ketakutan dan intimidasi dari pihak mana pun,
(l) kesetiaan: setia menjalankan tugas yang dipercayakan; setia kepada bangsa dan
negara, (m). kesetiakawanan: bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan
sesama; setia kepada kawan, tetangga dan warga , terutama ketika mereka
menderita; serta suka menolong orang yang menderita.
E. Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Umat Kristen di Bidang Politik
Umat Kristen, baik secara individu maupun secara kolektif merupakan bagian
integral dari warga negara kita . Karenanya, umat Kristen terpanggil pula
untuk mengembang tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya
serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik di
negara kita .
Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara
lain: mendorong terjadinya emansipasi politik warga yang setara maknanya
dengan pembebasan atau pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun
kesadaran warga terhadap esensi politik sebagai usaha bersama untuk
melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam penderitaan
yang dialami oleh warga .
Mendorong proses terwujudnya warga sipil (civil society) di negara kita .
warga sipil yaitu suatu kenyataan hidup warga yang menghargai hak-
hak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus mampu membangun
77
keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada dapat
digunakan bagi kepentingan banyak orang.
Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa negara kita
untuk menolak munculnya gagasan-gagasan federalisme, pemekaran
provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan primordialisme. Umat
Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya
terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Dengan berbuat seperti itu, umat
Kristen menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan
warga yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absolut dan
universal.
Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di
bidang politik. Politik Yesus memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk
membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian ini diberikan,
ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai
perempuan. Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada
kesetaraan dan menganggap rendah perempuan merupakan gambaran dari kritik
Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai, tetapi juga pada kekuasaan
(power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi. Pada
konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan
memberikan perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik
warga .
Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk
menghadirkan tanda-tanda syaloom Tuhan bagi manusia dan dunia sejagad. Tanda-
tanda syaloom Tuhan harus dinyatakan di tengah-tengah kehidupan warga
negara kita yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari
kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tanda-
tanda syaloom Tuhan , menyatakan kemuliaan Tuhan bagi warga luas.
Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa gagasan-gagasan tentang
terwujudnya tanda-tanda syaloom Tuhan bersifat eskatologis. Artinya, secara
otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia
memiliki pengharapan bahwa apa yang diperjuangkannya yaitu sesuatu yang
benar.
78
Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya
karena alasan bahwa politik itu kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan
kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus bahwa sikap netral
yaitu sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat
tertentu yaitu sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak yaitu tindakan
yang tidak bijaksana karena sikap semacam itu sama saja dengan memberikan
legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh dari syaloom Tuhan .
Konteks warga negara kita yang penuh dengan berbagai masalah, justru
memberikan peluang bagi Gereja untuk menyatakan keberpihakannya.
Keberpihakan Gereja yang diperuntukkan bagi kelompok warga yang
miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan benar, dan sebagainya, yaitu
wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan merasakan
penderitaan sesama (sense of belonging).
Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar
dapat terlibat secara aktif dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi
politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya, dalam pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota,
Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada
momen seperti ini tidak hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut
mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata terjadi penyelewengan-
penyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi.
Selain itu, Gereja perlu melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada
warga Gereja melakukan suatu kesalahan. Pelayanan pastoral dimaksud,
dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik selanjutnya.
Akhirnya, umat Kristen perlu memperjuangkan terwujudnya kestabilan
kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan dalam alinea
ke-3 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa
negara kita dan seluruh tumpah darah negara kita , dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
A. Pengertian Hukum
Pada dasarnya, hukum yaitu perlindungan kepentingan manusia yang
berbentuk kaidah atau norma. Setiap komunitas (kolektif dan individu)
membutuhkan hukum untuk melindungi harta milik atau kekayaan, nama baik,
golongan atau komunitas, kebebasan, dan sebagainya. Kepentingan ini sangat
beragam, baik jenis maupun kadarnya, sehingga jika tidak ada hukum yang
mengaturnya dapat menimbulkan pertentangan antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya. Pertentangan seperti ini berpotensi menimbulkan kerugian.
Bahkan, mengancam kehidupan manusia. Misalnya: pencurian, perusakan,
penculikan, perzinahan, pembunuhan, dan sebagainya.
Hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan manusia dan mengatur cara
manusia memenuhi kepentingannya itu. Dengan demikian, manusia dapat hidup
tentram. Komunitas yang tidak memiliki hukum dengan jelas, terancam menjadi
kacau, sebab setiap orang akan berbuat semaunya (bersikap anarkhis). Hukum
juga berperan untuk mengikat dan memaksa seseorang untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Orang yang melanggar hukum perlu diberikan sanksi atau
hukuman, agar didorong untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Hukum harus dibuat sesuai dengan kepentingan komunitasnya. Karenanya,
hukum harus melayani komunitasnya, bukan sebaliknya. Hukum sebagai
penguasa (Rule of Law) berarti setiap orang harus tunduk kepada hukum, tanpa
kecuali, dan dalam segala keadaan.
B. Pandangan Iman Kristen mengenai Hukum
Orang Kristen sependapat bahwa Tuhan yaitu pusat dan sumber dari segala
yang baik (Markus 10: 18). Tuhan yaitu hakim terakhir yang memutuskan apa
yang benar dan apa yang salah. Karena itu, salah satu tanggung jawab manusia
yaitu melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Pada pengambilan
keputusan tentang apa yang harus dilakukan, orang Kristen mencari kehendak
Tuhan, walaupun kita tidak selalu setuju tentang apa yang dikehendaki Tuhan
(Roma 12: 2). Kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum-Nya, perintah-Nya, dan
kaidah-Nya. Orang Kristen dimintakan untuk menaatinya melalui hidup yang
tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Umat Kristen harus menjalankan apa yang tertulis di dalam hukum Tuhan,
tidak dapat ditawar-tawar lagi karena ia bersifat konstan dan abadi. Orang Kristen
merupakan nabi Tuhan yang ditugaskan memberitahukan hukum Tuhan dan Injil
kepada segala makhluk. Selain itu, perlu menaati hukum yang berlaku dalam
negara. Apabila ternyata melanggarnya, harus bersedia menjalani sanksi.
Sehubungan dengan hukum Tuhan, perlu dikemukakan 3 (tiga) hal penting,
yakni: Pertama, manusia berdosa dan dibaharui. Manusia diciptakan segambar
dan serupa dengan Tuhan. Namun, citra yang baik ini telah hilang akibat
kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia tidak taat kepada Tuhan, tetapi juga
tidak taat kepada kehendaknya sendiri. Akibatnya, manusia melanggar,
mengabaikan dan menentang kehendak Tuhan. Hal ini membuat manusia
membutuhkan hukum untuk membatasi kebebasannya, sebab kehendaknya tidak
lagi sejajar dan searah dengan kehendak Tuhan. Namun, hal ini saja belumlah
cukup. Manusia membutuhkan juga Juru Selamat untuk membebaskannya dari
kuasa dosa, sekaligus dibaharui dan dipulihkan kembali.
Kedua, hukum Taurat sebagai pedoman dan pengajaran. Tuhan memberi
petunjuk kepada manusia tentang bagaimana melaksanakan kehendak-Nya dengan
memberikan hukum Taurat. Hukum Taurat berperan sebagai penolong yang
membimbing manusia, bukan sebagai pembatas yang mengurangi kebebasan
manusia. Karenanya, orang Kristen membutuhkan hukum, aturan, pedoman atau
kaidah dalam hidupnya. Hal ini bukan untuk membebaskan manusia dari dosa dan
kejahatan, melainkan sebagai pedoman yang membimbing melaksanakan
kehendak Tuhan.
Kristus datang untuk menggenapi hukum Taurat, bukan untuk
meniadakannya (Matius 5: 17). Karena itu, pada hakikatnya, hukum Taurat
bersifat tetap, tidak berubah, walaupun bentuk dan penjelmaannya di dalam
sejarah harus selalu disesuaikan dengan situasi dan keadaan. Hukum Taurat
yaitu Undang-Undang Dasar Kerajaan Tuhan yang kekal. Jadi, segala hukum apa
pun yang ada di muka bumi ini tidak boleh bertentangan dengannya. Bahkan,
berperan sebagai pengejewantahan dari kehendak Tuhan yang ada di dalamnya.
Ketiga, hukum Kasih. Yesus menyimpulkan bahwa hukum yang terutama
yaitu hukum Kasih: kasih kepada Tuhan dan sesama manusia (Matius 22: 37-
40). Kasih kepada Tuhan berarti mengasihi Tuhan secara total, dengan segenap
keberadaan kita. Hal seperti ini hanya dapat dilakukan, bila kita membangun
hubungan yang hidup dengan Tuhan. Hubungan yang berlangsung tidak hanya
sekedar formalitas saja. Kasih kepada Tuhan terungkap dalam ketaatan melakukan
perintah-perintah-Nya, dan hidup menurut segala yang ditunjukkan-Nya. Kasih
kepada Tuhan juga merupakan wujud nyata dan pencerminan dari kasih kepada
sesama.
C. Fungsi Profetis Umat Kristen Terhadap Hukum
Yesus mengajar kita untuk berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu”. Yesus,
melalui doa ini, mengajak kita bekerja dan mengusahakan agar Kerajaan Tuhan
semakin nyata di bumi ini. Hal ini secara hukum dimaksudkan bahwa manusia
turut bertanggung jawab untuk menciptakan produk hukum-hukum yang adil dan
benar di bumi negara kita , baik dalam proses pembentukannya, penetapan maupun
penerapannya.
Tuhan memanggil umat-Nya agar turut bekerja mengusahakan kesejahteraan
kota, dimana mereka ditempatkan Tuhan (Yeremia 29: 4-7). Salah satu caranya
yaitu berpartisipasi dalam mewujudkan hukum-hukum yang adil dan benar
sesuai kehendak Tuhan, jangan diam dan berhenti berinisiatif menyuarakan
Firman Tuhan, agar kejahatan dalam warga dapat diberantas. Orang percaya
yang berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan, yang kehilangan gairah
untuk memprakarsai terciptanya damai sejahtera di dunia pada zamannya,
melalaikan panggilannya.
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural
(=beragam) dan isme (= paham) yang berarti beragam pemahaman, atau
bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu.
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) yaitu istilah khusus dalam kajian
agama agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai
sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’,
‘saling menghormati’(mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham
(isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah
‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para
ilmuwan dalam studi agama agama (religious studies).
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang
teologis terhadap agama lain.
eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan
menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat.
inklusivisme, yang berpandangan meskipun Kristen merupakan agama
yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama
lain.
pluralisme, yang memandang semua agama yaitu jalan yang sama - sama
sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama,
tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya.
Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.
85
Pluralisme agama yaitu sebuah konsep yang mempunyai makna yang
luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan
dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang
bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan
demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-
tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-
sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih.
Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat
dalam agama-agama.
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni
upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan
pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat
untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun
denominasi yang berbeda-beda.
Tidak dapat dipungkiri ke-Kristenan bukan hanya satu-satunya agama di
dunia ini. Ke-Kristenan juga bukan merupakan agama tertua. Jauh sebelum ada
agama Kristen, Budha telah ada, Yahudi telah ada, bahkan Hindu dan Taoisme
juga telah ada. Meskipun demikian, agama Kristen telah disejajarkan bersama
dengan agama besar lainnya. Setiap agama yaitu UNIK dalam pandangan tiap
umatnya. Setiap agama yaitu SPESIAL dalam penghayatan tiap umatnya.
Karena itulah, isu agama merupakan isu yang rentan terhadap pergolakan sosial
maupun dalam kehidupan berbangsa. Menghina maupun merendahkan agama
yang berbeda merupakan suatu sikap yang rendah dan sekaligus kesombongan
yang berlebihan.
86
Agama yaitu sistem kepercayaan yang diwujudkan melalui tata ibadah dan
aturan perilaku yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama. Banyak definisi
tentang agama. Dalam agama, terkandung nilai-nilai transcendent dan immanent.
Nilai ini terwujud dalam penghayatan iman dan perbuatan dalam kehidupan
sehari-hari. Religi yaitu nama bentuk lain dari agama. Setiap religi memiliki
sistem tersendiri. Setiap religi mempunyai penghayatan iman tersendiri.
Penghayatan iman ini sangat penting dan merupakan dasar seseorang memilih
masuk ke dalam religi tersebut.
Ke-Kristenan yaitu sistem keagaamaan. Karena itu, sistem itu sama seperti
sistem keagamaan yang lain. Mulai dari metodologis standar yang digunakan
sampai kepada perumusan pernyataan teologis, hampir semua agama memakai
kerangka logika yang sama. Ke-Kristenan mengklaim kitab sucinya sebagai
standar tertinggi, demikian juga agama yang lain terhadap kitab sucinya.
Memaksakan bahwa agama lain HARUS menerima Alkitab sebagai standar
tertinggi yaitu sama seperti memaksakan Al Quran sebagai standar tertinggi bagi
orang Kristen. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan pernyataan
teologis yang berkaitan dengan realitas agama lain. Tentu saja kehati-hatian ini
tidak boleh sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua agama yaitu
sama. Secara esensi pembentukan semua agama yaitu sama, karena sama-sama
lahir dari adanya penghayatan iman kepada realitas YANG DI ATAS maupun
yang Holy. Pembentukan agama yaitu reaksi semua manusia, baik yang dipilih
maupun tidak. Karena itu, sikap arogansi yang memusuhi agama lain perlu kita
waspadai dan hindarkan.
DEFINISI PLURALISME AGAMA
Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama,
kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama
berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan
bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua,
kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua
pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita
87
menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda,
misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll.
Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin
kalimat yang lebih umum yaitu ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama
menuju pada Tuhan , hanya jalannya yang berbeda-beda.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA
Fundamentalisme agama disertai dengan manifestasinya yang salah yaitu
racun berbahaya yang sedang berkembang luas. Walaupun demikian, saat ini
pluralisme agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat
menular. Pluralisme agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang
yang beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah,
teolog maupun kaum awam. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk
mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan yaitu :
1. Iklim demokrasi
Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak
kecil di negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku,
bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang
mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada
dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap
keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang
menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan
kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!
2. Pragmatisme
Dalam konteks negara kita maupun dunia yang penuh dengan konflik
horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan
dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif
dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi
muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai
88
tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih
baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-
orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih
mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa
hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi
keharmonisan warga . Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3. Relativisme
Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini yaitu
pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya.
Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama
yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut dan
komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita
selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita
sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-
win solution ke dalam area kebenaran.
4. Perenialisme
Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial yaitu kepercayaan
bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari
Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Tuhan itu
satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara
berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama yaitu
sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.
SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN HICK
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat
pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik
oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini yaitu rangkuman
pandangan John Hick:
• Semua agama yaitu respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat
transenden (Tuhan -yang disebut The Real).
89
• “The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak
sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut.
• Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama
tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang
benar secara penuh; mungkin semua yaitu benar secara sebagian.”
• John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The
Real” yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai
Personae (berpribadi): Tuhan , Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae
(tidak berpribadi): Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya
• Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae yaitu penafsiran terhadap
The Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal,
memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau
proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori
manusiawi seperti itu.
• Keselamatan yaitu proses perubahan manusia dari berpusat pada diri
sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-
centered).
• Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau
tidak yaitu kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan
kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu yaitu : belas kasihan, kasih
kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan
ketenangan, sukacita yang memancar.
PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang
terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama
menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya
menyangkal iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan
memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini.
90
1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman
Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-
benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya
atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita
benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama, maka kita menemukan
klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling
bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal
(surga) sebagai tempat bersama Tuhan . Buddhisme percaya pada Nirwana dan
Reinkarnasi. Nirwana yaitu Keadaan Damai yang membahagiakan, yang
merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab
XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi
dimana Tuhan menghukum manusia”. Yang ada yaitu reinkarnasi bagi mereka
yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu
bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika
kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat
perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa
pluralisme yaitu konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-
masing.
2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah
Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama yaitu sebuah cara berpikir
yang tidak tepat. Demi keharmonisan maka menganggap semua agama benar
yaitu mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme
kebenaran yaitu sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama
tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera
(enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (Unpatti akan semakin maju/mundur)
dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran.
Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif.
91
3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten
Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya
bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau
partikularisme dalam teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan
memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah
menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya
masing-masing secara bebas. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis
maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak
pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama
benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka
buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai
kaum eksklusivis.
4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu
Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua
agama sama-sama benar, hal itu yaitu toleransi yang semu. Toleransi yang sejati
justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak
meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi
saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda
ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick
Jika ”The Real” atau Tuhan -nya Hick memang melampaui konsep yang
baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan”
untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini
yaitu sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi
Hick, keselamatan yaitu transformasi moral akibat perubahan pusat
kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Tuhan , Brahman, Tao). Hal ini
mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri
mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan
hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Tuhan di dalam karya
penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui
92
iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen
juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan
bahwa keselamatan yaitu hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al
Baqarah 25).
E. Perspektif Kristiani mengenai Kerukunan
Perjalanan bangsa Israel di padang gurun merupakan suatu momen
pembelajaran tentang solidaritas dan toleransi dalam kehidupan bersama. Israel,
pada perjalanan itu, dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadi suatu bangsa yang
kuat, bersatu dan berdaulat. Secara psikologis, sosiologis dan keagamaan,
perjalanan di padang gurun telah mempererat ikatan suku-suku dalam satu bentuk
solidaritas dan kerukunan antar warga . Puncak solidaritas dan kerukunan
yang dimaksud, terwujud ketika bangsa Israel tiba di tanah Kanaan, tempat yang
dijanjikan Tuhan. Kerukunan juga dibicarakan dalam Mazmur 133 mengenai
persaudaraan yang rukun.
Seiring dengan itu, Yesus juga mengemukakan prinsip dasar hidup yang
bersifat universal mengenai kasih kepada sesama dengan melewati batas-batas
suku, bangsa, ras, kelas sosial dan agama. Perumpamaan tentang orang Samaria
yang murah hati merupakan bukti sikap Yesus yang tidak memandang perbedaan
suku, ras dan agama sebagai kendala untuk menyampaikan cinta kasih dan damai
sejahtera. Melalui perumpamaan ini, Yesus memperlihatkan suatu pola
keteladanan yang perlu menjiwai hidup dan pelayanan para pengikut-Nya.