• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 6. Tampilkan semua postingan

ilmu ushul fiqh 6




 ang masuk dibawah kesanggupan mukallaf , akan tetapi 

sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar dilaksanakan 

ada dua yaitu: 

1) Yang kesukarannya itu luar  biasa dalam arti sangat 

memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan. 

2)  Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat 

memberatkan, hanya terasa lebih berat dari pada yang 

biasa.   

 

5.  Hak Allah dan Hak Hamba . 

Perbuatan mukallaf  yang dituntut oleh Allah swt. dalam 

kaitannya antara hak Allah dan hak hamba, terbagi menjadi 4 (empat) 

macam, yaitu :  

1.  Pekerjaan - pekerjaan yang Dipandang Hak Allah  

Perbuatan -perbuatan yang dipandang sebagai hak Allah yaitu  

segala perbuatan yang kemaslahatannya itu akan terpulang kepada 

warga  umum, bukan untuk seseoarang tertentu saja, dan 

pelaksanaanya diserahkan kepada pemerintahan yang sah. 

Dikatakan sebagai hak Allah karena mengingat kepentingan yang 

besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada perbuatan-

perbuatan itu. H al ini terbagi kepada beberapa bagian: 

a. Perbuatan -perbuatan yang termasuk kategori ibadah mahdah  

(murni), seperti iman, Islam, shalat, puasa, haji, umrah, dan 

jihad. Tujuan dan hikmah dari ibadah-ibadah yang seperti ini 

yaitu  untuk menegakkan agama dan yang demikian sangat 

                                                                                                                                      

penting untuk keberaturan warga , bukan untuk orang 

perorang.  

b. Ibadah-ibada yang didalamnya terkandung adanya beban 

material, seperti membayar zakat fitrah. Zakat fitrah dianggap 

sebagai ibadah karena tujuannya yaitu  mendekatkan diri 

kepada Allah, dengan jalan memberikan hartanya kepada fakir 

miskin. Tapi zakat fitrah tidak termasuk ibadah mahdah 

karena di dalamnya ada  semacam pajak jiwa.  

c. Pungutan -pungutan yang dibebankan pada tanah pertanian, 

baik yang berkenaan dengan zakat se persepuluh, seperlima 

atau yang berkenaan dengan pajak-pajak tanaman pertanian 

secara umum. 

d. Pungutan -pungutan hasil rampasan perang, pungutan-

pungutan dari hasil logam mulia dan hasil tambang.  

e. Segala bentuk sanksi hukuman yang sempurna, seperti sanksi 

pez ina, sanksi pencurian, sanksi pemberontak, sanksi 

membbuat kerusakan di muka bumi. Sanksi-sanksi ini  

ditegakkan yaitu  untuk kemaslahatan seluruh marga 

warga . 

f. Sanksi hukuman yang tidak sepurna, yakni terhalangnya 

seorang pelaku pembunuhan untuk mendapatkan harta waris. 

Dalam hal ini dikategorikan sebagai hak Allah karena korban 

pembunuhan sama sekali tidak memperoleh keuntungan apa-

apa, maka ia menjadi hak Allah. 

g. Sanksi-sanksi hukuman yang memiliki nilai ibadah, seperti 

hukuman kifarat bagi orang yang mmelanggar sumpah, kifarat 

bagi orang yang sengaja berbuka pada siang hari bulan 

Ramadan, kifarat bagi pelaku pembunuhan tersalah atau 

menzihar isterinya.  

 

2.  Perbuatan yang Dihukum Hak Hamba .  

Adapun hak-hak yang dianggap sebagai murni hak hamba, 

dalah seperti penggantian harta yang dirusak, baik mengganti 

dengan yang sepadan atau senilai harta yang dirusak ini . 

Dalam konteks ini, maka sepenuhnya menjadi hak pemilik harta yang 

dirusak untuk minta ganti atau tidak.    

Demikian juga hak menahan harta yang digadaaikan, maka 

sepenuhnya menjadi hak penggadai.Atau hak menagih hutang bagi 

orang yang menghutangkan. Allah swt. sepenuhnya menyerahkan 

hak-hak ini  kepada yang empunya hak. Mereka memiliki 

kebebeasan penuh untuk mengambil haknya  atau tidak 

mengambilnya, terserah kepada masing-masing pribadi seseorang. 

 

3.  Perbuatan yang mengandung h ak Allah dan hak hamba, tetapi hak 

Allah lebih k uat 

Bagian ini diumpamakan hukum men uduh zina. bila  

ditinjau bahwa hukum menuduh itu mendatangkan kebaikan kepada 

warga , nyatalah bahwa ia yaitu  hak Allah lebih keras, tidak 

boleh yang dituduh itu menggugurkan hukum itu dari orang yang 

menuduh, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang 

dituduh. 

 

4. Pekerjaan - pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan 

Hak Hamb a, Akan tetapi Hak Hamba Lebih Kuat  

Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena 

dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan 

boleh mengambil diyat saja atau memaafkan saja. 

Demikian juga hak menahan harta yang digadaaikan, maka 

sepenuhnya menjadi hak penggadai.Atau hak menagih hutang bagi 

orang yang menghutangkan. Allah swt. sepenuhnya menyerahkan 

hak-hak ini  kepada yang empunya hak. Mereka memiliki 

kebebeasan penuh untuk mengambil haknya  atau tidak 

mengambilnya, terserah kepada masing-masing pribadi seseorang. 

 

3.  Perbuatan yang mengandung h ak Allah dan hak hamba, tetapi hak 

Allah lebih k uat 

Bagian ini diumpamakan hukum men uduh zina. bila  

ditinjau bahwa hukum menuduh itu mendatangkan kebaikan kepada 

warga , nyatalah bahwa ia yaitu  hak Allah lebih keras, tidak 

boleh yang dituduh itu menggugurkan hukum itu dari orang yang 

menuduh, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang 

dituduh. 

 

4. Pekerjaan - pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan 

Hak Hamb a, Akan tetapi Hak Hamba Lebih Kuat  

Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena 

dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan 

boleh mengambil diyat saja atau memaafkan saja. 

Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih  yaitu  

seseorang yang perbuatannya dikenai khitab oleh Allah swt. yang 

disebut mukallaf . Dari segi bahasa, mukallaf  diartikan sebagai orang 

yang dibebani hukum. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh mukallaf   

yaitu  orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik 

yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. 

Semua tindakan hukum yang dulakukan  mukalla f  akan diminta 

pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.  

 

1.  Pengertian Mahkum ‘ Alaih .   

Mahkum ‘alaih  yaitu  seseorang yang perbuatannya dikenai 

khitab oleh Allah swt. yang disebut mukallaf . Sedangkan dari segi 

bahasa, mukallaf  berarti sebagai orang yang dibebani hukum. Dalam 

istilah ushul fiqh mukallaf  disebut juga dengan mahkum ‘ alaih 

(subjek hukum).   Adapun secara terminologis pengertian mahkum 

‘ alaih yaitu  orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, 

dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasar  

tuntutan Allah.  

                                                          

Dengan kata lain, mu kallaf  yaitu  orang yang dianggap 

mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan 

perintah Allah swt. maupun dengan larangan Allah swt. Seluruh 

tindakan hukum yang dilakukan mukallaf    akan dimintai 

pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jelasnya, 

pengertian dari mahkum ‘alaih  secara istilah yaitu  orang yang 

dianggap telah mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan 

beban hukum (taklif ), baik yang berhubungan dengan perintah Allah 

maupun larangan-Nya.  

  

2.  Pe mbebanan Hukum ( Taklif )  

Dalam Islam, orang yang terkena taklif  yaitu  mereka yang 

dianggap sudah  

mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul 

fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang 

mukallaf yaitu  akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang 

bisa dibebani hukum bila  ia berakal dan dapat memahami secara 

baik taklif yang ditujukan kepadanya. Yang termasuk ke dalam 

golongan ini yaitu  orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan 

lupa karena dalam keadaan yang tidak sadar. Sebagaimana dalam 

sabda Rasulullah saw : 

 

 ٠ََِـظـْز ُٔ ُْ ح ِٖ َػ َٝ  َعِـوـ٤َْـظـْغَـ٣ ٠َّظَك ِْ ِـث خَُّ٘ح ِٖ َػ ٍعَلًَـػ ْٖ ـَػ ُْ ََِـوـُْ ح َِغكُس

 دٝٝحد ٞرأ ٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (  َُشز ٌْ ـَ٣ ٠َّظـّك ِّ٠ِزـ َّظُح ِٖ ـَػ َٝ   َأَشـْزـَ٣ ٠َّظَك

ًْخلُحٝ ٚؿخٓ ٖرا ٝ ٠ثخغُ٘حٝ  )184 

 

Artinya : Diangkat  (pembebanan hukum) dari tiga (jenis orang): 

orang tidur sampai ia bangun, orang yang sedang dicoba 

(gila) sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia 

dewasa.(HR Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah dan 

Hakim)   

                                                           

Dengan kata lain, mu kallaf  yaitu  orang yang dianggap 

mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan 

perintah Allah swt. maupun dengan larangan Allah swt. Seluruh 

tindakan hukum yang dilakukan mukallaf    akan dimintai 

pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jelasnya, 

pengertian dari mahkum ‘alaih  secara istilah yaitu  orang yang 

dianggap telah mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan 

beban hukum (taklif ), baik yang berhubungan dengan perintah Allah 

maupun larangan-Nya.  

  

2.  Pe mbebanan Hukum ( Taklif )  

Dalam Islam, orang yang terkena taklif  yaitu  mereka yang 

dianggap sudah  

mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul 

fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang 

mukallaf yaitu  akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang 

bisa dibebani hukum bila  ia berakal dan dapat memahami secara 

baik taklif yang ditujukan kepadanya. Yang termasuk ke dalam 

golongan ini yaitu  orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan 

lupa karena dalam keadaan yang tidak sadar. Sebagaimana dalam 

sabda Rasulullah saw : 

 

 ٠ََِـظـْز ُٔ ُْ ح ِٖ َػ َٝ  َعِـوـ٤َْـظـْغَـ٣ ٠َّظَك ِْ ِـث خَُّ٘ح ِٖ َػ ٍعَلًَـػ ْٖ ـَػ ُْ ََِـوـُْ ح َِغكُس

 دٝٝحد ٞرأ ٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (  َُشز ٌْ ـَ٣ ٠َّظـّك ِّ٠ِزـ َّظُح ِٖ ـَػ َٝ   َأَشـْزـَ٣ ٠َّظَك

ًْخلُحٝ ٚؿخٓ ٖرا ٝ ٠ثخغُ٘حٝ  )184 

 

Artinya : Diangkat  (pembebanan hukum) dari tiga (jenis orang): 

orang tidur sampai ia bangun, orang yang sedang dicoba 

(gila) sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia 

dewasa.(HR Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah dan 

Hakim)   

                                                           

Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan 

bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan 

tindakan hukum.  

 

3.  Syarat - syarat Taklif  

Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa seorang mukallaf bisa 

dikenai taklif bila  telah memnuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 

a. Orang itu telah mampu memahami dalil taklif (tuntutan syara’) 

yang terkandung dalam Alquran dan sunnah, baik secara 

langsung maupun tidak langsung atau melalui orang lain.  

Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali 

melalui memakai   akal manusia, karena hanya dengan 

akallah orang akan mampu mengetahui taklif itu harus 

dilaksanakan atau ditinggalkan. Karena akal bersifat abstrak, 

dalam pengertian tidak dapat diukur, maka yang dijadikan tolok 

ukur sebagai dasar konkret dalam menentukan seseorang 

berakal atau tidak yaitu  kedewasaan seseorang. Indikasi 

seseorang telah baligh yaitu  dengan keluarnya haid pertama 

bagi perempuan dan keluarnya air mani bagi laki-laki. 

b. Seseorang harus mampu menerima pembebanan hukum 

(ahliyah). Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang 

belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa 

dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belum baligh, 

tidak dikenakan hukum syara’. Begitu pula dengan orang gila, 

karena kecakapannya untuk bertindak hukumnya hilang.    

4. Kec akapan Hukum (Al - Ahliyyah) Dan Macam -  Macamnya . 

 

Ahliyah  secara etimologi yaitu  suatu kecakapan atau keahlian 

dalam menangani suatu urusan. Sedangkan secara terminologi 

ahliyah yaitu  suatu sifat seseorang yang dianggap telah sempurna 

baik jasmani maupun akalnya.  

Sehingga ia dapat melakukan tindakan seperti transasksi, 

hibah, ataupun kegiatan yang laindan dianggap sah.  

Dalam subjek hukum dijelaskan bahwa di antara subjek hukum 

yaitu  kecakapan untuk memikul hukum yaitu kemampuan 

menerima atau dibebani hukum dan kemampuan untuk 

melaksanakan  hukum. Kecakapan ini berlaku untuk manusia yaitu 

dimulai sejak dari janin dalam perut ibunya kemudian lahir dan 

tumbuh menjadi dewasa lalu berakhir dengan kematian. 

Seseorang baru dapat dibebani hukum bila  ia berakal dan 

dapat memahami secara baik taklif  yang di tujukan kepadanya. Maka 

orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami 

taklif  dari Syar’i (Allah dan Rasul -Nya), termasuk juga orang dalam 

keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar 

(hilang akal). Tidak heran kalau sebagian ulama ushul fiqh 

berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang 

mukallaf yaitu  akal dan pemahaman. Sesuatu yang timbul dari 

dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, menyebabkan keadaan 

tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum. 

Dalam hukum Islam kecakapan hukum merupakan unsur 

jarimah khusus yang sangat penting diperhatikan di samping unsur 

ada nash (ketentuan) dan perbuatan itu benar-benar dilakukan, 

selain yang paling penting bahwa orang yang melakukannya yaitu  

orang dewasa dan berakal ( mukallaf ). Dalam status personal 

seseorang, kecakapan hukum menjadi prasyarat penting karena 

berkaitan dengan kemampuannya menjadi seseorang yang cakap 

hukum. Kecakapan hukum yaitu  sampainya seseorang pa da usia 

tertentu, maka seorang anak dibawah usia dewasa tidak berhak atau 

tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui bahwa yang 

bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang 

berakal sehat, dewasa dan atas kemauan sendiri. Kalau tidak 

demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, karena 

orang yang tidak berakal pikiran sehat bukanlah orang yang 

mengetahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan.  

                                                           

Sehingga ia dapat melakukan tindakan seperti transasksi, 

hibah, ataupun kegiatan yang laindan dianggap sah.186  

Dalam subjek hukum dijelaskan bahwa di antara subjek hukum 

yaitu  kecakapan untuk memikul hukum yaitu kemampuan 

menerima atau dibebani hukum dan kemampuan untuk 

melaksanakan  hukum. Kecakapan ini berlaku untuk manusia yaitu 

dimulai sejak dari janin dalam perut ibunya kemudian lahir dan 

tumbuh menjadi dewasa lalu berakhir dengan kematian. 

Seseorang baru dapat dibebani hukum bila  ia berakal dan 

dapat memahami secara baik taklif  yang di tujukan kepadanya. Maka 

orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami 

taklif  dari Syar’i (Allah dan Rasul -Nya), termasuk juga orang dalam 

keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar 

(hilang akal). Tidak heran kalau sebagian ulama ushul fiqh 

berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang 

mukallaf yaitu  akal dan pemahaman. Sesuatu yang timbul dari 

dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, menyebabkan keadaan 

tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum. 

Dalam hukum Islam kecakapan hukum merupakan unsur 

jarimah khusus yang sangat penting diperhatikan di samping unsur 

ada nash (ketentuan) dan perbuatan itu benar-benar dilakukan, 

selain yang paling penting bahwa orang yang melakukannya yaitu  

orang dewasa dan berakal ( mukallaf ). Dalam status personal 

seseorang, kecakapan hukum menjadi prasyarat penting karena 

berkaitan dengan kemampuannya menjadi seseorang yang cakap 

hukum. Kecakapan hukum yaitu  sampainya seseorang pa da usia 

tertentu, maka seorang anak dibawah usia dewasa tidak berhak atau 

tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui bahwa yang 

bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang 

berakal sehat, dewasa dan atas kemauan sendiri. Kalau tidak 

demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, karena 

orang yang tidak berakal pikiran sehat bukanlah orang yang 

mengetahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan.  

                                                           

Oleh karena itu, tidak ada pertanggungjawaban bagi anak-

anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang 

kemauannya. 

Kemampuan menerima pembebanan hukum ini dibagi menjadi 

2 (dua) macam, yaitu ahliyyat al- wujub  dan ahliyyat al- ada’ . Kedua 

istilah ini  akan diuraikan sebagai berikut : 

a.  Ahliyah Al - W ujub  (kecakapan hukum) 

Ahliyyah al - wujub , yaitu kecakapan hukum di mana seseorang 

dianggap dapat menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi 

belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Sebagai contoh, 

seorang anak berusia 3 tahun sudah dianggap memiliki  hak 

menerima hibah tetapi belum cakap untuk mengelolanya. Jika ada 

yang merusak hibbah ini  maka si anak berhak mendapat ganti 

rugi. 

Menurut ulama ushul fiqh ukuran yang dipakai  dalam 

menentukan ahliyah al- wujub  yaitu  sifat kemanusiaannya, yang 

tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan ataupun yang lain. Sifat 

itu ada sejak lahir dan akan hilang ketika ia meninggal dunia. 

Seorang bayi berhak mendapat wasiat/warisan tetapi 

membutuhkan wali yang telah diwasiatkan untuk mengelola warisan 

itu. Seorang anak kecil juga belum mampu dibebani kewajiban 

syarak seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Akan tetapi jika ia 

mengerjakannya dianggap suatu pendidikan bukan kewajiban.  

Macam -Macam Ahliyah al - Wujub  

1)  Ahliyah al - Wujub al - Naqishah ; y aitu anak yang masih 

berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah 

dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum 

sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat 

menjadi miliknya, sebelum ia lahir. Para ulama sepakat, 

ada 4 hak bagi janin:  

a) Hak keturunan dari ayahn ya 

b) Hak warisan dari pewarisnya yang wafat  

c) Hak wasiat 

d) Harta waqaf yang ditujukan kepadanya  

2)  Ahliyah al - Wujub al - Kamila h; y aitu kecakapan menerima 

hak bagi seorang anak yang lahir ke dunia sampai baligh    

dan berakal. Seorang yang memiliki ahliyah wujub  tidak 

dibebani tuntutan syarak, baik yang bersifat ibadah 

mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, 

seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. 

Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang 

merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib 

memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak 

memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, 

tetapi bila  tindakannya berkaitan dengan perusakan 

fisik (melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah 

wujub kamilah ini , tidak bisa dipertanggungjawabka 

secara hukum syarak (misal ia dihukum qishas), karena ia 

tidak dianggap cakap hukum. 

Menurut ulama ushul, ukuran yang dipakai  dalam 

menentukan ahliyatul wujub  yaitu  sifat kemanusiaannya 

yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. 

Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir. 

berdasar  ahliyatul wujub , maka anak baru lahir 

berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika ahli 

warisnya meninggal dunia, tetapi harta seorang anak 

belum baligh tidak boleh dikelola sendiri olehnya, 

melainkan oleh walinya.

 

b.  Ahliyah Al - Ada’  (kecakapan bertindak) 

Ahliyyah al - ada’  yaitu  kepantasan seseorang untuk 

dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, baik yang 

bersifat positif mupun negatif.188  bila  ia mengadakan suatu 

perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya itu yaitu  sah dan 

dapat menimbulkan akibat hokum. bila  ia melakukan perbuatan-

perbuatan seperi shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang 

lainnya, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan dia telah 

menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.  

                                                           

dan berakal. Seorang yang memiliki ahliyah wujub  tidak 

dibebani tuntutan syarak, baik yang bersifat ibadah 

mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, 

seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. 

Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang 

merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib 

memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak 

memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, 

tetapi bila  tindakannya berkaitan dengan perusakan 

fisik (melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah 

wujub kamilah ini , tidak bisa dipertanggungjawabka 

secara hukum syarak (misal ia dihukum qishas), karena ia 

tidak dianggap cakap hukum. 

Menurut ulama ushul, ukuran yang dipakai  dalam 

menentukan ahliyatul wujub  yaitu  sifat kemanusiaannya 

yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. 

Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir. 

berdasar  ahliyatul wujub , maka anak baru lahir 

berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika ahli 

warisnya meninggal dunia, tetapi harta seorang anak 

belum baligh tidak boleh dikelola sendiri olehnya, 

melainkan oleh walinya.

 

b.  Ahliyah Al - Ada’  (kecakapan bertindak) 

Ahliyyah al - ada’  yaitu  kepantasan seseorang untuk 

dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, baik yang 

bersifat positif mupun negatif.188  bila  ia mengadakan suatu 

perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya itu yaitu  sah dan 

dapat menimbulkan akibat hokum. bila  ia melakukan perbuatan-

perbuatan seperi shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang 

lainnya, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan dia telah 

menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.  

                                                           

Demikian jug bila  ia melakukan tindak pidana terhadap 

nyawa atau harta benda milik orang lain, maka ia dapat dikenai 

pidanabadan atau ganti rugi. 

Para ulama fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran 

dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyahal-  ada’  yaitu  

berakal, baligh dan cerdas. Orang yang dikatakan “cukup umur” 

bila  telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan 

haid untuk wanita. Orang seperti ini telah dianggap cakap untuk 

melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan 

syarak dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia 

laksanaakan secara benar. 

Kecakapan untuk berbuat hukum atau ahliyah al- ada’  tidak 

berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -

syarat tertentu, dalam hal ini yaitu  baligh dan berakal. Bila 

seseorang sudah mencapai usia dewasa yang menurut biasanya 

diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan cakap untuk 

melaksanakan hukum atau “mukallaf”.  

Menurut Muhammad Abu Zahrah Ahliyyat ul ada’  ini terbagi 

menjadi dua macam, yaitu ahliyyatul ada’ kamilah  (sempurna) dan 

Ahliyyatul ada’ naqishah  (kurang sempurna).  Ahliyyatul ada’ kamilah  

(sempurna) akan terwujud ketika nalar seseorang telah sempurna 

yang ditandai dengan kedewasaan dalam konteks hokum syarak dan 

kedewasaan dan kecerdasan dalam konteks transaksi-transaksi 

kebendaan. Sedangkan ahliyyatul ada’ naqishah  (kurang sempurna) 

yaitu  ada  pada anak-anak yang sudah mumayyiz  dan 

sejenisnya. Ahliyyatul ada’ naqishah  (kurang sempurna) ini hanya 

berlaku pada bidang transaksi-transaksi kebendaan saja, sedangkan 

dalam bidang pembebanan hukum syarak, seperti shalat, puasa, haji 

dan lain sebgainya, anak mumayyiz  ini status hukumnya sama 

dengan yang bukan mumayyiz .  

 

5.  Taklif Terhadap O rang K afir 

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa syarat bagi subjek hukum 

yaitu  baligh dan berakal.  

                                                          

Selanjutnya, Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan 

hukum. Dengan kata lain, apakah non-muslim dengan kekafirannya 

dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini 

ada  perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan 

ini  sebenarnya besumber pada perbedaan pendapat dalam hal 

hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya syarat syar’i .  

a. Pertama , ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan 

antar persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i yaitu  

Imam al-Syafi’i dari kalangan Mu’tazilah. Mereka berpendapat 

bahwa orang kafir dikenai beban hukum untuk melakukan juzu’  

syari’at seperti shalat, puasa, dan haji. Kelompok ini 

mengungkapkan alasan-alasan sebagai berikut: 

1) Ayat-ayat Al-qura’an yang memerintahkan untuk melakukan 

ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir. 

Orang-orang kafir tidak terhalang masuk dalam jangkauan 

tuntutan Allah swt. 

2) Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif  dengan hal-hal 

yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang 

kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam 

orang kafir karena meninggalkan ibadah itu cukup banyak. 

Umpamanya firman Allah dalam QS Al-Mudatstsir : 42.  

 

 َٖ ـ٤َِِّْظـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ  ُيَـٗ ْْ َُ ح ْٞ ُـَُخه .  ٍشَـوـَع ٠ِك ْْ ٌُ ـ ٌَ َـِـَع خ َٓ 

 

Artinya : Apakah yang memasukkan kamu  ke dalam neraka 

saqar? Mereka  menjawab: kami dahulu tidak 

termasuk orang-orang yang  mengerjakan shalat .  

 

3) Orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan 

dengan sanksi sebagaimana berlaku pada orang mukmin. Hal 

ini disepakati oleh para ulama. Bila dalam larangan mereka 

dikenai taklif untuk meninggalkan, maka terhadap 

Selanjutnya, Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan 

hukum. Dengan kata lain, apakah non-muslim dengan kekafirannya 

dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini 

ada  perbedaan pendapat di kalangan ulama.190 Perbedaan 

ini  sebenarnya besumber pada perbedaan pendapat dalam hal 

hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya syarat syar’i .  

a. Pertama , ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan 

antar persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i yaitu  

Imam al-Syafi’i dari kalangan Mu’tazilah. Mereka berpendapat 

bahwa orang kafir dikenai beban hukum untuk melakukan juzu’  

syari’at seperti shalat, puasa, dan haji. Kelompok ini 

mengungkapkan alasan-alasan sebagai berikut: 

1) Ayat-ayat Al-qura’an yang memerintahkan untuk melakukan 

ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir. 

Orang-orang kafir tidak terhalang masuk dalam jangkauan 

tuntutan Allah swt. 

2) Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif  dengan hal-hal 

yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang 

kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam 

orang kafir karena meninggalkan ibadah itu cukup banyak. 

Umpamanya firman Allah dalam QS Al-Mudatstsir : 42.  

 

 َٖ ـ٤َِِّْظـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ  ُيَـٗ ْْ َُ ح ْٞ ُـَُخه .  ٍشَـوـَع ٠ِك ْْ ٌُ ـ ٌَ َـِـَع خ َٓ 

 

Artinya : Apakah yang memasukkan kamu  ke dalam neraka 

saqar? Mereka  menjawab: kami dahulu tidak 

termasuk orang-orang yang  mengerjakan shalat .  

 

3) Orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan 

dengan sanksi sebagaimana berlaku pada orang mukmin. Hal 

ini disepakati oleh para ulama. Bila dalam larangan mereka 

dikenai taklif untuk meninggalkan, maka terhadap 

suruhanpun  tentu bagitu pula. Hal ini di -qiyas -kan kepada 

larangan karena sama-sama tuntutan untuk kemaslahatan.  

 

b. Kedua , pendapat dari sebagain ulama Hanafiyah, Abu Ishak al 

Asfahani, sebagian kelompok Syafi’iyah dan sebagian ulama 

Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak 

dibebani taklif untuk melaksanakan ibadah, karena bagi 

kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya 

syarat syar’i, sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat itu. 

Kelompok ini mengemukakan argumen sebagai berikut:  

1) Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’  

syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata 

tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadah 

mereka.  

2) Seandainyaorang kafir diberi beban hukum, tentu kewajiban 

mereka meng-qadha  apa yang ia tinggalkan saat kafir, karena 

bila ia masuk Islam maka segala kekurangan pada waktu yang 

lalu dihapuskan.  

c. Ketiga , kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir 

dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai 

taklif  untuk melaksanakan perintah, karena untuk melakukan 

perbuatan yang diperintahkan diperlukan niat, sedangkan untuk 

meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-

apa dan untuk berbuat, tidak diperlukan niat. 

Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa di 

antara syarat subjek hukum yaitu  kecakapan untuk memikul 

tuntutan atau beban yaitu kecakapan menerima hukum (ahliyah al-

wujub ) dan kecakapan  bertindak melaksanakan hukum (ahliyah al-

ada’ ). Kecakapan menerima hukum berl aku untuk setiap orang 

dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berarti bahwa setiap 

manusia yaitu  cakap menerima hukum. Oleh karena itu tidak satu 

pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk menerima 

hukum. Sedangkan kecakapan bertindak, tidak berlaku untuk semua 

orang. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -syarat tertentu, dalam hal 

ini yaitu  baligh dan berakal.191 bila  seseorang sudah mencapai 

umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan 

akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum ( mukallaf ). 

Dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia yang telah 

memenuhi syarat untuk menerima beban taklif , kadang-kadang 

ada  pada dirinya sesuatu yang menyebabkan dalam keadaan 

tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh 

sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya.  

                                                           

Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa di 

antara syarat subjek hukum yaitu  kecakapan untuk memikul 

tuntutan atau beban yaitu kecakapan menerima hukum (ahliyah al-

wujub ) dan kecakapan  bertindak melaksanakan hukum (ahliyah al-

ada’ ). Kecakapan menerima hukum berl aku untuk setiap orang 

dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berarti bahwa setiap 

manusia yaitu  cakap menerima hukum. Oleh karena itu tidak satu 

pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk menerima 

hukum. Sedangkan kecakapan bertindak, tidak berlaku untuk semua 

orang. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -syarat tertentu, dalam hal 

ini yaitu  baligh dan berakal.191 bila  seseorang sudah mencapai 

umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan 

akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum ( mukallaf ). 

Dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia yang telah 

memenuhi syarat untuk menerima beban taklif , kadang-kadang 

ada  pada dirinya sesuatu yang menyebabkan dalam keadaan 

tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh 

sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya.  

                                                           

Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapannya untuk 

berbuat itu disebut ‘awaridh al - ahliyah (faktor-faktor yang 

mempengaruhi kecakapan hukum). Halangan taklif  itu dapat 

dikelompokkan pada 2 (dua) macam, yaitu :  

Pertama;  halangan eksternal, yaitu halangan yang timbul dari luar 

dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai kebebasan dan 

kemampuan untuk menolaknya. Halangan ini disebut 

halangan ‘awaridh samawi yah, yaitu halangan-halangan 

yang berasal dari luar dirinya. 

Kedua;  halangan internal, yaitu halangan yang timbul dari dalam 

dirinya sendiri atau tersebab kehendak atau kemauan diri 

sendiri. Halangan ini disebut ‘awaridh muktasabah .192  

 

1. Halangan Eksternal  

Berkenaan dengan h alangan-halangan hukum yang bersifat 

eksternal, berikut akan dijelaskan  8 ( delapan) jenis halangan-

halangan hukum ini . 

a. Gila .Gila dapat menggugurkan seluruh pembebanan hukum yang 

bersifat badaniyah, seperti salata, haji, puasa dan lain 

sebagainya. Dalam pada itu, dikenakan atas orang gila sesuatu 

bayaran, bila dia merusakkan harta orang (yakni diambil dari 

hartanya), sama dengan anak kecil yang merusakkan harta 

orang.193  Dan gila itu ada yang permanen, dalam artian terus 

menerus, dan ada pula yang sifatnya sementara. Oleh karena 

sifat terus menerusnya tidak diberi batas yang umum, maka 

berbeda-beda ia menurut corak ibadah. Orang gila terlepas dari 

tuntutan –  tuntutan mengerjakan shalat yang tertinggal dalam 

masa gilanya lewat setahun.  

 

b. Setengah gila ( m at`uh ). Orang setengah gila status hukumnya 

sama dengan anak sudah mumayyiz . Orang mat`uh  itu orang 

yang kurang sekali pemahamannya, tidak teratur perkataannya, 

rusak daya ingatnya, hanya saja dia tidak merusak dan tidak 

                                                           

marah-marah sebagai yang dilakukan oleh orang yang gila. 

Dengan kata lain,  yang dikatakan setengah gila ialah orang  yang 

kadang-kadang normal pikirannya serupa dengan orang yang 

berakal dan kadang-kadang tidak normal.  

 

c. Lupa . Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan  melaksanakan 

kewajiban. Adapun dari hak Allah, maka tidak berdosa orang 

yang melalaikan kewajibannya karena kelupaan, dan demikian 

juga pekerjaan yang dilakukan karena kelupaan itu memiliki 

akibat hukum. Mereka yang lupa itu tidak berdosa, karena sifat 

lupa yaitu  suatu uzur yang dibenarkan oleh sya rak.195   

Rasulullah saw. bersabda: 

 

 )٠ٗحشـزطُح ٙحٝس( ِٚ ـ٤َْـَِػ ح ْٞ ُـِٛش ٌْ ُـظـْعح خـ َٓ  َٝ  ِٕ َخ٤ْغ ّـِ٘ـُح َٝ  ِؤَطـَخُْ ح ِٖ ـَػ َغِـكُس196 

 

Artinya : Telah diangkat (dosa ) dari kesilapan, lupa dan orang 

yang dipaksa. ( HR. Al-Thabrani ) . 

 

Maksud hadis ini  ialah bahwa  umat Islam  tidak 

dipersalahkan karena kekhilafan dan kelupaannya. Syarat-syarat 

yang menimbulkan adanya hukum karena lupa ada dua, yaitu: 

Pertama;  jika lupa akan satu pekerjaan yang padanya keadaan-

keadaan yang mengingatkan seperti lupa makan dalam 

shalat padahal shalat itu sudah cukup mengingatkan kita 

bahwa kita tidak boleh makan atau berkata-kata dalam 

shalat timbul adanya hukum, yakni merusakkan shalat. 

Kedua;   jika dilakukan sesuatu kelupaan pada pekerjaan-pekerjaan 

yang tidak membangunkan ingatan, seperti orang puasa. 

Ka rena pekerjaan puasa itu tiada cukup membangunkan  

ingatan orang yang berpuasa, serta tabiatnya pun ingin 

akan makanan itu. maka kelupaan makan dalam berpuasa 

tidak membatalkan puasanya.

marah-marah sebagai yang dilakukan oleh orang yang gila. 

Dengan kata lain,  yang dikatakan setengah gila ialah orang  yang 

kadang-kadang normal pikirannya serupa dengan orang yang 

berakal dan kadang-kadang tidak normal.

c. Lupa . Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan  melaksanakan 

kewajiban. Adapun dari hak Allah, maka tidak berdosa orang 

yang melalaikan kewajibannya karena kelupaan, dan demikian 

juga pekerjaan yang dilakukan karena kelupaan itu memiliki 

akibat hukum. Mereka yang lupa itu tidak berdosa, karena sifat 

lupa yaitu  suatu uzur yang dibenarkan oleh sya rak.195   

Rasulullah saw. bersabda: 

 

 )٠ٗحشـزطُح ٙحٝس( ِٚ ـ٤َْـَِػ ح ْٞ ُـِٛش ٌْ ُـظـْعح خـ َٓ  َٝ  ِٕ َخ٤ْغ ّـِ٘ـُح َٝ  ِؤَطـَخُْ ح ِٖ ـَػ َغِـكُس196 

 

Artinya : Telah diangkat (dosa ) dari kesilapan, lupa dan orang 

yang dipaksa. ( HR. Al-Thabrani ) . 

 

Maksud hadis ini  ialah bahwa  umat Islam  tidak 

dipersalahkan karena kekhilafan dan kelupaannya. Syarat-syarat 

yang menimbulkan adanya hukum karena lupa ada dua, yaitu: 

Pertama;  jika lupa akan satu pekerjaan yang padanya keadaan-

keadaan yang mengingatkan seperti lupa makan dalam 

shalat padahal shalat itu sudah cukup mengingatkan kita 

bahwa kita tidak boleh makan atau berkata-kata dalam 

shalat timbul adanya hukum, yakni merusakkan shalat. 

Kedua;   jika dilakukan sesuatu kelupaan pada pekerjaan-pekerjaan 

yang tidak membangunkan ingatan, seperti orang puasa. 

Ka rena pekerjaan puasa itu tiada cukup membangunkan  

ingatan orang yang berpuasa, serta tabiatnya pun ingin 

akan makanan itu. maka kelupaan makan dalam berpuasa 

tidak membatalkan puasanya.

d. Tidur. 

Tidur suatu hal yang menghalangi kita mengetahui khitab. Oleh 

karena itu maka tidur mewajibkan pentakhiran khitab 

menunaikan hukum sehingga bangun. Akan tetapi tidur  tidak 

bertentangan dengan pokok kewajiban, karena kewajiban itu 

tetap dalam tangung jawabnya. Oleh karena itu, perintah shalat 

tidak dapat diperintahkan dalam tidur, untuk mengerjakannya 

sesudah tidur dengan perintah baru, seperti disuruh kita 

melakukan shalat yang kita tinggalkan karena tidur, dilakukan 

setelah terbangun dari tidur dan yang kita tinggalkan karena 

terlupa, kita lakukan sudah teringat.  

Sabda R asulullah saw. : 

 

 َخَٛشـ ًَ َر حَِرا َخٜ ّـَِِظُـ٤ـِْ َـك َخَٜـ٤ـِغَـٗ ْٝ َأ ٍسَلًـَط ْٖ َػ َّ َخٗ ْٖ ـ َٓ 

 

Artinya : Barang siapa tidur lalu meninggalkan shalat, 

melupakannya, maka hendaklah ia mengerjakan shalat 

sesudah ia ingat. (HR. Bukhari  dan Muslim)  

 

Demikian pula halnya tidur dapat membatalkan segala ibadah. 

Menurut  sebagian ahli ushul, bahwa mengenai muamalah maka tidak 

dianggap sah segala tindakan yang dilakukannya  sewaktu tidur. 

Akan tetapi, mengenai ibadah apa yang wajib dalam keadaan tidur 

tetap menjadi wajib, tidak gugur, hanya saja kewajiban 

menunaikannya yang di tunda setelah ia bangun, sebagaimana telah 

disebutkan pada hadis Nabi di atas. Hadis ini  memberikan 

pengertian bahwa wajib shalat tidak gugur, hanya menunaikannya 

yang diakhirkan setelah ia terjaga atau teringat.  

 

e. Pingsan .  

Pingsan dapat menghalangi seseorang untuk dapat mengetahui 

khitab atau perintah syarak, dan bahkan pingsan lebih 

berpengaruh dari pada tidur. Karena itu orang yang pingsan, 

                                                           

kepadanya diberikan hukum seperti orang tidur, bahkan lebih 

dari padanya. Oleh karena itulah dihukum batal shalat, orang 

yang pingsan di segenap keadaan karena statusnya orang 

pingsan tidak memiliki ahliyat al- ada’ dan ahliyat al- wujub . 

Mengenai kewajiban mengqadha atas kewajiban yang 

ditinggalkannya, bila  pingsannya sebenata, maka wajibn 

qadha, sedangkan jika pengsannya lama maka status hukumnya 

sama dengan orang gila atau anak-anak, tidak wajib qadha 

atasnya. 

 

f. Sakit. 

Kondisi sakit tidak menggugurkan kesanggupan seseorang untuk 

mengerjakan ibadah, karena sakit itu tidak merusakkan akal dan 

ucapan. Sebaliknya sakit itu hanya membuat kondisi fisiknya 

lemah, sehingga disuruhlah orang yang sakit untuk mengerjakan 

ibadah seberapa ia sanggup. bila  tidak dapat berdiri, 

dibolehkan duduk, dan jika tidak mampu duduk, dibolehkan 

berbaring. bila  berat untuk berpuasa, boleh berbuka dan 

nanti sesudah sembuh, barulah ia diwajibkan mengqadha 

sebanyak hari yang ia ditinggalkan.  

Hanya karena sakit salah satu sebab mati, dan mati itu 

merupakan salah satu sebab kepindahan harta kepada ahli waris, 

menjadilah sakit itu sebab bagi bergantungnya hak orang yang 

memberi utang dan ahli waris kepada harta si sakit itu. L antaran 

inilah orang yang berpiutang menahan segala harta si sakit itu, 

yakni jika utang itu menghabiskan harta dan boleh si waris 

menghambat wasiat-wasiat yang lebih dari sepertiga harta.200  

 

g. Haid dan Nifas 

Haid dan nifas tidak mengugurkan seseorang untuk 

melaksanakan kewajiban dan menunaikannya. Hanya saja, 

lantaran syarak telah mensyaratkan suci dari haid dan nifas 

untuk sah mengerjakan shalat, maka tidaklah sah shalat yang 

dikerjakan, selama dalam keadaan haid dan bernifas. Selanjutnya, 

                                                          

kepadanya diberikan hukum seperti orang tidur, bahkan lebih 

dari padanya. Oleh karena itulah dihukum batal shalat, orang 

yang pingsan di segenap keadaan karena statusnya orang 

pingsan tidak memiliki ahliyat al- ada’ dan ahliyat al- wujub . 

Mengenai kewajiban mengqadha atas kewajiban yang 

ditinggalkannya, bila  pingsannya sebenata, maka wajibn 

qadha, sedangkan jika pengsannya lama maka status hukumnya 

sama dengan orang gila atau anak-anak, tidak wajib qadha 

atasnya.

f. Sakit. 

Kondisi sakit tidak menggugurkan kesanggupan seseorang untuk 

mengerjakan ibadah, karena sakit itu tidak merusakkan akal dan 

ucapan. Sebaliknya sakit itu hanya membuat kondisi fisiknya 

lemah, sehingga disuruhlah orang yang sakit untuk mengerjakan 

ibadah seberapa ia sanggup. bila  tidak dapat berdiri, 

dibolehkan duduk, dan jika tidak mampu duduk, dibolehkan 

berbaring. bila  berat untuk berpuasa, boleh berbuka dan 

nanti sesudah sembuh, barulah ia diwajibkan mengqadha 

sebanyak hari yang ia ditinggalkan.  

Hanya karena sakit salah satu sebab mati, dan mati itu 

merupakan salah satu sebab kepindahan harta kepada ahli waris, 

menjadilah sakit itu sebab bagi bergantungnya hak orang yang 

memberi utang dan ahli waris kepada harta si sakit itu. L antaran 

inilah orang yang berpiutang menahan segala harta si sakit itu, 

yakni jika utang itu menghabiskan harta dan boleh si waris 

menghambat wasiat-wasiat yang lebih dari sepertiga harta.200  

 

g. Haid dan Nifas 

Haid dan nifas tidak mengugurkan seseorang untuk 

melaksanakan kewajiban dan menunaikannya. Hanya saja, 

lantaran syarak telah mensyaratkan suci dari haid dan nifas 

untuk sah mengerjakan shalat, maka tidaklah sah shalat yang 

dikerjakan, selama dalam keadaan haid dan bernifas. Selanjutnya, 

                                                           

bagi wanita yang sedang haid dan atau nifas, digugurkan 

kewajiban mengqadha shalat sedang puasa yang ditinggalkan 

wajib untuk diqadha. Hal yang demikian yaitu  karena bila  

diwajibkan mengqadha shalat, akibatnya akan menimbulkan 

kesupaya n dan kepicikan bagi orang perempuan. Mengenai tetap 

diwajibkan qadha puasa, yaitu   mengingat bahwa puasa itu 

hanya setahun sekali, sehingga banyak waktu dan kesempatan 

bagi wanita untuk mengerjakannya. Lantaran dicegah 

menunaikan puasa dalam masa ini , hilanglah kewajiban 

selama waktu itu. Dan diwajibkan qadha puasa yaitu  karena 

wanita tetap mendapati sebab wajib berpuasa, yaitu melihat awal 

bulan ramadhan.

h. Mati . 

Mati menggugurkan segala hukum yang dibebankan kepada 

manusia sewaktu di dunia, seperti zakat, haji dan lain -lain, dan 

terbebankan atas pundaknya dosa kelalaian dan kesalahannya. 

Dalam pada itu hukum-hukum yang dibebankan atasnya dan 

terkait hak oranng lain tetap berlaku, dalam pngertian tidak di 

gugurkan.  Sebagai contoh, jika seseorang memegang amanah 

orang, atau pinjaman orang yang masih dalam tangannya, atau 

barang yang dighasab, maka semuanya wajib dikembalikan 

kepada pemiliknya. Akan halnya utang, maka tidak lagi melekat 

pada tanggungjawabnya, karena sesudah mati tidak ada 

pertanggung jawaban lagi. Hanya jika ia meninggalkan harta, 

atau ada yang menanggungnya untuk membayarnya sebelum 

mati (pertanggungjawaban itu telah dilakukan saat sebelu 

matinya), maka wajiblah utang itu ditunaikan dari hartanya, atau 

oleh pihak menanggungnya ini . 

 

Menurut A bu H anifah, tidak boleh kita menanggung 

membayar hutang si mayit, jika pertanggungjawaban itu dilakukan 

sesudah mati. Sedangkan menurut Muh ammad Ibnu al-Hasan dan 

                                                           

Abu Yusuf,  boleh kita menanggung utang si mayit sesudah matinya, 

karena si mayit itu tidak bisa terlepas dari tanggungjawab membayar 

hutang disebabkan kematianya. Oleh karena itu, bila nyata-nyata si 

mayit meninggalknan harta, boleh kita menuntut hutang si mayit 

ini  untuk dibayarkan, demikian pula bila  ada seseorang 

yang ingin membayar utang si mayit, halallah bagi kita 

mengambilnya dan menuntutnya. 203  

 

 َٝ  َصخـ َٓ  ٍَ ُؿَس ٠ََِػ ٠ِِّـَظُـ٣ َلَ َْ ّـَِـَع َٝ  ِٚ ٤َِْـَػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس َٕ خ ًَ

 ,  ِٕ حَسخَـ٘ـ٣ِْد ,  ْْ ـَؼَـٗ : ح ْٞ ُـَُخه ؟ ٌٖ ٣َْد ِٚ ٤َْـِـََػأ    : ٍَ َخوَـك ٍض ّـِ٤ـ َٔ ِر  ٠َُِطَؤك ٌٖ ٣َْد ِٚ ٤َْـِـَػ

 َك .  ْْ ٌُ ِـزـِكخـَط ٠ََِػ ح ْٞ ّـُِـَط : ٍَ َخه َّ٠َِـَػ خ َٔ ُـٛ : ِٟسخَظـْٗ ََْلْح َسَدَخظَـه ْٞ ُـَرأ ٍَ خَـوـ

   ِﷲ ٍَ ْٞ ـُعَس َخ٣ 

 

Artinya : yaitu  R asulullah saw. Tidak mengerjakan shalat untuk 

jenazah yang masih memiliki beban berutang. Pada suatu 

hari orang membawa kepada Nabi satu jenazah untuk 

dishalatkan. M aka beliau bertanya: Apakah orang ini 

memiliki hutang yang belum dibayarkan?  Para shahabat 

menjawab : Ada, sebanyak dua dinar. M endengar itu nabi 

pun bersabda: “ Shalatkanlah dia” . K etika itu, Abu Qatadah 

berkata: U tang nya saya tanggung, ya R asulullah.  

 

Dalam kisahnya, sesudah Nabi mendengar pengakuan Qatadah 

itu, barulah beliau mengerjakan shalat atas jenazah ini . Jika 

pekerjaan itu di syariatkan atasnya untuk mewujudkan hubungannya 

dengan orang lain, seperti nafkah anak istrinya, zakat d an fitrah, 

maka semuanya itu gugur dengan kematiannya, terkecuali jika ia 

mewajibkan kita memenuhi akan hal ini , maka hendaklah 

diambil dari sepertiga hartanya.

Abu Yusuf,  boleh kita menanggung utang si mayit sesudah matinya, 

karena si mayit itu tidak bisa terlepas dari tanggungjawab membayar 

hutang disebabkan kematianya. Oleh karena itu, bila nyata-nyata si 

mayit meninggalknan harta, boleh kita menuntut hutang si mayit 

ini  untuk dibayarkan, demikian pula bila  ada seseorang 

yang ingin membayar utang si mayit, halallah bagi kita 

mengambilnya dan menuntutnya.   

 

 َٝ  َصخـ َٓ  ٍَ ُؿَس ٠ََِػ ٠ِِّـَظُـ٣ َلَ َْ ّـَِـَع َٝ  ِٚ ٤َِْـَػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس َٕ خ ًَ

 ,  ِٕ حَسخَـ٘ـ٣ِْد ,  ْْ ـَؼَـٗ : ح ْٞ ُـَُخه ؟ ٌٖ ٣َْد ِٚ ٤َْـِـََػأ    : ٍَ َخوَـك ٍض ّـِ٤ـ َٔ ِر  ٠َُِطَؤك ٌٖ ٣َْد ِٚ ٤َْـِـَػ

 َك .  ْْ ٌُ ِـزـِكخـَط ٠ََِػ ح ْٞ ّـُِـَط : ٍَ َخه َّ٠َِـَػ خ َٔ ُـٛ : ِٟسخَظـْٗ ََْلْح َسَدَخظَـه ْٞ ُـَرأ ٍَ خَـوـ

   ِﷲ ٍَ ْٞ ـُعَس َخ٣ 

 

Artinya : yaitu  R asulullah saw. Tidak mengerjakan shalat untuk 

jenazah yang masih memiliki beban berutang. Pada suatu 

hari orang membawa kepada Nabi satu jenazah untuk 

dishalatkan. M aka beliau bertanya: Apakah orang ini 

memiliki hutang yang belum dibayarkan?  Para shahabat 

menjawab : Ada, sebanyak dua dinar. M endengar itu nabi 

pun bersabda: “ Shalatkanlah dia” . K etika itu, Abu Qatadah 

berkata: U tang nya saya tanggung, ya R asulullah.  

 

Dalam kisahnya, sesudah Nabi mendengar pengakuan Qatadah 

itu, barulah beliau mengerjakan shalat atas jenazah ini . Jika 

pekerjaan itu di syariatkan atasnya untuk mewujudkan hubungannya 

dengan orang lain, seperti nafkah anak istrinya, zakat d an fitrah, 

maka semuanya itu gugur dengan kematiannya, terkecuali jika ia 

mewajibkan kita memenuhi akan hal ini , maka hendaklah 

diambil dari sepertiga hartanya.

2.  Halangan Internal.  

Adapun halangan-halangan hukum yang bersifat internal, 

dalam pengertian dapat diusahakan oleh mukallaf  sendiri yaitu  

sebagai berikut: 

a. Mabuk .  

Mabuk yaitu  hilangnya daya akal yang disebabkan oleh khamr 

atau sejenisnya sehingga alur berbicaranya tidak beraturan dan 

mengigau.205  Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, mabuk 

yaitu  tertutupnya akal dikarenakan oleh makanan yang 

memabukkan, baik sifatnya cair atau padat.206  

Mabuk jika penyebabnya tidak bertentangan dengan syariat, 

seperti mabuk karena terpaksa meminum minuman yang 

memabukkan, atau diminumnya untuk obat, maka diserupakan 

hukum orang yang mabuk itu dengan orang yang pingsan. Tidak sah 

pekerjaanya, tidak sah talaknya dan tidak sah ia memerdekakan 

budak. Tetapi jika mabuknya karena kemaksiatan, tidaklah 

mengakibatkan gugurnya suatu kewajiban baginya. Selanjutnya, ia 

dianggap sah bila  ia menetapkan hukum, memerdekakan budak, 

melakukan jual beli, sah atas pengakuannya, mengawinkan anaknya, 

perkawinannya, membayar utang dan berutang, dan lain sebagainya. 

Dianggap demikian, yaitu  karena akalnya dikala mabuk tidak hilang 

daripadanya. Hanya akalnya pada saat itu tidak sanggup memahami 

perintah syarak yang ditujukan kepadanya karena kemaksiatan. Oleh 

sebab itu ia wajib menanggung segala kesalahan yang ia lakukan 

dalam mabuknya dan diwajibkan mengqadha segala shalat yang ia 

tinnggalkan selama mabuk, demikian pula ibadah yang lain. Dalam 

pada itu jika dia mengawinkan anakanya dengan yang tidak sekufu 

maka perkawinan itu tidak disahkan.   

Ringkasnya segenap fuqaha tidak menggugurkan taklif  atau 

pembebanan hukum dari orang yang mabuk dikarenakan maksiat, 

bahkan mabuk itu tidak mengurangi pembebanan hukum. Mabuk itu 

satu kesalahan, maka tidak layak sekali-kali kesalahan itu dijadikan 

sebab keringanan hukum. 

Tidak boleh seseorang mengambil manfaat dan pekerjaan 

maksiatnya. Demikianlah pendapat jumhur ahli fiqh dalam soal ini. 

 Akan tapi perlu kiranya dalam soal ini diadakan ijtihad 

kembali karena walaupun mabuk itu merupakan maksiat, namun 

pengaruh mabuk itu sama saja, sama-sama hilang akal. Banyak di 

antara fuqaha dari berbagai mazhab menetapkan bahwa mabuk itu 

menghilangkan akal. Karena itu tidak sah akad orang yang mabuk, 

tidak sah ucapan dan perbuatannya, walaupun dia disalahkan jika 

membuat jinayah dalam mabuknya itu dan membayar harta-harta 

yang dirusakkan, baik mabuk dari denda yang mubah seperti obat 

atau dari yang haram, seperti khamr, baik mabuk itu dengan 

disengaja atau dipaksa orang”.  

Para fuqaha berpandangan mengenai zat yang memabukkan 

antara lain ialah (Ibnu Qayim), dengan panjang lebar beliau 

membicarakan soal ini, beliau menerangkan bahwa bersumpah, 

mentalak istri dalam keadaan hilang akal lantaran gila, pingsan atau 

minum minuman keras, baik di uzurkan, tidak dipandang sah 

sumpahnya dan talaknnya. 

Menurut keterangan Ibnu Qayim, bahwa di antara ulama 

Ahnaf yang berpendapat demikian yaitu  Abu Ja’far Ath Thahawy, 

Abdul Hasan Al -Karakhy, Abu Jusuf dan Yufar. Di antara ulama 

Syafi`iyah, ialah Al -Muzamy,  Ibnu Syuraih. Dan pendapat ini pula 

yang dipilih Al-Juwainy dalam kitabnya A l-Nihayah. Ibnu Qayim 

berpendapat pula bahwa pendapat yang benar dalam soal ini ialah 

tidak dianggap perkataan pemabuk, baik mengenai shalat, 

memerdekakan budak, jual beli, pemberian hadiah, wafat, Islam, 

riddah  maupun pengakuan berdasar  beberapa dalil QS An-Nisa 

[4] : 42  sebagai berikut : 

 

 َلَ َٝ  َعَْسْلْح ُْ ـِٜ ِـر َّٟٞ َغُـط ْٞ َُ ٍَ ْٞ ـُع َّشُح ح ُٞ ـَظـَػ َٝ  ح ْٝ ُشَـلـ ًَ  َٖ ٣ِْز ّـَُح ُّد َٞ ّـَ٣ ٍزِـجـ َٓ ْٞ َـ٣

ًخؼ٣ِْذـَك َﷲ َٕ ْٞ ـ ُٔ ُـظـ ٌْ َـ٣ 

Tidak boleh seseorang mengambil manfaat dan pekerjaan 

maksiatnya. Demikianlah pendapat jumhur ahli fiqh dalam soal ini. 

 Akan tapi perlu kiranya dalam soal ini diadakan ijtihad 

kembali karena walaupun mabuk itu merupakan maksiat, namun 

pengaruh mabuk itu sama saja, sama-sama hilang akal. Banyak di 

antara fuqaha dari berbagai mazhab menetapkan bahwa mabuk itu 

menghilangkan akal. Karena itu tidak sah akad orang yang mabuk, 

tidak sah ucapan dan perbuatannya, walaupun dia disalahkan jika 

membuat jinayah dalam mabuknya itu dan membayar harta-harta 

yang dirusakkan, baik mabuk dari denda yang mubah seperti obat 

atau dari yang haram, seperti khamr, baik mabuk itu dengan 

disengaja atau dipaksa orang”.  

Para fuqaha berpandangan mengenai zat yang memabukkan 

antara lain ialah (Ibnu Qayim), dengan panjang lebar beliau 

membicarakan soal ini, beliau menerangkan bahwa bersumpah, 

mentalak istri dalam keadaan hilang akal lantaran gila, pingsan atau 

minum minuman keras, baik di uzurkan, tidak dipandang sah 

sumpahnya dan talaknnya. 

Menurut keterangan Ibnu Qayim, bahwa di antara ulama 

Ahnaf yang berpendapat demikian yaitu  Abu Ja’far Ath Thahawy, 

Abdul Hasan Al -Karakhy, Abu Jusuf dan Yufar. Di antara ulama 

Syafi`iyah, ialah Al -Muzamy,  Ibnu Syuraih. Dan pendapat ini pula 

yang dipilih Al-Juwainy dalam kitabnya A l-Nihayah. Ibnu Qayim 

berpendapat pula bahwa pendapat yang benar dalam soal ini ialah 

tidak dianggap perkataan pemabuk, baik mengenai shalat, 

memerdekakan budak, jual beli, pemberian hadiah, wafat, Islam, 

riddah  maupun pengakuan berdasar  beberapa dalil QS An-Nisa 

[4] : 42  sebagai berikut : 

 

 َلَ َٝ  َعَْسْلْح ُْ ـِٜ ِـر َّٟٞ َغُـط ْٞ َُ ٍَ ْٞ ـُع َّشُح ح ُٞ ـَظـَػ َٝ  ح ْٝ ُشَـلـ ًَ  َٖ ٣ِْز ّـَُح ُّد َٞ ّـَ٣ ٍزِـجـ َٓ ْٞ َـ٣

ًخؼ٣ِْذـَك َﷲ َٕ ْٞ ـ ُٔ ُـظـ ٌْ َـ٣ 

 

 

 

Artinya : Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang 

mendurhakai R asul, ingin supaya   mereka disamaratakan 

dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan 

(dari Allah) sesuatu kejadianpun.(QS An-Nisa [4] : 42).  

 

R asulullah saw. menyuruh supaya   dicium bau mulut M a’ iz 

untuk diketahui apakah dia mabuk. K etika M a’iz mengikrarkan zina, 

kalau dia dalam mabuk, tidaklah diterima pengakuannya. 

Rasulullah saw. tidak menyuruh Hamzah memperbarui 

islamnya, setelah Hamzah menjawab perkataan -perkataan 

Rasulullah saw., sedang Hamzah saat itu sedang mabuk.  H amzah 

pada ketika itu berkata: “ K amu ini semuanya budak-budak orang 

tuaku”.  

Utsman dan Ibnu Abbas menfatwakan bahwa  talak si pemabuk 

tidak jatuh. Pendapat yang benar, ialah mengqiyaskan pemabuk 

dengan benda yang haram atau dengan ketiadaan uzur kepada 

pemabuk dengan benda yang mubah, atau dengan yang di uzurkan, 

selama ada  illat (pemabuk-pemabuk itu) yang menghendaki 

kebatalan tassaruf-tassarufnya, yaitu hilang akal. 

 

b. Ber gurau atau bermain-main 

B ergurau atau bermain-main yaitu  mengucapkan suatu 

perkataan yang tidak dikehendaki berlakunya. Berpura -pura itu 

sama sekali tidak menghilangkan  kemampuan hukum atau 

kemampuan bertindak (al- ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ ), 

kebebasan berkehendak dan kerelaan. Aktifitas yang memungkinkan 

seseorang bergurau ada tiga macam, yaitu: 1) Pengungkapan k ata-

kata; 2) Pe mberitahuan; 3) Kepercayaan. 208  

Mengeluarkan sesuatu perkataan yang menjadi sebab 

terwujudnya suatu hukum ada dua macam yaitu: 1) Boleh dibatalkan; 

2) Tidak boleh dibatalkan Sebab -sebab yang tidak diikuti oleh 

pembayaran atau tidak menghendaki pembayaran, seperti talak, 

kemerdekaan budak, memaafkan kesalahan, bernazar dan sumpah, 

                                                           

maka sebab-sebab itu dipadang sah, berpura-pura batal. Demikian 

menurut jumhur ulama. 

Pada suatu riwayat mengenai kemerdekaan budak. Jika sebab -

sebab itu diikuti oleh pembayaran, seperti bernikah, sah pula nikah 

itu, tentang mas kawin, diambil menurut permufakatan yang terjadi 

antara laki-laki dan istri sesudah terjadi aqad. Kemudian jika sebab -

sebab itu meminta pembayaran dan pula yang dimaksudkan dari 

pekerjaan itu, seperti khulu’  (talak dengan upah). Memerdekakan 

budak dengan pembayaran sah pula dengan berpura-pura itu, 

dengan pembayarannya menurut yang disebutkan dalam akad. 

demikian pendapat jumhur ahli ushul dalam urusan berpura-pura 

mengeluarkan perkataan yang menjadi sebab bagi sesuatu hukum. 

Adapun berpura-pura dalam perkhabaran dan kepercayaan, 

sama sekali tidak merusakkan kepercayaan. Dalam pada itu 

dihukumkan murtad orang yang mempermainkan kalimat kufur  

karena dipandang berpura-pera itu menganggap kecil 

perbuatannya, karena di pandang berpura-pura itu menganggap 

kecil perbuatannya, karena berpura-pura di sini bukan dipandang 

benar berpura-pura, tidak sekali-kali dibolehkan.209  Perhatikan 

firman Allah swt. berikut : 

 

 ْٜ َظـْغَـط ْْ ُظـْ٘ ـ ًُ  ِٚ ُِ ْٞ ـُعَس َٝ  ِٚ ِـطَخ٣آ َٝ  ِللَّ ِخَرأ َْ ُـه ْْ ُـطْشَـلـ ًَ  ْذَـه ح ْٝ ُسِزَـظـْؼَـط َلَ .  َٕ ْٞ ُـثِضـ

 : شرٞظُح( ْْ ٌُ ِـٗخ َٔ ـ٣ِْا َذـْؼَـر65 – 66  ) 

 

Artinya :  Katakanlah : Apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan R asul-

Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta 

maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah 

[9] : 65 –  66). 

  

Di sini, baiklah diberikan peringatan kepada pengatur 

sandiwara atau sutradara agar menjauhkan diri dari ucapan-ucapan 

pelaku, kata-kata yang mengkufurkan, seperti mengatakan “Saya 

tidak percaya akan Allah, saya tidak membenarkan nabi 

Muhammad”, dan sebagainya.”  

maka sebab-sebab itu dipadang sah, berpura-pura batal. Demikian 

menurut jumhur ulama. 

Pada suatu riwayat mengenai kemerdekaan budak. Jika sebab -

sebab itu diikuti oleh pembayaran, seperti bernikah, sah pula nikah 

itu, tentang mas kawin, diambil menurut permufakatan yang terjadi 

antara laki-laki dan istri sesudah terjadi aqad. Kemudian jika sebab -

sebab itu meminta pembayaran dan pula yang dimaksudkan dari 

pekerjaan itu, seperti khulu’  (talak dengan upah). Memerdekakan 

budak dengan pembayaran sah pula dengan berpura-pura itu, 

dengan pembayarannya menurut yang disebutkan dalam akad. 

demikian pendapat jumhur ahli ushul dalam urusan berpura-pura 

mengeluarkan perkataan yang menjadi sebab bagi sesuatu hukum. 

Adapun berpura-pura dalam perkhabaran dan kepercayaan, 

sama sekali tidak merusakkan kepercayaan. Dalam pada itu 

dihukumkan murtad orang yang mempermainkan kalimat kufur  

karena dipandang berpura-pera itu menganggap kecil 

perbuatannya, karena di pandang berpura-pura itu menganggap 

kecil perbuatannya, karena berpura-pura di sini bukan dipandang 

benar berpura-pura, tidak sekali-kali dibolehkan.209  Perhatikan 

firman Allah swt. berikut : 

 

 ْٜ َظـْغَـط ْْ ُظـْ٘ ـ ًُ  ِٚ ُِ ْٞ ـُعَس َٝ  ِٚ ِـطَخ٣آ َٝ  ِللَّ ِخَرأ َْ ُـه ْْ ُـطْشَـلـ ًَ  ْذَـه ح ْٝ ُسِزَـظـْؼَـط َلَ .  َٕ ْٞ ُـثِضـ

 : شرٞظُح( ْْ ٌُ ِـٗخ َٔ ـ٣ِْا َذـْؼَـر65 – 66  ) 

 

Artinya :  Katakanlah : Apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan R asul-

Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta 

maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah 

[9] : 65 –  66). 

  

Di sini, baiklah diberikan peringatan kepada pengatur 

sandiwara atau sutradara agar menjauhkan diri dari ucapan-ucapan 

pelaku, kata-kata yang mengkufurkan, seperti mengatakan “Saya 

tidak percaya akan Allah, saya tidak membenarkan nabi 

Muhammad”, dan sebagainya.”  

c. Safah  ( kurang cermat atau boros) 

Safah yaitu  seseorang yang dengan mudahnya 

membelanjakan hartanya secara tidak masuk akal dan tanpa 

disadari. Orang yang s afah atau boros itu, tidak menggugurkan hak 

dan kewajiban hukum, baik yang terkait dengan hak-hak Allah 

maupun hak-hak hamba. H anya syarak mencegah si safah agar tidak 

membelanjakan hartanya sesuka hatinya demi menjaga keselamatan 

hartanya. bila  safah diderita seseorang hingga balighnya, 

wajiblah atas hakim menguasai harta itu sebagiamana perintah Allah 

dalam Alquran. bila  dirasakan penyakit safahnya telah hilang dan 

mempunyai petunjuk, barulah kita serahkan harta ini  dalam 

penguasaannya, seperti yang dititahkan dalam Alquran. Dan harus 

juga di maklumi, bahwa yang hendak menjatuhkan vonis safah itu 

ialah hakim atau qadhi, dan hakim harus memegang harta itu 

sebagaimana perintah Allah dalam Alquran.    

Selanjutnya bila  dirasakan penyakit safahnya telah hilang 

dan mempunyai bukti, barulah   kita serahkan harta ini  dalam 

penguasaanya, seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Alquran. 

Harus juga dimaklumi, bahwa yang hendak menjatuhkan vonis safah 

itu ialah hakim atau qadhi. Jika timbul yang demikian sesudah lewat 

dari masa sampai umur ( baligh ), maka Imam Abu Hanifah tidak 

membolehkan lagi ditahan (dilarang dia mentasarufkan hartanya) 

sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan membolehkan.  

 

d. Safar  (bepergian)  

Safar  yaitu  menyengaja untuk bepergian ke suatu tempat, 

yang bila  mengendarai onta atau berjalan kaki akan memakan 

waktu tiga hari atau lebih. Artinya, sebuah perjalanan jauh yang 

dalam bahasa fiqh disebut masafat al - qashr, bukan asal keluar dari 

rumah atau perjalanan yang dekat.  

Syariat Islam telah menetapkan bahwa safar tidak 

menggugurkan kewajiban, hanya saja dapat meringankannya, di 

mana seseorang dibolehkan qashar  dan jamak shalat di dalam 

perjalanan dibo