ibrani wahyu 24


  ketakutan dan intimidasi dari pihak mana pun, 

(l) kesetiaan: setia menjalankan tugas yang dipercayakan; setia kepada bangsa dan 

negara, (m). kesetiakawanan: bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan 

sesama; setia kepada kawan, tetangga dan warga , terutama ketika mereka 

menderita; serta suka menolong orang yang menderita. 

 

E.  Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Umat Kristen di Bidang Politik  

 

       Umat Kristen, baik secara individu maupun secara kolektif merupakan bagian 

integral dari warga  negara kita . Karenanya, umat Kristen terpanggil pula 

untuk mengembang tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya 

serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik di 

negara kita . 

       Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara 

lain: mendorong terjadinya emansipasi politik warga  yang setara maknanya 

dengan pembebasan atau pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun 

kesadaran warga  terhadap esensi politik sebagai usaha bersama untuk 

melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam penderitaan 

yang dialami oleh warga . 

       Mendorong proses terwujudnya warga  sipil (civil society) di negara kita . 

warga  sipil yaitu  suatu kenyataan hidup warga  yang menghargai hak-

hak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus mampu membangun 

77 

 

keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada dapat 

digunakan bagi kepentingan banyak orang. 

       Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa negara kita  

untuk menolak munculnya gagasan-gagasan federalisme, pemekaran 

provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan primordialisme. Umat 

Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya 

terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Dengan berbuat seperti itu, umat 

Kristen menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan 

warga  yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absolut dan 

universal. 

        Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di 

bidang politik. Politik Yesus memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk 

membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian ini diberikan, 

ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai 

perempuan. Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada 

kesetaraan dan menganggap rendah perempuan  merupakan gambaran dari kritik 

Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai, tetapi juga pada kekuasaan 

(power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi. Pada 

konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan 

memberikan perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik 

warga . 

       Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk 

menghadirkan tanda-tanda syaloom Tuhan  bagi manusia dan dunia sejagad. Tanda-

tanda syaloom Tuhan  harus dinyatakan di tengah-tengah kehidupan warga  

negara kita  yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari 

kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tanda-

tanda syaloom Tuhan , menyatakan kemuliaan Tuhan  bagi warga  luas. 

Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa gagasan-gagasan tentang 

terwujudnya tanda-tanda syaloom Tuhan  bersifat eskatologis. Artinya, secara 

otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia 

memiliki pengharapan bahwa apa yang diperjuangkannya yaitu  sesuatu yang 

benar. 

78 

 

       Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya 

karena alasan bahwa politik itu kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan 

kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus bahwa sikap netral 

yaitu  sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat 

tertentu yaitu  sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak yaitu  tindakan 

yang tidak bijaksana karena sikap semacam itu sama saja dengan memberikan 

legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh dari syaloom Tuhan . 

Konteks warga  negara kita  yang penuh dengan berbagai masalah, justru 

memberikan peluang bagi Gereja untuk menyatakan keberpihakannya. 

Keberpihakan Gereja yang diperuntukkan bagi kelompok warga  yang 

miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan benar, dan sebagainya, yaitu  

wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan merasakan 

penderitaan sesama (sense of belonging). 

       Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar 

dapat terlibat secara aktif dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi 

politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya, dalam pemilihan Presiden dan 

Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, 

Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada 

momen seperti ini tidak hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut 

mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata terjadi penyelewengan-

penyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi.  

       Selain itu, Gereja perlu melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada 

warga Gereja melakukan suatu kesalahan. Pelayanan pastoral dimaksud, 

dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik selanjutnya. 

       Akhirnya, umat Kristen perlu memperjuangkan terwujudnya kestabilan 

kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan dalam alinea 

ke-3 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa 

negara kita  dan seluruh tumpah darah negara kita , dan untuk memajukan 

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan 

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan 

sosial. 

 

 


 

A. Pengertian Hukum 

       Pada dasarnya, hukum yaitu  perlindungan kepentingan manusia yang 

berbentuk kaidah atau norma. Setiap komunitas (kolektif dan individu) 

membutuhkan hukum untuk melindungi harta milik atau kekayaan, nama baik, 

golongan atau komunitas, kebebasan, dan sebagainya. Kepentingan ini sangat 

beragam, baik jenis maupun kadarnya, sehingga jika tidak ada hukum yang 

mengaturnya dapat menimbulkan pertentangan antara manusia yang satu dengan 

manusia lainnya. Pertentangan seperti ini berpotensi menimbulkan kerugian. 

Bahkan, mengancam kehidupan manusia. Misalnya: pencurian, perusakan, 

penculikan, perzinahan, pembunuhan, dan sebagainya. 

       Hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan manusia dan mengatur cara 

manusia memenuhi kepentingannya itu. Dengan demikian, manusia dapat hidup 

tentram. Komunitas yang tidak memiliki hukum dengan jelas, terancam menjadi 

kacau, sebab setiap orang akan berbuat semaunya (bersikap anarkhis). Hukum 

juga berperan untuk mengikat dan memaksa seseorang untuk berbuat atau tidak 

berbuat sesuatu. Orang yang melanggar hukum perlu diberikan sanksi atau 

hukuman, agar didorong untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. 

       Hukum harus dibuat sesuai dengan kepentingan komunitasnya. Karenanya, 

hukum harus melayani komunitasnya, bukan sebaliknya. Hukum sebagai 

penguasa (Rule of Law) berarti setiap orang harus tunduk kepada hukum, tanpa 

kecuali, dan dalam segala keadaan. 

  

 

B. Pandangan Iman Kristen mengenai Hukum 

       Orang Kristen sependapat bahwa Tuhan yaitu  pusat dan sumber dari segala 

yang baik (Markus 10: 18). Tuhan yaitu  hakim terakhir yang memutuskan apa 

yang benar dan apa yang salah. Karena itu, salah satu tanggung jawab manusia 

yaitu  melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Pada pengambilan 

keputusan tentang apa yang harus dilakukan, orang Kristen mencari kehendak 

Tuhan, walaupun kita tidak selalu setuju tentang apa yang dikehendaki Tuhan 

(Roma 12: 2). Kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum-Nya, perintah-Nya, dan 

kaidah-Nya. Orang Kristen dimintakan untuk menaatinya melalui hidup yang 

tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.  

       Umat Kristen harus menjalankan apa yang tertulis di dalam hukum Tuhan, 

tidak dapat ditawar-tawar lagi karena ia bersifat konstan dan abadi. Orang Kristen 

merupakan nabi Tuhan yang ditugaskan memberitahukan hukum Tuhan dan Injil 

kepada segala makhluk. Selain itu, perlu menaati hukum yang berlaku dalam 

negara. Apabila ternyata melanggarnya, harus bersedia menjalani sanksi.  

       Sehubungan dengan hukum Tuhan, perlu dikemukakan 3 (tiga) hal penting, 

yakni: Pertama, manusia berdosa dan dibaharui. Manusia diciptakan segambar 

dan serupa dengan Tuhan. Namun, citra yang baik ini telah hilang akibat 

kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia tidak taat kepada Tuhan, tetapi juga 

tidak taat kepada kehendaknya sendiri. Akibatnya, manusia melanggar, 

mengabaikan dan menentang kehendak Tuhan. Hal ini membuat manusia 

membutuhkan hukum untuk membatasi kebebasannya, sebab kehendaknya tidak 

lagi sejajar dan searah dengan kehendak Tuhan. Namun, hal ini saja belumlah 

cukup. Manusia membutuhkan juga Juru Selamat untuk membebaskannya dari 

kuasa dosa, sekaligus dibaharui dan dipulihkan kembali. 

       Kedua, hukum Taurat sebagai pedoman dan pengajaran. Tuhan memberi 

petunjuk kepada manusia tentang bagaimana melaksanakan kehendak-Nya dengan 

memberikan hukum Taurat. Hukum Taurat berperan sebagai penolong yang 

membimbing manusia, bukan sebagai pembatas yang mengurangi kebebasan 

manusia. Karenanya, orang Kristen membutuhkan hukum, aturan, pedoman atau 

kaidah dalam hidupnya. Hal ini bukan untuk membebaskan manusia dari dosa dan 

 

kejahatan, melainkan sebagai pedoman yang membimbing melaksanakan 

kehendak Tuhan. 

       Kristus datang untuk menggenapi hukum Taurat, bukan untuk 

meniadakannya (Matius 5: 17). Karena itu, pada hakikatnya, hukum Taurat 

bersifat tetap, tidak berubah, walaupun bentuk dan penjelmaannya di dalam 

sejarah harus selalu disesuaikan dengan situasi dan keadaan. Hukum Taurat 

yaitu  Undang-Undang Dasar Kerajaan Tuhan  yang kekal. Jadi, segala hukum apa 

pun yang ada di muka bumi ini tidak boleh bertentangan dengannya. Bahkan, 

berperan sebagai pengejewantahan dari kehendak Tuhan yang ada di dalamnya. 

       Ketiga, hukum Kasih. Yesus menyimpulkan bahwa hukum yang terutama 

yaitu  hukum Kasih: kasih kepada Tuhan dan sesama manusia (Matius 22: 37-

40). Kasih kepada Tuhan berarti mengasihi Tuhan secara total, dengan segenap 

keberadaan kita. Hal seperti ini hanya dapat dilakukan, bila kita membangun 

hubungan yang hidup dengan Tuhan. Hubungan yang berlangsung tidak hanya 

sekedar formalitas saja. Kasih kepada Tuhan terungkap dalam ketaatan melakukan 

perintah-perintah-Nya, dan hidup menurut segala yang ditunjukkan-Nya. Kasih 

kepada Tuhan juga merupakan wujud nyata dan pencerminan dari kasih kepada 

sesama. 

 

C. Fungsi Profetis Umat Kristen Terhadap Hukum 

Yesus mengajar kita untuk berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu”. Yesus, 

melalui doa ini, mengajak kita bekerja dan mengusahakan agar Kerajaan Tuhan  

semakin nyata di bumi ini. Hal ini secara hukum dimaksudkan bahwa manusia 

turut bertanggung jawab untuk menciptakan produk hukum-hukum yang adil dan 

benar di bumi negara kita , baik dalam proses pembentukannya, penetapan maupun 

penerapannya. 

       Tuhan memanggil umat-Nya agar turut bekerja mengusahakan kesejahteraan 

kota, dimana mereka ditempatkan Tuhan (Yeremia 29: 4-7). Salah satu caranya 

yaitu  berpartisipasi dalam mewujudkan hukum-hukum yang adil dan benar 

sesuai kehendak Tuhan, jangan diam dan berhenti berinisiatif menyuarakan 

Firman Tuhan, agar kejahatan dalam warga  dapat diberantas. Orang percaya 

yang berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan, yang kehilangan gairah 


 

untuk memprakarsai terciptanya damai sejahtera di dunia pada zamannya, 

melalaikan panggilannya. 

 

 


Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural 

(=beragam) dan isme (= paham) yang berarti beragam pemahaman, atau 

bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. 

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) yaitu  istilah khusus  dalam kajian 

agama agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai 

sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, 

‘saling menghormati’(mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham 

(isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah 

‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para 

ilmuwan dalam studi agama agama (religious studies). 

Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang 

teologis terhadap  agama lain.  

 eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan 

menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat.  

 inklusivisme,  yang berpandangan meskipun  Kristen  merupakan agama  

yang  benar,  tetapi  keselamatan  juga  mungkin  terdapat  pada  agama  

lain.  

 pluralisme, yang memandang semua agama yaitu  jalan yang sama - sama 

sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, 

tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. 

Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.  

85 

 

Pluralisme agama yaitu  sebuah konsep yang mempunyai makna yang 

luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan 

dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula: 

 Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang 

bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan 

demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-

tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. 

 Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-

sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. 

Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat 

dalam agama-agama. 

 Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni 

upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan 

pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi 

dalam satu agama. 

 Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat 

untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun 

denominasi yang berbeda-beda. 

Tidak dapat dipungkiri ke-Kristenan bukan hanya satu-satunya agama di 

dunia ini. Ke-Kristenan juga bukan merupakan agama tertua. Jauh sebelum ada 

agama Kristen, Budha telah ada, Yahudi telah ada, bahkan Hindu dan Taoisme 

juga telah ada. Meskipun demikian, agama Kristen telah disejajarkan bersama 

dengan agama besar lainnya. Setiap agama yaitu  UNIK dalam pandangan tiap 

umatnya. Setiap agama yaitu  SPESIAL dalam penghayatan tiap umatnya. 

Karena itulah, isu agama merupakan isu yang rentan terhadap pergolakan sosial 

maupun dalam kehidupan berbangsa. Menghina maupun merendahkan agama 

yang berbeda merupakan suatu sikap yang rendah dan sekaligus kesombongan 

yang berlebihan.  

86 

 

Agama yaitu  sistem kepercayaan yang diwujudkan melalui tata ibadah dan 

aturan perilaku yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama. Banyak definisi 

tentang agama. Dalam agama, terkandung nilai-nilai transcendent dan immanent. 

Nilai ini terwujud dalam penghayatan iman dan perbuatan dalam kehidupan 

sehari-hari. Religi yaitu  nama bentuk lain dari agama. Setiap religi memiliki 

sistem tersendiri. Setiap religi mempunyai penghayatan iman tersendiri. 

Penghayatan iman ini sangat penting dan merupakan dasar seseorang memilih 

masuk ke dalam religi tersebut.  

Ke-Kristenan yaitu  sistem keagaamaan. Karena itu, sistem itu sama seperti 

sistem keagamaan yang lain. Mulai dari metodologis standar yang digunakan 

sampai kepada perumusan pernyataan teologis, hampir semua agama memakai 

kerangka logika yang sama. Ke-Kristenan mengklaim kitab sucinya sebagai 

standar tertinggi, demikian juga agama yang lain terhadap kitab sucinya. 

Memaksakan bahwa agama lain HARUS menerima Alkitab sebagai standar 

tertinggi yaitu  sama seperti memaksakan Al Quran sebagai standar tertinggi bagi 

orang Kristen. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan pernyataan 

teologis yang berkaitan dengan realitas agama lain. Tentu saja kehati-hatian ini 

tidak boleh sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua agama yaitu  

sama. Secara esensi pembentukan semua agama yaitu  sama, karena sama-sama 

lahir dari adanya penghayatan iman kepada realitas YANG DI ATAS maupun 

yang Holy. Pembentukan agama yaitu  reaksi semua manusia, baik yang dipilih 

maupun tidak. Karena itu, sikap arogansi yang memusuhi agama lain perlu kita 

waspadai dan hindarkan. 

DEFINISI PLURALISME AGAMA  

 Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, 

kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama 

berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan 

bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, 

kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua 

pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita 

87 

 

menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak 

menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, 

misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. 

Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada 

hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin 

kalimat yang lebih umum yaitu  ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama 

menuju pada Tuhan , hanya jalannya yang berbeda-beda.  

 

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA 

Fundamentalisme agama disertai dengan manifestasinya yang salah yaitu  

racun berbahaya yang sedang berkembang luas. Walaupun demikian, saat ini 

pluralisme agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat 

menular. Pluralisme agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang 

yang beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, 

teolog maupun kaum awam. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk 

mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan yaitu : 

1. Iklim demokrasi   

Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak 

kecil di negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, 

bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang 

mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada 

dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap 

keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang 

menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan 

kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana! 

 

2. Pragmatisme 

Dalam konteks negara kita  maupun dunia yang penuh dengan konflik 

horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan 

dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif 

dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi 

muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai 

88 

 

tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih 

baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-

orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih 

mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa 

hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi 

keharmonisan warga . Begitulah pola pikir kaum pragmatis. 

 

3. Relativisme 

Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini yaitu  

pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. 

Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama 

yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut dan 

komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita 

selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita 

sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-

win solution ke dalam area kebenaran.  

 

4. Perenialisme  

Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial yaitu  kepercayaan 

bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari 

Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Tuhan  itu 

satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara 

berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama yaitu  

sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda. 

 

SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN HICK 

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat 

pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik 

oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini yaitu  rangkuman 

pandangan John Hick: 

• Semua agama yaitu  respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat 

transenden (Tuhan -yang disebut The Real). 

89 

 

• “The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak 

sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut. 

• Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama 

tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang 

benar secara penuh; mungkin semua yaitu  benar secara sebagian.” 

• John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The 

Real” yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai 

Personae (berpribadi): Tuhan , Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae 

(tidak berpribadi): Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya 

• Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae yaitu  penafsiran terhadap 

The Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal, 

memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau 

proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori 

manusiawi seperti itu. 

• Keselamatan yaitu  proses perubahan manusia dari berpusat pada diri 

sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-

centered). 

• Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau 

tidak yaitu  kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan 

kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu yaitu : belas kasihan, kasih 

kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan 

ketenangan, sukacita yang memancar. 

 

PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS  

Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang 

terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama 

menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya 

menyangkal iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan 

memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini. 

 

 

 

90 

 

1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman 

Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-

benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya 

atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita 

benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama, maka kita menemukan 

klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling 

bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal 

(surga) sebagai tempat bersama Tuhan . Buddhisme percaya pada Nirwana dan 

Reinkarnasi. Nirwana yaitu  Keadaan Damai yang membahagiakan, yang 

merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab 

XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi 

dimana Tuhan  menghukum manusia”. Yang ada yaitu  reinkarnasi bagi mereka 

yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu 

bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika 

kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat 

perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa 

pluralisme yaitu  konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-

masing. 

 

2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah 

Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama yaitu  sebuah cara berpikir 

yang  tidak tepat. Demi keharmonisan maka menganggap semua agama benar 

yaitu  mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme 

kebenaran yaitu  sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama 

tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera 

(enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (Unpatti akan semakin maju/mundur) 

dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. 

Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif. 

  

  

91 

 

3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten 

  Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya 

bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau 

partikularisme dalam  teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan 

memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah 

menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya 

masing-masing secara bebas. Jika seorang  pluralis anti terhadap kaum eksklusivis 

maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak 

pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama 

benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka 

buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai 

kaum eksklusivis. 

 

 4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu 

  Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua 

agama sama-sama benar, hal itu yaitu  toleransi yang semu. Toleransi yang sejati 

justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak 

meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi 

saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda 

ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.” 

 

 5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick 

  Jika ”The Real” atau Tuhan -nya Hick memang melampaui konsep yang 

baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” 

untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini 

yaitu  sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi 

Hick, keselamatan yaitu  transformasi moral akibat perubahan pusat 

kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Tuhan , Brahman, Tao). Hal ini 

mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri 

mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan 

hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Tuhan  di dalam karya 

penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui 

92 

 

iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen 

juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan 

bahwa keselamatan yaitu  hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al 

Baqarah 25). 

E. Perspektif Kristiani mengenai Kerukunan 

      Perjalanan bangsa Israel di padang gurun merupakan suatu momen 

pembelajaran tentang solidaritas dan toleransi dalam kehidupan bersama. Israel, 

pada perjalanan itu, dipersiapkan oleh Tuhan  untuk menjadi suatu bangsa yang 

kuat, bersatu dan berdaulat. Secara psikologis, sosiologis dan keagamaan, 

perjalanan di padang gurun telah mempererat ikatan suku-suku dalam satu bentuk 

solidaritas dan kerukunan antar warga . Puncak solidaritas dan kerukunan 

yang dimaksud, terwujud ketika bangsa Israel tiba di tanah Kanaan, tempat yang 

dijanjikan Tuhan. Kerukunan juga dibicarakan dalam Mazmur 133 mengenai 

persaudaraan yang rukun. 

       Seiring dengan itu, Yesus juga mengemukakan prinsip dasar hidup yang 

bersifat universal mengenai kasih kepada sesama dengan melewati batas-batas 

suku, bangsa, ras, kelas sosial dan agama. Perumpamaan tentang orang Samaria 

yang murah hati merupakan bukti sikap Yesus yang tidak memandang perbedaan 

suku, ras dan agama sebagai kendala untuk menyampaikan cinta kasih dan damai 

sejahtera. Melalui perumpamaan ini, Yesus memperlihatkan suatu pola 

keteladanan yang perlu menjiwai hidup dan pelayanan para pengikut-Nya.