• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label prahara 1965 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prahara 1965 4. Tampilkan semua postingan

prahara 1965 4

 Muhammadiyah dan alumnus Program Magister Ilmu Religi dan 
Budaya, Universitas Sanata Dharma, keraton yogya . Wawancara dilakukan 
di rumah Suherjanto, di Kotagede, keraton yogya , pada tanggal 3 September 
2009.
***
NAMA saya Suherjanto.35 Saya lahir pada tanggal 26 Desember 1937. 
Saya memiliki anak 6 orang. Semuanya laki-laki dan semuanya sudah 
berkeluarga. Pendidikan terakhir saya di seni rupa. Dulu saya studi banding  
di Akademi Seni Rupa. Saya menikah tahun 1964. Pada tahun 1965 
anak pertama lahir. Waktu terjadi Peristiwa G30S/1965 umur anak 
pertama saya baru 3 bulan.
 Pada tahun 1965 itu saya bekerja membantu di bagian Pusat 
Kesehatan Umat (PKU). Saya membantu pengurus PKU. PKU itu 
istilah untuk pelayanan kesehatan. Saya banyak berkiprah di bidang 
kesehatan dan pendidikan.
Saya lahir dari keluarga yang aktif dalam gerakan gerakan  Muhammadiyah. 
Sejak kecil saya sudah menjadi anggota Hizbullah.36 Hanya saja, pada 
tahun 1965 itu saya tidak terlalu aktif dalam gerakan gerakan -gerakan gerakan  untuk 
menanggapi G30S, karena saya baru saja memiliki anak pertama yang 
baru berumur tiga bulan itu tadi. Jadi saya lebih banyak berada di 
rumah.
Waktu Peristiwa G30S/1965 terjadi saya berpikir, jangan sampai 
rumah kosong. Orang tua, bapak, ibu, kemudian kakak-kakak laki-laki 
saya, juga Pak Asnawi dan Pak Basori, nah mereka itulah yang justru 
aktif ikut gerakan gerakan -gerakan gerakan  menanggapi Peristiwa G30S. Waktu itu 
 Muhammadiyah kan jelas punya tenaga-tenaga ataupun kader-kader 
tertentu. Tokoh-tokohnya aktif sekali dalam hal ini.
Meningkatkan Kewaspadaan
Pada tahun 1948, saat  terjadi peristiwa pemberontakan di Madiun, 
di Kotagede [ keraton yogya ] sendiri ada gerakan gerakan  dari Muhammadiyah 
yang dikhususkan untuk “tanggap bencana”. Pada tahun 1948 itu 
saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar [SD] sehingga 
saya kurang tahu persis tentang apa yang sebenarnya terjadi. Akan 
tetapi secara resmi, Hizbullah itu bersikap anti terhadap gerakan gerakan  
Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan Muso [PKI -Muso]. 
Waktu itu, Hizbullah sudah giat sekali. Adapun kegiatan yang 
dilakukan Hizbullah waktu itu adalah mengadakan pertemuan￾pertemuan, pengajian, dan sebagainya. Semuanya dilakukan dalam 
rangka membantu menggencarkan semangat perlawanan umat Islam 
di Madiun sana. Melalui pengajian-pengajian, khotbah-khotbah di 
masjid dan sebagainya diinformasikan bahwa di sana [di Madiun] 
ada gerakan gerakan -gerakan gerakan  yang dilakukan pihak Komunis.
Sebelum tahun 1965 memang sering terjadi pergesekan 
antara orang-orang Muhammadiyah dengan orang-orang PKI . 
Pergesekan terutama dilakukan para pemuda. Dari pihak PKI , para 
pemudanya direpresentasikan oleh Pemuda Rakyat, sedangkan dari 
 Muhammadiyah diwakili oleh Pemuda Muhammadiyah. Seringkali 
dalam kegiatan-kegiatan pemuda yang menyangkut kegiatan 
masyarakat seperti peringatan hari besar, baik hari raya Islam maupun 
hari nasional, terjadi semacam persaingan. Pihak Pemuda Rakyat 
sering menyaingi atau membuat hal-hal yang dimaksudkan untuk 
mengganggu atau menggagalkan kegiatan yang sedang dilakukan oleh 
 Pemuda Muhammadiyah. Hal-hal seperti ini terasa sekali waktu itu.
Aktivitas yang dimaksudkan untuk mengganggu itu biasanya 
tidak agresif. Tidak ada aksi penyerangan atau apa. Hanya mengganggu 
saja, atau menakut-nakuti kelompok pengajian. Hanya seperti itu. 
Misalnya orang-orang yang mau datang ke pengajian dicegat supaya 
tidak jadi ikut. Jadi gangguannya ya cuma dengan menakut-nakuti 
dan mencegat orang-orang. Ah, sebetulnya ya tidak mencegat juga. 
Cuma melakukan gerakan gerakan -gerakan gerakan  tertentu yang menyebabkan orang 
jadi takut. Memang kalau tidak salah, waktu itu pernah ada bentrokan 
antar pemuda, ada perkelahian atau kontak fi sik, dan memang ada 
yang terluka, tapi tidak apa-apa. Tidak besar. Cuma lokal dan biasa 
saja. 
Sekali lagi, meskipun secara psikologis ada persaingan antara 
kelompok Pemuda Rakyat dan kelompok Pemuda Muhammadiyah, 
tetapi tidak pernah terjadi bentrokan fi sik atau tindakan kekerasan. 
Pihak Islam sendiri itu tidak pernah membuat gerakan gerakan -gerakan gerakan  yang
sifatnya agresif. Mereka tetap mau bersikap menghormati. Yang 
penting menjaga agar jangan sampai umat Islam terganggu dan jangan 
mengganggu. Maksudnya supaya tidak terjadi konfl ik.
Waktu itu yang dilakukan oleh pihak Islam atau Muhammadiyah 
hanyalah meningkatkan kewaspadaan dan selalu mengamati 
gerakan gerakan -gerakan gerakan  mereka [maksudnya pihak PKI , ed.]. Misalnya 
kalau mengadakan suatu kegiatan selalu melakukan koordinasi. 
Selain itu pihak Islam juga sering menggaji atau membayar orang 
untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pihak sana [pihak PKI ], 
supaya tahu apa yang sedang mereka lakukan dan apa yang perlu 
diwaspadai.
Tidak Bisa Menerima
Suatu saat saya mendengar langsung dari sebuah siaran, tapi saya 
kurang tahu itu siaran dari siapa. Menurut siaran itu, PKI akan 
melakukan kudeta dan bermaksud mengganti pemerintah. Oleh 
karena itu, masyarakat perlu waspada. Masyarakat perlu menjaga 
rumah masing-masing. Apalagi waktu itu beredar kabar bahwa telah 
diketemukan dokumen berisi catatan nama tokoh-tokoh di Kotagede 
yang akan menjadi sasaran pembantaian oleh PKI . Berdasarkan berita 
seperti itu kita lalu memberi tahu, bahwa si “Anu” itu anaknya tokoh 
PKI , atau keluarganya ada sangkut- pautnya, dan sebagainya, sehingga 
kita perlu mewaspadai me reka dan sebagainya.
Informasi mengenai kudeta seperti itu kebanyakan didapat melalui 
radio. Semula melalui radio kita menerima berita dari pusat bahwa 
ada kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal dan sebagainya. Tapi 
beritanya simpang-siur. Mendengar berbagai informasi seperti itu 
semula kita bingung juga. Ini yang bener yang mana? Yang diberitakan 
pertama kali itu adalah bahwa kudeta itu dilakukan oleh Dewan 
Jenderal. Tapi saya mendengar informasi yang menegaskan bahwa 
Letnan Kolonel Untunglah yang melakukan kudeta. Informasi lain 
belum ada. Apalagi waktu itu tampaknya Bung Karno bagaimana ya, 
nggak ada suaranya. Nggak ada apa ya, nggak ada pernyataan bagaimana 
dan sebagainya. Waktu itu yang saya dengar ya hanya bahwa kudeta 
itu dilakukan oleh Untung. Lalu ada juga tokoh-tokoh PKI .
Ya, baru sesudah  ada kejelasan bahwa PKI yang melakukan 
kudeta, masyarakat di sini semakin menyiapkan diri. Kan, Kotagede 
termasuk salah satu pusat untuk training Pemuda Rakyat. Lokasinya 
di sebelah timur Jalan Kemasan. Wow, itu dulu itu wilayah “merah”. 
Tapi alhamdulillah sesudah  jelas terungkap bahwa kegiatan itu [kudeta] 
dilakukan oleh PKI dan antek-anteknya, kita lalu menyiapkan diri 
untuk menghadapi wilayah itu. Kemudian sesudah  ada koordinasi dan 
macam-macam, ada informasi yang sudah jelas dan sebagainya, lalu 
kita lantas mulai membantu aparat pemerintah, yang waktu itu berarti 
pihak militer. Mulailah ada pencidukan orang-orang “merah” itu. 
Yang diciduk waktu itu laki-laki maupun perempuan lesbian . Semua. 
Yang PKI , yang Gerwani, yang Pemuda Rakyat, semua diciduk. Ada 
yang laki-laki, ada yang perempuan lesbian . Pokoknya aktivis yang selama 
pra- Gestapu itu tampak aktif, semua itu didaftar [untuk kemudian 
diciduk, ed.]. Mereka itu kami ketahui dari peristiwa-peristiwa per￾saingan atau pergesekan yang terjadi sebelum Peristiwa G30S. Dari 
situ kami ketahui siapa tokoh-tokohnya dan sebagainya.
Dari Muhammadiyah sendiri memang tidak ada semacam surat 
resmi yang menolak keberadaan PKI . Tapi jelas bahwa semuanya ya
terutama masyarakat Islam di Kotagede yang mayoritas Muhammadiyah 
tidak bisa menerima [keberadaan PKI ]. Tapi tampaknya kok nggak
ada [surat resmi macam itu]. Atau mungkin karena saya tidak tahu. 
Yang jelas, entah ada surat resmi atau tidak, dalam Muhammadiyah 
sendiri kerja samanya bagus dalam upaya menanggulangi ataupun 
menanggapi dan melawan gerakan gerakan  G30S.
Bisa Saja Diterapkan
Penangkapan para tokoh PKI , Gerwani, dan Pemuda Rakyat di 
 Kotagede banyak dilakukan oleh aparat keamanan. Di antara tokoh￾tokoh itu banyak yang juga berasal dari Kotagede sendiri, yang sesudah  
ditangkap juga dibuang sampai ke Pulau Buru. Tapi alhamdulillah, 
sesudah  para tokohnya ditangkap, mereka yang tersisa dan tinggal di 
 Kotagede bisa dikatakan sudah tidak berdaya lagi ‘kan? Banyak di 
antara mereka yang bisa menerima ajakan-ajakan untuk kembali ke 
ajaran Islam.
Mereka yang pada waktu peristiwa itu terjadi masih kecil, baru 
lahir, atau masih dalam kandungan, dan sebagainya tentu tidak tahu￾menahu mengenai apa yang terjadi. Oleh karena itu kalau mereka ini 
sampai ikut-ikutan dikurangi hak-haknya, kok menurut saya kurang 
pas.
Akan tetapi mereka yang waktu itu sudah cukup dewasa atau 
barangkali sudah remaja muda  pasti tahu apa yang terjadi. Oleh karena itu 
saya pikir kebijakan untuk membubuhkan tanda “ ET” atau “eks tapol” 
pada KTP orang-orang PKI itu bisa saja diterapkan karena memang 
semua itu masih dalam rangka mewaspadai jangan sampai timbul lagi 
peristiwa serupa untuk yang kedua kalinya. 
Tetapi kalau hal itu dilakukan terus sampai ke anak-cucu 
mereka, artinya disamaratakan, itu namanya sudah kurang tepat. 
Kalau akhirnya kebijakan seperti itu dicabut saya pikir itu tepat. Tapi 
kewaspadaan harus tetap ditanamkan. Meskipun hak-haknya sudah 
dikembalikan, mereka ini perlu diberi surat pernyataan, misalnya 
surat pernyataan bebas G30S, supaya kalau ada keraguan bisa diatasi.
Cara yang Damai
Kalau menurut pendapat saya, sekarang ini masanya sudah berbeda 
dengan dulu. Sekarang ini kalau seseorang mengikuti suatu paham 
tertentu atau menjadi anggota atau ikut serta dalam kelompok 
tertentu, semuanya sudah dilakukan dengan kesadaran.
Oleh karena itu, sebaiknya kalau seseorang mau mengikuti suatu 
organisasi pergerakan gerakan  , dia harus paham betul tentang organisasi pergerakan gerakan   yang akan ia ikuti. 
Kalau mau mengikuti Islam ya harus jelas Islam yang bagaimana. Kan
ternyata Islam juga ada bermacam-macam. Kan ada yang menganut 
aliran keras, yang langkah-langkah dan tindakannya seringkali justru 
tidak sesuai dengan petunjuk Islam yang damai, yang lembut, yang 
ramah, dan yang penuh kasih sayang. Nah, kalau saya mau mengikuti 
paham tertentu ya harus paham betul mengenai paham itu. Bukan 
sekadar karena paham itu baru terkenal atau baru nge-trend. Jangan 
sampai kita mengikuti suatu kelompok tanpa mengetahui apa 
misi dan visinya. Kalau Muhammadiyah kan jelas. Itu organisasi pergerakan gerakan   
masyarakat yang bukan politik. Cara mengajak seseorang supaya ikut 
atau dakwahnya supaya mengikuti agama dilakukan dengan cara yang 
lembut. 
Dengan demikian, kalau seseorang memilih untuk ikut 
 Muhammadiyah tampaknya dia tidak akan terpengaruh menjadi 
orang yang keras. Cara Muhammadiyah memperjuangkan agama 
itu cara yang damai, cara yang bisa diterima, sebab pedomannya 
amar ma’ruf, nahi mungkar. Jadi amar ma’rufnya yang didahulukan, 
yakni mengajaknya lebih dulu, dan bukan nahi mungkar-nya, yakni 
menghabiskan kemungkaran-kemungkaran dengan keras. Pertama￾tama diberikan penjelasan dulu. Kalau sudah diberikan penjelasan 
belum berhasil dan sebagainya, barulah kalau memang perlu ada
kekerasan-kekerasan. Tapi kekerasan yang tidak menimbulkan ma 
salah.
Saat ini masih ada orang-orang “merah”, yakni bekas-bekas PKI , 
yang masih hidup di lingkungan Ledok [ Kotagede]. Sekarang masih. 
Tapi saya tidak hafal persis nama-namanya. Ada orang-orang tamatan 
guru, yang dulu ditahan dan sesudah  bebas ditugaskan kembali di sini 
dan berbaur lagi dengan masyarakat. Ya, kita bisa menerima orang￾orang seperti itu, asal dalam masyarakat, mereka menunjukkan sikap 
yang baik. Biasanya kalau yang dulunya guru itu sesudah  bebas ada 
yang terus menjadi orang yang punya keahlian pijat dan sebagainya. 
Mereka di sini lalu buka layanan pemijatan, dan sebagainya. Ya, 
mereka itu kita terima.
Tokoh-tokoh yang melakukan pendekatan kepada orang￾orang eks-PKI supaya menjadi lebih baik adalah mereka yang pada 
tahun ’65 sudah aktif di Muhammadiyah dalam menyelenggarakan 
pengajian atau khotbah. Yang mengajak mereka adalah dari pimpinan 
 Muhammadiyah dan pokoknya dari orang-orang Muhammadiyah yang 
waktu itu sudah bergerak gerak  di bidang dakwah. Kini mereka mengajak 
eks-PKI untuk bisa bergabung dan kita juga tidak menganggap mereka 
itu musuh. Kami tidak menganggap bahwa semua yang PKI harus 
dimusuhi. Tidak. Tokoh-tokohnya saja yang kita anu-kan, tapi kalau 
yang lain, ya kalau bisa ya kita ajak. Kalau memang yang nggak mau 
dan sebagainya, kita awasi saja. Kalau mereka itu aktif ya kita laporkan. 
Lalu mereka ditangani oleh aparat, sehingga akhirnya banyak yang 
mau ikut ke masjid, ikut shalat-shalat...
Kelompok perempuan lesbian  Muhammadiyah atau Aisyiah juga aktif 
mengajak eks-PKI [perempuan lesbian ] supaya masuk Islam. Semuanya 
diberi petunjuk. Pokoknya mereka itu kalau mungkin kita ajak. Tapi 
kalau memang ada yang sikapnya masih memusuhi, atau pun masih 
berkeras, biasanya dikoordinasikan dengan aparat pemerintah, supaya 
jangan sampai mereka yang masih berpegang pada idealisme PKI -nya 
tetap dibiarkan.
saat  orang-orang “merah” [eks- Tapol] itu diajak supaya masuk 
ke Islam ada yang menolak, meskipun yang mau menerima juga 
banyak. Yang mau menerima dan ikut ada, tapi yang masih belum 
ikut atau belum mau mengikuti ada juga. Macam-macam. Tapi keba￾nyakan dari mereka yang asalnya adalah keluarga Muslim biasanya 
mudah diajak kembali. Tapi kalau yang semula asalnya bukan keluarga 
 Muslim belum tentu terus mau.
Cara kita mengajak itu seringkali justru tidak formal, melainkan 
personal. Seperti yang pernah saya katakan, ada orang “merah” yang 
mempunyai seorang anggota keluarga yang Muslim. Nah, melalui 
pendekatan-pendekatan personal akhirnya tertarik dan menikah 
dengan seorang Muslim. Seperti itu ada. Ada juga orang yang ber 
aliran “merah” yang kemudian besanan dengan keluarga Muslim, dan 
sebagainya.
Pendekatan formal justru tidak ada. Biasanya mereka diajak 
untuk mengikuti suatu pertemuan. Jika mereka ikut, mereka kita 
sambut dengan ramah. Tidak usah disinggung-singgung latar belakang 
politiknya. Apalagi soal apakah dia eks- Tapol atau bukan. Kalau 
mereka ini sudah ikut bergabung, ya harus disambut dengan baik. 
Jadi cara yang dipakai adalah cara kekeluargaan.


BAGIAN berikut adalah penulisan kembali atas narasi mengenai 
 Tragedi ‘65 dari kacamata seorang mantan pejuang Kemerdekaan 
Republik Indonesia yang sekaligus pemimpin gerakan gerakan  Petani. Namanya 
kita sebut saja Samsul Ahmad. Samsul adalah seorang pejuang yang 
gigih sejak masa mudanya, dan di masa tuanya secara konsisten membela 
kepentingan rakyat di lapisan bawah, khususnya kaum tani. Ia pernah 
menjadi Sekretaris Umum organisasi pergerakan gerakan   petani Serikat Kaum Tani Indonesia 
( SAKTI) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 
( MPRS). Ironisnya, justru karena pembelaanya itu ia ditangkap, 
dipenjara, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. 
Bagi Samsul, apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, yakni 
penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal di Jakarta, berada 
di luar pengetahuan dan pemahamannya. Waktu itu ia sedang berada 
di Bandung, dan saat  mendengar tentang itu, ia segera bergegas ke 
Jakarta. Sebagai anggota Badan Pemimpin MPRS dan merasa tidak 
melakukan kesalahan apa pun, ia langsung menuju ke gedung MPRS 
untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sayang sekali di sana, ia tidak 
berhasil menemui siapa pun.
Tak lama kemudian, karena dikhianati oleh orang yang dikenalnya, 
Samsul ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Di situ, ia segera 
diinterogasi. Katanya,“Saya dimintai keterangan atas berbagai aktivitas 
politik yang saya lakukan. Tentu saja proses interogasi ini luar biasa-lah. 
Saya dibentak, dihardik, dimaki, dan sebagainya.” Seakan tak seorang 
pun peduli bahwa seumur hidupnya Samsul adalah pejuang Kemerdekaan 
RI yang kemudian mati-matian membela kaum tani. Konon setiap selesai 
interogasi ia selalu harus digotong ke luar ruangan. “Tentu saja, karena 
kan tidak kuat menghadapi siksaan,” katanya. Ia melanjutkan, “Kalau 
perkara disiksa rasanya tidak ada akhirnya. Saya selalu bertanya dalam 
hati, kapan gua [saya] mati?”
Selanjutnya Samsul ditahan di penjara Kebon Waru, untuk 
kemudian dipindahkan ke penjara Nusa Kambangan, dan akhirnya 
dibuang di Pulau Buru.”Saya berada dalam tahanan Orde Baru kira￾kira hampir 15 tahun,” tutur Samsul.
Terhadap apa yang ia alami berkaitan dengan Tragedi ’65 itu 
Samsul tidak merasa dendam. Meskipun telah mempertaruhkan hidup 
dan nyawanya untuk kemerdekaan bangsanya tetapi lalu dikhianati, 
ia bahkan tak ingin melihat masalah ini sebagai masalah pribadi. “Ini 
bukan problem pribadi saya. Ini problem kita sebagai bangsa,” ungkapnya. 
Ia bahkan menghimbau supaya kita berlaku adil terhadap para pelaku 
ketidakadilan di seputar Tragedi 1965. Rasa dendam harus dijauhkan. 
Tujuannya adalah supaya semakin jelas bangsa ini melangkah menuju ke 
rekonsiliasi. Itulah Samsul Ahmad.
Narasi yang akan segera Anda tekuni ini merupakan hasil 
rekonstruksi yang dilakukan oleh anggota Komisi Sejarah PUSdEP Tri 
Chandra Aprianto atas beberapa wawancara dengan Samsul Ahmad. 
Selain itu, diintegrasikan pula surat-surat yang telah dikirimkan Samsul 
kepada Chandra, maupun dokumentasi ceramah-ceramah, tulisan-
tulisan, puisi-puisi, serta hasil wawancara orang lain dengan Samsul 
Ahmad. Tri Chandra Aprianto adalah dosen Sejarah di Universitas 
Negeri Jember, kota Jember, Jawa Timur. Kini ia sedang menempuh studi 
S3 di Universitas Indonesia, Jakarta. 
Sayang sekali bahwa saat  proses menarasikan ingatan ini sedang 
berlangsung—sementara banyak hal penting belum sempat terungkap—
tiba-tiba Samsul dipanggil menghadap Pencipta pada tanggal 26 Mei 
2009. 
***
SAYA lahir pada tahun 1926 dari keluarga yang memiliki tradisi 
dagang di Ranah Minang, Sumatera Barat. Semasa muda, aktivitas 
saya lebih banyak berada di wilayah pertempuran. Sebabnya saya ini 
kan dulu seorang tentara. Akan tetapi yang dimaksud dengan tentara 
di sini bukanlah tentara dalam arti tentara yang berangkat dari Barisan 
Keamanan Rakyat [ BKR], yang kemudian menjadi Tentara Republik 
Indonesia [ TRI], dan yang akhirnya menjadi Tentara Nasional 
Indonesia [ TNI]. Bersama teman-teman, saya bergabung dengan 
sebuah laskar rakyat yang cita-citanya adalah mempertahankan 
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945. Laskar 
ini lebih dikenal dengan “Laskar Rakyat Jakarta Raya” yang para 
pendirinya adalah Chaerul Saleh, Nandar, Darwis, Johar Nur, Hasnan, 
Wahidin, Armansyah Hasan Dayuh, dan lain-lain. Kelompok muda 
ini juga ikut membidani lahirnya Proklamasi.51 Aktivitas mereka 
mendapat semangat dari zamannya. 
Begitu Luar Biasa
Tahun 1926 dikenal sebagai tahun terjadinya pemberontakan kaum 
komunis terhadap pemerintah kolonial, sebuah pemberontakan yang 
sangat tidak matang diperhitungkan oleh para pelakunya. Tahun￾tahun itu juga diwarnai oleh hadirnya pergerakan gerakan  kaum muda 
terpelajar.52 Walaupun kehadiran mereka merupakan akibat dari adanya 
Politik Etis pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernuansa 
diskriminatif itu, namun kehadiran itu juga disertai nalar pikir yang 
berisi kesadaran akan pergerakan gerakan  menuju kemerdekaan. 53 Mereka itu 
misalnya, Ki Hajar Dewantara, Ibrahim yang dikenal dengan nama 
 Tan Malaka, Maroeto Nitimihardjo, Soetomo, Semaun, Musso, HOS 
Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Samsi, Sukarno, Syahrir, Hatta, Amir 
Syarifuddin, Achmad Kapau Gani, Mohamad Yamin, dan banyak 
lagi. Pada tahun-tahun itu hadir pula tokoh dari kaum muda yang 
nantinya mendesakkan Proklamasi 1945 seperti Soekarni, Chaerul 
Saleh, Djohar Nur, Hasnan, Samsuddin, Sidik Kertapati, Ibnu Parna, 
Samsu Haryaudaya, Legiman Haryono, Bahar Razak, Winaye, dan 
lainnya. Mereka semua mengenyam pendidikan kolonial. Bolehlah 
mereka disebut sebagai “disiden” di mata [pemerintah] kolonial 
 Belanda.54
Awal abad ke-20 merupakan periode yang revolusioner dalam 
sejarah Indonesia. Kala itu semua pikiran dan energi masyarakat 
Indonesia tergiring mengikuti arus Revolusi. Kaum pemuda terpelajar 
Indonesia saat itu semakin revolusioner. Dan hal itu tertransformasi ke 
kaum muda lainnya dengan sangat cepat. Pada periode paruh pertama 
1940-an, dalam usia yang relatif muda55 dan nyaris tanpa disadari, 
saya sudah terseret oleh sebuah arus yang penuh pergolakan.
Gara-gara Jepang masuk, saya tidak bisa sekolah lagi. saat  
Proklamasi lahir, tanpa ada yang menyuruh, saya langsung “nyebur” 
sendiri [ke dalam kancah perjuangan kemerdekaan]. Waktu itu tidak 
jelas betul di mana kita berada dan untuk siapa keberadaan kita ini. 
Tetapi intinya adalah bahwa di mana pun kita berada dan untuk siapa 
pun kita berada, semuanya merupakan hasil ketetapan sendiri. Itu 
yang saya alami. Itu pula yang dialami banyak orang lain. Misalnya 
saja ada seorang pemudi bernama Kartini dari Bondowoso, Jawa 
Timur, yang dalam suatu keadaan darurat diajak mengungsi. Dia 
menolak dan lebih memilih untuk bergabung dengan para pemuda 
guna berjuang bersama mereka. Sebenarnya proses kesadaran seperti 
ini terjadinya berangsur-angsur. Karena tumbuh secara berangsung￾angsur, orang seperti Kartini tidak akan mundur meskipun harus 
menghadapi banyak hambatan. Ini adalah proses. Baja itu ditempa 
dengan suhu yang tinggi supaya tidak menjadi besi.56
Saya bergabung dengan sekelompok kaum muda, muda-remaja muda , 
usia dua puluhan tahun. Saya diliputi oleh semangat muda yang 
menggelora dan menyala-nyala untuk merdeka dan untuk berjuang 
demi kemerdekaan. Saya bergabung dengan “Kelompok Menteng 
31” di Jakarta yang di zaman pendudukan fasisme Jepang di tahun 
tahun 1942-1943 merupakan semacam ”Sekolah Politik”. Ada yang 
diasramakan, ada pula yang tidak. Begitulah, bersama remaja muda  lainnya saya mengenal para senior pergerakan gerakan  seperti Soekarni, Adam Malik, 
 Chaerul Saleh, Djohar Nur, Hasnan, dan lain-lain.57
Selanjutnya saya aktif pada Komite Aksi yang diketuai oleh 
 Chaerul Saleh, yang dalam perjalanannya bermetamorfosa menjadi 
Angkatan Muda Indonesia atau API. Selanjutnya sejak bulan 
September 1945, API menjelma menjadi Laskar Rakyat Jakarta dan 
berkembang menjadi Laskar Jawa Barat. Di situ saya menjadi lebih 
aktif. Untuk selanjutnya, saya hidup dalam arus pertempuran seperti 
saya katakan tadi.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 saya berada di Jakarta. Tepatnya di 
kediaman Bung Karno, Jl Pegangsaan Timur no 56. Selain saya, hadir 
pula di situ waktu itu, Bung Hatta dan Soebardjo. Waktu itu saya baru 
melihat Bung Karno marah sekali sesudah  mendengar desakan Bung 
Wik [Wikana] yang diutus oleh para pemuda
Bung Wik mendesak dengan kasar supaya Bung Karno secepatnya 
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa harus khawatir 
dengan pihak Jepang yang sudah kalah perang itu. Bung Karno dengan 
keras menolaknya. Namun demikian, sebagaimana kita tahu, atas 
desakan dan paksaan para pemuda akhirnya Proklamasi Kemerdekaan 
dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945.58
Peristiwa sejarah ini sangat penting, karena prosesnya begitu 
luar biasa. Ada banyak tokoh di sekitarnya. Sepertinya kita selama 
ini memperingati Proklamasi nyaris seperti mengadakan ”pesta” saja. 
Semuanya ramai dengan berbagai lomba dan hura-hura. Tak ada 
uraian bagaimana Proklamasi itu terjadi. Tak disebut-sebut bagaimana 
dan siapa para pelakunya. Jika terus begini, bagaimana dan kapan kita 
akan mengetahui sejarah kita sendiri secara benar?
Risiko Situasi Revolusi
Saat itu dinamika gerakan gerakan  kaum muda terus bergerak gerak  maju. Seperti 
saya sampaikan tadi, Komite Aksi yang diketuai oleh Chaerul Saleh 
menjelma menjadi API. Selanjutnya API beralih menjadi Laskar 
Rakyat Jakarta, hingga berujung menjadi TNI Divisi Bambu Runcing 
dengan Komandannya, Sutan Akbar dan Wakilnya, Sidik Kertapati. 
Perlawanan untuk mewujudkan kedaulatan terus dikobarkan, 
kendati pemerintah, sebagai representasi golongan tua, lebih memilih 
jalur diplomasi. Bagi kalangan muda jalur diplomasi lebih merupakan 
tindakan kompromi terhadap kekuatan kolonial. Padahal saat 
itu beredar informasi bahwa pemerintahan sementara Belanda di 
Indonesia telah kehabisan dana untuk meneruskan pemerintahannya. 
Ditambah lagi mereka tidak mendapat pinjaman lebih lanjut dari 
pemerintah Inggris dan Amerika. Akibatnya manakala pemerintahan 
kolonial melakukan agresi, yang dituju adalah daerah-daerah yang 
memiliki kemampuan untuk quick capital [mendatangkan modal 
secara cepat, ed.], yaitu wilayah perkebunan. Politik diplomasi hanya 
akan memberi peluang bagi Belanda untuk “menghela nafas”.59
Oleh karena itu, pilihan kami adalah tetap menjalankan 
pertempuran tanpa memberi ruang bagi pihak kolonial untuk 
menghela nafas barang sedikit pun. Rupanya pihak Pemerintah [RI] 
lebih menyetujui ajakan pihak kolonial untuk melakukan perundingan. 
Perundingan pertama dikenal dengan istilah Perundingan Linggajati60
yang merujuk pada tempat berlangsungnya perundingan [suatu daerah 
dekat Cirebon, Jawa Barat] yang dilaksanakan pada 12 November 
1946. Pihak Republik Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sementara 
pihak kolonial Belanda diwakili oleh Schermerhorn. Perundingan 
 Linggajati menghasilkan keputusan bahwa kekuasaan secara de facto
Republik Indonesia hanya berkisar Jawa, Madura, dan Sumatera.
Saya katakan tadi, semangat revolusi mendorong saya untuk 
bergabung dengan laskar rakyat. Namun pada tahun 1946, saya 
sudah berbeda sikap dengan Pemerintah Republik, yang kala itu 
diwakili oleh Syahrir. saat  terjadi perundingan Linggajati, kami 
menolak hasil dari perundingan itu karena di dalamnya ada kalimat 
yang menyatakan bahwa kekuasaan de facto RI hanya meliputi Jawa 
dan Sumatera. Kami menentangnya. Dan karena menentang, maka 
kami ”dipukul” oleh Pemerintah. Kami dilucuti dan diserbu. Bahkan 
Sidik Kertapati terkena tembakan pada pahanya oleh peluru tentara 
Indonesia. Saya sendiri menjadi buronan
Selama menjadi buronan, saya mengalami banyak hal termasuk 
perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Maklumlah saat itu 
situasinya adalah situasi revolusi. Kalau sudah diteriaki sebagai 
“pengkhianat” tentu sudah seperti dipotong atau disembelih saja 
nasibnya. Waktu itu kalau pada seseorang diketemukan tiga warna 
saja [warna merah, putih dan biru, warna bendera Belanda] sudah 
pasti orang itu dicap mata-mata musuh. Maka matilah dia. Padahal 
belum tentu dia itu mata-mata musuh. Tapi itu adalah risiko hidup 
dalam situasi revolusi.
Tindakan Perlawanan
Selain melancarkan aksi perlawanan dalam bentuk fi sik, kami juga 
memiliki surat kabar yang terbit dalam bentuk koran dengan nama 
Genderang dan majalah dengan nama Godam Djelata.
62 Redaksinya 
adalah Armoenanto atau yang biasa disebut “Kerongkongan”. 
Sementara itu “Keriting” adalah nama panggilan untuk Sidik Kertapati. 
Kalau Haroen Oemar dipanggil ”Bob”, karena mukanya bopeng.
63
Apa yang menjadi kekhawatiran kami terbukti. Pihak Belanda 
sudah mulai menunjukkan sikap ingkar terhadap hasil Perjanjian 
 Linggajati. Sejak sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda mulai 
mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan terhadap 
Indonesia, dan pada 20 Juli 1947 mereka mengimplementasikan 
persiapan itu dengan melakukan tindakan agresi militernya ke wilayah 
kedaulatan Indonesia. Persis seperti yang telah kami khawatirkan, yang 
diserang adalah wilayah-wilayah yang potensial menghasilkan modal 
secara cepat. Salah satunya adalah wilayah-wilayah perkebunan.
Melihat hal itu, para pemimpin kami saat itu ingin berunding 
dengan pemerintah guna membantu melakukan perlawanan terhadap 
pemerintah kolonial. Untuk sementara perbedaan pendapat dihindari, 
mengingat adanya kesamaan tujuan, yaitu perang melawan pemerintah 
kolonial. Inilah yang kemudian menjadikan Laskar Jakarta Rakyat 
Raya bergabung dengan TNI. Sejak bergabung dengan TNI, laskar 
ini diubah namanya menjadi Divisi Bambu Runcing, yang diketuai 
oleh Sutan Akbar dengan Sidik Kertapati sebagai wakilnya.
Terjadilah perundingan di keraton yogya . Saat itu sudah ada TNI. 
Saya sendiri berangkat ke keraton yogya  bersama Komandan Divisi Sutan 
Akbar. Kami naik kereta sampai Gombong, Jawa Tengah, kemudian 
turun jalan kaki menuju ke tempat kedudukan Indonesia.
Kemudian saya pindah tugas di Priangan membantu Brigade 
Priangan dengan Komandannya Astra Wiguna. Kedudukan kami saat 
itu di Cidueng, Tasikmalaya. Sejak saat itu saya dan kawan-kawan 
melakukan serangkaian perlawanan dengan strategi gerilya di wilayah 
Karesidenan Priangan.
Seiring dengan berlangsungnya penerapan strategi gerilya 
ini  Pemerintah [RI], karena adanya campur tangan pihak asing, 
ternyata mendorong dilangsungkannya perundingan kedua dengan 
pihak Belanda. Pada bulan Januari 1948 dilakukanlah perundingan 
di atas kapal USS Renville. Pelaksana perundingan dari Indonesia 
adalah Perdana Menteri kala itu, yakni Amir Syarifuddin dari Partai 
 Komunis Indonesia (PKI ). Akibat perjanjian ini  TNI diharuskan 
meninggalkan kantong-kantong gerilya. Lagi-lagi tindakan ini  
memberi ruang keleluasaan pada pihak militer kolonial Belanda. 
Peristiwa meninggalkan kantong-kantong gerilya ini  dikenal 
dengan sebutan peristiwa hijrah ke keraton yogya . Lagi-lagi, entah karena 
kekokohan sikap atau karena ”kebandelan”, laskar kami menolak 
hasil Perjanjian Renville dan tidak mau menyerahkan negeri kami 
kepada pihak kolonial. Kami menolak untuk ikut hijrah. Kami terus 
melakukan perlawanan.
Akibat tidak mau ikut hijrah ke keraton yogya  kami dianggap 
sebagai pembangkang. Oleh karena itu kami pun kemudian digempur 
oleh pasukan Brigade yang dikirim pihak Pemerintah [RI] dari Jawa 
Tengah. Gempuran ini  terutama terjadi di Ciwaru, Jawa Barat. 
Akibat gempuran ini  beberapa pimpinan Divisi Bambu Runcing 
gugur. Yang gugur itu antara lain Sutan Akbar, Gatot, Suharya, Abu 
Bakar, dan Maulana. Sebagian besar pasukan kemudian melarikan diri. 
Kendati pasukan porak poranda, saya, Astra, dan lain-lain perlahan 
melakukan konsolidasi dalam rangka terus menjalankan kegiatan 
bergerilya. Selain menghadapi Belanda di medan pertempuran, pada 
tahun 1948 Divisi Bambu Runcing ini juga harus berhadapan dengan 
kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [ DI/TII].
Oleh pihak kolonial hasil perjanjian [ Renville] tetap saja dirasa 
tidak menguntungkan. Oleh karena itu, lagi-lagi pihak kolonial 
mengingkari hasil Perundingan Renville. Pada tanggal 18 Desember 
1948 pihak kolonial mulai melancarkan agresi militer lagi, agresi 
militer yang kedua. Tentu saja hal ini menyakitkan hati kalangan laskar 
rakyat yang sejak semula menginginkan tidak dilakukannya langkah 
diplomasi dengan pihak kolonial.
Bersamaan dengan itu, pada tahun 1948 pemerintah 
mengeluarkan kebijakan tentang reorganisasi pergerakan gerakan   dan rasionalisasi tentara 
[dikenal dengan program Re-Ra,-ed.]. Ini merupakan kebijakan di 
mana kekuatan militer Republik haruslah merupakan tentara yang
profesional. Pada saat gerilya dulu, satu senjata boleh dipegang oleh 
dua, tiga atau bahkan empat orang anggota laskar secara bergantian. 
Dengan adanya Re-Ra dituntutlah bahwa tentara harus profesional. 
Satu senjata untuk satu tentara. Berkat ketentuan Re-Ra pula sebagian 
anggota laskar, meskipun telah bertahun-tahun ikut bergerilya dan 
memanggul senjata, harus ”dikembalikan ke masyarakat”. 
Tentu saja tindakan ini dirasa sangat menyakitkan bagi laskar￾laskar rakyat yang selama bertahun-tahun telah ikut bergerilya demi 
mempertahankan kemerdekaan Republik. Namun demikian, mereka 
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dikumpulkan dan diantar untuk 
kembali ke masyarakat dengan diangkut truk. Mereka juga diberi uang 
saku, masing-masing sebesar 5 perak (rupiah). Saya sendiri tidak tahu 
pasti dari mana Pemerintah mendapatkan uang guna melaksanakan 
kebijakan Re-Ra ini .
Mereka yang tidak bisa menerima kebijakan Re-Ra lantas 
melakukan tindakan perlawanan dengan mendirikan Barisan Sakit 
Hati (BSH). Hal itu misalnya dilakukan oleh Letnan Kolonel Jamil dan 
pasukannya yang melakukan perlawanan di daerah Tomo, Cirebon. 
Sebenarnya saya dan beberapa kawan lainnya juga merasa sakit hati, 
tetapi kami tidak melakukan tindakan seperti kelompok Jamil.
Keadaan Begitu Mengecewakan
Kenyataan pahit ternyata juga dihadapi oleh anggota laskar yang 
diterima menjadi anggota TNI. Kendati mereka diterima menjadi 
anggota TNI, kepangkatan mereka harus turun. Hal ini disebabkan 
karena mereka tidak memiliki basis pendidikan formal militer. 
Sementara mereka yang berasal dari KNIL64 secara otomatis mengalami 
kenaikan satu pangkat, karena mereka memiliki basis pendidikan 
militer formal. Padahal KNIL ini adalah pasukan milik pemerintah 
kolonial Belanda yang dulu ikut menembaki pasukan dari laskar 
rakyat.
saat  perlawanan rakyat terhadap Agresi Militer yang dilakukan 
oleh pihak kolonial sedang dilakukan, lagi-lagi Pemerintah RI 
meng-“interupsi”-nya dengan melakukan langkah diplomasi. Kali 
ini diplomasi itu dilakukan di Den Haag, Belanda, dalam bentuk 
Konferensi Meja Bundar [ KMB] yang dilakukan pada tanggal 2 
November 1949. Dalam kesepakaatan yang dihasilkan oleh KMB 
pihak Indonesia tetap dalam posisi yang lemah. Republik Indonesia 
Serikat [ RIS] harus menanggung utang pemerintahan Hindia Belanda, 
yang sebenarnya merupakan biaya yang dipakai  oleh pemerintahan 
kolonial Belanda dalam menguasai Indonesia. Tindakan pemerintah 
kali ini telah menegaskan perang mempertahankan kemerdekaan 
yang dilakukan oleh kekuatan massa rakyat tani di berbagai pedesaan 
di Indonesia, dan yang telah menguasai sentra-sentra perusahaan 
perkebunan yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda. Dengan adanya 
 KMB berarti penguasaan atas sentra-sentra perusahan perkebunan 
ini  harus diserahkan kembali ke pihak Belanda.65
Ketidaksetujuan atas hasil KMB juga masih diekspresikan dalam 
bentuk perlawanan, misalnya seperti yang ditunjukkan oleh kelompok 
 Chaerul Saleh, Syamsuddin Chan, Leimena dan lain-lain. Namun 
mereka harus menghadapi gempuran dari Angkatan Perang Republik 
Indonesia Serikat [APRIS], gabungan tentara Indonesia dengan 
tentara Belanda. Hal ini menempatkan kami dalam posisi yang sulit. 
Chaerul, saya, dan kawan-kawan lainnya sudah tidak bisa lagi berbuat 
banyak, karena Republik Indonesia Serikat [ RIS] itu presidennya 
tetap Sukarno. Kalau kami melawan Sukarno dapat dipastikan bahwa 
kami akan habis dimaki-maki oleh rakyat. Sukarno telah betul-betul 
mengakar di hati rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami sebagai kelompok 
perlawanan yang berangkat dari semangat kaum muda, yang 
menginginkan kedaulatan negara Republik Indonesia secara penuh, 
mulai harus memilih bentuk kehidupan baru. Sebagian melanjutkan 
sekolah yang sebelumnya telah terhenti akibat perang, sebagian lagi 
ingin pulang kampung menjadi petani, dan seterusnya. Chaerul 
sendiri dikirim oleh Bung Karno untuk sekolah ke luar negeri.
Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai 
anggota TNI. Saya meletakkan jabatan sebagai Komandan Brigade. 
Apalagi brigade kami yang diterima menjadi TNI cuma satu batalyon. 
Satu batalyon itu terdiri dari empat kompi. Mengenai posisi dan 
tanggung jawab saya, saya menyerahkannya pada wakil saya yang 
bernama Jaya. Berat memang. Tapi keadaan begitu mengecewakan. 
Saya merasa kesal. Berbagai macam perasaan menghantui saya. Di 
tengah itu semua, saya berpikir, ya sudahlah saya berhenti saja.
Sebagai “Sintesa”-nya
Berkat legitimasi KMB kekuatan modal asing menemukan jalannya 
kembali ke Indonesia. Tentu saja hal ini mengecewakan saya. 
Kekecewaan saya makin menumpuk. 
Berangkat dari rasa kecewa ini  saya dengan beberapa kawan 
pergi ke Jakarta menemui Mohamad Yamin. Kebetulan Mohamad 
Yamin adalah salah seorang yang menjadi delegasi Indonesia pada 
 KMB. Kali ini, kami datang ke rumah Yamin bukan dalam rangka 
“berbeda pendapat” seperti sebelumnya, meskipun waktu itu Yamin 
berada pada posisi pemerintah, sedangkan kami para eks laskar 
rakyat merupakan kelompok oposisi. Kali ini, kami ingin datang 
untuk mendiskusikan kondisi politik terakhir dan bagaimana arah ke 
depannya. Kebetulan juga di rumah Yamin tinggal kawan kami, Johar 
Nur, yang waktu itu sedang sakit.
Saya lihat, Yamin punya artikel singkat  banyak sekali di rumahnya. Kalau 
ditumpuk mungkin satu setengah meter tingginya. artikel singkat -artikel singkat  itu 
disimpan dalam peti besar-besar. Rupa-rupanya selama menjadi dele￾gasi di Belanda, Yamin menyempatkan diri untuk membeli banyak 
artikel singkat . Yamin berkata, “Kalau mau itu artikel singkat , buka, dan baca saja sama 
kamu”. Kami semua ngangguk [mengangguk].
Kebanyakan artikel singkat -artikel singkat  yang dibawa oleh Yamin itu berisi 
tentang masalah-masalah petani. Misalnya artikel singkat  Peasant War, serta 
artikel singkat -artikel singkat  tentang perang tani di Jerman, tentang perang tani di 
Afrika Selatan, dan tentang masalah petani di Tiongkok. Pada masa 
gerilya, artikel singkat -artikel singkat  seperti itu sebenarnya sudah sempat kami baca, 
namun baru sekilas. Lagi pula artikel singkat -artikel singkat  ini  kemudian tidak 
jelas rimbanya karena perang. Baru sesudah  ketemu Yamin, apa yang 
dulu kami baca secara sekilas bisa kami baca secara beneran.
66
sesudah  melakukan diskusi panjang dengan Yamin atas situasi 
sosial-politik yang sedang berlangsung berikut prospek ke depannya, 
kami mulai membaca artikel singkat -artikel singkat  ini . Kemudian kami melakukan 
rundingan-rundingan dengan Sidik Kertapati. Pertanyaannya,”Apa 
yang mau kita kerjakan sekarang? Kita kan sudah tersisih. Sepertinya 
tidak ada lagi tempat untuk kita di Republik ini.” Kendati begitu, 
semangat kami akan pengabdian kepada bangsa tidak pernah luntur. 
Semangat inilah yang mendorong kami untuk mencari strategi baru. 
Saya lalu katakan,”Nah tani itu penting. Mayoritas penduduk Indonesia 
itu kan bertani. Nah, bagaimana kita mau melihat hal ini?” Sidik lalu 
berkata,”Bagaimana kalau kita bikin organisasi pergerakan gerakan   tani?” Langsung aja
saya jawab,”Hayo! ” Lalu kami pun mendirikan organisasi pergerakan gerakan   tani.67
Menurut saya bicara pergerakan gerakan  berarti bicara perjuangan. 
Sementara itu, bicara tentang perjuangan berarti bicara tentang 
kedaulatan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dalam kasus 
Indonesia, menurut saya, titik temu dari semua itu adalah masalah￾masalah petani. Di negeri ini petani paling banyak jumlahnya. Waktu 
itu mencapai 80%. Artinya, kalau masalah petani dapat dipecahkan 
dengan baik akan terpecahkan pula persoalan seluruh bangsa 
Indonesia.
Akhirnya, melalui beberapa kali diskusi dicapailah sebuah 
kesepakatan, yaitu membentuk satu organisasi pergerakan gerakan   tani yang bernama 
Serikat Kaum Tani Indonesia, disingkat SAKTI. Ini merupakan 
pikiran awal untuk menjawab kebutuhan mendirikan organisasi pergerakan gerakan   tani. 
Kami sadar, selama kami berjuang melawan tentara Belanda petanilah 
yang memberi makan tentara kita. Teori sebab-akibat dipakai di sini. 
Petani merupakan kelompok mayoritas. Ini “tesa”-nya. Akan tetapi 
realitas nasibnya tidak baik. Ini “anti-tesa”-nya. Sebagai “sintesa”-nya, 
dibentuklah organisasi pergerakan gerakan   tani.
Dialektika
Dulu pada masa gerilya dalam rangka perang kolonial, kelompok 
masyarakat yang paling rentan menjadi korban adalah petani. Begitu 
juga dengan wilayah garap petani yang berupa lahan pertanian, baik 
itu sawah maupun ladang. Pada saat berlangsung perang kemerdekaan, 
sawah-ladang berubah menjadi medan pertempuran. Lebih dari itu 
petani juga yang menjadi sasaran antara dari perang ini . Tanpa 
disadari, nyawa menjadi taruhan. Tapi jangan remehkan. Ini merupakan 
kesadaran dari kaum tani Indonesia. Kaum tani Indonesia saat itu 
telah menyadari bahwa upaya perubahan harus dilakukan. Mereka itu 
mendukung pelawanan terhadap kolonialisme. Dukungan kaum tani 
Indonesia saat itu diwujudkan dengan memberi bekal makanan berupa 
nasi bungkus beserta air minumnya guna menyambung perlawanan.
Berangkat dari berbagai bacaan—atas buah tangan dari Mohamad 
Yamin itu tadi—serta bertolak dari berbagai pengalaman di lapangan, 
berikut keputusan beberapa kali rapat, SAKTI mulai menyusun 
anggaran dasar dan rencana-rencana kerja organisasi pergerakan gerakan  . Program kita 
berbeda dengan organisasi pergerakan gerakan   masyarakat [ormas] taninya PKI , yaitu 
Barisan Tani Indonesia [ BTI] dan Rukun Tani Indonesia [RTI]. Mereka 
jelas berorientasi ke PKI . Mereka mempunyai program yang waktu itu 
adalah nasionalisasi tanah. Ini berbeda dengan kami. Kami waktu itu 
punya tanah untuk kaum tani. Kami belajar dari Tiongkok, Afrika 
Selatan, dan lain-lain. Petani tidak boleh dipisahkan dari tanah. Kami 
punya program tanah untuk petani. Berbagai teman seperjuangan 
yang sudah pulang kampung disambangi. Selain konsolidasi ulang, 
mereka juga mulai memperbesar organisasi pergerakan gerakan   tani.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, para penggagas organisasi pergerakan gerakan   mulai 
menghadapi permasalahan yang bersifat teknis. Misalnya, perlunya 
tempat berkumpul untuk merumuskan pikiran, alat-alat, mesin ketik, 
dan lain-lain. Mengingat banyaknya keterbatasan kami, kami berpikir 
untuk mendatangi seorang senior yang bernama Tabrani Notosudirjo. 
Tabrani itu orang Partai Murba. Bagi saya, Tabrani adalah salah 
satu tokoh pergerakan gerakan  yang mau mengerti cita-cita kelompok laskar 
ini. Kebetulan saat itu Tabrani sedang menjabat Wakil Walikota di 
Jakarta. Sebagai seorang wakil walikota tentu saja rumahnya gede dan 
fasilitasnya lengkap. Kami pun nebeng [numpang] berkantor di sana. 
Guna melancarkan proses pendirian dan pemantapan organisasi pergerakan gerakan  , 
disusunlah pimpinan pengurus SAKTI. Dalam rangka memberi 
penghormatan, Tabrani Notosudirjo diangkat menjadi Ketua Umum. 
Sidik Kertapati sebagai Wakil Ketua dan saya sebagai Sekretaris 
Umum.68 Pengurus Pusat lainnya adalah Burhan, Sasongko,69 Salam, 
dan Zainal Simbangan.70
Dengan menggunakan fasilitas yang diperoleh dari Tabrani itu 
pengurus inti SAKTI mulai membangun organisasi pergerakan gerakan   hingga di tingkat 
daerah. Tentu saja, pembangunan organisasi pergerakan gerakan   di daerah tidak bisa 
dilakukan dengan cepat, mengingat keterbatasan-keterbatasan yang 
dimiliki organisasi pergerakan gerakan  . Cara yang ditempuh adalah mendatangi dan 
mengajak kawan-kawan seperjuangan saat gerilya melawan tentara 
kolonial Belanda. Kami mendiskusikan berbagai permasalahan dan 
kebutuhan-kebutuhan yang ada di daerah untuk kemudian mencari 
solusi-solusinya. Kemampuan yang kami miliki “dikawinkan” dengan 
apa yang dikehendaki masyarakat.
Yang harus dicatat adalah bahwa yang namanya masyarakat itu 
tidak ada yang berdiri sendiri. Semua saling bertautan, entah itu 
berlawanan atau berhubungan satu sama lain. Semuanya terjadi pada 
waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, bila ada persoalan, kita harus 
melihatnya dengan kembali pada pangkal persoalan itu. Artinya, untuk 
melihat suatu persoalan, kita harus terlebih dahulu melihat bagaimana 
cara berpikir kita. Semua berangkat dari situ, entah kita suka atau 
tidak suka. Maksudnya berangkat dari bagaimana kita ini berpikir. 
Apakah dalam berpikir kita ini memakai aturan atau tidak. Kalau kita 
menuruti setiap pikiran kita, maka tidak akan ada batasnya. Oleh 
karena itu, yang namanya pikiran itu harus ada aturan-aturannya. Kita 
perlu sadar akan pentingnya aturan atas pikiran-pikiran kita, apalagi 
pikiran-pikiran penting yang menyangkut orang banyak.
Untuk itu, pertama-tama kita harus berpikir untuk menggunakan 
pola sebab-akibat. Karena suatu sebab maka ada akibat. Tetapi pada 
gilirannya akibat ini akan menjadi sebab juga, demikian seterusnya. 
Kedua, kita perlu menggunakan logika. Apa yang kita sebut rasional 
itu merupakan hasil penggunaan logika. Logika berarti berpikir benar 
dan lurus. Kalau kita tidak pakai logika akan mustahil bagi kita untuk 
sampai pada titik yang rasional. Ketiga, kita perlu menggunakan 
aturan berpikir yang sering disebut sebagai dialektika. Artinya, kita 
perlu berpikir dengan bertolak dari pembacaan kita atas proses dan 
dinamika, dan bagaimana semua itu didialogkan. Kalau kita tidak 
memakai cara berpikir yang demikian, maka dalam berpikir kita bisa 
ke mana-mana. Di sini terletak bedanya antara seseorang yang kaya 
dengan pengalaman empirik [pengalaman langsung] dengan mereka 
yang hanya sekadar mempelajari ilmu pengetahuan.71
Berangkat dari Petani
Melalui berbagai kegiatan, kami mencoba mengurusi kaum tani 
Indonesia. Dalam situasi tertentu bisa jadi bahwa secara sosial￾ekonomi para pengurusnya yang naik ke atas, sementara petaninya 
tetap di bawah. Mencegah kemungkinan demikian yang kita harapkan 
saat itu adalah bahwa gerakan gerakan -gerakan gerakan  itu datangnya dari kaum tani 
sendiri dan dikerjakan bersama-sama dengan petani. Ini konsep dasar 
kami dalam membangun SAKTI.
Ada beberapa daerah yang kemudian menjadi sasaran untuk 
pengembangan organisasi pergerakan gerakan   SAKTI. Saya sendiri lebih banyak 
mensosialisasikan keberadaan SAKTI di wilayah Priangan. Ini 
merupakan daerah yang sangat saya kenal. Saat gerilya perang kolonial 
dulu, saya lebih banyak bergerak gerak  di daerah ini. Sebagian kawan ada 
yang ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Utara. 
Pengembangan organisasi pergerakan gerakan   saat itu dilakukan dengan proses kesadaran 
yang tinggi. Uniknya tidak ada pembicaraan khusus mengenai 
pendanaan bagi mereka yang harus pergi ke daerah-daerah. Tapi 
anehnya semuanya bisa jalan. Malah Tom Anwar dan Sakti Alamsyah 
bisa naik KPM, kapal Belanda, ke Medan. Ternyata kapal itu melancong 
dulu ke Singapura baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta. 
sesudah  mendiskusikan berbagai permasalahan petani dari 
berbagai daerah di Indonesia, ditambah dengan hasil dari bacaan apa 
yang dilakukan petani di beberapa negara itu tadi, akhirnya ditariklah 
satu kesimpulan bahwa petani tidak bisa dipisahkan dari tanah.72
Seseorang tidak bisa dikatakan sebagai petani kalau ia tidak menggarap 
sebidang tanah. Sementara itu, sejak era feodal, tanah petani Indonesia 
sudah terkonsentrasi pada segelintir orang, yakni kaum bangsawan. 
Ditambah lagi, pada era kolonial melalui agrarische wet dan agrarian 
besluit tahun 1870 yang menjadi sumber formal domeinverklaring, 
negara mempunyai hak mutlak untuk menjadikan tanah di negeri 
jajahan sebagai objek berbagai transaksi negara dengan para pemodal 
yang membutuhkan tanah untuk investasi agrobisnisnya, entah itu 
dengan alasan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, entah untuk 
kepentingan kas negara
Oleh karena itu, program SAKTI dari awal adalah tanah untuk 
kaum tani. Ada banyak orang yang memiliki hak istimewa dari sistem 
kolonial, yaitu hak erfpacht atas nama perusahan perkebunan milik 
 Belanda. Tanah-tanah ini  sudah ditinggalkan pemiliknya dan 
terlantar sejak era fasisme [ Jepang], dan rusak akibat perang. Oleh 
karena itu diperlukan upaya agar tanah-tanah itu dikonversi sehingga 
menjadi tanah milik dan digarap oleh kaum tani Indonesia. Terlebih 
lagi, harus diingat bahwa Indonesia sudah merdeka, sehingga warga 
negaranya berhak untuk memiliki dan mengelola tanahnya sendiri. 
Dulu melalui berbagai macam rekayasa atas nama peraturan-peraturan 
yang ada, banyak tanah-tanah rakyat dirampas oleh pemerintah 
kolonial.74 Sekarang tidak bisa lagi.
Inilah yang membedakan program SAKTI dengan organisasi pergerakan gerakan   
tani lainnya seperti BTI itu tadi, yang memang dari awal merupakan 
organisasi pergerakan gerakan   yang berafi liasi ke PKI . SAKTI berbeda juga dengan RTI 
yang juga memiliki orientasi ke PKI . Saat itu program politik dari 
kedua organisasi pergerakan gerakan   ini  lebih mengarah pada nasionalisasi tanah. 
Arah dari tindakan nasionalisasi adalah memberikan hak kepemilikan 
tanah ke tangan organisasi pergerakan gerakan   atau negara, dengan sistem pengolahan 
tanah yang terpusat. Tentu saja ini berbeda dengan penataan struktur 
agraria yang berangkat dari petani itu sendiri.
Tidak Bisa Dibetulkan
Perlahan namun pasti, SAKTI mulai berkembang hingga ke Sumatera 
Utara, Lampung, dan sebagian Sulawesi. Pelaksanaan program tanah 
untuk kaum tani semakin gencar dilakukan hingga meletusnya 
peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara tahun 1953. Peristiwa 
itu sendiri sangat kompleks. Penyelesaian terhadap lahan Perkebunan 
Senembah tidak kunjung usai oleh Pemerintah Indonesia. Pihak 
serikat-serikat tani yang ada mendorong untuk segera dilakukannya 
penyelesaian. Ini adalah konfl ik perebutan penguasaan sumber agraria 
akibat dari sistem kolonial. Akibatnya korban berjatuhan, baik dari 
pihak petani maupun dari pihak aparat kepolisian. Awalnya petani 
yang mati itu diklaim sebagai anggota BTI, namun belakangan 
diakui oleh PKI bahwa petani itu adalah anggota SAKTI, namanya 
Soedarmo. Sebagai Sekretaris Umum SAKTI saya mendapat mandat 
dari organisasi pergerakan gerakan   untuk menyelesaikan persoalan ini .75
Program “tanah untuk penggarap” mendorong SAKTI semakin 
berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Kemudian pada tahun 
1953, SAKTI mengadakan suatu konferensi nasional petani. Dalam 
konferensi ini  Tabrani sebagai Ketua Umum disodori satu 
pertanyaan yang kira-kira bunyinya begini,“organisasi pergerakan gerakan   kita sudah 
berkembang. Sekarang sudah mulai ada aksi-aksi kegiatan dari kaum 
tani sendiri. Nah bagaimana dengan Bapak sekarang? Apakah Bapak 
mau tetap menjadi ketua? Kalau iya, konsekuensinya sebaiknya Bapak 
tidak lagi jadi Wakil Walikota. Sebaiknya Bapak tidak merangkap 
jabatan. Kalau Bapak tetap menjabat jadi Wakil Walikota, jabatan 
ketua harus diserahkan kepada yang lain.” 
Sodoran pertanyaan ini  dijawab oleh Tabrani dengan 
mengatakan bahwa ia tetap memilih menjadi Wakil Walikota Jakarta 
 Raya. Ia juga merasa sudah tua, sehingga perlu ada regenerasi dalam 
 SAKTI. Akhirnya diangkatlah Sidik Kertapati menjadi Ketua Umum 
 SAKTI. Akibat tindakan ini  Soekarni meledek bahwa kelompok 
ini merupakan kelompok yang memang tidak bisa dibetulkan dari 
dulu. 
Sementara itu, eksistensi organisasi pergerakan gerakan   rakyat semakin mendapat tempat 
dalam proses bernegara di Indonesia. Pada Pemilihan Umum [ Pemilu] 
tahun 1955 saya bersama Armoenanto, Astra, dan beberapa orang lagi 
sebagai orang-orang non-partai dicalonkan sebagai wakil rakyat, karena 
memang waktu itu SAKTI belum berafi liasi ke PKI seperti BTI. Tapi 
tak lama kemudian PKI mengakomodasi kami untuk menjadi calon 
non-partai sebagai bagian dari PKI . Kami pun maju dalam Pemilu itu. 
Karena ternyata terpilih kami lantas menjadi wakil rakyat dari PKI .
Berangkat dari sini aktivitas politik saya di wilayah kenegaraan 
terus berkembang. Saya merasa semakin memiliki peran di 
pemerintahan, sehingga akhirnya saya menjadi salah satu anggota 
MUPENAS. Di saat pelantikan menjadi anggota MUPENAS, 
mereka yang selama itu tidak pernah beres hubungannya dengan 
saya, ramai-ramai menyalami saya seraya berkata,“Sudahlah akhiri 
saja ekstrimis-ekstrimisan. Sekarang waktunya untuk membangun.” 
Selain itu saya menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat 
Sementara [ MPRS]. Saya diajukan oleh Chaerul Saleh. Pada saat 
pelantikan MUPENAS, Sukarno memberi ucapan selamat kepada 
para perserta, termasuk saya. Dia tidak bilang apa-apa pada saya, wong
dia Presiden. Saya juga hanya bilang “ya”. Subandrio juga memberi 
ucapan selamat.” “Selamat, Mas Samsul”, katanya. “Terima kasih,” 
jawab saya. Selanjutnya Leimena juga memberi ucapan,“Selamat Mas 
Samsul.” Saya jawab,“Terima kasih.” Terakhir datang Chaerul Saleh. 
Dia tidak memberi ucapan selamat, melainkan mengatakan,“Terima 
kasih ya atas bergabungnya.” Tentu saja ucapan akrab dari seorang 
sahabat itu saya balas dengan ungkapan persahabatan pula,“Taik lu!” 
Ucapan itu tentu membuat kaget mereka yang dengar, sampai-sampai 
Presiden Sukarno menengok.
Saat itu serikat tani makin berkembang. Apalagi Pemilu 1955 telah 
melahirkan wakil-wakil dari kaum tani. Sebenarnya telah terdapat 
upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan tani nasional, namun 
proses menuju ke arah sana selalu mengalami kegagalan. Memang 
tidak mudah menyatukan organisasi pergerakan gerakan   tani yang besar, yang sama-sama 
memiliki basis pendukung yang kuat.
Bagi BTI sendiri, sesudah  melakukan fusi dengan RTI tahun 1953, 
organisasi pergerakan gerakan   ini  makin gencar melakukan pendekatan terhadap pihak 
pimpinan eksekutif SAKTI. BTI ingin supaya SAKTI mau melakukan 
fusi dengannya. Namun penolakan dari kebanyakan anggota SAKTI 
membuat fusi itu tidak segera terwujud. Alasan utamanya adalah 
perbedaan dalam memandang bagaimana penguasaan hak atas tanah 
dan pemanfaatannya nantinya mau dilaksanakan.
Rupa-rupanya, pihak BTI tidak putus asa guna terus mendorong 
terjadinya proses fusi antar kekuatan kaum tani nasional. Ada yang 
mengatakan bahwa BTI terus melakukan infi ltrasi kepada kekuatan 
 SAKTI. Serangkaian pembicaraan antara pengurus BTI dengan Sidik 
Kertapati sebagai Ketua Umum SAKTI terus dilaksanakan. Pada 
akhirnya Sidik Kertapati sebagai Ketua Umum SAKTI mulai goyah 
atas ajakan dari BTI guna melakukan fusi ini . Ditambah lagi 
dengan adanya pidato politik Ketua PKI Aidit tentang masa depan 
kaum tani Indonesia. Dalam pidato ini  Aidit mengatakan bahwa 
tanah itu adalah untuk kaum tani. Begitulah, jadi sama gagasannya. 
Hal itu kemudian menjadi titik awal untuk dilakukannya fusi. Secara 
program antara BTI dan SAKTI sudah sama, tidak ada lagi perbedaan. 
Mulailah Sidik Kertapati, sebagai Ketua Umum, mensosialisasikan 
gagasan fusi. Kemudian ia mengajak pengurus inti SAKTI yang lain 
guna membicarakan hal ini  secara lebih serius.
Para pengurus inti SAKTI pun berkumpul. Bertindak sebagai 
tuan rumah adalah Sidik Kertapati, Burhan, Sasongko, dan saya 
sendiri. Kami berempat mendiskusikan tawaran fusi dari BTI. Burhan 
menolak gagasan fusi. Barangkali Burhan tidak bisa melupakan 
masa-masa gerilya selama perang gerilya, di mana Amir Syarifuddin 
[sebagai orang PKI ] menandatangani Perjanjian Renville. Bagi 
Burhan tindakan PKI saat itu menyakitkannya. Itulah sebabnya, dia 
tidak lagi mau ikut SAKTI karena mau berfusi dengan BTI. Jadi 
keluarlah Burhan dari lingkaran kaum tani. Hal serupa juga terjadi 
dengan Sasongko. Ia melakukan penolakan. Namun demikian, cara 
yang ia tempuh lebih halus ketimbang caranya Burhan. “Sudahlah 
aku mau jadi guru kembali,” katanya. Sasongko adalah guru melukis 
di Taman Dewasa, keraton yogya  . Sebenarnya saya juga menolak tawaran 
fusi itu, tetapi karena adanya desakan dari Sidik Kertapati akhirnya 
saya menyetujuinya. Adapun nama yang dipilih sesudah  fusi tetaplah 
nama “ BTI”.
Kendati sudah dilakukan fusi, hal itu tidak berarti tidak ada 
dinamika internal pascafusi. Terdapat banyak perbedaan pendapat 
dan pandangan politik secara internal. Namun demikian, hal itu 
justru menjadikan organisasi pergerakan gerakan   kaum tani semakin besar. Akan tetapi 
adanya cita-cita membebaskan kaum tani dari warisan feodal dan 
sistem kolonial sebagai sasaran utama menjadikan dinamika internal 
bisa mengarah pada cita-cita bersama. 
Pascafusi posisi saya tidak lebih dari seorang staf penerangan dari 
organisasi pergerakan gerakan  . Padahal semasa di SAKTI saya adalah Sekretaris Umum. 
Sekarang saya merasa hanya sekadar menjalankan tugas teknis seperti 
mengetik surat atau menyiapkan kebutuhan administrasi dari Ketua 
 BTI saat itu, yaitu Sardjono. Ini harus saya terima sebagai bagian 
dari konsekuensi logis proses fusi dan membantu pilihan karib sejak 
masa gerilya, Sidik Kertapati. Pernah suatu saat  saya mengeluh 
ke Sidik atas kejadian ini , namun Sidik hanya menjawab,“Ya 
sementaralah. Tunggu konggres.”
Baru pada kongres BTI tahun 1962, saya dipilih menjadi 
Sekretaris Umum BTI. Saya tidak lagi semata-mata menjadi tukang 
ketik, he...he..he... Ketua Umumnya adalah Asmu Jati Wirosubroto.
Menimbulkan Korban
Mengenai soal agraria ini banyak kejadian yang mengundang 
tanda tanya bagi saya. Menurut saya, kita tidak bisa mengorbankan 
kepentingan kaum tani dan kaum buruh atas nama persatuan nasional. 
Seharusnya persoalan kaum tani dan kaum buruh justru merupakan 
persoalan yang harus ditangani secara bersama sebagai bangsa. Tetapi 
kenyataannya tidak begitu. Misalnya, saat  di Subang, Jawa Barat, 
Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia [SARBUPRI] dan BTI 
mengambil-alih suatu perusahaan perkebunan, Chaerul Saleh justru 
memerintahkan kepada pemerintah daerah melalui radiogram untuk 
melakukan penangkapan terhadap para petani yang menurutnya 
anarkis. Karena peristiwa ini , beberapa anggota BTI bahkan 
ditangkap oleh polisi setempat.
Sebagai salah satu pimpinan BTI, saya bersama beberapa pengurus 
harian BTI mendatangi Chaerul Saleh yang saat itu menjabat sebagai 
Wakil Perdana Menteri [ Waperdam]. ”Kamu itu apa-apaan? Kamu 
pakai perintah untuk menangkap petani-petani,” sergah saya. ”Yang 
benar aja, gak ada gua kirim itu,” jawab Chaerul Saleh. sesudah  melalui 
perdebatan panjang, akhirnya Chaerul Saleh mencabut radiogram 
ini , dan memerintahkan untuk membebaskan para petani.
Kendati para petani telah bebas, saya tetap datang lagi untuk 
menghadap Chaerul Saleh. ”Ada apa lagi Sul?” tanya Chaerul Saleh. 
Kamu harus ganti itu kerugian petani yang telah ditangkap. Berapa 
lama mereka ditahan? Anak dan bini mereka makan apa itu, kalau 
gak ngutang kesana-kemari?” saya berargumen. ”Ah, kamu ini ada-ada 
aja. Di Republik ini apa bisa ada kejadian seperti ini?” jawab Chaerul 
Saleh. Tidak mau kalah saya langsung memotong,”Kamu ‘kan Waper￾dam. Makanya harus bisa, dan sekaranglah saatnya.” Sebagai kawan 
seperjuangan Chaerul Saleh hanya bisa mengumpat,“Sialan lu.” 
Kendati begitu Chaerul mengeluarkan sejumlah uang untuk ganti 
rugi petani yang sempat ditahan itu. Saya kira ini peristiwa langka 
dalam sejarah Indonesia, he...he...77
Selain itu, terdapat pula peristiwa yang terjadi di desa Jengkol, 
Kediri, Jawa Timur. Peristiwa itu berawal dari adanya konferensi tani 
di Puncak, Jawa Barat, yang merumuskan akan diadakannya “aksi 
sepihak”. Aksi sepihak itu bukan tindakan anarkis. Aksi sepihak itu 
dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria 
[ UUPA] dan Undang-Undang Bagi Hasil [ UUBH] tahun 1960. 
Undang-undang itu sudah lama disahkan, tetapi sepertinya birokrasi 
pemerintah enggan melaksanakannya. Birokrat kita saat itu masih 
merupakan kelanjutan dari kalangan feodal. Mereka lebih memilih 
bersekongkol dengan para tuan tanah daripada membela kepentingan 
petani. Melihat keengganan ini , kami pun melakukan aksi sepihak 
dalam rangka mendesak agar UUPA dan UUBH segera dilaksanakan 
secepatnya.
Sementara itu, Presiden Sukarno sendiri mentoleransi aksi 
ini  dengan membentuk Pengadilan Landreform. Mereka yang 
terlibat dalam pengadilan ini  berasal dari berbagai kader ormas 
tani yang ada. Ada yang berasal dari BTI, PETANI [organisasi pergerakan gerakan   kaum 
tani di bawah PNI], dan lain-lain. Mereka direkrut untuk menjadi 
anggota Majelis Hakim Pengadilan Landreform. Hal ini dilakukan 
guna memenuhi pelaksanaan Undang-undang Landreform. Kebetulan 
saya dulu ikut dalam kepanitiaan dalam penyusunan rencana Undang￾undang Landreform.
Akibatnya, gerakan gerakan  aksi sepihak semakin meluas. Hampir di 
setiap desa yang merupakan basis PKI dijalankan gerakan gerakan  ini . 
Kalangan tuan tanah ”ramai” sekali menanggapi gerakan gerakan  ini . 
Terjadi bentrok di beberapa daerah, antara yang mendukung gerakan gerakan  
aksi sepihak dengan kalangan tuan tanah. Bentrok yang paling ”ramai” 
terjadi di desa Jengkol, Kediri. Kejadian ini  sampai menimbulkan 
korban dari kalangan aparat kepolisian.
Menjadi Buronan
Peristiwa pagi buta yang berlangsung pada tanggal 1 Oktober 1965 
memang mencengangkan banyak orang. Secara pribadi, kejadian 
ini  saya ketahui manakala sedang berada di Bandung. Saat itu 
saya sedang menjenguk mertua saya yang sedang sakit.
Saya mendengar terjadinya Peristiwa 1 Oktober itu melalui 
Radio Republik Indonesia [ RRI]. Saya juga mendengar pengumuman 
tentang adanya Dewan Revolusi. Satu persatu nama yang disebutin
[disebutkan] di berita radio itu saya dengarkan dengan cermat. Ada 
yang saya kenal, ada yang tidak. Semuanya terasa membingungkan 
bagi saya. Misalnya Hardojo yang baru saja berhenti sebagai Ketua 
Umum Central gerakan gerakan  Mahasiswa Indonesia [ CGMI], namanya 
masuk menjadi salah satu anggota Dewan Revolusi.78 Namun 
demikian, nama saya tidak disebut. Padahal secara hirarki, kekuasaan 
saya memiliki posisi politik yang lebih strategis. Saya ini Sekretaris 
Umum BTI, anggota MPRS yang sekaligus sebagai anggota Badan 
Pimpinan MPRS, dan juga anggota MUPENAS. Tapi kok nama 
saya tidak masuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi? Tentu saja 
ini kalau yang namanya Dewan Revolusi itu memang benar adanya. 
Begitu juga dengan banyak elite politik yang seharusnya masuk, tapi 
ternyata tidak. Begitu juga dengan Amir Machmud juga masuk sebagai 
anggota Dewan Revolusi, dan seterusnya. Setidaknya ada proses 
politik yang saya rasakan tidak nyambung dengan proses sebelumnya. 
Hal itu potensial melahirkan kekacauan politik yang luar biasa. Jadi 
nggak ngerti saya.79
Kekacauan politik yang luar biasa ini  mendorong rasa 
ingin tahu saya untuk segera kembali ke Jakarta. Guna mencari tahu, 
saya langsung menuju ke kantor MPRS. Namun di sana saya tidak 
menemukan siapa-siapa. Kantor MPRS juga tiba-tiba kosong, sepi, 
bahkan mencekam. Padahal saya sangat berharap sesegera mungkin 
mendapat kejelasan atas peristiwa yang sedang terjadi itu. Tidak satu 
pun elite PKI yang bisa saya temui. Tiba-tiba saja saya kehilangan 
kontak dengan para elite PKI seperti Aidit, Njoto, Lukman, dan 
lain-lain. Saya merasa kehilangan dengan semua kalangan. Suasana 
menjadi kacau-balau dan membingungkan. Saking bingungnya, 
sampai-sampai saya lupa memarkir jeep pemberian dari Chaerul Saleh 
yang biasa saya kendarai.
Jadi kalau ada berita pembunuhan orang-orang komunis atau 
sarjana-sarjana kiri, wah saya nggak tahu itu. Pokoknya sesudah  
tahun 1965, sesudah  peristiwa gerakan gerakan  Satu Oktober [ Gestok] itu 
terputuslah semua hubungan. Putus komunikasi saya dengan kawan￾kawan di MPRS. Putus pula komunikasi dengan orang-orang partai. 
Suasana memang dibuat sedemikian rupa, antara lain dengan fi tnah 
Soeharto. Sementara itu mahasiswa digiring sama tentara. Dalam 
situasi demikian, ya, pasti kita tidak punya pilihan lain kecuali 
menyelamatkan diri masing-masing.
Soal isu Dewan Jenderal, memang ada. Isu politik ini bukan 
rahasia lagi. Hampir semua orang dengar tentang isu Dewan Jenderal 
ini. Apa dikira kita tidak tahu? Menurut informasi, Dewan Jenderal 
itu mungkin muncul dari rasa tidak puas sama Bung Karno. Namun 
mereka tidak memiliki solusi yang jelas untuk menjawah ketidakpuasan 
ini . Ketidakjelasan ini menambah kerumitan dalam Peristiwa 
1965.
Jadi gimana ya? Kita semua jadi terseret tanpa tahu persoalannya 
secara jelas. Apa persoalan sesungguhnya kita tidak tahu. Mengapa 
kok tiba-tiba begini? Kita sendiri tidak mengetahui latar belakangnya. 
Nah, kalau saya ditanya soal ini tentu saya merasa kesulitan. Jangankan 
saya, orang partai sendiri pun tidak tahu. Mereka bahkan terserak￾serak entah ke mana. Tak diketahui ke mana Aidit, ke mana Njoto, ke 
mana Lukman.
Pada saat seperti itu, mereka justru berpencar-pencar entah ke 
mana. Anehnya, tidak ada apa-apa di bawah. Dari sini saja sebenarnya 
sudah bisa dikatakan bahwa ada yang terlibat, tetapi ada juga yang 
tidak terlibat; ada yang setuju, tapi ada juga yang nggak setuju—atau 
bagaimana, ya saya sendiri tidak tahu merumuskannya. Tapi inilah 
kenyataan yang harus saya kabarkan. Kenyataan menunjukkan bahwa 
kita [orang-orang dari partai komunis itu] tidak monolit ya? Tidak 
ada kesatuan sikap tentang peristiwa itu sendiri. Aneh ya? Padahal PKI 
itu katanya sentralistik. Kenyataannya lain.
Tiba-tiba saja juga muncul tokoh baru yang bernama Letnan 
Kolonel Untung. Siapa itu Untung? Saya sendiri baru dengar nama 
Si Untung itu. Waktu saya sering berkunjung ke Istana Presiden, saat
saya menjadi anggota MPRS, saya nggak pernah dengar itu namanya 
 Untung. Padahal saya banyak kenal sama ajudan-ajudan Presiden 
 Sukarno, seperti Si Guritno, Jatmiko, dan lain-lain.
Di tengah permainan politik yang kacau balau ini , tiba-tiba 
PKI dan onderbouw-nya menjadi tertuduh sebagai dalang dari proses 
politik yang ada. Otomatis sebagai salah satu petingginya, saya juga 
jadi tertuduh. sesudah  kehilangan semua kontak di Jakarta, sambil 
bersembunyi, saya balik ke Bandung. Saya lalu menjadi buronan. 
Lagi-lagi saya menjadi buronan di negeri sendiri ya ha..ha... Selama 
di Bandung saya cuma muter-muter tinggal di rumah kawan satu ke 
rumah kawan yang lain. Sampai akhirnya saya ketangkep [ditangkap]. 
Saya lupa persisnya, tapi waktu itu kira-kira akhir Desember 1965—
atau malah sudah Januari 1966.
Manusia Memiliki Hati Manusia
Ada cerita yang menarik pada waktu awal-awal jadi buronan. Saya 
bertemu dengan Rustamadji. Rupanya dia juga menjadi buronan. 
Pada awalnya dia kan anggota Partai Komunis Belanda. Tapi dia 
mengingkari garis partainya. Waktu Parlemen Belanda menyetujui 
tindakan polisionil [Agresi Militer 1947 dan 1948] semua faksi setuju. 
Tapi dia nggak setuju [kalau Belanda melakukan serbuan militer 
itu]. Konsekuensinya, dia harus meletakkan jabatan sebagai anggota 
Parlemen Belanda. Dia pun pulang ke Indonesia. Sampai di Indonesia, 
dia malah dicurigai. Ia ditangkap, tapi lalu dibebaskan. Kemudian 
sesudah  peristiwa Gestok, dia buronan lagi. Saat ketemu saya tanya 
dia, ”Rustam, mestinya kau kan di Belanda? Bukan repot begini?” Dia 
malah menjawab dengan enteng,”Ah Gestapo tentaranya Hitler aja
tidak berhasil menangkap aku, apalagi intel-intel Melayu bodoh ini.” 
Nyatanya memang ia tidak tertangkap.
Sebenarnya yang berat bagi saya itu adalah keluarga. saat  
mendengar peristiwa itu dan saat  saya menjadi buronan, mertua 
perempuan lesbian  saya meninggal dunia. Dia kena serangan jantung. Saya 
ini menantu yang paling disayangi, begitulah kira-kira. saat  itu saya 
sempat datang ke rumah, terus dia meninggal. saat  saya ditahan, 
istri saya bekerja di Kantor Berita Uni Soviet di Jakarta. Saya menikah 
dengan istri saya tahun 1958, sesudah  berpacaran selama 7 tahun, gara￾gara tidak disetujui orang tuanya. Habis mereka menganggap hidup 
saya ini nggak jelas.
Selama menjadi buronan sebenarnya saya menunggu dipanggil, 
paling tidak sebagai saksi. Tapi saat berlangsungnya pengadilan￾pengadilan, saya dianggap tidak ada hubungannya. Oleh karena itu, 
saya tidak dipanggil. Pada saat Asmu Jati Wirosubroto dipanggil 
sebagai Ketua Umum BTI, kemudian Sidik Kertapati sebagai Wakil 
Ketua Umum, saya tidak dipanggil. Padahal saya adalah Sekretaris 
Umum. Secara organisatoris kan seharusnya saya dipanggil. Akan 
tetapi, kok tidak ada pemanggilan untuk diri saya. 
Kalau melihat berbagai publikasi yang ada, saya baca memang 
kelihatannya Aidit memiliki agenda sendiri. Tampaknya dia mem￾punyai support lain sendiri di dalam PKI . Dia sangat dekat dengan 
Sjam Kamaruzaman. Saya tidak pernah tahu apa itu urusannya. Pernah 
suatu kali sesudah  rapat di Jl Kramat Raya Jakarta [Kantor CC PKI ], 
saya diajak Bung Ketua [ Aidit] ke Bandung. Saat melintas di Puncak 
Pass, Jawa Barat, mobil berhenti dan kami makan. sesudah  kelar
[selesai], Aidit langsung berdiri dan ngajak berangkat ke Bandung. 
Lantas saya tanya soal urusan pembayaran. Aidit langsung menunjuk 
dengan ibu jari ke belakang dengan mengatakan bahwa ada “Si Boss”. 
Saya hanya terdiam. Eh... belakangan baru tahu kalau “Si Boss” itu 
adalah Sjam Kamaruzaman. Selain itu disebut belakangan, bahwa ada 
yang namanya “Biro Khusus”. Saya tahu soal Biro Khusus dari baca 
koran. Di koran itu saya juga melihat wajah orang saat di Puncak Pass 
yang bayari kami makan itu.
Pada saat ketangkap, saya langsung dibawa ke Komdak 
[Komando Daerah Kepolisian] untuk menjalani interogasi. Saya 
dimintai keterangan atas berbagai aktivitas politik yang saya lakukan. 
Tentu saja proses interogasi ini luar biasalah. Saya dibentak, dihardik, 
dimaki, dan sebagainya. Habis pokoknya. Polisi itu datang ke saya 
atas petunjuk dari seorang kader PKI . ”Merdu” sekali kan rasanya? 
Ha-ha.....
Saat itu Ketua PKI Jawa Barat datang menemui saya di suatu 
tempat. Dia datang bersama soerang kader lain. Kemudian dia memberi 
warning kepada saya, bahwa si anu ketangkap, si itu ketangkap. Saya 
agak curiga dan khawatir kalau ada yang ”nyanyi” dan melaporkan 
tempat pertemuan ini ke pihak polisi. Benar aja. Tiba-tiba polisi 
masuk. Saya langsung ditangkap. Tangan saya langsung diborgol, 
sementara kader ini  berdiri di pintu sambil menyaksikan 
semuanya berlangsung. Terus deh saya dibawa ke Komdak. Nah, di 
Komdak itulah, kader PKI yang sama ikut polisi menginterogasi, 
memaki-maki. Bahkan lebih kejam! Tidak sedikit lho kader PKI yang 
melakukan seperti itu. Ini karena mereka tidak kuat dengan teror dan 
kekerasan yang mereka terima. Tindakan mementingkan diri sendiri 
dan mencari aman ini banyak sekali terjadi pada saat itu. Hal itu dapat 
dilakukan oleh siapa pun, termasuk oleh seorang kader partai yang 
tidak tahan dengan teror dan kekerasan yang sedang menimpanya.
Saat di Komdak, penahanannya dilakukan dengan cara berpindah￾pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari ruang isolasi yang 
satu ke ruang isolasi yang lain. Ada satu kejadian yang barangkali saya 
anggap aneh. Pada saat saya mau dipindahkan dari penanganan oleh 
polisi ke tentara, ada seorang polisi bernama Beni. Dia itu anggota 
tim pemeriksa yang menahan saya. Dia bilang, ”Hai you boleh keluar 
sana. Sebentar lagi kita kan mau pisahan. Sekarang kita makan-makan 
bersama dululah.” Segera dia minta izin ke kepala polisinya, yang saat 
itu dijabat oleh Bondan Guntowaru. Kepala Polisi itu mengizinkan. 
Kami pun pergi ke restoran yang pemiliknya saya kenal.
Sembari makan bersama mereka ngomong,”Maafkanlah kami. 
Kami ini hanya menjalankan tugas.” Pernyataan ini  langsung 
saya balas, ”Kamu tidak usah minta maaf sekarang. Karena saat ini 
apa yang kamu omongkan ini adalah pembangkangan. Kita sama￾sama pembangkang. Saya sangat percaya kamu ini adalah manusia, 
dan manusia itu memiliki hati manusia.” Maka nangislah mereka itu. 
Selanjutnya saya tanya lagi,”Nanti sesudah  menangkap saya, kamu akan 
naik pangkat?” Mereka menjawab,”Iya.” Mereka bilang ada yang naik 
dua tingkat, ada pula yang tiga tingkat dari sebelumnya. ”Baguslah 
kalau gitu,” kata saya. “Saya tidak dendam pada kalian, karena kalian 
menjalankan tugas. Saya tahu kok kalau kamu itu terpaksa sekali 
melakukan semuanya ini. Terpaksa, walaupun senang juga karena bisa 
sedikit-sedikit gebukin orang.” Kami lantas ketawa bersama.
Setiap selesai diperiksa saya selalu digotong. Tentu saja, karena 
kan tidak kuat menghadapi siksaan. Kalau perkara disiksa rasanya 
tidak ada akhirnya. Saya selalu bertanya dalam hati, kapan gua [saya] 
mati? Jadi ya buat saya, itu sudah lewat. Kita tidak berharap hidup 
untuk bisa hidup di hari yang lain. Inilah penderitaan
sesudah  dari Komdak, saya kemudian dipindah ke tahanan Kebon 
Waru. Ada satu kejadian yang mengharukan dalam hidup saya di situ. 
Saat di penjara Kebon Waru keluarga masih bisa menjenguk, termasuk 
Bapak Mertua saya. Kali ini Bapak Mertua saya datang bersama istri 
saya. Bapak Mertua saya memberi support yang tinggi pada saya. 
Bahkan Bapak Mertua sempat berpesan kepada istri saya untuk tetap 
setia menunggu. “Kamu tunggu suamimu sampai keluar,” katanya. 
Padahal dulu pada masa pacaran yang mencapai 7 sampai 8 tahun, 
kami sangat susah mendapatkan restu dari dia.
sesudah  ”puas” di Kebon Waru, saya dibawa ke Nusa Kambangan. 
Selanjutnya saya dibawa ke tempat pembuangan Pulau Buru. Saya 
berada dalam tahanan Orde Baru kira-kira hampir 15 tahun. Tahu 
sendirilah kehidupan di Pulau Buru. Informasi yang masuk tentu 
saja berita-berita yang sesuai dengan kepentingan pemerintah Orde 
Baru. Kendati begitu mendengarkan berita ini  hanya untuk 
mengetahui apa yang sedang dilaksanakan pemerintah Orde Baru kala 
itu, termasuk kalau ada tamu datang dari luar. Tentu saja para tahanan 
sudah dipersiapkan cara menyambut tamu dengan baik, cara omong
dengan tamu, dan “tata krama” lainnya.
Beranjak ke Rekonsiliasi
Buat saya sekarang ini, itu semua sudah lewat. Ini bukan problem 
pribadi saya. Ini problem kita sebagai bangsa. Sekarang kita tidak 
hidup untuk hari yang lain. Apa yang jelek kemarin kita tinggalkan 
aja. Karena yang terpenting bagi saya adalah kebenaran yang harus 
diangkat. Tapi ini semua konsep saya lho ya?
 Kebenaran yang saya bayangkan adalah kebenaran yang 
objektif. Kita harus mampu membaca kenyataan seperti kenyataan 
itu sendiri. Jangan ditambah-tambah dengan cerita lain. Jangan 
dikurang-kurangi. Pokoknya jangan diapa-apakan lagi. Biarlah seperti 
kenyataan itu sendiri. Dan itulah “kebenaran”. Memang kebenaran itu 
banyak versinya. Masing-masing kepala orang berbeda. Banyak fi lsuf 
yang telah merumuskan masalah kebenaran ini. Tapi menurut saya, 
kebenaran itu adalah peristiwa yang tidak perlu dikurangi, ditambah, 
dan lain-lain.
Dari kebenaran yang objektif itu baru bisa kita merumuskan 
apa itu keadilan. Nah apa itu yang dimaksud dengan keadilan? Adil 
terhadap korban, adil terhadap pelaku. Keadilan seperti saya katakan, 
semua itu milik orang. Sama seperti yang telah saya katakan tentang 
kebenaran. Kepada pelaku, kita juga harus adil. Kalau salahnya10 kilo 
jangan diadili lebih dari itu. Tindakan itu harus dihindari. Dari kedua 
hal itulah baru kita bisa beranjak ke rekonsiliasi.
NARASI penuh informasi menarik di bawah ini adalah narasi yang 
disampaikan oleh seorang mantan Tahanan Politik di Pulau Buru, 
Maluku, dengan nama samaran Al Capone. Nama samaran ini 
merupakan hasil pilihannya sendiri, karena semasa di Pulau Buru, 
teman-temannya—entah mengapa—memang suka memanggil dia “ Al 
Capone”. Narasinya sudah kita singgung sedikit di awal artikel singkat  ini.
Ia berasal dari keluarga penjaga-pasar yang sangat sederhana di 
keraton yogya  . Sebagaimana kita bicarakan di depan, usianya baru 19 
(sembilan belas) tahun saat  pada tanggal 12 Desember 1965, ia 
ditangkap dengan tuduhan yang tidak jelas. sesudah  mengalami penahanan 
di dua tempat yang berbeda di Yogya, ia kemudian dipindahkan ke penjara 
Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah, untuk selanjutnya dibuang ke 
 Pulau Buru, jauh di bagian timur Indonesia. Di Pulau Buru, ia dan 
teman-temannya mengalami banyak tekanan dan siksaan. Sebagian 
temannya bahkan tewas dibunuh oleh para petugas di depan matanya. 
Karena tuduhan melakukan “gerilya politik” ia dimasukkan ke dalam 
suatu kamp khusus (Kampsus) bersama banyak tahanan lain.
Merupakan hal yang luar biasa bahwa Al Capone tetap ingat akan 
banyak hal tentang Pulau Buru hingga ke detil-detilnya. Bahkan sampai 
nama masing-masing dari 123 Tapol penghuni Kampsus Jiko Kecil, 
lengkap dengan asal-usul, alias, profesi sebelum ditangkap, serta beberapa 
catatan rinci tentang mereka. Dengan jelas pula ia mengingat dan 
menggambarkan bagaimana hari-hari terakhir sebelum pembebasannya 
dari Pulau Buru, berikut upacara pembebasan itu sendiri di Semarang. 
Semua itu ia ingat dan dengan jernih, ia gambarkan kembali lebih dari 
40 (empat puluh) tahun sesudah  peristiwanya terjadi.
Menarik untuk mencatat bahwa meskipun telah menjadi korban 
ketidakadilan, Al Capone tidak sedikit pun memiliki rasa dendam. Ia 
lebih suka mengingat hal-hal yang menyenangkan tentang periode gelap 
itu. Tentang saat-saat menjelang perjalanan pembebasannya dari Pulau 
 Buru ke Pulau Jawa, ia tulis misalnya, “Diriku sangat gembira saat  
mendengar peluit kapal berbunyi nyaring, pertanda perjalanan panjang 
akan segera dimulai.” Di lain pihak ia merasa gundah sebab belum tahu 
bagaimana kalau nanti ia kembali ke realitas masyarakat padahal ia 
akan menyandang cap sebagai mantan Tahanan Politik. Toh, ia tidak 
putus asa. Imannya telah membuat dia kuat dan tetap optimis,“Kini 
saatnya semua itu mencair kembali. Kini saatnya untuk berkumpul lagi. 
Kiranya semua ini hanya kehendak-Nya. Amien...”
Aslinya naskah ini ditulis tangan dalam beberapa tahap, berdasarkan 
permohonan dan penjelasan dari peneliti. Semuanya ditulis murni 
berdasarkan ingatan. Demi menghormati dan tidak menyinggung pihak￾pihak yang dibicarakan dalam narasi ini, dengan sengaja sejumlah nama 
disamarkan. 
***
OLEH orangtuaku aku diberi nama “S”. Aku adalah salah satu anak 
dari sembilan bersaudara. Bapakku seorang penjaga pasar Beringharjo, 
keraton yogya  , yang sudah bekerja di sana sejak zaman Belanda dulu. 
Di lingkungan masyarakat, Bapak sering dipanggil dengan sebutan 
Tondho Pasar”. Sedangkan Iartikel singkat  hanya bekerja sebagai ibu rumah 
tangga. Namun demikian, semenjak Bapak meninggal dunia pada 
tahun 1961, Iartikel singkat  bekerja sebagai buruh di pasar, karena ia harus 
menanggung tiga orang anak yang masih tinggal bersamanya, termasuk 
diriku.
Rumahku ada di pinggiran bantaran Sungai Code. Tepatnya di 
Kampung Ledhok Ratmakan, di wilayah Kecamatan Gondomanan, 
keraton yogya  . Dulu kampung itu disebut dengan “Mantri Pamong 
Projo”. Pada waktu meletusnya Peristiwa G30S/1965 umurku baru 
19 (sembilan belas) tahun. 
Awal Perjalanan Panjang
Aku ditangkap atau “diciduk” pada tanggal 21 Desember 1965 di 
rumahku oleh aparat beserta massa. Lalu diriku dibawa atau digiring ke 
Keamanan Militer Kota [KMK] atau sekarang disebut “ KODIM” yang 
terletak di Jalan P. Mangkubumi, sebelah utara pintu Stasiun Kereta 
Api Tugu, keraton yogya  . Di sini aku diinterogasi oleh aparat setempat. 
Dalam proses ini  pukulan demi pukulan pun bersarang di wajah 
dan di sekujur tubuhku. Untuk selanjutnya, aku beserta teman￾teman yang lain sekitar kurang lebih 25 orang jumlahnya dikirim ke 
Benteng Vredeburg keraton yogya  , dulu markas Batalyon 438. Di dalam 
rombongan yang berjumlah lebih kurang 25 orang itu terdapat dua 
orang wanita, yakni:
1. Mbak Suhartinah dari Prawirodirjan, yang sekarang 
menjadi mertua dari Bpk. Agus Gudadi81 dari Kecamatan 
Gondomanan,keraton yogya . 
2. Mbak Walbi Rahayu dari Kadipaten Wetan Kecamatan Kraton, 
keraton yogya . 
Yang menjadi DanKam (Komandan Kamp) dari “Kamp Benteng” 
waktu itu adalah Mayor Infantri Durdjani. Di situ diberlakukan 
aturan-aturan layaknya aturan-aturan militer. Sebagai contoh, istilah 
Ketua Kelompok diganti dengan istilah DanTon alias Komandan 
Peleton.
Pada saat itu, Kamp Benteng dihuni para tahanan korban Tragedi 
’65 berjumlah 41 peleton tahanan laki-laki. Sedang setiap peleton￾nya terdiri dari 40 orang. Tahanan laki-laki di tempatkan di sebelah 
barat tahanan wanita. Pembatasnya hanya berupa pagar kawat berduri 
dengan dilapisi gedheg [dinding dari anyaman bambu, ed.]. Kami para 
tahanan hanya diberi makan satu kali sehari. Itu pun hasil kiriman para 
penjaga penjara Wirogunan dan wujudnya grontol [rebusan jagung 
lepas, ed.] dengan porsi yang amat minim—bila dihitung jumlahnya 
lebih kurang hanya 80 butir jagung.
Pada tanggal 25 Desember 1965 kami diberitahu bahwa kami akan 
di-screening oleh Resimen Para-Komando Angkatan Darat [ RPKAD] 
yang saat itu berada di bawah pimpinan Letkol Sarwo Edhi Wibowo. 
Akan tetapi dalam kenyataannya yang kami terima bukan screening
melainkan penyiksaan yang kejam serta keji dan tak manusiawi.
Dalam waktu yang singkat selama di Benteng [Kamp Benteng 
 Vredeburg] berat badan kami para korban Tragedi ’65 banyak yang 
merosot sekali. Bahkan banyak di antara kami yang terjangkit penyakit 
Hongerodim alias “HO” yakni penyakit busung lapar. Semua itu terjadi 
karena adanya pelarangan dari DanKam, yakni bahwa para tahanan 
tidak boleh di-bezoek [dikunjungi] atau dikirim makanan oleh keluarga 
korban. Pada bulan Februari 1966 terjadi pemanggilan untuk pertama 
kalinya di Benteng. Tetapi anehnya pemanggilan ini  dilakukan 
pada waktu malam hari. Dan yang sangat mengejutkan bagi kami 
adalah mereka yang terpanggil diberi sebuah tanda semacam peneng
[semacam tanda pengenal, ed.] yang dikenakan di leher masing-masing. 
Menurut fi rasat kami, mereka yang diberi tanda itu akan dibantai, tapi 
entah di mana. Untunglah, kiranya Tuhan masih melindungi diriku 
sehingga pada saat itu aku tak dipanggil.
Pada pertengahan bulan April 1966 aku dipindahkan ke Lembaga 
Pemasyarakatan [LP] Wirogunan, masih di keraton yogya . Di sini 
DanKam-nya adalah Serma Sudarman, orang dari Prawirodirdjan, 
Gondomanan. Sebagai Direktur LP Wirogunan adalah Romli. Tugas 
pengawasan para sipir penjara dibantu oleh para napi [narapidana]. 
Selama berada di LP Wirogunan ini sedikit demi sedikit aku bisa 
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Pada saat yang sama 
keakraban antar teman pun mulai terjalin erat, baik itu dengan teman 
dari luar kota maupun dari dalam kota Yogya. Bahkan dengan teman￾teman dari luar daerah pun telah terbangun baik dan persahabatan 
bertumbuh mekar. Di penjara itu diberlakukan apa yang disebut 
“hukuman kolektif” yang berarti “jika salah satu tahanan berbuat 
kesalahan, semua tahanan akan dikenakan hukuman”. Hal itu 
mendorong kami para korban saling menjaga sebab kami merasa 
senasib, sependeritaan, dan seperjuangan. Kami para Tahanan Politik 
( Tapol) hanya mengenal “Tiga B” atau “3B” yaitu “Buang, Bui, dan 
Bunuh”. Ada sebagian kecil dari kami para korban yang dipekerjakan 
di Wirogunan ini, semisal di Los Sepatu, Los Kulit, dan Los Tukang 
Cukur dan lain-lainnya. Mereka yang dipekerjakan itu mendapatkan 
jatah ransum atau makan dua kali sehari. Sedangkan kami yang lain 
hanyalah menganggur saja, cuma menunggu makan sekali untuk setiap 
harinya. Waktu itu ada ketentuan dari DanKam bahwa setiap keluarga 
 Tapol ’65 diharuskan menyetorkan beras sebanyak 10 kilogram atau 
kalau mau dapat menggantinya dengan uang sebesar Rp 25,- pada 
tahun 1967. Keluarga yang tak bisa setor baik beras maupun uang 
tidak diperbolehkan bezoek maupun mengirim makanan.
Jadi setiap bulannya keluarga para korban ini telah dibebani 
beras 10 kg atau uang Rp 25,- per bulan. Dalam hati kami bertanya￾tanya, adakah satu negara yang menahan para Tapol negara ini  
tanpa memberikan makan bagi yang ditahannya? Saya kira belum ada. 
Yang ada ya hanya di negara tercintaku ini, negara yang disebut-sebut 
sebagai Negara Pancasilais—sedemikian Pancasilaisnya sehingga para 
penguasanya pada waktu itu, yaitu para penguasa Orde Baru, begitu 
kejam.
 Menjelang bulan Agustus 1966, teman-temanku mempunyai 
inisiatif untuk menyongsong hari kemerdekaan RI yang ke-21 
dengan mengisi kegiatan berupa lomba baca puisi dan menyanyi. 
Selain itu, juga akan diadakan sebuah pertunjukkan drama serta 
ketoprak. Inisiatif ini  ternyata mendapat respon baik dari aparat 
setempat saat  kami melapor untuk minta izin. Dengan demikian, 
terlaksanalah kegiatan itu, dan hasilnya pun memuaskan. Bahkan 
para sipir pun berharap diadakannya malam hiburan serupa setiap 
bulannya. Banyak di antara sipir-sipir ini yang menyukai, menggemari 
kesenian ketoprak. Di antara kami para korban banyak yang dulunya 
merupakan pemain ketoprak “Kridomardi”. Mereka itu antara lain 
Bapak Sasmito, Bapak Siswadi, Bapak Tjokro Djadi, Bapak Sasto 
Siwi, Bapak Rachmad, dan masih banyak lagi. Tampaklah meski pelan 
namun pasti, kami mendapat kelonggaran-kelonggaran yang sangat 
berarti bagi kami. Dan meskipun setiap harinya kami hanya makan 
grontol dan sayur kobis, hati kami selalu merasa riang-gembira. Untuk 
menghibur kami, salah seorang dari kami yaitu Bapak Saptopriyo, 
bekas dosen ASMI yang mencoba menciptakan lagu-lagu. Salah satu 
di antaranya adalah lagu berikut ini.
Cadong 
Tempo: cha cha
Riang hatiku kawan
Dengar pluit berbunyi
Karena makan
Nasi jagung
Ayo kita keluar 
Kita antri teratur 
Jangan sampai
Kena pukul
Reff: Nasi Jagung kawanku
Sayur kubis, sayurnya
Kita ganyang kawanku
Sampai habis
Janganlah kau termenung
Jangan berhati murung
Karena makan
Nasi Jagung
Beliau ini berasal dari Brontokusuman di wilayah Kecamatan 
Mergangsan, keraton yogya , tepatnya di pertigaan jalan menuju Imogiri 
atau Jalan Sisingamangaraja. Berikut ini saya sebutkan lagu-lagu karya 
beliau.
1. Mawar Merah (jenis: langgam kroncong)
2. Lusi (jenis: langgam kroncong)
3. Susi (jenis: langgam kroncong) 
4. Romantika (jenis: langgam kroncong)
5. Di Kala Sinar Bulan Purnama (jenis: langgam kroncong)
6. Suratku (jenis: hiburan)
7. Cadong (jenis: cha-cha, seperti kusebut di atas)
8. Bertamasya (jenis: cha cha)
9. Cipayung (jenis: waltz)
10. Berat Jalan (jenis: hiburan)
Waktu itu Gedung Perpustakaan Jefferson atau Jefferson Library
yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, tepatnya di depan Pasar 
Kranggan, keraton yogya , dijadikan tempat pemeriksaan bagi kami para 
korban Tragedi ’65. Tempat itu sekaligus dijadikan sebagai markas para 
interogator yang terdiri dari unsur Kejaksaan, Kepolisian, serta aparat 
dari Kodim, dengan dibantu pihak Kecamatan serta Ormas (organisasi pergerakan gerakan   
masyarakat), dan Orpol (organisasi pergerakan gerakan   politik) setempat. Pada waktu itu, 
tahun 1965, setiap orang pasti merasa ketakutan. Mereka takut sekali 
apabila dirinya akan diciduk, ditangkap, atau dituduh sebagai orang￾orang PKI . Waktu itu nyawa seekor anjing lebih berharga dibanding 
nyawa seorang PKI . Tak mengherankan di masyarakat lalu tumbuh 
rasa curiga satu sama lain, di antara mereka sendiri. Dari sikap saling 
curiga ini lahirlah apa yang disebut dengan “fi tnah”. Di sana-sini 
terjadi fi tnah-memfi tnah. Akibatnya para korban Tragedi ’65 ini 
tidaklah mutlak terdiri dari orang-orang PKI saja. Ada yang menjadi 
korban hanya karena soal dendam pribadi atau rasa sentimen saja. Hal 
ini terbukti dari fakta bahwa di dalam Kamp ada juga orang-orang 
dari PNI dan lain-lainnya.
Dan memang seperti itulah yang diharapkan dari pemerintah 
 Orde Baru pimpinan Soeharto. Oleh pemerintah, sengaja masyarakat 
dibuat tidak tenang dan tidak tentram. Di mana-mana, baik di kota 
maupun di daerah, muncullah para “Petruk” alias “Tukang Tunjuk”. 
Menjadi “Orang Buangan”
Pada bulan Juli tahun 1969 di penjara Wirogunan telah terjadi 
pemindahan tahanan secara besar-besaran. Akan tetapi dari kami belum 
tahu persis ke mana kami akan ditempatkan atau dipindahkan.
Ternyata kami dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan, Cilacap, 
 Jawa Tengah. Untuk itu pupuslah harapanku untuk dapat bertemu 
orangtua beserta keluargaku. Kami diberangkatkan dari Wirogunan 
saat menjelang subuh, dengan diangkut bus. Kami sampai di 
pelabuhan “Wijaya Kusuma” Cilacap pukul 8.00 pagi WIB, langsung 
diturunkan di dermaga ini  dengan disuruh berjongkok dengan 
kedua tangan diletakkan di kuduk, di bawah todongan bedil para 
“Polsus”, yakni Polisi Khusus Nusa Kambangan. Dari pelabuhan ini 
kami lalu diangkut dengan kapal “Anjing”, yakni kapal pengangkut 
para tahanan yang akan dijebloskan ke Nusa Kambangan. Di Pulau 
 Nusa Kambangan ini ada pelabuhan, Pelabuhan “Sodong” namanya. 
Dari “Sodong” kami lalu dimasukkan ke dalam penjara. Aku 
ditempatkan di penjara “Gliger”. Di Pulau Nusa Kambangan ini ada 
penjara yang berjumlah 9 buah Lembaga Pemasyarakatan (LP) alias 
penjara. Masing-masing adalah:
1. LP Besi
2. LP Batu
3. LP Gliger
4. LP Permisan
5. LP Limus Buntu
6. LP Nirbaya
7. LP Karang Tengah
8. LP Karang Anyar
9. LP Kembang Kuning
Menurut info dari salah seorang eks-sipir penjara yang bernama 
N.K., teman para korban Tragedi ’65, panjang Pulau Nusa Kambangan 
ini hanya lebih kurang 27 km, lebar kurang lebih 7 km saja. Kegiatan 
kami di sini hanya menerima penyuluhan atau “Santiaji” di bidang 
kerohanian, pertanian, perkebunan, dan perikanan. Menurut penje￾lasan dari para petugas pemberi Santiaji, kami di Nusa Kambangan 
hanya bersifat sementara. Nantinya kami akan ditempatkan di suatu 
lahan, di mana lahan ini  akan diberikan sebagai milik sendiri, 
atau semacam transmigrasi. Namun demikian, para petugas ini  
tak mau menyatakan tentang lokasi lahan itu.
Dan ternyata ucapan petugas ini  menjadi kenyataan. Pada 
bulan Agustus tanggal 15 tahun 1969 telah dilaksanakan pengiriman 
 Tapol dalam Periode I, yang jumlahnya terdiri dari kurang-lebih 
2.000 orang dan diangkut dengan Kapal Motor ADRI XV.82 Namun 
demikian, kami semua tak mengetahui ke mana tujuan kapal ini , 
atau mau ditempatkan di mana teman-teman kami itu. Yang kami 
jadi tahu adalah bahwa penjara Nusa Kambangan tampaknya hanya 
merupakan sebuah tempat transit saja.
Selama berada dalam masa penantian ini salah seorang temanku 
yang bernama Suyanto alias “Thole” dari kampung Tukangan wilayah 
kecamatan Danurejan, keraton yogya , menciptakan sebuah lagu yang 
berjudul Kampung Laut Tanggo. Demikian bunyinya.
Kampung Laut Tanggo
Mari kawan ‘nuju Kampung Laut
Dulu jalan hutan bako-bako
Ayu dayung sampan ramai-ramai 
Lalu atas air liku-liku
Reff : Bambu-bambu rumah perkampungannya
 Terapung air indah nian nampaknya
 Prahu-prahu nelayan hidup tenang
 Gereh,udang,terasi hasil yang utama
Kampung laut, kampung nelayan 
Itu hanya-itu hanya kampung laut
Selain itu, dia juga menciptakan sebuah tarian yang berjudul 
“Tari Layang-layang”. Tarian serta lagu ciptaannya sangat populer 
di kalangan para korban. Acap kali dipertontonkan, dipertunjukkan 
dalam acara kesenian. Tetapi hingga kini saya tak tahu keberadaan 
teman ini . saat  kakaknya meninggal dunia pada tahun 2008 
teman ini  juga tak terlihat olehku. Sementara itu, aku berada 
di Nusa Kambangan kurang lebih 3 tahun. Selanjutnya, aku dikirim 
ke Pulau Buru sebagai bagian dari Periode atau Gelombang Kedua. 
Tanggal 26 september 1969, aku sampai di Pulau Buru, Ambon, 
Maluku.
Lahirnya “ BAPRERU”
 Pulau Buru merupakan tempat terakhir yang dipilihkan oleh rezim 
 Orde Baru untuk kami para korban Tragedi ‘65. Oleh Orde Baru, 
 Pulau Buru dijadikan sebagai “Tempat Pembuangan Akhir” atau 
TPA83 bagi para korban Tragedi ‘65. Mandat, kewenangan serta
pelaksanaannya oleh rejim Orde Baru diserahkan kepada Kejaksaan 
Agung RI yang Ketuanya pada waktu itu adalah Ali Said, S.H. 
Selanjutnya Kejaksaan RI berkoordinasi dengan Pangkopkamtib 
atau Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang 
saat itu dipegang oleh Jenderal Sudomo, serta dengan instansi yang 
terkait seperti Kementerian Transkop (Transmigrasi dan Koperasi) 
dan Kementerian Pertanian. Dengan demikian, maka pada tahun 
1969 terbentuklah suatu badan yang mereka sebut “ BAPRERU” atau 
Badan Pelaksana Resettlement dan Rehabilitasi Buru.
Petugas keamanan dan pengawalan diambil dari territorial Ko￾dam Pattimura dengan Batalyon 731, 732, dan 733. Pulau Buru 
dengan ibukota Namlea ini termasuk wilayah Maluku Utara. Pada 
tahun 1969 Komandan Tempat Pemanfaatan ( Tefaat) Pulau Buru 
dijabat oleh Mayor Corps Polisi Militer [CPM] Rusno. Ia menjabat 
dari tahun 1969 hingga tahun 1971.
sesudah  formasinya tertata dan Pulau Buru sudah dinyatakan 
siap untuk menampung para korban Tragedi ’65, secara berkala dan 
berangsur-angsur para Tapol-pun dikirim ke sana. Dengan begitu, 
genaplah sudah pulau Buru sebagai “TPA” bagi para korban Tragedi 
’65. Dengan begitu pula, nama Pulau Buru menjadi tersohor ke 
seluruh permukaan dunia.
Menginjak “Tanah Tak Terjanji”
Kami selalu dipindahkan dan dipindahkan bagai kotoran yang berbau 
busuk, menjijikkan. Kami ditendang lalu dibuang. Agar hati kami 
tak lagi tenang. Demikian kira-kira jalan pemikiran penguasa saat itu 
terhadap kami para korban Tragedi ’65. 
Pada pertengahan bulan September 1969 diriku betul-betul 
meninggalkan Pulau Nusa Kambangan, sebagai bagian dari pengiriman 
tahanan Gelombang Kedua. Jumlah yang termasuk dalam Gelombang 
Kedua ini kira-kira 2.500 orang. Pemberangkatannya dimulai pada 
pukul 16.00 WIB dengan naik kapal ADRI XV seperti saya sebut 
tadi. Untuk pengawalannya dipimpin oleh Kapten Yoes Padaga dari 
Kostrad84 RPKAD. Pada awalnya perjalanan baik-baik saja. Tetapi 
saat  memasuki hari yang ke-4, kami merasa adanya ketidakberesan 
daripada kapal ADRI XI ini. Tetapi kami semua tak dapat mengerti apa 
yang telah terjadi, disebabkan kami berada di dalam palka yang berada 
dalam keadaan terkunci. Satu-satunya yang kami ketahui hanyalah 
terdengarnya suara kegaduhan di atas dek saja. Tak lama kemudian 
barulah kami ketahui apa yang terjadi berkat adanya pemberitaan dari 
atas kapal ini . Berikut adalah lebih kurangnya bunyi pemberitaan 
ini .
Telah terjadi suatu kebakaran kecil pada ADRI XI, namun berkat 
kesigapan dari para petugas semuanya segara dapat diatasi. Untuk 
sesaat, di antara kami saling pandang, memandang apa yang baru 
saja terjadi. Menjelang sore ADRI XI lalu berlabuh di Pelabuhan 
Makassar untuk mengisi bahan bakar. Keesokan harinya barulah kami 
melanjutkan perjalanan. sesudah  memakan waktu 10 hari 10 malam, 
sampailah kami di tempat yang dituju. Namun demikian, kapal 
ADRI XI tidak dapat merapat di pelabuhan. Kemungkinan alasannya 
menyangkut masalah security. Kami pun lalu diangkut dengan kapal￾kapal kecil jenis kapal pendarat atau landing craft.
Sesampainya di daratan, baru kami ketahui bahwa kami berada di 
 Pulau Buru pada tanggal 26 September 1969. Pelabuhan itu bernama 
Namlea, Buru Utara, Maluku Utara, Ambon. Dari dermaga ini kami 
langsung dinaikkan ke truk dan menuju ke suatu lokasi bernama 
Transito Jiko Kecil.
Di transito ini kami diberitahu bahwa nantinya di tempat yang 
baru itu kami akan disuruh mengerjakan tanah yaitu bertani dan 
berkebun, sedang hasilnya nantinya untuk kami para warga. Untuk itu 
di sini kami diberi petunjuk-petunjuk soal pertanian dan perkebunan 
secara benar. Ternyata dalam tempo kurang lebih 3 minggu kami 
dikirim ke unit-unit, diangkut dengan kapal landing craft lagi. Waktu 
itu transportasi darat belum ada, sehingga kami menggunakan jalur 
air untuk sampai ke unit-unit. Sungai Wayapo adalah satu-satunya 
sungai sebagai alternatif kami. Selain dalam, sungai itu juga cukup 
lebar. sesudah  tiba di muara Sungai Wayapo, kami melihat satu 
perkampungan nelayan suku Bugis yang disebut perkampungan 
“Kaki Air” dan kami pun semakin masuk ke wilayah pedalaman. 
Perjalanan ini sungguh mengasyikkan sekali sebab Sungai Wayapo 
ini berkelok-kelok layaknya seekor naga yang sedang menggeliat. 
sesudah  menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam lamanya 
sampailah kami ke unit yang kami tuju.
Resmi Menjadi Warga Unit I
sesudah  tiba di unit, aku ditempatkan di barak, untuk setiap baraknya 
dihuni kurang lebih 100 orang. Unitku ini terdiri dari 10 barak, dan 
di setiap barak oleh Komandan Unit [DanUnit] telah ditunjuk dua 
orang sebagai Kepala Barak dan Wakilnya.
Selain itu, DanUnit pun telah menunjuk dua orang lainnya 
untuk memimpin Kepala-kepala Barak beserta Wakilnya. Jadi, kedua 
orang itu bertugas sebagai Koordinator dan Wakil Koordinator atau 
sebagai Pembantu Utama DanUnit. Pada hari pertama kami diberi 
waktu untuk beristirahat.
Keesokan harinya kami disuruh apel. Kami lalu diberi tugas 
sesuai kelompok atau barak masing-masing. Dalam apel ini  
DanUnit memberi instruksi pada kami semua. Isi instruksi ini  
antara lain:
1. Kenyang dan tidaknya perut saudara-saudara ada di tangan saudara￾saudara sendiri. Untuk itu, saudara-saudara dituntut untuk bekerja 
keras dan sungguh-sungguh sebab nasib saudara-saudara ada di 
tangan saudara-saudara sendiri. Sedangkan Pengurus Pusat tak 
mau bertanggung jawab lagi bila sampai gagal.
2. Akan tetapi, bila usaha saudara-saudara di sini belum berhasil atau 
menghasilkan, Pusat akan bertanggung jawab serta memberikan 
waktu untuk masa konsolidasi selama 9 bulan, dengan mengirim 
barang dan alat-alat pertanian, juga obat-obatan, pupuk, dan 
sebagainya.
3. Hasil-hasil panen adalah milik saudara semua. 
4. Saya selaku DANUNIT melarang saudara-saudara berhubungan 
dengan para penduduk asli maupun orang-orang Bugis dan lain￾lain.
Demikianlah kira-kira isi instruksi dari DanUnit yang selama ini 
masih kuingat. Selanjutnya kami semua bekerja menurut pembagian 
tugas masing-masing.
Di tahun-tahun pertama, kami di Unit kami masing-masing 
menanam padi gogo (di huma sekitar barak yang berjarak kurang￾lebih 500 meter dari Unit), serta menanam palawija dan sayur-sayuran. 
Sedang untuk menambah pangan, kami menumbuk sagu. 
Memasuki tahun kedua, kami sudah memiliki persawahan. Kami 
juga membuat jalan di luar Unit. Jalan itu penting misalnya untuk 
pergi ke ladang. Kami juga membuat bendungan dan perumahan￾perumahan. 
Menjelang 1971 DanUnit mengizinkan warga tidur di luar barak 
atau di luar unit. Tapi semula yang diizinkankan hanya para penekun 
ladang dan sawah (mereka boleh tidur di gubug). Itu pun dengan 
catatan, setiap pagi harus mengikuti apel di lapangan. Bagi kami yang 
tidur di dalam barak (Unit) setiap harinya harus menjalani apel pagi 
dan malam menjelang tidur. 
Kondisi Unit antara lain seperti berikut: Satu Unit terdiri 10 barak, 
dan setiap barak dihuni 60 orang (ini termasuk Unit kecil). Sedang 
Unit yang besar (seperti Unit I dan II) setiap baraknya dihuni kurang 
lebih 100 orang. Setiap unit dijaga petugas sebanyak satu peleton, 
ditambah satu regu PHB dan Zipur. Jumlah itu masih ditambah lagi 
dengan 10 orang petugas dari Kejaksaan.
Suatu saat  aku bertanya dalam hati, apakah semua ini sudah 
menjadi kehendak-Nya? Sebab sementara di Unit ini aku belum dapat 
beradaptasi dengan lingkungan, tiba-tiba aku dipindahkan ke Unit 
lain. DanUnit beralasan demi pemerataan warga unit atau penghuni 
unit. Aku bersama teman lain yang berjumlah 50 orang dipindahkan 
ke Unit III Wanayasa. Sebagai catatan, masa konsolidasi yang katanya 
akan berlangsung kurang lebih 9 bulan, kenyataannya dalam waktu 
empat bulan sudah dihentikan.
Nama Masing-masing Unit
Dalam kurun waktu 1969-1970 para Tahanan Politik penghuni Pulau 
 Buru tinggal di beberapa unit. Unit-unit itu antara lain:
 Unit I Wanapura, dengan DanUnit Lettu CPM Eddy Tuswara 
dari Jabar [Jawa Barat]. 
 Unit II Wanareja dengan DanUnit Lettu