh suatu kerangka
berpikir yanh integratif; (3) menyajikan suatu proses yang eksploratif, dengan cara
menyelidiki hubungan satu area kehidupan dengan area lainnya dari perspektif yang
utuh; (4) bersifat pluralistik sehingga perspektif dasar yang sama bisa diartikulasikan
dengan berbagai cara yang berbeda-beda; dan (5) menunjukkan hasil berupa tindakan,
yang dihasilkan dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita nilai berharga dan apayang
akan kita lakukan.6
Dirk Roy Kolibu mengutip pemikiran Waren S. Benson dari buku “Introducing
Christian Education” menjelaskan tentang jenjang atau hirarki filsafat Kristen didasari
oleh teologi sistematik.7 Pemikiran Benson didasarkan pada pendapat Norman DeJong
yang memberikan jenjang filsafat Kristen, yakni dasar otoritas, hakikat manusia, tujuan
dan sasaran, organisasi struktural, implementasi, dan evaluasi. Pertama dan terpenting
yaitu dasar otiritas yaitu Kitab Suci. Firman Tuhan yaitu kerangka referensi utama
dari pendidikan Kristen. Suatu pandangan yang sesuai dengan pandangan Kristus
tentang Alkitab. Yesus berkata: “Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama
belum lenyap langit dan bumi ini, suatu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan
dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Mat.5:18). Dalam Yohanes 10:35
Juruselamat mengatakan “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan.” Dan dalam Yohanes 17:17,
“Kuduskanlah mereka dalam kebenaran, firman-Mu yaitu kebenaran.”. Kedua, yaitu
hakikat manusia. Apa dan siapakah manusia, yang dituliskan oleh Kitab Suci. Ketiga,
tujuan dan sasaran, didasarkan pada teologi yang memberikan arah, tujuan dan sasaran
yang akan dicapai. Keempat hingga keenam yaitu organisasi, struktural, implementasi
dan evaluasi.8
Pendidikan Agama Kristen harus mengembangkan filsafat dan teologi sebagai
upaya mengemukakan kebenaran Alkitab tentang berbagai isu kehidupan. Kebenaran
sejati (the true truth) bersumber dari Tuhan yang dinyatakan dalam wahyu-Nya: Wahyu
umum dan wahyu khusus. Melalui wahyu umum kita melihat kebenaran Allah melalui
alam semesta, hati nurani, dan sejarah hidup manusia, suku dan bangsa). Melalui wahyu
khusus kebenaran Allah dinyatakan dalam diri Kristus, Alkitab, dan Roh Kudus. Tentu
kebenaran itu dinyatakan dalam pelbagai cara (Ibr. 1:1-2). Kebenaran Allah juga
dinyatakan dalam kata, ide, dan berbagai peristiwa. Tugas pendidik dan teolog Kristen
yaitu mencari dengan semboyan “all truth is God truth wherever they may be found.”
Walaupun kita sadari juga bahwa manusia dalam segala keterbatasannya karena dosa
tentu terbatas memperoleh dan memahami kebenaran itu. Keterbatasan itu membuat
manusia menderita dan sakit. Holmes menjelaskan “All truth is God truth” bahwa
manusia saat ini menderita dengan tiga alasan penting: Manusia kehilangan fokus
kebenaran, manusia kehilangan keuniversalan kebenaran, dan manusia kehilangan
kesatuan kebenaran. Kebenaran ini setelah ditelaah oleh filsafat kristiani harus
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pendapat Sokrates, bahwa tanpa
upaya (cinta) untuk memahami (memiliki) kebijaksanaan, hidup ini tiada arti, “tanpa
usaha untuk memahaminya, kehidupan ini tidak ada artinya”. Plato dan Aristoteles
menggubah pendapat klasik ini, yakni “mengetahui kebaikan (terutama kebenaran)
yaitu untuk melakukannya.”
Dari penjelasan di atas, para pendidik Kristen seyogianya mampu merumuskan
filsafat pendidikan Kristen yang dapat mengarahkan para peserta didik dan pembaca
memahaminya. Brown sangat tegas mengatakan bahwa filsafat Kristen sangat peduli
tentang realitas dan kebenaran Allah. Bagi orang Kristen, Allah yaitu sumber
kebenaran dan realitas, membicarakan filsafat Kristen harus selalu berhubungan
manusia dengan Allah pencipta/penebus. Bagian menjadi jelas melalui penegasan “the
role of scripture…The core of Christian faith is the confidence tha our Creator Gpd is, that
He has acted in Christ Jesus to redeem, and that He has revealed both Himself and Truth to
us in the written Word.”
Itulah sebabnya usulan definisi DeJong yang dikutip Robert W. Pazmino dapat
dijadikan sebagai referensi dalam merumuskan filsafat pendidikan Kristen, yaitu “suatu
usaha untuk menyusun secara sistematis beberapa pemikiran tentang pendidikan ketika
diberikan makna berdasarakan pengajaran yang alkitabiah yang menyatakan iman
Kristen yang ortodoks.” Menjadi tantangan tersendiri bagi pendidik kristiani untuk
menyusun formula pendidikan Kristen yang alkitabiah dan terus sikap yang
berkomitmen pada otoritas Alkitab.
Landasan Filosofis Pendidikan Agama Kristen
Fondasi filosofi dikaitkan dengan fondasi Alkitab dan teologi, akan memberikan
dasar-dasar universal yang bersifat transcultural dan kultural dalam rangka memandu
pola pikir dan praktek pendidikan Kristen.13 Menarik kaitan antara fondasi Alkitab,
fondasi teologi, dan fondasi filosofi dari pemikiran Charlotte Mason, dikatakan bahwa
“sebagaimana aliran air tidak bisa naik lebih tinggi daripada sumbernya, maka tidak
akan ada upaya pendidikan apa pun yang bisa melampaui seluruh skema dari pemikiran
asal mulanya.”14 Bagi Mason, pendidikan yaitu buah dari akar filosofinya yang
didasarkan dari Alkitab dan teologi. Bagi Pazmino menjadi tantangan bagi pendidik
Kristen yaitu menyusun suatu filosofi pendidikan yang bersifat eksplisit dan konsisten
dengan cara pandang kristiani sementara tetap memberi tempat bagi terjadinya
pradoks.
Koe Yao Tung menjelaskan bahwa berkenaan dengan hubungan filsafat dan teologi
Kristen mengatakan bahwa pendidikan Kristen yaitu pendidikan yang berpusat pada
Tuhan, suatu implikasi dalam interpretasi kasih Tuhan. Berkhof dan Van Till
mengatakan pendidikan Kristen memakai filsafat teistik yang berlandaskan pada
kebenaran firman Tuhan (teologi) dan jelas berbeda dengan filsafat pendidikan
sekuler.16 Menurut Gordon Brown, tujuan pendidikan Kristen berhubungan langsung
dengan tujuan hidup orang Kristen itu sendiri yaitu bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya.
Maka pendidikan dipandang sebagai sarana yang dipakai Roh Kudus untuk
membawa peserta didik kepada persekutuan dengan Tuhan, bagi hidup dalam
kekekalan. Pendidikan Kristen diperuntukan pada pengembangan pemikiran dalam
perspektik Kristen dan untuk melatih mereka dalam kehidupan yang taat sehingga
mereka dapat memenuhi tujuan Tuhan bagi keseluruhan hidup. Oleh sebab itu,
sentralitas Alkitab memainkan peranan dan fokus dari filsafat pendidikan Kristen.
ada lima titik berangkat untuk memahami filsafat pendidikan Kristen, yakni:
Realitas ciptaan Tuhan, mandat penciptaan, mandat budaya, perjanjian, dan mandat
Amanat Agung. Mengapa memakai pendekatan filsafat bukan murni teologi
saja?. Hal ini tidak mudah memahami dan menjawabnya. Samuel Sidjabat melihat sifat
dan model filsafat pendidikan aman menolong memberi pemahaman tentang kebijakan
serta pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, yakni dimulai dari sifat filsafat hidup,
filsafat pendidikan, kebijaksanaan dan praktik pendidikan, dan kegiatan belajar
mengajar. Dari ketiga sifat dasar ini, filsafat merupakan pencarian akan kebenaran yang
dimulai dari mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup yang
hakiki (the ques of life).
Dalam konteks pendidikan, filsafat sering dibicarakan para ilmuwan berkaitan
dengan ilmu pengetahuan (sains), walaupun filsafat tidak identik dengan ilmu
pengetahuan. Young dalam “A Christian Approach To Philosophy” menjelaskan bahwa
filsafat berupaya mengintegrasikan berbagai informasi yang ditemukan oleh sains,
khususnya ilmu-ilmy fisika, menerapkan pendekatan analisis, sedangkan filsafat
menempuh pendekatan sinotip (integratif-sintesis) dalam kegiatan berpikir. Sains
memutuskan perhatiannya kepada riset dan penemuan data factual
(empiris),sedangkan filsafat tertarik kepada usaha mencari dan mengemukakan makna
dan prinsip kerja yang ditempuh serta dari data yang tersedia. Young sangat jelas
memposisikan ilmuan yaitu penemu (discoverer) sedangkan filosof yaitu penafsir
(intepreter), namun diakuinya bahwa juga tidak murni karena ilmuwan memerlukan
pendekan filosofis dalam memahami ilmu pengetahuan sehingga lahirlah filsafat ilmu
pengetahuan.
Harus diakui bahwa teologi dan filsafat berbeda, namun tidak dapat dipisahkan.
Van Peursen dalam “Orientasi di Alam Filsafat” melihat relasi filsafat dan teologi dari dua
sudut pandang, yakni Barat dan Timur. Di Timur (Asia) filsafat berkembang dalam
konteks religious, sedangkan di Barat, agama (konsep-konsep teologis) berkembang
dalam konteks filsafat (perenungan). Karena itulah dalam konteks Barat, jika kita belajar
teologi, filsafat teologi (filsafat agama) merupakan bidang studi yang mendapat
perhatian penting. Bagi Van Peursen pendekatan teologi berkaitan dengan filsafat,
Timur lebih ke konteks keagamaan, dan Barat lebih kepada konteks filsafat.
Bagi Nico Syukur dalam karyanya “Filsafat Agama Kristen mengakui bahwa teologi
sebagai pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan koheren, tentang apa
yang diwahyukan Tuhan. Bisa dikatakan bahwa teologi yaitu refleksi “ilmiah” tentang
iman. Dasarnya yaitu wahyu Tuhan, yang menyatakan diri secara adikodrati.
Berteologi dan berfilsafat dalam konteks panggilan umat Kristen dan pendidikan
Kristen yaitu panggilan dalam memperkaya pikiran dan wawasan cara berpikir secara
komprehensif. Arhur Holmes dalam “Philosophy A Christian Perspectives” gaya berpikir
filosofis seperti berpikir sistematis, sintesis, deskriptif, dan normatif dalam memenuhi
panggilan hidup kekristenan sangatlah berguna untuk membuat kita lebih efektif.
Filsafat dapat lebih memperkaya pemikiran teologi dan upaya berteologi (worldviewish
theology) kita sendiri. Kemudian filsafat dapat mendorong kita dalam berapologetika
dengan mengemukakan perspektif dan memberikan jawaban yang jelas (clarity) tentang
berbagai isu yang muncul serta menantang, diterangi oleh Roh Kudus dan firman Tuhan
(1 Pet. 3:15).
Filsafat pendidikan kristiani tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan
gerejawi. Pelayanan pendidikan hendaknya menjadi domain dan core dari pelayanan
gereja. Filosofi ini akan melahirkan energy baru dalam pelayanan gerejawi melebihi
pelayanan-pelayanan konvensional yang dijalankan selama ini. Rex E. Johnson
mendefinisikkan filosofis berdasar kamus Webster yaitu “sebuah analisis atas dasar
dan konsep yang mengekspresikan kepercayaan fundamental”. Jika dikaitkan dengan
pelayanan, maka pertanyaan sebagai pengarah yaitu apakah dasar kepercayaan anda
tentang pelayanan?, ketika kita melayani, kita sedang memainkan sebuah filosofi
pelayanan. Menurutnya ada delapan keuntungan dari gereja-gereja yang telah
meletakkan dasar filosofinya dengan benar,19 yakni: (1) dapat menentukan lingkung
pelayanannya; (2) dapat secara terus menerus mengevaluasi ulang pengalaman
kelompoknya dalam pengertian pesan-nya; (3) dapat mengevaluasi pelayanannya
berdasar kriteria yang dipertimbangkan masak-masak, bukan atas dasar popularitas
suatu program; (4) dapat lebih mungkin mempertahankan pelayanannya tetap
seimbang dan fokus pada apa yang penting; (5) dapat memobilisasi proporsi sebagian
besar jemaatnya menjadi pendeta; (6) dapat menentukan keuntungan relatif dari
sebuah pelayaan prospektif; (7) dapat menjadi komunitas alternatif yang jelas dan
menarik bagi orang-orang yang mencari pelarian dari sebuah kegagalan sistemik; (8)
dapat memilih untuk bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan gereja-gereja lain
dan pelayanan para gereja.
Sangat ditegaskan bahwa filsafat Kristen tidak sama dengan filsafat dunia
(sekuler). Perbendaannya terletak pada sumber yang dipakai , yaitu kebenaran
absolut. Untuk membedakannya dipakai pengertian worldview, yaitu filsafat yang
sudah menjadi pandangan dan menjadi keyakinan seseorang. Ada dua jenis worldview,
yaitu worldview sekuler dan worldview Kristen. Adapun worldview sekuler mencakup:
Sementara, berkembang, bertentangan dengan sejarah, dapat direvisi, natural dan
rasional. Sedangkan worldview Kristen yakni: kekal, tidak berubah, sejalan sejarah,
biblikal, permanen, dan theistic.
Metafisika, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Pendidikan Kristen
Meracik filosofi pendidikan Kristen akan lebih komprehensi tentunya dengan
memperhatikan tiga unsur pembentukan filsafat yaitu aspek metafisika, epistemology,
dan aksiologi. Gambaran umum ketiga hal, diuraikan singkat Robert W.
Pazmino21,bahwa metafisika yaitu studi tentang apa yang menyatakan tentang natur
realitas dan apa yang dinyatakan dalam realitas ini . Dalam studi metafisika
diajukan pertanyaan berikut, “apa yang nyata” dan metafisikan mencakup beberapa
disiplin ilmu seperti teologi, antropologi, ontology, dan kosmologi. Teologi yaitu studi
tentang Allah yang mana berfungsi sebagai fondasi esensial bagi para pendidik teistik,
sementara antropologi yaitu studi tentang manusia, masyarakat, dan budaya. Ontologi
yaitu studi tentang keberadaan manusia dan kehidupan itu sendiri dan kosmologi
yaitu studi tentang dunia dan benda materi. Pembahasan kedua tentang epistemologi
yaitu studi tentang pengetahuan, membahas satu pertanyaan kunci, “apa yang benar”.
Aksiologi sebagai pembahasan ketiga yaitu studi tentang nilai dan membahas satu
pertanyaan kunci, yaitu “apa yang bernilai?. Aksiologi berhubungan dengan aspek
penting yaitu etika dan estetika. Etika yaitu studi tentang standar penilaian yang
mempertimbangkan apa yang benar dan baik. Estetika yaitu studi tentang keindahan
yang mempertimbangkan apa yang indah.
1. Metafisika dan pendidikan
Metafisika merupakan pemahaman mengenai realitas (metaphysics=ta meta ta
physika) yaitu apa itu realitas (what is real?) atau perkara di balik yang berwujud dan
bergerak (the after physic). Realitas sesungguhnya tidaklah terbatas kepada atau
tepatnya tidak sebatas kemampuan pengindraan, persepsi dan pemahaman manusia.
DeJong menegaskan bahwa ide-ide penting dalam metafisika akan memengaruhi
pendidik Kristen. Metafisika harus berkaitan dengan spekulasi keberadaan alam dan
amkna dari realitas. Dengan potensi dan pemahaman yang kita miliki, kita dapat
memberikan penjelasan mengenai aspek-aspek keyakinan metafisis.
Pertama, aspek kosmologi mencakup studi mengenai teori-teori tentang asal dari
sesuatu, sifat dan perkembangan dari alam semesta sebagai sistem yang teratur. Dalam
kaitannya dengan pendidikan Kristen kosmologi berbicara tentang keyakinan atas
kejadian asal-usul, tujuam dan keteraturan (order) susunan dalam alam semesta
(kosmos). Kosmologi mempelajari adakah “kekuatan atau “pribadi” di balik alam
semesta? Jika ada siapakah dia?, dapatkah dia dijelaskan? (ada pemisah yang jelas atau
tidak) atau monistik-hirarkis (menyatu dalam susunan atas-bawah). Tung
menambahkan metafisika menyangkut keterkaitan hukum-hukum semesta dalam
massa, ruang dan waktu. Bagaimana awal alam semesta terbentuk dan
berkembang?,adakah tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan alam semesta?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan lebih dahulu mengemukakan
bahwa dalam terang iman Kristen, realitas tertinggi yaitu Tuhan, pencipta, dan
pemelihara alam semesta. Alam semesta ada karena ada yang menciptakannya
(mengadakannya), namanya Tuhan. Alam semesta tidak identik dengan Tuhan
begitupun sebaliknya. Apa makna dalam pendidikan Kristen? Jika Tuhan yaitu
pencipta alam semesta, maka Ia juga yaitu pencipta gagasan pendidikan, pengajaran,
dan disiplin. Alkitab menuturkan bagaimana Tuhan mendidik manusia, baik individu
maupun kelompok dari masa ke masa, agar mereka mengenal dan memuliakan Tuhan.
Penulis Ibrani menyatakan bahwa Tuhan telah berbicara kepada orang-orang zaman
dahulu, para nabi, dan rasul dengan berbagai cara. Pada puncaknya, Tuhan telah
menyatakan diri kepada manusia di dalam atau melalui Yesus Kristus. Tung menjelaskan
bahwa dalam iman Kristen berakhirnya dunia dengan kedatangan Yesus Kristus untuk
kedua kalinya merupakan aspek yang harus dijawab dari aspek pendidikan Kristen dan
teologi. Jadi Tuhan sendiri menjadi sumber inspirasi bagi manusia. Tuhan sendirilah
yang ingin berbuat, serta melalui karya pendidikan yang manusia upayakan (Flp. 2:13).
Kedua, aspek teologi mencakup studi religious yang berkaitan dengan Tuhan.
Teologi merupakan kajian yang membahas soal keberadaan, sifat dan perbuatan Tuhan
bagi keutuhan ciptaan-nya. Pemahaman tentang Tuhan memiliki banyak varian seperti
pemahaman yang berkembang tentang Tuhan seperti ateis, agnostik, deisme, animistic,
panteistik, monoteistik, deistic, animistic, dinamistik, politeistik, dan teistik. Beberapa
pemahaman sentral pada aspek teologis antara lain: apakah Tuhan itu ada?, bagiamana
sifat-sifat Tuhan?, apakah Tuhan itu hanya satu atau lebih dari satu? Jika Tuhan itu baik
dan berkuasa, bagaimana dengan kejahatan itu ada?, apa hubungannya dengan roh-roh,
malaikat, dan setan?, jika ada apakah hubungannya roh-roh dengan Tuhan? Dalam
kenyataanya manusia terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dalam cara dan
keyakinannya untuk menjawab pertanyaan ini . Kelompok ateis menyatakan Tuhan
tidak ada. Kaum agnostik meragukan keberadaan Tuhan dan tidak dapat menyarakan
apakah Tuhan itu ada atau tidak. Kaum deisme menyatakan Tuhan menciptakan hukum
alam dan moral, tetapi Tuhan memisahkan keberadaan-Nya karena tidak tertarik pada
manusia dan alam fisik. Tuhan itu mahajauh dari manusia, tak terhampiri oleh manusia.
Harus ada perantara manusia dengan Tuhan. Mereka percaya hanya ada satu Tuhan
yaitu pencipta. Manusia harus hidup memakai akal budi yang Tuhan berikan
kepadanya. Kaum animisme menyatakan Tuhan identic dengan roh (anima) yang juga
ada dimana-mana. Di mana roh menguasai dan mengendalikan dunia nyata.
Kaum politeisme menyatakan bahwa ada sejumlah Tuhan, Tuhan itu majemuk, dan
banyak wujud dan bentuknya. Tuhan dapat beruba rupa atau bentuk apa saja yang
dikehendakinya. Kaum Monoteisme menyatakan hanya ada satu Tuhan. Kaum panteistik
mengatakan Tuhan berada dimana saja di dalam semesta ini, di tanah, air, udara dan api.
Tuhan dan alam identeik, “Tuhan yaitu segala-galanya, dan segala-galanya yaitu
Tuhan.” Kaum monistik, manusia dengan Tuhan dapat menyatu, dan menurutnya
panggilan manusia yaitu menyatu dengan Tuhan asal mulanya sendiri. Manusia yaitu
pancaran dari Tuhan sendiri. Akhirnya pemahaman teistik bahwa Tuhan itu mahatinggi
namun mahadekat karena Dia yaitu Mahapribadi yang tak terbatas. Dia tetap ikut
campur tangan dalam kehidupan manusia di dunia ini. Dia berkomunikasi dan berbicara
dengan manusia.
Pandangan metafisika Kristen menyangkut dua lapisan dalam metafisikanya
(theistic viewphysics) yaitu: Pertama, created universe, yaitu ciptaan yang terbatas,
menempati, ruang tergantung, dan tidak tetap. Kedua, uncreated being of God, yaitu
tidak terbatas, kekal, berada dengan sendirinya, self-sufficient, dan tidak diciptakan.
Iman Kristen memiliki pemahaman tentang Tuhan secara teistik. Jika kita mempelajari
teologi, kita harus terlibat dalam perbuatan “berteologi” (doing theology). Tidak hanya
menyerap teologi sebagai hasil pemikiran orang lain atau para pakar, sekalipun kita
orang biasa, sejauh kita mengalami relasi yang dinamis dengan Tuhan melalui Alkitab,
Yesus Kristus, dan Roh Kudus, kita akan mampu berteologi. Pendidikan Kristen harus
membimbingan orang dalam persekutuan dengan Tuhan, membimbing orang ke dalam
komunikasi dan relasi dengan Tuhan sehingga dapat memahami kehendak-Nya dengan
jelas untuk mendorong mengadakan refleksi, mengutarakan pemikiran secara sistematis
tentang imannya dan pengalamannya sebagai hasil “pejumpaan (ancounter) dengan
Tuhan dalam aktivitas berteologi. Pada akhirnya matefisika teologi Kristen mengarah
pada Kisah Para Rasul 17:28 “sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu” Sebab kita ini dari
keturunan Allah juga”.
Ketiga, aspek antropologi (Yunani: antropos dan logos) berkaitan dengan
sifat,struktur manusia, termasuk pertanyaan sekitar asal dan tujuan hidup manusia?,
apakah hubungan antara akal dan tubuh?, bagaimana interaksinya?, apakah akal budi
lebih fundamental dibandingkan tubuh?, bagaimana status moral kemanusiaan?, apakah
orang dilahirkan baik, jahat, atau netral scara moral?, sampai dimana setiap hidup
individu dan bebas?.23 Pespektif iman Kristen, kita memiliki pemahaman bahwa ada
manusia di dalam semesta bukanlah sebagai hasil peristiwa kebetulan. Manusia ada
karena ada dan berkarya, karena adanya Tuhan yang menciptakan dan memelihara.
Tuha sudah ada sebelum segala sesuatu ada, Ia menciptakan dari yang tiada (creation ex
nihilo). Jadi manusia memiliki dimensi keutuhan dalam dirinya, sebagai mahkluk
individu dan sosial. Manusia memiliki dimensi adikodrati sehingga manusia memiliki
kemampuan mengenal Sang Penciptanya secara total dan dinamis. Sejak kejadiannya
manusia diberikan nafas hidup (Kej.2:7), dimensi kekekalan (Pkh.3:11) suara hati
manusia semacam “hakim” membedakan yang benar, baik dan buruk (Rm.2:14-15), dari
dimensi adikodrati membuat manusia tidak bisa tidak beragama, tetapi juga harus hidup
mandiri dan hidup bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan sarana
agama, manusia mencari dan berjuang dekat dengan Tuhan, pribadi yang lebih besar
dan berkuasa melindungi dan memelihara bahkan menghukumnya. Suara hati (hati
nurani) manusia memberikan kesaksian rohani dan moral bahwa Tuhan itu ada dan
memiliki sifat yang kasih dan adil. Inilah dasar dalam pembelajaran kristiani, kita harus
sadar ada dimensi spiritual dalam proses pendidikan dimana Allah berintervensi
melalui Roh Kudusnya melakukan pendidikan dan pembinaan bagi umat manusia (Fil.
4:8,13).
Dengan demikian antropologi pada dasarnya berpusat pada natur manusia. Dari
sudut padang kristiani, manusia dipandang sebagai ciptaan Allah yang diciptakan
segambar dan serupa dengan Allah dan karenanya memiliki tanggung jawab dan
kewajiban sebagai pembawa gambar Allah. Namun manusia juga dipandang sebagai
mahkluk yang sudah jatuh dan tercemar dosa yang membawa konsekuensi terhadap
seluruh lapiran kehidupan manusia baik secara personal maupun secara korporat.
Implikasi dalam dunia pendidikan bahwa manusia terus menerus didorong untuk
bertindak secara bertanggung jawab dalam setiap relasi dan interaksinya lewat
pendidikan, agar setiap peserta didik hidup sesuai tujuan Allah, memuliakan Tuhan
dalam hidupnya, manusia juga harus dididik dengan natur kreatif Allah sehingga mereka
menjadi pembaharu, membawa inovasi, dan produktif bagi bagi dirinya, keluarga,
masyarakat, gereja dan bangsa negara. Semua disiplin pendidikan harus dipengaruhi
dan diterangi oleh karya penebusan Kristus dan mengalami pemulihan hidup agar
tujuan pendidikan itu sendiri dapat dicapai.
Tepatlah perkataan Pazmino, bahwa dengan mengenal natur manusia sebagai
mahkluk ciptaan Allah, peserta didik bisa didorong untuk menjadi partisipan aktif dalam
pendidikan mereka serta berinteraksi dengan dunia sebagai fokus hidup mereka. Karena
itu studi tentang antropologi memaksa kita untuk mempertimbangkan hal yang tidak
sekadar soal individu dan ruang kelas yang terisolasi. Manusia juga perlu dipandang
dalam hubungannya dengan masyarakat dan budaya, hubungannya dengan sejarah yang
bersifat antar pribadi dan korporat dan nasionalisme. Hal ini mendorong para pendidik
Kristen untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat antar pribadi,
antar kelompok, antar masyarakat, dan antar budaya. Dalam kontek masyarakat ada
berbagai kekuatan kelompok, gerakan, dan isntitusi yang bisa dinilai sebagai suatu
tekanan atau justru sebagai suatu yang melegakan dalam rangka eksistensi manusia
secara antropologi.25
Keempat,masalah ontology. Aspek ontology membahas sifat keberadaan (the
nature of exsistence). Apakah yang dimaksudkan dengan keberadaan? Apakah yang ada?
Sebenarnya terletak pada materi, atau juga non materi atau spritualkah?. Atau apakah
hakikat dasar didapati unsur roh atau spiritual? Apakh hakikat itu tersusun dari satu
unsur roh atau fisik, atau terdiri dari dua unsur?, apakah hakikat itu sudah tersusun
dengan teratur atau mengikuti aturan dengan sendirinya? Pemahaman mengenai sifat
keberadaan akan menentukan kembali jawaban terhadap apa yang paling bernilai dalam
hidup. Manakah yang paling bernilai, yang material atau spiritual?, apakah kita hidup
dalam tata nilai dualistic yang memisahkan perkara duniawi dengan perkara surgawi?
Ontologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat dari eksistensi (keberadaan atau
maknanya bagi apa pun yang ada. Aspek ontology sering disebut dengan aspek isologi26
karena fungsi ontologi yaitu menentukkan hal yang kita maksudkan ketika kita
menyatakan sesuatu itu dengan mendefinisikannya.
Secara ontology pendidikan harus berkaitan dengan hakikat utama yang menjadi
sentral dari semua konsep pendidikan. Pendidikan harus didasarkan pada fakta bukan
hanya imajinasi apalagi ilusi. Teologi Kristen memandang bahwa keberadaan manusia
tidak terbatas kepada yang sifatnya material belaka, tetapi juga terkait kepada yang
spiritual. Manusia memiliki dimensi jasmani dan rohani dalam kesatuan namun manusia
dibatasi ruang dan waktu dalam dimensi materialnya. Ia dapat hadir nanum tidak
mahatahu, tidak mahahadir,dan tidak mahakuas. Manusia di dalam ruang dan waktu
memerlukan pemenuhan segi spritualnya, sehingga beralih dari ruang dan waktu
material ke ruang dan waktu kekekalan (1Kor.15:40-49). Pendidikan Kristen
mengemban tugas menolong peserta didik agar dapat mengenal keberadaannya yang
terbatas namun tidak pernah statis. Pendidikan Kristen terpanggil untuk melengkapi
orang menjalani “pengembaraannya” di dalam dunia secara badani menuju kekekalan.
Orang Kristen hadir sebagai orang buangan dan musafir di dunia, namun ia juga yaitu
seorang anggota kerajaan Allah yang menjalani hidup untuk mengalami pembaruan dan
menyatakan hidup dari karya penebusan Kristus, manusia harus menjadi ciptaan baru
dalam Kristus dan mengemban tugas mewartakan pendamaian Kristus bagi dunia (2
Kor. 5:17-21).27
Pendidik kristiani harus sadar pada dirinya dan menyadarkan peserta didiknya
bahwa menjalani hidup di dunia ada batasnya namun punya tujuan kekal, maka sangat
perlu roh takut akan Tuhan dan kerendahana hati bahwa semuanya dari kepada Tuhan
dan memuliakan Tuhan (Pkh. 12:1-3, Mrk.12:29-30). Dalam pendidikan kristiani, hal
utama dari metafisika secara ontology yaitu kedaulatan Allah dalam setiap aspek
kehidupan manusia.
2. Epistemology dan Pendidikan
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata epistemη –
episteme (pengetahuan) dan logoz – logos (kata, pikiran, percakapan, ilmu). Jadi
epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan.29 Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan.30 Menurut
Uyoh Sadulloh mengutip pemikiran Runes (1963:94) bahwa epistemology is the branch
of philosophy which investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge”
(Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal,
struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan).31
Pemikiran yang sama dengan itu yaitu seperti pemikiran secara tradional bahwa
yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi yaitu sumber, asal mula, dan sifat
dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan, serta validitas dan
reliabilitas (reability) dari berbagai klaim terhadap pengetahuan.32 Adapun ciri-ciri dari
Epistemologi yaitu : (a) Bersifat sentral; posisi antara subjektif dan objektif. (b)
Landasan bagi segenap tindakan mns dlm kehdpn sehari-hari. (c) Dasar bagi
pengembangan pemikiran ilmiah. (d) Jembatan antara alam keharusan (das Sollen) yg
bersifat kejiwaan dan alam empirik (das Sein) yg bersifat inderawi.
Selanjutnya untuk memperluas pemahaman kita tentang istilah epistemologi,
Sriyulianti dalam bahan ajarnya menyebutkan beberapa istilah yang dapat dihubungkan
dengan epistemologi, yaitu:33 (a) Kriteriologia: Menetapkan benar/tidaknya pikiran atau
pengetahuan berdasar ukuran tentang kebenaran. (b) Kritikan Pengetahuan:
Tinjauan secara mendalam utk menentukan benar/tidaknya pengetahuan manusia. (c)
Gnoseologia: Gnosis (pengetahuan), logos (ilmu). Usaha untuk memperoleh hakikat
pengetahuan yang bersifat keilahian. (d) Logika Material: Usaha menetapkan kebenaran
suatu isi pemikiran.
Epistemologi memiliki cakupan yang sangat luas, hal itu dapat lihat pengertiannya,
yaitu:34 (a) Epistemologi (teori pengetahuan) merupakan salah satu cabang filsafat yg
mempelajari hakikat pengetahuan, sumber-sumbernya, syarat-syarat memperoleh
pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan serta hakikat kehendak dan
kebebasan manusia dalam memperoleh pengetahuan. (b) Epistemologi yaitu cabang
filsafat yang khusus mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan
mendasar tentang pengetahuan. (c) Suatu upaya rasional untuk menimbang dan
menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, dan
lingkungan sekitarnya. (d) Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif
(tentukan tolak ukur) dan kritis (mempertanyakan dan menguji). (e) Epistemologi atau
filsafat pengetahuan yaitu cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. (f)
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara
harafiah berarti “pengetahuan”). (g) Epistemologi membahas berbagai hal tentang
pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Epistemologi berusaha membahas persoalan pengetahuan. Oleh sebab itu sering
muncul serangkaian pertanyaan yang dapat diajukan untuk mendalami permasalahan
yang dipersoalkan epistemologi, seperti: (a). Apakah pengetahuan itu?, (b). Apakah yang
menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, (c). Apakah pengetahuan itu berasal dari
pengamatan, pengalaman, atau akal budi?, (d). Apakah pengetahuan itu yaitu
kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?
Menurut Jan Henrik Rapar, pengetahuan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yang
dijelaskan sebagai berikut35: Pertama, Pengetahuan biasa (ordinary knowledge).
Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-
ilmiah yaitu hasil pencerapan dengan indera terhadap objek tertentu yang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah
yaitu hasil pencerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran
rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan memakai
metode ilmiah. Kedua, Pengetahuan ilmiah (Scientific Knowledge).Yang dimaksudkan
dengan pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan
metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang
demikian dikenal juga dengan sebutan science. Ketiga, Pengetahuan filsafati
(Philosophical Knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasional
yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan
pemikiran-pemikrian logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan filsafati yaitu
pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang
dipersoalkan selaku objek yang diketahui.
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan?. Para filsuf memberi
jawaban yang berbeda-beda terhadap pernyataan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan
Leibniz mengatakan bahwa akal budi atau rasio yaitu sumber utama bagi pengetahuan.
Bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa aka budi yaitu satu-satunya
sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat
bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak
mungkin benar. Bagi mereka, pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses
mengetahui.36 Paham yang menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio
atau akal budi disebut paham atau aliran rasionalisme. Tokoh yang sangat terkenal
mengembangkan aliran ini yaitu Rene Descartes.
John Locke mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari
sensasi dan lewat refleksi terhadap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apa pun
juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman inderawi. Paham
yang menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi
yaitu paham atau aliran empirisisme. Tokohnya yang sangat terkenal yaitu John
Locke.
Imanuel Kant, seorang filsuf yang tidak sealiran dengan John Locke, menjembatani
kedua aliran sumber pengetahuan yaitu rasio dan pengalaman inderawi mengatakan
bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori (suatu ide atau konsep
ada pada dirinya sendiri) sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya
dapat di aplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan
konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain,
Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat berfungsi sebagaimana
mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman.38 berdasar pemikiran dari
beberapa filsuf di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pengetahuan
berasal dari rasio atau akal budi dan pengalaman inderawi manusia.
Selain itu dilihat dari sumber pengetahuan, Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat
Pendidikan mengatakan bahwa manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran,
yang dapat diperolehnya dengan melalui beberapa sumber yaitu pengetahuan wahyu
(reveled knowledg), pengetahuan intuitif (intuitive knowledge), pengetahuan rasional
(rational knowledge), pengetahuan empiris (empirical knowledge), dan pengetahuan
otoritas (authoritative knowledge).39 Pertama. Pengetahuan Wahyu (Reveled
Knowledge). Dalam perjalanan hidup manusia, sebagaian manusia memperoleh
pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran kepada munusia pilihannya, yang
dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman
Tuhan. Kebenarannya yaitu mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal,
artinya pengetahuan ini berasal dari luar manusia. Kedua, Pengetahuan intuitif
(Intuitive Knowledge). Dalam pengertian umum, intuisi merupakan metode untuk
memperoleh pengetahuan tidak berdasar penalaran rasio, pengalaman, dan
pengamatan indera. Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri,
pada saat ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam
kesadaran manusia. Mengenai proses kerjanya, manusia itu sendiri kadangh-kadang
tidak menyadarinya.
Ketiga, Pengetahuan Rasional (Rational Knowledge). Pengetahuan rasional
merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio/akal semata, tidak
disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Prinsip logika formal
dan matematika murni merupakan paradigma pengetahuan rasional, dimana
kebenaranya dapat ditunjukan dengan pemikiran abstrak. prinsip pengetahuan rasional
dapat di terapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak kesimpulan dari pengalaman
indera. Rasionalisme yaitu aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk
memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme berpandangan bahwa akal
merupan faktor fundamental dalam pengetahuan. Akal manusia memiliki
kemampuan untuk mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat
diketahui melalui observasi. Menurut rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat
menguji kebenaran hukum “sebab-akibat” karena peristiwa yang tidak terhingga dalam
kejadian alam ini tidak mungkin dapat di observasi.
Keempat, Pengetahuan Empiris (Empirical Knowledge. Pengetahuan emperis
diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan, pendengaran, dan sentuhan
indera-indera lainya, sehinga kita memiliki konsep duynia di sekitar kita. Paradigma
pengetahuan emperis yaitu sains, dimana hipotesis-hipotesis sains diuji dengan
observasi atau dengan eksperimen. Aliran yang menjadikan emperis (pengalaman)
sebagai sumber pengetahuan di sebut empirisme. Emperisme merupakan aliran dalam
filsafat yang membicarakan pengetahuan.Emperisme beranggapan bahwa pengetahuan
dapatb diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi, atau penginderaan.
Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam penetahuan, sehingga merupakan
sumber dari pengetahuan manusia. Apa yan kita ketahui berasal dari segala apa yang
kita dapatkan melalui alat indera. Pengalaman merupakan proses interaksi antara
manusia dan lingkunganya. Pengalaman tidak hanya sekedar dunia fakta, melainkan
termasuk pula dunia riset , dimana dalam pengertian ini termasuk dunia sains.
Kelima, Pengetahuan Otoritas (Authoritadiive Knowledge). Kita menerima suatu
pengetahuan itu benar bukan karena telah menceknya diluar kita, melainkan telah
dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang beribawa, memiliki wewenang, berhak) di
lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia yaitu seorang pakar dalam
bidangnya. Misalnya kita menerimah petuah agama dari seorang kiai, karena beliau
merupakan orang yang sangat ahli dan menguasai sumber ajaran agama islam,tanpa kita
mencek dari sumber aslinya (Quran dan Sunnah). Kita sering mengutamakan pandangan
kita dengan mengutip dari ensiklopedia atau hasil karya tulis para pakar yang terkenal.
Pada saman kerajaan, sabda raja merupakan manusia yang paling berkuasa.
Menurut Louis O. Kattsoff, kebenaran menunjukkan bahwa makna suatu
pernyataan, artinya proposisinya – sungguh-sungguh merupakan halnya. Hal ini sejalan
dengan pemikiran dari penganut idealisme, seperti F.H. Bradley, mengatakan bahwa
kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah makna yang merupakan halnya, dan
karena kenyataan ialah juga merupakan halnya, maka keduanya dipandang sama
sepenuhnya. Misalnya, karena makna pernyataan “di luar hawanya dingin”, artinya
proposisi di luar hawanya dingin, sekarang sungguh-sungguh merupakan halnya pada
waktu menulis catatan ini, maka keadaan-dingin-di luar merupakan bagian dari keadaan
kenyataan yang ada pada waktu sekarang serta pada tempat ini, proposisi ini
dikatakan benar.40
Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang
diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Jika apa
yang kita ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari ide-ide
yang dihubungkan secara tepat, kebenaran merupakan keadaan-saling-berhubungan
(coherence) di antara ide-ide ini atau keadaan saling berhubungan di antara
proposisi-proposisi. Jika sebaliknya, kita dengan suatu cara tertentu mengetahui
kenyataan, maka pengetahuan atau ide-ide yang benar terdiri dari – seperti yang
dikatakan Spinoza – kejumbuhan antara ide dengan ideantumnya, atau selanjutnya
kesesuaian (correspondence) antara ide-ide dengan apa yang diwakili.
Beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah ukuran
pengetahuan itu benar atau salah, yaitu: 1). Teori korepondensi; 2). Teori koherensi, dan
3). Teori pragmatisme. Pertama, Teori Korespodensi (Correspondence Theory). Paham
yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya
sunguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan “paham korespondensi”. Keadaan atau
keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan
oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa
yang merupakan fakta-faktanya.Apakah yang dimaksudkan dengan istilah
kesesuaian?. Menurut K. Rogers seorang penganut realisme kritis dari Amerika,
mengatakan bahwa kesesuaian itu berlaku di antara esensi-esensinya. Setiap esensi
memiliki dua segi, yang satu ada di dalam objeknya dan yang lain sebagai
makna. Segi esensi yang berupa makna bersifat kejiwaan. Dalam suatu pencerapan, kita
secara diam-diam mengenal esensi yang termasuk objeknya, maupun apa yang
dimaksudkan oleh esensi ini . Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh Rogers
ialah, bahwa keadaan-keadaan terletak dalam kesesuaian antara esensi atau makna
yang kita berikan dengan esensi atau makna yang ada di dalam objeknya. Maka
yang berkesesuaian itu bukanlah makna dengan objeknya, melainkan esensi sebagai
makna dengan esensi yang ada di dalam objek.43
Menurut teori korespodensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan
situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam pemikiran
dengan situasi lingkungannya. Teori ini paling luas diakui oleh kaum realis. Sebagai
contoh, saya berpendapat bahwa pulau Jawa merupakan pulau ada penduduk di
Indonesia . pendapat saya itu benar bukan karena bersesuai dengan pendapat orang lain
sebelumnya, atau karena di terima oleh banyak orang, melainkan karena persesuaian
dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini merupakan ciri dari ilmuan yang selalu mencek
atau mengontrol pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan.44
Kedua, Teori Koherensi (Coherence Theory). Penganut kohenrensi tentang
kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filsuf Britania F.H.
Bradley (1846-1924). Secara singkat paham ini mengatakan bahwa suatu
proposisi cenderung benar jika proposisi ini dalam keadaan saling berhubungan
dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan
saling berhubungan dengan pengalaman kita. Contoh, bagaimana cara kita mengatakan
bila seseorang bohong dalam banyak hal? Jawabnya dengan jalan menunjukkan bahwa
apa yang dikatakan tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau
dikerjakannya.45
Teori koherensi menganut hukum-hukum keadaan saling berhubungan. Bradley
mengatakan bahwa yang dimaksudkan para penganut idealis tentang hukum-hukum
keadaan saling berhubungan, dapat diketahui dari dua ciri pokok, yaitu: Pertama,
adanya keharusan bahwa semua fakta terangkum. Ide-ide tidak mungkin saling
berhubungan jika ide-ide itu hanya merupakan bagian-bagian dari kebenaran
seluruhnya. Kedua, ide-ide ini harus teratur secara selaras dan tidak mengandung
kontradiksi. Kenyataan (dan karenanya, kebenaran) oleh para penganut idealisme
digambarkan sebagai sistem kebenaran yang teratur, yang logis, yang didalamnya tidak
ada kontradiksi.
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan bersesuai antara pikiran dengan
kenyataan , melainkan kesesuaian secara harmonis antar pendapat/pikiran kita dengan
pengetahuan kita yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan
idealis. Pengertian persesuaian dalam teori ini ada konsistensi (ketetapan, sehingga
teori ini berarti ada konsistensi (ketetapan, sehingga teori ini disebut juga teori
konsistensi) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang
telah kita miliki satu dengan yang lain. Kalau kita menerima pengetahuan baru, karena
pengetahuan ini sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki,atau apa bilah kita
melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru ini lebih bertautan secara
harmonis dengan keseluruhan pangalaman pengetahuan kita.
Kedua, Teory Pragmatisme (Pragmatism Theory).Menurut teori pragmatisme,
kebenaran tidak bersesuai dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari
pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut pragmatisme, teori koherensi yaitu
normal dan rasional. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui
apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas. Oleh klarena itu,
pragmatisme merupakan penganut emperisme yang fanatik untuk memberikan
interperensi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang
mutlak dan abadi. Kebenaran itu dibuat dalam proses penyusaian manusia.
Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran
merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu,
berarti kita memberikan penilain terhadapnya. Istilah benar yaitu suatu pernyataan
yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.
Seseorang menyatakan pendapatnya bahwa benar, karena telah memenuhi
kepentinganya. Dapat terjadi seseorang menyatakan benar, tetapi suatu saat ia
menyatakan pendapatnya itu salah, karena pendapatnya itu sudah tidak berguna, tetapi
hanya dapat memenuhi kepentinganya. Tetapi, dalam hal ini tidak berarti bahwa benar
dan salah merupakan hal yang bersifat individual. Kebenaran merupakan hasil
hubungan sosial. Kebenaran individual dikontrol atau dikoreksi di bawah pengaruh
sosial, sampai akhirnya kebenaran itu diterima secarah umum.
Para penganut ajaran-ajaran pragmatisme berbeda-beda coraknya, sesuai dengan
konsekuensi-konsekuensi yang mereka tekankan. Namun, semua penganut
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi.
Sebagai contoh, William James, mengatakan bahwa proposisi “Tuhan ada” yaitu benar
bagi seseorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Ini
berarti bahwa proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita, yaitu benar.
Dalam batas-batas ini , kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat
dilaksanakan di dalam suatu situasi. Dan orang memiliki kehendak serta hak untuk
percaya akan hal-hal yang membantu menetapkan hubungan yang memuaskan dengan
sisa pengalaman mereka. Kiranya jelas, bahwa kesulitan besar tentang definisi mengenai
kebenaran sebagai sesuatu uang berguna dalam menetapkan penyesuaian-penyesuaian
yang memuaskan, tergantung pada apa yang dimaksudkan dengan “dapat dilaksanakan”
atau “berguna”, dan tergantung pada apakah yang merupakan hubungan-hubungan yang
memuaskan dengan sisa pengalaman kita.47
Karena itu untuk mencari kebenaran, kaum pragmatis berpaling pada metode
sains (ilmiah), sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna dalam menafsirkan
gejala-gejala alam. Kriteria pragmatisme banyak dipakai oleh ilmuan untuk
menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karen seperti yng telah
dikemukakan di atas, bagi pragmatisme tidak ada kebenaran mutlak dan abadi.
Keempat, Teori Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth).Perihal teori
Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth) dan Teori Kesahihan Logikal yang
berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of Truth) dikutip dari tulisan Jan Hendrik
Rapar.48 Yang dimaksudkan teori Kesahihan Semantik (Semantik theory of Truth) yaitu
teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori kesahihan semantik,
proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada
referen atau realitas dan bisa juga arti definitif dengan menunjuk ciri khas yang ada.
Kelima. Teori Kesahihan Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of
Truth). Teori Kesahihan Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of
Truth) yaitu sebuah teori yang hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang
memiliki term berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia
telah menjadi suatu benda logik yang berlebih-lebihan. Contoh: siklus yaitu lingkaran
atau lingkaran yaitu bulatan dan sebagainya. Dengan demikian, proposisi lingkaran
atau bulat tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.49
Dalam perspektif iman Kristen, epistemology Kristen yaitu firman Tuhan dalam
mendapatkan pengetahuan. Prinsip dan praksis pendidikan harus berdasar
pandangan Akitab. Dalam Amsal 3:5-6 “percayalah kepada Tuhan dengan segenap
hatimu, dan jangalah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala
lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu”. Demikian pula dalam Mazmur 119:15
“firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”. Landasan ini akan memberi
pencerahan dan tugas kepada stakeholder pendidikan Kristen bahwa kebenaran firman
Tuhan harus menjiwai seluruh proses pendidikan kristiani. Kebenaran firman Tuhan
harus dipahami sebagai kesatuan dalam tritunggal Allah berkaitan dengan prinsip dan
praksis pendidikan, yakni: Firman yang berkenaan dengan penciptaan, firman yang
hidup dan berikarnasi dalam Yesus Kristus, dan firman yang dituliskan untuk manusia
yaitu Alkitab (2 Tim.3:16).50
Perspektif yang alkitabiah harus menjadi bagian terpenting mendalami
epistemology kristiani. George Knight menjelaskan bahwa: (a) Perspektif Alkitab
menyatakan seluruh kebenaran yaitu kebenaran Allah, itu berarti mengeliminir
pemahaman bahwa ada perbedaan kebenaran sekuler dengan kebenaran rohani, (b)
Kebenaran dari penyataan kristiani yaitu benad adanya sesuai dengan apa yang ada di
alam semesta, sehingga orang Kristen harus berusaha mendapatkannya tanpa kuatir
adanya kontradiksi. (c) Kekuatan jahat berusaha merendahkan Alkitab, membelokkan
pemikiran manusia, dan mengarahkan manusai untim bergantung pada
ketidakmampuan diri sendiri yang sudah jatuh dalam dosaa dalam upaya mencari
kebenaran tidak akan berhasil. (d) Alkitab tidak hanya berisi kebenaran abstrak, tetapi
juga kebenaran berkaitan dengan kehidupan. Karena itu pengetahuan Alkitab dalam
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (e) berbagai sumber pengetahuan tersedia
bagi orang Kristen (wahyu umum dan wahyu khusus) bersifat saling melengkapi dan
saling meneguhkan seturut pola Alkitab. (f) Adanya keutuhan kebenaran, penerimaan
epistemology kristiani tidak bisa dipisahkan dari metafisika kristiani.
3. Aksiologi dan Pendidikan
Aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang berbicara tentang nilai (what is of
value). Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna, dan
bertujuan dalam kehidupan sehari-hari manusia, baik secara individu dan kelompok.
Umumnya orang menimbang nilai dari kadar baik dan buruk. Disamping itu nilai
mengarahkan tindakan, mendasari perbuatan, dan membuat preferensi nilai (sistem
nilai atau tata nilai), dalam hidup manusia memiliki sistem nilai dalam angan (conceived
values) dan nilai dalam praktik sebagai suatu keharusan (operatif values). Pendidikan
kristiani menawarkan nilai hidup baru yang bersumber pada Alkitab dan penebusan
Yesus Kristus. Yesus Kristus mengajarkan dan memberikan nilai hidup bagi para
pengikut-Nya dan mendorong untuk menghidupi dan mewujudkan nilai-nilai itu ke
dalam hidup nyata yang menembus ragam manusia, budaya, masyarakat dan bangsa.
Aspek aksiologi menyangkut etika dan estetika. Etika yaitu studi tentang prinsip
moral dan praktiknya. Etika berurusan dengan realitas dosa dan panggilan kristiani
untuk melayani dan berkorban bagi dunia. Estetika yaitu studi tentang keindahan dan
dimensi kreatif dalam hidup.52 Etika merupakan studi tentan nilai-nilai moral dan
perilaku. Etika menjawab pertanyaan: “apakah itu kebaikan, apa yang seharusnya
dilakukan orang pada saat situasi seperti ini?”. Estetika yaitu studi dari nilai-nilai
umum, prinsip-prinsip yang mengatur penciptaan dan penghargaan terhadap keindahan
dan seni. Estetika menjawab pertanyaan: “apakah itu keindahan, apa yang indah dari
seni ini ?. Etika dan estetika pendidikan Kristen bertujuan memuliakan Tuhan dan
mengasihi sesama. Etika bersumber dari pewahyuan khusus, estetika bersumber pada
doktrin keindahan realitas ciptaan Allah. Studi tentang etika merupakan studi dari
kehendak bebas manusia dengan kesadaran untuk bertindak benar atau salah.
Pertama, masalah etika yaitu masalah yang baik dan buruk berkaitan dengan
masalah ukuran, norma terhadap apa yang kita sebut baik dan apa yang kita sebut
buruk. Pendidikan Kristen berurusan dengan pembentukan dan pengembanghan nilai
hidup. Nilai yang diajarkan itu yaitu yang mampu membentuk dasar moral dan etis
kehidupan orang percaya. Nilai hidup itu bersumber dari Tuhan bukan dari manusia dan
dunia. Nilai-nilai dari yang diajarkan Yesus dalam khotbah di bukit Matius 5-7 tentang
kebenaran dan hidup secara pribadi, dasar ibadah, dan dasar dari agama. Nilai hidup
harus konsisten dan selarah dengan kehidupan itu sendiri, Yesus secara tegas
mengatakan diri-Nya tidak berubah, baik kemarin,hari ini, dan selama-lamanya (Ibr.
13:8). Panggilan pendidikan Kristen yang sangat mendesak yaitu membimbing orang
agar mengenal Tuhan yang mahakudus, mahaadil, mahabenar. Relasih kekudusan hidup
harus menjadi benih yang hidup bagi kehidupan etikan orang percaya (Mzm. 119:19).
Kedua, masalah estetika. Aksiologi tidak terlepas dari masalah estetika, yakni
bidang yang membahas keindahan, kerapian, kreatifitas dan inovasi setiap individu.
Estetika juga sangat berhubungan dengan masalah emosi, kognisi, serta efeksi.
Pendidikan Kristen mengarahkan dalam proses belajar mengajar dimana
memperhitungkan segi-segi keindahan dan kerapian serta penampilan diri sehingga
nampak kehormatan dan peradaban hidup dari manusia itu sendiri. Imajinasi dan
kreatifitas serta inovasi yaitu bagian dari hakikat manusia sebagai pembawa rupa dan
gambar Tuhan (imago dei) (Kej.1:26-27). Manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki daya
cipta dan kreasi, daya imajinasi dan khayal ilmiah, yang diperlukan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan hasil-hasilnya yang berguna bagi kesejahteraan manusia.
Dalam persepktif Kristen, etika yaitu bentukan normatif dari suatu panduan yang
tidak berubah, tidak subjektif, dan tidak situasional. Etika Kristen tidak berbasis pada
nilai yang berdasar prinsip-prinsip yang ditentukan komunitas atau rentang waktu
tertentu, tetapi berdasar kebenaran firman Tuhan.54 Menghidupkan etika kristiani
haruslah menghindari kesombongan dan pemberontakan manusia, dan semuanya
memikirkan dan menghidupi dengan nyata apa yang dikatakan Paulus dalam Filipi 4:8
“jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,
semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut di dipuji pikirkanlah semuanya itu.”
Bagi orang Kristen, estetika didasarkan pada fakta bahwa Allah menciptakan dunia
itu indah, dan ini mengimplikasikan suatu tanggung jawab pribadi baik untuk
menghargai maupun untuk menciptakan keindahan. Hubungan aksiologi dan
pendidikan bisa dieksplorasi dengan mempertimbangkan berbagai sistem nilai yang
berbeda yang memengaruhi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan. Paulo Freire
menekankan betapa pentingnya artikulasi yang jelas dari nilai-nilai ini dalam
pendidikan dan perlunya refleksi kritis terhadap nilai-nilai dan terhadap
problematisasinya.
Aspek-aspek aksiologi kristiani yang termaktup dalam segi etika dan estetika
haruslah bersumber pada panggilan pelayanan pendidikan yang mencintai dan melayani
Tuhan, mencintai dan melayani sesame manusia, mencintai dan menghidupi firman
Tuhan dan hukum-hukum Tuhan dan alam semesta. Tujuan pembelajaran etika dan
estetika hendaknya bermuara pada pengembangan karakter, pengembangan
keterampilan pelayanan, dan pengembanga tanggung jawab manusia bagi sesamanya
dan bagi alam semesta terutama kepada Tuhan. 55 Tujuan akhir dari etika dan estetika
kristiani yaitu pembentukan karakter Kristen dan mengembangkan seni dan
keindahan sebagai pemberian dan anugerah Tuhan yang diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari bagi hormat dan kemuliaan Tuhan, bagi kesejahteraan manusia dengan
segala kelimpahan sukacitanya.
Integrasi Iman dan Ilmu dalam Praksis PAK
Berbicara ilmu tidak terlepas dari aspek rasio yang melatarbelakanginya. Banyak
manusia ingin membuktikan kebenaran melalui rasionya. Rasio merupakan bagian yang
ada dalam diri manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Dari rasiolah menjadi dewa
dalam konteks ilmu pengetahuan. Para abad 17 dan 18 seperti Hegel, Charles Darwin,
Karl Mark, Ludwig Feuerbach, Immanuel Kant, mendalilkan bahwa rasio yaitu segala-
galanya lalu seolah-olah tidak lagi mengakui iman dan ajaran Kristen dan bahkan
menolak keberadaan Allah. Darwin dengan teori revolusionernya tentang evolusi
seolah-olah menegaskan manusia dan rasionya yaitu segala-galanya. Tetapi sekarang
dimanakah mereka semuanya?, mereka telah tenggelam dalam kematian yang
mengerikan jika tidak bertobat. Mereka lpau bahwa semua kebenaran tidak dapat diuji
kebenarannya hanya dengan ilmu pengetahuan dan rasio saja tetapi juga harus diterima
dengan iman sebagaimana Alkitab menegaskan dalam Roma 10:17, “iman timbul dari
pedengaran, dan pendengaran oleh firman Yesus Kristus, berarti ada dua pihak yang
saling terlibat, yaitu manusia dengan iman dan rasionya dan Allah dengan kasih,
keadilan dan kedaulatan-Nya.
Jika kita berbicara tentang Pendidikan Agama Kristen, kita juga tidak bisa
melepaskan dari peranan iman dan rasio. PAK merupakan proyeksi iman yang
disosialisasikan melalui berbagai aspek kehidupan sedangkan ilmu sebagai cara untuk
menganalisis, mengkritisi, dan mengevaluasi. Para pemikir Kristiani telah bergulat
dalam sejarah dimasanya untuk mencari hakikat yang benar dari pendidikan Kristen.
Benar ada ketegangan khususnya dalam dinamika PAK, seperti penyataan dari Thomas
Groome bahwa benar ada ketegangan khususnya terjadi disekitar perbedaan persektif
prinsip, praksis, dan metode mengajar, seperti ketegangan dari pemikiran Comenius
(1592) yang mengusulkan metode mengajar induktif di bawah bimbingan alam, para
pendidik lain seperti Pattalozzi dan Froebel yang mengusulkan pendidikan yang
berorientasi dan berpusat pada peserta didik. Whitehead, mengusulkan pendidikan
harus berbasis keagamaan.
Hal ini terjadi karena perbedaan worldwiew. Soegiharjo mengatakan bahawa “cara
pandang manusia atau pandangan tentang dunia yang benar inilah yang seharusnya
dimiliki dan dipahami oleh setiap orang Kristen yang akan membantunya untuk menilai
segala sesuatu secara benar dan sesuai dengan iman yang diterimanya. Manusia pada
hakekatnya yaitu mahkluk rasional yang dapat memahami ilmu pengetahuan secara
teori dan praksis. Dalam iman Kristen dengan ilmu pengetahuan, rasio manusia dapat
meresapi, menemukan, dan menciptakan suatu kebenaran empiris yang dapat menguji
dan membuktikan segala sesuatu yang dapat berguna bagi kemanusiaan. Namun semua
kebenaran ilmiah, kebenaran ilmu pengetahuan harus tetap dievaluasi oleh dan harus
tunduk pada firman Tuhan. Ibrani 11:3 bahwa karena “iman kita mengerti bahwa alam
semesta ini telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi
dari apa yang tidak dapat kita lihat.”
Stephen Tong, meyakini bahwa harus ada keseimbangan kita tidak boleh
meniadakan rasio tetapi juga tidak boleh memperilah rasio. Orang Kristen harus
memakai rasio sebaik mungkin tetapi tidak boleh jatuh menjadi seorang
rasionalis.56 Ibrani 11:1 yaitu jawabannya bahwa iman yaitu dasar dari segala
sesuatu. Iman yang dipahami orang Kristen yaitu iman yang memberi ruang kepada
rasio untuk mengeksplorasi semua ilmu pengetahuan dan alam semesta alam untuk
menemukan kebesaran dan kedasyatan kuasa Allah.
Namun benar yang dikatakan para pemikir Kristen seperti Thomas Groome,
Benhoeffer “tidak ada anugerah yang murah”, dalam praksis pendidikan bahwa
pendidikan itu tidak gampang, tidak mudah, dan merupakan suatu usaha sadar dari
bentuk kerja keras dan bertanggung jawab. Pertama, Thomas Groome dengan praksis
pemikiran Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia boleh bebas dalam berpikir
dengan cerdas dengan cara theoria, praxis, dan poiesis. Ketiga gaya ini sebagai gaya
hidup spekulatif, praktis, dan produktif. Cara pandang theoria yaitu pencarian
kebenaran dengan proses kontemplatif atau reflektif atau tidak terlibat. Cara
mengetahui praksis dengan keterlibatan reflektif dalam situasi sosial. Sedang poiesis
sebagai cara mengetahui yang terwujud dalam dan muncul dalam cara “membuat”.
Ketiganya berbeda dalam tujuan dan yang diharapkan yaitu hasil-hasilnya. Bagi
Aristoteles konteks praksis berarti tindakan reflektif dan memiliki tujuan yang
bermanfaat yang dengannya pengetahuan muncul melalui “keterlibatan” dalam situasi
sosial. Dalam praksis muncul fronesis yang diartikan sebagai “keadaan yang benar,
masuk akal, dan mampu bertindak mengenai hal-hal yang baik atau buruk bagi manusia.
Fronesis yaitu keadaan pikiran dari mana praksis muncul dan kemudian
dikembangkan lagi oleh praksis. Pronesis merupakan kebijaksanan praktis. Sedangkan
poiesis yaitu cara berhubungan dengan realitas di mana benda konkrit dihasilkan.
Hasil ini mengandung pengetahuan tertentu dan produksinya melibatkan proses
pengetahuan. Ini yaitu pengetahuan yang diekspresikan dalam pekerjaan pemahat
patung, tukang, pedagang, dan dalam ekspresi yang tinggi, penyair. Praksis
menunjukkan pada kegiatan membuat yang membutuhkan keahlian. Praksis yaitu
pengetahuan praktis yang tujuannya yaitu tindakan yang terus menerus sedangkan
poiesis termasuk tindakan produktif dan beakhir pada apa yang dihasilkan.
Jika yang menimbulkan praksis yaitu fronesis maka yang menimbulkan poiesis
yaitu techne. Melalui techne, cara mengetahui poiesis terjadi, dan penggunaan poiesis
mempertajam keahlian atau kemampuan membuat sesuatu didalamnya ada dimensi
intelektual yang bersifat reflektif dalam poiesis.Perbedaannya yaitu dalam “praksis”
pikiran digabungkan dengan melakukan, sedangkan dalam poiesis pikiran dibangun
dengan berbuat/membuat. Bagi Aristoteles pendidikan yang dilakukan dengan sengaja
harus didasarkan pada cara mengetahui praksis. Ilmu pengetahuan yaitu praksis tidak
hanya teori. Baginya tujuan pendidikan menciptakan watak moral yang baik bagi warga
negara yang siap menghadirkan kesejajteraan negara. Thomas Groome memadukan
dialektika antara teori dan praktek.
Kedua, Thomas Groome dengan Hegel dan praksis Geist. Salah tema filsafat Hegel
yaitu geist. Yang merupakan gabungan dari konsep Yunani tentang akal yang tertinggi
serta tradisi Yudeo-Kristiani tentang transenden-imanent. Orang-orang Yunani
memahami dunia yang hakikatnya bersifat rasional dan seluruh pengertian tentang
rasionalitasnya merupakan sumbangan dari akal yang tertinggi yang yaitu sumbernya.
Bagi Yunani, akal bukan asas yang aktif dalam proses menjadi, tetapi telah ada di dunia
dan dapat dibawa ke kesadaran manusia oleh theoria. Geist yaitu asas rasional yang
aktif yang mengaktualisasikan dirinya dalam sejarah, bagi Hegel geist yaitu bukan
kebijaksanaan yang abstrak dan transenden, tetapi akal yang aktif dan tidak terbatas
yang mengarahkan dunia dengan pemeliharaannya. Kata-kata Hegel ‘yaitu benar
pemeliharaan, yakni pemeliharaan ilahi, memimpin peristiwa-peristiwa dunia sesuai
dengan asas-asas kita, karfean pemelihraan ilahi yaitu kebijaksanaan yang diberikan
bersama kekuatan yang tidak terbatas yang mewujudkan tujuan miliknya sendiri, yakni
tujuan dunia yang final, rasional, dan absolut. Di sini, akal yang lebih tinggi dari filsafat
Yunani dan Allah yang efektif, aktif dari pemikiran Yudaisme dan Kristen digabung. Geist
yaitu akal yang mengaktualisasikan dirinya di dunia. Dalam arti ini, geist bukan saja
keadaan tertinggi dan realita, tetapi juga penyebab dunia yang efisien dan utama. Bagi
Hegelm geist bergerak maju ke level-level aktualisasi yang lebih tinggi. Hakikat yang
sesungguhnya yaitu Roh dan tindakan. Roh membuat sendiri apa yang pada dasarnya
ada. Roh yaitu produk miliknya sendiri, pekerjaan miliknya sendiri. Geist bergerak kea
rah aktualisasi diri dengan dinamika batiniah sendiri. Peran manusia hanya melalui
kesadaran dan kehendaknya menjadi perantara atau refleksi dari kegiatan aktualisasi
diri. Bagi Hegel geist yaitu bagian di dalam sejarah manusia. Hegel mendukung teori
dan praksisnya menjadi praksis-historis yang merupakan pencarian sumber
pengetahuan.
Ketiga, Thomas Groome tentang cara mengetahui praksis dari Karl Mark. Mark
menyatakan bahwa kebebasan yang belum direalisasikan oleh proses evolusioner yang
dicita-citakan adlah bukan kebebasan sama sekali. Mark menola geist dari Hegel yang
hanyalah suatu ketakjuban dalam alam pikir. Bagi Mark pengetahuan bersifat gagasan
sekarang menjadi proses menusia dan historisnya. Bagi Mark pengetahuan buka refleksi
dari geist melainkan refleksi dari materialism historis yakni kondisi-kondisi kehidupan
materil, dan khsusnya bagaimana memproduksi benda yang diwujudkan masyarakat
dan sejarah. Dalam epistemologinya Mark memadang kerja sebagai perantara antara
subjek dan objek, kerja tidak hanya cara terlibat dalam dunia, kerja yaitu juga cara
mengetahui dunia, melalui pengetahuan. Mengetahui dunia melalui reflektif kritis dan
mengubah dunia.
Keempat, Thomas Groome dengan Paulo Freire dengan praksis pendidikannya.
Freire memulai pendidikan dari praksisnya. Ia mengajar orang-orang untuk membaca
paling sedikit enam minggu. Suatu emansipasi menurut Groome. Ada tiga asumsinya,
pertama, humanisasi yaitu panggilan utama manusia, kedua orang-orang harus
mampu mengubah realitas mereka, menciptakan kebudayaan mereka. Ketiga,
pendidikan tidak pernah netral, pendidikan selalu ada konsekuensinya secara politik.
Bagi Freire pendidikan harus membebaskan untuk mencapai hal itu ia mengusulkan
model pemecahan masalah, sebagai refleksi kritis dan membuka mite-mite yang menipu
dan mengabaikan.
Dalam usaha ketekese yang paling awal membawa pemikiran bahwa gaya hidup
yang diperbaharui Roh Kudus dan firman yaitu jalan menuju keselamatan dan
kehidupan yang bermoral di dunia. Augustinus dari aliran Alexandaria, menekankan the
city of God dan connesions yaitu refleksi spritualitas atas relasi pribadi dengan Tuhan.
Tujuan teologisnya yaitu pencarian kebijkasanaan spiritual dan praktis. Thomas
Aguinas sangat menekankan pentingnya peran kecerdasarn dalam proses pengetahuan,
dengan metodenya yang diperluas dari theoria. Dimana tidak ada jalan menuju
kecerdasan jika tidak dimulai dari pengalaman indera-indera yang bersifat reflektif dan
ia menyebutnya sebagai summa.
Memang Marti Luther menolak intelektual dari penganut skolastika yang mencoba
mencari Allah dari rasionalitas manusia. Bagi Luther menekankan iman sebagai bentuk
kepercayaan kepada Allah dibanding dengan dalil-dalil yang doctrinal. Bagi Groome
faktor pengalaman bersama Allah di dunia tidak bisa diabaikan dalam berbagai
kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Allah yaitu penguasa seluruh kehidupan
termasuk dalam dunia pendidikan, maka siapapun yang mau taat dan menyembahnya
dalam seluruh lapangan kehidupan pastilah mengalami pemeliharaan dan pertolongan
Allah.
Filsafat PAK didasarkan pada teologi yang alkitabiah, dimana firman Tuhan yang
tertulis dalam Alkitab menjadi tolak ukur dalam berfilsafat secara kristiani. Teologi
sistematik merupakan formula yang baik dalam mengembangkan prinsip dan praksis
filsafat pendidikan Kristen. Otoritas firman secara tertulis yaitu Alkitab dan firman yang
menjadi daging atau manusia dalam diri Yesus Kristus harus memengaruhi setiap gaya
berpikira dan tata laku dari praksis pendidikan.
Fondasi filosofis pendidikan kristiani mencakup tiga unsur utama yang juga
menjadi perhatian serius dalam menjalankan pendidikan dan proses pembelajaran yaitu
pada unsur metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Dalam dinamika dan pengembangan pendidikan kristiani tidak bisa mengabaikan
dan bahkan memisahkan antara ilmu dan iman. Pendidikan Kristen memadukan atau
mengintegrasikan antara iman dan ilmu pengetahuan, dimana rasio menjadi hal penting
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan iman sebagai dasar dalam melakukannya.
Rasio harus tunduk pada otoritas firman Tuhan dan iman mendorong untuk menerima
dan mempercayai hal-hal yang ada di dalam, lebih dan atau di luar dari nalar manusia.
Dengan demikian kita menemukan korelasi landasan teologis dan filosofis perumusan
dan pengembangan Prinsip dan Praksis Pendidikan Agama Kristen.