Tampilkan postingan dengan label fikih 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fikih 1. Tampilkan semua postingan
fikih 1
Secara etimologi lafaż farāiḍ adalah bentuk jamak
dari farīḍah (sesuatu yang diwajibkan), diambil dari kata
al-farḍu (kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan
terminologi. Secara etimologi kata al-farḍu memiliki
beberapa arti, di antaranya adalah: al-wājibu (wajib), al-
muqaddaru (diperkirakan), al-ḥaẓzu (pembatasan), al-
taqdīru (ketentuan), al-qaṭ‟u (ketetapan/kepastian), al-
inzālu (menurunkan), at-tabyīnu (penjelasan), al-Naṣību
al-muqaddaru al-mafrūḍu (bagian yang ditentukan). Dan
dinamakan al-farḍu sebagai farḍan sebab ada
karakteristik dari ilmu ini yang langsung ditetapkan
oleh Allah swt.
Sementara secara terminologi, ilmu farāiḍ memiliki
beberapa definisi, yaitu:
1. Ilmu yang mempelajari tentang tatacara pembagian
warisan kepada yang berhak menerimanya.2
2. Ilmu tentang aturan dan peraturan dari fiqih dan hisab
(hitungan), yang diketahui dengannya setiap bagian
ahli waris.
3. Disebut juga dengan fiqh al-Mawāriṡ dan „ilmu al-
hisāb untuk mengetahui dan menghitung setiap harta
waris yang ditinggalkan.4
4. Hukum yang mengatur tentang perpindahan hak
pemilikan harta peniggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.5
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ilmu farāiḍ atau ilmu
mawāriṡ, yaitu ilmu yang diambil dari al-Qur‟ān, sunnah,
Ijma‟ Ulama dan Ijtihad Ulama, untuk mengetahui ahli
waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi,
dan mengetahui kadar bagian setiap ahli waris serta tata
cara pembagiannya.
B. Objek Ilmu Farāiḍ
Objek ilmu farāiḍ adalah harta peninggalan
pewaris. Dari segi adanya penjelasan terhadap bagian-
bagian untuk ahli waris yang berhak menerimanya,
tatacara penghitungan harta waris, sampai jumlah bagian
harta yang diterima oleh seluruh ahli waris, sesuai dengan
al-Quran, sunah, ijma‟ dan ijtihad ulama.
C. Sumber Hukum Ilmu Farāiḍ
Sumber-sumber hukum ilmu farāiḍ adalah al-
Qur‟an, as-Sunnah, Ijma‟ para sahabat dan Ijtihad para
sahabat pada sebagian kasus waris, seperti kasus
kewarisan kakek bersama saudara, sepertiga dari sisa
untuk ibu sesudah diambil oleh salah seorang dari suami
atau istri pada masalah „umariyataīn, kewarisan żawil
arhām dan lainnya dari masalah-masalah yang telah
diijtihatkan oleh para sahabat.
1. Al-Qur’an.
Dari sumber hukum pertama yaitu al-Qur‟an ada
empat ayat yang memuat tentang hukum waris secara
detail:
a. Surah an-Nisa‟ ayat 11
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan6; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua7, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
memiliki anak; jika orang yang meninggal tidak
memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu memiliki beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian ini di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.(Q.S.An-Nisa‟: 11)
Ayat di atas menjelaskan tentang warisan bagi
(Furū dan Uṣūl), yaitu anak laki-laki dan perempuan dan
seterusnya ke bawah, serta warisan ayah dan ibu dan
seterusnya ke atas, keadaan-keadaan mereka dalam
warisan dan syarat-syarat mendapat warisan.
b. Surah an-Nisa‟ ayat 12
dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak memiliki anak. jika isteri-isterimu itu
memiliki anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
memiliki anak. jika kamu memiliki anak, Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi memiliki
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris)8. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
(Q.S. an-Nisa‟: 12)
Pada ayat di atas Allah menjelaskan bagian warisan
untuk suami-istri, dan saudara seibu baik laki-laki
maupun perempuan, keadaan-kedaan mereka dalam
kewarisan serta syarat untuk mendapat warisan.
c. Surah an-Nisa‟ ayat 176.
mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah).9 Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak memiliki anak dan
memiliki saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak memiliki anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-
9 Kalalah ialah: seseorang yang meninggal dan tidak
meninggalkan ayah dan anak.
laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-Nisa‟:
176)
Ayat di atas menjelaskan tentang bagian warisan
untuk saudara laki-laki dan perempuan baik kandung
maupun seayah, dan keadaan mereka dalam warisan, serta
syarat untuk mendapat nya.
d. Surah al-Anfāl ayat 75
dan orang-orang yang beriman sesudah itu
kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu
Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu
(juga). orang-orang yang memiliki hubungan
Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat)10 di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Q.S.Al-Anfal:75)
Ini adalah dalil warisan żawil arhām, yaitu seluruh
kerabat pewaris yang tidak termasuk sebagai penerima
aṣḥābul furūḍ dan juga „aṣabah. Mereka baru bisa dapat
warisan jika pewaris tidak meninggalkan aṣḥābul furūḍ
dan juga „aṣabah.
2. Sunnah Nabi Saw.
Terdapat banyak hadiṡ yang menunjukkan hukum
waris, sebagai perinci terhadap al-Qur‟an dan penjelas
makna-maknanya, serta mendeskripsikan hukum yang
belum dijelaskan oleh al-Qur‟an. Di antaranya adalah:
a. Hadiṡ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-
laki yang paling utama. " (HR. Bukhari)11
Ḥadiṡ ini menjelaskan tentang mekanisme
pembagian warisan, dimulai dari memberikan bagian
kepada ahli waris (aṣhābul furūḍ), kemudian diberikan
kepada keturunan laki-laki yang terdekat dengan pewaris
sebagai penerima sisa bagian („aṣabah).
b. Hadiṡ dari Usamah bin Zaid.
Hadīṡ Usamah Bin Zaid, Rasulullah saw. Bersabda:
“Orang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir,
demikian juga orang Kafir tidak mewarisi dari
orang Muslim. (H.R. Bukhari).
11 Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Farāiḍ, bab
warisan anak dari kedua orang tuanya, no hadiṡ 6732, Lihat Ahmad
bin „Ali bin Hajar al-„Askalani, Fathu al-Bāri bi Syarḥi Shahih al-
Bukhāri, Jilid XII (Kairo: Dār al-Riyani li al-Turaṡ, 1409), h. 12
12 Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Farāiḍ, bab
Orang Muslim tidak mewarisi orang Kafir dan orang Kafir tidak
mewarisi orang Muslim, no hadiṡ 6764, Lihat Ahmad bin „Ali bin
Dari hadiṡ di atas, menjelaskan bahwa perbedaan
agama di antara pewaris dan ahli waris menjadi
penghalang untuk bisa mendapat warisan.
c. Hadīṡ yang diriwayatkan oleh „Ubadah Bin Ṣāmit.
Diriwatkan oleh „Ubadah bin Ṣāmit ra. Bahwa Nabi
saw. memberikan bagian untuk dua orang nenek
dalam warisan seperenam, dibagi sama rata.13
Ḥadīṡ di atas merupakan dalil kewarisan nenek baik
seorang atau banyak, menerima bagian seperenam. Dan
berkongsi dengan bagian ini jika mereka banyak.
d. Hadīṡ yang diriwatkan oleh Ibnu Mas‟ud.
Nabi saw. Menetapkan 1/2 (setengah) bagi anak
perempuan dan 1/6 (seperenam) bagi cucu
perempuan (dari anak laki-laki) sebagai
penyempurna bagian 2/3 (dua pertiga), sisanya
bagi saudara perempuan.14
Ḥadīṡ di atas menjelaskan bahwa cucu perempuan
dari anak laki-laki jika bersama dengan satu orang anak
perempuan penerima bagian setengah, maka mendapat
bagian seperenam sebagai penyempurna bagian terbesar
perempuan dua pertiga. Dalam hadiṡ ini juga
menjelaskan bagian saudara perempuan (kandung atau Hajar al-„Askalani, Fathu al-Bāri bi Syarḥi Shahih al-Bukhāri, seayah) jika bersama dengan furu‟ muannaṡ (anak
perempuan, cucu perempuan, seterusnya kewabah)
mendapat bagian „aṣabah ma‟al ghairi (penerima
sisa).
3. Ijma’
Para sahabat, tabi‟in, dan tabi‟ tabi‟in telah berijma‟
atau bersepakat tentang legalitas ilmu farāiḍ dan tidak ada
seorangpun yang menyalahi ijma‟ ini .
4. Ijtihad Sahabat.
Para Sahabat telah berijtihad dalam ilmu farāiḍ
pada kasus-kasus tertentu. Seperti „umariyatain,
musyarakah, kewarisan kakek bersama saudara,
kewarisan żawil arhām, khunsa‟, kewarisan bayi dalam
kandungan, mafqūd (orang hilang), dan lain sebagainya
yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya dalam
buku ini.
D. Sejarah Ilmu Farāiḍ
1. Sistem Waris Bangsa Arab Sebelum Islam
Sistem waris merupakan salah satu sebab adanya
perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda
dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan
(muwarriṡ), sesudah yang bersangkutan meninggal, kepada
para penerima warisan (waraṡah) dengan jalan pergantian
yang didasarkan pada hukum syara‟.
Orang Arab jahiliyah telah mengenal sistem waris
sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat
dilakukan melalui dua sebab yaitu:
1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (al-
nasab), adalah warisan yang diturunkan kepada anak
lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan
menunggang kuda, bertempur, dan meraih harta
rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan
A. Rukun Waris.
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris, dimana bagian harta
waris tidak akan didapatkan bila tidak ada rukun-
rukunnya. Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu:
1. Al-Muwarriṡ (pewaris), yaitu orang yang meninggal
dunia baik secara hakiki (sebenarnya) maupun ḥukmī
(suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan
hakim) seperti mafqūd (orang yang hilang).
2. Al-Wāriṡ (ahli waris), yaitu orang yang hidup saat
pewaris meninggal dan merupakan orang yang berhak
mendapat warisan meskipun keberadaannya masih
dalam kandungan atau orang yang hilang.
3. Al-Maurūṡ (harta warisan), yaitu harta benda yang
menjadi warisan. Termasuk juga harta-harta atau hak-
hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qiṣaṣ
(perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi
pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.
Inilah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun
ini tidak ada, waris mewarisi tidak dapat
dilaksanakan. Jika seorang meninggal dunia namun tidak
memiliki ahli waris, atau ada ahli waris tapi tidak ada
harta yang ditinggalkan, maka waris mewarisi tidak bisa
dilakukan, sebab tidak memenuhi rukun waris.
B. Syarat Waris
Syarat waris adalah sesuatu yang sebab ketiadaannya
maka tidak akan ada proses pembagian warisan. Adapun
syarat-syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
1. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki15, hukmī 16,
dan taqdirī.17
2. Hidupnya ahli waris pada saat pewaris meninggal
dunia, baik secara hakiki atau hukmī.
3. Mengetahui sebab menerima warisan atau mengetahui
hubungan antara pewaris dan ahli warisnya atau
mengetahui seluk beluk pembagian harta warisan.
Apakah menjadi ahli waris sebab hubungan
pernikahan, hubungan darah, atau wala‟
(pemerdekaan budak). Ahli waris harus diketahui
pasti, baik dari kedekatan kekerabatannya, bagian-
15 Meninggal hakiki adalah kematian yang benar-benar
terjadi, dapat dilihat dengan penglihatan kasat mata, berdasarkan
pendenganran (berita), atau dengan persaksian dua orang yang dapat
dipercaya, atau dengan bukti-bukti lainnya.
16 Meninggal hukmī adalah kematian atas putusan hakim,
seperti seorang yang hilang dalam jangka waktu yang lama dan
pencariannya sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka
dihukumi sudah meninggal berdasarkan dugaan yang disejajarkan
dengan kayakinan yang kuat (kepastian).
17 Meninggal taqdirī adalah kematian yang
disebabkan/diikutkan kepada orang lain. Seperti seorang wanita hamil
disiksa kemudian lahirlah janin dalam keadaan meninggal, maka
janin ini berhak mendapat diat sebab meninggal sebab ibu yang
mengandungnya disiksa. Sementara apakah janin ini berhak
mewarisi dan mendapat warisan dari ibunya yang telah meninggal
sebab disiksa terdapat perbedaan pendapat ulama. Menurut Abu
Hanifah, janin ini dapat mewaris dan dapat mewariskan (sebagai
pewaris), sebab ia diperkirakan masih hidup saat ibunya
meninggal, dan ia meninggal sebab kematian ibunya. Jumhur ulama
berpendapat janin ini belum tentu hidup dan tidak mewariskan,
kecuali harta diyatnya.
bagiannya serta hajib (yang menghalang) dan mahjub
(terhalang) untuk mendapat warisan.18
C. Sebab mendapat Waris
Sebab adanya pewarisan adalah sesuatu yang
mewajibkan adanya hak mewarisi jika sebab-sebabnya
terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi tidak ada
jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sebab-sebab
mewarisi yang disepakati oleh para ulama ada tiga, yaitu
sebagai berikut:
1. Pernikahan.
Pernikahan dengan menggunakan akad yang sah,
merupakan sebab untuk saling mewarisi antara suami dan
istri, meskipun keduanya belum sempat melakukan
hubungan badan dan berkhalwat (tinggal berdua).
Barangsiapa yang akad tanpa ada wali maka ini adalah
nikah batil/tidak sah sebab tidak memenuhi salah satu
dari rukun nikah. Begitu juga orang yang menikahi
mahramnya, dan orang yang menikahi perempuan lebih
dari empat. Semua bentuk pernikahan ini tidak bisa
menjadi sebab untuk bisa saling mewarisi antara suami
dan istri.19
Masalah yang mungkin akan dijumpai dari sebab
saling mewarisi sebab pernikahan sah adalah bagaimana
saat terjadi kasus perceraian (ṭalaq) diantara mereka,
apakah memutuskan sebab mewarisi atau tidak. Dalam hal
ini ṭalaq terbagi dua, pertama, ṭalaq raj‟ī, yaitu suami
menceraikan istrinya yang masih ada masa untuk kembali
(„iddah raj‟ī), baik satu kali talak atau dua. Maka suami
memiliki hak untuk kembali (ruju‟) kepada istrinya
apabila masih dalam masa „iddah. Dalam masalah ini,
sepakat para ulama bahwa antara suami dan istri masih
tetap bisa saling mewarisi selama dalam masa „iddah.20
Kedua, ṭalaq bāin21, yaitu talak tiga, dalam hal ini sepakat
para ulama menjadi sebab untuk tidak saling mewarisi
antara suami dan istri, baik diceraikan saat suami dalam
keadaan sehat atau dalam keadaan sakit parah, namun
bukan dengan tujuan untuk menghalagi istri mendapat
warisan.
Adapun jika tujuan suami menjatuhkan ṭalaq ba‟in
pada waktu sakit parah dengan tujuan menghalangi istri
untuk dapat warisan, ulama berbeda pendapat:
a. Mazhab Syafi‟iyyah bependapat bahwa istri tidak bisa
mendapat warisan dari suami secara mutlak,
sebab terputus hubungan pernikahan yang merupakan
salah satu sebab untuk saling mewarisi.
b. Mazhab Hanafiyah, berpendapat bahwa istri ini
mewarisi harta suaminya jika saat suaminya
meninggal iddahnya belum habis. Jika iddahnya sudah
habis maka tidak dapat mewarisi.24
c. Mazhab Hanabilah, berpendapat bahwa istrinya tetap
mendapat warisan dari suaminya meskipun sudah
berakhir masa „iddah, dengan catatan bahwa suami
menceraikannya sebab tidak ingin meberikan warisan
untuknya, istrinya belum menikah dengan lelaki lain,
dan merupakan orang yang berhak menerima waris
pada waktu ditalak bain oleh suaminya.25
d. Mazhab malikiyyah, berpedapat bahwa istri tetap
mendapat warisan dari suaminya meskipun sudah
berakhir masa „iddah atau belum, istrinya sudah
menikah lagi dengan lelaki lain satu orang atau
lebih.26
2. Qarabah (kekerabatan).
Hubungan qarabah atau disebut juga hubungan nasab
(darah) yaitu setiap hubungan persaudaraan yang
disebabkan kelahiran (keturunan), baik yang dekat
maupun jauh. Hubungan nasab ini mencakup anak
keturunan pewaris (furu‟ al-waris), kedua orang tua
pewaris (ushul al-wariṡ), saudara-saudara pewaris
(Hawasyī) baik laki-laki, perempuan yang sekandung,
seayah atau seibu, paman pewaris („Umumah) baik
paman kandung atau seayah maupun anak laki-laki dari
keduanya, serta pemerdeka budak (wala‟) laki-laki atau
perempuan. Atau dengan sebab rahm (żawil arḥām)
TIRKAH (HARTA PENINGGALAN) DAN HAK-
HAK YANG TERKAIT DENGANNYA
A. Defenisi dan Unsur-Unsur Tirkah
Tirkah secara etimologi adalah sesuatu yang
ditinggalkan dan disisakan oleh seseorang. Sementara
secara terminologi adalah seluruh yang ditingalkan
pewaris berupa harta dan hak-hak yang tetap secara
mutlak. Dengan demikian tirkah mencakup empat hal
berikut:
1. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan tetap.
2. Hak-hak yang memiliki nilai kebendaan, seperti
hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik
hasil dari suatu jalan, sumber air minum, dan lain
sebagainya. Termasuk juga hak menafaatan, seperti
memanfaatkan barang yang disewa dan dipinjam.
Begitu juga hak yang bukan kebendaan seperti, hak
syuf‟ah (hak beli yang diutamakan untuk salah
seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah,
pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh
anggota serikat yang lain atau tetangganya), dan hak
khiyar seperti khiyar syarat.
3. Sesuatu bentuk usaha yang dilakukan oleh pewaris
sebelum meninggal. Seperti khamar yang telah
menjadi cuka dan jerat yang menghasilkan binatang
buruan. Keduanya dapat diwariskan kepada ahli
warisnya.
4. Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang
melakukan pembunuhan sebab khilaf.
B. Hak-hak yang Terkait Dengan Tirkah.
saat seseorang meningal dunia, tentu
meninggalkan harta, lantas harta ini tidak serta merta
menjadi harta warisan yang dibagikan untuk seluruh para
ahli warisnya, ada hak-hak yang harus ditunaikan terlebih
dahulu terhadap tirkah (harta peninggalan) pewaris, yang
selanjutnya baru harta ini bisa dibagikan untuk
seluruh ahli waris. Para jumhur fuqaha sepakat bahwa
hak-hak yang berkaitan dengan tirkah itu ada empat yang
harus dilaksanakan secara berurutan (tartib), yaitu sebagai
berikut:
1. Tajhīẓ al-Mayyit (biaya-biaya pengurusan mayit)
Biaya pengurusan mayit adalah segala sesuatu
yang dibutuhkan mayit sejak meninggal dunia sampai
dikebumikan, yaitu berupa biaya untuk memandikan,
mengafani, mengusung, menggali kuburan dan
menguburkan. Biaya ini diambil menurut ukuran yang
wajar, tidak berlebih-lebihan dan dikurang-kurangi,
dengan tetap menjaga perintah dan larangan agama.27
Jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka
biaya pengurusan jenazah dibebankan kepada keluarganya
yang menanggung nafkah, seperti jika anak laki-laki
meninggal tidak meninggalkan harta maka biaya
pengurusan jenazah dibebankan kepada ayahnya. Jika
sama sekali dalam keluarga ini tidak memiliki
kemampuan finansial terhadap proses pengurusan
jenazah, dalam hal ini dibebankan kepada baitul mal dari
kaum Muslimin
Terdapat permasalahan yang diperselisihkan oleh
para ulama, terhadap biaya pengurusan jenazah istri,
apakah dibebankan kepada harta kekayaan suami atau
tidak.
a. Mazhab Hanafiyyah, berpendapat bahwa biaya
pengurusan jenazah istri secara mutlak dibebankan
kepada suami, baik dalam keadaan mampu atau tidak,
begitu juga istrinya kaya atau miskin.28
b. Mazhab Hanabilah, berpendapat bahwa suami tidak
wajib membiayai pengurusan jenazah istrinya,29 baik
suaminya dalam keadaan mampu atau tidak, istrinya
merupakan orang miskin atau kaya, akan tetapi
sepenuhnya ditanggung dari harta istrinya, jika tidak
ada harta maka ditanggung oleh yang menafkahinya
selama hidup, jika tidak ada juga maka ditanggung
oleh baitul mal, jika tidak ada juga maka bagi
dermawan yang mengetahui keadaannya.30
c. Mazhab Syafi‟iyyah, berpendapat bahwa biaya
pengurusan jenazah istri dibebankan kepada suaminya
jika mampu, tapi jika tidak mampu maka pembiayaan
ini menjadi tidak wajib baginya.31
d. Mazhab Malikiyyah, berpendapat bahwa jika istrinya
mampu, tidak dibebankan biaya pengurusan
jenazahnya kepada suami, tapi jika tidak mampu,
suami dibebankan untuk membiayai proses pengurusan jenazahnya. Jika suami tidak mampu,
diambil dari baitul mal atau melalui bantuan kaum
Muslimin yang mengetahui keadaannya.32
2. Qaḍā al-Duyūn (Pelunasan Utang)
a. Utang yang terkait dengan Harta Waris.
Termasuk dalam hak-hak ini adalah utang
yang digadaikan, utang pembelian suatu barang,
zakat yang diwajibkan atas harta benda sebelum
jadi tirkah. Hak-hak ini semua lebih didahulukan
daripada biaya pengurusan jenazah, menurut
pendapat Imam Hanafi, Malik dan Syaf‟i.
Sementara menurut imam Hanbali, biaya
pengurusan jenazah lebih didahulukan dari pada
melunasi utang-utangnya.33 sebab seorang yang
pailit, mengutamakan dirinya daripada kreditor,
dan pakaian orang yang pailit lebih utama dari
pada melunasi utang, begitu juga mengafani mayit
lebih didahulukan daripada melunasi utangnya.
Disebabkan menutup aurat semasa hidup adalah
kewajiban, demikian pula sesudah meninggal
dunia.
b. Utang yang terkait dengan Tanggungan Pewaris.
Utang-utang berupa utang kepada Allah,
seperti kifarat, zakat, haji yang wajib, nazar dan
utangnya kepada manusia, seperti utang qiraḍ,
harga, upah, dan lain sebagainya.
Permasalahanya adalah jika utang yang
dimiliki oleh seorang pewaris yaitu, utang dengan
Allah dan manusia, lebih banyak dari harta
peninggalannya, mana yang harus didahulukan
untuk dilunasi. Berbeda pendapat para ulama,
sebagai berikut:
a) Mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah
berpendapat bahwa utang sesama manusia
lebih didahulukan pelunasannya daripada
utang dengan Allah. Sebab, manusia sangat
memerlukan untuk dilunasi piutangnya,
sedangkan Allah adalah zat yang Maha Kaya,
tidak perlu pelunasan kepadaNya.34
b) Mazhab Syafi‟iyyah berpendapat bahwa yang
harus didahulukan adalah utang kepada Allah
ketimbang utang pada manusia. Sebagaimana
sabda Rasul saw. “Hutang kepada Allah lebih
utama untuk dilunasi”.(H.R. Bukhari)35
c) Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa
kedudukan pelunasan utang terhadap Allah
sama dengan pelunasan terhadap manusia.
Maksudnya, harta waris dibagi menurut
perbandingan kedua macam utang ini ,
seperti pembagian harta orang yang pailit
semasa hidupnya.
KEWARISAN SECARA FARḌU (BAGIAN YANG
TELAH DITETAPKAN) DAN KEADAAN-
KEADAANNYA DALAM WARISAN
Para ulama dalam mengkaji pembahasan tentang
aṣhābul furūḍ, menggunakan dua metode, pertama,
membahas setiap farḍ secara terperinci, seperti
menyebutkan bagian seperdua, kemudian menyebutkan
ahli waris yang mendapat seperdua, meyebutkan
bagian seperempat, kemudian menyebutkan ahli waris
yang mendapat seperempat, dan seterusnya. Kedua,
menyebutkan aṣhābul furūḍ beserta uraian seputar kondisi
mereka satu persatu. Contohnya, menyebutkan suami,
adakalanya mewarisi setengah harta peninggalan dan ada
kalanya mewarisi seperempat harta peninggalan,
kemudian menyebutkan syarat-syarat yang harus
terpenuhi untuk mendapat bagian ini . Dan
seteusnya.
Dalam buku ini, akan menggunakan metode kedua
yaitu menyebutkan ahli waris disertai dengan bagian-
bagian yang akan diperoleh beserta syaratnya masing-
masing.
a. Setengah (1/2): Jika tidak meninggalkan far‟ul wariṡ
(anak lelaki, anak perempuan, cucu lelaki dan cucu
perempuan seterusnya ke bawah), baik anak kandung
atau anak istrinya (anak dari suami yang lain).
Contohnya seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris suami, dan ayah. Maka
bagian suami adalah 1/2 (sebab tidak meninggalkan
anak), ayah mendapat „aṣabah (sebab laki-laki
yang paling dekat dengan pewaris).
b. Seperempat (1/4): Jika meninggalkan far‟ul wariṡ
(anak lelaki, anak perempuan, cucu lelaki dan cucu
perempuan seterusnya ke bawah), baik anak kandung
atau anak istrinya (anak dari suami yang lain).
Dasar hukum dua bagian ini adalah firman
Allah saw. Q.S. An-Nisa‟ ayat 12:
dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak memiliki anak. jika isteri-isterimu itu
memiliki anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya…(Q.S. an-Nisa‟:
12)
Contohnya, ahli waris yang ditinggalkan adalah
suami, anak perempuan dan anak laki-laki. Maka
bagian suami 1/4 (sebab ada anak), anak perempuan
dan laki-laki mendapat „aṣbah bil ghair (dengan
ketentuan bagian laki-laki 2:1 dari bagian perempaun).
2. Bagian Istri ΔΟϭΰϟ
Istri mendapat dua macam bagian dari peninggalan
suaminya:
a. Seperempat (1/4): Jika tidak meninggalkan far‟ul
wariṡ (anak lelaki, anak perempuan, cucu lelaki dan
cucu perempuan seterusnya ke bawah), baik anak
kandung atau anak suaminya (anak dari istri yang
lain).
Contohnya ahli waris yang ditinggalkan adalah
istri dan saudara laki-laki kandung. Maka, bagian istri
adalah 1/4 (sebab tidak ada anak), saudara laki-laki
kandung mendapat bagian „aṣabah (sebab laki-
laki paling dekat dengan pewaris).
b. Seperdelapan (1/8): Jika meninggalkan far‟ul wariṡ
(anak lelaki, anak perempuan, cucu lelaki dan cucu
perempuan seterusnya ke bawah), baik anak kandung
atau anak suaminya (anak dari istri yang lain).
Dasar hukum dua bagian ini adalah firman
Allah saw. Q.S. An-Nisa‟ ayat 12:
Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak memiliki anak.
jika kamu memiliki anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan…(Q.S. an-Nisa‟: 12)
Contohnya, ahli waris yang ditinggalkan adalah
istri, dan anak laki-laki. Maka, bagian istri adalah 1/8
(sebab ada anak laki-laki) dan anak laki-laki
mendapat „aṣabah binnafsi.
B. Aṣhābul Furūḍ Nasabiyah (penerima bagian tetap
sebab sebab keturunan/kekerabatan)
Aṣhābul furūḍ nasabiyyah ada sembilan orang, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagian Anak Perempuan ΖϨΒϟ.
Anak perempuan adalah ahli waris yang tidak
akan pernah terhijab (terhalang) dalam keadaan
apapun. Ada tiga bagian untuk anak perempuan,
sebagaimana penjelasan di bawah ini:
a. Setengah (1/2): anak perempuan berhak
memperoleh bagian 1/2 dengan dua syarat, yaitu:
1) Sendiri.
2) Tidak ada saudara kandungnya yang laki-laki
(mu‟aṣib).
Sebagaimana firman Allah:
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta....(Q.S.An-Nisa‟: 11)
Contoh, seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris suami, anak perempuan
dan ayah. Maka, suami mendapat 1/4 (sebab ada
anak perempuan), anak perempuan 1/2 (sebab
sendiri) dan ayah mendapat 1/6+‟aṣabah (sebab
bersama anak perempuan).
b. Dua per tiga (2/3) : anak perempuan berhak
memperoleh bagian 2/3 dengan dua syarat, yaitu:
1) Dua orang atau lebih.
2) Tidak ada saudara kandungnya yang laki-laki
(mu‟aṣib).
Sebagaimana firman Allah:
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua37, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan…(Q.S.An-Nisa‟: 11)
Contoh, ahli waris yang ditinggalkan adalah
istri dan dua anak perempuan. Maka, istri mendapat
bagian 1/8 (sebab ada anak perempuan) dan dua
anak perempuan mendapat bagian 2/3 (dua orang
atau lebih).
c. ‘Aṣabah bil Ghair (penerima sisa): Anak
perempuan satu orang atau lebih bisa mewarisi
dengan „aṣabah bil ghairi, dengan syarat:
1) Jika bersama dengan saudara laki-lakinya
(mu‟aṣib), baik satu orang atau lebih. Dengan
ketentuan bagian anak laki-laki 2:1 dari anak
perempuan. Sebagaimana firman Allah:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan38; …(Q.S.An-Nisa‟: 11)
Contohnya, seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris, anak laki-laki, anak
perempuan dan saudara laki-laki seayah. Maka,
anak laki-laki dan perempuan dapat „aṣabah bil
ghair (dengan ketentuan 2:1), dan saudara laki-laki
seayah terhijab oleh anak laki-laki.
MEWARISI SECARA ‘AṢABAH
Mewarisi secara „aṣabah merupakan cara kedua
untuk memberikan harta kepada para ahli waris, sebab
ahli waris yang mewarisi bagian tetap (aṣhabul furūḍ)
lebih diutamakan dari „aṣabah. sesudah bagian diambil
oleh penerima bagian tetap, barulah sisanya diberikan
kepada „aṣabah.
A. Definisi ‘Aṣabah.
Secara etimologi, „ashabah adalah laki-laki dari
kerabat pewaris, yang nisabnya kepada pewaris tidak ada
perempuan. Atau dengan kata lain kerabat pewaris
sebapak.39 Sedangkan „aṣabah menurut terminologi
adalah ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu,
baik besar maupun kecil, dari segi jika sendiri mengambil
seluruh harta, jika bersama dengan ahli waris penerima
aṣhabul furuḍ, mengambil sisa sesudah diambil oleh
aṣhabul furuḍ, jika seluruh harta telah diambil oleh
aṣhabul furuḍ, maka penerima „aṣabah tidak
mendapat sedikitpun dari harta peninggalan.40
B. Pembagian ‘Aṣabah.
„Aṣabah terbagi kepada dua, yaitu:
1. ‘Aṣabah Nasabiyah, yaitu „aṣabah yang ditetapkan
sebab sebab nasab (keturunan), seperti anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah dan qarabah (kekerabatan), seperti ayah, kakek,
saudara lai-laki kandung, saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara
seayah, paman kandung, paman seayah dan anak laki-
laki paman kandung dan anak laki-laki paman seayah.
2. ‘Aṣabah Sababiyah, yaitu „aṣabah yang terjadi sebab
sebab memerdekakan budak, baik laki-laki maupun
perempuan.
Menurut para ulama, pembagian pertama
„aṣabah nasabiyah lebih didahulukan dari pada
„aṣabah sababiyah, sebab nasab (keturunan) lebih
dekat kepada pewaris dibandingkan dengan sabab
(sebab).41
Hukum ‘Aṣabah Nasabiyah.
„Aṣabah nasabiyah, terbagi kepada tiga macam,
yaitu sebagai berikut: 1) „aṣabah binnafsi, 2) „aṣabah
bil ghair, dan 3) „aṣabah ma‟al ghair. Semua macam
pembagian ini, memiliki hukum dan masalah-masalah
khusus tersendiri, yang akan dijelaskan di bawah ini:
1) ‘Aṣabah Binnafsi, setiap laki-laki yang sangat dekat
hubungan kekerabatannya dengan pewaris, yang tidak
diselingi oleh perempuan.
a. Jumlah penerima aṣabah bin nafsi; secara
tertib42 berjumlah 12 orang, yaitu:
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi di
bawahnya.
3. Ayah.
4. Kakek serta generasi di atasnya.
5. Saudara kandung
6. Saudara seayah.
7. Anak laki-laki saudara kandung.
8. Anak laki-laki saudara seayah dan generasi di
bawahnya
9. Paman kandung.
10. Paman seayah.
11. Anak laki-laki paman kandung.
12. Anak laki-laki paman seayah dan generasi di
bawahnya.43
b. Dalil ‘Aṣabah Binnafsi.
1. Surah an-Nisa‟ ayat 11
jika orang yang meninggal tidak memiliki
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; ....(Q.S.An-
Nisa‟: 11)
2. Surah an-Nisa‟ ayat 176
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
memiliki anak; .... (Q.S. an-Nisa‟: 176)
3. Hadis Abdullah bin „Abbas:
˶
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw.
bersabda "Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama.
" (HR. Bukhari)44
c. Hukum-hukum ‘Aṣabah Binnafsi.
„Aṣabah binnafsi, memiliki tiga hukum, yaitu:45
1. Jika hanya sendiri, mengambil seluruh harta.
Contohnya yang ditinggalkan hanya seorang
anak laki-laki, maka seluruh harta waris
diberikan untuknya.
2. Mengambil sisa harta sesudah diambil oleh
aṣhabul furuḍ (penerima bagian tertentu),
contohnya ahli waris yang ditinggalkan anak
ayah dan ibu, maka ibu dapat bagian 1/3
sementara ayah mengambil 2/3 sebagai sisa dari
bagian yang telah diambil oleh ibu.
3. Tidak mendapat warisan apapun sebab
seluruhnya telah diambil oleh aṣhabul furudh,
contohnya ditinggalkan suami, saudara
perempuan kandung dan paman kandung, maka
bagian suami 1/2, saudara perempuan kandung
1/2, paman tidak dapat apa-apa, sebab bagian
seluruhnya telah diambil oleh aṣhabul furuḍ
d. Jalur ‘Aṣabah Binnafsi.
Menurut Imam Hanafi, ada lima jalur „aṣabah
binnafsi, yaitu: al-bunuwwah (jalur hubungan
anak), al-ubuwwah (jalur hubungan orang tua), al-
ukhuwwah (jalur hubungan saudara), al-„umumah
(jalur hubungan paman) dan al-wala‟ (jalur
hubungan sebab memerdekakan budak).46
Sementara Abu Yusuf dan Mazhab Hanbali,
berpendapat bahwa ada enam jalur, yaitu al-
bunuwwah, al-ubuwwah, al-jududah (jalur
hubungan kakek) bersama al-ukhuwwah, banu al-
ukhuwwah (jalur anak-anak saudara), „umumah,
serta al-wala‟.47 Menurut Malikiyah dan
Syafi‟iyah ada tujuh, yaitu al-bunuwwah, al-
ubuwwah, al-jududah dan al-ukhuwwah, banu al-
ukhuwwah, al-„umumah, al-wala‟ serta baitul
mal.48
Jalur-jalur „aṣabah binnafsi ini penting untuk
diketahui, sebab didasarkan pada urutan dan
tingkatan pada masing-masing jalur ahli waris,
sehingga jalur al-bunuwwah lebih didahulukan
untuk mendapat „aṣabah daripada jalur al-
ubuwwah, jalur al-ubuwwah lebih didahulukan
dari al-ukhuwwah, jalur al-ukhuwwah lebih
didahulukan dari jalur al-„umumah, jalur al-
„umumah lebih didahulukan daripada jalur al-
wala‟. Begitu juga, jalur al-wala‟ lebih
didahulukan dari jalur baitul mal.
KONSEP HIJAB (AL-ḤAJBU) DALAM WARIS
ISLAM
Hijab merupakan salah satu pembahasan penting
dalam ilmu faraiḍ, sehingga sebagian ulama mengatakan,
“Haram berfatwa dalam bidang ilmu faraiḍ, bagi yang
tidak memahami hijab”. Sebab, para ulama khawatir
orang keliru dalam berfatwa, bagi yang seharusnya
berhak mendapat warisan menjadi tidak dapat bagian, atau
sebaliknya, orang yang tidak berhak justru dapat bagian.
A. Pengertian Hijab.
Hijab secara etimologi adalah al-man‟u (terhalang),
seperti firman Allah: “Sekali-kali tidak, Sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat)
Tuhan mereka. (Q.S.Al-Muṭaffifin:15), artinya mereka
terhalang untuk melihat Allah pada hari akhirat kelak.
Jadi, hijab secara bahasa adalah mencegah atau
menutupi.49
Sedangkan hijab menurut terminologi adalah
menghalangi orang yang memiliki sebab mendapat
warisan, baik secara menyeluruh atau sebagian.50
B. Macam-macam Hijab
Hijab terbagi kepada dua macam yaitu:
1. Ḥajbu Auṣāf (hijab sebab sifat), yaitu menghalangi
orang yang memiliki sebab untuk medapatkan
warisan secara total, sebab melakukan sesuatu perbuatan yang menjadi penghalang mendapat
warisan, seperti membunuh pewaris dan murtad. Hal
ini, berlaku untuk seluruh ahli waris, laki-laki atau
perempuan, baik aṣhabul furuḍ atau „aṣabah. Dan jika
seseorang masuk dalam kategori ini, tentu
“keberadaannya bagaikan tiada, tidak mendapat
warisan dan tidak bisa membawa dampak bagi ahli
waris lainnya dalam kewarisan”.
2. Ḥajbu Asykhaṣī (hijab sebab ada orang lain), yaitu
menghalangi seseorang utuk mendapat warisan
secara total atau dari bagian yang besar menjadi
bagian yang lebih kecil sebab ada ahli waris lain
yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris.
Hijab ini dibagi kepada dua:
a. Hijab Nuqṣan, yaitu menghalangi seseorang yang
memiliki sebab untuk mewarisi dari bagiannya
yang sempurna. Seperti, suami seharusnya
mendapat bagian terbanyak 1/2, tapi sebab
memiliki keturunan (anak), maka menjadi 1/4,
istri yang seharusnya mendapat bagian 1/4
menjadi 1/8, sebab pewaris mempunya keturunan
(anak).53
Hijab nuqṣan dibagi dua, yaitu:54
1) Hijab nuqṣan sebab sebab intiqāl
(perpindahan) dari satu bagian tetap menjadi
bagian tetap lainnya, sebab ada ahli waris
lain. Yaitu terjadi pada empat keadaan:
a) Perpindahan dari satu farḍ (bagian tetap)
menjadi farḍ (bagian tetap) lainnya yang
lebih sedikit. Seperti perpindahan bagian
suami dari 1/2 menjadi 1/4, sebab
meninggalkan keturunan (anak).
b) Perpindahan dari „aṣabah menjadi „aṣabah
yang lebih sedikit. Seperti perpindahan
saudara perempuan kandung atau saudara
perempuan seayah dari „aṣabah ma‟al
ghair menjadi „aṣabah bil ghair.
c) Perpindahan dari farḍ (bagian tetap)
menjadi „aṣabah yang lebih sedikit.
Seperti, perpindahan para ahli waris
perempuan yang menerima bagian 1/2
menjadi „aṣabah bil ghair.
d) Perpindahan dari „aṣabah menjadi farḍ
(bagian tetap) yang lebih sedikit. Seperti,
perpindahan ayah dan kakek dari „aṣabah
menjadi farḍ (bagian tetap), saat pewaris
meninggalkan keturunan.
2) Hijab Nuqṣan sebab sebab iẓdiḥām (terlalu
banyak). Yaitu terlalu banyak ahli waris
penerima farḍ (bagian tetap), atau penerima
„aṣabah, hal ini terjadi dalam tiga keadaan:
a) Terlalu banyak pada farḍ (bagian tetap).
Seperti terlalu banyak dua orang anak
perempuan pada bagian 2/3, terlalu banyak
istri pada bagian 1/4 dan 1/8.
b) Terlalu banyak pada „aṣabah. Seperti,
terlalu banyak penerima „aṣabah terhadap
harta waris atau terhadap harta yang tersisa
dari farḍ (bagian tetap).
c) Terlalu banyak sebab adanya „aul. Seperti
terlalu banyak aṣhabul furūḍ dalam pokok
masalah yang dimasuki oleh masalah „aul.
Karnanya, bagian tetap yang masing-
masing mereka dapatkan menjadi
berkurang.
b. Hijab Hirman, yaitu menghalangi seseorang yang
memiliki sebab untuk mewarisi dari bagiannya
secara keseluruhan, sebab ada ahli waris lain
yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris.
Seperti, kakek yang terhalang sebab adanya ayah,
cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalang sebab
adanya anak laki-laki, dan lain sebagainya.55
Para ahli waris dalam hijab hirman ada dua
kelompok, yaitu:
Pertama, ahli waris yang tidak pernah terhalang
secara hijab hirman, ahli waris ini ada 6 (enam)
orang yaitu, tiga orang dari pihak laki-laki, mereka
adalah suami, anak laki-laki dan ayah. Dan tiga
orang dari pihak perempuan, yaitu istri, anak
perempuan dan ibu. Menurut para ulama mereka
tidak terhijab hirman sebab hubungan mereka
dengan pewaris langsung melalui nasab atau
nikah, bukan dari keturunan orang lain.56
Kedua, ahli waris yang terhalang secara hijab
hirman, berjumlah 19 (sembilan belas) orang,
terdiri dari ahli waris laki-laki 12 orang dan dari
ahli waris perempuan 9 orang, yaitu sebagai
berikut:
a) Dua belas ahli waris yang tehijab hirman
adalah:
1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki:
terhalang oleh anak laki-laki, atau oleh
cucu laki-laki dari anak laki-laki yang
kedudukannya lebih dekat kepada pewaris.
2. Kakek dan generasi di atasnya: terhalang
oleh ayah.
3. Saudara laki-laki kandung: terhalang
oleh tiga orang, yaitu anak laki-laki, cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan ayah.
4. Saudara laki-laki seayah: terhalang oleh
empat orang, yaitu anak laki-laki, cucu
laki-laki dari anak laki-laki, ayah dan
sudara kandung.
5. Saudara laki-laki seibu: terhalang oleh
emapat orang, yaitu anak laki-laki dan anak
perempuan, cucu laki-laki dan cucu
perempuan dari anak laki-laki, ayah dan
kakek.
6. Anak laki-laki saudara kandung:
terhalang oleh enam orang, yaitu anak laki-
laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki,
ayah, kakek, saudara laki-laki kandung dan
saudara laki-laki seayah.
AKUNTANSI KEWARISAN
Ilmu farāiḍ erat hubungannya dengan perhitungan
(hisab), sebab sebagaimana defenisinya yaitu “ilmu
untuk mengetahui siapa yang menjadi ahli waris dan
bukan ahli waris serta bagian mereka masing-masing”.
Untuk bisa mengetahui bagian setiap ahli waris,
dibutuhkan ilmu perhitungan (hisab). Bila tidak, bisa
dipastikan akan terjadi kesalahan dan kekeliruan saat
menyelesaikan kasus-kasus kewarisan.
Dalam bab ini akan dijelaskan tata cara menetukan
asal masalah (aṣl al-mas‟alah) dan tasḥīiḥ mas‟alah,
sebab kedua perkara ini selalu dibutuhkan saat
berhadapan dengan penyelesaian kasus kewarisan.
A. Asal Masalah (aṣl al-mas’alah), metode dan
patokannya.
1. Pengertian Asal Masalah (aṣl al-mas’alah)
Asal masalah adalah bilangan yang paling kecil atau
kelipatan persekutuan terkecil, yang bisa diambil darinya
bagian para ahli waris secara benar tanpa ada bilangan
pecahan, dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan
perbedaan para ahli waris yang ada.58
2. Asal masalah dari farīḍah (bagian tetap).
Asal masalah yang telah disepakati oleh para ulama
farāiḍ ada tujuh. Yaitu: 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.59
Asal masalah ini berlaku jika dalam satu kasus
terdapat satu orang penerima bagian tetap (aṣhabul furūḍ),
atau lebih. Berbeda halnya jika yang ditinggalkan adalah
penerima bagian „aṣabah, maka asal masalahnya tidak ada
batasan, sebab mengikuti jumlah mereka („adadur ruus),
dengan ketentuan perempuan satu bagian dan laki-laki 2
bagian.
3. Metode dalam menentukan asal masalah.
Terdapat dua metode untuk bisa mendapat asal
masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Metode dengan melihat kepada ahli waris, baik itu
penerima „aṣabah atau bagian tetap (aṣḥābul
furuḍ) dan bagian mereka masing-masing, sebagai
berikut:
Kaidah pertama, masalah yang berhubungan
dengan penerima bagian „aṣabah dan asal
masalahnya masing-masing.
a) Jika penerima „aṣabah sendiri saja, maka tidak
perlu lagi mengeluarkan asal masalah, sebab
tidak ada orang lain yang bersamanya yang
mengambil harta waris. Contohnya jika
ditinggalkan ayah maka harta peninggalan
semua untuknya dan tidak perlu mencari asal
masalah lagi.
b) Jika terdapat banyak penerima „aṣabah, dan
mereka dari kelompok laki-laki, maka asal
masalahnya adalah dari jumlah mereka
(„adadur ruus). Contohnya jika seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris,
5 orang anak laki-laki, atau 5 saudara laki-laki,
maka asal masalahnya sudah jelas, yaitu
sesuai jumlahnya. Dimana setiap mereka
mendapat 1 bagian.
c) Jika terdapat banyak penerima „aṣabah, dan
mereka dari kelompok laki-laki dan
perempuan, penerima „aṣabah bil ghair. Maka
asal masalahnya adalah dari jumlah mereka
(„adadur ruus), dengan perhitungan laki-laki 2
bagian, dan perempuan 1 bagian. Sesuai
dengan kaidah laki-laki 2:1 dengan
perempuan. Contohnya jika ditinggalkan anak
laki-laki dan anak perempuan, asal masalahnya
adalah 3, dimana anak laki-laki mendapat 2
bagian dan anak perempuan 1 bagian. Contoh
lain, seseorang meninggal dunia, dan
meninggalkan ahli waris 1 orang saudara laki-
laki kandung dan 4 orang saudara perempuan
kandung, maka asal masalahnya adalah 6,
dimana bagian 1 orang saudara laki-laki
kandung adalah 2 dan 4 saudara perempuan
kandung bagiannya adalah 4, setiap 1 orang
dari mereka menerima 1 bagian, berlaku
ketentuan 2:1.
Kaidah kedua, masalah yang berhubungan
dengan penerima bagian tetap (aṣhabul furūḍ).
a) Jika penerima bagian tetap (aṣhabul furūḍ)
sendiri saja. Maka asal masalahnya adalah dari
bagian tetapnya ini , dengan melihat
maqām (penyebut) terkecil dari bagian tetap
tadi. Kemudian perhatikan, jika penerima
bagian tetap hanya sendiri tanpa ada „aṣabah,
maka penyebut terkecil dari bagian tetap
dijadikan sebagai asal masalah, sementara
sisanya nanti juga menjadi haknya melalui
jalur rad60. Contohnya jika yang ditinggalakan
adalah ibu, maka bagiannya 1/3, asal masalah
adalah 3 (bilangan terkecil dari penyebut
bagian tetapnya) dan sisa 2/3 bagian lagi juga
di berikan untuk ibu sebab merupakan
penerima rad (sisa). Artinya ibu mengambil
bagian tetap dan juga rad (sisa).
b) Jika penerima bagian tetap (aṣhabul furūḍ)
bersama dengan penerima „aṣabah, maka asal
masalah diambil dari maqām (penyebut)
terkecil dari bagian tetap dan sisanya diberikan
kepada penerima „aṣabah. Contohnya
seseorang meninggal dunia dan meinggalkan
ahli waris, istri dan anak laki-laki, maka
bagian istri adalah 1/8, anak laki-laki
mendapat „aṣabah binnafsi. Asal
masalahnya 8 (dari penyebut terkecil bagian
tetap), sehingga ibu mendapat 1/8 bagian
dan sisanya 7/8 diberikan untuk anak laki-laki.
Kaidah ketiga, masalah yang berhubungan
dengan banyaknya penerima bagian tetap (aṣhabul
furūḍ), baik di dalamnya terdapat penerima
„aṣabah atau tidak. Penyelesaianya adalah dengan
melihat jenis bagian tetap, jenis bagian tetap
terbagi kepada dua kelompok yaitu:
1) 1/2, 1/4 dan 1/8
2) 1/3, 2/3 dan 1/6.
Untuk mengetahui asal masalah dari dua
kelompok ini , adalah sebagai berikut:
1) Jika penerima bagian tetap berasal dari satu
kelompok, baik kelompok pertama (1/2, 1/4
dan 1/8) atau kelompok kedua (1/3, 2/3 dan
1/6), maka asal masalahnya adalah penyebut
(maqām) terbesar dari kelompok ini .
Contohnya ahli waris yang ditinggalkan adalah
anak perempuan, istri, dan saudara perempuan
kandung. Maka, anak perempuan mendapat
1/2, istri mendapat 1/8, dan saudara
perempuan mendapat „aṣabah maal ghair.
Jadi asal masalahnya adalah 8. Contoh lain
jika yang ditinggalkan adalah ibu, 2 saudara
perempuan kandung, dan 2 saudara perempuan
seibu. Maka, bagian ibu 1/6, 2 saudara
perempuan kandung 2/3, dan 2 saudara
perempuan seibu 1/3. Berarti asala masalahnya
adalah 6.
2) Jika penerima bagian tetap bercampur antara
dua jenis kelompok tadi, maka penentuan asal
masalahnya adalah sebagai berikut:
Patokan pertama, jika bagian 1/2 dari
kelompok pertama, berjumpa dengan
kelompok kedua (1/3, 2/3 dan 1/6), sebagian
atau seluruhnya, maka asal masalah adalah 6.
Contohnya, ahli waris yang ditingalkan adalah
suami, ibu dan 2 saudara perempuan seibu,
maka suami mendapat 1/2, ibu 1/6, dan 2
saudara perempuan seibu 1/3. Jadi, asal
masalahnya adalah
‘AUL
A. Pengertian ‘Aul
„Aul secara etimologi memiliki beberapa arti, di
antaranya: al-mailu „anil haq wa al-jaūr (kecenderungan
untuk takut dan tidak adil), al-ẓiyādah (bertambah), al-
irtifā‟ (naik/meluap), seperti dalam kata „āla al-māu izā
ẓāda wa irtafa‟a „an ḥaddihi (air yang naik jika ditambah
dan melampaui batasannya), dan „aul dalam farāiḍ yaitu
bertambahnya hitungan dalam farāiḍ dengan bertambah
sahamnya, maka berkuranglah bagian bagi ahli farāiḍ.61
Sedangkan „aul secara terminologi adalah
bertambahnya saham (bagian) masalah dari aslinya, yang
menjadikan berkurangnya bagian yang akan diterima oleh
ahli waris.62 Dikatakan „aul sebab dalam praktek
pembagian warisan, angka asal masalah harus
ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang
diterima oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil,
sebab apabila pembagian warisan diselesaikan menurut
ketentuan yang semestinya, maka akan terjadi kekurangan
harta.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 192,
disebutkan bahwa “Apabila dalam pembagian harta
warisan di antara ahli waris żawil furūḍ menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut,
maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagikan
secara „aul menurut angka pembilang”. Dengan demikian,
berarti tidak ada perbedaan antara defenisi terminologi
yang telah dirumuskan oleh para ulama farāiḍ dengan
kompilasi hukum islam di Indonesia.
B. Latar Belakang Terjadinya ‘Aul
Pada zaman Rasulullah saw. sampai dengan
kekhalifahan Abu Bakar, masalah „aul ini belum pernah
timbul.63 Ini berarti bahwa pada masa-masa ini
kemungkinan besar memang tidak didapati peristiwa
kematian dengan meninggalkan struktur kewarisan seperti
yang terdapat dalam masalah-masalah „aul. Atau boleh
jadi sebab pada masa-masa itu tidak ada kasus yang
menuntut penyelesaian secara „aul.64
Wajar kiranya kalau ijtihad ini baru muncul saat
kekhalifahan II di masa pemerintahan Khulafa al-
Rāsyidūn, sekaligus menandai bahwa kasus „aul
merupakan salah satu produk hukum yang dilahirkan
lewat ijtihad sahabat yang kemudian menjadi ijma‟ ulama
(fuqaha). Sehingga wajar pula jika di dalamnya terdapat
pro kontra terhadap masalah ini.
Para ahli hukum memperselisihkan siapa diantara
para sahabat yang pertama kalinya mempelopori
pembagian harta warisan secara „aul ini? Sebagian
mereka menyatakan bahwa orang yang pertama
memecahkan persoalan kewarisan dengan „aul ini adalah
Umar bin Khattab, sebagian lagi mengatakan Abbas bin
Abdul Muthalib, di lain pihak bahwa Zaid bin Tsabitlah
orangnya.
Pengarang kitab Al-Mabsuṭ menyatakan bahwa
orang yang pertama kali membicarakan tentang „aul ini
adalah Abbas. sebab sayyidina Abbas mengatakan
kepada Umar tentang suatu kejadian yang terdapat
lebihnya bagian waris daripada harta peninggalan.
Kemudian di „aulkanlah bagian-bagian mereka itu. Di lain
pihak dikatakan bahwa Ibnu Abbas ditanya seseorang:
“Siapakah yang pertama kali membicarakan „aul dalam
masalah farāiḍ? Ibnu Abbas pun berkata: “Sayyidina
Umar.”66 Hal itu beliau lakukan saat farḍ (bagian tetap)
yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah
banyak.
Bukanlah merupakan persoalan siapa diantara
mereka yang pertama kali menetapkan cara-cara „aul ini,
yang jelas kasus ini muncul di saat khalifah Umar
menjabat sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai
orang penentu, maka tepatlah kiranya kalau dikatakan
bahwa beliaulah orang yang pertama menyelesaikan kasus
„aul ini . Sebab dalam riwayat disebutkan bahwa
beliau pernah didatangi salah seorang sahabat yang
menanyakan penyelesaian suatu masalah “Seseorang
meninggal, meninggalkan waris-waris yang terdiri dari
seorang suami, dan dua orang saudara perempuan
kandung. Beliau kemudian bermusyawarah dengan Zaid
dan Abbas dengan perkataan: ”Jika kumulai dengan
memberikan kepada suami atau kepada dua orang saudara
perempuan, niscaya tidak ada hak yang sempurna bagi
yang lain.”
Yang demikian itu dimaksudkan dengan farḍ
(bagian tetap) suami sebanyak seperduanya, sedangkan
saudara perempuan dua pertiga. Kalau dibagikan sesuai
farḍ (bagian tetap) mereka, harta warisan tidak akan
cukup sebab lebih dari satu. Padahal harta warisan selalu
dipandang sebagai satu kesatuan. Dalam
permusyawarahan itu, kemudian Abbas mengatakan
dengan: ξήϔϟ ϮϠϴϋ („aulkan Faraiḍ), artinya berikan
sesuai dengan jumlah saham yang mereka punya,
meskipun asal masalah menjadi berkurang. Lantas
khalifah Umar memutuskan permasalahan ini
dengan cara meng‟aulkan yang semula masih beliau
ragukan. Dari latar belakang terjadinya „aul ini dapat
ditarik suatu pengertian bahwa:
1. Kasus „aul ini terjadi di kekhalifahan II masa-masa
Khulafa al-Rasyidun, disebabkan tidak pernah
munculnya persoalan dimaksud di masa Nabi dan
khalifah Abu Bakar. Sebab seandainya ini terjadi,
pastilah ada keterangan ataupun hadits Nabi saw. yang
berkenaan dengan masalah penyelesaian kasus
ini , dan ada kemungkinan pula Abu Bakar
menerapkan persoalan ini di masa pemerintahan
beliau. Sementara „aul itu sendiri merupakan satu
diantara produk hukum dari hasil ijtihad.
2. Kasus „aul yang pertama kali terjadi adalah asal
masalah 6 „aul ke 7, sebab warisnya terdiri dari
seorang suami dan dua orang saudara perempuan
kandung, yang masing-masing memiliki farḍ (bagian
tetap) 1/2 dan 2/3.
C. Perselisihan Pendapat Tentang ‘Aul
Dengan memperhatikan uraian mengenai latar
belakang terjadinya „aul, khalifah Umar menyelesaikan
kasus ini dengan cara memperbesar asal masalahnya
yang mengakibatkan berkurangnya bagian yang harus
diterima para waris, seperti dalam kasus pertamanya
seorang suami yang berhak 1/2 harta warisan, justru
hanya bisa mendapat sebesar 3/7 nya saja dari seluruh
harta warisan. Begitu juga dengan dua orang saudara
perempuan kandung yang hanya mendapat 4/7,
padahal sebelumnya ia memiliki farḍ 2/3.
Hasil penyelesaian yang diterapkan ini, kemudian
menjadi perbincangan para fuqaha khususnya di masa itu,
dan bahkan telah menjadi satu diantara masalah-masalah
yang diperselisihkan secara meluas di kalangan mereka.68
Dalam artian telah terjadi pro dan kontranya sebagian
mereka dalam menanggapi masalah demikian. Ini dapat
dilihat pada alasan yang dikemukakan dengan para
pelopor serta pendukungnya masing-masing, yang pada
prinsipnya terdapat dua kelompok besar, yakni:
1. Ibnu Abbas menyatakan bahwa pada lahirnya, ayat-
ayat kewarisan itu telah menjelaskan furūḍul
muqaddarah (bagian tetap) secara sempurna, sebab
itu setiap aṣhab (ahli waris) haknya harus dipenuhi
selagi keadaan memungkinkan, jika tidak, maka hak
sebagian waris, seperti anak-anak perempuan atau
saudara perempuan hendaknya tidak dipenuhi
RAD
A. Pengertian Rad
Rad secara etimologi memiliki beberapa makna, di
antaranya: al-ṣarfu (pertukaran), al-irjā‟u (pengembalian),
al-i‟ādah (penambahan), al-rafḍu (penolakan) dan al-
man‟u (pencegahan).69
Sementara rad secara terminologi adalah
kebalikan dari „aul, yaitu berkurangnya jumlah saham
(bagian) ahli waris dan bertambahnya asal masalah
waris.70 Atau rad adalah mengembalikan apa yang tersisa
dari bagian tetap (aṣhāb al-furuḍ) kepada mereka sesuai
dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada
aṣhab al-„aṣabah (penerima sisa).71
B. Pendapat Ulama Tentang Rad
Tidak ada naṣ khusus yang terdapat dalam al-
Qur‟an dan al-hadiṡ tentang rad. sebab itu, para sahabat,
tabi‟in dan para imam mazhab fikih berbeda pendapat
tentangnya. Perbedaan mereka dapat dikelompokkan
menjadi dua, sebagaimana pembahasan berikut ini.
1. Pendapat Zaid bin Ṡabit, Urwah, az-Zuhri, Imam
Malik, Imam Syafi‟i dan Ibnu Ḥazmin al-Żāhirī,
bahwa tidak ada rad dalam waris mewarisi dan harta
yang tersisa sesudah diambil oleh penerima bagian
tetap (aṣhāb al-furuḍ), diserahkan ke baitul mal.
Alasan mereka adalah Allah telah menetapkan
setiap bagian tetap (aṣhāb al-furuḍ) kepada seluruh
ahli waris. Oleh sebab itu tidak boleh ditambah
dengan bagian yang lain, sebab merupakan perbuatan
yang melampaui batas terhadap ketentuan Allah.
Dimana sesudah menerangkan bagian untuk aṣhāb al-
furuḍ, Allah berfirman dalam surah an-Nisa‟ ayat 13
dan 14, sebagai berikut:
(Hukum-hukum ini ) itu adalah ketentuan-
ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. dan Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal
di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Dan Rasul juga bersabda sesudah turun ayat waris,
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap
orang yang memiliki hak akan hartanya”73
Ayat dan hadiṡ di atas menunjukkan bahwa
barangsiapa yang melampaui batas yang telah
disyariatkan dan terhadap bagian yang telah ditetapkan,
akan mendapat sanksi keras. Setiap perbuatan yang
ada sanksi adalah haram. Oleh sebab nya, rad haram
dan tidak boleh dilakukan. Sehingga sisa harta sesudah
diambil oleh penerima bagian tetap (aṣhabul furūḍ),
jika tidak terdapat „aṣabah (penerima sisa)
dikembalikan kebaitul mal.
2. Pendapat Jumhur Shabat dan tabi‟in yang terdiri dari
Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Usman bin
„Affan, dan „Abdullah bin Mas‟ud, demikian juga
mazhab Hanafiyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa
Sisa sesudah dambil oleh penerima bagian tetap
(aṣhābul furūḍ), jika tidak ada „aṣabah maka
dikembalikan kepada aṣhābul furūḍ sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.
Alasan mereka adalah firman Allah surah al-Anfal
ayat 75:
orang-orang yang memiliki hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat.
Ayat ini memiliki makna umum, yaitu setiap
orang yang terikat dengan hubungan rahim lebih
utama untuk menerima warisan daripada yang lain.
Dengan demikian, mereka berhak mengambil sisa dari
harta waris.
Alasan lain yang dijadikan landasan pendapat
jumhur ulama adalah, „aṣhābul furūḍ (penerima
bagian tetap) lebih berhak daripada baitul mal, sebab
posisi „aṣhābul furūḍ lebih kuat dengan dua keadaan,
yaitu hubungan kekerabatan dengan agama dan nasab.
Sementara menyerahkan sisa kebaitul mal itu hanya
sebab satu sebab, yaitu kekerabatan dengan agama.
Sehingga sisa bagian sesudah diambil oleh penerima
bagian tetap lebih berhak dan utama diberikan kepada
mereka penerima bagian tetap („aṣhābul furūḍ)
daripada ke baitul mal.
C. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Rad.
Meskipun sebagian ulama sepakat mengenai rad
yaitu saat terdapat sisa harta, dikembalikan kepada
„aṣhābul furūḍ jika tidak ada penerima „aṣabah, akan
tetapi mereka berbeda pendapat mengenai „aṣhābul furūḍ
mana saja yang berhak untuk menerima sisa sesudah
mereka mengambil bagiannya ini . Terbagi kepada
empat pendapat para ulama, yaitu:
1. Pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
jumhur sahabat dan tabi‟in, Hanafiyah, Hanābilah dan
ulama-ulama Syafi‟iyyah generasi berikutnya, bahwa
sisa harta rad tidak diserahkan kecuali kepada
„aṣhābul furūḍ secara nasab, dan tidak boleh
diserahkan untuk „aṣhābul furūḍ sebab sabab (sebab)
yaitu suami atau istri.75
Pendapat ini berdaskan surah al-anfal ayat 75,
“orang-orang yang memiliki hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat.”. oleh sebab nya,
suami dan istri dapat mewarisi bukan sebab nasab,
melainkan sebab sebab perkawinan, dan ini terputus
jika salah seorang diantara mereka meninggal dunia.
75 Komite Fakutas Syari‟ah Universitas Al-Azhar, Fiqh Al-
Mawarits…h, 268.
50
Sehingga jika mereka mewarisi berarti menyalahi
qiyas naṣ. sebab itu, bagian warisan untuk suami dan
istri hanya apa yang ada dalam naṣ, dan tidak ada
pengembalian sisa kepada mereka sebab tidak ada
dasarnya. Berbeda halnya dengan pewarisan sebab
sebab nasab, tentu akan tetap kekal walaupun ahli
waris telah meninggal dunia. Sehingga, tidak ada
alasan untuk tidak memberikan sisa bagian bagi ahli
waris sebab nasab untuk mewarisi dengan jalur rad
disebabkan mereka lebih berhak mewarisi daripada
orang lain.
2. Pendapat Usman bin „Affan bahwa pengembalian sisa
diserahkan kepada seluruh penerima bagian tetap
(aṣhābul furūḍ) tanpa terkecuali. Beliau beralasan
bahwa suami atau istri juga menanggung kekurangan
pada bagian mereka saat terjadi kasus „aul, mereka
juga wajib menerima tambahan saat ada
pengembalian sisa, sebab memberikan utang pasti
selalu ada pengembaliannya.76
3. Pendapat Ibnu „Abbas, bahwa pengembalian sisa rad
diserahkan kepada aṣhābul furūd selain suami istri
dan nenek, jika nenek bersama dengan penerima
bagian tetap yang memiliki hubungan kekerabatan
sebab nasab. Jika tidak ada, nenek bisa mendapat
pengembalian sisa melalui jalur rad. Dalil yang
digunakan ibnu Abbas adalah sabda Rasul saw. “Beri
makanlah para nenek dengan bagian seperenam
(1/6)”. Sehingga nenek tidak boleh mendapat
bagian lebih dari yang ditetapkan, kecuali jika
76 Komite Fakutas Syari‟ah Universitas Al-Azhar, Fiqh Al-
Mawarits…h, 266.
51
BAB X
GHARRAWAIN DAN MUSYTARAKAH
A. Gharrawain dan Pembahasannya.
1. Pengertian Gharrawain
Lafaż gharrawain adalah bentuk taṡniyyah dari
lafaż gharra yang berarti cemerlang, gharrawain berarti
dua hal yang cemerlang, yaitu dua masalah waris yang
sangat popular seperti bintang yang bersinar terang
benderang.77
Gharrawain disebut juga dengan gharibatain,
sebab kedua hal ini sangat jarang ditemukan dalam kasus
waris, juga disebut dengan gharimatain, sebab setiap istri
bagaikan orang yang berhutang, dan ayah bagaikan ahli
waris yang mengambil bagian lebih dari bagian waris
mereka. Disebut juga dengan Umariyatain, sebab Umar
bin Khattab, orang pertama yang memutuskan bagian
untuk ibu dalah 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh suami
atau istri. Kemudian hal ini disepakati oleh jumhur
sahabat, dan ulama-ulama sesudah nya.78
2. Pembagian Gharrawain.
Kasus Gharrawain ini hanya terjadi dalam 2 (dua)
kemungkinan saja, yaitu:79
1. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya
meninggalkan ahli waris:
1) Suami
2) Ibu, dan
77 Muhammad bin Muhammad Sabṭ al-Mārdīnī al-Syafi‟ī,
Ṣyarah Rahbiyyah Fi al-Farāiḍ…, h. 62
78 Muhammad bin Muhammad Sabṭ al-Mārdīnī al-Syafi‟ī,
Ṣyarah Rahbiyyah Fi al-Farāiḍ…, h. 62
79 Naṣhir bin Muhammad Bin Musyarī al-Ghāmidī, al-
Khullaṣah Fi „Ilmi al-Faraiḍ,... h. 198.
52
3) Ayah.
2. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya
meninggalkan ahli waris:
1) Istri
2) Ibu, dan
3) Ayah.
Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang
tinggal disini adalah ahli waris yang tidak terhijab, sebab
boleh jadi ahli waris yang lain masih ada, akan tetapi
mereka terhijab oleh ayah.
Jadi apakah sesuatu kasus warisan itu merupakan
kasus gharrawain atau tidak, dapat diketahui sesudah
menentukan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dari
si pewaris, kemudian siapa-siapa yang terhijab, dan
ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat waris
hanyalah (terdiri dari), suami, ibu dan ayah atau istri, ibu,
dan ayah.
Apabila ternyata ahli waris yang berhak
mendapat warisan hanya terdiri dari suami, ibu dan
ayah atau istri, ibu, dan ayah, maka dapat dipastikan
bahwa persoalan kewarisan ini adalah persoalan
yang khusus (istimewa) yang diistilahkan dengan
Gharrawain.
3. Cara Penyelesaian Gharrawain.
Adapun cara penyelesaian kasus dalam masalah
gharrawain, tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus
kewarisan pada umumnya, sebab apabila diselesaikan
secara biasa maka hasilnya sebagai berikut:
Contoh Kemungkinan Pertama, dimana dalam
sebuah kasus yang ditinggalkan oleh pewaris adalah
suami, ibu dan ayah.
53
Ahli Waris Bagian 6
Suami 1/2 3
Ibu 1/3 2
Ayah „Aṣabah binnafsi 1
Jika melihat pada penyelesaian kasus di atas, maka
disitu dijumpai kejanggalan yaitu bagian ibu lebih besar
atau 2:1 dari pada bagian ayah, sehingga hal ini tidak
sesuai dengan kaidah al-Qur‟an “bagian laki-laki 2:1 dari
pada bagian perempuan”, artinya seharusnya ayah
mendapat 2 bagian dan ibu mendapat 1 bagian.
Justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Maka menyikapi hal ini , khusus untuk kasus
ini, Umar memutuskan dengan memberikan bagian untuk
ibu 1/3 dari sisa harta sesudah diambil oleh suami. Dengan
demikian, penyelesaiannya adalah sebagi berikut:
Ahli Waris Bagian 6
Suami 1/2 3
Ibu 1/3 dari Sisa 1
Ayah „Aṣabah binnafsi 2
Keterangan: suami mendapat bagian 1/2, ibu 1/3 dari
sisa harta sesudah diambil oleh suami, dan ayah
mendapat bagian „aṣabah (sisa), penyebut 2 dan 3
merupakan bentuk tabayun, maka untuk mendapat
asal masalah dikalikan keduanya 2x3=6 (menjadi asal
masalah). Kemudian bagian suami 1/2x6=3, bagian
ibu 1/3 dari sisa setalah diambil oleh suami, berarti 6-
3=3 (sisa), jadi bagian ibu adalah 1/3x3 (sisa)=1,
sedangkan bagian ayah adalah mengambil seluruh sisa
yang ada sesudah diambil oleh suami dan ibu yaitu 2
bagian.
Contoh Kemungkinan Kedua, seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan ahli waris istri, ibu dan ayah.
54
Ahli Waris Bagian 12
Istri 1/4 3
Ibu 1/3 4
Ayah „Aṣabah binnafsi 5
Penyelesaian kasus di atas, juga menunjukkan
bahwa bagian yang diperoleh oleh ibu lebih besar dari
ayah sebab patokan yang digunakan dan ini dalam
al-Qur‟an bagian ayah itu jika pewaris tidak
meninggalkan anak, yang ada hanya ayah dan ibu, disitu
ibu dapat 1/3 sedangkan ayah dapat sisa 2/3 atau dengan
perbadingan bagian ayah 2:1 dengan bagian ibu.
Menyikapi hal ini , Umar juga memutuskan
dengan memberikan bagian untuk ibu 1/3 dari sisa harta
sesudah diambil oleh istri. Dengan demikian,
penyelesaiannya adalah sebagi berikut:
Ahli Waris Bagian 12
Istri 1/4 3
Ibu 1/3 dari Sisa 3
Ayah „Aṣabah binnafsi 6
Keterangan: penyebut (maqām) setiap ahli waris
adalah 4, dan 3, merupakan bentuk tabayun, maka asal
masalahnya 12. Bagian istri 1/4x12=3, jadi sisanya
adalah (12-3=9), ibu mendapat bagian 1/3 dari sisa
sesudah diambil oleh istri, yaitu 1/3x9=3, dan ayah
mendapat sisa 6. Disini, diketahui bahwa bagian
ayah dan ibu sudah sesuai dengan aturan al-Qur‟an.
Perlu diingat, bahwa untuk memudahkan dalam
penyelesaiannya, tempatkan suami atau istri di tempat
yang paling atas, sebab 1/3 dari sisa merekalah (sesudah
dikeluarkan bagian mereka) untuk bagian ibu.
55
Apabila dalam sebuah kasus, istri lebih dari satu,
maka akan mengakibatkan perbandingan jumlah waris
(istri) dengan jumlah bagian yang mereka peroleh tidak
akan pas (pecahan), maka untuk penyelesaiannya haruslah
di taṣḥīh (mencari asal masalah baru yang tidak
memunculkan bilangan pecah saat dibagi dengan
jumlah ahli waris).
Contohnya, ahli waris yang ditinggalkan adalah 4
istri, ibu dan ayah. Harta yang ditinggalkan 240 juta.
Ahli Waris Bagian 12x4 48
4 Istri 1/4 3 12
Ibu 1/3 dari Sisa 3 12
Ayah „Aṣabah binnafsi 6 24
Keterangan: penyebut (maqām) setiap ahli waris
adalah 4, dan 3, merupakan bentuk tabayun, maka asal
masalahnya 12. Bagian istri 1/4x12=3, jadi sisanya
adalah (12-3=9), ibu mendapat bagian 1/3 dari sisa
sesudah diambil oleh 4 istri, yaitu 1/3x9=3, dan ayah
mendapat sisa 6. Oleh sebab bagian istri adalah 3
dan mereka berjumlah 4 orang maka 3 jika dibagikan
untuk 4 orang menghasilkan bilangan pecah. Sehingga
perlu di taṣḥīh, dengan cara mengalikan asal masalah
12 dengan jumlah mereka („adadur ruus), 12x4=48
(asal masalah baru), kemudian 4 dikalikan dengan
semua bagian ahli waris. 4 orang istri, 4x3=12 setiap
satu orang dapat bagian 3. Bagian ibu, 3x4=12. Dan
bagian ayah 6x4=24.
Kadar satu bagian =harta:asal masalah
=240 juta:48 =5 juta.
Bagian 4 istri = 12x5 juta = 60 juta
Bagian ibu = 12x5 juta = 60 juta
56
Bagian ayah = 24x5 juta = 120 juta
Jumlah 240 juta
Jadi, Setiap 1 istri dapat 15 juta.
4. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Gharrawain.
Setidaknya ada tiga pendapat ulama terhadap
kasus ini, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat Umar bin Khattab, jumhur sahabat, dan
empat imam mazhab, dan para ulama generasi
selanjutnya, bahwa jika dalam sebuah kasus terdiri
dari suami atau istri, ayah dan ibu, maka bagian ibu
tidak mengambil 1/3 bagian dari harta waris, akan
tetapi 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh suami atau
istri.
Alasan dari pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah dalam surah an-Nisa‟ ayat
11:
jika orang yang meninggal tidak memiliki anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; ...(Q.S.An-Nisa‟: 11)
Dari ayat di atas jelas bahwa, ayah dan ibu
jika hanya berdua dalam mewarisi, maka ibu
mendapat bagian 1/3 dan ayah sisa 2/3 yaitu
bagian ibu setengah dari bagian ayah (2:1).
Kedua, kaidah waris yaitu jika berkumpul laki-laki
dan perempuan dalam satu kasus dan derajat mereka
dinisbatkan kepada pewaris sama dekatnya. Maka,
bagian laki-laki dua kali lebih besar dari perempuan.
Jika diberikan kepada ibu 1/3 bagian secara
KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA
A. Pengertian Kakek dan Saudara.
Makna kakek dalam hukum waris terbagi dua
macam, yaitu:
1