Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 1. Tampilkan semua postingan
sangkan paraning dumadi 1
By tuna at November 29, 2023
sangkan paraning dumadi 1
Ajaran sangkan paraning dumadi dalam Kunci Swarga
Miftahul Djanati dekat sekali dengan ajaran Islam esoterik.
Kesadaran akan sangkan paraning dumadi, yaitu kesadaran
tentang makna hidup yang sebenarnya , kesadaran tentang dari
mana asal kehidupan ini, bagaimana kejadiannya, ke mana arah
tujuannya, dan apa saja yang harus dilakukan dalam kehidupan
ini merupakan pertanyaan yang jawabannya dapat
ditemukan sacara gamblang dalam ajaran mengenal diri dalam
Tasawuf. Menurut ajaran tasawuf, awwaluddîn ma’rifatullâh,
awal-awal agama ialah mengenal Pencipta . Untuk dapat mengenal
Pencipta manusia harus mengenali dirinya. Manusia berasal dari
Pencipta , diciptakan oleh Pencipta melalui suatu proses tanâzul,
seperti proses emanasi, dimana Pencipta mengejawantah atau
menjelmakan diri dalam beberapa pangkat emanasi, dari
wujudnya yang gaib sampai akhirnya bermuara pada terwujudnya
manusia yang terdiri dari jasmani dan rohani, yang disebut insân
kâmil.
Dalam dunia tasawuf, term “mengenal diri” juga selalu
dibahas oleh para sufi sebagai kalimat pengantar untuk memasuki bab makrifat.
168 Makrifat dalam pengertian tasawuf yaitu
pengetahuan atau kesadaran diri akan wujud Pencipta dan
hubungannya dengan manusia dan alam. Makrifat digambarkan
sebagai suatu keadaan hati yang terang benderang, dimana
seseorang telah berhasil mengenali Pencipta dengan cara mengenali
hakikat dirinya. Cahaya makrifat seseorang akan bertambah
terang seiring dengan bertambahnya ketekunan pengabdian
kepada Pencipta yang disebut ibadah. Untuk mencapai
kesempurnaan ibadah maka manusia harus senantiasa sadar akan
siapa dirinya di hadapan Pencipta dan bagaiaman peranan yang
harus dimainkannya di alam ini.
Ajaran sangkan paraning dumadi yang ada dalam
naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati dekat sekali dengan
ajaran tasawuf mengenal diri, sebagai upaya manusia untuk
mengenal dan mendekat atau bahkan menyatu dengan Pencipta
(wihdat al-wujud atau manunggaling kawula gusti). Betapa
dekatnya ajaran tasawuf mengenal diri dengan spiritualisme Jawa,
khususnya menurut pandangan Kunci Swarga Miftahul Djanati,
dapat dilihat dari beberapa sebutan atau istilah yang menunjukkan
harmoni ilmu ini, dan ilmu sangkan paran.
Empat komponen makrifat, yaitu syariat, tarikat, hakikat,
dan makrifat menjadi perbendaharaan tersendiri dalam naskah
Kunci Swarga Miftahul Djanati. Selain itu beberapa sebutan
untuk ilmu sangkan paran dari segi maknanya dekat sekali
dengan peristilahan yang lazim digunakan dalam ilmu makrifat.
Pertama, ilmu sangkan paran dinamai ilmu kasunyatan sebab
dalam ilmu ini akan dapat diperoleh kebenaran dan kesejatian.
Kata kasunyatan berasal dari kata Sanskrit sunyata yang berarti
empty, void atau kosong. Pendapat itu benar adanya sebab jalan
kelepasan apabila telah sampai ke pusat terdalam, menurut
Bratakesawa berada di dalam alam yang sunyi dan kosong.
Dalam khazanah tasawuf al-Ghazali ada satu istilah yang
memiliki arti dan maksud yang kurang lebih sama, yaitu takhalli.
Takhalli artinya mengosongkan. Yakni mengosongkan diri, hati,
dan pikiran dari segala sesuatu selain Pencipta . Takhalli merupakan
langkah pertama dalam zuhud.
Kedua, ilmu sangkan paran dinamai ilmu kasampurnan
sebab ilmu ini dapat membuat hidup manusia menjadi lebih
sempurna. Penghargaan dengan istilah ilmu kasampurnan
agaknya merupakan pengaruh dari ajaran tasawuf pada umumnya,
yang para sufi memandang penghayatan makrifat kepada Pencipta
disebut insan kamil, manusia sempurna. Istilah kasampurnan
dalam Kunci Swarga berasal dari kata kamil ini .
Ketiga, dinamai ilmu sangkan paran (asal dan tujuan)
sebab apabila mengenal Pencipta berarti mengenal asal kejadian
manusia yang sekaligus merupakan tempat kembalinya di
kemduan hari. Dengan kata lain, manusia berasal dari Pencipta dan
akan kembali kepada Pencipta . Ajaran ini erat sekali kaitannya
dengan ajaran tasawuf mengenal diri. Sebagaimana sudah dibahas
di bagian pendahuluan buku ini, dalam konteks bagaimana cara
mengenal Pencipta yang Esa, dalam ajaran tasawuf, orang harus
mengenal lebih dulu tentang dirinya sendiri. Katanya:
“Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta , sedangkan terhadap
dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab itu katanya pula:
“Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal kepada Pencipta .”
Filsafat Jawa, di samping sejarahnya selalu berkesimpulan bahwa
Pencipta merupakan sangkan paraning dumadi, asal dan tempat
kembali semua kejadian.
Selain kedekatan dari segi makna istilah, beberapa konsep
yang ada dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati,
seperti konsep tentang mausia, konsep tentang Pencipta , konsep
tentang kelepasan, menunjukkan keserupaannya dengan makrifat
dalam tasawuf.
1. Konsep tentang Pencipta
Konsep kePencipta an yang ada dalam naskah Kunci
Swarga Miftahul Djanati bukanlah kePencipta an sebagai
pengetahuan atau ilmu, melainkan semata-mata sebagai
“kepercayaan kepada Pencipta ” (iman), sebuah kekuatan yang tiada
taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan.
Sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya, secara
teologis, corak pemikiran Bratakesawa cenderung mendekati
pemikiran kalam Ahlussunnah Asy’ariyah. Sekurangnya, ada
tiga bukti kedekatan ini . Pertama, keyakinannya bahwa
Pencipta bersifat hingga 41 sifat, masing-masing yaitu 20 sifat
wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz. Kedua, pengelompokan
tiga derajat keimanan manusia terhadap Pencipta cenderung
mendekati tiga derajat keimanan al-Ghazali.
Apabila merujuk kepada pemikiran sufistik al-Ghazali
maka konsep Kunci Swarga Miftahul Djanati tentang Pencipta
dengan segala sifatnya, ada kesamaannya dengan tasawuf
sunni al-Ghazali. Namun, di sisi lain, konsepnya tentang Pencipta
ada kemiripan dengan filsafat tasawuf, yaitu pernyataan
dalam Kunci Swarga menyatakan bahwa Pencipta sebagai oknum
atau pribadi, Ia tidak dapat digambarkan baik oleh akal maupun
budi manusia. Meski begitu, pada penyifatan Pencipta dalam Ilmu
kasunyatan, buku ini menggambarkan Pencipta sebagai Yang
Maha Mutlak secara filosofis, yaitu Zat Tinggi yang terbebas dari
segala bentuk hubungan yang mengandaikan ketergantungan,
melainkan menjadi sebab atas berbagai sesuatu. Ini mirip dengan
konsep Pencipta dalam pemikiran tasawuf falsafi.
Dari sini dapat dipahami bahwa, pertama, pesan tentang
Pencipta yang disampaikan oleh penulis buku Kunci Swarga
menggunakan pendekatan pemikiran tradisional, bukan rasional
sesuai dengan aliran pemikiran dalam agama Islam yang
mengamalkan tanzih, yaitu tidak mau menyamakan Pencipta dengan
sesuatu, tan kena kinaya ngapa.
172
Kedua, pesan yang disampaikan oleh penulis Kunci Swarga
yaitu agar pencari Pencipta menyempurnakan pemahaman syariat
terlebih dahulu, baru kemudian bisa melanjutkan perjalanannya
yang lebih tinggi, yaitu pada suatu taraf pemahaman tentang
adanya sifat Pencipta yang biasa dikenakan kepada Pencipta oleh para
ahli kebatinan, yaitu hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal
tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa (tan kena
kinayangapa), tiada zaman tiada makan (maqam), tiada tujuan
tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa senPencipta , tiada luar
tiada dalam, namun meliputi semua yang tergelar atau terbentang
ini, dan sebagainya.
Kedua-dua model pendekatan yang digunakan naskah
Kunci Swarga sebagaimana disebutkan di atas, menunjukkan
buku ini menyampaikan pesan tasawuf sunni akhlaki dan
falsafi sekaligus, di mana metode tasawuf akhlaki yang bersifat
praktis ini ditegaskan bagi para pemula dan metode tasawuf
falsafi diarahkan bagi mereka yang sudah dibilang mafhum
tentang dasar-dasar agama.
2. Kosep tentang Manusia
Hal lain yang berkaitan dengan ajaran makrifat dalam
tasawuf yaitu konsep tentang manusia. Dapat dikatakan bahwa
unsur manusia menduduki tempat yang vital sebagai subjek yang
melakukan suluk, perjalanan nistik untuk mencapai hubungan
dengan subjek lainnya, yaitu Pencipta .
Sebelum kita lihat kesesuaian tentang apa dan bagaimana
konsep manusia menurut Kunci Swarga Miftahul Djanati dengan
konsep makrifat dalam tasawuf, terlebih dahulu dibicarakan
secara selintas konsep penciptaan (manusia). Hal ini dimaksudkan
untuk memberi kejelasan pada uraian tentang konsepsi manusia,
sebab kedua-dua hal ini sangat berkaitan.
Menurut Kunci Swarga, yang pertama kali dicipta oleh
Pencipta yaitu cahaya Isywara, baru kemudian keempat anasir
(bumi, air, angin, dan api). Isywara tidak lain yaitu Nur
Muhammad atau hakikat Muhammad dalam istilah tasawuf.
Dalam naskah Kunci Swarga dinyatakan bahwa isywara
merupakan sarana bagi Pencipta untuk berhubungan dengan hamba.
Artinya, pamoring kawulo gusti haruslah dengan lantaran Nur
Muhammad.
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf
tentang manusuia yaitu dijadikannya manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab engkau dan bukan sebab
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta
ini). Engkau dalam hadis ini tentu saja Muhammad saw,
namun Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya.
Pandangan seperti ini masuk ke dalam alam pemikiran kebatinan
Jawa dan menjilma dalam bentuknya yang sudah beradaptasi
dengan kaweruh kejawen.
Dalam perspektif tasawuf, untuk menggambarkan
bagaimana manusia telah menjadi tujuan akhir penciptaan alam,
Rumi menganalogikan manusia dengan buah. Walaupun buah itu,
tumbuh sesudah batang, dahan dan ranting, namun pohon secara
keseluruhan justru tumbuh untuk menghasilkan buah ini .
sebab , sebuah pohon tanpa buah yaitu pohon yang sia-sia,
sebagaimana analogi yang dibuat Rasulullah saw saat
menggambarkan kesia-siaan ilmu yang tidak diamalkan. Oleh
sebab itu, manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi
dalam pandangan para sufi, baik dalam kaitannya dengan alam
semesta maupun dengan Pencipta nya. Dalam kaitannya dengan
alam semesta, manusia yaitu buah atau hasil akhir evolusi
biologis alam. Ia yaitu tujuan akhir penciptaan alam sendiri,
selain itu manusia mengandungi seluruh unsur alam semesta,
sebagaimana buah mengandungi seluruh unsur pohonnya, dari
mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting, dan daun. Oleh sebab
itu, manusia dikatakan sebagai mikrokosmos. Lebih dari itu
menurut Rumi, saat manusia telah mencapai tujuan
penciptaannya, manusia bukan lagi mikrokosmos, namun
makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi terakhir, manusia
yaitu yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan kompleksitasnya,
yang dalam kitab suci kitab muslim disebut ahsani al-taqwim.
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian
diri. Di sini muncul ajaran tentang NHakikah
Muhammadiyah. Nur Muhammad yaitu asal atau sumber dari
segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan, dan ilmu
pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah yang mulamula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini, termasuk
manusia, pada mulanya yaitu dari Nur Muhammad.
Gagasan tentang isywara yang dikatakan sama dengan Nur
Muhammad, setidaknya juga dapat ditelusuri dalam ajaran Ibn
Arabi tentang Hakikat Muhammad, dimana Hakikat Muhammad
menurut Ibn Arabi merupakan sabda Pencipta yang mengungkapkan
diri-Nya dalam kenyataan; bahwa segala sesuatunya berasal dari
sabda Pencipta . Ajaran Hakikat Muhammad dari Ibn Arabi ini
dibawa masuk ke Sumatera oleh Nuruddin al-Raniri dan juga
Hamzah Fansuri.
Sudah diakui oleh sejarah bahwa kepustakaan Islam yang
berkembang di Aceh mengalir ke Jawa, kemungkinan besar
gagasan Miftahul Djanati tentang Nur Muhammad ini berasal dari
Aceh melalui pujangga Jawa Raden Ngabehi Rangga Warsita,
bukan langsung dari al-Raniri atau Hamzah Fansuri. Namun
boleh dibilang berasal dari Ibn Arabi sebab memang dialah yang
memformulasikan konsep Nur Muhammad ke dalam pemikiran
tasawuf.
Berdasarkan konsep tentang awal mula penciptaan itu dapat
pula dikatakan bahwa seperti halnya umumnya ajaran dalam
tasawuf, ajaran Kunci Swarga juga dapat digolongkan ke dalam
paham union mistic, yaitu aliran mistik yang memandang manusia
bersumber dari Pencipta dan dapat mencapai penghayatan kesatuan
kembali dengan Pencipta . Dalam paham ini manusia dipandang
sebagai percikan atau tajalli, penampakan keluar dari Pencipta .
Dengan kata lain, agar diketahui zat, sifat, asma, dan af’al-Nya,
Pencipta bertajalli.
3. Konsep tentang Kelepasan
Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapkan
oleh para sufi yaitu dapat langsung berhubungan atau
mengadakan persatukan dengan Pencipta (wihdatul wujud), yang
dalam istilah kejawen disebut manunggaling kawula gusti. Kunci
Swarga pun berpaham yang demikian.
Untuk mencapai kelepasan, ada jalan yang harus dilaluinya.
Jalan untuk mencapai kelepasan dapat disebut sebagai jalan
kelepasan (mencapai Pencipta ). Jalan kelepasan inilah yang sering
pula diistilahkan sebagai suluk, yang berarti jalan. Di dalam ilmu
tasawuf, seperti juga dikemukakan dalam buku Miftahul Djanati,
ada empat jalan atau tingkatan untuk menuju kepada Pencipta , yaitu
syariah, tarikat, hakikat, dan makrifat. Keempat-empat tingkatan
itu haruslah dilakukan dengan sempurna, dengan tidak boleh
meninggalkan salah satunya. Melaksanakan keempat tingkatan
ini juga harus didasarkan kepada empat dasar hukum Islam,
yaitu Quran, hadis, ijmak, dan qiyas.
Beberapa kesamaan pemikiran konsep kelepasan dan
makrifat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Syariat merupakan kewajiban pertama seorang yang
hendak menempuh tarikat, yaitu jalan mistik. Syariat berarti
aturan, yaitu aturan yang sudah ditetapkan leh Pencipta kepada
Rasul-Nya. Dalam kalangan sufi, syariat berarti amal ibadah lahir
dan urusan muamalah hubungan manusia dengan manusia. Dalam
tataran muamalah ini ditonjolkan perilaku yang baik, adil, dan
tidak adigang-adigung-adiguna.
Tarikat, berarti cara, metode, atau system merupakan
tingkatan yang sudah mulai masuk ke kebatinan yang
dilaksanakan dengan cara tapa brata dan mesu budi.Hakikat yang berarti kebenaran atau kesejatian merupakan
tingkatan yang sudah menuju kepada hasil usaha, yaitu mengenal
Pencipta . Orang yang telah mencapai hakikat telah kasyaf, terbuka
rahasia yang senantiasa menyelubungi antara kita dan Pencipta dan
yang ada hanyalah kebenaran (haqq). Tingkat hakikat merupakan
persiapan menuju ke pintu rasa atau tingkat makrifat.
Makrifat yang berarti pengertian atau pengetahuan
merupakan tingkatan tertinggi sebab oran yang telah berada pada
tingkat inilah (makrifatullah) dapat dikatakan telah manunggaling
kawula gusti.
F. Refleksi
Pencipta , selain menganugerahi manusia kemampuan untuk
merasa dan nafsu untuk makan, minum serta kebuPencipta biologis
lainnya, Ia juga membekali manusia dengan perasaan ingin tahu,
yang disebut dengan hati dan pikiran. Keingintahuan manusia itu
menghantarkan mereka kepada sejumlah penemuan hingga
lahirlah sebuah ilmu; seperangkat aturan yang telah disusun
secara sistematis untuk mengetahui sesuatu.
Kemampuan berpikir pada manusia memang berbeda-beda,
namun sumbernya tetap sama, yaitu Pencipta . Pada perjalanan
hidupnya, ada sebagian orang yang diberi ilmu yang mulia
sehingga dengan ilmu itu ia menjadi mulia sebab dapat
menyelamatkan manusia lain dari ketidaktahuan, kebodohan dan
kesesatan serta ia sandarkan apa yang Dia tahu sebab Pencipta .
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sebenarnya kemuliaan
pengetahuan (ilmu) itu sesuai dengan kemuliaan objek yang
diketahui. Maka, tidak disangsikan bahwa pengetahuan yang
paling mulia dan paling agung ialah pengetahuan tentang Pencipta
Swt; Pencipta semesta alam, Yang Menciptakan langit dan bumi,
Yang Maha Benar, yang memiliki segala sifat kesempurnaan,
Yang suci dari segala kekurangan, yang tidak ada sesuatu pun
yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Tidak disangsikan bahwa pengetahuan tentang nama-nama, sifat-sifat, dan
perbuatan-perbuatan-Nya yaitu ilmu yang paling tinggi nilainya.
Ilmu tentang Pencipta yaitu asas dari segala
pengetahuan. Sebagaimana keberadaan segala sesuatu tergantung
pada keberadaan-Nya, Maha Menciptakan, maka seluruh jenis
ilmu tanpa terkecuali mengikuti ilmu tentang-Nya dan teramat
sangat membutuhkan-Nya untuk merealisasikan keberadaan-Nya.
Tidak disangsikan lagi bahwa pengetahun tentang sebab awal dan
penyebab utama berkonsekuensi pada pengetahuan tentang akibat
dan efeknya. Keberadaan segala sesuatu selain Pencipta bergantung
kepada-Nya, sebagaimana keberadaan sebuah benda yang
tergantung pada pembuatnya, dan objek pada subjeknya. Maka
ilmu tentanag zat, sifat, dan perbuatan-perbuatan Pencipta
berimplikasi kepada pengetahuan tentang selain Pencipta . Siapa
yang tidak mengenal Pencipta nya, maka dia lebih tidak mengenal
segala sesuatu selain Dia. Pencipta berfirman, “Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Pencipta sehingga
Pencipta menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik,” (Qs Al-Hasyr: 19)
Jika kita perhatikan ayat ini dengan seksama, maka kita
akan menemukan makna yang sangat indah, yaitu barangsiapa
yang melupakan Pencipta nya niscaya Pencipta pun akan membuat ia
lupa kepada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengenal hakikat
dirinya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan diapun lupa dengan
apa saja yang akan membawanya kepada kebaikan dunia dan
akhirat. Dengan demikian, dia pun akan rusak dan diabaikan
seperti binatang. Bahkan, binatang lebih mengetahui
kemaslahatan dirinya sebab mengikuti petunjuk (ilham) Sang
Pencipta yang diberikan kepadanya. Sedangkan orang ini
keluar dari fitrah penciptaanya, sehingga dia lupa akan Pencipta nya
terlebih dirinya sendiri.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Masruq ra,
saat ia menemui Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Manusia! barangsiapa
mengetahui sesuatu hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya. Barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka
hendaklah ia mengatakan Pencipta -lah yang Maha Mengetahui.
sebab termasuk ilmu jika ia mengatakan bahwa Pencipta Maha
Tahu,” (HR Bukhari, Shahihul Bukhari, Jilid 3; 4809)
Maka, dapat kita simpulkan bahwa ma’rifat yaitu asal dan
puncak dari segala ilmu. Ia yaitu asas ilmu hamba tentang
kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatan dunia akhirat.
Tidak adanya pengetahuan tentang Pencipta mengakibatkan
ketidaktahuan tentang dirinya sendiri dan kemaslahatannya serta
apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi
dirinya di dunia dan di akhirat kelak. Oleh karennya, pengetahuan
tentang Pencipta yaitu pangkal kebahagiaan seorang hamba
sedangkan ketidaktahuan tentang Pencipta merupakan pangkal
penderitaan.
G. Penutup
Sejarah pemikiran manusia menunjukkan bahwa masalah
mengenal diri mendapat perhatian agama-agama Ilahi dan
merupakan salah satu tujuan utama para nabi. Di samping itu,
para spiritualis dan filosof juga memperhatikan masalah ini
sehingga muncul pelbagai pandangan yang beragam tentang
wujud.
Dalam sumber-sumber teks Islami, sangat ditekankan
tentang urgensi mengenal diri, ma’rifat al-nafs. Dalam Alquran
dijelaskan: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiyaitu orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. al Maidah: 105).
Dalalah muthabiqiyah ayat ini menegaskan perihal pembangunan
diri dan perbaikan diri. Mengingat bahwa pembangunan diri tidak
mungkin terjadi tanpa pengenalan diri, maka dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan ayat ini pengenalan diri yaitu suatu
keharusan dan memiliki peran penting dalam pembangunan diri.
WPencipta u a’lam
URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA Pencipta DAN
ADANYA YANG GAIB-GAIB (BABU MA’RIFATULLAH
WA GHAIBI’L MAUJUUDI)
1. kartosuwiryo :
“Kak, saya merasa bahwa pemberian penjelasan Kakak yang sudah
saya terima itu masih jauhdari mencukupi, namun besok saya
terpaksa mohon pamit pulang, sebab ada tugas dinas yang harus
saya kerjakan di liburan ini”.
soebandrio :
Nah... hal itu aku sepakat, dalam kamu mencintai ilmu kebatinan,
walau pun sampai bagaimanapun, namun jangan sampai
meninggalkan tugas wajib yang sudah menjadi kewajibanmu.
Jika kamu mencari ilmu batin, dengan jalan tidak mementingkan
urusan dunia, itu termasuk dalam peribahasa “Luput ing
piyangkuh” (salah jalan), tidak merasa bahwa hidupmu itu ada di
dunia, masih butuh pakaian, makan dan kebuPencipta hidup yang lain
selama masih hidup di dunia. Dan jika kamu hanya sendirian, yang
tidak mempunyai kewajiban atas anak istri, bisa saja seumpama
menjauhi urusan dunia, kemudian pergi ke tempat sunyi, artinya
sudah tidak hidup di dalam lingkungan masyarakat pada
umumnya.
Hanya saja, dalam kamu mementingkan urusan dunia itu, bagi para
penempuh, seharusnya dengan diiringi sadar, bahwa manusia itu
penguasa dunia, bukan dikuasai oleh dunia. Dunia itu hanyalah
alat, jangan sampai manusianya yang diperalat oleh dunia.
2. kartosuwiryo :
Iya Kak, semoga saja saya selalu sadar dan ingat atas perintah
Kakak. sebenarnya saya belum bosan mendengarkan nasehat
Kakak itu, Jika tidak terhalang jarak yang jauh, pastilah sering
datang ke sini, walau pun ibaratnya “Canthing Jali” digunakan
mengambil air pun hanya menghasilkan sedikit saja.soebandrio :
Ilmu milik Pencipta itu, dikatakan bahwa seumpama semeu daun
yang ada di seluruh dunia itu sebagai kertasnya, dan lautan sebagai
tintanya (Al-Kahfi: 109), tidak akan cukup. Jika dikatakan tidak
akan ada putusnya. Sedangkan musyawarah di dalam pertemuanku
dengan dirimu ini kan hanya sebagai “Biji”saja, Untuk tumbuh
berkembangnya, buahnya ........ itu tergantung keseuburan tanahnya
dan perawatannya.
3. kartosuwiryo :
Aduh Kakak!! Hal itu, aku masih teramat sngat jauh. Sehingga
akan selalu datang gke sini.
soebandrio :
Jangan merasa rendah diri. Saya doakan dirimu itu bisa melebihi
aku, sedangkan sekolahnya saja lebih tinggi dirimu. An sebenarnya
ilmu kebatinan itu lebih mudah diterima oleh orang yang
mengetahui ilmu Kudrat (natuurkunde), ilmu dunia (Scheikunde),
dan lain-lainnya. Dan juga memang tidak jarang anak melebihi
orang tuanya, saudara muda melebihi saudara tua, murid melebihi
guru.
Oleh sebab pertemuanku dengan kamu hanya tinggal semalam
ini, aku hanya ngikut saja, tentang apa yang masih perlu kamu
tanyakan sekarang ini?
4. kartosuwiryo :
Yang perlu lebih dari perlu, saya mohon penjelasan: Bagaimana
jika aku meninggal dunia itu bisa pulang kepada Pencipta , tidak
mengalami terlahir lagi menjadi bayi? Ibaratnya “Senteg pisan
anigasi” (sekali tebas putus. Jika menggunakan syarat, syaratnya
apa, jika menggunakan laku, lakunya bagaimana?
soebandrio :
Wahhhh... jadi yang kamu cita-citakan itu terbebas dari Kiyamat
(bebas bangkit dari kematian) atau surga tanpa hisab?
Yah... itu cita-cita yang tinggi lebih dari yang tinggi, Jika hanya
itu yang sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya
disediakan untuk para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita
yang terpilih, Mukmin Chas yang terpilih dan...... makhluk yang
mendapat anugerah Pencipta saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit,
bagaimana? Seperti: Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat
juga mau, kadang juga tidak dengan berada di alam kubur.
Kemudian diberi kelonggaran lagi: lama di alam kubur juga terima,
kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
sebab katahuilah olehmu, yang ini kan bahwa manusia yang
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta
Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II: 5) itu juga baru bermakna
“Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai Pencipta ,
kembali kepada Pencipta ” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersamasama kita cari, barangkali saja diterima.
5. kartosuwiryo :
Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang
longgar, aku ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak
menjelaskan tentang cita-cita yang tinggi itu tadi. sebab jika surga
yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi manusia biasa yang
mendapat anugerah Pencipta , sehingga jika ada manusia biasa seperti
aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
soebandrio :
Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur
Alhamdulillah, menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu
bisa kamu terima dengan jelas. Aku tidak keberatan menuruti
permintaanmu itu, beginilah jelasnya:
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat
“Bangkit dari kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau
terlahir ke dunia lagi itu, tidak lain hanyalah manusia yang sudah
bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi, Dalam Agama Kristen disebut
menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II No.37).
teorinya saja bisa di katakan, akan namun tindakan dan berhasilnya
itu yang sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya
disediakan untuk para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita
yang terpilih, Mukmin Chas yang terpilih dan...... makhluk yang
mendapat anugerah Pencipta saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit,
bagaimana? Seperti: Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat
juga mau, kadang juga tidak dengan berada di alam kubur.
Kemudian diberi kelonggaran lagi: lama di alam kubur juga terima,
kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
sebab katahuilah olehmu, yang ini kan bahwa manusia yang
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta
Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II: 5) itu juga baru bermakna
“Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai Pencipta ,
kembali kepada Pencipta ” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersamasama kita cari, barangkali saja diterima.
5. kartosuwiryo :
Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang
longgar, aku ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak
menjelaskan tentang cita-cita yang tinggi itu tadi. sebab jika surga
yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi manusia biasa yang
mendapat anugerah Pencipta , sehingga jika ada manusia biasa seperti
aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
soebandrio :
Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur
Alhamdulillah, menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu
bisa kamu terima dengan jelas. Aku tidak keberatan menuruti
permintaanmu itu, beginilah jelasnya:
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat
“Bangkit dari kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau
terlahir ke dunia lagi itu, tidak lain hanyalah manusia yang sudah
bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi, Dalam Agama Kristen disebut
menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II No.37).
Sedangkan yang disebut terkekang oleh dunia itu, tidak lain yaitu
...... KEINGINAN. Bukan hanya keinginan yang rendah atau pun
yang luhur, dan juga yang luhur dari yang terluhur. Cobalah
dipikir, mana ada manusia hidup yang tidak mempunyai
keinginan?
Ujud dari keinginan yang agak luhur, contohnya, ingin mengerti
tentang semua ilmu. Jika cukup amalnya, saat pulang kembali ke
dunia lagi, bisa juga menjadi ..... Proffesor, atau penemu ilmu baru.
Ada lagi yang lebih luhur dibanding itu, contohnya , keinginan
untuk membuat ketenteraman dunia, Jika cukup amalnya, saat
terlahir kembali ke dunia bisa menjadi .... Presiden sebuah Negara
Besar yang bisa membawahi wilayahnya.
Sedang yang luhur dari yang terluhur itu keinginan untuk menjadi
penuntun umat manusia agar berbakti kepda Pencipta . Tentang yang
ini, jika cukup amalnya, saat terlahir kembali bisa juga menjadi
.... Nabi utusan Pencipta , Arab Rasul, Sanskrit Avatar yang
menyebarkan Agama.
6. kartosuwiryo :
Mohon ijin Kak!! Menurut pemahamanku, Kakak mempunyai
pendapat, bahwa Utusan Pencipta itu saat tercipta di dunia juga
berasal dari akibat “terkekang”. Apakah pendapat seperti itu itu
tidak sesat?
Apa yang berkehendak ignin menjadi penuntun umat manusia agar
berbakti kepada Pencipta itu bukan atas Anugerah Pencipta .?
soebandrio :
Sebentar, aku agak kurang paham, mengpa kamu bertanya seperti
itu. Cobalah dengarkan dengan tenang.
Menurutku, penduduk dunia, sangat menghormati profesor yang
menemukan sebuah ilmu, yang kemudian di sebarkan di dunia ini.
Dan lebih menghormati lagi terhadap Kepala Negara besar yang
bisa membuat ketenteraman dunia ini. Terlebih lagi menganggap
terhormat dan mematuhi kepada Utusan Pencipta yang mengelar
pencerahan di dunia ini. sebab jika tidak demikian tentu saja
dunia ini tidak akan ada kemajuan, tidak tenteram, dan tidanterang. Sehingga kata “Terkekang” atau terikat itu tidak berarti
meremehkan. Marilah, sekarang kita pikir menggunakan pikiran
pada umumnya saja dan merdeka saja (obyektif).
Keinginan atau cita-cita akan berbuat kebaikan di dunia
(masyarakatnya orang hidup di dunia) itu baru bsia disebut
“berhasil”, Sedangkan jika yang mempunyai keinginan itu kembali
ke dunia, tentulah bisa melaksanakan keinginannya, kan? Tentunya
akan bisa terlaksananya cita-citu itu, kan, yang pada umumnya
dikatakan “mendapat anugerah Pencipta ”?
Sehingga: Seumpama yang mempunyai keinginan itu tidak
kembali ke dunia, malah bisa kamu sebut tidak mendapat anugerah
Pencipta . Hal itulah yang menyebabkan aku tidak mengerti, mengapa
dalam kamu berpikir, menjadi terbalik?
Dan aku agak heran, mengapa kamu masih ragu-ragu atas sifat
Pencipta yang Maha Murah. Singkatnya, semua cita-cita (keinginan)
baik sang rendah atau pun yang tinggi, asal cukup syarat-syaratnya
(amalnya, lakunya) pasti akan mendapat ridho Pencipta , artinya,
terlaksana. Dan jika tidak bisa didapat saat di hidupnya, sebab
tiba-tiba mati. Tidak ada perbuatan yang hilang sia-sia, dan tidak
ada kejadian yagn tanpa sebab.
7. kartosuwiryo :
Sudah, sudah kak, kau yang keliru, sekarang aku sudah mengerti.
Yang ku inginkan Kakak terus memberikan penjelasan tentang
untuk bisa tercapainya cita-cita “Terbebas dari kiyamat” itu.
soebandrio :
Jika masalahnya seperti itu kan sudah jelas lebih dari jelas ta? Oleh
sebab yang menyebabkan kembali tercipta di dunia lagi itu yaitu
keinginan tentang urusan dunia, sehingga agar bisa terbebas
tercipta lagi, tidak ada lain jika sudah ...... tidak mempunyai
keinginan tentang urusan dunia itu tadi. Di dalam bahasa Sanskrit
disebut “Wairagya”, bahasa Arabnya “Zuhud” orangnya disebut
zaahid. Di dalam Filsafat Kristen, dikatakan; Agar bisa terlepas
dari dosa warisan Nabi Adam (memakan buah larangan) itu, jika
sudah bisa membawa salib sendiri
Namun “Wiragya” itu hanya salah satu sifat saja, sempurnanya
harus dengan Ilmu dan laku (Amal). Artinya, jiak ada orang yang
bisa melenyapkan keinginannya tentang urusan dunia, akan namun
kurang ilmunya dan amalnya, buahnya kira-kira hanya ..... dikira
orang gila.
8. kartosuwiryo :
Maaf, menyela sedikit. Sedangkan yang Wairagya serta cukup
ilmunya serta amalnya itu, terus bagaimanakah hidupnya di dunia
ini? Apakah sudah tidak mencari sandang pangan untuk kebuPencipta
raga ini?
soebandrio :
Hlo....., kan baru saja, saya mengatakannya kepadamu, tentang
yang kamu tanyakan itu? (Bab III No.1), Jelasnya lagi, begini:
Urusan mencari sandang pangan untuk memenuhi tuntutan raga
itu, kita bebas memilih, mana yang kita bisa dan kita senangi.,
singkatnya: merdeka se merda-merdekanya. Namun, bagi para
pencari Hakikat itu, entah sudah mencapai wairagra 100%, apa
50% apa baru 1% .... harus bertekad di dalam sanubarinya, bahwa
dalam segala tindakannya hanya sebatas untuk merawat sebatas
kebuPencipta raga saja. Walau menjadi pengemis, apa tani, dagang,
guru sekolah, polisi, tentara, pengarang, dokter, pamong praja, .....
Perdana Menteri sekali pun, hakikatnya sama saja, agar sebisa-bisa
harus bertekad seperti itu.
Oleh sebab keyakinan seperti itu, pastilah cara hidupnya hanya
sepertlunya saja, tidak berlebihan, Di dalam Agama Hindu Kuna,
mewajibkan kepada orang yan gsudah tidak mempunyai
tanggungan anak, mengembara hidup mengemis (menjadi bikhsu),
namun tidak boleh menerima pemberian yang lebih dari kebuPencipta
per harinya.
Nah... melakukannya bagaimana? Apakah pasief: Polisi tidak mau
menangkap pencuri, tentara tidak mau membunuh musuh?
Tidak!!!! Tidak demikian. Seharunya justru jelih aktif dibanding
dengan yang bukan pencari hakikat. sebab bagi pencari hakikat
itu tidak akan mau menerima balas jasa yang tidak sebanding
dengan kerjanya. Namun aktifnya sebab menjalankan kewajiban
yang sudah menjadi tanggung jawabnya, bukan sebab rasa benci
kepada pencuri atau kepada musuhnya, tidak mengharap
mendapatkan sanjungan dari atasannya, atau bukan mencari
ketinggian pangkat dan bayarannya, walau pun tidak menolak
seumpama dinaikan pangkatnya.
9. kartosuwiryo :
Wah..... Jika bertindak dan bekerja yang seperti itu bagiku ... sangat
sulit sekali. sebab bisa disebut perbuatan yang hampa dari segala
harapan.
soebandrio :
Nahhh... itu sebab kamu bertanya laku bagi yang sudah wairagya!
Ya seperti itulah. Yaitu yang dikatakan “Agawe kang tan agawe
(berbuat yang tanpa mengharapkan hasilnya). Dalam bahasa Arab
didsebut Ikhlas (Bab II No.4) sebab hidupnya telah terkuasai oleh
CINTA, yang bersumber dari sifat Pencipta Yang Maha Penyayang
(Bab II No.3).
Soal aku dan dan kamu masih merasa sangat jauh, tidak mengapa,
hanya agar bisa dijadikan pedoman terlebih dahulu. Tidak beda
dengan anak sekolah yang masih di sekolah dasar, terus
mengerjakan soal anak SMA atau Mahasiswa, tentunya kejauhan.
Oleh sebab kejauhan itu tadi, sehingga dalam ajaran Agam Islam
bagi para Mu’min “Am ( Mukmin biasa) seperti aku dan dirimu ini
“Kumpulkanlah harta seolah tidak akan mati selamanya, namun
beribadahlah kepada Pencipta seperti kamu akan mati besok hari”.
Nahhh...hal itu tidak sulit untuk dijalankan.
Akan namun bagi Mukmin Chas (Mukmin cerdas) dan juga yagn
disebut Chawasul chawas (cerdas dan kuat) tentu saja tidak
menggunakan ajaran itu tadi, sebab sudah yakin se yakinyakinnya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan secara
bersamaan tentang hal yang berlawanan, hingga bisa berhasil
keduanya. Pastilah hasilnya hanya di tengah-tengahnya saja, atau
memihak salah satunya.
10. kartosuwiryo :
Memang benarlah demikian Kak. Singkatnya, harus memilih, jika
mementingkan kekayaan, dalam pencarian tentang KePencipta an
harus bisa menerima hanya sampai tingkatan Syari’at saja.
Sedangkan jika mementingkan KePencipta an, juga harus hanya
menerima dunia seperlunya saja. Jika pun jadi orang kaya yang
tidak disengaja, bukan sebab giatnya bekerja.
Namun menurut sejarah dari masa lalu, dan yang kita ketahui
sendiri sekarang ini, mengapa tidak ada para Arif (ahli ma’rifay)
dan para “Ubad (ahli ibadah) itu yang.......... kaya. Justru ceritanya
Ki Ageng andanarang dahulu, yang sudah terlanju sangat kaya
sebab hasil kerja sebelumnya, kemudian meninggalkan
kekayaannya itu, sebab lebih mementingkan tentang KePencipta an,
yang akhirnya menjadi Wali terkenal dengan nama Sunan di
Tembayat. Demikian juga Sidharta Gautama, yang takdir semula
sebagai orang kaya sebab sebagai Raja Putra calon Raja, tiba-tiba
meninggalkan kekayaan dan derajatnya, sebab lebih
mementingkan urusan KePencipta an, akhirnya menjadi Buddha
Gautama.
Akan namun , Kakak, entahlah, akan baagaimanakah akhirnya diriku
ini, aku memaksa tetap mohon dijelaskan tentang Ilmu dan Amal,
yang sudah akan dibicarakan itu tadi.
soebandrio :
Hal itu aku tidak keberatan, hanya mengikuti kehendakmu saja.
Silahkan dengarkan yang sungguh-sungguh, sebab ini hal yang
sangat rahasia dan berbahaya.... !
Kamu mempunyai keinginan agar supaya saat kematianmu tidak
terpaksa terlahir lagi ke dunia. Yairu “Asal dari Pencipta kembali
kepada Pencipta ”. Untuk cita-cita yang demikian yang harus
dibicarakan tentunya tentang, yaitu:
a. Yang disebut Pencipta itu apa?
b. Yang disebut mati “kembali kepada Pencipta ” itu
bagaimana?
c. Carakematian “Kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana?
Penjelasan a,b,c, itu semua disebut “Ngelmu” sedang caranya yang
ini di c itu dinamakan “Laku” atau Ngamal. Marilah sekarang
kita bicarakan:
11. kartosuwiryo :
Iya Kak, memang demikian. Yang kuminta, Kakak berkenan
menjelaskan satu demi satu sampai sejelas-jelasnya.
soebandrio :
a. Yang disebut Pencipta itu apa? Di depan kan sudah dibicarakan
panjang lebar, menurutku sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Di
antara Sifat Pencipta itu, seperti: Yang tidak bisa dibayangkan.
Sehingga di dalam keadaan apa pun juga jika masih bisa
dibayangkan jelas bukan Pencipta . Selain itu, Pencipta itu disebut
Maha kuasa tanpa alat, iya kan? Dua macam itu saja dahulu,
sudah cukup dijadikan sebagai pedoman.
b. Yang disebut mati “kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana?
Memang seharusnsya demikian, jawabannya mudah saja, dan
pasti benarnya: (I). Oleh sebab Pencipta itu tidak bisa
dibayangkan, sehingga “Kembali kepada Pencipta ” itu juga ........
tidak bisa dibayangkan. (II). Oleh sebab Pencipta itu berkuasa
tanpa mempergunakan alat, sehingga jika kita masih
menggunakan alat, walau pun alat yang halus lebih dari yang
terhalus, jelas belum kembali kepada Pencipta .
c. Caranya mati “Kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana? Ini (c)
Jawabannya juga tidak sulit, yaitu: dipelajari dengan tekun,
saat masih belum mati, ini.
Sehingga, saat masih hidup menggunakan jazad kasar ...
belajarlah... tentang ,,, yang tidak terbayangkan, atau belajar tanpa
alat.
Tentunya hal itu tidak sulit kan? Namun, yang perlu keterangan
yang panjang itu yaitu caranya belajar. Dan yang sulit dari yang
tersulit , itu yaitu keberhasilannya dalam belajar.
Jika berhasil dalam belajarnya, hal itu berarti sudah sampai
kesejatian Ma’rifat. Barangkali diperkanan oleh Pencipta
menjalankan apa yang dikatakan di dalam dalil yang sudah pernah
saya sampaikan di depan, yang artinya: saat orang-orang ahli
surga itu diberi rizki dari buah-buahan surga, saling berkata: Ini
kan sama dengan yang sudah diberikan kepadaku saat dahulu
(Bab I No.10).
Sehingga “Surga” di dalam dalil ini bisa dimaknai “Surga Tanpa
Hisab” (Bebas dari Kiyamat) juga bisa dimaknai “Surga dengan
hisab” (Takdir setelah terlahir kembali di dunia). Kesemuanya
berdasar dari Ilmu dan amalnya saat masih hidup menggunakan
jasa kasar ini.
12. kartosuwiryo :
Iya, iya Kak, sudah jelas. Namun masih ada sedikit yang saya
belum mengerti, tentang telah berhasil dalam belajar, namun masih
dikatakan “Barangkali mendapat perkenan Pencipta ”. Itu
kejelasannya bagaimana?
soebandrio :
Ketahuilah olehmu, manusia ini bersifat celaka dan berubah-ubah.
Maka dari itu, agama yang terpuji, tentang apa saja, memastikan
bahwa hal itu termasuk larangan besar. Terlebih lagi tentang hal
kematian.
saat dalam sakaratil maut, itu sama saja sedang menempuh .....
Ujian. Banyak yang saat di rumah sudah paham tentang apa
yang dipelajarinya, bisa dengan sebenar-benarnya, tiba-tiba saat
mengerjakan ujian ....... tidak bisa. Tentunya tidak lulus ujian.
Pastilah kejadian ini tidak terlepas dari sebab, namun yang
namanya sebab itu bisa mengembang panjang sekali, hingga
sampai tidak diketahui. Contohnya: Penyebab dari tidak bisanya
mengerjakan ujian itu sebab lupa. Sebabnya lupa sebab
pikirannya tidak konsentrasi. Penyebab tidak konsentrasinya
sebab teringat kesusahannya. Penyebab kesusahannya itu sebab
ayahnya sakit keras. sebab ayahnya sakit keras sehingga
mengaikatkan sanagta sedih, sebab adiknya masih kecil-kecil ......
begitulah seterusnya. Sehinga bisa disimpulkan: Semuanya itu
tergantung kemurahan Pencipta .
Namun dalam menumpuh ujian, jika tidak lulus masih bisa
diulangi lagi di tahun yang lain. Sedangkan tentang kematian, tidak
demikian, sehingga dikatakan “Senteg pisan anigasi” (Sekali tebas
putus).
“Anigasi” itu isitilahnya orang menenun, artinya sudah selesai
menjadi tenunan: Di tigas dari alat tenunnya. Jangan kamu kira
bermakna telah selesai semua atau sempurna (Bab III No.4),
Sedangkan “Seneteg” itu ibarat dari suaranya “Walira dibenturkan”
setelah benagnya di pasang.
Berbahayanya tentang masalah mati itu diibartkan “Benturan
Walira itu tadi, yaitu hanya dalam hitungan waktu sak.... detik.
Sangat sayang sekali, sudah bertahun-tahun belajar dengan tekun
“Dog-dog byang anenun garingsing wayang, pakanane mas
kumambang” ... wasana bareng anigasi, dadi jarit tenunan ...
kepyur-kepyur negnteni randa semaya, tur benange lawe bae (Alias
Gagal Totoal). Disebab kan lupa pada waktu satu detik itu tadi.
Mati yang demikian itu disebut “Suul chatimah”. Sedangkan bila
menjadi “jarit tenunan garingsing wayang temenan, (Kain pakaian
jawa yang bagus), benangnya juga benang emas sungguhan, mati
yang demikian itu dikatakan “Husnul chatimah”
Maka dari itu, didalam kita mengamalkan itlmu itu, baerhasil atau
pun tidak hanya...... pasrah (berserah diri), sekehendak Yang Maha
Kuasa yang menguasai segalanya. Berserah diri... hanya... Cuma...
itu saja. Tanpa Amal ...... salah, sebab jika tidak menenun, atau
menenun menggunakan benang lawe, juga tidak akan bisa menjadi
tenunan benang emas.
Bagaimana, apakah sudah jelas?
13. kartosuwiryo :
Sudah Kak, Untuk selanjutnya mohon penjelasan tentang Cara
belajar “Tanpa mempergunakan alat” itu tadi, aku sangat ingin
mendengarnya.
soebandrio :
Baiklah, dengarkanlah. Agar lebih jelas, kamu haru mengetahui
terlebih dahhulu bahwa belajarnya itu bernama “Shalat Ma’rifat.
Barangkali kami baru kali ini mendengar kata ini . Memang
ini kata yang berasal dari bahasa Arab yang diserap ke dalam
bahasa Jawa. Dalam saya menggunakan kata ini , dengan
harapan agar tata caranya, jangan sampai salah pengertian.
“Shalat” itu sebutan dari suatu pekerjaan, termasuk kata kerja
(Fi’il). Sedangkan pekerjaan “Shalat Ma’rifat” dalam bahasa
sanskrit; Yoga, orang yang mengerjakannya disebut “Yogie”
14. kartosuwiryo :
Saya memang belum pernah mendengar kata “Shalat Ma’rifat” itu
tadi Kak. Yang sering saya dengar itu, Shalat Wajib, Shalat sunnat,
shalat Hajat, shalat Witir, Shalat .... Daim. Terus, bagaimanakah
penjelasannya?
soebandrio :
Istilah Shalat itu ada 4 jenis, sedangkan shalat-shalat yang baru saja
kamu sebutkan itu, dari masing-masing jenis itu, termasuk salah
satu jenis dari 4 macam, yang akan saya jelaskan, yaitu:
1. Shalat Syari’at = Ibadah raga, bersuci menggunakan air, jika
diterima akan medapatkan Ma’rifat Syaria’t, artinya paham
tentang Astrendiya yang lima (Panca Indra). Seperti, oleh
sebab mata melihat dunia yang tergelar ini, menyebabkan
percaya bahwa segala sessuatu itu ada yang menciptakannya,
yaitu yagn disebut Pencipta . Keyakinan yang seperti ini
dinamakan “Wajibul Yaqin”
2. Shalat Tharikat = Ibadahnya cipta (hati), bersuci dengan cara
memerangi hawa nafsu, Jika diterima akan memperoleh
Ma’rifat Tharikat, artinya memahamkan kepada pikiran tentang
astrendiya yagn tiga (Tri Indriya). Artinya percaya dengan
pengertian kepada yang sebenarnya dari yang disebut Pencipta ,
tidak hanya percaya meniru orang banyak saja. Kepercayaan
yang seperti ini dinamakan “Ainul Yaqin”.
3. Shalat Khakikat + Ibadahnya Jiwa (roh) yang mempergunakan
alat yang bernama “Rasa jati” inti rasa, bersuci dengan cara
“Eneng Ening Awas Eling” (Kesadaran diri dengan penuh
ketenangan dan kesucian serta kewaspaadan dengan kesadaran
penuh). Jika diterima akan mendapatkan Ma’rifat Khakekat,
artinya mengetahui Rasa Jati. Artinya percayanya tidak hanya
berhenti pada pengertian saja. Kepercayaan yang seperti ini
dinamakan Haqqul Yaqin. Dalam tingkatan ini , sudah mulai
terbukanya bermacam-macam hijab (penutup) yang
menghalang-halangi antara makhluk dengan penciptanya.
Namun, disinilah tingkatan yang “amat sangat berbahaya”
sebab teramat sangat banyak “godaannya”.
4. Shalat Ma’rifat = ibadahnya Suksma, yaitu Jiwa yang berkuasa
tanpa mempergunakan sarana (Purusha = Ikheid, Bab I No.32,
Bab II No.7) bersuci menggunakan Wairagya (Zuhud, Bab III
No.7) yaitu membuang segala cita-cita apa saja, selain hanya
tertuju kepada Pencipta . Jika diterima akan mendapatkan
Ma’rifat dari Ma’rifat atau sebenar-benarnya Ma’rifat
(sejatining ma”rifat). Artinya, percayanya tanpa sarana, serta
tidak bisa terbayangkan. Yaitu dalam tingkatan ini disebut
“Leburing papan kalawan tulis” “Hilangnya padan dan tulis”.
“cep tan kena kinecap” “Diam tenang tanpa ucap” // Tingkatan
ini disebut “Isbatul Yaqin”, yaitu tetapnya kepercayaan. Itulah
yagn paling utama, bisalah melakukan hal itu, 5 kali dalam
sehari semalam. Paling tidak 1 kali dalam satu minggu. Jika
tidak, paling tidak sekali dalam satu bulan. Jika pun tidak,
sekali dalam satu tahun. Jika tidak, sekali dalam se umur
hidup”.
Nyanyian Jawa (ura-ura) entah siapa pengarangnya, yang
menggabarkan Rindunya seseorang yang baru sekali mencicipi
“Tan kena kinaya ngapa “ (Yang tak terbayangkan), seperti ini
(Dhadhanggula).
Damar kurung binekta ing kemit;
Tintingana salira priyangga;
Den rumangsa ing sisipe;
Roningkacang puniku;
Angelayung rasaning ati;
Sela penglawed ganda;
Sepisan ketemu;
Kelabang sinandung muncar;
Nora rena kepanggih pisan ping kalih;
Kumudu saben dina.... (Tidak diterjemahkan)
Bagi yang sudah terbaisa seeprti itu (Tan kena kinaya ngapa =
Sejatining ma;rifat) sinebut “ARIFIN”. Sehingga yang disebut Arif
itu pasti “Yogie”, namun “Yogie” belum tentu sudah sampai di
tingkatan “Arif”.
Bagaimana? Apa sujah jelas pemahamanmu?
15. kartosuwiryo :
Sudah Kak! Aku sekarang paham, sehingga kata “Ma;rifat” itu
bermacam-macam dalam memaknainya. Untuk selanjutnya,
mohon penjelasan bagaimana caranya menjalankan yang disebut
“Shalat Ma’rifat”, aku sangat ingin mendengarnya. Apakah yagn
disebut nutupi babahan hawa sanga, mandeng pucuking grana?
(Menutup lobang sembilan dan memandang pucuk hidung). Dan
aku pernah mendengar kata “Tafakur” dan juga “Semedi” itu
maknanya bagaimana? Apakah yang itu yang sesuai dengan istilah
Kakak menyebutnya “Shalat Ma’rifat”?
soebandrio :
Menutup longa sembilan (Tidak mengaktifkan 2 lubang Kuping, 2
lubang Hidung, 2. Mata, 1 mulut, 1 lubang kelamin, 1 lubang
pembuangan, itu termasuk sikap memaksakan diri, yang akan bisa
merusak raga kita. Sama saja dengan bunuh diri. Ikap yang
demikian itu mungkin dilakukan di Tanah Hindu sebelum Sang
Buddha mengajarkan penerang. Bagi Agama Islam, tentang hal
apa saja yang menyebakan rusaknya badan itu jadi larangan.
Tentang memusatkan pandangan pada ujung hidung, dengan
setengah terpejam (Rem-rem ayam), atau benar-benar terpejam,
tidak ada larangan untuk dijalankan, Tujuan dari kata-kata ini ,
Pandangan kedua mata dipusatkan menuju di antara kedua alis
mata (Panon = diatas pasu). Ujung hidung di dalam Qur’an disebut
Gunung, yang dipandang oleh Nabi Musa as. Atas perintah Pencipta ,
sebab Nabi Musa as. Ingin melihat Dzat Pencipta (Al A’raf 143). Di
serat Dewa Ruci (Ada di Blog ini) disebut “Gunung Reksamuka”,
sedangkan di serat-serat lainnya disebut “Gunung Tursina”.
Tentang sikap yang tidak merusak badan kasar itu bagaimana?
Singkatnya saja begini: Tujuan dari sikap demikian tidak lain
hanya untuk mengendalikan gar menjadi tenang kerja dari
Astrendiya. Seperti yang sudah saya sampaikan di depan,
Astendriya bisa berfungsi sebab teraliri daya yang bernama
“RASA’ atau “TALI RASA” (Bab I No.29 Bab II No.20, 21).
saat Astrendiya sudah tenang, yang aktif tinggal daya (Sesuatu
yang sangat halus) yang bernama Rasa Sadar (Eling) atau Rasa
Jati. Sehingga yang bernama rasa jati itu tidak lain, Rasa yang
berfungsinya tidak teraliri si Astenriya.
Dalam tingkatan ini, bisa disebut , menjalankan “anjumenengake
Jiwa (Roh) kang urip mawa piranti rasa jati” (Menegakkan Jiwa
(roh) yang hidup dengan menggunakan rasa jati).
Oleh sebab sudah mengerti tujuannya itu bisa membuat diamnya
gerak dari astrendiya, maka sikap dari badan kasar itu tidak perlu
dipaksa-paksa. Sebisanya dan sesuai dengan caranya sendirisendiri, tenang dengan menopang paha juga boleh. Menata nafas
juga bisa, biar menata dengan sendirinya juga boleh. Singkatnya,
sesuai dengan pengalaman diri masing-masing, yang apda
akhirnya akan menemukan cara yang paling cocok, untuk dirinya
sendiri.
16. kartosuwiryo :
Mohon maaf Kak. Seandainya laku yang disampaikan Kakak itu
berhasil, itu kan bukan sejatinya Ma’rifat, sebab baru sampai
tegaknya jiwa yang masih mempergunakan sarana Rasa jati. Jika
kau tidak salah, Kakak mengatakan, bahwa sebenarnya ma’rifat itu
di dalam keadaan yang tanpa sarana.
soebandrio :
Memang bukan Ma’rifat yang sebenarnya, Itu jika diperkenankan
baru sampai ke tingkat Ma’rifat hakikat (Mengetahui isi rasa jati)
yaitu tingkatan yang saya katakan sangat Berbahaya itu (Bab III
no.14). Padahal baru sampai ke tingkat itu saja sudah sangat sulit,
pilih-pilih yang bisa diterima dalam pencariannya.
Dan juga, apa yang sudah saya katakan, belum selesai. Baru
sampai bab sikap dari badan kasar saja dan tentang pengaturan
nafas. Sedangkan kelanjutannya, sebagai berikut:
Seseorang yang menjalankan Shalat Ma’rifat (Yoga) itu dalam
mengolah ciptanya tujuannya ada dua jenis, yaitu:
a. Menyatukan (memusatkan, mengheningkan, konsentrasi) cipta,
dalam Bahasan Arab disebut Tafakur. Makna apa adanya dari
kata tafakur itu memikirkan atau mikir-mikir, akan namun dalam
tindakan itu bermakna Pikir (Cipta). Memusatkan Cipta itu kata
lainnya yaitu :Shalat Ma’rifat yang menggunakan (gigitan) =
(Lisan, obyek), dalam bahasa sanskrit: samprajnata.
b. Mengosongkan cipta, bahasa lainnya barangkali meditasi. Jika
dalam mengosongkan itu dengan mengucapkan mantra atau
kata-kata atau dalam bahasara Arabnya Dzikir. Makna apa
adanya dari Dzikir itu mengingat-ingat, namun dalam tindakan
itu bermakna mengucapkan kata-kata sebagai sarana untuk
menapak dengan tujuan untuk mengosongkan cipta. Sedangkan
mengosongkan cipta itu dalam kata yang lain disebut: Shalat
Ma’rifat, yang tanpa cakotan, dalam bahasa Sanskrit:
asamprajnata. Jika saat mengosongkan cipta menggunakan
pijakan mengucapkan rangkaian kata, dalam bahasa sanskrit
disebut: asamprajnata mantra yoga.
17. kartosuwiryo :
Sekarang saya sudah mengerti makna kata Tafakur yang saya
mohonkan keterangan itu tadi (Bab III No.15),. Ternyata tafakur
itu tidak sama artinya dengan Shalat Ma’rifat, hanya salah satu cara
dama menjalankan Shalat Ma’rifat saja. Sedangkan yang diberi
nama “Semedi” Kakak belum menjelaskannya.
soebandrio :
Shalat Ma’rifat (Yoga) yang bisa berhasil mencapai sejatinya
Ma’rifat (Ma’rifat kepada Pencipta = Ma’rifatullah) itu, dalam
bahasa Sanskrit: Samadhi, dalam bahasa Arabnya disebut:
Khusyuk. Sehingga kata Samadhi dan Khusyuk itu kata kerja, akan
namun berkembang melebar dalam bahasa Jawa “Samadhi” itu
dianggap kata kerja yang artinya sama dengan “Yoga”. Dalam
sebuah Hadits: Man shalla rakataini lamyuhits fihima nafsuhu
bisyai’in min amri addunya (Barang siapa Shalat dalam dua raka’at
bisa bebas dari perkara dunia) Ghufiralahu maa taqaddama min
dzanbihi (diampuni oleh Pencipta , atas segala dosa yang telah
dilakukan selama hidupnya).
Sedangkan “bebas dari semua perkara dunia itu, yang disebut
khusyuk atau samadhi, yang bisa melepaskan manusia dari dosa
warisan yang berasal dari Nabi Adam (Dosa selama hidup).
Sedangkan keterangan hadits “Shalatnya khusyuk, diampuni
dosanya” itu perintah yang mengandung didikan ke arah aktif dan
optimistis (mau mengerjakan dengan tanpa putus asa), padahal
sebenarnya ....... siapakah yang tidak berdosa: Shalatnya bisa
khusyuk”.
Sedangkan yang dinamakan dosa bagi para penempuh Ma’rifat itu
tidak sama dengan dosa bagi ahli Syari’at. Dalam ajaran Syariat,
perbuatan jahat yang belum terlahir, itu belum termasuk dosa.
Sedangkan batasan perbuatan jahat itu, yang menjadi larangan
Agama. Akan namun bagi para penempuh Ma’rifat, yang
dinamakan dosa itu, semua perbuatan baik dalam tata lahir maupun
masih di dalam hati, itu yang menjadi penutup antara Sang
penempuh dengan Pencipta nya. Jika dosa yang seperti itu sudah bisa
dihilangkan, yahhhh itu baru bisa melakukan Shalat Khusyuk
(samadhi). Walau pun tidak bisa dua raka’at, iya satu raka’at, apa
satu menit, apa satu detik, menurut tebal tipisnya sisa dari dosa
yang masih menguasainya.
Yah, jadi melebar!! Urutannya kan baru sampai membahas sikap
yoga, tadi itu?
18. kartosuwiryo :
Iya, sekarang sebaiknya meneruskan menjelaskan tentang Yoga
lagi. Yoga yang masih gigitan dan yoha yang tanpa gigitan, itu
lebih baik yang mana dan lebih mudah yang mana untuk
dilakukan?
soebandrio :
Kesullitannya itu samasaja, akan namun tiap-tiap orang tidak sama
keadaannya. Orang yang sifatnya pasif, walau pun belajar
menggunakan gigitan, kadang-kadang akibatnya menjadi tanpa
gigitan. Demikian juga sebaliknya, orang yang sifatnya aktif, walau
pun saat belajar tidak menggunakan gigitan, pada akhirnya
mejadi menggunakan gigitan.
Namun kita ini bebas memilih mana yang cocok. Bagi yang baru
belajar itu lebih baik yang menggunakan gigitan (menyatukan
cipta). Yang menjadi gigitan: apa pun saja boleh, memang yang
paling baik itu memusatkan ciptanya kepada Pencipta (isi alam ini
semuanya). sebab bagi yang baru belajar tanpa gigitan
(mengsongkan cipta) itu, kebanyakan tertipu atau tersesat menjadi
...... Perewangan (medium), yang tidak disengaja.
Perewangan itu, mendesak jiwanya sendiri (roh yagn asli), seluruh
badan kasarnya beserta perlengkapan astendriya: tidak mempunyai
daya kekuatan untuk membantah perintah dari roh lainnya yang
mempengaruhinya. Diperintah berkata-kata ya berkata-kata,
diperintah berjalan juga akan berjalan ..... dengan setengah ingat
setengah sadar apa yang dilakukannya itu, atau tidak ingat apa-apa.
Hal seperti itu, itulah hal sangat berbahaya dan menakutkan, baik
dalam lahir maupun dalam batin. Sebab jika yang mempengaruhi
itu roh yang baik, tentu akan diperintah tentang hal yang baik,
sebaliknya jika yang mempenagaruhi itu roh yang jahat, pastilah
akan memerintah hal kejahatan dan hal yang aneh-aneh. Kemudian
orang banyak akan mengira gila atau kesurupan. Lebih baik
perewangan yang di harapkan daripada perewangan yang tidak
diharapkan. sebab perewanagn yagn diharapkan itu , ruh lain
dalam mempengaruhi tidak tetap, hanya saat diperlukan saja.
Sebaliknya, roh yang tidak dinginkan, dalam melakukan pengaruh
secara terus menerus. Agak lebih beruntung, jika yang
mempengaruhi itu roh yang baik, walau pun orang ini
dipengaruhi terus menerus “Abnormal” namun orang awam tidak
menuduhnya gila atau kesurupan, terkadang malah .... dihormati,
dan di agungkan oleh umum.
19. kartosuwiryo :
Mohon maaf Kak!! Kakak pernah menyampaikan, yang disebut
Pandita putus ing Sunyata (ahli dalam hal sunyata atau hampa), di
malam ini kakak menyebutnya “ Yogie yang sudah samapi
samadhinya. Jadi, puncak yoga itu kan ...... kosong (hampa).
Apakah sebabnya, yang belajar yoga di awali dengan cara
mengosongkan cipta banyak yang tersesat menjadi perewangan?
soebandrio :
Apa yang kamu sampaikan itu sangat tepat. Memang puncak yoga
itu kosong (hampa). Akan namun kosongnya seorang pandita putus
dalam kehampaan itu tidak sama dengan kosongnya orang yang
baru saja belajar.
Yang baru belajar itu pada umumnya belum bisa melepaskan
keterikan dunia (cita-cita). Malah tidak kurang-kurang saat
belajar yoga itu memang dipakai sarana untuk mencapai tetang
urusan dunia (derajat, semat, keramat). Yang demikian saat
mengosongkan, sebagai gambarannya bagaikan memasang rumah
lebah yang disi gula, barangkali ada lebah yang datang. Atau
memasang jebakan yang ada kambingnya berbunyi embek-embek,
barangkali saja ada harimau yang mendatanginya.
Kamu kan sudah mengerti, yang menyebabkan seseorang saat
meninggal dunia belum kembali kepada Pencipta , serta terpaksa akan
terlahir lagi ke dunia ini? Tidak alain sebab belum bisa
melepaskan ikatan dengan dunia (Bab II No.37). Itu contoh
ibaratnya lebah atau harimau itu tadi.
Roha dari seseorang yang meninggal dunia yang akan
mempengaruhi calin perewangan itu, bisa dipastikan kondisinya
mengikuti isi dari calon perewangan, dibahasakan mencari yagn
sejenis, Isian itu diibaratkan gula atau kambing itu tadi. Sehinga: isi
dari calon perewangan itu menginginkan kekayaan, yang
mendatanginya juga roh yang bernafsu tentang urusan harta. Jika
isi dari calon perewanagan itu tadi menginginkan untuk menjadi
Dukun atau guru ilmu kebatinan, dan sejenisnya, juka akan
didatangi roh yang saat hidupnya mempunyai cita-cita demikian.
Sedangkan kosongnya Pendita putus itu sunyata (kehampaan) yang
tidak demikian itu. sebab beliaunya tidak ketempelan urusan
dunia, sehingga tidak akan ada roh yang ketrik sebab Sang
Pandita tidak ada isinya yang sama jenisnya dengan roh yang
berkelana itu tadi.
Pun demikian, ada sebagaian ajaran (namun bukan bersumber dari
Qur’an dan hadits) yang dalam menempunya tentang
kesempurnaan itu mengharapkan mendapatkan tuntunan dari roh
luhur dan suci dengan cara seperti itu. Aku mengatakan hal yang
jujur kepada dirimu, bagi kakakmu, Aku, hal seperti, tidak mau.
20. kartosuwiryo :
Sedangkan tidak mau Kakak itu, sebabnya bagaimana? Dan juga
tadi Kakak mengatakan tentang perewangan terus-terusan, itu
tandanya seperti apa? Seumpama aku mengoreksi diriku sendiri,
gar tidak terjadi demikian, apakah tidak bisa?
soebandrio :
Memang, penolakanku itu tidak sepi dari sebab. Menuru
pendapatku, begini:
Luhur bagaimana pun, sesuci apapun, roh yang belum kembali
kepada Pencipta itu jelas merupakan roh yang belum sempurna.
Seumpama roh yagn belums empurna mengajarkan ajaran, tentu
saja ....... Tidak sempurna, terkadan justrus menyesatkan.
Sedangkan kita yang masih berbadan kasar ini, masih mempunyai
kesempatan yagn sangat longgar untuk menggapai yang lebih
sempurna. Dan jika di rasakan dari ajaran Agama, ilmu yagn
demikian itu bagaikan menyembah berhala atau menyekutukan
Pencipta , yagn semestinya harus kita hindari.
Selain itu, luhur yang bagaimana pun, sucu yang seperti apa pun,
roh ahli kubur yang menuntun terhadsap orang yang hidup di dunia
itu saya anggap ..... sesat. Sejauh-jauhnya. Sedangkan jalan yang
benar; Jika dirinya mempunyai tujuan akan menuntun manusia
yang hidup di dunia itu, juga harus bisa hidup di alam dunia
terlebih dahulu, yaitu harus terlahir menjadi bayi dahulu,
barangkali saja akan tercapai cita-citanya.
Sedangkan tanda dari perewangan yang tetap atau orang yang
dalam pencariannya dituntun oleh roh yang lain itu, yang pasi ......
fanatik, tidak akan mau mempertimbangan pendapat orang lain.
sebab akal dan pikirannya memang sudah tanpa daya. sebab
akal dan pikirannya sudah tidak bisa mempertimbangkan dan
menalar, sehingga kadang-kadang melakukan perbuatan yang
aneh-aneh sehingga disebut aneh.
Yang demikian itu, sebenarnya yang menjalankannya sendiri
pun juga bisa mengoreksi dirinya sendiri, jika saja mau. Bagi yang
mengoreksi dirinya sendiri selain tanda-tanda itu tadi, ada tandanya
lagi yang nyata, yaitu saat dirinya mulai kehilangan
kemerdekaannya, itu sudah pasti ada yang menuntun. Maksudnya
akan ke utara menjadi ke arah selatan, akan menyambut tamu
justru menutup pintu, dan sebagainya, jika memaksakan diri untuk
menuruti keinginannya sendiri, kemudian .... Sakit, atau
mendapatkan siksa yang lainnya.
21. kartosuwiryo :
Wah.... sungguh sangat gawat, Kak! Nah... sekarang nasihat
Kakak: Mana yagn bisa saya lakukan serta jauh dari bahaya?
sebab , aku juga tidak mau dituntun oleh roh gentayangan seperti
itu.
soebandrio :
“Menyarankan” itu kurang baik, sebab hal itu tergantung pilihan
kamu sendiri. Aku hanya bisa berkata: Yang tanpa beban itu ....
menjalankan Syari’at! (Bab I No.8). Sedangkan jika kamu akan
menyetakan tentagn Hakikat, untuk mencapai Ma’rifat, jangan
lupa matangkan dahulu pencarianmu tentagn Tarikat (Bab II
No.40).
Sebab, kejadian bahaya itu tadi, selain sebab sikap dalam
pencarian, tidak lain sebab belum benar-benar jelas tentang
membedakan yang “Iya” dan yang “bukan”, alias belum matang
tarekatnya. Jika syarat rukunnya sudah dijalankan, tentu tidak
menemukan kehinaan, serta disyarati tekad “Jika hanya berani atas
yang mudah saja, dan takut kepada yang sulit, segala sesuatu tidak
akan bisa ditemukan” Iya apa tidak?
22. kartosuwiryo :
Iya betul Kak! Akan namun kau tetap memohon untuk diberi
penjelasan tentang Yoga itu tadi, supaya aku lebih jelas, barangkali
ada bahaya tambahan.
soebandrio :
Aku tidak keberatan, Dengarkanlah!
Belajar Yoga itu, gunakanlah sikap menyatukan cipta, apa ..............
sulitnya. Tidak bisa dibatasi kapan sampai bisanya dalam berapa
bulan atau berapa tahun, seperti saat mencari ilmu di tata lahir
ini. sebab belajar Yoga itu tidak cukup dibekali Rajin dan tekun.
Bisa dan belum bisanya itu tergantung lengkap atau belum
lengkapnya dalam menenangkan si astendriya.
Awas, yang saya sebut “Bisa” di sini bukan berarti bisa yoga yang
sebenarnya yoga, apalagi sampai dengan “Samadhi” hlo!
Makanya, tidak menyebutkan tentang Wairagya, Yang saya
katakan bisa di sini itu, baru sampai berdirinya Jiwa yang masih
beserta perangkatnya yang bernama Rasa Jati (Bab III No.15),
sehingga bagu sampai bsai melewati jalannya Yoga saja.
Maka dari itu, awal belajar itu, boleh saya belum wairagya,
maksudnya boleh saja menyatukan citanya kepada urusan dunia.
Tentang apa saja yagn disenangi itu boleh saja (Bab III No.18),
kadan gjuga bisa menjadi syarat memepermudah dikala belajar.
Di sinilah kunci dari segala Aji, seperti: Pengasihan, gendam,
kedidayaan, kekuatan, asmaragama dan sebagainya. Sehingga para
sesepuh dalam melihat ilmu yang seperti ini, bisa diterima: Agar
yang dilihat belajar melewati jalan Yoga (Shalat Ma’rifat).
Sayangnya, banyak yang terhenti di tingkatan itu, malahan yang
semula mempunyai cita-cita lebih luhur (Tentagn Pencipta ) juga
banyak yang tergiur di tingkatan itu.
23. kartosuwiryo :
Mohon menyela dahulu Kak! Yang belajar mempergunakan sikap
menyatukan cipta, bisa menghasilkan kelebihan yang disebut “aji”
itu tadi, bisa dikatakan juga: Kelebihan itu terjadinya dari
terpusatnya cipta.
Sedangkan yang belajar mempergunakan cara mengosongkan
cipta, bisa menghasilkan kelebihan apa?
soebandrio :
Wah, pertanyaan ini terkadang, sangat sulit untuk dijawab.
Belajar dengan menggunakan cara mengosongkan cipta itu,
buahnya kebanyakan: Mendapatkan sasmita atau wangsit. Namun
juga bisa: Tidak sengaja membuahkan salah satu kelebihan seperti
yagn menyatukan cipta itu tadi. Keterangan seperti ini: ....
Kelebihan yang terjadi dari terpusatnya cipta itu, pasti hanya salah
satu kelebihan saja, dari mana yang dipelajarinya. Sedangkan jika
ingin mempunyai kelebihan dua atau tiga, dalam memusatkan
saat belajar, juga harus dua tiga kali.
Sedangkan yang belajar menggunakan cara mengosongkan cipta
iu, saat dipengaruhi oleh roh yagn saat hidupnya
mengedepankan kepada salah satu dari kelebihan itu, maka akan
mempunyai kelebihan seperti itu, yang tanpa disengaja.
Sehingga: Keleibihan orang yang menyatukan cipta itu dengan
jalan disengaja, serta berasal dari kekuatan roh-nya sendiri, akan
kelebihan orang yang mengosongkan ciptanya itu, tidak disengaja,
serta berasal dari kekuatan roh lain yang mempengaruhinya.
Bagaimana, apakah kamu bisa menerimanya?
24. kartosuwiryo :
Iya, mengerti Kak! Kemudian bagaimana terusnya? Sepertinya
masih panjang yang perlu di jelaskan kepadaku.
soebandrio :
Akan saya singkat saja, menjadi panjang itu, tergantung
pertanyaanmu.
saat kita mengawali belajar menangkan astendriya itu, pastilah
pada awalnya, kedunya, bahkan sampai berkali-kali hingga
berpuluh-puluh atus pengulangan .... juga belum bisa mencapai
ketenangan. Apa lagi tenang yang sebenarnya. Jika
mempergunakan cara menyatukan cipta, citanya atidak bisa
menyatu, jika mempergunakan cara mengosongkan cipta, ciptanya
melayang. Sedangkan jika matanya, dipejamkan, yang ada hanya
gelap, jika di pejamkan seperti ayam mengantuk jiga tidak melihat
apa-apa. Maka dari itu, jika tidak dengan sabar dan tekun, pastilah
menjadi bosan, malas, putus asa sehingga menghentikan dalam
belajarnya.’
saat astendriya mulai bisa tenang sedikit, matanya yang
terpejam atau terpejam bagaikan ayam yang mengantuk itu mulai
bisa melihat apa-apa: berujud berbagai warna kadang juga suatu
ujud, namun hanya sekejap-sekejap, saling bergantian, belum jelas
sama sekali.
saat itu, yang belajar pada umumnya mulai senang, hilagn
bosannya, sebab sudah merasakan apa yang disebut “Penglihatan
gaib”.
Namun yang demikian itu, sebenarnya masih sangat jauh,
seandainya orang berjalan itu, baru melaangkahkan satu langkah
kaki.
25. kartosuwiryo :
Maaf Kak, Aku mohon untuk diterangkan sekalian: Mata yang
terpejam tiba-tiba bisa melihat apa-apa, itu nalarnya bagaimana?
Dan yang terlihat itu dari mana salnya dan sejenis apa?
soebandrio :
Di depan sudah saya jelaskan, saat si astendriya itu tenang, yang
bekerja tinggal si rasa jati (Bab III No.15) Sehingga yagn bernama
penglihatan Gaib yang bisa dilihat pun penglihatan gaib itu, tidak
lain yaitu penglihatan rasa jati.
Akan namun sebab yang sedang kita bicarakan itu tadi si astendriya
belum tenang beneran. Sehingga penglihatan rasa jati basih sangat
bergetar tidak terlihat jelas.
Sedangkan gambaran gaib yang nampak saat itu (Warna atau
ujud) bukan berasa dari sana sini, tidak lain yaitu berasal dari diri
sendiri. Yaitu bekas dari kerja astendriya yang tiga (Tri Indriya),
Angan-angan, pikiran dan keinginan. Seingga seperti orang yang
bercermin: melihat rupa sendiri. Semua itu singkatnya dinamakan
Hijab (Warana = penghalang), sehingga tidak perlu diperhatikan,
tidak perlu dimaknai atau di otak-atik dikira-kira.
Kadangkala, pengalaman seperti itu sangat lama. Terlebih lagi bila
yang sedang belajar itu merasa mendapatkan kunci gedong gaib,
yang bisa ditanyai tentang apa saja, pastilah pengalamannya hanta
terhenti hanya di situ saja.
Memang, tiap bertanya pasti mendapat jawaban, sebab pertanyaan
dan jawaban itu dari satu sumber, seperti bagaikan berkeaca itu
tadi.
Sedangkan bagi yang tidak mau memperhatikan atas yang terlihat
itu, sebab paham bahwa itu penghalang/hijab/penutupyang harus
dibuka, kemudian akan memperoleh pengalaman lagi yang .....
sangat berat sekali. Yaitu terasa bergetar di seluruh badan atau
seperti ada yang merambat, kadang seperti digigit semut rasa di
seluruh badan, kadang juga terdengar suara yang mengagetkan dan
lain-sebagainya. Singkatnya, jarang yang mampu bertahan.
Keadaan seperti ini dalam kisah pedalangan digambarkan, pasukan
“Bajo – Barat” yang menggoda seorang satria yang sedang bertapa.
Sedangkan yagn dirasa dan yagn didengar itu semua tidak lain:
adaalah si asendriya itu tadi yang akan benar-benar teenang.
Pengalaman yang seperti ini berkali-kali terulang lagi.
Jika yang sedang belajar sudah berkali-kali lulus dari pengalaman
yagn berat ini, jika diperkenankan, kemudian akan mendapatkan
pengalaman lagi yang ...... mengerikan! Yaitu terasa darahnya
berjlan diawali dari ujung jempol kaki, naik ke punggung, tengkuk,
kepala. Demikian juga yang dari dada juga naik ke kepala.
Kemudian terasa melayang seperti akan pingsan. Setelah akan
terasa merinding, bulu kuduk berdiri semua, sangat takut. Khawatir
jika terlanjut ....... meninggal dunia, akhirnya kembali jalan.
Di dalam mengalami pengalaman yang seperti itu, seharusnya
jangalah takut dan kuatir, kadang juga nafas yang menjadi tali
hidup ini... janganlah dirubah sedikit pun.
Dan jika di waktu itu nafasnya di tahan, tentu akan putus, hingga
berakhir menjadi kematian, dan tidak bisa diulang lagi atau
disambung lagi.
Cara memutus tali hidup dalam keadaan seperti itu tadi, yang
sudah dijalankan oleh Syeikh Siti Jenar dan para muridnya, yang
termuat di dalam layangBabad.
26. kartosuwiryo :
Iya Kak, aku sudah bisa menerima. Kira-kira jika demikian
pengalaman yang akan dialami saat dalam keadaan sakaratil
maut. Sehingga yang kelihatakan dalam tata lahirnya; Bagi sudah
pernah belajar sekarat dengan yang belum pernah, memang ada
bedanya.
Sedangkan yang tidak kembali seperti penjelasan Kakak,
kelanjutannya bagaimana, Kak?
soebandrio :
Jika tidak kembali kepada jalannya, itu berarti bisa membuka
penghalang, Yaitu yagn saya sebut bisa diterima pada tingkatan
Ma’rifat Hakekat (Bab III No.14) measuk ke dalam alam yang
baru, yang bukan alam bagi orang yang melihat dengan mata
kepala. Bukan alam bagi orang tidur. Di dalam Serat Wedhatama
(ada di Blog ini juga); dikatakan .... “Kabuka ing warana”. Tarlen
saking liyep layaping aluyut, pinda pisating supena, sumusup ing
rasa jati”
Bagi yang belajar dengan cara mengosongkan cipta, pada detik itu
awal mula mulai kepengaruh oleh roh lain yang kemudian menjadi
penuntunnya. Sedangkan bagi belajar menggunakan cara
menyatukan cipta, pada detik itu menyatu dengan yang ada dalam
ciptanya.
Namun ketahuilah olehmu, walau pun sudah pernah memasuki
pengalaman seperti itu, belum tentu dalam tiap-tiap melakukan hal
yang sama saat menenangkan Astendriya bisa mengalami hal
seperti itu lagi. Sehingga banyak yang berpendapat, bahwa saat
itu sudah samapi kepada seejatinya ma’rifat, yagn digambarkan
kenikmatannya “Sor langening salulut”, dan ceritakan serta di
katakan bahwa yang menyembah itu yaitu yang disembah, sebab
kenyataannnya hanya stu, bukan dua atau tiga. Di dalam Serat
Wedhatama itu tadi juga mempunyai anggapan bahwa itu sudah
disebut “Mulih mula mulanira” (Kembali kepada asalnya).
Hal itu menurut Kakakmu aku ini, walau pun belum pernah
memasuki alam Sejatinya Ma’rifat (Ma’rifatullah), namun punya
keyakinan, bahwa sejatinya Ma’rifat tidak hanya seperti yang baru
saja dibicarakan itu tadi, sebab pengalaman tentang rasa
kenikmatan dan rasa dalam penyatuan atau satu rasa itu berarti
masih menggunakan “Alat” dan masih bisa digambarkan atau
dibayangkan. Sehingga: yang disebut Ma’rifat kepada Pencipta itu
seharusnya juga dalam pengalaman yang “Tanpa menggunakan
alat” dan “Tidak bisa terbayangkan” (Bab III No.11.b). Iya apa
tidak?
27. kartosuwiryo :
Penyampaian Kakak yang demikian, memang masuk akal dan
pikiran. Untuk selanjutnya, mohon perkenan Kakak untuk
memeberikan penjelasan: Dari pengalaman Ma’rifat Hakekat
sampai dengan Ma’rifatnya Ma’rifat itu cara-caranya bagaimana?
soebandrio :
Sabar dulu, yang baru saja kita bicarakan itu tadi, saya teruskan
lagi:
Seseorang yang mengosongkan ciptanya yang kemudian
memasuki pengalaman seperti itu, tentu saja untuk selanjutnya
hanya tinggal mengikuti dan mematuhi kepada roh yang
mempengaruhinya, sebab keadaanya sudah menjadi “Luar biasa”
secara terus menerus (Bab III No.18).
Sedangkan bagi orang yang bercita-cita terhadap sesuatu urusan
dunia dengan jalan menyatukan ciptanya, jika sudah sampai
kepada pengalaman yang demikian itu sudah selesai, artinya hanya
berhenti sampai di situ saja. Serta biasanya yang menjadi citacitanya itu akan terlaksana. Sedangkan jika di lain hari ada yagn di
cita-citakan lagi, juga dengan jalan melakukan yang seperti itu lagi,
namun belum tentu memperoleh pengalaman seperti yang sudah
itu.
Sedangkan bagi seseorang yang bercita-cita untuk Ma’rifat kepada
Pencipta , dan saat menyatukan ciptanya ditujukan atas salah satu
urusan dunia hanya untuk pijakan saja, setelah memeperoleh
pengalaman seperti itu, harus dilanjutkan lagi usahanya. Boleh saja
berganti-ganti yang dijadikan untuk berpijak, yang kemudian
melanjutkan menyatukan ciptanya tertuju kepada Pencipta .
Hal itu biasanya, penglihatan rasa jatinya bisa melihat ....... Ujud
dirinya sendiri, yang berwarna putih dan tanpa cacat. Di dalam
serat-serat Wirid dan Suluk-suluk disebut dengan nama “Mayang
Seta” (Bayangan putih). Apakah itu yagn disebut Pencipta ?
BUKAN!!!!!! sebab Tuha itu tidak akan bisa terbayangkan,
padahal yang itu rupad dari dirinya sendiri, sehingga jelas bukan
Pencipta .!!!
Kejelasannya: Itu hanya seperti orang yagn sedang bercermin,
yagn sudah saya jelaskan tadi itu (Bab III No.25). Perbedaannya:
Yang tadi itu Astendriya sama sekali belum tenang, makanya
saat bercermin: Penglihatan Rasa jati hanya melihat rupa atau
perwujudan Symbol (perlambang) bekas dari kerja angan-angan,
pikiran, keinginan. Namun sekarang astendriya sudah bisa benarbenar tenng, sehingga saat bercermin: penglihatan rasa jati bisa
melihat jiwa (roh)nya sendiri.
Namun ketahuilah olehmu, Roh yang lain yang yang dituntun oleh
perewangan secara terus menerus itu tadi, juga sering
memperlihatkan diri kepada yagn dituntun; Seperti rupa dari yang
dituntun itu!! Bahkan orang yang bukan menggunakan
perewangan, juga sering DIPALSU oleh roh lain, dengan cara
seperti itu. (Hati-hatilah).
28. kartosuwiryo :
Wahhhh!!! Jika demikian, Sungguh, sangat amat berbahaya sekali,
Kak!! Sehigga: aku, yagn tidak mau dintuntun oleh roh
gentayangan seperti itu (Bab III No.21) seandainya aku bisa
sampai tingkatan itu, jika kurang waspada dan hati-hati, masih bisa
di palsu yang kemudian dituntun juga. Sedangkan perbedaan Rohnya sendiri yang sebenarnya, dengan yang menyerupai roh diri ini,
akan namun palsu, itu bagaimana Kak?
soebandrio :
Perbedaanya itu sebenarnya tidak perlu untuk diceritakan.
Seperti, ada yang menerangkan, bahwa roh-nya sendiri yang
sebenarnya itu, ada tanda Huruf Alif di dahinya, yagn disebut
“ALIF mutakalimun wahid.” Ada juga yang menerangkan bahwa
rohnya diri sendiri itu dengan tanda duduk di singgasana. Ada juga
yang menjelaskan roh-nya sendiri itu warnanya putih, bukan putih
susu atau putih kaca, yaitu putih alumunium. Namun tanda-tanda
itu semua .... tidak ada gunanya. Sebab jika kamu sudah mengerti
terlebih dahulu, tidak lain akan dijadikan penggambaran, yang
akhirnya roh lian yang bertekad menyesatkan itu juga akan
menyerupai ..... seperti yang yang gambarkan atau kamu bayangbayangkan itu, Nahhh.. tentunya tak ada gunanya, Kan??
Dan yang pati tidak akan bisa salah itu, tidak laina yaitu .... jangan
mau dituntun. Sehingga tidak akan mempergunakan cara
membedakan antara rohnya diri ini dan roh yang lain.
(Catatan Penterjemah: Ada juga yang berbekal ilmu mengusir roh
sebelum meraga sukma seperti itu, untuk benteng diri, ada yang
berbekal Ayat Kursi bagi yang Islam dan sejenisnya. Dan bagi
orang Jawa ada yang menggunakan Rajah Kalacakra, dan
sejenisnya. Untuk membentengi diri dari serangan-serangan ruh
yang jahat, yang bisa membahayakan diri ini. Ada juga yang
mempergunakan Aji Panggandha (Aji penciuman Gaib) sebab
Bau tiap diri (Bahasa kasarnya yaitu bau keringat) tiap diri itu tidak
ada yang sama. Maaf bagi yang tidak sependapat – Jika ingin
mendalami... sebaiknya atas bimbingan sang ahli dan sebaiknya
jangan di cari di dunia maya.. itu semua cukup dijadikan wawasan
saja).
29. kartosuwiryo :
Sebentar dulu Kak!! Mohon maaf. Yang dibicarakan ini tadi: sikap
dari orang yang berusaha mencapai Sejatinya Ma’rifat, dengan cara
menempatkan roh nya sendiri (Bab III No.15, 22) yang tidak mau
dituntun oleh orang lainnya (Bab III No.19,29), setelh rohnya
sendiri sudah datang berdiri, kemudian tunutannya di tolak, hal itu
apakah tidak rugi bagi keberhasilan pencarian.?
soebandrio :
Rugi atau pun tidak, itu sebenarnya hanya tergantung dari
anggapan dari diri sendiri. Coba saya terangkan rumusnya
(formulanya), begini:
1. Yang dari semula sudah mau (mengharapkan) dituntun oleh roh
yang lain, itu berarti sesat dari awal. sebab roh yang dintuntun
terdesak (terpengaruh) terus-terusan, sedangkan roh yang
menuntunnya itu sebenarnya menurut istilahmu .......
Gentayangan. saat sampai saat kematiannya ...... seperti yagn
ini di surat Al-An’aam 94: Walaqad ji’tumuunaa furaadaa
kamaa chalaqnaakum awwala marrotin wa tarktum maa
chwwalnaakum (Sesungginya kamu akan menghadap kepada
(KU) sendirian, seperti saat kamu (AKU) ciptakan awalnya,
dan meninggalkan apa pun yang sudah (AKU) berikan
kepadamu) Waraa’a dhuhuurikum wamaa naraama’akum
sufa’aakumu adzdziena za’amtum annahum fiekum surakawua
(dan (AKU) tidak melihat kamu kumpul dengan berhalamu
yang bisa menolongmu, yang kamu anggap sekutu Pencipta )
Laqad aqaththa’a bainakum wadlalla’ankum maakuntum
tas’umuuna (sebenarnya sudah pisah antara kamu dan
berhalamu, dan sudah hilang darimu apa yang sebelumnya
kamu anggap (AKU). // Sehingga roh yang dituntun itu tinggal
sendirian, mengalami siksa kubur, terpisah dengan roh yang
menuntunnya. sebab pada saat itu (ini di dalam surat
lainnya) Berhala atau roh yang menuntunnya itu kemudian
mengelak alian meninggalkan dan membiarkannya sendirian.
2. Yang dituntun oleh roh yang lain yang tidak dari awalnya,
hanya sebab setelah mendapatkan pengalaman melihat ujud
dirinya sendiri, tidak bisa membedakan yang sebenarnya
dengan yang palsu, berarti tersesatnya tidak dari awal mulanya.
saat sampai waktu kematiannya ...... juga ditinggal oleh
penuntunnya seperti a. Itu tadi. Hanaya yang membedakannya
b. Ini tidak sendirian, hanya gentayangan saja, sebab roh yang
ditinggalkan oleh penuntunnya itu keadaanya sudah mulai
memiliki ilmu, dari hasil usahanya yang tidak sesat
sebelumnya.
3. Yang dituntun oleh rohnya sendiri .. jika tidak salah dalam
memilihnya --- itu berarti tidak mengalami kesesatan seperti
halnya a. Atau
Cobalah pikirkan: Roh siapa pun juga yang baru sampai pada
pengalaman sebegitu itu, keadaannya sama saja. sebab masih
menggunakan alat yang bernama rasa jati, yang menyebabkan
mengalami perasaan (enak atau tidak enak) saat berada di alam
kubur. Sehingga rohnya sendiri tidak akan mengalami
“gentayangan” seperti roh yang lain kamu tolak itu.
Sehingga jika disingkat:
a. Sendirian, sebab sesat dari awal.
b. Gentayangan, sebab sestanya tidak dari awalnya.
c. Gentayangan sebab dari perbuatannya sendiri, sebab tidak
mengalami sesat.
Sekarang, coba kamu jawab: Bagi yang sedang berusaha mencapai
sejatinya Ma’rifat, jika seperti a. Menolak, seperti b, juga menolak,
akan namun jika seperti a. Mau, hal itu, apakah keuntungannya? Jika
seperti c. Juga menolaknya juga, hal itu apa kerugiannya?
30. kartosuwiryo :
Alasanku menganggp rugi itu tadi sebab aku belum mengerti Kak.
Sedangkan sekarang sudah jelas, walau pun seperti c itu tidak sesat,
akan namun seandainya orang bepergian masih harus melanjutkan
perjalanannya, sehingga tidak terlalu lama terhenti di tempat itu,
artinya tidak perlu memperhatikan pengalaman yang itu tadi. Kan
begitu, Kak?
soebandrio :
Jika yang diusahakan itu sejatinya Ma’rifat (Ma’rifat KePencipta an),
memang benar seperti itu. Bandingkan dengan cerita di dalam
Hadits Mi’raj: saat Nabi Muhammad diantarkan oleh Malaikat
Jibril (Rohul Kudus) untuk menghadap kepada Pencipta nya, saat
hampir sampai sampai di Hadapan Pencipta , sang pengiring itu
terpaksa ditinggal, sebab sang pengiring itu tadi tidak kuat untuk
melanjutkan perjalanannya.
Akan namun ketahuilah olehmu, Jika bukan Nabi yang terpilih, atau
Wali yang terpilih, atau Mukmin chas yang mendapat perkenan
Pencipta , saat sampai kepada pengalaman melihat “Mayangan
Seta” (bayangan putih)) itu pada umumnya akan..... tergiur. sebab
kala itu yaitu sebagai sumber dari segala Aji kesaktian dan segala
kelebihan (Bab III No.22), yang umumnya itu yang menjadi ctacitanya. Sehingga bagi yang ingin mencapai sejatinya Ma’rifat
(Marifat KePencipta an), yang seperti itu disebut Tingkatan yang
sangat penuh jebakan yang sangat berbahaya (Bab III No.14).
Siapa saja yang berulangkali mendapatkan pengalaman melihat
bayangan putih itu (walau pun yang palsu) kemudian akan
mendapatkan kelebihan bermacam-macam, contohnya:
a. Terbukanya penglihatan gaib, melihat dan bisa berhubungan
dengan roh-roh yang berada di alam gaib, bisa minta tolong
atau memerintah kepada roh-roh ini , bisa mengetahui isi
hati orang dan nasib seseorang, dan juga melihat gambaran gaib
yang lain-lainnya, yang singkatnya disebut “helderzien”.
b. Terbukanya pendengaran gaib, perasa gaib, penciuman gaib,
yang bagi orang biasa tidak memilikinya.
c. Bia mempunyai daya gaib yang bisa dipergunakan dalam hal
penyembuhan, (magnetiseeren) atau kewibawaan
(Hypnotiseeren).
d. Memiliki kelebihan yang lainnya lagi (kedigdayaan) yang anehaneh, dan mendapat pengalaman yang bermacam-macam yang
indah-indah.
Sehingga tidak aneh hingga banyak yang tercebur lupa kepada citacita semula (Ma’rifat KePencipta an), serta jika sudah lupa yang
demikian itu kemudian menjadi FANATIK, mengandalkan
kebenarannya dan pendapatnya sendiri saja, hampa dari
pertimbangan dan penalaran.
Sedangkan bagi yagn tidak mengalami lupa dari tujuan semula,
pastilah tidak ada kefanatikan, sebab selalu ingat dan sadar bahwa
manusia ini mempunyai sifat celaka( sakit, lupa, salah), Apalagi
hanya kita, selagi Nabi Rasul sendiri (Atas perintah Pencipta nya)
mengatakan kepada orang-orang kafir: Wa innaa au iyyakum al’ala
hudan au fie dlalalin mubienin (Sabaa” 24 + Entah aku entah kamu
semua yang benar, atau dalam kesesatan yang nyata).
Oleh sebab tidak fanatik, akal dan pikirannya masih bisa
didpergunakannya untuk menimbang dan menalar, sebagai berikut:
a. Kelebihan itu jika dibandingkan dengan kelebihan Pencipta ,
ibaratnya hanya setetes air dibanding dengan samudra, untuk
apa dicintai (ora urub den kurebi).
b. Kelebihannya itu hanya khusus urusan abstrak (tidak terlihat
mata) yang tidak mudah untuk ditetapkan benar salahnya oleh
orang lain. Sehingga: kalah dasar dari ilmu nyata, tentang hal
yang abstrak, terlebih lagi dengan ilmu lahir tentang hal yang
konkrit (terlihat mata), yang bisa didsaksikan kebenaran dan
salahnya oleh orang lain.
c. Kelebihan tentang hal abstrak itu ada batasnya yang tidak
merubah kudrat, seperti, tidak bisa digunakan untuk merubah
takdir yang dialami oleh orang hidup, termasuk dirinya sendiri.
Juga tidak bisa untuk menolong yang dialami roh di alam
kuburnya, seperti, dari dari irang yang sangat dicintai.
d. Pengalamannya yang aneh-aneh tentang hal gaib itu, jika di
teliti tidak secara fanatik, kebanyakan hanya tertipu oleh
perasaanya sendir, dari akibat gambaran dari angan-angan dan
catatan keyakinan saat pernah mendengar tentang hal gaib.
Padahal yang diyakininya itu belum tentu benar.
31. kartosuwiryo :
Mohon maaf Kak! Jika yang memperoleh keleibihan atau
“Mampu” itu terus tergiur, tentu hal itu bisa disebut tertipu. Namun
apakah Kakak tidak percaya terhadap adanya Mukjizat dan kramat
(Karomah), yaitu kelebihan yang diberikan oleh Pencipta kepada
titah yang tidak terkena tipuan.
soebandrio :
Sangat amat yakin dan percaya! Namun yang terpenting yang
harus kamu pahami, itu bukan tentang percayaku atau tidak
percayaku, yaitu tentang perincian dari kelebihan ini .
Kelebihan yang aneh-aneh yang juga bia kamu sebut
“Kemampuan” itu dalam garis besarnya ada 4 macam, yaitu: (1)
Mukjizatnya Nabi, (2) Karomahnya Wali, (3). Ma’unahnya
Mukmin, (4), Istijrat-nya Kafir.
Kelebihan yang empat macam itu, bagi orang lain yang melihatnya
tidak ada bedanya, sebab terlihat sama keanehannya. Sedangkan
membedakan yang ketempatan kelebihan itu tidak mudah. Bisa
saja kafir dikira Wali, atau sebalinya.
Sedangkan yang membedakannya itu seharusnya dirinya sendiri,
yang kadang tidak terikat oleh sakit yang beranama Fanatik itu
tadi, Sedangkan untuk memilahnya, begini:
Mukjizat dan karomah itu yang ketempatan, tidak akan merasa
bahwa dirinya mempunyai kelebihan. Sehingga keluarnya
mukjizat atau pun karomah itu tidak dengan diniyati, serta hanya
berhubungan dengan penyiaran Ajaran Agama.
“Ma’unah” itu yang ketempatan, juga tidak merasa bahwa dirinya
ketempatan. Sehingga keluarnya Ma’unah itu tidak dengan
diniyati, hanya “tiba-tiba” saat yang ketempatan itu menghadapi
bahaya.
Sehingga, jika yang ketempatan kelebihan itu merasa ketempatan,
serta keluarnya kelebihan itu sebab diniyati, kelebihan itu yang
bernama kelebihan tas perintah dari Nafsu. Jika untuk
mendapatkan kelebihan itu sebab diusahakan itulah perintah
Setan. Namun sebab Pencipta itu Maha Murah, pun dikabulkan
juga. Kelebihan yang demikian itu yang disebut .... “istidraj”.
32. kartosuwiryo :
Cukup jelas Kak! Sekarang Kaka, mohon berkenan meneruskan
memberikan penjelasan: Bagaimana caranya untuk menghilangkan
tipuan itu, serta bisa terlaksananya cita-cita itu (Ma’rifat
KePencipta an) itu yang sudah bagaimana?
soebandrio :
Jika hanya menceritakan saja, aku tidak keberatan, walau pun bagi
ku dan kamu: tentang hal ini baru ada dalam niyat saja yang
masih.... sangat-sangat jauhnya.
Pengalaman yang banyak cobaan dan tipuannya itu pasti dilewati,
sebab hal itu memang jalannya. Sedangkan kita ini, ada yang bisa
melewati jalan itu saat hidupnya, ada yang tidak bisa. Namun
walau pun bisa atau tidak bisa mengalami saat masih hidup ini,
besok saat masuk ke pintu kematian *Sakaratil maut) juga
mengalami.
Sedangkan caranya untuk menghindari cobaan tipuan itu --- apa
mengalami sekarang, atau saat sakaratil maut--- tidak lain
hanya... tidak memerintahkannya.
Jika kita lulus dari pengalaman itu saat dalam hidup ini, insya
Pencipta usaha kita dalam menuju Ma’rifat Tullah itu bisa terlaksana
Jika kita lulus dari pengalaman itu saat sakaratil maut, Insya
Pencipta kita “Asal dari Pencipta kembali kepada-Nya”,
Di kala itu sudah tidak bisa dibicarakan, sebab “Tidak bisa
terbayangkan” di dalam keadaan saat “Tanpa alat” Bab III
No.11,b. 26). Paling Pol hanya bisa digambarkan bagikan orang
tidur yang tidak bermimpi atau seperti seseorang yang pingsan.
Didalam Qur’an diceritakan saat Nabi Musa memandang
Gunung (Bab III No.15) hinga terlaksana Ma’rifat kepada Pencipta ,
itu begini: Falamma tajalla rabbuhu liljabali ja’alahu dakkan
wacharra muusa sha’iqan (Al A’raf 143 = saat Ma’rifat kepada
Pencipta di gunung itu, kemudian gunung itu hancur, Nabi Musa
terjatuh pingsan).
Sudah-sudah, tentang Ma’rifat kepada Pencipta tidak perlu dirembug
panjang lebar lagi, hanya perlu saya tambahi keterangan seperti ini:
Bisa saja saat kamu belajar Shalat Ma’rifat (Yoga) tau
mengalami satu detik bagaikan tidur tidak bermimpi, atau seperti
pingsan, hal itu jangan kau kira jika kamu sudah Ma’rifat kepada
Pencipta : Tanpa melewati jalan yang banyak godaannya itu. Hal
seperti itu sama seperti saat tidur merasa tidak bermimpi,
sebenarnya bermimi, namun mempinya sedikit sekali hinga tidak
teringat sama sekali.
Singkatnya, jalan yang banyak godaanya itu (Menyusup di rasa
jati” Bab III No.26) tidak bisa dihindari, seperti orang yang
menghitung dari satu hingga sepuluh, tidak akan bisa menghindari
angka sembilan.
Dan jika setelah kepulanganmu dari sini, kemudian kamu belajar
Shalat Ma’rifat, aku hanya pesan sedikit:
I. Perhatikanlah kesehatan badan, sebab jika badan kasar sakitsakitan, bisa dipastikan: Tidak akan bisa tercapai yang dicitacitakan.
II. Tekun dalam menjalankannya dan telaten, namun jangan
dipaksa-paksa: tergesa-gesa ingins egera sampai; sebab
ma’rifat itu tidak bisa dikerjakan dengan memaksakan diri.
III.Bisa disertai mengurangi makan, tidur, asmaram namun jangan
sampai merugikan kesehatan badan. Boleh juga dengan
mendasari seperti itu, beserta juga jangan memuaskan makan,
memuaskan tidur, memuaskan asmara.
33. kartosuwiryo :
Iya Kak, perintah Kakak, akan saya patuhi. Nah sekarang tinggal
menjelaskan tentang yang gaib, yang pada umunya percaya atau
tidak percayanya seseorang hanya meniru-niru saja. Seperti pada
Rukun Iman yang ke enam, Kita harus mempercayai MalaikatMalaikat-nya Pencipta (Bab II No.24) Yang dinamakan Malaikat itu
apa, Kak? Mohon penjelasannya hingga membuat diriku puas.
soebandrio :
Penjelasan yang tidak memuaskan itu berasal dari bodohnya yang
memberikan penjelasan, atau juga yang menerima penjelasan, atau
kedua-duanya. Akan namun akan saya coba, dengankalah!
Makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar ada empat.
1. Roh manusia yang sudah meninggal dunia, yang belum
kembali kepada asalnya dan belum dilahrikan ke dunia lagi
(belum kiyamat = belum bangkit dari kematian). Alamnya
disebut alam kubur. Roh ini ada yang mengalami enak dan
tidak enak. Sehingga jika ada yang menerangkan alam kubur
itu ada tingkatannya, dan masing-masing jenisnya diberi nama
sendiri-sendiri, juga tidak salah. Di tempat itu tidak ada hdiup
bertetangga, sebab masing-masing roh itu hanya menjalankan
keadaan menurut rasa dirinya masing-masing. Seumpama ada
yang merasa bermasyarakat, juga menurut rasanya diri mereka
itu tadi, seperti halnya orang bermimpi bermasyarakat.
Sehingga tidak akan berkembangbiak atau pun berumah
tangga. Roh-roh ini jika sudah sampai waktunya
(berdasarkan ilmu dan amal perbuatannya) kemudian lahir
menjadi bayi ke dunia lagi.
2. Bangsa Jin; yaitu mahkluk Pencipta , tidak berbeda dengan hewan
dan manusia ini, namun tidak berbadan kasar. Hewan itu tidak
terbilang jenisnya, ada yang merambat, merangkak, melata,
terbang dan lain sebagainya ..... demikian juga bangsa Jin, juga
tanpa bilangan jenisnya, masing-masing jenis ditandai dengan
nama sendiri-sendiri oleh manusia. Alam Jin itu dinamakan
alam astral (ajsam) dan ditingkatkan sama dengan alam kubur
yang terendah. Sehingga siapa yang mata batinnya terbuka bisa
berhubungan dengan roh yang ada di alam kubur, juga bisa
berhubungan dengan bangsa jin. Banga jin itu hidup di
alamnya, bermasyarakat seperti halnya manusia yang hidup di
lam dunia ini. Sehingga berkembang biak dan berumah tangga.
Sama-sama bangsa Jin, yang tertinggi tingkatannya itu “Jin” yang
sering disebut dalam kitab muslim , yaitu yang bentuk badannya
banyak sekali yang mirip dengan manusia. Sedangkan
kelakuannya juga seperti manusia ini. Ada yang jelek ada yang
bagus, juga ada yang berbakti kepada Pencipta nya, dan belajar Ilmu
Agama.
Sabagian manusia ada yang suka bersahabt dengan Jin, malahan
ada yang sukka berumah menikah dengan Jin. Demikian juga Jin
itu, ada yang suka bersahabt dan kawin dengan manusia. Itu tidak
mengherankan, sama saja dengan orang yang suka kawin dengan
orang beda bangsa itu.
Sedangkan jika terjadi hal yang demikian itu, menurut aturan
kudrat, mau tidak mau yang satu termasuk golongan (warga
negara) satunya. Namun Jin mokal dan tidak mungkin berubah
menjadi manusia, sebab hanya memiliki badan halus saja, tidak
memiliki dan tidak bisa membuat badan kasar. Sedang
manusianya, mempunya badan kasar pun juga mempunyai badan
halus. Sehingga manusialah yang harus mengubah dirinya untuk
bisa masuk pada alam jin, dan saat raga kasarnya sudah rusak
(mati). Seterusnya manusia yang sudah pindah warga negara ke
bangsa Jin itu juga mirip seperti Jin: Hidup berumah tangga dan
bisa memiliki keturunan di alam ajsam itu.
Makhluk berjenis Jin itu menurut aturan Kudrat Pencipta , tidak bisa
tidak, jiawanya juga mengalami kemajuan (Evolusi) hinga sampai
sempurna: Kembali kepada Pencipta nya. Namun bagaimana
perjalanan kemajuan itu, kita manusia tidak mengerti. Yang jelas
saja, pasti beda dengan amnusia. Sedangkan manusisa yagn sudah
menjad “Warganegara Jin itu, kemajuan jiwanya juga mengikuti
cara Jin.
Ada juga manusia yang tidak kawin dengan Jin, namun saat
matinya, rohnya juga terpaksa menjadi warga negara Jin, hingga
lama sekali baru bisa menjadi warga negara manusia lagi. Yaitu
manusia yang saat hidupnya berguru atau mengambil tuntunan
dan pertolongan Jin, menggunakan perjanjian atau pun tidak. Itu
sama dengan orang berpakaian serba putih, menceburkan diri di
perapian batu arang, mokal jika pakaiannya tidak terkena hitamnya
arang. Sehingga jika akan kembali menjadi putih lagi harus
membersihkan hitamnya terlebih dahulu.
Roh yang mempengaruhi manusia hidup yang menjadi
perewangan yang kadang-kadang saja atau yagn terus menerus
(Bab III No. 18, 19, 20, 27), itu bisa dipastikan roh dari orang mti
yang pindah alam ke alam jin, atau memang jin blesteran atau jin
murni.
Bangsa Setan (Syaithan), yaitu makhluk Pencipta yang lebih lembut
dibanding Proton (bagian dari atoom), jenisnya juga tidak
terbilang, sedangkan tunggal jenisnya yaitu: Iblis atau Idajil. Setan
dan Iblis itu sering disebut dalam kitab muslim , yaitu yang selamalamanya menggoda manusia dan menjadi musuh manusia.
Alam setan itu juga termasuk alam Ajsam, artinya jika ingin
menyatakan ujudnya ttidak bisa terlihat (dibesarkan) dengan
menggunakan mikroskoop, harus dengan penglihatan gaib, seperti
halnya seseorang yang menyatakan ujud dari jenis Jin. Sedang
Jenis Setan itu, walau pun yang paling tinggi, disebab kan ujud dan
perbuatannya, tingkatannya sama dengan bangsa Jin yagn paling
rendah sendiri. Yaitu ujudnya mengerikan, perbuatannya tidak ada
yang baik. Masih ada bedanya lagi, yaitu bangsa Jin yagn paling
rendah itu tadi, hdiupnya mengalami perubahan-perubahan
berevolusi, sedangkan setan tidak, serta senang menang dalam
dalam kejahilannya.
Sitan itu hidupnya hanya menjadi benalu di badan kasar manusia.
saat raga manusia ini ditinggal oleh roh-nya, setan yang
menumpang dan tidak terbilang jumlahnya itu ditinggal pula,
akhirnya rusak, kembali kepasa asalnya dan “Selesai” tanpa kisah
lagi. Sehingga perbuatan setan itu tanpa tanggung jawab sama
sekali. Yang bertanggung jawab manusianya yang di tempeli, yang
saat meninggalkan raganya masih ada riwayat lagi
34. kartosuwiryo :
Maaf Kak! Jika tentang roh orang yagn meninggal dunia yagn
masih kekal hidup di alam kubur, itu sudah jelas penerimaanku.
Demikian juga tentang makhluk yang berbadan halus yang disebut
“Jin” itu aku juga bisa menerimanya, walau pun aku belum pernah
melihatnya. sebab kepercayaan itu tidak harus bisa ddisaksikan
oleh astendriya yagn lima (Pancaindra), juga bisa disaksikan
menggunakan pengertian. Kepercayaanku tentang adanya Jin,
sama saja dengan kepercayaanku, bahwa di dalam laut ditempati
hewan buruan air yang jumlah jenis tidak beda dengan hewan
buruan darat, walau pun aku belum pernah melihat keadaan di
kedalam laut.
Namun, tentagn Setan .... pemahamanku belum bisa menerimanya.
Tiba-tiba ada makhluk yang hidup sebagai “benalu” segala, atu
maksuddnya bagaimana dan kejelasannya seperti apa?
Dan juga, mohon maaf sebelumnya, aku tadi kan mohon
penjelasan tentang “Malaikat” yang termasuk Tukun Iman, itu
kan?
soebandrio :
Jika langsung aku menerangkan tentang Malaikat, menurutku
kamu tidak langsung mengerti. Sehingga sebelum menerangkan
tentang malaikat, saya awali menjelaskan tentang Jin dan setan
terlebih dahulu, yang juga disebut di dalam kitab muslim .
Tentang badan kasar manusia yang ditempeli kehidupan makhluk
lain, itu kan bukan hal yang aneh, ta? Sepertinya: Cacing tambang,
kutu rambut, daln lain-lainnya, itu semua kehidupannya benalu
bagi raga manusia. Artinya jika badan kasar itu telah rusak, si
cacing gdan kutu rambut itu ikut rusak. Hanya saja perbedaanya,
demikian: Cacing dan kutu rambut itu benalu yang datang
gkemudian, yang menjadi ada sebab terbawa dari makanan atau
kotoran, dan bisa dihilangkan dari badan manusia. Sedangkan
Setan itu “Benalu” asli, dalam menjadi benalu sejak manusia
terlahir dari kandungan Ibu, serta tidak bisa dimusnahkan dari raga
manusia. Soal itu perlu dijelaskan hingga sejelas-jelasnya.
saat manusia hidup menggunakan basan kasar, itu dari
kudratnya Pencipta ; pasti ketemepatan setan, walau pun para Wali
dan para Nabi, juga demikian. Dalam Hadits: Maa minkum min
ahadin illa walahu syaithan (Tidak ada satu manusia pun dari
kalian semua, kecuali pasti ketempatan setan). Inu bukan hal yang
aneh, seperti halnya tiap manusia hidup itu pasti ketempatan nafas,
hasrat, nafsu, akal, pikiran, dan kelengkapan yang lain-lainnya lagi.
Seandainya kosong salah satunya, pasti tidak hidup atau tidak
sempurna hidupnya.
Sedangkan yagn dinamakan setan itu apa? Marilah dengarkan yang
jelas. Jangan mudah percaya pun jangan mudah membantah.
Pada abad pertangan sekarang ini, para sarjana Ilmu Kedokteran
sudah sepakat pendapatnya, bahwa di dalam badan kasar manusia
hidup itu ada biji sakit (Baksil, bakteri) bermacam-macam, namun
ada daya reaksi yagn cukup kekuatannya untuk menahan
kekuatannya (aksine) dari baksil-baksil itu. Itu bagi orang yang
sehat.
Sedangkan jika ada kejadian dari sebab yang berasal dari dalam
atau dari luar, yang menyebabkan daya reaksi itu tadi kurang
kekuatannya ...... baksil bakteri itu kemudian In Aksi, orangnya
dinamakan sakit. Sedangkan ujud dari baksil bakteri yang teramat
sangat kecilnya itu sekarang sudah bisa di lihat menggunakan alat,
juga buatan para sarjana, yang bernama mikroskoop.
Coba sekarang pikirkan yang obyektif, seumpama bakteri-bakteri
itu saya namakan X, atau Y, atau Z, apa ... setan, kan bisa saja, ta?
Kan hanya nama saja!
35. kartosuwiryo :
Iya, Kak, jika hanya tentang nama saja, dari pengertianku tidak ada
keberatannya. Namun yagn bernama “setan” dengan yang bernama
“bakteri-bateri” itu apakah sama, Kak?
soebandrio :
Sabar dulu, jika tentang “Nama” kamu sduah tidak keberatan, saya
teruskan uraianku.
Sebenarnya yagn disebut Setan di dalam Kitab-Kitab Suci, saat
di jaman kuna itu, yaitu yang dinamakan baksil-baksil oleh Ilmu
kedokteran di jaman sekrang ini. Namun baksil-baksil itu termasuk
setan pada tingkatan rendah dan kasar (agal), sehingga sekarang
sudah bisa dilihat dengan menggunakan alat. Sedangkan di badan
manusia itu juga ada setannya yang tingkatannya lebih tinggi dan
keadaannya lebih lembut dibanding dengan baksil-baksil itu.
saat sarjana ahli Wetenschaschap belum bisa membuat alat yang
disebut Mikroskoop, kepercayaan orang biasa kepada bakteribakteri cukup hanya merasakan akibat dari perbuatannya saja.
Demikian juga sekarang, kepercayaan orang kebanyakan kepada
adanya setan (Bakteri-bakteri yagn lebih lembut) itu seharusnya
juga cukup dengan mengetahui akibat dari perbuatannya saja. Dan
juga bukan hal yang aneh seumpama besok berapa turunan lagi,
ada sarjana ahli wetenschap yagn bisa membuat mikroskoop yang
lebih canggih, yang bisa dipergunakan untuk melihat setan dengan
sejelas-jelasnya, itu yaitu apa, dan juga tentang badan halus yang
lainnya.
36. kartosuwiryo :
Nahhh.. sekarang pehamanku sudah terang, Kak. Malah menurut
pendapatkku, tentang adanya Lelembut (makhluk lembut) yagn
bernama setan itu lebih dekat kepada wetenschap dibanding
terhadap mystiek. Untuk selanjut, Kakakberkenanlah menerangkan
akibat dari perbuatan setan itu, agar orang kebanyakan seperti aku
ini, bisa percaya – yakin bahwa memang ada sungguhan.
soebandrio :
Itu tidak sulit, asal saja kamu masih mau menggunakan akal dan
pikiran saja.
Sebangsa setan yagn ada di badan kasar manusia itu takdir
perbuatan yang pokok menyebabkan sakitnya jiwa bagi manusia.
Sedangkan yagn sebut sakitnya jiwa itu, angan-anagn yang
menghalangi antara makhluk dengan penciptanya. Tidak
membedakan yang memiliki angan-angan itu bodoh atau pinter,
kaya atau miskin, raganya sakit atau sehat, Dan juga tidak
membedakan apa yang punya angan-angan itu dalam tindakan
lahirnya bertindak maksiat atau tidak maksiat.
Sedangkan setan yagn kasar yagn bernama baksil-bakteri yagn ada
di badan kasar dari manusia