sangkan paraning dumadi 2
By tuna at November 29, 2023
sangkan paraning dumadi 2
manusia itu, takdir perbuatannya yang poko:
menyebabkan sakitnya raga. Sehingga jika orang biasa (mukmin
awam) jika mengalami sakit raga itu, menjadikan gelap pikirannya,
luntur pengabdiannya kepada Pencipta , dalam berikhtiar tidak
dengan cara pasrah, terkadang mau minta tolong kepada badan
halus ( menjadi musyrik = menyekutukan Pencipta ), kadang juga
bisa menyembuhkan. Hal itu bisa menyebabkan manusia berbuat
demikian itu takdir dari perbuatan setan.
Dan juga pahamilah olehmu, baksil – bakteri yang sedang “in aksi”
di dalam tubuh manusia itu, bisa menular atau dengan sengaja
ditularkan kepada manusia lain. Jika yang tertular itu kurang kuat
daya reaksinyan juga akan mengalami sakit raga seperti yang
ketempatan baksil-bakteri itu tadi. Namun sebab baksil – bakteri
itu termasuk setan kasar, cara penularannya itu juga dengan cara
kasar, yaitu jika dekat atau terlihat mata.
Sedangkan jenis setan , yang tingkatnnya halusnya melebihi baksil
– bakteri itu, juga bisa ditulasrkan kepada manusia alainnya, dari
jarak jauh. saat yagn ditulari itu kurang kuat daya reaksinya,
juga kemudian terserang sakit di jiwanya, terkadang terjangkit
sakitnya raga dan jiwanya, menurut keinginan yang menularkan.
Jika penjelasanku ini sudah bisa kamu pahami, tentunya kamu
tidak akan menyalahkan tentang adaya “ Tenung, teluh, guna-guna
pengasihan, santet, jaran goyang, dan lain sebagainya, itu.
Tentunya kamu juga mengerti bahwa kelebihna-kelebihan dan
berbagi jenis aji kesaktian yang diusahakan itu (Bab III No.22, 30,
31), berarti: Ditolong oleh rohnya orang yang meninggal dunia
yagn belum sempurna, atau ditolong oleh golongan Jin, atau
ditolong oleh ... Setan dari dirinya sendiri.
37. kartosuwiryo :
Iya Kak, sekarang aku sudah mengerti sungguhan. Tentag setan
yang sebelumnya aku setengah percaya setengah tidak, sekarang
sudah yakin adanya. Dan juga tidak heran bahwa jika setan itu bisa
menundukan perbuatannya (menggoda) kepada orang yang sehat
raganya, dan juga kepada orang yang kelihatan dalam kelakuannya
bertindak “baik”. Yaitu saat orang-orang itu menyenangi tentang
urusan dunia mengalahkan pengabdiannya kepada Pencipta . Sebab
yang menghalang-halangi antara makhluk dengan Pencipta itu tidak
lain itu hanya tentang keduniaan itu.
Nah... tentang itu aku mohon penjelasan: Apa, kita sebagai
manusia ini tidak bisa meneliti sendiri terhadap godaan setan itu:
sebelum jadi kurban? Dan juga, jika baksil-baksil yang ada di
badan kasarnya manusia disertai daya reaksi, sedangkan setan yagn
ada di badan kasarnya manusia, yang lebih besar bahayanya,
apakah tidak disertai daya reaksi?
soebandrio :
Nah sekarang soal “Malaikat” yagn kamu tanyakan dari semula.
Aku tadi sudah menyampaikan, bahwa makhluk yang berbadan
halus itu, secara garis besar ada empat (Bab III No..33) baru saya
terangkan yang tiga, masih kurang satu: yaitu dari golongan
Malaikat itu.
4. Bangsa Malaikat (malaikat), itu makhluk Pencipta berbadan halus
yang luhur derajatnya. Pemimpin setan yang bernama Idajil itu,
sebelumnya juga golongan Malaikat. Namun kemudian
direndahkan derajatnya, dimasukkan ke dalam golongan setan
yang alamnya bernama alam ajsam (Bab III No.33).
Sedangkan alam dari golongan Malaikat itu bernama alam
Malakut. Jumlah dari golongan Malaikat itu juga tidak terbilang,
seperti halnya jumlah dari golongan setan. Nama dari para
Malaikat yang perlu dikaetahui dalam Rukun Iman ada 10, yaitu:
1. Jibril = Yang menjadi utusan Pencipta memberikan
Wahyu kepada para Nabi dan memberikan
Ilham kepada makhluk yang diberi anugerah itu.
2. Mikail = Yang membagikan rejeki dan yang
mencurahkan hujan.
3. Israil = Yang menempatkan Roh.
4. “Izrail = Yang mencabut roh.
5. Raqib = Yang mencatat pebuatan baik buruk.
6. “Atid = Yang mencatat perbuatan baik buruk
7. Munkar = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur.
8. Nakir = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur
9. Ridwan = Penjaga surga.
10.Malik = Penjaga Neraka.
Alam Malakut itu alam yang luhur (halus) sekali, sehingga orang
yang belajar Yoga (Shalat Ma’rifat) sangat jarang yagn bisa sampai
di tingkatan itu. Seta orang yang terbuka penglihatan gaibnya,
jarang yang bisa melihat terhadsap ujud dari Malaikat itu, walau
pun sudah bisa melihat wujud makhluk yang ada di alam Ajsam
dan yang ada di alam kubur. Namun manusia yang sempurna dari
yang sempurna: derajatnya melebihi Malaikat. Yaitu seperti yang
sudah saya sampaikan itu, saat Mihraj-nya Nabi Muhammad
hampir sampai di hadapan Pencipta , Malaikat Jibril tidak kuat
melajutkan untuk ikut (Bab III No.30).
38. kartosuwiryo :
Mohon maaf Kak! Aku agak bingung mendangar penyampaian
Kakak tanteng Malaikat itu. Yang dibicarakan yang sudah lalu kan
golongan setan yang berada di badan kasarnya manusia alias yagn
ada di jagad kecil (mikrokosmos). Aku kemudian mohon
penjelasan tentang zelfkorreksi dan tentang daya areaksi yang
menanggulangi aksi dari golongan setan itu. Kemudian Kakak,
terus membicarakan golongan Malaikat, padahal penerimaanku:
Malaikat itu para alat (Apparat) utusan Pencipta yang bertugas
mengurus semua manusia yang ada di seluruh dunia alias yagn ada
di jaga besar (makrokosmos). Tentang hal itu bagaimana?
soebandrio :
Itu kan pendapatmu sendiri, dari bawaanmu sendiri, bukan
pendapat yang sebab mendengar penyampaianku, ta? Aku tidak
mengakatan Jagad besar dan sejenisnya, yagn saya katakan semua
itu hanya jagad kecil, yaitu badan kasar dari manusia ini.
Memang benar bahwa malakekat itu aparat utusan Pencipta , namun
Pencipta yang bermakna “Individueele God” (Bab II No.2,8), bukan
Pencipta yang bermakna, algemenee God” seperti perkiraanmu itu.
Sedangkan Algemeene God itu apakah memiliki Aparat yang
bernama Malaikat, apa tidak, itu, tidak bisa dibicarakan, sehingga
juga tidak perlu dibicarakan. sebab Tinggi-Tingginya
Ma’rifatullah itu – walau pun para Nabi sekali pun – tidak lain
hanya Ma’rifat kepada ... Individueele God = Pencipta -nya sendiri
(Bab I No.37, Bab II No.7).
Sehingga: Nama dari Malaikat serta kewajibannya sekalian, yang
saya katakan itu tadi, tidak lain yaitu ... Malaikat dari diri orang
masing-masing serta kewajibannya kepada diri amsing-masing
orang saat masih berbadan kasar ini.
Jika kamu masih bingung, sebab tidak lain disebab kan nama dari
Malaikat dan nama dari Pemimpin setan itu yang kamu kira
eignnaa, sebagai ibarat ... Pak Sastrakara. Padahal sebenarnya
“Nama” itu sebutan dari tugas pekerjaanya, Gambarannya ... Pak
Carik yang pekerjaan menulis, dan di tiap kelurahan ada Pak
Carik-nya. Jelasnya: Tiap diri manusia itu ada Ijajilnya sendirisendiri, juga ada Jibril-nya sendiri-sendiri, Mikail-nya sendirisendiri, Israfi-nya sendiri-sendiri ... dan seterusnya. Yang masingmasing saling mempunyai kewajiban seperti yang saya katakan itu
tadi. Namun, tugas Malaikat itu jangan kamu pahami letterlijk
seperti perkiraanmu semula itu tadi.
Sedangkan Malaikat yang tak terbilang jumlahnya itu, hidupnya
juga menjadi benalu di badan kasar manusia, yang atas kudrat dari
Pencipta , sebagai lawan menandingi dari golongan setan, yaitu dari
reaksi atas aksi-nya golongan setan. saat badan kasar manusia
ini rusak, para Malaikat juga akan “Selesai” kembali kepada
asalnya, seperti halnya golongan setan yagn sudah saya jelaskan itu
tadi.
Untuk lebih jelasnya menggunakan rumus (formula), seperti ini:
Aksi dari setan rendahan (baksil, bakteri) yang menyebabkan
sakitnya raga, di tanggulangi oleh reaksi dari Malaikat arahan.
Aksi dari setan tingkat yang lebih halus, yang menyebabkan
sakitnya jiwa, ditanggulangi ileh reaksi dari Malaikat yang lebih
luhur.
Sehigga: Golongan Malaikat itu – makhluk berbadan halus yang
ditakdirkan menjadi reaksi terhadap aksi dari golongan setan. Oleh sebab Malaikat itu makhluk yagn luhur derajatnya (Sangat halus),
sehingga Malaikat yang Arahan saja, tidak bisa dilihat
mempergunakan mikroskoop, apalagi Malaikat yang lebih luhur
derajatnya. Juga dengan mempergunakan penglihatan gaib sangat
jarang yang bisa melihatnya. Namun dengan menggunakan akal
dan pikiran, orang bisa percaya atas adanya Malaikat itu, sebab
melihat dari menyatakan atas perbuatannya.
Sedangkan perbuatan Malaikat Arahan yang membentengi aksi
dan bakteri-baksil, wetenschap sudah menyaksikan adanya,
Sedangkan yagn dilakukan oleh Malaikat yang menanggulangi
perbuatan setan, yang menggoda manusisa agar sangat mencintai
urusan dunia hingga mengalahkan penghambaannya kepada
Pencipta , bisa dinyatakan menggunakan Zalfkorreksi seperti ini:
Kita ini dalam setiap harinya, tiap jam, tiap menit, tiap detik, pasti
mengalami Chaathir (krenteg-osik/Cetusan hati) saat salah satu
indriya yang lima mengalami hal apa saja, terkadang tersa,
terkadan tidak terasa, sebab sangat eratnya, Cetusan itu garis
besarnya pasti hanya dua macam yang selalu berlawanan, Yang
satu mengajak lupa (menolak) kepada Pencipta , yang satunya lagi
menghamba (manghadap) kepada Pencipta . Cetusan hati yang
mengajak menolak itu, tidak lain dari perbuatan golongan setan,
sedangkan yang mengajak menghadap Pencipta itu tidak lain berasal
dari perbuatan golongan Malaikat.
Orang yang kuat raganya, daya reaksi dari Malaikat Arahan itu
kuat dalam menghadapi aksi dari golongan setan rendahan (baksil
bakteri). Semikian juga orang yang kuat jiwanya (rohnya), daya
reaksi Malaikat yang selalu mengajak menghadap Pencipta itu juga
kuat menanggulangi aksi dari golongan setan yagn selalu mengajak
menghidar dan menolak terhadsap Pencipta . Sedangkan badan kasar
serta si astendriya yang dikendalikan oleh akal pikiran, hanya
tinggal menurut saja. Jika roh-nya tunduk kepada setan, tentu akan
melakukan sesuai dengan watak dari setan, demikian juga
sebaliknya.
Nah... sekarang sudah malam, jika kamu akan pulang besok,
sekarang istirahatlah.
39. kartosuwiryo :
Iya Kak, namun aku memaksa mohon diterangkan dahulu tentang
surga dan neraka, walau secara singkat saja. Keinginanku ingin
mengerti tentang hal yang gaib lainnya yagn tidak ada
hubungannya dengan Iman dan tekad, saya sabarkan dahulu, lain
waktu saja jika saya datang ke sini lagi.
Kakak mengatakan, bahwa surga neraka aitu bermakna takdir baik
dan takdir buruk (Bab II No.35) itu aku belum jelas benar.
a. Yang disebut takdir baik dan takdir buruk itu yang baimana
ujudnya?
b. Katanya surga itu lapis tujuh, neraka itu lapis tujuh, sedangkan
surga neraka itu merupakan takdir hidup, terus bagaimmana
kejelasannya?
soebandrio :
Pertanyaanmu itu sepertinya sudah isi catatan .... bahwa surga
aneraka itu kamu kira tempat. Hal itu keliru, salah yang
sebenarnya. Surga Neraka itu kenyataannya persisi seperti “alama;am” yang sudah saya jelaskan di depan. Tidak lain hanya
menurut rasa dari yang mengalami sendiri-sendiri (Bab II No.23,
24, 25).
Sehingga jika kamu mempunyai anggapan, bahwa yang disebut
takdir baik itu orang yang dilahirkan pinter, sugih, terhormat ......
itu salah. Sebab yang mengalami hal demikian belum tentu
mempunyai rasa Beruntung. Sedangkan yang dilahirkan
sebaliknya itu semua jangan kamu kira itu takdir jelek, sebab yang
mengalami belum tentu mempunyai rasa celaka.
Singkatnya: Surga = keadaan hati yang berasa beruntung, senang,
tenteram dan lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatakan
enak; Neraka = Keadaan hati yang merasa celaka, susah, resah dan
lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatan tidak enak.
Coba sekarang dikupas:
Kata “Surga’ dan “Neraka” itu, aku tidak mengerti kejelasannya,
apakah kata yagn sudah berubah atau mengambil dan manca, apa
asli bahasa Nasional, dan makna yang letterlijk, itu bagaimana aku
juga tidak mengerti dengan jelas.
Sedangka jika makna yang mengikuti artinya, sudah jelas Surga =
Kenikmatan dan keindahan, Neraka = lawan dari kenikmatan dan
keindahan, Jika demikian, kan kata sebutan yang disimpulkan dari
kata ‘Keadaan”. Namun saat dijadikan kata yang berbunyi
“Surga” dan “Neraka” kemudian menimbulkan anggapan baru:
Surga neraka itu sebutan tempat, seperti Pantai, gua dan lainsebagainya.
Di dalam Biybel, dalam menyebut surga itu Hemel artinya atas,
untuk menggambarkan keluhurannya, terkadang eden atau
Paradiys artinya Pertamanan, untuk menggambarkan
kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan dalam
menyebut Neraka: Hel, artinya... Bawah, untuk menggambarkan
keburukannya.
Di dalam kitab muslim dalam menyebut surga itu Jannatun (aljannatu) artinya pertamanan, juga untuk menggambarkan
kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan kata
“Jannatun” itu kadan ditambahi Firdaus, naim, chudi, adni, illiyin,
Entah yang lainnya lagi. Kemudian menumbuhkan anggapan
bahwa tambahannya itu... Eignnaame si Jannatun, seperti halnya
“Parangtritis” Eignnaame “Pantai” Atau “Langse” eignnaaame
Gua. Padahal kenyataannya tambahan itu yaitu kata keterangan
atas Kenikmatan dan keindahan iut tadi. Seperti:Jannatul Firdaus”
bermakna Pertamanan yang dihiasi Istanabukan Surga yang
bernama Firdaus. Sedangkan “Firdaus” itu satu maksud dengan
“Paradiys” di Biybel, berasal dari Bahasa Ibrani.
Seharusnya kata sebutan itu tidak berlawanan. Namun kata sebutan
Surga dianggap berlawanan kata sebutan neraka, oleh sebab
kedunya memang asal dari kata keadaan. Sedangkan di Qur’an
tidak demikian. Kata sebutan “Jannatun” yang diartikan ke dalam
bahasa Jawa “Surga” tidak mempunyai lawan katanya dan bahasa
jawanya Neraka. Di Qur’an hanya menceritakan adanya “Adzaab
(Siksa) bermacam-macam, contohnya: wailun, sa’ir, jahim,
jahanam, huthammah, haawiyah, saqar, nar ... entah yang lainnya
lagi. Sedangkan kata-kata itu kan jelas yaitu kata keterangan yang
menerangkan “Adzaab” itutadi, bukan eignnaam, serta kata
“Wailun” (dibaca: Wel) itu satu asal dengan “Hel” di Biybel, sama
berasal dari bahasa Ibrani.
Menurutkan sekarang sudah jelas lebih dari jelas, bahwa surga
Neraka itu bukan tempat, hanya rasanya (Yang dirasakan hati)
yang mengalami saja.
Sedangkan surga Neraka itu dikatakan lapis tujuh, atau warna
tujuh, itu tidak ada salahnya, sebab rasa yang dialami hati (enak
atau tidak enak) itu memang banyak jenisnya, bukan hanya tujuh
macam saja. Serta masing-masing warna itu tidak sama ukurannya,
juga bukan tujuh ukuran saja.
Yang Terakhir: saya ulangi pesanku; Jangan suka berbantahan
masalah Ilmu (Bab I No.37) ingatlah perintah Qur’an “ Mani
ahtadaa fainnamaa yahtaddie linafsihi waman dlalla fainnamaa
yahdlilu ‘alaihaa (Isyraa’ 15) = siapa yang mendapakan
petunjuk
itu untuk dirinya sendiri, yang siapa sesat juga untuk dirinya
snediri). Artinya: Masing-masing orang itu keyakinanan menurut
taqdirnya sendiri-sendiri, tidak bisa didpengaruhi.
Sekarang ayo... Istirahat.
URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT Pencipta
YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI
DZATI WAJIBI’L MAUJUDI)
1. kartosuwiryo :
Kakak, Atas kedatanganku ke sini, sebab aku libur panjang, untuk
mohon diajari Ilmu kenyataan yang menjadi keyakinan kakak.
Perintah Kakak setahun yang lalu, sudah saya laksanakan. Aku
sudah berguru ke sana ke mari dan sudah membaca buku-buku
tentang Agama dan tentang Ilmu Batin.
Sehingga kedatanganku ke sini bisa diibaratkan mengambil air
menggunakan pikulan air, seperti petunjuk Kakak dahulu, apakah
tidak demikian?
soebandrio :
Syukurlah, beruntunglah jika kemu sejak saat itu tidak hanya
berhenti pada niat saja.
Memang, bukan hanya dirimu saja yang saya sarankan demikian.
Dengan tujuan agar tidak fanatik. Sebab menurut penadapatku,
fanatik itu menjadi penghalang besar, terhadap orang yang sedang
mencari ilmu hakikat. sebab menjadikan mereka jadi kehilangan
penalaran, itu disebabkan terttutup oleh keyakinan “menolak” atas
pendapat orang lain.
Lebih tinggi lagi kerugian, orang yang belajar ilmu hakikat jika
sudah fanatik terhadap sesama manusia. Apapun ajaran gurunya,
diterima apa adanya hingga lahir batin, tanpa di telaah sama sekali.
Pyaitu , walau- pun Firman Pencipta yang tercantum di dalam
Kitab-Kitab Agama itu pun, penghayatannya juga harus
menggunakan akal dan pikira.
2. kartosuwiryo :
Aku baru paham sekarang, bahwa petunjuk Kakak itu,
mengandung maksud yang demikian. Saya kira, saat Kakak
memberi perunjuk saat itu, disebabkan saya dikira belum kuwat
untuk meguasai ilmu hakikat, atau bagaimana?
soebandrio :
Belum kuat bagaimana? Apakah kamu beranggapan bahwa
seseorang yang belajar Ilmu Hakikat ada yang menjadi gila, oleh
sebab belum kuwat? Seandainya ada Ilmu yang bisa
menyebabkan gila, sudah bisa ditentukan bahwa itu bukan Ilmu
Hakikat.
Sederhananya, bahwa Ilmu Hakikat itu sama sekali tidak ada
bahanya dan tidak merugikan. Dan jika bisa “terkabul” justru
bermanfaat dan menyelamatkan baik di dunia hingga akherat.
Sehingga dikatakan jika “Terkabul”, tentunya ada yang “tidak
terkabul”. Yaitu belajar ilmu yang tidak bisa membuahkan Iman
(kepercayaan), dan anggapan (Keyakinan). sebab takdir manusia,
antara yang satu dengan lainnya tidak ada yang sama. Kata
lainnya: Beda-beda takdir tiap diri.
3. kartosuwiryo :
Bagi yang telah mendapat anugrah Iman dan niat, apakah masih
diperlukan membandingkan dengan ilmunya orang lain?
soebandrio :
Sangat perlu, itu tidak, namun tidak ada jeleknya, artinya tidak ada
ruginya. Sebaliknya; Jika menolak, membantah, tidak mau
memahami lain ilmu, itu sudah pasti ruginya, sebab terjerumus ke
dalam kefanatikan itu tadi.
Fanatik yang seperti itu, artinya tidak bisa merasa bahwa diri
manusia itu mempunyai sifat sial, sifat lupa, banyak
kekuarangannya. Merasa telah benar sendiri, merasa paling
sempurna, itu sebetulnya sebab kelemahannya, merasa khawatir
jika terpengaruh oleh lain ilmu.
Menambah ilmu itu janganlah kuatir bahwa Iman dan cita-citanya
akan goyah. Seandainya keyakinan dan kepercayaannya menjadi
goyak disebab kan saat mempertimbangkan dan menelaah ilmu
milik orang lain, itu menandakan bahwa Iman dan Cita-cita
sebelumnya disebab kan belum 100%. Iya apa tidak? Kan tidak
merugikan?
Atas orang yang tidak fanatik, sekira ilmunya orang lain di anggap
salah, tidak cukup hanya dengan dasar “Saya menolak”. Pastilah
ada alasan yang jelas, bagian mana yang dianggap salah, dan
apakah sebabnya sehingga di anggap salah.
Sekarang saya bertanya kepadamu: Apa yang kamu peroleh dari
kamu berguru dan membaca Buku-buku itu bagaimana? Apakah
masih belum ada yang bisa memuaskan pikiranmu?
2. kartosuwiryo ;
Apalagi merasa puas, mengerti saja belum, Kak, Sebab,
pemahamanku dari tiap jenisnya beda penjabarannya dan juga
kalimatnya. Entah sebab akebodohanku, atau bagaimana.
Sehingga saya minta Kakak berkenan memberikan penerangan
tentang hal itu dan mengajarkan Ilmu Hakikat itu.
soebandrio :
Penyebab kebingunganmu itu bisa juga dari dirimu sendiri, yaitu
sebab menyamakan sesuatu yang sebenarnya tidak sama.
Tiap-tiap guru atau pengarang buku itu memang tidak harus sama
penguraiannya dan kalimat-kalimatnya (istilah) yang
digunakannya, sehingga tidak usah kau banding-bandingkan.
Gantilah saja penalaranmu. Nantinya akan kau temukan sebagian
atau sedikit, dari uraian tadi, yang sama persisi, dan cocok dengan
akal pikiranmu.
Namun bisa juga penyebab kebingungan itu tidak disebab kan
kesalahanmu. Sebab tidak kurang tukang memberi penerangan,
yang seharusnya bisa menjelaskan sesutu yang sulit, justru
membuat bingung atas sesuatu yang mudah.
Bia terjadi yang demikian itu, ada yang tidak disengaja, artinya
memang tidak punya dasar keahlian tentang bagaimana cara
menerangkan agar mudah dipahami. Ada yang memang disengaja;
Membikin bingung itu ada dua tujuan:
a. Dia sendiri memang tidak mengerti tentang sesuatu yang dia
terangkan, sehingga hanya mengatakan saja suatu keterangan
yang pernah dia dengar, dengan diawur saja.
b. Dirinya memang sangat paham tentang yang dia jelaskan,
namun memang tidak mau membuka rahasianya, penyebabnya:
Itu bermacam-macam. Ada yang sebab sangat bijaksananya,
ada yang sebab .......... silahkan tebak sendiri.
3. kartosuwiryo ;
Menyela kata Kak!! Tadi kakak mengatakan (Bab.I No.2): Ada
pencarian yang tidak terkabul, yaitu yang tidak membuahkan Iman
dan keyakinan. Dan jika keterangan yang diterima itu memang
jelas, terang-terangan, dan juga cara menerangkannya memang
bisa, apakah masih ada yang tidak bisa menerimanya sehingga
menolaknya?
soebandrio :
Menerimanya memang bisa menerima, mengerti pun bisa mengerti
juga, namun, bisa digambarkan sebagai berikut:
A, B, dan C. Sama-sama menerima penjelasan tentang keburukan
orang merokok, disebab kan tembakau itu mengandung racun
yang bernama Nikotin, yang bisa membuat rusaknya badan.
Si A, ranpa ragu-ragu, kemudian berhenti merokok, sebab telah
paham betul atas penjelasan ini , sebab kuatnya
peyakinannya.
Si B, juga memahami atas penjelasan ini , dan juga percaya
bahwa merokok itu merugikan kesehatan badan, namun....... tidak
bisa menghentikan merokok, sebab kurang kuat pendiriannya,
seingga berhenti merokok itu terasa sangat berat baginya.
Si , juga paham atas penjelasan ini , namun setengah percaya
dan tidak percaya, Dalam batinnya berkata: “Soal racun itu
terkadang hanya perkiraan saja, sebab tidak kelihatan. Yang jelas
saja, bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok itu terlihat
kurang pantas. Shingga entah benar atau tidaknya tentang cacun,
aku tetap terus merokok, agar tidak terlihat tidak pantas.:
Pikirkanlah hal itu. Baru menerangkan soal rokok saja, hasilnya
tidak sama. Apalagi penjelasan tentang Ke-sukma-an / Ilmu
hakikat yang berjuta-juta kali lipat guna dan manfaatnya, sebab
bisa sebagai jalan masuk surga atau masuk neraka.
Jika saja Iman dan Keyakinan itu, manusia bisa membuatnya,
maka saat di masa hidup para Rasul tidak akan ada orang Kafir.
Iya apa tidak? Nah.... sekarang apakah yagn kau inginkan..
sampaikanlah dengan jelas...
4. kartosuwiryo :
Yang kuinginkan tidak lain mohon diberi ajaran tentang Ilmu
Hakikat, yang bisa dipergunakan dalam hdiup di dunia dan di
akhirat, barangkali saja saya bisa memahaminya. Sebab saya
merasa belum mempunyai keyakinan dan pegangan yang
sebenarnya, walau pun saya telah berguru ke mana-mana dan
sudah membaca bermacam-macam Kitab.
soebandrio :
Ya sudahlah, Jika memang niatmu sudah jelas begitu. Namun
pahamilah, Bahwa Kakakmu ini tidak pernah “memberi ajaran”
seperti yang kau inginkan itu. Itu yaitu kebiasaan di masa lalu,
yang harus duduk di kain mori putih, atau di tempat yang tidak
terhalang pepohonan. Aku tidak mempergunakan cara seperti itu.
Alangkah baiknya mempergunakan cara tanya jawab saja. Kamu,
bertanyalah sekehendak hatimu, apa yang kau inginkan, akan saya
jawab semampuku. Jika jawabannya belum memuaskan,
bantahlah, hinga kau merasa puas.
Cobalah sekarang, apa yang akan kamu tanyakan?
5. kartosuwiryo :
Waduh!! Jika Kakak menghendaki cara seperti, sangatlah susah
bagiku, sebab membuat pertanyaan itu tidak gampang. Sebentar
saya pikirkan terlebih dahulu. Pertanyaan apa yang harus
dahulukan, sebab sangatlah banyak tentang bab-bab yang akan
saya mohon untuk dijelaskan.
soebandrio :
Sukurlah! Jika kamu telah mempersiapkan banyak pertanyaan.
sebenarnya bertanya itu tidak sukar. Hanya saja, dari
pertanayaan itu, maka bisa diukur ilmu yang dimiliki.oleh yang
bertanya.
Memang, yang lebih mudah dari yang mudah itu, yaitu
mendengarkan “Pengajaran” seperti yang kau inginkan. Namun,
jika dirimu biasa mempergunakan cara seperti itu, maka
penalaranmu tidak bisa berkembang, dan tidak bisa membuahkan
kepercayaan dan keyakinan yang sebenarnya.
Maka dari itu, lebih baik mempergunakan cara tanya jawab iitu
saja. Dan sebaiknya tanya jawab ini catatlah semuanya, barangkali
saja ada gunanya untuk siapa saja yang menghendakinya.
Catatlah seperlunya saja, janganlah takut-takut, sebab Negara Kita
ini berdasar Demokrasi; Tidak ada halangannya untuk
mengeluarkan dan menyebarkan pendapat tentang bab apa saja.
Agar supaya lebih terperinci penjabarannya, pahamilah olehmu,
bahwa yagn disebut Ilmu Hakikat, Ilmu jiwa, Ilmu ke-sukma-an,
Kerokhanian, kesempurnaan, ke-Pencipta -an, Kebatinan, ada juga
yang menyebutnya Asal dan Tujuan Kejadian (sangkan paran) atau
Ilmu Tua, itu yaitu :
Menjelesskan tentang Pencipta
Menjelaskan Tentang kematian
Menjelaskan tentang Jalan Ma’rifat KePencipta an
Menjelaskan tentang yang gaib.
Namun, banyak dari mereka, barangkali kali merasa khawatir akan
segera meninggal dunia, yang lebih diutamakan itu yaitu mencari
ajaran tentang sikap seseorang yang akan meninggal dunia.
Sedangkan penjelasan tentang hal lain-lainnya tidak menjadi
perhatiannya.
Ada juga yang walau pun sedikit pernah mendengar kalimat
“Ma;rifat” namun tiba-tiba melakukan latihan yang menurut
anggapanya yaitu merupakan Jalan Ma’rifat kepada Pencipta . Itu
juga tidak memiliki perhatian terhadap ajaran yang lain-lainnya.
Ada lagi yang perhatiannya yaitu hanya kepada yang gaib-gaib,
tanpa berdasar kepada keterangan yang jelas. Tentang hal yang
lainnya yang justru lebih penting , tidak menjadi perhatiannya.
Seekrang, silahkan bertanya sekehendak hatimu, namun sebaiknya
ikuti tata urutan yang telah ini di atas, barangkali saja , dari
jawaban yang saya berikan bisa menjadikan terang dan puasnya
hatimu.
6. kartosuwiryo :
Terima kasih, Kakak telah memberi pedoman urut-urutan dari
pertanyaan. Namun sebelumnya saya mohon penjelasan terlebih
dahulu. Yang dalam pencariannya dengan cara tidak urut , itu
kerugiannya di mana?
soebandrio :
Tidak hanya mendapatkan kerugian, justru itu termasuk masuk ke
dalam bahaya yang mengerikan, Cobalah dipikirkan:
Meninggal dunia itu seharusnya kan: Innaa lillahi wa inna ilaihi
raji’uun (Al-Baqarah 156 = Sesungguh asal dari Pencipta kembali
kepada Pencipta ). Namun akan kembali ke manakah, bila tentang kePencipta -an, seseorang imannya masih ragu-ragu dan juga dalam
keyakinannya?
Demikian juga halnya bagi bagi yang belajar Ma’rifat, padahal
belum jelas tentang ke-Pencipta -an. Apa yang akan di makrifatkan,
jika iman dan keyakinannya masih ragu-ragu? Nah kan, itu lebih
baik yang rajin menjalankan Shalat Syari’at saja – menurut
Agamanya sendiri-sendiri yang di senangi – yang sama sekali tidak
ada bahayanya.
Sedangkan bagi yang perhatiannya tertuju kepada yang Gaib-gain
itu, bila sampai terlupa atau tanpa pejelasan yagn jelas, pastilah
akan celaka, sebab belum bisa membedakan diantara “Yang Iya”
dan “yang bukan”
7. kartosuwiryo :
Mohon ijin Kak, menyela untuk mohon penjelasan: Ada pencarian
yang harus melewati bahaya, ada yang tidak, hal itu pemahaman
saya belum jelas. Jika sampai kepada yang dicari (kembali kepada
pangkuan Pencipta ), seharusnya kan memilih yang tidak ada
bahanya. Apakah tdiak demikian?
soebandrio :
Dalam hal memilih, saya tidak bisa menyarankan, itu tergantung
dari kesenangan diri masing-masing untuk memilih. Sampai atau
tidaknya atas yang menjadi tujuannya, itu tergantung kuasa dan
keadilan Pencipta sendiri. WPencipta u a’lam, Hanya Pencipta Pencipta yang
Maha Mengetahui.
Namun jika soal pencarian atau ibadah kepada Pencipta , itu memang
ada 4 tingkatan, yaitu:
1. Syari;at, artinya: Aturan yang berupa aturan Agama tentang
perintah dan larangan yang harus dijalankan. Sebagai dasarnya
harulah percaya, bukan yang itu bukan yang ini. Itu sebagai
ujian saat menghamba kepada Pencipta dengan cara
bersungguh-sungguh.
2. Thariqat, artinya: Jalan atau petunjuk, berupa petunjuk yang
memberi pengertian akal dan pikiran, sehingga keyakinannya
tidak hanya ikut-ikutan, dan menjadi sarana untuk mencapai
kepada Hakikat.
3. Haqiqat, artinya: Sejati atau nyata, itu yaitu sudah bisa merasa
di dalam halusnya rasa tentang perbedaan yang Nyata (Haq)
dengan yang bukan (bathal), yang berasal dari perjuangan yang berdasar petunjuk ini . Diri yang lain sudah tidak bisa ikut
campur sama sekali.
4. Ma’rifat, artinya: Melihat, namun bukan penglihatan mata
saat melihat. Itu yaitu suatu hal yang sudah bisa
menyatakan tentang Kenyataan, yang dalam menyatakannya
sama sekali tidak mempergunakan alat. Tentang hal itu, selain
bahwa orang lain sudah tidak bisa ikut campur lagi, diri sendiri
pun tidak bisa menceritakan kepada diri yang lain.
Berdasarkan keteranga ini , bahwa sebenarnya yang
terpenting ada pada tingkatan Thariqat. Namun bagi seseorang
yang hanya menjalan syri’at saja, asal dengan sungguh-sungguh,
jika diperkenankan itu juga akan mendapat anugerah petunjuk
yang berasal bukan dari orang lain, itu disebut Ilham. Shingga
Rasul Pencipta pernah bersabda: “Aktsaru ahli’Ijannati albalhu wa
illiyuuna lidzawi alalbaabi (Hadist), Kebanyakan orang yang hali
surga itu orang yang bodoh-bodoh, sedangkan yang berada di
Illiyun – Surga yang tertinggi .. ituyaitu orang yang pintar-pintar).
“Pintar” di sini bukan bermakna pintar dalam hal ilmu keduniaan
(mahir), yang terendah adalh di baigan Thariqat. Sebab untuk
menetapkan bahwa sesuatu itu ilham atau bukan, itu haru ada
keterangan yang jelas. Dan jika ilham palsu yang diyakini, maka
akan gagal untuk menjadi Ahli ‘Ijannati (penghuni surga)).
8. kartosuwiryo ;
Jika demikian, atas semua keterangan Kaka itu, seandainya saya
bisa menerima, baru termasuk di tingkat Thariqat, apakah
demikian Kak?
soebandrio :
Nah... menurut perasaanmu bagaimana? Segala sesuatu yang
masih bisa dikatakan, baik berupa tanya jawab, atau yang berupa
ajaran atau urutan Wirid, hal itu sudah jelas masih berada di
tingkat Thariqat. Namun yang berbentuk Ajaran atau rangkaian
Wirid, banyak yang tanpa penjelasan, serta saat mendapatkan
itu semua dengan syarat Tirakat atau ada larangannya, sehingga
menyebabkan banyak yang tertarik.
Sedangkan untuk bisa sampai di Tingkat Hakikat itu masih sangat
jauh. Untuk sampai ke Tingkat Ma;rifat itu semakin sangat jauh
sekali.
Maka dari itu, kamu jangan sampai punya anggapan, bahwa
hanya sebab sudah mengerti, itu sudah sampai di Tingkat
Hakekat atau Ma;rifat, itu bukan. Paling tinggi baru sampai buah
dari Iman dan keyakinan, yang menjadi pedoman dalam berjuang
untuk mencapai Hakekat dan Ma’rifat yang jauhnya sangat jauh
itu.
Jangan menggampangkan, namun juga jangan cepat “putus asa”
dan jangan menyalahkan diri sendiri.
saat kita merusaha mencapai Ma’rifat itu bukan aneh pun
bukan tidak wajar, sebab Pencipta sendiri memerintahkan demikian:
Kullama ruziquuwa minhaa min tsamaratin rizqan qaaluuwa
hadzaa adzdzie ruziqna min qablu wa utuwabihi mutatsabihan
(Al-Baqarah 25 = Seandainya orang-orang itu diberi rijeki dari
buah-buahan surga, akan berkata: “Ini sama dengan yang
diberikan kapaku seperti dahulu). Artinya, orang-orang yang
mendapatkan kenikmatan surga saat di akherat itu telah pernah
merasakan kenikmatan (ma’rifat) kita hidup di dunia dahulu.
Ada juga perintah Pencipta , yang seperti ini: Waman kana
fiehadziehi a’ma fahuwa fiel achirati a’ma wa adlallu saielan
(Isra:72 = Barang siapa yang di sini buta, maka dia di akhirat pun
buta, tidak tahu jalan).
Sehingga seseorang yang ingin mencapai Ma’rifat denegan benar,
itu tidak lain berniat merasakan surga di dalam saat masih
memiliki raga ini, dan agar tidak buta saat di dunia dan di
akhirat.
9. kartosuwiryo :
Iya, Iya Kak, saya sudah paham. Namun dalam saya memohon
penjelasan mengenai bahwa dalam berusaha saat ada bahanya
denga yang tidak ada bahayanya, Kakak belum memberi jawaban.
Hal itu bagaimanakah kejelasannya? Dan juga yang dikatakan
menjadi penghalang besar, itu mohon dijelaskan sekalian.
soebandrio :
Oooo... Ibaratnya begini: Seseorang yang berhenti pada syari’at
saja, yang maksudnya sama sekali tanpa ilmu Tarikat yang jelas,
itu sama halnya dengan seseorang yang tidak pernah bepergian,
mengumpulkan bekal untuk perjalanan jauh, seumpama pergi
Haji ke Makkah. Juka memang benar-benar, selain bekal yang
berupa uang, tidak boleh tidak, harus berbekal ilmu tentang tata
cara orang naik kereta, Cara naik kapal laut, cara setelah sampai di
Tanah Arab, dan lain sebagainya, Itu benar kan?
Dan seumpama seseorang itu tidak mempunyai ilmunya,
semestinya tentu tida jadi bepergian, terhenti di rumah saja.
Namun hal itu, sama sekali tidak ada bahayanya. Justru telah
berhasil mengumpulkan uang yang banyak gunanya (“amal
Shalih = berbuat baik). Namun jika kemudian mendapatkan
Ilham, hal itu tidak masuk dalam gambaran ini.
Sedangkan yang belajar ilmu Ma’rifat atau ilmu hakikat
kesempurnaan mati, padahal belum bisa memahami dengan jelas
keterangan tentang itu, itu sama halnya dengan seseorang yagn
pergi Haji, yang sudah terlanjur berada di dalam kereta atau di
dalam kapal, namun tidak membawa tiket atau karcis, dan juga
sama sekali tidak tau ke mana tujuan dari yang dinaikinya itu, dan
lagi tidak tau Makkah itu ada di mana. Dan orang itu ada yang
membawa bekal, ada juga yang tidak membawa bekal sama
sekali.
Apakah hal seperti bukan merupakan bahaya besar? Dari
golongan inilah yang kemudian mencela terhadap orang yang
menjalankan syari’at. Sehingga diberi julukan dengan sebutan
klenik oleh para ahli syari’at.
Seseorang yang patuh pada aturan, patuh pada perintah, tunduk
kepada kedisiplinan.... malah di cela! Hal itu sangat tidak pantas
bagi yang mencelanya taa? Seharusnya, walau pun dirinya tidak
menjalankan syari’at, tidak bisa menyalahkan orang yang
menjalan syaria’at itu.
Maka dari itu, jika dirimu ingin belajar ilmu ma’rifat, sebaiknya,
juga dengan menjalankan syari’at, sesuai dengan Agama yang
gkau anut. Itu menjadi pondasi, untuk mempermudah mencapai
cita-citamu, seukuran dengan derajat dan martabatmu. Jika tidak
bisa menjalankan, hal itu terserah saja, namun jangan sekali-kali
meremehkan orang lain yang menjalan syari;at.
Sebaliknya, jika kau bersungguh-ssungguh belajar Ma’rifat,
jangan kamu khawatir di tuduh “klenik”. Seandainya saja, tiap
ma’rifat itu klenik, tentunya tidak akan ada yang bernama
Mu’min Khas, tidak ada yang bernama wali, dan juga tidak perlu
para filsuf mengarang kitab-kitab falsafah dan juga para sufi yang
mengarang Kitab-kitan Tashawwuf.
Sedangkan bagi yang menjadi perhatiannya yaitu hal yang gaibgaib, itu yaitu :
a. saat seseorang telah memperoleh keterangan yang jelas,
dan sudah mencapai di tingkatan hakikat, itu bagaiakn orang
pergi haji, namun perhatinnya hanya senang melihat kota
Jakarta saja.
b. Sedangkan bagi seseorang yang belum memeproleh
keterangan yang jelas, serta belum bisa mencapai apa-apa, itu
ibaratnya bagaikan seseorang yang bepergian dengan tujuan
hanya ingin melihat keindahan ssuatu tempat, namun tidak
mengetahui bahwa yang indah itu apanya, dan sedang berada
di kota apa. Tentang pergi Haji, sama sekali tidak masuk ke
dalam pikirannya atau hanya dipikir sambil lalu saja.
Sudahlah, cukup ini saja, sepertinya dirimu sudah mempersiapkan
pertanyaan yang hebat. Hayooo mau bertanya apa lagi?
10. kartosuwiryo :
Ini masih tergolong hanya menyela terlebih dahulu, agar semakin
sempurna pengertianku, Kak. Kakak tadi mengatakan, Ilmu
hakikat atau ilmu kejiwaan atau lain sebagainya itu tadi, hal itu
memang sama saja, ataukah berbeda-beda? Bila beda sebutannya,
itu seharusnya juga beda ujudndya dan beda artinya pula, walau
pun perbedaaanya hanya sedikit. Apakah tidak demikian?
soebandrio :
Wahhh, jika berbicara hakikat mempergunakan jalan penjelasan
kata, itu agak susah. Sebab kata-kata yang dipergunakan pada
tingkat Hakikat yang terbanyak dalam Bahasa Arab atau Sanskrit,
yangsudah berubah makna dari yang sebenarnya. Sehingga jika
kau ingin memahami sebuah ajaran itu, rasakanlah maknanya
saja.
Demikian juga halnya, tentang nama-nama ilmu yang kamu
tanyakan itu, sebenarnya tidak hanya berbeda sedikit, ada yang
beda maknanya banyak sekali. Namun pada umumnya hanya
diringkas saja, dianggap sama saja.
“Kenyatan/Yang Nyata adanya” (Kasunyatan = Bahasa Jawa), itu
makna sederhananya hanya sampai menjangkau tingkatan
Hakikat saja, sebab berasal dari kata dasar “Nyata” yang artinya
HAQ, Namun kata “Kasunyatan” yang berasa dari bahasa
Sanskrit “Sunyata” (menerangkan tentang Sunya, tentang yang
kosong), itu mengandung makna telah sampai tingkatan Ma’rifat
(“arifin).
“Kejiwaan” dan “Kerokhanian” itu memang maknanya sama,
yaitu ilmu tentang Jiwa atau Roh, maksudnya: Badan halus.
Namun sekarang ini, kata “Jiwa” itu banyak yang dimaknai Budi
Pekerti, terkadang bermakna semangat, malah ada yang hanya
bermakna Nafsu. Nah, itu kan bukan ilmu Ke –Pencipta -an, sebab
roh (jiwa), itu, bukan Pencipta .
“Kasukman” tentang suka, makna dasarnya yaitu
kailingan/kesadaran ingatan, sebab “Suksma” itu artinya yaitu
hilang atau tidak terlihat mata. Namun sudah sejak jaman dahulu
bahwa Pencipta sering disebut juga Hyang Suksma, sehingga Ilmu
Kasuksman itu, dianggap mempunyai arti sama dengan ilmu
Tentang Pencipta .
“Kasampurnan” (kesempurnaan), itu berasal dari kata “sempurna”
maksud sebenarnya ada “Sempurna dalam kematiannya”. Namun
mati yang sempurna itu pada umumnya yang kembali kepada
asal, Kembai kepada asal mulanya, “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un” itu tadi.
“Ka-Pencipta -an” (tentang Pencipta ), dalam bahasa Indonesianya KePencipta an, itu yaitu Ilmu yang menerangkan tentang Dzat, Sifat,
Asma dan Af’al dari Pencipta . Bisa dimaknai lebih luas lagi: Juga
menerangkan tentang cara ibadah kepada Pencipta , dalam lahir dan
batinnya, juga disebut Sari’at, Tarikat, hakekat dan Ma’rifat itu
tadi.
“Kebatinan”, itu makna dasarnya yaitu , semua ilmu yang bukan
tentang lahir, yaitu tentang segala jenis Mantra, aji kesaktian dan
kelebihan itu semua termasuk ilmu kebatinan. Nah yang ini
memang tidak termasuk ilmu tentang Ke-Pencipta an.
“Sangkan paran” (Asal dan tujuan), itu ilmu yang menerangkan
Sangkan (asal) saat belum tercipta itu bagaimana, dan parene
(pada akhirnya) itu bagaimana. Sehingga jika tidak melenceng
sama juga dengan Kasampurnan itu tadi.
“Ngelmu Tuwa” /Ilmu tua, itu maknanya juga ilmu tentang
Kesempurnaan dalam kematian. Sebab orang yang sudah tua pada
umumnya itu sudah mendekati saat kematiannya, sehingga
seharusnya sudah waktunya ingat dan berusaha mencari ilmu
tentang mati, sehingga di saat kematiannya tidak asal-asalan saja.
Seperti itulah keterangan ringkas tentang pertanyaanmu tadi,
menurut pemikiranku.
11. kartosuwiryo :
Iya Kak, ringkasan-ringkasan ini , saya sudah bisa
menerimanya. Namun sekrang saya mohon penjelasan tentang
yang inti, sesuai dengan batasan-uraian Kakak tadi (Bab I No.7),
yaitu mohon diterangkan tentang “Pencipta ”.
Ada yang berpendapat, bahwa sebenarnya Pencipta itu hanya
“Asma”, hanya anggapan atau sebutan saja, sebenarnya tidak
ada. Dicari di alam manapun, tidak akan bisa ditemukan.
Pendapat yang demikian, menurut Kakak itu bagaimana?
soebandrio :
Sabar dulu, sebab hal itu harus diperinci, jangalah dicampur aduk,
agar tidak membingungkan.
Tentang sebutan “Pencipta ” itu memang benar, memang hanya
Asma atau sebutan buatan manusia ini. Sedangkan manusia dalam
membuat nama yaitu menurut bahasannya masing-masing, dan
anggapan orang sendiri-sendiri. Yang membuat kata “Pencipta ” itu
orang Arab, artinya: Yang disembah. Sedangkan bangsa kita atau
orang Jawa menyebut dengan sebutan “Pangeran” artinya “: Yang
diikuti” (dikawulani/di ngengeri). Dalam Bahasa Indonesia
disebut “Pencipta ” artinya “Tuan” atau “de Heer” yaitu “Majikan”
(bendara).
Namun jangan kau kira bahwa Pencipta itu asma Eigennaam, seperti
nama manusia, itu bukan. Dalam menulisnya menggunakan
Huruf Besar, bahkan di tambahi dengan kata “Gusti” itu hanya
“Tata Krama” (Sopan santun) saja. Sehingga jika dirimu
menyebutkan hanya asma, anggapan saja atau sebutan saja, itu
pun tidak salah.
Namun jika pemahaman untuk memahami sebutan “ Sejatine ora
ana” (Sebenarnya tidak ada), hal itu tidak benar. Sebab, semua
sebutan, tidak perduli hanya sebutan saja, atau sekedar nama saja,
yang disebut itu pastilah ada.
Oleh sebab sebutan “Pencipta ” itu buatan manusia, demikian juga
dengan sebutan yang lainnya, sehingga ada sebuah ajaran yang
mengatakan: Manusia itu mengada dengan sendirinya, sebelum
Pencipta , malaikat, bumi, langit: Ada”, Itu tetap kata yang
menyesatkan, dan tidak perlu di pikir..
Tentang ada atau tidak adanya itu, selain tidak bergantung
sebutannya atau hanya anggapan saja atau sebutan nama, juga
tidak tergantung ditemukan atau tidak dditemukan dalam
pencariannya. Contoh dari yang kasar hingga yang halus, itu
begini:
Baksil itu jelas ada, iya kan? Akan namun , untuk meyakinkan kita
tentang adanya, itu bila kita lihat menggunakan mikroskop.
Atom itu juga jelas ada, iya kan? Akan namun lebih lembut
dibanding dengan baksil. Sehingga untuk meyakinkan bahwa itu
ada, bukan menggunakan mikroskop, yaitu menggunakan alat lain
untuk memisahkan atom dari benda yang ada atom-nya.
Warna merah itu pasti ada, iya kan? Akan namun meski dilihat
dengan mikroskop, dipisah menggunakan cara apa pun saja, itu
tidak akan bisa. Berkali-kali hanya bisa bertemu dengan benda
yang mengandung warna merah, contohnya bunga wora-wari.
Rasa peda itu ada, iya kan? Akan namun tidak bisa dibuktikan
dengan mikroskop atau alat pemisah, berulang kali kita hanya bisa
bertemu dengan barang yang mengandung rasa pedas, seperti
contohnya lombok.
Dan, Hari Minggu itu kan jelas adanya, kan? Akan namun
bagaimana agar bisa kita ini bertemu dengan hari Minggu itu,
yang lebih halus dibandingkan dengan warna merah atau rasa
pedas?
Kita yakin bisa bertemu dengan Hari Minggu, akan namun tidak
seperti bertemunya antara dirimu dan aku “Bertemu nyata” seperti
sekarang ini. saat melihat semua kantor tutup, Sekolah dan
Pegadaian juga tutup, kemudian teringat di kala kemarin sore
tercium bau orang membakar kemenyan... tentunya baru bisa
menetapkan bahwa saat itu yaitu sungguh-sungguh hari Minggu,
iya kan?
Sedangkan tentang Pencipta itu tadi, menurut pemahamanku, aku
yakin seyakin-yakinnya. Pencipta Pencipta itu ada. Itu tidak sebab dari
meniru-niru, disebab mendengar kalimat Dzat Wajibul Wujud
(Dzat yang pasti adanya) itu tidak. Hal itu seperti keyakinanku
kepada Hari Minggu ini tadi.
Aku dan dirimu tidak bisa bertutur kata seperti ini, intinya bahwa
manusia itu tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Dzat yang
wajib adanya itu, tidak ada. Sehingga tidak sia-sia Kaum
Muslimin, setiap akan melakukan apapun saja, mengucapkan
Bismillah atau Bismillahi rrahmaanir-rahiem (Asta Asma Pencipta
yang Maha murah dan Maha Asih). Sayangnya, bahwa
kebanyakan, dalam pengucapannya hanya terbawa sebab
kebiasaan saja, tidak merasuk dalam hati sanubari.
Demikian juga, tidak percuma ada lafal yang mengatakan:
Laachaula walaaquwwata illa billah (Tidak ada daya kekuatan
selain atas pertolongan Pencipta ). Sayangnya, bagi bangsa kitahasa
Arab, dalam pengucapannya berubah menjadi “Wala-wala
kuwatta” sehingga menjadi beda maknanya.
12. kartosuwiryo :
Maaf, Kak. Kakak mengatakan “Manusia tidak bisa melakukan
apa-apa, seandainya Pencipta itu tidak ada”, itu penjelasannya
bagaimana? Dan apakah ada uraian lainnya lagi yang
menyebabkan Kakak yakin dengan seyakin-yakinnya tang adanya
Pencipta itu?
soebandrio :
Benar, Kejarlah jangan sungkan-sungkan, jika hatimu belum
puas!
Siapa pun juga, semestinya yakin, bahwa dirinya itu tdiak bisa
berbuat apa-apa, selain atas pertolongan Pencipta ? Sebagai bukti
bahwa seseorang tidak bisa mempergunakan bagian dari badan, ..
yang diaku sebagai miliknya – akan patuh sekehendak hatinya.
Sebagai contohnya, tidak akan bisa memerintah mata untuk
bergantian, mata yang satu tidur dan satunya terjaga. Tidak bisa
mempertahankan umur, walau hanya satu menit saja, jika telah
sampai waktu meninggalnya.
Serta, di dalam hidupnya, masih saja mendapatkan sifat sial serta
sifat lupa.
Itulah keadaan yang ada di raga kita. Sekarang cobal
renungkanlah tentang alam yang tergelar ini, seperti contohnya:
Siapakah yang memerintahkan Bulan dan Matahari sehingga
berjalan sesuai garis edarnya dengan tetap, yang tidak akan bisa
dipengaruhi oleh kehendak manusisa? Siapakah yang
memerintahkan Bumi, laut, sungai, gunung, serta semua isinya?
Siapakah yang menciptakan hujan serta tumbuh-tumbuhan yang
dipergunakan sebagai sumber makanan makhluk hidup ini?
Singkatnya saja, sangat banyak sekali tanda dan saksinya, Bacalah
kitab muslim , dan sekarang kan sudah banyak yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Daerah atau Bahasa Indonesia.
13. kartosuwiryo :
Penjelasan yang demikian, saya masih belum puas, Kak!! Apa
yang telah dijelaskan itu semua, kita ini hanya menemukan barang
yang telah tercipta. Oleh sebab merasa tidak bisa membuatnya
dan tidak bisa menguasainya, kemudian tumbuh perkiraan sesuai
hukum adat, pastilah ada penciptanya, serta kira-kira ada yang
menatanya. Dan semestinya yang mencipta dan yang
mengaturnya itu sangatlah berkuasa. Apakah tidak demikian?
soebandrio :
Nahhh... kan begitu! Ini namanya diskusi (bertukar pikiran)
sungguhan. Sekarang bergantian, berilah saya keterangan terlebih
dahulu. Tentang keadaan yang sudah tergelar ini semua, menurut
pendapatmu, bagaimanakah asal kejadiannya? Maksudnya,
berasal dari daya apa, dan apakah sebabnya, tercipta?
14. kartosuwiryo :
Adanya itu, tercipta dengan sendirinya Kak! Hal itu disebut
Naturwet, atau aturan hukum kodrat. Hal itu bisa terjadi sebab
bersatunya suatu bahan atau menyatunya daya tarik menarik.
soebandrio :
Bagus!! Nah, yang mengadakan Wet atau aturan, bahwa Yang ini
berkumpul dengan yang itu akan menjadi begini, yang di sini dan
dan yang di sana akan menjadi seperti itu, siapakah itu atau apa
sebutanmu untuk menyebutkannya?
15. kartosuwiryo :
Yang mengadakan aturan hukum kudrat tidak lain yaitu Kudrat.
Yang menciptakan Natuurwet juga ... natuur. Ya itulah Natuur
itulah yang mempunyai kekuatan tertinggi. Di atasnya Natuur itu,
sudah tidak ada kekuatan lagi.
soebandrio :
Sebentarlah dahulu!!, Yang kamu bicarakan itu, dirimua hanya
menirukan saja kepercayaan dan keyakinan orang lain, apah yang
menjadi keyakinan dirimu? Seandainya itu Iman dan keyakinan
mu sendiri, apakah kamu sudah benar-benar mantap? Sudah tidak
ada keraguan lagi?
16. kartosuwiryo :
Waduh .. ketahuan rahasiaku!! Seandainya saya sudah
mempunyai pedoman dan keyakinan seperti itu, tentunya saya
tidak mohon penjelasan ke sini. Saya hanya menirukan saja,
pendapat dari golongan Natuuralist saja, Kak ! Saya sendiri masih bingung. Entahlah apa yang saya yakini. Ada pendapat yang
seperti itu, sepertinya akan terbawa, oleh sebab tidak bisa yang
lebih tinggi lagi, akan namun juga tidak... berani, sebab belum
merasa cocok.
soebandrio :
Waa... sepertikah kejelasannya. Bila “Kudrat” yang kamu sebutsebut itu tadi “Kudrat” kata Arab (Qudrat), itu memang sebagian
dari sifat-sifat Pencipta , sedangkan maknanya yaitu “Kuasa”. Sifat
Kadiran (Qadiran) artinya yang berkuada. Sehingga tidak salah
bila Pencipta disebut Yang Maha Kuasa, namun itu hanya
menyebutkan sebagian dari sifatnya saja, sifat-sifat yang lainnya
masih banyak.
Sehinggga bukan si Kudrat itulah, daya kekuatan yang paling
tinggi, daya kekuatan sebenarnya yang tertinggi itu, tentunya yang
mempunyai sifat Kudrat dan sifat Kadiran itu tadi.
Sedangkan bila “Kudrat” atau “Kodrat” dalam Bahasa Jawa,
maknanya hampir mirip dengan kamu sebut Natuur itu tadi. Jika
saya tidak salah, “Kodrat” dalam bahasa Jawa itu bermakna, ya
seperti itu tadi, sedangkan “Natuur” itu, bermakana seluruh yang
tergelar ini, seluruh alam semesta.
Itu pun belum tepat bila dianggap sebagai daya kekuatan yang
tertinggi. Sebab, seumpama bisa saya sebut “bekerja” itu semua
hanya buah dari Perbuatan Pencipta . Sedangkan bila Pencipta
berkehendak untuk menciptakan segala sesuatu: “Yaquulahu Kun
Fayakuun (Al-Baqarah 117, Maryam 35, Yaasin 82 = Berkatalah
Pencipta , “Jadilah” maka menjadi ada”
Nah sekarang ketahuilah olehmu yang jelas bukti-buktinya, bila
Natuur yang dianggap daya kekuatan atau Penguasa yang
tertinggi oleh golongan Naturalist itu, sebenarnya bukan daya
kekuatan atau Penguasa yang tertinggi.
(a) Kaum Naturalist memiliki keyakinan, bahwa semua
kejadian (akibat) itu tentu ada penyebabnya, namun
kenyataannya, ada beberapa kejadian yang dia tidak bisa
menemukan penyebabnya, alias menemui jalan buntu.
Sebab bila dipikir sebab bersatunya sesuatu tidak bisa
ditemukan, dari daya tarik menarik pun juga tidak bisa
ditemukan. Seperti contohnya:
Apakah sebabnya watak dari si A itu mudah gelisah, mudah
bingung, gampang sedih; sedangkan si B tenang, tidak
mudah kebingungan dan selalu gembira? Sebab
campurannya tidak sama. Benar! Namun, apakah yang
menyebabkan bahan-bahannya menjadi berbeda-beda?
Jawabannya hanya kadang-kadang atau tiba-tiba seperti itu!.
Apakah yang menyebabkan si C senang membeli Undian
berhadiah, akan namun tidak pernah menang, sedangkan si D
hanya mencoba-coba saja dan hanya membeli satu kali, dan
persis mendapatkan nomor satu? Jawabannya hanya
kebetulan atau tiba-tiba itu tadi.
Sedangkan bagi yang percaya kepada adanya Pencipta , tidak
pernah menemukan kebutuan yang seperti itu, walau pun
kita juga yakin kepada adanya aturan hukum Sebab dan
Akibat. Kebetulan atau tiba-tiba, yang sepertinya hanya
mempercayai pendapat sendiri itu, menurutku tidak ada.
sebab hal itu sebenarnya patuh pada garis atas
kehendak Pencipta Yang Maha Adil.
(b). Natuur itu bersifat bisu, Namun Pencipta itu memiliki sifat
Kalam, yang bermakna Sabda dam sifat Mutakaliman yang
bermakna Yang bersabda. Sehingga ada makhluknya yang
mendapat perintah Pencipta , itu yaitu para Nabi.
(c). Natur itu, bersifat Buta, Tuli dan Bodoh, dan lain-lainnya,
ringkasnya itu, walaupun saya katakan semalam suntuk pun
tidak akan ada habisnya. Bagaikan membandingkan satu
buah bulu gajah dengan ujud gajah.
17. kartosuwiryo :
Iya, iya Kak, saya sudah mengerti. Saya sudah yakin bahwa Pencipta
itu ada dan DIA itu daya kekuatan atau Penguasa yang paling
berkuasa.
soebandrio :
Syukurlah, bila kamu sudah mendapat Iman, Namun kamu harus
mengerti, bahwa Imanmu itu masih termasuk golongan Iman
orang Taqlid, arttinya, hanya ikut-ikutan saja kepada orang
banyak atau mengikuti keyakinan dari Kakakmu, Aku, kamu
pikir: Mana mungkin punya maksud untuk menyesatkan, tidak.
Syeikh Imam Ghazali, dalam menjelaskan tentang Iman itu, ada
tiga macam:
(1) Imannya orang yang yang ikut-ikutan itu tadi, ibaratnya,
kamu percaya bahwa di Kampung Snetul itu orang yang
bernama Pak Pawira, Badannya tegap, rumahnya menghadap
ke selatan, menghadap ke jalan raya. Oleh sebab banyak
orang yang menceritakan seperti itu. Iman yang seperti itu,
bila orang banyak itu salah, kamu ikut salah. Sehingga mudah
sekali berubah.
(2) Imannya bagi orang yang Ahli Kitab Agama (Usulluddin),
Ibaratnya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul
tadi memang benar ada orang yang bernama Pawira, sebab
pernah lewat di depan rumahnya, serta pernah mendengar
suara Pak Pawira yang terdengar dari jalan. Iman yang eperti
itu masih bisa salah, sebab suara yang terdengar belum tentu
suara dari Pak Pawira yang sebenarnya.
(3) Imannya orang ahli Ma’rifat (“Arifin), ibaratanya, seseorang
yang percaya bahwa di Kampung Sentul itu tadi, memang
benar ada orang yang mempunyai nama Pak Pawira,
badannya tegap, sebab pernah bertamu dan sudah pernah
bertemu dengan Pak Pawira sendiri. Inilah Iman yang sebnarbenarnya. Begitu pun masih ada tingkatannya, yaitu: Jika
saat bertandang di waktu matahari terbenam, tentunya
kurang jelas dibanding dengan setelah menyalakan lampu.
Pertemuan dengan peneranga lampu tentunya kurang jelas
dibanding dengan penerangan Matahari.
18. kartosuwiryo ;
Bagaimana penalarannya, Kakak mempunyai anggapan, bahwa
kepercayaanku kepada adanya Pencipta itu baru termasuk
kepercayaan yang mudah berubah?
soebandrio :
Tentu saja tau! sebab sejak awal kamu masih ragu-ragu, namun
dengan spontan dan tiba-tiba kamu sekarang menyatakan bahwa
telah memiliki keyakinan tentang sesuatu yang sulit seperti itu.
Hayooo, apakah kau tau: Apakah sebabnya kita ini wajib berbakti
kepada Pencipta ? Seandainya kamu sudah menjalan ibadah, sudah
pasti di dalam angan-anganmu itu ada maksud pengharapan
menerima pahala serta takut akan menerima seiksa. Iya kan?
Padahal di dalam kitab muslim menjelaskan: Wama dhalamnaahum
walakin dhalamuu anfusahum (Huud 101, Al-Ankabut 40 = Pencipta
tidak menghukum hambanya, akan namun hamba-lah yang
menyiksa dirinya sendiri).
Apakah sebabnya kamu mengharap-harap menerima pahala, serta
takut mendapat siksa itu???
Sebab: Pencipta mu itu, kamu bayang-bayangkan berujud sesuatu
yang duduk di singgasana emas yang ada di langit. Atau berujud
Markas yang sangat besar, berserta anggota staf yang sangat
banyak: Ahli memberi perintah, membagi pahala dan memberi
hukuman. Iyaa kan?
Sehingga saat kamu mengalami musibah, kadangkala
memohon kepada-Nya, sedangkan saat sedang dalam keadaan
senang, biasanya kamu lupa. Kesadaran an ingatanmu hanya jika
sedang beriibadah, terlebih lagi saat berada dalam keadaa susah
itu tadi.
Dan jika memohon, namun tidak dikabulkan, hatimu kau paksapaksa untuk ikut menuduh bawa Pencipta itu adil. Akan mengatakan
tidak adil, tidak berani. Akan namun sebenarnya hatimu belum
menerima, sebab kamu belum paham. saat kamu menyebut
adil itu, hanya meniru-niru kata orang kebanyakan saja. Benarkah
demikian?
19. kartosuwiryo :
Aduh Kakaaaaakkk! Memang benar seperti itu, anggapan dana
bayanganku. Terus, yang disebut Pencipta itu apa? Apakah hawa?
Bukan. Apakah cahaya? Bukan. Apaka Daya? Bukan. Apakah
zonnestelsel? Bukan. Apakah Cosmos? Bukan. Terus, apakah itu?
Mohon untuk dijelas se jelas-jelasnya. Apa dan Manakah Pencipta
itu?
soebandrio :
Tentusaja, semua itu bukan, sebab yang kau sebut-sebut itu,
semuanya barang baru, yang terkena halangan serta selalu
berubah-ubah. Sedangkan Pencipta itu, Awal tidak ada yang
mengawali, serta kekal tidak mengalami perubahan.
Singkatnya: Jangankan hanya Zonnestelsel (Wilayah Matahari),
bahkan di luar Zonnestelsel sekali pun, juga di bawah kekuasaan
Dzat Pencipta Yang Maha Agung. Padahal, baru menggambarkan
Zonnestelsel saja, nalar seseorang sudah tidak bisa menjangkau,
Begitu bukan?
Pertanyaanmu: “Pencipta itu apa dan mana” itu pemikiran yang
terlampau jauh. Sebaiknya, pahami terlebih dahulu sifat-sifat-Nya
saja. Sifat-sifat Pencipta itu di jelaskan di dalam kitab muslim , serta
ssudah ada yang menghimpun dan sudah disepakati oleh orang
banyak: 20 jumlahnya, yaitu:
1. wujud = ana / Ada
2. qidam = Terdahulu
3. baqaa = Kekal
4. muhaalafah li’lhawaaditsi = Berbeda dengan Makhluk
5. qiyaamu bi nafsihi = Berdiri sendiri
6. wahdaniyat = sawiji / Esa (Satusatunya)
7. qudrat = Kuasa
8. iraadad = Berkehendak
9. ‘ilmu = Mengetahui
10. hajjat = Hidup
11. sama = Mendengar
12. bashar = Melihat
13. kalaam = Berbicara
14. qaadiran = Yang Berkuasa
15. muriedan = Yang Berkehendak
menentukan
16. ‘alieman = Yang Mengethui
17. hayyan = Yang Hidup
18. sami’an = Yang Mendengar
19. bashieran = Yang Melihat
20. mutakalieman = Yang berbicara
20. kartosuwiryo :
Mohon menyela dahulu Kak! Sifat pada nomor 14 hingga nomor
20 itu, sepertinya hanya mengulang Nomor 7 hingga nomor 13.
Apakah ada perbedaannya? Jika sama saja, maka bisa dikatakan
bahwa Pencipta itu hanya mempunyai 13 sifat, bukan 20?
soebandrio :
Bagaimanakah kamu ini? Perbedaan kata “Kuada” dengan “Yang
Berkuasa” itu tentunya sudah jelas. “Kuwasa” itu sebutan keadaan
yang menempati, seperti halnya putih, bulat, tinggi dan lain
sebagainya. Sedangkan “Yang Berkuasa” itu menyatakan yang
ketempatan oleh keadaan Kuasa itu. Bahasa Arab dari Sifat itu
artinya pembeda, tidak hanya bermakna keadaan saja, sehingga
bisa diumpamakan kepada yang ketempatan keadaan. “Yang
berkuasa” berbeda dengan “Kuasa”. Iya apa tidak?
Tentang sifat Pencipta itu, sebenarnya banyak sekali. Akan namun
ahli Agama di kala itu punya pendapat bahwa jumlah 20 itu,
sudah bisa memuat sifat-sifat yang ini di dalam kitab muslim
semua, Contohnya, Sifat Maha Gagah, Maha Bijaksana, Maha
Luas, Maha Pemberi Ampunan, dan lain sebagainya, dan juga
seperti yang sudah kerap kamu dengar (dan juga termuat di AlQur’an): Maha Murah, Maha Asih, Maha Mengetahui dan lain
sebagainya. Masing-masing itu termasuk sifat dari 20 ini ,
tentunya kamu bisa memikirkan sendiri.
Sifat 20 itu, disebut Sifat Wajib, sedangkan sifat Mokal juga ada
20, yaitu lawan dari Sifat Wajib itu. Kemudian ditambah lagi Sifat
Wenang. Sehingga jumlah Sifat Pencipta itu yang termuat di dalam
Ilmu “Aqaid ada 41.
Sedangkan Sifat Wajib 20 ini , di dalam ajaran Usuluddin
dibagi (diringkas) menjadi 4, yaitu:
a. Sifat nomor 1 disebut sifat “Nafsiyah” = yang di anggap badan.
b. Sifat nomor 2 hingga 6 disebut sifat “Salbiyah” = yang
menidakan lawan-nya.
c. Sifat nomor 7 hingga 13 disebut sifat “Ma’ani = Yang
menempati di Sifat Nafsiyah.
d. Sifat nomor 14 hingga 20 disebut sifat “Ma’nawiyah” = yang
ketempaan Sifat Ma’ani.
Di dalam buku-buku Wirid, yang pembagiannya, sebagai berikut:
a. Sifat nomor 1 disebut Sifat “Jalaal, artinya Maha Agung.
b. Sifat nomor 2,3,4,5 disebut sifat Jamaal, artinya Maha Indah.
c. Sifat nomor 11,12,13 serta nomor 18,19,20 disebut sifat
“Kamal” artinya Maha Sempurna.
d. Sifat nomor 6,7,8,9,10 serta nomor 14,15,16,17, disebut sifat
“Qahar” artinya Yang Maha Berkuasa.
Ada lagi Sifat-sifat Pencipta yang sering terbawa oleh para pencari
Hakikat, yaitu: Hidup tanpa roh, Kuasa tanpa alat, Tanpa Awal
Tanpa Akhir, yang tidak bisa terbayangkan, Tidak berada di
Jaman tidak berada di Maqom, tidak berarah tidak bertempat,
Jauh tanpa hingga dekat tanpa mana, Bukan di luar pun bukan di
dalam, namun berada di seluruh yang tergelar ini .... dan lains
ebagainya.
Walau pun telah di jelaskan sejelas-jelassnya seperti itu, akan
namun yang menerimanya masih ............. bingung, sebab dalam
hatinya masih menyamakan atau membayang-bayangkan Sifat
Pencipta itu dengan yang ada di kanan kirinya, yaitu benda-benda
yang...... baru, ini. Itulah mansuia.
21. kartosuwiryo :
Memang Nyata Kak!! Memang saya masih bingung, belum bisa
menghayati, manakah yang disebut Pencipta itu?
Saya pikir-pikir, memang benar apa kata para ahli Agama, yang
masukdnya demikian:
“Di dalam Ilmu Tashawwuf Islam tidak membicarakan hakekat
Dzat Pencipta , hanya memberi petunjuk tentang mengolah Hati,
sebagai sarana untuk mmencapai Ilmu Ma’rifat. Bila pedoman
Tashawwuf itu dijalankan dengan ssungguh-sungguh, bukan tidak
mungkin seumpama mendapatkan kemurahan Pencipta , kemudian
dibukalah terhadap Ilmu Hakikat, yang bisa menerangi atas
Kegaiban Pencipta ”.
Seperti itulah petunjuknya. Menurut penilaian Kakak, bagaimana?
soebandrio :
Jika tentang hal benar dan tidak benar, sebenarnya hanya
tergantung kesenangan orang sendiri-sendiri, sulit untuk
mengurainya. Jika soal mudahnya, hal itu saya berani tanggung
jawab: Memang benarlah demikian. Sebelumnya (Bab I No.9),
aku kan sudah menjelaskan. Seseorang menjalankan syari’at
Agaama apa saja yang diyakini, jika dengan sungguh-sungguh,
jika diijinkan juga bisa memperoleh Ilham. Perbedaannya dengan
yang kamu katakan tadi, jika sekarang dengan ditambah
menjalankan pedoman Ilmu Tashawwuf, itu lebih baik.
Namun yang kamu katakan itu tadi, itu pendpatnya para Pujangga
atau Pandhiata di jamannya, iya kan? Yaitu saat jama keadaan
masyarakat belum seperti sekarang ini kemajuannya, iya kan?
Jadi, bukan merupakan perintah kitab muslim ! Jika kitab muslim , justru
menganjurkan supaya seseorang mempergunakan akal dan
pikirannya. Menurut pemahamanku, mempergunakan akal dan
pikiran itu juga membahas tentang Pencipta juga, dengan sejelasjelasnya.
Mengapa saya berkata demikian, sebab perintah Pencipta di dalam
kitab muslim itu selamanya tetap, akan namun pendapat seseorang
kadang-kadang berubah-ubah, mengikuti arus jaman, seperti
halnya: Socrates dihukum mati, disebab kan pendapatnya di
sampaikan di jaman saat itu. Setelah sampai beberapa abad,
orang-orang barulah yakin bahwa pendapat Socrates itu benar. Iya
apa tidak?
Para Ahli Agama saat jaman itu, punya pendapat, bahwa
tentang Pencipta itu tidak bisa dikatakan. Memang benar, sebab di
kala itu belum ada Sekolah Menengah Atas, belum ada
Universitas, pikiran orang belum berkembang seperti sekarang ini.
Masih sangat patuh atas petunjuk orang tuanya, atas-atasannya,
penuntunnya.
Akan namun sekarang, mau percaya itu jika sudah benar-benar
mengerti, jika akal dan pikirannya sudah bsia menerima.
Dan lagi, walau pun petunjuk Ahli Agama itu benar, yaitu sesuai
dengan keadaan masyarakat di jamannya, namun bagaimanakah
hasilnya?
a. Negara sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan
pendapat yang seperti itu, menjadi jajahan negara lain tentang
Politik atau ekonomi.
b. Agama sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan
pendapatnya itu tergesa-gesa, Dan ilmu Kebatinan masyarakat
umum, tidak semakin maju, justru semakin mundur.
Penyebabnya: Pendapat itu tadi menjadi rem atas berkembangnya
nalar serta mendidik kepada penganutnya Sang Pujangga atau
Sang Pandhita, menjadi manusia yang pasif dan pesimistis: Akan
begini takut, mau seperti itu khawatir, dan sebagainya.
Nah, sekarang saya hanya menyerahkan apa kehendak hatimu.
Apakah akan diam saja, apakah akan terus mencari, baranggkali
akan mendapatkan Ilham sendiri, atau meneruskan saling berbagi
dengan orang lain (aku) barangkali saja semakin bertambah
ilmumu?
22. kartosuwiryo :
Itu Kak, barangkali oleh sebab saya ini yaitu produk jaman
sekarang yang terbiasa mempergunakan akal dan pikiran, segala
sesuatu tentu memilih mengerti terlebih dahulu. Oleh sebab itu,
bila berkenan, mohon agar Kakak meneruskan memberikan
penjelasan yang bisa diterima oleh akal pikiran.
soebandrio :
Terserah, apa kehendakmu, namun akal dan pikiran saat kamu
membandingkan Pencipta dengan keadaan yang baru itu, singkirkan
terlebih dahulu. Bukan karerna kebodohanmu, namun pahamilah,
bahwa Pencipta itu memang bukan sebangsa barang baru, yang bisa
kamu bayang-bayangkan dengan mempergunakan akal dan
pikiranmu. Jika sudah kau tanggalkan, nantinya tidak akan bingung dan ragu lagi. Silahkan, sekarang kamu akan bertanya
soal apa?
23.kartosuwiryo :
Iya Kak, Sudah saya tanggalkan akal dan pikiranku dalam
membayang-bayangkan Hakekat Dzat Pencipta . Sedangkan
memikirkan telur dengan ayam lebih ada lebih dahulu yang mana
pun, tidak bisa, apalagi memikirkan Pencipta . Tentunya itu salahku
sendiri. Akan namun saya minta penjelasan dahulu. Apakah kita ini
tidak termasuk golongan Muktajillah, Kak?
soebandrio :
Lo...lo... lo... Kamu sudah pernah mendengar kata “Muktajilah”
(mu’tazilah) segala.......!
Bagi orang yang aktif dan optimistis itu insyaf, bahwa nasib
dirinya di dunia dan akhirat itu, menjadi tanggungannya sendiri,
bukan tanggungan yang lainnya. Shingga yang dijadikan patokan
bukan omongannya siap-siapa, yaitu hanya satu: Petunjuk dari
Kitab Agama yang terjaga dari perubahannya. Sedangkan di
Qur’an jelas menganjurkan berulang kali, agar mempergunakan
akal! Dan Pikiran, dan bahkan menerangkan bahwa para Jin dan
Manusia yang masuk ke dalam neraka Jahanam yang: Lahum
Quluubu lasjafqahuuna bihaa (Al-A’raf 179 = Punya hati namun
tidak untuk berfikir).
Tentang termasuk dalam golongan Muktajilah atau pun tidak, itu
sebenarnya mudah dalam menganalisa hatinya sendiri.
Memang tidak perlu khawatir. Barangkali saja saat berjalannya
nalar pemikiran itu ada atau mengurangi atas Kebesaran-Nya,
seperti halnya golongan Naturalist yang kau sampaikan itu tadi,
tetulah itu termasuk golongan Qodariyah, tetap disebut Kafir.
Sedangkan Mu’tazilah yang kamu takuti itu, sepertinya belum
pasti jika kafir. Sebab sepengetahuanku, penguraiannya hanya
untuk dipergunakan untuk membantah atau mengukur ketekadan
orang ahli Sunnah, yaitu golongan orang keyakinannya seperti
Pujangga atau Pandhita yang baru saja kita bicarakan itu tadi (Bab
I No.23). Ahli Sunnah yang sanat kolot. Bukan hanya Qadariyah
dan Mu’tazilah saja yang dianggap kafir. Padahal tujuan Filsafat
itu untuk mempertebal Iman, supaya Iman-nya tidak sebab
Taqlid (hanya ikut-ikutan) saja.
Akan namun jika kamu selalu kuatir disalahkan dimana-mana,
yang kamu kira akan menanggung nasibmu di dunia dan akhirat,
yah sudah, “Selamat Tinggal” tetaplah passief dan pesimistis, aku
akan berjalan sendiri.
24. kartosuwiryo :
Tidak akan Kak!! Kekuatiran saya tentang Muktajilah itu tadi,
sebab aku belum mengerti. Aku sekarang sudah paham garisgarisnya, sehingga akan meneruskan minta penjelasan.
Ada golongan yang berkeyakinan di dalam kepercayaannya
bahwa Pencipta itu, sebenarnya tidak lain yaitu INGSUN, Nah
tentang itu bagaimanakah penjelasannya? Bila keyakinan itu
cocog dengan keyakinan Kakak, saya mohon penjelasannya:
Bagimanakah hubungannya dengan bab saat memerintahkan
semua isi alam ini, dan bagaimana hubungannya dengan sifat
Pencipta yang sudah dibicarakan sebelumnya itu (Bab I No. 21,22)?
Dan bila tidak ada kecocokan, dengan keyakinan Kakak, bagian
yang manakah yang tidak cocok itu?
soebandrio :
Ooo, adikku, anak dari ayah dan Ibu! Kamu sekarang bertanya
tentang “Sastraceta Wadiningrat? Perhatikanlah dengan pikiran
yang bening, sekarang kita melalui persimpangan jalan, yang satu
menuju surga, yang satunya menuju neraka.
Di dalam Pedalangan diceritakan, siapa yang mengerti tentang
Sastra Jendra Hayuningrat itu, jika raksasa, saat matinya akan
berkumpul dengan manusia yang sempurna, jika manusia, saat
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia. Sehingga sangat
disenangi oleh Raja Sumali, termuat di dalam Serat “Lokapala”
seperti ini (Sinom):
Sastrajendra Hayuningrat, pangruwat barang sakalir,
kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih,
wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh,
ditya diyu reksasa, myang sato sining wanadri,
lamun weruh artine kang Sastrajendra.
Artinya:
Sastra (Ilmu) Jendra = Harja Endra =jalan keselamatan,
pangruwat (mengubah) segala sesuatu.
Penguasa segala pembicaraan, tentang Ilmu sudah tidak ada lagi.
Sudah termuat ilmu tinggi, puncak segala puncak ilmu.
Segala jenis raksasa, serta seluruh hewan isi lautan.
Jika paham artinya tentang Sastrajendra.
Rinuwat dening Batara, sampurna padinireki,
atmane wor lan manugsa, manugsa kang wis linuwuh,
yen manugsa udani, wor lan dewa patinipun,
jawata kang minulya, mangkana Prabu Sumali,
duk miyarsa tyasira andandang sastra.
Artinya:
Diganti oleh Dewa, sempurna sama dengan.
Atma (roh tertinggi) berkumpul dengan manusia, atas manusia
yang mulia.
Jika ada manusisa yang mengetahui, berkumpul dengan dewa
saat matinya.
Bersama Dewa yang mulia, seperti itu Raja Sumali.
saat mendengarnya, hatinya menjadi terang.
Selanjutnya (dandang-gula):
Jog tumedak Sang Prabu Sumali, saking palenggahan
nawaretna,
angrepepeh neng ngarsane, arsa mangraup suku,
Sang Pandita gupuh nedaki, pan sarwi kipa-kipa,
nyandak astanipun, duh yayi Prabu Ngalengka,
Sampun sampun paduka arsa punapi, anguncapaken asta.
Artinya:
Kemudian turunlah Sang Raja Sumali, dari singgasananya yang
indah.
Bersujud di hadapanhya, untuk mencium kaki.
Sang Pandhita segera menghindar, serta menolak dengan tegas.
Menarik tangannya, Wahai Raja Ngalengka
Sudah-sudahlah, apa yang engkau kehendaki, menyembah dengan
kedua tangan.
Aturnya lon Sang Prabu Sumali, saking sukane manah
kawula,
amiyarsa pituture, ing tyas langkung kapencut,
nugrahanen kakang pun yayi, Sastrajendra juningrat,
pangruwating driyu,
pun yayi liwat druhaka, tinitah wil sato padane neng bumi,
pae lawan manungsa.
Artinya:
Perkata dengan pelan Raja Sumali, terbawa oleh gembiranya hati
hamba.
Mendengar penjelasannya, sehingga sangat ingin dalam hatinya.
Atas anugerah nasehat Kakak kepada ku, tentang Sastrajendra
Yuningrat Pangruwating Diyu.
Adikmu ini penuh kedurhakaan, dicipta bagaikan sama dengan
hewan di bumi ini.
Jauh berbeda dengan manusia.
Sampun tanggung nggen paduka asih, ing kaswasih
mbenjang Ngariloka,
cangkingen wosing deweke, prasetyamba pukulan,
sampun menggah nini Sukesi, nagari ing Ngalengka,
lan saisinipun, jro pura katur sadya,
nadyan pejah gesang tan ngeraos ndarbeni, langkung karsa
paduka.
Artinya:
Jangan setengah-setengah atas kasih sayang paduka, kepada
hamba kelak di alam baka.
Ajaklah seperti dirinya, sumpahku wahai sang tapa
Jangan seperti Nini Sukesi, Negara di Ngalengka.
Serta semua isinya di dalam keraton, kuberikan semua.
Bahkan hidup mati pun tidak merasa memiliki, terserah kehandak
Paduka.
Sumpah Raja Sumali itu tidak mengherankan, sebab sebesarbesarnya harta manusia hidup itu bukan Kerajaan beserta seluruh
isinya, akan yaitu Nyawanya. Namun begitu nyawa itu dianggap
remeh, jika dibanding dengan Keyakinan. Sehingga Umat Islam
sangat berani perang Sabil, Umat Kristen saling berani perang
Salib, Orang Jepang saling Jibaku, sebab punya keyakinan
bahwa akan naik surga.
Sedangkan Sastrajendra itu tadi, walau pun lebih berharga
dibanding dengan Nyawanya, namun perlu ditambah lagi jika
“tidak salah dalam memahaminya. Dan jika salah dalam
memahami, walau pun raksasa, atau pun manusia akan berada di
dasar neraka. Nah, tentunya sangat berbahaya, iya kan?
Oleh sebab sangat berbahayanya, sehingga sejak jaman dahulu,
di seluruh tanah jawa dan Agama apa saja, menjadi larangan.
Dengan adanya larangan itu disebab kan sangat sayangnya
kepada yang salah dalam memahaminya, itu memang ada
benarnya. Namun ada juga dalam melarangnya itu, disebab kan
mengawatirkan kepada yang tidak salah dalam memahaminya.
Sebab yang tidak salah dalam memahaminya itu serendahrendahnya menjadi orang yang tegar, kuat, bukan percaya tanpa
bukti, tidak mudah dipengaruhi, sebab seolah-olah telah
memegang “Kunci Surga”. Namun belum masuk ke surga serta
belum menikmati buah-buahan surga, tentang (Bab I No.10)
jangan dianggap gampang!!!!
25. kartosuwiryo :
Iya Kak. Bahaya bagi yang salah dalam memahaminya itu,
penjelasannya bagaimana?
soebandrio :
Penjelasanku di muka (Bab I No.11), aku membuat perumpamaan
orang yang pergi Haji yang sudah terlanjur naik kereta api atau
kapal, akan teteapi tidak tau kendararan itu akan pergi ke mana,
dan tidak mengetahui Makkah itu ada di mana. Tentulah akan
mengalami kebingungan, bagaikan Capung yang tidak punya
mata, benar kan?
Tentunya, tentang Sastrajendra Hayuningrat ini, jika seseorang
salah dalam memahaminya, itu bagaikan seseorang yang pergi
Haji, yang sudah merasa tidak bingung dan sudah tidak ada
penghalangnya, kemudian dengan segera naik mobil ke arah
selatan, tidak berbelok-belok, sebab beranggapan bahwa Makkah
itu ada di Selatan, serta bisa dijangkau menggunakan mobil.
Tentulah pada akhirnya masuk dan tenggelam di laut. Seperti
itulah tersesatnya dalam kematian, juga sebagai gambaran
tersesatnya saat masih hidupnya saat menjadi penduduk di
alam dunia ini.
Contoh saat tersesat di dunia: Resi Wisrawa yang mengajarkan
Sastrajendra kepada Dyah Sukesi, di kisahkan Dyah Sukesi
yaitu calon menantunya kemudian di kawin sendiri, yang pada
akhirnya menjadi perang besar berebut dengan anaknya sendiri,
serta penerima gambaran kesalahannya, sehingga anak-anaknya
yang dari Dyah Sukesi berujud Raksasa. Padahal kelakuan Resi
Wisrawa hanya terbawa sebab lupa, apalagi bagi yang salam
pemahamannya.
Sedangkan salah pemahaman itu, pada umumnya sebab
bersahabat dengan orang yang saat belajarnya tidak urut dalam
tingkatan menjalankann syariat. Sebab di Tingkat Syari’at itu
banyak latihan-latihan jasmani dan rokhani yang sangat
diperlukan sebagai dasar pondasinya.
Sedangkan pertanyaanmu tentang orang yang meyakini bahwa
“Pencipta itu sebenarnya tidak lain yaitu Ingsun” aku tidak bisa
memberi penilaian bagaimana tentang keyakinannya, entah sama,
entah berbeda dengan keyakinanku. Akan namun menurutku,
Sebutan yang seperti itu saya anggap tidak benar dan sangat
mudah menyebabkan “Salah terima”.
Tentang hal itu tidak perlu saya jabarkan, nantinya kamu akan
mengerti dengan sendirinya, setelah mendengarkan penjelasanku.
Tidak hanya mengerti ucapan yang satu itu saja, saya pastikan
kamu juga akan mengerti apa yang diharapkan oleh para
pengarang Kitab-Kitab Kebatinan yang sudah pernah kamu baca.
Di dalam uraian ini, saya sengaja tidak akan menggunakan katakata yang sudah sering kamu baca atau kamu dengar, seperti
halnya: Ingsun, Aku, Aku wutuh, sebab kadang-kadang dalam pikiran
timbul pemikiran menjadi: Aku Suta (Aku diri manusia), Aku
Naya.
Pribadi: bisa diartikan Sendiri, sendirian, tidak ada temannya.
Manusia sejati atau Sejatinya Manusia (haqiqat al-insan) dalam
pikiran kadang dipahami sebagai “Orang” yang bergerak-gerak
ini.
26. kartosuwiryo :
Iya Kak, saya ikut saja, barangkali aku bisa mengerti. Seperti
apakah, akan saya dengarkan dengan sungguh-sungguh.
soebandrio :
Kethauilah olehmu, Semua orang itu, tidak memilih laki-laki atau
wanita, Tua atau muda, kaya atau miskin, tidak memilih bangsa
dan Agamanya ..... tegaknya hidupnya berasal dari: (1) Ditempati
oleh Sang Alus, (2) Badan halus beserta perlengkapannya ayang
halus (3) badan kasar, yang terlihat mata ini, beserta
kelengkapannya yang terlihat nyata.
Sedangkan yang membedakan nampak di tata lahirnya tiap orang
itu tadi, tidak lain hanya disebab kan oleh perbedaan dasar dan
ilmu yang ada di badan halus beserta perlengkapannya dan juga
badan kasar berserta kelengkapannya, sama sekali bukan sebab
kurang adilnya Sang Alus dalam menegakkannya.
Perbedaan “dasar” terhadap “badan” (halus dan kasar) disebabkan
tidak sama ukurannya campurannya. Bisa diibaratkan kopi susu,
ada yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis, ada yang hambar,
ada yang sedang.
Sedangkan perbedaan dari “dasar” terhadap “Alat” (halus dan
kasar), diibaratkan peralatan orang berumah tangga, ada yang
indah pengerjaannya dan awet digunakannya, ada yang tidak.
Tentang perbedaan “Ajaran” terhadap ‘Badan Kasar” sepertinya
sudah jelas, seumpama orang yang tidak mau Olah Raga dan tidak
mau menjaga makananya dan temepat tinggalnya, tentu saja
kesehatannya berbeda dengan yang ber Olah Raga dan mau
menjaga makanannya serta tempat tinggalnya. Dan tentunya
walau pun untuk badan halus juga demikian, maksudnya juga ada
cara berlatih dan penjagaan kesehatannya.
Sedangkan perbedaan “Ajaran” terhadap “peralatan badan kasar”
tentunya sudah jelas; Seumpama orang yang tidak belajar, tentu
sulit untuk bsia membaca dan menulis, seseorang yang tidak biasa
berpikir tentunya akan menjadi tumpul pikirannya.
Demikian juga “peralatan badan halus” tentulah seperti itu juga.
Seumpama orang yang memiliki motor yang bagus, akan namun
tidak mengetahui cara merawatnya dan cara menjalankannya,
tentu saja tidak akan bsia mempergunakan manfaatnya.
27. kartosuwiryo ;
Mohon maaf Kak!! Kakak mengatakan “Sang Alus” itu saya tidak
mengerti sama sekali. Yang sudah sering saya baca dan saya
dengar itu hanya “badan halus” dan “badan kasar” itu saja.
Dan lagi, Kakak mengatakan jika “Pikiran” itu peralatan badan
kasar, tentunya Pancaindra – menurut Kakak – juga termasuk
peralatan badan kasar. Sedangkan menurut pemahamanku, yang
saya anggap sebagai peralatan bada kasar itu semua yang berujud
jasad jasmani ini, Sedangkan yang bukan raga jasmani itu, saya
sebut peralatan badan halus, Hal itu, bagaimanakah
penjelasannya?
soebandrio :
Sebentarlah dahulu!! Kamu sekarang belum mengetahui, itu tidak
menjadi apa, Namun asal kamu mendengarkan dengan sungguhsungguh, nantinya akan mengerti sendiri. Dari perbedaan dalam
penyebutannya, jangan kamu pikirkan dulu. Nanti setelah kamu
mengerti, tentu akan paham: sama ata pun beda dengan uraian
yang sudah pernah kamu baca dan yang pernah kamu dengar itu,
Jika ada yang kau temukan sama, perssamaannya ada di bagian
mana, sedangkan bila ada yang kau temukan berbeda,
perbedaannya ada di bagian mana.”
Marilah, saya teruskan ya..:
Semua peralatan (alat) yang bisa dipergunakan dalam saat kita
sadar dalam tingkat biasa ini, itu saya sebut sebagai alat badan
kasar. Ujudnya bukan hanya Pancaindra saja, sebenarnya
“asthendriya”. Itu semua teraliri oleh “Rasa” namun juga rasa dari
bada kasar juga, yaitu:
1. Bentuknya bernama hidung, mesinnya bernama penciuman,
pekerjaanya bernama mencium.
2. Bentuknya bernama Telinga, mesinnya bernama pendengar,
pekerjaanya bernama mendengarkan.
3. Bentuknya bernama mata, mesinnya bernama penglihatan,
pekerjaanya bernama melihat.
4. Bentuknya bernama lidah, mesinnya bernama pengecap,
pekerjaanya bernama merasakan manis, gurih, dan sebagainya..
5. Bentuknya bernama kulit daging, mesinnya bernama
penyentuh, pekerjaanya bernama merasakan pedih, pegal,
panas, dan sebagainya..
6. Bentuknya bernama Jantung, mesinnya bernama hati,
pekerjaanya bernama berangan-angan, mencipta, dan lainlainnya..
7. Bentuknya bernama Otak, mesinnya bernama Akal,
pekerjaanya bernama mengingat-ingat, berpikir dan lains
ebagainya..
8. Bentuknya bernama Kelamin, mesinnya bernama Nafsu,
pekerjaanya bernama Marah, keinginan, dan lain-lainnya..
Kesemuanya itu saya namakan peralatan badan kasar. Sedangkan
peralatan badan halus itu hanya satu, yaitu “rasa sadar” “Atau
“Rasa Sejati” yang halus teramat halus, yang saat bekerja
didalam diri kita “tidak biasa” yaitu tidak dengan terjaga seperti
saat ini.
Sedangkan yang saya katakan “Sang Alus” itu tidak
mempergunakan alat apa pun juga, sebab dirinya itu qadirun bila
alatin (kuasa tanpa alat).
28. kartosuwiryo :
Itu, Kak!! Tentang yang lima (Penciuman, pendengaran,
penglihatan, pengecap, dan perasa) itu dianggap sebagai peralatan
badan kasar, ya sudah, aku ikut sependapat. Akan namun yang
lainnya itu tadi, bagaimanakah, sebab temepatnya tersembunyi
sekali? Sehingga ada yang mengkiaskan, bahwa di situ itu
singgasana (Arasy) bersemayamnya Ingsun. Yang tengah disebut
rumah terlarang atau Baital Mukharam, yang atas disebut rumah
keramaian atau Baitalmakmur, yang bawah disebut Rumah
kesucian atau Baitulmukadas.
soebandrio :
Hayo.. hayo... tiba-tiba mengeluarkan Wirid. Tentang “Ingsun”
aku tadi telah mengatakan, tidak akan ikut membicarakan! Aku
hanya akan menerangkan tentang kata “Singgasana”
(Palenggahan) dengan “peralatan” itu saja.
Jika dianggap singgasana, tentu saja selalu berganti-ganti yang
mendudukinya. Bisa juga diduduki bersama-sama, sebab yang
duduk itu bisa berjumlah berajapun saja seperti Candabirawa.
Dan jika saat ketiganya tidak ada yang mendudukinya, itu
kemudian duduknya apa dan ada di mana?
Sedangkan jika dianggap alat, itu kan jelas. sebab ada kalanya
ketiga alat itu akan mempergunakan alat yang teramat sangat
halusnya, yang saya sebut Rasa Sadar atau rasa jati itu tadi.
Kadangkala juga, ketiga tidak bekerja sebab tidak disengaja,
seperti, saat sedang menderita sakit yang sangat parah.
Sedangkan saat saya menyebutnya hanya sebagai alat badan
kasar itu, oleh sebab kita ini bisa mempergunakannya dan merasa
menggunakannya di dalam biasa seperti halnya saat ini.
29. kartosuwiryo ;
Iya, iya Kak. Tentang alat, aku sudah bisa menerima. Akan namun
tentang “Sang Alus” aku tetap masih kebingungan, mengapa tidak
disebut saja “Badan Halus”, seperti ajaran di banyak ajaran itu?
soebandrio :
Wahhhh..! Memerinci hal yang sudah kecil kamu ini! Kan, sudah
jelas, bahwa Sang Alus itu bukan badan halus? Sebab:
Semua yang disebut badan (Raga) itu bagaimana pun juga
sifatnya --- kasar, agak halus, halus, halus sekali, halus teramat
halus, ---- Pasti terbuat dari bercampurnya campuran bahannya
(Elemen, Anasir), dan pasti juga berujud bentuk .
Kita ini bisa membuktikan segala rupa badan kasar, dengan
mempergunakan alat-alat kasar: Pembawaanya dan pekerjaanya
manusia, Sedangkan badan halus juga bisa dibuktikan dengan
mempergunakan alat yang halus “Kerjanya” manusia; sampai hari
ini belum ada alat “Buatan” manusia yang bisa dipergunakan
membuktikan badan halus itu.
Sedangkan yang saya sebut Sang Alus itu tadi, oleh sebab bukan
Raga, untuk menyatakannya juga tanpa alat. Apalagi alat raga,
mana mungkin bisa, sedangkan alat yang halus teramat halus:
Tidak bisa, sebab diri-nya itu --- tidak bisa terbayangkan.
30. kartosuwiryo :
Iya, iya, Kak, sudah agak jelas pemahamanku tentang perbedaan
“Sang Alus” denegan “badan halus” itu, Selanjutnya mohon
mohon penjelasan yang lebih jelas, seperti apa konstruksinya
(susunannya) “Sang Alus”, “Badan halus” dan badan kasar itu
tadi, sehingga berujud manusia hidup seperti kita ini?
soebandrio :
Oooo... Jika tentang itu, tidak begitu sulit, untuk menerangkannya.
Semua orang yang bisa duduk dan bisa saling berbicara ini, tidak
membedakan yang tampan, gagah, lulusan Sekolah Tinggi,
banyak bayarannya, rumahnya gedung tinggi, dengan yang
kerempeng, buta huruf, kerja meminta-minta, bertempat tinggal di
bawah jembatan .... saat ditinggalkan oleh “Badan Halus”
beserta peralatannya itu, kemudian... terkulai tanpa daya sama
sekali. Hidungnya sudah tidak bisa mencium lagi, telinganya,
matanya, dan lain lainnya, sudah tidak bisa kerja seperti
sebelumnya. Sedangkan raga kasarnya kemudian membusuk,
hancur, menjadi jasad yang sangat halus, aku dan kamu
menyebutnya ..... Mati.
Sehingga yang bernama “mati” itu, hanya rusaknya badan kasar
ini. Sedangkan “Badan Halus” beserta peralatannya, oleh sebab
masih di tegakkan oleh “Sang Alus” tidak ikut mati. Sedangkan
jika “Sang Alus” itu meninggalkannya, sang badan halus beserta
peralatannya juga akan sirna, seperti rusaknya badan kasar itut adi.
Hanya tinggal “Sang Alus” yang kekal dalam kenyataannya,
kembali ke asal muasalnya.........
Jika kau sebut “konstruksi” yaitu seperti itu konstruksinya. namun ,
jangan kamu kira seperti halnya ayam jago yang berada di
kurungannya di dalam sebuah kamar, itu bukan. Paling tidak,
ibaratkanlah seperti air samudra, yang terdiri dari Air dan garam.
Sedangkan air itu, berasal dari Hydrogenium (H=zat air) dengan
Oxygenium (O=jat pembakar).
Sehingga kepergian badan halus dari raga kasar itu, jika tanpa
ilmu itu sangat susah. Samakan dengan air laut yang dipanaskan
dengan api, uapnya didinginkan, kemudian akan menjadi garam
dan air. Sedangkan keluarnya Sang Alus dari Badan Halus,
sangatlah jauh sekali, samakanlah seperti saat memisahkan Air
menjadi Hydrogenium dan Oxygenium itu tadi.
Sekarang “Sang Alus” itu saya sebut dengan kata “Ikheid” atau
“Purusha”, dan untuk selanjutnya akan saya sebut seperti itu,
janganlah sampai salah paham.
31. kartosuwiryo :
Penjelasan Kakak itu terang, jelas, terperinci, akan namun tetap
saya belum .... jelas.
sebenarnya , yang disebut mempergunakan kata “Purusha, itu,
apakah roh kita ini, apakah hidup kita ini, Kak?
soebandrio :
Yahhh... bagaimanakah kamu ini? Purusha itu ya Purusha.
Seandainya Purusha itu roh kita atau Urip kita, sebelumnya aku
kan sudah mengatakan seperti itu, apakah kamu merasa saya
biikinbingung?
Roh (al-ruhu), itu yang saya sebut dengan kata “badan halus” itu
tadi, yaitu sejenis bahan dan dan sejenis yang mengandudng
bentuk. Di Yogyakarta di sini banyak saudara kita yang
mempunyai kelebihan bisa menyatakan keadaan Roh itu,
berjenjang gmenurut derajat kemampuan yang membuktikan
sebanding dengan derajat yang dinyatakan. Kan, tadi sudah saya
katakan, bahwa Purusha itu bukan si Badan Halus, sebab
Purusha itu disebut “Hayyun Bilaarauhin (hidup tanpa roh),
sehingga bukan Roh.
Sedangkan kata “Hidup” itu tadi, aku tidak paham apa yang kamu
maksudkan? Apa “Hidup” yang artinya bisa bergerak-gerak
(sebaliknya – mati), apa “Yang Hidup” apa “Sang Hidup”? Akan
namun ketiganya bukan yang disebut dengan Purusha. “hidup” dan
“yang hidup” itu hanya sebagian dari sifat-sifat Purusha,
sedangkan “sang hidup” itu hanya salah satu dari sebutan
Purusha, saja.
Lebih jelasnya bahwa, ketiganya itu bukan Purusha yang
sebenarnya. sebab Purusha itu, bersifat menguasai semua yang
tergelar ini. Walau pun batu yang tidak bisa bergerak, walau pun
badan kasarnya seseorang yang sudah hancur bersatu dengan
tanah ..... juga terkuasai oleh Purusha.
Seandainya kamu mempunyai perkiraan: Purusha itu nafsu kita,
atau nyawa kita, itu jgua salah. sebab Nafas itu hanya tali hidup,
nyawa itu hanya tanda hidup, Salah juga jika kamu punya
perkiraan: Yang disebut Purusha itu, Tirta Nirmala (Air
Kehdiupan) atau “Ma’ al-hayat”, sebab itu hanya perlengkapan
hidup saja.
Lebih tersesat lagi jika yang kamu anggap Purusha itu yaitu
angan-angan, rasa sadar, sorot mata, dan lains ebagainya lagi.
Singkatnya, jangan kamu cari di luar diri kita atau di dalam diri
kita.!!
32. kartosuwiryo :
Apakah Purusha itu yang mempunyai sifat 20 yang sudah
dibicarakan di depan itu (Bab I No.21)? jika demikian, tentulah
Purusha itu yang menciptakan Bumi dan Langit beserta segala
semua isinya itu?
Jika demikian, itu cocog dengan sebuah ajaran yang mengkiaskan
kata “Menciptakan” itu saat kita “Ingat: Tergelar dengan
sesaat (Kun Fayakun), dan saat kita lupa: Hilang semua,
dinamakan Kiyamat.
soebandrio :
Purusha itu, memang sangat benar yang mempunyai Sifat 20 sifat
wajibnya, 20 sifat mokalnya, tadi itu! Coba rasakanlah, sifat mana
dari 20 itu, yang bukan sifat dari Pencipta ?
Akan namun , ketahuilah olehmu, Purusha itu bukan yang
menciptakan bumi dan langit beserta segala isinya ini.
Sedangkan yang meniptakan Bumi dan Langit beserta segala
isinya ini, jangalah kamu salah paham jika saya sebut namanya
dengan nama “Absolute Ik” atau “Isywara”.
Isywara itu, selain mempunyai sifat 20 yang wajib, dan 20 sifat
mokalnya, juga mempunyai sifat 1 lagi, yaitu sifat Wenang
(Ja’iz). Artinya wenang menciptakan semua yang tergelar ini,
juga wenang tidak menciptakan.
Sedangkan kiyas dari kata Menciptakan seperti yang kamu
sampaikan tadi, terus terang saja, menurut pendapatku tidak
berani!
Rasa-rasanya itu, tidak masuk akal (Bab I No.13).
Sebab, mengatakan hal seperti itu, seharusnya bukan hanya
berdasarkan akal dan pikiran (dalil aqli) saja, harus berpedoman
bunyi Kitab-kitab Agama (dalil naqli). Sedangkan di dalam alQur’an menyebutkan: “Pencipta al-ladzi khalaqa al-samawati wa al-
‘ardla wamaa bainahuma fi sittati Ayyam (As-Sajdah 4, Al-Hadid
4 = Pencipta itu yang menicptakan langit-langit dan bumi beserta
yang ada di antaranya di dalam enam hari).
Jika menurut Qudrat Pencipta yang sudah tergelar ini, untuk
menjadi keadaan itu pasti berasal dari bahan. Namun saat asal
yang pertamakalinya. Yang dahulu paling terdahulu. Pencipta dalam
menciptakan semua yang tergelar ini tanpa bahan, hanya berasa
dari sabda “Kun” itu tadi.
Jika aku tidak salah, yang mempunyai pengias seperti yang kamu
katakan tadi, dari golongan orang yang meyakini bahwa manusia
itu berasal dari “Adam (Bukan Nabi Adam). Yang bermakna
kosong, ada dengan sendirinya. Sebellum adanya Pencipta , malaikat,
bumi langit dan lain sebagainya. Sebab, semua nma-nama itu
semua buatan dari Manusia.
Memanglah benar, bahwa nama-nama itu semua buatan dari
Manusia ......... Akan namun keyakinan yang seperti itu, menurut
keyakinanku, saya anggap perkataan yang tidak masuk akal (Bab
I No.13). Aku, sungguh sangat tidak berani.
Sedangkan keyakinanku: Bahwa Manusia itu ditempati oleh
Purusha (Ikheid) yang mempunyai sifat 20 dan sifat mokal 20.
Sedangkan yang menciptakan langit-langit dan Bumi itu
“Isywara” (Absolute Ik), yang memiliki sifat wajib 20, sifat mokal
20 dan sifat Wenang 1. Dia itu tegak dengan Pribadi, serta
mencipta segala yang tergelar ini, tanpa bahan.
33. kartosuwiryo :
Wah- wah.... , sekarang saya mengerti, jadi, yang disebut Isywara
itu, sebenarnya Pencipta Yang Maha Kuasa, yang bahasa Arabnya
Pencipta . Sedangkan Purusha itu, bahasa Arabnya apa, dan apa
hubungannya dengan Isywara?
Dan juga, Kakak, mempergunakan kata “Ikheid” dan “Absolue
Ik”, apakah itu tidak sama artinya dengan kata “Ingsun” yang saya
sampaikan tadi (Bab.I No.26,27)?
soebandrio :
Wah...... Pertanyaanmu sampai seteliti itu. Dan sulit. Yah
sudahlah, asal tidak tercampur dengan rasa sentimen!
Coba pikirkan: Seandainya kata Purusha saya ganti dengan X,
serta kata Isywara itu saya ganti huruf Y, tentunya tidak merubah
apa-apa, sebab kata-kata atau nama-nama itu semua, hanya
bikinan manusia, ta? Jika jelas tidak merubah apa pun, sehingga,
Arab atau bukan Arab itu tidak usah jadi soal.
Purusha dan Isywara, bahasa Sanskrit, saat saya
mempergunakannya itu, hanya untuk nama saja, seperti halnya X
dan Y itu tadi, agar tidak bingung. Sebab, jika mempergunakan
bahasa Arab, barangkali saja akan membuat bingung dalam
pemahamanmu, sebab, Isywara itu di dalam kitab muslim disebut
Pencipta , sedangkan Purusha itu di dalam kitab muslim juga disebut
Pencipta .
Cobalah baca dengan teliti, kemudian rasakan menggunakan
pikiran yang jernih, seperti halnya, yang menjelaskan Iblis itu
musuh Pencipta , nah itu kan jelas Pencipta Purusha, bukan Pencipta
Isywara. Sebab hakekatnya Isywara itu, tidak punya musuh,
sebab segala sesuatu itu Ciptaan Isywara sendiri, iya apa tidak?
Dan jika Iblis dikatakan musuh dari Purusha itu, memang sangat
benar. sebab jika orang mengikuti ajakan Iblis, tidak bisa tidak,
tentu tidak akan kenal dan tidak akan tunduk kepada Purusha,
iyalah Dzat Yang Maha Suci itu.
Sedangkan Purusha itu tidak lain, yaitu ....... bayangan dari
Isywara. Janga sekali-kali kamu salah paham, “Bayangan” itu
bukanlah pecahan atau bagian.
Pemahaman seperti yang baru saja saya jelaskan itu tadi, di jaman
kemarin-kemarin sangat dirahasiakan. Jika di sebarkan
menggunakan tulisan, bahasanya dipatar balik, tidak akan di buka
semuanya. Dikala disebarkan melalui lisan, harus dipertemukan
antara dahi dengan dahi, dan hanya ringkasnya saja, atau dengan
menggunakan isyarat saja.
Sebenarnya yang dimaksud dari pemaham itu semua, yaitu
maksud yang sebenar-benarnya dari Lafal: “Laailaha IllaPencipta
Muhammadur Rasuulullah” (Tidak ada Pencipta kecuali Pencipta , Nabi
Muhammad saw. itu utusan Pencipta ), Jika lafa itu ditambahi
“Asyhadu Anna (Saya bersaksi sebenarnya ), disebut kalimah
Syahadat (= Ucapan-ucapan kesaksian), itulah Rukun Islam yang
“Terdahulu” dan “Terutama”.
Dibuat teramat sangat rahasia itu, seperti yang telah saya katakan
(Bab I No.26), sebab sangat teramat sangat berbahaya. Sebab,
jika sampai salah paham, bia juga kemudian mengaku ........ Pencipta .
Sehingga tidak perduli batal haram, dan menyalahkan aturan
Agama. Sebab, mengira bahwa “Dosa” itu tidak ada, jika sudah
mati yah sudah “Selesai” pasti kembali kepada asalnya.
namun bagi yang tidak salah dalam memahaminya, pasti tekun
berbakti kepada Pencipta , tindakannya menjadi Wari’i (tidak
menganggap mudah), cinta kepada sesamanya, merasa bahwa
dirinya – itu kamu – Diri yang lain sebab itu semua yaitu
“Satu”. sebab telah yaqin di dalam Iman dan keyakinannya,
bahwa Pencipta itu itu dekat lebih dari yang terdekat, namun tidak
bersenPencipta , dan yaqin bahwa Pencipta itu ternyata Maha
Mengetahui segala gerak-gerik, cipta rasa dari hamba-Nya.
Sedangkan saat aku menggunakan kata “Ikheid lan Absolute Ik
itu, tujuannya ya hanya untuk membedakan supaya jangan
campur itu tadi. Jika kamu punya anggapan maknanya sama
dengan Ingsun, itu boleh saja. Namun jangan sampau campur, jika
menggunakan kata “Ingsun” harus ditambahi keterangan sebagai
berikut:
sebab hanya sebagai makhluk: Ingsun itu maknanya bukan
Kamu. Namun Ikheid (Purusha) itu: Iya kamu iya Ingsun iya
Diri-Nya. Singkatnya! Ingsun yang bukan di luar bukan di dalam,
Yang Maha Suci dari sifat baru ini semua.
Sedangkan Absolute Ik (Isywara) itu Ingsun yang diyakini oleh
Manusia. Dia itu yang menciptakan, menguasai dan memelihara
tergelarnya alam ini. Yaitu Maha Esa serta mempunyai bayangan
yang disebut “Ikheid” (Purusha) itu tadi.
Bagaimana, bisa menjadi jelas, apa justru semakin
membingungkan?
34. kartosuwiryo :
Mohon maaf Kak! Sebera pun besarnya salahku, saya mohon
dimaafkan. Engkau berkata, Purusha (Ikheid) itu Pencipta , yang
mempunyai sifat wajib 20, dan mokal 20, sedangkan Isywara
(Absolute Ik) itu Pencipta yang mempunyai sifat wajib 20, dan Mokal
20 dan sifat Wenang 1. Jika demikian, apakah Pencipta itu lebih dari
satu?
soebandrio :
Bagaimanakah, sehingga kamu mempunyai pemahaman seperti
itu? Aku tadi kan sudah bilang, bahwa Purusha itu hanya
“Bayangan” Isywara saja, iya kan?
Seumpama di tengah hari, di tengah-tengah alun-alun ada
jambangan 1000 yang kesemuanya terisi air, pastilah di dalam
masing-masing jambangan ada “Bayangan: dari matahari. Benar
kan? Apakah kamu kemudian mengira bahwa mataharinya itu
dua, tiga atau 1000? Seperti itulah perumpamaan Iswara dan
Purusha itu.
Nah... sekarang kamu sudah bisa menjawab sendiri pertanyaanmu
tentang sama atau tidaknya: Keyakinanku dengan keyakinan
orang yang mengatakan “Pencipta itu sebenarnya tidak lain yaitu
Ingsun” itu tadi (Bab I No.26). Dan saya kira kamu tidak akan
salah paham terhadap kata-kata yang barangkali sudah pernah
kamu dengar, sebab memang populer (sering terucap). Lafalnya
begini: Waman ‘arafa nafsahu faqod’arafa rabbahum, waman
‘arafa rabbahu faqad jahila nafsahu = Barang siapa mengenal diri
pribadi sungguh-sungguh mengetahui Pencipta nya, barang siapa
tidak mengetahui Pencipta nya, benar-benar bodoh terhadap ilmu
dirinya itu).
Jika pemahamanmu sudah jelas, terus bagaimana? Yang
terpenting dari yang penting itu ............. mengamalkan
(bertindak), supaya air yang ada di dalam jambangan iru jernih.
sebab , jika iar yang ada di dalam jambangan itu keruh, pastilah
bayangan dari matahari tidak nampak. Dan jika jambangan itu
pecah, semoga saja bayangan matahari tidak menempel di dalam
pecahan jambangan, atau berada di air yang tumpah melebar itu.
35. kartosuwiryo :
Iya Kak, bahwa tentang Ingsun, sepertinya saya sudah bisa
menjawabnya sendiri. Intinya tergatung dari pendefisiannya
(keterangan pedoman) apa yang disebut dengan kata Ingsun itu,
Apakah Roh, apakah Purusha, apakah yang lainnya.
Walau pun yang disebut Ingsun itu Purusha, itu pun harus
mengerti, bahwa Purusha itu bukan Isywara, hanya bayangannya
saja.
Sedangkan keterangan-keterangan yang baru saja dikatakan itu
tadi, walau pun saya sudah sering mendengar, akan namun belum
bisa memahami. Mohon dijelaskan sekalian.
soebandrio :
Saya kira sudah mengerti, hanya saja kamu masih kuatir
barangkali saja salah. Untuk jelasnya, sebagai berikut:
Lafal: Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” itu bagi si
Jamabangan yang berisi air, saat bisa melihat Bayangan
Matahari, sudah cukup, bagaikan telah melihat Mataharinya.
Memang hanya seperti itu puncak dari Ilmu Ma’rifat. Atau
pengibaratan seperti Wayang, saat bisa bertemu dengan Ki
Dalang, sudah cukup, bagaikan telah bertemu dengan Yang
menaggap yang minta lakon cerita wayang.
Ayat selanjutnya: Waman ‘arafa Rabbahu faqad jahila nafsahu”
itu bagi yang salah anggapannya, si Jambangan yang berisi air
tiba-tiba ingin bertemu dengan matahari yang ada di langit, Si
Wayang yang tiba-tiba ingin bertemu dengan yang nanggap yang
berada di Rumah Belakang. Itu jika bisa benar-benar bertemu ....
... tetap masih salah.
Sedagnkan keyakinan yang mengaku Pencipta (yang kebanyakan
tidak berani terang-terangan) serta yang meyakini mati itu
“Selesai” tidak akan ada cerita lagi (Bab I No.35), itu ibaratnya
bagaikan jambangan yang berisi air yang meyakini hanya ada
bayangan matahari saja, tidak meyakini adanya matahari.
Bagaimanakah bayangan itu bisa menjadi ada di dalam air di
jambangan, serta abagaimana akhirnya setelah jambangan pecah:
tidak menjadi perhatiannya. Atau diibaratkan seperti halnya si
Wayang yang hanya meyakini adanya Ki Dalang saja, tidak
meyakini adanya yang nanggap. Apakah sebabnya Ki Dalang itu
melakonkan wayang, dan bagaimana setelah selesainya
pertunjukan: tidak menjadi perhattiannya.
Keyakinan yang seperti itu, keyakinan madzab (golongan)
Qadariyah yang sudah saya katakan sebelumnya (Bab I No.25).
Bangsa kita yang merasa sebagai Ahli Ma’rifat, banyak yang
mempunyai keyakinan Qadariyah itu.
Kamu paham bahwa keyakinanku tidak seperti itu. Seumpama
jambangan yang berisi air, aku meyakini adanya bayangan
matahari dan Matahari. Seumpama wayang, aku meyakini adanya
Ki Dalang dan Yang Nanggap wayang.
Akan namun seumpama jambangan yang berisi air, aku tidak
meyakini bisa melihat matahari yang berada di langit, seumpama
Wayang, saya tidak meyakini bisa bertemu dengan Yang
Nanggap wayang yang berada di Rumah bagian belakang. Seperti
keyakinan Jabariyah. Bangsa kita yang ahli Syari’at dan ahli
Sunnah, banyak yang memiliki keyakinan Jabariyah ini.
Yang menjadi keyakinanku, kesempurnaan Hakikat dan Ma’rifat
itu, harus urut melewati tingkatan syari’at dan Tarikat terlebih
dahulu. Sebaliknya, jika hanya ahli Syari’at saja, itu belum
sempurna. Namun, oleh sebab pendapat orang itu berbeda-beda,
orang Qadariyah barang kali mengira keyakinan itu tanpa dasar.
Sebaliknya, orang Jabariyah atau ahli Sunnah barangkali mengira
aku ini.... kafir. Yang seperti itu semua: Terserahlah, hiburankau
hanya nembang jawa ura-ura seperti ini *Dhandhang Gula)
Langkung nuwun Kanjeng Sunan Kali.
Atur sembah sarwi ngaras pada.
nDjeng Sunan Benang sabdane.
Yayi den awas emut
Aja kongsi kawedar lathi.
Iku sabda larangan
Yen kawedar ngrungu
Mring sagunging kang tumitah
Yen mangerti dadi manungsa sejati
Kapir kupur sampurna
Artinya:
Sangat berterima kasih Sunan Kalijaga.
Menghaturkan sembah mencium kaki.
Sunan Benang berkata.
Yayi hati hatilah dan ingatlah
Jangan sampai kamu ajarkan dengan lisan
Itu jaran rahasia
Jika diajarkan dan ada yang mendengar
Kepada siapapun saja
Jika paham akan menjadi manusia sejati
Kafir Kufur sampurna (Bagi tidak paham).
Dan apapun yang bernama keyakinan// Yang terpenting dari yang
penting itu .... pelaksanaannya. Tidak cukup hanya mengerti saja.
Jangan dianggap mudah. sebab hanya dengan menjalankan itu,
yang bisa membuahkan rasa nikmat dan raya mendapatkan
keberuntungan, di dalam hidupnya saat di dunia ini, dan saat
akan meninggal dunia, dan setelah meninggal dunia.
Pesan terakhirku, kepadamu:
Jika kamu tidak (belum) cocok dengan keterangan ini, kamu
jangan mempunyai anggapan, jika aku akan membencimu. Sebab
cocok atau tidak cocoknya dirimu, tidak akan mengurangi atau
menambah apa-apa bagi diriku mengabdi kepada Pencipta .
Dan, jika kamu meras cocok terhadap keteranganku, aku
berpesan:
1. Jika kamu sudah menjalankan syari’at, sungguh, jangan
kemudian kamu berubah. Jika belum, lebih baik
menjalankannya. Agama apa yang kamu senangi. Syari’at itu
menjadi “Pendorong” yagn penting atas segala cita-citamu.
2. Ajaran ini, jangan kamu jadikan pembicaraan dalam tiap
harinya, sebab tidak ada gunanya sama sekali untuk dirimu dan
untuk yang mendengarnya. Sedangkan bila ada yang
mengawali mengajak musyawarah, tanggapilah, namun jika
terjadi perselisihan dalam keyakinan, mengalah sajalah. Jangan
suka berbantah Ilmu, tidak ada hasilnya sama sekali, samasama tidak bisa membuktikan yang sebenarnya. Dna jika lawan
bicaramu terlihat akan meminta