• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label fikih 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fikih 2. Tampilkan semua postingan

fikih 2

. Kakek ṣaḥīḥ, adalah kakek yang hubungan nasabnya 
dengan pewaris tidak diselingi oleh perempuan, 
seperti ayahnya ayah, ayah dari ayahnya ayah dan 
seterusnya ke atas.81 
2. Kakek fāsid, adalah kakek yang nasabnya dengan 
pewaris diselingi oleh perempuan. seperti ayahnya 
ibu, ayah dari ibunya ayah.82 Hal ini didasarkan sesuai 
dengan kaidah yang menyatakan bahwa apabila di 
antara orang laki-laki dimasuki orang perempuan, 
maka kakek itu bukan sejati. Apabila tidak dimasuki 
orang perempuan, maka merupakan kakek sejati. 
Sekalipun tinggi derajatnya, seperti ayahnya ayah, 
ayahnya dari ayahnya ayah, ayahnya ayah dari 
ayahnya ayah. Demikianlah seterusnya sampai Nabi 
Adam as. 
Jadi yang dimaksud dengan kakek dalam  
pembahasan ini adalah kakek ṣaḥīḥ, yaitu kakek yang sah, 
atau sering pula disebut dengan istilah kakek sejati, 
merupakan orang yang bisa menempati kedudukan ayah 
dalam menerima warisan di saat ayah pewaris tidak ada. 
Sementara itu, yang dimaksud dengan saudara 
disini adalah saudara kandung baik laki-laki maupun 
perempuan, dan juga saudara seayah baik laki-laki 
maupun perempuan, sendiri atau banyak. Adapun saudara 
seibu laki-laki atau perempuan, mereka terhijab oleh 
kakek, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur 
ulama. 
B. Hukum Waris Antara Kakek dan Saudara 
 Persoalan pembagian warisan antara kakek 
bersama saudara ini dianggap sebagai suatu permasalahan 
yang rumit dalam perkembangan hukum waris Islam. 
sebab  merupakan persoalan dua golongan keluarga 
nasabiyah dengan pewaris melalui jalur laki-laki yang 
sama, yakni ayah pewaris, dimana kakek adalah orang tua 
dari ayah dan saudara merupakan turunan dari ayah. 
  Masalah ini tidak terdapat penjelasannya baik 
dalam al Qur‟an ataupun hadits Nabi saw., sehingga 
mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menangani 
kasus ini. Bahkan mereka cenderung sangat berhati-hati 
untuk mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan 
kasus ini. Ini terungkap dalam beberapa pernyataan 
sahabat seperti Ibnu „Umar berkata:
“Orang yang paling berani diantara kalian untuk 
membagikan warisan kakek dengan saudara, maka 
dialah orang yang paling berani masuk dalam 
neraka”83 
Demikian juga halnya dengan sahabat Ali bin Abi 
Thalib yang mengatakan dengan:  
 
“Barang siapa yang senang terjun ke dalam neraka 
Jahannam, maka putuskanlah kewarisan kakek yang 
bersama dengan saudara.”84 
   Ketentuan dan kehati-hatian mereka memang 
sangat beralasan, sebab  di samping tidak adanya naṣ 
yang menjelaskan mengenai masalah dimaksud, juga 
didasarkan pada adanya kekhawatiran tentang hasil ijtihad 
yang salah. Terlebih lagi dalam masalah yang 
berhubungan dengan materi/hak kepemilikan. Mereka 
takut akan berbuat żalim atau aniaya dengan memberikan 
hak waris kepada orang yang tidak berhak atau 
sebaliknya. 
C. Pendapat Fuqaha Tentang Hak Waris Kakek 
Bersama  Saudara 
  Meski sebelumnya ada semacam kekhawatiran 
dari para sahabat untuk melakukan ijtihad mengenai 
masalah kewarisan kakek bersama saudara ini, tetapi 
akhirnya kekhawatiran itupun hilang bersamaan dengan 
munculnya ijtihad para salaf al-ṣaliḥīn dan imam 
mujtahidin yang telah dibukukan secara lengkap dan 
detail beserta dalil-dalilnya. Kaitannya dengan ijtihad ini, 
para imam mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan 
hukum kewarisan kakek bersama dengan saudara, yang 
terbagi kepada dua pendapat yaitu: 
1. Pendapat Abu Bakar As-Siddiq, Ibnu Abbas, „Usman, 
Ibnu al-Zabīr, „Ubadah bin Ṣamit, Ibnu Sirin, ibnu 
„Umar dan Abu Ḥanīfah, bahwa kedudukan kakek 
sama dengan ayah, jika ayah tidak ada, sehingga dapat 
menghijab saudara sekandung dan seayah secara 
mutlak.  
Alasan kelompok pendapat pertama ini adalah, 
Pertama, firman Allah surah an-Nisa‟ ayat 176, yang 
menjelaskan bahwa syarat mendapat  warisan saudara 
laki-laki atau perempuan itu jika dalam masalah kalālah, 
yaitu barangsiapa yang meninggal dan tidak 
meninggalakan anak dan ayah, maka kakek juga termasuk 
ayah. Kedua, bahwa penggunaan kata “Ab” (ayah) dalam 
al-Qur‟an maupun al-Sunnah menunjuk kata “jadd” 
(kakek) sebagaimana terdapat dalam firman-Nya surah al-
Hajj ayat 78, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim..” 
dan dalam surah Yusuf ayat 38, “Dan aku mengikuti 
agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim.”86 
 Ketiga, di saat ayah tidak ada, kakek menempati 
kedudukan ayah. Ini sama dengan cucu laki-laki dari anak 
laki-laki yang bisa menempati posisi anak laki-laki, jika ia 
tidak ada. Sehingga wajar kiranya kalau kakek 
menghalangi saudara untuk mewarisi. Selain itu alasan 
yang dikemukakan oleh pendapat pertama ini adalah 
mendasarkan pada segi derajat kekerabatan, kakek 
menempati derajat uṣul (asal), sedangkan saudara berada 
dalam “jihat” menyamping (ukhuwwah) dalam prinsip 
penerimaan „aṣabah binnafsi. Yang demikian inipun 
sejalan dengan perintah Rasulullah saw.: “Bagikanlah 
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan 
apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling  
KEWARISAN MAFQŪD 
A. Pengertian Mafqūd. 
Mafqūd secara etimologi merupakan isim maf‟ūl 
yang diambil dari kata „faqada‟ (hilang) yaitu sesuatu 
yang pergi tanpa kembali. Firman Allah surah an-Naml 
ayat 20 “dan Dia memeriksa burung-burung lalu berkata: 
"Mengapa aku tidak melihat hud-hud87, Apakah Dia 
Termasuk yang tidak hadir.”88 
Sedangkan mafqūd secara terminologi adalah 
orang yang terputus beritanya, yang tidak diketahui 
keadannya apakah masih hidup atau sudah meninggal 
dunia, boleh jadi sebab  melakukan safar (perjalan) atau 
menghadiri peperangan, atau ditawan oleh musuh, atau 
lain sebagainya dari bentuk kehilangan.89 
B. Perbedaan pendapat Ulama Tentang Masa Tunggu  
Mafqūd. 
Sepakat fuqaha bahwa asal hukumnya orang yang 
hilang masih dianggap hidup, sampai jelas keadaannya, 
sebab  menetukan kematiannya itu adalah suatu perkara 
yang masih samar. Oleh sebab  itu, harta yang 
ditinggalkan masih tetap hak miliknya, dan harus dijaga 
sampai keberadaan orang yang bersangkutan jelas. Begitu 
juga tidak diwarisi hak-hanya sampai adanya bukti bahwa 
sudah meninggal, atau melihat kemungkinan besar bahwa 
tidak mungkin lagi selama masa ini  masih hidup, 
atau seorang hakim telah memutuskan bahwa sudah 
meninggal, dan hakim memberikan wewenang harta 
peninggalan mafqūd kepada istrinya, anak-anaknya, orang 
tuanya dan kerabat dekatnya, dan mengumpulkan utang-
utangnya, menjaga hartanya sampai jelas keadaannya. 
Jika terbukti masih hidup maka orang yang hilang 
ini  berhak mengambil hartanya, dan mendapat  
hak-haknya kembali. Begitu juga jika kematiannya sudah 
jelas dan ada bukti konkrit atau dengan surat resmi yang 
menegaskan kematiannya, dimana kematian itu adalah 
kematian hakiki. Maka, ahli warisnya boleh mewarisi 
terhitung dari tanggal kematiannya.  
Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat 
mengenai batasan waktu tunggu bagi orang yang hilang, 
kepada dua pendapat. 
1. Pendapat Mazhab Hanafiyyah, masyhur dari Imam 
Malik, shahih dari Mazhab Syafi‟iyyah dan salah satu 
riwayat dari Imam Ahmad, bahwa masa tunggu orang 
yang hilang tidak dibatasi dengan waktu, akan tetapi 
batasan waktunya itu dipulangkan kepada ijtihad 
Hakim, terkait segala hal yang berkaitan dengan orang 
yang hilang ini .90 
Alasannya adalah asal hukum orang yang hilang 
masih dianggap hidup, maka tidak boleh dihukumi 
sudah meninggal seiring dengan perjalanan waktu, 
tanpa pembuktian dan ijtihad. Apalagi manusia 
berbeda-beda umurnya, ada yang panjang usianya dan 
ada yang pendek. Begitu juga dengan masa hidup 
orang yang hilang pasti berbeda antara satu sama lain, 
dari segi zaman, tempat dan keadaan orang yang 
hilang, sebab nya tidak dijumpai batasan waktu 
terhadap maslah ini dalam hukum Islam, maka 
dilegalkanlah perkara ini kepada ijtihad seorang 
Hakim.
2. Pendapat Mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, 
Syafi‟iyyah dan Hanabilah, bahwa harus diberikan 
batasan waktu untuk orang yang hilang, jika kembali 
pada batasan waktu ini  berarti masih hidup tapi 
jika tidak artinya sudah meninggal dunia, dan 
dibagikan hartanya kepada ahli waris saat  sudah 
diputuskan kematiannya.92 Akan tetapi mereka 
berbeda pendapat mengenai batasan waktu tunggu 
bagi orang yang hilang dianggap sudah meninggal 
atau hidup, sebagai berikut: 
a. Mazhab Hanafiyyah, berpendapat bahwa orang 
yang hilang dapat dianggap meninggal jika orang 
yang sepadan atau yang sama masa kelahiran 
dengannya sudah meninggal. Dengan kata lain 
tidak ada lagi orang yang satu generasi dengannya, 
tanpa harus menetapkan waktu meninggal orang 
yang hilang. Ada juga yang berpendapat bahwa 
dihitung dengan sempurnanya 90 tahun dari masa 
kelahiran, ada juga pendapat 70 tahun, dan ada 
juga 120 tahun. 
b. Mazhab Malikiyyah, mengatakan bahwa orang 
yang hilang dianggap sudah meninggal dunia jika 
dalam masa 70 tahun tidak kembali, ada juga yang 
berpendapat 75 tahun, ada juga 80 tahun dan 90 
tahun dari masa kelahiran bersama dengan satu 
tahun masa hilangnya.94 
c. Mazhab Syafi‟iyyah, batas waktu tunggu adalah 
70 tahun, ada juga yang berpendapat 90 tahun dari 
waktu kelahiran, yang merupakan waktu orang 
yang seusia dengannya atau satu generasi 
dengannya bisa dipastikan sudah meninggal 
dunia.95 
Dari ketiga mazhab di atas, pendapat yang 
mengatakan masa tunggu sampai dihukumi telah 
meninggal adalah 70 tahun. Dalilnya adalah hadiṡ 
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa 
Rasulullah saw. Bersabda:  
“Umur umatku adalah antara enam puluh tahun 
sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit orang yang 
bisa melampaui umur ini ”
d. Mazhab Hanabilah, membedakan kepada dua 
keadaan: 
1) Orang yang hilang diperkirakan tidak selamat 
atau meninggal, di antaranya adalah orang 
yang hilang di daerah yang tidak aman dan 
sering terjadi pembunuhan, perampokan, orang 
yang pergi perang, dan lainnya. Dalam kondisi 
ini, seluruh kerabat diharuskan menunggu 
selama empat tahun sejak orang ini  
hilang. Apabila dalam tenggang waktu ini  
tetap tidak ada kabar, hakim boleh 
memberikan putusan mengenai kematiannya, 
dan dianggap meninggal sejak keputusan 
hakim ditetapkan. 
Dalilnya adalah berdasarkan riwayat dari 
Malik dalam kitab Muwaṭṭa‟, Said bin 
Musayyaf menjelaskan bahwa Umar berkata: 
“Perempuan manapun yang kehilangan suami 
dan tidak mengetahui keberadaannya, harus 
menunggu selama empat tahun. Jika dalam 
masa itu belum juga ada kabar, dia harus 
melakukan „iddah selama empat bulan sepuluh 
hari, setalah masa „iddahnya selesai, 
perempuan itu boleh nikah kembali.”97 
2) Orang yang hilang diperkirakan selamat, di 
antaranya adalah orang yang hijrah kenegara 
lain untuk mencari rezeki, bertamasya, 
berdagang, atau menuntut ilmu. Dalam kondisi 
yang demikian, tenggang waktu yang akan 
diputuskan hakim mengenai kematiannya 
diserahkan kepada wali al-amr (pemimpin) 
atau orang yang mewakilkannya. Itupun 
dilakukan jika proses pencariannya sudah 
dilakukan secara maksimal. 
Sementara itu, sebagian dari ulama 
Hanbilah memberikan batasan mengenai hal  
                                                                 

KEWARISAN AL-ḤAML (ANAK DALAM 
KANDUNGAN) 
 
A. Pengertian al-Haml. 
Secara etimologi al-haml adalah apa yang ada di 
dalam perut perempuan yang mengandung pada semua 
makhluk. Jamaknya adalah ḥimālun, dan aḥmālun, 
maksudnya adalah sesuatu yang ada di dalam perut 
perempuan yang mengandung. Orang Arab berkata: 
perempuan bisa disebut ḥublā jika dia sudah mengandung 
dan membawa beban. Apabila seorang perempuan 
membawa beban dipunggung atau di atas kepalanya, 
perempuan itu disebut ḥāmilah.98 
Sedangkan al-ḥamlu secara terminologi adalah 
sesuatu yang ada di dalam perut perempuan yang 
mengandung, mendapat warisan atau terhijab, atau 
membawa dampak kepada ahli waris lain dalam semua 
keadaan atau sebagiannya saja.99 
B. Syarat-syarat Anak Dalam Kandungan Dapat 
Mewarisi. 
Anak yang ada dalam kandungan dapat 
memperoleh warisan jika telah memenuhi tiga syarat di 
bawah ini: 
1. Syarat pertama, saat  meninggal pewaris, anak 
yang ada dalam kandungan seorang ibu dapat 
                                                                 
dipastikan keberadaannya, meskipun masih berbentuk 
embrio. 
Untuk mewujudkan syarat pertama ini , anak 
yang ada dalam kandungan seorang ibu tidak boleh luput 
dari tiga keadaan. 
1) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu 
dilahirkan dalam keadaan hidup sebelum berakhir 
waktu paling minimal orang hamil semenjak 
meninggal pewaris.100 
Sepakat para ulama waktu minimal seorang 
mengandung adalah enam bulan, sebagaimana firman 
Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233: “Para ibu 
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua 
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan 
penyusuan.”, dan dalam surah al-Ahqāf ayat 15: 
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat 
baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya 
mengandungnya dengan susah payah, dan 
melahirkannya dengan susah payah (pula). 
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga 
puluh bulan” 
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang 
mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh 
bulan, yaitu dua tahun enam bulan. Sementara masa 
menyusui adalah dua tahun penuh, maka tersisa enam 
bulan yang merupakan masa paling minimal untuk 
seorang yang mengandung. Sepakat para Fuqaha 
bahwa perempuan tidak melahirkan pada masa yang 
lebih cepat dari enam bulan kecuali sebab  musibah 
                                                                 
100 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid IX, h. 179-
180. 
 68 
 
seperti terjatuh yang menghendaki untuk segera 
dilahirkan anak yang ada dalam kandugan ini . 101 
2) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu 
dilahirkan dalam keadaan hidup sesudah  berakhir 
waktu paling lama orang hamil semenjak meninggal 
pewaris. Maka dalam keadaan ini anak ini  tidak 
mendapat  warisan. sebab  dilahirkan sesudah  
berakhir masa maksimal ini, tanda bahwa anak 
ini  ada setalah meninggal pewaris dan sebagian 
mensyaratkan perempuan ini  telah menikah lagi 
sesudah  meninggal pewaris.102 
Kemudian berbeda pendapat para ulama mengenai 
batasan waktu paling lama bagi orang yang hamil, yaitu 
sebgai berikut: 
1. Pendapat Qurṭubī, Abu Ubaid al-Qāsim bin 
Sallām, IbnuQayyim Al-Jauziyyah, Muhammad 
bin „Uṡaimīn, „Abdul Azīz bin Bāẓ, dan para 
ulama kontemporer, bahwa tidak ada batasan 
waktu paling lama untuk orang yang hamil, akan 
tetapi itu semua tergantung kepada kondisi yang 
ada, dimana setiap perempuan mengandung lebih 
mengetahui akan kondisinya.103 
2. Pendapat sebagian ulama salaf, di antaranya Ibnu 
Syihāb al-Zurī, Rabī‟ah al-Ra‟yi, sebagian mazhab 
Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang 
yang hamil itu adalah tujuh tahun.104 
                                                                 
101 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 11 
102 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid IX, h. 180. 
103 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12 
104 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12 
 69 
 
3. Pendapat salah satu riwayat dari Imam Malik dan 
merupakan pendapat yang dipegang oleh mazhab 
Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang 
perempuan yang hamil adalah lima tahun.105 
4. Pendapat al-Laiṡi bin Sa‟id, bahwa waktu paling 
lama bagi seorang perempuan hamil adalah tiga 
tahun.106 
Alasan yang digunakan oleh empat pendapat 
di atas adalah, mereka mendengar bahwa ada 
perempuan yang masa kehamilannya itu sampai 
pada waktu-waktu yang telah disebutkan di atas, 
dari itu, al-Laiṡi bin Sa‟id, mengetahui bahwa 
hamba sahaya dari Umar bin „Abdullah 
mengandung selama tiga tahun dan ini merupakan 
periode maksimum bagi perempuan yang hamil.107 
5. Pendapat Imam Malik, mazhab Syāfi‟iyyah, dan 
mazhab Hanabilah, bahwa waktu paling lama bagi 
seorang perempuan hamil adalah empat tahun.108 
Alasannya di dalam naṣ tidak disebutkan 
batasan waktu maksimal bagi perempuan yang 
hamil, untuk bisa mengetahui waktu paling lama 
itu adalah dengan melihat „uruf dan kasus-kasus 
yang ada, dijumpai bahwa yang paling banyak 
terjadi adalah empat tahun.  
6. Pendapat mazhab al-Ṡūrī, al-Auza‟ī, Hanafiyyah, 
al-Muzannī dan riwayat dari Imam Ahmad, bahwa 
                                                                 
105 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 233. 
106 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 232-
233. 
107 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 232-
233. 
108 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12 
 70 
 
waktu paling lama seorang yang hamil adalah dua 
tahun.109  
7. Pendapat mazhab al-Żahiriyyah, bahwa waktu 
paling lama untuk seorang yang hamil adalah 
sembilan bulan, tidak lebih dari itu. 
Alasannya adalah surah al-baqarah ayat 233 
dan surah al-ahqaf ayat 15, menurut ibnu Hazm al-
Żahiri, saat  memahami dua ayat ini , tidak 
dibolehkan seorang perempuan yang hamil 
melebihi waktu sembilan bulan dan tidak boleh 
kurang dari enam bulan, barangsiapa yang 
berpendapat bahwa orang yang mengandung 
sampai menyusianya melebihi waktu tiga puluh 
bulan, maka merupakan perkataan batil dan 
mustahil, sebab  menolak yang telah Allah 
jelaskan secara nyata.110 
8. Pendapat mayoritas ulama kontemporer, dan 
kedokteran, bahwa waktu paling lama bagi 
seorang yang hamil adalah sepuluh bulan.111 
Alasannya telah dipastikan oleh banyak dokter 
spesialis kandungan bahwa masa normal seorang 
perempuan yang hamil adalah 280 hari, yang 
dihitung dari masa berakhir menstruasinya dan 
kehamilan biasanya terjadi sekitar 14 hari setalah 
berakhir menstruasi ini , maka masa  
                                                                 
109 Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-
Mukhtār,... Jilid III, h. 540. 
110 „Alī bin Ahmad bin Hazm al-Żahirī, Al-Maḥallī bi al-
Aṡār,(Beirut:Dār al-Fikr, 1405), Jilid X, h. 131-132 
111 Muhammad Ali al-Bār, Khalaqa al-Insān baina al-Ṭib wa 
al-Qur‟an,(Arab Saudi: Dār al-Su‟udiyyah linnasyar, 1984), h. 451-
452 
 71 
 
BAB XIV 
KEWARISAN KHUNṠA 
 
A. Pengertian Khunṡa 
 Secara etimologi khunṡa adalah al-takassur 
(terpecah) dan al-taṡanni (mendua). Sedangkan secara 
terminologi khunṡa adalah orang yang memiliki kelamin 
laki-laki dan kelamin perempuan sekaligus, atau tidak 
memiliki kedua-duanya sama sekali, hanya memiliki 
lubang untuk kencing.112 
 Khunṡa musykil adalah orang yang keadaannya 
sulit ditentukan, tidak tampak pada dirinya ciri-ciri 
seorang laki-laki atau perempuan, atau ciri-ciri yang 
dimiliki berlawanan dengan ciri umum seorang laki-laki 
dan perempuan, misalnya jenggot dan payudara.113 
Dengan demikian, statusnya menjadi tidak jelas apakah 
laki-laki atau perempuan. 
B. Jalur-jalur Keturunan khunṡa. 
Para ulama faraiḍ sesudah  mengadakan 
penyelidikan (istiqra‟), menetapkan bahwa para ahli waris 
khunṡa hanya diketahui melalui empat jihat (jalur) 
sebagai berikut: 
a. Jihat Bunuwah (jalur anak), para ahli waris khuntsa 
yang tergabung dalam jihat bunuwah ini yaitu anak 
dan cucu, boleh jadi laki-laki dan boleh jadi 
perempuan. 
b. Jihat Ukhuwah (jalur saudara), mereka yang 
tergabung dalam jihat ukhuwah yakni saudara dan 
                                                                 
112 „Ali bin Muhammad al-Jarjānī, al-Ta‟rīfāt,...h. 137 
113 Naṣhir bin Muhammad Bin Musyarī al-Ghāmidī, al-
Khullaṣah Fi „Ilmi al-Faraiḍ,... h. 464 
 72 
 
anak saudara, yaitu kemenakan, boleh jadi laki-laki 
dan boleh jadi perempuan. 
c. Jihat „Umumah (jalur paman), para ahli waris khunṡa 
dari garis paman yakni paman dan anak paman 
(saudara sepupu).  
d. Jihat Wala‟ (perwalian budak), ahli waris yang 
khunṡā dari golongan ini hanya seorang saja yakni 
maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan 
budaknya). 
Sementara jihat Ubuwwah (ayah, ibu, kakek dan 
nenek), jihat Zaujiyyah (suami dan isteri), tidak 
mungkin mereka sebagai khuntṡa. Sebab nikah 
mereka tidak sah dan tidak dapat mengadakan 
hubungan biologis sebagai media adanya keturunan. 
Andai kata ada mereka bukan musykil lagi.114  
C. Keadaan Khunṡa dan Tata Cara mendapat  
Waris Pada Setiap Keadaan. 
 Khunṡa tidak pernah lepas dari tiga keadaan, yaitu 
sebagai berikut.  
1. Merupakan khunṡa ghairu musykil, yaitu khuntsa yang 
telah jelas keadaannya, melalui alat kelamin yang ada 
dapat dipastikan jenis kelaminnya laki-laki atau 
perempuan, dan dari segi munculnya tanda-tanda 
kelakiannya maka dia mengambil hukum laki-laki, 
begitu juga muncul tanda-tanda keperempuanannya 
maka dia mengambil hukum perempuan. 
 Tanda-tanda yang bisa membedakan khunṡa ada 
dua, yaitu boleh secara khalqiyyah (lahiriah) dan 
ṭibbiyyah (medis). Tanda-tanda khalqiyyah (lahiriah) 
di antaranya ada yang terjadi sebelum baligh yaitu dari 
cara kencing, jika mengeluarkan air kencing melalui 
kelamin laki-laki dia adalah laki-laki begitu pula 
sebaliknya, jika air kencing keluar dari kelamin 
perempuan dia adalah perempuan. sebab  manfaat 
asli dari alat kelamin pada masa kecil adalah untuk 
kecing saja, dan hal yang sama dari manfaat ini  
akan muncul saat  baligh.  
 Adapun tanda-tanda yang terjadi sesudah  baligh 
menurut fuqaha‟ yang menjadi pembeda antara baligh 
seorang laki-laki dengan perempuan adalah, 
tumbuhnya jenggot, kumis, jimak menggunakan 
kelamin laki-laki, keluarnya mani dari laki-laki dan 
suka kepada perempuan, semua tanda-tanda ini adalah 
indikasi bahwa dia adalah laki-laki. Sedangkan haid, 
payudara, jimak menggunakan kelamin perempuan, 
keluarnya susu dari payudara, suka kepada laki-laki, 
ini merupakan indikasi dia adalah perempuan.  
 Bisa juga mengetahui khunṡa meskipun tertutupi 
oleh tanda-tanda ini , yaitu dengan cara ṭibbiyyah 
(medis). Berkonsultasi dengan ahli medis yang 
berpengalaman untuk meneliti apakah dia seorang 
laki-laki atau perempuan, bahkan tidak ada larangan 
jika medis melakukan tindakan operasi untuk 
memperjelas statusnya, sebab  ketentuan dari Allah 
menuntut agar seseorang tidak berkelamin ganda. 
 Para ulama sepakat mengenai khunṡa yang 
memiliki dua alat kalamin , dan mungkin untuk 
dibedakan antara keduanya, maka dia mendapat  
warisan sesuai tanda-tanda yang dimiliki. Yang 
terpenting adalah cara kencing, jika dia kencing 
melalui kelamin laki-laki, maka dia mendapat  
warisan bagian laki-laki. Sedangakan jika dia kencing 
melalui kelamin perempuan, dia mendapat  warisan 
bagian perempuan. Jika dia kencing melalui dua 
kelamin itu, maka ditentukan berdasakan kelamin 
yang mengeluarkan air kencing lebih dahulu. Jika air 
kecing keluar dari kelamin laki-laki dahulu, kemudian 
kelamin perempuan, dia adalah laki-laki, namun jika 
air kencing keluar dari kelamin perempuan dahulu, 
kemudian kelamin  laki-laki, dia adalah perempuan. 
sebab  kelamin yang mengeluarkan air kencing lebih 
dahulu menunjukkan bahwa kelamin itu adalah 
kelamin yang sebenarnya. Jika tetap sama, maka 
menurut jumhur ulama, yang dilihat adalah yang 
terbanyak air kencingnya, sebab  jumlah yang lebih 
banyak diberlakukan untuk seluruhnya dan sebagai 
tanda keaslian serta kekuatan.115  
 Dalilnya adalah riwayat dari „Ali ra. Bahwa ada 
yang bertanya tentang kasus seseorang yang memiliki 
dua kelamin sekaligus, laki-laki dan perempuan, 
bagaimana khukum warisnya, beliau menjawab: “Dari 
kelamin mana dia kencing”. Begitu juga ada riwayat 
dari al-Sya‟biyyi dari „Ali tentang kasus khunṡa, 
berkata: “Dia mewarisi dari arah mana 
kencingnya”. Imam ibnu al-Munżir, mengatakan ulama telah 
berijma‟ bahwa khunṡa mewarisi dari segi kencing, 
jika kencing dari kelamin laki-laki, maka dia 
mendapat  hukum waris laki-laki, jika dia kencing 
dengan kelamin perempuan, maka dia mendapat  
bagian waris perempuan. 
 Dengan demikian, hukum kewarisan khunṡa pada 
keadaan ini, mengikuti ketentuan umum dalam 
kewarisan, mendapat  warisan sekali, boleh jadi 
bagiannya laki-laki atau perempuan. 
2. Merupakan khunṡa musykil (yang sulit ditentukan), 
yaitu khunṡa yang memiliki dua kelamin dan melalui 
alat kelamin yang ada tidak dapat dipastikan jenis 
kelaminnya laki-laki atau perempuan. Akan tetapi 
kejelasan statusnya masih bisa diharapkan, seperti 
khunṡa yang masih kecil, dimana pewaris meninggal 
sementara dia belum baligh.118 
3. Merupakan khunṡa musykil, tidak jelas keadaannya, 
yaitu khunṡa yang memiliki dua kelamin dan melalui 
alat kelamin yang ada tidak dapat dipastikan jenis 
kelaminnya laki-laki atau perempuan. Begitu juga 
kejelasan statusnya tidak bisa diharapkan lagi, sebab  
sudah baligh dan tidak ada tanda-tanda untuk 
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Maka 
khunṡa ini sama hukumnya dengan khunṡa yang 
meninggal di waktu kecil sebelum baligh, namun  
MUNĀSAKHĀT 
A. Pengertian Munāsakhāt. 
Secara etimologi munāsakhāt adalah jamak dari 
munāsakhah, yang diambil dari kata al-Naskhi, yang 
memiliki banyak makna, di antaranya; al-naql 
(memindahkan), al-taghyīr (mengubah), al-tabdīl 
(mengganti), al-izālah (menghilangkan), dan 
membatalkan sesuatu, menetap pada selain tempatnya, 
seperti ungkapan: “nasakhtul kitāb” (aku menyalin dari 
buku itu),  dan “nasakhat al-āyah” (menghilangkan 
hukumnya).119 Sebagaimana firman Allah: “Ayat mana 
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) 
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik 
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah 
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha 
Kuasa atas segala sesuatu.”, yakni kengganti dan 
mengubah hukumnya. 
Sementara munāsakhāt secara terminologi adalah 
meninggalnya seorang pewaris dan harta warisannya 
belum dibagikan sampai meninggal ahli waris lain baik 
sendiri atau banyak. 
Dinamakan dengan munāsakhāt sebab  masalah 
yang pertama dipindahkan menjadi masalah yang kedua, 
sehingga hukumnya menjadi hilang dan berubah. Atau 
                                                                 
sebab  harta waris berpindah dari satu ahli waris kepada 
ahli waris lain. 
Munāsakhat terjadi pada harta peninggalan 
pewaris pertama yang belum sempat dibagikan, sementara 
ada diantara ahli waris ini  yang meninggal dunia, 
kemudian harta peninggalan pewaris pertama ini dibagi 
untuk mengetahui bagian ahli waris yang meninggal 
ini , sekaligus dibagikan untuk ahli waris yang masih 
hidup. Adapun segala sesuatu yang ditinggalkan oleh ahli 
waris yang meninggal kedua dari hartanya sendiri, yang 
diperoleh sebelum harta waris pewaris pertama dibagikan 
atau diperoleh sesudah  meninggalnya pewaris pertama 
sebelum dibagikan harta ini  kepadanya, maka harta 
ini  dibagikan untuk ahli waris dari yang meninggal 
kedua sebagaimana aturan umum dalam pembagian harta 
warisan. 
B. Keadaan-keadaan kasus Munāsakhāt. 
Terdapat tiga keadaan yang mungkin akan terjadi 
pada kasus munāsakhāt, yaitu: 
1. Ahli waris dari yang meninggal kedua dan sesudah nya 
adalah ahli waris yang mewarisi harta dari pewaris 
pertama juga. Dalam keadaan ini, masalahnya tidak 
berubah dan tidak berganti ahli warisnya. Keadaan ini 
menurut penelitian (istiqra‟) terbagi kepada lima 
gambaran. 
1) Ahli waris terbatas pada penerima bagian yang 
sama, maka mendapat  bagian warisan dari 
dua/lebih orang yang meninggal ini  dengan 
satu cara. Boleh jadi hanya mendapat  „aṣabah 
                                                                 
saja, atau bagian tetap saja (farḍ). Contohnya ahli 
waris yang ditinggalkan adalah 6 anak laki-laki, 
kemudian harta warisan tidak dibagikan, sampai 
meninggal beberapa orang di antara mereka. 
Sehingga ahli waris yang tersisa hanya 3 orang 
saja. Bagaimana menyelesaikan masalah ini. 
Jawab, harta waris yang ditinggalkan dibagikan 
kepada ahli waris yang masih hidup, tanpa melihat 
kepada ahli waris lain yang meninggal sesudah  
meninggal pewaris pertama. Bagaikan ayah hanya 
meninggalkan ahli waris 3 orang anak saja. 
Sebagaimana tabel di bawah ini. 
Ahli Waris Bagian 3 
3 anak laki-laki „Aṣabah 

Contoh lain, ahli waris yang ditinggalkan adalah 
8 anak perempuan, kemudian harta warisan tidak 
dibagikan, sampai meninggal beberapa orang di 
antara mereka. Sementara ahli waris yang tersisa 4 
orang lagi. Bagaimana menyelesaikan masalah ini. 
Jawab, harta waris yang ditinggalkan dibagikan 
kepada ahli waris yang masih hidup, tanpa melihat 
kepada ahli waris yang meninggal sesudah  
meninggal pewaris pertama. Bagaikan ayah hanya 
meninggalkan ahli waris 4 orang anak saja. 
Sebagaimana tabel di bawah ini. 
Ahli Waris Bagian 3 4 
4 anak perempuan  2/3 2 

2) Ahli waris terbatas pada penerima bagian yang 
sama, akan tetapi  mereka mendapat  bagian 
waris dari dua orang yang meninggal ini  
dengan „aṣabah dan bagian tetap (farḍ). 
Contohnya ahli waris yang ditinggalkan adalah 7 
saudara laki-laki seibu dan 6 anak laki-laki paman 
seayah. Bagian harta waris tidak dibagikan sampai 
meninggal 2 orang dari saudara laki-laki seibu dan 
1 orang anak laki-laki paman seayah. Bagaimana 
menyelesaikan kasus ini. 
Jawab, membagi harta peninggalan kepada ahli 
waris yang tersisa, tanpa memperhatikan lagi ahli 
waris yang meninggal kemudian sesudah  
meninggal pewaris pertama. Sebagai berikut: 
Ahli Waris Bagian 3x5 15 
5 saudara Lk.Seibu  1/3 1 5 
5 anak Lk. Paman 
seayah 
„Aṣabah 2 10 
Keterangan: 5 saudara perempuan mendapat  
5 bagian, setiap satu orang di antara mereka 
menerima 1 bagian, dan 5 anak laki-laki paman 
seayah mendapat  10 bagian, dimana setiap satu 
orang mendapat  2 bagian. 
3) Ahli waris tidak terbatas pada  penerima bagian 
yang sama, akan tetapi bagian mereka berbeda-
beda, dan mendapat  warisan dari bagian tetap 
saja (farḍ). Contohnya ahli waris yang 
ditinggalkan adalah suami, saudara perempuan 
kandung, saudara perempuan seayah, harta 
peninggalan tidak dibagi untuk ahli waris ini , 
sampai saudara perempuan seayah menikah 
dengan seorang suami, kemudian dia meninggal 
  
 
dan juga meninggalkan saudara perempuan 
kandung. Bagaimana membagi masalah di antara 
mereka. Jawab. 
o Masalah pewaris pertama. 
Ahli Waris Bagian 6
 
Suami   1/2 3 3 
Saudara Pr.Kandung 1/2 3 3 
Saudara Pr. Seayah 1/6 1 1 
o Masalah pewaris kedua. 
Ahli Waris Bagian 2
 
Suami   1/2 1 
Saudara Pr.Kandung 1/2 1 
Keterangan: masalah pewaris pertama adalah 
kasus „aul dari asal masalah 6 menjadi 7. 
Bagian yang dimiliki oleh pewaris kedua 
dalam masalah pertama adalah 1, suami 
mengambil 3 bagian dan saudara perempuan 
kandung mengambil 3 bagian. Kemudian pada 
masalah kedua, membagi langsung bagian 
yang ditinggalkan oleh pewaris kedua kepada 
ahli warisnya yang ada, yaitu suami mendapat 
1 bagian dan saudara perempuan kandung 
mendapat 1 bagian. 
4) Ahli waris memiliki bagian waris yang berbeda-
beda. Dimana bagian waris mereka sebagai 
penerima „aṣabah yang di dalamnya juga terdapat 
penerima bagian tetap, kemudian berubah menjadi 
penerima bagian „aṣabah semua. Contohnya, ahli 
waris yang ditinggalkan adalah istri dan 5 orang 
anak laki-laki, harta waris tidak dibagi diantara 
mereka, sehingga meninggal 2 orang anak laki-
laki ini  dan sesudah  itu meninggal lagi ibunya 
(istri pewaris). Bagaimana membagi masalah ini. 
 

ŻAWĪL ARḤĀM 
A. Pengertian Żawīl Arḥām 
Secara etimologi lafaż al-arḥām adalah bentuk 
jamak dari raḥim, yang artinya hubungan kekerabatan 
atau sebab terjalin kekerabatan. Sebagaimana firman 
Allah dalam surah an-Nisa‟ ayat 1: “dan (peliharalah) 
hubungan silaturrahim”. Kemudian dinamakan raḥimul 
unṡā yaitu tempat janin di dalam perut ibunya, senada 
dengan firman Allah: “Dialah yang membentuk kamu 
dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya”. Dan begitu 
juga firman Allah dalam surah al-Haj ayat 5: “Agar Kami 
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, 
apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah 
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, 
kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah 
kepada kedewasaan”. 
Sedangkan żawil arḥām secara terminologi adalah 
seluruh kerabat baik mendapat warisan atau tidak. 
Adapun pengertian żawil arḥām menurut ulama farāiḍ 
adalah seluruh kerabat yang bukan penerima bagian tetap 
(aṣhābul furūḍ) dan bukan penerima sisa („aṣabah).
B. Pengelompokan Żawīl Arḥām 
Secara umum żawīl arḥām di kelompokkan 
kepada empat, yaitu: 
1. Furū‟al-Mayyit (cabang yang meninggal), yaitu semua 
yang dipertalikan kepada pewaris melalui perempuan, 
yang tidak termasuk penerima bagian tetap dan 
„aṣabah. Ada dua yang termasuk dalam kelompok ini 
yaitu: 
1) Cucu dari anak perempuan dan keturunan di 
bawahnya. Seperti cucu laki-laki dari anak 
perempuan, cucu perempuan dari anak perempuan, 
cicit laki-laki dari cucu perempuan dari anak 
perempuan dan seterusnya kebawah. 
2) Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan 
keturunan di bawahnya. Seperti cicit laki-laki dari 
cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cicit 
perempuan dari cucu perempuan dari anak laki-
laki. 
Kelompok ini dinamakan dengan kelompok 
jihah al-bunuwwah (jalur anak). 
2. Uṣūl al-Mayyit (leluhur yang meninggal), yaitu semua 
yang dipertalian kepadanya pewaris melalui 
perempuan, yang tidak termasuk penerima bagian 
tetap dan „aṣabah. Orang yang termasuk dalam 
kelompok ini juga ada dua yaitu: 
1) Kakek leluhur, yaitu ayah dari ibu, dan uṣūl 
lainnya yang berada di atas kakek. Seperti ayah 
dari ibunya ayah, ayah dari ibunya ibu, dan ayah 
dari ayahnya ibu. 
2) Nenek leluhur dan uṣūl lainnya yang berada di atas 
nenek, yaitu yang berhubungan dengan pewaris. 
Seperti ibu dari ayahnya ibu. 
Kelompok ini dinamakan dengan jihah al-
ubuwwah (jalur ayah). 
3. Abawai al-Mayyit (cabang dari ayah atau ibu yang 
meninggal), yaitu semua yang dipertalikan kepada 
ayah dan ibu pewaris, yang tidak termasuk penerima 
bagian tetap dan „aṣabah. Orang yang termasuk dalam 
kelompok ini ada tiga yaitu: 
1) Anak perempuan dari saudara kandung atau 
seayah. Seperti anak perempuan dari saudara 
kandung, anak perempuan dari saudara seayah dan 
seterusnya kebawah. 
2) Anak dari saudara perempuan kandung atau 
seayah. Seperti anak laki-laki saudara perempuan 
kandung, anak perempuan dari saudara perempuan 
kandung, anak laki-laki dari saudara perempuan 
seayah dan anak perempuan dari saudara 
perempuan seayah, dan seterusnya kebawah. 
3) Anak saudara seibu, baik laki-laki maupun 
perempuan. Seperti anak laki-laki dari saudara 
seibu, anak perempuan dari saudara seibu dan 
seterusnya kebawah. 
Kelompok ini dinamakan dengan jihah al-
ukhuwwah (jalur saudara). 
4. Furu‟ dari kakek dan nenek, yaitu semua yang 
dipertalikan kepada kakek dan nenek pewaris yang 
tidak termasuk penerima bagian tetap dan „aṣabah. 
Ada enam kelompok yang termasuk dalam pembagian 
ini, yaitu: 
1) Paman dan bibi pewaris yang seibu dari pihak 
ayah, serta paman dan bibi kandung atau seayah 
pewaris dari pihak ibu. 
2) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam 
kelompok pertama dan keturunan yang ada di 
bawahnya. Seperti anak-anak perempuan paman 
kandung, anak-anak perempuan paman seayah, 
anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka 
dan seterusnya kebawah. 
3) Paman dan bibi dari ayah pewaris (dari pihak 
ayah), paman dan bibi dari ayah pewaris (dari 
pihak ibu), baik kandung atau salah satunya. 
Paman dan bibi dari ibu pewaris (dari pihak ayah), 
dan paman dan bibi dari ibu pewaris (dari pihak 
ibu), yang sekandung atau salah satunya saja. 
4) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam 
kelompok ketiga dan keturunannya. Seperti anak-
anak perempuan paman dari ayah pewaris (dari 
pihak ayah) yang sekandung atau seayah saja, 
cucu perempuan dari anak laki-laki mereka dan 
keturunannya. 
5) Paman dan bibi dari ayahnya ayah pewaris yang 
seibu (dari pihak ayah), paman dan bibi dari 
ayahnya ibu pewaris  (dari pihak ayah), paman dan 
bibi dari ayahnya ayah dan ayahnya ibu pewaris 
(dari pihak ibu) yang sekandung, seayah atau 
seibu saja, paman dan bibi dari ibunya ayah 
pewaris (dari pihak ayah), paman dan bibi dari 
ibunya ibu dan ibunya ayah pewaris (dari pihak 
ibu) yang sekandung, seayah atau seibu. 
6) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam 
kelompok lima, seperti anak-anak perempuan 
paman dari kakek pewaris dari pihak ayah yang 
sekandung, atau seayah saja. Anak-anak 
perempuan dari anak laki-laki mereka dan 
keturunan di bawahnya. 
Kelompok ini disebut dengan jihah al-
„Umumah wal khuūwlah (jalur paman dan bibi) 
C. Pandangan Ulama Mazhab Tentang Warisan 
Żawīl Arḥām. 
Sepakat para ulama bahwa ẓawīl arḥām tidak 
mendapat  warisan jika pewaris meninggalkan aṣḥābul 
furūḍ dan „aṣabah. Sementara jika pewaris tidak 
meninggalkan aṣḥābul furūḍ atau „aṣabah, atau ada sisa 
harta sesudah  diambil oleh salah seorang suami atau istri, 
maka para ulama berbeda pendapat  tentang kewarisan 
żawīl arḥām dalam kasus ini , kepada dua pendapat 
yaitu sebagai berikut: 
1. Pendapat Jumhur Ulama, Sahabat dan tabi‟īn dan 
Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah, bahwa żawīl 
arḥām mewarisi jika tidak ada penerima bagian tetap 
(aṣhābul furūḍ) dan penerima bagian sisa 
(„aṣabah).125 
Dalil yang digunakan oleh kelompok ini adalah 
firman Allah surah al-Ahzab ayat 6: “Dan orang-
orang yang memiliki  hubungan darah satu sama 
lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab 
Allah”. Ayat ini menunjukkan bahwa żawīl arḥām 
lebih berhak untuk mendapat  warisan menurut 
ketentuan Allah swt. Betapa tidak, pada masa awal 
Islam sebab mewarisi sebab  sumpah tidak termasuk 
qarābah (kekerabatan), dan hukum ini telah dinasakh, 
kemudian menjadikan sebab saling mewaris pada  
                                                                 

WASIAT DAN HIBAH 
A. Wasiat dan Pembahasannya. 
1. Pengertian Wasiat. 
Wasiat secara etimologi berasal dari bahasa arab 
al-waṣiyah (jamaknya waṣaya), secara harfiyah antara 
lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Sementara secara 
terminologi ulama‟ fikih mendefinisikan wasiat adalah 
penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada 
pihak lain yang berlaku sesudah  orang ini  wafat, baik 
harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.126 
2. Dasar Hukum Wasiat 
Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat 
adalah berdasarkan al-Qur‟an, al-Hadiṡ, dan Ijma‟. 
1. Al-Qur‟an. 
a. Surat Al-Baqarah ayat 180 
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara 
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia 
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat 
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara 
ma'ruf127, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa.                        
Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat 
kepada kedua orang tua dan kerabat yang dekat, yaitu 
hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib 
kerabat) yang tidak mendapat  harta waris baik sebab  
żawil arhām  dan mahjub yang orang tuanya telah 
meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun sebab  
mahram (kecuali pembunuh).128  
Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah 
turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat 
tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di 
samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada 
hadis Nabi yang berbunyi “Tidak ada wasiat bagi ahli 
waris”. 
b. Surat Al-Maidah ayat 106.     
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah 
seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia 
akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) 
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara 
kamu. 
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa 
wasiat merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan oleh 
agama, dan untuk menghindari hal-hal yang tidak 
diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari 
wasiat ini , maka hendaklah wasiat disaksikan oleh 
dua orang saksi yang adil. 
2. Al-Hadiṡ 
a. Hadiṡ yang diriwayatkan oleh „Abdullah bin 
„Umar. 
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. 
bersabda, “Tidak sepatutnya bagi seorang muslim 
yang miliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan, lalu 
ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah 
tertulis di sisinya”. 
Dalam hal ini Imam Syafi‟ī memberikan 
komentarnya bahwa orang Islam yang berwasiat 
sebaiknya wasiat ini  ditulis dan berada di sisinya, 
sebab hal ini  dapat menjaga dari hal-hal yang tidak 
diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam berwasiat, bisa 
jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai sebab  kematian 
seseorang hanya Allah yang mengetahui. 
3. Ijma‟ 
Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai 
sekarang masih banyak yang menjalankan wasiat. 
Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang 
mengingkarinya dan telah menunjukan adanya ijma‟.130 
Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi 
hadiṡ Nabi tentang kadar wasiat yang tidak boleh lebih 
dari sepertiga harta peninggalan pewasiat. 
3. Hukum Wasiat 
Para ulama telah melakukan ijtihad dalam 
menetapkan status hukum wasiat, yaitu:  
1. Wajib  
Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia 
memiliki  kewajiban syara‟ yang dikhawatirkan akan 
disia-siakan bila tidak berwasiat, seperti adanya titipan, 
hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. 
Misalnya memiliki  kewajiban zakat yang belum 
ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, amanat 
yang belum disampaikan, hutang yang tidak diketahui 
selain oleh dirinya, titipan yang belum dipersaksikan.131 
2. Sunah  
Berwasiat hukumnya sunah bila diberikan kepada 
karib kerabat atau ditujukan kepada orang-orang miskin 
dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak 
menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan 
sosial.132  
3. Haram  
Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk 
maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-
tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang 
oleh ajaran agama Islam.133  
4. Makruh  
Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang 
berwasiat itu sedikit hartanya, sedangkan memiliki  ahli 
waris yang banyak yang membutuhkan hartanya. 
Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika 
diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan 
menggunakan harta ini  dalam kefasikan dan 
kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu 
mengetahui dan menduga bahwa orang akan diberi wasiat 
itu menjadi baik, maka hal ini menjadi sunah.  
5. Mubah  
Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada 
kerabat, tetangga atau yang lain yang penghidupannya 
tidak kekurangan.  
4. Rukun dan Syarat Wasiat  
Terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam 
menentukan rukun wasiat di antaranya ulama mazhab 
Hanafi menyatakan bahwasanya rukun wasiat hanya satu 
yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta 
yang akan wafat). sebab  menurut mereka wasiat adalah 
suatu akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, 
tidak mengikat pihak yang menerima wasiat. Oleh sebab 
itu qabul tidak diperlukan.136 
Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, 
bahwa rukun wasiat itu ada empat, yaitu:137 
1. Al-Mūṣī (orang yang berwasiat)  
Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang 
memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya 
kepada orang lain (ahli tabarru‟) yaitu orang yang 
memiliki  kompetensi (kecakapan) yang sah. 
Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal,  
                                                                 
Yang dimaksud dengan:  
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur 
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan 
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak 
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing. 
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya 
atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan 
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris 
dan harta peninggalan. 
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal 
dunia memiliki  hubungan darah atau hubungan 
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan 
tidak terhalang sebab  hukum untuk menjadi ahli 
waris. 
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh 
pewaris baik yang berupa benda yang menjadi 
miliknya maupun hak-haknya. 
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari 
harta bersama sesudah  digunakan untuk keperluan 
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya 
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan 
pemberian untuk kerabat. 
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris 
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku 
sesudah  pewaris meninggal dunia. 
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela 
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain 
yang masih hidup untuk dimiliki. 
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan 
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan 
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua 
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan 
Pengadilan. 
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.  
BAB II 
AHLI WARIS 
Pasal 172 
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui 
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau 
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak 
yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau 
lingkungannya.  
Pasal 173 
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan 
putusan hakim yang telah memiliki  kekuatan hukum 
yang tetap, dihukum sebab : 
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba 
membunuh atau menganiaya berat para pewaris;  
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan 
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu 
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun 
penjara atau hukuman yang lebih berat.  
Pasal 174 
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:  
a. Menurut hubungan darah:  
1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki- 
laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. 
2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak 
perempuan, saudara perempuan dari nenek.  
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda 
atau janda. 
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak 
mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau 
duda.  
Pasal 175 
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:  
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman 
jenazah selesai;  
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa 
pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban 
pewaris maupun penagih piutang;  
c. Menyelesaikan wasiat pewaris; 
d. Membagi harta warisan di antara wahli waris yang 
berhak.  
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau 
kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau 
nilai harta peninggalannya.  
BAB III 
BESARNYA BAHAGIAN 
Pasal 176 
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh 
bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama 
mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan 
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak 
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak 
perempuan.  
Pasal 177 
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak 
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat 
seperenam bagian.138  
Pasal 178 
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau 
dua saudara atau lebih.  Bila tidak ada anak atau dua 
orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga 
bagian. 
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah 
diambil oleh janda atau duda bila bersamasama 
dengan ayah.  
Pasal 179 
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak 
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, 
maka duda mendapat seperempat bagaian.  
Pasal 180 
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak 
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak 
maka janda mendapat seperdelapan bagian.  
Pasal 181 
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan 
ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan 
seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila 
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-
sama mendapat sepertiga bagian.  
                                                                 
138 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 2 
Tahun 1994, maksud pasal ini  ialah : ayah mendapat sepertiga 
bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan 
suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Pasal 182 
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan 
ayah, sedang ia memiliki  satu saudara perempuan 
kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian.  
Bila saudara perempuan ini  bersama-sama dengan 
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau 
lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga 
bagian. Bila saudara perempuan ini  bersama-sama 
dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka 
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan 
saudara perempuan.  
Pasal 183 
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian 
dalam pembagian harta warisan, sesudah  masing-masing 
menyadari bagiannya.  
Pasal 184 
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu 
melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya 
diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul 
anggota keluarga.  
Pasal 185 
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si 
pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh 
anaknya, kecuali mereka yang ini  dalam Pasal 
173.  
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari 
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.  
Pasal 186 
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki  
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga 
dari pihak ibunya.  
Pasal 187 
(1) Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta 
peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau 
oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang 
sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan 
tugas: 
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, 
baik berupa benda bergerak maupun tidak 
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli 
waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai 
harganya dengan uang; 
b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk 
kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat 
(1) sub a, b, dan c.  
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah 
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada 
ahli waris yang berhak.  
Pasal 188 
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau 
perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli 
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta 
warisan.  Bila ada diantara ahli waris yang tidak 
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat 
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk 
dilakukan pembagian warisan.  
Pasal 189 
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian 
yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya 
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan 
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli 
waris yang bersangkutan. 
(2) Bila ketentuan ini  pada ayat (1) pasal ini tidak 
dimungkinkan sebab  di antara para ahli waris yang 
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan 
ini  dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli 
waris yang dengan cara membayar harganya kepada 
ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya 
masing-masing.   
Pasal 190 
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka 
masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-
gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan 
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli 
warisnya.  
Pasal 191 
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali 
atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka 
harta ini  atas putusan Pengadilan Agama diserahkan 
penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan 
Agama Islam dan kesejahteraan umum.  
Pasal 192 
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para 
ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka 
pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka 
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan 
baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu 
angka pembilang.  
Pasal 193 
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli 
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang 
lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli 
waris asabah, maka pembagian harta warisan ini  
dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di 
antara mereka.  
Pasal 194 
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 
tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat 
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang 
lain atau lembaga. 
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak 
dari pewasiat. 
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud 
dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan 
sesudah pewasiat meninggal dunia.  
Pasal 195 
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang 
saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau 
dihadapan Notaris. 
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli 
waris menyetujui. 
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh 
semua ahli waris. 
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini 
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau 
tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.  
Pasal 196 
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus 
disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau 
lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda 
yang diwasiatkan.  
Pasal 197 
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat 
berdasarkan putusan Hakim yang telah memiliki  
kekuatan hukum tetap dihukum sebab :  
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba 
membunuh atau menganiaya berat kepada 
pewasiat; 
b. Dipersalahkan secara memfitrnah telah 
mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah 
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam 
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang 
lebih berat; 
c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman 
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut 
atau merubah wasiat untuk kepentingan calon 
penerima wasiat; 
d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak 
atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.  
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk 
untuk menerima wasiat itu: 
a. Tidak mengetahui adanya wasiat ini  sampai 
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; 
b. Mengetahui adanya wasiat ini , tapi ia 
menolak untuk menerimanya; 
c. Mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah 
menyatakan menerima atau menolak sampai ia 
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.  
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan 
musnah.  
Pasal 198 
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun 
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu 
tertentu.  
Pasal 199 
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon 
penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau 
sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian 
menarik kembali. 
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan 
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis 
dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau 
berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat 
secara lisan. 
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat 
dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh 
dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. 
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka 
hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.  
Pasal 200 
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila sebab  
suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau 
kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal 
dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta 
yang tersisa.  
Pasal 201 
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan 
sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka 
wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta 
warisnya.  
Pasal 202 
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan 
kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka 
ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang 
didahulukan pelaksanaannya.  
Pasal 203 
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka 
penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya 
atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada 
hubungannya. 
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan 
Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu 
diserahkan kembali kepada pewasiat.  
Pasal 204 
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat 
yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka 
olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang 
saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan 
surat wasiat itu. 
(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada 
Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada 
Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat 
dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama 
ini  membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat 
(1) pasal ini. 
(3) sesudah  semua isi serta maksud surat wasiat itu 
diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan 
Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna 
penyelesaian selanjutnya.  
Pasal 205 
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka 
yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam 
daerah pertempuran atau yang berda di suatu tempat yang 
ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat 
wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan 
dihadiri oleh dua orang saksi.  
Pasal 206 
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut 
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda 
atau mualim kapal, dan jika pejabat ini  tidak ada, 
maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya 
dengan dihadiri oleh dua orang saksi.  
Pasal 207 
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan 
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang 
yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita 
sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan 
tegas dan jelas untuk membalas jasa.  
Pasal 208 
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat 
akte ini .  
Pasal 209 
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan 
Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 ini  di atas, 
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak 
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.  
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat 
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari 
harta warisan orang tua angkatnya.  

HIBAH 
Pasal 210 
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 
tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat 
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta 
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan 
dua orang saksi untuk dimiliki. 
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak 
dari penghibah.   
Pasal 211 
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat 
diperhitungkan sebagai warisan.  
Pasal 212 
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua 
kepada anaknya.  
Pasal 213 
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam 
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus 
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.  
Pasal 214 
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing 
dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau 
Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya 
tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.