Tampilkan postingan dengan label kecemasan 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kecemasan 5. Tampilkan semua postingan
kecemasan 5
By tuna at November 27, 2023
kecemasan 5
yang keduanya memiliki keuntungan menimbulkan efek samping motoric yang lebih sedikit.
Selain itu Risperidon dapat memperbaiki memori jangka pendek, sehingga perbaikan memori
berkorelasi dengan peningkatan kemampuan dalam mempelajari keterampilan social dan
rehabilitasi psikososial.
Evaluasi Terapi Obat, Obat-obatan antipsikotik merupakan bagian yang tidak dapat
dihapuskan dalam penanganan skizofrenia dan tanpa diragukan akan terus menjadi suatu
komponen penting. Keberhasilan Olanzapin, Klozapin dna Risperidon telah mendorong
upaya berkesinambungan untuk menemukan berbagai terapi obat yang baru dan lebih efektif
bagi skizofrenia. Banyak obat lain yang saat ini sedang dievaluasi, sehingga kita mungkin
berada di awal era baru dalam penanganan skizofrenia.
B. Penanganan psikologis
1. Terapi Psikodinamika
Freud yakin bahwa penderita skizofrenia tidak mampu megembangkan hubungan
interpersonal terbuka yang penting bagi analisis. Sedangkan Sullivan berpendapat bahwa
skizofrenia mencerminkan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke bentuk
komunikasi pada awal masa kanak – kanak, sehingga terapi menghendaki pasien untuk
mempelajari bentuk – bentuk komunikasi orang dewasa dan memperoleh insight atas
peran masa lalu dalam berbagai masalah saat ini. Ia menyarankan pembentukan hubungan
kepercayaan yang bertahap. Setelah terbentuk rasa percaya dan dukungan yang lebih
besar, analis mulai mendorong pasien untuk mengkaji berbagai hubungan
interpersonalnya. Fromm-Reichmann menganggap perilaku menyendiri para pasien
skizofrenia merupakan cerminan keinginan untuk menghindari berbagai penolakan yang
dialaminya pada masa kanak – kanak, sehingga dalam penanganannya diperlukan
kesabaran dan optimisme besar dari terapis. Bentuk terapi yang disarankan oleh Sullivan
dan Reichmann dapat dikatakan berhasil dalam menangani pasien yang mengalami
gangguan ringan. Namun pasien skizofrenia yang tidak mampu berpikir jernih tentang
berbagai hal, dapat membuat terapi ini berbahaya ketika diterapkan pada pasien yang
berada pada fase episode psikotik akut.
2. Terapi Psikososial
Terapi ini mengambil langkah yang lebih aktif dalam penanganan dan fokus
pada masa sekarang, dengan asumsi sejumlah besar stres yang dialami pasien disebabkan
oleh kesulitan dalam menegosiasikan berbagai tantangan sosial sehari – hari. Bentuk
terapi psikosial yang dapat diterapkan bagi penderita skizofrenia yakni:
Pelatihan Keterampilan Sosial, dirancang untuk mengajari para penderita
skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang beragam,
seperti bagaimana membahas pengobatan mereka dengan psikiater, bagaimana memesan
makanan di restoran, bagaimana menolak tawaran produk pinggir jalan. Bellack, Hersen,
dan Turner (1976) melakukan demonstrasi pelatihan keterampilan sosial dengan
merekayasa situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenik kronis dan mengamati apakah
mereka dapat berperilaku secara pantas dalam lingkungan sosialnya. Sesuai perkiraan,
ketiga pasien tersebut tidak terlalu baik dalam memberikan respons yang pantas secara
sosial (dalam hal ini mengekspresikan rasa terima kasih). Kemudian terapis mendorong
pasien untuk memberikan respons, memberi komentar yang membantu upaya pasien,
bahkan jika diperlukan terapis dapat memberikan contoh perilaku yang pantas sehingga
pasien dapat meniru perilaku tersebut. Kombinasi permainan peran, modeling, dan
penguatan positif menghasilkan perbaikan signifikan pada keterampilan sosial pasien.
Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi dikembangkan untuk
meredakan segala sesuatu bagi pasien, dengan cara meredakan segala sesuatu bagi
keluarga (baca buku abnormal hal 486). Beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam
terapi ini yakni:
-Edukasi tentang skizofrenia terutama masalah kerentanan biologis yang
mempredisposisi seseorang terhadap penyakit tersebut, berbagai masalah
kognitif terkait, simtom – simtomnya, dan berbagai tanda akan terjadinya
kekambuhan. Edukasi diberikan agar para anggota keluarga tidak menaruh
ekspektasi tinggi dan tidak mengkritik anggota keluarga yang menderita
skizofrenia.
-Informasi tentang berbagai pengobatan antipsikotik dan efeknya serta
pemantauan pelaksanaan pengobatannya
-Menghindari saling menyalahkan diri sendiri maupun pasien atas penyakit dan
semua kesulitan yang dialami keluarga dalam menghadapi penyakit
tersebut
-Memperbaiki komunikasi, cara mengekspresikan perasaan positif maupun
negatif, dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga
-Mendorong pasien dan keluarganya memperluas kontak sosial, terutama
jaringan dukungan mereka
-Menanamkan harapan bahwa segala sesuatu dapat menjadi lebih baik
3. Terapi Kognitif Behavioral
Terapi Personal adalah suatu pendekatan kognitif behavioral terhadap berbagai
masalah yang dialami para pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi
individualistik ini dilakukan secara satu persatu maupun dalam kelompok kecil misalnya
lokakarya. Fokus terapi ini sebagian besar terletak pada pasien, bukan keluarganya.
Elemen utama dalam pendekatan ini adalah mengajari pasien bagaimana mengenali afek
yang tidak sesuai dan memperhatikan tanda – tanda kekambuhan (penarikan diri dari
kehidupan sosial atau intimidasi terhadap orang lain) serta mengajarkan berbagai
keterampilan untuk mengurangi masalah tersebut. Terapi ini juga mencakup terapi
perilaku rasional emotif untuk membantu menurunkan kadar stress mereka, dan
mengajarkan pasien teknik relaksasi otot dalam mendeteksi kecemasan atau kemarahan
yang kemudian dapat diterapkan untuk mengendalikan emosi menjadi lebih baik. Selain
itu dalam terapi ini juga terdapat elemen non behavioral yakni berupa penerimaan yang
hangat dan empatik atas gangguan emosional dan kognitif pasien bersama dengan
ekspektasi yang realistik, namun optimistik bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Hal
penting dalam terapi ini adalah “manajemen kritisisme dan penyelesaian konflik”. Hal ini
merujuk pada cara menghadapi umpan balik negatif dari orang lain dan cara
menyelesaikan berbagai konflik interpersonal dalam berhubungan dengan orang lain.
Terapi Reatribusi membantu pasien memberikan makna psikotik terhadap
berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang
berbahaya. Dengan peringatan bahwa pendekatan ini hanya tepat bagi minoritas pasien
skizofrenia. Pendekatan ini berkonsentrasi pada upaya menormalkan fungsi – fungsi
kognitif fundamental seperti perhatian dan memori yang diketahui melemah pada banyak
pasien skizofrenik dan berhubungan dengan adaptasi sosial yang buruk. Dalam
meningkatkan fungsi – fungsi kognitif dasar pasien dapat dilakukan melalui berbagai
cara psikologis seperti: kemampuan belajar verbal, dan kemampuan untuk memahami
serta mengingat apa yang ditampilkan dalam suatu gambar.
C. Manajemen Kasus
Para manajer kasus dalam penanganan kasus pasien skizofrenia berfungsi sebagai
penghubung yang merekatkan dan mengkoordinasi seluruh layanan medis dan psikologis
yang penting bagi para pasien agar tetap dapat berfungsi di luar rumah sakit. Indikasinya
penanganan yang lebih intensif ini cukup baik dalam mengurangi lamanya masa perawatan
di rumah sakit dan mengurangi simtom – simtom, namun tidak menunjukkan efek positif
dalam keberfungsian sosial dan lamanya masa hukuman penjara.
D. Kecenderungan Umum dalam penanganan
Keluarga dan pasien dapat diberi informasi yang realistis dan cukup ilmiah tentang
skizofrenia sebagai suatu disabilitas yang dapat dikendalikan, namun mungkin
dialami seumur hidup
Pengobatan hanya merupakan bagian dari gambaran keseluruhan penanganan
Intervensi dini dengan memberikan pengobatan, dukungan, dan informasi bagi
keluarga dan psikoterapi yang tepat bagi pasien dapat mengurangi parahnya
kekambuhan dan juga berguna untuk memengaruhi perjalanan skizofrenia
Faktanya, beberapa penanganan terpadu tersebut tidak tersedia atau tidak dapat
diakses secara luas oleh sebagian besar pasien dan keluarga mereka.
E. Berbagai Isu yang Berkembang dalam Perawatan
Seiring bertambahnya usia para pasien skizofrenia, maka semakin tidak mungkin
mereka tinggal bersama keluarga mereka. Banyak penderita skizofrenia yang tidak mendapat
hak jaminan sosial karena berbagai lembaga birokrasi federal dan negara bagian yang tidak
memiliki staf yang memadai. Dan banyak pasien skizofrenia yang kehilangan kontak dengan
berbagai program penanganan pasca rumah sakit yang pernah mereka ikuti. Tantangan besar
lainnya yang belum teratasi secara maksimal adalah mendapatkan pekerjaan karena bias
terhadap mereka yang pernah dirawat di rumah sakit mental dan mencegah penyalahgunaan
zat di kalangan penderita skizofrenia. Meskipun demikian, gejala positifnya adalah sekitar
separuh pasien skizofrenia mampu merawat diri sendiri dan berpartisipasi secara bermakna di
masyarakat luas.
CONTOH KASUS SKIZOFRENIA
Contoh Kasus 1
Joe adalah siswa yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim football,
mempertahankan ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya.
Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya
mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia
mulai berkurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan
berhenti menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus
membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa kata-kata dalam
naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan sesuatu cara
memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Joe mulai
menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk
mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan dalam
naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya
dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan
dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat
mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan
apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka sedang membicarakannya.
Contoh Kasus 2
Roger adalah pria berusia 36 tahun yang memiliki riwayat panjang mendengar suarasuara yang menyuruhnya untuk melukai diri sendiri dan orang lain. Ia telah menuruti suarasuara itu di masa yang lalu dan akibatnya ia harus menjalani pemenjaraan karena telah
mengancam seseorang dengan sebilah pisau. Ia juga takut dilukai oleh musuh-musuhnya dan
hal itu mengakibatkannya tidak tidur dengan tujuan untuk melindungi dirinya sendiri. Roger
secara aktif menggunakan alkohol, ganja dan kokain untuk mengatasi gejala-gejalanya. Roger
telah lama berhenti minum obat dari dokternya karena pengalamannya akan
ketidaknyamanan efek sampingnya. Ia melaporkan bahwa ia merasa letih dan tidak dapat
berhenti melangkah. Ia pada mulanya mengalami pemulihan saat pertama kali menggunakan
narkoba dan alkohol. Tapi segera setelah itu ia menemukan bahwa semakin banyak ia
menggunakan narkoba dan alkohol semakin ia merasa bahwa orang lain ingin
membahayakan dirinya dan menjadikannya semakin waspada sehingga gejala-gejalanya
kembali menjadi parah. Kekhawatiran Roger akan melukai orang lain dan ketakutan akan
dilukai telah mengakibatkan dirinya memiliki rencana untuk bunuh diri. Ia tak mampu untuk
mengetahui kaitan antara obat dari dokternya dan narkoba dengan pengendalian gejala dan
pemburukan penyakitnya. Roger juga harus berjuang melawan diabetes dan ketidakmapanan
gula darah karena kurang gizi dan penggunaan alkohol.
Contoh Kasus 3
Edward menghabiskan waktunya sendirian di tempat tidur, jika ia bisa. Sebelum ia
sakit, ia menikmati waktunya bersama keluarganya atau bekerja. Kadangkala ia berpikir
masalah pekerjaan, dan kadang-kadang ia membuat rencana, namun ia nampaknya tak pernah
mencapai tahap wawancara atau kontrak kerja. Saat ia mengunjungi orang tuanya mereka
mencoba membujuknya untuk berbicara tentang masalah keluarga atau politik. Edward tak
banyak berkata-kata. Walaupun ia menolak dikatakan depresi, dan ia mengungkapkan
harapannya akan masa depan, ia hampir-hampir tak pernah tersenyum dan benci untuk
membereskan piring sisa makan atau membereskan tempat tidurnya. Psikiater telah
menanyainya tentang suara-suara, akan tetapi Edward bersikukuh bahwa ia tak pernah
mendengarnya. Saat ia dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya, ia ingat, ia kesulitan
untuk mempertahankan jalan pikirannya, dan ia tahu ia bertingkah aneh karena polisi
menangkapnya saat ia keluyuran di jalanan ketika mengenakan pakaian menyelam. Tapi
Edward tak dapat mengingat kenapa dan nampaknya hal itu bukan lagi merupakan masalah
baginya.
Contoh kasus 4
Luna, Perempuan berusia 41 tahun, merupakan anak kelima dari lima bersaudara dan
sudah menikah. Selama 1 bulan terakhir, ia mengeluh mudah marah dan sulit tidur. Luna
membakar bajunya sendiri dan sering memukul keluarganya karena menurut Luna ada suarasuara yang menyuruhnya untuk melakukan hal tersebut. Suara-suara itu sering muncul dan
mirip dengan suara-suara keluarganya, kadang kakak, atau ayahnya. Luna juga sering pergi
keluar rumah dan lama kembali. Setiap keluar rumah Luna merasa sering dilihat oleh orangorang seperti pandangan jijik melihat dirinya. Tidur Luna juga tidak nyenyak dan sering
terbangun pada malam hari karena diganggu oleh bisikan- bisikan. Bisikan itu kadang
menyuruh Luna untuk melakukan sesuatu, seperti menyuruhnya melempari rumah tetangga
karena tetanga tersebut sedang membicarakan dirinya, kadang Luna disuruh untuk telanjang
dan keluar rumah. Kadang bisikan tersebut mengejek dirinya, dan mengancam dirinya bahwa
ia akan masuk neraka jika tidak menuruti apa yang diperintahkan oleh bisikan tersebut.
Kadang bisikan itu mengajak Luna untuk mengobrol. Selain mengganggu tidur bisikan
tersebut sering mengganggu saat Luna ingin melakukan pekerjaan rumah, sehingga kadang
Luna malas untuk membersihkan rumah dan hanya duduk saja di dalam rumah.
Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat
I. Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
Penggunaan zat secara patologis dikelompokan dalam dua kategori :
1. Ketergantungan zat
Dalam DSM-IV TR ditandai oleh tiga atau lebih dari hal-hal berikut ini :
Toleransi, yang didefinisikan oleh salah satu dari pengertian berikut :
a. peningkatan diisi zat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diinginkan
b. efek obat menjadi sangat berkurang jika dikonsumsi dalam dosis biasa
Putus zat, yang dimanifestasikan dalam salah satu dari berikut :
a. efek negative fisik dan psikologis, terjadi ketika orang yang bersangkutan
menghentikan atau mengurangi jumlah konsumsi zat
b. menggunakan zat untuk mengurangi atau menghindari gejala putus zat
Zat digunakan dalam jumlah besar atau periode yang lebih lama dari yang diharapkan
Terdapat keinginan yang menetap atau usaha yang gagal untuk mengehentikan atau
mengendalikan penggunaan zat
Banyak waktu yang dipakai dalam aktivitas untuk memperoleh zat, menggunakan zat
atau pulih dari efeknya
Aktivitas sosial, pekerjaan, rekreasional penting ditinggalkan atau dikurangi karena
penggunaan zat
Penggunaan zat tetap dilanjutkan walaupun mengetahui memiliki masalah fisik atau
psikologis yang menetap atau berulang yang kemungkinnan besar telah disebabkan
atau dieksaserbasi oleh zat
2. Penyalahgunaan zat
a. Suatu pola penggunaan zat yang maladaptive yang menyebabkan gangguan atau
penderitaan secara klinis yang bermakna, ditunjukkan oleh satu atau lebih dari kriteria
berikut dan berlangsung dalam periode 12 bulan :
Penggunaan zat berulang yang menyebabkan kegagalan dalam memenuhi
kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (misalnya tidak
hadir secara berulang atau kinerja buruk yang dihubungkan dengan penggunaan
zat : membolos, skors, dikeluarkan dari sekolah, mengabaikan anak dan rumah
tangga yang dihubungkan dengan penggunaan zat)
Penggunaan zat berulang pada situasi yang berbahaya secara fisik
Masalah hukum berhubungan dengan penggunaan zat yang berulang
Penggunaan zat yang berkelanjutan walaupun memiliki masalah sosial atau
interpersonal menetap atau berulang yang disebabkan oleh efek zat
b. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk kelas ini.
Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
Pada kasus yang relatif jarang seseorang yang telah menjadi peminum berat selama beberapa
tahun dapat mengalami Delirium Tremens (DTs) bila kadar alkohol di dalam darah mendadak
turun. Orang yang bersangkutan akan :
- Mengalami delirium dan tremor serta halusinasi yang utamanya visual namun dapat juga
taktil.
- Melihat binatang-binatang yang menjijikkan dan sangat aktif (seperti ular, keoca, labbalaba, dll) merambat di dinding atau di tubuh orang yang bersangkutan.
- Mengalami disorientasi dan ketakutan dalam keaadaan demam
Delirium dan penyakit fisiologis dadakan disebabkan oleh putus alkohol mengindikasikan
orang tersebut mengalami kecanduan.
Pada orang-orang yang mengalami ketergantungan alkohol terdapat periode intoksikasi
alkohol yaitu keinginan untuk minum dapat sangat menguasai sehingga terdorong untuk
minum alkohol yang tidak berbentuk minuman seperti tonik rambut. Dalam DSM-IV TR
intoksikasi alkohol kriterinya sebagai berikut:
a. Baru saja mengingesti alkohol
b. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna yang
berkembang selama atau sesaat setelah ingesti alkohol
c. Satu atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau sesaat setelah penggunaan
alkohol :
1. bicara cadel
2. inkoordinasi
3. gaya melangkah tidak menetap
4. nistagmus
5. gangguan perhatian atau memori
6. slupor atau koma
d. Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan mental lainnya.
Kriteria diagnostik putus alkohol menurut DSM-IV TR :
a. Penghentian atau pengurangan penggunaan alkohol yang telah digunakan lama dan berat
b. Dua atau lebih hal berikut ayng berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari
setelah kriteria a :
1. hiperaktivitas otonomik
2. peningkatan tremor tangan
3. insomnia
4. mual atau muntah
5. halusinasi visual, taktil, atau dengar atau ilusi yang sementara
6. agitasi psikomotor
7. kecemasan
8. kejang grand mal
c. Gejala pada kriteria b menyebabkan penderitaan secara klinis bermakna atau gangguan
pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya
d. Gejala tidka disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan mental lainnya.
Kerugian Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
Bunuh diri, kecelakaan lalu lintas fatal, pembunuhan, penyerangan, kekerasan dalam rumah
tangga, dll
Efek Jangka Pendek Penyalahgunaan Alkohol
Setelah diminum dan masuk ke lambung, alkohol kemudian dimetabolisme oleh beberapa
enzim. Sebagian akan masuk ke usus kecil dan diserap ke dalam darah. Zat kemudia diurai
(terutama di hati, yang dapat memetabolisme sekitar satu ons wiski kadar-100 (50% alkohol)
per jam). Kelebihan dari jumlah itu akan tetap tersimpan di dalam darah.
Alkohol mempunyai efek bifase dimana efek awal alkohol bersifat merangsang (peminum
merasakan suatu perasaan sosiabilitas dan nyaman seiring dengan naiknya kadar alkohol
dalam darah. Setelah kadar alkohol dalam darah mencapai puncak dan menurun, alkohol
berfungsi sebagai depresan dan peminum dapat mengalami peningkatan dalam berbagai
emosi negative.
Terdapat berbagai pengaruh dari alkohol terhadap tubuh seperti:
- mengganggu proses berpikir kompleks: koordinasi motoric, keseimbangan, kemampuan
bicara, dan melemahnya penglihatan
- mengilangkan rasa sakit, dalam dosis yang lebih besar dapat bersifat sedative,
menyebabkan orang tertidur bahkan kematian.
- merangsang berbagai reseptor GABA, yang berperan dalam kemaampuan mengurangi
ketegangan
- meningkatkan kadar serotonin dan dopamine, yang menimbulkan efek yang
menyenangkan
- menghambat reseptor glutamat, yang dapat menimbulkan efek kognitif intosikasi alkohol,
seperti berbicara tidak jelas dan hilangnya memori.
Efek Jangka Panjang Penyalahgunaan Alkohol
Penyalahgunaan alkohol berkepanjangan dapat menyebabkan berbagai masalah seperti:
- kerusakan biologis parah dan kemunduran psikologis
- menghambat pencernaan makanan dan penyerapan vitamin
- berkurangnya asupan protein yang berkontribusi pada timbulnya sirosis hati
- kerusakan kelenjar endokrindan pankreas, gagal jantung, disfungsi ereksi, hipertensi,
stroke, perdarahan pembuluh kapiler dan merusak sel-sel otak
- mempengaruhi performa kognitif
- mengurangi efektivitas sistem imun
- penyebab utaman retardasi mental dimana pertumbuhan janin melambat dan terjadi
kelainan tempurung kepala, wajah serta anggota tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai
sindrom alkohol fetal
II. Nikotin dan Merokok
Kriteria putus nikotin dalam DSM-IV TR yaitu:
a. Menggunakan nikotin setiap hari selama paling kurang beberapa minggu
b. Penghentian penggunaan nikotin secara tiba-tiba atau pengurangan jumlah nikotin yang
digunakan, siikuti oleh empat atau lebih tanda berikut dalam kurun waktu 24 jam:
1. mood distorik atau terdepresi
2. insomnia
3. iritabilitas, frustasi atau kemarahan
4. kecemasan
5. gelisah
6. penurunan denyut jantung
7. peningkatan nafsu makan atau berat badan
c. Gejala pada kriteria b menyebabkan penderitaan secara klinis bermakna atau gangguan
pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya
d. Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan mental lainnya.
Prevalensi dan Konsekuensi Kesehatan
Diantara berbagai masalah kesehatan yang diperparah oleh kebiasaan merokok
berkepanjangan adalah emfisema, yaitu kanker laring dan esophagus, dan sejumlah
penyakit kardiovaskular.
Konsekuensi Perokok Pasif
Asap yang berasal dari ujung rokok yang menyala, yang disebut secondhand smoke atau
Asap Tembakau Lingkungan (ATL), mengandung konsentrasi ammonia, karbon
monoksida, nikotin dan tar yang lebih tinggi disbanding asap yang dihirup oleh perokok.
Efek dari ATL tersebut adalah:
- Menyebabkan kelainan dan kerusakan paru-paru serta beberapa diantaranyya
mengalami reaksi alergi terhadap asap rokok
- Para nonperokok beresiko lebih tinggi mengalami penyakit kardiovaskular
- Infeksi saluran pernafasan atas, bronkitis dan infeksi telinga bagian dalam
III.Mariyuana
Definisi Mariyuana
Mariyuana terdiri dari daun dan bagian atas yang berbunga dari sejenis
tanaman rami yang dikeringkan dan dihancurkan, yaitu Cannabis Sativa. Mariyuana
sering di hisap namun dapat dikunyah, digunakan sebagai teh atau dimakan dalam
makanan yang di panggang.
Kriteria diagnostik dalam DSM IV – TR:
Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna
(misalnya : gangguan koordinasi motoric, euphoria, kecemasan, sensasi waktu
menjadi lambat, gangguan pertimbangan, penarikan diri dari social) yang
berkembang selama atau sesaat setelah menggunakan kanabis.
Beberapa gejala intoksisasi kanabis, antara lain:
- Infeksi konjungtiva
- Peningkatan nafsu makan
- Mulut kering
- Takkikardi
Prevalensi Penggunaan Mariyuana
Penggunaan mariyuana memuncak pada tahun 1979, kemudian menurun
selama dekade berikutnya, mingkat antara tahun 1991 dan 1997, sejak saat itu hanya
menunjukkan sedikit perubahan. Sekitar 6% siswa SMU tahun akhir menuturkan
merokok menggunakan mariyuana setiap hari pada tahun 2000. Meskipun angka
prevalensi lebih tinggi pada laki – laki daripada perempuan namun data menunjukkan
bahwa pengguna pada kaum perempuan meningkat cepat pada tahun 1990-an.
Efek Mariyuana
1. Efek Psikologis
Para perokok mariyuana menemukan bahwa mariyuana membuat
mereka rileks dan mudah bersosialisasi. Jika penggunaannya dalam dosis
besar menimbulkan berbagai perubahan cepat dalam emosi, fokus perhatian
menurun, pikiran yang terpecah dan melemahnya memori dan waktu seolah
berjalan lebih lambat. Dosis yang sangat besar kadang menimbulkan
halusinasi dan berbagai efek lain yang sama dengan efek LSD, termasuk
kepanikan ekstrem yang terkadang muncul dari keyakinan bahwa pengalaman
yang menakutkan tersebut tidak pernah berakhir. Diperlukan waktu hinnga
setengah jam setelah mengisap mariyuana hingga berbagai efeknya timbul,
sehingga banyak pengguna yang menggunakan dosis jauh lebih besar dari
yang dimaksudkan, bahan kimia aktif utama dalam mariyuana telah diketahui
dan dinamai deltra -9- tetrahidrokanabinol (THC) dan jumlahnya pun
bervariasi. Mariyuana banyak menghambat fungsi kognitif, pada akhir tahun
1960-an menemukan sejumlah tes (yang mengganti angka dengan simbol, tes
waktu reaksi, menghapal serangkaian deretan angka dari depan dan belakang,
penghitungan aritmatik, tes pemahamaan bacaan dan berbicara) mengungkap
kelemahan intelektual dan hilangnya memori jangka pendek pada mereka
yang berada di dalam pengaruh mariyuana.
Beberapa studi menunjukkan bahwa mabuk mariyuana melemahkan
keterampilan psikomotorik kompleks yang diperlukan untuk mengendarai
kendaraan bermotor,beberapa penurunan kinerja yang dapat diukur setelah
menghisap satu atau dua batang rokok mariyuana yang mengandung 2% THC
dapat bertahan hingga 8 jam setelah orang yang bersangkutan yakin bahwa ia
sudak tidak mabuk. Suatu studi di AS menemukan terjadinya kelemahan
memori namun bukan ketidakefektifan intelektual secara umum.
2. Efek Somatik
Efek jangka pendek mariyuana seperti mata yang memerah dan gatal,
mulut dan kerongkongan kering, nafsu makan meningkat, berkurangnya
tekanan pada mata, dan agak meningkatkan tekanan darah. Mariyuana
berbahaya bagi orang – orang yang mengalami kelainan fungsi jantung karena
mariyuana ini meningkatkan denyut jantung yang terkadang secara dramatis,
selain itu penggunaan mariyuana dalam waktu lama secara serius dapat
merusak struktur dan fungsi paru – paru.
Para peneliti menyimpulkan berbagai bahwa berbagai masalah memori
jangka pendek yang berhubungan dengan penggunaan mariyuana dikaitkan
dengan berbagai efek mariyuana pada berbagai reseptor di dalam hipokampus.
Merokok menggunakan mariyuana dikaitkan dengan meningkatnya aliran
darah ke berbagai daerah otak yang sering dikaitkan dengan emosi, termasuk
struktur limbik dan bagian depan cingulate gyrus. Berkurangnya aliran darah
terlihat di berbagai daerah lobus temporalis yang dikaitkan dengan antensi
pendengaran dan pengguna yang mabuk mariyuana tidak dapat melakukan
tugas pendengaran dikotik dengan baik.
3. Efek Terapeutik
Mariyuana sering kali dapat mengurangi rasa mual ketika berbagai
obat antimual lain tidak dapat mengatasinya, mariyuana juga merupakan obat
bagi rasa tidak nyaman karena AIDS. Dalam berbagai penelitian laboratorium
dengan menggunakan hewan, bahan aktif mariyuana yaitu THC ternyata dapat
menghilangkan rasa sakit dengan menghambat sinyal – sinyal rasa sakit dari
luka atau peradangan pada bagian tubuh (seperti dalam arthritis) sehingga
tidak dapat mencapai otak. Efek analgesik terlihat dengan menyuntikkan THC
dengan dipakaikan secara langsung pada bagian yang terluka. Sebuah komite
dari Institute of Medicine merekomendasikan agar para pasien dengan
“simtom – simtom yang melemahkan” atau penyakit keras diperbolehkan
menghisap mariyuana di bawah pengawasan medis ketat hingga 6 bulan.
IV. Sedatif dan Stimulan
Sedatif
Sedatif utama sering kali disebut downer, melambatkan berbagai aktivitas
tubuh dan mengurangi responsivitasnya, kelompok obat – obatan ini mencangkup
opiat – opium dan berbagai derivatnya yaitu morfin, heroin, serta barbiturat disentis.
1. Opiat
Opiat adalah kelompok sedatif yang menimbulkan kecanduan yang dalam
dosis sedang dapat menghilangkan rasa sakit dan menyebabkan tidur, paling
terkenal adalah opium. Orang – orang dalam peradaban Sumeria di masa 7000
tahun sebelum masehi memberi nama tanaman poppy yang menghasilkan
opium dengan nama yang masih dikenal hingga saat ini yang berarti “tanaman
kebahagiaan”.
Pada tahun 1806 alkaloid morfin berhasil di pisahkan dari opium kasar,
bubuk yang rasanya pahit tersebut terbukti sebagai sedatif dan penghilang rasa
sakit yang kuat. Pada tahun 1874 mereka menemukan bahwa morfin dapat
diubah menjadi obat lain yang sangat kuat untuk menghilangkan rasa sakit,
mereka menamainya heroin. Pada awalnya digunakan untuk mengobati
kecanduan morfin, heroin digunakan sebagai pengganti morfin dalam sirup
obat batuk dan berbagai obat paten lain. Heroin kemudian disebut sebagai
GOM (God’s Own Medicine) yang terbukti lebih menyebabkan kecanduan
dan lebih kuat dibandingkan morfin, lebih berpengaruh, bekerja lebih cepat
dengan intensitas yang lebih besar.
Efek Psikologis dan Fisiologis
Opium dan deviratnya berupa morfin dan heroin menimbulkan euforia, rasa
kantuk, kerasukan, dan kadang kurangnya koordinasi. Heroin memiliki efek awal
tambahan yaitu suatu rasa hangat yang menjalar, kenikmatan yang menyeluruh
segera setelah disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Semua kekhawatiran dan
ketakutan pengguna hilang dan ia memiliki rasa percaya diri yang besar selama 4
hingga 6 jam ke depan, namun kemudian mengalami penurunan kondisi yang
berakhir dengan stupor.
Opiat jelas menimbulkan kecanduan fisiologis, karena pengguna mengalami
toleransi yang semakin meningkat terhadap obat – obatan tersebut dan simtom –
simtom putus zat bila mereka belum menggunakannya. Reaksi karena belum
menggunakan heroin dapat terjadi dalam 8 jam setelah penyuntikan sebelumnya,
beberapa jam berikutnya individu umumnya mengalami rasa sakit pada otot,
bersin – bersin, berkeringat, berurai air mata dan berulang kali menguap. Simtom
– simtom tersebut mirip dengan simtom influenza, dalam 36 jam simtom –
simtom putus zat tersebut akan semakin parah, dapat terjadi kejatan otot yang
tidak terkendali, kram, menggigil atau wajah memerah, berkeringat secara
berlebihan, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah. Orang – orang yang
kecanduan tidak dapat tidur, muntah – muntah, dan mengalami diare, umumnya
simtom – simtom tersebut berlangsung selama sekitar 72 jam kemudian berkurang
secara bertahap dalam kurun waktu 5 hingga 10 hari.
2. Sedatif sintesis
Jenis sedatif utama yaitu barbitut disintesis sebagai obat yang membantu
seseorang agar dapat tidur atau merasa rileks. Sedatif melemaskan otot,
mengurangi kecemasan, dan dalam dosis rendah menghasilkan kondisi euforik
ringan, dosis yang berlebihan menyebabkan bicara menjadi tidak jelas dan
langkah tidak stabil, penilaian, konsentrasi, dan kemampuan untuk bekerja dapat
sangat melemah. Pengguna kehilangan kendali emosional dan dapat menjadi
mudah tersinggung serta agresif sebelum akhinya tertidur lelap, dosis yang sangat
besar dapat menjadi fatal karena otot diafragma melemas hingga ke kondisi yang
dapat membuat individu kehabisan nafas. Penggunaan yang berlebihan dalam
waktu lama dapat merusak otak dan mengalami kemunduran kepribadian,
sedangkan berhenti total menimbulkan reaksi putus zat yang parah dan
berlangsung lama serta dapat mengakibatkan kematian mendadak, delirium,
kejang – kejang dan simtom – simtom lain yang mirip dengan simtom yang terjadi
setelah berhenti minum alkohol secara total.
Kriteria diagnostic DSM IV – TR :
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna
(misalnya: perilaku agresif atau seksual yang tidak sesuai, labilitas mood, gangguan
pertimbangan, gangguan social atau pekerjaan) yang berkembang selama atau sesaat
setelah penggunaan sedatif, hipnotik atau anxiolitik.
Beberapa gejala intoksisasi sedatif, hipnotik, dan anxiolitik, antara lain :
- Bicara cadel
- Inkoordinasi
- Gaya melangkah tidak mantap
- Nistagmus
- Gangguan perhatian atau memori
- Stupor atau koma
Stimulan
Stimulan atau upper seperti kokain bekerja di dalam otak dan sistem saraf
simpatetik untuk meningkatkan keterjagaan dan aktivitas motorik. Amtefamin seperti
Benzedrin adalah stimulan sistesis, kokain adalah stimulan alamiah yang di ekstrak
dari daun koka.
1. Amtefamin
Amtefamin yang pertama yaitu Benzedrin ditemukan tahun 1927 untuk
melegakan hidung tersumbat dan juga diketahui masyarakat karena efek
rangsangannya. Obat – obatan tersebut dapat ditelan atau disuntikkan yang
menyebabkan meningkatnya keterjagaan, fungsi – fungsi pencernaan
dihambat dan nafsu makan berkurang, oleh karena itu obat ini digunakan
untuk diet. Selain itu menyebabkan denyut jantung semakin cepat,
pembuluh darah dikulit serta selaput lendir mengalami penyempitan.
Individu yang bersangkutan menjadi terjaga, euforik, bersemangat serta
dirasuki oleh energi yang seolah tanpa batas dan rasa percaya diri. Dosis
yang lebih besar dapat membuat pengguna menjadi gugup, mudah
terpancing, bingung sehingga ia dapat mengalami gemetar, sakit kepala,
pusing dan tidak dapat tidur, kadang para pengguna berat menjadi sangat
dipenuhi rasa curiga dan bersikap bermusuhan sehingga ia dapat
membahayakan orang lain, sedangkan untuk dosis yang lebih tinggi yang
digunakan dalam kurun waktu tertentu dapat menimbulkan kondisi yang
cukup mirip dengan skizofrenia paranoid, termasuk delusinya.
Kriteria diagnostik dalam DSM IV – TR
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna
(misalnya, euforia atau penumpulan efek perubahan sosiabistasi; kewaspadaan
berlebih, sensitivitas interpersonal, kecemasan, ketegangan atau kemarahan,
perilaku stereotipik, gangguan pertimbangan atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama atau sesaat setelah menggunakan amtefamin
atau zat yang berhubungan.
Beberapa gejala yang dapat muncul :
- Lakikardi atau bradikardi
- Dilatasi pupil
- Peningkatan atau penurunan tekanan darah
- Berkeringat atau kedinginan
- Mual atau muntah
- Menunjukkan penurunan berat badan
- Agitasi atau retardasi psikomotor
- Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
- Kebingungan, kejang, diskinesia, distonia, atau koma.
2. Metamfetamin
Metamfetamin dapat ditelan atau disuntikkan juga dapat dihirup,
berbentuk kristal jernih obat ini sering dijuluki “meth crystal” atau “es”,
keinginan akan metamfetamin sangat kuat dan sering kali berlangsung
hingga beberapa tahun setelah penggunaannya di hentikan. Beberapa studi
terhadap hewan mengindikasikan bahwa penggunaan metamfetamin yang
kronis menyebabkan kerusakan otak, memengaruhi sistem dopamin dan
seratonin, studi lain mendokumentasikan terjadinya berbagai kelemahan
kognitif yang juga dihubungkan dengan penggunaan metamfetamin yang
kronis, apabila pengguna metamfetamin adalah ibu hamil memiliki
konsekuensi berat bagi perkembangan janin. Beberapa bahan kimia yang
digunakan dalam pembuatan metamfetamin sangat tidak stabil dan
berbahaya bila terhirup karena bisa menyebabkan kerusakan mulai dari
iritasi mata, mual – mual, koma, hingga kematian, selain itu juga beresiko
menimbulkan kebakaran dan ledakan.
3. Kokain
Kokain berasal dari tanaman koka yang memiliki efek mengurangi
rasa sakit, bekerja dengan cepat pada otak, menghambat pengembalian
dopamin di berbagai daerah mesolimbik yang dianggap menghasilkan
kondisi yang menyenangkan dan berbagai perasaan positif. Kokain
meningkatkan hasrat seksual dan menimbulkan rasa percaya diri, rasa
sejahtera, dan tidak akan pernah lelah. Overdosis menyebabkan menggigil,
mual, mengalami insomnia, serta serangan paranoid dan halusinasi yang
mengerikan mengenai serangga yang merambat dibawah kulit.
Penggunaan kronis dapat memicu perubahan kepribadian, sangat mudah
tersingung, terganggunya hubungan sosial, pemikiran paranoid, gangguan
pola makan serta tidur. Kokain juga meningkatkan resiko seseorang
terhadap stroke dan menyebabkan berbagai kelemahan kognitif seperti
sulit memusatkan perhatian dan sulit untuk mengingat, karena memiliki
kemampuan besar untuk menyempitkan pembuluh darah kokain
memberikan bahaya tersendiri dalam kehamilan karena pasokan darah ke
janin dapat berkurang.
Kokain dapat dihirup, dihisap dengan menggunakan pipa atau rokok,
ditelan, atau di suntikkan ke pembuluh darah, kokain diserap dengan cepat
ke dalam paru – paru dan sampai ke otak dalam beberapa detik kemudian
menimbulkan kondisi melayang yang intens selama 2 menit, yang diikuti
oleh kegelisahan dan ketidaknyamanan.
Kriteria Diagnostik DSM IV – TR :
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna
(misalnya: euphoria atau penumpulan efek, perubahan sosiabilitas, kewaspadaan
berlebih, sensitifitas interpersonal, kecemasan, ketegangan atau kemarahan, perilaku
stereotipik, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi social atau pekerjaan) yang
berkembang selama atau sesaat setelah menggunakan kokain.
Berikut gejala intoksisasi koakin, antara lain :
- Lakikardi atau bradikardi
- Dilatasi pupil
- Peningkatan atau penurunan tekanan darah
- Berkeringat atau kedinginan
- Mual atau muntah
- Menunjukkan penurunan berat badan
- Agitasi atau retardasi psikomotor
- Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri di dada, atau aritmia jantung
- Kebingungan, kejang, diskinesia, distonia, atau koma.
V. LSD dan Halusinogen Lain
Efek halusinogen tergantung pada sejumlah variable psikologis, selain besarnya dosis
yang digunakan, serangkaian aspek dalam diri seseorang yaitu sikap, ekspetasi, dan motivasi
dalam menggunakan obat tersebut secara luas dianggap sebagai penentu penting atas
reaksinya terhadap halusinogen. Adapun empat jenis halusinogen lainnya, antara lain :
Meskalin, suatu alkaloid dan zat aktif dalam peyote, diisolasi dari tonjolan yang
berbentuk seperti piringan di bagian atas tanaman kaktus peyote. Sudah lama
digunakan berabad – abad dalam ritual keagamaan orang Indian yang tinggal di
Meksiko barat daya dan utara.
Psilosibin, bubuk mirip kristal yang diisolasi oleh Hofmann dari jamur psilosiba
meksikana pada tahun 1958, orang Indian di Meksiko masih menggunakannya
dalam upacara pemujaan mereka.
MDMA (methilindioksimetamfetamin), pertama kali disintesis pada awal tahun
1900-an yang awalnya digunakan sebagai penekan nafsu makan bagi para tentara
semasa Perang Dunia I. Bahan kimiawi MDMA ditemukan pada beberapa rempah
– rempah yang umumnya digunakan, seperti pala, dill, kunyit, dan sassafras.
MDA (methilindioksiamfetamin), pertama kali disintesis pada tahun 1910 tapi
baru pada tahun 1960-an unsur psikedeliknya menjadi perhatian generasi masa itu
yang menggunakan obat untuk memperluas kesadarannya.
Suatu zat baru yang mirip halusinogen yaitu ekstasi (mengandung MDMA dan MDA)
secara kimiawi ektasi sama dengan meskalin dan amtefamin yang merupakan unsur
psikoaktif dalam pala. Ektasi mengandung unsur – unsur dari keluarga halusinogen dan
amtefamin, tapi efeknya cukup berbeda dari kedunya sehingga beberapa orang mengusulkan
untuk memasukkannya dalam kategori tersendiri yang disebut “entaktogen”. Cara kerja
ektasi terutama dengan mengaktifkan sistem seratonin melalui transporter seratonin, dan
berkontribusi terhadap pelepasan dan pengembalian seratonin. Berbagai studi terhadap hewan
menunjukkan bahwa satu dosis ekstasi menyebabkan kadar serotonin turun dan penggunaan
dalam waktu lama dapat merusak akson – akson seratonin dan terminal – terminal saraf,
penggunaan ekstasi yang lebih banyak dikaitkan dengan beberapa hendaya dalam belajar dan
memori dan hendaya tersebut dihubungkan dengan berkurangnya seratonin.
Suatu studi menemukan bahwa para pengguna mariyuana sekaligus ekstasi memiliki
hendaya memori, kefasihan kata, dan kecekatan yang sama dengan yang di alami para
pengguna mariyuana saja. Obat tersebut dapat meningkatkan keintiman dan insight,
meningkatkan hubungan interpersonal, meningkatkan mood dan rasa percaya diri serta
meningkatkan kesadaran estetik. Obat tersebut juga dapat menyebabkan ketegangan otot,
gerakan mata yang cepat, rahang terkunci, mual, pusing, menggigil atau berkeringat,
kecemasan, depresi, depersonalisasi dan kebingungan.
Suatu obat yang sulit untuk digolongkan adalah PCP, yaitu fensiklidin, sering dijuluki
debu malaikat. Dikembangkan sebagai obat penenang untuk kuda dan hewan besar lain,
secara umum obat ini menimbulkan berbagai reaksi negatif yang serius, termasuk paranoid
dan kekerasan, koma dan kematian juga merupakan efek yang dimungkinkan.
Kriteria diagnostik DSM IV – TR :
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang secara klinis bermakna
(misalnya: perkelahian, penyerangan, impulsivitas, tidak dapat diperkirakan, agitasi
psikomotor, gangguan pertimbangan, gangguang fungsi social atau pekerjaan) yang
berkembang selama atau sesaat setelah menggunakan fensiklidin.
Adapun gejala intoksisasi fensiklidin, antara lain:
- Nistagmus vertical atau horizontal
- Hipertensi atau lakikardi
- Rasa kebas atau penurunan respon terhadap nyeri
- Ataksia
- Disartria
- Kaku otot
Kejang atau koma
- Hiperakusis
VI.Etiologi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
1. Variabel Sosiokultural
Variabel sosiokultural memiliki peran yang sangat beragam dalam penyalahgunaan
obat. Mulai dari pengaruh teman sebaya dan orang tua hingga pengaruh media dan
jenis perilaku yang dianggap pantas dalam suatu budaya tertentu, lingkungan sosial
dapat mempengaruhi ketertarikan dan akses seseorang pada obat-obatan
Variabel keluarga juga merupakan pengaruh sosiokultural penting. Jika kedua orang
tua merokok, anak akan memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk merokok
disbanding jika tidak ada anggota keluarga yang merokok. Sama dengan itu,
keterpaparan pada alkohol yang dikonsumsi orang tua meningkatkan kemungkinan
pada anak-anak untuk juga mengkonsumsi alkohol (Hawskin dkk., 1997). Kurangnya
pengawasan orang tua mendorong meningkatnya hubungan dengan teman-teman yang
menyalahgunakan obat dan diikuti dengan lebih tingginya penggunaan obat-obatan
(Chassin dkk., 1996; Thomas dkk., 2000). Memiliki teman-teman yang merokok
memprediksi kebiasaan merokok seseorang (Killen dkk., 1997) namun mereka yang
memiliki rasa efektivitas diri yang tinggi, kurang terpengaruh oleh teman-teman
sebaya mereka.
Berbagai temuan tersebut mendukung pemikiran bahwa jaringan sosial
mempengaruhi perilaku individu terkait obat dan alkohol. Meskipun demikian, bukti
lain mengindikasikan bahwa para individu yang memiliki kecenderungan
menyalahgunakan zat pada kenyataannya memilih jaringan sosial yang sesuai dengan
pola minum atau penggunaan obat mereka. Dengan demikian, terdapat dua penjelasan
luas mengenai hubungan antara lingkungan sosial dengan penyalahgunaan zat yaitu
model pengaruh sosial dan model seleksi sosial.
Variabel lain yang perlu dipertimbangkan adalah media. Kita dibombardir dengan
berbagai iklan di televisi dimana bir dikaitkan dengan laki-laki berpenampilan atletis,
perempuan berbalut bikini, dan saat-saat yang menyenangkan. Papan-papan reklame
mengidentikkan rokok dengan kenikmatan, relaksasi, atau bergaya. Peran iklan
mendorong penggunaan alkohol
2. Variabel Psikologis
a. Perubahan Mood
Secara umum diasumsikan bahwa salah satu motif psikologis utama untuk
menggunakan obat-obatan adalah untuk mengubah mood. Oleh karena itu
penggunaan obat-obatan menjadi suatu penguatan, baik dengan meningkatkan
mood positf atau dengan mengurangi mood negative. Meskipun demikian, hal itu
lebih rumit dari yang terlihat.
Berbagai temuan mengindikasikan bahwa alkohol dapat menghasilkan efek
mengurangi ketegangan dengan mengubah kognisi dan persepsi (Curtin dkk.,
1997, 1998; Steele & Josephs, 1988, 1990). Alkohol melemahkan pemrosesan
kognitif dan menyempitkan perhatian ke berbagai kejadian yang paling segera
terlihat, mengakibatkan penurunan kemampuan kognisi untuk mendistribusikan
perhatian antara aktivitas yang sedang berlangsung dan kekhawatiran yang
diistilahkan oleh Steel dan Josephs dengan “myopia alkohol”. Meskipun
demikian, dalam beberapa situasi alkohol dan nikotin dapat meningkatkan
ketegangan, contohnya bila tidak ada pengalih perhatian sehingga orang
terintoksikasi memfokuskan seluruh kemampuan pemrosesan kognitifnya yang
terbatas pada pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan seperti yang terjad bila
seseorang tidak bahagia meminum alkohol sendiri.
b. Keyakinan tentang Risiko dan Prevalensi
Dua variabel psikologis lain yang berhubungan dengan penggunaan obat adalah
sejauh mana seseorang meyakini bahwa suatu obat berbahaya dan prevalensi
penggunaan yang dilohatnya pada orang lain.
Banyak perokok yang tidak yakin bahwa mereka mengalami peningkatan risiko
terhadap kanker atau penyakit kardiovaskular. Alkohol dan tembakau digunakan
lebih sering dikalangan orang-orang yang memiliki perkiraan berlebihan atas
frekuensi penggunaan zat ini pada orang lain (Jackson, 1997)
c. Kepribadian dan Penggunaan Obat
Teori faktor sosiokultural maupun teori perubahan mood tidak dapat menjelaskan
sepenuhnya perbedaan individual dalam penggunaan obat.
Penyalahgunaan obat dapat merupakan bagian dari perilaku mencari kesenangan
yang dilakukan oleh psikopat. Lebih jauh lagi, penggunaan alkohol komorbid
dengan beberapa gangguan kepribadian, terutama gangguan kepribadian antisosial
pada laki-laki dan gangguan kepribadian ambang pada perempuan (Morgenstern
dkk., 1997). Pemberontakan dan kadar agresi yang tinggi juga dihubungkan
dengan penyalahgunaan zat (Anderrson, Magnusson & Wennberg, 1997; Masse &
Trembley 1997). Selain itu, kita dapat memperkirakan bahwa opiate dan obat-obat
penenang digunakan oleh para individu yang mengalami kecemasan untuk
mengurangi penderitaan mereka.
3. Variabel Biologis
Sebagian besar penelitian mengenai faktor-faktor biologis dalam penyalahgunaan zat
telah meneliti kemungkinan adanya predisposisi genetic dalam minum permasalahan
dan penyalahgunaan obat-obatan yang lainnya.
Permasalahan minum pada manusia menurun dalam keluarga menunjukkan adanya
komponen genetik (namun juga konsisten dengan faktor-faktor pengaruh sosial).
Kerabat dan anak-anak dari para peminum bermasalah memiliki tingkat
penyalahgunaan berbagai zat, bukan hanya obat yang menjadi dasar untuk menyeleksi
para penyalahguna dalam penelitian (Bierut dkk., 1998; Merilcangas dkk., 1998).
Kemampuan untuk menoleransi alkohol dapat merupakan sesuatu yang diturunkan
dalam keluarga sebagai suatu diathesis bagi penyalahgunaan atau ketergantungan
alkohol (Goodwin, 1979). Untuk menjadi peminum yang bermasalah, seseorang harus
mampu minum dalam jumlah banyak, dengan kata lain, orang harus mampu
menoleransi alkohol dalam jumlah besar. Beberapa kelompok etnis seperti orangorang Asia, dapat memiliki tingkat penyalahgunaan alkohol yang rendah karena
adanya intoleransi fisiologis, yang disebabkan oleh kekurangan enzim yang mencerna
alkohol yang bersifat keturunan
VII. Terapi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
Penanganan bagi penyalahgunaan alcohol merupakan hal yang sulit karena banyak
masalah psikologis yang terlibat. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang lebih dari
sekedar menghilangkan kebiasaan minum berlebihan. Apa pun jenis intervensi yang
diberikan, langkah pertama adalah orang bersangkutan harus mengakui dan menyadari
adanya masalah terkait kebiasaan minum nya dan secara sukarela memutuskan untuk
mengatasi masalah tersebut. Setelah penyalahguna alkohol mengakui adanya masalah terkait
kebiasaan nya, adapun beberapa jenis penanganan yang dapat diberikan :
1. Penanganan tradisional di rumah sakit
Penghentian alkohol atau detoksifikasi dapat berjalan sulit dan berlangsung
cukup lama. Banyak pecandu harus menjalani detoksifikasi berkali-kali. Obat-obat
penenang terkadang diberikan untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak nyaman
akibat putus zat. Namun pasien seringkali menyalahgunakan obat-obatan tersebut.
Selain itu biaya yang dikeluarkan untuk rawat inap jauh lebih mahal dibandingkan
rawat jalan sehingga efektivitas biaya nya dipertanyakan. Suatu analisis terhadap
penanganan ketergantungan alkohol yang dilakukan oleh Finney & Moss
menyimpulkan bahwa pendekatan rawat inap di rumah sakit mungkin diperlukan oleh
orang-orang yang memiliki sedikit dukungan sosial dan memiliki masalah psikologis
lain selain penyalahgunaan alkohol.
2. Penanganan biologis
Akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan suatu intervensi psikologis.
Contohnya beberapa peminum yang sedang dalam penanganan menggunakan
Antabuse, obat yang mencegah minum dengan cara menyebabkan muntah-muntah
hebat jika pasien meminum alkohol. Karena menimbulkan efek samping yang tidak
mengenakan, maka kepatuhan terhadap pengobatan dengan Antabuse menjadi
permasalahan. Maka untuk meningkatkan efektivitas obat tersebut, dapat dilakukan
pengkombinasian dengan terapi kognitif perilaku. Selain Antabuse, adapun obatobatan lain yang digunakan dalam penanganan biologis, diantaranya ; Buspiron,
Klonidin, dan Akamprosat, serta beberapa obat psikoaktif seperti antidepresan dan
antikecemasan. Namun perlu dicatat penggunaan obat-obat ini dalam jangka panjang
juga memiliki resiko, salah satu nya adalah menurunkan fungsi hati.
3. Pendekatan kognitif-perilaku
Secara umum pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling efektif. Adapun
jenis-jenis terapi yang dapat diberikan :
- Terapi Aversi : peminum dibuat menjadi mual ketika melihat, meraih, dan
meminum alkohol. Terdapat suatu prosedur yang disebut sensitisasi tertutup,
dimana peminum diinstruksikan untuk membayangkan dirinya mengalami mual
yang hebat dan luar biasa ketika meminum alkohol.
- Operant Conditioning : pendekatan ini mengajari pasien dan orang-orang
terdekatnya untuk memberi penguatan pada perilaku tidak minum, serta
mengajarkan pasien mencari pekerjaan atau keterampilan sosial. Selain itu
pendekatan ini juga melatih asertivitas untuk menolak tawaran minum.terdapat
suatu strategi pengendalian diri perilaku yang dikembangkan oleh Tucker :
Kontrol stimulus : mempersempit atau menghindari situasi yang membuat
mereka minum alkohol.
Modifikasi topografi minum : hanya minum-minuman yang dicampur
(tidak 100% alkohol) atau hanya menghisap sedikit bukan meneguknya.
Menguatkan perilaku tidak minum : memberi reward pada diri sendiri
seperti menonton film di bioskop jika berhasil menolak tawaran minum.
- Minum Secara Wajar : teknik ini diperkenalkan oleh Sobell & Sobell pada tahun
1993, merujuk pada konsumsi alkohol secara wajar dengan menghindari dua titik
ekstrem yaitu tidak minum sama sekali dan minum hingga mabuk. Cara ini
terbukti lebih efektif dibandingkan dengan penyalahguna yang berusaha berhenti
secara total. Kemudian pendekatan Sobell ini telah berkembang lebih jauh, disebut
“perubahan diri terbimbing” dimana tujuan pendekatan ini adalah membuat pasien
menyadari potensi/kendali diri nya dan menyadari kerugian yang dialami akibat
pola minum nya.
4. Memanfaatkan dukungan sosial
- Alcoholics Anonymous
Kelompok terapi mandiri paling terkenal di dunia yang didirikan pada tahun
1935 oleh dua orang mantan pecandu alkohol. Kelompok ini memberi dukungan
sosial agar para pecandu memiliki kehidupan sosial yang lebih baik dan terlepas
dari pengisolasian diri. Masing-masing cabang AA melakukan pertemuan secara
rutin dimana para anggota baru dan mantan pecandu saling berbagi cerita
mengenai masalah kecanduan mereka. Adapun berbagai program yang mencontoh
AA yang juga tersedia bagi para penyalahguna zat lain seperti ; Cocaine
Anonymous dan Marijuana Anonymous.
- Terapi Pasangan dan Keluarga
Penyalahgunaan alkohol dan konflik keluarga memiliki hubungan sebab akibat
yang terjadi secara dua arah. Terapi pasangan yang berorientasi perilaku diketahui
berhasil mengurangi permasalahan minum serta masalah antara pasangan yang
disebabkan oleh kecanduan alkohol. Salah satu fokus terapi ini adalah melibatkan
pasangan atau keluarga untuk membantu pecandu meminum Antabuse secara
teratur.
Pertimbangan Klinis dalam Menangani Penyalahgunaan Alkohol
Permasalahan minum kadangkala berhubungan dengan gangguan mental lain
terutama dengan gangguan kecemasan, gangguan mood, dan psikopati. Para terapis juga
harus memahami bahwa depresi seringkali komorbid dengan penyalahgunaan alkohol, dan
bunuh diri menjadi salah satu resiko. Para peneliti alkohol beberapa waktu ini telah
menyadari bahwa pendekatan penanganan yang berbeda lebih tepat dengan mencocokan
antara factor-faktor yang terdapat dalam diri peminum dengan faktor-faktor yang terdapat
dalam penanganan. Cara ini dikenal sebagai Aptitude Treatment Interaction (ATI).
VIII. Penanganan Penggunaan Obat Terlarang
1. Penanganan Biologis
Program terapi obat yang banyak digunakan untuk menangani kecanduan heroin
mencakup pemberian (substitusi heroin), yaitu dengan obat-obatan yang secara kimia
sama dengan heroin yang dapat menggantikan ketagihan tubuh terhadap heroin, atau
antaginis heroin, obat-obatan yang mencegah pengguna mengalami mabuk heroin.
Kategori pertama mencakup metadon, levometadil asetat, dan bupreofin, narkotika
sintetis yang dirancang untuk menggantikan heroin. Obat-obatan itu sendiri
menimbulkan kecanduan, maka keberhasilan terapi pada intinya mengubah pecandu
heroin menjadi pecandu zat lain. Perubahan ini terjadi karena narkotika sintetis
tersebut memiliki ketergantungan silang dengan heroin, yaitu dengan bekerja pada
reseptor yang sama pada system saraf pusat, obat tersebut menjadi pengganti atas
ketergantungan sebelumnya. Penggunaan metadon tidak dilarang karena penghentian
metadon secara total menimbulkan pola reaksi penghentian sendiri. Karena reaksi
tersebut lebih ringan dari reaksi penghentian heroin, metadon mengandung potensi
terapeutik untuk menghilangkan secara sekaligus kecanduan obat (Strain dkk., 1999).
Untuk penanganan dengan menggunakan pengganti heroin, pecandu biasanya datang
ke klinik penanganan ketergantungan obat dan minum obat tersebut di depan salah
seorang staf klinik, sekali sehari untuk metadon dan tiga kali seminggu untuk
levometadil asetat dan bupreofin. Beberapa pengguna yang sedang menjalani
penanganan mampu mempertahankan pekerjaan, tidak melakukan tindak kriminal,
dan tidak menggunakan obat-obatan terlarang lain (Eisenberg dkk., 1997; Sees dkk.,
2000; Schottenfeld dkk., 2000)
2. Penanganan Psikologis
Dalam perbandingan langsung yang pertama kali dilakukan dalam sebuah studi
terkendali, desipramin dan penanganan kognitif perilaku ditemukan cukup efektif
untuk mengurangi penggunaan kokain serta memperbaiki fungsi keluarga, sosial dan
psikologis pada umumnya. Desipramin lebih baik dari placebo pada para pasien
dengan tingkat ketergantungan kokain yang rendah, sedangkan penanganan kognitif
lebih baik pada pasien dengan tingkat ketergantugan tinggi.
Dalam studi Carroll, para pasien yang menerima pennganan kognitif belajar cara
menghindari berbagai situasi beresiko tinggi (berada diantara orang-orang yang
sedang menggunakan kokain), memahami daya Tarik obat bagi mereka, dan
mengembangkan berbagai alternative selain menggunakan kokain (bebrabagi aktifitas
rekreasional non-pengguna). Para penyalahguna kokain dalam studi ini juga
mempelajari berbagai strategi coping terhadap ketagihan dan untuk menahan diri dari
kecenderungan menganggap situasi dimana mereka terpeleset menggunakan obat
sebagai suatu bencana (“pelatihan pencegahan kekambuhan,” oleh Marlatt & Gordon,
1985). Semakin depresi pasien, semakin positif hasil obat antidepresan dan terapi
kognitif. Secara keseluruhan, hasil penanganan psikososial lebih baik daripada hasil
obat antidepresan dalam mengurangi penggunaan kokain, dan pola ini dapat bertahan
dalam pemantauan selama satu tahun (Carroll, Rounsaville, & Nich, 1994)
IX.Penanganan Merokok
1. Penanganan Psikologis
- Merokok secara wajar
Cara ini menunjukan hasil yang lebih nyata dan menjanjikan dibanding cara
penanganan dengan membuat merokok menjadi tidak menyenangkan. Strategi
merokok secara wajar adalah mengurangi asupan nikotin secara bertahap dalam
waktu beberapa minggu dan membuat perokok setuju memerpanjang interval
waktu antar-jadwal merokok nya. Contohnya pada minggu pertama diberi jadwal
yang membuat perokok merokok 10 batang sehari, lalu di minggu kedua 5 batang
sehari, kemudian di minggu selanjutnya jumlah rokok yang dijadwalkan untuk
satu hari terus berkurang sampai berhenti sama sekali. Rokok tersebut hanya boleh
dihisap pada waktu yang dijadwalkan, bukan pada saat perokok menginginkan
nya. Dengan cara ini merokok dikendalikan oleh waktu, bukan oleh dorongan
dalam diri ataupun situasi lingkungan.
2. Penanganan Biologis
Pemberian nikotin dengan cara berbeda merupakan salah satu pendekatan dalam
penanganan biologis. Tujuannya adalah untuk mengurangi symptom-symptom putus
zat yang menyertai usaha berhenti merokok. Nikotin dapat tersedia dalam bentuk :
- Permen karet : nikotin diserap jauh lebih lambat dan lebih stabil dibanding
tembakau. Walaupun menuai banyak kontroversi, para ahli yakin bahwa
penggunaan permen karet jauh lebih aman karena tidak terpapar berbagai racun
yang terkandung di dalam asap rokok.
- Plester : berfungsi sebagai system pemasok nikotin melalui kulit ke dalam aliran
darah dan kemudian dibawa ke otak secara perlahan dan stabil. Pengguna hanya
perlu menempelkan plester tersebut sekali sehari dan tidak perlu melepasnya.
- Alat penghirup nikotin : berbentuk tabung plastic menyerupai pegangan rokok.
3. Mencegah Kekambuhan
Pendekatan spesifik dalam mengatasi masalah kekambuhan dalam merokok
adalah fokus pada kognisi mantan perokok, dengan cara membuat mereka
mempelajari berbagai keterampilan atau cara efektif untuk melawan pikiran-pikiran
yang berhubungan dengan merokok, mengalihkan perhatian ke hal-hal lain yang lebih
positive dan dapat membuatnya lupa akan sensasi merokok.
X. Pencegahan Penyalahgunaan Zat
Beberapa program pengendalian tembakau komprehensif yang mencakup kampanye
edukasi publik, menciptakan lingkungan yang bebas dari asap rokok dan program
berbasis sekolah untuk menegah anak-anak muda mulai mengonsumsi rokok. Terdapat
program-program lain seperti:
- Pelatihan menolak tekanan dari kelompok sebaya.
o Mempelajari karakteristik tekanan kelompok sebaya dan berbagai cara untuk
mengatakan tidak. Pelatihan ini lebih efektif bagi para remaja perempuan dan
untuk mengurangi onset merokok serta tingkat penggunaan tembakau,
penggunaan obat pada anak-anak muda.
- Koreksi berbagai harapan normatif
o Menetapkan bahwa merokok bukanlah perilaku standar yang dapat diterima
- Perang melawan pesan-pesan media massa
o Mengubah citra positif perokok yang ditampilkan di media
- Informasi mengenai pengaruh orang tua dan orang dewasa lain
o Kebiasaan orang tua berhubungan erat terhadap perilaku merokok anak-anak
sehingga program ini menekankan bahwa perilaku merokok orang tua tidak
perlu ditiru.
- Kepemimpinan teman sebaya
o Melibatkan orang-orang sebaya yang memiliki status diakui untuk
memperbesar dampak pesan-pesan anti merokok atau antinarkoba yang
disampaikan
- Edukasi afektif dan peningkatan citra diri
o Memfokuskan pemikiran bahwa faktor-faktor intrapsikis, seperti citra diri
yang rendah dan ketidakmampuan menghadapi stress, mendasari bermulanya
kebiasaan merokok
AUTISM
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan
dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas, berulang-ulang dan karakter
stereotip. Gejala autis muncul sebelum 3 tahun pertama kelahiran sang anak.
Gejala
Gangguan sosial Anak-anak dengan autism memiliki masalah dengan hubungan sosial atau
bersosialisasi. Mereka jarang menghampiri orang lain, dan biasanya tidak responsif terhadap
orang yang menghampiri mereka. Mereka juga kurang dalam melakukan kontak mata. Ketika
mereka melakukan kontak mata, kualitasnya tidak bagus atau tidak seperti anak yang tidak
autis. Tipikalnya, anak-anak memandang orang lain untuk mendapatkan atau mencari
perhatian, tetapi tidak bagi anak dengan autisme.
Gangguan komunikasi Bahkan sebelum mereka memperoleh bahasa, beberapa anak
dengan autism sudah menunjukan defisit komunikasi. Ucapan-ucapan bayi sebelum mereka
mulai menggunakan kata-kata seperti babbling juga kurang dilakukan oleh bayi dengan
autism. Di umur 2 tahun, biasanya anak-anak menggunakan kata-kata untuk mewakili bendabenda di lingkungan mereka dan membangun kalimat satu dan dua-kata untuk
mengungkapkan pikiran yang lebih kompleks, seperti "Ibu pergi" atau "Aku susu."
Sebaliknya, anak-anak dengan autisme tertinggal jauh di belakang dalam kemampuan ini dan
sering menunjukkan gangguan bahasa lainnya. Salah satunya adalah echolalia, di mana anak
mengatakan apa yang dia telah dengar dari orang lain. Misalnya ketika guru bertanya kepada
anak dengan autisme, "Apakah kamu mau kue?" Tanggapan anak mungkin, "Apakah kamu
mau kue?" Ini adalah echolalia langsung atau segera. Dalam echolalia tertunda, anak
mungkin berada di sebuah ruangan dengan televisi dan tampaknya benar-benar tertarik.
Beberapa jam kemudian atau bahkan keesokan harinya, anak mungkin menggemakan kata
atau frase dari program televise tersebut.
Tindakan yang berulang-ulang Anak-anak dengan autism dapat menjadi sangat marah atas
perubahan dalam rutinitas dan lingkungan sehari-hari mereka. Sebuah tawaran susu dalam
cangkir minum yang berbeda atau penataan ulang furnitur dapat membuat mereka menangis
atau mengamuk. Anak-anak dengan autisme juga dapat menampilkan perilaku stereotip,
gerakan tangan ritual aneh, dan gerakan berirama lainnya, seperti tubuh bergoyang,
mengepakkan tangan, dan berjalan jinjit. Mereka mungkin berputar dan suka memutar
barang-barang seperti krayon, tongkat, dan piring, dan gemar menatap hal-hal berputar
lainnya. Para peneliti sering menggambarkan ini sebagai kegiatan stimulasi diri. Anak-anak
mungkin menjadi sibuk dengan memanipulasi objek dan dapat menjadi sangat marah ketika
terganggu.
Kriteria Diagnostik DSM IV TR
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
(1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka,
posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
(2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya
(3) Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
(4) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
(1) Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
(2) Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
(3) Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
(4) Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
(2) Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
(3) Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
(4) Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
(1) Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan,
baik intensitas dan fokusnya
(2) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
(3) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat
terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Etiologi
Faktor Genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun
tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak
kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan
untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini
diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar
identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang
50% sama.
Faktor Neurobiologis
Semakin banyak penelitian yang menghubungkan defisit bahasa, sosial, dan emosional pada
autism ke otak. Sejumlah penelitian yang meneliti otak pada autisme telah direplikasi dengan
baik, memungkinkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa yang
mungkin salah dalam otak pada orang dengan autisme. Studi menggunakan magnetic
resonance imaging (MRI) menemukan bahwa, secara keseluruhan, otak orang dewasa dan
anak-anak dengan autisme lebih besar dari otak orang dewasa dan anak-anak tanpa autsime
(Courchesne, Carnes, & Davis, 2001; Piven, Arndt, Bailey, et al ., 1995, 1996). Temuan yang
sama ini telah didukung oleh penelitian menggunakan pengukuran lingkar kepala sebagai
indikator ukuran otak (Courchesne, Carper, & Akshoomoff, 2003). Apa yang membuat
temuan ini lebih menarik dan membingungkan adalah bahwa sebagian besar anak-anak
dengan autisme dilahirkan dengan otak ukuran relatif normal; Namun, antara usia 2 dan 4,
otak anak-anak dengan autisme menjadi lebih besar secara signifikan (Courchesne, 2004).
Para peneliti menemukan bahwa anak-anak dengan autisme memiliki ukuran otak yang lebih
besar pada usia 2 tetapi itu tidak terus meningkat pada usia 4 atau 5, sehingga menunjukkan
bahwa pertumbuhan otak tidak berlanjut melewati beberapa tahun pertama kehidupan
(Hazlett, Poe, Gerig, et al., 2011). Memiliki otak yang lebih besar dari normal tidak selalu hal
yang baik, karena akan menunjukkan bahwa neuron tidak sedang dipangkas dengan benar.
Kelainan neurologis pada orang dengan autisme menunjukkan bahwa dalam proses
perkembangan, sel-sel otak mereka gagal untuk berselaras dengan benar dan tidak
membentuk jaringan koneksi yang ditemukan dalam otak yang normal. Dua studi meneliti
ukuran amygdalae antara anak-anak dan orang dewasa dengan autisme. Mengingat bahwa
autisme dikaitkan dengan kesulitan sosial dan emosional, dan bahwa amygdalae berhubungan
dengan perilaku sosial dan emosional, maka bisa dipastikan bahwa amygdalae yang mungkin
terlibat dalam autisme. Satu studi menemukan bahwa amygdalae yang lebih besar di antara
anak-anak dengan autisme (Munson, Dawson, Abbott, et al., 2006) dan yang amygdalae lebih
besar pada usia 3 atau 4 diperkirakan lebih kesulitan dalam perilaku sosial dan komunikasi
pada usia 6. Temuan ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan pertumbuhan
berlebih dari daerah otak.
Treatment
Terapi Perilaku dan Kemampuan Berkomunikasi
Tujuan dari terapi perilaku dan kemampuan berkomunikasi adalah untuk membangun
struktur dan memberikan pengarahan kepada anak autis dengan melibatkan pihak
keluarganya. Beberapa contoh terapi perilaku dan kemampuan berkomunikasi adalah:
• Applied Behavior Analysis
Jenis terapi ini banyak digunakan oleh para ahli, sekolah-sekolah, dan klinik terapi autisme.
Terapi ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan penderita autisme pada anak dengan
cara mendorong perilaku positif dan melarang perilaku negatif. Terapi ini melibatkan
pemberian penghargaan untuk perilaku positif, pelatihan kemampuan berbicara, dan
peningkatan motivasi anak untuk belajar dan memulai komunikasi dengan orang lain.
• Developmental, Individual Differences, Relationship-Based Approach (DIR)
Terapi ini dikenal juga sebagai floortime serta terfokus pada perkembangan emosi dan sosial
penderita autisme. Selain itu, terapi ini juga bertujuan untuk melatih reaksi anak terhadap
cahaya, suara, dan aroma.
• Treatment and Education of Autistic and related Communication-handicapped Children
Terapi ini menggunakan gambar visual sebagai media untuk belajar, sebagai contoh: kartu
bergambar digunakan untuk menunjukkan cara berpakaian secara bertahap.
•Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari, misalnya: Cara berpakaian, makan, mandi, dan berinteraksi
dengan orang lain.
• Sensory Integration Therapy
Terapi ini bermanfaat untuk memperkenalkan dan mengajarkan reaksi yang tepat atas
informasi sensori seperti cahaya, suara, dan aroma.
• Speech Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, baik komunikasi verbal
secara langsung atau dengan menggunakan bantuan media lain seperti tulisan dan gambar.
• The Picture Exchange Communication System (PECS)
Terapi ini mengajarkan penggunaan simbol (biasanya berupa gambar) untuk berkomunikasi.
Terapi Obat
Penggunaan obat bukan bertujuan untuk menyembuhkan autisme ataupun memperbaiki
kondisi dan gejala autisme secara langsung. Penggunaan obat untuk pengobatan autisme lebih
bermanfaat untuk mengatasi beberapa gejala-gejala sampingan yang biasa dialami oleh anak
dengan autisme.
• Obat untuk mengatasi perilaku hiperaktif, ketidakmampuan untuk terfokus, depresi, dan
kejang
• Obat untuk mengatasi perilaku agresif, emosional, dan tindakan melukai diri