• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kitab kuning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kitab kuning. Tampilkan semua postingan

kitab kuning






Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam per-
jalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktif-
itas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati posisi yang vital dan 
“sedikit” menggeser posisi al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rujukan utama dalam 
setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk 
kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami 
al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemunculan dan perkembangan madzhab fiqh, diakui 
atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning yang telah mendokumen-
tasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madzhab fiqh. Merebaknya tradisi 
ikhtishār, sharh dan hāsyiyah,1 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas 
ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi.   
Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning 
tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam 
tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian 
dari madzhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa 
diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara 
tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “dok-
trin” bermadzhab di kalangan umat Islam pada umumnya. Artikel ini akan menge-
tengahkan posisi kitab kuning tadi dalam legislasi hukum Islam, mulai dari awal 
perjalanannya hingga sekarang.  
B. Sekilas tentang Kitab Kuning 
Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di Indonesia, terutama 
di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama 
Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, 
seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku ter-
sebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al-mu’tabarah (buku-buku yang 
layak dipelajari dan dipedomani). Adapun label “kuning” dalam termonologi ter-
sebut lebih disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan 
kertas berwarna kuning. 
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermadz-
hab Syāfi‘ī. Persoalan mengapa hanya bermadzhab Syāfi‘ī, itu berkait erat dengan 
proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad-abad awal Hijriyah atau abad 
ke-7 dan ke-8, para pedagang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang 
dan menyebarkan agama Islam mula-mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau 
Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan 
lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.2 Harus diingat, 
para pedagang kaum sufi tersebut rata-rata bermadzhab fiqh Syāfi‘ī. Ibn Bathūtah 
(W. 1378), tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfah al-Nadhdhār fī Gha-
rā’ib al-Amshār wa ‘Ajā’ib al-Asfār atau Rihlah Ibn Bathūtah (Ekspedisi Ibn Bathū-
tah),3 ketika pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagum-kagum 
kepada Sultan Malik al-Zāhir, seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam 
berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam madzhab Syāfi‘ī. 
Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis 
dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas bermadzhab Syāfi‘ī.4 Tersebarnya 
Islam, sekaligus madzhab Syāfi‘ī, tidak lepas dari anggota-anggota komunitas 
Muslim di atas yang turut melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam, hingga 
terus meluas keseluruh wilayah Nusantara. Termasuk di antara mereka adalah 
Maulana Malik Ibrahim, salah seorang “wali songo” yang dipercaya telah meng-
islamkan sebagian wilayah pesisir utara pulau Jawa.5 
Demikianlah, madzhab Syāfi‘ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menye-
bar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madzhab 
 
Syāfi‘ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madzhab yang lain. Pertama, jaringan 
intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama-ulama yang 
bermadzhab Syāfi‘ī. Kedua, letak geografis yang begitu jauh dengan tempat asal 
dan pusat madzhab Syāfi‘ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkem-
bangan madzhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum 
Islam kemadzhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan 
masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madzhab Syāfi‘ī sendiri, terdapat 
aturan main yang ketat dalam bermadzhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak 
memiliki kemampuan bermadzhab (al-‘āmī) diwajibkan ber-taqlīd kepada salah 
satu dari madzhab empat (madzāhib arba‘ah). Selain empat madzhab tersebut tidak 
boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dan sistematis (lam 
yudawwan). Selain itu, pindah madzhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang 
tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu (1) talfīq, yakni menggabung 
dua madzhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, (2) tatabbu‘ al-rukhas, mencari-
cari pendapat yang ringan.6 Hanya saja, perpindahan madzhab kemudian terkesan 
negatif, manakala dihubungkan dengan “doktrin” kemadzhaban bahwa, misalnya, 
bermakmum kepada seorang bermadzhab Hanafī yang telah menyentuh lawan 
jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madzhab Syāfi‘ī, menyentuh lawan jenis 
yang bukan mahram bisa membatalkan wudlu’. Persoalan bahwa orang tersebut, 
berdasarkan ketentuan madzhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk per-
hitungan.7 Tiga faktor inilah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab 
kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadzhab 
Shāfī‘ī. 
C. Kitab Kuning dalam Legislasi Hukum 
Perjalanan sejarah kitab kuning dalam legislasi hukum Islam di Indonesia bisa 
dibedakan menjadi dua periode. Pertama, periode ketika kitab kuning menjadi sum-
ber hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa, dan, kedua, periode 
ketika ia menjadi sumber material hukum nasional. Peralihan dari periode pertama 
ke periode kedua dimulai ketika UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 diberlakukan, 
dan semakin berlanjut ketika, pada 1991, Kompilasi hukum Islam (KHI) diinstruk-
sikan oleh Presiden RI agar disebarluaskan. Peralihan tersebut, bisa dikatakan, me-
nandakan dimulainya era pembaruan hukum Islam di Indonesia, dari sistem hukum 
tradisional menuju sistem hukum modern.
Dari dua periode di atas, yang akan mendapat porsi pembahasan lebih banyak ada-
lah periode pertama, sebab periode kedua baru berlangsung sekitar dua dekade. 
Akan tetapi, agar lebih mudah, sistematika penuturannya diklasifikasikan sebagai 
berikut. Periode pertama dan kedua digabung dan dipecah menjadi empat masa. 
Pertama, periode 1200-1800 M., yaitu mulai dari masa ketika pengaruh Islam di 
Nusantara mulai nyata9 hingga masa ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai 
menjajah bumi Indonesia, setelah sebelumnya, lewat kekuasaan VOC, hanya 
melakukan transaksi dagang dan lambat-laun berkembang menjadi monopolistik. 
Kedua, periode 1800-1045 M., yaitu masa penjajahan Belanda. Ketiga, periode 
1945-1974 M., yaitu era kemerdekaan hingga diundangkannya UU Perkawinan no. 
1 tahun 1974. Keempat, periode 1974 M. hingga sekarang. 
~Periode 1200-1800 M.  
Tadi telah disinggung bahwa sejak kali pertama Islam masuk ke Indonesia, aspek 
hukumnya menganut madzhab Syāfi‘ī. Temuan Ibn Bathūtah, saat berkunjung ke 
Kerajaan Pasai pada 1345 M., bahwa kehidupan hukum penguasa dan masyarakat-
nya beraliran Syāfi‘ī, secara tegas, membuktikan bahwa fiqh Syāfi‘ī telah dijadikan 
sumber hukum formal negara ketika itu. Kalau Mark Cammack menyatakan bahwa 
lembaga peradilan agama telah ada sejak abad ke-16, yaitu forum pengadilan 
“Serambi Masjid” bermadzhab Syāfi‘ī yang ditangani oleh penghulu atau kepala 
administrasi masjid,10 maka, menurut hemat penyusun, berdasarkan bukti temuan 
Ibn Bathūtah tadi, lembaga peradilan agama justru telah ada sejak abad ke-14. 
Pada abad ke 17 M., di Aceh, ketika Sultan Iskandar Muda (W. 1636) mulai 1607-
1636 M. memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, Nuruddin al-Raniri (W. 1658), 
salah seorang ulama terkemuka ketika itu, menulis sebuah buku fiqh madzhab Syā-
fi‘ī yang dia beri judul al-Shirāt al-Mustaqīm. Buku yang selesai ditulis pada 1628 
M. ini kemudian disebarluaskan dan menjadi pegangan umat Islam di Aceh dan 
wilayah-wilayah lain di Nusantara.11 Buku ini memang hanya memuat penjelasan 
sederhana tentang hukum fiqh dasar, misalnya tentang tata cara ibadah salat, puasa 
dan lain-lain. Namun, pengaruhnya tentu sangat besar terhadap penyebaran fiqh 
madzhab Syāfi‘ī di Nusantara, terutama di kalangan masyarakat Aceh sendiri. 
Pengaruh tersebut bisa dilihat, misalnya, pada besarnya perhatian Sultan Iskandar 
Muda yang besar terhadap agama serta hubungannya yang dekat dengan ulama. 
Buktinya, dia menyusun sebuah kitab undang-undang tentang tata pemerintahan 
yang didasarkan kepada ajaran syari‘ah Islam, atau, lebih khusus lagi, fiqh madzhab 
Syāfi‘ī. Undang-undang ini kemudian diberi nama Adat Makuta Alam.12 Berdasar-
kan hal itu, menjadi sangat logis bila lembaga “Peradilan Serambi” yang telah ada 
sejak lama tidak luput dari perhatian yang besar tersebut. 
Salah satu wilayah lain di Indonesia yang menerapkan buku al-Shirāt al-Mustaqīm 
karya al-Raniri adalah Banjarmasin, yaitu ketika Sultan Tahmidullah II (W. 1806) 
mulai 1778-1806 M. memerintah Kerajaan Banjar. Sebelum Sultan Tahmidullah II 
berkuasa, hukum Islam belum melembaga di Kerajaan Banjar. Semuanya berubah 
setelah kedatangan Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812) dari Mekkah pada 
1779 M. Tokoh ini, oleh Sultan Tamidullah II, langsung diangkat menjadi penasi-
hat Kerajaan di bidang pemerintahan.
Pada 1779 M., Sultan Tahmidullah II meminta kepada Muhammad Arsyad al-Ban-
jari supaya menyusun sebuah buku fiqh Syāfi‘ī dalam bahasa Melayu Kesultanan 
Banjar, mengingat buku al-Shirāt al-Mustaqīm karya Nuruddin al-Raniri sarat 
dengan istilah berbahasa Aceh, sehingga agak sulit dipahami oleh rakyat Banjar-
masin. Muhammad Arsyad al-Banjari pun memenuhi permintaan Sultan tersebut 
dan segera menyusun sebuah buku yang dirangkum dari beberapa buku fiqh klasik 
madzhab Syāfi‘ī, seperti Tuhfah al-Muhtāj karya ibn Hajar al-Haytamī (w. 1567), 
Mughnī al-Muhtāj karya Muhammad al-Sharbīnī al-Khatīb (w. 1569) dan Nihayāh 
al-Muhtāj karya Syams al-Dīn al-Ramlī (w. 1595). Buku yang selesai disusun pada 
1781 M. dan diberi judul Sabīl al-Muhtadīn serta merupakan syarh dari buku al-
Shirāt al-Mustaqīm tersebut lalu disebar-luaskan dan dijadikan sebagai literatur 
pokok, terutama dalam bidang pengajaran keilmuan.14  
Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah tokoh yang sangat berperan dalam 
pembentukan lembaga peradilan agama yang bernama “Mahkamah Syar‘iyyah” di 
Banjarmasin. Bahkan, hukum Islam yang diberlakukan tidak hanya hukum keluarga 
saja, melainkan juga hukum pidana, seperti hukum zina, pencurian dan status mur-
tad (riddah). Berkat kharisma intelektual-sosial Muhammad Arsyad al-Banjari, 
hukum Islam khususnya madzhab Syāfi‘ī, berhasil masuk ke istana, berkembang di 
masyarakat dan mengkristal menjadi hukum adat Banjarmasin.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah hukum acara seperti apa yang diperguna-
kan oleh para hakim Pengadilan Agama saat itu? Jawaban dari pertanyaan ini adalah 
bahwa, dalam kitab kuning, sebenarnya ada ketentuan yang mengatur hukum acara 
pengadilan. Biasanya, ketentuan tersebut dituturkan dalam pembahasan menjadi 
pengadilan (qadlā`), persaksian (syahādah) serta gugatan dan bukti (da’wā wa 
bayyinah). Misalnya, dalam bab qadlā’, disebut bahwa jabatan hakim hanya boleh 
dijabat oleh orang yang memiliki kemampuan berijtihad, dalam arti mampu mema-
hami al-Qur’an, al-Hadth, qiyās beserta percabangannya, ilmu bahasa dan sastra 
Arab, pendapat para ulama dan ilmu pengenai para periwayat hadith (ahwāl al-
ruwāh). Jika tidak ada seorang pun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka 
staf pemerintah yang berdaulat (sulthān dzū syawkah), meski tidak memiliki ke-
mampuan berijtihad, asalkan beragama Islam dan bermoral baik, bisa menjabat 
sebagai hakim.16 Ketika mengadili dua orang yang bersengketa, hakim harus ber-
laku adil terhadap keduanya. Gugatan pihak penggugat dan pembelaan pihak ter-
gugat harus sama-sama dihargai dan didengarkan.
Dalam hal pembuktian pun, 
hakim harus memperlakukan keduanya secara seimbang, baik melalui persaksian 
maupun alat-alat bukti lain.18 Selain itu, ketika berhadapan dengan perbedaan pen-
dapat para ulama (ikhtilāf aqwāl al-‘ulamā’), maka, dalam hal mekanisme peng-
ambilan keputusana tau tarjīh-nya, hirarkinya adalah sebagai berikut: 
1. Pendapat yang disepakati oleh Muhy al-Dīn al-Nawawī (w. 1277) dan ‘Abd 
al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1227). [Dua orang tokoh ini, dalam madzhab Syāfi‘ī, 
disebut sebagai “dua begawan” (syaykhān). Keduanya mungkin bisa diana-
logikan dengan Muhammad al-Bukhārī (w. 870) dan Muslim (w. 865) dalam 
ilmu hadith]. 
2. Pendapat yang dikemukakan atau yang disetujui oleh al-Nawawī. 
3. Pendapat yang dilontarkan atau yang disetujui oleh al-Rāfi‘ī.  
4. Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama Syāfi‘iyyah, atau kalau 
tidak ada, oleh ulama yang lebih wara’ (bisa menjaga diri).19 
Akan tetapi, ketentuan hukum acara di atas nampaknya masih menyisakan persoal-
an. Literatur fiqh begitu banyak dan perbedaan pendapat yang ada terhitung rumit, 
sehingga mekanisme pengambilan keputusan seringkali perlu menempuh proses 
pemikiran dan perdebatan yang panjang. 
Pada zaman kekusaan VOC, yaitu mulai 1602-1800 M., hukum Islam di Nusantara, 
dengan kitab kuning sebagai literatur pokoknya, tetap diakui dan berjalan seperti 
biasa. Awalnya, VOC berupaya meminggirkan peran peradilan agama dengan cara 
membentuk lembaga-lembaga peradilan yang menerapkan hukum Belanda. Na-
mun, ternyata semuanya tidak efektif. Gairah umat Islam untuk menerapkan ajaran 
agamanya teramat kuat. Lebih-lebih, mereka sudah mulai tidak menyukai keberada-
an VOC yang monopolistik serta sering menyebutnya sebagai “kapir londo”.20 
Menghadapi kenyataan itu, terpaksa VOC mengambil langkah akomodatif. Dike-
luarkanlah Statuta Batavia 1642 M. yang menegaskan bahwa sengketa kewarisan 
antara orang-orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mem-
pergunakan hukum Islam yang berlaku di kalangan mereka. Untuk keperluan itu, 
D. W. Freijer diminta menyusun sebuah ringkasan (compendium) hukum perkawin-
an dan pewarisan Islam, yang nantinya terkenal dengan judul Compendium Freijer. 
Setelah disempurnakan oleh para penghulu, ringkasan ini dipergunakan oleh penga-
dilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara umat Islam di daerah-dae-
rah kekuasaan VOC.21 Selain itu, di Semarang, disusunlah buku Mogharraer yang 
merupakan kumpulan hukum pidana. Buku ini diasumsikan sebagai berasal dari 
buku al-Muharrar karya ‘Abd al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1226).22 Dari data ini, nampak 
bahwa hukum pidana Islam masih diterapkan di Nusantara. 
Semua ini ditempuh dalam rangka meraih simpati umat Islam. Dominasi ekonomi 
dan politik sudah pasti akan terancam, apabila cara yang ditempuh bersifat konfron-
tatif terhadap umat Islam. Langkah-langkah akomodatif, sebagai bagian dari 
strategi politik, seperti yang juga diterapkan oleh Hindia Belanda pada masa ber-
ikutnya, menjadi logis dilakukan. 
~Periode 1800-1945 M.  
Tentang sikap pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap hukum Islam di 
kalangan masyarakat, Isma‘il Sunny membuat periodisasi yang cukup baik serta 
sangat membantu pemahaman kita. Menurutnya, ada dua periode, yaitu, pertama, 
periode penerimaan hukum Islam secara penuh (1800-1919 M.), yakni ketika 
kebijaksanaan Pemerintah Belanda dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu 
rumusan L.W. C. Van den Berg (w. 1927). Kedua, periode penerimaan hukum Islam 
melalui kacamata hukum adat, yaitu ketika teori Reteptie rumusan C. Snouck 
Hurgronje (w. 1936) menggeser teori Reteptio in Complexu.
1. Periode Pertama  
Sebelum 1882 M., Pemerintah Kolonial Belanda sebenarnya masih mengakui ke-
beradaan lembaga-lembaga peradilan agama yang ada di masyarakat. Terbukti, 
pada 1801 M., keluar instruksi kepada para bupati di seluruh pulau Jawa supaya 
menggunakan ketentuan hukum Islam, tentu yang tercantum dalam kitab kuning, 
dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan perkawinan dan pewarisan. Instruksi 
ini kemudian diikuti oleh keluarnya Stbl. no. 20 tahun 1820 pasal 13 yang meng-
instruksikan bahwa segala bentuk sengketa di antara orang-orang Islam harus 
diselesaikan menurut hukum Islam. Akan tetapi, wewenang peradilan agama diba-
tasi hanya dalam wilayah perdata. Sedangkan hukum pidana diserahkan kepada 
lembaga-lembaga peradilan umum bentukan Belanda, seperti yang ditetapkan 
melalui Regeeringreglement (RR) tahun 1854 pasal 78 dalam Stbl. no. 2 tahun 1855 
M. Tindakan pembatasan ini dilakukan tentu saja sebagai langkah awal Pemerintah 
Kolonial Belanda untuk menjauhkan umat Islam dari kekuatan kehidupan keber-
agamaan mereka. Dengan dipinggirkannya hukum pidana Islam, paling tidak, 
Pemerintah Hindia Belanda bisa menerapkan hukum pidana Belanda setelah, pada 
masa pemerintahan VOC, ditolak mentah-mentah oleh umat Islam. (Tindakan pem-
batasan inilah yang selanjutnya menjadi titik awal tidak berlakunya hukum pidana 
Islam di Indonesia). Kemudian, untuk meredam protes umat Islam, melalui Stbl. no. 
152 tahun 1882, pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga pengadilan 
agama di seluruh pulau Jawa dan Madura.
Pada masa ini, kebijakan politik Pemerintah Belanda, terutama berhadapan dengan 
kehidupan beragama umat Islam, dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu hasil 
rumusan Van den Berg. Menurut teori ini, untuk kalangan masyarakat yang beraga-
ma Islam, yang dipergunakan sebagai acuan penyelesai sengketa adalah hukum 
Islam yang telah berlaku di kalangan mereka sendiri.25 Van den Berg sendiri, seba-
gai salah seorang staf ahli pemerintah Kolonial Belanda, berkecimpung langsung 
dalam penyusunan sumber hukum bagi lembaga-lembaga pengadilan yang telah 
dibentuk. Pada 1878 M., dia mulai menerjemah beberapa buku fiqh klasik, seperti 
buku Minhāj al-Thālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī dan Fath al-Qarīb karya 
Ibn al-Qāsim al-Ghazzi, ke dalam bahasa Belanda dan Prancis. Tujuannya adalah 
supaya buku-buku fiqh madzhab Syāfi‘ī dan terjemahannya itu bisa dijadikan 
sebagai semacam undang-undang peradilan Islam. Pada 1884 M., tiga jilid terje-
mahan telah selesai dicetak dan segera disebarkan ke lembaga-lembaga peradilan 
agama yang ada.26 Hanya, inisiatif Van den Berg ini lantas dikritik oleh C. Snouck 
Hurgronje sebagai upaya yang sia-sia, mengingat di kalangan para ulama di 
Indonesia, buku-buku fiqh klasik yang dianggap paling standar adalah Tuhfah al-
Muhtāj karya Ibn Hajar al-Haytamī dan Nihāyah al-Muhtāj karya al-Ramlī, dua 
buku syarh buku Minhāj al-Thālibīn. Sementara buku Fath al-Qarīb jelas bukan 
sumber hukum standar, karena isinya sama dengan buku besar tadi.
2. Periode kedua 
Perode ini bisa disebut sebagai “masa-masa sulit” bagi hukum Islam, termasuk kitab 
kuning sebagai sumber hukum formalnya. Dimulai ketika Hurgronje mengkritik 
habis teori Receptio in Complexu dan pasal 75 dan 109 Regeelingsreglement dalam 
Stbl. no. 2 tahun 1855 yang melandasinya. Dalam kritiknya itu, hukum Islam 
disebutnya sebagai “propaganda Islam”. Menurutnya, hukum adat harus dilindungi 
dari propaganda Islam karena hukum adatlah yang sebenarnya lebih mengakar 
dalam kehidupan masyarakat. Usaha keras pihak Islam untuk menghapus dan 
mengubahnya merupakan tindakan yang merusak tatanan yang sudah mapan dan, 
karenanya, harus dicegah. Upaya apapun untuk merombak hukum adat tidak akan 
pernah bisa berhasil, sehingga harus diabaikan. Maka pemerintah Hindia Belanda 
perlu melakukan “langkah bimbingan”, supaya hukum adat bisa tetap bertahan.
Kritiknya itu kemudian dia tindak-lanjuti dengan menawarkan teori Reteptie yang 
menegaskan bahwa yang berlaku adalah hukum adat, sementara hukum Islam baru 
memiliki nilai kekuatan hukum dan bisa diberlakukan hanya apabila telah diterima 
dan berlaku dalam hukum adat setempat.
Teori yang, oleh Hazirin (w. 1975), disebut sebagai “teori iblis” ini ternyata mem-
punyai gaung pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan politik Hindia 
Belanda. Semua atribut yang “berbau” teori Reteptio in Comlpexu segera dihapus 
dan diganti dengan atribut-atribut lain yang “berbau” Reteptie. Pada 1919 M., Rege-
elingsreglement (RR) diganti dengan Indische Regeeling (IS). Pasal 75 RR Stbl.no. 
2 tahun 1855 dihapus melalui pasal 134 (2) IS yang melandasi teori Reteptie. Selain 
itu, melalui Stbl. no. 116 tahun 1937, kewenangan peradilan agama dibatasi hanya 
dalam masalah perkawinan semata. Masalah kewarisan sepenuhnya diserahkan 
kepada peradilan umum. Akibatnya, wewenang peradilan agama semakin sempit. 
Namun, di sela-sela kebijakan politik seperti itu, Pemerintah Belanda masih “me-
nyempatkan diri” mendirikan lembaga peradilan agama di Kalimantan Selatan 
melalui Stbl. no. 638 dan 639 tahun 1937,30 dalam rangka meredam protes dan 
emosi umat Islam. 
Nampak sekali bahwa semuanya merupakan upaya sistematis Pemerintah Hindia 
Belanda untuk meminggirkan hukum Islam dan menggantinya dengan hukum 
Belanda. Langkah konfrontatif jelas tidak mungkin dilakukan, mengingat emosi 
keagamaan umat Islam yang sangat kuat. Oleh karena itu, langkah-langkah sistem-
atis tadi adalah yang paling mungkin ditempuh. Meskipun peradilan agama beserta 
kitab kuningnya masih diakui, namun wilayah wewenangnya dipersempit hanya 
dalam bidang perkawinan semata. Sebuah kondisi yang tentu sangat tidak “nya-
man” bagi kehidupan hukum Islam di Nusantara ketika itu. 
~ Periode 1945-1974 M. 
Setelah kemerdekaan berhasil direbut dan pemerintahan yang berdaulat dibentuk, 
beberapa langkah hukum berkenaan dengan lembaga peradilan agama segera di-
lakukan. Melalui PP no. 5/SD/1946, lembaga peradilan agama dimasukkan dalam 
wewenang kementerian agama, setelah sebelumnya berada di bawah naungan 
kementerian kehakiman. Dua tahun kemudian, melalui UU no. 190 tahun 1948, 
peradilan agama termasuk bagian dari Pengadilan Umum. Yang paling menggem-
birakan umat Islam ketika itu adalah dikeluarkannya UU Darurat no. 1 tahun 1951 
yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama dipertahankan, sementara pengadilan 
Swapraja dan Pengadilan Adat dihapus. Dengan begitu, “kondisi terpuruk” pasca 
teori Reteptie beranjak “normal” kembali. Sebagai salah satu bentuk realisasi UU 
Darurat tersebut, melalui PP no. 45 tahun 1957, pemerintah membentuk lembaga 
Pengadilan Agama di luar pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Maka sejak 1958 
M., Pengadilan Agama dibentuk di wilayah-wilayah Nusantara yang memerlukan.31  
Pada 1958 M., keluar Surat Edaran Biro Pengadilan Agama no. 8/1/735 tanggal 18 
Februari 1958, sebagai pelaksanaan dari PP no. 45 tahun 1957. Isinya, antara lain, 
adalah pembatasan jumlah buku-buku fiqh klasik sebagai buku-buku formal Penga-
dilan Agama menjadi hanya 13 buku. Surat Edaran tersebut dilatarbelakangi oleh 
kenyataan bahwa begitu banyaknya buku-buku fiqh yang ada menyebabkan kesim-
pangsiuran dalam pengambilan keputusan di Pengadilan Agama. Banyaknya per-
bedaan pendapat (ikhtilāf aqwāl al-‘ulamā’) seperti yang tertera di dalamnya adalah 
salah satu faktor yang utama. Dengan dibatasi hanya menjadi 13 buku, maka kesim-
pangsiuran tadi, paling tidak, bisa diminimalisir. 13 buku tadi adalah: 
1. Hāsyiyah al-Bājūrī. 
2. Fath al-Mu‘īn. 
3. Al-Qalyībī. 
4. Fath al-Wahhāb. 
5. Tuhfah al-Muhtāj. 
6. Taghrīb al-Mustaghfirīn. 
7. Qawānīn Syar‘iyyah. 
8. Qawānīn Syar‘iyyah. 
9. Al-Syamsūrī fī al-Farā‘id. 
10. Bughyah al-Mustarsyidīn. 
11. Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba‘ah. 
12. Mughnī al-Muhtāj.  
13. Hāsyiyah al-Syarqāwī.
Meskipun kitab kuning kembali menempati posisi vitalnya, namun wewenang 
Pengadilan Agama tetap mengikuti “sisa-sisa” kebijakan Pemerintah Kolonial 
Belanda dulu. Pengadilan Agama hanya berwenang menangani kasus-kasus dalam 
hukum perdata. Sementara kasus-kasus hukum pidana sepenuhnya ditangani oleh 
Pengadilan Negeri. Kalaupun wewenang Pengadilan Agama diperluas sampai kepa-
da bidang hukum pidana, semua itu tidak akan efektif sebab dalam sistem hukum 
di Indonesia, berlaku apa yang dinamakan hak opsi, yaitu hak untuk beralih dari 
Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Sudah tentu, masyarakat akan lebih suka 
memilih KUHP daripada hukum pidana Islam yang terkesan lebih “kejam” dan 
“berat”. 
~Periode 1974-.... M.  
Semenjak diundangkannya UU Perkawinan no. 14 tahun 1974, kitab kuning, meng-
alami peralihan peran, dari sebagai sumber formal menjadi sumber material. 
Artinya, kitab tidak dipergunakan secara langsung dalan peradilan, namun ia ber-
fungsi sebagai salah satu sumber penyusunan undang-undang yang dipergunakan 
dalam pengadilan. Lebih-lebih dengan diundangkannya UU Pengadilan Agama no. 
7 tahun 1989, posisi kitab kuning sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam 
menjadi semakin penting. 
Akan tetapi, di masa mendatang, posisi vital kitab kuning perlu ditinjau ulang. 
Bukan berarti harus dihapus dan dibuang, melainkan harus dipergunakan dengan 
metodologi yang tepat. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, kitab kuning 
disusun pada abad pertengahan di Timur Tengah yang kondisi sosial-budayanya 
sangat jauh berbeda. Mengusung produk masa lampau ke realitas sekarang yang 
kondisi sosial-budayanya berbeda, tentu saja, merupakan tindakan yang tidak tepat. 
Kedua, Wacana ushūl al-fiqh, dengan ajaran universal Islam (maqāshid al-syarī‘ah) 
sebagai titik poros acuannya, telah begitu jauh berkembang, sehingga sikap untuk 
tetap mempertahankan kitab kuning seperti apa adanya jelas merupakan langkah 
mundur atau kontra produktif. Ketiga, dalam kitab kuning, tidak sedikit ketentuan 
hukum yang hanya relevan untuk masanya, atau, kadangkala, malah tidak selaras 
dengan ajaran universal Islam. Sebut saja, misalnya, poligami yang, dalam madzhab 
Syāfi‘ī, persyaratannya jelas-jelas relatif lebih longgar ketimbang madzhab yang 
lain.33 Contoh lainnya adalah ketentuan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh 
seorang ayah terhadap anaknya, atau juga seorang muslim terhadap non muslim, 
tidak menyebabkan sang pelaku harus dihukum qishās. Alasannya, untuk kasus 
pertama, ayah adalah faktor penyebab (sabab) adanya anak. Maka, kematian anak 
tidak bisa dijadikan faktor penyebab kematian ayah. Sementara untuk kasus kedua, 
status muslim jelas lebih tinggi daripada status non muslim. Padahal, salah satu 
syarat qishās adalah bahwa pihak pelaku tidak boleh lebih rendah statusnya 
daripada pihak korban.34 Keempat, di kalangan pesantren sendiri, mulai muncul 
“gugatan” dan ”keinginan kuat” untuk mengubah tradisi kemadzhaban, dari tradisi 
taqlīd qawlī (menerapkan bunyi teks kitab kuning) menuju tradisi taqlīd manhajī 
(menerapkan metode ijtihad madzhab, tanpa harus selalu terikat kepada ketentuan 
kitab kuning). “Gugatan” dan “keinginan kuat” tersebut menandakan mulai 
tumbuhnya kesadaran bahwa kitab kuning memang hanya relevan untuk masanya 
saja.