Maria Magdalena: Saat Pertama Berjumpa Dengan Yesus” merupakan
satu dari sekian banyak narasi apik Khalil Gibran yang terinspirasi secara
langsung dari kisah-kisah di sekitar kehidupan Yesus. Ketajaman imajinasi
Gibran memungkinkannya memasuki dunia tokoh-tokoh yang dikisahkan
Injil dari sudut pandang baru yang jarang dibayangkan orang. Imajinasi ini
memainkan peranan penting dalam cara Gibran menuangkan gagasangagasan uniknya tentang kehidupan, baik lewat puisi maupun narasi. Untuk
itu, artikel ini bertujuan melakukan analisis seni, spiritualitas, dan teologi,
terhadap cara Gibran ‘menghidupkan’ tokoh Maria Magdalena yang
‘menceritakan’ kisah perjumpaannya dengan Yesus. Lewat narasi ini,
Gibran mengkomunikasikan salah satu tema penting dalam Injil, yaitu
cinta, dari sudut pandang seorang perempuan yang pernah berjumpa
dengan Yesus.Narasi “Maria Magdalena: Saat
Pertama Berjumpa Dengan Yesus”
1
merupakan salah satu narasi Kahlil2
Gibran dalam bukunya Jesus The Son of
Man (Yesus Anak Manusia). Narasi ini
merupakan karya imajinatif Gibran tentang
kisah perjumpaan Maria Magdalena
dengan Yesus, kisah yang sama sekali
tidak akan ditemukan dalam tulisan-tulisan
Injil, tetapi memanfaatkan tokoh, data-data
dan keterangan yang dimuat dalam Injil.
Saat pertama kali berkenalan dengan
karya-karya Gibran, saya begitu terkesan
karena buah pena Gibran seolah punya
daya sihir tersendiri. Kehebatan imajinasi
Gibran serta kekuatan diksinya membuat
karya yang ia hasilkan mampu
mengkomunikasikan pesan tertentu dengan
indahnya. Narasi-narasi Gibran dalam
buku ini memberi gambaran yang lebih riil
sekaligus misterius terhadap sosok Yesus.
Itu sebabnya saya mengangkat salah satu
narasi Gibran ini untuk mencari tahu
makna terdalam di baliknya dengan
menganalisis dari aspek seni, spiritualitas
dan teologi. Khalil Gibran, Hidup dan Karyanya
a. Sekilas tentang Khalil Gibran
Khalil Gibran atau lengkapnya
Gibran Khalil Gibran bin Mikhail bin Saad
lahir tanggal 6 Januari 1883 di kota
Bsherri, Lebanon.3 Daerah Lebanon Utara
adalah daerah pegunungan dengan
pemandangan alam yang sangat indah.
Semenjak kecil, Gibran sangat suka
mengamati air terjun bertingkat, tebingtebing dan pohon-pohon Cedar. Simbolsimbol alam inilah yang menjadi sumber
inspirasi dan kerap muncul dalam lukisan
dan tulisan-tulisannya. Gibran adalah cucu
seorang pendeta Kristen Maronite (suatu
aliran agama Kristen di Lebanon). Karena
berasal dari keluarga religius, pendidikan
yang diterima Gibran hanya tentang
Alkitab (Injil) bersamaan dengan pelajaran
Bahasa Siria dan Arab. Pendidikan ini ia
dapatkan dari seorang pastor yang secara
rutin mengunjungi desanya. Untuk
membuka wawasan Gibran, sang pastor
mengajari dia membaca dan dan menulis,
yang perlahan- lahan membuka pemikiran
Gibran akan sejarah, ilmu pengetahuan,
dan bahasa. Di usia 8 tahun, ayah Gibran
dituduh melakukan penggelapan pajak.
Maka ayah Gibran ditangkap, seluruh harta dan kekayaannya pun turut disita negara.
Akibatnya, Gibran dan keluarganya
menjadi tunawisma.
Ibu Gibran memutuskan untuk
pindah ke Amerika mencari kehidupan
yang lebih baik, mengikuti paman Gibran
yang sudah lebih dulu pindah ke sana.
Gibran dan keluarganya berlayar ke New
York pada tanggal 25 Juni 1895. Mereka
tinggal di daerah Boston Selatan, yang
waktu itu merupakan daerah komunitas
Siria di Amerika.4 Saat sekolah, Gibran
sangat antusias dengan sketsa dan lukisan
seorang gurunya – sebuah hobi yang sudah
ia sukai semenjak masa kecilnya di
Lebanon. Rasa ingin tahu Gibran yang
besar akan seni, membuat dia mulai
memasuki daerah budaya di Boston, yang
begitu memukau dia dengan keramaian
dunia teater, opera, dan galeri seni.
Dengan inspirasi seninya yang luar biasa
dan lewat lukisan-lukisannya yang artistik,
Gibran mendapatkan perhatian dari gurugurunya di sekolah. Mereka lalu
menghubungi Fred Holland Day, seorang
seniman dan pencari bakat waktu itu. Fred
Hollan Day inilah yang membuka jalan
bagi Gibran menuju cita-citanya: filosofis,
novelis, sastrawan, dan pujangga.
Karya-karya Gibran sangat
mempengaruhi kebudayaan modern Amerika hingga tahun 1960-an. Tahun
1912 ia pindah ke New York, tempat di
mana dia mengabdikan diri pada karya
tulis dan lukisan. Karya-karya awal Gibran
kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab,
nanti pada tahun 1918 dia mulai menulis
karya-karyanya dalam bahasa Inggris.
Salah satu karya terbesarnya yang cukup
terkenal ialah The Prophet (Sang nabi),
sebuah buku yang berisi 26 esai puisi yang
sudah diterjemahkan dalam lebih dari 20
bahasa. Buku Jesus The Son of Man
merupakan karya terakhir Gibran sebelum
wafat di New York pada tanggal 10 April
1931, akibat penyakit liver dan TBC, dan
sesuai permintaannya, ia dimakamkan di
Lebanon. Tak heran bila karyanya begitu
agung dan indah, karena ia lahir di negara
yang indah, negara dengan pesona alam
memukau yang banyak dijadikan metafor
dalam karya-karyanya.
b. Pokok-pokok Pemikiran Kahlil Gibran
❖ Yesus
Kahlil Gibran sangat mengagumi
Yesus dan ajaran-ajaran-Nya. Tokoh
Yesus yang sejak kecil sangat akrab dalam
bacaan Injil yang menjadi pelajaran
wajibnya, diakui Gibran sebagai sumber
inspirasi dari karya-karya-Nya. Lahir dan
besar dalam keluarga Kristen yang taat
memang tidak serta merta membuat
Gibran menjadi seorang Kristen, tetapi
pengaruh Yesus dalam karya-karya-Nya tak dapat dipungkiri. Buku Jesus The Son
of Man merupakan wujud apresiasinya
terhadap Sosok bersahaja dari Nazareth
tersebut. Bagi Gibran, Yesus adalah
kepribadian yang paling nyata dalam
sejarah manusia, seorang manusia yang
punya kekuatan dan kemauan, seorang
manusia yang murah hati dan berbelas
kasih.5
Di tengah perdebatan gereja pada
masa itu yang lebih menekankan sisi
keilahian Yesus, Gibran menampilkan
sosok Yesus sebagai seorang manusia
sejati, tetapi berbeda dari manusia pada
umumnya. Rekonstruksi imajinatif Gibran
dilaksanakan dengan tujuan menantang
pandangan satu-dimensi di kalangan teolog
Barat tentang Kristus, dan sebagai ganti
hanya membicarakan sifat suci-Nya saja,
Gibran berusaha menggali aspek-aspek
kemanusiaan Kristus.6
Itu sebabnya,
Gibran tidak pernah menyebut Yesus
dengan sebutan Kristus, melainkan Yesus
dari Nazareth. Kehidupan yang dijalani
Yesus sebagaimana diceritakan dalam Injil
menginspirasi Gibran untuk memberikan
suatu bentuk penghargaan yang berbeda
dengan menuliskan 79 narasi dari tokohtokoh riil maupun fiktif.
Tema tentang perempuan secara
umum dapat ditemui dalam sebagian besar
karya Gibran. Kisah cintanya dengan
beberapa orang perempuan dalam
hidupnya menanamkan sebuah rasa
penghargaan yang tinggi terhadap kaum
perempuan. Kepada Mary Haskell, salah
seorang perempuan yang hampir
dinikahinya, ia mengungkapkan bahwa
perempuan mempunyai pikiran yang lebih
mendalam yang menjadi miliknya sendiri,
yaitu intuisi.7 Perempuan lebih ramah,
lebih peka, lebih stabil dan punya rasa
lebih halus terhadap banyak hal dari
kehidupan.
Selain kisah cintanya dan sebagian
besar hidupnya yang tak lepas dari peran
beberapa perempuan, penghargaan dan
rasa hormat Gibran terhadap perempuan
didasarkan juga pada pengalamannya
menyaksikan perempuan di Timur dan
Barat direndahkan secara tidak manusiawi.
Penghargaan pada aspek feminin yang
nampak dalam narasi terakhir dari buku
Jesus The Son of Man, mempengaruhi
konsepnya sendiri tentang Tuhan sebagai
“ayah sekaligus ibu”, Tuhan-Ayah dicapai
lewat intelek dan Tuhan-Ibu dicapai
melalui hati – hanya melalui cinta.8 Buku
Jesus The Son of Man menggunakan banyak tokoh perempuan, termasuk Maria
Magdalena. Yesus dalam buku ini
digambarkan Gibran sebagai Yesus yang
punya banyak sahabat perempuan dalam
persahabatan yang manis.
❖ Cinta
Cinta agape dalam Perjanjian Baru
mendapat pengakuan yang besar dalam
karya-karya Gibran dengan tema cinta.
Bagi Gibran, agape lebih utama daripada
dorongan-dorongan erotis.9
Ia memahami
agape sebagai cinta spiritual, sebuah
fenomena alamiah dan universal yang
berkaitan dengan semua kredo. Karena itu,
menurutnya, orang tidak perlu menjadi
Kristen untuk dapat mempraktekkan
agape. Agape adalah esensi eksistensial
manusia yang sesungguhnya.10 Itu
sebabnya dalam novel The Broken Wings,
Gibran menyebut cinta sebagai ‘hukum
alam’. Dunia dibimbing oleh prinsip cinta.
Cinta melahirkan, memproduksi bahkan
kadang-kadang merusak kehidupan,
namun senantiasa memelihara dunia dalam
keabadian.11 Baginya, manusia maupun
makhluk yang lain berasal dari sumber
yang sama, yakni Cinta Tuhan.12
Gambaran cinta dalam diri Yesus
yang dihayati oleh Gibran adalah cinta sejati, cinta yang tidak egois, yang
berkorban untuk kebahagiaan orang yang
dicintai. Cinta itu universal, melampaui
ruang dan waktu, lebih kuat daripada
kematian, mengatasi kebencian, menjamin
kebebasan dan memberikan rasa sakit yang
nikmat.13 Tema tentang cinta ini
merupakan tema yang paling kuat dalam
karya-karya Gibran. Rasanya semua
dimensi cinta benar-benar diberi perhatian
oleh Gibran, diyakini dan dihidupi
olehnya.
Analisis Narasi “Maria Magdalena:
Saat Pertama Berjumpa Dengan Yesus”
▪ Seni
Gibran sering meniru gaya Alkitab
dalam prosanya. Baginya, Alkitab adalah
sumber inspirasi profetik yang
memperlihatkan sebuah narasi kehidupan
manusia yang visioner antara kreasi dan
wahyu.14 Dari Sebagian besar tokoh dalam
Yesus Anak Manusia adalah tokoh-tokoh
dalam Alkitab (Injil) dengan kisah yang
telah sering didengar tapi diceritakan
secara baru oleh Gibran. Ia coba
menampilkan sosok Yesus dari berbagai
sudut pandang, baik dari tokoh-tokoh yang
mengagumi Yesus, seperti Maria
Magdalena dalam narasi ini, maupun
tokoh-tokoh yang menentang Yesus. Di
samping tokoh-tokoh riil tersebut, Gibran memakai beberapa tokoh imajinatif
lainnya, misalnya Anna, yang berperan
sebagai nenek Yesus dari ibunya, dan
Siborea, ibu dari Yudas. Namun, meskipun
menggunakan beberapa tokoh imajinatif,
Gibran konsisten memakai data-data dan
keterangan yang riil dalam kaitan dengan
konteks Yesus.
Menariknya, Maria Magdalena
adalah satu-satunya tokoh riil dalam Injil
yang diangkat sekaligus dalam tiga narasi.
Pertama dalam narasi ini, “Maria
Magdalena: Saat Pertama Berjumpa
dengan Yesus”, kedua dalam narasi “Maria
Magdalena: Mulut-Nya Laksana Hati
Delima” dan ketiga dalam narasi “Maria
Magdalena, 30 Tahun Kemudian: Tentang
Kebangkitan Roh”. Tidak dijelaskan
mengapa Gibran mengangkat tokoh
perempuan ini sebanyak tiga kali secara
terpisah dalam buku yang sama, tapi
paling tidak ada dua hal yang mungkin
melatarbelakanginya, yaitu penghargaan
Gibran terhadap kaum perempuan dalam
karya-karyanya dan penekanan Gibran
pada hubungan ‘khusus’ antara Yesus dan
Maria Magdalena.
Narasi Maria Magdalena yang
pertama ini, sebagaimana keseluruhan
narasi dalam buku Yesus Anak Manusia,
ditulis dari sudut pandang orang pertama
(‘aku’) sehingga agak mirip dengan cara
penulisan diary atau buku harian. Dengan
daya imajinasi yang sangat kuat, Gibran
menceritakan sosok Yesus dalam
pandangan dan penilaian Maria Magdalena
lewat kisah perjumpaan mereka. Meskipun
narasi ini diberi judul “Saat Pertama
Berjumpa dengan Yesus”, sesungguhnya
ada dua pertemuan yang diceritakan
sekaligus, yakni pertemuan pertama di
ladang gandum, dengan keterangan waktu
bulan Juni oleh Gibran, dan pertemuan
kedua di bawah pohon cemara pada bulan
Agustus. Keterangan waktu ini beserta
gaya penuturan Gibran, dengan Maria
sebagai pencerita, memberikan kesan yang
hidup dan segar. Tokoh Maria Magdalena
yang sudah familiar dalam cerita Injil
dikisahkan dengan cara yang berbeda,
menarik dan mengagumkan. Kepiawaian
Gibran dalam memilih dan merangkai kata
dengan kekuatan metafor-metafornya
benar-benar nampak dalam narasi ini.
Karya seni Gibran, khususnya
lukisan, selalu mengungkapkan situasi
kemanusiaan yang konkrit.15 Namun
dalam puisi-puisi prosanya ia sering
meminjam metafor-metafor yang cukup
luas dari alam untuk mengungkapkan
perasaan atau pikiran manusia. Narasi
Maria Magdalena ini menunjukkan banyak
metafor dari alam, seperti dalam kalimatkalimat berikut ini: Aku jengah dan menjadi sedingin
salju” (h. 15),
“..dan Ia setenang batu”, “Ia
menatapku, dari mata-Nya yang bagai
malam..” (h. 16),
“Tiba-tiba gemuruh suara lautan pun
ada dalam dua kata-kata itu, bersama
deru angin dan pepohonan,” “Tetapi
ketika fajar di mata-Nya menatap
mataku, semua bintang di malammalamku meredup..”, “..seluruh langit
yang ada dalam diriku menyeru-Nya”,
“..dan terik siang di mata-Nya
menyinariku”, “..dan di musim gugur
dari hari-harimu” (h. 17),
“..bagai musim-musim memandang
ladang”, “Ataukah ini badai yang
sedang menggoncang dasar bumi?”,
“..tapi di hari itu matahari yang
tenggelam di mata-Nya telah
membunuh naga dalam diriku..” (h.
18).
Gibran menggunakan realitas fisik
untuk menggambarkan realitas metafisik.
Metafor-metafor semacam ini
mempertajam maksud Gibran yang
sesungguhnya, meskipun bagi pembaca
awam mungkin menimbulkan
kebingungan. Namun, tulisan-tulisan
Gibran memang tidak bermaksud
mengarahkan orang pada debat
hermeneutik tertentu. Tulisan-tulisannya
lebih kepada perpaduan antara keindahan
dan misteri. Kedalaman seni Gibran hanya
dapat dihayati dalam rasa seni yang khas
pula.
Cinta merupakan tema sentral
dalam narasi ini. Kalimat-kalimat Gibran
mengandung banyak ungkapan romantis
seperti dalam kisah-kisah percintaan yang
lazim, tapi dengan cara yang khas,
misalnya dalam kalimat-kalimat berikut
ini:
“Aku menatap-Nya dan jiwaku
bergetar karena Ia begitu elok”,
“Apakah kesendirianku, atau bau
harum-Nya yang menarikku menuju
pada-Nya?” “Apakah mataku yang
haus akan keelokan, atau keindahanNya yang menerangi mataku?” (h. 16)
Selanjutnya, ungkapan yang sangat
puitis dan romantis diungkapkan oleh
Yesus kepada Maria Magdalena dalam
kalimat yang panjang, yang merupakan
penghayatan spiritual Gibran terhadap
cinta Yesus. Di sini, dimensi ilahi Yesus
dimunculkan dalam penghayatan Gibran
akan kemanusiaan Yesus.
“Engkau punya banyak kekasih, tapi
hanya Akulah yang mencintaimu.
Laki-laki lain mencintai mereka
sendiri dalam kedekatannya padamu.
Aku mencintaimu dalam dirimu
sendiri. Laki-laki lain melihat
kecantikan dalam dirimu yang cepat
memudar ketimbang tahun-tahun
kehidupan mereka sendiri. Tetapi Aku
melihat kecantikanmu yang tidak akan
memudar, dan di musim gugur dari
hari-harimu, kecantikan itu tak akan
takut berkaca, dan tak dicela. Aku
mencintai yang tak terlihat dalam
dirimu.” (h. 17)
Secara terbuka, Gibran
menggambarkan cinta sebagai sebuah
realitas konkrit. Maria jatuh hati pada
Yesus dengan sebuah perasaan yang belum
pernah dirasakannya kepada laki-laki lain.
Kekaguman Maria kepada sosok Yesus
dimunculkan dengan sangat kuat oleh
Gibran, termasuk upaya Maria untuk menarik perhatian Yesus. Respon Yesus
atas perasaan Maria ditampilkan secara
wajar. Yesus tidak menolak cinta Maria
atau menyalahkan Maria atas perasaan
cintanya, tetapi jawaban Yesus
menunjukkan rasa cinta yang jauh lebih
agung daripada yang diharapkan Maria.
Rasa cinta yang tidak bisa disetarakan
dengan cinta seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan, tetapi rasa cinta yang
penuh penghargaan kepada jiwa manusia
tanpa sekat laki-laki atau perempuan, rasa
cinta yang menyeberangi kefanaan dan
keterbatasan ragawi, “Aku melihat
kecantikanmu yang tidak akan memudar”.
Gibran menyajikan gambaran yang utuh
tentang Yesus sebagai manusia bijak
sekaligus pecinta bijak, yang tidak
meninggalkan Maria sebagai perempuan
yang patah hati, tetapi menyadarkan Maria
akan cinta yang sesungguhnya.
Meskipun dalam buku ini, Gibran
hendak menekankan Yesus dalam
kemanusiaan-Nya yang penuh, tapi sisi
keilahian manusia dari Nazareth itu tak
mampu dibendung oleh Gibran dalam
penggambarannya akan sosok Yesus.
Reaksi Maria dan kalimat-kalimat
penilaian Maria terhadap Yesus jelas
mengungkapkan kebenaran yang tak dapat
disangkal bahwa manusia dari Nazareth
yang punya pesona kuat dan daya tarik
yang besar itu menyimpan sebuah kodrat
ilahi yang bersemayam di balik
ketenangan-Nya, sebuah kodrat yang sulit
digambarkan namun dapat ditangkap
secara inderawi. Inilah yang disebut
Eckhart dengan dimensi lain dari Yesus,
yaitu model yang memberikan kepada kita
contoh bagaimana menjadi manusia
sekaligus ilahi, “Humanity and divinity are
one personal being in the person of
Christ.”
16 Mata Maria telah melihat
seorang Laki-laki yang berbeda, Laki-laki
yang tak hanya bersuara saat berbicara tapi
juga bersuara saat diam. Maria telah
melihat bentuk tubuh yang tak hanya elok,
tapi juga bergerak dalam keagungan yang
tak terkatakan. Maria telah menatap mata
seorang Laki-laki yang tak hanya teduh,
tapi juga memiliki kekuatan. Maka jelaslah
bahwa Gibran sebenarnya hendak
mengarahkan kesan pembaca pada sisi
ilahi Yesus dalam gambaran kemanusiaanNya.
▪ Spiritualitas
Kekaguman pada sosok Yesus
telah memberi warna spiritualitas
tersendiri dalam karya-karya Gibran.
Spiritualitas Gibran adalah spiritualitas
yang berpusat pada Yesus dan spiritualitas
yang berpusat pada Yesus ini adalah
spiritualitas yang lebih ‘mendarat’,
spiritualitas yang dibangun di atas dasar kemanusiaan Yesus. Karakter
kemanusiaan Yesus inilah yang ditekankan
secara kuat, Dia adalah seorang manusia.
Tokoh-tokoh yang dipakai Gibran dalam
buku Yesus Anak Manusia diletakkan
dalam penghayatan yang konkrit terhadap
Yesus. Gibran tidak segan-segan
mengupas semua sisi kemanusiaan Yesus,
dan dengan demikian menjadikan sebuah
cerita berbicara secara wajar namun indah
dan sungguh hidup. Begitu juga dengan
karakter-karakter tokoh yang dipakai
Gibran dipaparkan secara manusiawi dan
apa adanya, dengan perasaan-perasaan,
emosi dan pemikirannya.
Maria Magdalena dalam narasi ini
digambarkan dalam imajinasi yang jujur
berkaitan dengan perasaan, ekspresi dan
respon seorang perempuan terhadap
seorang laki-laki. Gibran memanfaatkan
keterangan dari Injil tentang Maria
Magdalena, seorang perempuan sundal
yang disebut memelihara tujuh setan.17
Lalu imajinasi Gibran berkembang
secara wajar. Perempuan sundal ini hidup
sangat layak, punya dayang-dayang, rumah
dan kebun. Ia punya persediaan dupa
untuk menyambut tamu dan punya bejana
perak tempat membasuh kaki orang asing.
Perempuan sundal ini memiliki paras yang
cantik sehingga seorang kapten tentara
Roma pernah memberinya sebuah sandal emas. Ia hidup mewah dengan pakaian
Damaskus dan wangi-wangian yang
semerbak. Ia sering bepergian menjelajah
Negeri Utara, melihat patung-patung di
Antiokhia. Maria digambarkan sebagai
perempuan cantik yang dikejar banyak
laki-laki, mapan dan punya segalanya,
bebas melakukan apapun dan
keinginannya selalu terpenuhi; hal-hal
yang sangat mungkin memunculkan
kebanggaan dan keangkuhan dalam diri
Maria.
Bulan Juni, perjumpaan pertama
dengan Yesus menjadi pengalaman yang
sangat berbeda bagi Maria. Seorang
perempuan sundal bertemu seorang Lakilaki yang “irama langkah kaki-Nya
berbeda dengan manusia lain dan gerakan
tubuh-Nya belum pernah kulihat pada
orang lain.” Yesus dihadirkan sebagai
sosok yang begitu mengagumkan dan
menarik hati para perempuan, termasuk
dayang-dayang Maria, “..yang mengangkat
telunjuk kepada-Nya sambil berbisik malumalu.” Pertemuan antara Yesus yang
mengagumkan dengan Maria yang cantik
seharusnya menjadi sebuah pertemuan
yang bisa ditebak kelanjutannya. Apalagi
Maria telah jatuh hati pada Yesus sejak
pandangan pertama dan pesona kecantikan
Maria belum pernah ditolak oleh laki-laki
manapun.
Tetapi sosok Yesus yang
mengagumkan tak tertaklukkan oleh
kecantikan Maria. Maria yang selama ini
tak pernah ditolak, malah dicari oleh lakilaki, kini berhadapan dengan ketenangan
Yesus yang tidak menoleh dan tidak
memandang bahkan ketika Maria hendak
menyalami-Nya. Maria gusar dan benci
dengan sikap Yesus. Keangkuhan
membuat perasaannya sedingin salju dan
menggigil.
Gibran kemudian melanjutkan
getar pertemuan pertama tersebut pada
waktu yang berbeda. Bulan Agustus, dua
bulan semenjak pertemuan pertama itu,
Yesus kembali hadir dalam pandangan
Maria, duduk di bawah pohon cemara di
seberang kebunnya. Gambaran Maria
tentang Yesus yang setenang batu
menunjukkan bagaimana keangkuhan
Maria memandang ‘keangkuhan’ Yesus.
Ternyata Maria tidak menyerah dalam
kebenciannya terhadap Yesus pada
pertemuan pertama mereka. Ia masih jatuh
hati dan Gibran menggambarkannya dalam
ekspresi yang jujur dan romantis, “..jiwaku
bergetar karena Ia begitu elok.”
Kali ini, Maria seperti hendak
membuktikan sesuatu. Ia ‘mengerahkan’
semua kebanggaannya untuk menemui
Yesus. Ia berdandan, mengenakan pakaian
Damaskus yang indah dan wangi serta
sandal emasnya. Ia menjumpai Yesus
dengan menampilkan semua pesonanya. Ia
menjumpai Yesus dengan sapaan yang
lazim, “Tuhan memberkatimu!” Sapaan
yang menunjukkan bahwa Maria memang
belum mengenal Yesus. Ia belum pernah
mendengar tentang Yesus dari siapapunn,
demikian halnya dayang-dayangnya. Bagi
Maria, Yesus hanyalah seorang laki-laki,
layaknya laki-laki pada umumnya. Ia
benar-benar tertarik secara fisik kepada
Yesus tapi sekaligus penasaran kepada
sesuatu di balik pesona fisik Yesus,
sesuatu yang tak terselami, sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang membuatnya
mengejar Yesus. Maria kini mendapati
dirinya dalam posisi yang terbalik. Kalau
selama ini ia dikejar laki-laki, kini ia yang
mengejar. Selama ini laki-laki yang
tertarik padanya, tapi kini ia yang tertarik
pada seorang Laki-laki. Ia begitu
penasaran dan ingin mengenal Laki-laki
itu lebih jauh.
Lalu Gibran membalik posisi
tersebut. Maria tidak mengenal Yesus dan
sangat ingin mengenal-Nya, tapi ternyata
Yesus mengenalnya. Yesus menyapanya,
“Tuhan memberkatimu, Maria!” Yesus
menyebut namanya. Yesus tahu siapa dia.
Pada titik ini, Yesus yang dalam
pertemuan pertama tidak menoleh dan
tidak memandang Maria, kini menyebut
namanya sambil menatapnya. Sesuatu
yang sangat mengejutkan bagi Maria dan
menerbitkan sebuah kesadaran baru
terhadap Yesus, “Ia menatapku, dari mataNya yang bagai malam, ketika
memandangku, tidak seperti mata lakilaki yang pernah melihat padaku.” Maria
terkesima dengan sesuatu yang berbeda,
sesuatu yang ‘baru kali ini’ ia temui.
Kesadaran ini menguak sebuah kerinduan
dalam diri Maria akan ‘mata’ yang
berbeda, mata yang akan memandangnya
secara berbeda. Kesadaran ini
menghempaskan seluruh keangkuhan
Maria, mengubah semua kebanggaannya
menjadi hal yang memalukan. Kecantikan
tiba-tiba tak ada artinya. Pakaian
Damaskus yang wangi dan sandal emas
kehilangan semaraknya. Tiba-tiba saja ia
kehilangan semua yang dapat
diandalkannya, “..aku merasakan diriku
seperti telanjang. Aku malu.” Maria,
perempuan sundal yang cantik dan angkuh
itu kini getir dengan kesadaran yang baru
muncul tersebut.
Kegetiran dan rasa malu itu
mendorong Maria untuk mengenal Yesus
dengan cara yang berbeda pula. Ia tak lagi
membayangkan Yesus akan seperti tamutamunya yang lain. Ia tak lagi
mengharapkan kedekatan secara fisik
dengan Yesus. Ia tak lagi memandang
Yesus sebagai seorang Laki-laki, tetapi
lebih pada seorang Pribadi yang berbeda.
Lalu ia pun menawarkan Yesus untuk
mampir ke rumahnya, sebuah tawaran
yang wajar, tetapi Gibran menyatakan
respon Yesus dengan cara yang
mengejutkan, “Apakah sekarang Aku
belum berada di rumahmu?” Kalimat
Yesus ini sepenuhnya kiasan dan Maria
pada saat itu tidak mengerti maksud Yesus
karena ia membayangkan perkataan Yesus
tentang ‘rumah’ dalam arti yang
sebenarnya. Pernyataan Maria yang
selanjutnya, “..tapi sekarang aku paham”
menunjukkan sebuah proses mengingat
yang bertahap dalam diri Maria. Ia tidak
hanya menyimpan pertemuan tersebut
dalam ingatannya tapi juga merekam katakata Yesus untuk kemudian dihayati
perlahan-lahan sampai pada saat ia
menuliskan atau menceritakannya dalam
pemahaman yang baru dan sesungguhnya.
Kesan yang sangat menarik dari
Maria nampak dalam ajakannya kepada
Yesus untuk minum anggur dan makan
roti di rumahnya. Ini adalah undangan
untuk orang yang terhormat. Tetapi yang
mengejutkan Maria adalah kata-kata Yesus
kemudian, “Baik Maria, tapi tidak
sekarang.” Yesus tidak menolak secara
langsung undangan Maria, Dia tidak ingin
Maria kecewa. Namun kalimat yang
diucapkan Yesus menyingkapkan
kesadaran Maria akan dirinya, “Ia
mengucapkan padaku seperti kehidupan
yang mengucapkannya pada kematian.”Ketelanjangan yang dirasakan Maria lewat
tatapan Yesus kini mendapat arti yang
sesungguhnya. Maria pun sampai pada
sebuah kesadaran yang memunculkan
pengakuan dalam dirinya akan
kehidupannya selama ini, “..saat itu aku
telah mati. Aku adalah perempuan yang
telah menceraikan jiwanya.. Aku milik
semua laki-laki dan bukan milik
siapapun..”. Pada titik itu, dalam dirinya ia
mengaku sebagai perempuan sundal, yang
dikutuki orang dan penuh iri dan dengki.
Kata-kata Yesus telah menerbitkan
pengakuan jujur Maria, pengakuan pada
dirinya sendiri.
Dialog-dialog yang terjadi antara
Yesus dan Maria dalam narasi ini
sebenarnya adalah dialog yang biasa.
Namun Gibran secara sengaja
mengedepankan sosok Yesus yang
mengagumkan dari cara Maria
memandang dan menilai Yesus.
Percakapan biasa itu memberi kesan yang
tidak biasa bagi Maria. Percakapan biasa
itu mengubahkan hidupnya dan seluruh
pemahamannya akan dirinya, kehidupan
dan cinta. Semuanya dipaparkan dalam
cita rasa seni yang tinggi, dengan metaformetafor yang menggugah dan
menggetarkan.
▪ Teologi
Pemikiran Gibran sangat
teosentris.18 Dalam karya seni dan
berbagai tulisannya Gibran adalah seorang
mistikus dengan pesan-pesan penginjilan
yang khas.19 Ia tidak mengaku sebagai
Kristen, tapi karya-karyanya, khususnya
dalam Jesus The Son of Man menunjukkan
betapa ia sesungguhnya merupakan
seorang mistikus kristiani yang otentik
karena narasi-narasinya berisi penghayatan
Injil pada tingkat kesadaran yang
mendalam.20 Kesadaran mendalam akan
cinta Tuhan membuat Gibran mampu
merasakan kehadiran Yesus secara nyata,
kehadiran yang ia baca dalam Injil.
Kehadiran ini dibahasakan oleh William
Johnston sebagai “sebuah perasaan yang
samar-samar namun menyentuh”21
.
Perasaan yang samar-samar dan
menyentuh inilah yang menggugah
komitmen Gibran untuk menulis tentang
Yesus, yang baginya merupakan sebuah
hutang yang harus dilunasi. Dan Gibran
memang melunasi hutangnya, ia
meninggal setelah merampungkan karya terakhirnya, dedikasinya kepada Yesus,
Jesus The Son of Man.
Narasi perjumpaan Maria dengan
Yesus menyingkapkan salah satu tema
sentral pemikiran Gibran, yakni cinta.
Meskipun Gibran tidak pernah menyebut
Paulus dalam karya-karyanya, tetapi tema
cinta yang dihidupi Gibran terlihat jelas
tidak hanya sebagai keseluruhan tema
cinta dalam Injil, tetapi juga secara khusus
tema cinta yang dibicarakan Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus (I
Korintus 13). Himne cinta ini diperluas
oleh Gibran dalam keseluruhan karyanya.
Khusus dalam narasi ini, Gibran dengan
berani menyandingkan cinta Maria dengan
cinta Yesus. Cinta Maria yang sifatnya
fisik dengan cinta Yesus yang tak
menuntut. Cinta Maria yang setipis kulit
dengan cinta Yesus yang tanpa syarat. Dua
cinta yang begitu berbeda. Cinta Maria
adalah cinta eros sementara cinta Yesus
adalah cinta agape. Secara umum, cinta
Maria mewakili cinta dalam penghayatan
dunia, sedangkan cinta Yesus mewakili
cinta yang melebihi standar dunia dalam
mencinta.
Yesus mengungkapkan sebuah
pesan cinta yang mendalam kepada Maria,
“Aku mencintaimu dalam dirimu sendiri,”
pesan cinta yang selaras dengan prinsip
Sunder Warumbe Eckhart, “mencintai
pada dirinya sendiri”, mencintai tanpa
alasan, tanpa syarat, tanpa tuntutan,
“without a why or a wherefore”
22
. Cinta
Yesus yang ditampilkan Gibran dalam
narasi ini adalah cinta Yesus yang Sunder
Warumbe. Yesus mencintai Maria dalam
segala keberadaannya. Yesus mencintai
tanpa syarat dan cinta yang tanpa syarat ini
tidak akan pernah ditemukan dalam sebuah
relasi yang didasarkan pada cinta eros,
seperti cinta laki-laki lain kepada Maria.
Cinta ini mengetuk kesadaran manusia
akan keindahan yang sesungguhnya. Cinta
yang menjumpai manusia dalam keadaan
yang paling hina sekalipun, seperti halnya
Maria. Cinta yang menyapa manusia
dalam kedegilan dan kekerasan hatinya.
Cinta yang menyadarkan manusia atas
keberdosaan dan ketersesatannya tanpa
menuntut manusia untuk berbalik dari dosa
dan sesatnya.
Cinta Yesus menyadarkan Maria
dan memulihkan harga dirinya sebagai
seorang perempuan. Cinta Yesus
menyadarkan Maria untuk menghargai diri
dan tubuhnya. Cinta Yesus meruntuhkan
semua keangkuhan, kesombongan dan
kebanggaan semu Maria. Cinta Yesus
menyadarkan Maria pada cinta yang
sesungguhnya. Cinta yang tak terbatas
pada keinginan lahiriah, cinta yang lebih agung daripada nafsu, cinta yang
menghargai kecantikan yang tak terlihat,
“kecantikan yang tak akan takut berkaca
dan tak dicela.” Gibran menggambarkan
cinta Yesus kepada Maria Magdalena
sebagai cinta yang transformasional:
“..matahari yang tenggelam di mata-Nya
telah membunuh naga dalam diriku, dan
aku menjadi seorang perempuan..”23 Cinta
Yesus telah menjadi matahari bagi Maria,
matahari yang telah membunuh naga
keangkuhan dan belenggu kesombongan
dalam dirinya, sehingga Maria mendapati
dirinya dipulihkan. Ia menjadi dirinya
sendiri, ia menjadi seorang perempuan. Ia
menjadi Maria dari Magda, Maria
Magdalena.
Kesimpulan
Teologi mistik hingga kini masih
menjadi topik yang dihindari dalam
percakapan di gereja-gereja. Keengganan
gereja tidak hanya pada kata mistik itu
sendiri, yang lebih sering hadir dalam
stereotip negatif, tetapi mungkin juga pada
rasa risih menyandingkan teologi dengan
mistik. Kalau begitu, tentu masih lebih
mudah membicarakan teologi mistik dalam
gereja dengan sebutan teologi cinta. Tapi,
kata cinta sendiri memang masih agak
rentan dengan penafsiran sekuler, gereja
umumnya lebih sering memakai kata kasih
daripada cinta. Maka, mungkin lebih enak lagi kalau dibicarakan sebagai teologi
kasih, bukan teologi cinta, apalagi teologi
mistik.
Persoalan dalam kaitan dengan
penyebutan ini rasanya bisa
dikesampingkan dulu. Jika gereja bisa
menerima teologi mistik dalam sebutan
teologi kasih, tidak ada esensi yang akan
diubah karena teologi mistik adalah teologi
cinta itu sendiri, dan cinta adalah padanan
kata dari kasih. Persoalannya adalah topik
tentang cinta kasih agape dalam gereja
lebih sering dibayangkan sebagai cinta
kasih Tuhan, cinta kasih yang transenden,
yang diakui lewat pengorbanan Kristus.
Cinta kasih yang dikerjakan Kristus ini
mendapat pengagungan dalam gereja,
tetapi sekaligus mengecilkan optimisme
jemaat untuk ikut serta dalam cinta kasih
agape tersebut. Sekalipun dalam ajaranajaran gereja selalu dihimbau kepada
jemaat untuk mengikuti teladan kasih
agape Kristus, di alam bawah sadar jemaat
telah terpateri pemahaman bahwa hanya
Kristus yang bisa dan telah melakukannya.
Dengan demikian, cinta kasih yang
dipraktekkan jemaat juga adalah cinta
kasih yang ‘biasa’ tanpa bermaksud
mengecilkan arti cinta kasih tersebut.
Maka semakin jelaslah pentingnya
jemaat menghayati cinta kasih agape itu
secara lebih ‘mendarat’. Yesus dengan
cinta kasih agape-Nya bukan hanya Yesus yang mati di kayu salib tanpa salah, tetapi
juga Yesus yang berkarya dalam
kemanusiaan-Nya. Cinta kasih agape tidak
harus diwujudkan dalam tindakan yang
besar dan agung tapi juga dalam hidup
sehari-hari dan dalam cara kita mencintai
dan mengasihi orang lain. Jemaat perlu
memahami bahwa Yesus bukan hanya
Tuhan, bukan hanya Sang Kristus, tapi
juga seorang manusia dari Nazareth, yang
dalam semua potensi kemanusiaan-Nya
berkenan hidup bersama, bercakap-cakap
dan bersahabat dengan manusia. Sisi
kemanusiaan Yesus membuat-Nya lebih
bisa menyelami dan memahami
kemanusiaan manusia. Yesus yang
mengerti perasaan Maria adalah Yesus
yang paham betul bagaimana perasaan
manusia yang jatuh cinta. Tapi juga, Yesus
yang mengerti perasaan Maria ini, mampu
memberi jawab lebih dari yang diharapkan
manusia dalam cinta kasih dengan
sesamanya.
Leidi Asterina Lontaan, Glory Virginia Sampel
(Dosen Fakultas Teologi IAKN Manado)
(Mahasiswa Prodi Misiologi dan Komunikasi Kristen IAKN Manado)