Tampilkan postingan dengan label fikih 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fikih 2. Tampilkan semua postingan
fikih 2
dengan pewaris tidak diselingi oleh perempuan,
seperti ayahnya ayah, ayah dari ayahnya ayah dan
seterusnya ke atas.81
2. Kakek fāsid, adalah kakek yang nasabnya dengan
pewaris diselingi oleh perempuan. seperti ayahnya
ibu, ayah dari ibunya ayah.82 Hal ini didasarkan sesuai
dengan kaidah yang menyatakan bahwa apabila di
antara orang laki-laki dimasuki orang perempuan,
maka kakek itu bukan sejati. Apabila tidak dimasuki
orang perempuan, maka merupakan kakek sejati.
Sekalipun tinggi derajatnya, seperti ayahnya ayah,
ayahnya dari ayahnya ayah, ayahnya ayah dari
ayahnya ayah. Demikianlah seterusnya sampai Nabi
Adam as.
Jadi yang dimaksud dengan kakek dalam
pembahasan ini adalah kakek ṣaḥīḥ, yaitu kakek yang sah,
atau sering pula disebut dengan istilah kakek sejati,
merupakan orang yang bisa menempati kedudukan ayah
dalam menerima warisan di saat ayah pewaris tidak ada.
Sementara itu, yang dimaksud dengan saudara
disini adalah saudara kandung baik laki-laki maupun
perempuan, dan juga saudara seayah baik laki-laki
maupun perempuan, sendiri atau banyak. Adapun saudara
seibu laki-laki atau perempuan, mereka terhijab oleh
kakek, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur
ulama.
B. Hukum Waris Antara Kakek dan Saudara
Persoalan pembagian warisan antara kakek
bersama saudara ini dianggap sebagai suatu permasalahan
yang rumit dalam perkembangan hukum waris Islam.
sebab merupakan persoalan dua golongan keluarga
nasabiyah dengan pewaris melalui jalur laki-laki yang
sama, yakni ayah pewaris, dimana kakek adalah orang tua
dari ayah dan saudara merupakan turunan dari ayah.
Masalah ini tidak terdapat penjelasannya baik
dalam al Qur‟an ataupun hadits Nabi saw., sehingga
mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menangani
kasus ini. Bahkan mereka cenderung sangat berhati-hati
untuk mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan
kasus ini. Ini terungkap dalam beberapa pernyataan
sahabat seperti Ibnu „Umar berkata:
“Orang yang paling berani diantara kalian untuk
membagikan warisan kakek dengan saudara, maka
dialah orang yang paling berani masuk dalam
neraka”83
Demikian juga halnya dengan sahabat Ali bin Abi
Thalib yang mengatakan dengan:
“Barang siapa yang senang terjun ke dalam neraka
Jahannam, maka putuskanlah kewarisan kakek yang
bersama dengan saudara.”84
Ketentuan dan kehati-hatian mereka memang
sangat beralasan, sebab di samping tidak adanya naṣ
yang menjelaskan mengenai masalah dimaksud, juga
didasarkan pada adanya kekhawatiran tentang hasil ijtihad
yang salah. Terlebih lagi dalam masalah yang
berhubungan dengan materi/hak kepemilikan. Mereka
takut akan berbuat żalim atau aniaya dengan memberikan
hak waris kepada orang yang tidak berhak atau
sebaliknya.
C. Pendapat Fuqaha Tentang Hak Waris Kakek
Bersama Saudara
Meski sebelumnya ada semacam kekhawatiran
dari para sahabat untuk melakukan ijtihad mengenai
masalah kewarisan kakek bersama saudara ini, tetapi
akhirnya kekhawatiran itupun hilang bersamaan dengan
munculnya ijtihad para salaf al-ṣaliḥīn dan imam
mujtahidin yang telah dibukukan secara lengkap dan
detail beserta dalil-dalilnya. Kaitannya dengan ijtihad ini,
para imam mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan
hukum kewarisan kakek bersama dengan saudara, yang
terbagi kepada dua pendapat yaitu:
1. Pendapat Abu Bakar As-Siddiq, Ibnu Abbas, „Usman,
Ibnu al-Zabīr, „Ubadah bin Ṣamit, Ibnu Sirin, ibnu
„Umar dan Abu Ḥanīfah, bahwa kedudukan kakek
sama dengan ayah, jika ayah tidak ada, sehingga dapat
menghijab saudara sekandung dan seayah secara
mutlak.
Alasan kelompok pendapat pertama ini adalah,
Pertama, firman Allah surah an-Nisa‟ ayat 176, yang
menjelaskan bahwa syarat mendapat warisan saudara
laki-laki atau perempuan itu jika dalam masalah kalālah,
yaitu barangsiapa yang meninggal dan tidak
meninggalakan anak dan ayah, maka kakek juga termasuk
ayah. Kedua, bahwa penggunaan kata “Ab” (ayah) dalam
al-Qur‟an maupun al-Sunnah menunjuk kata “jadd”
(kakek) sebagaimana terdapat dalam firman-Nya surah al-
Hajj ayat 78, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim..”
dan dalam surah Yusuf ayat 38, “Dan aku mengikuti
agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim.”86
Ketiga, di saat ayah tidak ada, kakek menempati
kedudukan ayah. Ini sama dengan cucu laki-laki dari anak
laki-laki yang bisa menempati posisi anak laki-laki, jika ia
tidak ada. Sehingga wajar kiranya kalau kakek
menghalangi saudara untuk mewarisi. Selain itu alasan
yang dikemukakan oleh pendapat pertama ini adalah
mendasarkan pada segi derajat kekerabatan, kakek
menempati derajat uṣul (asal), sedangkan saudara berada
dalam “jihat” menyamping (ukhuwwah) dalam prinsip
penerimaan „aṣabah binnafsi. Yang demikian inipun
sejalan dengan perintah Rasulullah saw.: “Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan
apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling
KEWARISAN MAFQŪD
A. Pengertian Mafqūd.
Mafqūd secara etimologi merupakan isim maf‟ūl
yang diambil dari kata „faqada‟ (hilang) yaitu sesuatu
yang pergi tanpa kembali. Firman Allah surah an-Naml
ayat 20 “dan Dia memeriksa burung-burung lalu berkata:
"Mengapa aku tidak melihat hud-hud87, Apakah Dia
Termasuk yang tidak hadir.”88
Sedangkan mafqūd secara terminologi adalah
orang yang terputus beritanya, yang tidak diketahui
keadannya apakah masih hidup atau sudah meninggal
dunia, boleh jadi sebab melakukan safar (perjalan) atau
menghadiri peperangan, atau ditawan oleh musuh, atau
lain sebagainya dari bentuk kehilangan.89
B. Perbedaan pendapat Ulama Tentang Masa Tunggu
Mafqūd.
Sepakat fuqaha bahwa asal hukumnya orang yang
hilang masih dianggap hidup, sampai jelas keadaannya,
sebab menetukan kematiannya itu adalah suatu perkara
yang masih samar. Oleh sebab itu, harta yang
ditinggalkan masih tetap hak miliknya, dan harus dijaga
sampai keberadaan orang yang bersangkutan jelas. Begitu
juga tidak diwarisi hak-hanya sampai adanya bukti bahwa
sudah meninggal, atau melihat kemungkinan besar bahwa
tidak mungkin lagi selama masa ini masih hidup,
atau seorang hakim telah memutuskan bahwa sudah
meninggal, dan hakim memberikan wewenang harta
peninggalan mafqūd kepada istrinya, anak-anaknya, orang
tuanya dan kerabat dekatnya, dan mengumpulkan utang-
utangnya, menjaga hartanya sampai jelas keadaannya.
Jika terbukti masih hidup maka orang yang hilang
ini berhak mengambil hartanya, dan mendapat
hak-haknya kembali. Begitu juga jika kematiannya sudah
jelas dan ada bukti konkrit atau dengan surat resmi yang
menegaskan kematiannya, dimana kematian itu adalah
kematian hakiki. Maka, ahli warisnya boleh mewarisi
terhitung dari tanggal kematiannya.
Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat
mengenai batasan waktu tunggu bagi orang yang hilang,
kepada dua pendapat.
1. Pendapat Mazhab Hanafiyyah, masyhur dari Imam
Malik, shahih dari Mazhab Syafi‟iyyah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad, bahwa masa tunggu orang
yang hilang tidak dibatasi dengan waktu, akan tetapi
batasan waktunya itu dipulangkan kepada ijtihad
Hakim, terkait segala hal yang berkaitan dengan orang
yang hilang ini .90
Alasannya adalah asal hukum orang yang hilang
masih dianggap hidup, maka tidak boleh dihukumi
sudah meninggal seiring dengan perjalanan waktu,
tanpa pembuktian dan ijtihad. Apalagi manusia
berbeda-beda umurnya, ada yang panjang usianya dan
ada yang pendek. Begitu juga dengan masa hidup
orang yang hilang pasti berbeda antara satu sama lain,
dari segi zaman, tempat dan keadaan orang yang
hilang, sebab nya tidak dijumpai batasan waktu
terhadap maslah ini dalam hukum Islam, maka
dilegalkanlah perkara ini kepada ijtihad seorang
Hakim.
2. Pendapat Mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi‟iyyah dan Hanabilah, bahwa harus diberikan
batasan waktu untuk orang yang hilang, jika kembali
pada batasan waktu ini berarti masih hidup tapi
jika tidak artinya sudah meninggal dunia, dan
dibagikan hartanya kepada ahli waris saat sudah
diputuskan kematiannya.92 Akan tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai batasan waktu tunggu
bagi orang yang hilang dianggap sudah meninggal
atau hidup, sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafiyyah, berpendapat bahwa orang
yang hilang dapat dianggap meninggal jika orang
yang sepadan atau yang sama masa kelahiran
dengannya sudah meninggal. Dengan kata lain
tidak ada lagi orang yang satu generasi dengannya,
tanpa harus menetapkan waktu meninggal orang
yang hilang. Ada juga yang berpendapat bahwa
dihitung dengan sempurnanya 90 tahun dari masa
kelahiran, ada juga pendapat 70 tahun, dan ada
juga 120 tahun.
b. Mazhab Malikiyyah, mengatakan bahwa orang
yang hilang dianggap sudah meninggal dunia jika
dalam masa 70 tahun tidak kembali, ada juga yang
berpendapat 75 tahun, ada juga 80 tahun dan 90
tahun dari masa kelahiran bersama dengan satu
tahun masa hilangnya.94
c. Mazhab Syafi‟iyyah, batas waktu tunggu adalah
70 tahun, ada juga yang berpendapat 90 tahun dari
waktu kelahiran, yang merupakan waktu orang
yang seusia dengannya atau satu generasi
dengannya bisa dipastikan sudah meninggal
dunia.95
Dari ketiga mazhab di atas, pendapat yang
mengatakan masa tunggu sampai dihukumi telah
meninggal adalah 70 tahun. Dalilnya adalah hadiṡ
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa
Rasulullah saw. Bersabda:
“Umur umatku adalah antara enam puluh tahun
sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit orang yang
bisa melampaui umur ini ”
d. Mazhab Hanabilah, membedakan kepada dua
keadaan:
1) Orang yang hilang diperkirakan tidak selamat
atau meninggal, di antaranya adalah orang
yang hilang di daerah yang tidak aman dan
sering terjadi pembunuhan, perampokan, orang
yang pergi perang, dan lainnya. Dalam kondisi
ini, seluruh kerabat diharuskan menunggu
selama empat tahun sejak orang ini
hilang. Apabila dalam tenggang waktu ini
tetap tidak ada kabar, hakim boleh
memberikan putusan mengenai kematiannya,
dan dianggap meninggal sejak keputusan
hakim ditetapkan.
Dalilnya adalah berdasarkan riwayat dari
Malik dalam kitab Muwaṭṭa‟, Said bin
Musayyaf menjelaskan bahwa Umar berkata:
“Perempuan manapun yang kehilangan suami
dan tidak mengetahui keberadaannya, harus
menunggu selama empat tahun. Jika dalam
masa itu belum juga ada kabar, dia harus
melakukan „iddah selama empat bulan sepuluh
hari, setalah masa „iddahnya selesai,
perempuan itu boleh nikah kembali.”97
2) Orang yang hilang diperkirakan selamat, di
antaranya adalah orang yang hijrah kenegara
lain untuk mencari rezeki, bertamasya,
berdagang, atau menuntut ilmu. Dalam kondisi
yang demikian, tenggang waktu yang akan
diputuskan hakim mengenai kematiannya
diserahkan kepada wali al-amr (pemimpin)
atau orang yang mewakilkannya. Itupun
dilakukan jika proses pencariannya sudah
dilakukan secara maksimal.
Sementara itu, sebagian dari ulama
Hanbilah memberikan batasan mengenai hal
KEWARISAN AL-ḤAML (ANAK DALAM
KANDUNGAN)
A. Pengertian al-Haml.
Secara etimologi al-haml adalah apa yang ada di
dalam perut perempuan yang mengandung pada semua
makhluk. Jamaknya adalah ḥimālun, dan aḥmālun,
maksudnya adalah sesuatu yang ada di dalam perut
perempuan yang mengandung. Orang Arab berkata:
perempuan bisa disebut ḥublā jika dia sudah mengandung
dan membawa beban. Apabila seorang perempuan
membawa beban dipunggung atau di atas kepalanya,
perempuan itu disebut ḥāmilah.98
Sedangkan al-ḥamlu secara terminologi adalah
sesuatu yang ada di dalam perut perempuan yang
mengandung, mendapat warisan atau terhijab, atau
membawa dampak kepada ahli waris lain dalam semua
keadaan atau sebagiannya saja.99
B. Syarat-syarat Anak Dalam Kandungan Dapat
Mewarisi.
Anak yang ada dalam kandungan dapat
memperoleh warisan jika telah memenuhi tiga syarat di
bawah ini:
1. Syarat pertama, saat meninggal pewaris, anak
yang ada dalam kandungan seorang ibu dapat
dipastikan keberadaannya, meskipun masih berbentuk
embrio.
Untuk mewujudkan syarat pertama ini , anak
yang ada dalam kandungan seorang ibu tidak boleh luput
dari tiga keadaan.
1) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu
dilahirkan dalam keadaan hidup sebelum berakhir
waktu paling minimal orang hamil semenjak
meninggal pewaris.100
Sepakat para ulama waktu minimal seorang
mengandung adalah enam bulan, sebagaimana firman
Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233: “Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan.”, dan dalam surah al-Ahqāf ayat 15:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan”
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang
mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh
bulan, yaitu dua tahun enam bulan. Sementara masa
menyusui adalah dua tahun penuh, maka tersisa enam
bulan yang merupakan masa paling minimal untuk
seorang yang mengandung. Sepakat para Fuqaha
bahwa perempuan tidak melahirkan pada masa yang
lebih cepat dari enam bulan kecuali sebab musibah
100 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid IX, h. 179-
180.
68
seperti terjatuh yang menghendaki untuk segera
dilahirkan anak yang ada dalam kandugan ini . 101
2) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu
dilahirkan dalam keadaan hidup sesudah berakhir
waktu paling lama orang hamil semenjak meninggal
pewaris. Maka dalam keadaan ini anak ini tidak
mendapat warisan. sebab dilahirkan sesudah
berakhir masa maksimal ini, tanda bahwa anak
ini ada setalah meninggal pewaris dan sebagian
mensyaratkan perempuan ini telah menikah lagi
sesudah meninggal pewaris.102
Kemudian berbeda pendapat para ulama mengenai
batasan waktu paling lama bagi orang yang hamil, yaitu
sebgai berikut:
1. Pendapat Qurṭubī, Abu Ubaid al-Qāsim bin
Sallām, IbnuQayyim Al-Jauziyyah, Muhammad
bin „Uṡaimīn, „Abdul Azīz bin Bāẓ, dan para
ulama kontemporer, bahwa tidak ada batasan
waktu paling lama untuk orang yang hamil, akan
tetapi itu semua tergantung kepada kondisi yang
ada, dimana setiap perempuan mengandung lebih
mengetahui akan kondisinya.103
2. Pendapat sebagian ulama salaf, di antaranya Ibnu
Syihāb al-Zurī, Rabī‟ah al-Ra‟yi, sebagian mazhab
Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang
yang hamil itu adalah tujuh tahun.104
101 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 11
102 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid IX, h. 180.
103 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12
104 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12
69
3. Pendapat salah satu riwayat dari Imam Malik dan
merupakan pendapat yang dipegang oleh mazhab
Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang
perempuan yang hamil adalah lima tahun.105
4. Pendapat al-Laiṡi bin Sa‟id, bahwa waktu paling
lama bagi seorang perempuan hamil adalah tiga
tahun.106
Alasan yang digunakan oleh empat pendapat
di atas adalah, mereka mendengar bahwa ada
perempuan yang masa kehamilannya itu sampai
pada waktu-waktu yang telah disebutkan di atas,
dari itu, al-Laiṡi bin Sa‟id, mengetahui bahwa
hamba sahaya dari Umar bin „Abdullah
mengandung selama tiga tahun dan ini merupakan
periode maksimum bagi perempuan yang hamil.107
5. Pendapat Imam Malik, mazhab Syāfi‟iyyah, dan
mazhab Hanabilah, bahwa waktu paling lama bagi
seorang perempuan hamil adalah empat tahun.108
Alasannya di dalam naṣ tidak disebutkan
batasan waktu maksimal bagi perempuan yang
hamil, untuk bisa mengetahui waktu paling lama
itu adalah dengan melihat „uruf dan kasus-kasus
yang ada, dijumpai bahwa yang paling banyak
terjadi adalah empat tahun.
6. Pendapat mazhab al-Ṡūrī, al-Auza‟ī, Hanafiyyah,
al-Muzannī dan riwayat dari Imam Ahmad, bahwa
105 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 233.
106 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 232-
233.
107 Ibnu Qudamah al-Ḥanbali, Al-Mughnī,… Jilid XI, h. 232-
233.
108 Abu Hasan Yahya bin Abi al-Khair Salim al-„Imrānī, Al-
Bayān fi Mazhab al-Syafi‟ī,...,Jilid XI, h. 12
70
waktu paling lama seorang yang hamil adalah dua
tahun.109
7. Pendapat mazhab al-Żahiriyyah, bahwa waktu
paling lama untuk seorang yang hamil adalah
sembilan bulan, tidak lebih dari itu.
Alasannya adalah surah al-baqarah ayat 233
dan surah al-ahqaf ayat 15, menurut ibnu Hazm al-
Żahiri, saat memahami dua ayat ini , tidak
dibolehkan seorang perempuan yang hamil
melebihi waktu sembilan bulan dan tidak boleh
kurang dari enam bulan, barangsiapa yang
berpendapat bahwa orang yang mengandung
sampai menyusianya melebihi waktu tiga puluh
bulan, maka merupakan perkataan batil dan
mustahil, sebab menolak yang telah Allah
jelaskan secara nyata.110
8. Pendapat mayoritas ulama kontemporer, dan
kedokteran, bahwa waktu paling lama bagi
seorang yang hamil adalah sepuluh bulan.111
Alasannya telah dipastikan oleh banyak dokter
spesialis kandungan bahwa masa normal seorang
perempuan yang hamil adalah 280 hari, yang
dihitung dari masa berakhir menstruasinya dan
kehamilan biasanya terjadi sekitar 14 hari setalah
berakhir menstruasi ini , maka masa
109 Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-
Mukhtār,... Jilid III, h. 540.
110 „Alī bin Ahmad bin Hazm al-Żahirī, Al-Maḥallī bi al-
Aṡār,(Beirut:Dār al-Fikr, 1405), Jilid X, h. 131-132
111 Muhammad Ali al-Bār, Khalaqa al-Insān baina al-Ṭib wa
al-Qur‟an,(Arab Saudi: Dār al-Su‟udiyyah linnasyar, 1984), h. 451-
452
71
BAB XIV
KEWARISAN KHUNṠA
A. Pengertian Khunṡa
Secara etimologi khunṡa adalah al-takassur
(terpecah) dan al-taṡanni (mendua). Sedangkan secara
terminologi khunṡa adalah orang yang memiliki kelamin
laki-laki dan kelamin perempuan sekaligus, atau tidak
memiliki kedua-duanya sama sekali, hanya memiliki
lubang untuk kencing.112
Khunṡa musykil adalah orang yang keadaannya
sulit ditentukan, tidak tampak pada dirinya ciri-ciri
seorang laki-laki atau perempuan, atau ciri-ciri yang
dimiliki berlawanan dengan ciri umum seorang laki-laki
dan perempuan, misalnya jenggot dan payudara.113
Dengan demikian, statusnya menjadi tidak jelas apakah
laki-laki atau perempuan.
B. Jalur-jalur Keturunan khunṡa.
Para ulama faraiḍ sesudah mengadakan
penyelidikan (istiqra‟), menetapkan bahwa para ahli waris
khunṡa hanya diketahui melalui empat jihat (jalur)
sebagai berikut:
a. Jihat Bunuwah (jalur anak), para ahli waris khuntsa
yang tergabung dalam jihat bunuwah ini yaitu anak
dan cucu, boleh jadi laki-laki dan boleh jadi
perempuan.
b. Jihat Ukhuwah (jalur saudara), mereka yang
tergabung dalam jihat ukhuwah yakni saudara dan
112 „Ali bin Muhammad al-Jarjānī, al-Ta‟rīfāt,...h. 137
113 Naṣhir bin Muhammad Bin Musyarī al-Ghāmidī, al-
Khullaṣah Fi „Ilmi al-Faraiḍ,... h. 464
72
anak saudara, yaitu kemenakan, boleh jadi laki-laki
dan boleh jadi perempuan.
c. Jihat „Umumah (jalur paman), para ahli waris khunṡa
dari garis paman yakni paman dan anak paman
(saudara sepupu).
d. Jihat Wala‟ (perwalian budak), ahli waris yang
khunṡā dari golongan ini hanya seorang saja yakni
maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan
budaknya).
Sementara jihat Ubuwwah (ayah, ibu, kakek dan
nenek), jihat Zaujiyyah (suami dan isteri), tidak
mungkin mereka sebagai khuntṡa. Sebab nikah
mereka tidak sah dan tidak dapat mengadakan
hubungan biologis sebagai media adanya keturunan.
Andai kata ada mereka bukan musykil lagi.114
C. Keadaan Khunṡa dan Tata Cara mendapat
Waris Pada Setiap Keadaan.
Khunṡa tidak pernah lepas dari tiga keadaan, yaitu
sebagai berikut.
1. Merupakan khunṡa ghairu musykil, yaitu khuntsa yang
telah jelas keadaannya, melalui alat kelamin yang ada
dapat dipastikan jenis kelaminnya laki-laki atau
perempuan, dan dari segi munculnya tanda-tanda
kelakiannya maka dia mengambil hukum laki-laki,
begitu juga muncul tanda-tanda keperempuanannya
maka dia mengambil hukum perempuan.
Tanda-tanda yang bisa membedakan khunṡa ada
dua, yaitu boleh secara khalqiyyah (lahiriah) dan
ṭibbiyyah (medis). Tanda-tanda khalqiyyah (lahiriah)
di antaranya ada yang terjadi sebelum baligh yaitu dari
cara kencing, jika mengeluarkan air kencing melalui
kelamin laki-laki dia adalah laki-laki begitu pula
sebaliknya, jika air kencing keluar dari kelamin
perempuan dia adalah perempuan. sebab manfaat
asli dari alat kelamin pada masa kecil adalah untuk
kecing saja, dan hal yang sama dari manfaat ini
akan muncul saat baligh.
Adapun tanda-tanda yang terjadi sesudah baligh
menurut fuqaha‟ yang menjadi pembeda antara baligh
seorang laki-laki dengan perempuan adalah,
tumbuhnya jenggot, kumis, jimak menggunakan
kelamin laki-laki, keluarnya mani dari laki-laki dan
suka kepada perempuan, semua tanda-tanda ini adalah
indikasi bahwa dia adalah laki-laki. Sedangkan haid,
payudara, jimak menggunakan kelamin perempuan,
keluarnya susu dari payudara, suka kepada laki-laki,
ini merupakan indikasi dia adalah perempuan.
Bisa juga mengetahui khunṡa meskipun tertutupi
oleh tanda-tanda ini , yaitu dengan cara ṭibbiyyah
(medis). Berkonsultasi dengan ahli medis yang
berpengalaman untuk meneliti apakah dia seorang
laki-laki atau perempuan, bahkan tidak ada larangan
jika medis melakukan tindakan operasi untuk
memperjelas statusnya, sebab ketentuan dari Allah
menuntut agar seseorang tidak berkelamin ganda.
Para ulama sepakat mengenai khunṡa yang
memiliki dua alat kalamin , dan mungkin untuk
dibedakan antara keduanya, maka dia mendapat
warisan sesuai tanda-tanda yang dimiliki. Yang
terpenting adalah cara kencing, jika dia kencing
melalui kelamin laki-laki, maka dia mendapat
warisan bagian laki-laki. Sedangakan jika dia kencing
melalui kelamin perempuan, dia mendapat warisan
bagian perempuan. Jika dia kencing melalui dua
kelamin itu, maka ditentukan berdasakan kelamin
yang mengeluarkan air kencing lebih dahulu. Jika air
kecing keluar dari kelamin laki-laki dahulu, kemudian
kelamin perempuan, dia adalah laki-laki, namun jika
air kencing keluar dari kelamin perempuan dahulu,
kemudian kelamin laki-laki, dia adalah perempuan.
sebab kelamin yang mengeluarkan air kencing lebih
dahulu menunjukkan bahwa kelamin itu adalah
kelamin yang sebenarnya. Jika tetap sama, maka
menurut jumhur ulama, yang dilihat adalah yang
terbanyak air kencingnya, sebab jumlah yang lebih
banyak diberlakukan untuk seluruhnya dan sebagai
tanda keaslian serta kekuatan.115
Dalilnya adalah riwayat dari „Ali ra. Bahwa ada
yang bertanya tentang kasus seseorang yang memiliki
dua kelamin sekaligus, laki-laki dan perempuan,
bagaimana khukum warisnya, beliau menjawab: “Dari
kelamin mana dia kencing”. Begitu juga ada riwayat
dari al-Sya‟biyyi dari „Ali tentang kasus khunṡa,
berkata: “Dia mewarisi dari arah mana
kencingnya”. Imam ibnu al-Munżir, mengatakan ulama telah
berijma‟ bahwa khunṡa mewarisi dari segi kencing,
jika kencing dari kelamin laki-laki, maka dia
mendapat hukum waris laki-laki, jika dia kencing
dengan kelamin perempuan, maka dia mendapat
bagian waris perempuan.
Dengan demikian, hukum kewarisan khunṡa pada
keadaan ini, mengikuti ketentuan umum dalam
kewarisan, mendapat warisan sekali, boleh jadi
bagiannya laki-laki atau perempuan.
2. Merupakan khunṡa musykil (yang sulit ditentukan),
yaitu khunṡa yang memiliki dua kelamin dan melalui
alat kelamin yang ada tidak dapat dipastikan jenis
kelaminnya laki-laki atau perempuan. Akan tetapi
kejelasan statusnya masih bisa diharapkan, seperti
khunṡa yang masih kecil, dimana pewaris meninggal
sementara dia belum baligh.118
3. Merupakan khunṡa musykil, tidak jelas keadaannya,
yaitu khunṡa yang memiliki dua kelamin dan melalui
alat kelamin yang ada tidak dapat dipastikan jenis
kelaminnya laki-laki atau perempuan. Begitu juga
kejelasan statusnya tidak bisa diharapkan lagi, sebab
sudah baligh dan tidak ada tanda-tanda untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Maka
khunṡa ini sama hukumnya dengan khunṡa yang
meninggal di waktu kecil sebelum baligh, namun
MUNĀSAKHĀT
A. Pengertian Munāsakhāt.
Secara etimologi munāsakhāt adalah jamak dari
munāsakhah, yang diambil dari kata al-Naskhi, yang
memiliki banyak makna, di antaranya; al-naql
(memindahkan), al-taghyīr (mengubah), al-tabdīl
(mengganti), al-izālah (menghilangkan), dan
membatalkan sesuatu, menetap pada selain tempatnya,
seperti ungkapan: “nasakhtul kitāb” (aku menyalin dari
buku itu), dan “nasakhat al-āyah” (menghilangkan
hukumnya).119 Sebagaimana firman Allah: “Ayat mana
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”, yakni kengganti dan
mengubah hukumnya.
Sementara munāsakhāt secara terminologi adalah
meninggalnya seorang pewaris dan harta warisannya
belum dibagikan sampai meninggal ahli waris lain baik
sendiri atau banyak.
Dinamakan dengan munāsakhāt sebab masalah
yang pertama dipindahkan menjadi masalah yang kedua,
sehingga hukumnya menjadi hilang dan berubah. Atau
sebab harta waris berpindah dari satu ahli waris kepada
ahli waris lain.
Munāsakhat terjadi pada harta peninggalan
pewaris pertama yang belum sempat dibagikan, sementara
ada diantara ahli waris ini yang meninggal dunia,
kemudian harta peninggalan pewaris pertama ini dibagi
untuk mengetahui bagian ahli waris yang meninggal
ini , sekaligus dibagikan untuk ahli waris yang masih
hidup. Adapun segala sesuatu yang ditinggalkan oleh ahli
waris yang meninggal kedua dari hartanya sendiri, yang
diperoleh sebelum harta waris pewaris pertama dibagikan
atau diperoleh sesudah meninggalnya pewaris pertama
sebelum dibagikan harta ini kepadanya, maka harta
ini dibagikan untuk ahli waris dari yang meninggal
kedua sebagaimana aturan umum dalam pembagian harta
warisan.
B. Keadaan-keadaan kasus Munāsakhāt.
Terdapat tiga keadaan yang mungkin akan terjadi
pada kasus munāsakhāt, yaitu:
1. Ahli waris dari yang meninggal kedua dan sesudah nya
adalah ahli waris yang mewarisi harta dari pewaris
pertama juga. Dalam keadaan ini, masalahnya tidak
berubah dan tidak berganti ahli warisnya. Keadaan ini
menurut penelitian (istiqra‟) terbagi kepada lima
gambaran.
1) Ahli waris terbatas pada penerima bagian yang
sama, maka mendapat bagian warisan dari
dua/lebih orang yang meninggal ini dengan
satu cara. Boleh jadi hanya mendapat „aṣabah
saja, atau bagian tetap saja (farḍ). Contohnya ahli
waris yang ditinggalkan adalah 6 anak laki-laki,
kemudian harta warisan tidak dibagikan, sampai
meninggal beberapa orang di antara mereka.
Sehingga ahli waris yang tersisa hanya 3 orang
saja. Bagaimana menyelesaikan masalah ini.
Jawab, harta waris yang ditinggalkan dibagikan
kepada ahli waris yang masih hidup, tanpa melihat
kepada ahli waris lain yang meninggal sesudah
meninggal pewaris pertama. Bagaikan ayah hanya
meninggalkan ahli waris 3 orang anak saja.
Sebagaimana tabel di bawah ini.
Ahli Waris Bagian 3
3 anak laki-laki „Aṣabah
Contoh lain, ahli waris yang ditinggalkan adalah
8 anak perempuan, kemudian harta warisan tidak
dibagikan, sampai meninggal beberapa orang di
antara mereka. Sementara ahli waris yang tersisa 4
orang lagi. Bagaimana menyelesaikan masalah ini.
Jawab, harta waris yang ditinggalkan dibagikan
kepada ahli waris yang masih hidup, tanpa melihat
kepada ahli waris yang meninggal sesudah
meninggal pewaris pertama. Bagaikan ayah hanya
meninggalkan ahli waris 4 orang anak saja.
Sebagaimana tabel di bawah ini.
Ahli Waris Bagian 3 4
4 anak perempuan 2/3 2
2) Ahli waris terbatas pada penerima bagian yang
sama, akan tetapi mereka mendapat bagian
waris dari dua orang yang meninggal ini
dengan „aṣabah dan bagian tetap (farḍ).
Contohnya ahli waris yang ditinggalkan adalah 7
saudara laki-laki seibu dan 6 anak laki-laki paman
seayah. Bagian harta waris tidak dibagikan sampai
meninggal 2 orang dari saudara laki-laki seibu dan
1 orang anak laki-laki paman seayah. Bagaimana
menyelesaikan kasus ini.
Jawab, membagi harta peninggalan kepada ahli
waris yang tersisa, tanpa memperhatikan lagi ahli
waris yang meninggal kemudian sesudah
meninggal pewaris pertama. Sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian 3x5 15
5 saudara Lk.Seibu 1/3 1 5
5 anak Lk. Paman
seayah
„Aṣabah 2 10
Keterangan: 5 saudara perempuan mendapat
5 bagian, setiap satu orang di antara mereka
menerima 1 bagian, dan 5 anak laki-laki paman
seayah mendapat 10 bagian, dimana setiap satu
orang mendapat 2 bagian.
3) Ahli waris tidak terbatas pada penerima bagian
yang sama, akan tetapi bagian mereka berbeda-
beda, dan mendapat warisan dari bagian tetap
saja (farḍ). Contohnya ahli waris yang
ditinggalkan adalah suami, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah, harta
peninggalan tidak dibagi untuk ahli waris ini ,
sampai saudara perempuan seayah menikah
dengan seorang suami, kemudian dia meninggal
dan juga meninggalkan saudara perempuan
kandung. Bagaimana membagi masalah di antara
mereka. Jawab.
o Masalah pewaris pertama.
Ahli Waris Bagian 6
7
Suami 1/2 3 3
Saudara Pr.Kandung 1/2 3 3
Saudara Pr. Seayah 1/6 1 1
o Masalah pewaris kedua.
Ahli Waris Bagian 2
Suami 1/2 1
Saudara Pr.Kandung 1/2 1
Keterangan: masalah pewaris pertama adalah
kasus „aul dari asal masalah 6 menjadi 7.
Bagian yang dimiliki oleh pewaris kedua
dalam masalah pertama adalah 1, suami
mengambil 3 bagian dan saudara perempuan
kandung mengambil 3 bagian. Kemudian pada
masalah kedua, membagi langsung bagian
yang ditinggalkan oleh pewaris kedua kepada
ahli warisnya yang ada, yaitu suami mendapat
1 bagian dan saudara perempuan kandung
mendapat 1 bagian.
4) Ahli waris memiliki bagian waris yang berbeda-
beda. Dimana bagian waris mereka sebagai
penerima „aṣabah yang di dalamnya juga terdapat
penerima bagian tetap, kemudian berubah menjadi
penerima bagian „aṣabah semua. Contohnya, ahli
waris yang ditinggalkan adalah istri dan 5 orang
anak laki-laki, harta waris tidak dibagi diantara
mereka, sehingga meninggal 2 orang anak laki-
laki ini dan sesudah itu meninggal lagi ibunya
(istri pewaris). Bagaimana membagi masalah ini.
ŻAWĪL ARḤĀM
A. Pengertian Żawīl Arḥām
Secara etimologi lafaż al-arḥām adalah bentuk
jamak dari raḥim, yang artinya hubungan kekerabatan
atau sebab terjalin kekerabatan. Sebagaimana firman
Allah dalam surah an-Nisa‟ ayat 1: “dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim”. Kemudian dinamakan raḥimul
unṡā yaitu tempat janin di dalam perut ibunya, senada
dengan firman Allah: “Dialah yang membentuk kamu
dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya”. Dan begitu
juga firman Allah dalam surah al-Haj ayat 5: “Agar Kami
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim,
apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,
kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan”.
Sedangkan żawil arḥām secara terminologi adalah
seluruh kerabat baik mendapat warisan atau tidak.
Adapun pengertian żawil arḥām menurut ulama farāiḍ
adalah seluruh kerabat yang bukan penerima bagian tetap
(aṣhābul furūḍ) dan bukan penerima sisa („aṣabah).
B. Pengelompokan Żawīl Arḥām
Secara umum żawīl arḥām di kelompokkan
kepada empat, yaitu:
1. Furū‟al-Mayyit (cabang yang meninggal), yaitu semua
yang dipertalikan kepada pewaris melalui perempuan,
yang tidak termasuk penerima bagian tetap dan
„aṣabah. Ada dua yang termasuk dalam kelompok ini
yaitu:
1) Cucu dari anak perempuan dan keturunan di
bawahnya. Seperti cucu laki-laki dari anak
perempuan, cucu perempuan dari anak perempuan,
cicit laki-laki dari cucu perempuan dari anak
perempuan dan seterusnya kebawah.
2) Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan
keturunan di bawahnya. Seperti cicit laki-laki dari
cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cicit
perempuan dari cucu perempuan dari anak laki-
laki.
Kelompok ini dinamakan dengan kelompok
jihah al-bunuwwah (jalur anak).
2. Uṣūl al-Mayyit (leluhur yang meninggal), yaitu semua
yang dipertalian kepadanya pewaris melalui
perempuan, yang tidak termasuk penerima bagian
tetap dan „aṣabah. Orang yang termasuk dalam
kelompok ini juga ada dua yaitu:
1) Kakek leluhur, yaitu ayah dari ibu, dan uṣūl
lainnya yang berada di atas kakek. Seperti ayah
dari ibunya ayah, ayah dari ibunya ibu, dan ayah
dari ayahnya ibu.
2) Nenek leluhur dan uṣūl lainnya yang berada di atas
nenek, yaitu yang berhubungan dengan pewaris.
Seperti ibu dari ayahnya ibu.
Kelompok ini dinamakan dengan jihah al-
ubuwwah (jalur ayah).
3. Abawai al-Mayyit (cabang dari ayah atau ibu yang
meninggal), yaitu semua yang dipertalikan kepada
ayah dan ibu pewaris, yang tidak termasuk penerima
bagian tetap dan „aṣabah. Orang yang termasuk dalam
kelompok ini ada tiga yaitu:
1) Anak perempuan dari saudara kandung atau
seayah. Seperti anak perempuan dari saudara
kandung, anak perempuan dari saudara seayah dan
seterusnya kebawah.
2) Anak dari saudara perempuan kandung atau
seayah. Seperti anak laki-laki saudara perempuan
kandung, anak perempuan dari saudara perempuan
kandung, anak laki-laki dari saudara perempuan
seayah dan anak perempuan dari saudara
perempuan seayah, dan seterusnya kebawah.
3) Anak saudara seibu, baik laki-laki maupun
perempuan. Seperti anak laki-laki dari saudara
seibu, anak perempuan dari saudara seibu dan
seterusnya kebawah.
Kelompok ini dinamakan dengan jihah al-
ukhuwwah (jalur saudara).
4. Furu‟ dari kakek dan nenek, yaitu semua yang
dipertalikan kepada kakek dan nenek pewaris yang
tidak termasuk penerima bagian tetap dan „aṣabah.
Ada enam kelompok yang termasuk dalam pembagian
ini, yaitu:
1) Paman dan bibi pewaris yang seibu dari pihak
ayah, serta paman dan bibi kandung atau seayah
pewaris dari pihak ibu.
2) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam
kelompok pertama dan keturunan yang ada di
bawahnya. Seperti anak-anak perempuan paman
kandung, anak-anak perempuan paman seayah,
anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka
dan seterusnya kebawah.
3) Paman dan bibi dari ayah pewaris (dari pihak
ayah), paman dan bibi dari ayah pewaris (dari
pihak ibu), baik kandung atau salah satunya.
Paman dan bibi dari ibu pewaris (dari pihak ayah),
dan paman dan bibi dari ibu pewaris (dari pihak
ibu), yang sekandung atau salah satunya saja.
4) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam
kelompok ketiga dan keturunannya. Seperti anak-
anak perempuan paman dari ayah pewaris (dari
pihak ayah) yang sekandung atau seayah saja,
cucu perempuan dari anak laki-laki mereka dan
keturunannya.
5) Paman dan bibi dari ayahnya ayah pewaris yang
seibu (dari pihak ayah), paman dan bibi dari
ayahnya ibu pewaris (dari pihak ayah), paman dan
bibi dari ayahnya ayah dan ayahnya ibu pewaris
(dari pihak ibu) yang sekandung, seayah atau
seibu saja, paman dan bibi dari ibunya ayah
pewaris (dari pihak ayah), paman dan bibi dari
ibunya ibu dan ibunya ayah pewaris (dari pihak
ibu) yang sekandung, seayah atau seibu.
6) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam
kelompok lima, seperti anak-anak perempuan
paman dari kakek pewaris dari pihak ayah yang
sekandung, atau seayah saja. Anak-anak
perempuan dari anak laki-laki mereka dan
keturunan di bawahnya.
Kelompok ini disebut dengan jihah al-
„Umumah wal khuūwlah (jalur paman dan bibi)
C. Pandangan Ulama Mazhab Tentang Warisan
Żawīl Arḥām.
Sepakat para ulama bahwa ẓawīl arḥām tidak
mendapat warisan jika pewaris meninggalkan aṣḥābul
furūḍ dan „aṣabah. Sementara jika pewaris tidak
meninggalkan aṣḥābul furūḍ atau „aṣabah, atau ada sisa
harta sesudah diambil oleh salah seorang suami atau istri,
maka para ulama berbeda pendapat tentang kewarisan
żawīl arḥām dalam kasus ini , kepada dua pendapat
yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat Jumhur Ulama, Sahabat dan tabi‟īn dan
Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah, bahwa żawīl
arḥām mewarisi jika tidak ada penerima bagian tetap
(aṣhābul furūḍ) dan penerima bagian sisa
(„aṣabah).125
Dalil yang digunakan oleh kelompok ini adalah
firman Allah surah al-Ahzab ayat 6: “Dan orang-
orang yang memiliki hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab
Allah”. Ayat ini menunjukkan bahwa żawīl arḥām
lebih berhak untuk mendapat warisan menurut
ketentuan Allah swt. Betapa tidak, pada masa awal
Islam sebab mewarisi sebab sumpah tidak termasuk
qarābah (kekerabatan), dan hukum ini telah dinasakh,
kemudian menjadikan sebab saling mewaris pada
WASIAT DAN HIBAH
A. Wasiat dan Pembahasannya.
1. Pengertian Wasiat.
Wasiat secara etimologi berasal dari bahasa arab
al-waṣiyah (jamaknya waṣaya), secara harfiyah antara
lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Sementara secara
terminologi ulama‟ fikih mendefinisikan wasiat adalah
penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada
pihak lain yang berlaku sesudah orang ini wafat, baik
harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.126
2. Dasar Hukum Wasiat
Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat
adalah berdasarkan al-Qur‟an, al-Hadiṡ, dan Ijma‟.
1. Al-Qur‟an.
a. Surat Al-Baqarah ayat 180
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf127, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa.
Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat
kepada kedua orang tua dan kerabat yang dekat, yaitu
hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib
kerabat) yang tidak mendapat harta waris baik sebab
żawil arhām dan mahjub yang orang tuanya telah
meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun sebab
mahram (kecuali pembunuh).128
Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah
turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat
tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di
samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada
hadis Nabi yang berbunyi “Tidak ada wasiat bagi ahli
waris”.
b. Surat Al-Maidah ayat 106.
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia
akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara
kamu.
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
wasiat merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
agama, dan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari
wasiat ini , maka hendaklah wasiat disaksikan oleh
dua orang saksi yang adil.
2. Al-Hadiṡ
a. Hadiṡ yang diriwayatkan oleh „Abdullah bin
„Umar.
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Tidak sepatutnya bagi seorang muslim
yang miliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan, lalu
ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah
tertulis di sisinya”.
Dalam hal ini Imam Syafi‟ī memberikan
komentarnya bahwa orang Islam yang berwasiat
sebaiknya wasiat ini ditulis dan berada di sisinya,
sebab hal ini dapat menjaga dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam berwasiat, bisa
jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai sebab kematian
seseorang hanya Allah yang mengetahui.
3. Ijma‟
Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai
sekarang masih banyak yang menjalankan wasiat.
Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang
mengingkarinya dan telah menunjukan adanya ijma‟.130
Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi
hadiṡ Nabi tentang kadar wasiat yang tidak boleh lebih
dari sepertiga harta peninggalan pewasiat.
3. Hukum Wasiat
Para ulama telah melakukan ijtihad dalam
menetapkan status hukum wasiat, yaitu:
1. Wajib
Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia
memiliki kewajiban syara‟ yang dikhawatirkan akan
disia-siakan bila tidak berwasiat, seperti adanya titipan,
hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia.
Misalnya memiliki kewajiban zakat yang belum
ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, amanat
yang belum disampaikan, hutang yang tidak diketahui
selain oleh dirinya, titipan yang belum dipersaksikan.131
2. Sunah
Berwasiat hukumnya sunah bila diberikan kepada
karib kerabat atau ditujukan kepada orang-orang miskin
dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak
menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan
sosial.132
3. Haram
Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk
maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-
tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang
oleh ajaran agama Islam.133
4. Makruh
Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang
berwasiat itu sedikit hartanya, sedangkan memiliki ahli
waris yang banyak yang membutuhkan hartanya.
Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika
diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan
menggunakan harta ini dalam kefasikan dan
kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu
mengetahui dan menduga bahwa orang akan diberi wasiat
itu menjadi baik, maka hal ini menjadi sunah.
5. Mubah
Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada
kerabat, tetangga atau yang lain yang penghidupannya
tidak kekurangan.
4. Rukun dan Syarat Wasiat
Terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam
menentukan rukun wasiat di antaranya ulama mazhab
Hanafi menyatakan bahwasanya rukun wasiat hanya satu
yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta
yang akan wafat). sebab menurut mereka wasiat adalah
suatu akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat,
tidak mengikat pihak yang menerima wasiat. Oleh sebab
itu qabul tidak diperlukan.136
Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan,
bahwa rukun wasiat itu ada empat, yaitu:137
1. Al-Mūṣī (orang yang berwasiat)
Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang
memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya
kepada orang lain (ahli tabarru‟) yaitu orang yang
memiliki kompetensi (kecakapan) yang sah.
Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal,
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya
atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang sebab hukum untuk menjadi ahli
waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik yang berupa benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama sesudah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
sesudah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain
yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak
yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum
yang tetap, dihukum sebab :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-
laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda
atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau
duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman
jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan di antara wahli waris yang
berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau
kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau
nilai harta peninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh
bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat
seperenam bagian.138
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau
dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua
orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah
diambil oleh janda atau duda bila bersamasama
dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,
maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak
maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan
ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-
sama mendapat sepertiga bagian.
138 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 2
Tahun 1994, maksud pasal ini ialah : ayah mendapat sepertiga
bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan
suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan
ayah, sedang ia memiliki satu saudara perempuan
kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian.
Bila saudara perempuan ini bersama-sama dengan
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau
lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian. Bila saudara perempuan ini bersama-sama
dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, sesudah masing-masing
menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya
diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul
anggota keluarga.
Pasal 185
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si
pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang ini dalam Pasal
173.
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga
dari pihak ibunya.
Pasal 187
(1) Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta
peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau
oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang
sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan
tugas:
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan,
baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli
waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai
harganya dengan uang;
b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk
kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat
(1) sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada
ahli waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau
perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian
yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli
waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan ini pada ayat (1) pasal ini tidak
dimungkinkan sebab di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
ini dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli
waris yang dengan cara membayar harganya kepada
ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya
masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka
masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-
gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli
warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali
atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka
harta ini atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan
Agama Islam dan kesejahteraan umum.
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para
ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan
baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu
angka pembilang.
Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang
lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli
waris asabah, maka pembagian harta warisan ini
dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di
antara mereka.
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang
lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak
dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan
sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang
saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau
dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau
lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda
yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat
berdasarkan putusan Hakim yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dihukum sebab :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat kepada
pewasiat;
b. Dipersalahkan secara memfitrnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat;
c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau merubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat;
d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak
atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk
untuk menerima wasiat itu:
a. Tidak mengetahui adanya wasiat ini sampai
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b. Mengetahui adanya wasiat ini , tapi ia
menolak untuk menerimanya;
c. Mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan
musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu
tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon
penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau
sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian
menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis
dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau
berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat
secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh
dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka
hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila sebab
suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau
kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal
dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta
yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan
sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka
wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta
warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan
kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka
ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang
didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya
atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan
Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu
diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat
yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka
olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang
saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan
surat wasiat itu.
(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada
Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada
Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat
dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama
ini membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat
(1) pasal ini.
(3) sesudah semua isi serta maksud surat wasiat itu
diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan
Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna
penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka
yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam
daerah pertempuran atau yang berda di suatu tempat yang
ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat
wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda
atau mualim kapal, dan jika pejabat ini tidak ada,
maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya
dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang
yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita
sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan
tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat
akte ini .
Pasal 209
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan
Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 ini di atas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya.
HIBAH
Pasal 210
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan
dua orang saksi untuk dimiliki.
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak
dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing
dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau
Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya
tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.