Tampilkan postingan dengan label teologi 18. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 18. Tampilkan semua postingan
teologi 18
By tuna at Januari 19, 2024
teologi 18
Teologi ialah disiplin ilmu yang berkembang secara dinamis, majemuk, dan progresif.
Metode berteologi pada satu kurun waktu tertentu umumnya menjadi bagian dari dialektika
tiada berujung metode berteologi baru yang dihasilkan. Tidak heran berbagai sintesis teologis
diformulasikan demi mengarah kepada teologi yang prospektif. Anehnya, alih-alih bersifat prospektif, metode berteologi Oden bersifat retrospektif. Oden kembali kepada masa lalu, tepatnya
kepada tulisan para bapa gereja. Yang menjadi masalah ialah apakah proposal Oden yang tertuang dalam metode berteologinya ini adalah proposal yang relevan, khususnya dalam konteks
teologi yang majemuk di abad 21? Ini yang menjadi fokus penelitian penulis. Tulisan ini akan
memaparkan dan menganalisis tiga metode yang amat kentara dalam metode berteologi Oden,
yaitu teologi yang kembali kepada tulisan patristik, berakar pada warisan sejarah kekristenan
Afrika awal, dan bermuara kepada penggembalaan. Melaluinya, penulis berharap mendapatkan
analisis teologis yang objektif dan kontributif. Ini dikarenakan terlepas dari gerak prospektif
metode berteologi pada umumnya, penulis meyakini bahwa metode berteologi Oden yang retrospektif tetap memiliki relevansi signifikan bagi konteks teologi abad 21.Teologi sebagai sebuah scientia-yang-bermuara-pada-sapientia1
ialah disiplin ilmu yang
berkembang secara dinamis, majemuk, dan
progresif.2
Metode berteologi pada satu
kurun waktu tertentu umumnya menjadi
bagian dari dialektika tiada berujung metode
berteologi baru yang dihasilkan.3
Selain itu,
karena “the future is not closed to theological
wisdom, coherence or system,”4
teologi juga
menjadi disiplin ilmu yang prospektif, artinya
mengarah kepada masa depan di mana “the
current fusing of theological styles is an interesting harbinger of new directions in theological
method.”5
Tidak heran berbagai sintesis teologis diformulasikan demi mengarah kepada
teologi yang prospektif ini. Anehnya, tidak
demikian dengan Thomas C. Oden.
Alih-alih bersifat prospektif, metode berteologi Oden bersifat retrospektif. Oden kembali
kepada masa lalu, tepatnya kepada tulisan
para bapa gereja.6
Di hadapan Evangelical
Theological Society, ia menyatakan tujuannya
dengan jelas demikian:
I want to reaffirm solemn commitments
made at its beginning: to make no new contribution to theology, and to resist the temptation to prefer modern writers less schooled
in the whole counsel of God than the best
ancient classic exegetes. I seek quite simply to
express the one mind of the believing Church
that has been ever attentive to that apostolic
teaching to which consent has been given by
Christian believers everywhere, always, and
by all.
7
Oden tidak ingin memberikan sebuah kontribusi baru dalam teologi. Apa yang berusaha
ia capai ialah sebuah konsensus teologis yang
umumnya disepakati bersama oleh orang
percaya di segala waktu dan tempat. Bagi
Oden, ketimbang merujuk kepada para penulis modern, ia langsung kembali ke akarnya,
yaitu teologi patristik. Yang menjadi masalah ialah apakah proposal Oden yang tertuang dalam metode berteologinya ini adalah
proposal yang relevan, khususnya dalam konteks teologi yang majemuk di abad 21? Ini
yang menjadi fokus penelitian penulis.
Tulisan ini berusaha: pertama, memaparkan
metode berteologi Oden. Pada bagian ini
penulis akan membatasi hanya kepada tiga
metode yang amat kentara dalam metode
berteologinya, yaitu teologi yang kembali
kepada tulisan patristik, berakar pada warisan
sejarah kekristenan Afrika awal, dan bermuara kepada penggembalaan. Pembatasan ini
dilakukan dengan mempertimbangkan dua
hal, yaitu keterbatasan ruang penulisan dan
kedalaman fokus penelitian; kedua, menganalisis metode berteologi Oden. Di sini
penulis akan berusaha menyajikan berbagai
pandangan, baik yang mendukung maupun
menentang proposal yang Oden tawarkan
berkaitan dengan tiga metode berteologinya
di atas. Melaluinya, penulis berharap mendapatkan analisis teologis yang objektif dan kontributif. Ini dikarenakan terlepas dari gerak
prospektif metode berteologi pada umumnya,
penulis meyakini bahwa metode berteologi
Oden yang retrospektif tetap memiliki relevansi signifikan bagi konteks teologi abad 21.
Metode Berteologi Thomas C. Doen
Oden sendiri tidak menulis sebuah buku yang
menjelaskan metode berteologinya dengan
spesifik. Namun, metode (atau metodemetode) tersebut amat jelas dalam tulisantulisannya. Tiga hal yang amat kentara ialah
kembali kepada tulisan patristik, berakar pada
warisan sejarah kekristenan Afrika awal, dan
bermuara kepada penggembalaan. Ketiganya
akan diuraikan masing-masing dalam bagian
ini.
Kembali kepada Tulisan Patristik
Yang paling kentara dari metode berteologi Oden ialah semangatnya untuk kembali
kepada tulisan para bapa gereja. Sebagai
seorang teolog yang tumbuh dan dibesarkan
dalam warisan teologi modern, Oden terbiasa
dengan pemikiran Paul Tillich, Martin Heidegger, dan di atas semuanya, Rudolf Bultmann.8
Namun perubahan hidup secara teologis terjadi ketika Oden mengikuti saran dari
Will Herberg untuk kembali kepada sumber
patristik demi mendapatkan bangunan teologi yang sehat.9
Sejak itu, Oden menyadari
kekeliruan teologinya selama ini dan mengabdikan hidupnya untuk menggali kekayaan
tulisan patristik.
Mengenai tulisan patristik, Oden sendiri
mengakui bahwa “my major purpose . . . is to
allow the ancients to speak for themselves, and
let their relevance be judged by those who wish
to put their vision into actual practice.”10 Yang
Oden maksudkan dengan “ancients” adalah
berbagai tulisan bapa gereja yang mengacu
pada pengajaran rasuli. Nantinya, Oden juga
menggunakan sumber-sumber di luar tulisan
bapa gereja namun yang memiliki konsensus
sejarah dan teologis yang sama dengan yang
dipercayai oleh bapa-bapa gereja. Mengenai
hal ini, Oden mengatakan:
The weighting of references may be compared
to a pyramid of sources with Scripture as the
foundational base, then the early Christian
writers, first pre-Nicene then post-Nicene, as
the supporting mass or trunk, then the best
of medieval followed by centrist Reformation
writers at the narrowing center, and more
recent interpreters at the smaller, tapering
apex, but only those who grasp and express
the anteceding mind of the believing historic
Church.
11
Bagi Oden, Alkitab jelas menjadi dasar yang
fondasional. Namun, tulisan patristik yang
mengacu kepada pengajaran rasuli adalah
kekayaan teologis yang seharusnya menjadi
rujukan dan pemersatu berbagai pemikiran
teologis yang ada.12 Inilah pola yang terus
berulang dalam tulisan-tulisan teologis Oden.
Pola ini terlihat paling tidak dalam tiga aspek
besar tulisannya, yaitu sistematika,13 biblika,14
dan pastoral.15 Dalam hal teologi sistematika, Oden memulainya dengan menunjukkan bahwa tugas utama dari teologi bukanlah demonstrasi logika atau pun proklamasi
normatif dari kebenaran Kristen, melainkan
sebuah “clarification of faith’s understanding
of itself and its ground.”16 Klarifikasi ini adalah tugas rasional teologi yang tidak dapat
dilepaskan dari aspek iman. Oden tidak
mendikotomikan antara iman dan rasio.
Aspek iman yang dipelihara dalam teologi
bukanlah sebuah pengorbanan intelektual.17
Sebaliknya, mengikuti jejak Anselmus, baginya teologi harus merupakan “fides quaerens
intellectum.”18 Bagi Oden, harmoni imanrasio dalam teologi bukanlah penemuan baru,
tetapi warisan dari teologi patristik.19
Hal lain yang menarik perhatian dalam sistematika Oden ialah bahwa teologi haruslah
dilakukan dalam konteks komunitas sejarah
Kristen, bukan individu.20 Oden menyatakan
maksudnya demikian:
Classic Christian thinking can be grasped by
contemporary critical minds – even those who
may resist fiercely at first – especially if they
can learn to think historically with a community, rather than individualistically. Only
when each one hears his or her own individual experience illuminated by the wisdom of
the historical Christian communities it then
possible to contribute that illuminated personal experience back to the community.21
Bagi Oden, teologi bukanlah sekadar sebuah
refleksi iman yang bersifat pribadi, betapapun
inovatifnya. Teologi harus kembali kepada
konteks komunitas sejarah Kristen yang menjadi “pagar dialektika teologis.”22 Karena
“God has left a trail of language behind a stormy
path of historical activities,”23 tugas teologi
ialah menyuarakan kembali “bahasa” tersebut
dalam gema yang sama sebagaimana pertama
kali “bahasa” itu diperdengarkan. Ini yang
Oden lakukan dalam teologi sistematikanya.
Dalam ranah biblika, semangat kembali
kepada tulisan patristik Oden tunjukkan
dalam banyak tulisannya, salah satunya dalam
artikel “Without Excuse: Classic Christian
Exegesis of General Revelation.” Berpijak
pada metode eksegesis patristik, Oden meneliti Roma 1:18-22 tentang wahyu umum. Kontribusi Oden dalam tulisan ini terlihat dalam
dua hal: pertama, Oden menunjukkan bahwa
konsep wahyu umum bukanlah temuan Luther dan Calvin, melainkan konsep yang lahir
dari konsensus tulisan patristik;24 kedua,
Oden menunjukkan bahwa metode penafsiran patristik dapat digunakan untuk menyatukan berbagai pandangan yang berbeda tentang isu teologis tertentu, dalam hal ini wahyu
umum.25
Usaha yang lebih komprehensif untuk kembali kepada tulisan patristik Oden lakukan
dengan mengedit Ancient Christian Commentary on Scripture (ACCS). Salah satu keunikan ACCS ialah bagaimana teks PL dibaca
dengan konsepsi teologis PB. Misalnya,
dalam bagian overview Kejadian, ACCS tanpa
ragu langsung menyajikan pandangan Agustinus, Origen, dan Chrysostom tentang Kejadian 1:1 yang mengatakan bahwa “God created heaven and earth through the Word, since
‘in the beginning was the Word’ (Augustine).
God made heaven and earth in the beginning,
not in the beginning of time but in Christ (Origen, Chrysostom, Augustine).”26 Suara patristik bergema di sepanjang tafsiran ini. Oden
mengakui,
The Ancient Christian Commentary on Scripture has three goals: the renewal of Christian
preaching based on classical Christian exegesis, the intensified study of Scripture by
lay persons who wish to think with the early
church about the canonical text, and the
stimulation of Christian historical, biblical,
theological and pastoral scholarship toward
further inquiry into the scriptural interpretations of the ancient Christian writers.
27
Kerinduan utama Oden ialah bahwa pemahaman patristik tentang Alkitab akan mewarnai mimbar gereja, refleksi pribadi, dan studi
kesarjanaan yang menyuarakan kebenaran
komunitas awal para penafsir Alkitab.
Usaha untuk kembali kepada tulisan patristik juga tampak dalam ranah pastoral. Bagi
Oden, prinsip-prinsip pastoral harus kembali
kepada prinsip-prinsip yang diletakkan oleh
tulisan patristik. Pada tahun 1984, Oden
menulis Care of Souls in the Classic Tradition.
Tulisan ini berusaha menunjukkan integrasi,
bukan hanya antara teologi dan psikologi,
tetapi antara teologi pastoral dengan teologi
patristik. Oden melakukan ini karena “pastoral care has often been practiced in our time
with narrow unhistorical, or even anti-historical assumption and prejudices.”28 Yang Oden
maksudkan dengan “unhistorical” dan “antihistorical” ialah bahwa sering kali teologi pastoral (dan juga pendekatan integrasi antara
teologi dan psikologi) dilakukan tanpa mempertimbangkan suara patristik dalam sejarah
gereja.29 Pendekatan yang umumnya mendominasi ialah dari perspektif modern, bahkan
perspektif modern yang non-Kristen, misalnya “Sigmund Freud, Fritz Perls, Carl Rogers,
Eric Berne, et al.”30 Dengan tegas Oden
mengatakan bahwa sudah saatnya gereja
mendengarkan suara patristik dalam ranah
pastora
Tiga tahun kemudian, 1987, Oden menulis
buku panduan teologi pastoral yang lebih
komprehensif berjudul Classical Pastoral Care
setebal empat volume. Oden menegaskan
perspektifnya demikian:
Classical pastoral care is pastoral care as
understood, practiced and set forth by key
writers of the Christian tradition. That is
classical which is versed in classics. Classics
are the works of highest rank and quality in
a field of study, whose worth has been recognized over a long period of time.
32
Teologi pastoral klasik adalah teologi pastoral yang berpijak pada warisan sejarah kekristenan mula-mula, yang Oden nilai sebagai
“the works of highest rank and quality” dan
“gem-like quality.”33 Di dalamnya, Oden
menyoroti konsep menjadi seorang gembala,
pelayanan melalui firman dan sakramen, konseling pastoral, dan berbagai pelayanan krisis;
seluruhnya dari perspektif patristik. Melaluinya, Oden mengajak para gembala dan teolog untuk meredefinisi teologi pastoral dalam
konteks patristik sebagai bagian dari komunitas sejarah Kristen.34
Bagi Oden, semangat kembali kepada tulisan
patristik bukan hanya harus dilakukan dalam
lingkup praktisi, tetapi juga lingkup akademisi
pastoral. Pada tahun 1992, Oden menembus
lingkaran akademis Journal of Psychology and
Theology melalui artikel “The Historic Pastoral Care Tradition: A Resource for Christian
Psychologists.” Lagi-lagi Oden menyuarakan
hal yang sama, yaitu kembali kepada tulisan
patristik. Ia mengingatkan,
Melalui tulisan ini, Oden mengajak para akademisi pastoral, psikiater, dan psikolog Kristen untuk menyadari bahwa apa yang disebut
sebagai keterampilan psikologis pada masa
kini sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh
hari oleh para bapa gereja. Hikmat patristik
seharusnya menjadi salah satu sumber utama
dalam teologi pastoral yang sehat.
Berakar pada Warisan Sejarah Kekristenan
Afrika Awal
Metode berteologi kedua yang Oden tunjukkan dalam banyak tulisannya ialah kesadaran
bahwa kekristenan masa kini memiliki warisan
sejarah yang berakar pada kekristenan Afrika
awal. Kekristenan umumnya identik dengan
agama dan teologi yang berasal dari Barat.36
Oden tidak sependapat dengan hal ini. Ia
mengamati bahwa kekristenan memiliki
warisan sejarah yang jauh sebelum kekristenan muncul di Eropa atau pun Amerika.37
Oden mengajak para peneliti teologi untuk
mengarahkan pandangan ke benua Afrika
awal.38 Yang Oden maksud dengan “Afrika”
di sini berbeda dengan konsep Afrika masa
kini.39 Afrika awal menurut penelitian Oden
meliputi area yang jauh lebih luas daripada
yang ada sekarang ini.40 Kekristenan Afrika
awal meliputi,
Pada milenium pertama, kekristenan bertumbuh di bagian utara Afrika dan mulai tersebar
ke bagian selatan pada milenium berikutnya.
Yang Oden maksudkan dengan milenium
pertama ialah sejarah kekristenan yang dimulai sejak kelahiran Yesus Kristus.
Injil Matius mencatat bahwa Yusuf, Maria,
dan bayi Yesus pernah mengungsi ke Mesir
(Mat. 2:13-15). Karena Mesir merupakan bagian dari Afrika, Oden melihat hal
ini sebagai titik awal sejarah kekristenan di
Afrika. Sejarah kekristenan Afrika berlanjut
pada peristiwa Pentakosta di mana Diaspora
Yahudi berkumpul di Yerusalem dan mengalami pertobatan melalui khotbah Petrus (bdk.
Kis. 2:9-10). Beberapa dari mereka berasal
dari Afrika.42 Kemudian, catatan sejarah
Lukas menunjukkan pertobatan sida-sida
dari Etiopia (Kis. 8:26-40). Menimbang Etiopia adalah bagian dari Afrika, Oden menilai hal ini merupakan bagian dari kekristenan
awal di sana. Tradisi Libya, menurut Oden,
menyaksikan bahwa Markus mati sebagai
martir di Aleksandria, Mesir.43 Kemudian
Eusebius menempatkan Annianus sebagai
penerus Markus di Aleksandria.44
Sejarah kekristenan mula-mula juga menceritakan bagaimana kekristenan berkembang
pesat di Afrika dengan kemunculan tokohtokoh Kristen terkemuka seperti Tertulianus (dari Kartago, Tunisia), Klemens (dari
Aleksandria), Cyprianus (dari Kartago), Origenes (dididik dalam sekolah katekisasi di
Aleksandria), Athanasius (dari Aleksandria),45 dan tentu saja, Agustinus (dari Tagaste,
Algeria).46 Menurut Oden, nama-nama ini
hanyalah sekelumit contoh tentang betapa
kayanya warisan iman dan teologi kekristenan
di Afrika awal.47 Melupakan warisan iman
Afrika sama saja dengan melupakan darah
martir yang tertumpah demi benih Injil tetap
tumbuh subur sampai saat ini.48
Lantas apa faedah dari berbagai penelitian
ini? Oden melihat minimal ada empat: pertama, teologi Kristen tidak bisa lagi hanya
dilihat dari perspektif Barat (dengan warisan
skolastiksisme yang begitu kuat). Sebaliknya, teologi Kristen juga harus dilihat dari
perspektif Afrika, yaitu bagaimana teologi
lahir, tumbuh, dan berkembang di sana.
Oden melihat ini nantinya juga berdampak
pada studi sejarah gereja;49 kedua, warisan
iman Kristen mula-mula ini harus diceritakan
kepada setiap anak Afrika sebagai “birthright”
mereka;50 ketiga, tantangan penelitian lebih
lanjut terbuka bagi para peneliti teologi, khususnya para teolog Afrika, untuk mengkultivasi kekayaan warisan iman yang selama ini
terabaikan;51 dan keempat, penyingkapan sejarah ini memberikan kesempatan untuk komunitas Muslim dan Kristen berdialog dalam
konteks warisan iman mereka di Afrika.52
Bermuara kepada Penggembalaan
Bagi Oden, teologi tidak pernah boleh berhenti pada dirinya sendiri. Teologi harus
selalu melayani kebutuhan gereja, yaitu
bermuara kepada penggembalaan. Inilah
metode berteologi Oden yang ketiga. Yang
Oden maksud dengan “penggembalaan” ialah
kebutuhan untuk mengajar, mendidik, dan
membimbing komunitas Kristen mengenai
dasar-dasar iman Kristen yang benar.53 Poin
ini tampak jelas paling tidak dalam dua hal:
pertama, bagi Oden, teologi adalah untuk pastor; kedua, teologi harus terintegrasi dengan
praktik pastoral.
Pertama, berkaitan dengan teologi adalah
untuk pastor, Oden menyatakan
Menarik sekali bahwa Oden menulis sistematika teologinya bukan sekadar untuk pastor,
tetapi untuk working pastor.55 Ini menjelaskan
fokus dari metode berteologi Oden. Baginya,
teologi bukanlah untuk konsumsi kaum elit
cendekiawan Kristen. Teologi harus mendarat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran
ia menulisnya untuk working pastor. Selain
itu, menurut Oden, teologi juga adalah untuk
mempersiapkan calon katekumen, yaitu
mereka yang akan dibaptis atau menjalani
sidi. Oden tidak melihat teologi sekadar diskusi teologis rasional yang memuaskan logika,
tetapi ia mengerucutkannya pada fungsi pengajaran dan penggembalaan jemaat. Singkatnya, ia tidak berteologi di “menara gading.”
Kedua, kepedulian yang besar untuk mengintegrasikan teologi dan praktik pastoral amat
kentara dalam berbagai tulisan Oden. Ini
didorong oleh keprihatinan Oden akan teologi pastoral modern yang menurutnya telah
“keluar jalur” dari teologi yang ortodoks.
Suara Oden tajam mengenai hal ini:
Just as the biblical area has been taken captive by reductionist historical methodologies,
as many church and society issues have been
taken captive by various reductionist sociological methods, as too much systematic theology has become captive to one after another
emergent or passing philosophical method,
so pastoral care has become almost irretrievably captive and embarrassingly indebted
to reductionistic psychological and psychotherapeutic methods. Often these methods,
if taken consistently, would rule out the fundament of Christian pastoral care: that God
cares for humanity in Jesus Christ.56
Seperti layaknya biblika, teologi pastoral
modern sedang berada di bawah bayangbayang prasuposisi psikologi dan psikoterapi
modern yang jauh dari kebenaran Alkitab.
Bagi Oden, tidak bisa tidak, teologi pastoral
harus kembali kepada sistematika yang sehat.
Dengan tegas ia menyatakan bahwa “the reintegration of pastoral care into the theological
curriculum depends upon the rediscovery of an
integrated method of theological study grounded
in the classical pastoral writers.”57 Ini berarti
sistematika tidak boleh berdiri untuk dirinya
sendiri. Sebaliknya, sistematika harus melayani pastoral. Itulah teladan para teolog patristik. Itulah juga yang Oden lakukan.
Analisis Teologis Metode Berteologi
Thomas C. Doen
Apa yang Oden lakukan dalam metode berteologinya—kembali kepada tulisan patristik, berakar pada warisan sejarah kekristenan
Afrika awal, dan bermuara pada penggembalaan—menarik perhatian banyak pihak.
Oden sendiri mengakui,
My colleagues think me a little odd. They see
me to some degree as nostalgic, or romanticist. The most counter-traditional colleagues
interpret me as a little dangerous because
they hear me talking about orthodoxy and
heresy. They hear me talking about Scripture in its plain sense. And that bothers them
a lot because they had been assured that all
that talk belonged to a bygone period.58
Walaupun dinilai aneh, bahkan berbahaya,
Oden tetap “menancap” bahkan lebih dalam
lagi pada kekayaan ortodoksi tulisan patristik. Terlepas dari komitmen Oden yang kuat
terhadap warisan patristik, metode berteologinya perlu mendapatkan analisis yang
proporsional.
Kembali kepada Tulisan Patristik
Adalah Cornelius Plantinga, Jr., profesor
teologi sistematika di Calvin Theological
Seminary, yang pertama kali menanggapi
tulisan Oden dengan serius. Dalam “Response to Thomas C. Oden, ‘The Long Journey Home’,”59 Plantinga mengapresiasi usaha
Oden untuk kembali kepada akar ortodoksi
iman Kristen yang selama ini sering ditinggalkan oleh para teolog modern.60 Plantinga
melihat Oden seperti “anak yang hilang”
namun kini telah kembali ke rumah di mana
Oden seharusnya berada. Bagi Plantinga, “it
is a pleasure to respond to Tom’s Oden long
journey home. Once upon a time Tom wasted
his substance in riotous thinking in a far country, but he found no soul food there. So Tom has
come back where he always belonged.”61 Plantinga menyambut hangat niat baik Oden yang
bukan hanya kembali kepada ortodoksi, tetapi
juga ortodoksi patristik. Selain itu, Plantinga menilai bahwa apa yang Oden lakukan
menelanjangi kegagalan yang sering kali dilakukan oleh teolog Injili, yaitu kehausan akan
inovasi teologi sampai-sampai mengorbankan
semangat ekumenikal dialogis yang mempersatukan.63 Plantinga menyoroti demikian:
Tom’s theology aims to be irenic and consensually ecumenical, and on both these
scores it strikes me as remarkably successful. Theologically, we Christians have been
in the habit of defining and defending ourselves as different from other Christians. . . .
Tom’s Oden theology is in exactly this respect
centrist Christian theology: irenic, massively
traditional, ecumenically attractive, and spiritually vital.
Bagi Plantinga, Oden berhasil untuk tidak
menciptakan sebuah teologi baru, tetapi
hanya menyuarakan kekayaan yang selama
ini tersimpan dalam sejarah gereja awal,
yang ia sebut sebagai “irenic.”65 Plantinga
juga memuji usaha Oden yang mendorong
adanya kesatuan dalam keberbedaan teologi
dengan cara kembali kepada tulisan patristik.66 Menurutnya, ini adalah poin yang baik.
Apresiasi yang sama juga diberikan oleh
Daniel B. Clendenin, asisten profesor Alkitab
dan teologi di William Tyndale College dalam
artikelnya berjudul “Learning to Listen: Thomas C. Oden on Postcritical Orthodoxy.”
Clendenin menilai usaha Oden yang membawa teologi kembali kepada tulisan patristik
adalah sebuah reformasi dari jerat modernisme. Ia menyatakan maksudnya bahwa,
“Thomas Oden . . . prescribed a reformation in
the direction of antiquity, a postmodern return
to ancient orthodoxy that would leapfrog the
recent past of modernity in favor of a normative
patristic era.” Tulisan patristik ibarat “resep
kuno” yang diharapkan dapat menyembuhkan penyakit teologi karena “virus modernisme.” Namun tidak semua teolog setuju
sepenuhnya dengan metode ini.
bahwa dewasa ini terjadi
pergerakan minat teologi Injili kepada berbagai tulisan patristik, khususnya dalam konteks
penafsiran Alkitab dan formulasi teologi.
Ia menyambut semangat ini dengan positif.
Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan
mata tertutup, artinya tidak kritis sama
sekali. Fairbairn memperingatkan bahwa
tulisan patristik tidak selalu memiliki kesepakatan dalam diri mereka sendiri.Ambil
contoh perikop 1 Samuel 28 mengenai Saul
di En-Dor. Fairbairn mengamati bahwa Origen menafsirkan ini secara literal historis,75
sedangkan Eustathius memaknainya secara
alegoris.76 Keduanya adalah tulisan patristik.
Jika Oden mengatakan untuk kembali kepada
tulisan patristik. Pertanyaannya ialah “tulisan
patristik yang mana?” Penulis sependapat
dengan Fairbairn, ini adalah salah satu masalah bagi metode yang Oden tawarkan.
Masalah yang lain ialah kentalnya muatan filsafat Yunani dalam tulisan patristik. Misalnya
pengajaran Origen, khususnya tentang praeksitensi jiwa, sering kali dikaitkan dengan
konsep filsafat platonisme. Cyril Wohrer
mengamati hal ini demikian:
While various scholars disagree on extent
to which Origen embraces the Platonic
idea of the pre-existence of the soul, he certainly entertains it. In First Principles, he
acknowledges the plausible existence of several successive worlds in which souls who
have not achieved the required purification
in the present world (as well as those who
can potentially “fall” from a state of beatitude) can enter into a physical body.
Memang tidak semua pengajaran Origen berkaitan dengan platonisme. Namun konsepnya
tentang pra-eksistensi jiwa dalam beberapa
dunia yang berbeda, sedikit banyak merefleksikan ide platonisme tentang pra-eksistensi jiwa.78 Hal yang sama juga diamati oleh
Ilaria L.E. Ramelli. Menyoroti keterkaitan
teologi patristik dan filsafat Yunani, ia bahkan menyimpulkan bahwa “patristic thinkers
assimilated Greek philosophy not only for apologetic purposes, but also at the theoretical level;
not only on the formal plane . . . but clear traces
of a substantial co-determination of the theological object.”79 Ramelli menyoroti bahwa
konsepsi teologis patristik tidak pernah dapat
dilepaskan dari filsafat Yunani.80 Bahkan, di
atas filsafat Yunani itulah seluruh teologi patristik dibangun.81
Inilah yang juga dikhawatirkan oleh Plantinga. Plantinga menilai Oden kurang peka
dan kritis dalam mengamati hal ini. Terlepas dari semangat Oden yang positif, Plantinga menilai bahwa “I think it doubtful that
we must accept the patristic consensus without
question.” Sependapat dengan Ramelli,
ia mengatakan bahwa “after all, the Church
fathers and mothers knew not only Bible but
also philosophy and in particular areas, did not
hesitate to shape theories accordingly.”83 Plantinga menasihati bahwa sikap yang baik ialah,
“we receive the classical consensus with deep
respect and hospitality, but also with a proper
Biblical and scholarly reserve.” Dalam hal
ini, penulis sependapat dengan Plantinga.
Metode Oden yang pertama ini memang berpotensi positif untuk membawa arah teologi
kepada ortodoksi dan semangat ekumenikal
patristik. Namun, teologi patristik juga bukan
tanpa masalah karena adanya perbedaan pandangan dan muatan pengaruh filsafat Yunani.
Berakar pada Warisan Sejarah Kekristenan
Afrika Awal
Metode Oden yang kedua menuai lebih
banyak pujian alih-alih kritikan. J. Scott Horrell, dari Dallas Theological Seminary, mengatakan bahwa dengan menunjukkan warisan
sejarah kekristenan Afrika awal, Oden berhasil menunjukkan kontribusi kekristenan Afrika. Penemuan ini juga membelalakkan mata
dunia, khususnya dunia Barat, untuk mengakui warisan kekayaan Afrika, bukan hanya
secara teologis tetapi juga intelektual. Horrell
mengingatkan bahwa “it is easily forgotten that
Alexandria was once the intellectual center of
the world and a major location for both Jewish
and Christian populations.”86 Apresiasi serupa
juga datang dari Jehu J. Hanciles, profesor
sejarah misi dan globalisasi pada departemen
studi lintas budaya di Fuller Theological Seminary. Hanciles mengatakan bahwa “by the
end of the twentieth century, as all now recognize, dramatic shifts within global Christianity
saw Africa emerge as a major heartland of the
faith and African Christianity as a prominent
representation of Christianity’s nature and prospects.”87 Dengan menunjukkan akar warisan
sejarah kekristenan di Afrika, Oden berhasil menarik perhatian dunia kepada Afrika,
bukan hanya sebagai jati diri awal, tetapi juga
sebagai masa depan kekristenan.
Terlepas dari apresiasi yang diterima, metode
Oden ini mendapatkan sorotan negatif dari
Andrew E. Barnes yang mengatakan bahwa
metode Oden ini memiliki dua kelemahan
yang besar.89 Pertama, Oden kurang menyajikan bukti-bukti historis dalam penggunaan
metodenya ini. Tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan sejarah Afrika hampir tidak
memuat catatan kaki. Barnes melihat hal ini
agak bermasalah bagi penelitian kesarjanaan.91 Kedua, Barnes menilai metode Oden
ini lemah bagi dialog Muslim-Kristen karena
mayoritas penduduk Afrika adalah Muslim
saat ini.92 Barnes tidak terlalu melihat faedah
yang dapat dipetik dari dialog yang “tidak
setara ini.”93 Apa yang Barnes katakan ada
benarnya, tetapi hal itu tidak meniadakan
kontribusi Oden dalam lingkup kesarjanaan.
Lagi pula, sumber pustaka yang Oden sajikan
cukup memadai sebagai penelitian akademis.
Bermuara kepada Penggembalaan
Mengenai metode yang ketiga, Oden melakukan apa yang John Calvin pernah lakukan
dalam tujuan penulisan Institutio-nya. Calvin
mengatakan:
My intention was only to furnish a kind of
rudiments, by which those who feel some
interest in religion might be trained to true
godliness. And I toiled at the task chiefly
for the sake of my countrymen the French,
multitudes of whom I perceived to be hungering and thirsting after Christ.
Tujuan Calvin menuangkan pemikiran teologisnya semata-mata ialah untuk penggembalaan, yaitu mengajarkan firman demi memuaskan mereka yang lapar dan haus akan
kebenaran Kristus. Clendenin menyatakan
bahwa Oden berhasil menangkap semangat
yang mulia ini.95 Itulah sebabnya Oden menuliskan proposisi-proposisi teologisnya untuk
tujuan pastoral.
Sepakat dengan Clendenin, penulis menimbang ini adalah hal yang sangat baik karena
dengan demikian Oden tidak membuat dikotomi pastor-theologian.
96 Sebaliknya, Oden
mengharmoniskannya dalam satu nada panggilan ilahi dalam metode berteologinya ini.
Penulis juga sepakat dengan Plantinga yang
menyoroti bahwa metode Oden ini menunjukkan attitude yang tepat dalam berteologi,
yaitu kerinduan untuk membawa jemaat pada kekudusan hidup.98 Sebuah attitude yang
langka ditemukan dalam konteks kesarjanaan
teologi abad ini.