sangkan paraning dumadi 2

manusia itu, takdir perbuatannya yang poko: 
menyebabkan sakitnya raga. Sehingga jika orang biasa (mukmin 
awam) jika mengalami sakit raga itu, menjadikan gelap pikirannya, 
luntur pengabdiannya kepada Pencipta , dalam berikhtiar tidak 
dengan cara pasrah, terkadang mau minta tolong kepada badan 
halus ( menjadi musyrik = menyekutukan Pencipta ), kadang juga 
bisa menyembuhkan. Hal itu bisa menyebabkan manusia berbuat 
demikian itu takdir dari perbuatan setan.
Dan juga pahamilah olehmu, baksil – bakteri yang sedang “in aksi” 
di dalam tubuh manusia itu, bisa menular atau dengan sengaja 
ditularkan kepada manusia lain. Jika yang tertular itu kurang kuat 
daya reaksinyan juga akan mengalami sakit raga seperti yang 
ketempatan baksil-bakteri itu tadi. Namun sebab  baksil – bakteri 
itu termasuk setan kasar, cara penularannya itu juga dengan cara 
kasar, yaitu jika dekat atau terlihat mata.
Sedangkan jenis setan , yang tingkatnnya halusnya melebihi baksil 
– bakteri itu, juga bisa ditulasrkan kepada manusia alainnya, dari 
jarak jauh. saat  yagn ditulari itu kurang kuat daya reaksinya, 
juga kemudian terserang sakit di jiwanya, terkadang terjangkit 
sakitnya raga dan jiwanya, menurut keinginan yang menularkan. 
Jika penjelasanku ini sudah bisa kamu pahami, tentunya kamu 
tidak akan menyalahkan tentang adaya “ Tenung, teluh, guna-guna 
pengasihan, santet, jaran goyang, dan lain sebagainya, itu. 
Tentunya kamu juga mengerti bahwa kelebihna-kelebihan dan 
berbagi jenis aji kesaktian yang diusahakan itu (Bab III No.22, 30, 
31), berarti: Ditolong oleh rohnya orang yang meninggal dunia 
yagn belum sempurna, atau ditolong oleh golongan Jin, atau 
ditolong oleh ... Setan dari dirinya sendiri.
37. kartosuwiryo : 
Iya Kak, sekarang aku sudah mengerti sungguhan. Tentag setan 
yang sebelumnya aku setengah percaya setengah tidak, sekarang 
sudah yakin adanya. Dan juga tidak heran bahwa jika setan itu bisa 
menundukan perbuatannya (menggoda) kepada orang yang sehat 
raganya, dan juga kepada orang yang kelihatan dalam kelakuannya 
bertindak “baik”. Yaitu saat  orang-orang itu menyenangi tentang 
urusan dunia mengalahkan pengabdiannya kepada Pencipta . Sebab 
yang menghalang-halangi antara makhluk dengan Pencipta  itu tidak 
lain itu hanya tentang keduniaan itu.
Nah... tentang itu aku mohon penjelasan: Apa, kita sebagai 
manusia ini tidak bisa meneliti sendiri terhadap godaan setan itu: 
sebelum jadi kurban? Dan juga, jika baksil-baksil yang ada di 
badan kasarnya manusia disertai daya reaksi, sedangkan setan yagn 
ada di badan kasarnya manusia, yang lebih besar bahayanya, 
apakah tidak disertai daya reaksi?
soebandrio : 
Nah sekarang soal “Malaikat” yagn kamu tanyakan dari semula. 
Aku tadi sudah menyampaikan, bahwa makhluk yang berbadan 
halus itu, secara garis besar ada empat (Bab III No..33) baru saya 
terangkan yang tiga, masih kurang satu: yaitu dari golongan 
Malaikat itu.
4. Bangsa Malaikat (malaikat), itu makhluk Pencipta  berbadan halus 
yang luhur derajatnya. Pemimpin setan yang bernama Idajil itu, 
sebelumnya juga golongan Malaikat. Namun kemudian 
direndahkan derajatnya, dimasukkan ke dalam golongan setan 
yang alamnya bernama alam ajsam (Bab III No.33).
Sedangkan alam dari golongan Malaikat itu bernama alam 
Malakut. Jumlah dari golongan Malaikat itu juga tidak terbilang, 
seperti halnya jumlah dari golongan setan. Nama dari para 
Malaikat yang perlu dikaetahui dalam Rukun Iman ada 10, yaitu:
1. Jibril = Yang menjadi utusan Pencipta  memberikan 
Wahyu kepada para Nabi dan memberikan 
Ilham kepada makhluk yang diberi anugerah itu.
2. Mikail = Yang membagikan rejeki dan yang 
mencurahkan hujan.
3. Israil = Yang menempatkan Roh.
4. “Izrail = Yang mencabut roh.
5. Raqib = Yang mencatat pebuatan baik buruk.
6. “Atid = Yang mencatat perbuatan baik buruk
7. Munkar = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur.
8. Nakir = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur
9. Ridwan = Penjaga surga.
10.Malik = Penjaga Neraka.
Alam Malakut itu alam yang luhur (halus) sekali, sehingga orang 
yang belajar Yoga (Shalat Ma’rifat) sangat jarang yagn bisa sampai 
di tingkatan itu. Seta orang yang terbuka penglihatan gaibnya, 
jarang yang bisa melihat terhadsap ujud dari Malaikat itu, walau 
pun sudah bisa melihat wujud makhluk yang ada di alam Ajsam 
dan yang ada di alam kubur. Namun manusia yang sempurna dari 
yang sempurna: derajatnya melebihi Malaikat. Yaitu seperti yang 
sudah saya sampaikan itu, saat  Mihraj-nya Nabi Muhammad 
hampir sampai di hadapan Pencipta , Malaikat Jibril tidak kuat 
melajutkan untuk ikut (Bab III No.30).
38. kartosuwiryo : 
Mohon maaf Kak! Aku agak bingung mendangar penyampaian 
Kakak tanteng Malaikat itu. Yang dibicarakan yang sudah lalu kan 
golongan setan yang berada di badan kasarnya manusia alias yagn 
ada di jagad kecil (mikrokosmos). Aku kemudian mohon 
penjelasan tentang zelfkorreksi dan tentang daya areaksi yang 
menanggulangi aksi dari golongan setan itu. Kemudian Kakak, 
terus membicarakan golongan Malaikat, padahal penerimaanku: 
Malaikat itu para alat (Apparat) utusan Pencipta  yang bertugas 
mengurus semua manusia yang ada di seluruh dunia alias yagn ada 
di jaga besar (makrokosmos). Tentang hal itu bagaimana?
soebandrio : 
Itu kan pendapatmu sendiri, dari bawaanmu sendiri, bukan 
pendapat yang sebab  mendengar penyampaianku, ta? Aku tidak 
mengakatan Jagad besar dan sejenisnya, yagn saya katakan semua 
itu hanya jagad kecil, yaitu badan kasar dari manusia ini.
Memang benar bahwa malakekat itu aparat utusan Pencipta , namun 
Pencipta  yang bermakna “Individueele God” (Bab II No.2,8), bukan 
Pencipta  yang bermakna, algemenee God” seperti perkiraanmu itu. 
Sedangkan Algemeene God itu apakah memiliki Aparat yang 
bernama Malaikat, apa tidak, itu, tidak bisa dibicarakan, sehingga 
juga tidak perlu dibicarakan. sebab  Tinggi-Tingginya 
Ma’rifatullah itu – walau pun para Nabi sekali pun – tidak lain 
hanya Ma’rifat kepada ... Individueele God = Pencipta -nya sendiri 
(Bab I No.37, Bab II No.7).
Sehingga: Nama dari Malaikat serta kewajibannya sekalian, yang 
saya katakan itu tadi, tidak lain yaitu ... Malaikat dari diri orang 
masing-masing serta kewajibannya kepada diri amsing-masing 
orang saat  masih berbadan kasar ini.
Jika kamu masih bingung, sebab  tidak lain disebab kan nama dari 
Malaikat dan nama dari Pemimpin setan itu yang kamu kira 
eignnaa, sebagai ibarat ... Pak Sastrakara. Padahal sebenarnya 
“Nama” itu sebutan dari tugas pekerjaanya, Gambarannya ... Pak 
Carik yang pekerjaan menulis, dan di tiap kelurahan ada Pak 
Carik-nya. Jelasnya: Tiap diri manusia itu ada Ijajilnya sendiri￾sendiri, juga ada Jibril-nya sendiri-sendiri, Mikail-nya sendiri￾sendiri, Israfi-nya sendiri-sendiri ... dan seterusnya. Yang masing￾masing saling mempunyai kewajiban seperti yang saya katakan itu 
tadi. Namun, tugas Malaikat itu jangan kamu pahami letterlijk
seperti perkiraanmu semula itu tadi.
Sedangkan Malaikat yang tak terbilang jumlahnya itu, hidupnya 
juga menjadi benalu di badan kasar manusia, yang atas kudrat dari 
Pencipta , sebagai lawan menandingi dari golongan setan, yaitu dari 
reaksi atas aksi-nya golongan setan. saat  badan kasar manusia 
ini rusak, para Malaikat juga akan “Selesai” kembali kepada 
asalnya, seperti halnya golongan setan yagn sudah saya jelaskan itu 
tadi.
Untuk lebih jelasnya menggunakan rumus (formula), seperti ini:
Aksi dari setan rendahan (baksil, bakteri) yang menyebabkan 
sakitnya raga, di tanggulangi oleh reaksi dari Malaikat arahan.
Aksi dari setan tingkat yang lebih halus, yang menyebabkan 
sakitnya jiwa, ditanggulangi ileh reaksi dari Malaikat yang lebih 
luhur.
Sehigga: Golongan Malaikat itu – makhluk berbadan halus yang 
ditakdirkan menjadi reaksi terhadap aksi dari golongan setan. Oleh sebab  Malaikat itu makhluk yagn luhur derajatnya (Sangat halus), 
sehingga Malaikat yang Arahan saja, tidak bisa dilihat 
mempergunakan mikroskoop, apalagi Malaikat yang lebih luhur 
derajatnya. Juga dengan mempergunakan penglihatan gaib sangat 
jarang yang bisa melihatnya. Namun dengan menggunakan akal 
dan pikiran, orang bisa percaya atas adanya Malaikat itu, sebab  
melihat dari menyatakan atas perbuatannya.
Sedangkan perbuatan Malaikat Arahan yang membentengi aksi 
dan bakteri-baksil, wetenschap sudah menyaksikan adanya, 
Sedangkan yagn dilakukan oleh Malaikat yang menanggulangi 
perbuatan setan, yang menggoda manusisa agar sangat mencintai 
urusan dunia hingga mengalahkan penghambaannya kepada 
Pencipta , bisa dinyatakan menggunakan Zalfkorreksi seperti ini:
Kita ini dalam setiap harinya, tiap jam, tiap menit, tiap detik, pasti 
mengalami Chaathir (krenteg-osik/Cetusan hati) saat  salah satu 
indriya yang lima mengalami hal apa saja, terkadang tersa, 
terkadan tidak terasa, sebab  sangat eratnya, Cetusan itu garis 
besarnya pasti hanya dua macam yang selalu berlawanan, Yang 
satu mengajak lupa (menolak) kepada Pencipta , yang satunya lagi 
menghamba (manghadap) kepada Pencipta . Cetusan hati yang 
mengajak menolak itu, tidak lain dari perbuatan golongan setan, 
sedangkan yang mengajak menghadap Pencipta  itu tidak lain berasal 
dari perbuatan golongan Malaikat.
Orang yang kuat raganya, daya reaksi dari Malaikat Arahan itu 
kuat dalam menghadapi aksi dari golongan setan rendahan (baksil 
bakteri). Semikian juga orang yang kuat jiwanya (rohnya), daya 
reaksi Malaikat yang selalu mengajak menghadap Pencipta itu juga 
kuat menanggulangi aksi dari golongan setan yagn selalu mengajak 
menghidar dan menolak terhadsap Pencipta . Sedangkan badan kasar 
serta si astendriya yang dikendalikan oleh akal pikiran, hanya 
tinggal menurut saja. Jika roh-nya tunduk kepada setan, tentu akan 
melakukan sesuai dengan watak dari setan, demikian juga 
sebaliknya.
Nah... sekarang sudah malam, jika kamu akan pulang besok, 
sekarang istirahatlah.
39. kartosuwiryo : 
Iya Kak, namun aku memaksa mohon diterangkan dahulu tentang 
surga dan neraka, walau secara singkat saja. Keinginanku ingin 
mengerti tentang hal yang gaib lainnya yagn tidak ada 
hubungannya dengan Iman dan tekad, saya sabarkan dahulu, lain 
waktu saja jika saya datang ke sini lagi.
Kakak mengatakan, bahwa surga neraka aitu bermakna takdir baik 
dan takdir buruk (Bab II No.35) itu aku belum jelas benar.
a. Yang disebut takdir baik dan takdir buruk itu yang baimana 
ujudnya?
b. Katanya surga itu lapis tujuh, neraka itu lapis tujuh, sedangkan 
surga neraka itu merupakan takdir hidup, terus bagaimmana 
kejelasannya?
soebandrio : 
Pertanyaanmu itu sepertinya sudah isi catatan .... bahwa surga 
aneraka itu kamu kira tempat. Hal itu keliru, salah yang 
sebenarnya. Surga Neraka itu kenyataannya persisi seperti “alam￾a;am” yang sudah saya jelaskan di depan. Tidak lain hanya 
menurut rasa dari yang mengalami sendiri-sendiri (Bab II No.23, 
24, 25).
Sehingga jika kamu mempunyai anggapan, bahwa yang disebut 
takdir baik itu orang yang dilahirkan pinter, sugih, terhormat ...... 
itu salah. Sebab yang mengalami hal demikian belum tentu 
mempunyai rasa Beruntung. Sedangkan yang dilahirkan 
sebaliknya itu semua jangan kamu kira itu takdir jelek, sebab  yang 
mengalami belum tentu mempunyai rasa celaka.
Singkatnya: Surga = keadaan hati yang berasa beruntung, senang, 
tenteram dan lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatakan 
enak; Neraka = Keadaan hati yang merasa celaka, susah, resah dan 
lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatan tidak enak.
Coba sekarang dikupas:
Kata “Surga’ dan “Neraka” itu, aku tidak mengerti kejelasannya, 
apakah kata yagn sudah berubah atau mengambil dan manca, apa 
asli bahasa Nasional, dan makna yang letterlijk, itu bagaimana aku 
juga tidak mengerti dengan jelas.
Sedangka jika makna yang mengikuti artinya, sudah jelas Surga = 
Kenikmatan dan keindahan, Neraka = lawan dari kenikmatan dan 
keindahan, Jika demikian, kan kata sebutan yang disimpulkan dari 
kata ‘Keadaan”. Namun saat  dijadikan kata yang berbunyi 
“Surga” dan “Neraka” kemudian menimbulkan anggapan baru: 
Surga neraka itu sebutan tempat, seperti Pantai, gua dan lain￾sebagainya.
Di dalam Biybel, dalam menyebut surga itu Hemel artinya atas, 
untuk menggambarkan keluhurannya, terkadang eden atau 
Paradiys artinya Pertamanan, untuk menggambarkan 
kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan dalam 
menyebut Neraka: Hel, artinya... Bawah, untuk menggambarkan 
keburukannya.
Di dalam kitab muslim  dalam menyebut surga itu Jannatun (al￾jannatu) artinya pertamanan, juga untuk menggambarkan 
kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan kata 
“Jannatun” itu kadan ditambahi Firdaus, naim, chudi, adni, illiyin, 
Entah yang lainnya lagi. Kemudian menumbuhkan anggapan 
bahwa tambahannya itu... Eignnaame si Jannatun, seperti halnya 
“Parangtritis” Eignnaame “Pantai” Atau “Langse” eignnaaame 
Gua. Padahal kenyataannya tambahan itu yaitu  kata keterangan 
atas Kenikmatan dan keindahan iut tadi. Seperti:Jannatul Firdaus” 
bermakna Pertamanan yang dihiasi Istanabukan Surga yang 
bernama Firdaus. Sedangkan “Firdaus” itu satu maksud dengan 
“Paradiys” di Biybel, berasal dari Bahasa Ibrani.
Seharusnya kata sebutan itu tidak berlawanan. Namun kata sebutan 
Surga dianggap berlawanan kata sebutan neraka, oleh sebab  
kedunya memang asal dari kata keadaan. Sedangkan di Qur’an 
tidak demikian. Kata sebutan “Jannatun” yang diartikan ke dalam 
bahasa Jawa “Surga” tidak mempunyai lawan katanya dan bahasa 
jawanya Neraka. Di Qur’an hanya menceritakan adanya “Adzaab 
(Siksa) bermacam-macam, contohnya: wailun, sa’ir, jahim, 
jahanam, huthammah, haawiyah, saqar, nar ... entah yang lainnya 
lagi. Sedangkan kata-kata itu kan jelas yaitu  kata keterangan yang 
menerangkan “Adzaab” itutadi, bukan eignnaam, serta kata 
“Wailun” (dibaca: Wel) itu satu asal dengan “Hel” di Biybel, sama 
berasal dari bahasa Ibrani.
Menurutkan sekarang sudah jelas lebih dari jelas, bahwa surga 
Neraka itu bukan tempat, hanya rasanya (Yang dirasakan hati) 
yang mengalami saja.
Sedangkan surga Neraka itu dikatakan lapis tujuh, atau warna 
tujuh, itu tidak ada salahnya, sebab  rasa yang dialami hati (enak 
atau tidak enak) itu memang banyak jenisnya, bukan hanya tujuh 
macam saja. Serta masing-masing warna itu tidak sama ukurannya, 
juga bukan tujuh ukuran saja.
Yang Terakhir: saya ulangi pesanku; Jangan suka berbantahan 
masalah Ilmu (Bab I No.37) ingatlah perintah Qur’an “ Mani 
ahtadaa fainnamaa yahtaddie linafsihi waman dlalla fainnamaa 
yahdlilu ‘alaihaa (Isyraa’ 15) = siapa yang mendapakan
 petunjuk 
itu untuk dirinya sendiri, yang siapa sesat juga untuk dirinya 
snediri). Artinya: Masing-masing orang itu keyakinanan menurut 
taqdirnya sendiri-sendiri, tidak bisa didpengaruhi.
Sekarang ayo... Istirahat.






























URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT Pencipta 
YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI 
DZATI WAJIBI’L MAUJUDI)
1. kartosuwiryo : 
Kakak, Atas kedatanganku ke sini, sebab  aku libur panjang, untuk 
mohon diajari Ilmu kenyataan yang menjadi keyakinan kakak.
Perintah Kakak setahun yang lalu, sudah saya laksanakan. Aku 
sudah berguru ke sana ke mari dan sudah membaca buku-buku 
tentang Agama dan tentang Ilmu Batin.
Sehingga kedatanganku ke sini bisa diibaratkan mengambil air 
menggunakan pikulan air, seperti petunjuk Kakak dahulu, apakah 
tidak demikian? 
soebandrio : 
Syukurlah, beruntunglah jika kemu sejak saat  itu tidak hanya 
berhenti pada niat saja. 
Memang, bukan hanya dirimu saja yang saya sarankan demikian. 
Dengan tujuan agar tidak fanatik. Sebab menurut penadapatku, 
fanatik itu menjadi penghalang besar, terhadap orang yang sedang 
mencari ilmu hakikat. sebab  menjadikan mereka jadi kehilangan 
penalaran, itu disebabkan terttutup oleh keyakinan “menolak” atas 
pendapat orang lain.
Lebih tinggi lagi kerugian, orang yang belajar ilmu hakikat jika 
sudah fanatik terhadap sesama manusia. Apapun ajaran gurunya, 
diterima apa adanya hingga lahir batin, tanpa di telaah sama sekali. 
Pyaitu , walau- pun Firman Pencipta  yang tercantum di dalam 
Kitab-Kitab Agama itu pun, penghayatannya juga harus 
menggunakan akal dan pikira.
2. kartosuwiryo : 
Aku baru paham sekarang, bahwa petunjuk Kakak itu, 
mengandung maksud yang demikian. Saya kira, saat  Kakak 
memberi perunjuk saat  itu, disebabkan saya dikira belum kuwat 
untuk meguasai ilmu hakikat, atau bagaimana?
soebandrio : 
Belum kuat bagaimana? Apakah kamu beranggapan bahwa 
seseorang yang belajar Ilmu Hakikat ada yang menjadi gila, oleh 
sebab  belum kuwat? Seandainya ada Ilmu yang bisa 
menyebabkan gila, sudah bisa ditentukan bahwa itu bukan Ilmu 
Hakikat.
Sederhananya, bahwa Ilmu Hakikat itu sama sekali tidak ada 
bahanya dan tidak merugikan. Dan jika bisa “terkabul” justru 
bermanfaat dan menyelamatkan baik di dunia hingga akherat. 
Sehingga dikatakan jika “Terkabul”, tentunya ada yang “tidak 
terkabul”. Yaitu belajar ilmu yang tidak bisa membuahkan Iman 
(kepercayaan), dan anggapan (Keyakinan). sebab  takdir manusia, 
antara yang satu dengan lainnya tidak ada yang sama. Kata 
lainnya: Beda-beda takdir tiap diri.
3. kartosuwiryo : 
Bagi yang telah mendapat anugrah Iman dan niat, apakah masih 
diperlukan membandingkan dengan ilmunya orang lain?
soebandrio : 
Sangat perlu, itu tidak, namun tidak ada jeleknya, artinya tidak ada 
ruginya. Sebaliknya; Jika menolak, membantah, tidak mau 
memahami lain ilmu, itu sudah pasti ruginya, sebab  terjerumus ke 
dalam kefanatikan itu tadi.
Fanatik yang seperti itu, artinya tidak bisa merasa bahwa diri 
manusia itu mempunyai sifat sial, sifat lupa, banyak 
kekuarangannya. Merasa telah benar sendiri, merasa paling 
sempurna, itu sebetulnya sebab  kelemahannya, merasa khawatir 
jika terpengaruh oleh lain ilmu.
Menambah ilmu itu janganlah kuatir bahwa Iman dan cita-citanya 
akan goyah. Seandainya keyakinan dan kepercayaannya menjadi 
goyak disebab kan saat  mempertimbangkan dan menelaah ilmu 
milik orang lain, itu menandakan bahwa Iman dan Cita-cita 
sebelumnya disebab kan belum 100%. Iya apa tidak? Kan tidak 
merugikan?
Atas orang yang tidak fanatik, sekira ilmunya orang lain di anggap 
salah, tidak cukup hanya dengan dasar “Saya menolak”. Pastilah 
ada alasan yang jelas, bagian mana yang dianggap salah, dan 
apakah sebabnya sehingga di anggap salah.
Sekarang saya bertanya kepadamu: Apa yang kamu peroleh dari 
kamu berguru dan membaca Buku-buku itu bagaimana? Apakah 
masih belum ada yang bisa memuaskan pikiranmu?
2. kartosuwiryo ;
Apalagi merasa puas, mengerti saja belum, Kak, Sebab, 
pemahamanku dari tiap jenisnya beda penjabarannya dan juga 
kalimatnya. Entah sebab  akebodohanku, atau bagaimana. 
Sehingga saya minta Kakak berkenan memberikan penerangan 
tentang hal itu dan mengajarkan Ilmu Hakikat itu.
soebandrio : 
Penyebab kebingunganmu itu bisa juga dari dirimu sendiri, yaitu 
sebab  menyamakan sesuatu yang sebenarnya  tidak sama.
Tiap-tiap guru atau pengarang buku itu memang tidak harus sama 
penguraiannya dan kalimat-kalimatnya (istilah) yang 
digunakannya, sehingga tidak usah kau banding-bandingkan. 
Gantilah saja penalaranmu. Nantinya akan kau temukan sebagian 
atau sedikit, dari uraian tadi, yang sama persisi, dan cocok dengan 
akal pikiranmu.
Namun bisa juga penyebab kebingungan itu tidak disebab kan 
kesalahanmu. Sebab tidak kurang tukang memberi penerangan, 
yang seharusnya bisa menjelaskan sesutu yang sulit, justru 
membuat bingung atas sesuatu yang mudah.
Bia terjadi yang demikian itu, ada yang tidak disengaja, artinya 
memang tidak punya dasar keahlian tentang bagaimana cara 
menerangkan agar mudah dipahami. Ada yang memang disengaja; 
Membikin bingung itu ada dua tujuan:
a. Dia sendiri memang tidak mengerti tentang sesuatu yang dia 
terangkan, sehingga hanya mengatakan saja suatu keterangan 
yang pernah dia dengar, dengan diawur saja.
b. Dirinya memang sangat paham tentang yang dia jelaskan, 
namun memang tidak mau membuka rahasianya, penyebabnya: 
Itu bermacam-macam. Ada yang sebab  sangat bijaksananya, 
ada yang sebab  .......... silahkan tebak sendiri.
3. kartosuwiryo ;
Menyela kata Kak!! Tadi kakak mengatakan (Bab.I No.2): Ada 
pencarian yang tidak terkabul, yaitu yang tidak membuahkan Iman 
dan keyakinan. Dan jika keterangan yang diterima itu memang 
jelas, terang-terangan, dan juga cara menerangkannya memang 
bisa, apakah masih ada yang tidak bisa menerimanya sehingga 
menolaknya?
soebandrio : 
Menerimanya memang bisa menerima, mengerti pun bisa mengerti 
juga, namun, bisa digambarkan sebagai berikut:
A, B, dan C. Sama-sama menerima penjelasan tentang keburukan 
orang merokok, disebab kan tembakau itu mengandung racun 
yang bernama Nikotin, yang bisa membuat rusaknya badan.
Si A, ranpa ragu-ragu, kemudian berhenti merokok, sebab  telah 
paham betul atas penjelasan ini , sebab  kuatnya 
peyakinannya.
Si B, juga memahami atas penjelasan ini , dan juga percaya 
bahwa merokok itu merugikan kesehatan badan, namun....... tidak 
bisa menghentikan merokok, sebab  kurang kuat pendiriannya, 
seingga berhenti merokok itu terasa sangat berat baginya.
Si , juga paham atas penjelasan ini , namun setengah percaya 
dan tidak percaya, Dalam batinnya berkata: “Soal racun itu 
terkadang hanya perkiraan saja, sebab  tidak kelihatan. Yang jelas 
saja, bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok itu terlihat 
kurang pantas. Shingga entah benar atau tidaknya tentang cacun, 
aku tetap terus merokok, agar tidak terlihat tidak pantas.:
Pikirkanlah hal itu. Baru menerangkan soal rokok saja, hasilnya 
tidak sama. Apalagi penjelasan tentang Ke-sukma-an / Ilmu 
hakikat yang berjuta-juta kali lipat guna dan manfaatnya, sebab  
bisa sebagai jalan masuk surga atau masuk neraka.
Jika saja Iman dan Keyakinan itu, manusia bisa membuatnya, 
maka saat  di masa hidup para Rasul tidak akan ada orang Kafir. 
Iya apa tidak? Nah.... sekarang apakah yagn kau inginkan.. 
sampaikanlah dengan jelas...
4. kartosuwiryo : 
Yang kuinginkan tidak lain mohon diberi ajaran tentang Ilmu 
Hakikat, yang bisa dipergunakan dalam hdiup di dunia dan di 
akhirat, barangkali saja saya bisa memahaminya. Sebab saya 
merasa belum mempunyai keyakinan dan pegangan yang 
sebenarnya, walau pun saya telah berguru ke mana-mana dan 
sudah membaca bermacam-macam Kitab.
soebandrio : 
Ya sudahlah, Jika memang niatmu sudah jelas begitu. Namun 
pahamilah, Bahwa Kakakmu ini tidak pernah “memberi ajaran” 
seperti yang kau inginkan itu. Itu yaitu  kebiasaan di masa lalu, 
yang harus duduk di kain mori putih, atau di tempat yang tidak 
terhalang pepohonan. Aku tidak mempergunakan cara seperti itu.
Alangkah baiknya mempergunakan cara tanya jawab saja. Kamu, 
bertanyalah sekehendak hatimu, apa yang kau inginkan, akan saya 
jawab semampuku. Jika jawabannya belum memuaskan, 
bantahlah, hinga kau merasa puas. 
Cobalah sekarang, apa yang akan kamu tanyakan?
5. kartosuwiryo : 
Waduh!! Jika Kakak menghendaki cara seperti, sangatlah susah 
bagiku, sebab  membuat pertanyaan itu tidak gampang. Sebentar 
saya pikirkan terlebih dahulu. Pertanyaan apa yang harus 
dahulukan, sebab  sangatlah banyak tentang bab-bab yang akan 
saya mohon untuk dijelaskan.
soebandrio : 
Sukurlah! Jika kamu telah mempersiapkan banyak pertanyaan. 
sebenarnya  bertanya itu tidak sukar. Hanya saja, dari 
pertanayaan itu, maka bisa diukur ilmu yang dimiliki.oleh yang 
bertanya.
Memang, yang lebih mudah dari yang mudah itu, yaitu  
mendengarkan “Pengajaran” seperti yang kau inginkan. Namun, 
jika dirimu biasa mempergunakan cara seperti itu, maka 
penalaranmu tidak bisa berkembang, dan tidak bisa membuahkan 
kepercayaan dan keyakinan yang sebenarnya.
Maka dari itu, lebih baik mempergunakan cara tanya jawab iitu 
saja. Dan sebaiknya tanya jawab ini catatlah semuanya, barangkali 
saja ada gunanya untuk siapa saja yang menghendakinya.
Catatlah seperlunya saja, janganlah takut-takut, sebab  Negara Kita 
ini berdasar Demokrasi; Tidak ada halangannya untuk 
mengeluarkan dan menyebarkan pendapat tentang bab apa saja. 
Agar supaya lebih terperinci penjabarannya, pahamilah olehmu, 
bahwa yagn disebut Ilmu Hakikat, Ilmu jiwa, Ilmu ke-sukma-an, 
Kerokhanian, kesempurnaan, ke-Pencipta -an, Kebatinan, ada juga 
yang menyebutnya Asal dan Tujuan Kejadian (sangkan paran) atau 
Ilmu Tua, itu yaitu :
Menjelesskan tentang Pencipta 
Menjelaskan Tentang kematian
Menjelaskan tentang Jalan Ma’rifat KePencipta an
Menjelaskan tentang yang gaib.
Namun, banyak dari mereka, barangkali kali merasa khawatir akan 
segera meninggal dunia, yang lebih diutamakan itu yaitu  mencari 
ajaran tentang sikap seseorang yang akan meninggal dunia. 
Sedangkan penjelasan tentang hal lain-lainnya tidak menjadi 
perhatiannya.
Ada juga yang walau pun sedikit pernah mendengar kalimat 
“Ma;rifat” namun tiba-tiba melakukan latihan yang menurut 
anggapanya yaitu  merupakan Jalan Ma’rifat kepada Pencipta . Itu 
juga tidak memiliki perhatian terhadap ajaran yang lain-lainnya.
Ada lagi yang perhatiannya yaitu  hanya kepada yang gaib-gaib, 
tanpa berdasar kepada keterangan yang jelas. Tentang hal yang 
lainnya yang justru lebih penting , tidak menjadi perhatiannya.
Seekrang, silahkan bertanya sekehendak hatimu, namun sebaiknya 
ikuti tata urutan yang telah ini  di atas, barangkali saja , dari 
jawaban yang saya berikan bisa menjadikan terang dan puasnya 
hatimu.
6. kartosuwiryo : 
Terima kasih, Kakak telah memberi pedoman urut-urutan dari 
pertanyaan. Namun sebelumnya saya mohon penjelasan terlebih 
dahulu. Yang dalam pencariannya dengan cara tidak urut , itu 
kerugiannya di mana?
soebandrio : 
Tidak hanya mendapatkan kerugian, justru itu termasuk masuk ke 
dalam bahaya yang mengerikan, Cobalah dipikirkan:
Meninggal dunia itu seharusnya kan: Innaa lillahi wa inna ilaihi 
raji’uun (Al-Baqarah 156 = Sesungguh asal dari Pencipta  kembali 
kepada Pencipta ). Namun akan kembali ke manakah, bila tentang ke￾Pencipta -an, seseorang imannya masih ragu-ragu dan juga dalam 
keyakinannya?
Demikian juga halnya bagi bagi yang belajar Ma’rifat, padahal 
belum jelas tentang ke-Pencipta -an. Apa yang akan di makrifatkan, 
jika iman dan keyakinannya masih ragu-ragu? Nah kan, itu lebih 
baik yang rajin menjalankan Shalat Syari’at saja – menurut 
Agamanya sendiri-sendiri yang di senangi – yang sama sekali tidak 
ada bahayanya.
Sedangkan bagi yang perhatiannya tertuju kepada yang Gaib-gain 
itu, bila sampai terlupa atau tanpa pejelasan yagn jelas, pastilah 
akan celaka, sebab belum bisa membedakan diantara “Yang Iya” 
dan “yang bukan”
7. kartosuwiryo : 
Mohon ijin Kak, menyela untuk mohon penjelasan: Ada pencarian 
yang harus melewati bahaya, ada yang tidak, hal itu pemahaman 
saya belum jelas. Jika sampai kepada yang dicari (kembali kepada 
pangkuan Pencipta ), seharusnya kan memilih yang tidak ada 
bahanya. Apakah tdiak demikian?
soebandrio : 
Dalam hal memilih, saya tidak bisa menyarankan, itu tergantung 
dari kesenangan diri masing-masing untuk memilih. Sampai atau 
tidaknya atas yang menjadi tujuannya, itu tergantung kuasa dan 
keadilan Pencipta  sendiri. WPencipta u a’lam, Hanya Pencipta  Pencipta  yang 
Maha Mengetahui.
Namun jika soal pencarian atau ibadah kepada Pencipta , itu memang 
ada 4 tingkatan, yaitu:
1. Syari;at, artinya: Aturan yang berupa aturan Agama tentang 
perintah dan larangan yang harus dijalankan. Sebagai dasarnya 
harulah percaya, bukan yang itu bukan yang ini. Itu sebagai 
ujian saat  menghamba kepada Pencipta  dengan cara 
bersungguh-sungguh.
2. Thariqat, artinya: Jalan atau petunjuk, berupa petunjuk yang 
memberi pengertian akal dan pikiran, sehingga keyakinannya 
tidak hanya ikut-ikutan, dan menjadi sarana untuk mencapai 
kepada Hakikat.
3. Haqiqat, artinya: Sejati atau nyata, itu yaitu  sudah bisa merasa 
di dalam halusnya rasa tentang perbedaan yang Nyata (Haq) 
dengan yang bukan (bathal), yang berasal dari perjuangan yang berdasar petunjuk ini . Diri yang lain sudah tidak bisa ikut 
campur sama sekali.
4. Ma’rifat, artinya: Melihat, namun bukan penglihatan mata 
saat  melihat. Itu yaitu  suatu hal yang sudah bisa 
menyatakan tentang Kenyataan, yang dalam menyatakannya 
sama sekali tidak mempergunakan alat. Tentang hal itu, selain 
bahwa orang lain sudah tidak bisa ikut campur lagi, diri sendiri 
pun tidak bisa menceritakan kepada diri yang lain.
Berdasarkan keteranga ini , bahwa sebenarnya  yang 
terpenting ada pada tingkatan Thariqat. Namun bagi seseorang 
yang hanya menjalan syri’at saja, asal dengan sungguh-sungguh, 
jika diperkenankan itu juga akan mendapat anugerah petunjuk 
yang berasal bukan dari orang lain, itu disebut Ilham. Shingga 
Rasul Pencipta  pernah bersabda: “Aktsaru ahli’Ijannati albalhu wa 
illiyuuna lidzawi alalbaabi (Hadist), Kebanyakan orang yang hali 
surga itu orang yang bodoh-bodoh, sedangkan yang berada di 
Illiyun – Surga yang tertinggi .. ituyaitu  orang yang pintar-pintar).
“Pintar” di sini bukan bermakna pintar dalam hal ilmu keduniaan 
(mahir), yang terendah adalh di baigan Thariqat. Sebab untuk 
menetapkan bahwa sesuatu itu ilham atau bukan, itu haru ada 
keterangan yang jelas. Dan jika ilham palsu yang diyakini, maka 
akan gagal untuk menjadi Ahli ‘Ijannati (penghuni surga)).
8. kartosuwiryo ;
Jika demikian, atas semua keterangan Kaka itu, seandainya saya 
bisa menerima, baru termasuk di tingkat Thariqat, apakah 
demikian Kak?
soebandrio : 
Nah... menurut perasaanmu bagaimana? Segala sesuatu yang 
masih bisa dikatakan, baik berupa tanya jawab, atau yang berupa 
ajaran atau urutan Wirid, hal itu sudah jelas masih berada di 
tingkat Thariqat. Namun yang berbentuk Ajaran atau rangkaian 
Wirid, banyak yang tanpa penjelasan, serta saat  mendapatkan 
itu semua dengan syarat Tirakat atau ada larangannya, sehingga 
menyebabkan banyak yang tertarik.
Sedangkan untuk bisa sampai di Tingkat Hakikat itu masih sangat 
jauh. Untuk sampai ke Tingkat Ma;rifat itu semakin sangat jauh 
sekali.
Maka dari itu, kamu jangan sampai punya anggapan, bahwa 
hanya sebab  sudah mengerti, itu sudah sampai di Tingkat 
Hakekat atau Ma;rifat, itu bukan. Paling tinggi baru sampai buah 
dari Iman dan keyakinan, yang menjadi pedoman dalam berjuang 
untuk mencapai Hakekat dan Ma’rifat yang jauhnya sangat jauh 
itu.
Jangan menggampangkan, namun juga jangan cepat “putus asa” 
dan jangan menyalahkan diri sendiri.
saat  kita merusaha mencapai Ma’rifat itu bukan aneh pun 
bukan tidak wajar, sebab Pencipta  sendiri memerintahkan demikian: 
Kullama ruziquuwa minhaa min tsamaratin rizqan qaaluuwa 
hadzaa adzdzie ruziqna min qablu wa utuwabihi mutatsabihan 
(Al-Baqarah 25 = Seandainya orang-orang itu diberi rijeki dari 
buah-buahan surga, akan berkata: “Ini sama dengan yang 
diberikan kapaku seperti dahulu). Artinya, orang-orang yang 
mendapatkan kenikmatan surga saat  di akherat itu telah pernah 
merasakan kenikmatan (ma’rifat) kita hidup di dunia dahulu.
Ada juga perintah Pencipta , yang seperti ini: Waman kana 
fiehadziehi a’ma fahuwa fiel achirati a’ma wa adlallu saielan 
(Isra:72 = Barang siapa yang di sini buta, maka dia di akhirat pun 
buta, tidak tahu jalan).
Sehingga seseorang yang ingin mencapai Ma’rifat denegan benar, 
itu tidak lain berniat merasakan surga di dalam saat  masih 
memiliki raga ini, dan agar tidak buta saat  di dunia dan di 
akhirat.
9. kartosuwiryo : 
Iya, Iya Kak, saya sudah paham. Namun dalam saya memohon 
penjelasan mengenai bahwa dalam berusaha saat  ada bahanya 
denga yang tidak ada bahayanya, Kakak belum memberi jawaban. 
Hal itu bagaimanakah kejelasannya? Dan juga yang dikatakan 
menjadi penghalang besar, itu mohon dijelaskan sekalian.
soebandrio : 
Oooo... Ibaratnya begini: Seseorang yang berhenti pada syari’at 
saja, yang maksudnya sama sekali tanpa ilmu Tarikat yang jelas, 
itu sama halnya dengan seseorang yang tidak pernah bepergian, 
mengumpulkan bekal untuk perjalanan jauh, seumpama pergi 
Haji ke Makkah. Juka memang benar-benar, selain bekal yang 
berupa uang, tidak boleh tidak, harus berbekal ilmu tentang tata 
cara orang naik kereta, Cara naik kapal laut, cara setelah sampai di 
Tanah Arab, dan lain sebagainya, Itu benar kan?
Dan seumpama seseorang itu tidak mempunyai ilmunya, 
semestinya tentu tida jadi bepergian, terhenti di rumah saja. 
Namun hal itu, sama sekali tidak ada bahayanya. Justru telah 
berhasil mengumpulkan uang yang banyak gunanya (“amal 
Shalih = berbuat baik). Namun jika kemudian mendapatkan 
Ilham, hal itu tidak masuk dalam gambaran ini.
Sedangkan yang belajar ilmu Ma’rifat atau ilmu hakikat 
kesempurnaan mati, padahal belum bisa memahami dengan jelas 
keterangan tentang itu, itu sama halnya dengan seseorang yagn 
pergi Haji, yang sudah terlanjur berada di dalam kereta atau di 
dalam kapal, namun tidak membawa tiket atau karcis, dan juga 
sama sekali tidak tau ke mana tujuan dari yang dinaikinya itu, dan 
lagi tidak tau Makkah itu ada di mana. Dan orang itu ada yang 
membawa bekal, ada juga yang tidak membawa bekal sama 
sekali.
Apakah hal seperti bukan merupakan bahaya besar? Dari 
golongan inilah yang kemudian mencela terhadap orang yang 
menjalankan syari’at. Sehingga diberi julukan dengan sebutan 
klenik oleh para ahli syari’at.
Seseorang yang patuh pada aturan, patuh pada perintah, tunduk 
kepada kedisiplinan.... malah di cela! Hal itu sangat tidak pantas 
bagi yang mencelanya taa? Seharusnya, walau pun dirinya tidak 
menjalankan syari’at, tidak bisa menyalahkan orang yang 
menjalan syaria’at itu.
Maka dari itu, jika dirimu ingin belajar ilmu ma’rifat, sebaiknya, 
juga dengan menjalankan syari’at, sesuai dengan Agama yang 
gkau anut. Itu menjadi pondasi, untuk mempermudah mencapai 
cita-citamu, seukuran dengan derajat dan martabatmu. Jika tidak 
bisa menjalankan, hal itu terserah saja, namun jangan sekali-kali 
meremehkan orang lain yang menjalan syari;at.
Sebaliknya, jika kau bersungguh-ssungguh belajar Ma’rifat, 
jangan kamu khawatir di tuduh “klenik”. Seandainya saja, tiap 
ma’rifat itu klenik, tentunya tidak akan ada yang bernama 
Mu’min Khas, tidak ada yang bernama wali, dan juga tidak perlu 
para filsuf mengarang kitab-kitab falsafah dan juga para sufi yang 
mengarang Kitab-kitan Tashawwuf.
Sedangkan bagi yang menjadi perhatiannya yaitu  hal yang gaib￾gaib, itu yaitu :
a. saat  seseorang telah memperoleh keterangan yang jelas, 
dan sudah mencapai di tingkatan hakikat, itu bagaiakn orang 
pergi haji, namun perhatinnya hanya senang melihat kota 
Jakarta saja.
b. Sedangkan bagi seseorang yang belum memeproleh 
keterangan yang jelas, serta belum bisa mencapai apa-apa, itu 
ibaratnya bagaikan seseorang yang bepergian dengan tujuan 
hanya ingin melihat keindahan ssuatu tempat, namun tidak 
mengetahui bahwa yang indah itu apanya, dan sedang berada 
di kota apa. Tentang pergi Haji, sama sekali tidak masuk ke 
dalam pikirannya atau hanya dipikir sambil lalu saja.
Sudahlah, cukup ini saja, sepertinya dirimu sudah mempersiapkan 
pertanyaan yang hebat. Hayooo mau bertanya apa lagi?
10. kartosuwiryo : 
Ini masih tergolong hanya menyela terlebih dahulu, agar semakin 
sempurna pengertianku, Kak. Kakak tadi mengatakan, Ilmu 
hakikat atau ilmu kejiwaan atau lain sebagainya itu tadi, hal itu 
memang sama saja, ataukah berbeda-beda? Bila beda sebutannya, 
itu seharusnya juga beda ujudndya dan beda artinya pula, walau 
pun perbedaaanya hanya sedikit. Apakah tidak demikian?
soebandrio : 
Wahhh, jika berbicara hakikat mempergunakan jalan penjelasan 
kata, itu agak susah. Sebab kata-kata yang dipergunakan pada 
tingkat Hakikat yang terbanyak dalam Bahasa Arab atau Sanskrit, 
yangsudah berubah makna dari yang sebenarnya. Sehingga jika 
kau ingin memahami sebuah ajaran itu, rasakanlah maknanya 
saja.
Demikian juga halnya, tentang nama-nama ilmu yang kamu 
tanyakan itu, sebenarnya  tidak hanya berbeda sedikit, ada yang 
beda maknanya banyak sekali. Namun pada umumnya hanya 
diringkas saja, dianggap sama saja.
“Kenyatan/Yang Nyata adanya” (Kasunyatan = Bahasa Jawa), itu 
makna sederhananya hanya sampai menjangkau tingkatan 
Hakikat saja, sebab berasal dari kata dasar “Nyata” yang artinya 
HAQ, Namun kata “Kasunyatan” yang berasa dari bahasa 
Sanskrit “Sunyata” (menerangkan tentang Sunya, tentang yang 
kosong), itu mengandung makna telah sampai tingkatan Ma’rifat 
(“arifin).
“Kejiwaan” dan “Kerokhanian” itu memang maknanya sama, 
yaitu ilmu tentang Jiwa atau Roh, maksudnya: Badan halus. 
Namun sekarang ini, kata “Jiwa” itu banyak yang dimaknai Budi 
Pekerti, terkadang bermakna semangat, malah ada yang hanya 
bermakna Nafsu. Nah, itu kan bukan ilmu Ke –Pencipta -an, sebab 
roh (jiwa), itu, bukan Pencipta .
“Kasukman” tentang suka, makna dasarnya yaitu  
kailingan/kesadaran ingatan, sebab “Suksma” itu artinya yaitu  
hilang atau tidak terlihat mata. Namun sudah sejak jaman dahulu 
bahwa Pencipta  sering disebut juga Hyang Suksma, sehingga Ilmu 
Kasuksman itu, dianggap mempunyai arti sama dengan ilmu 
Tentang Pencipta .
“Kasampurnan” (kesempurnaan), itu berasal dari kata “sempurna” 
maksud sebenarnya ada “Sempurna dalam kematiannya”. Namun 
mati yang sempurna itu pada umumnya yang kembali kepada 
asal, Kembai kepada asal mulanya, “Inna lillahi wa inna ilaihi 
raji’un” itu tadi.
“Ka-Pencipta -an” (tentang Pencipta ), dalam bahasa Indonesianya Ke￾Pencipta an, itu yaitu  Ilmu yang menerangkan tentang Dzat, Sifat, 
Asma dan Af’al dari Pencipta . Bisa dimaknai lebih luas lagi: Juga 
menerangkan tentang cara ibadah kepada Pencipta , dalam lahir dan 
batinnya, juga disebut Sari’at, Tarikat, hakekat dan Ma’rifat itu 
tadi.
“Kebatinan”, itu makna dasarnya yaitu , semua ilmu yang bukan 
tentang lahir, yaitu tentang segala jenis Mantra, aji kesaktian dan 
kelebihan itu semua termasuk ilmu kebatinan. Nah yang ini 
memang tidak termasuk ilmu tentang Ke-Pencipta an.
“Sangkan paran” (Asal dan tujuan), itu ilmu yang menerangkan 
Sangkan (asal) saat  belum tercipta itu bagaimana, dan parene 
(pada akhirnya) itu bagaimana. Sehingga jika tidak melenceng 
sama juga dengan Kasampurnan itu tadi.
“Ngelmu Tuwa” /Ilmu tua, itu maknanya juga ilmu tentang 
Kesempurnaan dalam kematian. Sebab orang yang sudah tua pada 
umumnya itu sudah mendekati saat kematiannya, sehingga 
seharusnya sudah waktunya ingat dan berusaha mencari ilmu 
tentang mati, sehingga di saat kematiannya tidak asal-asalan saja.
Seperti itulah keterangan ringkas tentang pertanyaanmu tadi, 
menurut pemikiranku.
11. kartosuwiryo : 
Iya Kak, ringkasan-ringkasan ini , saya sudah bisa 
menerimanya. Namun sekrang saya mohon penjelasan tentang 
yang inti, sesuai dengan batasan-uraian Kakak tadi (Bab I No.7), 
yaitu mohon diterangkan tentang “Pencipta ”.
Ada yang berpendapat, bahwa sebenarnya  Pencipta  itu hanya
“Asma”, hanya anggapan atau sebutan saja, sebenarnya  tidak 
ada. Dicari di alam manapun, tidak akan bisa ditemukan. 
Pendapat yang demikian, menurut Kakak itu bagaimana?
soebandrio : 
Sabar dulu, sebab hal itu harus diperinci, jangalah dicampur aduk, 
agar tidak membingungkan.
Tentang sebutan “Pencipta ” itu memang benar, memang hanya 
Asma atau sebutan buatan manusia ini. Sedangkan manusia dalam 
membuat nama yaitu  menurut bahasannya masing-masing, dan 
anggapan orang sendiri-sendiri. Yang membuat kata “Pencipta ” itu 
orang Arab, artinya: Yang disembah. Sedangkan bangsa kita atau 
orang Jawa menyebut dengan sebutan “Pangeran” artinya “: Yang 
diikuti” (dikawulani/di ngengeri). Dalam Bahasa Indonesia
disebut “Pencipta ” artinya “Tuan” atau “de Heer” yaitu “Majikan” 
(bendara).
Namun jangan kau kira bahwa Pencipta  itu asma Eigennaam, seperti 
nama manusia, itu bukan. Dalam menulisnya menggunakan 
Huruf Besar, bahkan di tambahi dengan kata “Gusti” itu hanya 
“Tata Krama” (Sopan santun) saja. Sehingga jika dirimu 
menyebutkan hanya asma, anggapan saja atau sebutan saja, itu 
pun tidak salah.
Namun jika pemahaman untuk memahami sebutan “ Sejatine ora 
ana” (Sebenarnya tidak ada), hal itu tidak benar. Sebab, semua 
sebutan, tidak perduli hanya sebutan saja, atau sekedar nama saja, 
yang disebut itu pastilah ada.
Oleh sebab  sebutan “Pencipta ” itu buatan manusia, demikian juga 
dengan sebutan yang lainnya, sehingga ada sebuah ajaran yang 
mengatakan: Manusia itu mengada dengan sendirinya, sebelum 
Pencipta , malaikat, bumi, langit: Ada”, Itu tetap kata yang 
menyesatkan, dan tidak perlu di pikir..
Tentang ada atau tidak adanya itu, selain tidak bergantung 
sebutannya atau hanya anggapan saja atau sebutan nama, juga 
tidak tergantung ditemukan atau tidak dditemukan dalam 
pencariannya. Contoh dari yang kasar hingga yang halus, itu 
begini:
Baksil itu jelas ada, iya kan? Akan namun , untuk meyakinkan kita 
tentang adanya, itu bila kita lihat menggunakan mikroskop.
Atom itu juga jelas ada, iya kan? Akan namun  lebih lembut 
dibanding dengan baksil. Sehingga untuk meyakinkan bahwa itu 
ada, bukan menggunakan mikroskop, yaitu menggunakan alat lain 
untuk memisahkan atom dari benda yang ada atom-nya.
Warna merah itu pasti ada, iya kan? Akan namun  meski dilihat 
dengan mikroskop, dipisah menggunakan cara apa pun saja, itu 
tidak akan bisa. Berkali-kali hanya bisa bertemu dengan benda 
yang mengandung warna merah, contohnya bunga wora-wari.
Rasa peda itu ada, iya kan? Akan namun  tidak bisa dibuktikan 
dengan mikroskop atau alat pemisah, berulang kali kita hanya bisa
bertemu dengan barang yang mengandung rasa pedas, seperti 
contohnya lombok.
Dan, Hari Minggu itu kan jelas adanya, kan? Akan namun  
bagaimana agar bisa kita ini bertemu dengan hari Minggu itu, 
yang lebih halus dibandingkan dengan warna merah atau rasa 
pedas?
Kita yakin bisa bertemu dengan Hari Minggu, akan namun  tidak 
seperti bertemunya antara dirimu dan aku “Bertemu nyata” seperti 
sekarang ini. saat  melihat semua kantor tutup, Sekolah dan 
Pegadaian juga tutup, kemudian teringat di kala kemarin sore 
tercium bau orang membakar kemenyan... tentunya baru bisa 
menetapkan bahwa saat itu yaitu  sungguh-sungguh hari Minggu, 
iya kan?
Sedangkan tentang Pencipta  itu tadi, menurut pemahamanku, aku 
yakin seyakin-yakinnya. Pencipta  Pencipta  itu ada. Itu tidak sebab  dari 
meniru-niru, disebab  mendengar kalimat Dzat Wajibul Wujud 
(Dzat yang pasti adanya) itu tidak. Hal itu seperti keyakinanku 
kepada Hari Minggu ini  tadi.
Aku dan dirimu tidak bisa bertutur kata seperti ini, intinya bahwa 
manusia itu tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Dzat yang 
wajib adanya itu, tidak ada. Sehingga tidak sia-sia Kaum 
Muslimin, setiap akan melakukan apapun saja, mengucapkan 
Bismillah atau Bismillahi rrahmaanir-rahiem (Asta Asma Pencipta  
yang Maha murah dan Maha Asih). Sayangnya, bahwa 
kebanyakan, dalam pengucapannya hanya terbawa sebab  
kebiasaan saja, tidak merasuk dalam hati sanubari.
Demikian juga, tidak percuma ada lafal yang mengatakan: 
Laachaula walaaquwwata illa billah (Tidak ada daya kekuatan 
selain atas pertolongan Pencipta ). Sayangnya, bagi bangsa kitahasa 
Arab, dalam pengucapannya berubah menjadi “Wala-wala 
kuwatta” sehingga menjadi beda maknanya. 
12. kartosuwiryo : 
Maaf, Kak. Kakak mengatakan “Manusia tidak bisa melakukan 
apa-apa, seandainya Pencipta  itu tidak ada”, itu penjelasannya 
bagaimana? Dan apakah ada uraian lainnya lagi yang 
menyebabkan Kakak yakin dengan seyakin-yakinnya tang adanya 
Pencipta  itu?
soebandrio : 
Benar, Kejarlah jangan sungkan-sungkan, jika hatimu belum 
puas! 
Siapa pun juga, semestinya yakin, bahwa dirinya itu tdiak bisa 
berbuat apa-apa, selain atas pertolongan Pencipta ? Sebagai bukti 
bahwa seseorang tidak bisa mempergunakan bagian dari badan, .. 
yang diaku sebagai miliknya – akan patuh sekehendak hatinya. 
Sebagai contohnya, tidak akan bisa memerintah mata untuk 
bergantian, mata yang satu tidur dan satunya terjaga. Tidak bisa 
mempertahankan umur, walau hanya satu menit saja, jika telah 
sampai waktu meninggalnya.
Serta, di dalam hidupnya, masih saja mendapatkan sifat sial serta 
sifat lupa.
Itulah keadaan yang ada di raga kita. Sekarang cobal 
renungkanlah tentang alam yang tergelar ini, seperti contohnya:
Siapakah yang memerintahkan Bulan dan Matahari sehingga 
berjalan sesuai garis edarnya dengan tetap, yang tidak akan bisa 
dipengaruhi oleh kehendak manusisa? Siapakah yang 
memerintahkan Bumi, laut, sungai, gunung, serta semua isinya? 
Siapakah yang menciptakan hujan serta tumbuh-tumbuhan yang 
dipergunakan sebagai sumber makanan makhluk hidup ini? 
Singkatnya saja, sangat banyak sekali tanda dan saksinya, Bacalah 
kitab muslim , dan sekarang kan sudah banyak yang diterjemahkan 
ke dalam Bahasa Daerah atau Bahasa Indonesia.
13. kartosuwiryo : 
Penjelasan yang demikian, saya masih belum puas, Kak!! Apa 
yang telah dijelaskan itu semua, kita ini hanya menemukan barang 
yang telah tercipta. Oleh sebab  merasa tidak bisa membuatnya 
dan tidak bisa menguasainya, kemudian tumbuh perkiraan sesuai 
hukum adat, pastilah ada penciptanya, serta kira-kira ada yang 
menatanya. Dan semestinya yang mencipta dan yang 
mengaturnya itu sangatlah berkuasa. Apakah tidak demikian?
soebandrio : 
Nahhh... kan begitu! Ini namanya diskusi (bertukar pikiran) 
sungguhan. Sekarang bergantian, berilah saya keterangan terlebih 
dahulu. Tentang keadaan yang sudah tergelar ini semua, menurut 
pendapatmu, bagaimanakah asal kejadiannya? Maksudnya, 
berasal dari daya apa, dan apakah sebabnya, tercipta?
14. kartosuwiryo : 
Adanya itu, tercipta dengan sendirinya Kak! Hal itu disebut 
Naturwet, atau aturan hukum kodrat. Hal itu bisa terjadi sebab  
bersatunya suatu bahan atau menyatunya daya tarik menarik.
soebandrio : 
Bagus!! Nah, yang mengadakan Wet atau aturan, bahwa Yang ini 
berkumpul dengan yang itu akan menjadi begini, yang di sini dan 
dan yang di sana akan menjadi seperti itu, siapakah itu atau apa 
sebutanmu untuk menyebutkannya?
15. kartosuwiryo : 
Yang mengadakan aturan hukum kudrat tidak lain yaitu  Kudrat. 
Yang menciptakan Natuurwet juga ... natuur. Ya itulah Natuur 
itulah yang mempunyai kekuatan tertinggi. Di atasnya Natuur itu, 
sudah tidak ada kekuatan lagi.
soebandrio : 
Sebentarlah dahulu!!, Yang kamu bicarakan itu, dirimua hanya 
menirukan saja kepercayaan dan keyakinan orang lain, apah yang 
menjadi keyakinan dirimu? Seandainya itu Iman dan keyakinan 
mu sendiri, apakah kamu sudah benar-benar mantap? Sudah tidak 
ada keraguan lagi?
16. kartosuwiryo : 
Waduh .. ketahuan rahasiaku!! Seandainya saya sudah 
mempunyai pedoman dan keyakinan seperti itu, tentunya saya 
tidak mohon penjelasan ke sini. Saya hanya menirukan saja, 
pendapat dari golongan Natuuralist saja, Kak ! Saya sendiri masih bingung. Entahlah apa yang saya yakini. Ada pendapat yang 
seperti itu, sepertinya akan terbawa, oleh sebab  tidak bisa yang 
lebih tinggi lagi, akan namun  juga tidak... berani, sebab  belum 
merasa cocok.
soebandrio : 
Waa... sepertikah kejelasannya. Bila “Kudrat” yang kamu sebut￾sebut itu tadi “Kudrat” kata Arab (Qudrat), itu memang sebagian 
dari sifat-sifat Pencipta , sedangkan maknanya yaitu  “Kuasa”. Sifat 
Kadiran (Qadiran) artinya yang berkuada. Sehingga tidak salah 
bila Pencipta  disebut Yang Maha Kuasa, namun itu hanya 
menyebutkan sebagian dari sifatnya saja, sifat-sifat yang lainnya 
masih banyak.
Sehinggga bukan si Kudrat itulah, daya kekuatan yang paling 
tinggi, daya kekuatan sebenarnya yang tertinggi itu, tentunya yang 
mempunyai sifat Kudrat dan sifat Kadiran itu tadi.
Sedangkan bila “Kudrat” atau “Kodrat” dalam Bahasa Jawa, 
maknanya hampir mirip dengan kamu sebut Natuur itu tadi. Jika 
saya tidak salah, “Kodrat” dalam bahasa Jawa itu bermakna, ya 
seperti itu tadi, sedangkan “Natuur” itu, bermakana seluruh yang 
tergelar ini, seluruh alam semesta.
Itu pun belum tepat bila dianggap sebagai daya kekuatan yang 
tertinggi. Sebab, seumpama bisa saya sebut “bekerja” itu semua 
hanya buah dari Perbuatan Pencipta . Sedangkan bila Pencipta  
berkehendak untuk menciptakan segala sesuatu: “Yaquulahu Kun 
Fayakuun (Al-Baqarah 117, Maryam 35, Yaasin 82 = Berkatalah 
Pencipta , “Jadilah” maka menjadi ada”
Nah sekarang ketahuilah olehmu yang jelas bukti-buktinya, bila 
Natuur yang dianggap daya kekuatan atau Penguasa yang 
tertinggi oleh golongan Naturalist itu, sebenarnya  bukan daya 
kekuatan atau Penguasa yang tertinggi.
(a) Kaum Naturalist memiliki keyakinan, bahwa semua 
kejadian (akibat) itu tentu ada penyebabnya, namun 
kenyataannya, ada beberapa kejadian yang dia tidak bisa 
menemukan penyebabnya, alias menemui jalan buntu. 
Sebab bila dipikir sebab  bersatunya sesuatu tidak bisa 
ditemukan, dari daya tarik menarik pun juga tidak bisa 
ditemukan. Seperti contohnya:
Apakah sebabnya watak dari si A itu mudah gelisah, mudah 
bingung, gampang sedih; sedangkan si B tenang, tidak 
mudah kebingungan dan selalu gembira? Sebab 
campurannya tidak sama. Benar! Namun, apakah yang 
menyebabkan bahan-bahannya menjadi berbeda-beda? 
Jawabannya hanya kadang-kadang atau tiba-tiba seperti itu!.
Apakah yang menyebabkan si C senang membeli Undian 
berhadiah, akan namun  tidak pernah menang, sedangkan si D 
hanya mencoba-coba saja dan hanya membeli satu kali, dan 
persis mendapatkan nomor satu? Jawabannya hanya 
kebetulan atau tiba-tiba itu tadi.
Sedangkan bagi yang percaya kepada adanya Pencipta , tidak 
pernah menemukan kebutuan yang seperti itu, walau pun 
kita juga yakin kepada adanya aturan hukum Sebab dan 
Akibat. Kebetulan atau tiba-tiba, yang sepertinya hanya 
mempercayai pendapat sendiri itu, menurutku tidak ada. 
sebab  hal itu sebenarnya  patuh pada garis atas 
kehendak Pencipta  Yang Maha Adil.
(b). Natuur itu bersifat bisu, Namun Pencipta  itu memiliki sifat 
Kalam, yang bermakna Sabda dam sifat Mutakaliman yang 
bermakna Yang bersabda. Sehingga ada makhluknya yang 
mendapat perintah Pencipta , itu yaitu  para Nabi.
(c). Natur itu, bersifat Buta, Tuli dan Bodoh, dan lain-lainnya, 
ringkasnya itu, walaupun saya katakan semalam suntuk pun 
tidak akan ada habisnya. Bagaikan membandingkan satu 
buah bulu gajah dengan ujud gajah.
17. kartosuwiryo : 
Iya, iya Kak, saya sudah mengerti. Saya sudah yakin bahwa Pencipta  
itu ada dan DIA itu daya kekuatan atau Penguasa yang paling 
berkuasa.
soebandrio : 
Syukurlah, bila kamu sudah mendapat Iman, Namun kamu harus 
mengerti, bahwa Imanmu itu masih termasuk golongan Iman 
orang Taqlid, arttinya, hanya ikut-ikutan saja kepada orang 
banyak atau mengikuti keyakinan dari Kakakmu, Aku, kamu 
pikir: Mana mungkin punya maksud untuk menyesatkan, tidak.
Syeikh Imam Ghazali, dalam menjelaskan tentang Iman itu, ada 
tiga macam:
(1) Imannya orang yang yang ikut-ikutan itu tadi, ibaratnya, 
kamu percaya bahwa di Kampung Snetul itu orang yang 
bernama Pak Pawira, Badannya tegap, rumahnya menghadap 
ke selatan, menghadap ke jalan raya. Oleh sebab  banyak 
orang yang menceritakan seperti itu. Iman yang seperti itu, 
bila orang banyak itu salah, kamu ikut salah. Sehingga mudah 
sekali berubah.
(2) Imannya bagi orang yang Ahli Kitab Agama (Usulluddin), 
Ibaratnya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul 
tadi memang benar ada orang yang bernama Pawira, sebab  
pernah lewat di depan rumahnya, serta pernah mendengar 
suara Pak Pawira yang terdengar dari jalan. Iman yang eperti 
itu masih bisa salah, sebab  suara yang terdengar belum tentu 
suara dari Pak Pawira yang sebenarnya. 
(3) Imannya orang ahli Ma’rifat (“Arifin), ibaratanya, seseorang 
yang percaya bahwa di Kampung Sentul itu tadi, memang 
benar ada orang yang mempunyai nama Pak Pawira, 
badannya tegap, sebab  pernah bertamu dan sudah pernah 
bertemu dengan Pak Pawira sendiri. Inilah Iman yang sebnar￾benarnya. Begitu pun masih ada tingkatannya, yaitu: Jika 
saat  bertandang di waktu matahari terbenam, tentunya 
kurang jelas dibanding dengan setelah menyalakan lampu. 
Pertemuan dengan peneranga lampu tentunya kurang jelas
dibanding dengan penerangan Matahari.
18. kartosuwiryo ;
Bagaimana penalarannya, Kakak mempunyai anggapan, bahwa 
kepercayaanku kepada adanya Pencipta  itu baru termasuk 
kepercayaan yang mudah berubah?
 soebandrio : 
Tentu saja tau! sebab  sejak awal kamu masih ragu-ragu, namun 
dengan spontan dan tiba-tiba kamu sekarang menyatakan bahwa 
telah memiliki keyakinan tentang sesuatu yang sulit seperti itu.
Hayooo, apakah kau tau: Apakah sebabnya kita ini wajib berbakti 
kepada Pencipta ? Seandainya kamu sudah menjalan ibadah, sudah 
pasti di dalam angan-anganmu itu ada maksud pengharapan 
menerima pahala serta takut akan menerima seiksa. Iya kan? 
Padahal di dalam kitab muslim  menjelaskan: Wama dhalamnaahum 
walakin dhalamuu anfusahum (Huud 101, Al-Ankabut 40 = Pencipta  
tidak menghukum hambanya, akan namun  hamba-lah yang 
menyiksa dirinya sendiri).
Apakah sebabnya kamu mengharap-harap menerima pahala, serta 
takut mendapat siksa itu???
Sebab: Pencipta mu itu, kamu bayang-bayangkan berujud sesuatu 
yang duduk di singgasana emas yang ada di langit. Atau berujud 
Markas yang sangat besar, berserta anggota staf yang sangat 
banyak: Ahli memberi perintah, membagi pahala dan memberi 
hukuman. Iyaa kan?
Sehingga saat  kamu mengalami musibah, kadangkala 
memohon kepada-Nya, sedangkan saat  sedang dalam keadaan 
senang, biasanya kamu lupa. Kesadaran an ingatanmu hanya jika 
sedang beriibadah, terlebih lagi saat  berada dalam keadaa susah 
itu tadi.
Dan jika memohon, namun tidak dikabulkan, hatimu kau paksa￾paksa untuk ikut menuduh bawa Pencipta  itu adil. Akan mengatakan 
tidak adil, tidak berani. Akan namun  sebenarnya  hatimu belum 
menerima, sebab  kamu belum paham. saat  kamu menyebut 
adil itu, hanya meniru-niru kata orang kebanyakan saja. Benarkah 
demikian?
19. kartosuwiryo : 
Aduh Kakaaaaakkk! Memang benar seperti itu, anggapan dana 
bayanganku. Terus, yang disebut Pencipta  itu apa? Apakah hawa? 
Bukan. Apakah cahaya? Bukan. Apaka Daya? Bukan. Apakah 
zonnestelsel? Bukan. Apakah Cosmos? Bukan. Terus, apakah itu? 
Mohon untuk dijelas se jelas-jelasnya. Apa dan Manakah Pencipta  
itu?
soebandrio :
Tentusaja, semua itu bukan, sebab  yang kau sebut-sebut itu, 
semuanya barang baru, yang terkena halangan serta selalu 
berubah-ubah. Sedangkan Pencipta  itu, Awal tidak ada yang 
mengawali, serta kekal tidak mengalami perubahan.
Singkatnya: Jangankan hanya Zonnestelsel (Wilayah Matahari), 
bahkan di luar Zonnestelsel sekali pun, juga di bawah kekuasaan 
Dzat Pencipta  Yang Maha Agung. Padahal, baru menggambarkan 
Zonnestelsel saja, nalar seseorang sudah tidak bisa menjangkau, 
Begitu bukan?
Pertanyaanmu: “Pencipta  itu apa dan mana” itu pemikiran yang 
terlampau jauh. Sebaiknya, pahami terlebih dahulu sifat-sifat-Nya 
saja. Sifat-sifat Pencipta  itu di jelaskan di dalam kitab muslim , serta 
ssudah ada yang menghimpun dan sudah disepakati oleh orang 
banyak: 20 jumlahnya, yaitu:
1. wujud = ana / Ada
2. qidam = Terdahulu
3. baqaa = Kekal
4. muhaalafah li’lhawaaditsi = Berbeda dengan Makhluk
5. qiyaamu bi nafsihi = Berdiri sendiri
6. wahdaniyat = sawiji / Esa (Satu￾satunya)
7. qudrat = Kuasa
8. iraadad = Berkehendak
9. ‘ilmu = Mengetahui
10. hajjat = Hidup
11. sama = Mendengar
12. bashar = Melihat
13. kalaam = Berbicara
14. qaadiran = Yang Berkuasa
15. muriedan = Yang Berkehendak 
menentukan
16. ‘alieman = Yang Mengethui
17. hayyan = Yang Hidup
18. sami’an = Yang Mendengar
19. bashieran = Yang Melihat
20. mutakalieman = Yang berbicara
20. kartosuwiryo : 
Mohon menyela dahulu Kak! Sifat pada nomor 14 hingga nomor 
20 itu, sepertinya hanya mengulang Nomor 7 hingga nomor 13. 
Apakah ada perbedaannya? Jika sama saja, maka bisa dikatakan 
bahwa Pencipta  itu hanya mempunyai 13 sifat, bukan 20?
soebandrio : 
Bagaimanakah kamu ini? Perbedaan kata “Kuada” dengan “Yang 
Berkuasa” itu tentunya sudah jelas. “Kuwasa” itu sebutan keadaan 
yang menempati, seperti halnya putih, bulat, tinggi dan lain 
sebagainya. Sedangkan “Yang Berkuasa” itu menyatakan yang 
ketempatan oleh keadaan Kuasa itu. Bahasa Arab dari Sifat itu 
artinya pembeda, tidak hanya bermakna keadaan saja, sehingga 
bisa diumpamakan kepada yang ketempatan keadaan. “Yang 
berkuasa” berbeda dengan “Kuasa”. Iya apa tidak?
Tentang sifat Pencipta  itu, sebenarnya banyak sekali. Akan namun  
ahli Agama di kala itu punya pendapat bahwa jumlah 20 itu, 
sudah bisa memuat sifat-sifat yang ini  di dalam kitab muslim  
semua, Contohnya, Sifat Maha Gagah, Maha Bijaksana, Maha 
Luas, Maha Pemberi Ampunan, dan lain sebagainya, dan juga 
seperti yang sudah kerap kamu dengar (dan juga termuat di Al￾Qur’an): Maha Murah, Maha Asih, Maha Mengetahui dan lain 
sebagainya. Masing-masing itu termasuk sifat dari 20 ini , 
tentunya kamu bisa memikirkan sendiri.
Sifat 20 itu, disebut Sifat Wajib, sedangkan sifat Mokal juga ada 
20, yaitu lawan dari Sifat Wajib itu. Kemudian ditambah lagi Sifat 
Wenang. Sehingga jumlah Sifat Pencipta  itu yang termuat di dalam 
Ilmu “Aqaid ada 41.
Sedangkan Sifat Wajib 20 ini , di dalam ajaran Usuluddin 
dibagi (diringkas) menjadi 4, yaitu:
a. Sifat nomor 1 disebut sifat “Nafsiyah” = yang di anggap badan.
b. Sifat nomor 2 hingga 6 disebut sifat “Salbiyah” = yang 
menidakan lawan-nya.
c. Sifat nomor 7 hingga 13 disebut sifat “Ma’ani = Yang 
menempati di Sifat Nafsiyah.
d. Sifat nomor 14 hingga 20 disebut sifat “Ma’nawiyah” = yang 
ketempaan Sifat Ma’ani.
Di dalam buku-buku Wirid, yang pembagiannya, sebagai berikut:
a. Sifat nomor 1 disebut Sifat “Jalaal, artinya Maha Agung.
b. Sifat nomor 2,3,4,5 disebut sifat Jamaal, artinya Maha Indah.
c. Sifat nomor 11,12,13 serta nomor 18,19,20 disebut sifat 
“Kamal” artinya Maha Sempurna.
d. Sifat nomor 6,7,8,9,10 serta nomor 14,15,16,17, disebut sifat 
“Qahar” artinya Yang Maha Berkuasa.
Ada lagi Sifat-sifat Pencipta  yang sering terbawa oleh para pencari 
Hakikat, yaitu: Hidup tanpa roh, Kuasa tanpa alat, Tanpa Awal 
Tanpa Akhir, yang tidak bisa terbayangkan, Tidak berada di 
Jaman tidak berada di Maqom, tidak berarah tidak bertempat, 
Jauh tanpa hingga dekat tanpa mana, Bukan di luar pun bukan di 
dalam, namun berada di seluruh yang tergelar ini .... dan lains 
ebagainya.
Walau pun telah di jelaskan sejelas-jelassnya seperti itu, akan 
namun  yang menerimanya masih ............. bingung, sebab  dalam 
hatinya masih menyamakan atau membayang-bayangkan Sifat 
Pencipta  itu dengan yang ada di kanan kirinya, yaitu benda-benda 
yang...... baru, ini. Itulah mansuia.
21. kartosuwiryo : 
Memang Nyata Kak!! Memang saya masih bingung, belum bisa 
menghayati, manakah yang disebut Pencipta  itu?
Saya pikir-pikir, memang benar apa kata para ahli Agama, yang 
masukdnya demikian:
“Di dalam Ilmu Tashawwuf Islam tidak membicarakan hakekat 
Dzat Pencipta , hanya memberi petunjuk tentang mengolah Hati, 
sebagai sarana untuk mmencapai Ilmu Ma’rifat. Bila pedoman 
Tashawwuf itu dijalankan dengan ssungguh-sungguh, bukan tidak 
mungkin seumpama mendapatkan kemurahan Pencipta , kemudian 
dibukalah terhadap Ilmu Hakikat, yang bisa menerangi atas 
Kegaiban Pencipta ”.
Seperti itulah petunjuknya. Menurut penilaian Kakak, bagaimana?
soebandrio : 
Jika tentang hal benar dan tidak benar, sebenarnya  hanya 
tergantung kesenangan orang sendiri-sendiri, sulit untuk 
mengurainya. Jika soal mudahnya, hal itu saya berani tanggung 
jawab: Memang benarlah demikian. Sebelumnya (Bab I No.9), 
aku kan sudah menjelaskan. Seseorang menjalankan syari’at 
Agaama apa saja yang diyakini, jika dengan sungguh-sungguh, 
jika diijinkan juga bisa memperoleh Ilham. Perbedaannya dengan 
yang kamu katakan tadi, jika sekarang dengan ditambah 
menjalankan pedoman Ilmu Tashawwuf, itu lebih baik.
Namun yang kamu katakan itu tadi, itu pendpatnya para Pujangga 
atau Pandhiata di jamannya, iya kan? Yaitu saat  jama keadaan 
masyarakat belum seperti sekarang ini kemajuannya, iya kan?
Jadi, bukan merupakan perintah kitab muslim ! Jika kitab muslim , justru 
menganjurkan supaya seseorang mempergunakan akal dan 
pikirannya. Menurut pemahamanku, mempergunakan akal dan 
pikiran itu juga membahas tentang Pencipta  juga, dengan sejelas￾jelasnya.
Mengapa saya berkata demikian, sebab perintah Pencipta  di dalam 
kitab muslim  itu selamanya tetap, akan namun  pendapat seseorang 
kadang-kadang berubah-ubah, mengikuti arus jaman, seperti 
halnya: Socrates dihukum mati, disebab kan pendapatnya di 
sampaikan di jaman saat  itu. Setelah sampai beberapa abad, 
orang-orang barulah yakin bahwa pendapat Socrates itu benar. Iya 
apa tidak?
Para Ahli Agama saat  jaman itu, punya pendapat, bahwa 
tentang Pencipta  itu tidak bisa dikatakan. Memang benar, sebab  di 
kala itu belum ada Sekolah Menengah Atas, belum ada 
Universitas, pikiran orang belum berkembang seperti sekarang ini. 
Masih sangat patuh atas petunjuk orang tuanya, atas-atasannya, 
penuntunnya.
Akan namun  sekarang, mau percaya itu jika sudah benar-benar 
mengerti, jika akal dan pikirannya sudah bsia menerima.
Dan lagi, walau pun petunjuk Ahli Agama itu benar, yaitu sesuai 
dengan keadaan masyarakat di jamannya, namun bagaimanakah 
hasilnya?
a. Negara sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan 
pendapat yang seperti itu, menjadi jajahan negara lain tentang 
Politik atau ekonomi.
b. Agama sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan 
pendapatnya itu tergesa-gesa, Dan ilmu Kebatinan masyarakat 
umum, tidak semakin maju, justru semakin mundur.
Penyebabnya: Pendapat itu tadi menjadi rem atas berkembangnya 
nalar serta mendidik kepada penganutnya Sang Pujangga atau 
Sang Pandhita, menjadi manusia yang pasif dan pesimistis: Akan 
begini takut, mau seperti itu khawatir, dan sebagainya.
Nah, sekarang saya hanya menyerahkan apa kehendak hatimu. 
Apakah akan diam saja, apakah akan terus mencari, baranggkali 
akan mendapatkan Ilham sendiri, atau meneruskan saling berbagi 
dengan orang lain (aku) barangkali saja semakin bertambah 
ilmumu?
22. kartosuwiryo : 
Itu Kak, barangkali oleh sebab  saya ini yaitu  produk jaman 
sekarang yang terbiasa mempergunakan akal dan pikiran, segala 
sesuatu tentu memilih mengerti terlebih dahulu. Oleh sebab  itu, 
bila berkenan, mohon agar Kakak meneruskan memberikan 
penjelasan yang bisa diterima oleh akal pikiran.
soebandrio : 
Terserah, apa kehendakmu, namun akal dan pikiran saat  kamu 
membandingkan Pencipta  dengan keadaan yang baru itu, singkirkan 
terlebih dahulu. Bukan karerna kebodohanmu, namun pahamilah, 
bahwa Pencipta  itu memang bukan sebangsa barang baru, yang bisa 
kamu bayang-bayangkan dengan mempergunakan akal dan 
pikiranmu. Jika sudah kau tanggalkan, nantinya tidak akan bingung dan ragu lagi. Silahkan, sekarang kamu akan bertanya 
soal apa?
23.kartosuwiryo : 
Iya Kak, Sudah saya tanggalkan akal dan pikiranku dalam 
membayang-bayangkan Hakekat Dzat Pencipta . Sedangkan 
memikirkan telur dengan ayam lebih ada lebih dahulu yang mana 
pun, tidak bisa, apalagi memikirkan Pencipta . Tentunya itu salahku 
sendiri. Akan namun  saya minta penjelasan dahulu. Apakah kita ini 
tidak termasuk golongan Muktajillah, Kak?
soebandrio : 
Lo...lo... lo... Kamu sudah pernah mendengar kata “Muktajilah” 
(mu’tazilah) segala.......!
Bagi orang yang aktif dan optimistis itu insyaf, bahwa nasib 
dirinya di dunia dan akhirat itu, menjadi tanggungannya sendiri, 
bukan tanggungan yang lainnya. Shingga yang dijadikan patokan 
bukan omongannya siap-siapa, yaitu hanya satu: Petunjuk dari 
Kitab Agama yang terjaga dari perubahannya. Sedangkan di 
Qur’an jelas menganjurkan berulang kali, agar mempergunakan 
akal! Dan Pikiran, dan bahkan menerangkan bahwa para Jin dan 
Manusia yang masuk ke dalam neraka Jahanam yang: Lahum 
Quluubu lasjafqahuuna bihaa (Al-A’raf 179 = Punya hati namun 
tidak untuk berfikir).
Tentang termasuk dalam golongan Muktajilah atau pun tidak, itu 
sebenarnya  mudah dalam menganalisa hatinya sendiri. 
Memang tidak perlu khawatir. Barangkali saja saat  berjalannya 
nalar pemikiran itu ada atau mengurangi atas Kebesaran-Nya, 
seperti halnya golongan Naturalist yang kau sampaikan itu tadi, 
tetulah itu termasuk golongan Qodariyah, tetap disebut Kafir. 
Sedangkan Mu’tazilah yang kamu takuti itu, sepertinya belum 
pasti jika kafir. Sebab sepengetahuanku, penguraiannya hanya 
untuk dipergunakan untuk membantah atau mengukur ketekadan 
orang ahli Sunnah, yaitu golongan orang keyakinannya seperti 
Pujangga atau Pandhita yang baru saja kita bicarakan itu tadi (Bab 
I No.23). Ahli Sunnah yang sanat kolot. Bukan hanya Qadariyah 
dan Mu’tazilah saja yang dianggap kafir. Padahal tujuan Filsafat 
itu untuk mempertebal Iman, supaya Iman-nya tidak sebab  
Taqlid (hanya ikut-ikutan) saja.
Akan namun  jika kamu selalu kuatir disalahkan dimana-mana, 
yang kamu kira akan menanggung nasibmu di dunia dan akhirat, 
yah sudah, “Selamat Tinggal” tetaplah passief dan pesimistis, aku
akan berjalan sendiri.
24. kartosuwiryo : 
Tidak akan Kak!! Kekuatiran saya tentang Muktajilah itu tadi, 
sebab  aku belum mengerti. Aku sekarang sudah paham garis￾garisnya, sehingga akan meneruskan minta penjelasan.
Ada golongan yang berkeyakinan di dalam kepercayaannya 
bahwa Pencipta  itu, sebenarnya tidak lain yaitu  INGSUN, Nah 
tentang itu bagaimanakah penjelasannya? Bila keyakinan itu 
cocog dengan keyakinan Kakak, saya mohon penjelasannya: 
Bagimanakah hubungannya dengan bab saat  memerintahkan 
semua isi alam ini, dan bagaimana hubungannya dengan sifat 
Pencipta  yang sudah dibicarakan sebelumnya itu (Bab I No. 21,22)?
Dan bila tidak ada kecocokan, dengan keyakinan Kakak, bagian 
yang manakah yang tidak cocok itu?
soebandrio : 
Ooo, adikku, anak dari ayah dan Ibu! Kamu sekarang bertanya 
tentang “Sastraceta Wadiningrat? Perhatikanlah dengan pikiran 
yang bening, sekarang kita melalui persimpangan jalan, yang satu 
menuju surga, yang satunya menuju neraka.
Di dalam Pedalangan diceritakan, siapa yang mengerti tentang 
Sastra Jendra Hayuningrat itu, jika raksasa, saat  matinya akan 
berkumpul dengan manusia yang sempurna, jika manusia, saat  
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia. Sehingga sangat 
disenangi oleh Raja Sumali, termuat di dalam Serat “Lokapala” 
seperti ini (Sinom):
Sastrajendra Hayuningrat, pangruwat barang sakalir,
kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih,
wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh,
ditya diyu reksasa, myang sato sining wanadri,
lamun weruh artine kang Sastrajendra.
Artinya:
Sastra (Ilmu) Jendra = Harja Endra =jalan keselamatan, 
pangruwat (mengubah) segala sesuatu.
Penguasa segala pembicaraan, tentang Ilmu sudah tidak ada lagi.
Sudah termuat ilmu tinggi, puncak segala puncak ilmu.
Segala jenis raksasa, serta seluruh hewan isi lautan.
Jika paham artinya tentang Sastrajendra.
Rinuwat dening Batara, sampurna padinireki,
atmane wor lan manugsa, manugsa kang wis linuwuh,
yen manugsa udani, wor lan dewa patinipun,
jawata kang minulya, mangkana Prabu Sumali,
duk miyarsa tyasira andandang sastra.
Artinya:
Diganti oleh Dewa, sempurna sama dengan.
Atma (roh tertinggi) berkumpul dengan manusia, atas manusia 
yang mulia.
Jika ada manusisa yang mengetahui, berkumpul dengan dewa 
saat  matinya.
Bersama Dewa yang mulia, seperti itu Raja Sumali.
saat  mendengarnya, hatinya menjadi terang.
Selanjutnya (dandang-gula):
Jog tumedak Sang Prabu Sumali, saking palenggahan 
nawaretna,
angrepepeh neng ngarsane, arsa mangraup suku,
Sang Pandita gupuh nedaki, pan sarwi kipa-kipa,
nyandak astanipun, duh yayi Prabu Ngalengka,
Sampun sampun paduka arsa punapi, anguncapaken asta.
Artinya:
Kemudian turunlah Sang Raja Sumali, dari singgasananya yang 
indah.
Bersujud di hadapanhya, untuk mencium kaki.
Sang Pandhita segera menghindar, serta menolak dengan tegas.
Menarik tangannya, Wahai Raja Ngalengka
Sudah-sudahlah, apa yang engkau kehendaki, menyembah dengan 
kedua tangan.
Aturnya lon Sang Prabu Sumali, saking sukane manah 
kawula,
amiyarsa pituture, ing tyas langkung kapencut,
nugrahanen kakang pun yayi, Sastrajendra juningrat, 
pangruwating driyu,
pun yayi liwat druhaka, tinitah wil sato padane neng bumi,
pae lawan manungsa.
Artinya:
Perkata dengan pelan Raja Sumali, terbawa oleh gembiranya hati 
hamba.
Mendengar penjelasannya, sehingga sangat ingin dalam hatinya.
Atas anugerah nasehat Kakak kepada ku, tentang Sastrajendra 
Yuningrat Pangruwating Diyu.
Adikmu ini penuh kedurhakaan, dicipta bagaikan sama dengan 
hewan di bumi ini.
Jauh berbeda dengan manusia.
Sampun tanggung nggen paduka asih, ing kaswasih 
mbenjang Ngariloka,
cangkingen wosing deweke, prasetyamba pukulan,
sampun menggah nini Sukesi, nagari ing Ngalengka,
lan saisinipun, jro pura katur sadya,
nadyan pejah gesang tan ngeraos ndarbeni, langkung karsa 
paduka.
Artinya:
Jangan setengah-setengah atas kasih sayang paduka, kepada 
hamba kelak di alam baka.
Ajaklah seperti dirinya, sumpahku wahai sang tapa
Jangan seperti Nini Sukesi, Negara di Ngalengka.
Serta semua isinya di dalam keraton, kuberikan semua.
Bahkan hidup mati pun tidak merasa memiliki, terserah kehandak 
Paduka.
Sumpah Raja Sumali itu tidak mengherankan, sebab  sebesar￾besarnya harta manusia hidup itu bukan Kerajaan beserta seluruh 
isinya, akan yaitu  Nyawanya. Namun begitu nyawa itu dianggap 
remeh, jika dibanding dengan Keyakinan. Sehingga Umat Islam
sangat berani perang Sabil, Umat Kristen saling berani perang 
Salib, Orang Jepang saling Jibaku, sebab  punya keyakinan 
bahwa akan naik surga.
Sedangkan Sastrajendra itu tadi, walau pun lebih berharga 
dibanding dengan Nyawanya, namun perlu ditambah lagi jika 
“tidak salah dalam memahaminya. Dan jika salah dalam 
memahami, walau pun raksasa, atau pun manusia akan berada di 
dasar neraka. Nah, tentunya sangat berbahaya, iya kan?
Oleh sebab  sangat berbahayanya, sehingga sejak jaman dahulu, 
di seluruh tanah jawa dan Agama apa saja, menjadi larangan. 
Dengan adanya larangan itu disebab kan sangat sayangnya 
kepada yang salah dalam memahaminya, itu memang ada 
benarnya. Namun ada juga dalam melarangnya itu, disebab kan 
mengawatirkan kepada yang tidak salah dalam memahaminya. 
Sebab yang tidak salah dalam memahaminya itu serendah￾rendahnya menjadi orang yang tegar, kuat, bukan percaya tanpa 
bukti, tidak mudah dipengaruhi, sebab  seolah-olah telah 
memegang “Kunci Surga”. Namun belum masuk ke surga serta 
belum menikmati buah-buahan surga, tentang (Bab I No.10) 
jangan dianggap gampang!!!!
25. kartosuwiryo : 
Iya Kak. Bahaya bagi yang salah dalam memahaminya itu, 
penjelasannya bagaimana?
soebandrio : 
Penjelasanku di muka (Bab I No.11), aku membuat perumpamaan 
orang yang pergi Haji yang sudah terlanjur naik kereta api atau 
kapal, akan teteapi tidak tau kendararan itu akan pergi ke mana, 
dan tidak mengetahui Makkah itu ada di mana. Tentulah akan 
mengalami kebingungan, bagaikan Capung yang tidak punya 
mata, benar kan?
Tentunya, tentang Sastrajendra Hayuningrat ini, jika seseorang 
salah dalam memahaminya, itu bagaikan seseorang yang pergi 
Haji, yang sudah merasa tidak bingung dan sudah tidak ada 
penghalangnya, kemudian dengan segera naik mobil ke arah 
selatan, tidak berbelok-belok, sebab  beranggapan bahwa Makkah 
itu ada di Selatan, serta bisa dijangkau menggunakan mobil. 
Tentulah pada akhirnya masuk dan tenggelam di laut. Seperti 
itulah tersesatnya dalam kematian, juga sebagai gambaran 
tersesatnya saat  masih hidupnya saat  menjadi penduduk di 
alam dunia ini.
Contoh saat  tersesat di dunia: Resi Wisrawa yang mengajarkan 
Sastrajendra kepada Dyah Sukesi, di kisahkan Dyah Sukesi 
yaitu  calon menantunya kemudian di kawin sendiri, yang pada 
akhirnya menjadi perang besar berebut dengan anaknya sendiri, 
serta penerima gambaran kesalahannya, sehingga anak-anaknya 
yang dari Dyah Sukesi berujud Raksasa. Padahal kelakuan Resi 
Wisrawa hanya terbawa sebab  lupa, apalagi bagi yang salam 
pemahamannya.
Sedangkan salah pemahaman itu, pada umumnya sebab  
bersahabat dengan orang yang saat  belajarnya tidak urut dalam 
tingkatan menjalankann syariat. Sebab di Tingkat Syari’at itu 
banyak latihan-latihan jasmani dan rokhani yang sangat 
diperlukan sebagai dasar pondasinya.
Sedangkan pertanyaanmu tentang orang yang meyakini bahwa 
“Pencipta  itu sebenarnya tidak lain yaitu  Ingsun” aku tidak bisa 
memberi penilaian bagaimana tentang keyakinannya, entah sama, 
entah berbeda dengan keyakinanku. Akan namun  menurutku, 
Sebutan yang seperti itu saya anggap tidak benar dan sangat 
mudah menyebabkan “Salah terima”.
Tentang hal itu tidak perlu saya jabarkan, nantinya kamu akan 
mengerti dengan sendirinya, setelah mendengarkan penjelasanku.
Tidak hanya mengerti ucapan yang satu itu saja, saya pastikan 
kamu juga akan mengerti apa yang diharapkan oleh para 
pengarang Kitab-Kitab Kebatinan yang sudah pernah kamu baca.
Di dalam uraian ini, saya sengaja tidak akan menggunakan kata￾kata yang sudah sering kamu baca atau kamu dengar, seperti 
halnya: Ingsun, Aku, Aku wutuh, sebab kadang-kadang dalam pikiran 
timbul pemikiran menjadi: Aku Suta (Aku diri manusia), Aku 
Naya.
Pribadi: bisa diartikan Sendiri, sendirian, tidak ada temannya.
Manusia sejati atau Sejatinya Manusia (haqiqat al-insan) dalam 
pikiran kadang dipahami sebagai “Orang” yang bergerak-gerak 
ini.
26. kartosuwiryo : 
Iya Kak, saya ikut saja, barangkali aku bisa mengerti. Seperti 
apakah, akan saya dengarkan dengan sungguh-sungguh.
soebandrio : 
Kethauilah olehmu, Semua orang itu, tidak memilih laki-laki atau 
wanita, Tua atau muda, kaya atau miskin, tidak memilih bangsa 
dan Agamanya ..... tegaknya hidupnya berasal dari: (1) Ditempati 
oleh Sang Alus, (2) Badan halus beserta perlengkapannya ayang 
halus (3) badan kasar, yang terlihat mata ini, beserta 
kelengkapannya yang terlihat nyata.
Sedangkan yang membedakan nampak di tata lahirnya tiap orang 
itu tadi, tidak lain hanya disebab kan oleh perbedaan dasar dan 
ilmu yang ada di badan halus beserta perlengkapannya dan juga 
badan kasar berserta kelengkapannya, sama sekali bukan sebab  
kurang adilnya Sang Alus dalam menegakkannya.
Perbedaan “dasar” terhadap “badan” (halus dan kasar) disebabkan 
tidak sama ukurannya campurannya. Bisa diibaratkan kopi susu, 
ada yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis, ada yang hambar, 
ada yang sedang.
Sedangkan perbedaan dari “dasar” terhadap “Alat” (halus dan 
kasar), diibaratkan peralatan orang berumah tangga, ada yang 
indah pengerjaannya dan awet digunakannya, ada yang tidak.
Tentang perbedaan “Ajaran” terhadap ‘Badan Kasar” sepertinya 
sudah jelas, seumpama orang yang tidak mau Olah Raga dan tidak 
mau menjaga makananya dan temepat tinggalnya, tentu saja 
kesehatannya berbeda dengan yang ber Olah Raga dan mau 
menjaga makanannya serta tempat tinggalnya. Dan tentunya
walau pun untuk badan halus juga demikian, maksudnya juga ada 
cara berlatih dan penjagaan kesehatannya.
Sedangkan perbedaan “Ajaran” terhadap “peralatan badan kasar” 
tentunya sudah jelas; Seumpama orang yang tidak belajar, tentu 
sulit untuk bsia membaca dan menulis, seseorang yang tidak biasa 
berpikir tentunya akan menjadi tumpul pikirannya.
Demikian juga “peralatan badan halus” tentulah seperti itu juga. 
Seumpama orang yang memiliki motor yang bagus, akan namun  
tidak mengetahui cara merawatnya dan cara menjalankannya, 
tentu saja tidak akan bsia mempergunakan manfaatnya.
27. kartosuwiryo ;
Mohon maaf Kak!! Kakak mengatakan “Sang Alus” itu saya tidak 
mengerti sama sekali. Yang sudah sering saya baca dan saya 
dengar itu hanya “badan halus” dan “badan kasar” itu saja.
Dan lagi, Kakak mengatakan jika “Pikiran” itu peralatan badan 
kasar, tentunya Pancaindra – menurut Kakak – juga termasuk 
peralatan badan kasar. Sedangkan menurut pemahamanku, yang 
saya anggap sebagai peralatan bada kasar itu semua yang berujud 
jasad jasmani ini, Sedangkan yang bukan raga jasmani itu, saya 
sebut peralatan badan halus, Hal itu, bagaimanakah 
penjelasannya?
soebandrio : 
Sebentarlah dahulu!! Kamu sekarang belum mengetahui, itu tidak 
menjadi apa, Namun asal kamu mendengarkan dengan sungguh￾sungguh, nantinya akan mengerti sendiri. Dari perbedaan dalam 
penyebutannya, jangan kamu pikirkan dulu. Nanti setelah kamu 
mengerti, tentu akan paham: sama ata pun beda dengan uraian 
yang sudah pernah kamu baca dan yang pernah kamu dengar itu, 
Jika ada yang kau temukan sama, perssamaannya ada di bagian 
mana, sedangkan bila ada yang kau temukan berbeda, 
perbedaannya ada di bagian mana.”
Marilah, saya teruskan ya..:
Semua peralatan (alat) yang bisa dipergunakan dalam saat  kita 
sadar dalam tingkat biasa ini, itu saya sebut sebagai alat badan 
kasar. Ujudnya bukan hanya Pancaindra saja, sebenarnya 
“asthendriya”. Itu semua teraliri oleh “Rasa” namun juga rasa dari 
bada kasar juga, yaitu:
1. Bentuknya bernama hidung, mesinnya bernama penciuman, 
pekerjaanya bernama mencium.
2. Bentuknya bernama Telinga, mesinnya bernama pendengar, 
pekerjaanya bernama mendengarkan.
3. Bentuknya bernama mata, mesinnya bernama penglihatan, 
pekerjaanya bernama melihat.
4. Bentuknya bernama lidah, mesinnya bernama pengecap, 
pekerjaanya bernama merasakan manis, gurih, dan sebagainya..
5. Bentuknya bernama kulit daging, mesinnya bernama 
penyentuh, pekerjaanya bernama merasakan pedih, pegal, 
panas, dan sebagainya..
6. Bentuknya bernama Jantung, mesinnya bernama hati, 
pekerjaanya bernama berangan-angan, mencipta, dan lain￾lainnya..
7. Bentuknya bernama Otak, mesinnya bernama Akal, 
pekerjaanya bernama mengingat-ingat, berpikir dan lains 
ebagainya..
8. Bentuknya bernama Kelamin, mesinnya bernama Nafsu, 
pekerjaanya bernama Marah, keinginan, dan lain-lainnya..
Kesemuanya itu saya namakan peralatan badan kasar. Sedangkan 
peralatan badan halus itu hanya satu, yaitu “rasa sadar” “Atau 
“Rasa Sejati” yang halus teramat halus, yang saat  bekerja 
didalam diri kita “tidak biasa” yaitu tidak dengan terjaga seperti 
saat ini.
Sedangkan yang saya katakan “Sang Alus” itu tidak 
mempergunakan alat apa pun juga, sebab dirinya itu qadirun bila 
alatin (kuasa tanpa alat).
28. kartosuwiryo : 
Itu, Kak!! Tentang yang lima (Penciuman, pendengaran, 
penglihatan, pengecap, dan perasa) itu dianggap sebagai peralatan 
badan kasar, ya sudah, aku ikut sependapat. Akan namun  yang 
lainnya itu tadi, bagaimanakah, sebab  temepatnya tersembunyi 
sekali? Sehingga ada yang mengkiaskan, bahwa di situ itu 
singgasana (Arasy) bersemayamnya Ingsun. Yang tengah disebut 
rumah terlarang atau Baital Mukharam, yang atas disebut rumah 
keramaian atau Baitalmakmur, yang bawah disebut Rumah 
kesucian atau Baitulmukadas.
soebandrio : 
Hayo.. hayo... tiba-tiba mengeluarkan Wirid. Tentang “Ingsun” 
aku tadi telah mengatakan, tidak akan ikut membicarakan! Aku 
hanya akan menerangkan tentang kata “Singgasana” 
(Palenggahan) dengan “peralatan” itu saja.
Jika dianggap singgasana, tentu saja selalu berganti-ganti yang 
mendudukinya. Bisa juga diduduki bersama-sama, sebab  yang 
duduk itu bisa berjumlah berajapun saja seperti Candabirawa. 
Dan jika saat  ketiganya tidak ada yang mendudukinya, itu 
kemudian duduknya apa dan ada di mana?
Sedangkan jika dianggap alat, itu kan jelas. sebab  ada kalanya 
ketiga alat itu akan mempergunakan alat yang teramat sangat 
halusnya, yang saya sebut Rasa Sadar atau rasa jati itu tadi. 
Kadangkala juga, ketiga tidak bekerja sebab  tidak disengaja, 
seperti, saat  sedang menderita sakit yang sangat parah.
Sedangkan saat  saya menyebutnya hanya sebagai alat badan 
kasar itu, oleh sebab  kita ini bisa mempergunakannya dan merasa 
menggunakannya di dalam biasa seperti halnya saat ini.
29. kartosuwiryo ;
Iya, iya Kak. Tentang alat, aku sudah bisa menerima. Akan namun  
tentang “Sang Alus” aku tetap masih kebingungan, mengapa tidak 
disebut saja “Badan Halus”, seperti ajaran di banyak ajaran itu?
soebandrio : 
Wahhhh..! Memerinci hal yang sudah kecil kamu ini! Kan, sudah 
jelas, bahwa Sang Alus itu bukan badan halus? Sebab:
Semua yang disebut badan (Raga) itu bagaimana pun juga 
sifatnya --- kasar, agak halus, halus, halus sekali, halus teramat 
halus, ---- Pasti terbuat dari bercampurnya campuran bahannya 
(Elemen, Anasir), dan pasti juga berujud bentuk .
Kita ini bisa membuktikan segala rupa badan kasar, dengan 
mempergunakan alat-alat kasar: Pembawaanya dan pekerjaanya 
manusia, Sedangkan badan halus juga bisa dibuktikan dengan 
mempergunakan alat yang halus “Kerjanya” manusia; sampai hari 
ini belum ada alat “Buatan” manusia yang bisa dipergunakan 
membuktikan badan halus itu.
Sedangkan yang saya sebut Sang Alus itu tadi, oleh sebab  bukan 
Raga, untuk menyatakannya juga tanpa alat. Apalagi alat raga, 
mana mungkin bisa, sedangkan alat yang halus teramat halus: 
Tidak bisa, sebab  diri-nya itu --- tidak bisa terbayangkan.
30. kartosuwiryo : 
Iya, iya, Kak, sudah agak jelas pemahamanku tentang perbedaan 
“Sang Alus” denegan “badan halus” itu, Selanjutnya mohon 
mohon penjelasan yang lebih jelas, seperti apa konstruksinya 
(susunannya) “Sang Alus”, “Badan halus” dan badan kasar itu 
tadi, sehingga berujud manusia hidup seperti kita ini?
soebandrio : 
Oooo... Jika tentang itu, tidak begitu sulit, untuk menerangkannya.
Semua orang yang bisa duduk dan bisa saling berbicara ini, tidak 
membedakan yang tampan, gagah, lulusan Sekolah Tinggi, 
banyak bayarannya, rumahnya gedung tinggi, dengan yang 
kerempeng, buta huruf, kerja meminta-minta, bertempat tinggal di 
bawah jembatan .... saat  ditinggalkan oleh “Badan Halus” 
beserta peralatannya itu, kemudian... terkulai tanpa daya sama 
sekali. Hidungnya sudah tidak bisa mencium lagi, telinganya, 
matanya, dan lain lainnya, sudah tidak bisa kerja seperti 
sebelumnya. Sedangkan raga kasarnya kemudian membusuk, 
hancur, menjadi jasad yang sangat halus, aku dan kamu 
menyebutnya ..... Mati.
Sehingga yang bernama “mati” itu, hanya rusaknya badan kasar 
ini. Sedangkan “Badan Halus” beserta peralatannya, oleh sebab  
masih di tegakkan oleh “Sang Alus” tidak ikut mati. Sedangkan 
jika “Sang Alus” itu meninggalkannya, sang badan halus beserta 
peralatannya juga akan sirna, seperti rusaknya badan kasar itut adi. 
Hanya tinggal “Sang Alus” yang kekal dalam kenyataannya, 
kembali ke asal muasalnya.........
Jika kau sebut “konstruksi” yaitu seperti itu konstruksinya. namun , 
jangan kamu kira seperti halnya ayam jago yang berada di 
kurungannya di dalam sebuah kamar, itu bukan. Paling tidak, 
ibaratkanlah seperti air samudra, yang terdiri dari Air dan garam. 
Sedangkan air itu, berasal dari Hydrogenium (H=zat air) dengan 
Oxygenium (O=jat pembakar).
Sehingga kepergian badan halus dari raga kasar itu, jika tanpa 
ilmu itu sangat susah. Samakan dengan air laut yang dipanaskan 
dengan api, uapnya didinginkan, kemudian akan menjadi garam 
dan air. Sedangkan keluarnya Sang Alus dari Badan Halus, 
sangatlah jauh sekali, samakanlah seperti saat  memisahkan Air 
menjadi Hydrogenium dan Oxygenium itu tadi.
Sekarang “Sang Alus” itu saya sebut dengan kata “Ikheid” atau 
“Purusha”, dan untuk selanjutnya akan saya sebut seperti itu, 
janganlah sampai salah paham.
31. kartosuwiryo : 
Penjelasan Kakak itu terang, jelas, terperinci, akan namun  tetap 
saya belum .... jelas.
sebenarnya , yang disebut mempergunakan kata “Purusha, itu, 
apakah roh kita ini, apakah hidup kita ini, Kak?
soebandrio : 
Yahhh... bagaimanakah kamu ini? Purusha itu ya Purusha. 
Seandainya Purusha itu roh kita atau Urip kita, sebelumnya aku 
kan sudah mengatakan seperti itu, apakah kamu merasa saya 
biikinbingung?
Roh (al-ruhu), itu yang saya sebut dengan kata “badan halus” itu 
tadi, yaitu sejenis bahan dan dan sejenis yang mengandudng 
bentuk. Di Yogyakarta di sini banyak saudara kita yang 
mempunyai kelebihan bisa menyatakan keadaan Roh itu, 
berjenjang gmenurut derajat kemampuan yang membuktikan 
sebanding dengan derajat yang dinyatakan. Kan, tadi sudah saya 
katakan, bahwa Purusha itu bukan si Badan Halus, sebab  
Purusha itu disebut “Hayyun Bilaarauhin (hidup tanpa roh), 
sehingga bukan Roh.
Sedangkan kata “Hidup” itu tadi, aku tidak paham apa yang kamu 
maksudkan? Apa “Hidup” yang artinya bisa bergerak-gerak 
(sebaliknya – mati), apa “Yang Hidup” apa “Sang Hidup”? Akan 
namun  ketiganya bukan yang disebut dengan Purusha. “hidup” dan 
“yang hidup” itu hanya sebagian dari sifat-sifat Purusha, 
sedangkan “sang hidup” itu hanya salah satu dari sebutan 
Purusha, saja.
Lebih jelasnya bahwa, ketiganya itu bukan Purusha yang 
sebenarnya. sebab  Purusha itu, bersifat menguasai semua yang 
tergelar ini. Walau pun batu yang tidak bisa bergerak, walau pun 
badan kasarnya seseorang yang sudah hancur bersatu dengan 
tanah ..... juga terkuasai oleh Purusha.
Seandainya kamu mempunyai perkiraan: Purusha itu nafsu kita, 
atau nyawa kita, itu jgua salah. sebab  Nafas itu hanya tali hidup, 
nyawa itu hanya tanda hidup, Salah juga jika kamu punya 
perkiraan: Yang disebut Purusha itu, Tirta Nirmala (Air 
Kehdiupan) atau “Ma’ al-hayat”, sebab  itu hanya perlengkapan 
hidup saja.
Lebih tersesat lagi jika yang kamu anggap Purusha itu yaitu  
angan-angan, rasa sadar, sorot mata, dan lains ebagainya lagi. 
Singkatnya, jangan kamu cari di luar diri kita atau di dalam diri 
kita.!!
32. kartosuwiryo : 
Apakah Purusha itu yang mempunyai sifat 20 yang sudah 
dibicarakan di depan itu (Bab I No.21)? jika demikian, tentulah 
Purusha itu yang menciptakan Bumi dan Langit beserta segala 
semua isinya itu?
Jika demikian, itu cocog dengan sebuah ajaran yang mengkiaskan 
kata “Menciptakan” itu saat  kita “Ingat: Tergelar dengan 
sesaat  (Kun Fayakun), dan saat  kita lupa: Hilang semua, 
dinamakan Kiyamat.
soebandrio : 
Purusha itu, memang sangat benar yang mempunyai Sifat 20 sifat 
wajibnya, 20 sifat mokalnya, tadi itu! Coba rasakanlah, sifat mana 
dari 20 itu, yang bukan sifat dari Pencipta ? 
Akan namun , ketahuilah olehmu, Purusha itu bukan yang 
menciptakan bumi dan langit beserta segala isinya ini.
Sedangkan yang meniptakan Bumi dan Langit beserta segala 
isinya ini, jangalah kamu salah paham jika saya sebut namanya 
dengan nama “Absolute Ik” atau “Isywara”.
Isywara itu, selain mempunyai sifat 20 yang wajib, dan 20 sifat 
mokalnya, juga mempunyai sifat 1 lagi, yaitu sifat Wenang 
(Ja’iz). Artinya wenang menciptakan semua yang tergelar ini, 
juga wenang tidak menciptakan.
Sedangkan kiyas dari kata Menciptakan seperti yang kamu 
sampaikan tadi, terus terang saja, menurut pendapatku tidak 
berani! 
Rasa-rasanya itu, tidak masuk akal (Bab I No.13).
Sebab, mengatakan hal seperti itu, seharusnya bukan hanya 
berdasarkan akal dan pikiran (dalil aqli) saja, harus berpedoman 
bunyi Kitab-kitab Agama (dalil naqli). Sedangkan di dalam al￾Qur’an menyebutkan: “Pencipta  al-ladzi khalaqa al-samawati wa al-
‘ardla wamaa bainahuma fi sittati Ayyam (As-Sajdah 4, Al-Hadid 
4 = Pencipta  itu yang menicptakan langit-langit dan bumi beserta 
yang ada di antaranya di dalam enam hari).
Jika menurut Qudrat Pencipta  yang sudah tergelar ini, untuk 
menjadi keadaan itu pasti berasal dari bahan. Namun saat  asal 
yang pertamakalinya. Yang dahulu paling terdahulu. Pencipta  dalam 
menciptakan semua yang tergelar ini tanpa bahan, hanya berasa 
dari sabda “Kun” itu tadi.
Jika aku tidak salah, yang mempunyai pengias seperti yang kamu 
katakan tadi, dari golongan orang yang meyakini bahwa manusia 
itu berasal dari “Adam (Bukan Nabi Adam). Yang bermakna 
kosong, ada dengan sendirinya. Sebellum adanya Pencipta , malaikat, 
bumi langit dan lain sebagainya. Sebab, semua nma-nama itu 
semua buatan dari Manusia.
Memanglah benar, bahwa nama-nama itu semua buatan dari 
Manusia ......... Akan namun  keyakinan yang seperti itu, menurut 
keyakinanku, saya anggap perkataan yang tidak masuk akal (Bab 
I No.13). Aku, sungguh sangat tidak berani.
Sedangkan keyakinanku: Bahwa Manusia itu ditempati oleh 
Purusha (Ikheid) yang mempunyai sifat 20 dan sifat mokal 20. 
Sedangkan yang menciptakan langit-langit dan Bumi itu 
“Isywara” (Absolute Ik), yang memiliki sifat wajib 20, sifat mokal 
20 dan sifat Wenang 1. Dia itu tegak dengan Pribadi, serta 
mencipta segala yang tergelar ini, tanpa bahan.
33. kartosuwiryo : 
Wah- wah.... , sekarang saya mengerti, jadi, yang disebut Isywara
itu, sebenarnya Pencipta  Yang Maha Kuasa, yang bahasa Arabnya 
Pencipta . Sedangkan Purusha itu, bahasa Arabnya apa, dan apa 
hubungannya dengan Isywara?
Dan juga, Kakak, mempergunakan kata “Ikheid” dan “Absolue 
Ik”, apakah itu tidak sama artinya dengan kata “Ingsun” yang saya 
sampaikan tadi (Bab.I No.26,27)?
soebandrio : 
Wah...... Pertanyaanmu sampai seteliti itu. Dan sulit. Yah 
sudahlah, asal tidak tercampur dengan rasa sentimen!
Coba pikirkan: Seandainya kata Purusha saya ganti dengan X, 
serta kata Isywara itu saya ganti huruf Y, tentunya tidak merubah 
apa-apa, sebab  kata-kata atau nama-nama itu semua, hanya 
bikinan manusia, ta? Jika jelas tidak merubah apa pun, sehingga, 
Arab atau bukan Arab itu tidak usah jadi soal.
Purusha dan Isywara, bahasa Sanskrit, saat  saya 
mempergunakannya itu, hanya untuk nama saja, seperti halnya X 
dan Y itu tadi, agar tidak bingung. Sebab, jika mempergunakan 
bahasa Arab, barangkali saja akan membuat bingung dalam 
pemahamanmu, sebab, Isywara itu di dalam kitab muslim  disebut 
Pencipta , sedangkan Purusha itu di dalam kitab muslim  juga disebut 
Pencipta .
Cobalah baca dengan teliti, kemudian rasakan menggunakan 
pikiran yang jernih, seperti halnya, yang menjelaskan Iblis itu 
musuh Pencipta , nah itu kan jelas Pencipta  Purusha, bukan Pencipta  
Isywara. Sebab hakekatnya Isywara itu, tidak punya musuh, 
sebab  segala sesuatu itu Ciptaan Isywara sendiri, iya apa tidak?
Dan jika Iblis dikatakan musuh dari Purusha itu, memang sangat 
benar. sebab  jika orang mengikuti ajakan Iblis, tidak bisa tidak, 
tentu tidak akan kenal dan tidak akan tunduk kepada Purusha, 
iyalah Dzat Yang Maha Suci itu.
Sedangkan Purusha itu tidak lain, yaitu  ....... bayangan dari 
Isywara. Janga sekali-kali kamu salah paham, “Bayangan” itu 
bukanlah pecahan atau bagian.
Pemahaman seperti yang baru saja saya jelaskan itu tadi, di jaman 
kemarin-kemarin sangat dirahasiakan. Jika di sebarkan 
menggunakan tulisan, bahasanya dipatar balik, tidak akan di buka 
semuanya. Dikala disebarkan melalui lisan, harus dipertemukan 
antara dahi dengan dahi, dan hanya ringkasnya saja, atau dengan 
menggunakan isyarat saja.
Sebenarnya yang dimaksud dari pemaham itu semua, yaitu  
maksud yang sebenar-benarnya dari Lafal: “Laailaha IllaPencipta  
Muhammadur Rasuulullah” (Tidak ada Pencipta  kecuali Pencipta , Nabi 
Muhammad saw. itu utusan Pencipta ), Jika lafa itu ditambahi 
“Asyhadu Anna (Saya bersaksi sebenarnya ), disebut kalimah 
Syahadat (= Ucapan-ucapan kesaksian), itulah Rukun Islam yang 
“Terdahulu” dan “Terutama”.
Dibuat teramat sangat rahasia itu, seperti yang telah saya katakan 
(Bab I No.26), sebab  sangat teramat sangat berbahaya. Sebab, 
jika sampai salah paham, bia juga kemudian mengaku ........ Pencipta . 
Sehingga tidak perduli batal haram, dan menyalahkan aturan 
Agama. Sebab, mengira bahwa “Dosa” itu tidak ada, jika sudah 
mati yah sudah “Selesai” pasti kembali kepada asalnya.
namun  bagi yang tidak salah dalam memahaminya, pasti tekun 
berbakti kepada Pencipta , tindakannya menjadi Wari’i (tidak 
menganggap mudah), cinta kepada sesamanya, merasa bahwa 
dirinya – itu kamu – Diri yang lain sebab  itu semua yaitu  
“Satu”. sebab  telah yaqin di dalam Iman dan keyakinannya,
bahwa Pencipta  itu itu dekat lebih dari yang terdekat, namun tidak 
bersenPencipta , dan yaqin bahwa Pencipta  itu ternyata Maha 
Mengetahui segala gerak-gerik, cipta rasa dari hamba-Nya.
Sedangkan saat  aku menggunakan kata “Ikheid lan Absolute Ik
itu, tujuannya ya hanya untuk membedakan supaya jangan 
campur itu tadi. Jika kamu punya anggapan maknanya sama 
dengan Ingsun, itu boleh saja. Namun jangan sampau campur, jika 
menggunakan kata “Ingsun” harus ditambahi keterangan sebagai 
berikut:
sebab  hanya sebagai makhluk: Ingsun itu maknanya bukan 
Kamu. Namun Ikheid (Purusha) itu: Iya kamu iya Ingsun iya 
Diri-Nya. Singkatnya! Ingsun yang bukan di luar bukan di dalam, 
Yang Maha Suci dari sifat baru ini semua.
Sedangkan Absolute Ik (Isywara) itu Ingsun yang diyakini oleh 
Manusia. Dia itu yang menciptakan, menguasai dan memelihara 
tergelarnya alam ini. Yaitu Maha Esa serta mempunyai bayangan 
yang disebut “Ikheid” (Purusha) itu tadi.
Bagaimana, bisa menjadi jelas, apa justru semakin 
membingungkan?
34. kartosuwiryo : 
Mohon maaf Kak! Sebera pun besarnya salahku, saya mohon 
dimaafkan. Engkau berkata, Purusha (Ikheid) itu Pencipta , yang 
mempunyai sifat wajib 20, dan mokal 20, sedangkan Isywara
(Absolute Ik) itu Pencipta  yang mempunyai sifat wajib 20, dan Mokal 
20 dan sifat Wenang 1. Jika demikian, apakah Pencipta  itu lebih dari 
satu?
soebandrio : 
Bagaimanakah, sehingga kamu mempunyai pemahaman seperti 
itu? Aku tadi kan sudah bilang, bahwa Purusha itu hanya 
“Bayangan” Isywara saja, iya kan?
Seumpama di tengah hari, di tengah-tengah alun-alun ada 
jambangan 1000 yang kesemuanya terisi air, pastilah di dalam 
masing-masing jambangan ada “Bayangan: dari matahari. Benar 
kan? Apakah kamu kemudian mengira bahwa mataharinya itu 
dua, tiga atau 1000? Seperti itulah perumpamaan Iswara dan 
Purusha itu.
Nah... sekarang kamu sudah bisa menjawab sendiri pertanyaanmu 
tentang sama atau tidaknya: Keyakinanku dengan keyakinan 
orang yang mengatakan “Pencipta  itu sebenarnya  tidak lain yaitu  
Ingsun” itu tadi (Bab I No.26). Dan saya kira kamu tidak akan 
salah paham terhadap kata-kata yang barangkali sudah pernah 
kamu dengar, sebab  memang populer (sering terucap). Lafalnya 
begini: Waman ‘arafa nafsahu faqod’arafa rabbahum, waman 
‘arafa rabbahu faqad jahila nafsahu = Barang siapa mengenal diri 
pribadi sungguh-sungguh mengetahui Pencipta nya, barang siapa 
tidak mengetahui Pencipta nya, benar-benar bodoh terhadap ilmu 
dirinya itu).
Jika pemahamanmu sudah jelas, terus bagaimana? Yang 
terpenting dari yang penting itu ............. mengamalkan 
(bertindak), supaya air yang ada di dalam jambangan iru jernih. 
sebab , jika iar yang ada di dalam jambangan itu keruh, pastilah 
bayangan dari matahari tidak nampak. Dan jika jambangan itu 
pecah, semoga saja bayangan matahari tidak menempel di dalam 
pecahan jambangan, atau berada di air yang tumpah melebar itu.
35. kartosuwiryo : 
Iya Kak, bahwa tentang Ingsun, sepertinya saya sudah bisa 
menjawabnya sendiri. Intinya tergatung dari pendefisiannya 
(keterangan pedoman) apa yang disebut dengan kata Ingsun itu, 
Apakah Roh, apakah Purusha, apakah yang lainnya.
Walau pun yang disebut Ingsun itu Purusha, itu pun harus 
mengerti, bahwa Purusha itu bukan Isywara, hanya bayangannya 
saja.
Sedangkan keterangan-keterangan yang baru saja dikatakan itu 
tadi, walau pun saya sudah sering mendengar, akan namun  belum 
bisa memahami. Mohon dijelaskan sekalian.
soebandrio : 
Saya kira sudah mengerti, hanya saja kamu masih kuatir 
barangkali saja salah. Untuk jelasnya, sebagai berikut:
Lafal: Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” itu bagi si 
Jamabangan yang berisi air, saat  bisa melihat Bayangan 
Matahari, sudah cukup, bagaikan telah melihat Mataharinya. 
Memang hanya seperti itu puncak dari Ilmu Ma’rifat. Atau 
pengibaratan seperti Wayang, saat  bisa bertemu dengan Ki 
Dalang, sudah cukup, bagaikan telah bertemu dengan Yang 
menaggap yang minta lakon cerita wayang.
Ayat selanjutnya: Waman ‘arafa Rabbahu faqad jahila nafsahu” 
itu bagi yang salah anggapannya, si Jambangan yang berisi air 
tiba-tiba ingin bertemu dengan matahari yang ada di langit, Si 
Wayang yang tiba-tiba ingin bertemu dengan yang nanggap yang 
berada di Rumah Belakang. Itu jika bisa benar-benar bertemu .... 
... tetap masih salah.
Sedagnkan keyakinan yang mengaku Pencipta  (yang kebanyakan 
tidak berani terang-terangan) serta yang meyakini mati itu 
“Selesai” tidak akan ada cerita lagi (Bab I No.35), itu ibaratnya 
bagaikan jambangan yang berisi air yang meyakini hanya ada 
bayangan matahari saja, tidak meyakini adanya matahari. 
Bagaimanakah bayangan itu bisa menjadi ada di dalam air di 
jambangan, serta abagaimana akhirnya setelah jambangan pecah: 
tidak menjadi perhatiannya. Atau diibaratkan seperti halnya si 
Wayang yang hanya meyakini adanya Ki Dalang saja, tidak 
meyakini adanya yang nanggap. Apakah sebabnya Ki Dalang itu 
melakonkan wayang, dan bagaimana setelah selesainya 
pertunjukan: tidak menjadi perhattiannya.
Keyakinan yang seperti itu, keyakinan madzab (golongan) 
Qadariyah yang sudah saya katakan sebelumnya (Bab I No.25). 
Bangsa kita yang merasa sebagai Ahli Ma’rifat, banyak yang 
mempunyai keyakinan Qadariyah itu.
Kamu paham bahwa keyakinanku tidak seperti itu. Seumpama 
jambangan yang berisi air, aku meyakini adanya bayangan 
matahari dan Matahari. Seumpama wayang, aku meyakini adanya 
Ki Dalang dan Yang Nanggap wayang.
Akan namun  seumpama jambangan yang berisi air, aku tidak 
meyakini bisa melihat matahari yang berada di langit, seumpama 
Wayang, saya tidak meyakini bisa bertemu dengan Yang
Nanggap wayang yang berada di Rumah bagian belakang. Seperti 
keyakinan Jabariyah. Bangsa kita yang ahli Syari’at dan ahli 
Sunnah, banyak yang memiliki keyakinan Jabariyah ini.
Yang menjadi keyakinanku, kesempurnaan Hakikat dan Ma’rifat 
itu, harus urut melewati tingkatan syari’at dan Tarikat terlebih 
dahulu. Sebaliknya, jika hanya ahli Syari’at saja, itu belum 
sempurna. Namun, oleh sebab  pendapat orang itu berbeda-beda, 
orang Qadariyah barang kali mengira keyakinan itu tanpa dasar. 
Sebaliknya, orang Jabariyah atau ahli Sunnah barangkali mengira 
aku ini.... kafir. Yang seperti itu semua: Terserahlah, hiburankau 
hanya nembang jawa ura-ura seperti ini *Dhandhang Gula)
Langkung nuwun Kanjeng Sunan Kali.
Atur sembah sarwi ngaras pada.
nDjeng Sunan Benang sabdane.
Yayi den awas emut
Aja kongsi kawedar lathi.
Iku sabda larangan
Yen kawedar ngrungu
Mring sagunging kang tumitah
Yen mangerti dadi manungsa sejati
Kapir kupur sampurna
Artinya:
Sangat berterima kasih Sunan Kalijaga.
Menghaturkan sembah mencium kaki.
Sunan Benang berkata.
Yayi hati hatilah dan ingatlah
Jangan sampai kamu ajarkan dengan lisan
Itu jaran rahasia
Jika diajarkan dan ada yang mendengar
Kepada siapapun saja
Jika paham akan menjadi manusia sejati
Kafir Kufur sampurna (Bagi tidak paham).
Dan apapun yang bernama keyakinan// Yang terpenting dari yang 
penting itu .... pelaksanaannya. Tidak cukup hanya mengerti saja. 
Jangan dianggap mudah. sebab  hanya dengan menjalankan itu, 
yang bisa membuahkan rasa nikmat dan raya mendapatkan 
keberuntungan, di dalam hidupnya saat  di dunia ini, dan saat  
akan meninggal dunia, dan setelah meninggal dunia.
Pesan terakhirku, kepadamu:
Jika kamu tidak (belum) cocok dengan keterangan ini, kamu 
jangan mempunyai anggapan, jika aku akan membencimu. Sebab 
cocok atau tidak cocoknya dirimu, tidak akan mengurangi atau 
menambah apa-apa bagi diriku mengabdi kepada Pencipta .
Dan, jika kamu meras cocok terhadap keteranganku, aku 
berpesan:
1. Jika kamu sudah menjalankan syari’at, sungguh, jangan 
kemudian kamu berubah. Jika belum, lebih baik 
menjalankannya. Agama apa yang kamu senangi. Syari’at itu 
menjadi “Pendorong” yagn penting atas segala cita-citamu.
2. Ajaran ini, jangan kamu jadikan pembicaraan dalam tiap 
harinya, sebab tidak ada gunanya sama sekali untuk dirimu dan 
untuk yang mendengarnya. Sedangkan bila ada yang 
mengawali mengajak musyawarah, tanggapilah, namun jika 
terjadi perselisihan dalam keyakinan, mengalah sajalah. Jangan 
suka berbantah Ilmu, tidak ada hasilnya sama sekali, sama￾sama tidak bisa membuktikan yang sebenarnya. Dna jika lawan 
bicaramu terlihat akan meminta