ang masuk dibawah kesanggupan mukallaf , akan tetapi
sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar dilaksanakan
ada dua yaitu:
1) Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat
memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
2) Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat
memberatkan, hanya terasa lebih berat dari pada yang
biasa.
5. Hak Allah dan Hak Hamba .
Perbuatan mukallaf yang dituntut oleh Allah swt. dalam
kaitannya antara hak Allah dan hak hamba, terbagi menjadi 4 (empat)
macam, yaitu :
1. Pekerjaan - pekerjaan yang Dipandang Hak Allah
Perbuatan -perbuatan yang dipandang sebagai hak Allah yaitu
segala perbuatan yang kemaslahatannya itu akan terpulang kepada
warga umum, bukan untuk seseoarang tertentu saja, dan
pelaksanaanya diserahkan kepada pemerintahan yang sah.
Dikatakan sebagai hak Allah karena mengingat kepentingan yang
besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada perbuatan-
perbuatan itu. H al ini terbagi kepada beberapa bagian:
a. Perbuatan -perbuatan yang termasuk kategori ibadah mahdah
(murni), seperti iman, Islam, shalat, puasa, haji, umrah, dan
jihad. Tujuan dan hikmah dari ibadah-ibadah yang seperti ini
yaitu untuk menegakkan agama dan yang demikian sangat
penting untuk keberaturan warga , bukan untuk orang
perorang.
b. Ibadah-ibada yang didalamnya terkandung adanya beban
material, seperti membayar zakat fitrah. Zakat fitrah dianggap
sebagai ibadah karena tujuannya yaitu mendekatkan diri
kepada Allah, dengan jalan memberikan hartanya kepada fakir
miskin. Tapi zakat fitrah tidak termasuk ibadah mahdah
karena di dalamnya ada semacam pajak jiwa.
c. Pungutan -pungutan yang dibebankan pada tanah pertanian,
baik yang berkenaan dengan zakat se persepuluh, seperlima
atau yang berkenaan dengan pajak-pajak tanaman pertanian
secara umum.
d. Pungutan -pungutan hasil rampasan perang, pungutan-
pungutan dari hasil logam mulia dan hasil tambang.
e. Segala bentuk sanksi hukuman yang sempurna, seperti sanksi
pez ina, sanksi pencurian, sanksi pemberontak, sanksi
membbuat kerusakan di muka bumi. Sanksi-sanksi ini
ditegakkan yaitu untuk kemaslahatan seluruh marga
warga .
f. Sanksi hukuman yang tidak sepurna, yakni terhalangnya
seorang pelaku pembunuhan untuk mendapatkan harta waris.
Dalam hal ini dikategorikan sebagai hak Allah karena korban
pembunuhan sama sekali tidak memperoleh keuntungan apa-
apa, maka ia menjadi hak Allah.
g. Sanksi-sanksi hukuman yang memiliki nilai ibadah, seperti
hukuman kifarat bagi orang yang mmelanggar sumpah, kifarat
bagi orang yang sengaja berbuka pada siang hari bulan
Ramadan, kifarat bagi pelaku pembunuhan tersalah atau
menzihar isterinya.
2. Perbuatan yang Dihukum Hak Hamba .
Adapun hak-hak yang dianggap sebagai murni hak hamba,
dalah seperti penggantian harta yang dirusak, baik mengganti
dengan yang sepadan atau senilai harta yang dirusak ini .
Dalam konteks ini, maka sepenuhnya menjadi hak pemilik harta yang
dirusak untuk minta ganti atau tidak.
Demikian juga hak menahan harta yang digadaaikan, maka
sepenuhnya menjadi hak penggadai.Atau hak menagih hutang bagi
orang yang menghutangkan. Allah swt. sepenuhnya menyerahkan
hak-hak ini kepada yang empunya hak. Mereka memiliki
kebebeasan penuh untuk mengambil haknya atau tidak
mengambilnya, terserah kepada masing-masing pribadi seseorang.
3. Perbuatan yang mengandung h ak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih k uat
Bagian ini diumpamakan hukum men uduh zina. bila
ditinjau bahwa hukum menuduh itu mendatangkan kebaikan kepada
warga , nyatalah bahwa ia yaitu hak Allah lebih keras, tidak
boleh yang dituduh itu menggugurkan hukum itu dari orang yang
menuduh, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang
dituduh.
4. Pekerjaan - pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan
Hak Hamb a, Akan tetapi Hak Hamba Lebih Kuat
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena
dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan
boleh mengambil diyat saja atau memaafkan saja.
Demikian juga hak menahan harta yang digadaaikan, maka
sepenuhnya menjadi hak penggadai.Atau hak menagih hutang bagi
orang yang menghutangkan. Allah swt. sepenuhnya menyerahkan
hak-hak ini kepada yang empunya hak. Mereka memiliki
kebebeasan penuh untuk mengambil haknya atau tidak
mengambilnya, terserah kepada masing-masing pribadi seseorang.
3. Perbuatan yang mengandung h ak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih k uat
Bagian ini diumpamakan hukum men uduh zina. bila
ditinjau bahwa hukum menuduh itu mendatangkan kebaikan kepada
warga , nyatalah bahwa ia yaitu hak Allah lebih keras, tidak
boleh yang dituduh itu menggugurkan hukum itu dari orang yang
menuduh, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang
dituduh.
4. Pekerjaan - pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan
Hak Hamb a, Akan tetapi Hak Hamba Lebih Kuat
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena
dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan
boleh mengambil diyat saja atau memaafkan saja.
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih yaitu
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab oleh Allah swt. yang
disebut mukallaf . Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh mukallaf
yaitu orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya.
Semua tindakan hukum yang dulakukan mukalla f akan diminta
pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
1. Pengertian Mahkum ‘ Alaih .
Mahkum ‘alaih yaitu seseorang yang perbuatannya dikenai
khitab oleh Allah swt. yang disebut mukallaf . Sedangkan dari segi
bahasa, mukallaf berarti sebagai orang yang dibebani hukum. Dalam
istilah ushul fiqh mukallaf disebut juga dengan mahkum ‘ alaih
(subjek hukum). Adapun secara terminologis pengertian mahkum
‘ alaih yaitu orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasar
tuntutan Allah.
Dengan kata lain, mu kallaf yaitu orang yang dianggap
mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah swt. maupun dengan larangan Allah swt. Seluruh
tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan dimintai
pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jelasnya,
pengertian dari mahkum ‘alaih secara istilah yaitu orang yang
dianggap telah mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan
beban hukum (taklif ), baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun larangan-Nya.
2. Pe mbebanan Hukum ( Taklif )
Dalam Islam, orang yang terkena taklif yaitu mereka yang
dianggap sudah
mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul
fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf yaitu akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang
bisa dibebani hukum bila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditujukan kepadanya. Yang termasuk ke dalam
golongan ini yaitu orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan
lupa karena dalam keadaan yang tidak sadar. Sebagaimana dalam
sabda Rasulullah saw :
Ù ََِـظـْز ُٔ ُْ Ø ِٖ َØ» َٝ َعِـوـ٤َْـظـْغَـ٣ Ù َّظَÙƒ ِْ ِـث Ø®َُّ٘Ø ِٖ َØ» ٍعَÙ„ًَـػ ْٖ Ù€َØ» ُْ ََِـوـُْ Ø َِغكُس
دٝٝØد ٞرأ ٝ ذـٔـكأ ٙØٝس ( َُشز ٌْ Ù€َÙ£ Ù َّظـّÙƒ ِّÙ ِزـ َّظُØ ِٖ Ù€َØ» َٝ َØ£َشـْزـَÙ£ Ù َّظَÙƒ
ًْخلُØٝ ٚؿخٓ ٖرا ٝ ٠ثخغُ٘Øٝ )184
Artinya : Diangkat (pembebanan hukum) dari tiga (jenis orang):
orang tidur sampai ia bangun, orang yang sedang dicoba
(gila) sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia
dewasa.(HR Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah dan
Hakim)
Dengan kata lain, mu kallaf yaitu orang yang dianggap
mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah swt. maupun dengan larangan Allah swt. Seluruh
tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan dimintai
pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jelasnya,
pengertian dari mahkum ‘alaih secara istilah yaitu orang yang
dianggap telah mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan
beban hukum (taklif ), baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun larangan-Nya.
2. Pe mbebanan Hukum ( Taklif )
Dalam Islam, orang yang terkena taklif yaitu mereka yang
dianggap sudah
mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul
fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf yaitu akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang
bisa dibebani hukum bila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditujukan kepadanya. Yang termasuk ke dalam
golongan ini yaitu orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan
lupa karena dalam keadaan yang tidak sadar. Sebagaimana dalam
sabda Rasulullah saw :
Ù ََِـظـْز ُٔ ُْ Ø ِٖ َØ» َٝ َعِـوـ٤َْـظـْغَـ٣ Ù َّظَÙƒ ِْ ِـث Ø®َُّ٘Ø ِٖ َØ» ٍعَÙ„ًَـػ ْٖ Ù€َØ» ُْ ََِـوـُْ Ø َِغكُس
دٝٝØد ٞرأ ٝ ذـٔـكأ ٙØٝس ( َُشز ٌْ Ù€َÙ£ Ù َّظـّÙƒ ِّÙ ِزـ َّظُØ ِٖ Ù€َØ» َٝ َØ£َشـْزـَÙ£ Ù َّظَÙƒ
ًْخلُØٝ ٚؿخٓ ٖرا ٝ ٠ثخغُ٘Øٝ )184
Artinya : Diangkat (pembebanan hukum) dari tiga (jenis orang):
orang tidur sampai ia bangun, orang yang sedang dicoba
(gila) sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia
dewasa.(HR Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah dan
Hakim)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan
bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan
tindakan hukum.
3. Syarat - syarat Taklif
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa seorang mukallaf bisa
dikenai taklif bila telah memnuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a. Orang itu telah mampu memahami dalil taklif (tuntutan syara’)
yang terkandung dalam Alquran dan sunnah, baik secara
langsung maupun tidak langsung atau melalui orang lain.
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali
melalui memakai akal manusia, karena hanya dengan
akallah orang akan mampu mengetahui taklif itu harus
dilaksanakan atau ditinggalkan. Karena akal bersifat abstrak,
dalam pengertian tidak dapat diukur, maka yang dijadikan tolok
ukur sebagai dasar konkret dalam menentukan seseorang
berakal atau tidak yaitu kedewasaan seseorang. Indikasi
seseorang telah baligh yaitu dengan keluarnya haid pertama
bagi perempuan dan keluarnya air mani bagi laki-laki.
b. Seseorang harus mampu menerima pembebanan hukum
(ahliyah). Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang
belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belum baligh,
tidak dikenakan hukum syara’. Begitu pula dengan orang gila,
karena kecakapannya untuk bertindak hukumnya hilang.
4. Kec akapan Hukum (Al - Ahliyyah) Dan Macam - Macamnya .
Ahliyah secara etimologi yaitu suatu kecakapan atau keahlian
dalam menangani suatu urusan. Sedangkan secara terminologi
ahliyah yaitu suatu sifat seseorang yang dianggap telah sempurna
baik jasmani maupun akalnya.
Sehingga ia dapat melakukan tindakan seperti transasksi,
hibah, ataupun kegiatan yang laindan dianggap sah.
Dalam subjek hukum dijelaskan bahwa di antara subjek hukum
yaitu kecakapan untuk memikul hukum yaitu kemampuan
menerima atau dibebani hukum dan kemampuan untuk
melaksanakan hukum. Kecakapan ini berlaku untuk manusia yaitu
dimulai sejak dari janin dalam perut ibunya kemudian lahir dan
tumbuh menjadi dewasa lalu berakhir dengan kematian.
Seseorang baru dapat dibebani hukum bila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Maka
orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami
taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul -Nya), termasuk juga orang dalam
keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar
(hilang akal). Tidak heran kalau sebagian ulama ushul fiqh
berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf yaitu akal dan pemahaman. Sesuatu yang timbul dari
dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, menyebabkan keadaan
tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum.
Dalam hukum Islam kecakapan hukum merupakan unsur
jarimah khusus yang sangat penting diperhatikan di samping unsur
ada nash (ketentuan) dan perbuatan itu benar-benar dilakukan,
selain yang paling penting bahwa orang yang melakukannya yaitu
orang dewasa dan berakal ( mukallaf ). Dalam status personal
seseorang, kecakapan hukum menjadi prasyarat penting karena
berkaitan dengan kemampuannya menjadi seseorang yang cakap
hukum. Kecakapan hukum yaitu sampainya seseorang pa da usia
tertentu, maka seorang anak dibawah usia dewasa tidak berhak atau
tidak dapat melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui bahwa yang
bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang
berakal sehat, dewasa dan atas kemauan sendiri. Kalau tidak
demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, karena
orang yang tidak berakal pikiran sehat bukanlah orang yang
mengetahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan.
Sehingga ia dapat melakukan tindakan seperti transasksi,
hibah, ataupun kegiatan yang laindan dianggap sah.186
Dalam subjek hukum dijelaskan bahwa di antara subjek hukum
yaitu kecakapan untuk memikul hukum yaitu kemampuan
menerima atau dibebani hukum dan kemampuan untuk
melaksanakan hukum. Kecakapan ini berlaku untuk manusia yaitu
dimulai sejak dari janin dalam perut ibunya kemudian lahir dan
tumbuh menjadi dewasa lalu berakhir dengan kematian.
Seseorang baru dapat dibebani hukum bila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Maka
orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami
taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul -Nya), termasuk juga orang dalam
keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar
(hilang akal). Tidak heran kalau sebagian ulama ushul fiqh
berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf yaitu akal dan pemahaman. Sesuatu yang timbul dari
dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, menyebabkan keadaan
tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum.
Dalam hukum Islam kecakapan hukum merupakan unsur
jarimah khusus yang sangat penting diperhatikan di samping unsur
ada nash (ketentuan) dan perbuatan itu benar-benar dilakukan,
selain yang paling penting bahwa orang yang melakukannya yaitu
orang dewasa dan berakal ( mukallaf ). Dalam status personal
seseorang, kecakapan hukum menjadi prasyarat penting karena
berkaitan dengan kemampuannya menjadi seseorang yang cakap
hukum. Kecakapan hukum yaitu sampainya seseorang pa da usia
tertentu, maka seorang anak dibawah usia dewasa tidak berhak atau
tidak dapat melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui bahwa yang
bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang
berakal sehat, dewasa dan atas kemauan sendiri. Kalau tidak
demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, karena
orang yang tidak berakal pikiran sehat bukanlah orang yang
mengetahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan.
Oleh karena itu, tidak ada pertanggungjawaban bagi anak-
anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang
kemauannya.
Kemampuan menerima pembebanan hukum ini dibagi menjadi
2 (dua) macam, yaitu ahliyyat al- wujub dan ahliyyat al- ada’ . Kedua
istilah ini akan diuraikan sebagai berikut :
a. Ahliyah Al - W ujub (kecakapan hukum)
Ahliyyah al - wujub , yaitu kecakapan hukum di mana seseorang
dianggap dapat menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Sebagai contoh,
seorang anak berusia 3 tahun sudah dianggap memiliki hak
menerima hibah tetapi belum cakap untuk mengelolanya. Jika ada
yang merusak hibbah ini maka si anak berhak mendapat ganti
rugi.
Menurut ulama ushul fiqh ukuran yang dipakai dalam
menentukan ahliyah al- wujub yaitu sifat kemanusiaannya, yang
tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan ataupun yang lain. Sifat
itu ada sejak lahir dan akan hilang ketika ia meninggal dunia.
Seorang bayi berhak mendapat wasiat/warisan tetapi
membutuhkan wali yang telah diwasiatkan untuk mengelola warisan
itu. Seorang anak kecil juga belum mampu dibebani kewajiban
syarak seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Akan tetapi jika ia
mengerjakannya dianggap suatu pendidikan bukan kewajiban.
Macam -Macam Ahliyah al - Wujub
1) Ahliyah al - Wujub al - Naqishah ; y aitu anak yang masih
berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah
dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum
sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat
menjadi miliknya, sebelum ia lahir. Para ulama sepakat,
ada 4 hak bagi janin:
a) Hak keturunan dari ayahn ya
b) Hak warisan dari pewarisnya yang wafat
c) Hak wasiat
d) Harta waqaf yang ditujukan kepadanya
2) Ahliyah al - Wujub al - Kamila h; y aitu kecakapan menerima
hak bagi seorang anak yang lahir ke dunia sampai baligh
dan berakal. Seorang yang memiliki ahliyah wujub tidak
dibebani tuntutan syarak, baik yang bersifat ibadah
mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah,
seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang
merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib
memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak
memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi,
tetapi bila tindakannya berkaitan dengan perusakan
fisik (melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah
wujub kamilah ini , tidak bisa dipertanggungjawabka
secara hukum syarak (misal ia dihukum qishas), karena ia
tidak dianggap cakap hukum.
Menurut ulama ushul, ukuran yang dipakai dalam
menentukan ahliyatul wujub yaitu sifat kemanusiaannya
yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan.
Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir.
berdasar ahliyatul wujub , maka anak baru lahir
berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika ahli
warisnya meninggal dunia, tetapi harta seorang anak
belum baligh tidak boleh dikelola sendiri olehnya,
melainkan oleh walinya.
b. Ahliyah Al - Ada’ (kecakapan bertindak)
Ahliyyah al - ada’ yaitu kepantasan seseorang untuk
dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, baik yang
bersifat positif mupun negatif.188 bila ia mengadakan suatu
perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya itu yaitu sah dan
dapat menimbulkan akibat hokum. bila ia melakukan perbuatan-
perbuatan seperi shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang
lainnya, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan dia telah
menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.
dan berakal. Seorang yang memiliki ahliyah wujub tidak
dibebani tuntutan syarak, baik yang bersifat ibadah
mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah,
seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang
merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib
memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak
memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi,
tetapi bila tindakannya berkaitan dengan perusakan
fisik (melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah
wujub kamilah ini , tidak bisa dipertanggungjawabka
secara hukum syarak (misal ia dihukum qishas), karena ia
tidak dianggap cakap hukum.
Menurut ulama ushul, ukuran yang dipakai dalam
menentukan ahliyatul wujub yaitu sifat kemanusiaannya
yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan.
Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir.
berdasar ahliyatul wujub , maka anak baru lahir
berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika ahli
warisnya meninggal dunia, tetapi harta seorang anak
belum baligh tidak boleh dikelola sendiri olehnya,
melainkan oleh walinya.
b. Ahliyah Al - Ada’ (kecakapan bertindak)
Ahliyyah al - ada’ yaitu kepantasan seseorang untuk
dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, baik yang
bersifat positif mupun negatif.188 bila ia mengadakan suatu
perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya itu yaitu sah dan
dapat menimbulkan akibat hokum. bila ia melakukan perbuatan-
perbuatan seperi shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang
lainnya, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan dia telah
menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.
Demikian jug bila ia melakukan tindak pidana terhadap
nyawa atau harta benda milik orang lain, maka ia dapat dikenai
pidanabadan atau ganti rugi.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran
dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyahal- ada’ yaitu
berakal, baligh dan cerdas. Orang yang dikatakan “cukup umur”
bila telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan
haid untuk wanita. Orang seperti ini telah dianggap cakap untuk
melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan
syarak dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia
laksanaakan secara benar.
Kecakapan untuk berbuat hukum atau ahliyah al- ada’ tidak
berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -
syarat tertentu, dalam hal ini yaitu baligh dan berakal. Bila
seseorang sudah mencapai usia dewasa yang menurut biasanya
diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan cakap untuk
melaksanakan hukum atau “mukallaf”.
Menurut Muhammad Abu Zahrah Ahliyyat ul ada’ ini terbagi
menjadi dua macam, yaitu ahliyyatul ada’ kamilah (sempurna) dan
Ahliyyatul ada’ naqishah (kurang sempurna). Ahliyyatul ada’ kamilah
(sempurna) akan terwujud ketika nalar seseorang telah sempurna
yang ditandai dengan kedewasaan dalam konteks hokum syarak dan
kedewasaan dan kecerdasan dalam konteks transaksi-transaksi
kebendaan. Sedangkan ahliyyatul ada’ naqishah (kurang sempurna)
yaitu ada pada anak-anak yang sudah mumayyiz dan
sejenisnya. Ahliyyatul ada’ naqishah (kurang sempurna) ini hanya
berlaku pada bidang transaksi-transaksi kebendaan saja, sedangkan
dalam bidang pembebanan hukum syarak, seperti shalat, puasa, haji
dan lain sebgainya, anak mumayyiz ini status hukumnya sama
dengan yang bukan mumayyiz .
5. Taklif Terhadap O rang K afir
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa syarat bagi subjek hukum
yaitu baligh dan berakal.
Selanjutnya, Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan
hukum. Dengan kata lain, apakah non-muslim dengan kekafirannya
dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan
ini sebenarnya besumber pada perbedaan pendapat dalam hal
hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya syarat syar’i .
a. Pertama , ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan
antar persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i yaitu
Imam al-Syafi’i dari kalangan Mu’tazilah. Mereka berpendapat
bahwa orang kafir dikenai beban hukum untuk melakukan juzu’
syari’at seperti shalat, puasa, dan haji. Kelompok ini
mengungkapkan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Ayat-ayat Al-qura’an yang memerintahkan untuk melakukan
ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir.
Orang-orang kafir tidak terhalang masuk dalam jangkauan
tuntutan Allah swt.
2) Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal
yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang
kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam
orang kafir karena meninggalkan ibadah itu cukup banyak.
Umpamanya firman Allah dalam QS Al-Mudatstsir : 42.
َٖ ـ٤َِِّْظـ ُٔ ُْ Ø َٖ ِٓ ُÙŠَÙ€ٗ ْْ َُ Ø ْٞ ُÙ€َُخه . ٍØ´َـوـَع Ù ِÙƒ ْْ ٌُ Ù€ ٌَ َÙ€ِÙ€َع Ø® َٓ
Artinya : Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka
saqar? Mereka menjawab: kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat .
3) Orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan
dengan sanksi sebagaimana berlaku pada orang mukmin. Hal
ini disepakati oleh para ulama. Bila dalam larangan mereka
dikenai taklif untuk meninggalkan, maka terhadap
Selanjutnya, Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan
hukum. Dengan kata lain, apakah non-muslim dengan kekafirannya
dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.190 Perbedaan
ini sebenarnya besumber pada perbedaan pendapat dalam hal
hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya syarat syar’i .
a. Pertama , ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan
antar persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i yaitu
Imam al-Syafi’i dari kalangan Mu’tazilah. Mereka berpendapat
bahwa orang kafir dikenai beban hukum untuk melakukan juzu’
syari’at seperti shalat, puasa, dan haji. Kelompok ini
mengungkapkan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Ayat-ayat Al-qura’an yang memerintahkan untuk melakukan
ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir.
Orang-orang kafir tidak terhalang masuk dalam jangkauan
tuntutan Allah swt.
2) Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal
yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang
kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam
orang kafir karena meninggalkan ibadah itu cukup banyak.
Umpamanya firman Allah dalam QS Al-Mudatstsir : 42.
َٖ ـ٤َِِّْظـ ُٔ ُْ Ø َٖ ِٓ ُÙŠَÙ€ٗ ْْ َُ Ø ْٞ ُÙ€َُخه . ٍØ´َـوـَع Ù ِÙƒ ْْ ٌُ Ù€ ٌَ َÙ€ِÙ€َع Ø® َٓ
Artinya : Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka
saqar? Mereka menjawab: kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat .
3) Orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan
dengan sanksi sebagaimana berlaku pada orang mukmin. Hal
ini disepakati oleh para ulama. Bila dalam larangan mereka
dikenai taklif untuk meninggalkan, maka terhadap
suruhanpun tentu bagitu pula. Hal ini di -qiyas -kan kepada
larangan karena sama-sama tuntutan untuk kemaslahatan.
b. Kedua , pendapat dari sebagain ulama Hanafiyah, Abu Ishak al
Asfahani, sebagian kelompok Syafi’iyah dan sebagian ulama
Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak
dibebani taklif untuk melaksanakan ibadah, karena bagi
kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya
syarat syar’i, sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat itu.
Kelompok ini mengemukakan argumen sebagai berikut:
1) Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’
syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata
tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadah
mereka.
2) Seandainyaorang kafir diberi beban hukum, tentu kewajiban
mereka meng-qadha apa yang ia tinggalkan saat kafir, karena
bila ia masuk Islam maka segala kekurangan pada waktu yang
lalu dihapuskan.
c. Ketiga , kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir
dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai
taklif untuk melaksanakan perintah, karena untuk melakukan
perbuatan yang diperintahkan diperlukan niat, sedangkan untuk
meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-
apa dan untuk berbuat, tidak diperlukan niat.
Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa di
antara syarat subjek hukum yaitu kecakapan untuk memikul
tuntutan atau beban yaitu kecakapan menerima hukum (ahliyah al-
wujub ) dan kecakapan bertindak melaksanakan hukum (ahliyah al-
ada’ ). Kecakapan menerima hukum berl aku untuk setiap orang
dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berarti bahwa setiap
manusia yaitu cakap menerima hukum. Oleh karena itu tidak satu
pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk menerima
hukum. Sedangkan kecakapan bertindak, tidak berlaku untuk semua
orang. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -syarat tertentu, dalam hal
ini yaitu baligh dan berakal.191 bila seseorang sudah mencapai
umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan
akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum ( mukallaf ).
Dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia yang telah
memenuhi syarat untuk menerima beban taklif , kadang-kadang
ada pada dirinya sesuatu yang menyebabkan dalam keadaan
tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh
sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya.
Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa di
antara syarat subjek hukum yaitu kecakapan untuk memikul
tuntutan atau beban yaitu kecakapan menerima hukum (ahliyah al-
wujub ) dan kecakapan bertindak melaksanakan hukum (ahliyah al-
ada’ ). Kecakapan menerima hukum berl aku untuk setiap orang
dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berarti bahwa setiap
manusia yaitu cakap menerima hukum. Oleh karena itu tidak satu
pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk menerima
hukum. Sedangkan kecakapan bertindak, tidak berlaku untuk semua
orang. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat -syarat tertentu, dalam hal
ini yaitu baligh dan berakal.191 bila seseorang sudah mencapai
umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan
akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum ( mukallaf ).
Dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia yang telah
memenuhi syarat untuk menerima beban taklif , kadang-kadang
ada pada dirinya sesuatu yang menyebabkan dalam keadaan
tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh
sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya.
Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapannya untuk
berbuat itu disebut ‘awaridh al - ahliyah (faktor-faktor yang
mempengaruhi kecakapan hukum). Halangan taklif itu dapat
dikelompokkan pada 2 (dua) macam, yaitu :
Pertama; halangan eksternal, yaitu halangan yang timbul dari luar
dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai kebebasan dan
kemampuan untuk menolaknya. Halangan ini disebut
halangan ‘awaridh samawi yah, yaitu halangan-halangan
yang berasal dari luar dirinya.
Kedua; halangan internal, yaitu halangan yang timbul dari dalam
dirinya sendiri atau tersebab kehendak atau kemauan diri
sendiri. Halangan ini disebut ‘awaridh muktasabah .192
1. Halangan Eksternal
Berkenaan dengan h alangan-halangan hukum yang bersifat
eksternal, berikut akan dijelaskan 8 ( delapan) jenis halangan-
halangan hukum ini .
a. Gila .Gila dapat menggugurkan seluruh pembebanan hukum yang
bersifat badaniyah, seperti salata, haji, puasa dan lain
sebagainya. Dalam pada itu, dikenakan atas orang gila sesuatu
bayaran, bila dia merusakkan harta orang (yakni diambil dari
hartanya), sama dengan anak kecil yang merusakkan harta
orang.193 Dan gila itu ada yang permanen, dalam artian terus
menerus, dan ada pula yang sifatnya sementara. Oleh karena
sifat terus menerusnya tidak diberi batas yang umum, maka
berbeda-beda ia menurut corak ibadah. Orang gila terlepas dari
tuntutan – tuntutan mengerjakan shalat yang tertinggal dalam
masa gilanya lewat setahun.
b. Setengah gila ( m at`uh ). Orang setengah gila status hukumnya
sama dengan anak sudah mumayyiz . Orang mat`uh itu orang
yang kurang sekali pemahamannya, tidak teratur perkataannya,
rusak daya ingatnya, hanya saja dia tidak merusak dan tidak
marah-marah sebagai yang dilakukan oleh orang yang gila.
Dengan kata lain, yang dikatakan setengah gila ialah orang yang
kadang-kadang normal pikirannya serupa dengan orang yang
berakal dan kadang-kadang tidak normal.
c. Lupa . Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan melaksanakan
kewajiban. Adapun dari hak Allah, maka tidak berdosa orang
yang melalaikan kewajibannya karena kelupaan, dan demikian
juga pekerjaan yang dilakukan karena kelupaan itu memiliki
akibat hukum. Mereka yang lupa itu tidak berdosa, karena sifat
lupa yaitu suatu uzur yang dibenarkan oleh sya rak.195
Rasulullah saw. bersabda:
)Ù ٗØشـزطُØ ٙØٝس( ِٚ ـ٤َْÙ€َِØ» Ø ْٞ ُÙ€ِٛØ´ ٌْ ُـظـْØ¹Ø Ø®Ù€ َٓ َٝ ِٕ َخ٤ْغ ّÙ€ِ٘Ù€ُØ َٝ ِؤَطـَØ®ُْ Ø ِٖ Ù€َØ» َغِـكُس196
Artinya : Telah diangkat (dosa ) dari kesilapan, lupa dan orang
yang dipaksa. ( HR. Al-Thabrani ) .
Maksud hadis ini ialah bahwa umat Islam tidak
dipersalahkan karena kekhilafan dan kelupaannya. Syarat-syarat
yang menimbulkan adanya hukum karena lupa ada dua, yaitu:
Pertama; jika lupa akan satu pekerjaan yang padanya keadaan-
keadaan yang mengingatkan seperti lupa makan dalam
shalat padahal shalat itu sudah cukup mengingatkan kita
bahwa kita tidak boleh makan atau berkata-kata dalam
shalat timbul adanya hukum, yakni merusakkan shalat.
Kedua; jika dilakukan sesuatu kelupaan pada pekerjaan-pekerjaan
yang tidak membangunkan ingatan, seperti orang puasa.
Ka rena pekerjaan puasa itu tiada cukup membangunkan
ingatan orang yang berpuasa, serta tabiatnya pun ingin
akan makanan itu. maka kelupaan makan dalam berpuasa
tidak membatalkan puasanya.
marah-marah sebagai yang dilakukan oleh orang yang gila.
Dengan kata lain, yang dikatakan setengah gila ialah orang yang
kadang-kadang normal pikirannya serupa dengan orang yang
berakal dan kadang-kadang tidak normal.
c. Lupa . Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan melaksanakan
kewajiban. Adapun dari hak Allah, maka tidak berdosa orang
yang melalaikan kewajibannya karena kelupaan, dan demikian
juga pekerjaan yang dilakukan karena kelupaan itu memiliki
akibat hukum. Mereka yang lupa itu tidak berdosa, karena sifat
lupa yaitu suatu uzur yang dibenarkan oleh sya rak.195
Rasulullah saw. bersabda:
)Ù ٗØشـزطُØ ٙØٝس( ِٚ ـ٤َْÙ€َِØ» Ø ْٞ ُÙ€ِٛØ´ ٌْ ُـظـْØ¹Ø Ø®Ù€ َٓ َٝ ِٕ َخ٤ْغ ّÙ€ِ٘Ù€ُØ َٝ ِؤَطـَØ®ُْ Ø ِٖ Ù€َØ» َغِـكُس196
Artinya : Telah diangkat (dosa ) dari kesilapan, lupa dan orang
yang dipaksa. ( HR. Al-Thabrani ) .
Maksud hadis ini ialah bahwa umat Islam tidak
dipersalahkan karena kekhilafan dan kelupaannya. Syarat-syarat
yang menimbulkan adanya hukum karena lupa ada dua, yaitu:
Pertama; jika lupa akan satu pekerjaan yang padanya keadaan-
keadaan yang mengingatkan seperti lupa makan dalam
shalat padahal shalat itu sudah cukup mengingatkan kita
bahwa kita tidak boleh makan atau berkata-kata dalam
shalat timbul adanya hukum, yakni merusakkan shalat.
Kedua; jika dilakukan sesuatu kelupaan pada pekerjaan-pekerjaan
yang tidak membangunkan ingatan, seperti orang puasa.
Ka rena pekerjaan puasa itu tiada cukup membangunkan
ingatan orang yang berpuasa, serta tabiatnya pun ingin
akan makanan itu. maka kelupaan makan dalam berpuasa
tidak membatalkan puasanya.
d. Tidur.
Tidur suatu hal yang menghalangi kita mengetahui khitab. Oleh
karena itu maka tidur mewajibkan pentakhiran khitab
menunaikan hukum sehingga bangun. Akan tetapi tidur tidak
bertentangan dengan pokok kewajiban, karena kewajiban itu
tetap dalam tangung jawabnya. Oleh karena itu, perintah shalat
tidak dapat diperintahkan dalam tidur, untuk mengerjakannya
sesudah tidur dengan perintah baru, seperti disuruh kita
melakukan shalat yang kita tinggalkan karena tidur, dilakukan
setelah terbangun dari tidur dan yang kita tinggalkan karena
terlupa, kita lakukan sudah teringat.
Sabda R asulullah saw. :
َØ®َٛشـ ًَ َر Øَِرا َØ®ٜ ّÙ€َِِظُـ٤ـِْ َـك َØ®َٜـ٤ـِغَÙ€ٗ ْٝ َØ£ ٍسَÙ„ًÙ€َØ· ْٖ َØ» َّ َØ®ٗ ْٖ Ù€ َٓ
Artinya : Barang siapa tidur lalu meninggalkan shalat,
melupakannya, maka hendaklah ia mengerjakan shalat
sesudah ia ingat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula halnya tidur dapat membatalkan segala ibadah.
Menurut sebagian ahli ushul, bahwa mengenai muamalah maka tidak
dianggap sah segala tindakan yang dilakukannya sewaktu tidur.
Akan tetapi, mengenai ibadah apa yang wajib dalam keadaan tidur
tetap menjadi wajib, tidak gugur, hanya saja kewajiban
menunaikannya yang di tunda setelah ia bangun, sebagaimana telah
disebutkan pada hadis Nabi di atas. Hadis ini memberikan
pengertian bahwa wajib shalat tidak gugur, hanya menunaikannya
yang diakhirkan setelah ia terjaga atau teringat.
e. Pingsan .
Pingsan dapat menghalangi seseorang untuk dapat mengetahui
khitab atau perintah syarak, dan bahkan pingsan lebih
berpengaruh dari pada tidur. Karena itu orang yang pingsan,
kepadanya diberikan hukum seperti orang tidur, bahkan lebih
dari padanya. Oleh karena itulah dihukum batal shalat, orang
yang pingsan di segenap keadaan karena statusnya orang
pingsan tidak memiliki ahliyat al- ada’ dan ahliyat al- wujub .
Mengenai kewajiban mengqadha atas kewajiban yang
ditinggalkannya, bila pingsannya sebenata, maka wajibn
qadha, sedangkan jika pengsannya lama maka status hukumnya
sama dengan orang gila atau anak-anak, tidak wajib qadha
atasnya.
f. Sakit.
Kondisi sakit tidak menggugurkan kesanggupan seseorang untuk
mengerjakan ibadah, karena sakit itu tidak merusakkan akal dan
ucapan. Sebaliknya sakit itu hanya membuat kondisi fisiknya
lemah, sehingga disuruhlah orang yang sakit untuk mengerjakan
ibadah seberapa ia sanggup. bila tidak dapat berdiri,
dibolehkan duduk, dan jika tidak mampu duduk, dibolehkan
berbaring. bila berat untuk berpuasa, boleh berbuka dan
nanti sesudah sembuh, barulah ia diwajibkan mengqadha
sebanyak hari yang ia ditinggalkan.
Hanya karena sakit salah satu sebab mati, dan mati itu
merupakan salah satu sebab kepindahan harta kepada ahli waris,
menjadilah sakit itu sebab bagi bergantungnya hak orang yang
memberi utang dan ahli waris kepada harta si sakit itu. L antaran
inilah orang yang berpiutang menahan segala harta si sakit itu,
yakni jika utang itu menghabiskan harta dan boleh si waris
menghambat wasiat-wasiat yang lebih dari sepertiga harta.200
g. Haid dan Nifas
Haid dan nifas tidak mengugurkan seseorang untuk
melaksanakan kewajiban dan menunaikannya. Hanya saja,
lantaran syarak telah mensyaratkan suci dari haid dan nifas
untuk sah mengerjakan shalat, maka tidaklah sah shalat yang
dikerjakan, selama dalam keadaan haid dan bernifas. Selanjutnya,
kepadanya diberikan hukum seperti orang tidur, bahkan lebih
dari padanya. Oleh karena itulah dihukum batal shalat, orang
yang pingsan di segenap keadaan karena statusnya orang
pingsan tidak memiliki ahliyat al- ada’ dan ahliyat al- wujub .
Mengenai kewajiban mengqadha atas kewajiban yang
ditinggalkannya, bila pingsannya sebenata, maka wajibn
qadha, sedangkan jika pengsannya lama maka status hukumnya
sama dengan orang gila atau anak-anak, tidak wajib qadha
atasnya.
f. Sakit.
Kondisi sakit tidak menggugurkan kesanggupan seseorang untuk
mengerjakan ibadah, karena sakit itu tidak merusakkan akal dan
ucapan. Sebaliknya sakit itu hanya membuat kondisi fisiknya
lemah, sehingga disuruhlah orang yang sakit untuk mengerjakan
ibadah seberapa ia sanggup. bila tidak dapat berdiri,
dibolehkan duduk, dan jika tidak mampu duduk, dibolehkan
berbaring. bila berat untuk berpuasa, boleh berbuka dan
nanti sesudah sembuh, barulah ia diwajibkan mengqadha
sebanyak hari yang ia ditinggalkan.
Hanya karena sakit salah satu sebab mati, dan mati itu
merupakan salah satu sebab kepindahan harta kepada ahli waris,
menjadilah sakit itu sebab bagi bergantungnya hak orang yang
memberi utang dan ahli waris kepada harta si sakit itu. L antaran
inilah orang yang berpiutang menahan segala harta si sakit itu,
yakni jika utang itu menghabiskan harta dan boleh si waris
menghambat wasiat-wasiat yang lebih dari sepertiga harta.200
g. Haid dan Nifas
Haid dan nifas tidak mengugurkan seseorang untuk
melaksanakan kewajiban dan menunaikannya. Hanya saja,
lantaran syarak telah mensyaratkan suci dari haid dan nifas
untuk sah mengerjakan shalat, maka tidaklah sah shalat yang
dikerjakan, selama dalam keadaan haid dan bernifas. Selanjutnya,
bagi wanita yang sedang haid dan atau nifas, digugurkan
kewajiban mengqadha shalat sedang puasa yang ditinggalkan
wajib untuk diqadha. Hal yang demikian yaitu karena bila
diwajibkan mengqadha shalat, akibatnya akan menimbulkan
kesupaya n dan kepicikan bagi orang perempuan. Mengenai tetap
diwajibkan qadha puasa, yaitu mengingat bahwa puasa itu
hanya setahun sekali, sehingga banyak waktu dan kesempatan
bagi wanita untuk mengerjakannya. Lantaran dicegah
menunaikan puasa dalam masa ini , hilanglah kewajiban
selama waktu itu. Dan diwajibkan qadha puasa yaitu karena
wanita tetap mendapati sebab wajib berpuasa, yaitu melihat awal
bulan ramadhan.
h. Mati .
Mati menggugurkan segala hukum yang dibebankan kepada
manusia sewaktu di dunia, seperti zakat, haji dan lain -lain, dan
terbebankan atas pundaknya dosa kelalaian dan kesalahannya.
Dalam pada itu hukum-hukum yang dibebankan atasnya dan
terkait hak oranng lain tetap berlaku, dalam pngertian tidak di
gugurkan. Sebagai contoh, jika seseorang memegang amanah
orang, atau pinjaman orang yang masih dalam tangannya, atau
barang yang dighasab, maka semuanya wajib dikembalikan
kepada pemiliknya. Akan halnya utang, maka tidak lagi melekat
pada tanggungjawabnya, karena sesudah mati tidak ada
pertanggung jawaban lagi. Hanya jika ia meninggalkan harta,
atau ada yang menanggungnya untuk membayarnya sebelum
mati (pertanggungjawaban itu telah dilakukan saat sebelu
matinya), maka wajiblah utang itu ditunaikan dari hartanya, atau
oleh pihak menanggungnya ini .
Menurut A bu H anifah, tidak boleh kita menanggung
membayar hutang si mayit, jika pertanggungjawaban itu dilakukan
sesudah mati. Sedangkan menurut Muh ammad Ibnu al-Hasan dan
Abu Yusuf, boleh kita menanggung utang si mayit sesudah matinya,
karena si mayit itu tidak bisa terlepas dari tanggungjawab membayar
hutang disebabkan kematianya. Oleh karena itu, bila nyata-nyata si
mayit meninggalknan harta, boleh kita menuntut hutang si mayit
ini untuk dibayarkan, demikian pula bila ada seseorang
yang ingin membayar utang si mayit, halallah bagi kita
mengambilnya dan menuntutnya. 203
َٝ َصخـ َٓ ٍَ ُØ¿َس Ù ََِØ» Ù ِِّÙ€َظُـ٣ َÙ„َ َْ ّÙ€َِÙ€َع َٝ ِٚ Ù¤َِْÙ€َØ» ُï·² Ù ََِّØ· ِï·² ٍُ ْٞ Ù€ُعَس َٕ Ø® ًَ
, ِٕ ØَسخَÙ€٘ـ٣ِْد , ْْ Ù€َؼَÙ€ٗ : Ø ْٞ ُÙ€َُخه ؟ ٌٖ Ù£َْد ِٚ Ù¤َْÙ€ِÙ€ََػأ : ٍَ َخوَـك ٍض ّÙ€ِ٤ـ َٔ ِر Ù َُِØ·َؤك ٌٖ Ù£َْد ِٚ Ù¤َْÙ€ِÙ€َØ»
َÙƒ . ْْ ٌُ ِـزـِكخـَØ· Ù ََِØ» Ø ْٞ ّÙ€ُِÙ€َØ· : ٍَ َخه َّÙ َِÙ€َØ» Ø® َٔ ُÙ€ٛ : ِٟسخَظـْٗ ََْÙ„ْØ َسَدَخظَـه ْٞ ُÙ€َرأ ٍَ Ø®َـوـ
ِï·² ٍَ ْٞ Ù€ُعَس َخ٣
Artinya : yaitu R asulullah saw. Tidak mengerjakan shalat untuk
jenazah yang masih memiliki beban berutang. Pada suatu
hari orang membawa kepada Nabi satu jenazah untuk
dishalatkan. M aka beliau bertanya: Apakah orang ini
memiliki hutang yang belum dibayarkan? Para shahabat
menjawab : Ada, sebanyak dua dinar. M endengar itu nabi
pun bersabda: “ Shalatkanlah dia” . K etika itu, Abu Qatadah
berkata: U tang nya saya tanggung, ya R asulullah.
Dalam kisahnya, sesudah Nabi mendengar pengakuan Qatadah
itu, barulah beliau mengerjakan shalat atas jenazah ini . Jika
pekerjaan itu di syariatkan atasnya untuk mewujudkan hubungannya
dengan orang lain, seperti nafkah anak istrinya, zakat d an fitrah,
maka semuanya itu gugur dengan kematiannya, terkecuali jika ia
mewajibkan kita memenuhi akan hal ini , maka hendaklah
diambil dari sepertiga hartanya.
Abu Yusuf, boleh kita menanggung utang si mayit sesudah matinya,
karena si mayit itu tidak bisa terlepas dari tanggungjawab membayar
hutang disebabkan kematianya. Oleh karena itu, bila nyata-nyata si
mayit meninggalknan harta, boleh kita menuntut hutang si mayit
ini untuk dibayarkan, demikian pula bila ada seseorang
yang ingin membayar utang si mayit, halallah bagi kita
mengambilnya dan menuntutnya.
َٝ َصخـ َٓ ٍَ ُØ¿َس Ù ََِØ» Ù ِِّÙ€َظُـ٣ َÙ„َ َْ ّÙ€َِÙ€َع َٝ ِٚ Ù¤َِْÙ€َØ» ُï·² Ù ََِّØ· ِï·² ٍُ ْٞ Ù€ُعَس َٕ Ø® ًَ
, ِٕ ØَسخَÙ€٘ـ٣ِْد , ْْ Ù€َؼَÙ€ٗ : Ø ْٞ ُÙ€َُخه ؟ ٌٖ Ù£َْد ِٚ Ù¤َْÙ€ِÙ€ََػأ : ٍَ َخوَـك ٍض ّÙ€ِ٤ـ َٔ ِر Ù َُِØ·َؤك ٌٖ Ù£َْد ِٚ Ù¤َْÙ€ِÙ€َØ»
َÙƒ . ْْ ٌُ ِـزـِكخـَØ· Ù ََِØ» Ø ْٞ ّÙ€ُِÙ€َØ· : ٍَ َخه َّÙ َِÙ€َØ» Ø® َٔ ُÙ€ٛ : ِٟسخَظـْٗ ََْÙ„ْØ َسَدَخظَـه ْٞ ُÙ€َرأ ٍَ Ø®َـوـ
ِï·² ٍَ ْٞ Ù€ُعَس َخ٣
Artinya : yaitu R asulullah saw. Tidak mengerjakan shalat untuk
jenazah yang masih memiliki beban berutang. Pada suatu
hari orang membawa kepada Nabi satu jenazah untuk
dishalatkan. M aka beliau bertanya: Apakah orang ini
memiliki hutang yang belum dibayarkan? Para shahabat
menjawab : Ada, sebanyak dua dinar. M endengar itu nabi
pun bersabda: “ Shalatkanlah dia” . K etika itu, Abu Qatadah
berkata: U tang nya saya tanggung, ya R asulullah.
Dalam kisahnya, sesudah Nabi mendengar pengakuan Qatadah
itu, barulah beliau mengerjakan shalat atas jenazah ini . Jika
pekerjaan itu di syariatkan atasnya untuk mewujudkan hubungannya
dengan orang lain, seperti nafkah anak istrinya, zakat d an fitrah,
maka semuanya itu gugur dengan kematiannya, terkecuali jika ia
mewajibkan kita memenuhi akan hal ini , maka hendaklah
diambil dari sepertiga hartanya.
2. Halangan Internal.
Adapun halangan-halangan hukum yang bersifat internal,
dalam pengertian dapat diusahakan oleh mukallaf sendiri yaitu
sebagai berikut:
a. Mabuk .
Mabuk yaitu hilangnya daya akal yang disebabkan oleh khamr
atau sejenisnya sehingga alur berbicaranya tidak beraturan dan
mengigau.205 Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, mabuk
yaitu tertutupnya akal dikarenakan oleh makanan yang
memabukkan, baik sifatnya cair atau padat.206
Mabuk jika penyebabnya tidak bertentangan dengan syariat,
seperti mabuk karena terpaksa meminum minuman yang
memabukkan, atau diminumnya untuk obat, maka diserupakan
hukum orang yang mabuk itu dengan orang yang pingsan. Tidak sah
pekerjaanya, tidak sah talaknya dan tidak sah ia memerdekakan
budak. Tetapi jika mabuknya karena kemaksiatan, tidaklah
mengakibatkan gugurnya suatu kewajiban baginya. Selanjutnya, ia
dianggap sah bila ia menetapkan hukum, memerdekakan budak,
melakukan jual beli, sah atas pengakuannya, mengawinkan anaknya,
perkawinannya, membayar utang dan berutang, dan lain sebagainya.
Dianggap demikian, yaitu karena akalnya dikala mabuk tidak hilang
daripadanya. Hanya akalnya pada saat itu tidak sanggup memahami
perintah syarak yang ditujukan kepadanya karena kemaksiatan. Oleh
sebab itu ia wajib menanggung segala kesalahan yang ia lakukan
dalam mabuknya dan diwajibkan mengqadha segala shalat yang ia
tinnggalkan selama mabuk, demikian pula ibadah yang lain. Dalam
pada itu jika dia mengawinkan anakanya dengan yang tidak sekufu
maka perkawinan itu tidak disahkan.
Ringkasnya segenap fuqaha tidak menggugurkan taklif atau
pembebanan hukum dari orang yang mabuk dikarenakan maksiat,
bahkan mabuk itu tidak mengurangi pembebanan hukum. Mabuk itu
satu kesalahan, maka tidak layak sekali-kali kesalahan itu dijadikan
sebab keringanan hukum.
Tidak boleh seseorang mengambil manfaat dan pekerjaan
maksiatnya. Demikianlah pendapat jumhur ahli fiqh dalam soal ini.
Akan tapi perlu kiranya dalam soal ini diadakan ijtihad
kembali karena walaupun mabuk itu merupakan maksiat, namun
pengaruh mabuk itu sama saja, sama-sama hilang akal. Banyak di
antara fuqaha dari berbagai mazhab menetapkan bahwa mabuk itu
menghilangkan akal. Karena itu tidak sah akad orang yang mabuk,
tidak sah ucapan dan perbuatannya, walaupun dia disalahkan jika
membuat jinayah dalam mabuknya itu dan membayar harta-harta
yang dirusakkan, baik mabuk dari denda yang mubah seperti obat
atau dari yang haram, seperti khamr, baik mabuk itu dengan
disengaja atau dipaksa orang”.
Para fuqaha berpandangan mengenai zat yang memabukkan
antara lain ialah (Ibnu Qayim), dengan panjang lebar beliau
membicarakan soal ini, beliau menerangkan bahwa bersumpah,
mentalak istri dalam keadaan hilang akal lantaran gila, pingsan atau
minum minuman keras, baik di uzurkan, tidak dipandang sah
sumpahnya dan talaknnya.
Menurut keterangan Ibnu Qayim, bahwa di antara ulama
Ahnaf yang berpendapat demikian yaitu Abu Ja’far Ath Thahawy,
Abdul Hasan Al -Karakhy, Abu Jusuf dan Yufar. Di antara ulama
Syafi`iyah, ialah Al -Muzamy, Ibnu Syuraih. Dan pendapat ini pula
yang dipilih Al-Juwainy dalam kitabnya A l-Nihayah. Ibnu Qayim
berpendapat pula bahwa pendapat yang benar dalam soal ini ialah
tidak dianggap perkataan pemabuk, baik mengenai shalat,
memerdekakan budak, jual beli, pemberian hadiah, wafat, Islam,
riddah maupun pengakuan berdasar beberapa dalil QS An-Nisa
[4] : 42 sebagai berikut :
َÙ„َ َٝ َعَْسْÙ„ْØ ُْ Ù€ِٜ ِـر َّٟٞ َغُـط ْٞ َُ ٍَ ْٞ Ù€ُع َّØ´ُØ Ø ُٞ Ù€َظـَØ» َٝ Ø ْٝ ُØ´َـلـ ًَ َٖ Ù£ِْز ّÙ€َُØ ُّد َٞ ّÙ€َÙ£ ٍزِـجـ َٓ ْٞ َـ٣
ًخؼ٣ِْذـَÙƒ َï·² َٕ ْٞ Ù€ ُٔ ُـظـ ٌْ َـ٣
Tidak boleh seseorang mengambil manfaat dan pekerjaan
maksiatnya. Demikianlah pendapat jumhur ahli fiqh dalam soal ini.
Akan tapi perlu kiranya dalam soal ini diadakan ijtihad
kembali karena walaupun mabuk itu merupakan maksiat, namun
pengaruh mabuk itu sama saja, sama-sama hilang akal. Banyak di
antara fuqaha dari berbagai mazhab menetapkan bahwa mabuk itu
menghilangkan akal. Karena itu tidak sah akad orang yang mabuk,
tidak sah ucapan dan perbuatannya, walaupun dia disalahkan jika
membuat jinayah dalam mabuknya itu dan membayar harta-harta
yang dirusakkan, baik mabuk dari denda yang mubah seperti obat
atau dari yang haram, seperti khamr, baik mabuk itu dengan
disengaja atau dipaksa orang”.
Para fuqaha berpandangan mengenai zat yang memabukkan
antara lain ialah (Ibnu Qayim), dengan panjang lebar beliau
membicarakan soal ini, beliau menerangkan bahwa bersumpah,
mentalak istri dalam keadaan hilang akal lantaran gila, pingsan atau
minum minuman keras, baik di uzurkan, tidak dipandang sah
sumpahnya dan talaknnya.
Menurut keterangan Ibnu Qayim, bahwa di antara ulama
Ahnaf yang berpendapat demikian yaitu Abu Ja’far Ath Thahawy,
Abdul Hasan Al -Karakhy, Abu Jusuf dan Yufar. Di antara ulama
Syafi`iyah, ialah Al -Muzamy, Ibnu Syuraih. Dan pendapat ini pula
yang dipilih Al-Juwainy dalam kitabnya A l-Nihayah. Ibnu Qayim
berpendapat pula bahwa pendapat yang benar dalam soal ini ialah
tidak dianggap perkataan pemabuk, baik mengenai shalat,
memerdekakan budak, jual beli, pemberian hadiah, wafat, Islam,
riddah maupun pengakuan berdasar beberapa dalil QS An-Nisa
[4] : 42 sebagai berikut :
َÙ„َ َٝ َعَْسْÙ„ْØ ُْ Ù€ِٜ ِـر َّٟٞ َغُـط ْٞ َُ ٍَ ْٞ Ù€ُع َّØ´ُØ Ø ُٞ Ù€َظـَØ» َٝ Ø ْٝ ُØ´َـلـ ًَ َٖ Ù£ِْز ّÙ€َُØ ُّد َٞ ّÙ€َÙ£ ٍزِـجـ َٓ ْٞ َـ٣
ًخؼ٣ِْذـَÙƒ َï·² َٕ ْٞ Ù€ ُٔ ُـظـ ٌْ َـ٣
Artinya : Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
mendurhakai R asul, ingin supaya mereka disamaratakan
dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan
(dari Allah) sesuatu kejadianpun.(QS An-Nisa [4] : 42).
R asulullah saw. menyuruh supaya dicium bau mulut M a’ iz
untuk diketahui apakah dia mabuk. K etika M a’iz mengikrarkan zina,
kalau dia dalam mabuk, tidaklah diterima pengakuannya.
Rasulullah saw. tidak menyuruh Hamzah memperbarui
islamnya, setelah Hamzah menjawab perkataan -perkataan
Rasulullah saw., sedang Hamzah saat itu sedang mabuk. H amzah
pada ketika itu berkata: “ K amu ini semuanya budak-budak orang
tuaku”.
Utsman dan Ibnu Abbas menfatwakan bahwa talak si pemabuk
tidak jatuh. Pendapat yang benar, ialah mengqiyaskan pemabuk
dengan benda yang haram atau dengan ketiadaan uzur kepada
pemabuk dengan benda yang mubah, atau dengan yang di uzurkan,
selama ada illat (pemabuk-pemabuk itu) yang menghendaki
kebatalan tassaruf-tassarufnya, yaitu hilang akal.
b. Ber gurau atau bermain-main
B ergurau atau bermain-main yaitu mengucapkan suatu
perkataan yang tidak dikehendaki berlakunya. Berpura -pura itu
sama sekali tidak menghilangkan kemampuan hukum atau
kemampuan bertindak (al- ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ ),
kebebasan berkehendak dan kerelaan. Aktifitas yang memungkinkan
seseorang bergurau ada tiga macam, yaitu: 1) Pengungkapan k ata-
kata; 2) Pe mberitahuan; 3) Kepercayaan. 208
Mengeluarkan sesuatu perkataan yang menjadi sebab
terwujudnya suatu hukum ada dua macam yaitu: 1) Boleh dibatalkan;
2) Tidak boleh dibatalkan Sebab -sebab yang tidak diikuti oleh
pembayaran atau tidak menghendaki pembayaran, seperti talak,
kemerdekaan budak, memaafkan kesalahan, bernazar dan sumpah,
maka sebab-sebab itu dipadang sah, berpura-pura batal. Demikian
menurut jumhur ulama.
Pada suatu riwayat mengenai kemerdekaan budak. Jika sebab -
sebab itu diikuti oleh pembayaran, seperti bernikah, sah pula nikah
itu, tentang mas kawin, diambil menurut permufakatan yang terjadi
antara laki-laki dan istri sesudah terjadi aqad. Kemudian jika sebab -
sebab itu meminta pembayaran dan pula yang dimaksudkan dari
pekerjaan itu, seperti khulu’ (talak dengan upah). Memerdekakan
budak dengan pembayaran sah pula dengan berpura-pura itu,
dengan pembayarannya menurut yang disebutkan dalam akad.
demikian pendapat jumhur ahli ushul dalam urusan berpura-pura
mengeluarkan perkataan yang menjadi sebab bagi sesuatu hukum.
Adapun berpura-pura dalam perkhabaran dan kepercayaan,
sama sekali tidak merusakkan kepercayaan. Dalam pada itu
dihukumkan murtad orang yang mempermainkan kalimat kufur
karena dipandang berpura-pera itu menganggap kecil
perbuatannya, karena di pandang berpura-pura itu menganggap
kecil perbuatannya, karena berpura-pura di sini bukan dipandang
benar berpura-pura, tidak sekali-kali dibolehkan.209 Perhatikan
firman Allah swt. berikut :
ْٜ َظـْغَـط ْْ ُظـْ٘ Ù€ ًُ ِٚ ُِ ْٞ Ù€ُعَس َٝ ِٚ ِـطَخ٣آ َٝ ِللَّ ِØ®َرأ َْ ُـه ْْ ُـطْØ´َـلـ ًَ ْØ°َـه Ø ْٝ ُسِزَـظـْؼَـط َÙ„َ . َٕ ْٞ ُـثِضـ
: شرٞظُØ( ْْ ٌُ ِÙ€ٗØ® َٔ ـ٣ِْا َذـْؼَـر65 – 66 )
Artinya : Katakanlah : Apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan R asul-
Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah
[9] : 65 – 66).
Di sini, baiklah diberikan peringatan kepada pengatur
sandiwara atau sutradara agar menjauhkan diri dari ucapan-ucapan
pelaku, kata-kata yang mengkufurkan, seperti mengatakan “Saya
tidak percaya akan Allah, saya tidak membenarkan nabi
Muhammad”, dan sebagainya.”
maka sebab-sebab itu dipadang sah, berpura-pura batal. Demikian
menurut jumhur ulama.
Pada suatu riwayat mengenai kemerdekaan budak. Jika sebab -
sebab itu diikuti oleh pembayaran, seperti bernikah, sah pula nikah
itu, tentang mas kawin, diambil menurut permufakatan yang terjadi
antara laki-laki dan istri sesudah terjadi aqad. Kemudian jika sebab -
sebab itu meminta pembayaran dan pula yang dimaksudkan dari
pekerjaan itu, seperti khulu’ (talak dengan upah). Memerdekakan
budak dengan pembayaran sah pula dengan berpura-pura itu,
dengan pembayarannya menurut yang disebutkan dalam akad.
demikian pendapat jumhur ahli ushul dalam urusan berpura-pura
mengeluarkan perkataan yang menjadi sebab bagi sesuatu hukum.
Adapun berpura-pura dalam perkhabaran dan kepercayaan,
sama sekali tidak merusakkan kepercayaan. Dalam pada itu
dihukumkan murtad orang yang mempermainkan kalimat kufur
karena dipandang berpura-pera itu menganggap kecil
perbuatannya, karena di pandang berpura-pura itu menganggap
kecil perbuatannya, karena berpura-pura di sini bukan dipandang
benar berpura-pura, tidak sekali-kali dibolehkan.209 Perhatikan
firman Allah swt. berikut :
ْٜ َظـْغَـط ْْ ُظـْ٘ Ù€ ًُ ِٚ ُِ ْٞ Ù€ُعَس َٝ ِٚ ِـطَخ٣آ َٝ ِللَّ ِØ®َرأ َْ ُـه ْْ ُـطْØ´َـلـ ًَ ْØ°َـه Ø ْٝ ُسِزَـظـْؼَـط َÙ„َ . َٕ ْٞ ُـثِضـ
: شرٞظُØ( ْْ ٌُ ِÙ€ٗØ® َٔ ـ٣ِْا َذـْؼَـر65 – 66 )
Artinya : Katakanlah : Apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan R asul-
Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah
[9] : 65 – 66).
Di sini, baiklah diberikan peringatan kepada pengatur
sandiwara atau sutradara agar menjauhkan diri dari ucapan-ucapan
pelaku, kata-kata yang mengkufurkan, seperti mengatakan “Saya
tidak percaya akan Allah, saya tidak membenarkan nabi
Muhammad”, dan sebagainya.”
c. Safah ( kurang cermat atau boros)
Safah yaitu seseorang yang dengan mudahnya
membelanjakan hartanya secara tidak masuk akal dan tanpa
disadari. Orang yang s afah atau boros itu, tidak menggugurkan hak
dan kewajiban hukum, baik yang terkait dengan hak-hak Allah
maupun hak-hak hamba. H anya syarak mencegah si safah agar tidak
membelanjakan hartanya sesuka hatinya demi menjaga keselamatan
hartanya. bila safah diderita seseorang hingga balighnya,
wajiblah atas hakim menguasai harta itu sebagiamana perintah Allah
dalam Alquran. bila dirasakan penyakit safahnya telah hilang dan
mempunyai petunjuk, barulah kita serahkan harta ini dalam
penguasaannya, seperti yang dititahkan dalam Alquran. Dan harus
juga di maklumi, bahwa yang hendak menjatuhkan vonis safah itu
ialah hakim atau qadhi, dan hakim harus memegang harta itu
sebagaimana perintah Allah dalam Alquran.
Selanjutnya bila dirasakan penyakit safahnya telah hilang
dan mempunyai bukti, barulah kita serahkan harta ini dalam
penguasaanya, seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Alquran.
Harus juga dimaklumi, bahwa yang hendak menjatuhkan vonis safah
itu ialah hakim atau qadhi. Jika timbul yang demikian sesudah lewat
dari masa sampai umur ( baligh ), maka Imam Abu Hanifah tidak
membolehkan lagi ditahan (dilarang dia mentasarufkan hartanya)
sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan membolehkan.
d. Safar (bepergian)
Safar yaitu menyengaja untuk bepergian ke suatu tempat,
yang bila mengendarai onta atau berjalan kaki akan memakan
waktu tiga hari atau lebih. Artinya, sebuah perjalanan jauh yang
dalam bahasa fiqh disebut masafat al - qashr, bukan asal keluar dari
rumah atau perjalanan yang dekat.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa safar tidak
menggugurkan kewajiban, hanya saja dapat meringankannya, di
mana seseorang dibolehkan qashar dan jamak shalat di dalam
perjalanan dibo