• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label syeh siti jenar 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syeh siti jenar 2. Tampilkan semua postingan

syeh siti jenar 2

 


Syekh Siti Jenar yaitu  salah satu tokoh dalam sejarah penyebaran islam di tanah

jawa yang lekat dengan kontroversi. Ajaran yang paling terkenalnya “Manunggaling Kawulo

Gusti”. berdasar  beberapa serat-serat kuno, tokoh yang juga di kenal dengan nama Sitibrit,

Lemahbang, dan Lemah Abang ini diperkirakan hidup pada abad 17 masehi. berdasar  itu

pula Syekh Siti Jenar dikatakan masih sezaman dengan beberapa wali penyebar islam di Jawa

yang disebut sebagai Walisongo.

Di warga  saat ini Syekh Siti Jenar dan ajarannya banyak diperkenalkan melalui

film-film religi, ulasan singkat di Televisi maupun dunia maya dan beberapa diceritakan

secara turun menurun. Secara umum, perkenalan Syekh Siti Jenar melalui media-media

ini  kebanyakan memperlihatkan Syekh Siti Jenar sebagai seorang Wali sakti yang

membangkang karena beliau mengaku dirinya sebagai Tuhan. Karena itu Syekh Siti Jenar

dianggap kafir dan sebagai balasannya ia menerima hukuman mati. Opini warga  yang

terbentuk dari hal ini ialah segala pengikut Syekh Siti Jenar dan ajarannya “Manunggaling

kawulo gusti” dianggap menyimpang dan sesat.

Hal lain yang membentuk opini warga  tentang kafirnya Syekh Siti Jenar dan

ajarannya yaitu  pendapat para ulama yang kebanyakan dari mereka begitu menekankan

kemurnian syariat Islam. Ini terbukti dengan adanya tudingan sesat yang ditujukan kepada

lirik lagu band Dewa 19 yang bertajuk Mistikus Cinta :

saat  jiwaMu merasuk ke dalam

Aliran darahku dan meracuniku

saat  jiwaMu memeluk hatiku

Dan biarkan jiwaku tumbuh di jiwaMu

Tudingan ini tertuju dari Ridwan Saidi seorang anggota PERISAI (Pertahanan

Ideologi Syariat Islam). Beliau mengajukan hal ini kepada Kejaksaan Agung sebagai

penyebaran aliran sesat pada 29 April 2005.

Sementara itu berbanding terbalik dengan warga  umum, dalam warga 

Kejawen, Syekh Siti Jenar bukanlah nama yang asing. Ajaran manunggaling kawula gusti

merupakan puncak spiritual dalam Kejawen. Ini berbeda sekali dengan apa yang ada di timur

tengah. Pada Kejawen, dikatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki pamomong

(pembimbing) yang disebut guru Sejati dan pancer sebagai titik pusatnya. Guru Sejati ini

dapat diartikan sebagai kesadaran mikrokosmos. Kesadaran mikrokosmos ini merupakan

pengembangan spritual dari sedulur empat dalam Kejawen atau empat unsur badan manusia

yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Empat unsur itu yaitu  : Kawah

(air ketuban), Ari-ari (plasenta), Getih (darah) dan Puser (pusar). Dalam proses penyucian

diri, sedulur empat ini harus disatukan dengan makrokosmos yakni kiblat empat arah mata

angin, lantas meleburkannya ke arah pancer, yaitu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa yang

transenden. Caranya yaitu  dengan mengendalikan tiga nafsu negatif yaitu nafsu lauwamah

(nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah

(mengejar kenikmatan duniawi) untuk mencapai nafsu mutmainah (kemurnian dan kejujuran).

Seseorang yang telah tersucikan atau kesadaran mikrosmisnya (Guru Sejati) telah melebur

dengan makrokosmos, maka jiwanya akan selalu dibimbing oleh Guru Sejati. Jiwa yang

seperti inilah yang kerap disebut dengan Sukma Sejati, artinya jiwa yang telah manunggal

dengan Tuhan.

Setelah jiwa seseorang menjadi Jiwa Sejati - dalam ajaran Kejawen - dikatakan bahwa

seseorang seperti itu akan senantiasa dibimbing oleh Guru Sejati. Karena Guru Sejati yaitu 

pancaran dari cahaya Illahi maka apa yang Guru Sejati katakan tidak akan pernah sesat.

Orang seperti itu akan menjadi sakti atau mempunyi ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala

macam ilmu, karena mata batinnya dapat melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta,

sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi. Bahkan lebih dari itu,

kehendak orang yang memiliki Jiwa Sejati merupakan Kehendak Tuhan. Apa yang

dikatakannya akan menjadi kenyataan atau dalam Kejawen disebut sebagai “Sabda Pendita

Ratu”.

Dari uraian diatas sudah terlihat bahwa betapa kuatnya nuansa pengkultusan “orang

sakti” dalam Kejawen. Karena orang yang memiliki Jiwa Sejati akan menjadi orang sakti,

maka sangat banyaklah mitos-mitos yang beredar di warga , termasukpada tokoh Syekh

Siti Jenar. Mitos-mitos inilah yang lalu  mengaburkan tinjauan keberadaan Syekh Siti

Jenar dan ajarannya secara historis.

Jika dibandingkan dengan pemahaman umum yang dibangun dari berbagai media,

khususnya media televisi, para peneliti dari berbagai kalangan menelaah riwayat keberadaan

dan ajaran Syek Siti Jenar melalui sera-serat kuno atau pupuh yang berasal dari berbagai

daerah. Salah satu pupuh mengatakan katakan bahwa dalam sejarah penyebaran islam di

tanah Jawa pada masa hidup Syekh Siti Jenar, tepatnya pada zaman kerajaan islam.

Walisongo yang ajarannya menguasai kerajaan Demak mengarahkan tuduhan kafir terhadap

beliau karena ajaran Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari ijma’ para Walisanga. Hal

ini karena Syekh Siti Jenar memutar balikan dasar keyakinan umum yang sudah berlaku yang

selama ini mampu mengatasi berbagai macam persoalan. Beliau berpendapat bahwa

kehidupan di dunia ini yaitu  alam kematian. Beliau juga berpendapat bahwa dalam alam

kematian di dunia ini ada surga dan neraka, untung serta sial. Keadaan dunia ini, menurut

Syekh Siti Jenar, sesuai dengan dalil Samarkandi yaitu anal mayit pikruhi fayatiju kabiluhu

yang artinya bahwa sesungguhnya orang mati akan menemukan jiwa raga dan memperoleh

pahala atau neraka.

Kala itu Walingosongo yang merupakan kumpulan pemimpin spiritual mainstream

memang cukup memiliki pengaruh karena mereka bergerak dengan perhitungan strategi

politik dan budaya yang mengagumkan. Salah satu bukti kemahiran mereka tercermin oleh

istilah “Wali Songo” itu sendiri. Dalam beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa

sebenarnya gelar Wali Songo tidak hanya diberikan kepada sembilan orang seperti yang

banyak diketahui oleh khalayak ramai tetapi istilah Wali Songo merupakan sebutan kepada

kelompok atau jabatan pemimpin spiritual. Istilah Walisongo memang masih kontroversial

dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar.

Ada yang berpendapat yaitu  Walisongo yaitu  nama sebuah lembaga dakwah yang

beranggotakan sembilan orang. Anggota Walisongo ini  merupakan pilihan, dan karena

itu oleh orang jawa dinamakan Wali. Istilah wali berasal dari bahasa Arab aulia, yang artinya

orang dekat dengan Allah SWT karena ketaqwaannya. Interpretasi warga  Jawa kadang-

kadang berlebihan. Misalnya, mengapa jumlahnya sembilan orang, karena untuk penjuru

wilayah ini orang jawa mengenal istilah keblat papat limo pancer. Kiblat papat yaitu utara,

timur, selatan, dan barat. Dilengkapi dengan arah diantara empat arah mata angin ini 

menjadi delapan, ditambah lagi dengan pusatnya (pancer) menjadi sembilan. Istilah keblat

papat limo pancer ini selalu diucapkan orang yang memimpin suatu kenduri menurut adat

Jawa, berbeda dengan apa yang diucapkan oleh modin atau kaum yang memimpin kenduri

dengan warna islam.

Di sini hal yang membingungkan ialah mengapa Syekh Siti Jenar lebih populer

dikalangan kejawen sebagai tokoh sentral bahkan oleh sebagian peneliti dianggap sebagai

salah satu dari guru di Jawa justru di kafirkan dan dianggap sesat ajarannya oleh Walisongo

yang dalam dakwah Islamnya juga menggunakan unsur-unsur kejawaan?. Kesimpangsiuran

ini hendaknya perlu penelusuran yang mendalam terhadap sosok Syekh Siti Jenar dan

ajarannya.


E. Penegasan Istilah

1. Konseptual

a. Sinkretisme

Dalam KBBI kata “Sinkretisme” diartikan sebagai paham (aliran) baru yg

merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yg berbeda untuk

mencari keserasian, keseimbangan dan sebagainya. Sinkretisme yaitu 

suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran

agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses

pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau faham, sehingga hasil yang

didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian,

keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan

melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam

teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah

kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku

inklusif pada agama lain.

b. Ajaran Islam

berdasar  ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam” berasal dari bahasa

Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai. Ajaran-

5 Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sinkretisme, diaskes pada tanggal : Jumat, 21 Agustus 2015 jam 9:08

ajaran yang dibawa oleh Islam merupakan ajaran manusia mengenai

berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang

lengkap dan menyeluruh yang mengatur tata cara kehidupan seorang

muslim baik saat  beribadah maupun saat  berinteraksi dengan

lingkungannya. Secara umum ajaran Islam diperkenalkan melalui Kitab

Al-Qur’an, Hadits, dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

c. Ajaran Jawa

Ajaran Jawa atau sering disebut sebagai Kejawen yaitu  sebuah

kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku

bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya yaitu  suatu

filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal ini 

dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat

berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan

naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama

meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama

yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama

yang dianut oleh filsuf Jawa. Pada perkembangannya Ajaran Jawa banyak

memperoleh pengaruh dari berbagai agama atau kepercayaan lain seperti

agama Hindu dan agama Budha. Sehingga Kejawen memiliki 

bermacam-macam ragam.

2. Operasional

Secara operasional skripsi ini berjudul Sinkretisme Ajaran Islam dan Jawa

Pada tokoh Syekh Siti Jenar. Bertujuan untuk mengetahui ajaran Syekh Siti

Jenar dan hal-hal yang melatar belakanginya. Skripsi ini juga bertujuan untuk

meluruskan tanggapan atau gambaran warga  terhadap golongan-

golongan yang termarjinalkan karena menganut ajaran Syekh Siti Jenar dalam

konflik yang mengatasnamakan agama. Seperti kaum Abangan dan Tarekat

Akmaliah.


Sistematisasi pembahasan skripsi ini yaitu  sebagai berikut :

Bab yang pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar belakang, Rumusan

masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab yang kedua akan berisi pembuktian keberadaan Syek Siti Jenar serta perjalanan

hidup Syekh Siti Jenar. Pembahasan ini akan menggambarkan bagaimana Syekh Siti Jenar

menemukan ajarannya dan dari mana saja ia belajar.

Bab yang yang ketiga memuat ajaran yang diusung Syekh Siti Jenar dan menerangkan

bagaimana ajarannya ini  terbentuk, termasuk unsur sinkretisme ajaran islam dan jawa

didalamnya

Bab yang keempat akan menjelaskan bagaimana ajaran sinkretisme itu terbentuk dan

faktor faktor apa saja yang menjadi penyebabnya.

Bab yang kelima yaitu  bab terakhir yang menjadi penutup skripsi yang memuat

kesimpulan dari semua pembahasan.


A. Biografi Syekh Siti Jenar

Diperkirakan Syekh Siti Jenar dilahirkan pada tahun 1426 dilingkungan pakuwunan Cirebon

(Keraton Cirebon sekarang). Orang tuanya bernama bernama Syekh Datuk Sholeh bin Syekh ‘Isa

Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul

Malik al-Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-

Bashari Al-‘Alawi, yang semuanya keturunannya bertebaran di berbagai penjuru dunia untuk

mendakwahkan agama Islam. Jika diruntut sampai ke atas silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada

Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.

Pada masa kecil, Syekh Siti Jenar bernama San Ali. Nama ini  diberikan oleh bapak tiri

Syekh Siti Jenar yaitu Ki Danusela yang beragama hindu. Hal ini karena sesungguhnya saat  masih

bayi, Syekh Siti Jenar sudah menjadi yatim. Selain Ki Danusela, Syekh Siti Jenar juga diasuh oleh Ki

Samadullah alias Pangeran Walangsungsang yang merupan penasehat Ki Danusela yang berguru

kepada Syekh Datuk Kahfi di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi inilah yang juga lalu  menjadi guru

Syekh Siti Jenar.

Syekh Datuk kahfi yang nyatanya masihh merupakan salah satu sepupu Syekh Siti Jenar dari

kakek yang sama lalu  mendidik Syekh Siti Jenar pada usia lima tahun di padepokan yang

diasuhnya yaitu Padepokan Giri Amparan Jati. Di situlah Syekh Siti Jenar dididik berbagai macam

ilmu agama seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ilmu Tafsir, musthalah hadits, ushul fiqih, dan manthiq.

Di padepokan ini  Syekh Siti Jenar yaitu  santri generasi kedua. Sedangkan yang ketiga salah

satunya ialah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Setelah menimba ilmu selama lima belas tahun di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk

keluar pondok, dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia

bertekad untuk mencari “sangkan paran” dirinya. Tempat pertama yang ia tuju dalam

pengembaraannya itu ialah Pajajaran, dimana warga  disana masih banyak menganut agama non

Islam. Di pajajaran itulah banyak pertapa dan Ahli Hindu-Buddha. Di sanalah, Syekh Siti Jenar

belajar Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit.

Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama. Yang pertama ialah

nihsprha, yaitu  suatu keadaan dimana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia. Kedua,

nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan, dan karenanya tidak ada lagi tujuan.

Ketiga yaitu  niskala yaitu  proses rohani tinggi, ”bersatu” dan melebur dengan Dia Yang Hampa,

dia yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini,

“aku” menyatu dengan “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala yaitu  nirasraya, suatu

keadaan jiwa yang meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-laukika, yang merupakan dimensi

tertinggiyang bebas dari segala bentuk keadaan, tak memiliki  ciri-ciri, dan mengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran, San Ali melanjutkan pengembaraanya menuju Palembang, berguru kepada

Ario Damar. Ario Damar yaitu  seorang putra Prabu Wijaya Parakramawardhana yang biasanya

disebut Brawijaya V atau Bre Kertabumi. Ario Damar yang seorang pengamal sufi-kebatinan yaitu 

salah satu murid Maulana Ibrahim Samarkandi, saudara ipar Ratu Darawati, Istri prabu Kertawijaya

yang berasal dari negeri Campa. Setelah memeluk agama Islam Ario Damar mengganti namanya

menjadi Ario Abdillah. Dari salah satu istri Ario Damar inilah yang bernama Retno Subanci, seorang

bawahan Ki Samadullah (pengasuh Syekh Siti Jenar di masa kecilnya) bernama Raden Kusen

lalu  dilahirkan.

Diperkiran Syekh Siti jenar berguru kepada Ario Damar antara tahun 1448-1450 M. Bersama

Ario Abdillah ini, ia mempelajarari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta, yang

dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Mahaya Cahaya) atau yag lalu  dikenal sebagai

kosmologi emanasi (martabat tujuh).

Setelah berguru selama 3 tahun di Palembang, Syekh Siti Jenar melanjutkan

pengembaraannya ke Malaka, dan bergaul banyak dengan para bangsawan suku Tamil maupun

melayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa Syekh Siti Jenar untuk memasuki dunia bisnis dengan

membawa saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis ini  dimanfaatkan oleh

Syekh Siti Jenar untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku

zuhudnya di tengah-tengah kekayaan duniawi. Selain berdagang, Syekh Siti Jenar juga

mendakwahkan Islam, yang oleh warga  setempat diberi gelar Syekh Jabaranta serta

mendapatkan nama sufi Syekh Abdul Jalil.

(Sufisme Syekh Siti Jenar) Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini

membawa Syekh Siti Jenar memulai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yang menjadi penghalang

utama pendakian rohani seorang salik (pencari Kebenaran). Tujuh hijab itu yaitu  lembah kasal

(kemalasan naluri dan rohani manusia), jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain), gurun malal

(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani), gunung riya’ (bangga rohani), rimba

sum’ah (pamer rohani), samudra ‘ujub (kesombongan intelek-tual dan kesombongan ragawi), dan

benteng hajbun (penghalang akal dan nurani)

Dari uraian perjalan ruhani Syekh Siti Jenar yang berawal dari Cirebon sampai Malaka ini

saja, sudah terlihat, bahwa dalam jiwa Syekh Siti Jenar memang terdapat potensi pembaharu agama

yang sangat toleran terhadap agama lain. Beliau juga mau menerima kebenaran rohani, tanpa

mempersoalkan baju agama yang dikenakan. Di Malaka juga inilah Syek Siti Jenar mendapatkan

pengetahuan baru dari seseorang ulama asal Baghdad Syaikh Ahmad al-Mubasyarah di sepanjang

perjalanan. Pengetahuan itu berupa “keEsaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan

segala peristiwa yag tergelar di alam semesta ini, baik yang terlihat atau yang tidak terlihat pada

hakikatnya ialah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan lamgsung

bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.

Pengalaman ruhaniah inilah yang menjadi pangkal pandangan di hari lalu  yang

memunculkan tuduhan kepada Syek Siti Jenar bahwa beliau merupakan penganut Jabariah. Padahal

bukan itu pemahaman yang dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan

alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang, akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah

dan qudrah-Nya, yang bekerja melalui diri manusia sebagai khalifah-Nya di alam lahiriah. Ia juga

sampai pada suatu kesadaran. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa suatu yang tampak ada dan

memiliki nama, pada hakikatnya, hanya memiliki satu sumber nama yakni Dia Yang Wujud dari

segala yang mujud.

Dari Malaka Syekh Siti Jenar melanjutkan perjalanan ruhaninya ke Timur Tengah. Hal ini

dikarenakan saat  di Malaka beliau bertemu dengan Syekh Datuk Musa, saudara iparnya dan Syekh

Datuk Ahmad pamannya sendiri. Dari Pamannya ini, beliau (Syekh Siti Jenar) mengetahui bahwa

dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah). Karena itulah,

selain ke kota suci Makkah niatnya ke Timur Tengah ialah untuk menziarahi makam leluhurnya.

Namun sebelumnya ia memilih singgah di Baghdad.

Sesampainya di baghdad, Syekh Siti Jenar menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-

Tawalud. Disinilah cakrawa;a pengetahuan sufinya di asah tajam. Sebab di keluarga al-Tawaludlah

tersedia banyak kitab-kitab na’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu yaitu  peninggalan

kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan

dengan Syi’ah Ja’fariyyah, yang dikenal sebagai mazhab ahl-bayt. Saat di Baghdad ini juga, Syekh

Siti Jenar dibai’at dan silsilah tarekat Akmaliyah dari Syaikh Ahmad al-Baghdadi.

Syekh Siti Jenar membaca dan empelajari dengan baik tradisi sufi dari al-Thawasin-nya al-

Hallaj (858-922), al-Bustami (w.874), Kitab Al-Shidiq-nya al-Kharaj (w.899),Kitab al-Ta’aruf al-

Kalabadzi (w.955) Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), Futuhat al-Makiyah dan Fushush al-Hikam-nya

Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulumu al-Din dan kitab-kitab Tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-

Jili (w.1428). Secara kebetulan periode al-Jili, sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, sebab saat al-Jili

meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-pemikiran al-Jili

merupakan hal yang masih sangat baru dalam komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj, dan

terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para anggota dewan wali menyebarlaskan ajaran Islam Syar’i

mazhabi yang ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yang

kebanyakan beralur pada paham Imam al-Ghazalu. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak

menuliskan ajara-ajarannya, karena kesibukannya menyebar gagasan melalui lisan ke berbagai

pelosok tanah Jawa. Dalam catatan suluk Jawa, hanya ada 3 kitab yang diduga sebagai karya Syekh

Siti Jenar, Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf), dan Balal Mubarak.

Dari sekian bayak kitab sufi yang dibaca dan dipahaminya, yang paling berkesan pada diri

Syekh Siti Jenar yaitu  kitab Haqiqat al-Haqa’iq, Al-Manazil al-Illahiyah, dan al Insan al –Kamil fi

Ma’rifat al-Awakhiri wa-Alawamil (Manusia sempurna dalam pengetahuan tentan sesuatu yang

pertama dan yang terakhirketiga kitab ini  semuanya adyaitu  karya puncak dari ulama sufi sufi

Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Konsep-konsep sufiseme filosofis Syekh Siti Jenar, selain dapat dirujuk

dalam kitab al-Futuhat al-Makiyyah dari Ibnu ‘Arabi juga dapat dirujuk melalui kitab-kitab karya

Abdul Karim al-Jili ini .

Terutama dari kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa

menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham

kemanunggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh, dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti

Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik Al-Hallaj dan Al-Jilli, di samping karena proses

pencarian spritualnya, yang memiliki ujung pemahamaan yang mirip dengan –secara praktis/’amali-

al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dengan al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Jili sangat sederhana,

lugas, gampang dipahami, namun tetap mendalam. Yang terpenting, memiliki banyak kemiripan

dengan pengalaman rohani yang sudah dilewatkannya, serta yang akan ditempuhnya. Pada akhirnya

nanti, sekembalinya ke tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu tampak nyata, dalam berbagai ungkapan

mistik, ajaran, serta khotbah-khotbahnya, yang banyak memunculkan kontroversi keagamaan politik

diJawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser

musik sufi yang digelar di berbagai sama’ khana.Sama’ khana yaitu  rumah-rumah tempat para sufi

mendengarkan musik spritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’khana

mulai bertumbuhan di baghdad sejak abad ke-9. Pada masa itu grup musik sufi yang terkenal yaitu 

al-Qawwal, dengan penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spritual dilaluinya di Baghdad, sampai pada tingkatan fawaid

(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yang menyelubunginya telah tersingkap. Dengan

ini seseorang akan menjadi berbeda dengan manusia pada umumnya); dan lawami’

(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Ruh al-Haqq, dan

zawaid (terlimpahnya cahaya Illahi ke dalam kalbu yang membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia

mengalami berbagai kasyf, dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Di sinilah Syekh

Siti Jenarmendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi

dan al-Jili.

Bahkan saat  ia menjalankan zikir, di kedalaman lubuk hatinya, dengan sendirinya ia

merasakan zikir dan menangkap suara zikir yang berbunyi aneh,Subhani, al-hamdu li, la ila-ha illa

ana wa ana al-akbar, fa’budi (maha suci Aku, segala puji untukKu, Tidak ada Tuhan selain Aku,

maha besar Aku, sembahlah Aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca

zikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara

yang didengar lubuk hatinya yaitu  zikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafahu al-insanu

qalbahu faqad ‘arafa nafsahu, faman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu. Sampai di sini, Syekh

Siti Jenar semakin memahami makna ungkapan mistik sufi, Syekh Siti Jenar semakin memahami

makna ungkapan mistik sufi, yang sering di sebut sebagai hadis qudsi Rasulullah al-Insan sirri waana

sirruhu (Manusia yaitu  Rahasia-Ku dan Aku yaitu  rahasianya).

Setibanya di Jawa nanti pencerahan dan pengalaman ruhani itulah yang lalu  dijadikan

modal reformasi keagamaan. Secara tegas dan jelas, Syekh Siti Jnar mengkritisi pemahaman Dewan

Wali Sanga yang terkesan normatif dan kaku. Bahkan dengan berani ia menentang upaya hegemoni

rakyat, dibawah kekuasaan tunggal Sultan. Sebab dalam persepektif Siti Jenar, hal ini bertentangan

dengan dimensi rohani manusia sebagai tajaliyat Illahi, yang harus bebas dan merdeka, dari segala

bentuk hegemoni manusia dan makhluk lain. Dimensi rohani inilah yang lalu  menjadi dasar

sikap politik Syekh Siti Jenar sekembalinya di Jawa.

Dengan bekal penceraham rohaniah di Baghdad ini , Syekh Siti Jenar semakin

memantabkan diri untuk mengunjungi Makkah untuk menziarahi makam leluhurnya Nabi

Muhammad SAW, sekaligus untuk melaksanakan Ibadah haji.

Di usia 31 tahun Syekh Siti Jenar melaksanakan ibadah haji. Ia berangkat dari Basrah- tempat

persinggahannya sementara – menuju Makkah melintasi samudra.

Sesampainya di Jeddah ia menuju Makkah. Di tengah perjalanan ia bertemu Syekh

Bayanullah yang masih sepupu Syekh Siti Jenar (adik Syekh Datuk Kahfi) sendiri. Syekh Bayanullah

lalu  menerangkan bahwa Maulana Ishaq yaitu  putra Maulana Ibrahim as-Samarkandi. Syekh

Ibrahim ini yaitu  putra Syekh Jamaludin Husein yaitu  saudara tua kakek Syekh Siti Jenar, Syekh

Datuk ‘Isa ‘Alawi. Syekh Bayanullah juga menerangkan keberadaan saudara lain ibu Maulana Ishaq,

yakni Ali Rahmatullah dan Ali Murtadla (Raden Santri, yang dimakamkan di Gresik) serta Maulana

‘Ainul Yakin Sunan giri I yang telah menjadi guru agung di Ampel dan Giri.

Saat melaksanakan Ibadah haji di Makkah inilah Syekh Siti Jenar mendapatkan pengalaman

ruhaniah. Pengalaman Spritual pertamanya ialah mengalami tingkat ke-fana’-an yang lebih tinggi

dibanding pengalam an spritualnya yang sudah-sudah. Dalam keadaan itu ia mengalami pandangan

lawami’, menyaksikan seorang pemuda yang telah sampai kepada tingkatan puncak dalam pendakian

spiritual.

Melalui bahasa perlambangan dan al-ima’ (pembicaraan tanpa bahasa lisan dan bahasa

perlambang), pemuda ini  mengungkap jalan menuju-Nya; menembus tabir-tabir hijab dualistas

insaniyah dan Ilahiyah, memasuki samudra sifat dan Asma Allah. Syekh Siti jenar dituntun menjadi

al-insan al-Kamil, dimana potensi Ruh al-Haqq yang bersemayam dalam Baitul Haram hati- jiwanya,

dimaksimalkan bagi keberadaan dirinya di dunia.

Pengalaman yang kedua ia rasakan saat  pandangan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id-

nya ia mengetahui jika pemuda yang selama ini membimbingnya yang mengalami pengalam puncak

itu tidak lain dan tidak bikan ialah Abu Bakar al-Shidiq, sahabat terkasih Rasulullah. Pengalaman

pertemuan dengan roh Abu Bakar itu terjadi, dalam keadaan ekstase. saat  kesadaran jiwanya berada

dalam ‘alam al-khalq (alam kasatmata) dengan ‘alam al-khayal (alam imajinasi)\

Pengalaman ketiga dialaminya saat  menjalankan thawaf wada’. saat  kondisinya berada

dalam ke-fana’-an, ia merasakan nur dalam dirinya menyatu dengan Nur Muhammad. Dalam

pergulatan qalbunya itu, lalu  ia terbawa dalam keadaan yang sulit dipercaya. Mendadak Ka’bah

dan segala yang disekitarnya lenyap. Ia berada di alam syahadah yang maha-luas, dimana seluruh

tubuhnya memancarkan Nur. Ia merasakan dan menyatu dengan Nur, sehingga ia tidak tahu lagi

tentang keberadaan dirinya sendiri. Antara sadar dan tidak, Ia merasakan al-Haqq yang berada dalam

Ruh al-Haqqyang bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata sendiri; “Ana sirr Al-Haqqi

wa ma al-Haqq ana, wa Ana Al-Haqq fa innani ma ziltu aba wa bi al-Haqqi haqqun.” Di Makkah,

Syekh Siti Jenar telah berhasil mencapai kemanunggalan. Kini seluruh pandangan Syekh Siti Jenar

telah selalu berada dalam ‘ain al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.

Saat Syekh Siti Jenar berada di makam Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasam

rohani yang menakjubkan. Di tempat ini , melalui pandangan al-bashira-nya, ia bertemu sosok

agung Muhammad SAW, yang mengungkap rahasia Nur Muhammad dan wujudiah kepada Syekh Siti

Jenar; mengungkap rahasia kaliamt”Ana min nur Allah wa khalq kulluhun min nuri”. Demikian pula

tentang rahasia Haqiqah Muhammad, yang di dalamnya terdapat nama lain Nabi Muhammad, yaitu

“Ahmad”. Oleh sosok agung ini , Syekh Siti Jenar diberitahu bahwa nama “Ahmad” itulah yang

dimaksudkan dalam hadits “Ana ahmadun bi-la mim”, yang maksudnya “Aku tidak lain yaitu  ahad.”

Jadi Nabi Muhammad yang diberi nama semesta “Ahmad” tidak lain yaitu  pengejawantahan dari

sang “Ahad” sendiri.

Dari pengalaman yang dialami di Makkah itu, Syekh Siti Jenar tidak bisa membedakan antara

fana’ fiAllah dan fana’ fi rasul, sebab hakikat dan esensinya sama. Fana’ fi rasul, melalui rahasia di

balik nama “ahmad”, tidak juga fana’ fi al-ahad.

Pengetahuan-pengetahuan yang seperti inilah yang kelak dilalu  hari diajrkan secara

terbuka kepada warga  di Jawa, sehingga Syekh Siti Jenar dianggap berdosa karena mengajarkan

agama dengan miyak warana (mengajajarkan ilmu rahasia tertinggi secara terbuka untuk warga 

umum). Sepulangnya ke Indonesia dengan membawa pandangan baru berdasar  pengalama

kesatuan dengan Allah, dan secara terbuka menyatkan pandangannya tentang ilmu-ilmu rahasia untuk

warga  umum, mengikuti al-Jili, dalam mengomunikasikan pemikiran dan pengalaman

spiritualnya juga membuka rhasia syatahat dan alkhariq al-‘adah-nya kepada umum, yang membuat

sebagian orang awam menjadi muridnya salah dalam mempersepsi ilmu dan pengalaman sufinya.

Tentu, para Dewan Wali yang dikenal dewan Walisongo yang berpusat di Demak tidak

menyetujui pendapat Syekh Siti Jenar. Perbedaan pendapat seputar fana’ yang dalam aplikasi Syekh

Siti Jenar yaitu  pengalaman manunggaling kawula Gusti; tentang hidup dan mati; tentang hari

kiamat; tentang posisi seorang ulama’ dalam mengatasi masalah dalam warga ; tentang cara

mengajarkan ilmu tasawuf, utamanya ilmu rahasia kepada warga  umum, dan tentang pandangan

politik mengenai rakyat, kekuasan, dan afiliasi ulama terhadap penguasa. Hal itulah yang menjadi

yang menjadi perbedaan besar antara Syekh Siti Jenar dengan Dewan Wali kesultanan Demak. Yang

menyeret Syekh Siti Jenar pada hukuman mati. Apalagi tokoh-tokoh oposisi Demak merupakan

murid-murid Syekh Siti Jenar.

Sekembalinya dari Makkah Syekh Siti Jenar tidak langsung kembali ke Jawa. Ia singgah

dahulu di Baghdad. Disini ia bertemu dengan seorang ulama’ Syi’ah Muntadzar, Syekh ‘Abdul Malik

al-Baghdadi. Kamudian beliau dinikahkan dengan putri bungsu Syekh ‘Abdul Malik al-Baghdadi

yang bernama Fatimah. Dari perkawinan ini Syekh Siti Jenar dianugrahi anak pertama yang diberi

nama ‘Aisyah (lalu  berganti menjadi Zainab). ‘Aisyah inilah yang lalu  menjadi istri salah

satu Sunan Kalijaga.

Setelah anaknya lahir, ia meninggalkan keluarganya di Baghdad untuk menuju Jawa. Namun

di tengah perjalanan ia memutuskan berlabuh di Diu. Tanpa disangka ia telah dinantikan oleh utusan

sekaligus murid Syekh ‘Abdul Ghafur al-Gujarati seorang pir (guru ruhani) Malamatiyah, di

Ahmababad merupakan kota bermayoritas Syi’ah Islamiyah. Hal ini mengakibatkan banyak

Sejarawan Indonesia menganggap Syekh Siti Jenar sebagai penganut Syi’ah.

Di Ahmababad ini Syek Siti Jenar dinikahkan Shafa binti Muhammad al-Gujarati. Dari

pernikahan ini ia mendapatkan seorang putra yang bernama Darbuth yang berarti “Rumah

persembunyian Khazanah Tersembunyi”. Pemberian nama ini berdasar  pengalam rohani Syekh

Siti Jenar. Namun Syekh Abdul Ghafur sebagai pembimbing perjalan spritualnya tidak menyetujui

pemberian nama itu karena dapat memancing sifat ‘ujub. Sebagai ganti anak itu dinamakan Bardud

(ulat dalam kepompong). Kelak Syekh Datuk Bardud menjadi wali terkenal di Cirebon dan Banten.

Dari Ahmadabad Syekh Siti Jenar meneruskan perjalanannya ke selatan,sambil berdakwah

kepada orang-orang pedesaan di Gujarat, terutama pada suku Kanbi, Kharwa, dan Kori.

Di Gujarat ini pula, Syekh Siti Jenar beretemu dengan tiga orang wali yang terkenal. Yang

pertama saat  dalam perjalanan dari Surat ke Goa, ia bertemu dengan Syekh Abdul Malik al-Isbily

dari Spanyol. Yang kedua ia bertemu dengan Syekh ‘Abdur Rahim al-Kadisy.

Sedangkan auliya’ ketiga yaitu  Syekh Abdul Malik Israil, semula orang Yahudi yang

memeluk Islam, dan menjadi darwis pengembara. Ia sempat tinggal di Mesir selama setahun, dan

menikah dengan putri Syekh Abdul Hamid al-Mishri, dan memiliki seseorang putri. Namun segera

ditinggal mengembara sampai ke Jawa. Sekembalinya lagi di Mesir, putrinya sudah dinikahkan

dengan Syarif Mahmud bin Syekh Syarif Abdullah Kahfi al-Mishri. Dan perkawinan ini, lahirlah

Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Cucu sulungnya iniah yang diajak mengembara ke negeri

Timur yang saat itu berusia sekitar 15 tahun. Di lain pertemuan Syekh Abdul Malik Israil lalu 

menyerahkan Syarif Hidayatullah kepada Syekh Siti Jenar untuk dibawa ke Jawa. Nanti pada tahun

1492, Syekh Israil kembali ke Cirebon untuk menengok cucunya.

Sejak tahun 1463, Syarif Hidayatullah ikut dalam perjalan Syekh Siti Jenar dari Gujarat

menuju Cirebon melewati Hindustan, serta menyempatkan diri berkhotbah kepada warga 

Belgium dan Goa. Dari Goa Syekh Siti Jenar pindah ke Calicut, lalu ke Pasai. Di Pasai beliau singgah

selama sebulan. Dalam waktu sebulan, dia sudah banyak mendapatkan pengikut, termasuk

Abdurrahman Al-Singkili. Dari Pasai ia lalu  berziarah ke pusara pamannya di Malaka, Syekh

Datuk Ahmad. Di Malaka ia tinggal beberapa lama, dan memiliki anak yang bernama Datuk Fardlun,

yang kelak bermukiman di Paciran, Lamongan.

lalu  Syekh Siti Jenar berziarah di makam Aria Damar di Pedamaran, selanjutnya

mengarungi samudra kembali ke Caruban Larang, tempat kelahirannya yang telah ditinggalkannya

selama 17 tahun. Sampai di Cirebon, Syekh Siti Jenar memantapkan diri, menjadi Cirebon sebagai

pusat gerakan dan penyiaran dakwah Islamnya, yakni di bukit Amparan Jati, menyatupadukan

langkah dakwah bersama Syekh Datuk Kahfi.

Sejak itulah, namanya mulai banyak dikenal warga  Cirebon sebagai penyiar agama

Islam yang gigih, dan pantang menyerah. Pengaruhnya begitu meluas sampai ke Banten, Bahkan

sampai ke Palembang. Sebagai pusat penyebaran paham spritualnya, Syekh Siti Jenar lalu 

mendirikan padepokan khusus diluar Giri Amparan Jati, yang diberi nama Dukuh Lemahabang.

Selain itu, ia juga membuka cabang daerah dengan nama yang sama, sehingga ia dikenal dengan nama

yang sama.

Di masa-masa awal di Cirebon Syekh Siti Jenar bertemu dengan Sunan Bonang dan Raden

Said Sunan Kalijaga di Cirebon. Perkenalan mereka diawali dengan asal-usul masing-masing dan

berbagai ilmu keagamaan meskipun mazhab sufi mereka berbeda. Dari Sunan Bonang Syekh Siti

Jenar beroleh wawasan rohani, juga dengan Sunan Giri di Giri Gajah Gresik. Akan tetapi saat berbagi

ilmu kerohanian dengn para wali dalam rangka penyesuaian diri, Syekh Siti Jenar sempat dicurigai

sebagai pemilik ilmu sihir. Meskipun begitu beliau tetap diangkat menjadi anggota majelis Walisanga,

dan diberi tugas mengajarkan syahadat dan tauhid.

Dikarenakan pendapatnya bahwa materi itu terlalu dangkal, dalam praktiknya Syekh Siti

Jenar mengajarkan sasahidan serta ilmu ma’rifat dan hakikat dalam bentuk sufisme wujudiyah. Bagi

Wali sanga hal ini sangat membahayakan. Sebab ilmu kasampurnaan itu tidak patut diajarkan secara

umum. Sebab warga  umum akan salah persepsi. Bagi Walisanga ilmu kasampurnaan yaitu 

ilmu khash, ilmu tua, berupa ilmu rahasia untuk kalangan tertentu. Sedangkan bagi Syekh Siti Jenar

semua orang dari golongan manapun berhak memperoleh pengajaran ilmu yang sama. Inilah yang

menjadi awal perbedaan prinsip antara Syekh Siti Jenar dan majelis Walisanga.

Setelah berada beberapa saat berada di Demak dan Gresik, Syekh Siti Jenar kembali di

Cirebon, disertai oleh radin Sahid yang ingin menuntut ilmu kepada Syekh Siti Jenar. Sebab saat itu,

tingkat ilmu Syekh Siti Jenar dipandang telah berada di atas ilmu para wali Demak.

Dalam perjalanan Syekh Siti Jenar singgah sejenak di Pengging. Beliau mengajarkan

sasahidan (kesaksian). Di penggih Syekh Siti Jenar banyak mendapatkan banyak pengikut, tepatnya

di wilayah Selatan-Timur Jawa bagian Tengah. Salah satu pengikutnya yang setia yaitu  Ki Ageng

Pengging. Ki Ageng Pengging pun juga ikut dalam perjalanan Syekh Siti Jenar ke Cirebon. Beberapa

bulan lalu  Ki ageng Pengging diperintahkan untuk merintis perguruan di Jawa Tengah. Namun

dalam pengajarannya, Ki Ageng Pengging juga mengajarkan kebebasan berpolitik. Di lalu  hari

hal inilah yang membuat penguasa Demak khawatir.

Syekh Siti Jenar juga mengumandangkan pencerahan tentang hak-hak kemanusiaan, di

samping dakwah ilmu esoterisnya. Banyak warga  yang terteik menimba ilmu di Lemah Abang.

Bukan hanya dari telatah Cirebon, namun juga berasal dari Tegal, Kendal, Demak, Banten, dan

sebagainya. Bahkan dari luar Jawa.

Syekh Siti Jenar melaksanan perjalanan ke arah Timur setelah tergabung ke dalam dewan

walisanga sekitar tahun 1495-1497 M, Untuk membangun ukhuwah islamyah terhadap negeri-

negeri muslim dibawah penguasa zalim dan mendakwahkan ajaran-ajaran keagamaan. Kepergiannya

ini juga untuk membuka Paguron Lemah Abang rintisan Ki ageng Pengging.

Karena Syek Siti Jenar memiliki banyak pengikut dari kalangan rakyat kecil dan banyak yang

banyak yang berasal dari kalangan bangsawan. Terlebih juga karena kebebasan berpolitik yang

diajarkannya. Maka kerajaan Demak semakin khawatir dengan pengaruh Syek Siti Jenar yang

semakin besar terhadap rakyat. Rakyat pun semakin kurang menghargai dakwah dewan wali.

Kerajaan Demak pun beranggapan bahwa kewibawaan Syek Siti Jenar dapat menggoyang

kewibawaan Sultan dan kerajaan Demak.

Tuduhan-tuduhan pun banyak di arahkan kepada Syekh Siti Jenar. Beberapa tuduhan ini 

yaitu miyak warana (membuka ilmu rahasia kepada umum secara bebas), penganut faham jabariyah,

penganut ajaran sesat (pasca kematian Syekh Siti Jenar), sampai kepada tuduhan mbalelo

(memberontak) terhadap kerajaan Demak.

Tuduhan miyak warana, barangkali ada benanrnya kerena sebab Syek Siti Jenar dalam

memberikan pengajaran tentang ilmu tasawufnya tidak pandang bulu, diberikan kepada semua orang,

secara terbuka dan dialogis. Lima utusan Demak pun yang datang menengok Syek Siti Jenar sempat

tercengang dibuatnya.

Dari bermacam-macam tuduhan itu, yang mengemuka yaitu  tuduhan bahwa Syekh Siti Jenar

mengajarkan bid’ah, tentang kesatuan wujud manusia dengan uhan sebagai Keberadaan Mutlak.

Dewan Wali menuduh bahwa Syekh Siti Jenar menganggap dirinya sebagai Tuhan itu sendiri. Dan

tuduhan yang paling tendensius sebagai alasan memvonis mati Syekh Siti Jenar yaitu , bahwa Syekh

Siti Jenar mengajarkan pengetahuan esoteris kepada orang-orang yang tidak memiliki kemampuan

memadai secara sufistik.

Kuatnya kedudukan Syekh Siti Jenar di Cirebon ini lalu  mulai mengalami tantangan.

Sejak Syarif Hidayatullah menjadi anggota dewan wali pada tahun 1500, konsentrasi mulai terpecah.

Sebab posisi Syarif Hidayatullah, sudah tidak independen lagi. Orientasi paham keagamaannya pun

lebih condong kepada dewan wali. Sehingga dalam kasus ini, Syarif Hidayatullah lebih banyak

bersikap diam. Namun melalui Pangeran Punjungan sebagai Duta sebagai duta dan guru resmi dan

kesultanan Demak, yang ditempatkan di Giri Amparan Jati, dan Syarif Hidayatullah menerimanya,

maka jelaslah jika orientasi Giri Amparan Jati sudah lebih banyak berkiblat ke Demak. Ini terbukti

saat  Syek Siti Jenar wafat, Sunan Gunung Jati mengikuti fatwa Demak, membuat larangan bagi

segenap santri mempelajari ajaran-ajaran rohani dan syiasah Syekh Siti Jenar.

Ujung dari konflik antara Syekh Siti Jenar dan dewan wali memuncak saat  sidang para

Wali yang di gelar oleh Sunan Giri (sekitar tahun 1498) untuk membahas kasus Syekh Siti Jenar.

Dalam musyawarah itu ia menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan

bersembahyang jamaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syekh Maulana Mahgribi

berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik untuk pengikutnya. Karena hal ini 

dapat membuat orang-orang mengira jika seorang wali teladan meninggalkan syariah Nabi

Muhammad.

Dua santri utusan Sunan Giri lalu  dikirim untuk menjemput Syekh Siti Jenar di goa

tempat ia bertapa untuk di bawa ke masjid. Setibanya ia disana, mereka di beri tahu jika hanya Allah

yang ada dalam gua. Mereka kembali ke masjid untuk melapor kepada Sunan Giri dan para wali

lainnya. Sunan Giri lalu  menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh Allah untuk segera

menghadap para wali. Sesampai di goa dua santri ini mendapat jawaban jika tidak ada Allah tidak ada

dalam gua, yang ada hanya Syekh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya.

Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini

Syekh Siti Jenar keluar dari gua dan dibwa ke masjid menghadap para wali. Dalam musyawarah ini

Syekh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah

yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara Allah, manusia

dan segala cipataan lainnya. Sunan Giri membenarkan wacana itu, tetapi ia meminta agar hal seperti

itu untuk jangan diajrakan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah.

Syekh Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah

perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir. Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu

kelihatannya bahwa yang menjadi masalah subtansi ajaran Syekh Siti Jenar, tetapi penyampaian

kepada warga  luas. Menurut Sunan Giri paham Syekh Siti Jenar belum boleh disampaikan

kepada warga  luas sebab mereka bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk

Islam, karena seperti disampaikan dimuka bahwa Syekh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari

kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke-15 M.10

Sunan Bonang juga memiliki  peranpenting dalam kasus Syekh Siti Jenar. Jika pada masa

Sunan Giri, vonis mati sudah dijatuhkan, tetapi belum dapat terlaksana, karena belum ada institusi

yang berwenang melaksanakannya, maka setelah kerajaan Demak berdiri, Sunan Bonang dipercaya

menggantikan Sunan Giri sebagai ketua dewan Walisanga, dan pada masa kepemimpinannyalah,

vonis mati dilaksanakan, walau lalu  ternyata Syekh Siti Jenar wafat secara wajar.

Sunan Bonang bernama asli Raden Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Ia memegang

kepemimpinan atas institusi dan istruksi keagamaan yang diwarisi dari ayahnya, dan berdiam di

Bonang, Tuban, sebagai tempat penyiaran ajaran “Islam murni”. Memang dalam penyiaran agamanya,

dia sering menggunakan salah satu set alat musik Jawa “bonang” sebagai mediumnya, warga ,

dan bakat warisan yang dimiliki, maka lalu  ia muncul dan memegang kendali atas instruksi

keagamaan. Posisi inilah yang menempatkannya sebagai pemegang kunci fatwa vonis untuk Syekh

Siti Jenar, agar dijatuhi hukuman mati. Dia juga disebut sebagai wali yang membimbing dan

mendidik Raden Said, yang lalu  muncul sebagai wali dengan nama Sunan Kalijaga, dan

merekrutnya sebagai anggota ke dalam wadah Walisanga. Pada tahun 1525, ia wafat,dan dimakamkan

di belakang Masjid Jami’ Kuthorejo, Tuban.

Ada beberapa versi jalan kematian yang ditempuh Syekh Siti Jenar. Kontroversi ini

berdasar  sumber serat-serat yang dijadikan rujukan para peneliti dan penulis.

Menurut Suluk Walisanga dan Serat Syekh Siti Jenar, di tengah-tengah perdebatan yang

semakin mencekam antara Syekh Siti Jenar dan lima orang wali yaitu Sunan Ngudung, Sunan

Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin rombongan ,

Syekh Siti Jenar justru segera memusatkan pikiran, menutup rapat-rapat pintu napas dan menggulung

habis rahasia hidupnya. Tak lama lalu  napasnya itu pun di lepas bersmaan dengan lepasnya tali

pengikat hidup bagai kilat. Tanpa diketahui tamunya, para auliya yang tak membayangkan apa yang

akan terjadi, Syekh Siti Jenar telah menemui ajalnya.12

Sebelumnya dalam perdebatan itu Syekh Siti Jenar menjelaskan bahwa setiap manusia

sempurna dengan mudah dapat mengendalikan jalan hidup atau air-hidup-nya yang disebut tirta

nirmayadalam bahasa Buddha, ma-ul hayat dalam bahasa Arab atau sajaratul makrifat.Menurut

Syekh Siti Jenar, jumlahnya ada tiga dan sembilan nirmaya yang tersebar merata ke seluruh tubuh.

Tiga diataranya memiliki kemampuan mengetahui dengan teliti sesuatu yang diperlukan. Tiga yang

lainnya merupakan permulaan kodrat. Sementara itu, dua sisinya merupakan kodrat yang berupa daya

kekuatan untuk hidup, yang jika ditutup akan memusnahkan budi dan daya kehidupan.13

Menurut Babad Demak, kematian Syekh Siti Jenar yaitu  karena eksekusi pleh Sunan Giri.

Setelah dipenggal kepalanya menurut Babad Tanah Jawa, rohnya naik ke surga, dan jasadnya masjid

tetap kembali ke masjid, para ulama marah. Sunan Giri memerintahkan agar tubuhnya ditikam

denganpedang dan dibakar. Oleh Maulana Maghribi, jasad Syekh Siti Jenar di tikam, tetapi tidak

mempan. Maulana Maghribi marah dan berseru bahwa Syekh Siti Jenar berarti belum rela mati.

lalu  terdapat luka tidak mengeluarkan darah. Maulana Maghribi menegur lagi , jika luka tidak

mengeluarkan darah itu, berarti luka orang jahat. Luka ini  lalu  mengeluarkan darah.

Maulana Maghribi belum puas dengan mengatakan bahwa luka yang mengeluarkan darah merah

yaitu  luka orang biasa, bukan kawula Gusti. Sesaat  keluarlah darah putih. Maulana Maghribi

menegur lagi dengan penasaran, bahwa luka seperti itu hanya seperti luka pohon mengeluarkan getah.

Jika memang ia seorang insan kamil tentunya dapat masuk surga bersama jasadnya, apalagi ia sebagai

kaeula Gusti. Dalam sekejap, jasad Syekh Siti Jenar hilang-raib dan darahnya sirna. Setelah itu

Maulana Maghribimembunuh anjing kurus-kudisan, membungkusnya dengan kain putih, dan

mengumumkan kepada khalayak ramai, karena manolak syari’at mayat Syekh Siti Jenar berunah

menjadi anjing budukan. lalu  bangkai anjing itu di bakar.

Hukuman mati yang ditulis pada babad ini sebenarnya dapat diragukan. Karena hukuman

ini  dikatakan pada masa Sunan Giri menjabati posisi Raja sementara selama 40 hari. Sedangkan

Sunan Giri wafat paling labat tahun 1506. Dibandingkan pristiwa penghukuman Syekh Siti Jenar,

lewat tahun ini . Memang menurut serat Suluk Syekh Siti Jenar, meninggalnya Syekh Siti Jenar

terjadi di Krendhasawa dengan sengkala Nirjamna Catur Tunggal (1480). Namun ini masih bisa

diragukan, sebab pada tahun 1480 Demak belumlah berdiri sebagai kesultanan yang sepenuhnya.

Demak berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat baru pada tahun 1498 M. Pada tahu ini  Syekh

Siti Jenar belum tiba di Jawa bagian tengah. Pengging dan sekitarnya baru diislamkan pada tahun

1490, dan inilah angka tahun paling awal mengenai kedatangan kedua Syekh Siti Jenar di Jawa bagian

Tengah. Kedatangan pertama kalinya yaitu  bersama Sunan Bonang dan dibaiat sebagai anggota

Dewan Wali dan mengajar di Pengging. Masjid Demak sebagai tempat persidangan para Dewan Wali

juga belum dibuat.

Dalam Babad Cirebon, Syekh Siti Jenar diadili karena berupaya memeberontak kepada

Demak. Sepeninggal Syekh Datuk Kahfi, Demak, melalui Sunan Gunung Jati memutuskan agar posisi

yang sebelumnya diduduki oleh Syekh Datuk Kahfi, diganti dengan Pangeran Punjungan (yang

semestinya diisi oleh Syekh Siti Jenar). Sedangkan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan menggantikan

posisi Pangeran Cirebon (Abiseka Sri Mangana). Hal ini dikarenakan Pangeran Cirebon merupakan

pendukung Syekh Siti Jenar yang kuat. Sebelum Syekh Siti Jenar dihukum mati, pertama kali ratusan

santrinya diungsikan dahulu. Setelah itu pasukan bergerak menuju Lemah Abang di Cirebon Girang.

Syekh Siti Jenar lalu  digiring menuju Masjid Agung Cirebon (Masjid Ciptarasa) dimana

anggota Dewan Wali sudah menunggu.

Persidangan kasus Syekh Siti Jenar ini dipimpin oleh Sunan Gunung Jati (sebagai hakim),

selaku Sultan Cirebon. Posisi Eksekutor atau algojo dipegang oleh Sunan Kudus. Setelah terjadi

perdebatan yang panjang lebar, Syekh Siti Jenar tida mau mengikuti faham yang ditetapkan Sultan

Demak. Karena itu, hukuman mati akhirnya dijatuhka kepada Syekh Siti Jenar. Dengan keris

Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus mengeksekusi Syekh Siti Jenar. Maka wafatlah

Syekh Siti Jenar pada tahun 923 H / 1506 M (versi Babad Cirebon dan Parwuka Caruban Nagari).

Namun penanggalan pada serat Babad Cirebon ini perlu dikoreksi. Karena jika tahun Hijrah 923

dipakai, berdasar  hitungan linier kalender syamsyiah (solar year/M) yang dikonversi ke tahun

qomariyah (lunar year/H) maka tahun masehinya yaitu  1517, bukan 1506. Sedangkan tahun 1506 M,

berarti yaitu  tahun 911 H.

Dua penanggalan ini  (yaitu 923 H, dan 1506) hampir mendekati penanggalan yang tepat,

yaitu angka 923 H, yang bertepatan dengan Tahun 1517 H. Dan bulan shafar 923 H, bertepatan

dengan bulan Maret 1517 H. Namun itu saja belum cukup karena masih ada sebuah kejanggalan.

Dalam serat Carita Purwaka Caruban Nagari, setelah Syekh Siti Jenar dieksekusi di Masjid Agung

Cirebon dikatakan bahwa “candinira ing Anggaraksa mandala kawilang Caruban” (dimakamkan di

mandala Anggaraksa, yang masih menjadi Wilayah Cirebon). Pemilik kediaman di mandala

Anggaraksa (Kanggraksan, Graksan sekarang) tidak lain yaitu  Pangeran Anngaraksa, putra Rsi

Bungsu. Pangeran Anggaraksa memang mengakui dirinya sendiri sebagai Syekh Siti Jenar pada akhir

hidupnya. Dengan begitu maka tampaklah jika tokoh ini yang dieksekusi di Masjid Ciptarasa.

Alasan mengapa bukan tahun 1428 C / 1506 M ialah bahwa pada tahun 1506 M, Masjid

Agung Demak, sebagai markas Dewan Wali, baru berhasil di dirikan dengan seutuhnya, (tanggal 1

Dzulkangidah 1428 C). Dan pada tahun-tahun 1515-1518M, negara Demak sedang berada dipuncak

legitimasinya. Apalagi jika dikaitkan dengan berbagai peristiwa yang mendahului, dimana proses

hukuman mati Syekh Siti Jenar memerlukan beberapa kali persidangan. Sementara Demak juga

disibukkan oleh perencanaan ekspansi wilayah. Maupun eksapansi penyebaran Islam para wali. Dan

sebagian besar persidangan itu dilaksanakan di Masjid Agung Demak ini, termasuk kematian Ki

Lonthang yang melakukan belapati, beberapa hari setelah Syekh Siti Jenar dihukum mati.14

Menurut R. Ng. Rangga Warsita seorang pujangga sastra Jawa terakhir dan penulis naskah

ajaran Jawa mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar meninggal antara tahun 1517 M hingga 1524 M.

Beliau mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar (Sunan Kajenar) yaitu  wali pada angkatan awal kerajaan

Demak. Hitungan ini diawali dari berdirinya Demak sebagai kadipaten, sewaktu masih menjadi

wilayah Majapahit. Sementara hitungan masa akhir diambil, karena setelah wafatnya Raden Fatah

pada Tahun 1546 M. Lalu digantkan oleh kerajaan Pajang. Hal ini terjadi karena Joko Tingkir

memboyong pusat pemerintahan Demak ke Pajang.

Dalam Serat Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowijoyo terbitan keluarga Bratakesawa Jogja tahun

1958 berisi catatan tahun dalam bentuk sengkala sat catur guna luwih atau 1446 tahun saka atau tahun

1524 M. Pada proses penyerbuan Demak ke Pengging dan meninggalnya Ki ageng Pengging.

Sedangkan jarak wafatnya Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging paling lama lima tahun jika

dilihat dari informasi pada babad dan serat. Maka bisa diperkirakan jika Syekh Siti Jenar meninggal

pada tahun 1517 M, maka paling lama wafatnya Ki Ageng Pengging tahun 1522M. Atau jika tahun

wafatnya Syekh Siti Jenar yaitu  tahun 1524, maka Ki Ageng Pengging berarti wafat sekitar tahun

1529.

B. Kontroversi tentang keberadaan Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar merupakan tokoh yang masih diragukan keberadaannya oleh

berbagai pihak bahkan sampai saat ini. Sebagian orang masih menganggapnya sebagai tokoh

fiksi yang hanya ada pada serat-serat kuno. Asumsi mereka kemungkinan besar bisa diterima

karena Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-

Hallaj atau lebih dikenal sebagai Al-Hallaj, sufi Persia abad ke-10, yang ajarannya mirip

dengan Syekh Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi

penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Al-Hallaj yaitu  seorang sufi yang karena

konsep bersatunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,”

yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti

Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama,

sehingga dapat pula diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar memang tidak ada.

Maka dongengnya hanyalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung

maupun yang menindas ajaran ini . Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang

dihidupkan untuk dimatikan.

Sebelum banyak peneliti yang memfokuskan penelitiannya terhadap Syekh Siti Jenar,

kisah Syekh Siti Jenar diceritakan secara turun temurun dan lebih sering diselubungi mitos-

mitos. Mitos-mitos ini memang sejalan dengan kebudayaan Jawa sendiri yang begitu banyak

memunculkan mitos yang berfungsi sebagai sebagai pengajaran etika dalam kehidupan.

Namun dengan mitos ini perjalan hidup atau bahkan sekedar kebenaran keberadaan Syekh

Siti Jenar saja sudah menjadi kabur.

Sebab-sebab lain yang memungkinkan mengaburkan penulisan sejarah Syekh Siti

Jenar ialah adanya nuansa permusuhan maupun nuansa politik dalam warga  beragama.

Salah satu wujud nuansa permusuhan sudah jelas disinggung dalam latar belakang pada bab

pertama skripsi ini. Nuansa permusuhan ini  terjadi karena adanya penilaian ajaran yang

berbeda terhadap ajaran Syekh Siti Jenar oleh warga  yang memiliki  ajaran yang

sudah mapan yang mana menjadi mayoritas. Penilaian ini menciptakan stereotip sesat kepada

ajaran Syekh Siti Jenar terutama ajarannya Manunggaling Kawulo Gusti.

Sedangkan yang kedua, nuansa politik, lebih sering muncul dari asumsi sementara

para peneliti dan warga  yang memiliki sifat kritis terhadap kisah-kisah Syekh Siti Jenar.

Salah satu hal yang menjadi sebab asumsi ini ialah teks-teks kuno yang dijadikan sumber

acuan untuk membangun ulang sejarah kehidupan Syekh Siti Jenar yang mengandung banyak

ketidaklogisan maupun ketidaksamaan alur cerita. Teks-teks ini  antara lain yaitu Babad

Cirebon, Babad Tanah Jawi, Serat Syekh Siti Jenar, Serat Centhini dan masih banyak yang

lain. Memandang perbedaan ini  beberapa peneliti berasumsi bahwa kisah-kisah Syekh

Siti Jenar yang banyak bertebaran dalam berbagai serat kuno ini  tidak menutup

kemungkinan bahwa itu semua merupakan naskah pesanan para penjajah Belanda yang

kemungkinan fungsinya untuk mengadu domba bangsa Indonesia waktu itu.

Salah satu sejarah Syekh Siti Jenar yang dikaburkan yaitu  silsialah beliau.

Muhammad Sholikhin menuturkan bahwa ada beberapa sebab-sebab pokok yang menjadikan

kaburnya silsilah beliau. Pertama, minimnya catatan sejarah di seputar kehidupan para wali

penyebar Islam di Jawa, apalagi sumber historis Syekh Siti Jenar, yang sejak awal

kehadirannya, sudah dicoba untuk dihilangkan jejaknya, karena faktor politis (pemberontak

penguasa kerajaan). Kedua, umumya peneliti dan pencatat sejarah belum memandang

kehadiran Syekh Siti Jenar sebgaimana pandangannya pada tokoh wali yang lain,

dikarenakan image awal mengenai kesesatan Syekh Siti Jenar.

Dan ketiga, pengkaburan tentang silsilah, keluarga, dan ajran Syekh Siti Jenar yang

dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa

perlu untuk “mengubur” segala hal berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya

diwarga , yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang diakui kerajaan Islam

waktu itu, selain karena alasan politis. Hal ini lalu  menjadi latarbelakang munculnya

kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer ini  secara tegas,

“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika dede,

sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”

“Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu

salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata) bertempat tinggal di

desa Lemahbang.”

Jadi Syekh Siti Jenar yaitu  manusia lumrah, hanya memang ia walau berasal dari

kalangan bangsawan, setelah kembali ke Jawa, menempuh hidup sebagai petani, yang saat itu

dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, di samping sebagai wali penyebar

Islam di tanah Jawa.

Hanya saja, dalam hal silsilah serta asal keluarganya, juga terdapat kontroversi

yang krusial. Paling tidak terdapat beberapa pendapat. Pertama, Bahwa Syekh Siti Jenar

yaitu  manusia yang berasal dari jelmaan cacing. Kedua, Syekh Siti Jenar yaitu  putra dari

Resi Bungsu, trah keluarga Kerajaan Pajajaran. Ketiga, Syekh Siti Jenar yaitu  R. Abdul Jalil

salah satu dari putra Sunan Ampel. Keempat, Syekh Siti Jenar aslinya berdarah Arab-Malaka

yang lalu  lahir dan menetap di Cirebon. Dari sini lalu  juga memunculkan asusmi

bahwa yang menjadi pendapat kelima yaitu Syekh Siti Jenar yaitu  orang Jawa asli.

Teori yang pertama, bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari jelmaan cacing banyak

terdapat dalam buku-buku kisah tentang Syekh Siti Jenar. Secara biologis hal ini tidaklah

mungkin terjadi. Jika secara simbolis memang dapat diterima, dengan makna: (1) Bahwa

Syekh Siti Jenar mengajarkan konsep teologi tanah tentang jiwa manusia, dan secara asal-

usul manusia yang secara wadag hanyalah berasal dari anasir tanah cokelat. Sehingga yang

perlu mendapatkan prioritas penjagaan yaitu  segmen rohani dan jiwanya, yang pasti akan

kembali kepada Allah, (2) Syekh Siti Jenar dipandang sebagai salah seorang sufi

malamatiyah, sebagaimana ajaran Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari untuk menguburkan

wujudnya sedalam-dalamnya ke dalam bumi, yakni agar selalu dapat bersama Allah, maka

ikhlas serta tawakkal serta menerima bentuk ujian fisik yang seperti apapun sebagai kehendak

Allah bagi kekasihnya. Sehingga berbagai fitnah keji, penderitaan fisik dan sebagainya mesti

dialami dengan hati yang sumarah.

Selain itu, bahwa istilah berasal dari cacing, bisa dipahami sebagai cacing penghuni

tanah subur. Tanah yang subur akan mengandung materi cacing, di mana cacing pada

gilirannya akan menyuburkan tanah. Hal ini bisa diibaratkan dengan Syaikh Siti Jenar dengan

ajarannya. Syekh Siti Jenar dalam dakwahnya berusaha untuk “ membumikan Al-Qur’an”

yang dipahami isinya, diamalkan sebagai perilaku dan menyatu padu dengan kehidupan umat

islam. Syekh Siti Jenar menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang telah elegan, yang

selalu sesuai zaman dan tempat dimana kitab itu berada, tidak terpaku dari mana kitab itu

turun dan berbahasa apa. Sehingga Islam kultural ini menjadi lebih “njawani” dan “mbatin”.

Menjadi “Islam” dalam konteks Syekh Siti Jenar bisa dalam dua bentuk “Islam” formal

keagamaan dan juga “Islam” sebagai sikap batin, yakni “orang yang berpasrah diri kepada

Tuhan” karena menyadari sangkan dan paran, serta dapat “menyesuaikan diri” dengan

kemauan, kehendak dari takdir Tuhan.

Teori kedua, bahwa Syaikh Siti Jenar yaitu  putra dari Resi Bungsu dari Pakuwon

Cirebon. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk kesimpangsiuran nama dan pengasuh.

Kebetulan masa kecil beliau bernama San Ali. Ini mirip dengan nama lai dari Pangeran

Anggaraksa putra Resi Bungsu yakni Hasan Ali. Kebetulan Resi Bungsupernah menjadi

orang tua asuh atau orang tua angkat dari San Ali, karena sejak lahir, Syekh Siti Jenar

memang sudah berada dalam keadaan yatim.

Teori ketiga, bahwa Syekh Siti Jenar yaitu  R. Abdul Jalil salah satu dari putra Sunan

Ampel. Sebagaimana diketahui, bahwa Sunan Ampel memiliki tiga orang istri dengan 

orang anak. Salah satu dari anaknya yaitu  yang diberi nama dan julukan Syaikh Maulana R.

Abdul Asmoro, yang dimakamkan di Jepara (komplek makam Kalinyamat). Ia terlahir dari

istri Sunan Ampel Nyi Ageng Manila, putri dari Sayid ’Aabdurrahman (Gan Eng Cu) atau

Arya Teja, yang berdarah Campa atau Malaka. Di lingkungan para habib serta sayid, R.

Abdul Jalil dikisahkan semula menganut paham wujudiyah, sehingga oleh Sunan Ampel

diperintahkan untuk pergi ke arah Barat, yang memiliki latar belakang tradisi dan teologi

yang agak sejalan dengan paham tasawufnya. Maka R. Abdul Jalil lalu  mengembara

hingga sampai ke Timur Tengah, kembali ke Jawa dan keliling sebagai da’i kelana di tanah

Jawa, yang akhirnya setelah wafat dimakamkan di Jepara. Karena keyakinannya yang sedikit

berbeda dengandengan Sunan Ampel, maka lalu  dalam silsilahnya memakai nama-

nama-nama yang disamarkan, di mana nama nama Datuk Shalih tidak lain yaitu  nama alias

dari Sunan Ampel, dengan mengacu pada muridnya yang terkasih, Mbah Sholeh (yang

diriwayatkan hingga meninggal hingga 9 kali). lalu  Datuk Isa Tuwu yaitu  nama alias

dari nama dari Maulana Ibrahim Asmoro, di mana dalam kisahnya memang Maulana Ibrahim

Asmoro pernah menetap di Malaka, dan lalu  pergi ke Jawa. Sedangkan dalam silsilah

para wali, antara Datuk Isa Tuwu dengan Maulana Ibrahim Asmoro yaitu  sama-sama

keturunan Syaikh Ahmad Syah Jalaluddin, walaupun untuk Ibrahim Asmoro melalui satu

generasi lagi, yakni Jamaluddin Al-Husain Penembahan Juumadil Kubra. Dari jalur inilah

dapat diketahui bahwa Syekh Siti Jenar atau R. Abdul Jalil masih keturunan dari pendakwah

besar Syaikh Ahmad al-Muhajir yang menjadi moyang bagi para habaib dan sayid di Asia.

Jika diruntut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin

‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada

dua kakek buyutnya yang menjadi musyrid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat

dihormati, yakni Syekh Abdullah ‘Azamat Khannudin dan Syekh Ahmad Jalaludin. Ahmad

Syah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di

sana.

Teori keempat, Syekh Siti Jenar aslinya berdarah Arab-Malaka yang lalu  lahir

dan menetap di Cirebon. Sebagaimana sudah disinggung, bahwa Syekh Siti Jenar yaitu  San

Ali atau sewaktu berada di Malaka ia diberi nama Syaikh Abdul Jalil, putra dari Syaikh

Datuk Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin

Syekh Sayid ‘Abdul Malik al-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannudin yaitu  putra Syekh

‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini yaitu  seorang Syekh kalangan ‘Alawi

kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Hadramaut. Qazam yaitu  sebuah distrik

berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut. Adapun Syekh Maulana ‘Isa putra Syekh

Ahmad syah lalu  bermukim di Malaka.

Karena adanya konflik keagamaan dan politik di Kesultanan Malaka yang tidak

kodusif, akibat kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, yakni masa transisi kekuasaan

Sultan Muhammad Iskandar Syah, maka lalu  Syaikh Datuk Shalih pergi ke Cirebon,

dan Syekh Siti Jenar di Cirebon. Syaih Datuk Shalih sampai di Cirebon, dan Syekh Siti Jenar

berusia dua bulan. Sejak itu banyak pihak yang terkait dengan masa kecil hingga remaja

Syekh Siti Jenar, misalnya Pangeran Walangsungsang atau Kiai Samadullah dan Syaih Datuk

Kahfi sebagai gurunya sejak masa kecil.

Saat itu memang di Cirebon teradapat sejenis pondok pesantren di Giri Amparan Jati

yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi, yang telah menjadi salah satu pusat pengajaran Islam,

dalam bidang ilmu fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Syekh Siti Jenar nyantri di tempat

ini  sampai berusia 20 tahun, yang lalu  dilanjutkan dengan pengembaraan ke

berbagai tempatvuntuk memperdalam ilmu dan spritualnya. Sampai pada tahun sekitar 1457

M, saat usianya mencapai 31 tahun, Syekh Siti Jenar menempuh perjalanan dari Bahsrah

menuju Makkah, dan pada sekitar tahun 1463 M, beliau sudah mulai menetap di Jawa.

Karena Syekh Siti Jenar lahir dan besar di Cirebon, dan setelah terjun dalam dunia

penyiaran Islam, beliau menfokuskan di pulau Jawa, maka hal ini memunculkan teori kelima,

bahwa Syekh Siti Jenar yaitu  orang yang asli Jawa.


A. Konsep Tuhan Syeh Siti Jenar

Pembahasan ajaran Syekh Siti Jenar diawali dengan konsep Tuhan menurut

pandangan Syekh Siti Jenar sebagai realitas tunggal dan kembalinya segala sesuatu. Salah

satu rujuakan utama yang ialah buku Falsafah Siti Jenar karya Brotokesowo berbentuk

tembang dalam bahasa jawa. Buku itu membahas konsepsi ketuhanan menurut penafsiran

Syekh Siti Jenar yang merupakan sebagian merupakan dialog Syekh Siti Jenar yang sebagian

merupakan bagian dari dialog Syekh Siti Jenar dengan Ki Kebo Kenongo atau Ki Ageng

Pengging yang lalu  menjadi murid setianya dan bersamanya membakang kepada

Walisongo dan Sultan Demak. Berikut nukilan tembang ini 

Mila mangkiya tyas nyarda kalah (Syekh Siti Jenar),

umahnya tekad rojabriyah,

kadariyah mangsuk tyase,

andalu datullahu,

budi eling lan anggep gusti,

pangeraning manungsa sinipat rongpuluh,

maujud kidam baka,

mukalafah lil kawadis nyulayani,

gumelarnya barang anyar.

Kodrat irodat jumeneng ngelmi,

hayak sanak basar lan kadiran,

ngaliman kehe

, kalih dasa ginulung,

lumaked ing budi lestari,

tegese wujud mutlak,

dadyo dad ranipun,

tan wiwitan wekasan,

norasangkan noraparan,

ngenal yakin,

ing tekad sipatullah.

Syekh Sitibang menganggep Hyang Widi,

ujud kang nora katon satmata.

Sarupa kadya deweke,

ing sinipad maujud,

lur wujud beleger,

tan kalih,

warnanya tanpa ceda,

mulus alu lurus,

kang nyata tan wujud dora,

lirnya kidam dihin jemeneng tan keri,

saking wibadinira.

Bangsa baka langgeng tan antawis,

nora rumaket loro kapenak,

jimeneng neng kana kena,

tan ika datan iku,

mukalaf lil kawasdisi,

ridakno prabeda,

lan sakeheng wujud,

barang anyar,

gumelaring rat,

nyulayani sipat antero dumadi,

jruning bumi akasa.

Tembung kodrat kuasapribadi,

noara ana kang mirip kang mada,

tanpa prabod kuasane,

ngadam praptaning wujud,

njaba njero ngrawuhi kahanan,

ingkang pisah saking panca driyatebih,

ngungkuli kunglu tinggar.

Kayat urip sarana pribadi,

tinetepken kayinya sanyata,

nora nganggo uripe,

tan melu lara lesu,

sirna bungahmiwah prihatin,

jumneng sakarsa-karsa,

yeka kayat kayun.

Syekh Siti Jenar waksito,

waksito trang teteli janma linuwih,

marwa ngaku pangeran.

Salat limang waktu puji dikir,

prastweng tyas karsanya pribadinya,

bener luput tanpa dewe,

sadarta gung tertamtu,

badan alus kang munah karti m\ngendi ana Hyang Sukma,

kajaba mung ingsun,

luhur langir sapta bumi drungmanggih,

wujudnya dzat tan mulyo.

Jroning salat budiku memaling,

njroning dikir budi nydrasmara,

kadang melik amal akeh,

seje datul guyuba,

Ingsun iki Hyang maha suci dat maulana nyata,

kang layu kauapu,

tan kena kinaya ngapa,

mila Siti Jenar budi nuksmeng widi,

ngrisak gama mustapa.

Datan nggugu usik prentah budi,

jengkang jengking neng mesjid teng kremyah,

ganjarane besok wae,

yen wes ngapal batukmu,

sajatine nora panggih,

neng donya wae pada,

susah samya mikul.

Lara sengsara tan beda,

marma Siti Jenar mung ngantepi siji,

Gusti Dat Maulan. Kang sudibya gunarkideng budi,

tur kang mengku sipat kalih dasa,

atas sabarang karsaning,

kawasa murweng kawruh,

jalal kamal jamal kahari,

nirmala muka warna,

yayah kwalinipun,

wahyeng angga tan katara,

sakti murti mumpuni liring dumadi,

mindrawa loka.

Yeka ingkang den anggep Hyang Widi,

Syekh Lemahbang darmastuteng karsa,

sumarah ing Hyang dawuhe,

tekad jabariyah kenglung,

kadarinyah wimbahing lahir,

madep mantep tur panggah,

kuwat ing pangangkuh,

kukuh kasmala nirmala,

angantepu urip prapteng layu yakin,

tan mangran budi cipta.

Rapal Allah tanpa warna keksi,

sajatini bingung mbuh nyata tanyun jumeneng sun wite,

dadya musamanipun,

jati asmaning jalitani,

taju min kalina,

cukul reh panuwus,

makammadan rosulullah,

wujud kapir sipat dagingbosok mimir,

mumur dadya bantala.

Dene kita nuksemeng dat linuwih,

kang sadarpa sakti dibyeng laya,

mendrang ningrat pangerane murba masesa ulun,

sipat wahdaniyat sawiji bisa langgeng ngambara,

agungkali punglu,

dudu nyawa,

dudu urip tanpa sangkan dumadi,

tanpa paraning sedya.

Dat sejati yayah wujud mani,

tan rakasa kodrat karsanira,

mulya saparan-parane,

nora ngelak nora lesu,

tanpa lara kalawan ngelih,

gunardi arjeng kara,

tan dreng cipta luluh,

lebdanesaking jiwangga,

tan katara wayanya nora nglakoni panggya wus aneng kana.

Ingkang kawula ngengeri,

mituhu ratri myang rina,

kang kawula nut sapakone,

boten metu pangran liya,

jaba mituhu cipta,

mobah mosik muwus,

atas karsaning datullah.

Nulya nyebut maha suci la ilaha haiullah,

punika asma kemawon,

mng samene wujud kula,

njawi punika rangka,

ing jro curiga Hyang Agung,

kang tan pae lan warangka.

Artinya :

Karena itu maksud hatinya (Syekh Siti Jenar) masuk dalam benaknya untuk

mengungkapkan tekadnya seperti jabariyah, kodariyah maksud hatinya. Mengaku sebagai

dzat Tuhan, pandangan rasional dianggap sebagai titik tolak, pegangan hidup manusia yang

memiliki  dua puluh atribut (sifat), berwujud, tak berakal, tak berakhir, berlainan dengan

barang baru. Kekuasaan, kehendak, serta ilmu, kehidupan, pendengaran, penglihatan,

berkuasa, berkehendak dan berilmu yang jumlahnya dua puluh buah dikumpulkan di dalam

budi lestari menjadi wujud mutlak yang disebut dzat, tak ada ujung pangkalnya, tidak ada

asal serta tujuannya. Syekh Siti Jenar yang memiliki  sifat-sifat Tuhan.

Syekh Siti Bang menganngap Hiyang Widi sebagai suatu wujud yang tak tampak, tak

terlihat oleh mata, sama dengan dirinya sendiri; yang bersifat wujud, sebagai perwujudan

nyata tiada duanya, sebagai satu kesatuan bentuk tanpa cacat, mulus halus dan lurus, yang

nyata tiada berujud (dianggapnya) bohong, artinya pribadinya tidak berawal dan tidak

berakhir.

Hal-hal yang bersifat baka, langgeng tak menjalankan proses evolusi, kebal terhadap

rasa sakit dan sehat, berada dimana-mana bukan ini dan bukan itu, mukalafah lilkawadisi.

Artinya berbeda dengan segala wujud barang baru yag terdapat di dunia, bertentangan dengan

sifat jenis ciptaan dalam bumi dan angkasa.

Perkataan kodrat yaitu  kekuasaan pribadi, tak ada yang mirip atau menyamai,

kekuasaan (kekuatan) tanpa sarana, kehadirannya dari ‘adama (dari ketiadaan) luar dan dalm

tiada berbeda, tak dapat dienterpretasikan, bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan

terlebih dahulu, ilmu untuk mengetahui keadaan yang tak dicapai dengan panca indra jauh

melebihi peluru senapan.

Hidup sendiri tanpa bantuan sesuatu yang lain ditetapkan sebagai hidup nyata,

hidupnya tanpa roh, tidak merasakan sakit ataupun lesu, hilang kegembiraan serta

keprihatinan, muncul dengan sesuka hatinya. Syekh Siti Jenar berpandangan cemerlang,

cemerlang bahwa jel