Tampilkan postingan dengan label kecemasan 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kecemasan 3. Tampilkan semua postingan
kecemasan 3
By tuna at November 27, 2023
kecemasan 3
hubungan orang lain. Fokus terapi ini
bukan pada masa lalu namun penyelesaian masalah dan menyarankan perilaku baru yang
lebih memuaskan. Hasil dari penelitian oleh American Psychiatric Association
menyimpulkan bahwa efektivitas jangka pendek terapi psikodinamika sama dengan
efektivitas terapi kognitif behavioral
b. Terapi Kognitif dan Perilaku
Dalam terapi ini bahwa depresi pasien mendalam karena kesedihan dan harga diri yang
hancur disebabkan oleh skema negatif dan kesalahan pola pikir. Beck dan rekannya
menyusun terapi yang bertujuan mengubah pola pikir maladaptif. Terapis mempersuasi
pasien depresi untuk mengubah pendapatnya tentang berbagai peristiwa dan dirinya sendiri.
Terapis mengajarkan pasien memikirkan secara mendalam berbagai keyakinan negatif yang
salah untuk memahami bagaiman hal tersebut mencegah asumsi yang lebih realistis dan
positif. Hasil penelitian Beck bahwa terapi kognitif lebih berhasil dibanding obat trisiklik
imipramine (Tofranil) untuk menyembuhkan depresi unipolar.
c. Terapi Kognitif Berbasis Pola Pikir (Mindfullness-Based Cognitive Therapy)
Terapi ini berbasis pola piker (MBCT) yang memfokuskan pada pencegahan kekambuhan
setelah keberhasilan suatu penanganan depresi Terapi ini didasari asumsi bahwa kerentanan untuk mengalami kekambuhan
depresi diakibatkan oleh asosiasi yang berulang antara mood depresi dan pola piker negatif,
menilai rendah diri sendiri, dan putus asa. Tujuan MBCT yakni mengajarkan individu
mengetahui kapan mereka menjadi depresi dan mencoba mengadopsi apa yang disebut
perspektif desentral, memandang pikiran mereka hanya sebagai peristiwa mental dan bukan
sebagai aspek inti diri atau refleksi akurat realitas. Perspektif ini diyakini dapat mencegah
meningkatnya pola piker negatif yang dapat menyebabkan depresi Terapi MBCT lebih efektif disbanding kondisi control untuk mengurangi risiko
kekambuhan dan berulangnya depresi pada pasien yang pernah mengalami depresi.
d. Pelatihan Ketrampilan Sosial
Ciri utama depresi yakni kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang lain,
berbagai penangan behavioral memfokuskan membantu pasien memperbaiki interaksi sosial.
Terapis mendorong pasien tidak terlalu keras dalam menilai performa mereka dan
mendukung efektivitas pada perilaku sosial yang tampak menggunakan pelatihan ketrampilan
sosial ,Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa berbagai penanganan yang berbasis pelatihan ketrampilan sosial efektif untuk
menyembuhkan depresi
e. Terapi Aktivasi Behavioral
Terapi ini berkaitan dengan pelatihan ketrampilan sosial. Hasil studi menunjukkan bahwa
komponen aktivasi behavioral terapi Beck bekerja sama dalam penanganan depresi dan
pencegahan kekambuhan bahwa klien harus secara langsung menghadapi dan mengubah
berbagai skema inti yang negatif dan pola pikir negatif lain menyembuhkan depresi, bukan
menunjukkan keaktifan pasien dan membuat mereka terlibat dalam berbagai aktivitas yang
menyenangkan, tidak hanya perlu memadai.
2. Terapi Psikologis Gangguan Bipolar
Terapi psikologis juga menangani berbagai masalah interpersonal, kognitif dan emosional
pasien bipolar. Sebuah studi empiris yang signifikan menunjukkan hasil positif bahwa
edukasi secara hati-hati mengenai gangguan bipolar dan penanganannya dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap pengobatan. Selain meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat,
edukasi tentang penyakit tersebut dapat meningkatkan dukungan sosial dari keluarga dan
teman-teman serta mengarahkan pada suasana yang tidak terlalu membebani pasien secara
emosional dan diharapkan secara logis dapat mengurangi stress pada pasien Suatu pendekatan terapi yakni penanganan berfokus keluarga (FFT-Family-Focused
Treatment) merupakan terapi psikososial dengan waktu terbatas bagi pasien gangguan bipolar
yang dirawat jalan dan keluarganya. Edukasi kepada keluarga mengenai penyakit terkait,
berupaya meningkatkan komunikasi dalam keluarga dan pelatihan penyelesaian masalah
Studi menunjukkan pemberian penanganan
berorientasi keluarga dan farmakoterapi memberikan hasil yang positif pada gangguan
bipolar.
Suatu terapi penyelesaian masalah disebut terapi ritme interpersonal dan sosial yang
membantu pasien agar lebih baik dalam menghadapi berbagai peristiwa yang memicu stress.
Pendekatan ini didasari oleh model kronobiologis gangguan bipolar. Terapi ini diberikan
bersama dengan obat-obatan. Tujuannya membantu pasien mengatur rutinitas hariannya
menyelesaikan masalah interpersonal dan patuh terhadap pengobatan medis.
3. Terapi Biologis Gangguan Mood
a. Terapi Elektrokonvulsif
Penanganan kontroversial untuk depresi parah yaitu ECT-electroconvulsive therapy dengan
penggunaan kejutan unilateral, anestetik dan pengendor otot mengurangi efek samping yang
tidak di inginkan.
b. Terapi Obat
Tidak semua obat-obatan berhasil bagi semua orang dan berbagai efek sampingnya.
- Terapi Obat untuk Depresi
1. Trisiklik seperti imipramine (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil)
2. Selevtive serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti fluoksetin (Prozac) dan
sertraline (Zolofit)
3. Monoamin oksidase (MAO) seperti tranilsipromin (Parnate)
- Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar
Ditangani dengan pemberian elemen lithium.
DEPRERSI MASA KANAK-KANAK DAN REMAJA
DSM-IV-TR mendiagnosis gangguan mood pada anak-anak dengan menggunakan
kriteria bagi orang dewasa, dengan mencantumkan ciri-ciri spesifik berdasarkan umur, seperti
mudah tersinggung dan perilaku agresif bukannya mood depresi.
Simtom dan Prevalensi Depresi Masa Kanak-kanak dan Remaja
Terdapat perbedaan dan persamaan dalam simtomatologi anak-anak dan dewasa yang
menderita depresi mayor. Anak-anak dan remaja berusia 7 hingga 17 tahun memiliki
kesamaan dengan orang dewasa dalam mood depresi yaitu ketidakmampuan untuk merasakan
kesenangan, fatik, masalah konsentrasi dan pemikiran untuk bunuh diri. Simtom yang
berbeda adalah tingkat percobaan bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anakanak dan remaja, sedangkan pada orang dewasa lebih sering bangun lebih awal di pagi hari,
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan depresi dini hari.
Studi longitudinal menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang mengalami
depresi mayor tetap menunjukkan simtom-simtom depresi yang signifikan ketika diukur
empat hingga delapan tahun kemudian. Depresi sering kali disebut – depresi terselubung –
disimpulkan dari perilaku seperti tindakan agresif atau berbuat kenakalan yang pada orang
dewasa tidak akan dianggap sebagai cermin depresi yang ada dibaliknya.
Depresi terjadi pada kurang dari 1 persen anak-anak pra sekolah dan 2 hingga 3
persen anak-anak usia sekolah. Pada remaja, angka kejadian depresi sama tingginya dengan
pada orang dewasa, 7 hingga 13 persen khususnya pada remaja perempuan. Perbedaan gender
ini tidak muncul sebelum usia 12 tahun; pada usia dini depresi lebih banyak terjadi pada lakilaki.
Sebanyak 70 persen dari anak-anak yang menderita depresi juga mengalami anxietas
atau simtom-simtom kecemasan yang signifikan.. Depresi juga umum terjadi pada anak-anak
yang mengalami gangguan tingkah laku dan gangguan pemusatan perhatian. Anak-anak yang
menderita depresi sekaligus gangguan lain diketahui mengalami depresi yang lebih parah dan
lebih lama mencapai kesembuhan.
Etiologi Depresi pada Masa Kanak-kanak dan Remaja
Bukti menunjukkan bahwa faktor-faktor genetik memegang suatu peranan. Hanya
saja pengaruh genetik tersebut tidak segera tampak. Studi mengenai depresi pada anak-anak
juga telah memfokuskan pada keluarga dan hubungan kekerabatan lain sebagai sumbersumber stres yang dapat berinteraksi dengan suatu diathesis biologis. contoh, Seorang anak
memiliki ibu yang mengalami depresi akan meningkatkan kemungkinan si anak mengalami
depresi semasa anak-anak atau setelah remaja. Hubungan perkawinan yang tidak harmonis
juga menimbulkan efek negatif bagi anak-anak dalam rumah tangga tersebut.
Anak-anak yang mengalami depresi dan orang tua mereka saling berinteraksi negatif,
menunjukkan kurangnya kehangatan dan lebih hostilitas satu sama lain dibanding dengan
anak-anak yang tidak mengalami depresi dan orang tua mereka. Anak-anak dan remaja yang
mengalami depresi mayor juga memiliki ketrampilan sosial rendah dan hubungan yang tidak
baik dengan saudara-saudara kandung serta teman-teman mereka. Memiliki kontak yang
lebih sedikit dan kurang memuaskan dengan teman-teman sebaya yang sering kali menolak
mereka karena tidak menyenangkan bila bersama mereka. Hal tersebut merupakan penyebab
sekaligus konsekuensi depresi. Akhirnya memperburuk citra diri dan rasa bermakna negatif
yang telah ada pada diri anak-anak dan remaja tersebut. Kritisme yang sering disampaikan
orang tua mereka dapat sangat merusak rasa kompetensi dan makna diri si anak.
Teori Beck (1967) dan teori ketidakberdayaan, berbagai distorsi kognitif dan gaya
atribusi negatif memiliki keterkaitan dengan depresi pada anak-anak dan remaja dengan cara
yang sama seperti pada orang dewasa. Cara pandang anak-anak yang mengalami depresi
lebih negatif dibanding dengan anak-anak yang tidak mengalami depresi dan mirip dengan
cara pandang orang-orang dewasa yang mengalami depresi. Bukti penelitian
mengindikasikan, pengalaman dilingkungan rumah, terutama orang tua menghadapi anakanaknya, menimbulkan kognisi dan pemikiran yang dapat memicu depresi.
Penanganan Depresi Masa Kanak-kanak dan Remaja
Menangani depresi bisa menggunakan obat antidepresan namun untuk anak-anak dan
remaja obat antidepresan tidak lebih baik daripada placebo.contohnya, terapi interpersonal
telah dimodifikasi untuk digunakan remaja yang mengalami depresi, dengan memfokuskan
pada berbagai isu yang penting bagi remaja, seperti tekanan dari teman-teman sebaya, stres
transisi dari masa kanak-kanak ke remaja, konflik ketergantungan dengan orang tua/guru dan
keinginan u/ mandiri.
Intervensi kognitif-behavioral atau CBT yang diberikan di sekolah lebih efektif
dibanding terapi keluarga atau suportif terkait dengan berkurangnya simtom-simtom lebih
cepat, seperti pelatihan ketrampilan sosial, penyelesaian masalah dan teknik-teknik kognitif.
Pelatihan ketrampilan sosial diharapkan dapat membantu anak-anak dan remaja yang
mengalami depresi dengan mengajarkan mereka untuk terlibat dalam lingkungan yang
menyenangkan dan menguatkan, seperti menambah teman dan bergaul bersama teman-teman
sebaya.
Terapi juga harus memfokuskan pada orang tua yang mengalami depresi selain si anak
karena anak dipengaruhi oleh pemikiran orang tuanya. Penting juga mengajarkan anak-anak
dan remaja berbagai cara untuk menghadapi stres interpersonal dengan perilaku terbuka yang
lebih efektif.
BUNUH DIRI
Lebih dari separuh orang-orang yang mencoba bunuh diri mengalami depresi dan
putus asa, pada saat mereka melakukan tindakan tersebut. Bunuh diri merupakan tindakan
kompleks dan multisegi.
Perspektif Bunuh Diri
Seseorang memiliki niat bunuh diri jika mereka bertindak dengan cara yang tidak
nampak jelas ingin menghancurkan diri sendiri namun dapat menyebabkan cedera serius atau
kematian setelah kurun waktu yang lama. Disebut juga kematian subintelsional. Contoh :
pasien diabetes yang menolak untuk diberi insulin dan tidak mematuhi aturan diet.
Mereka yang melakukan tindakan bunuh diri sering menuliskan surat yang
menunjukkan bukti penderitaan. Banyak motif bunuh diri yang dikemukakan oleh Mintz
diantaranya, agresi yang dibalikkan ke diri sendiri, pembalasan yang menimbulkan perasaan
bersalah pada orang lain, upaya memaksakan cinta pada orang lain, melakukan perubahan
atas kesalahan masa lalu, ingin bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal,
melarikan diri dari stres, kehancuran, rasa sakit, dan kekososngan emosional.
Profesional kesehatan mental kontemporer menganggap bunuh diri secara umum
merupakan upaya individu untuk menyelesaikan masalah, dalam kondisi stres berat dan
ditandai pertimbangan alternatif yang sangat terbatas akhirnya bunuh diri muncul sebagai
solusi terbaik. Beberapa tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari
kesadaran diri yang menyakitkan misalnya merasakan kegagalan.
Teori Psikoanalisis Freud
Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan. Ketika seseorang kehilangan
orang yang dicintai sekaligus dibenci dan meleburkan orang tersebut ke dalam dirinya dengan
agresi diarahkan ke dalam. Jika perasaan itu cukup kuat, maka orang tersebut akan bunuh
diri.
Teori Sosiologis Durkheim
ia membedakan 3 jenis bunuh diri:
1. Bunuh diri egostik , yaitu orang yang memiliki sedikit keterikatan dengan sosial,
merasa terasingkan, dan tidak memiliki dukungan sosial yang penting.
2. Bunuh diri altruistik, yaitu dilakukan sebagai respon terhadap tuntutan sosial. Merasa
sangat menjadi bagian dari suatu kelompok dan megorbankan dirinya yang dianggap untuk
kebaikan masayarakat.
Contoh : harakiri di masy jepang sebagai satu-satunya pilihan terhormat
3. Bunuh diri anomik, yaitu perubahan mendadak dalam hub seseorang dengan masy.
Anomik yaitu suatu perasaan disorientasi karena yang diyakininya sebagai suatu cara hidup
yang normal tidak mungkin lagi dilakukan. Anomik menyebabkan ketidakseimbangan dalam
masyarakat.
Contoh: usai bencana alam mengenai stres pascatrauma. Stres yang dialami karena melihat
orang-orang yang dicintai tewas atau terluka dan kehilangan harta benda. Hal tersebut
menyebabkan terganggunya rutinitas sehari-hari dan tanpa dukungan sosial menyebabkan
bunuh diri banyak terjadi.
Pendekatan Shneidman terhadap Bunuh Diri
Bunuh diri sebagai upaya sadar untuk mencari solusi suatu masalah yang
menyebabkan penderitaan mendalam. Bagi orang yang menderita, bunuh diri sebagai solusi
mengakhiri kesadaran dan rasa sakit yang tidak tertahankan – Melville mengistilahkannya
sebagai “siksaan yang tidak tertahankan”.
Ketika seseorang tidak sedang dalam kondisi ingin bunuh diri yang mencemaskannya,
orang tersebut mampu melihat lebih banyak pilihan untuk mengatasi stres. Shneidman
berpendapat bahwa pikiran yang penuh kecemasan merupakan ciri utama orang yang bunuh
diri dan bukanlah penyakit mental.
Neurokimia dan Bunuh Diri
Kadar serotonin ternyata berhubungan dengan depresi. Penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara serotonin, bunuh diri dan impulsivitas. Rendahnya kadar metabolit
utama serotonin yaitu 5-HIAA, ditemukan pada orang depresi, skozofrenia dan berbagai
gangguan kepribadian yang melakukan tindakan bunuh diri. Studi terhadap otak orang-orang
yang tewas karena bunuh diri mengungkapkan adanya peningkatan pengikatan berbagai
reseptor serotonin (respon terhadap penurunan kadar serotonin).
Memprediksi Bunuh Diri dengan Test Psikologi
Ditemukan suatu korelasi signifikan antara niat bunuh diri dan keputusasaan. Aaron
Beck dalam temuannya bahwa keputusasaan merupakan prediktor kuat tindakan bunuh diri
lebih kuat dari depresi. Ada beberapa hal yang bisa diukur yaitu:
a. Self report, alat ukur Reasons for Leaving Inventory yang disusun Marsha Linehan,
mengukur tentang apa yang penting bagi individu seperti tanggung jawab dan kepedulian.
Dengan mengetahui sesuatu dalam kehidupan seseorang kita dapat mencegahnya untuk
bunuh diri. Alat ukur ini dapat membedakan individu yang memiliki kemungkinan bunuh diri
dan tidak.
b. Kepuasan hidup, orang-orang yang menunjukkan kadar ketidakpuasan yang relatif
tinggi lebih mungkin melakukan atau mencoba bunuh diri bertahun-tahun kemudian.
Contohnya, laki-laki yang memiliki kadar ketidakpuasan hidup yang tertinggi, dapat 25 kali
lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri 10 tahun kemudian.
c. Karakterisitik kognitif, orang-orang yang berfikir untuk bunuh diri memiliki
pendekatan yang lebih kaku terhadap berbagai masalah dan memiliki pemikiran yang kurang
fleksibel. Pemikiran yang terbatas membuat seseorang memilih bunuh diri sebagai solusi
karena tidak bisa mempertimbangkan berbagai solusi.
Mencegah Tindakan Bunuh Diri
Pencegahan tindakan bunuh diri adalah dengan mengecamkan dalam fikiran bahwa
sebagian besar orang yang mencoba bunuh diri menderita gangguan mental yang dapat
ditangani sehingga risiko bunuh diri dapat berkurang. Pencegahan lain dengan mengabaikan
gangguan mental dan berkonsentrasi pada karakteristik tertentu dari orang yang berfikir
untuk bunuh diri terlepas dari gangguan mental.
Edwin Shneidman mengembangkan strategi umum dalam pencegahan bunuh diri:
1. Mengurangi penderitaan dan rasa sakit psikologis yang mendalam
2. Membuka pandangan, dengan membantu individu melihat berbagai pilihan selain pilihan
ekstrem
3. Mendorong orang yang bersangkutan untuk tidak menghancurkan diri sendiri
Contoh: mahasiswa kaya yang belum menikah namun sudah hamil dan berfikir untuk bunuh
diri dengan rencana yang matang. Satu-satunya solusi yang ia fikirkan selain bunuh diri
adalah tidak mengalami kehamilan dan kembali perawan. Shneidman mengatakan dengan
menuliskan daftar pilihan dapat memberikan efek menenangkan. Sehingga mahasiswa
tersebut mampu mengurutkan daftar meski menenmukan item yang salah, namun ia tidak
melakukan bunuh diri dan memikirkan solusi lain selain mati dan kembali perawan.
Beberapa hal inti dalam pencegahan bunuh diri menurut Rudd, Joiner dan Rajab :
1. Penyelesaian masalah,
2. Panduan dalam mengendalikan emosi, trauma kemarahan serta mentolerasi
penderitaan
3. Menciptakan hubungan terapeutik yang kuat dan empatik, membangun kepercayaan
dan harapan
GANGGUAN KECEMASAN
Kecemasan/anxietas (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan respons
yang tepat terhadap ancaman, kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak
sesuai dengan proporsi ancaman atau ancaman datang tanpa ada penyebabnya.
TIPE-TIPE GANGGUAN KECEMASAN
A. FOBIA
Kriteria DSM-IV-TR untuk Fobia :
a. ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi
b. keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
c. orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistis
d. objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens
Deskripsi :
Ketakutan dan penolakan terhadap objek atau situasi yang tidak mengandung bahaya yang
sesungguhnya. Fobia diawali dengan bahasa Yunani yaitu objek atau situasi yang ditakuti. Kata fobia
diambil dari dewa Yunani Phobos, yang takut kepada musuh-musuhnya. Terdapat berapa istilah
seperti :
Claustrophobia : ketakutan pada ruang tertutup
Agoraphobia : ketakutan pada tempat umum
Acrophobia : ketakutan pada ketinggian
Ergasiophobia : ketakutan menulis
Pnigophobia : ketakutan tersedak
Taphephobia : ketakutan dikubur hidup-hidup
Anglophobia : ketakutan pada Inggris
Musophobia : ketakutan pada tikus
Hellenologophobia : ketakutan pada kondisi ilmiah semua
contoh : ketakutan ekstrim terhadap ketinggian, tempat tertutup, ular, atau laba-laba.
Para psikoanalis berfokus pada isi fobia. Objek yang ditakuti sebagai suatu simbol ketakutan bawah
sadar yang penting. Kasus Freud, Little Hans memiliki ketakutan bertemu dengan kuda bila ia pergi
ke luar rumah. Ternyata kuda tersebut dianggap mewakili ayahnya yang berkumis dan nerkacamata.
Para behavioris, memfokuskan pada fungsinya. Bagi mereka, ketakutan pada ular dan ketinggian
memiliki kesamaan dalam kaitan bagaimana terjadinya, bagaimana ketakutan tersebut dapat
dikurangi, dan sebagainya.
Tipe Fobia :
a. Fobia Spesifik
Ketakutan beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik.
DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya :
1. Darah
2. Cedera dan penyuntikan
3. Sutuasi (pesawat terbang, lift, dll)
4. Binatang
5. Lingkungan alami (ketinggian, air, dll)
Fobia juga bervariasi dalam berbagai budaya, contoh :
1. Di Cina, pa-leng adalah ketakutan pada dingin dimana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa
hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutannya berkaitan dengan
filosofi Cina tentang yin dan yang, yin berupa pencairan energi yang dingin dan berangin.
2. Di jepang, taijinkyofu-sho yaitu ketakutan pada orang lain. Ketakutan ekstrem untuk
mempermalukan orang lain. Diyakini fobia ini timbul dari berbagai elemen tradisional Jepang
yang mendorong kepedulian yang ekstrem terhadap perasaan orang lain namun tidak mendorong
komunikasi perasaan secara langsung
b. Fobia Sosial
Ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain.
Angka bunuh diri pada orang yang menderita fobia sosial jauh lebih tinggi dibanding pada mereka
yang menderita gangguan anxietas lain. Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba
menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau
berperilaku secara memalukan. Misal keringat berlebihan atau memerahnya wajah karena
sensitivitas sosial ekstrem yang mereka alami sangat merugikan secara emosional. Awal terjadinya
biasanya pada masa remaja, saat kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat
penting dalam kehidupan seseorang. Ketakutan semacam itu juga ditemukan pada anak-anak. Fobia
sosial cukup bervariasi dalam berbagai budaya.
Contoh : Di jepang ketakutan menyakiti orang lain merupakan hal penting tetapi di Amerika Serikat
ketakutan dinilai negative oleh orang lain lebih jamak.
Etiologi Fobia
a. Teori Psikoanalisis
Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impulsimpuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke
suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya yang kemudian menjadi stimuli
fobik dengan menghindari seseorang dapat menghindar dari konflik yang ditekan. Fobia adalah cara
ego untuk menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konflik masa kecil yang
ditekan.,sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal tertentu di masa
kecil dan bukan suatu impuls id. Pada masa kanak-kanak, orang fobia awalnya menjalani periode
tanpa dosa di mana mereka memercayai orang lain di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari
bahaya. Kemudian mereka menjadi takut bahwa orang dewasa terutama orang tua tidak dapat
diandalkan. Untuk dapat kembali memercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa
takut pada orang lain menjadi rasa takut pada objek atau situasi yang tidak menyenangkan. Fobia
muncul ketika pada masa dewasa seseorang mengalami beberapa bentuk stress
b. Teori Behavioral
Avoidance Conditioning
mengenai pengkondisian terhadap suatu rasa takut atau
fobia yang terlihat jelas pada Little Albert (ketakutan terhadap tikus putih). Formulasi avoidance
conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan
bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan :
1. Classical conditioning, belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS)
2. Operant conditioning, belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan
menghindari stimulus netral (cs)
Suatu fobia atau objek atau situasi spesifik kadangkala dilaporkan setelah terjadi pengalaman yang
menyakitkan dengan objek tersebut.
Contoh : beberapa orang menjadi sangat takut pada ketinggian setelah jatuh yang berakibat buruk,
fobia mengemudi karena pernah mengalami serangan panik saat di dalam mobil, dll.
Avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat dibenarkan.
Banyak orang yang menderita menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung dengan
kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan.
Modeling
Ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Pembelajaran terhadap rasa takut
dengan mengamati orang lain secara umum disebut vicarious learning.
Contoh :
1. Penelitian Bandura dan Rosenthal (1966), para peserta mengamati model yang sedang diikat
pada serangkaian alat listrik dan saat terdengar dengungan sang model berpura-pura merasa
kesakitan. Peserta bereaksi secara emosional terhadap stimulus yang tidak berbahaya walaupun
mereka tidak melakukan kontak secara langsung dengan kejadian. (direkam)
2. Terjadi melalui instruksi verbal, reaksi fobik dipelajari melalui deskripsi yang diberikan orang lain
tentang apa yang mungkin terjadi selain melalui observasi langsung terhadap ketakutan orang
lain. Ex : orang tua memberitahukan anaknya untuk tidak melakukan aktivitas berbahaya
c. Teori Kognitif
Bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan dan bagaimana pikiran dapat membuat fobia
menetap. Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang
lain dibanding orang yang tidak mengalami kecemasan sosial. Rasa takut yang menetap dan fakta
bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Rasa
takut terjadi melalui proses – proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari,
setelah proses awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang
dapat menghilangkan rasa takut tersebut.
d. Faktor Biologis yang Mempegaruhi
Sistem Saraf Otonom
seperti berkeringat dan memerahnya wajah
Faktor Genetik
misalnya ayah dan anak laki-lakinya fobia ketinggian. Faktor genetik mungkin berperan dalam
etiologi fobia namun hingga saat ini tidak ada bukti tegas yang menunjukkan sampai sejauh mana
peran faktor genetik.
Terapi Fobia
a. Pendekatan Psikoanalisis
Mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan
karakteristik penghindaran dalam gangguan.
Dalam asosiasi bebas, analis mendengarkan apa yang dikatakan pasien terkait dengan setiap rujukan
mengenai fobia. Analis berupaya menemukan petunjuk mengenai penyebab fobia yang ditekan. Apa
yang diyakini analis mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung dengan teori psikoanalisis
yang dianutnya. Misal :
1. Analis ortodoks mencari konflik yang berkaitan dengan seks dan agresi
2. Analis yang menganut teori interpersonal Arietimempelajari generalisasi ketakutannya terhadap
orang lain
3. Analis ego kontemporer focus mendorong pasien menghdapi fobia. (mereka tetap menganggap
fobia sebagai akibat dari masalah masalalu)
Para ahli klinis mengakui pentingnya pemaparan dengan sesuatu yang ditakuti, walaupun biasanya
mereka cenderung menganggap perbaikan kondisi yang mengikutinya bersifat simtomatik dan
bukan sebagai penyelesaian atas konflik mendasar yang diasumsikan sebagai penyebab fobia.
b. Pendekatan Behavioral
Desensitisasi sistematik
merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali digunakan secara luas untuk menangani
fobia. Sebagian besar peneliti klinis kontemporer menganggap bahwa pemaparan secara nyata
lebih bernilai dibanding teknik yang menggunakan imajinasi. Desentisisasi dalam imajinasi sesuai
bila tidak dimungkinkan memaparkan sesuatu pada orang yang ketakutan secara langsung.
Contoh : terapis ingin memberikan pemaparan kepada pasiem mengenai ayahnya yang sudah
meninggal.
Flooding
klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh
Teknik operant
pemaparan secara nyata terhadap objek fobia. Dicapai secara bertingkat dan klien diberi hadiah
walaupun hanya mengalami keberhasilan minimal.
c. Pendekatan Kognitif
Tidak ada bukti bahwa hanya dengan menghapus keyakinan irasional tanpa pemaparan dengan
situasi yang ditakuti akan mengurangi penghindaran fobik. Orang yang menderita fobia sosial dapat
memperoleh manfaat dari strategi penanganan yang mengacu pada beck dan ellis. Yaitu pasien
dipersuasi oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka secara lebih akurat.
Contoh : kernyitan mata seseorang buka berarti tidak setuju dengan saya tetapi lebih menunjukkan
tentang apa yang dipikirkannya yang tidak ada kaitannya dengan saya
d. Pendekatan Biologis
Obat-obat yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran
lytic berasal dari bahasa yunani artinya melonggarkan atau melemahkan). Barbiturate adalah
golongan obat utama yang digunakan untuk menangani gangguan anxietas, tetapi menyebabkan
ketergantungan tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis. Tahun 1950, obat itu diganti dengan
propanediol (a.l Miltown) dan benzodiazepine (a.l valium dan xanax). Benzodiazepine menyebabkan
ketergantungan fisik dan syndrome putus zat diri yang parah. Salah satu obat antidepresan yang
popular menangani gangguan anxietas termasuk fobia adalah MAO (monoamine oxidase).
Masalah kunci dalam hal ini adalah pemberian obat mungkin sulit dihentikan dan kekambuhan
umum terjadi jika pasien berhenti menggunakannya.
B. GANGGUAN PANIK
Seseorang mengalami serangan mendadak dan sering kali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk
serangkaian simtom yang tidak mengenakkan (kesulitan bernapas, jatung berdebar, mual, nyeri
dada, merasa seperti tersedak, dan tercekik, pusing, berkeringat, dan gemetar, serta kecemasan
yang sangat dalam, terror, merasa seolah akan mati, depersonalisasi (perasaan seolah berada di luar
tubuh) dan derealisasi (perasaan bahwa dunia tidak nyata, ketakutan kehilangan kendali, menjadi
gila, dan atau mati)).
Kriteria DSM-IV-TR :
1. Serangan panik berulang tanpa terduga
2. Sekurang-kurangnya selama satu bulan terdapat kekhawatiran akan terjadinya serangan
berikutnya atau kekhawatiran atas konsekuensi yang diterima ketika serangan terjadi atau
perubahan perilaku karena serangan yang dialami
Terdapat tiga tipe serangan panic, yaitu Serangan panik berisyarat (cued panic attacks) : terkait
dengan pemicu situasional, Serangan yang dipicu secara situasional : terdapat hubungan antara
stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat dan Serangan tanpa isyarat (uncued attacks) :
kondisi yang tampaknya tenang seperti rileksasi, tidur, dan dalam situasi tidak terduga
Umumnya berasal dari masa remaja dan kemunculannya terkait dengan pengalaman hidup yang
penuh stress
Dalam DSM-IV-TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia (dari bahasa yunani
agora yang berarti daerah pasar. Sekumpulan rasa takut pada tempat umum dan ketidakmampuan
melarikan diri atau mendapatkan pertolongan bila menjadi lemah oleh kecemasan). Agoraphobia
bukan ketakutan terhadap tempat umum itu sendiri melainkan ketakutan mengalami serangan panik
di tempat umum.
Etiologi Gangguan Panik
a. Teori Biologis
Sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan
panik contoh : penyakit telinga bagian dalam menyebabkan kepusingan yang dirasakan menakutkan
bagi beberapa orang dan memicu terjadinya gangguan panik.
Panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam system noradrenergik (neuron yang
menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmitter) fokus pada nucleus dalam pons yang disebut
locus cereleus. Pemikiran lain tentang aktivitas noradrenergic yang berlebiahan adalah bahwa hal itu
disebabkan oleh suatu masalah dalam neuron gama-aminobutyric (GABA) yang sevara umum
menghambat aktivitas noradrenergic.
b. Teori Psikologis
serangan panik menjadi terkondisikan secara klasikal pada sensasi fisik internal yang ditimbulkan
oleh kecemasan. Mereka yang menderita gangguan panik menganggap serangan tersebut sebagai
sesuatu yang tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi serta melihat serangan tersebut
sebagai kekuatan tertentu. Hal ini dapat menjadi UCS yang sangat kuat sekaligus meningkatkan
conditioning.
Terapi Gangguan Panik dan Agoraphobia
a. Penanganan Biologis
obat sebagai penanganan biologis gangguan panik, yaitu antidepresan (penghambat pengembalian
serotonin selektif, sperti Prozac, tofranil) dan benzodiazepine (alprazolam atau xanax). Sisi negative
obat benzodiazepine menyebabkan kecanduan dan menghasilkan efek samping kognitif dan
motorik, seperti berkurangnya memori dan kesulitan mengemudi.
b. Penanganan Psikologis
Terapi dengan memberikan pemaparan berguna untuk mengurangi agoraphobia (atau dalam DSMIV-TR gangguan panik dengan agoraphobia). Terapi yang dikembangkan oleh Barlow dan rekanrekannya disebut terapi PCT (panik control therapy) memiliki tiga komponen :
Training relaksasi
Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck
Pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan
Gambarannya : seorang yang mengalami serangan panik diawali dengan hiperventilasi diminta untuk
bernapas dengan cepat selama tiga menit. Ketika sensasi dan tanda-tanda panik terjadi klien
mengalaminya dalam keadaan aman dan menerapkan taktik coping kognitif dan relaksasi yang
dipelajari sebelumnya (bernapas dengan diafragma). Dengan persuasi dari terapis, klien belajar
untuk kepanikan menjadi sesuatu yang tidak berbahaya dan mengubah makna kepanikan bagi klien.
C. GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH (GENERALIZED ANXIETY DISORDER)
Terus menerus merasa cemas, sering kali tentang hal-hal kecil, memiliki kekhawatiran kronis,
menghabiskan banyak waktu untuk mengkhawatirkan banyak hal yang dianggap sesuatu yang tidak
dapat dikontrol, kesulitan berkonsentrasi, mudah lelah, ketidaksabaran, mudah tersinggung, dan
ketegangan otot yang sangat amat. Kekhawatiran yang sering dirasakan adalah kesehatan mereka
dan masalah sehari-hari (terlambat menghadiri pertemuan atau banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan). GAD umumnya dimulai pada pertengahan masa remaja.
Kriteria DSM-IV-TR :
1. Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan
2. Kekhawatiran tersebut sulit dikendalikan
3. Pasien mengalami tiga atau lebih diantara hal-hal berikut : ketidaksabaran, sangat mudah lelah,
sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, ketegangan otot, gangguan tidur
Etiologi Generalized Anxiety Disorder
a. Pandangan Psikoanalisis
Konflik yang tidak disadari antara ego dan impuls – impuls id (biasanya bersifat seksual atau agresi).
Kecemasan tidak dialihkan ke objek atau situasi tertentu sehingga selalu merasa cemas.
b. Pandangan Kognitif Behavioral
Disebabkan oleh proses berpikir yang menyimpang. Contoh : menyebrang jalan dianggap hal yang
mengancam dan kognisi mereka terfokus pada antisipasi berbagai bencana pada masa mendatang.
Borkovec dan para koleganya memfokuskan simtom utama GAD adalah kekhawatiran. Kunci utama
menghadapi GAD adalah menyadari kekhawatiran tidak menciptakan banyak ketegangan emosional.
Contoh : penderita GAD lebih banyak mengalami pascatrauma yang mencakup kematian, cedera,
atau penyakit. Padahal hal tersebut bukan sesuatu yang mereka khawatirkan melainkan berbagai
citra pascatrauma yang menyakitkan tersebut
c. Perspektif Biologis
GAD dapat memiliki komponen genetik. GAD sering ditemukan pada orang-orang yang memiliki
hubungan keluarga dengan penderita gangguan ini. Namun tingkat komponen genetic ini tampaknya
rendah.
Terapi GAD
a. Pendekatan Psikoanalisis
Penanganannya hampir sama dengan fobia. Fokus pada konflik interpersonal dalam kehidupan
masalalu dan masa kini . Saat ini, sama dengan para terapis kognitif behavioral mendorong
penyelesaian masalah sosial.
b. Pendekatan Behavioral
Klien yang mengalami GAD dianggap takut untuk mengkritik dan dikritik orang lain. Desensitisasi
sistematis menjadi kemungkinan terapi. Penanganan umum seperti rileksasi intensif diharapkan
belajar untuk rileks ketika mengalami ketegangan.
c. Pendekatan Kognitif
Membantu klien menguaai keterampilan apapun yang dapat menumbuhkan perasaan kompeten.
Termasuk asertivitas dapat diajarkan melalui intruksi verbal, modeling, atau pembentukan operant
atau kombinasi secara hati-hati dari ketiganya.
d. Pendekatan Biologis
Anxiolytic mungkin menanganan yang paling banyak digunakan untuk GAD. Obat valium dan xanax
setra buspirone (buSpar) juga sering digunakan. Sayangnya, obat tersebut memiliki efek samping
mulai dari mengantuk, kehilangan memori, dan depresi hingga ketergantungan fisik serta kerusakan
organ-organ tubuh. Selain itu jika tidak menggunakan obat tersebut manfaat yang dirasakan akan
hilang.
Contoh Kasus
Generalized Anxiety Disorder
Margie berusia 10 tahun, dirujuk karena terlalu sering bersedih (menangis) di sekolah, yang mana
hal tersebut memburuk sedikit demi sedikit dalam beberapa bulan terakhir. Kesedihan iu tidak dapat
diprediksi. Ia sering menangis saat diajak bicara oleh guru atau ketika bermain bersama temantemannya selama jam istirahat. Dalam surat rujukan, dokter keluarganya mendeskripsikan Margie
sebagai orang yang khawatir.
Dalam wawancara pendahuluan, Margie mengatakan bahwa dirinya khawatir tentang berbagai
aktivitas rutin sehari-hari dan tanggung jawab. Ia khawatir melakukan hal dengan buruk di sekolah,
khawatir teman-teman tidak akan menyukainya, orang tua akan kecewa dengan caranya melakukan
pekerjaan rumah tangga. Margie juga khawatir tentang kesehatannya dan seringkali mengalami sakit
perut. Ia juga mempunyai ketakutan tentang keselamatan keluarganya. Mergie memiliki perhatian
yang besar terhadap masa depan: khawatir akan gagal dalam ujian, tidak bisa menemukan
pekerjaan, tidak dapat menemukan pasangan dan menikah dengan orang yang tidak tepat. Ia terus
menerus merasa gelisah dan tidak dapat relax.
Margie merupakan anak tertua dari 4 bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dalam
keluarga.
Fobia
Andri adalah murid salah satu sekolah dasar di Semarang, ia memiliki masalah ketidakmampuan
menjalin hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dikarenakan terlalu banyak bermain
game online. Semakin berjalannya waktu dan ketidakmampuan Andri untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi, masalah Andri ini menjadi meluas. Tidak hanya dengan teman-teman sebayanya
tetapi juga dengan guru-guru pengajar. Yang menjadi perhatian adalah ketika Andri berbicara
dengan orang lain. Tidak terfokus dengan lawan bicara, hanya tersenyum-senyum sambil
menggerakkan kepalanya dengan hitungan patah-patah seperti boneka kayu yang kaku dan
pandangan kosong lurus ke depan. Hitungan fokus untuk menatap lawan bicara hanya kurang dari 6
detik dan fokus pada topik pembicaraan hanya kurang dari 9 detik. Pola seperti ini, terulang terus
menerus ketika Andri dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dia untuk berkomunikasi dengan
dua orang atau lebih.
Pola yang terulang terus-menerus setiap kali berbicara dengan Andri,membuat teman-teman
sekelasnya menjauhi Andri. Bahkan ada seorang guru yang membentak Andri dengan menggunakan
kata “gendheng dan autis.”
Masalah baru muncul. Andri tidak hadir di sekolah sampai hampir 1 minggu. Menurut pengakuan
ibunya, setiap disuruh berangkat ke sekolah, badan Andri mendadak panas dan kakinya dingin yang
disertai dengan diare. Empat surat izin tidak masuk karena sakit dari orang tua Andri, terdapat diatas
meja kerja guru. Tiga kali diperiksakan ke dokter oleh orang tuanya, tidak diketahui adanya penyakit
berbahaya. Menurut analisa dokter, sakitnya Andri dikarenakan Andri mengalami stres berat dan
ketakutan akan sesuatu. Kepada ibunya, Andri bercerita kalau dia takut berhadapan dengan guru
yang mengatakan dia gendheng dan autis. Sehingga membuat dia takut berangkat ke sekolah.
Gangguan Panik
Toni eksekutif muda usia 35 tahun itu tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. Saat
itu ia sedang berada di jalan menuju kantornya di daerah Sudirman. Ia juga merasakan sesak napas
dan perasaan seperti tercekik. Toni menjadi sangat ketakutan akan keadaan ini sampai ia
meminggirkan mobilnya. Saat itu ia merasa takut mati sehingga membuatnya ke unit gawat darurat
(UGD) sesaat jantungnya sudah mulai terasa berkurang debarannya 10 menit kemudian. Di UGD,
Toni diperiksa jantung dan laboratorium penunjang lainnya. Hasilnya semua dalam batas normal.
Toni kemudian bingung apa yang baru saja dialaminya. dokter menyarankan Toni untuk tidak
khawatir karena tidak ditemukan kelainan apa-apa. “Mungkin anda sedang kecapean saja”, kata si
dokter menenangkan.
GANGUAN SOMATOFORM
“Soma” berarti tubuh. Dalam gangguan somatoform masalah-masalah psikologis muncul
dalam bentuk gangguan fisik. Simtom-simtom fisik gangguan somatoform, yang tidak dapat
dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait dengan faktorfaktor psikologis, diperkirakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab
psikologis. Secara singkat, gangguan somatoform adalah Kelompok gangguan yang ditandai
oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab
kerusakan fisik.
Gangguan somatoform terdiri dari gangguan nyeri, gangguan dismorfik tubuh,
hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan somatisasi.
A. GANGGUAN NYERI
o Gangguan nyeri adalah salah satu gangguan somatoform yang secara signifikan
dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis dalam muncul, menetap dan parahnya rasa
nyeri. Rasa nyeri dapat memiliki keterkaitan temporal dengan semacam konflik atau
stress, atau memungkinkan individu menghindari aktivitas yang tidak menyenangkan dan
mendapat simpati yang tidak diperoleh jika individu dalam keadaan sehat.
o Adapun perbedaan gambaran rasa nyeri yang digambarkan oleh pasien somatoform
dibandingkan dengan gambaran yang diberikan oleh pasien yang rasa sakitnya jelas
terkait masalah fisik. Pasien yang rasa sakitnya dilandasi oleh gangguan fisik dapat
menunjukkan bagian yang sakit secara lebih spesifik, memberikan deskripsi sensori
terkait rasa sakitnya secara lebih rinci, dan mengaitkan rasa sakit tersebut secara lebih
jelas dengan berbagai kondisi yang dapat meningkatkan atau mengurangi rasa sakit.
B. GANGGUAN DISMORFIK TUBUH
o Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan dimana seseorang dipenuhi kekhawatiran
dengan kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih-lebihkan.
o Contoh : kerutan pada wajah, bentuk atau ukuran hidung yang tidak proposional, bulu di
wajah yang lebat. Sehingga Beberapa pasien yang menderita gangguan ini dapat
menghabiskan waktu berjam-jam secara kompulsif memandangi diri mereka di cermin
untuk mengecek kekurangan-kekurangan tersebut. Gangguan ini terutama terjadi pada
perempuan, umumnya berawal dari masa remaja akhir, dan sering kali komorbid dengan
depresi, fobia sosial, dan gangguan kepribadian.
Kasus Gangguan Dismorfik Tubuh
Lolita Richi (16) dari Ukraina adalah "Manusia Barbie" terbaru (dan termuda) yang muncul.
Lolita memiliki pinggang berukuran 20 inci, dan memakai lensa kontak berwarna untuk
meniru mata besar idola fiksinya. Ia menolak anggapan telah melakukan operasi plastik dan
memanipulasi foto-fotonya secara digital, tetapi proporsi tubuhnya menunjukkan sebaliknya.
Bahkan, jika klaim Lolita bahwa ia tidak menjalani operasi plastik dipercaya, citra tubuhnya
masih memprihatinkan. Dia mengaku mulai berdandan karena dia ingin terlihat sempurna dan
bahwa semua wanita pasti menginginkan hal yang sama
C. HIPOKONDRIASIS
o Hipokondriasis adalah suatu gangguan somatoform dimana individu terpreokupasi
ketakutan mengalami suatu penyakit serius yang menetap terlepas dari kepastian medis
yang menyatakan sebaliknya. Gangguan ini umumnya muncul pada masa dewasa awal,
dan cenderung memiliki perjalanan yang kronis.
o Hipokondriasis sering kali muncul bersama dengan gangguan anxietas dan mood, yang
mengarahkan beberapa peneliti untuk berpikir bahwa hipokondriasis bukan merupakan
gangguan tersendiri, namun suatu simtom berbagai gangguan lain. Misalnya terjadi pada
mereka yang sewaktu berusia muda terlalu dijaga dari kegiatan yang memungkinkan
sakit, seperti hujan-hujanan atau panas-panasan.
Kasus Hipokondriasis :
Robert, ahli radiologi berusia 38 tahun, baru saja pulang dari kunjungan selama 10 hari di
sebuah pusat diagnostic terkenal dimana ia menjalani pengujian ekstensif untuk seluruh
system pencernaannya. Evaluasi membuktikan tanda negative untuk penyakit fisik apapun,
namun bukannya merasa lega, radiolog itu tampak marah dan kecewa dengan penemuan
tersebut. Radiolog itu telah merasa terganggu selama beberapa bulan dengan berbagai
symptom fisik, yang digambarkannya sebagai symptom-symptom yang berupa nyeri perut
ringan, terasa “penuh”, “isi perut yang bergemuruh”, dan perasaan akan “isi perut yang
keras”. Ia menjadi yakin bahwa symptom-symptom ini disebabkan oleh kanker usus besar
dan ia menjadi terbiasa untuk menguji sampel darahnya setiap minggu dan secara hati-hati
memeriksakan perutnya akan yang didapat didalamnya saat terlentang di tempat tidur setiap
beberapa hari sekali. Saat evaluasi, getaran jantungnya terbukti tidak berbahaya, ia malah
mulai khawatir bahwa ada sesuatu yang lupa diperiksa. Ia mengembangkan ketakutan
tersebut benar-benar dapat dikesampingkan, hal itu tidak pernah benar-benar hilang.
D. GANGGUAN KONVERSI
o Gangguan konversi adalah simtom-simtom yang mempengaruhi fungsi sensorik atau
motorik yang mengindikasikan suatu penyakit yang terkait dengan kerusakan neurologis
atau sejenisnya, walaupun organ-organ tubuh dan sistem saraf dalam kondisi baik. Sifat
psikologis dari simtom-simtom konversi juga tercermin dalam fakta munculnya simtomsimtom tersebut secara mendadak dalam berbagai situasi penuh stres, yang sering kali
memungkinkan individu menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab.
o Simtom-simtom konversi biasanya berkembang pada masa remaja atau dewasa awal,
umumnya setelah terjadinya suatu stres kehidupan. Suatu episode dapat berakhir secara
mendadak, namun cepat atau lambat gangguan tersebut kemungkinan akan kembali, baik
dalam bentuk awalnya atau dalam suatu simtom yang memiliki sifat dan tempat yang
berbeda.
Kriteria DSM IV-TR untuk Gangguan Konversi
- Suatu simtom atau lebih yang memengaruhi fungsi motorik dan sensori serta
mengindikasikan kondisi neurologis atau medis
- Simtom memiliki kaitan dengan konflik atau stres
- Simtom tidak terjadi dengan disengaja dan tidak dapat dijelaskan secara medis
Kasus Gangguan Konversi
Anna O. adalah nama samaran untuk Bertha Pappenheim, seorang pasien yahudi yang
menjadi subyek penelitian Sigmund Freud bersama Josef Breuer selama 2 tahun lamanya,
antara tahun 1880-1882. Seperti yang telah dijelaskan diatas, Anna O mengalami conversion
disorder, sebuah gangguan psikis yang terkonversi menjadi wujud penyakit fisik, dengan
simptom utama epilepsi dan kelumpuhan parsial pada salah satu lengannya. Anna O dibawa
ke Breur dan Freud setelah dokter anatomi gagal mendiagnosa penyakit Anna, lantaran secara
jasmaniah Anna memang tidak memiliki gangguan biologis apapun. Selama 2 tahun lamanya
Freud dan Breuer melakukan penelitian kejiwaan dan mencoba untuk ’masuk’ kedalam
fikiran Anna melalui metode apa yang saat itu mereka sebut dengan istilah ‘the talking cure’
(cikal bakal psikoanalisis). Semua proses tesebut direkam ke dalam sebuah catatan yang
kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul ’Studies on Hysteria’. Anna adalah anak
ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya bernama Henriette (meninggal umur 18tahun) dan
Flora (meninggal umur 2tahun), adiknya bernama Wilheilm. Sepeninggalan kakak2nya, Anna
menjadi sangat2 dekat dengan ayahnya hingga akhirnya beberapa tahun kemudian ayahnya
pun turut meninggal dunia meninggalkannya bertiga bersama ibu dan adiknya. Anna tidak
pernah dekat dengan ibunya karena (menurut alam bawah sadar Anna) ibunya terlalu sibuk
mengurusi Wilhem. Dan selama menjalani proses talking cure, Freud dan Breuer akhirnya
menemukan titik cerah ketika dalam kondisi setengah sadar (states of abscence) Anna
bercerita bagaimana sebenarnya sebelum meninggal dunia, Anna sempat bertemu dengan
ayahnya, dan bagaimana sebenarnya ayah Anna meninggal di dalam dekapan lengannya.
Anna mengalami proses guilt yang amat berat hingga lengannya itupun menjadi lumpuh.
Pada tahun 1882 kelumpuhan tangan Anna dapat disembuhkan setelah the talking cure
berhasil me-rekonsiliasi-kan rasa guiltnya.
E. GANGGUAN SOMATISASI
o Gangguan somatisasi merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan keluhan somatik berulang
dan beragam, sehingga penderitanya merasa perlu perhatian medis dan kerap kali mencari
pertolongan medis, padahal tidak memiliki sebab fisik yang jelas.
o Gangguan ini memiliki beberapa simtom, dimana simtom – simtom spesifiknya dapat bervariasi
antar budaya. Sindrom gangguan ini pertama kali digambarkan oleh dokter berkebangsaan Prancis
Pierre Briquet pada tahun 1859, sehingga dulu sebelum DSM-IV-TR mengganti istilah menjadi
gangguan somatisasi, gangguan ini disebut sindrom Briquet.
o Sindrom ini bermula pada saat masa remaja akhir atau pada saat dewasa awal. Gangguan ini bisa
menjadi kronis dan berlangsung sepanjang hidup pasien (Kirmayer, Robbins, & Paris, 1994;
Smith; 1994), serta gangguan ini dapat menyebabkan hendaya dalam melakukan aktifitas sehari –
hari. Biasanya gangguan ini diderita oleh pasien yang berumur kurang dari 30 tahun.
Diagnostik Gangguan Somatisasi dalam DSM-IV-TR :
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode
beberapa tahun dan menyebabkan terapi yang dicari atau gangguan bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang
waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya 4 tempat atau
fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum
(ujung usus besar), selama menstruasi, selama hubungan seksual atau selama miksi (kencing).
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya 2 gejala gastrointestinal selain dari nyeri
(misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare atau intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan).
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya 1 gejala seksual atau reproduktif selain nyeri
(misalnya indiferensi (tidak condong) seksual, disfungsi erektif atau ejakulasi, menstruasi
yang tidak teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya 1 gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (misalnya gejala konversi seperti
gangguan kordinasi atau keseimbangan, paralisis (kelumpuhan) setempat, sulit menelan atau
benjolan di tenggorokan, afonia (kehilangan suara karena gangguan pita suara), retensi urin
(tertahannya urin), halusinasi, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
C. Salah satu dari poin 1 atau 2:
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat
(misalnya efek cidera, medikasi, obat atau alkohol).
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkan adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau purapura).
Contoh Kasus :
Sila seorang wanita berusia 31 tahun, sedang mencari treatment karena dokter mengatakan
bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan untuk Sila. Ketika ditanya mengenai masalah kesehatannya,
Sila menceritakan serangkaian keluhan, seperti sering tidak dapat mengingat tentang peristiwa yang
terjadi padanya dan pada waktu yang lain pengelihatannya kabur, sehingga tidak dapat membaca
huruf pada halaman cetak. Sila suka membaca dan melakukan aktifitas lain di sekitar rumahnya, tapi
ia mudah merasa lelah dan susah bernafas karena alasan yang tidak jelas. Ia sering tidak bisa
menikmati makanan yang telah dibuatnya karena akan merasa mual dan ingin muntah saat memakan
apapun, bahkan ketika hanya mencicipi bumbunya saja.
Menurut suami, Sila telah kehilangan minat untuk melakukan hubungan intim, hanya
melakukannya satu kali dalam jangka waktu beberapa bulan sekali, dan biasanya dilakukan atas
desakan suami. Sila mengeluhkan kram yang sangat menyakitkan saat periode menstruasi dan pada
saat yang lain ia merasa bahwa “dalam dirinya merasa terbakar”. Karena sakit yang dirasakan
dipunggung, kaki, dan dadanya. Sila ingin tetap berada di tempat tidur sepanjang hari. Sila tinggal di
rumah dengan halaman yang luas tetapi jarang sekali ia kelilingi “karena saya harus berbaring pada
saat kaki saya sakit”.
ETIOLOGI GANGGUAN SOMATOFORM
A. ETIOLOGI GANGGUAN SOMATISASI
Para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan
perhatian yang berlebihan terhadap sensasi tersebut, atau mengintepretasikannya sebagai sesuatu
yang membahayakan (Kirmayer dkk., 1994; Rief dkk., 1998). Berbagai macam keluhan fisik yang
dirasakan oleh pasien gangguan somatisasi merupakan manifestasi dari kecemasan yang tidak
realistis dalam sistem tubuh. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan menguat
karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.
B. TEORI PSIKOANALISIS MENGENAI GANGGUAN KONVERSI
Gangguan konversi memberikan kesempatan besar bagi Freud untuk menggali konsep
ketidaksadaran yang merupakan salah satu konsep utama psikoanalisis. Dalam Studies in Hysteria
(1895/1982), Breuer dan Freud berpendapat bahwa gangguan konversi terjadi ketika seseorang
mengalami suatu kejadian yang menciptakan ketegangan emosi yang sangat besar, namun
afeksinya tidak diekspresikan, dan ingatan mengenai kejadian tersebut dipisahkan dari
pengalaman kesadaran.
Gangguan konversi pada perempuan menurut hipotesis Freud berakar pada Electra Complex
pada masa awal yang tidak terselesaikan. Impuls – impuls awal akan ditekan jika orang tua
merespon perasaan tersebut dengan keras dan ketidaksetujuan. Pada periode hidup selanjutnya,
ketika orang yang bersangkutan menghadapi peristiwa yang kebetulan membangkitkan impuls –
impuls yang ditekan tersebut serta kaitannya dengan kepuasan seksual, maka akan menimbulkan
kecemasan. Kecemasan inilah yang diubah atau dikonversikan menjadi simtom – simtom fisik.
Keuntungan primer gangguan konversi adalah penghindaran dari Electra Complex yang tidak
terselesaikan dan dari impuls – impuls id yang sebelumnya ditekan. Freud mengungkapkan bahwa
bisa saja terdapat keuntungan sekunder dari gangguan konversi, yaitu simtom – simtom tersebut
dapat membuat pasien menghindar dari situasi kehidupan saat ini yang tidak menyenangkan atau
untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.
Motivasi memegang peranan dalam hal apakah individu akan mendisosiasi perilaku dari
kesadaran. Hal ini dibuktikan pada situasi laboratorium Sackeim dan koleganya. Peserta yang
sangat dimotivasi mempertahankan kebutaan memberikan hasil yang buruk ketika diuji dengan
tugas diskriminasi visual. Sedangkan peserta yang kurang dimotivasi memberikan hasil yang
sangat baik, walaupun menuturkan bahwa ia buta. Menurut Sackeim dan koleganya, penuturan
verbal dan perilaku tampaknya secara tidak disadari dapat berbeda. Dimana ketika seseorang yang
buta secara histerikal mengatakan bahwa ia tidak dapat melihat, di saat yang sama dapat
dipengaruhi oleh stimuli visual.
TERAPI UNTUK GANGGUAN SOMATOFORM
1. Terapi untuk gangguan somatisasi
- Terapi kognitif, dapat digunakan untuk mengatasi ketakutan. Berkurangnya rasa sakit dapat
membantu mengurangi berbagai keluhan somatik. Namun kemungkinan akan dibutuhkan lebih
banyak penanganan, karena seseoang yang telah menderita “sakit” selama kurun watu tertentu
terbiasa untuk menjadi lemah dan tergantung, untuk menghindari tantangan sehari-hari dan bukan
sebagai orang dewasa.
- Terapi keluarga, dapat digunakan untuk membantu mengubah jaringan hubugan yang bertujuan
membantu usaha untuk menjadi mandiri
- Training asersi dan keterampilan sosial digunakan untuk melatih secara efektif melakukan kontak
social seperti mendekati dan memulai pembicaraan dengan orang lain, mempertahankan kontak
mata, memberikan pujian, menerima krtik, dan mengajukan permintaan. Hal ini dapat bermanfaat
untuk membantunya menguasai berbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain dan mengatasi
berbagai tantangan.
- Dokter berperan untuk meminimalkan penggunaan berbagai tes diagnostik dan pemberian obat,
mempertahankan kontak dengan pasien terlepas dari pasien mengeluhkan suatu penyakit atau
tidak. Pendekatan yang juga dapat dilakukan adalah mengarahkan perhatian pasien pada sumbersumber kecemasan dan depresi yang mungkin mendasari simtom-simtom somatic yang tidak dapat
dijelaskan dan tidak membiarkan mereka terlalu terfokus pada rasa sakit dan nyeri yang ringan dan
tidak berbahaya.
- Biofeedback, yaitu mencakup pengendalian terhadap proses-proses fisiologis, dimana efektif
mengurangi berbagai pikiran yang merusak pada para pasien yang menderita ganguan somatoform.
Biofeedback adalah orang dapat mengendalikan perilaku yang secara umum dianggap tidak berada
dalam kendali kesadaran, seperti denyut jantung dan suhu kulit, jika cara tersebut diciptakan untuk
memberikan umpan balik terhadap perilaku semcam itu. Dengan demikian untuk mengajarkan
pada seseorang bagaimana menaikkan suhu kulitnya, kita harus dapat memberi tahu mereka
apakah suhu kulitnya naik, atau saat sesorang yang memiliki tekanan darah tinggi, mungkin harus
mengubah gaya hidup yang tegang dan ambisius sebelum ia dapat menurunkan tekanan darahnya
secraa signifikan
2. Terapi untuk Hipokondriasis
Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral terbukti efektif untuk mengurangi berbagai maslah
hipokondriasis. Terapi kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk merestrukturisasi pemikiran
pesimistik. Selain itu penanganan dapat mencakup bebeapa strategi seperti mengarahkan perhatian
selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien untik mencari kepastian medis
bahwa ia tidak sakit.
3. Terapi untuk rasa nyeri
Penangangan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
a. Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dala pikiran pasien
b. Pelatihan relaksasi
c. Menghadiahi pasiean karena berperilaku yang tidak sejala dengan rasa nyeri (menahan rasa nyeri)
Terapi tubuh psikodinamika, efektif untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien dan
mempertahankan hasil yang menguntungkan dalam jangka waktu yang lama. Dosis rendah
beberapa obat antidepresan, terutama imipramine (Tofranil), lebih tinggi manfaatnya disbanding
placebo untuk mengurangi rasa nyeri dan disstres kronis. Secara umum, pasien perlu diarahkan
untuk mengalihkan focus dari hal-hal yang tidak dapat dilakukan pasien karena penyakitnya dan
bahkan mengajarkan pada pasien bagaimana mengatasi stres, mendorong aktivitas yang lebih
banyak, dan meningkatkan control diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau rasa tidak nyaman yang
dialami pasien
GANGGUAN STRES PASCATRAUMA
PTSD adalah suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa keatian atau ancaman kematian, atau
cedera serius, atau ancaman terhadap intergritas fisik atau diri seseorang yang menciptakan
ketakutan ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pascatrauma dan gangguan stress akut.
Sederhananya hampir semua orang yang mengalami trauma mengalami stres kadangkala ke
tingkat yang sangat berat. Hal itu normal. Namun jika stresor menyebabkan kerusakan yang
signifikan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan,diagnosisi
yang ditegakkan adalah gangguan stres akut. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi
gangguan stres akut yang mereka alami,jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD.
Simtom-simtom PTSD dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama. Simtom dapat
ditegakkan apablia simtom-simtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu
bulan :
1. Mengalami kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pada kejadian
tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang
mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut. Sebagai
contoh petir mengingatkan seorang veteran pada medan pertempuran.
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas. Individu berusaha menghindari berpikir tentang trauma yang
mereka hadapai atau stimui yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati
rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk meresakan berbagai emosi positif. Pada PTSD kenyataannya
terdapat suatu fluktuasi dimana penderita begantian mengalami kembali dan mati
rasa.
3.Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Mencakup sulit tidur atau
mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut
berlebihan.
Masalah lain yang berhubungan dengan PTSD adalah gangguan anxietas lain, depresi,
kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan zat (mengobati diri sendiri untuk meringankan
distress), masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, disfungsi seksual, dan hendaya
dalam pekerjaan. Pikiran dan rencana bunuh diri umum terjadi, seperti juga insiden ledakan
kekerasan dan masalah psikofisiologis yang berhubungan dengan stres, seperti sakit
punggung bawah, sakit kepala, dan gangguan system pencernaan. Menurut DSM, anak-anak
juga dapat mengalami PTSD, seringkali merupakan respon ketika menyaksikan kekerasan
dalam rumah tangga, mengalami penyiksaan fisik. Seorang anak yang semula periang
menjadi pendiam dan menarik diri atau anak yang semula pendiam menjadi agresif.
Kriteria Diagnostik PTSD dalam DSM IV-TR
a. Orang telah terpapar dengan suatu peristiwa traumatik di mana terdapat kedua dari
berikut ini:
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri
sendiri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa ketakutan yang hebat, rasa tidak berdaya, atau
horor.
Catatan: pada anak-anak, hal ini dapat diekspresikan dengan prilaku yang kacau atau
pembrontakan.
b. Peristiwa traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu atau lebih cara berikut:
1. Ingatan tentang peristiwa yang menyebabkan penderitaan, bersifat berulang dan
mengganggu, meliputi bayangan, pikiran dan persepsi. Catatan: pada anak kecil,
dapat mengekspresikan dalam permainan berulang dengan tema atau aspek
trauma.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang peristiwa. Catatan: pada anak-anak
dapat berupa mimpi yang menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3. Bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa traumatik kembali terjadi (meliputi
perasaan mengalami kembali, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif).
Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali trauma spesifik.
4. Penderitaan psikologis yang kuat pada pemaparan terhadap tanda internal atau
eksternal yang disimbulkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik.
5. Reaktivitas psikologis pada pemaparan terhadap stimulus internal atau eksternal
yang disimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik.
c. Penghindaran menetap dari stimulus yang berhubungan dengan trauma dan kaku pada
responsivitas secara umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan
oleh tiga atau lebih berikut:
1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang dihubungkan
dengan trauma.
2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan
ingatan terhadap trauma.
3. Tidak mampu untuk mengingat kembali aspek penting dari trauma.
4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas penting.
5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6. Rentang afek terbatas (misalnya tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta).
7. Perasaan masa depan yang pendek (misalnya tidak berharap memiliki karir,
menikah, anak-anak, atau umur harapan hidup normal).
d. Adanya gejala peningkatan kewaspadaan yang menetap (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua atau lebih berikut ini:
1. Kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur.
2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3. Kesulitan untuk berkonsentrasi.
4. Kewaspadaan berlebih.
5. Respon kejut yang berlebih.
e. Durasi gangguan (gejala dalam kriteria b, c, dan d) lebih dari satu bulan.
f. Gangguan menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Etiologi Gangguan Stres Pascatrauma
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada faktor-faktor terhadap
gangguan tersebut dan juga pada faktor-faktor psikologis dan biologis. Beberapa diantaranya:
1. Faktor-faktor Resiko. Prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap
nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orangtua di masa kecil, riwayat
gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya, dan gangguan
yang dialami sebelumnya (anxietas atau depresi). Simtom-simtom disosiatif
(termasuk depersonalisasi, derealisasi, amnesia, dan pengalaman keluar dari tubuh)
pada saat trauma juga meningkatkan kemungkinan terjadinya PTSD. Memiliki
intelegensi tinggi tampaknya menjadi faktor proyektif karena diasosiasikan dengan
keterampilan coping individu. Secara umum,menghadapi trauma dengan mencoba
menghindari untuk berpikir tentang hal itu dikaitkan dengan terjadinya PTSD.
2. Teori-teori Psikologis. Para teoritis belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena
pengkondisian klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa
contohnya,dapat merasa takut berjalan di lingkungan tertentu (CS) kerena diperkosa
disana (UCS). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi
penghindaran, yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang
dihasilkan oleh ketidakberadaan CS. PTSD merupakan contoh utama dari teori dua
faktor mengenai avoidance learning yang diajukan oleh Mower. PTSD juga berkaitan
dengan teori-teori kognitif behavioral yang menekankan hilangnya kendali dan
prediktabilitas yang dirasakan orang-orang yang menderita PTSD. Suatu teori
psikodinamika oleh Howirtz menyatakan bahwa ingatan tentang kejadian traumatik
muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga
secara sadar mereka mensurpresinya atau merepresinya.
3. Teori-teori Biologis. Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan
kemungkinan diathesis genetic dalam PTSD. Trauma yang dialami oleh seseorang
dapat mengativasi sistem noradrenergic, meningkatkan level norepinephrine sehingga
membuat orang yang bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat
mengekspresikan emosinya apabila dibandingkan dengan orang dengan keadaan
normal. Adanya penemuan yang menyatakan bahwa level norepinephrine lebih tinggi
pada pasien penderita PTSD dibandingkan dengan kelompok control. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat bukti mengenai meningkatnya sensitivitas reseptor –
reseptor noradrenergic pada penderita PTSD.
Terapi Gangguan Stres Pascatrauma
1. Critical Incident Stress Debriefing
Merupakan pemberian intervensi ketika orang – orang berada dalam fase akut periode
pascatrauma. Hal yang terbaik adalah mengintervensi sebanyak mungkin korban
selamat dalam 24 hingga 72 jam setelah terjadinya peristiwa traumatic, tepat sebelum
PTSD memiliki kesempatan untuk berkembang, dan mendorong mereka untuk
mengkaji secara detail apa yang telah terjadi dan mengekspresikan sekuat mungkin
perasaan mereka tentang kejadian mengerikan tersebut.
Kritik terhadap Critical Incident Stress Debriefing
Segera setelah terjadinya suatu bencana, hal terbaik adalah para korban mendapatkan
dukungan sosial yang biasanya diperoleh dalam keluarga serta komunitas mereka.
Adanya pemaksaan walaupaun dilakukan dengan halus dan dengan maksud baik
dapat mengganggu serta memberi dampak yang buruk. Kritik lain terhadap CISD,
bahwa penderitaan merupakan bagian normal dari suatu kehidupan dan bahwa setelah
mengalami bencana seseorang tidak perlu menghindar dari rasa sakit dan duka cita,
namun lebih memanfaatkan kejadian traumatic tersebut sebagai kesempatan untuk
menghadapi berbagai krisis kehidupan yang tidak dapat dihindari dan diharapkan
seseorang dapat menemukan hikmah dibalik kejadian yang dialaminya.
2. Pendekatan Di Masa Perang
a. Penanganan Narkosintesis
Suatu prosedur kartasi dengan bantuan obat a La Beurer, dimana tentara diinjeksi
dengan sodium Pentothal yang cukup untuk menimbulkan rasa kantuk. Kemudian
terapis memaparkan kejadian (situasi) peperangan tertentu yang terasa nyata dimana
pasien dibawah keadaan sadar. Setelah kembali ke keadaan sadar, terapi tetap
mendorong pembahasan kejadian mengerikan dengan harapan pasien akan menyadari
bahwa semua kejadian tersebut adalah masa lalu dan bukan harapan.
b. Pembentukan Kelompok – Kelompok Diskusi
Kelompok diskusi ini dipelopori oleh para veteran sendiri yang memberikan layanan
konseling bagi para veteran yang mengalami masalah psikologis.
Kelompok diskusi memfokuskan pada rasa bersalah dan kemarahan yang tersisa yang
dirasakan oleh para veteran dan juga meluas ke masalah – masalah kehidupan.
Kemungkinan yang dapat membantu para veteran:
Dapat membantu mereka berperan serta dalam kelompok dan Merasakan
hubungan timbal balik dari orang lain yang telah berbagi pengalaman selama
masa peperangan.
Agar individu dapat menerima kejadian dan membebaskan diri dari peristiwa
yang menakutkan, mereka harus berani menghadapi peristiwa yang
menakutkan tersebut agar dapat menguasai diri dan menghilangkan kecemasan
berat yang berkaitan dengan kejadian tersebut.
3. Pendekatan Kognitif Dan Behavioral
Prinsip dari terapi ini bahwa cara terbaik untuk mengurangi atau menghapus rasa
takut adalah dengan menghadapkan pasien dengan rasa takut itu sendiri. Pendekatan
ini mengajak pasien untuk menghadapi hal yang dihindari. Biasanya, terapis akan
meminta pasien memejamkan mata dan membayangkan kejadian traumatis sembari
menceritakannya. Kemudian terapis akan mengajak pasien berdiskusi dengan tujuan
mengubah cara pandang pasien bahwa apa menjadi ketakutkannya merupakan masa
lalu yang tidak menjadi ancaman di masa depan. Bolton, E. et al (2004) menyatakan
bahwa metoade manajemen stress dan manajemen kemarahan sebagai salah satu
contoj terapi CBD efektif secara signifikan dalam mengurangi keluhan dan gejala
PTSD pada veteran di Amerika.
4. Pendekatan Psikoanalisa
Prinsip pendekatan psikoanalisa tidak jauh berbeda dengan pendekatan kognitif dan
behavioral. Pendekatan ini mendorong pasien untuk membahas trauma dan
memaparkan diri mereka pada kejadian yang memicu PTSD. Dalam perspektif ini
memandang bahwa PTSD disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari
individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata
lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke
alam bawah sadar.
5. Pendekatan Biologis
Pendekatan ini menggunakan obat-obatan seperti antidepresan dan transquilizer untuk
memperbaiki kondisi yang dialami bersamaan dengan PTSD seperti depresi. selain
itu, dukungan sosial seperti bergabung dalam suatu komunitas juga dapat menunjang
pasien PTSD menuju kondisi yang lebih baik.
Contoh Kasus Gangguan Stres Pascatrauma
Seorang penyanyi berusia 27 tahun dirujuk oleh seorang teman untuk menjalani
evaluasi. Delapan bulan sebelumnya, kekasihnya telah menjadi korban penusukan hingga
meninggal dalam suatu peristiwa penodongan, sedangkan dia dapat menyelamatkan diri tanpa
terluka sedikit pun. Setelah lewat masa berkabung, tampaknya dia telah kembali normal. Dia
membantu penyelidikan polisi dan secara umum dinilai sebagai saksi ideal.
Namun demikian, tidak lama setelah penangkapan tersangka pembunuhan
kekasihnya, penyanyi tersebut mulai berulang kali mengalami mimpi buruk dan ingatan yang
jelas tentang malam terjadinya kejahatan tersebut. Dalam mimpi-mimpinya dia sering melihat
darah dan melihat dirinya dikejar oleh orang yang mengancam dan tertutup wajahnya. Siang
hari, terutama ketika berjalan sendirian, dia sering kali terhanyut dalam lamunan sehingga
lupa ke mana akan pergi. Teman-temannya mengamati bahwa dia mulai mudah terkejut dan
tampaknya selalu khawatir akan sesuatu. Dia meninggalkan uang kembalian atau barang
belanjaannya di toko atau ketika menunggu tidak dapat mengingat apa yang akan dibelinya.
Tidurnya mulai gelisah dan pekerjaannya terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi. Pelanpelan dia menarik diri dari teman-temannya dan mulai menghindari pekerjaannya. Dia
merasa sangat bersalah atas pembunuhan kekasihnya, walaupun tidak tahu dengan pasti
mengapa demikian.
Gangguan kepribadian
Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen, diberi kode pada
Aksis II dalam DSM dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang
bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang menyimpang dari eskpektasi budaya orang
yang bersangkutan dan menyebabkan hendaya dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan.
(Gangguan kepribadian merupakan gangguan yang sering kali komorbid dengan
gangguan Aksis I, dapat berfungsi sebagai konteks bagi gangguan Aksis I).
Contoh : seseorang yang didiagnosis mengalami gangguan anxietas pada Aksis I dan
gangguan kepribadian obsesif kompulsif pada Aksis II akan mengekspresikan
kecemasan dalam bentuk seperti perfeksionis dan sulit mengambil keputusan.
KLASIFIKASI :
Gangguan kepribadian digolongkan menjadi 3 kelompok dalam DSM-IV TR yaitu :
Individu dalam kelompok A (paranoid, skizoid, dan skizotipal) adalah individu yang
aneh atau eksentrik
individu dalam kelompok B (antisosial, ambang, histrionik, dan narsistik) adalah
individu yang dramatic atau eratik
individu dalam kelompok C (menghindar, dependen, dan obsesif-kompulsif) adalah
individu yang pencemas atau ketakutan.
A. ANEH/EKSENTRIK :
1. Gangguan Kepribadian Paranoid
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid selalu mencurigai orang
lain, merasa dirinya diperlakukan secara salah dan diesksploitasi oleh orang lain sehingga
berperilaku misterius dan selalu waspada, sering kali kasar dan bereaksi dengan
kemarahan terhadap apa yang mereka anggap sebagai penghinaan, enggan mempercayai
orang lain, dipenuhi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau
bahwa orang lain tersebut tidak dapat dipercaya.
Dapat melihat makna negatif atau ancaman pada berbagai kejadian, contoh yaitu
indvidu dapat merasa yakin bahwa anjing milik tetangganya sengaja menggonggong di
awal pagi untuk mengganggunya.
Prevalensi :
- Berkisar 2 persen
- Paling banyak terjadi pada kaum laki-laki dan paling banyak dialami bersamaan
dengan gangguan kepribadian skizotipal, ambang, dan menghindar.
2. Gangguan Kepribadian Skizoid
Merupakan suatu gangguan dimana individu yang mengalaminya tidak menginginkan
atau menikmati hubungan sosial, biasanya tidak memiliki teman akrab, tampak tumpul,
datar, dan menyendiri serta tidak memiliki perasaan hangat dan tulus kepada orang lain.
Individu dengan gangguan kepribadian ini jarang memiliki emosi kuat, tidak tertarik
pada hubungan seks, dan hanya mengalami sedikit aktivitas yang menyenangkan.
Merupakan seorang penyendiri dan menyukai berbagai aktivitas yang dilakukan dalam
Kriteria Gangguan Kepribadian Paranoid dalam DSM-IV TR
Ditunjukkan oleh empat (lebih) berikut ini :
Kecurigaan yang bersifat pervasif bahwa dirinya sedang dicelakai, dikhianati,
atau dieksploitasi
Keraguan yang tidak berdasar terhadap kesetiann teman-teman atau para
rekanan dan bahwa mereka dapat dipercaya
Enggan mempercayai orang lain karena kriteria di atas
Memberikan makna tersendiri terhadap berbagai tindakan orang lain yang
dianggapnya sebagai kesalahan
Reaksi berupa kemarahan terhadap apa yang dianggapnya sebagi serangan
terhadap karakter atau reputasi
Kriteria Gangguan Kepribadian Skizoid dalam DSM IV-TR
Ditunjukkan oleh empat (lebih) berikut ini :
Kurang berminat atau kurang menyukai hubungan dekat
Hampir secara eksklusif lebih menyukai kesendirian
Kurangnya minat untuk berhubungan seks
Hanya sedikit, jika ada, mengalami kesenangan
Kurang memiliki teman
Bersikap masa bodoh terhadap pujian atau kritik dari orang lain
Afek datar, ketidaklekatan emosiona
- Sedikit lebih kecil terjadi pada kaum perempuan dibanding pada kaum laki-laki
Komorbiditas :
- Memiliki angka komorbiditas tertinggi pada gangguan kepribadian skizotipal,
paranoid, dan menghindar.
- Kriteria diagnostik bagi gangguan kepribadian skizoid juga sama dengan beberapa
simtom fase prodormal (sebelum terjadinya penyakit) dan residual(sesudah
terjadinya penyakit) skizofrenia.
3. Gangguan Kepribadian Skizotipal
Berkembang dari berbagai studi di Denmark terhadap anak-anak yang diadopsi
memiliki orang tua kandung skizofrenik (Kety dkk,1968).Individu yang mengalami
gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kesulitan dalam hubungan
interpersonal yang terjadi dalam kepribadian skizoid dan kecemasan sosial yang
berlebihan yang tidak berkurang setelah mengenal orang-orang di sekitarnya.
Mereka yang mengalami gangguan ini dapat memiliki kepercayaan yang aneh atau
pemikiran magis-takhayul, keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan paranormaltelepati, ilusi yang berulang, dan dapat merasakan kehadiran suatu kekuatan atau
seseorang yang secara aktual tidak ada disana. Menggunakan kata-kata dengan cara yang
tidak umum dan tidak jelas saat berbicara serta perilaku dan penampilan mereka juga
dapat eksentrik.
Ciri umum dari gangguan ini yaitu ideas references(keyakinan bahwa berbagai
kejadian memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan),
kecurigaan dan pikiran paranoid.
Kriteria Gangguan Kepribadian Skizotipal dalam DSM-IV TR
Ditunjukkan oleh lima (lebih) berikut ini :
Ideas of reference
Keyakinan yang aneh atau pemikiran magis, a.l., percaya terhadap persesi
ekstra indrawi
Persepsi yang tidak biasa, a.l., keyakiyan yang menyimpang tentang
tubuhnya
Pola bicara yang aneh
Kecurigaan yang ekstrem, paranoia
Afek yang tidak sesuai
Perilaku atau penampilan yang aneh
Kurang memilikii teman akrab
Rasa tidak nyaman yang ekstrem atau kadang kecemasan yang ekstrem bila
Prevalensi : diperkirakan kurang dari 1 persen
Komorbiditas :
Menurut Moray (1988) berdasarkan kriteria DSM III-R, orang yang didiagnosis
berkepribadian skizotipal juga memenuhi kriteria diagnostik gangguan kepribadian :
- ambang : 33%,
- narsistik : 33%,
- menghindar : 59%,
- paranoid : 59%, dan
- skizoid : 44%.
Etiologi Kelompok Aneh/Eksentrik :
Berbagai studi keluarga secara konsisten menunjukkan bahwa kerabat para pasien
skizofrenia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan kepribadian
skizotipal (