a mazhab tertentu.
a. Ibnu Nujaim dan Al-Khadimy, mengumpu lkan kaidah-kaidah
pilihan dari berbagai mazhab dalam sebuah kitab Majallah
al- Ahkam al - ‘Adliyah .
b. Mushthafa Ahmad al -Zarqa menyusun 99 kaidah fiqhiyah
dalam kitab yang berjudul Al - Fiqh al - Islamy Fi Tsaubih al -
Jadid .
c. Sayyid Muhammad Hamzah, ulama Damaskus pada masa
pemerintahan Abd al-hamid, menyusun kitab kaidah fiqh
dengan sistematika materi ilmu fiqh, yang diberi judul Al -
Faraid al - Bahiyah fi Qawa’id wa al - Fawaid al - Fiqhiyah .
3. Hikmah Qawa'id al - Fiqhiyah.
Salah satu bukti kesempurnaan ajaran Islam ialah bahwa di
antara nash-nash Alquran dan Hadits Nabi ada yang mengandung
prinsip-prinsip umum dan ketentuan-ketentuan tasyri’ yang
bersifat general (kulli ), terutama ketika membicarakan masalah-
masalah keduniaan, masalah-masalah muamalah dan adat istiadat.
Di antara hukum-hukum yang bersifat kulli ini ialah, bahwa
membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak itu
hukumnya haram. Demikian pula haram memakan harta orang lain
dengan cara yang batil. Hukum -hukum yang semacam ini memiliki
prinsip-prinsip kemanusiaan yang sangat kokoh, seperti keadilan
sejati dan kebajikan yang hakiki. Prinsip -prinsip yang demikian
bersifat abadi, berlaku secara permanen sepanjang masa dan
diterima oleh siapapun yang berakal sehat, kapanpun dan
dimanapun.
Berdasa rkan prinsip-prinsip umum yang demikianlah
kemaudian para ulama membuat system dan metode dalam
4. Kalangan fuqaha Hanabilah.
a. Najm al-Din al-Thufy (w. 717 H), menyusun kitab berjudul Al -
Qawa’id al - Kubra dan Al - Qawa’id al - Shughra .
b. Abd al-Rahman ibn Rajab (w. 795 H), menyusun kitab
berjudul Al - Qawa’id . Kitab ini mendapat sanjungan barbagai
klangan karena materinya yang cukup berkualitas.
5. Kalangan fuqaha yang tidak berafiliasi kepada mazhab tertentu.
a. Ibnu Nujaim dan Al-Khadimy, mengumpu lkan kaidah-kaidah
pilihan dari berbagai mazhab dalam sebuah kitab Majallah
al- Ahkam al - ‘Adliyah .
b. Mushthafa Ahmad al -Zarqa menyusun 99 kaidah fiqhiyah
dalam kitab yang berjudul Al - Fiqh al - Islamy Fi Tsaubih al -
Jadid .
c. Sayyid Muhammad Hamzah, ulama Damaskus pada masa
pemerintahan Abd al-hamid, menyusun kitab kaidah fiqh
dengan sistematika materi ilmu fiqh, yang diberi judul Al -
Faraid al - Bahiyah fi Qawa’id wa al - Fawaid al - Fiqhiyah .
3. Hikmah Qawa'id al - Fiqhiyah.
Salah satu bukti kesempurnaan ajaran Islam ialah bahwa di
antara nash-nash Alquran dan Hadits Nabi ada yang mengandung
prinsip-prinsip umum dan ketentuan-ketentuan tasyri’ yang
bersifat general (kulli ), terutama ketika membicarakan masalah-
masalah keduniaan, masalah-masalah muamalah dan adat istiadat.
Di antara hukum-hukum yang bersifat kulli ini ialah, bahwa
membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak itu
hukumnya haram. Demikian pula haram memakan harta orang lain
dengan cara yang batil. Hukum -hukum yang semacam ini memiliki
prinsip-prinsip kemanusiaan yang sangat kokoh, seperti keadilan
sejati dan kebajikan yang hakiki. Prinsip -prinsip yang demikian
bersifat abadi, berlaku secara permanen sepanjang masa dan
diterima oleh siapapun yang berakal sehat, kapanpun dan
dimanapun.
Berdasa rkan prinsip-prinsip umum yang demikianlah
kemaudian para ulama membuat system dan metode dalam
membina, mengembangkan dan mengaplikasikan syariat Islam
dalam kehidupan secara kontekstual. Ini merupakan bukti keluasan
dan sekaligus elastisitas syariat Islam
Di samping itu nash syarak juga ada yang berifat juz'i , spesifik
dan terperinci, akan tetapi jumlahnya terbatas. Nash syarak yang
bersifat demikian biasanya yaitu ketika membicarakan masalah
ubudiyah, atau dalam hal-hal yang memang diperlukan yang
demikian itu. Di dalam hukum yang bersifat juz'i, spesifik dan
terperinci selalu memiliki illat dan sebab hukum yang serupa. Oleh
karena itu diperlukan tali "pengikat" dalam bentuk kaidah -kaidah
yang bersifat umum (kulli ).
Tali pengikat hukum juz'i yang memiliki illat dan sebab hukum
yang serupa ini kemudian dikenal dengan istilah Qaidah , bentuk
jamaknya Qawa'id . Ada pula sebagian Ulama yang menamakan Al -
Asybah Wa al - Nazhair , yang berarti masalah-masalah yang serupa
dan sebanding. Sebagai sebuah kaidah, sudah berang tentu ia
bersifat ringkas tapi luas cakupan dan jangkauannya. Biasanya
tersusun dari beberapa kata, dan bisanya ada pengecualian jika ada
akemaslahatan atau ada dukungan nasah.
Dengan kata lain, mengingat bahwa lapangan fiqh begitu luas,
mencakup berbagai aspek kehidupan yang lazim dikenal dengan
hukum furu’ . Maka untuk menyederhanakannya diperlukan
kristalisasi dalam bentuk kaidah-kaidah yang bersifat umum untuk
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai masalah furu’
yang yang beranekaragam ke dalam kelompok-kelompok yang
serupa dan sebanding.
Tujuannya yaitu agar "tali pengikat" dan kaidah ini
dapat dipakai oleh para Ulama sebagai panduan dalam berijtihad
dan dalam proses pembinaan hukum Islam, terutama sekali dalam
masalah yang tidak ada dasar hukumnya secara langsung dalam
nash Alquran dan Hadis. Bukankah budaya dan perilaku umat
manusia yang menjadi subyek hukum fiqh selalu berubah dan
berkembang seiring perubahan zaman, sedangkan nash Alquran dan
Hadis Nabi telah sempur na dan terhenti sepeninggal Muhammd
saw.? Di samping sebagai "pengikat" dan panduan, kaidah -kaidah
ini juga dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya ruh dan
tujuan syariah yang sebanrnya, seperti terwujudnya kebenaran,
keadilan, persamaan dan kemaslahatan serta menolak kemafsadatan.
Ibnu Nujaim dalam kitab Al - Asybah wa al - Nazhair nya
menyatakan sebagai berikut :
ِٚ ْوِـلُْ ح ِنِـثَخوَك ٠ََِػ َُغُِْط٣ ِٚ ِر ٌْ ٤ِْظَػ ٌّٖ َـك ِِشثَخظَُّ٘ح َٝ ِٙ َخزَْشْلْح َّٖ َك َّٕ َأ ْْ َِِْػا
٠ََِػ ُسِذَـظـْوَـ٣ َٝ ِٙ ِسخَؼِْلظْعا َٝ ِٚ ِٔ ْٜ َك ٠ِك ُض ّـَ٤ َٔ ََظ٣ َٝ ِٙ ِسحَشَْعأ َٝ ِٙ ِزـَْخؤ َٓ َٝ ِٚ ًِ ِسحَذ َٓ َٝ
َكِشْؼ َٓ َٝ ِؾ٣ِْشْخَّظُح َٝ ِمخَلُْ ِْلْح َعِدح َٞ َلُْ ح َٝ ٍسَس ْٞ ُطْغ َٔ ِر ْضَغ٤َُْ ٠ِظَُّح ََ ِثخَغ َٔ ُْ ح ِش
ِٕ خ َٓ َّضُح ِّش َٔ َٓ ٠ََِػ ٠َِؼوـْ٘ َـط َلَ ٠ِظَُّح َِغثَخه َٞ ُْ ح َٝ2 8 4
Artinya : Ketahuilah bahwa bidang Al - Asybah wa al - Nazhair (
istilah lain dari Qawa'id al -Fiqhiyah) merupakan bidang
yang sangat penting karena dengan memakai ilmu ini
akan tampak hakikat fiqh yang sebenarnya, dasar-dasar
pijakannya, sumber-sumber pengambilannya dan rahasia-
rahasianya. Orang yang menguasai ilmu ini akan memiliki
nilai lebih, mampu mengungkapkannya, mengilhaq kan dan
mentakhrij suatu hokum, mengetahui hokum masalah-
masalah yang tidak tersurat ketentuan hukumnya dalam
nash ketika peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi
kejadian tiada henti-hentinya muncul sepanjang masa.
Syekh 'Izz al -din bin Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh
Asjmuni A Rahman 285 , menyatakan bahwa, kaidah fiqhiyah dapat
dijadikan sebagai metode atau jalan guna mewujudkan kemaslahatan
dan menolak kerusakan, serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
ini . Demikian pula halnya Al-Qarafi menyatakan, bahwa
seorang ahli fiqh tidak akan besar kualitas dan pengaruhnya jika
tidak menguasai kaidah fiqhiyah. Orang yang tidak mengusasai
kaidah fiqh , besar kemungkinan hasil ijtihadnya akan kontradiktif,
tujuan syariah yang sebanrnya, seperti terwujudnya kebenaran,
keadilan, persamaan dan kemaslahatan serta menolak kemafsadatan.
Ibnu Nujaim dalam kitab Al - Asybah wa al - Nazhair nya
menyatakan sebagai berikut :
ِٚ ْوِـلُْ ح ِنِـثَخوَك ٠ََِػ َُغُِْط٣ ِٚ ِر ٌْ ٤ِْظَػ ٌّٖ َـك ِِشثَخظَُّ٘ح َٝ ِٙ َخزَْشْلْح َّٖ َك َّٕ َأ ْْ َِِْػا
٠ََِػ ُسِذَـظـْوَـ٣ َٝ ِٙ ِسخَؼِْلظْعا َٝ ِٚ ِٔ ْٜ َك ٠ِك ُض ّـَ٤ َٔ ََظ٣ َٝ ِٙ ِسحَشَْعأ َٝ ِٙ ِزـَْخؤ َٓ َٝ ِٚ ًِ ِسحَذ َٓ َٝ
َكِشْؼ َٓ َٝ ِؾ٣ِْشْخَّظُح َٝ ِمخَلُْ ِْلْح َعِدح َٞ َلُْ ح َٝ ٍسَس ْٞ ُطْغ َٔ ِر ْضَغ٤َُْ ٠ِظَُّح ََ ِثخَغ َٔ ُْ ح ِش
ِٕ خ َٓ َّضُح ِّش َٔ َٓ ٠ََِػ ٠َِؼوـْ٘ َـط َلَ ٠ِظَُّح َِغثَخه َٞ ُْ ح َٝ2 8 4
Artinya : Ketahuilah bahwa bidang Al - Asybah wa al - Nazhair (
istilah lain dari Qawa'id al -Fiqhiyah) merupakan bidang
yang sangat penting karena dengan memakai ilmu ini
akan tampak hakikat fiqh yang sebenarnya, dasar-dasar
pijakannya, sumber-sumber pengambilannya dan rahasia-
rahasianya. Orang yang menguasai ilmu ini akan memiliki
nilai lebih, mampu mengungkapkannya, mengilhaq kan dan
mentakhrij suatu hokum, mengetahui hokum masalah-
masalah yang tidak tersurat ketentuan hukumnya dalam
nash ketika peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi
kejadian tiada henti-hentinya muncul sepanjang masa.
Syekh 'Izz al -din bin Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh
Asjmuni A Rahman 285 , menyatakan bahwa, kaidah fiqhiyah dapat
dijadikan sebagai metode atau jalan guna mewujudkan kemaslahatan
dan menolak kerusakan, serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
ini . Demikian pula halnya Al-Qarafi menyatakan, bahwa
seorang ahli fiqh tidak akan besar kualitas dan pengaruhnya jika
tidak menguasai kaidah fiqhiyah. Orang yang tidak mengusasai
kaidah fiqh , besar kemungkinan hasil ijtihadnya akan kontradiktif,
tidak sistematis dan saling bertolak belakang antara satu dengan
yang lainnya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah
fiqhiyah itu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan fiqh, karena ia merupakan induk
atau pondasi dalam syari’ah Islam. Oleh kare na itu sangatlah wajar
bila para Ulama memiliki perhatian tersendiri untuk memelihara,
melestarikan dan mentransmisikan kaidah-kaidah fiqhiyah kepada
generasi penerusnya.
4. Klasifikasi Qawaid al - Fiqhiyah .
bila dicermati dan diperbandingkan pembahasan kaidah
fiqhiyah dalam berbagai literatur, tampak bahwa kaidah-kaidah
fiqhiyah itu secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu :
a. Kaidah -kaidah pokok (asasiyah); Pengertian kaidah asasiyah
yaitu kaidah yang telah disepakati oleh para imam mazhab dan
seluruh masalah-masalah fiqh dapat dirujuk dan dikembalikan
kepada kaidah-kaidah asasiyah ini. Jumlah kaidah asaiyah ada 5
(lima), tapi ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada 6
(enam). Kaidah -kaidah asasiyah ini ialah :
1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح
2 - ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح
3 - ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ ُسَدخَؼُْ َح
4 - ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح
5 - َش٤ِْغ٤َّْظُح ُِذِ ْـ َط ُشَّوَش َٔ ُْ َح
Sebagian ulama menambah lagi dengan satu kaidah yang
keenam, yakni kaidah yang berbunyi :
6 - ِشَّ٤ِّـُِ٘خر َِلَا َدح َٞ َـػ َلَ
188
Oleh Izz al -Din bin Abd al-Salam kaidah-kaidah asasiyah ini
diringkas menjadi satu kaidah besar dengan topik :
ِقُِخَظ َٔ ُْ ح ُذِْ َؿ َٝ ِذِعَخلـ َٔ ُْ ح ُغْكَد
Artinya : Menolak kerusakan dan menarik kemasl ahatan.
b. Kaidah yang bukan pokok ( ghair al - asasiyah); yang dimaksud
dengan kaidah yang bukan pokok (ghair al- asasiyah) yaitu
kaidah yang sifatnya sebagai pengembangan atau cabang dari
kaidah asasiyah, yang dari padanya dapat dikeluarkan maslah-
masalah fiqh yang tak terhingga banyaknya. Jumlah kaidah
ghairu asasiyah ini ada yang mengatakan jumlahnya 19 kaidah,
tapi ada juga yang mengatakan 40 kaidah.
Kaidah -kaidah yang diperselisihkan (al- mukhtalaf fih ) di antara
para Ulama yang ada, jumlahnya mencapai 20 kaidah.286 Sulit untuk
mengidentifikasi pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapt
yang ada, sebab masing-masing pendapat mempunyai dalil dan
argumentasi yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Penulisan Buku Daras ini akan memakai sistematika
berdasar klasifikasi kaidah-kaidah yang telah dikemukakan di
atas, sebagimana juga yang ada dalam kitab Al - Asybah wa al -
Nazhair , baik karya Al-Suyuthi maupun karya Ibnu Nujaim. Hanya
saja untuk melengkapi dan memperkaya khazanah kaidah, penulis
juga menyertakan beberapa kaidah yang sering menjadi bahan kajian
para Ulama, sebagaimana yang termaktub dalam Majallat al - Adliyah .
Memang sebagian Ulama ada yang membuat sistematika
berbeda, yakni dengan membuat tertib urutan kaidah berdasar
urutan abjadiyah dan jumlahnya mencapai 145 kaidah. Selanjutnya
kaidah-kaidah ini diringkas menjadi 99 kaidah dalam kitab
Majallah al - Ahkam al - Adliyah.
Oleh Izz al -Din bin Abd al-Salam kaidah-kaidah asasiyah ini
diringkas menjadi satu kaidah besar dengan topik :
ِقُِخَظ َٔ ُْ ح ُذِْ َؿ َٝ ِذِعَخلـ َٔ ُْ ح ُغْكَد
Artinya : Menolak kerusakan dan menarik kemasl ahatan.
b. Kaidah yang bukan pokok ( ghair al - asasiyah); yang dimaksud
dengan kaidah yang bukan pokok (ghair al- asasiyah) yaitu
kaidah yang sifatnya sebagai pengembangan atau cabang dari
kaidah asasiyah, yang dari padanya dapat dikeluarkan maslah-
masalah fiqh yang tak terhingga banyaknya. Jumlah kaidah
ghairu asasiyah ini ada yang mengatakan jumlahnya 19 kaidah,
tapi ada juga yang mengatakan 40 kaidah.
Kaidah -kaidah yang diperselisihkan (al- mukhtalaf fih ) di antara
para Ulama yang ada, jumlahnya mencapai 20 kaidah.286 Sulit untuk
mengidentifikasi pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapt
yang ada, sebab masing-masing pendapat mempunyai dalil dan
argumentasi yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Penulisan Buku Daras ini akan memakai sistematika
berdasar klasifikasi kaidah-kaidah yang telah dikemukakan di
atas, sebagimana juga yang ada dalam kitab Al - Asybah wa al -
Nazhair , baik karya Al-Suyuthi maupun karya Ibnu Nujaim. Hanya
saja untuk melengkapi dan memperkaya khazanah kaidah, penulis
juga menyertakan beberapa kaidah yang sering menjadi bahan kajian
para Ulama, sebagaimana yang termaktub dalam Majallat al - Adliyah .
Memang sebagian Ulama ada yang membuat sistematika
berbeda, yakni dengan membuat tertib urutan kaidah berdasar
urutan abjadiyah dan jumlahnya mencapai 145 kaidah. Selanjutnya
kaidah-kaidah ini diringkas menjadi 99 kaidah dalam kitab
Majallah al - Ahkam al - Adliyah.
Sebagian ulama yang lain membuat sistematika berdsasarkan
sistematika pembagian menurut materi fiqh, dimulai dengan bab
ibadah, muamalah, ‘uqubah dan sebagainya. Kitab yang
memakai sistematika demikian di antranya ialah kitab Al - Faraid
al- Bahiyah fi Qawa’id wa Fawaid al - Fiqhiyah karangan Sayyid
Muhammad Hamzah dan kitab Min Falasifat al - tasyri’ al - Islamy
karangan Fathi Ridwa n.
Kaidah -kaidah pokok (asasiyah) merupakan kaidah fiqhiyah
induk, karena hampir seluruh permasalahan fiqh dapat dirujuk atau
dijawab dengan memakai kaidah ini , meskipun seorang
ulama belum memperhatikan atau mencari dalil-dalil nashnya dalam
Alquran atau Sunah. Hal yang demikian karena memang kaidah -
kaidah ini diintoduksi dan digali dari dalil-dalil nash Alquran
dan Sunah.
Berikut ini akan diuraikan kaid ah-kaidah asasiyah ini
dengan tertib sistematika terlebih dahulu mengemukakan redaksi
kaidah, melacak dalil atau nash yang dijadikan sumber hukum
pembentukan kaidah ini , kemudian diteruskan dengan
mengemukakan contoh penerapan ke dalam masalah fiqh yang
relevan dengan kaidah ini . Selanjutnya diteruskan dengan
mengemukakan kaidah-kaidah cabangnya serta contoh-contoh
aplikatifnya kepada masalah fiqh yang menjadi ruang lingkupnya.
Pada kaidah tertentu yang dianggap penting, akan diberikan
penjelasan, ulasan dan pengecualian-pengecualian pemberlakuan
kaidah.
A. Kaidah tentang Motif Suatu Perbuatan
a. Rumusan kaidah.
َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح2 8 7
Artinya : Hukum setiap perkara tergantung kepada tujuannya.
Kaidah -kaidah pokok (asasiyah) merupakan kaidah fiqhiyah
induk, karena hampir seluruh permasalahan fiqh dapat dirujuk atau
dijawab dengan memakai kaidah ini , meskipun seorang
ulama belum memperhatikan atau mencari dalil-dalil nashnya dalam
Alquran atau Sunah. Hal yang demikian karena memang kaidah -
kaidah ini diintoduksi dan digali dari dalil-dalil nash Alquran
dan Sunah.
Berikut ini akan diuraikan kaid ah-kaidah asasiyah ini
dengan tertib sistematika terlebih dahulu mengemukakan redaksi
kaidah, melacak dalil atau nash yang dijadikan sumber hukum
pembentukan kaidah ini , kemudian diteruskan dengan
mengemukakan contoh penerapan ke dalam masalah fiqh yang
relevan dengan kaidah ini . Selanjutnya diteruskan dengan
mengemukakan kaidah-kaidah cabangnya serta contoh-contoh
aplikatifnya kepada masalah fiqh yang menjadi ruang lingkupnya.
Pada kaidah tertentu yang dianggap penting, akan diberikan
penjelasan, ulasan dan pengecualian-pengecualian pemberlakuan
kaidah.
A. Kaidah tentang Motif Suatu Perbuatan
a. Rumusan kaidah.
َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح2 8 7
Artinya : Hukum setiap perkara tergantung kepada tujuannya.
Pelajaran hukum yang dapat diambil dari kaidah ini ialah
bahwa seluruh amal perbuatan manusia akan dipandang sah atau
tidak, halal atau haram, baik atau buruk dan lain sebagainya,
terpulang kepada motif, maksud dan tujuan si pelakunya, bukan
kepada manfaat atau madarat yang ditimbulkan oleh perbuatan
ini . Suatu perbuatan, menembak umpamanya, bisa
mengakibatkan hukum yang berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan niat, maksud dan tujuan orang yang menembak.
Menembak dengan niat membunuh, berbeda konsukensi
hukumnya dengan menembak tanpa disengaja atau salah
sasaran, meskipun mengakibatkan kematian seseeorang.
b. Pengertian niat.
Setiap amal perbuatan manusia biasanya akan terlahir setelah
ada keinginan, kehendak dan ikhtiar. Keinginan dan kehendak
untuk melakukan suatu perbuatan lazimnya karena ada motifasi
dan tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Pengertian niat menurut bahasa yaitu menyengaja atau
berkehendak. Sedangkan pengertian niat menurut istilah syarak
oleh sebagian ulama mendefinisikan niat sebagai berikut :
َِ ِْؼلُْ ح ِدخ َـ ٣ِْا ٠ِك ٠َُخََؼط ِﷲ ٠َُِا ِد ُّشَـوَـظـُح َٝ ِشَػخَّطُحُذَْظه ِعْشَّشُح ٠ِك ُشَّ٤َُِّ٘ح2 8 8
Artinya : Niat menurut pengertian syarak yaitu menyengaja
untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
guna merealisasikan suatu perbuatan.
َح َِ ِْؼلُْ ح َٞ َْلٗ ِسَدحَس ِْلْح ُٚ٤ِْؿ ْٞ َط ْٝ َأ َِ ِْؼلُْ ح َٞ َْلٗ َُشٜ َّؿ َٞ َظ ُٔ ُْ ح ُسَدحَس ِْلْح ُشَّ٤ُِّ٘2 89
Artinya : Niat dalah kehendak yang diarahkan terhadap suatu
perbuatan, atau mengarahkan kehendak terhadap
suatu perbuatan.
Jalal al -Din al-Suyuthi, dengan menyitir pendapat Taj al-Subki,
mengklasifikasi "kehendak" seseorang dalam kaitannya dengan
perbuatan yang dilakukan nya menjadi 5 (lima) tingkatan
yaitu290 : a) hajis, yakni yang mula-mula terbersir dalam benak
seseorang untuk melakukannya; b) khath ir, yakni ketika
kehendak itu telah menimbulkan nafsu; c) hadits al- nafs ; yakni
ketika hati mulai berbicara untuk mempertimbangkan, apakah
akan dilakukan ataukah tidak; d) hamm , yakni ketika hati telah
berketetapan untuk mengerjakan; dan e) 'azam , yakni keteguhan
dan kemantapan hati untuk melakukannya.
Dengan klasifikasi yang demikian, maka menurut Taj al-Subky,
untuk kategori hajis, khathir, hadits al - nafs dan hamm tidak
dimasukkan ke dalam lintasan hati. Oleh karena itu pelakunya
pun tidak dimintai pertanggung- jawaban hukum.
c. Dasar hukum penyusunan kaidah.
Firman Allah swt. :
: ش٘٤زُح ( َءآـلَـ٘ـُك َٖ ٣ْ ِّذُح َُُٚ َٖ ٤ِِْظِـْخ ُٓ َﷲ حٝ ُذُـزـَْؼ٤ِـُ َِّلَا حُٝشـ ِٓ ُأ خ َٓ َٝ5 )
Artinya : Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah
Allah dengan ikhlas dalam (manjalankan) agama dengan
lurus.
ْٗ ُّذـُح َدح َٞ َػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ ِٚ ِ ـطْئُـٗ ِسَشـِخ٥ْح َدح َٞ َـػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ ِٚ ِـطْئُـٗ َخ٤ـ
: ٕحشٔػ ٍآ (145 )
Artinya : Barang siapa menghendaki pahala dunia, akan Kami
berikan kepdanya pahala dunia itu dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, akan Kami berikan pula
pahala akhirat.
Jalal al -Din al-Suyuthi, dengan menyitir pendapat Taj al-Subki,
mengklasifikasi "kehendak" seseorang dalam kaitannya dengan
perbuatan yang dilakukan nya menjadi 5 (lima) tingkatan
yaitu290 : a) hajis, yakni yang mula-mula terbersir dalam benak
seseorang untuk melakukannya; b) khath ir, yakni ketika
kehendak itu telah menimbulkan nafsu; c) hadits al- nafs ; yakni
ketika hati mulai berbicara untuk mempertimbangkan, apakah
akan dilakukan ataukah tidak; d) hamm , yakni ketika hati telah
berketetapan untuk mengerjakan; dan e) 'azam , yakni keteguhan
dan kemantapan hati untuk melakukannya.
Dengan klasifikasi yang demikian, maka menurut Taj al-Subky,
untuk kategori hajis, khathir, hadits al - nafs dan hamm tidak
dimasukkan ke dalam lintasan hati. Oleh karena itu pelakunya
pun tidak dimintai pertanggung- jawaban hukum.
c. Dasar hukum penyusunan kaidah.
Firman Allah swt. :
: ش٘٤زُح ( َءآـلَـ٘ـُك َٖ ٣ْ ِّذُح َُُٚ َٖ ٤ِِْظِـْخ ُٓ َﷲ حٝ ُذُـزـَْؼ٤ِـُ َِّلَا حُٝشـ ِٓ ُأ خ َٓ َٝ5 )
Artinya : Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah
Allah dengan ikhlas dalam (manjalankan) agama dengan
lurus.
ْٗ ُّذـُح َدح َٞ َػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ ِٚ ِ ـطْئُـٗ ِسَشـِخ٥ْح َدح َٞ َـػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ ِٚ ِـطْئُـٗ َخ٤ـ
: ٕحشٔػ ٍآ (145 )
Artinya : Barang siapa menghendaki pahala dunia, akan Kami
berikan kepdanya pahala dunia itu dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, akan Kami berikan pula
pahala akhirat.
Selain berdasar kedua ayat ini di atas, penyusunan
kaidah ini juga didasarkan pada beberapa sabda Nabi saw., di
antaranya yaitu sebagai berikut :
َه َْ َّ َِع َٝ ِٚ ٤َِْـَػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍَ ْٞ ـُعَس َّٕ أ َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ َػ ٍُ خ َٔ ْػْلْح خ َٔ ّـَٗا: ٍَ خ
) ٟسخخزُح ٙحٝس ( ٟ َٞ َـٗ خ َٓ ٍةِشـ ْٓ ِا َِّ ٌُ ِـُ خ َٔ ّـَِٗا َٝ ِصخَّ٤ ّـِ٘ـُِخر291
Artinya : (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah saw, bersabda : Sesungguhnya perbuatan -
perbuatan manusia tergantung niatnya, dan setiap
orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa
yang ia niatkan. (HR Bukhari)
Dalam Hadis yang lain disebutkan :
) سشـ٣شـٛ ٠رأ ٖـػ ٚؿخٓ ٖرا ٙحٝس ( ْْ ِٜ ِطخَّ٤ِـٗ ٠ََِػ ُطخَُّ٘ح ُغـَؼـْزـُـ٣ خ َٔ َِّٗا292
Artinya : Manusia itu hanya akan dibangkitkan (pa da hari kiamat)
menurut niat mereka. (HR Ibnu Majah dari Abu
Hurairah)
Demikian pula Nabi bersabda :
) ٠ٗحشزطُح ٙحٝس ( ِٚ ِِـ َٔ ـَػ ْٖ ِٓ ٌشـ٤ْـَخ ِٖ ِٓ ْئ ُٔ ـُْ ح ُشَّ٤ِـٗ
Artinya : niat seorang mukmin lebih baik dari amal perbuatannya
(HR Thabrani)
Berdasa rkan kaidah asasiyah ini dapat dikemukakan
beberapa contoh penerapannya ke dalam suatu amaliah akan tetapi
dengan motivasi dan tujuan yang berbeda -beda serta dengan akibat
hukum yang berbeda-beda pula, antara lain sebagai berikut :
a. Seseorang yang mengambil barang temuan dengan maksud
akan mengembalikan kepada pemiliknya, namun setelah
melalui usaha-usaha yang memadai ternyata tidak
ditemukan pemiliknya, maka halal baginya untuk memiliki
benda ini . Akan tetapi jika tujuannya yaitu untuk
langsung menguasainya, berarti ia dianggap sebagai rang
yang merampas hak orang lain ( ghashib )
b. Menyembelih binatang yang halal dimakan dengan cara -cara
yang telah ditentukan oleh syarak dan dengan tujuan untuk
dikonsumsi, halal sembelihannya. Akan tetapi jika sembelihan
itu dimaksudkan untuk pemujaan kepada selain Allah (uhilla
li ghairilllah ) , maka haram untuk dimakan.
c. Memeras buah anggur untuk membuat cuka, halal
hukumnya, sedangkan memeras buah anggur dengan
maksud dan tujuan untuk membuat minuman keras atau
arak, maka haram hukumnya.
d. Fungsi niat.
Al-Baidlawi, sebagaimana dikutip oleh Jalal al -Din al-Suyuthi,
menjelaskan bahwa kedudukan atau fungsi niat dalam setiap amalan
yaitu :
a. Pertama; yaitu untuk mengungkapkan dan membangkitkan
kehendak hati agar terealisasi dalam bentuk tindakan dan
perkataan.
b. Kedua ; untuk membedakan anatara amalan yang merupakan
ibadah dengan amalan yang tidak termasuk katagori ibadah,
seperti adapt kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia
pada umumnya. Contohnya, gunakan air bis a untuk ibadah
wudlu dan mandi wajib atau untuk mandi agar bersih badan,
agar segarkan badan. Tidak makan, untuk ibadah berpuasa
atau untuk diet, kesehatan, atau karena tidak selera makan.
Dukuk di masjid, untuk niat iktikaf atau karena ingin istirahat
atau berteduh. Serahkan harta kepada orang lain, untuk
tujuan ibadah bersedekah, bayar zakat atau kifarat, atau
dengan motivasi dan tujuan yang berbeda -beda serta dengan akibat
hukum yang berbeda-beda pula, antara lain sebagai berikut :
a. Seseorang yang mengambil barang temuan dengan maksud
akan mengembalikan kepada pemiliknya, namun setelah
melalui usaha-usaha yang memadai ternyata tidak
ditemukan pemiliknya, maka halal baginya untuk memiliki
benda ini . Akan tetapi jika tujuannya yaitu untuk
langsung menguasainya, berarti ia dianggap sebagai rang
yang merampas hak orang lain ( ghashib )
b. Menyembelih binatang yang halal dimakan dengan cara -cara
yang telah ditentukan oleh syarak dan dengan tujuan untuk
dikonsumsi, halal sembelihannya. Akan tetapi jika sembelihan
itu dimaksudkan untuk pemujaan kepada selain Allah (uhilla
li ghairilllah ) , maka haram untuk dimakan.
c. Memeras buah anggur untuk membuat cuka, halal
hukumnya, sedangkan memeras buah anggur dengan
maksud dan tujuan untuk membuat minuman keras atau
arak, maka haram hukumnya.
d. Fungsi niat.
Al-Baidlawi, sebagaimana dikutip oleh Jalal al -Din al-Suyuthi,
menjelaskan bahwa kedudukan atau fungsi niat dalam setiap amalan
yaitu :
a. Pertama; yaitu untuk mengungkapkan dan membangkitkan
kehendak hati agar terealisasi dalam bentuk tindakan dan
perkataan.
b. Kedua ; untuk membedakan anatara amalan yang merupakan
ibadah dengan amalan yang tidak termasuk katagori ibadah,
seperti adapt kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia
pada umumnya. Contohnya, gunakan air bis a untuk ibadah
wudlu dan mandi wajib atau untuk mandi agar bersih badan,
agar segarkan badan. Tidak makan, untuk ibadah berpuasa
atau untuk diet, kesehatan, atau karena tidak selera makan.
Dukuk di masjid, untuk niat iktikaf atau karena ingin istirahat
atau berteduh. Serahkan harta kepada orang lain, untuk
tujuan ibadah bersedekah, bayar zakat atau kifarat, atau
untuk tujuan diniawi sperti memberi hadiah, hibah kepada
teman. Sembelih binatang bisa untuk ibadah qurban atau
aqiqah atau sekedar makan atau pesta.Untuk itu semua niyat
dalam suatu perbuatan disyariatkan oleh ajaran Islam.
c. Ketiga ; untuk membedakan antara suatu jenis ibadah yang
satu dengan jenis ibadah yang lain, seperti membnedakan
antara wudlu dan mandi.
d. Keempat ; untuk memperoleh manfaat dan meno lak mafsadat
dalam rangka beribadah, mendekatkan diri (taqarrub ) dan
mencari rida Allah swt., serta memenuhi panggilan dan
perintah-Nya.293
e. Waktu dan tampat niat.
Adapun waktu niat yaitu pada awal pelaksanaan ibadah,
sedangkan tempat niat yaitu di dalam hati, bersamaan dengan
dimulainya perbuatan.294
Sehubungan dengan hal ini perlu juga dijelaskan bahwa
ibadah itu ada kalanya membutuhkan niat dan ada pula ibadah
yang tidak membutuh- kannya. Ibadah yang membutuhkan niat
yaitu ibadah amaliyah yang memerlukan rincian khusus (ta’yin)
guna menghindarkan kekeliruan atau kesimpagsiuran. Sebagai
contoh dalam shalat, perlu rincian apakah shalat sunat atau
shalat fardlu, shalat ashar atau shalat maghrib, dan lain
sebagainya. Sedangkan ibadah yang tidak diperintahkan niat
yaitu ibadah yang bukan amaliyah, karena tidak ada
kehawatiran akan keliru dengan perbuatan lain yang bukan
ibadah., seperti pernyataan keimanan dengan membaca
syahadat, tidak perlu niat setiap hari ketika menyatakan
keimanan dengan ucapan syahadat.
Demikian pula halnya, niat seseorang dapat juga dilihat dari
beberapa qarinah atau indikasi dari suatu perbuatan yang dapat
dijadikan tolok ukur kualitas atau jenis niat ini . Sebagai
contoh, dalam kasus pembunuhan, bisa jadi pembunuhan itu
memang diniatkan atau betul-betul disengaja, atau semi
sengagja, atau karena salah sasaran, yang berakibat pada sanksi
hukum yang berbeda-beda pula.
f. Beberapa kaidah cabang yang senada dengan kaidah asasiyah
di atas dan berkenaan dengan masalah niat, di antaranya
ialah :
1 - ْْ َُ ََؤطَْخأ َٝ َُّٚ٘٤ـَػ حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط َٝ ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُؽَشَـظْشُـ٣ َلَخ َٓ
َّشُؼَـ٣
Artinya : (Ibadah) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan
secara garis besar atau terperinci, bila ditentukan
dan ternyata salah, tidk apa-apa.
Sebagai contoh, dalam shalat tidak disyaratkan untuk
menjelaskan dan menentukan tempat dan bilangan rakaatnya,
demikian pula tidak disyaratkan menentukan detail waktu ibadah
puasa. Oleh karena itu bila seseorang melaksanakan shalat
dengan niat shalat maghrib 4 rakaat tapi ternyata salah,
melaksanakan shalat maghrib 3 rakaat, maka shalatnya dianggap
sah. Demikian pual, bila seseorang berniat melaksanakan
qada puasa Ramadan pada hari Kamis, ternyata hri itu yaitu
hari Rabu, maka puasanya tet ap sah.
2 - ٌَ َطْز ُٓ ِٚ ٤ِْـك ُؤَطَخُْ َخك ُع ُّشـَؼَّظـُح ِٚ ٤ِْـك ُؽَشَـظـْشُـ٣ خ َٓ َٝ
Artinya : (Ibadah) yang disyaratkan untuk dijelaskan, bila
kemudian salah maka menjadi batal.
Dalam niat beribadah harus dijelaskan jenis ibadahnya, jika puasa
dijelaskan puasa wajib apa sunah, puasa mengqada Ramadan
atau puasa sunah syawal, mengerjakan shalat haarus dijelaskan,
shalat maghrib, ashar atau isya', dan lain sebagainya. Oleh karena
itu bila seseorang shalat maghrib tapi niatnya shalat isya',
maka shalatnya batal. Demikian juga, seseorang yang puasa
untuk mengqada puasa Ramadan tapi niatnya puasa membayar
kafarat, maka puasanya tidak sah.
sengagja, atau karena salah sasaran, yang berakibat pada sanksi
hukum yang berbeda-beda pula.
f. Beberapa kaidah cabang yang senada dengan kaidah asasiyah
di atas dan berkenaan dengan masalah niat, di antaranya
ialah :
1 - ْْ َُ ََؤطَْخأ َٝ َُّٚ٘٤ـَػ حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط َٝ ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُؽَشَـظْشُـ٣ َلَخ َٓ
َّشُؼَـ٣
Artinya : (Ibadah) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan
secara garis besar atau terperinci, bila ditentukan
dan ternyata salah, tidk apa-apa.
Sebagai contoh, dalam shalat tidak disyaratkan untuk
menjelaskan dan menentukan tempat dan bilangan rakaatnya,
demikian pula tidak disyaratkan menentukan detail waktu ibadah
puasa. Oleh karena itu bila seseorang melaksanakan shalat
dengan niat shalat maghrib 4 rakaat tapi ternyata salah,
melaksanakan shalat maghrib 3 rakaat, maka shalatnya dianggap
sah. Demikian pual, bila seseorang berniat melaksanakan
qada puasa Ramadan pada hari Kamis, ternyata hri itu yaitu
hari Rabu, maka puasanya tet ap sah.
2 - ٌَ َطْز ُٓ ِٚ ٤ِْـك ُؤَطَخُْ َخك ُع ُّشـَؼَّظـُح ِٚ ٤ِْـك ُؽَشَـظـْشُـ٣ خ َٓ َٝ
Artinya : (Ibadah) yang disyaratkan untuk dijelaskan, bila
kemudian salah maka menjadi batal.
Dalam niat beribadah harus dijelaskan jenis ibadahnya, jika puasa
dijelaskan puasa wajib apa sunah, puasa mengqada Ramadan
atau puasa sunah syawal, mengerjakan shalat haarus dijelaskan,
shalat maghrib, ashar atau isya', dan lain sebagainya. Oleh karena
itu bila seseorang shalat maghrib tapi niatnya shalat isya',
maka shalatnya batal. Demikian juga, seseorang yang puasa
untuk mengqada puasa Ramadan tapi niatnya puasa membayar
kafarat, maka puasanya tidak sah.
3 - حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط ُُٚ٘ـ٤ِْـ٤ـْؼَـط ُؽَشَـظـْشُـ٣ َلَ َٝ ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُذـ ِـ َـ٣ خ َٓ َٝ
َّشَػ ؤَطْخَؤك َُٚ٘ ّـَ٤ـَػ
Artinya : suatu amalan yang untuknya harus dikemukakan
secara umum dan tidak disyaratkan untuk
menentukan secara terperinci, ketika ia ditentukan
dan ternyata salah, maka berbahaya.
Sebagai contoh, dalam ibadah shalat jamaah niatnya cukup
secara global, niat menjadi makmum saja, tidak disyaratkan
untuk berniat secara detail atau terperinci makmum kepada
seseorang. Namun jika seseorang meniatkan yang demikian,
seperti niat mamkmum kepada Umar tapi ternyata yang menjadi
imam yaitu Amir, maka shalat jamaahnya tidak sah. Demikian
juga ketika orang shalat janazah dengan niat shalat kepada
Fathimah tapi ternyata salah dan dishalati yaitu Aminah, maka
shalatnya tidak sah.
4 – َّصخَخُْ ح ُض ِّظَُخط َلَ َٝ ِّ خـَؼُْ ح َعـْل ّـَُِح ُض ِّظـَُخط ِٖ ـ٤ْ ِٔ َ٤ ُْ ح ٠ِك ُّش٤ ّـَُِ٘ح295
Artinya : Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal yang umum,
tapi tidak membuat khusus lafal yang khusus.
Sebagai contoh, orang yang bersumpah tidak akan berbicara
kepada seseorang dan telah ditetnukan orangnya yaitu Fulan,
maka sumpahnya hanya berlaku secara khusus, yaitu untuk
Fulan saja, tidak berlaku secara umum, yaitu mencakup orang
lain atau semua orang.
4 - ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ ح َٞ ُـٛ َٝ ٍذـِكح َٝ ٍغِػ ْٞ ـ َٓ ٠ِك َّلَا ِِعك َّلًُح ِشَّ٤ِـٗ ٠ََِػ ِعْل َُِّح ُذِطَخو َٓ
٠ِػَخوُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ خَـٜ ّـََِٗبك ٠ِػخَـوـُْ ح َذـْ٘ ـِػ
Artinya : Maksud suatu ucapan yaitu menurut orang yang
mengucapkannya kecuali dalam satu tempat, yaitu
sumpah dihadapan hakim, maka maksud sumpah
ini yaitu menurut niat sang hakim.
Hal yang demikian, karena disebutkan dalam Hadis Nabi saw. :
) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٚؿخٓ ٖراٝ ِْغٓ ٙحٝس ( ِقِـِـْخَـظْغ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ َح
296
Artinya : (Maksud ucapan) sumpah itu menurut niat orang yang
menyumpahnya.
6 – ٠َِٗخز َٔ ُْ ح َٝ ِظخَـلـُْ ِْلُْ َلَ ٠ِٗخـَؼ َٔ ُْ ح َٝ ِذِطَخـو َٔ ِْ ُِ ِد ْٞ ُـوـُؼُْ ح ٠ِك ُسَشـْزـِؼُْ َح297
Artinya : Yang dijadikan pedoman dalam suatu lafaz yaitu
makna dan tujuannya, bukan bentuk formal dan
redaksionalnya.
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa jika suatu
transaksi diaplikasikan sesuai dengan substansi makna yang
terkandung dalam tujuan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan
kedua belah pihak dan menghindarkan terjadinya petaka pada
salah satu atau kedua belah pihak, maka muamalah jenis ini
dapat diterima. Dan sebaliknya, jika suatu transaksi atau
perjanjian kerja yang dilakukan untuk melakukan suatu makar
atau penipuan dan tujuan-tujuan tidak terpuji lainnya, maka
interaksi yang terjadi antara pihak-pihak terkait yaitu tidak
dapat diterima dan dinyatakan batal demi hukum.
Artinya : Maksud suatu ucapan yaitu menurut orang yang
mengucapkannya kecuali dalam satu tempat, yaitu
sumpah dihadapan hakim, maka maksud sumpah
ini yaitu menurut niat sang hakim.
Hal yang demikian, karena disebutkan dalam Hadis Nabi saw. :
) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٚؿخٓ ٖراٝ ِْغٓ ٙحٝس ( ِقِـِـْخَـظْغ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ َح
296
Artinya : (Maksud ucapan) sumpah itu menurut niat orang yang
menyumpahnya.
6 – ٠َِٗخز َٔ ُْ ح َٝ ِظخَـلـُْ ِْلُْ َلَ ٠ِٗخـَؼ َٔ ُْ ح َٝ ِذِطَخـو َٔ ِْ ُِ ِد ْٞ ُـوـُؼُْ ح ٠ِك ُسَشـْزـِؼُْ َح297
Artinya : Yang dijadikan pedoman dalam suatu lafaz yaitu
makna dan tujuannya, bukan bentuk formal dan
redaksionalnya.
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa jika suatu
transaksi diaplikasikan sesuai dengan substansi makna yang
terkandung dalam tujuan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan
kedua belah pihak dan menghindarkan terjadinya petaka pada
salah satu atau kedua belah pihak, maka muamalah jenis ini
dapat diterima. Dan sebaliknya, jika suatu transaksi atau
perjanjian kerja yang dilakukan untuk melakukan suatu makar
atau penipuan dan tujuan-tujuan tidak terpuji lainnya, maka
interaksi yang terjadi antara pihak-pihak terkait yaitu tidak
dapat diterima dan dinyatakan batal demi hukum.
6. Kaidah tentang Yakin dan Ragu
a. Rumusan kaidah :
ِّيَّشـُِخر ٍُ حَضـُـ٣ َلَ ُٖ ـ٤ِْـوَـ٤ُْ َح
Artinya : Sesuatu yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan oleh
sesuatu yang masih diragukan.
b. Pengertian yakin dan ragu.
Yang dimaksud dengan yakin ialah :
َِ ـ٤ِْـُ َّذُح َٝ ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر خًـظِـرَخػ َٕ خ ًَ خ َٓ : ُٖ ـ٤ِْوَـ٤ُْ َح298
Artinya : yakin yaitu sesuatu yang sudah pasti, berdasar
teori maupun berdasar bukti.
Sedangkan yang dimaksud dengan keraguan (syakk ) ialah : sesuat
yang masih ragu antara ya dan tidak, dan bobot kecenderungan
antara benar dan salah yaitu sama, tidak ada ada indikasi yang
melebihkan di antara keduanya.299
c. Dasar hukum pembentukan kaidah yaitu :
َْ ََِّع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه : ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َسَشـ٣َْشُـٛ ٠َِرأ ْٖ َػ
َلَ ّْ َأ ٌت٤َْش ُٚـْ٘ ـ ِٓ َؽَشـََخأ ِٚ ٤َِْـَػ ََ ٌَ ـْش َؤَـك ًخجـ٤ْـَش ِٚ َِْ٘طر ٠ِك ْْ ًُ ُذـَكأ َذَؿ َٝ حَِرا :
ِذـ ِـ ْغ َٔ ـُْ ح َٖ ـ ِٓ َّٖ ـَؿُشـْخَـ٣ َلًَـك خًل٣ِْس َذـ ِـ َـ٣ ْٝ َأ ًخط ْٞ َط َغ َٔ َْغ٣ ٠َّظـَك
) ِْغٓ ٙحٝس (300
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia bekata,
Rasulullah saw. bersabda : bila salah seorang dari
kamu sekalian merasakan sesuatu di dalam perutnya
tetapi ragu apakah telah keluar angina dari perut
ataukah belum, maka sekali-kali janganlah keluar dari
masjid ( HR Muslim)
Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw. juga menyatakan :
٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس ِّٟ ِس ْزـُخـُْ َح ٍذـ٤ْـِؼـَع ٠َِرأ ْٖ ـَػ ُﷲ
ّْ َأ ًخـػَلًَـَػأ ٠ََِّط ْْ ـ ًَ ِس ْذَـ٣ ْْ َـَِـك ِٚ ِـطَلًَط ٠ِك ْْ ًُ ُذـََكأ َّيـَش حَِرا َْ ََِّع َٝ ِٚ ٤َِْـَػ
) ِْغٓ ٙحٝس ( َٖ َـوـ٤َْـظـْعا خ َٓ ٠َِـَػ ِٖ ـْزَـ٤ ِْ َـك َّيـَّشـُح ِفَشـَْط٤ـِْ ـَـك خـًَؼرَْسأ301
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Sa'id a l-Khudri RA, ia berkata,
bersabda Rasulullah saw. : bila salah seorang di
antara kamu sekalian ragu di dalam shalatnya dan tidak
mengetahui apakah shalatnya sudah tiga rakaat
ataukah sudah empat rakaat, maka hendaklah
membuang keraguan dan memantapkan atas apa yang
telah diyakini (HR Muslim)
berdasar kedua hadis Nabi ini di atas kemudian
melahirkan sebuah prinsip hukum atau kaidah fiqh bahwa
sesuatu yang telah diyakini adanya tidak dapat dinafikan atau
dihilangkan dengan sesuatu yang sifatnya masih ragu dengan
radaksi kaidah sebagaimana tertera pda rumusan kaidah kedua
di atas.
Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bagi hampir seluruh bab
atau materi kajian fiqh. Bahkan masalah -masalah fiqh yang
dikeluarkan dari kaidah ini dapat mencapai lebih tiga perempat
(75 %) masalah -masalah fiqh. Sebagai contoh, seperti disebutkan
dalam hadis Nabi di atas, bila seseorang ragu tentang
bilangan rakaat dalam shalat apakah telah mencapai tiga rakaat
ataukah sudah empat rakaat, maka yang dipegangi yaitu jumlah
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia bekata,
Rasulullah saw. bersabda : bila salah seorang dari
kamu sekalian merasakan sesuatu di dalam perutnya
tetapi ragu apakah telah keluar angina dari perut
ataukah belum, maka sekali-kali janganlah keluar dari
masjid ( HR Muslim)
Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw. juga menyatakan :
٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس ِّٟ ِس ْزـُخـُْ َح ٍذـ٤ْـِؼـَع ٠َِرأ ْٖ ـَػ ُﷲ
ّْ َأ ًخـػَلًَـَػأ ٠ََِّط ْْ ـ ًَ ِس ْذَـ٣ ْْ َـَِـك ِٚ ِـطَلًَط ٠ِك ْْ ًُ ُذـََكأ َّيـَش حَِرا َْ ََِّع َٝ ِٚ ٤َِْـَػ
) ِْغٓ ٙحٝس ( َٖ َـوـ٤َْـظـْعا خ َٓ ٠َِـَػ ِٖ ـْزَـ٤ ِْ َـك َّيـَّشـُح ِفَشـَْط٤ـِْ ـَـك خـًَؼرَْسأ301
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Sa'id a l-Khudri RA, ia berkata,
bersabda Rasulullah saw. : bila salah seorang di
antara kamu sekalian ragu di dalam shalatnya dan tidak
mengetahui apakah shalatnya sudah tiga rakaat
ataukah sudah empat rakaat, maka hendaklah
membuang keraguan dan memantapkan atas apa yang
telah diyakini (HR Muslim)
berdasar kedua hadis Nabi ini di atas kemudian
melahirkan sebuah prinsip hukum atau kaidah fiqh bahwa
sesuatu yang telah diyakini adanya tidak dapat dinafikan atau
dihilangkan dengan sesuatu yang sifatnya masih ragu dengan
radaksi kaidah sebagaimana tertera pda rumusan kaidah kedua
di atas.
Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bagi hampir seluruh bab
atau materi kajian fiqh. Bahkan masalah -masalah fiqh yang
dikeluarkan dari kaidah ini dapat mencapai lebih tiga perempat
(75 %) masalah -masalah fiqh. Sebagai contoh, seperti disebutkan
dalam hadis Nabi di atas, bila seseorang ragu tentang
bilangan rakaat dalam shalat apakah telah mencapai tiga rakaat
ataukah sudah empat rakaat, maka yang dipegangi yaitu jumlah
rakaat yang sedikit, yakni tiga rakaat karena yang sedikit itulah
yang diyakini, sedangkan yang empat rakaat masih diragukan.
Demikian juga halnya, jika seseorang ragu ketika hendak shalat
apakah wudunya sudah batal atau belum, maka yang dianggap
benar yaitu belum batal, sebab kondisi sudah berwudu telah
diyakini adanya, sedangkan berhadas atau batal masih dirgukan.
d. Bentuk -bentuk keraguan.
Abu Hamid Al -Isfiraini menerangkan bahwa keraguan itu ada
tiga macam, yaitu :
a. Keraguan yang berkenaan dengan ses uatu yang haram.
Sebagai contoh, dalam penyembelihan binatang di
daerah yang mayoritas penduduknya yaitu non muslim,
maka sembelihan penduduknya haram dimakan sebab
pada asalnya hal ini haram. Kecuali diketahui
benar-benar (yakin) bahwa orang yang menyembelih
yaitu orang muslim, atau diketahui bahwa umumnya
orang yang menyembelih binatang itu yaitu orang
muslim.
b. Keraguan yang berkenaan dengan sesuatu yang mubah.
Sebagai contoh, dalam kasus seseorang yang
menemukan air yang telah berubah. Perubaha n itu
terjadi karena terkena benda najis atau karena sudah
lama, kadaluwarsa. Maka air ini dapat dipakai
untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci;
c. Keraguan yang tidak diketahui hukum asalnya. Sebagai
contoh, seseorang bermitra dalam kegiatan usahanya
tetapi tidak diketahui apakah modal mitra kerjanya
ini berasal dari harta yang halal atau tidak. Dalam
kondisi seperti ini, maka hukumnya boleh bermitra dan
bekerjasama karena tidak ada bukti tentang keharaman
modal kerja mitranya.
e. Kaidah -kaidah Cabang tentang Keraguan.
Beberapa kaidah cabang yang meuncul dari kaidah pokok kedua.
Kaidah asasiyah bahwa yang telah diyakini tidak dapat
dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, kemudian
melahirkan beberapa kaidah fiqhiyah cabang, di antaranya ialah :
1 – َٕ خ ًَ خ َٓ ٠َِـَػ َٕ خ ًَ خ َٓ ُءخَـوَـر َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya yaitu melanggengkan hukum yang
telah ada tas hukum yang ada.
Sebagai contoh yaitu dua kasus yang diutarakan dalam kedua
hadis yang dijadikan dasar hukum pembentukan dalil di atas,
yakni bila seseorang telah yakin bahwa dirinya masih dalam
keadaan suci, kemudian ia ragu apakah sudah batal ataukah
belum, maka hukum yang berlaku bagi oang ini yaitu
belum batal. Sebaliknya, bila seseorang merasa bahwa dirinya
dalam keadaan berhadas atau belum bersuci, kemudian ia ragu
apakah sudah bersuci ataukah belum, maka hukum yang berlaku
bagi orang ini yaitu belum bersuci, alias masih berhadas.
2 - ِشـ َّٓ ِّزـُح ُس َءحَشـَـر َُ ْط ََْلْح
Artinya : Pada dasarnya, tidak boleh ada pembebanan hukum.
Dengan berpedoman kepda kaidah ini , maka pada
prinsipnya setiap orang harus terbebas dari pembebanan atau
tanggungan. Oleh karena itu tidak dapat diterima kesaksian
seorang saksi dalam pemberian beban sebelum diperkuat denan
kesaksian orang lain atau alat bukti yang lain, seperti sumpahnya
seorang penggugat.
berdasar kaidah ini pula muncul prinsip dalam h ukum
acara di pengadilan bahwa yang dianggap benar yaitu
pengakuan tergugat yang diperkuat dengan sumpahnya, karena
e. Kaidah -kaidah Cabang tentang Keraguan.
Beberapa kaidah cabang yang meuncul dari kaidah pokok kedua.
Kaidah asasiyah bahwa yang telah diyakini tidak dapat
dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, kemudian
melahirkan beberapa kaidah fiqhiyah cabang, di antaranya ialah :
1 – َٕ خ ًَ خ َٓ ٠َِـَػ َٕ خ ًَ خ َٓ ُءخَـوَـر َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya yaitu melanggengkan hukum yang
telah ada tas hukum yang ada.
Sebagai contoh yaitu dua kasus yang diutarakan dalam kedua
hadis yang dijadikan dasar hukum pembentukan dalil di atas,
yakni bila seseorang telah yakin bahwa dirinya masih dalam
keadaan suci, kemudian ia ragu apakah sudah batal ataukah
belum, maka hukum yang berlaku bagi oang ini yaitu
belum batal. Sebaliknya, bila seseorang merasa bahwa dirinya
dalam keadaan berhadas atau belum bersuci, kemudian ia ragu
apakah sudah bersuci ataukah belum, maka hukum yang berlaku
bagi orang ini yaitu belum bersuci, alias masih berhadas.
2 - ِشـ َّٓ ِّزـُح ُس َءحَشـَـر َُ ْط ََْلْح
Artinya : Pada dasarnya, tidak boleh ada pembebanan hukum.
Dengan berpedoman kepda kaidah ini , maka pada
prinsipnya setiap orang harus terbebas dari pembebanan atau
tanggungan. Oleh karena itu tidak dapat diterima kesaksian
seorang saksi dalam pemberian beban sebelum diperkuat denan
kesaksian orang lain atau alat bukti yang lain, seperti sumpahnya
seorang penggugat.
berdasar kaidah ini pula muncul prinsip dalam h ukum
acara di pengadilan bahwa yang dianggap benar yaitu
pengakuan tergugat yang diperkuat dengan sumpahnya, karena
memang yang demikian itulah yang realistis, yang sesuai dengan
kenyataan di lapangan.
5 – ُٚـِْ ـَؼـْلَـ٣ ْْ َـُ ُٚ ّـََٗأ َُ ـْط َْلَْخك َلَ ّْ َأ خًـجـ٤ْـَش ََ ـَؼَـَكأ َّيـَش ْٖ ـ َٓ
Artinya : Barang siapa yang ragu apakah telah melakukan sesuatu
ataukah belum, maka yang dianggap ialah baha orang
ini belum melakukannya.
Senada dengan prinsip dan pengertian kaidah di atas, dalam
redaksi kaidah yang lain disebutkan sebagai berikut :
6 - ٠َِـَػ ََ ـ ِٔ ـُك ِشـ٤ِْـؼـ ٌَ ُْ ح ِٝ َأ َِ ـ٤ِْـَِـوـُْ ح ٠ِك َّيَش َٝ ََ ـْؼِـلـُْ ح َٖ ّـَوَـ٤َـط ْٖ َٓ
ُٖ ّـَوَـ٤َـظـ ُٔ ـُْ ح ُ َّٚ َِٗلْ َِ ـ٤ِْـَِـوـُْ ح
Artinya : Barang siapa yakin telah melakukan suatu perbuatan
tetapi ragu dalam hal sedikit atau banyak, maka dibawa
kepda yang sedikit, karena itulah yang diyakini.
Demikian pula Imam Syafi'i membuat pernyataan :
7 - ِا ُغِـلَـطْشَـ٣ َلَ ٍٖ ـ٤ِْـوَـ٤ِـر َضَـزَـػ خ َٓ َّٕ ِا ٍٖ ـ٤ِْـوَـ٤ِـر َّلَ
Artinya : Sesungguhnya hukum yang telah tetap berdasar
keyakinan tidak dapat dihilangkan kecuali
berdasar keyakinan yang lain pula.
berdasar ketiga kaidah fiqhiyah cabang yang memiliki
prinsip senda di atas, maka dapat diberikan contoh bahwa
bila seseorang ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah
ada rukun yang tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya
bagi orang ini mengulanginya.
8 - ُّ َذــَؼـُْ ح َُ َْطَْلْح
Artinya : Hukum yang asal yaitu tidak ada sesuatu.
berdasar kaidah fiqhiyah ini , dapat diberikan
conoth bahwa yang dianggap benar yaitu pernyataan orang
yang menolak atau membantah adanya persetubuhan jika
disertai sumpahnya, karena keadaan awal atau asalnya yaitu
memang tidak ada persetubuhan. bila ada penuntutan atau
dakwaan mengenai hal ini , maka kewajiban penuntutlah
untuk mengajukan alat bukti untuk memperkuat tuntutannya.
Demikian halnya, yang dianggap benar yaitu pernyataan
pelaksana dalam kontrak bagi hasil ( qiradl atau musyarakah)
bahwa tidak tidak memperoleh kuntungan, karena keadaan
awal atau asalnya memang tidak ada keuntungan.
9 - ٍٖ ـ َٓ َص ِدَشــَْهِؤر ُُٙشـ٣ِْذــْوَـط ٍعِدخَك َِّ ًُ ٠ِك َُ َْطَْلْأ
Artinya : Pada dasarnya dalam setiap kejadian penentuannya
yaitu berdasar waktu yang terdekat.
Sebagai contoh, bila seseorang melihat bercak sperma
dalam pakaiannya dan dia tidak ingat kalau dia telah bermimpi
hingga mengeluarkan sperma, maka orang ini wajib mandi
untuk menghilangkan hadas besar.
Demikian juga halnya, bila seseorang telah berhari-hari
berwudu dengan memakai air sebuah sumur, kemudian
shalat, tetapi setelah itu diketahui bahwa di dalam sumur
ini ada bangkai tikus, maka orang ini tidak
wajib mengqada shalatnya.
ada sebuah kaidah yang dikemukakan oleh Ulama
mazhab Syafi'i, yang redaksinya yaitu sebagai berikut :
10 - ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ َُ ٤ُِْ َّذُح ٍَّ َُذ٣ ٠َّظَك ُشَكَخر ِْلْح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ ْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hukum segala sesuatu yaitu boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
berdasar kaidah fiqhiyah ini , dapat diberikan
conoth bahwa yang dianggap benar yaitu pernyataan orang
yang menolak atau membantah adanya persetubuhan jika
disertai sumpahnya, karena keadaan awal atau asalnya yaitu
memang tidak ada persetubuhan. bila ada penuntutan atau
dakwaan mengenai hal ini , maka kewajiban penuntutlah
untuk mengajukan alat bukti untuk memperkuat tuntutannya.
Demikian halnya, yang dianggap benar yaitu pernyataan
pelaksana dalam kontrak bagi hasil ( qiradl atau musyarakah)
bahwa tidak tidak memperoleh kuntungan, karena keadaan
awal atau asalnya memang tidak ada keuntungan.
9 - ٍٖ ـ َٓ َص ِدَشــَْهِؤر ُُٙشـ٣ِْذــْوَـط ٍعِدخَك َِّ ًُ ٠ِك َُ َْطَْلْأ
Artinya : Pada dasarnya dalam setiap kejadian penentuannya
yaitu berdasar waktu yang terdekat.
Sebagai contoh, bila seseorang melihat bercak sperma
dalam pakaiannya dan dia tidak ingat kalau dia telah bermimpi
hingga mengeluarkan sperma, maka orang ini wajib mandi
untuk menghilangkan hadas besar.
Demikian juga halnya, bila seseorang telah berhari-hari
berwudu dengan memakai air sebuah sumur, kemudian
shalat, tetapi setelah itu diketahui bahwa di dalam sumur
ini ada bangkai tikus, maka orang ini tidak
wajib mengqada shalatnya.
ada sebuah kaidah yang dikemukakan oleh Ulama
mazhab Syafi'i, yang redaksinya yaitu sebagai berikut :
10 - ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ َُ ٤ُِْ َّذُح ٍَّ َُذ٣ ٠َّظَك ُشَكَخر ِْلْح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ ْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hukum segala sesuatu yaitu boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Namun ada pula kaidah yang dikemukakan oleh Imam
Hanafi, yang susunan redaksinya yaitu sebagai berikut :
11 - ِشَكَخر ِْلْح ٠ََِػ َُ ـ٤ُِْ َّذـُح ٍَّ ُذَـ٣ ٠َّظـَك ُْ ـ٣ِْشـْلَّظـُح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ َْطَْلْح
Artinya : Pad a dasarnya hukum segala sesuatu yaitu haram,
kecuali ada dalil yang membolehkannya.
Dasar hukum dari nash bagi pembentukan kedua kaidah
ini di atas yaitu firman Allah swt. sebagai berikut :
ِعْسْلْح ٠ِك خ َٓ ْْ ٌُ َـُ َنَـِـَخ ِٟز ّـَُح َٞ ُـٛ سشوزُح ( خًؼ٤ْ ِٔ ـَؿ49 )
Artinya : Dialah (Allah) yang telah menjadikan segala apa yang
ada di dalam bumi untuk kemu sekalian seluruhnya.
(QS Al-Baqarah : 49 )
Dalam Hadis Nabi saw. disebutkan :
َُٜـك َّ َّشَك خ َٓ َٝ ٌٍ َلًـَك َٞ ُـَٜـك ُﷲ ََّ ـََكأ خ َٓ َٞ ُـَٜك ُٚـْ٘ ـَػ َضـ ٌَ َع خ َٓ َٝ ٌّ حَشـَك َٞ ـ
ًخجـ٤َْش ٠َغْ٘ َـ٣ ْٖ ـ ٌُ َـ٣ ْْ َـُ َﷲ َّٕ ِ َبك َُٚـظَـ٤ِـكخَػ ِﷲ َٖ ِٓ ح ْٞ ُـَِـزـْهَخك ٌٞ ـْلـَػ
) ءحدسذُح ٠رأ ٖػ ٠ٗحشزطُحٝ سحضزُح ٚؿشخأ(
Artinya : Apa yang dihalalkan Allah maka ia halal, apa yang
diharamkan-Nya maka ia haram dan apa yang Allah
diam atasnya berarti dimaafkan. Maka terimalah maaf
dari Allah sebab Allah tidak melupakan sesuatu.(HR
Al-Bazzar dan Thabrani dari Abu Darda')
Antara kaidah yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyah
dengan Hanafiyah memi liki perbedaan dan bahkan saling
bertentangan, terutama dalam menyikapi sesuatu yang tidak
disebut dalam Alquran maupun Hadis Nabi. Namun demikian
sebenarnya dapat dikompromikan bila kita memergunakan
206
nya kedua kaidah ini secara proporsional. Kaid ah pertama
yang dikemukakan oleh Ulama Syafi'iyah dipakai untuk
masalah-masalah muamalah atau keduniaan, sedangkan kaidah
kedua yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah dipakai
untuk menyelesaikan masalah-masalah ibadah.
Sebagai contoh, ketika kita menemukan seekor binatang
yang tidak jelas status hukumnya karena tidak ada ketntuannya
dari Alquran maupun Hadis, baik secara langsung ataupun tidak
langsung tentang kriterianya, maka hukumnya yaitu boleh
(mubah). Dasarnya yaitu kaidah yang dikemukakan oleh Umala
Syafi'iyah, karena memakan hewan yaitu termasuk masalah
keduniaan. Sedangkan dalam masalah ibadah, kita tidak boleh
(haram) melakukan betuk-bentuk peribadatan, kecuali ada
dalilnya dari Alquran dan Hadis. Dasarnya yaitu kaidah yang
dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, dan sejalan pula dengan
kaidah lain yang berbunyi :
10 - ٌَ ـ٤َُِْد َّ ْٞ ُـوَـ٣ ٠َّظَك ُٕ َلًُْطزـُْ ح ِسَدَخزـِؼُْ ح ٠ِك َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hokum suatu ibdah itu batal (tidak sah)
kecuali didasarkan pada dalil.
Dalam Hadis Nabi saw juga disebutkan :
ِٚ ٤َِْـَػ َظ٤َُْ ًلً َٔ ـَػ ََ ـ ِٔ ـَػ ْٖ َٓ ٌّدحَس َٞ ُـَٜـك حََزٛ َخُٗش ْٓ َأ
)شـشـثخػ ٖػ ٟزـٓشـظـُحٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (303
Artinya : Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak
termasuk urusan (agama) ku ini, maka amalan ini
tertolak.
12 - َٝ ُقـ٤ِْـه ْٞ ّـَظـُح ِس َد خَـزـِؼـُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح ُعَخـزـ ّـِط ِْلْح
nya kedua kaidah ini secara proporsional. Kaid ah pertama
yang dikemukakan oleh Ulama Syafi'iyah dipakai untuk
masalah-masalah muamalah atau keduniaan, sedangkan kaidah
kedua yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah dipakai
untuk menyelesaikan masalah-masalah ibadah.
Sebagai contoh, ketika kita menemukan seekor binatang
yang tidak jelas status hukumnya karena tidak ada ketntuannya
dari Alquran maupun Hadis, baik secara langsung ataupun tidak
langsung tentang kriterianya, maka hukumnya yaitu boleh
(mubah). Dasarnya yaitu kaidah yang dikemukakan oleh Umala
Syafi'iyah, karena memakan hewan yaitu termasuk masalah
keduniaan. Sedangkan dalam masalah ibadah, kita tidak boleh
(haram) melakukan betuk-bentuk peribadatan, kecuali ada
dalilnya dari Alquran dan Hadis. Dasarnya yaitu kaidah yang
dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, dan sejalan pula dengan
kaidah lain yang berbunyi :
10 - ٌَ ـ٤َُِْد َّ ْٞ ُـوَـ٣ ٠َّظَك ُٕ َلًُْطزـُْ ح ِسَدَخزـِؼُْ ح ٠ِك َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hokum suatu ibdah itu batal (tidak sah)
kecuali didasarkan pada dalil.
Dalam Hadis Nabi saw juga disebutkan :
ِٚ ٤َِْـَػ َظ٤َُْ ًلً َٔ ـَػ ََ ـ ِٔ ـَػ ْٖ َٓ ٌّدحَس َٞ ُـَٜـك حََزٛ َخُٗش ْٓ َأ
)شـشـثخػ ٖػ ٟزـٓشـظـُحٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (303
Artinya : Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak
termasuk urusan (agama) ku ini, maka amalan ini
tertolak.
12 - َٝ ُقـ٤ِْـه ْٞ ّـَظـُح ِس َد خَـزـِؼـُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح ُعَخـزـ ّـِط ِْلْح
303 Al-Suy