• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 9. Tampilkan semua postingan

ilmu ushul fiqh 9




 a mazhab tertentu.  

a. Ibnu Nujaim dan Al-Khadimy, mengumpu lkan kaidah-kaidah 

pilihan dari berbagai mazhab  dalam sebuah kitab Majallah 

al- Ahkam al - ‘Adliyah .  

b. Mushthafa Ahmad al -Zarqa menyusun 99 kaidah fiqhiyah 

dalam kitab yang berjudul Al - Fiqh al - Islamy Fi Tsaubih al -

Jadid . 

c. Sayyid Muhammad Hamzah, ulama Damaskus  pada masa 

pemerintahan Abd al-hamid, menyusun kitab kaidah fiqh 

dengan sistematika materi ilmu fiqh, yang diberi judul Al -

Faraid al - Bahiyah fi Qawa’id wa al - Fawaid  al - Fiqhiyah . 

 

3.  Hikmah Qawa'id al - Fiqhiyah.  

Salah satu bukti kesempurnaan ajaran Islam ialah bahwa di 

antara nash-nash Alquran dan Hadits Nabi ada yang mengandung 

prinsip-prinsip umum dan  ketentuan-ketentuan tasyri’  yang 

bersifat general (kulli ), terutama ketika membicarakan masalah-

masalah keduniaan, masalah-masalah muamalah dan adat istiadat. 

Di antara hukum-hukum yang bersifat kulli  ini  ialah, bahwa 

membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak itu 

hukumnya haram. Demikian pula haram memakan harta orang lain 

dengan  cara yang batil. Hukum -hukum yang semacam ini memiliki 

prinsip-prinsip kemanusiaan yang sangat kokoh, seperti keadilan 

sejati dan kebajikan yang hakiki. Prinsip -prinsip yang demikian 

bersifat abadi, berlaku  secara permanen sepanjang masa dan 

diterima oleh siapapun yang berakal sehat, kapanpun dan 

dimanapun.  

Berdasa rkan prinsip-prinsip umum  yang demikianlah 

kemaudian para ulama membuat system dan metode dalam 

4. Kalangan fuqaha Hanabilah.  

a. Najm al-Din al-Thufy (w. 717 H), menyusun kitab berjudul Al -

Qawa’id al - Kubra dan Al - Qawa’id al - Shughra . 

b. Abd al-Rahman ibn Rajab (w. 795 H), menyusun kitab 

berjudul  Al - Qawa’id . Kitab ini mendapat sanjungan barbagai  

klangan karena materinya yang cukup berkualitas. 

 

5. Kalangan fuqaha yang tidak berafiliasi kepada mazhab tertentu.  

a. Ibnu Nujaim dan Al-Khadimy, mengumpu lkan kaidah-kaidah 

pilihan dari berbagai mazhab  dalam sebuah kitab Majallah 

al- Ahkam al - ‘Adliyah .  

b. Mushthafa Ahmad al -Zarqa menyusun 99 kaidah fiqhiyah 

dalam kitab yang berjudul Al - Fiqh al - Islamy Fi Tsaubih al -

Jadid . 

c. Sayyid Muhammad Hamzah, ulama Damaskus  pada masa 

pemerintahan Abd al-hamid, menyusun kitab kaidah fiqh 

dengan sistematika materi ilmu fiqh, yang diberi judul Al -

Faraid al - Bahiyah fi Qawa’id wa al - Fawaid  al - Fiqhiyah . 

 

3.  Hikmah Qawa'id al - Fiqhiyah.  

Salah satu bukti kesempurnaan ajaran Islam ialah bahwa di 

antara nash-nash Alquran dan Hadits Nabi ada yang mengandung 

prinsip-prinsip umum dan  ketentuan-ketentuan tasyri’  yang 

bersifat general (kulli ), terutama ketika membicarakan masalah-

masalah keduniaan, masalah-masalah muamalah dan adat istiadat. 

Di antara hukum-hukum yang bersifat kulli  ini  ialah, bahwa 

membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak itu 

hukumnya haram. Demikian pula haram memakan harta orang lain 

dengan  cara yang batil. Hukum -hukum yang semacam ini memiliki 

prinsip-prinsip kemanusiaan yang sangat kokoh, seperti keadilan 

sejati dan kebajikan yang hakiki. Prinsip -prinsip yang demikian 

bersifat abadi, berlaku  secara permanen sepanjang masa dan 

diterima oleh siapapun yang berakal sehat, kapanpun dan 

dimanapun.  

Berdasa rkan prinsip-prinsip umum  yang demikianlah 

kemaudian para ulama membuat system dan metode dalam 

membina, mengembangkan dan mengaplikasikan syariat Islam 

dalam kehidupan secara kontekstual. Ini merupakan bukti keluasan 

dan sekaligus elastisitas syariat  Islam 

Di samping itu nash syarak juga ada yang berifat  juz'i , spesifik 

dan terperinci, akan  tetapi jumlahnya terbatas. Nash syarak yang 

bersifat demikian biasanya  yaitu  ketika membicarakan masalah 

ubudiyah, atau dalam hal-hal yang memang diperlukan yang 

demikian itu. Di dalam hukum yang bersifat juz'i, spesifik dan 

terperinci selalu memiliki illat dan sebab hukum yang serupa. Oleh 

karena itu diperlukan tali "pengikat"  dalam bentuk kaidah -kaidah 

yang bersifat umum (kulli ).  

Tali pengikat hukum juz'i   yang memiliki illat dan sebab hukum 

yang serupa ini kemudian dikenal dengan istilah Qaidah , bentuk 

jamaknya Qawa'id . Ada pula sebagian Ulama yang menamakan Al -

Asybah Wa al - Nazhair , yang berarti masalah-masalah yang serupa 

dan sebanding.  Sebagai sebuah kaidah, sudah berang tentu ia 

bersifat ringkas tapi luas cakupan dan jangkauannya. Biasanya 

tersusun dari beberapa kata, dan bisanya ada pengecualian jika ada 

akemaslahatan  atau ada dukungan nasah. 

Dengan kata lain, mengingat bahwa lapangan fiqh begitu luas, 

mencakup berbagai aspek kehidupan yang lazim dikenal dengan 

hukum furu’ . Maka untuk menyederhanakannya diperlukan 

kristalisasi dalam bentuk kaidah-kaidah yang bersifat umum untuk 

mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai masalah furu’ 

yang yang beranekaragam ke dalam kelompok-kelompok yang 

serupa dan sebanding. 

Tujuannya yaitu  agar "tali pengikat" dan kaidah ini  

dapat dipakai  oleh para Ulama sebagai panduan dalam berijtihad 

dan dalam proses pembinaan hukum Islam, terutama sekali dalam  

masalah yang tidak ada  dasar hukumnya secara langsung dalam 

nash Alquran dan Hadis. Bukankah budaya dan perilaku umat 

manusia yang menjadi subyek hukum fiqh selalu berubah dan 

berkembang seiring perubahan zaman, sedangkan nash Alquran dan 

Hadis Nabi telah sempur na dan terhenti sepeninggal Muhammd 

saw.? Di samping  sebagai "pengikat" dan panduan, kaidah -kaidah 

ini  juga dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya ruh dan    

tujuan syariah yang sebanrnya, seperti terwujudnya kebenaran, 

keadilan, persamaan dan kemaslahatan serta menolak kemafsadatan. 

Ibnu Nujaim dalam kitab Al - Asybah wa al - Nazhair nya 

menyatakan sebagai berikut : 

 

 ِٚ ْوِـلُْ ح ِنِـثَخوَك ٠ََِػ َُغُِْط٣ ِٚ ِر ٌْ ٤ِْظَػ ٌّٖ َـك ِِشثَخظَُّ٘ح َٝ  ِٙ َخزَْشْلْح َّٖ َك َّٕ َأ ْْ َِِْػا

 ٠ََِػ ُسِذَـظـْوَـ٣ َٝ  ِٙ ِسخَؼِْلظْعا َٝ  ِٚ ِٔ ْٜ َك ٠ِك ُض ّـَ٤ َٔ ََظ٣ َٝ  ِٙ ِسحَشَْعأ َٝ  ِٙ ِزـَْخؤ َٓ َٝ  ِٚ ًِ ِسحَذ َٓ َٝ

 َكِشْؼ َٓ  َٝ  ِؾ٣ِْشْخَّظُح َٝ  ِمخَلُْ ِْلْح َعِدح َٞ َلُْ ح َٝ  ٍسَس ْٞ ُطْغ َٔ ِر ْضَغ٤َُْ ٠ِظَُّح ََ ِثخَغ َٔ ُْ ح ِش

 ِٕ خ َٓ َّضُح ِّش َٔ َٓ  ٠ََِػ ٠َِؼوـْ٘ َـط َلَ ٠ِظَُّح َِغثَخه َٞ ُْ ح َٝ2 8 4  

 

Artinya :  Ketahuilah bahwa bidang Al - Asybah wa  al - Nazhair  ( 

istilah lain dari Qawa'id al -Fiqhiyah) merupakan bidang 

yang sangat penting karena dengan memakai  ilmu ini 

akan tampak hakikat fiqh yang sebenarnya, dasar-dasar 

pijakannya, sumber-sumber pengambilannya dan rahasia-

rahasianya. Orang yang menguasai ilmu ini akan memiliki 

nilai lebih, mampu mengungkapkannya, mengilhaq kan dan 

mentakhrij  suatu hokum, mengetahui hokum masalah-

masalah yang tidak tersurat ketentuan hukumnya dalam 

nash ketika peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi 

kejadian tiada henti-hentinya muncul sepanjang masa.   

 

Syekh 'Izz al -din bin Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh 

Asjmuni A Rahman 285 ,  menyatakan bahwa, kaidah fiqhiyah dapat 

dijadikan sebagai metode atau jalan guna mewujudkan kemaslahatan 

dan menolak kerusakan, serta bagaimana cara mensikapi kedua hal 

ini . Demikian pula halnya Al-Qarafi menyatakan, bahwa 

seorang ahli fiqh tidak akan besar kualitas dan pengaruhnya jika 

tidak menguasai kaidah fiqhiyah. Orang yang tidak mengusasai 

kaidah fiqh , besar kemungkinan hasil ijtihadnya akan kontradiktif, 

                                                          

tujuan syariah yang sebanrnya, seperti terwujudnya kebenaran, 

keadilan, persamaan dan kemaslahatan serta menolak kemafsadatan. 

Ibnu Nujaim dalam kitab Al - Asybah wa al - Nazhair nya 

menyatakan sebagai berikut : 

 

 ِٚ ْوِـلُْ ح ِنِـثَخوَك ٠ََِػ َُغُِْط٣ ِٚ ِر ٌْ ٤ِْظَػ ٌّٖ َـك ِِشثَخظَُّ٘ح َٝ  ِٙ َخزَْشْلْح َّٖ َك َّٕ َأ ْْ َِِْػا

 ٠ََِػ ُسِذَـظـْوَـ٣ َٝ  ِٙ ِسخَؼِْلظْعا َٝ  ِٚ ِٔ ْٜ َك ٠ِك ُض ّـَ٤ َٔ ََظ٣ َٝ  ِٙ ِسحَشَْعأ َٝ  ِٙ ِزـَْخؤ َٓ َٝ  ِٚ ًِ ِسحَذ َٓ َٝ

 َكِشْؼ َٓ  َٝ  ِؾ٣ِْشْخَّظُح َٝ  ِمخَلُْ ِْلْح َعِدح َٞ َلُْ ح َٝ  ٍسَس ْٞ ُطْغ َٔ ِر ْضَغ٤َُْ ٠ِظَُّح ََ ِثخَغ َٔ ُْ ح ِش

 ِٕ خ َٓ َّضُح ِّش َٔ َٓ  ٠ََِػ ٠َِؼوـْ٘ َـط َلَ ٠ِظَُّح َِغثَخه َٞ ُْ ح َٝ2 8 4  

 

Artinya :  Ketahuilah bahwa bidang Al - Asybah wa  al - Nazhair  ( 

istilah lain dari Qawa'id al -Fiqhiyah) merupakan bidang 

yang sangat penting karena dengan memakai  ilmu ini 

akan tampak hakikat fiqh yang sebenarnya, dasar-dasar 

pijakannya, sumber-sumber pengambilannya dan rahasia-

rahasianya. Orang yang menguasai ilmu ini akan memiliki 

nilai lebih, mampu mengungkapkannya, mengilhaq kan dan 

mentakhrij  suatu hokum, mengetahui hokum masalah-

masalah yang tidak tersurat ketentuan hukumnya dalam 

nash ketika peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi 

kejadian tiada henti-hentinya muncul sepanjang masa.   

 

Syekh 'Izz al -din bin Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh 

Asjmuni A Rahman 285 ,  menyatakan bahwa, kaidah fiqhiyah dapat 

dijadikan sebagai metode atau jalan guna mewujudkan kemaslahatan 

dan menolak kerusakan, serta bagaimana cara mensikapi kedua hal 

ini . Demikian pula halnya Al-Qarafi menyatakan, bahwa 

seorang ahli fiqh tidak akan besar kualitas dan pengaruhnya jika 

tidak menguasai kaidah fiqhiyah. Orang yang tidak mengusasai 

kaidah fiqh , besar kemungkinan hasil ijtihadnya akan kontradiktif, 

                                                           

tidak sistematis dan saling bertolak belakang antara satu dengan 

yang lainnya. 

Dengan demikian  maka dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah 

fiqhiyah itu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap 

pertumbuhan dan perkembangan fiqh, karena ia  merupakan induk 

atau pondasi dalam syari’ah Islam. Oleh kare na itu sangatlah wajar 

bila  para Ulama memiliki perhatian tersendiri untuk memelihara, 

melestarikan dan mentransmisikan kaidah-kaidah fiqhiyah kepada 

generasi penerusnya. 

 

4. Klasifikasi Qawaid al - Fiqhiyah . 

bila  dicermati dan diperbandingkan pembahasan kaidah 

fiqhiyah dalam berbagai literatur, tampak bahwa kaidah-kaidah 

fiqhiyah itu secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga 

macam, yaitu : 

a. Kaidah -kaidah pokok (asasiyah); Pengertian kaidah asasiyah 

yaitu kaidah yang telah  disepakati oleh para imam mazhab dan 

seluruh masalah-masalah fiqh dapat dirujuk dan dikembalikan 

kepada kaidah-kaidah asasiyah ini. Jumlah kaidah asaiyah ada 5 

(lima), tapi ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada 6 

(enam). Kaidah -kaidah asasiyah  ini  ialah : 

  

1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح 

2 -   ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح 

3 -   ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ  ُسَدخَؼُْ َح 

4 -   ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح 

5 -   َش٤ِْغ٤َّْظُح ُِذِ ْـ َط ُشَّوَش َٔ ُْ َح 

 

Sebagian ulama menambah lagi dengan satu kaidah yang 

keenam, yakni kaidah yang berbunyi : 

 

 6 -   ِشَّ٤ِّـُِ٘خر َِلَا َدح َٞ َـػ َلَ 

188   

Oleh Izz al -Din bin Abd al-Salam kaidah-kaidah asasiyah ini  

diringkas menjadi satu kaidah besar dengan topik : 

 

 ِقُِخَظ َٔ ُْ ح ُذِْ َؿ َٝ  ِذِعَخلـ َٔ ُْ ح ُغْكَد 

 

Artinya : Menolak kerusakan dan menarik kemasl ahatan. 

 

b. Kaidah yang bukan pokok ( ghair al - asasiyah); yang dimaksud 

dengan kaidah yang bukan pokok (ghair al- asasiyah)  yaitu  

kaidah yang sifatnya sebagai pengembangan atau cabang dari 

kaidah asasiyah, yang dari padanya dapat dikeluarkan maslah-

masalah fiqh yang tak terhingga banyaknya. Jumlah kaidah 

ghairu asasiyah  ini ada yang mengatakan  jumlahnya 19 kaidah, 

tapi ada juga yang mengatakan 40 kaidah.  

 

Kaidah -kaidah yang diperselisihkan (al- mukhtalaf fih ) di antara 

para Ulama yang ada, jumlahnya mencapai 20  kaidah.286  Sulit untuk 

mengidentifikasi pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapt 

yang ada, sebab masing-masing pendapat mempunyai dalil dan 

argumentasi yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.  

Penulisan Buku Daras ini akan memakai  sistematika  

berdasar  klasifikasi kaidah-kaidah yang telah dikemukakan di 

atas, sebagimana juga yang ada  dalam kitab Al - Asybah wa al -

Nazhair , baik  karya Al-Suyuthi maupun karya Ibnu Nujaim.  Hanya 

saja untuk melengkapi dan memperkaya khazanah kaidah, penulis 

juga menyertakan beberapa kaidah yang sering menjadi bahan kajian 

para Ulama, sebagaimana yang termaktub dalam Majallat al - Adliyah . 

Memang sebagian Ulama  ada yang membuat sistematika 

berbeda, yakni dengan membuat tertib urutan kaidah berdasar  

urutan abjadiyah dan jumlahnya mencapai 145 kaidah. Selanjutnya 

kaidah-kaidah ini  diringkas menjadi  99 kaidah dalam kitab 

Majallah al - Ahkam al - Adliyah.  

                                                           

Oleh Izz al -Din bin Abd al-Salam kaidah-kaidah asasiyah ini  

diringkas menjadi satu kaidah besar dengan topik : 

 

 ِقُِخَظ َٔ ُْ ح ُذِْ َؿ َٝ  ِذِعَخلـ َٔ ُْ ح ُغْكَد 

 

Artinya : Menolak kerusakan dan menarik kemasl ahatan. 

 

b. Kaidah yang bukan pokok ( ghair al - asasiyah); yang dimaksud 

dengan kaidah yang bukan pokok (ghair al- asasiyah)  yaitu  

kaidah yang sifatnya sebagai pengembangan atau cabang dari 

kaidah asasiyah, yang dari padanya dapat dikeluarkan maslah-

masalah fiqh yang tak terhingga banyaknya. Jumlah kaidah 

ghairu asasiyah  ini ada yang mengatakan  jumlahnya 19 kaidah, 

tapi ada juga yang mengatakan 40 kaidah.  

 

Kaidah -kaidah yang diperselisihkan (al- mukhtalaf fih ) di antara 

para Ulama yang ada, jumlahnya mencapai 20  kaidah.286  Sulit untuk 

mengidentifikasi pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapt 

yang ada, sebab masing-masing pendapat mempunyai dalil dan 

argumentasi yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.  

Penulisan Buku Daras ini akan memakai  sistematika  

berdasar  klasifikasi kaidah-kaidah yang telah dikemukakan di 

atas, sebagimana juga yang ada  dalam kitab Al - Asybah wa al -

Nazhair , baik  karya Al-Suyuthi maupun karya Ibnu Nujaim.  Hanya 

saja untuk melengkapi dan memperkaya khazanah kaidah, penulis 

juga menyertakan beberapa kaidah yang sering menjadi bahan kajian 

para Ulama, sebagaimana yang termaktub dalam Majallat al - Adliyah . 

Memang sebagian Ulama  ada yang membuat sistematika 

berbeda, yakni dengan membuat tertib urutan kaidah berdasar  

urutan abjadiyah dan jumlahnya mencapai 145 kaidah. Selanjutnya 

kaidah-kaidah ini  diringkas menjadi  99 kaidah dalam kitab 

Majallah al - Ahkam al - Adliyah.  

                                                           

Sebagian ulama yang lain membuat sistematika berdsasarkan 

sistematika pembagian menurut materi fiqh, dimulai dengan bab 

ibadah, muamalah, ‘uqubah  dan sebagainya. Kitab yang 

memakai  sistematika demikian di antranya ialah kitab Al - Faraid 

al- Bahiyah fi Qawa’id wa Fawaid al - Fiqhiyah  karangan Sayyid 

Muhammad Hamzah dan kitab Min Falasifat al - tasyri’ al - Islamy  

karangan Fathi Ridwa n. 

Kaidah -kaidah pokok (asasiyah) merupakan kaidah fiqhiyah 

induk, karena hampir seluruh permasalahan fiqh dapat dirujuk atau 

dijawab dengan  memakai  kaidah ini , meskipun seorang 

ulama belum memperhatikan atau mencari dalil-dalil nashnya dalam 

Alquran atau Sunah. Hal yang demikian karena memang kaidah -

kaidah ini  diintoduksi dan digali dari dalil-dalil nash Alquran 

dan Sunah.  

Berikut ini akan diuraikan kaid ah-kaidah asasiyah ini  

dengan tertib sistematika terlebih dahulu mengemukakan redaksi 

kaidah, melacak dalil atau nash yang dijadikan sumber hukum 

pembentukan kaidah ini , kemudian diteruskan dengan 

mengemukakan contoh penerapan ke dalam masalah fiqh yang 

relevan dengan kaidah ini . Selanjutnya diteruskan dengan 

mengemukakan kaidah-kaidah cabangnya serta contoh-contoh 

aplikatifnya kepada masalah fiqh yang menjadi ruang lingkupnya. 

Pada kaidah tertentu yang dianggap penting, akan diberikan  

penjelasan, ulasan dan pengecualian-pengecualian pemberlakuan 

kaidah. 

A. Kaidah  tentang Motif  Suatu Perbuatan  

a. Rumusan kaidah.  

 َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح2 8 7 

Artinya : Hukum setiap perkara  tergantung kepada tujuannya.  

                                                          

Kaidah -kaidah pokok (asasiyah) merupakan kaidah fiqhiyah 

induk, karena hampir seluruh permasalahan fiqh dapat dirujuk atau 

dijawab dengan  memakai  kaidah ini , meskipun seorang 

ulama belum memperhatikan atau mencari dalil-dalil nashnya dalam 

Alquran atau Sunah. Hal yang demikian karena memang kaidah -

kaidah ini  diintoduksi dan digali dari dalil-dalil nash Alquran 

dan Sunah.  

Berikut ini akan diuraikan kaid ah-kaidah asasiyah ini  

dengan tertib sistematika terlebih dahulu mengemukakan redaksi 

kaidah, melacak dalil atau nash yang dijadikan sumber hukum 

pembentukan kaidah ini , kemudian diteruskan dengan 

mengemukakan contoh penerapan ke dalam masalah fiqh yang 

relevan dengan kaidah ini . Selanjutnya diteruskan dengan 

mengemukakan kaidah-kaidah cabangnya serta contoh-contoh 

aplikatifnya kepada masalah fiqh yang menjadi ruang lingkupnya. 

Pada kaidah tertentu yang dianggap penting, akan diberikan  

penjelasan, ulasan dan pengecualian-pengecualian pemberlakuan 

kaidah. 

A. Kaidah  tentang Motif  Suatu Perbuatan  

a. Rumusan kaidah.  

 َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح2 8 7 

Artinya : Hukum setiap perkara  tergantung kepada tujuannya.  

                                                           

Pelajaran hukum yang dapat diambil dari kaidah ini  ialah 

bahwa seluruh amal perbuatan manusia akan dipandang sah atau 

tidak, halal atau haram, baik atau buruk dan lain sebagainya, 

terpulang kepada motif, maksud dan tujuan  si pelakunya, bukan 

kepada manfaat atau madarat yang ditimbulkan oleh perbuatan 

ini .  Suatu perbuatan, menembak umpamanya, bisa 

mengakibatkan hukum yang berbeda-beda sesuai dengan 

perbedaan niat, maksud dan tujuan orang yang menembak. 

Menembak dengan niat membunuh, berbeda konsukensi 

hukumnya dengan menembak tanpa disengaja atau salah 

sasaran, meskipun mengakibatkan kematian seseeorang. 

  

b. Pengertian niat.  

Setiap amal perbuatan  manusia  biasanya akan terlahir setelah 

ada keinginan, kehendak dan ikhtiar. Keinginan  dan kehendak 

untuk melakukan suatu perbuatan lazimnya karena ada motifasi 

dan tujuan tertentu yang ingin dicapai.  

Pengertian niat menurut bahasa yaitu  menyengaja atau 

berkehendak. Sedangkan pengertian niat menurut istilah syarak 

oleh sebagian ulama mendefinisikan niat sebagai berikut : 

 

 َِ ِْؼلُْ ح ِدخ َـ ٣ِْا ٠ِك ٠َُخََؼط  ِﷲ ٠َُِا ِد ُّشَـوَـظـُح َٝ  ِشَػخَّطُحُذَْظه ِعْشَّشُح ٠ِك ُشَّ٤َُِّ٘ح2 8 8 

 

Artinya : Niat menurut pengertian syarak yaitu  menyengaja 

untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah swt. 

guna merealisasikan suatu perbuatan. 

 

 َح َِ ِْؼلُْ ح َٞ َْلٗ ِسَدحَس ِْلْح ُٚ٤ِْؿ ْٞ َط ْٝ َأ َِ ِْؼلُْ ح َٞ َْلٗ َُشٜ َّؿ َٞ َظ ُٔ ُْ ح ُسَدحَس ِْلْح  ُشَّ٤ُِّ٘2 89  

 

Artinya :  Niat dalah kehendak yang diarahkan terhadap suatu 

perbuatan, atau mengarahkan kehendak terhadap 

suatu perbuatan. 

                                                           

Jalal al -Din al-Suyuthi, dengan menyitir pendapat Taj al-Subki, 

mengklasifikasi "kehendak" seseorang dalam kaitannya dengan 

perbuatan yang dilakukan nya menjadi 5 (lima) tingkatan 

yaitu290  : a) hajis, yakni yang mula-mula terbersir dalam benak 

seseorang untuk melakukannya; b) khath ir, yakni ketika 

kehendak itu telah menimbulkan nafsu; c) hadits al- nafs ; yakni 

ketika hati mulai berbicara untuk mempertimbangkan, apakah 

akan dilakukan ataukah tidak; d) hamm , yakni ketika hati telah 

berketetapan untuk mengerjakan; dan e) 'azam , yakni keteguhan 

dan kemantapan hati untuk melakukannya.   

Dengan klasifikasi yang demikian, maka menurut Taj al-Subky, 

untuk kategori hajis, khathir, hadits al - nafs dan hamm  tidak 

dimasukkan ke dalam lintasan hati. Oleh karena itu pelakunya 

pun tidak dimintai pertanggung- jawaban hukum. 

 

c. Dasar hukum penyusunan kaidah. 

Firman Allah swt. :  

 

 : ش٘٤زُح (  َءآـلَـ٘ـُك َٖ ٣ْ ِّذُح َُُٚ َٖ ٤ِِْظِـْخ ُٓ  َﷲ حٝ ُذُـزـَْؼ٤ِـُ َِّلَا حُٝشـ ِٓ ُأ خ َٓ َٝ5 ) 

 

Artinya : Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah 

Allah dengan ikhlas dalam (manjalankan) agama dengan 

lurus. 

 

 ْٗ ُّذـُح َدح َٞ َػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ  ِٚ ِ ـطْئُـٗ ِسَشـِخ٥ْح َدح َٞ َـػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ  َخْٜ٘ ِٓ  ِٚ ِـطْئُـٗ َخ٤ـ 

 : ٕحشٔػ ٍآ (145 ) 

 

Artinya : Barang siapa menghendaki pahala dunia, akan Kami 

berikan kepdanya pahala dunia itu dan barang siapa 

menghendaki pahala akhirat, akan Kami berikan  pula 

pahala akhirat.   

 

                                                          

Jalal al -Din al-Suyuthi, dengan menyitir pendapat Taj al-Subki, 

mengklasifikasi "kehendak" seseorang dalam kaitannya dengan 

perbuatan yang dilakukan nya menjadi 5 (lima) tingkatan 

yaitu290  : a) hajis, yakni yang mula-mula terbersir dalam benak 

seseorang untuk melakukannya; b) khath ir, yakni ketika 

kehendak itu telah menimbulkan nafsu; c) hadits al- nafs ; yakni 

ketika hati mulai berbicara untuk mempertimbangkan, apakah 

akan dilakukan ataukah tidak; d) hamm , yakni ketika hati telah 

berketetapan untuk mengerjakan; dan e) 'azam , yakni keteguhan 

dan kemantapan hati untuk melakukannya.   

Dengan klasifikasi yang demikian, maka menurut Taj al-Subky, 

untuk kategori hajis, khathir, hadits al - nafs dan hamm  tidak 

dimasukkan ke dalam lintasan hati. Oleh karena itu pelakunya 

pun tidak dimintai pertanggung- jawaban hukum. 

 

c. Dasar hukum penyusunan kaidah. 

Firman Allah swt. :  

 

 : ش٘٤زُح (  َءآـلَـ٘ـُك َٖ ٣ْ ِّذُح َُُٚ َٖ ٤ِِْظِـْخ ُٓ  َﷲ حٝ ُذُـزـَْؼ٤ِـُ َِّلَا حُٝشـ ِٓ ُأ خ َٓ َٝ5 ) 

 

Artinya : Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah 

Allah dengan ikhlas dalam (manjalankan) agama dengan 

lurus. 

 

 ْٗ ُّذـُح َدح َٞ َػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ َخْٜ٘ ِٓ  ِٚ ِ ـطْئُـٗ ِسَشـِخ٥ْح َدح َٞ َـػ ْدِشُـ٣ ْٖ َٓ َٝ  َخْٜ٘ ِٓ  ِٚ ِـطْئُـٗ َخ٤ـ 

 : ٕحشٔػ ٍآ (145 ) 

 

Artinya : Barang siapa menghendaki pahala dunia, akan Kami 

berikan kepdanya pahala dunia itu dan barang siapa 

menghendaki pahala akhirat, akan Kami berikan  pula 

pahala akhirat.   

 

                                                           

Selain berdasar  kedua ayat ini  di atas, penyusunan 

kaidah ini juga didasarkan pada beberapa sabda Nabi saw., di 

antaranya yaitu  sebagai berikut : 

 

 َه َْ َّ َِع َٝ  ِٚ ٤َِْـَػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍَ ْٞ ـُعَس َّٕ أ َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ َػ ٍُ خ َٔ ْػْلْح خ َٔ ّـَٗا: ٍَ خ

 ) ٟسخخزُح ٙحٝس ( ٟ َٞ َـٗ خ َٓ  ٍةِشـ ْٓ ِا َِّ ٌُ ِـُ خ َٔ ّـَِٗا َٝ  ِصخَّ٤ ّـِ٘ـُِخر291   

 

Artinya :  (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar, bahwasanya 

Rasulullah saw, bersabda : Sesungguhnya perbuatan -

perbuatan manusia tergantung niatnya, dan setiap 

orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa 

yang ia niatkan. (HR Bukhari)  

 

Dalam Hadis yang lain disebutkan :  

 

 ) سشـ٣شـٛ ٠رأ ٖـػ ٚؿخٓ ٖرا ٙحٝس ( ْْ ِٜ ِطخَّ٤ِـٗ ٠ََِػ ُطخَُّ٘ح ُغـَؼـْزـُـ٣ خ َٔ َِّٗا292 

 

Artinya : Manusia itu hanya akan dibangkitkan (pa da hari kiamat) 

menurut  niat mereka. (HR Ibnu Majah dari Abu 

Hurairah)  

 

Demikian pula Nabi bersabda : 

 

) ٠ٗحشزطُح ٙحٝس ( ِٚ ِِـ َٔ ـَػ ْٖ ِٓ  ٌشـ٤ْـَخ ِٖ ِٓ ْئ ُٔ ـُْ ح ُشَّ٤ِـٗ 

 

Artinya : niat seorang mukmin lebih baik dari amal perbuatannya 

(HR Thabrani)  

 

Berdasa rkan kaidah asasiyah ini  dapat dikemukakan 

beberapa contoh penerapannya ke dalam suatu amaliah akan tetapi 

                                                           

dengan motivasi dan tujuan yang berbeda -beda serta dengan akibat 

hukum yang berbeda-beda pula, antara lain sebagai berikut : 

a. Seseorang yang mengambil barang temuan dengan maksud 

akan mengembalikan kepada pemiliknya, namun  setelah 

melalui  usaha-usaha yang memadai ternyata tidak 

ditemukan pemiliknya, maka halal baginya untuk memiliki 

benda ini . Akan tetapi jika tujuannya yaitu  untuk 

langsung menguasainya, berarti ia dianggap sebagai rang 

yang merampas hak orang lain ( ghashib ) 

b. Menyembelih binatang yang halal dimakan dengan cara -cara 

yang telah ditentukan oleh syarak dan dengan tujuan untuk 

dikonsumsi, halal sembelihannya. Akan tetapi jika sembelihan 

itu dimaksudkan untuk pemujaan kepada selain Allah (uhilla 

li ghairilllah ) , maka haram untuk dimakan.  

c. Memeras buah anggur untuk membuat cuka, halal 

hukumnya, sedangkan memeras buah anggur dengan 

maksud dan tujuan untuk membuat minuman keras  atau 

arak, maka haram hukumnya. 

d. Fungsi niat.  

 

Al-Baidlawi, sebagaimana dikutip oleh Jalal al -Din al-Suyuthi, 

menjelaskan bahwa kedudukan atau fungsi niat dalam setiap amalan 

yaitu  : 

a. Pertama; yaitu  untuk mengungkapkan dan membangkitkan 

kehendak hati  agar terealisasi dalam bentuk tindakan dan 

perkataan. 

b. Kedua ; untuk membedakan anatara amalan yang merupakan 

ibadah dengan amalan yang tidak termasuk katagori ibadah, 

seperti adapt kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia 

pada umumnya. Contohnya, gunakan air bis a untuk ibadah 

wudlu dan mandi wajib atau untuk mandi agar bersih badan, 

agar segarkan badan. Tidak makan, untuk ibadah berpuasa 

atau untuk diet, kesehatan, atau karena tidak selera makan. 

Dukuk di masjid, untuk niat iktikaf atau karena ingin istirahat 

atau berteduh. Serahkan harta kepada orang lain, untuk 

tujuan ibadah bersedekah, bayar zakat atau kifarat, atau 

dengan motivasi dan tujuan yang berbeda -beda serta dengan akibat 

hukum yang berbeda-beda pula, antara lain sebagai berikut : 

a. Seseorang yang mengambil barang temuan dengan maksud 

akan mengembalikan kepada pemiliknya, namun  setelah 

melalui  usaha-usaha yang memadai ternyata tidak 

ditemukan pemiliknya, maka halal baginya untuk memiliki 

benda ini . Akan tetapi jika tujuannya yaitu  untuk 

langsung menguasainya, berarti ia dianggap sebagai rang 

yang merampas hak orang lain ( ghashib ) 

b. Menyembelih binatang yang halal dimakan dengan cara -cara 

yang telah ditentukan oleh syarak dan dengan tujuan untuk 

dikonsumsi, halal sembelihannya. Akan tetapi jika sembelihan 

itu dimaksudkan untuk pemujaan kepada selain Allah (uhilla 

li ghairilllah ) , maka haram untuk dimakan.  

c. Memeras buah anggur untuk membuat cuka, halal 

hukumnya, sedangkan memeras buah anggur dengan 

maksud dan tujuan untuk membuat minuman keras  atau 

arak, maka haram hukumnya. 

d. Fungsi niat.  

 

Al-Baidlawi, sebagaimana dikutip oleh Jalal al -Din al-Suyuthi, 

menjelaskan bahwa kedudukan atau fungsi niat dalam setiap amalan 

yaitu  : 

a. Pertama; yaitu  untuk mengungkapkan dan membangkitkan 

kehendak hati  agar terealisasi dalam bentuk tindakan dan 

perkataan. 

b. Kedua ; untuk membedakan anatara amalan yang merupakan 

ibadah dengan amalan yang tidak termasuk katagori ibadah, 

seperti adapt kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia 

pada umumnya. Contohnya, gunakan air bis a untuk ibadah 

wudlu dan mandi wajib atau untuk mandi agar bersih badan, 

agar segarkan badan. Tidak makan, untuk ibadah berpuasa 

atau untuk diet, kesehatan, atau karena tidak selera makan. 

Dukuk di masjid, untuk niat iktikaf atau karena ingin istirahat 

atau berteduh. Serahkan harta kepada orang lain, untuk 

tujuan ibadah bersedekah, bayar zakat atau kifarat, atau 

untuk tujuan diniawi sperti memberi hadiah, hibah kepada 

teman. Sembelih binatang bisa untuk ibadah qurban atau 

aqiqah atau sekedar makan atau pesta.Untuk itu semua niyat 

dalam suatu perbuatan disyariatkan oleh ajaran Islam. 

c. Ketiga ; untuk membedakan antara suatu jenis ibadah yang 

satu dengan jenis ibadah yang lain, seperti membnedakan 

antara wudlu dan mandi. 

d. Keempat ; untuk memperoleh manfaat dan meno lak mafsadat 

dalam rangka beribadah, mendekatkan diri (taqarrub ) dan 

mencari rida Allah swt., serta memenuhi panggilan dan 

perintah-Nya.293   

e. Waktu dan tampat niat.  

Adapun waktu niat yaitu  pada awal pelaksanaan ibadah, 

sedangkan tempat niat yaitu  di dalam hati, bersamaan dengan 

dimulainya perbuatan.294    

Sehubungan dengan hal ini  perlu juga dijelaskan bahwa 

ibadah itu ada kalanya membutuhkan niat dan ada pula ibadah 

yang tidak membutuh- kannya. Ibadah yang membutuhkan niat 

yaitu  ibadah amaliyah yang memerlukan rincian khusus (ta’yin)  

guna menghindarkan kekeliruan atau  kesimpagsiuran. Sebagai 

contoh dalam shalat, perlu rincian apakah shalat sunat atau 

shalat fardlu, shalat ashar atau shalat maghrib, dan lain 

sebagainya. Sedangkan ibadah yang tidak diperintahkan niat 

yaitu  ibadah yang bukan amaliyah, karena tidak ada 

kehawatiran akan keliru dengan perbuatan lain yang bukan 

ibadah., seperti pernyataan keimanan dengan membaca 

syahadat, tidak perlu niat setiap hari ketika menyatakan 

keimanan dengan ucapan syahadat. 

Demikian pula halnya, niat seseorang dapat juga dilihat dari 

beberapa qarinah atau indikasi  dari suatu perbuatan yang dapat 

dijadikan tolok ukur kualitas atau jenis  niat ini . Sebagai 

contoh, dalam kasus pembunuhan, bisa jadi pembunuhan itu 

memang diniatkan atau betul-betul disengaja, atau semi 

                                                           

sengagja, atau karena  salah sasaran, yang berakibat  pada sanksi 

hukum yang berbeda-beda pula.  

f. Beberapa kaidah cabang yang senada dengan kaidah asasiyah 

di atas dan berkenaan dengan masalah niat, di antaranya 

ialah  : 

 

 1 -  ْْ َُ  ََؤطَْخأ َٝ  َُّٚ٘٤ـَػ حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط َٝ  ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُؽَشَـظْشُـ٣ َلَخ َٓ

 َّشُؼَـ٣ 

Artinya :  (Ibadah) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan 

secara garis besar atau terperinci, bila  ditentukan 

dan ternyata salah, tidk apa-apa. 

 

Sebagai contoh, dalam shalat  tidak disyaratkan untuk 

menjelaskan dan menentukan tempat dan bilangan rakaatnya, 

demikian pula tidak disyaratkan menentukan detail waktu ibadah 

puasa. Oleh karena itu bila  seseorang melaksanakan shalat 

dengan niat shalat maghrib 4 rakaat tapi ternyata salah, 

melaksanakan shalat maghrib 3 rakaat, maka shalatnya dianggap 

sah. Demikian pual, bila  seseorang  berniat melaksanakan 

qada puasa Ramadan pada hari Kamis, ternyata hri itu yaitu  

hari Rabu, maka  puasanya tet ap sah. 

 

 2 -  ٌَ َطْز ُٓ  ِٚ ٤ِْـك ُؤَطَخُْ َخك ُع ُّشـَؼَّظـُح ِٚ ٤ِْـك ُؽَشَـظـْشُـ٣ خ َٓ َٝ 

 

Artinya : (Ibadah) yang disyaratkan untuk dijelaskan, bila  

kemudian salah maka menjadi batal. 

 

Dalam niat beribadah harus dijelaskan jenis ibadahnya, jika puasa 

dijelaskan puasa wajib apa sunah, puasa mengqada Ramadan 

atau puasa sunah syawal, mengerjakan shalat haarus dijelaskan, 

shalat maghrib, ashar atau isya', dan lain sebagainya. Oleh karena 

itu bila  seseorang shalat maghrib tapi niatnya shalat isya', 

maka shalatnya batal. Demikian juga, seseorang yang puasa 

untuk mengqada puasa Ramadan tapi niatnya puasa membayar 

kafarat, maka puasanya tidak sah.  

sengagja, atau karena  salah sasaran, yang berakibat  pada sanksi 

hukum yang berbeda-beda pula.  

f. Beberapa kaidah cabang yang senada dengan kaidah asasiyah 

di atas dan berkenaan dengan masalah niat, di antaranya 

ialah  : 

 

 1 -  ْْ َُ  ََؤطَْخأ َٝ  َُّٚ٘٤ـَػ حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط َٝ  ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُؽَشَـظْشُـ٣ َلَخ َٓ

 َّشُؼَـ٣ 

Artinya :  (Ibadah) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan 

secara garis besar atau terperinci, bila  ditentukan 

dan ternyata salah, tidk apa-apa. 

 

Sebagai contoh, dalam shalat  tidak disyaratkan untuk 

menjelaskan dan menentukan tempat dan bilangan rakaatnya, 

demikian pula tidak disyaratkan menentukan detail waktu ibadah 

puasa. Oleh karena itu bila  seseorang melaksanakan shalat 

dengan niat shalat maghrib 4 rakaat tapi ternyata salah, 

melaksanakan shalat maghrib 3 rakaat, maka shalatnya dianggap 

sah. Demikian pual, bila  seseorang  berniat melaksanakan 

qada puasa Ramadan pada hari Kamis, ternyata hri itu yaitu  

hari Rabu, maka  puasanya tet ap sah. 

 

 2 -  ٌَ َطْز ُٓ  ِٚ ٤ِْـك ُؤَطَخُْ َخك ُع ُّشـَؼَّظـُح ِٚ ٤ِْـك ُؽَشَـظـْشُـ٣ خ َٓ َٝ 

 

Artinya : (Ibadah) yang disyaratkan untuk dijelaskan, bila  

kemudian salah maka menjadi batal. 

 

Dalam niat beribadah harus dijelaskan jenis ibadahnya, jika puasa 

dijelaskan puasa wajib apa sunah, puasa mengqada Ramadan 

atau puasa sunah syawal, mengerjakan shalat haarus dijelaskan, 

shalat maghrib, ashar atau isya', dan lain sebagainya. Oleh karena 

itu bila  seseorang shalat maghrib tapi niatnya shalat isya', 

maka shalatnya batal. Demikian juga, seseorang yang puasa 

untuk mengqada puasa Ramadan tapi niatnya puasa membayar 

kafarat, maka puasanya tidak sah.  

 3 -  حَرا ًلً٤ِْظـْلَـط ُُٚ٘ـ٤ِْـ٤ـْؼَـط ُؽَشَـظـْشُـ٣ َلَ َٝ  ًَشِ ْٔ ُؿ َُُٚ ُع ُّشـَؼ ّـَظـُح ُذـ ِـ َـ٣ خ َٓ َٝ

 َّشَػ ؤَطْخَؤك َُٚ٘ ّـَ٤ـَػ 

 

Artinya : suatu amalan yang untuknya  harus dikemukakan 

secara umum dan tidak disyaratkan untuk 

menentukan secara terperinci, ketika  ia ditentukan 

dan ternyata salah, maka berbahaya. 

 

 Sebagai contoh, dalam ibadah shalat jamaah niatnya cukup 

secara global, niat menjadi makmum saja, tidak disyaratkan 

untuk berniat secara detail atau terperinci   makmum kepada 

seseorang. Namun jika seseorang meniatkan yang demikian, 

seperti niat mamkmum kepada Umar tapi ternyata yang menjadi  

imam yaitu  Amir, maka shalat jamaahnya tidak sah. Demikian 

juga ketika orang shalat janazah dengan niat  shalat kepada 

Fathimah tapi ternyata  salah dan dishalati yaitu  Aminah, maka 

shalatnya  tidak sah. 

 

 4 –  َّصخَخُْ ح ُض ِّظَُخط َلَ َٝ  ِّ خـَؼُْ ح َعـْل ّـَُِح ُض ِّظـَُخط ِٖ ـ٤ْ ِٔ َ٤ ُْ ح ٠ِك ُّش٤ ّـَُِ٘ح295 

 

Artinya :  Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal yang umum, 

tapi tidak membuat khusus lafal yang khusus.  

 

 Sebagai contoh, orang yang bersumpah tidak akan berbicara 

kepada seseorang dan telah ditetnukan orangnya yaitu Fulan, 

maka sumpahnya hanya berlaku secara khusus, yaitu untuk 

Fulan saja, tidak berlaku secara umum, yaitu mencakup orang 

lain atau semua orang. 

 

4 -  ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ ح َٞ ُـٛ َٝ  ٍذـِكح َٝ  ٍغِػ ْٞ ـ َٓ  ٠ِك َّلَا ِِعك َّلًُح ِشَّ٤ِـٗ ٠ََِػ ِعْل َُِّح ُذِطَخو َٓ 

٠ِػَخوُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ خَـٜ ّـََِٗبك ٠ِػخَـوـُْ ح َذـْ٘ ـِػ 

 

                                                          

Artinya : Maksud suatu ucapan yaitu  menurut orang yang 

mengucapkannya kecuali dalam satu tempat, yaitu 

sumpah dihadapan hakim, maka maksud sumpah 

ini  yaitu  menurut niat sang hakim. 

 

Hal yang demikian, karena disebutkan dalam Hadis Nabi saw. :  

 

 ) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٚؿخٓ ٖراٝ ِْغٓ ٙحٝس ( ِقِـِـْخَـظْغ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ َح

296 

 

Artinya : (Maksud ucapan) sumpah itu menurut niat orang yang 

menyumpahnya. 

 

 6 –  ٠َِٗخز َٔ ُْ ح َٝ  ِظخَـلـُْ  ِْلُْ َلَ ٠ِٗخـَؼ َٔ ُْ ح َٝ  ِذِطَخـو َٔ ِْ ُِ ِد ْٞ ُـوـُؼُْ ح ٠ِك ُسَشـْزـِؼُْ َح297 

 

Artinya : Yang dijadikan pedoman dalam suatu lafaz yaitu  

makna dan   tujuannya,  bukan bentuk formal dan 

redaksionalnya. 

 

 Dari kaidah ini  dapat dipahami bahwa jika suatu 

transaksi diaplikasikan sesuai dengan substansi makna yang 

terkandung dalam tujuan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan 

kedua belah pihak dan menghindarkan terjadinya petaka pada 

salah satu atau kedua belah pihak, maka muamalah  jenis ini 

dapat diterima. Dan sebaliknya, jika suatu transaksi atau 

perjanjian kerja yang dilakukan untuk melakukan suatu makar 

atau penipuan dan tujuan-tujuan tidak terpuji lainnya, maka 

interaksi yang terjadi antara pihak-pihak terkait yaitu  tidak 

dapat diterima dan  dinyatakan batal demi hukum. 

Artinya : Maksud suatu ucapan yaitu  menurut orang yang 

mengucapkannya kecuali dalam satu tempat, yaitu 

sumpah dihadapan hakim, maka maksud sumpah 

ini  yaitu  menurut niat sang hakim. 

 

Hal yang demikian, karena disebutkan dalam Hadis Nabi saw. :  

 

 ) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٚؿخٓ ٖراٝ ِْغٓ ٙحٝس ( ِقِـِـْخَـظْغ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِـٗ ٠َِـَػ ُٖ ـ٤ْ ِٔ َـ٤ُْ َح

296 

 

Artinya : (Maksud ucapan) sumpah itu menurut niat orang yang 

menyumpahnya. 

 

 6 –  ٠َِٗخز َٔ ُْ ح َٝ  ِظخَـلـُْ  ِْلُْ َلَ ٠ِٗخـَؼ َٔ ُْ ح َٝ  ِذِطَخـو َٔ ِْ ُِ ِد ْٞ ُـوـُؼُْ ح ٠ِك ُسَشـْزـِؼُْ َح297 

 

Artinya : Yang dijadikan pedoman dalam suatu lafaz yaitu  

makna dan   tujuannya,  bukan bentuk formal dan 

redaksionalnya. 

 

 Dari kaidah ini  dapat dipahami bahwa jika suatu 

transaksi diaplikasikan sesuai dengan substansi makna yang 

terkandung dalam tujuan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan 

kedua belah pihak dan menghindarkan terjadinya petaka pada 

salah satu atau kedua belah pihak, maka muamalah  jenis ini 

dapat diterima. Dan sebaliknya, jika suatu transaksi atau 

perjanjian kerja yang dilakukan untuk melakukan suatu makar 

atau penipuan dan tujuan-tujuan tidak terpuji lainnya, maka 

interaksi yang terjadi antara pihak-pihak terkait yaitu  tidak 

dapat diterima dan  dinyatakan batal demi hukum. 

6. Kaidah  tentang Yakin dan Ragu  

a. Rumusan kaidah :  

 

 ِّيَّشـُِخر ٍُ حَضـُـ٣ َلَ ُٖ ـ٤ِْـوَـ٤ُْ َح 

 

Artinya : Sesuatu yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan oleh 

sesuatu yang masih diragukan. 

 

b. Pengertian yakin dan ragu.  

Yang dimaksud dengan yakin ialah :  

 

  َِ ـ٤ِْـُ َّذُح َٝ  ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر خًـظِـرَخػ  َٕ خ ًَ خ َٓ  : ُٖ ـ٤ِْوَـ٤ُْ َح298 

 

Artinya : yakin yaitu  sesuatu yang sudah pasti, berdasar  

teori maupun berdasar  bukti. 

 

Sedangkan yang dimaksud dengan keraguan (syakk ) ialah : sesuat 

yang masih ragu antara ya dan tidak, dan bobot kecenderungan 

antara benar dan salah yaitu  sama, tidak ada ada  indikasi yang 

melebihkan di antara keduanya.299 

 

c. Dasar hukum pembentukan kaidah yaitu  :  

 

  َْ ََِّع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه : ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َسَشـ٣َْشُـٛ ٠َِرأ ْٖ َػ

 َلَ ّْ َأ ٌت٤َْش ُٚـْ٘ ـ ِٓ  َؽَشـََخأ ِٚ ٤َِْـَػ ََ ٌَ ـْش َؤَـك ًخجـ٤ْـَش ِٚ َِْ٘طر ٠ِك ْْ ًُ ُذـَكأ َذَؿ َٝ  حَِرا :

 ِذـ ِـ ْغ َٔ ـُْ ح َٖ ـ ِٓ  َّٖ ـَؿُشـْخَـ٣ َلًَـك خًل٣ِْس َذـ ِـ َـ٣ ْٝ َأ ًخط ْٞ َط َغ َٔ َْغ٣ ٠َّظـَك 

  ) ِْغٓ ٙحٝس (300  

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia bekata, 

Rasulullah saw. bersabda : bila  salah seorang dari 

kamu sekalian merasakan sesuatu di dalam perutnya 

tetapi ragu apakah telah keluar angina dari perut 

ataukah belum, maka sekali-kali janganlah keluar  dari 

masjid ( HR Muslim)  

 

 Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw. juga menyatakan :  

 

 ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس ِّٟ ِس ْزـُخـُْ َح ٍذـ٤ْـِؼـَع ٠َِرأ ْٖ ـَػ  ُﷲ

 ّْ َأ ًخـػَلًَـَػأ  ٠ََِّط ْْ ـ ًَ  ِس ْذَـ٣ ْْ َـَِـك ِٚ ِـطَلًَط ٠ِك ْْ ًُ ُذـََكأ َّيـَش حَِرا َْ ََِّع َٝ  ِٚ ٤َِْـَػ

 ) ِْغٓ ٙحٝس ( َٖ َـوـ٤َْـظـْعا خ َٓ  ٠َِـَػ ِٖ ـْزَـ٤ ِْ َـك َّيـَّشـُح ِفَشـَْط٤ـِْ ـَـك خـًَؼرَْسأ301  

  

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Sa'id a l-Khudri RA, ia berkata, 

bersabda Rasulullah saw. : bila  salah seorang di 

antara kamu sekalian ragu di dalam shalatnya dan tidak 

mengetahui apakah shalatnya sudah tiga rakaat 

ataukah sudah empat rakaat, maka hendaklah 

membuang keraguan dan memantapkan atas apa yang 

telah diyakini (HR Muslim)  

 

berdasar  kedua hadis Nabi ini  di atas kemudian 

melahirkan sebuah prinsip hukum atau kaidah fiqh bahwa  

sesuatu yang telah diyakini adanya tidak dapat dinafikan atau 

dihilangkan dengan sesuatu yang sifatnya masih ragu dengan 

radaksi kaidah  sebagaimana tertera pda rumusan kaidah kedua 

di atas.  

Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bagi hampir seluruh bab 

atau materi kajian fiqh. Bahkan masalah -masalah fiqh yang 

dikeluarkan dari kaidah ini  dapat mencapai lebih tiga perempat 

(75 %) masalah -masalah  fiqh. Sebagai contoh, seperti disebutkan 

dalam hadis Nabi di atas, bila  seseorang ragu tentang 

bilangan rakaat dalam shalat apakah telah mencapai tiga rakaat 

ataukah sudah empat rakaat, maka yang dipegangi yaitu  jumlah 

                                                           

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia bekata, 

Rasulullah saw. bersabda : bila  salah seorang dari 

kamu sekalian merasakan sesuatu di dalam perutnya 

tetapi ragu apakah telah keluar angina dari perut 

ataukah belum, maka sekali-kali janganlah keluar  dari 

masjid ( HR Muslim)  

 

 Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw. juga menyatakan :  

 

 ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس ِّٟ ِس ْزـُخـُْ َح ٍذـ٤ْـِؼـَع ٠َِرأ ْٖ ـَػ  ُﷲ

 ّْ َأ ًخـػَلًَـَػأ  ٠ََِّط ْْ ـ ًَ  ِس ْذَـ٣ ْْ َـَِـك ِٚ ِـطَلًَط ٠ِك ْْ ًُ ُذـََكأ َّيـَش حَِرا َْ ََِّع َٝ  ِٚ ٤َِْـَػ

 ) ِْغٓ ٙحٝس ( َٖ َـوـ٤َْـظـْعا خ َٓ  ٠َِـَػ ِٖ ـْزَـ٤ ِْ َـك َّيـَّشـُح ِفَشـَْط٤ـِْ ـَـك خـًَؼرَْسأ301  

  

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Sa'id a l-Khudri RA, ia berkata, 

bersabda Rasulullah saw. : bila  salah seorang di 

antara kamu sekalian ragu di dalam shalatnya dan tidak 

mengetahui apakah shalatnya sudah tiga rakaat 

ataukah sudah empat rakaat, maka hendaklah 

membuang keraguan dan memantapkan atas apa yang 

telah diyakini (HR Muslim)  

 

berdasar  kedua hadis Nabi ini  di atas kemudian 

melahirkan sebuah prinsip hukum atau kaidah fiqh bahwa  

sesuatu yang telah diyakini adanya tidak dapat dinafikan atau 

dihilangkan dengan sesuatu yang sifatnya masih ragu dengan 

radaksi kaidah  sebagaimana tertera pda rumusan kaidah kedua 

di atas.  

Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bagi hampir seluruh bab 

atau materi kajian fiqh. Bahkan masalah -masalah fiqh yang 

dikeluarkan dari kaidah ini  dapat mencapai lebih tiga perempat 

(75 %) masalah -masalah  fiqh. Sebagai contoh, seperti disebutkan 

dalam hadis Nabi di atas, bila  seseorang ragu tentang 

bilangan rakaat dalam shalat apakah telah mencapai tiga rakaat 

ataukah sudah empat rakaat, maka yang dipegangi yaitu  jumlah 

                                                          

rakaat yang sedikit, yakni tiga rakaat karena yang sedikit itulah 

yang diyakini, sedangkan yang empat rakaat masih diragukan. 

Demikian juga halnya, jika seseorang ragu ketika hendak shalat 

apakah wudunya sudah batal atau belum, maka yang dianggap 

benar yaitu  belum batal, sebab  kondisi sudah berwudu telah 

diyakini adanya, sedangkan berhadas atau batal masih dirgukan. 

 

d. Bentuk -bentuk keraguan. 

Abu Hamid Al -Isfiraini menerangkan bahwa keraguan itu ada 

tiga macam, yaitu : 

a. Keraguan yang berkenaan dengan ses uatu yang haram. 

Sebagai contoh, dalam penyembelihan binatang di 

daerah yang mayoritas penduduknya yaitu  non muslim, 

maka sembelihan  penduduknya haram dimakan sebab 

pada asalnya hal ini  haram. Kecuali  diketahui 

benar-benar (yakin) bahwa orang yang menyembelih 

yaitu  orang muslim, atau diketahui bahwa umumnya 

orang yang menyembelih binatang itu yaitu  orang 

muslim.  

b. Keraguan yang berkenaan dengan sesuatu yang mubah. 

Sebagai contoh, dalam kasus seseorang yang 

menemukan air yang telah berubah. Perubaha n itu 

terjadi karena terkena benda najis atau karena sudah 

lama,  kadaluwarsa. Maka air ini  dapat dipakai  

untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci;  

c. Keraguan yang tidak diketahui hukum asalnya. Sebagai 

contoh, seseorang bermitra dalam kegiatan usahanya 

tetapi tidak diketahui apakah modal mitra kerjanya 

ini  berasal dari harta yang halal atau tidak. Dalam 

kondisi seperti ini, maka hukumnya boleh bermitra dan 

bekerjasama karena tidak ada bukti tentang keharaman 

modal kerja mitranya.

e. Kaidah -kaidah Cabang tentang Keraguan.  

Beberapa kaidah cabang yang meuncul dari kaidah  pokok kedua. 

Kaidah  asasiyah bahwa yang telah diyakini tidak dapat 

dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, kemudian 

melahirkan beberapa kaidah fiqhiyah cabang, di antaranya ialah : 

 

1 –  َٕ خ ًَ  خ َٓ  ٠َِـَػ َٕ خ ًَ  خ َٓ  ُءخَـوَـر َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya yaitu  melanggengkan hukum yang 

telah ada tas hukum yang ada. 

 

Sebagai contoh yaitu  dua kasus yang diutarakan dalam kedua 

hadis yang dijadikan dasar hukum pembentukan dalil di atas, 

yakni bila  seseorang telah yakin bahwa dirinya masih dalam 

keadaan suci, kemudian ia ragu apakah sudah batal ataukah 

belum, maka hukum yang berlaku bagi oang ini  yaitu  

belum batal. Sebaliknya, bila  seseorang merasa bahwa dirinya 

dalam keadaan berhadas atau belum bersuci, kemudian ia ragu 

apakah sudah bersuci ataukah belum, maka hukum yang berlaku 

bagi orang ini  yaitu  belum bersuci, alias masih berhadas. 

 

 2 -   ِشـ َّٓ ِّزـُح ُس َءحَشـَـر َُ ْط ََْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya, tidak boleh ada pembebanan hukum.  

 

Dengan berpedoman kepda kaidah ini , maka pada 

prinsipnya setiap orang harus terbebas dari pembebanan atau 

tanggungan. Oleh karena itu tidak dapat diterima kesaksian 

seorang saksi dalam pemberian beban sebelum diperkuat denan 

kesaksian orang lain atau alat bukti yang lain, seperti sumpahnya 

seorang penggugat. 

berdasar  kaidah ini pula muncul prinsip dalam h ukum 

acara di pengadilan bahwa yang dianggap benar yaitu  

pengakuan tergugat yang diperkuat dengan sumpahnya, karena 

  

e. Kaidah -kaidah Cabang tentang Keraguan.  

Beberapa kaidah cabang yang meuncul dari kaidah  pokok kedua. 

Kaidah  asasiyah bahwa yang telah diyakini tidak dapat 

dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, kemudian 

melahirkan beberapa kaidah fiqhiyah cabang, di antaranya ialah : 

 

1 –  َٕ خ ًَ  خ َٓ  ٠َِـَػ َٕ خ ًَ  خ َٓ  ُءخَـوَـر َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya yaitu  melanggengkan hukum yang 

telah ada tas hukum yang ada. 

 

Sebagai contoh yaitu  dua kasus yang diutarakan dalam kedua 

hadis yang dijadikan dasar hukum pembentukan dalil di atas, 

yakni bila  seseorang telah yakin bahwa dirinya masih dalam 

keadaan suci, kemudian ia ragu apakah sudah batal ataukah 

belum, maka hukum yang berlaku bagi oang ini  yaitu  

belum batal. Sebaliknya, bila  seseorang merasa bahwa dirinya 

dalam keadaan berhadas atau belum bersuci, kemudian ia ragu 

apakah sudah bersuci ataukah belum, maka hukum yang berlaku 

bagi orang ini  yaitu  belum bersuci, alias masih berhadas. 

 

 2 -   ِشـ َّٓ ِّزـُح ُس َءحَشـَـر َُ ْط ََْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya, tidak boleh ada pembebanan hukum.  

 

Dengan berpedoman kepda kaidah ini , maka pada 

prinsipnya setiap orang harus terbebas dari pembebanan atau 

tanggungan. Oleh karena itu tidak dapat diterima kesaksian 

seorang saksi dalam pemberian beban sebelum diperkuat denan 

kesaksian orang lain atau alat bukti yang lain, seperti sumpahnya 

seorang penggugat. 

berdasar  kaidah ini pula muncul prinsip dalam h ukum 

acara di pengadilan bahwa yang dianggap benar yaitu  

pengakuan tergugat yang diperkuat dengan sumpahnya, karena 

memang yang demikian itulah yang realistis, yang sesuai dengan 

kenyataan di lapangan. 

 

5 –  ُٚـِْ ـَؼـْلَـ٣ ْْ َـُ ُٚ ّـََٗأ َُ ـْط َْلَْخك َلَ ّْ َأ خًـجـ٤ْـَش ََ ـَؼَـَكأ َّيـَش ْٖ ـ َٓ 

 

Artinya : Barang siapa yang ragu apakah telah melakukan sesuatu 

ataukah belum, maka yang dianggap ialah baha orang 

ini  belum melakukannya. 

 

Senada dengan prinsip dan pengertian kaidah di atas, dalam 

redaksi kaidah yang lain disebutkan sebagai berikut : 

 

6 -  ٠َِـَػ ََ ـ ِٔ ـُك ِشـ٤ِْـؼـ ٌَ ُْ ح ِٝ َأ َِ ـ٤ِْـَِـوـُْ ح ٠ِك َّيَش َٝ  ََ ـْؼِـلـُْ ح َٖ ّـَوَـ٤َـط ْٖ َٓ

 ُٖ ّـَوَـ٤َـظـ ُٔ ـُْ ح ُ َّٚ َِٗلْ َِ ـ٤ِْـَِـوـُْ ح 

 

Artinya : Barang siapa yakin telah melakukan suatu perbuatan  

tetapi ragu dalam hal sedikit atau banyak, maka dibawa 

kepda yang sedikit, karena itulah yang diyakini.  

 

 Demikian pula Imam Syafi'i membuat pernyataan :  

 

7 -  ِا ُغِـلَـطْشَـ٣ َلَ ٍٖ ـ٤ِْـوَـ٤ِـر َضَـزَـػ خ َٓ  َّٕ ِا ٍٖ ـ٤ِْـوَـ٤ِـر َّلَ 

 

Artinya : Sesungguhnya hukum yang telah tetap berdasar  

keyakinan tidak dapat dihilangkan kecuali 

berdasar  keyakinan yang lain pula. 

 

berdasar  ketiga kaidah fiqhiyah cabang yang memiliki 

prinsip senda di atas, maka dapat diberikan contoh bahwa 

bila  seseorang ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah 

ada rukun yang tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya 

bagi orang ini  mengulanginya. 

 

8 -  ُّ َذــَؼـُْ ح َُ َْطَْلْح 

Artinya : Hukum yang asal yaitu  tidak ada sesuatu.     

berdasar  kaidah fiqhiyah ini , dapat diberikan 

conoth bahwa yang dianggap benar yaitu  pernyataan orang 

yang menolak atau membantah  adanya persetubuhan jika 

disertai sumpahnya, karena keadaan awal atau asalnya yaitu  

memang tidak ada persetubuhan. bila  ada penuntutan  atau 

dakwaan mengenai hal ini , maka kewajiban penuntutlah 

untuk mengajukan alat bukti untuk memperkuat tuntutannya.  

Demikian halnya, yang dianggap benar yaitu  pernyataan 

pelaksana dalam kontrak bagi hasil ( qiradl  atau musyarakah) 

bahwa tidak tidak  memperoleh kuntungan, karena keadaan  

awal atau asalnya memang tidak ada keuntungan. 

  

9 -  ٍٖ ـ َٓ َص ِدَشــَْهِؤر ُُٙشـ٣ِْذــْوَـط ٍعِدخَك َِّ ًُ  ٠ِك َُ َْطَْلْأ 

 

Artinya : Pada dasarnya dalam setiap kejadian penentuannya 

yaitu  berdasar  waktu yang terdekat. 

 

Sebagai contoh, bila  seseorang melihat bercak sperma 

dalam pakaiannya dan dia tidak  ingat kalau dia telah bermimpi 

hingga mengeluarkan sperma, maka orang ini  wajib mandi 

untuk menghilangkan hadas besar. 

Demikian juga halnya, bila  seseorang telah berhari-hari 

berwudu dengan memakai  air  sebuah sumur, kemudian 

shalat, tetapi setelah itu diketahui bahwa di dalam sumur  

ini  ada  bangkai tikus, maka  orang ini  tidak 

wajib mengqada shalatnya. 

ada  sebuah kaidah yang dikemukakan oleh Ulama 

mazhab Syafi'i, yang redaksinya yaitu  sebagai berikut :  

  

10 -   ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ َُ ٤ُِْ َّذُح ٍَّ َُذ٣ ٠َّظَك ُشَكَخر ِْلْح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ ْطَْلْح 

 

Artinya :  Pada dasarnya hukum segala sesuatu yaitu  boleh, 

kecuali ada  dalil yang mengharamkannya. 

berdasar  kaidah fiqhiyah ini , dapat diberikan 

conoth bahwa yang dianggap benar yaitu  pernyataan orang 

yang menolak atau membantah  adanya persetubuhan jika 

disertai sumpahnya, karena keadaan awal atau asalnya yaitu  

memang tidak ada persetubuhan. bila  ada penuntutan  atau 

dakwaan mengenai hal ini , maka kewajiban penuntutlah 

untuk mengajukan alat bukti untuk memperkuat tuntutannya.  

Demikian halnya, yang dianggap benar yaitu  pernyataan 

pelaksana dalam kontrak bagi hasil ( qiradl  atau musyarakah) 

bahwa tidak tidak  memperoleh kuntungan, karena keadaan  

awal atau asalnya memang tidak ada keuntungan. 

  

9 -  ٍٖ ـ َٓ َص ِدَشــَْهِؤر ُُٙشـ٣ِْذــْوَـط ٍعِدخَك َِّ ًُ  ٠ِك َُ َْطَْلْأ 

 

Artinya : Pada dasarnya dalam setiap kejadian penentuannya 

yaitu  berdasar  waktu yang terdekat. 

 

Sebagai contoh, bila  seseorang melihat bercak sperma 

dalam pakaiannya dan dia tidak  ingat kalau dia telah bermimpi 

hingga mengeluarkan sperma, maka orang ini  wajib mandi 

untuk menghilangkan hadas besar. 

Demikian juga halnya, bila  seseorang telah berhari-hari 

berwudu dengan memakai  air  sebuah sumur, kemudian 

shalat, tetapi setelah itu diketahui bahwa di dalam sumur  

ini  ada  bangkai tikus, maka  orang ini  tidak 

wajib mengqada shalatnya. 

ada  sebuah kaidah yang dikemukakan oleh Ulama 

mazhab Syafi'i, yang redaksinya yaitu  sebagai berikut :  

  

10 -   ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ َُ ٤ُِْ َّذُح ٍَّ َُذ٣ ٠َّظَك ُشَكَخر ِْلْح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ ْطَْلْح 

 

Artinya :  Pada dasarnya hukum segala sesuatu yaitu  boleh, 

kecuali ada  dalil yang mengharamkannya. 

 

Namun ada  pula kaidah yang dikemukakan oleh Imam 

Hanafi, yang  susunan redaksinya yaitu  sebagai berikut :  

 

11 -  ِشَكَخر ِْلْح ٠ََِػ َُ ـ٤ُِْ َّذـُح ٍَّ ُذَـ٣ ٠َّظـَك ُْ ـ٣ِْشـْلَّظـُح ِءَخ٤ْشْلْح ٠ِك َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pad a dasarnya hukum  segala sesuatu yaitu  haram, 

kecuali ada  dalil yang membolehkannya. 

 

Dasar hukum dari nash bagi pembentukan kedua kaidah 

ini  di atas yaitu  firman Allah swt. sebagai berikut : 

 

   ِعْسْلْح ٠ِك خ َٓ  ْْ ٌُ َـُ َنَـِـَخ ِٟز ّـَُح َٞ ُـٛ سشوزُح ( خًؼ٤ْ ِٔ ـَؿ49 ) 

 

Artinya : Dialah (Allah) yang telah menjadikan segala apa yang 

ada di dalam bumi untuk kemu sekalian seluruhnya. 

(QS Al-Baqarah : 49 )  

 

Dalam Hadis  Nabi saw. disebutkan :  

 

  َُٜـك َّ َّشَك خ َٓ َٝ  ٌٍ َلًـَك َٞ ُـَٜـك ُﷲ ََّ ـََكأ خ َٓ َٞ ُـَٜك ُٚـْ٘ ـَػ َضـ ٌَ َع خ َٓ َٝ  ٌّ حَشـَك َٞ ـ

ًخجـ٤َْش ٠َغْ٘ َـ٣ ْٖ ـ ٌُ َـ٣ ْْ َـُ َﷲ َّٕ ِ َبك َُٚـظَـ٤ِـكخَػ ِﷲ َٖ ِٓ  ح ْٞ ُـَِـزـْهَخك ٌٞ ـْلـَػ 

 ) ءحدسذُح ٠رأ ٖػ ٠ٗحشزطُحٝ سحضزُح ٚؿشخأ( 

 

Artinya : Apa yang dihalalkan Allah maka ia halal, apa yang 

diharamkan-Nya maka ia haram dan apa yang Allah 

diam atasnya berarti dimaafkan. Maka terimalah maaf 

dari Allah sebab Allah tidak melupakan sesuatu.(HR 

Al-Bazzar dan Thabrani dari Abu Darda')  

 

Antara kaidah yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyah 

dengan Hanafiyah memi liki perbedaan dan bahkan  saling 

bertentangan, terutama dalam menyikapi sesuatu yang tidak 

disebut dalam Alquran maupun Hadis Nabi. Namun demikian 

sebenarnya dapat dikompromikan bila  kita memergunakan 

206   

nya kedua kaidah ini  secara proporsional. Kaid ah pertama 

yang dikemukakan oleh Ulama Syafi'iyah dipakai  untuk 

masalah-masalah muamalah atau keduniaan, sedangkan kaidah 

kedua yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah dipakai  

untuk menyelesaikan masalah-masalah ibadah.  

Sebagai contoh, ketika kita menemukan seekor binatang 

yang tidak jelas status hukumnya karena tidak ada ketntuannya 

dari Alquran maupun Hadis, baik secara langsung ataupun tidak 

langsung tentang kriterianya, maka hukumnya yaitu  boleh 

(mubah). Dasarnya yaitu  kaidah yang dikemukakan oleh Umala 

Syafi'iyah, karena memakan hewan yaitu  termasuk masalah 

keduniaan. Sedangkan dalam masalah ibadah, kita tidak boleh 

(haram) melakukan betuk-bentuk peribadatan, kecuali ada  

dalilnya dari Alquran dan Hadis. Dasarnya yaitu  kaidah yang 

dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, dan sejalan pula dengan 

kaidah lain yang berbunyi : 

 

10 -  ٌَ ـ٤َُِْد َّ ْٞ ُـوَـ٣ ٠َّظَك ُٕ َلًُْطزـُْ ح ِسَدَخزـِؼُْ ح ٠ِك َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya hokum suatu ibdah itu  batal (tidak sah) 

kecuali didasarkan pada dalil. 

 

 Dalam Hadis Nabi saw juga disebutkan :  

 

  ِٚ ٤َِْـَػ َظ٤َُْ ًلً َٔ ـَػ ََ ـ ِٔ ـَػ ْٖ َٓ ٌّدحَس َٞ ُـَٜـك حََزٛ َخُٗش ْٓ َأ 

)شـشـثخػ ٖػ ٟزـٓشـظـُحٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (303 

 

Artinya : Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak 

termasuk urusan (agama) ku ini, maka amalan ini  

tertolak. 

 

 12 -   َٝ  ُقـ٤ِْـه ْٞ ّـَظـُح ِس َد خَـزـِؼـُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح ُعَخـزـ ّـِط ِْلْح 

                                                           

nya kedua kaidah ini  secara proporsional. Kaid ah pertama 

yang dikemukakan oleh Ulama Syafi'iyah dipakai  untuk 

masalah-masalah muamalah atau keduniaan, sedangkan kaidah 

kedua yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah dipakai  

untuk menyelesaikan masalah-masalah ibadah.  

Sebagai contoh, ketika kita menemukan seekor binatang 

yang tidak jelas status hukumnya karena tidak ada ketntuannya 

dari Alquran maupun Hadis, baik secara langsung ataupun tidak 

langsung tentang kriterianya, maka hukumnya yaitu  boleh 

(mubah). Dasarnya yaitu  kaidah yang dikemukakan oleh Umala 

Syafi'iyah, karena memakan hewan yaitu  termasuk masalah 

keduniaan. Sedangkan dalam masalah ibadah, kita tidak boleh 

(haram) melakukan betuk-bentuk peribadatan, kecuali ada  

dalilnya dari Alquran dan Hadis. Dasarnya yaitu  kaidah yang 

dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, dan sejalan pula dengan 

kaidah lain yang berbunyi : 

 

10 -  ٌَ ـ٤َُِْد َّ ْٞ ُـوَـ٣ ٠َّظَك ُٕ َلًُْطزـُْ ح ِسَدَخزـِؼُْ ح ٠ِك َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya hokum suatu ibdah itu  batal (tidak sah) 

kecuali didasarkan pada dalil. 

 

 Dalam Hadis Nabi saw juga disebutkan :  

 

  ِٚ ٤َِْـَػ َظ٤َُْ ًلً َٔ ـَػ ََ ـ ِٔ ـَػ ْٖ َٓ ٌّدحَس َٞ ُـَٜـك حََزٛ َخُٗش ْٓ َأ 

)شـشـثخػ ٖػ ٟزـٓشـظـُحٝ ذـٔـكأ ٙحٝس (303 

 

Artinya : Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak 

termasuk urusan (agama) ku ini, maka amalan ini  

tertolak. 

 

 12 -   َٝ  ُقـ٤ِْـه ْٞ ّـَظـُح ِس َد خَـزـِؼـُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح ُعَخـزـ ّـِط ِْلْح 

                                                           

303  Al-Suy