• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label narasi khalil gibran soal yesus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label narasi khalil gibran soal yesus. Tampilkan semua postingan

narasi khalil gibran soal yesus

 


Maria Magdalena: Saat Pertama Berjumpa Dengan Yesus” merupakan 

satu dari sekian banyak narasi apik Khalil Gibran yang terinspirasi secara 

langsung dari kisah-kisah di sekitar kehidupan Yesus. Ketajaman imajinasi 

Gibran memungkinkannya memasuki dunia tokoh-tokoh yang dikisahkan 

Injil dari sudut pandang baru yang jarang dibayangkan orang. Imajinasi ini 

memainkan peranan penting dalam cara Gibran menuangkan gagasan￾gagasan uniknya tentang kehidupan, baik lewat puisi maupun narasi. Untuk 

itu, artikel ini bertujuan melakukan analisis seni, spiritualitas, dan teologi, 

terhadap cara Gibran ‘menghidupkan’ tokoh Maria Magdalena yang 

‘menceritakan’ kisah perjumpaannya dengan Yesus. Lewat narasi ini, 

Gibran mengkomunikasikan salah satu tema penting dalam Injil, yaitu 

cinta, dari sudut pandang seorang perempuan yang pernah berjumpa 

dengan Yesus.Narasi “Maria Magdalena: Saat 

Pertama Berjumpa Dengan Yesus”

1

merupakan salah satu narasi Kahlil2

Gibran dalam bukunya Jesus The Son of 

Man (Yesus Anak Manusia). Narasi ini 

merupakan karya imajinatif Gibran tentang 

kisah perjumpaan Maria Magdalena 

dengan Yesus, kisah yang sama sekali 

tidak akan ditemukan dalam tulisan-tulisan 

Injil, tetapi memanfaatkan tokoh, data-data 

dan keterangan yang dimuat dalam Injil. 

Saat pertama kali berkenalan dengan 

karya-karya Gibran, saya begitu terkesan 

karena buah pena Gibran seolah punya 

daya sihir tersendiri. Kehebatan imajinasi

Gibran serta kekuatan diksinya membuat 

karya yang ia hasilkan mampu 

mengkomunikasikan pesan tertentu dengan 

indahnya. Narasi-narasi Gibran dalam 

buku ini memberi gambaran yang lebih riil 

sekaligus misterius terhadap sosok Yesus. 

Itu sebabnya saya mengangkat salah satu 

narasi Gibran ini untuk mencari tahu 

makna terdalam di baliknya dengan 

menganalisis dari aspek seni, spiritualitas 

dan teologi. Khalil Gibran, Hidup dan Karyanya

a. Sekilas tentang Khalil Gibran

Khalil Gibran atau lengkapnya 

Gibran Khalil Gibran bin Mikhail bin Saad 

lahir tanggal 6 Januari 1883 di kota 

Bsherri, Lebanon.3 Daerah Lebanon Utara 

adalah daerah pegunungan dengan 

pemandangan alam yang sangat indah.

Semenjak kecil, Gibran sangat suka 

mengamati air terjun bertingkat, tebing￾tebing dan pohon-pohon Cedar. Simbol￾simbol alam inilah yang menjadi sumber 

inspirasi dan kerap muncul dalam lukisan 

dan tulisan-tulisannya. Gibran adalah cucu 

seorang pendeta Kristen Maronite (suatu 

aliran agama Kristen di Lebanon). Karena 

berasal dari keluarga religius, pendidikan 

yang diterima Gibran hanya tentang 

Alkitab (Injil) bersamaan dengan pelajaran 

Bahasa Siria dan Arab. Pendidikan ini ia 

dapatkan dari seorang pastor yang secara 

rutin mengunjungi desanya. Untuk 

membuka wawasan Gibran, sang pastor 

mengajari dia membaca dan dan menulis, 

yang perlahan- lahan membuka pemikiran 

Gibran akan sejarah, ilmu pengetahuan, 

dan bahasa. Di usia 8 tahun, ayah Gibran 

dituduh melakukan penggelapan pajak. 

Maka ayah Gibran ditangkap, seluruh harta dan kekayaannya pun turut disita negara.

Akibatnya, Gibran dan keluarganya 

menjadi tunawisma. 

Ibu Gibran memutuskan untuk 

pindah ke Amerika mencari kehidupan 

yang lebih baik, mengikuti paman Gibran 

yang sudah lebih dulu pindah ke sana. 

Gibran dan keluarganya berlayar ke New 

York pada tanggal 25 Juni 1895. Mereka

tinggal di daerah Boston Selatan, yang 

waktu itu merupakan daerah komunitas 

Siria di Amerika.4 Saat sekolah, Gibran 

sangat antusias dengan sketsa dan lukisan 

seorang gurunya – sebuah hobi yang sudah 

ia sukai semenjak masa kecilnya di 

Lebanon. Rasa ingin tahu Gibran yang 

besar akan seni, membuat dia mulai 

memasuki daerah budaya di Boston, yang 

begitu memukau dia dengan keramaian 

dunia teater, opera, dan galeri seni. 

Dengan inspirasi seninya yang luar biasa 

dan lewat lukisan-lukisannya yang artistik, 

Gibran mendapatkan perhatian dari guru￾gurunya di sekolah. Mereka lalu 

menghubungi Fred Holland Day, seorang 

seniman dan pencari bakat waktu itu. Fred 

Hollan Day inilah yang membuka jalan 

bagi Gibran menuju cita-citanya: filosofis, 

novelis, sastrawan, dan pujangga. 

Karya-karya Gibran sangat 

mempengaruhi kebudayaan modern Amerika hingga tahun 1960-an. Tahun 

1912 ia pindah ke New York, tempat di

mana dia mengabdikan diri pada karya 

tulis dan lukisan. Karya-karya awal Gibran 

kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab, 

nanti pada tahun 1918 dia mulai menulis 

karya-karyanya dalam bahasa Inggris. 

Salah satu karya terbesarnya yang cukup 

terkenal ialah The Prophet (Sang nabi), 

sebuah buku yang berisi 26 esai puisi yang 

sudah diterjemahkan dalam lebih dari 20 

bahasa. Buku Jesus The Son of Man 

merupakan karya terakhir Gibran sebelum 

wafat di New York pada tanggal 10 April 

1931, akibat penyakit liver dan TBC, dan 

sesuai permintaannya, ia dimakamkan di 

Lebanon. Tak heran bila karyanya begitu 

agung dan indah, karena ia lahir di negara 

yang indah, negara dengan pesona alam 

memukau yang banyak dijadikan metafor 

dalam karya-karyanya.

b. Pokok-pokok Pemikiran Kahlil Gibran

❖ Yesus

Kahlil Gibran sangat mengagumi 

Yesus dan ajaran-ajaran-Nya. Tokoh 

Yesus yang sejak kecil sangat akrab dalam 

bacaan Injil yang menjadi pelajaran 

wajibnya, diakui Gibran sebagai sumber 

inspirasi dari karya-karya-Nya. Lahir dan 

besar dalam keluarga Kristen yang taat 

memang tidak serta merta membuat 

Gibran menjadi seorang Kristen, tetapi 

pengaruh Yesus dalam karya-karya-Nya tak dapat dipungkiri. Buku Jesus The Son 

of Man merupakan wujud apresiasinya 

terhadap Sosok bersahaja dari Nazareth 

tersebut. Bagi Gibran, Yesus adalah 

kepribadian yang paling nyata dalam 

sejarah manusia, seorang manusia yang 

punya kekuatan dan kemauan, seorang 

manusia yang murah hati dan berbelas 

kasih.5

Di tengah perdebatan gereja pada 

masa itu yang lebih menekankan sisi 

keilahian Yesus, Gibran menampilkan 

sosok Yesus sebagai seorang manusia 

sejati, tetapi berbeda dari manusia pada 

umumnya. Rekonstruksi imajinatif Gibran

dilaksanakan dengan tujuan menantang 

pandangan satu-dimensi di kalangan teolog 

Barat tentang Kristus, dan sebagai ganti 

hanya membicarakan sifat suci-Nya saja, 

Gibran berusaha menggali aspek-aspek 

kemanusiaan Kristus.6

Itu sebabnya, 

Gibran tidak pernah menyebut Yesus 

dengan sebutan Kristus, melainkan Yesus 

dari Nazareth. Kehidupan yang dijalani 

Yesus sebagaimana diceritakan dalam Injil 

menginspirasi Gibran untuk memberikan 

suatu bentuk penghargaan yang berbeda 

dengan menuliskan 79 narasi dari tokoh￾tokoh riil maupun fiktif.

Tema tentang perempuan secara 

umum dapat ditemui dalam sebagian besar 

karya Gibran. Kisah cintanya dengan 

beberapa orang perempuan dalam 

hidupnya menanamkan sebuah rasa 

penghargaan yang tinggi terhadap kaum 

perempuan. Kepada Mary Haskell, salah 

seorang perempuan yang hampir 

dinikahinya, ia mengungkapkan bahwa 

perempuan mempunyai pikiran yang lebih 

mendalam yang menjadi miliknya sendiri, 

yaitu intuisi.7 Perempuan lebih ramah, 

lebih peka, lebih stabil dan punya rasa 

lebih halus terhadap banyak hal dari 

kehidupan. 

Selain kisah cintanya dan sebagian 

besar hidupnya yang tak lepas dari peran 

beberapa perempuan, penghargaan dan 

rasa hormat Gibran terhadap perempuan 

didasarkan juga pada pengalamannya 

menyaksikan perempuan di Timur dan 

Barat direndahkan secara tidak manusiawi. 

Penghargaan pada aspek feminin yang 

nampak dalam narasi terakhir dari buku 

Jesus The Son of Man, mempengaruhi 

konsepnya sendiri tentang Tuhan sebagai 

“ayah sekaligus ibu”, Tuhan-Ayah dicapai 

lewat intelek dan Tuhan-Ibu dicapai 

melalui hati – hanya melalui cinta.8 Buku 

Jesus The Son of Man menggunakan banyak tokoh perempuan, termasuk Maria 

Magdalena. Yesus dalam buku ini 

digambarkan Gibran sebagai Yesus yang 

punya banyak sahabat perempuan dalam 

persahabatan yang manis.

❖ Cinta

Cinta agape dalam Perjanjian Baru 

mendapat pengakuan yang besar dalam 

karya-karya Gibran dengan tema cinta. 

Bagi Gibran, agape lebih utama daripada 

dorongan-dorongan erotis.9

Ia memahami 

agape sebagai cinta spiritual, sebuah 

fenomena alamiah dan universal yang 

berkaitan dengan semua kredo. Karena itu, 

menurutnya, orang tidak perlu menjadi 

Kristen untuk dapat mempraktekkan 

agape. Agape adalah esensi eksistensial 

manusia yang sesungguhnya.10 Itu 

sebabnya dalam novel The Broken Wings, 

Gibran menyebut cinta sebagai ‘hukum 

alam’. Dunia dibimbing oleh prinsip cinta. 

Cinta melahirkan, memproduksi bahkan 

kadang-kadang merusak kehidupan, 

namun senantiasa memelihara dunia dalam 

keabadian.11 Baginya, manusia maupun 

makhluk yang lain berasal dari sumber 

yang sama, yakni Cinta Tuhan.12

Gambaran cinta dalam diri Yesus 

yang dihayati oleh Gibran adalah cinta sejati, cinta yang tidak egois, yang 

berkorban untuk kebahagiaan orang yang 

dicintai. Cinta itu universal, melampaui 

ruang dan waktu, lebih kuat daripada 

kematian, mengatasi kebencian, menjamin 

kebebasan dan memberikan rasa sakit yang 

nikmat.13 Tema tentang cinta ini 

merupakan tema yang paling kuat dalam 

karya-karya Gibran. Rasanya semua 

dimensi cinta benar-benar diberi perhatian 

oleh Gibran, diyakini dan dihidupi 

olehnya.

Analisis Narasi “Maria Magdalena: 

Saat Pertama Berjumpa Dengan Yesus”

▪ Seni

Gibran sering meniru gaya Alkitab 

dalam prosanya. Baginya, Alkitab adalah 

sumber inspirasi profetik yang 

memperlihatkan sebuah narasi kehidupan 

manusia yang visioner antara kreasi dan 

wahyu.14 Dari Sebagian besar tokoh dalam 

Yesus Anak Manusia adalah tokoh-tokoh 

dalam Alkitab (Injil) dengan kisah yang 

telah sering didengar tapi diceritakan 

secara baru oleh Gibran. Ia coba 

menampilkan sosok Yesus dari berbagai 

sudut pandang, baik dari tokoh-tokoh yang 

mengagumi Yesus, seperti Maria 

Magdalena dalam narasi ini, maupun 

tokoh-tokoh yang menentang Yesus. Di 

samping tokoh-tokoh riil tersebut, Gibran memakai beberapa tokoh imajinatif 

lainnya, misalnya Anna, yang berperan 

sebagai nenek Yesus dari ibunya, dan 

Siborea, ibu dari Yudas. Namun, meskipun 

menggunakan beberapa tokoh imajinatif, 

Gibran konsisten memakai data-data dan 

keterangan yang riil dalam kaitan dengan 

konteks Yesus. 

Menariknya, Maria Magdalena 

adalah satu-satunya tokoh riil dalam Injil 

yang diangkat sekaligus dalam tiga narasi. 

Pertama dalam narasi ini, “Maria 

Magdalena: Saat Pertama Berjumpa 

dengan Yesus”, kedua dalam narasi “Maria 

Magdalena: Mulut-Nya Laksana Hati 

Delima” dan ketiga dalam narasi “Maria 

Magdalena, 30 Tahun Kemudian: Tentang 

Kebangkitan Roh”. Tidak dijelaskan 

mengapa Gibran mengangkat tokoh 

perempuan ini sebanyak tiga kali secara 

terpisah dalam buku yang sama, tapi 

paling tidak ada dua hal yang mungkin 

melatarbelakanginya, yaitu penghargaan 

Gibran terhadap kaum perempuan dalam 

karya-karyanya dan penekanan Gibran 

pada hubungan ‘khusus’ antara Yesus dan 

Maria Magdalena.

Narasi Maria Magdalena yang 

pertama ini, sebagaimana keseluruhan

narasi dalam buku Yesus Anak Manusia, 

ditulis dari sudut pandang orang pertama 

(‘aku’) sehingga agak mirip dengan cara 

penulisan diary atau buku harian. Dengan 

daya imajinasi yang sangat kuat, Gibran 

menceritakan sosok Yesus dalam 

pandangan dan penilaian Maria Magdalena 

lewat kisah perjumpaan mereka. Meskipun 

narasi ini diberi judul “Saat Pertama 

Berjumpa dengan Yesus”, sesungguhnya 

ada dua pertemuan yang diceritakan 

sekaligus, yakni pertemuan pertama di 

ladang gandum, dengan keterangan waktu 

bulan Juni oleh Gibran, dan pertemuan 

kedua di bawah pohon cemara pada bulan 

Agustus. Keterangan waktu ini beserta 

gaya penuturan Gibran, dengan Maria 

sebagai pencerita, memberikan kesan yang 

hidup dan segar. Tokoh Maria Magdalena 

yang sudah familiar dalam cerita Injil

dikisahkan dengan cara yang berbeda, 

menarik dan mengagumkan. Kepiawaian 

Gibran dalam memilih dan merangkai kata 

dengan kekuatan metafor-metafornya 

benar-benar nampak dalam narasi ini.

Karya seni Gibran, khususnya 

lukisan, selalu mengungkapkan situasi 

kemanusiaan yang konkrit.15 Namun 

dalam puisi-puisi prosanya ia sering 

meminjam metafor-metafor yang cukup 

luas dari alam untuk mengungkapkan 

perasaan atau pikiran manusia. Narasi 

Maria Magdalena ini menunjukkan banyak 

metafor dari alam, seperti dalam kalimat￾kalimat berikut ini: Aku jengah dan menjadi sedingin 

salju” (h. 15), 

“..dan Ia setenang batu”, “Ia 

menatapku, dari mata-Nya yang bagai 

malam..” (h. 16), 

“Tiba-tiba gemuruh suara lautan pun 

ada dalam dua kata-kata itu, bersama 

deru angin dan pepohonan,” “Tetapi 

ketika fajar di mata-Nya menatap 

mataku, semua bintang di malam￾malamku meredup..”, “..seluruh langit

yang ada dalam diriku menyeru-Nya”,

“..dan terik siang di mata-Nya 

menyinariku”, “..dan di musim gugur

dari hari-harimu” (h. 17), 

“..bagai musim-musim memandang 

ladang”, “Ataukah ini badai yang 

sedang menggoncang dasar bumi?”, 

“..tapi di hari itu matahari yang 

tenggelam di mata-Nya telah 

membunuh naga dalam diriku..” (h. 

18).

Gibran menggunakan realitas fisik 

untuk menggambarkan realitas metafisik. 

Metafor-metafor semacam ini 

mempertajam maksud Gibran yang 

sesungguhnya, meskipun bagi pembaca 

awam mungkin menimbulkan 

kebingungan. Namun, tulisan-tulisan 

Gibran memang tidak bermaksud 

mengarahkan orang pada debat 

hermeneutik tertentu. Tulisan-tulisannya 

lebih kepada perpaduan antara keindahan 

dan misteri. Kedalaman seni Gibran hanya 

dapat dihayati dalam rasa seni yang khas 

pula.

Cinta merupakan tema sentral 

dalam narasi ini. Kalimat-kalimat Gibran 

mengandung banyak ungkapan romantis 

seperti dalam kisah-kisah percintaan yang 

lazim, tapi dengan cara yang khas, 

misalnya dalam kalimat-kalimat berikut

ini:

“Aku menatap-Nya dan jiwaku 

bergetar karena Ia begitu elok”, 

“Apakah kesendirianku, atau bau 

harum-Nya yang menarikku menuju 

pada-Nya?” “Apakah mataku yang 

haus akan keelokan, atau keindahan￾Nya yang menerangi mataku?” (h. 16)

Selanjutnya, ungkapan yang sangat 

puitis dan romantis diungkapkan oleh 

Yesus kepada Maria Magdalena dalam 

kalimat yang panjang, yang merupakan 

penghayatan spiritual Gibran terhadap 

cinta Yesus. Di sini, dimensi ilahi Yesus 

dimunculkan dalam penghayatan Gibran 

akan kemanusiaan Yesus.

“Engkau punya banyak kekasih, tapi 

hanya Akulah yang mencintaimu. 

Laki-laki lain mencintai mereka 

sendiri dalam kedekatannya padamu. 

Aku mencintaimu dalam dirimu 

sendiri. Laki-laki lain melihat 

kecantikan dalam dirimu yang cepat 

memudar ketimbang tahun-tahun 

kehidupan mereka sendiri. Tetapi Aku 

melihat kecantikanmu yang tidak akan 

memudar, dan di musim gugur dari 

hari-harimu, kecantikan itu tak akan 

takut berkaca, dan tak dicela. Aku 

mencintai yang tak terlihat dalam 

dirimu.” (h. 17)

Secara terbuka, Gibran 

menggambarkan cinta sebagai sebuah 

realitas konkrit. Maria jatuh hati pada 

Yesus dengan sebuah perasaan yang belum 

pernah dirasakannya kepada laki-laki lain. 

Kekaguman Maria kepada sosok Yesus 

dimunculkan dengan sangat kuat oleh 

Gibran, termasuk upaya Maria untuk menarik perhatian Yesus. Respon Yesus 

atas perasaan Maria ditampilkan secara 

wajar. Yesus tidak menolak cinta Maria 

atau menyalahkan Maria atas perasaan 

cintanya, tetapi jawaban Yesus 

menunjukkan rasa cinta yang jauh lebih 

agung daripada yang diharapkan Maria. 

Rasa cinta yang tidak bisa disetarakan 

dengan cinta seorang laki-laki terhadap 

seorang perempuan, tetapi rasa cinta yang 

penuh penghargaan kepada jiwa manusia 

tanpa sekat laki-laki atau perempuan, rasa 

cinta yang menyeberangi kefanaan dan 

keterbatasan ragawi, “Aku melihat 

kecantikanmu yang tidak akan memudar”. 

Gibran menyajikan gambaran yang utuh 

tentang Yesus sebagai manusia bijak 

sekaligus pecinta bijak, yang tidak 

meninggalkan Maria sebagai perempuan 

yang patah hati, tetapi menyadarkan Maria 

akan cinta yang sesungguhnya.

Meskipun dalam buku ini, Gibran 

hendak menekankan Yesus dalam 

kemanusiaan-Nya yang penuh, tapi sisi 

keilahian manusia dari Nazareth itu tak 

mampu dibendung oleh Gibran dalam 

penggambarannya akan sosok Yesus. 

Reaksi Maria dan kalimat-kalimat 

penilaian Maria terhadap Yesus jelas 

mengungkapkan kebenaran yang tak dapat 

disangkal bahwa manusia dari Nazareth 

yang punya pesona kuat dan daya tarik 

yang besar itu menyimpan sebuah kodrat 

ilahi yang bersemayam di balik 

ketenangan-Nya, sebuah kodrat yang sulit 

digambarkan namun dapat ditangkap 

secara inderawi. Inilah yang disebut 

Eckhart dengan dimensi lain dari Yesus, 

yaitu model yang memberikan kepada kita 

contoh bagaimana menjadi manusia 

sekaligus ilahi, “Humanity and divinity are 

one personal being in the person of 

Christ.”

16 Mata Maria telah melihat 

seorang Laki-laki yang berbeda, Laki-laki 

yang tak hanya bersuara saat berbicara tapi 

juga bersuara saat diam. Maria telah 

melihat bentuk tubuh yang tak hanya elok, 

tapi juga bergerak dalam keagungan yang 

tak terkatakan. Maria telah menatap mata 

seorang Laki-laki yang tak hanya teduh, 

tapi juga memiliki kekuatan. Maka jelaslah 

bahwa Gibran sebenarnya hendak 

mengarahkan kesan pembaca pada sisi 

ilahi Yesus dalam gambaran kemanusiaan￾Nya. 

▪ Spiritualitas

Kekaguman pada sosok Yesus 

telah memberi warna spiritualitas 

tersendiri dalam karya-karya Gibran. 

Spiritualitas Gibran adalah spiritualitas 

yang berpusat pada Yesus dan spiritualitas 

yang berpusat pada Yesus ini adalah 

spiritualitas yang lebih ‘mendarat’, 

spiritualitas yang dibangun di atas dasar kemanusiaan Yesus. Karakter 

kemanusiaan Yesus inilah yang ditekankan 

secara kuat, Dia adalah seorang manusia. 

Tokoh-tokoh yang dipakai Gibran dalam 

buku Yesus Anak Manusia diletakkan 

dalam penghayatan yang konkrit terhadap 

Yesus. Gibran tidak segan-segan 

mengupas semua sisi kemanusiaan Yesus, 

dan dengan demikian menjadikan sebuah 

cerita berbicara secara wajar namun indah 

dan sungguh hidup. Begitu juga dengan 

karakter-karakter tokoh yang dipakai 

Gibran dipaparkan secara manusiawi dan 

apa adanya, dengan perasaan-perasaan, 

emosi dan pemikirannya.

Maria Magdalena dalam narasi ini

digambarkan dalam imajinasi yang jujur 

berkaitan dengan perasaan, ekspresi dan 

respon seorang perempuan terhadap

seorang laki-laki. Gibran memanfaatkan 

keterangan dari Injil tentang Maria 

Magdalena, seorang perempuan sundal 

yang disebut memelihara tujuh setan.17

Lalu imajinasi Gibran berkembang 

secara wajar. Perempuan sundal ini hidup 

sangat layak, punya dayang-dayang, rumah 

dan kebun. Ia punya persediaan dupa 

untuk menyambut tamu dan punya bejana 

perak tempat membasuh kaki orang asing. 

Perempuan sundal ini memiliki paras yang 

cantik sehingga seorang kapten tentara 

Roma pernah memberinya sebuah sandal emas. Ia hidup mewah dengan pakaian 

Damaskus dan wangi-wangian yang 

semerbak. Ia sering bepergian menjelajah

Negeri Utara, melihat patung-patung di 

Antiokhia. Maria digambarkan sebagai 

perempuan cantik yang dikejar banyak 

laki-laki, mapan dan punya segalanya, 

bebas melakukan apapun dan 

keinginannya selalu terpenuhi; hal-hal 

yang sangat mungkin memunculkan 

kebanggaan dan keangkuhan dalam diri 

Maria.

Bulan Juni, perjumpaan pertama 

dengan Yesus menjadi pengalaman yang 

sangat berbeda bagi Maria. Seorang 

perempuan sundal bertemu seorang Laki￾laki yang “irama langkah kaki-Nya 

berbeda dengan manusia lain dan gerakan 

tubuh-Nya belum pernah kulihat pada 

orang lain.” Yesus dihadirkan sebagai 

sosok yang begitu mengagumkan dan 

menarik hati para perempuan, termasuk 

dayang-dayang Maria, “..yang mengangkat 

telunjuk kepada-Nya sambil berbisik malu￾malu.” Pertemuan antara Yesus yang 

mengagumkan dengan Maria yang cantik

seharusnya menjadi sebuah pertemuan 

yang bisa ditebak kelanjutannya. Apalagi

Maria telah jatuh hati pada Yesus sejak

pandangan pertama dan pesona kecantikan 

Maria belum pernah ditolak oleh laki-laki 

manapun.


Tetapi sosok Yesus yang 

mengagumkan tak tertaklukkan oleh 

kecantikan Maria. Maria yang selama ini 

tak pernah ditolak, malah dicari oleh laki￾laki, kini berhadapan dengan ketenangan 

Yesus yang tidak menoleh dan tidak 

memandang bahkan ketika Maria hendak 

menyalami-Nya. Maria gusar dan benci 

dengan sikap Yesus. Keangkuhan 

membuat perasaannya sedingin salju dan 

menggigil.

Gibran kemudian melanjutkan 

getar pertemuan pertama tersebut pada 

waktu yang berbeda. Bulan Agustus, dua 

bulan semenjak pertemuan pertama itu, 

Yesus kembali hadir dalam pandangan 

Maria, duduk di bawah pohon cemara di 

seberang kebunnya. Gambaran Maria 

tentang Yesus yang setenang batu 

menunjukkan bagaimana keangkuhan 

Maria memandang ‘keangkuhan’ Yesus. 

Ternyata Maria tidak menyerah dalam 

kebenciannya terhadap Yesus pada 

pertemuan pertama mereka. Ia masih jatuh 

hati dan Gibran menggambarkannya dalam 

ekspresi yang jujur dan romantis, “..jiwaku 

bergetar karena Ia begitu elok.” 

Kali ini, Maria seperti hendak 

membuktikan sesuatu. Ia ‘mengerahkan’ 

semua kebanggaannya untuk menemui 

Yesus. Ia berdandan, mengenakan pakaian 

Damaskus yang indah dan wangi serta 

sandal emasnya. Ia menjumpai Yesus 

dengan menampilkan semua pesonanya. Ia 

menjumpai Yesus dengan sapaan yang 

lazim, “Tuhan memberkatimu!” Sapaan 

yang menunjukkan bahwa Maria memang 

belum mengenal Yesus. Ia belum pernah 

mendengar tentang Yesus dari siapapunn, 

demikian halnya dayang-dayangnya. Bagi 

Maria, Yesus hanyalah seorang laki-laki, 

layaknya laki-laki pada umumnya. Ia 

benar-benar tertarik secara fisik kepada 

Yesus tapi sekaligus penasaran kepada 

sesuatu di balik pesona fisik Yesus, 

sesuatu yang tak terselami, sesuatu yang 

berbeda, sesuatu yang membuatnya 

mengejar Yesus. Maria kini mendapati 

dirinya dalam posisi yang terbalik. Kalau 

selama ini ia dikejar laki-laki, kini ia yang 

mengejar. Selama ini laki-laki yang 

tertarik padanya, tapi kini ia yang tertarik 

pada seorang Laki-laki. Ia begitu 

penasaran dan ingin mengenal Laki-laki 

itu lebih jauh.

Lalu Gibran membalik posisi 

tersebut. Maria tidak mengenal Yesus dan 

sangat ingin mengenal-Nya, tapi ternyata 

Yesus mengenalnya. Yesus menyapanya, 

“Tuhan memberkatimu, Maria!” Yesus 

menyebut namanya. Yesus tahu siapa dia. 

Pada titik ini, Yesus yang dalam 

pertemuan pertama tidak menoleh dan 

tidak memandang Maria, kini menyebut 

namanya sambil menatapnya. Sesuatu 

yang sangat mengejutkan bagi Maria dan


menerbitkan sebuah kesadaran baru 

terhadap Yesus, “Ia menatapku, dari mata￾Nya yang bagai malam, ketika 

memandangku, tidak seperti mata laki￾laki yang pernah melihat padaku.” Maria 

terkesima dengan sesuatu yang berbeda, 

sesuatu yang ‘baru kali ini’ ia temui. 

Kesadaran ini menguak sebuah kerinduan

dalam diri Maria akan ‘mata’ yang 

berbeda, mata yang akan memandangnya 

secara berbeda. Kesadaran ini 

menghempaskan seluruh keangkuhan 

Maria, mengubah semua kebanggaannya 

menjadi hal yang memalukan. Kecantikan 

tiba-tiba tak ada artinya. Pakaian 

Damaskus yang wangi dan sandal emas 

kehilangan semaraknya. Tiba-tiba saja ia 

kehilangan semua yang dapat 

diandalkannya, “..aku merasakan diriku 

seperti telanjang. Aku malu.” Maria, 

perempuan sundal yang cantik dan angkuh 

itu kini getir dengan kesadaran yang baru 

muncul tersebut.

Kegetiran dan rasa malu itu 

mendorong Maria untuk mengenal Yesus 

dengan cara yang berbeda pula. Ia tak lagi 

membayangkan Yesus akan seperti tamu￾tamunya yang lain. Ia tak lagi 

mengharapkan kedekatan secara fisik 

dengan Yesus. Ia tak lagi memandang 

Yesus sebagai seorang Laki-laki, tetapi 

lebih pada seorang Pribadi yang berbeda.

Lalu ia pun menawarkan Yesus untuk 

mampir ke rumahnya, sebuah tawaran 

yang wajar, tetapi Gibran menyatakan 

respon Yesus dengan cara yang 

mengejutkan, “Apakah sekarang Aku 

belum berada di rumahmu?” Kalimat 

Yesus ini sepenuhnya kiasan dan Maria 

pada saat itu tidak mengerti maksud Yesus 

karena ia membayangkan perkataan Yesus 

tentang ‘rumah’ dalam arti yang 

sebenarnya. Pernyataan Maria yang 

selanjutnya, “..tapi sekarang aku paham” 

menunjukkan sebuah proses mengingat 

yang bertahap dalam diri Maria. Ia tidak 

hanya menyimpan pertemuan tersebut 

dalam ingatannya tapi juga merekam kata￾kata Yesus untuk kemudian dihayati 

perlahan-lahan sampai pada saat ia 

menuliskan atau menceritakannya dalam 

pemahaman yang baru dan sesungguhnya.

Kesan yang sangat menarik dari 

Maria nampak dalam ajakannya kepada 

Yesus untuk minum anggur dan makan 

roti di rumahnya. Ini adalah undangan 

untuk orang yang terhormat. Tetapi yang 

mengejutkan Maria adalah kata-kata Yesus 

kemudian, “Baik Maria, tapi tidak 

sekarang.” Yesus tidak menolak secara 

langsung undangan Maria, Dia tidak ingin 

Maria kecewa. Namun kalimat yang 

diucapkan Yesus menyingkapkan 

kesadaran Maria akan dirinya, “Ia 

mengucapkan padaku seperti kehidupan 

yang mengucapkannya pada kematian.”Ketelanjangan yang dirasakan Maria lewat 

tatapan Yesus kini mendapat arti yang 

sesungguhnya. Maria pun sampai pada 

sebuah kesadaran yang memunculkan 

pengakuan dalam dirinya akan 

kehidupannya selama ini, “..saat itu aku 

telah mati. Aku adalah perempuan yang 

telah menceraikan jiwanya.. Aku milik 

semua laki-laki dan bukan milik 

siapapun..”. Pada titik itu, dalam dirinya ia 

mengaku sebagai perempuan sundal, yang 

dikutuki orang dan penuh iri dan dengki.

Kata-kata Yesus telah menerbitkan 

pengakuan jujur Maria, pengakuan pada 

dirinya sendiri.

Dialog-dialog yang terjadi antara 

Yesus dan Maria dalam narasi ini 

sebenarnya adalah dialog yang biasa. 

Namun Gibran secara sengaja 

mengedepankan sosok Yesus yang 

mengagumkan dari cara Maria 

memandang dan menilai Yesus. 

Percakapan biasa itu memberi kesan yang 

tidak biasa bagi Maria. Percakapan biasa 

itu mengubahkan hidupnya dan seluruh 

pemahamannya akan dirinya, kehidupan 

dan cinta. Semuanya dipaparkan dalam 

cita rasa seni yang tinggi, dengan metafor￾metafor yang menggugah dan

menggetarkan.

▪ Teologi

Pemikiran Gibran sangat 

teosentris.18 Dalam karya seni dan 

berbagai tulisannya Gibran adalah seorang 

mistikus dengan pesan-pesan penginjilan 

yang khas.19 Ia tidak mengaku sebagai 

Kristen, tapi karya-karyanya, khususnya 

dalam Jesus The Son of Man menunjukkan 

betapa ia sesungguhnya merupakan 

seorang mistikus kristiani yang otentik 

karena narasi-narasinya berisi penghayatan 

Injil pada tingkat kesadaran yang 

mendalam.20 Kesadaran mendalam akan 

cinta Tuhan membuat Gibran mampu 

merasakan kehadiran Yesus secara nyata, 

kehadiran yang ia baca dalam Injil. 

Kehadiran ini dibahasakan oleh William 

Johnston sebagai “sebuah perasaan yang 

samar-samar namun menyentuh”21

Perasaan yang samar-samar dan 

menyentuh inilah yang menggugah 

komitmen Gibran untuk menulis tentang 

Yesus, yang baginya merupakan sebuah 

hutang yang harus dilunasi. Dan Gibran 

memang melunasi hutangnya, ia 

meninggal setelah merampungkan karya terakhirnya, dedikasinya kepada Yesus, 

Jesus The Son of Man.

Narasi perjumpaan Maria dengan 

Yesus menyingkapkan salah satu tema 

sentral pemikiran Gibran, yakni cinta.

Meskipun Gibran tidak pernah menyebut 

Paulus dalam karya-karyanya, tetapi tema 

cinta yang dihidupi Gibran terlihat jelas 

tidak hanya sebagai keseluruhan tema 

cinta dalam Injil, tetapi juga secara khusus 

tema cinta yang dibicarakan Paulus dalam 

suratnya kepada jemaat di Korintus (I 

Korintus 13). Himne cinta ini diperluas 

oleh Gibran dalam keseluruhan karyanya.

Khusus dalam narasi ini, Gibran dengan 

berani menyandingkan cinta Maria dengan 

cinta Yesus. Cinta Maria yang sifatnya 

fisik dengan cinta Yesus yang tak 

menuntut. Cinta Maria yang setipis kulit 

dengan cinta Yesus yang tanpa syarat. Dua 

cinta yang begitu berbeda. Cinta Maria 

adalah cinta eros sementara cinta Yesus 

adalah cinta agape. Secara umum, cinta 

Maria mewakili cinta dalam penghayatan 

dunia, sedangkan cinta Yesus mewakili 

cinta yang melebihi standar dunia dalam 

mencinta.

Yesus mengungkapkan sebuah 

pesan cinta yang mendalam kepada Maria, 

“Aku mencintaimu dalam dirimu sendiri,” 

pesan cinta yang selaras dengan prinsip 

Sunder Warumbe Eckhart, “mencintai 

pada dirinya sendiri”, mencintai tanpa 

alasan, tanpa syarat, tanpa tuntutan, 

“without a why or a wherefore”

22

. Cinta 

Yesus yang ditampilkan Gibran dalam 

narasi ini adalah cinta Yesus yang Sunder 

Warumbe. Yesus mencintai Maria dalam 

segala keberadaannya. Yesus mencintai 

tanpa syarat dan cinta yang tanpa syarat ini 

tidak akan pernah ditemukan dalam sebuah 

relasi yang didasarkan pada cinta eros, 

seperti cinta laki-laki lain kepada Maria.

Cinta ini mengetuk kesadaran manusia 

akan keindahan yang sesungguhnya. Cinta 

yang menjumpai manusia dalam keadaan 

yang paling hina sekalipun, seperti halnya 

Maria. Cinta yang menyapa manusia 

dalam kedegilan dan kekerasan hatinya. 

Cinta yang menyadarkan manusia atas 

keberdosaan dan ketersesatannya tanpa 

menuntut manusia untuk berbalik dari dosa 

dan sesatnya.

Cinta Yesus menyadarkan Maria 

dan memulihkan harga dirinya sebagai 

seorang perempuan. Cinta Yesus 

menyadarkan Maria untuk menghargai diri 

dan tubuhnya. Cinta Yesus meruntuhkan 

semua keangkuhan, kesombongan dan 

kebanggaan semu Maria. Cinta Yesus 

menyadarkan Maria pada cinta yang 

sesungguhnya. Cinta yang tak terbatas 

pada keinginan lahiriah, cinta yang lebih agung daripada nafsu, cinta yang 

menghargai kecantikan yang tak terlihat, 

“kecantikan yang tak akan takut berkaca 

dan tak dicela.” Gibran menggambarkan 

cinta Yesus kepada Maria Magdalena 

sebagai cinta yang transformasional: 

“..matahari yang tenggelam di mata-Nya 

telah membunuh naga dalam diriku, dan 

aku menjadi seorang perempuan..”23 Cinta 

Yesus telah menjadi matahari bagi Maria, 

matahari yang telah membunuh naga

keangkuhan dan belenggu kesombongan 

dalam dirinya, sehingga Maria mendapati 

dirinya dipulihkan. Ia menjadi dirinya 

sendiri, ia menjadi seorang perempuan. Ia 

menjadi Maria dari Magda, Maria 

Magdalena. 

Kesimpulan

Teologi mistik hingga kini masih 

menjadi topik yang dihindari dalam 

percakapan di gereja-gereja. Keengganan 

gereja tidak hanya pada kata mistik itu 

sendiri, yang lebih sering hadir dalam 

stereotip negatif, tetapi mungkin juga pada 

rasa risih menyandingkan teologi dengan 

mistik. Kalau begitu, tentu masih lebih 

mudah membicarakan teologi mistik dalam 

gereja dengan sebutan teologi cinta. Tapi, 

kata cinta sendiri memang masih agak 

rentan dengan penafsiran sekuler, gereja 

umumnya lebih sering memakai kata kasih 

daripada cinta. Maka, mungkin lebih enak lagi kalau dibicarakan sebagai teologi 

kasih, bukan teologi cinta, apalagi teologi 

mistik. 

Persoalan dalam kaitan dengan 

penyebutan ini rasanya bisa 

dikesampingkan dulu. Jika gereja bisa 

menerima teologi mistik dalam sebutan 

teologi kasih, tidak ada esensi yang akan 

diubah karena teologi mistik adalah teologi 

cinta itu sendiri, dan cinta adalah padanan 

kata dari kasih. Persoalannya adalah topik 

tentang cinta kasih agape dalam gereja 

lebih sering dibayangkan sebagai cinta 

kasih Tuhan, cinta kasih yang transenden, 

yang diakui lewat pengorbanan Kristus. 

Cinta kasih yang dikerjakan Kristus ini 

mendapat pengagungan dalam gereja, 

tetapi sekaligus mengecilkan optimisme 

jemaat untuk ikut serta dalam cinta kasih 

agape tersebut. Sekalipun dalam ajaran￾ajaran gereja selalu dihimbau kepada 

jemaat untuk mengikuti teladan kasih 

agape Kristus, di alam bawah sadar jemaat 

telah terpateri pemahaman bahwa hanya 

Kristus yang bisa dan telah melakukannya. 

Dengan demikian, cinta kasih yang 

dipraktekkan jemaat juga adalah cinta 

kasih yang ‘biasa’ tanpa bermaksud 

mengecilkan arti cinta kasih tersebut. 

Maka semakin jelaslah pentingnya 

jemaat menghayati cinta kasih agape itu 

secara lebih ‘mendarat’. Yesus dengan 

cinta kasih agape-Nya bukan hanya Yesus yang mati di kayu salib tanpa salah, tetapi 

juga Yesus yang berkarya dalam 

kemanusiaan-Nya. Cinta kasih agape tidak 

harus diwujudkan dalam tindakan yang 

besar dan agung tapi juga dalam hidup 

sehari-hari dan dalam cara kita mencintai 

dan mengasihi orang lain. Jemaat perlu 

memahami bahwa Yesus bukan hanya 

Tuhan, bukan hanya Sang Kristus, tapi 

juga seorang manusia dari Nazareth, yang 

dalam semua potensi kemanusiaan-Nya 

berkenan hidup bersama, bercakap-cakap 

dan bersahabat dengan manusia. Sisi 

kemanusiaan Yesus membuat-Nya lebih 

bisa menyelami dan memahami 

kemanusiaan manusia. Yesus yang 

mengerti perasaan Maria adalah Yesus 

yang paham betul bagaimana perasaan 

manusia yang jatuh cinta. Tapi juga, Yesus 

yang mengerti perasaan Maria ini, mampu 

memberi jawab lebih dari yang diharapkan 

manusia dalam cinta kasih dengan 

sesamanya.



Leidi Asterina Lontaan, Glory Virginia Sampel


(Dosen Fakultas Teologi IAKN Manado)


(Mahasiswa Prodi Misiologi dan Komunikasi Kristen IAKN Manado)