Setelah membual bahwa ia akan mati bersama Yesus,
rasul Petrus menyerah kepada perangkap si penggoda untuk
menyangkal Tuhan. Petrus tidak hanya menyangkal Tuhan
satu kali, tetapi tiga kali, dan, ketika diberi kesempatan untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus, ia runtuh di bawah beban pencobaan. Lukas, dalam kisah Injilnya, memberi
kita pandangan sekilas ke dalam salah satu pemandangan
paling kuat dalam Alkitab, ketika ia menggambarkan apa yang
terjadi pada Petrus malam itu. Ketika Petrus selesai menyangkal Tuhan untuk ketiga kalinya, ayam jantan berkokok, “Lalu
berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya:…“ (Lukas 22:61).
Bayangkanlah mata yang tajam dan penuh kasih itu melihat ke
dalam jiwa Petrus yang tak berdaya, berdosa, sombong. Apa
lagikah yang harus Petrus lakukan di sana selain keluar dan
menangis dengan sedih? Kasih dan rasa sakit di mata Juruselamat bertindak sebagai seberkas energi spiritual yang menembus hati Petrus yang jujur namun berdosa.
Buku ini telah dengan singkat membahas tentang kuasa Juruselamat. Ia hidup dalam sejarah, dan pengaruh-Nya terhadap manusia lebih besar daripada tokoh mana pun yang
pernah ada. Kehidupan fisik-Nya yang tanpa dosa, tanpa tandingan dihabisi oleh mereka yang telah menyerahkan Dia oleh
karena iri hati. Kubur di mana tubuh-Nya yang tercabik-cabik
dibaringkan selama tiga hari ditemukan kosong pada hari
Minggu yang mulia hampir 2.000 tahun yang lalu—persis
seperti yang para nabi telah ramalkan. Kebangkitan-Nya, mujizat utama dari eksistensi duniawi-Nya, membuktikan bahwa Ia
adalah manusia dalam daging. Kisah-Nya yang terdokumentasi secara historis adalah jawaban utama untuk masalah dosa yang dicari oleh generasi-generasi yang tak terhitung banyaknya di sepanjang sejarah. Dan di sanalah Ia, sang Juruselamat,
menatap ke dalam mata pikiran kita dengan segenap kasih dan
penderitaan yang membuat rasul Petrus berlutut. Satu-satunya
pertanyaan yang tersisa untuk kita tanyakan hanyalah, “Apakah yang akan kita lakukan dengan Yesus?”
Apakah Anda akan menolak Anak Allah sebagai Tuhan
dan Juruselamat Anda seperti yang dilakukan oleh banyak
orang Farisi yang keras kepala pada abad pertama? Akankah
Anda secara lisan mengaku akan mengikut Dia, tetapi benarbenar tidak pernah mendedikasikan hidup Anda kepada Dia
seperti yang dilakukan jutaan orang percaya sekarang ini (bdk.
Matius 7:21-23; 16:24-26)? Atau, akankah Anda tunduk kepada
Dia dan menjadi orang Kristen sejati?
Sayangnya, beberapa orang tiba pada kesimpulan bahwa
manusia tidak punya peran dalam penyelamatan dirinya dari
dosa oleh Allah. Mereka percaya bahwa tidak ada yang dapat
mereka lakukan sama sekali. Beberapa orang hanya berpikir
bahwa kehidupan Yesus tidak menuntut respons dari kita.
Namun begitu, yang benar adalah ketika tiba pada masalah
karunia keselamatan secara cuma-cuma yang Allah tawarkan
kepada seluruh dunia melalui Anak-Nya (Yohanes 3:16), ada
persyaratan yang harus dipenuhi dari pihak manusia agar ia
dapat menerima karunia itu. Mirip dengan seorang pria yang
mungkin secara cuma-cuma diberi Rp. 100.000.000, tetapi masih harus “melakukan” hal-hal tertentu untuk menerima uang
itu (misalnya, mengambil cek di lokasi tertentu, membawa cek
itu ke bank, menandatangani cek itu, menguangkan cek itu,
dll.), pendosa non-Kristen harus melakukan beberapa hal untuk dapat diselamatkan.
Sida-sida Etiopia merespons pemberitaan Filipus tentang
Yesus dengan melakukan sesuatu (Kisah 8:35-38). Orangorang Yahudi pada hari Pentakosta memahami hal ini, seperti
yang dibuktikan oleh pertanyaan mereka: “Apakah yang harus
kami perbuat, saudara-saudara?” (Kisah 2:37). Saulus, yang
belakangan bernama Paulus (Kisah 13:9), percaya bahwa ada
sesuatu yang lain yang perlu ia lakukan selain mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan yang bangkit dalam perjalanannya ke Damsyik, karena ia bertanya kepada Yesus, “Tuhan,
apakah yang Engkau inginkan untuk aku perbuat?” (Kisah 9:6;
NKJV). Dan kepala penjara di Filipi, setelah mengamati kesalehan Paulus dan Silas dan terbangun oleh gempa bumi serta
melihat pintu penjara terbuka (Kisah 16:20-29), “dengan gemetar tersungkurlah ia di depan Paulus dan Silas.… sambil berkata: ‘Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku
selamat?’” (Kisah 16:30). Jika mereka yang merespons pertanyaan-pertanyaan ini (Petrus dalam Kisah 2, Yesus dalam
Kisah 9, dan Paulus dan Silas dalam Kisah 16) memiliki pola
pikir yang dimiliki beberapa orang dewasa ini, mereka harusnya menjawab dengan mengatakan, “Tidak ada yang dapat
kalian perbuat. Tunggu saja, dan keselamatan akan datang kepadamu.“ Tetapi respons mereka sangat berbeda dari ini. Dalam keseluruhan tiga kali pertanyaan itu diajukan, perintah untuk melakukan sesuatu diberikan. Petrus memberitahu mereka pada hari Pentakosta untuk “bertobat dan dibaptis” (Kisah
2:38); Paulus dan Silas menginstruksikan kepala penjara Filipi
dan orang seisi rumahnya untuk “percayalah kepada Tuhan
Yesus Kristus” (Kisah 16:31); dan Yesus memerintahkan Saulus
untuk “bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan
dikatakan kepadamu, apa yang harus kau perbuat” (Kisah 9:6).
Perhatikanlah tidak satu pun dari mereka yang memberi kesan
bahwa keselamatan membebaskan kita untuk “tidak berbuat apa-apa.” Yesus memberitahu Saulus bahwa ia ”harus
melakukan” sesuatu. Ketika Saulus tiba di Damsyik seperti yang Yesus arahkan kepada dia, ia melakukan persis apa yang
juru bicara Allah, Ananias, perintahkan untuk ia lakukan (Kisah 22:12-16; 9:17-18).
Perjanjian Baru memberikan prasyarat khusus yang harus diikuti sebelum orang dapat menerima manfaat pendamaian dari darah Kristus (Wahyu 1:5; 1Yohanes 1:7). Kondisi ini
tidak samar-samar atau sulit dipahami. Orang harus mengakui
iman kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah (Yohanes 8:24;
Roma 10:9-10; bdk. 1Timotius 6:12), dan ia harus berbalik dari
dosa masa lalunya (Kisah 26:20; Lukas 13:3; Kisah 2:38). Namun
begitu, itu bukan akhir masalah ini. Alkitab membahas satu
lagi langkah yang mendahului penerimaan karunia keselamatan—suatu langkah yang tidak diragukan lagi telah menjadi
kontroversi dalam dunia Kristen—baptisan air. Itu disebutkan
beberapa kali sepanjang Perjanjian Baru, dan Yesus maupun
murid-muridnya mengajarkan bahwa baptisan mendahului
keselamatan (Markus 16:16; Matius 28:19-20; Kisah 2:38). Dosadosa rasul Paulus dibasuh bersih hanya setelah ia diselamkan
ke dalam air (Kisah 22:16; bdk. Kisah 9:18). [ CATATAN : Meski Paulus mendengar Tuhan, bicara kepada Dia, dan percaya tentang Dia di jalan menuju Damsyik (Kisah 9), namun Paulus tidak menerima keselamatan itu sampai ia pergi ke Damsyik dan dibaptiskan.] Kitab Kisah Para Rasul penuh dengan
contoh-contoh tentang mereka yang tidak menerima karunia
keselamatan sampai setelah mereka mengaku beriman kepada
Kristus, bertobat dari dosa-dosa mereka, dan dibaptis (Kisah
2:38-41; 8:12; 8:26-40; 10:34-48; 16:14-15; 16:30-34; 18:8). Selanjutnya, surat kiriman dari Petrus dan Paulus juga menunjukkan perlunya baptisan (1Petrus 3:21; Kolose 2:12; Roma 6:1-4).
Jika seseorang menginginkan banyak berkat rohani ditemukan
“di dalam Kristus” (mis., keselamatan—2Timotius 2:10; pengampunan—Efesus 1: 7; bdk. Efesus 2:12; dll.), ia harus jangan berhenti setelah mengaku beriman kepada Tuhan Yesus, atau
setelah memutuskan dalam dirinya sendiri untuk berbalik dari
gaya hidup yang berdosa. Ia juga harus “dibaptis ke dalam
Kristus” (Galatia 3:27; Roma 6:3) “untuk pengampunan dosa”
(Kisah 2:38). Pada titik inilah Allah menghapus (Kisah 22:16)
dosa-dosa pendosa orang non-Kristen oleh darah Yesus Kristus (1Petrus 1:18-19; Wahyu 1:5).
Jika Anda bukan orang Kristen, ini adalah doa kami bahwa Anda akan menjadi orang Kristen satu hari nanti dengan
merespons dengan iman apa yang Yesus lakukan untuk Anda,
sama seperti yang orang non-Kristen lakukan 2.000 tahun
lalu. Jika Anda orang Kristen, kami menganjurkan Anda untuk
tetap setia kepada Tuhan, “Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Korintus 15:58; Wahyu 2:10).
Sepanjang sejarah manusia, miliaran orang telah lahir,
hidup, dan mati. Andaikan dunia masih ada lebih lama lagi,
miliaran orang lagi akan datang dan pergi. Tapi hanya ada satu
orang, satu nama, yang memiliki kuasa untuk menyelamatkan
dunia dari dosa dan kematian. Hanya satu pribadi dalam seluruh sejarah manusia yang dapat menjalani kehidupan yang
sempurna dan membangun kerajaan yang tidak akan pernah
binasa. Hanya satu orang yang memiliki kuasa untuk menaklukkan kematian dan membebaskan manusia dari cengkeraman penawanannya. Hari ini kata-kata Petrus bersuara sebagai
kebenaran sama seperti yang disuarakan hampir 20 abad yang
lalu: “Di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah 4:12). Yesus Kristus berdiri sendiri sebagai satusatunya Pribadi yang dapat menawarkan keselamatan yang
kekal.
YESUS KRISTUS—MATI ATAU HIDUP?
Kemungkinan besar, beberapa orang yang membaca buku
ini akan sudah punya keputusan tentang kebangkitan Yesus
Kristus. Dan, mungkin banyak yang mengakui bahwa Yesus Kristus hidup di Bumi ini untuk sekitar 33 tahun, mati di tangan
wali negeri Romawi, Pontius Pilatus, dikuburkan di sebuah
makam baru milik Yusuf dari Arimatea, dan secara mujizatiah mengalahkan maut dengan kebangkitan-Nya tiga hari kemudian. Tetapi mungkin ada beberapa orang yang masih
ragu tentang kebenaran kebangkitan Kristus. Faktanya, banyak
orang memiliki lebih daripada sekadar keraguan yang tetap
melekat; mereka sudah memutuskan bahwa kisah kebangkitan
yang terjadi sudah terlalu lama, disaksikan oleh terlalu sedikit
orang, belum dibuktikan secara sainstifik, dan karenanya harus
dibuang sebagai legenda yang tidak dapat diandalkan .
Terlepas dari posisi mana yang paling terbaik untuk
menggambarkan pandangan pribadi Anda tentang kebangkitan Kristus, apa yang kita semua harus lakukan adalah
meninggalkan prasangka kita di pintu masuk, dan bersedia
secara terbuka dan jujur memeriksa fakta-fakta sejarah yang
menyertai kebangkitan.
FAKTA: YESUS KRISTUS PERNAH HIDUP DAN MATI
Menentukan apakah Yesus Kristus benar-benar pernah
hidup atau tidak merupakan sesuatu yang perlu ditetapkan
sebelum orang mulai dapat membahas kebangkitan-Nya. Jelas-nya, jika tidak dapat dibuktikan tanpa keraguan sedikit pun
bahwa Ia pernah hidup di Bumi ini, maka diskusi apa saja
tentang apakah Ia sudah bangkit dari kematian atau tidak
secara cepat akan melantur ke dalam pembuatan mitos yang
didasarkan lebih pada terkaan dan imajinasi manusia. Untungnya, fakta bahwa Yesus pernah hidup hampir diterima secara
universal karena, seperti yang telah kita dokumentasikan dalam pasal satu, sejumlah saksi yang bermusuhan bersaksi tentang kehidupan-Nya, dan Perjanjian Baru mendokumentasikan
keberadaan-Nya dengan rincian yang sangat rinci. [Bahkan
jika orang tidak mau menerima Perjanjian Baru sebagai diilhami oleh Allah, ia tidak dapat menyangkal bahwa kitab-kitabnya berisi informasi sejarah mengenai orang bernama Yesus
Kristus yang benar-benar pernah hidup di abad pertama M.]
Sejarawan yang jujur dipaksa untuk mengakui bahwa dokumentasi bagi keberadaan dan kehidupan Yesus adalah dalam
dan luas. Dengan begitu, mengetahui bahwa Yesus Kristus itu
eksis membolehkan kita untuk bergerak lebih jauh ke dalam
subjek kebangkitan-Nya .
Bagi kebanyakan orang, tiba pada kesimpulan bahwa
Yesus sudah mati adalah tidak sulit, oleh karena salah satu dari
dua alasan ini. Pertama, pengiman Alkitab menerima fakta
bahwa Yesus sudah mati karena beberapa penulis Alkitab yang
berbeda meneguhkan hal itu. Kedua, orang yang tidak percaya
menerima gagasan itu, bukan didasarkan pada bukti Alkitab,
tetapi lebih pada gagasan bahwa urutan alami yang ia sudah
alami dalam hidup ini adalah bahwa orang yang hidup pada
akhirnya mati. Satu bukti yang cukup untuk membuktikan
keberadaan Kristus dalam sejarah telah ditegakkan, orang
naturalis/empiris tidak kesulitan menerima fakta kematianNya. Namun begitu, dengan maksud untuk memberi orangorang semacam itu argumentasi yang lebih luas yang dapat diterima tentang hal ini, tentu baik untuk diperhatikan bahwa
beberapa penulis sekuler mendukung fakta bahwa Yesus Kristus memang sudah mati. Tacitus, sejarawan Romawi kuno
yang menulis sekitar 115 M., mendokumentasikan kematian
fisik Kristus ketika ia menulis tentang umat Kristen bahwa
“pencetus mereka, Kristus, telah dieksekusi pada masa pemerintahan Tiberius oleh gubernur dari Yudea, Pontius Pilatus“
(1952, 15.44). Selain sumber-sumber Romawi, para rabi Yahudi
awal yang pendapatnya dicatat dalam Talmud mengakui
kematian Yesus. Menurut para rabi sebelumnya,
Yesus dari Nazaret adalah seorang pelanggar hukum di Israel yang mempraktikkan sihir, mencemooh kata-kata bijak, menyesatkan banyak orang, dan
mengatakan bahwa ia datang bukan untuk menghancurkan hukum Taurat tetapi untuk menambahkannya. Ia digantung pada Malam Paskah karena
ajaran bid'ah dan menyesatkan orang-orang (Bruce,
1953, p.102).
Demikian juga, sejarawan Yahudi Josephus menulis:
Di sekitar waktu ini muncul Yesus, orang bijaksana.… Dan ketika Pilatus telah menghukum dia di
kayu salib berdasarkan tuduhan oleh tua-tua di
antara kita, orang-orang yang dari awalnya mengasihi dia tidak lenyap (Antiquities of the Jewish, 18.3.3).
Fakta bahwa Pilatus menghukum Kristus di kayu salib adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Seperti yang arkeolog
Edwin Yamauchi nyatakan:Bahkan jika kita tidak memiliki Perjanjian Baru
atau tulisan-tulisan Kristen, kita akan dapat menyimpulkan dari tulisan-tulisan non-Kristen seperti Josephus, Talmud, Tacitus, dan Pliny the Younger
bahwa … ia [Yesus—KB/EL ] disalibkan di bawah
Pilatus pada masa pemerintahan Tiberius (1995, p.
222).
Masih ada orang-orang yang, dalam upaya untuk menyangkal kebangkitan tubuh Kristus, telah menyarankan bahwa Kristus tidak mati pada waktu penyaliban. Sebaliknya,
dikatakan, Tuhan hanya “pingsan” di kayu salib. Beberapa
orang mengklaim bahwa belakangan Ia pulih dari siksaanNya dan mengumumkan kebangkitan-Nya! Konsep ini tampaknya telah dikembangkan pertama kali pada 1768 oleh Peter
Annet, seorang deis Inggris. Pada 1977, Andreas Faber-Kaiser,
seorang filsuf dan jurnalis, mengemukakan gagasan bahwa
Yesus selamat dari penyiksaan di Kalvari. Pembela konsep ini
yang paling menonjol dalam beberapa tahun terakhir adalah
Hugh Schonfield. Bukunya, The Passover Plot, sudah beredar di
pasaran selama empat puluh tahun (telah mengalami dua
puluh kali cetak dalam dekade pertamanya saja!). Schonfield berteori bahwa Yesus, yang percaya bahwa dirinya adalah
Mesias, merencanakan untuk berpura-pura “mati,” sebab berniat, setelah peristiwa dramatis itu, untuk dengan penuh kemenangan meraup kekuasaan. Perhatikan pernyataannya: “Ia
[Kristus] merencanakan dan merancang dengan keterampilan
dan sumber daya paling baik, terkadang membuat pengaturan
rahasia, mengambil keuntungan dari setiap keadaan yang kondusif untuk mencapai tujuan-Nya itu“ (1965, p. 155). Schonfield menuduh bahwa bunga karang yang ditawarkan kepada
Yesus ketika berada di kayu salib (Yohanes 19:29-30) telah direndam dengan narkotika yang kuat, tujuannya untuk menimbulkan kesan kematian. Rencananya adalah para sahabat
itu akan menurunkan tubuh-Nya dan menyembunyikan dia
sampai Ia mendapatkan kembali kekuatan-Nya. Menurut Schonfield, bagaimanapun, rencana itu gagal ketika tentara Romawi
tiba-tiba menusukkan tombak ke lambung Yesus. Tuhan itu
diduga diturunkan dari salib dalam keadaan tidak sadar, dan
dibawa ke tempat rahasia di mana Ia kemudian mati dan dimakamkan secara diam-diam.
Seperti yang sering terjadi pada “sarjana-sarjana” seperti
itu, Schonfield merusak catatan Perjanjian Baru yang membahas penampakan Kristus pasca-kebangkitan. Misalnya, ia berpendapat bahwa orang yang menampakkan diri kepada Maria
Magdalena di taman itu (Yoh. 20:11 dst.) adalah bukan Yesus,
sebagaimana catatan para rasul, tetapi mungkin salah satu
rekan konspirator Kristus—mungkin orang yang memberi
Tuhan narkotika di kayu salib (pp. 168-169). Cara orang kafir
menangani teks Alkitab adalah sangat menarik. Schonfield
bahkan tidak akan tahu tentang wawancara di taman itu jika
tidak karena catatan dari Yohanes; jadi ia dengan demikian
menerima itu sebagai sejarah. Pada saat yang sama ia berani
memberitahu kita—sembilan belas abad setelah peristiwa itu,
ingatlah itu—bahwa identifikasi Yohanes atas orang itu sebagai
Yesus tidak dapat diandalkan! Dengan mengingat manipulasi
seperti itu, tidak heran bahwa bahkan seorang penulis
modern akan mengakui: “Teori pingsan adalah sangat cerdik,
tetapi teori itu memperlakukan dengan kasar semua bukti dari
sumber-sumber Kristen sedemikian rupa sehingga tidak ada
petunjuk tentang teori ini oleh lawan-lawan awal agama
Kristen mana saja“ (Cornfield, 1982, p. 182).
Salah satu prinsip utama Injil adalah ini: “Kristus telah
mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci“ (1Korin-tus 15:3). Semua manusia yang jujur, dipaparkan dengan bukti
itu, harus mengakui kebenaran fakta ini.
FAKTA: KUBUR KOSONG KRISTUS
Sekitar tahun 165 M., Justin Martyr menulis Dialogue with
Trypho. Di awal pasal 108 bukunya ini, ia mencatat sebuah surat
yang diedarkan oleh komunitas Yahudi tentang kubur kosong
Kristus:
Sebuah bidah fasik dan durhaka telah muncul
dari Yesus, seorang Galilea penipu, yang sudah kita
salibkan, tetapi murid-muridnya mencuri dia pada
malam hari dari kubur tempat ia dibaringkan ketika diturunkan dari salib itu, dan sekarang menipu
orang-orang dengan menegaskan bahwa ia telah
bangkit dari antara orang mati dan naik ke sorga.
Di suatu tempat sekitar abad keenam, sebuah risalah
pedas lain yang ditulis untuk mencemarkan nama baik Kristus
beredar di antara komunitas Yahudi. Dalam narasi ini, yang
dikenal sebagai Toledoth Yeshu, Yesus digambarkan sebagai
anak haram dari prajurit bernama Joseph Pandera. Ia juga
dicap sebagai penipu kurang ajar yang menyesatkan banyak
orang dari kebenaran. Di penghujung risalah itu, di bawah
pembahasan tentang kematian-Nya, paragraf berikut ini dapat
ditemukan:
Penyelidikan yang tekun dilakukan dan ia [Yesus—
KB/EL] tidak ditemukan di kubur tempat ia sudah
dikuburkan. Seorang tukang kebun telah mengambil dia dari kubur itu dan membawa dia ke dalam kebunnya dan menguburkan dia dalam pasir yang
di atasnya air mengalir ke dalam kebun itu (Toledoth
Yeshu).
Setelah membaca gambaran Justin Martyr tentang satu teori
Yahudi mengenai kubur Kristus, dan premis lain dari Toledoth
Yeshu, maka jelaslah bahwa satu benang merah menyatukan
keduanya—di dalam kubur Kristus tidak ada mayat!
Semua pihak yang terlibat mengakui fakta bahwa kubur
Kristus kosong pada hari ketiga. Merasa terpaksa untuk memberikan alasan bagi kekosongan yang tak terduga ini, pihak
berwenang Yahudi rupanya mengarang beberapa teori berbeda untuk menjelaskan hilangnya mayat itu. Teori yang paling
dapat diterima secara umum tampaknya adalah teori bahwa
para murid Yesus mencuri mayat-Nya pada malam hari selagi
para penjaga itu tertidur (Matius 28:13). Namun, bagaimanakah para prajurit itu dapat mengenali para pencuri itu jika mereka tertidur? Dan mengapakah para prajurit penjaga itu tidak
dihukum mati karena tertidur saat bertugas dan dengan demikian mengabaikan tanggung jawabnya (bdk. Kisah 12:6-19)?
Dan pertanyaan yang bahkan lebih mendesak yang terlintas
dalam pikiran—jika mayat itu masih ada di dalam kubur itu
mengapakah para prajurit itu perlu memberi penjelasan?
Ketika Petrus berdiri pada Hari Pentakosta sesudah kebangkitan Kristus, inti dari khotbahnya bertumpu pada fakta
bahwa Yesus sudah mati, sudah dikuburkan, dan sudah bangkit kembali pada hari ketiga. Untuk membungkam Petrus, dan
menghentikan perubahan hidup secara massal, para pemimpin
Yahudi hanya perlu menghadirkan mayat Kristus. Mengapakah para pemimpin Yahudi itu tidak mau berjalan sedikit ke
taman itu dan menghadirkan mayat itu? Karena mereka memang tidak dapat; kubur itu kosong—fakta yang orang-orangYahudi itu akui dan berusaha untuk dikaburkan. Para rasul
tahu itu, dan memberitakannya dengan berani di kota Yerusalem. Dan ribuan penduduk Yerusalem tahu itu dan berubah
memeluk agama Kristen. John Warwick Montgomery secara
akurat menilai masalah itu ketika ia menulis: “Itu melewati
batas kredibilitas bahwa umat Kristen mula-mula sudah bisa
mengarang kisah seperti itu dan kemudian memberitakannya di antara mereka yang bisa dengan mudah membantahnya dengan menghadirkan mayat Yesus“ (1964, p. 78).
Kubur Yesus memang kosong, dan itu adalah fakta.
FAKTA: PARA RASUL MEMBERITAKAN BAHWA
YESUS SUDAH BANGKIT SECARA FISIK
DARI ANTARA ORANG MATI
Terlepas dari apakah orang percaya atau tidak bahwa
Kristus sudah bangkit dari antara orang mati, satu hal yang
tidak dapat disangkal adalah fakta bahwa para rasul-Nya
memberitakan bahwa mereka sudah melihat Yesus setelah Ia
bangkit secara fisik dari antara orang mati. Kitab Perjanjian
Baru Kisah Para Rasul menekankan masalah ini hampir sampai titik yang berlebihan. Kisah 1:22, sebagai contoh, mendapatkan Petrus dan para rasul lainnya sedang memilih seorang
rasul yang akan menjadi “saksi” kebangkitan Kristus. Lalu,
pada Hari Pentakosta, Petrus menegaskan dalam khotbahnya
kepada orang banyak yang telah berkumpul untuk mendengarkan dia bahwa “Allah membangkitkan” Yesus dan dengan
demikian melepaskan Dia dari sengsara maut (Kisah 2:24). Dan
untuk memastikan bahwa pendengarnya mengerti bahwa kebangkitan itu adalah kebangkitan fisik, Petrus menyatakan
secara khusus bahwa “daging [Yesus] tidak mengalami kebinasaan“ (Kisah 2:31). Maksudnya jelas: Yesus telah dibangkit-kan secara jasmani dari antara orang mati dan para rasul telah
menyaksikan Kristus yang telah bangkit. [Nas-nas lain yang
mendokumentasikan bahwa tema utama khotbah para rasul itu
adalah kebangkitan tubuh Kristus mencakup Kisah 3:15, 3:26,
4:2,10,33, dan 5:30.] Selanjutnya, seluruh pasal 1 Korintus 15
(terutama ayat 14) memverifikasi bahwa khotbah rasul Paulus
berpusat pada kebangkitan.
Bahkan Joseph McCabe, salah satu orang kafir awal abad
kedua puluh yang paling lantang, mengatakan: “Paulus secara
mutlak yakin akan kebangkitan itu; dan ini membuktikan bahwa hal itu diyakini secara luas tidak beberapa lama setelah
kematian Yesus“ (1926, p. 24). Skeptis modern Shirley Jackson
Case dari University of Chicago dipaksa mengakui: “Kesaksian
Paulus sendiri sudah cukup untuk meyakinkan kita, melampaui keraguan apa pun yang masuk, bahwa ini adalah pendapat yang diterima secara umum pada zamannya—sebuah
pendapat pada zaman itu yang didukung oleh otoritas tertinggi yang dapat dibayangkan, para saksi mata itu sendiri“ (1909,
p. 171-172). C. S. Lewis dengan benar menyatakan: “Pada
masa-masa awal agama Kristen, seorang ‘rasul’ adalah orang
pertama dan terutama yang mengaku sebagai saksi mata Kebangkitan” (1975, p. 188).
Telah dikemukakan oleh beberapa kritikus bahwa para
rasul dan saksi-saksi lain tidak benar-benar melihat Kristus,
tetapi hanya berhalusinasi. Namun begitu, Gary Habermas
harus mengatakan ini tentang ide aneh seperti itu:
[H]alunisasi relatif jarang terjadi. Itu biasanya disebabkan oleh obat-obatan atau adanya kekurangan
pada tubuh. Kemungkinannya adalah, Anda tidak
tahu siapa pun yang pernah mengalami halusinasi
yang tidak disebabkan oleh salah satu dari dua pe-nyebab itu. Namun kita diharapkan untuk percaya
bahwa setelah beberapa minggu berlalu, orangorang dari segala macam latar belakang, dengan
semua jenis tabiat, dalam berbagai tempat, semuanya mengalami halusinasi? Hal itu cukup banyak
menyulitkan hipotesis itu, bukan? (seperti dikutip
dalam Strobel, 1998, p. 239).
Sesungguhnya, teori halusinasi itu merupakan upaya
lemah untuk merongrong fakta bahwa para rasul (dan para
saksi mata lain abad pertama tentang Kristus yang bangkit)
memberitakan pesan bahwa mereka benar-benar telah melihat
Yesus yang telah bangkit. Para rasul memberitakan bahwa
Kristus sudah bangkit secara fisik, dan mereka yang sudah
mendengar para rasul itu memverifikasi bahwa mereka memberitakan kebangkitan. Terlepas dari apa yang orang percayai
tentang kebangkitan Kristus, ia tidak dapat menyangkal (secara
sah) fakta bahwa para rasul melakukan perjalanan yang jauh
dan luas untuk memberitakan satu pesan utama—kematian,
penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus.
FAKTA: PARA RASUL MENDERITA DAN MATI
OLEH KARENA MEREKA MENGAJARKAN
KEBANGKITAN
Seraya daftar fakta-fakta itu berlanjut, satu yang harus
disebutkan adalah fakta sejarah yang terverifikasi bahwa sebagian besar para rasul mengalami kekejaman, kematian akibat
penyiksaan karena mereka memberitakan bahwa Kristus sudah
bangkit dari antara orang mati. Mendokumentasikan penganiayaan ini bukan tugas yang sulit. Fox’s Book of Martyrs menceritakan bahwa Paulus dipenggal, Petrus disalibkan (mungkin dengan posisi terbalik), Tomas ditikam dengan tombak, Matius
dibunuh dengan tombak-kapak, Matias dirajam dan dipenggal, Andreas disalibkan, dan daftar itu selanjutnya menggambarkan kematian martir setiap orang dari rasul-rasul Tuhan
yang setia kecuali Yohanes saudara Yakobus (Forbush, 1954,
pp. 2-5).
Kesaksian tambahan datang dari bapak-bapak gereja
mula-mula. Eusebius, yang dilahirkan sekitar tahun 260 Masehi meninggal sekitar 340, menulis bahwa Paulus dipenggal di
Roma dan Petrus disalibkan di sana (Ecclesiastical History, 2.25).
[Tepatnya bagaimana dan di mana Petrus menjadi martir tidak
jelas dari sejarah; namun fakta bahwa ia martir adalah jelas.]
Clement dari Roma (yang wafat sekitar tahun 100 M.), dalam
pasal lima dari suratnya First Epistle to the Corinthian, juga
menyebutkan kematian martir Petrus dan Paulus. Lukas, penulis kitab Kisah Para Rasul, mendokumentasikan kematian
Yakobus ketika ia menyatakan: “Kira-kira pada waktu itu raja
Herodes mulai bertindak dengan keras terhadap beberapa
orang dari jemaat. Ia menyuruh membunuh Yakobus, saudara
Yohanes, dengan pedang” Kisah 12:1-2). Rasul Paulus mungkin
menyimpulkan itu dengan sangat baik ketika ia berkata:
Sebab, menurut pendapatku, Allah memberikan
kepada kami, para rasul, tempat yang paling rendah, sama seperti orang-orang yang telah dijatuhi
hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan
bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu
arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat.
Kamu mulia, tetapi kami hina. Sampai pada saat ini
kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup
mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati;
kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami
telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama
dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada
saat ini (1Korintus 4:9-13).
Wayne Jackson dengan benar menulis bahwa “meski manusia
mungkin saja mati karena penipuan agama, tapi mereka tidak
bersedia menjemput kematian mereka dengan kesadaran bahwa mereka sedang melakukan penipuan“ (1982, 1:34).
Beberapa upaya keliru telah dilakukan untuk menyangkal bahwa para rasul Kristus benar-benar mati oleh karena kepercayaan mereka kepada, dan pemberitaan tentang, kebangkitan. Sebagai contoh, pernah diusulkan bahwa para rasul mati
karena mereka adalah penghasut politik atau provokator. Namun begitu, dengan menggabungkan kualitas moral ajaran
mereka yang tinggi dengan kesaksian para bapak gereja mulamula, dan dengan mengakui fakta bahwa tugas utama mereka
adalah menjadi saksi kebangkitan, maka secara historis tidak
akurat untuk menyiratkan bahwa para rasul itu menderita untuk alasan apa pun selain daripada pengakuan mereka tentang
kebangkitan. Faktanya adalah, para rasul itu mati karena mereka menolak untuk berhenti memberitakan bahwa mereka telah
melihat Tuhan hidup setelah kematian-Nya.
FAKTA: ALKITAB ADALAH KITAB KUNO
PALING AKURAT SECARA HISTORIS
Sir William Ramsay pernah menjadi orang yang tidak
percaya dan merupakan arkeolog kelas dunia. Pendidikannya
yang luas telah menanamkan di dalam dirinya indra keilmuan yang paling tajam. Tetapi seiring dengan keilmuan itu muncul
juga prasangka yang melekat tentang dugaan ketidakakuratan
Alkitab (khususnya kitab Kisah Para Rasul). Seperti yang
Ramsay sendiri katakan:
[S]ekitar tahun 1880 hingga 1890, kitab Kisah Para
Rasul dianggap sebagai bagian Perjanjian Baru yang
paling lemah. Tidak ada orang yang menghargai
reputasinya sebagai seorang sarjana mau peduli
untuk mengatakan sepatah kata pun untuk membela kitab itu. Para sarjana teologi yang paling konservatif, biasanya, menganggap rencana pembelaan
paling bijaksana untuk Perjanjian Baru secara keseluruhan adalah dengan sedikit mungkin membicarakan kitab Kisah Para Rasul (1915, p. 38).
Seperti yang dapat diantisipasi dari orang yang telah
dilatih oleh “para sarjana” seperti itu, Ramsay memiliki pandangan yang sama. Ia, bagaimanapun, akhirnya meninggalkan
itu, karena ia bersedia melakukan apa yang beberapa orang
pada zamannya tidak berani lakukan—menjelajahi sendiri
negeri-negeri Alkitab dengan beliung arkeolog di satu tangan
dan Alkitab terbuka di tangan lainnya. Niatnya yang ia nyatakan sendiri adalah untuk membuktikan ketidakakuratan data
sejarah oleh Lukas sebagaimana dicatat dalam kitab Kisah Para
Rasul. Tetapi, yang sangat mengejutkan dia, kitab Kisah Para
Rasul lulus dalam setiap ujian yang dapat ditanyakan kepada
narasi sejarah mana saja. Faktanya, setelah bertahun-tahun
benar-benar menggali bukti di Asia Kecil, Ramsay menyimpulkan bahwa Lukas adalah seorang sejarawan teladan. Lee S.
Wheeler, dalam karya klasiknya, Famous Infidels Who Found
Christ, menceritakan kembali kisah hidup Ramsay dengan sangat terinci (1931, pp. 102-106), dan kemudian mengutip
arkeolog terkenal itu, yang akhirnya mengakui:
Semakin banyak saya mempelajari narasi Kisah
para Rasul, dan semakin banyak saya belajar dari
tahun ke tahun tentang masyarakat dan pemikiran
dan kebiasaan Graeco-Romawi, dan organisasi di
provinsi-provinsi tersebut, semakin saya kagum
dan semakin baik pengertian saya. Saya pergi untuk mencari kebenaran di perbatasan di mana
Yunani dan Asia bertemu, dan menemukannya di
sini [dalam kitab Kisah Para Rasul—KB/EL]. Anda
bisa saja menekan kata-kata Lukas itu dengan
kadar melampaui sejarawan lain mana saja, dan
kata-kata itu bertahan dalam penelitian paling ketat
dan perlakuan paling berat, asalkan pengritik itu
selalu mengetahui subjeknya dan tidak melampaui
batas sains dan keadilan (Ramsay, 1915, p. 89).
Dalam bukunya, The Bearing of Recent Discovery on the
Trustworthiness of the NewTestament, Ramsay dipaksa mengakui:
“Lukas adalah sejarawan peringkat pertama; bukan hanya
pelbagai pernyataannya merupakan fakta yang dapat dipercaya, tetapi ia juga memiliki nalar sejarah sejati.… Singkatnya,
penulis ini harus ditempatkan bersama dengan para sejarawan
yang paling hebat“ (1915, p. 222; bdk. juga karya Ramsay tahun
1908, Luke the Physician). ( CATATAN: Untuk informasi yang
lebih luas tentang keandalan catatan Perjanjian Baru, lihat kembali pasal 2).
Namun begitu, harap dicatat bahwa argumen yang diperkenalkan di sini tidak untuk mengklaim bahwa Perjanjian
Baru adalah terilham (meski beberapa penulis tertentu telah menggunakannya dengan cara ini dengan cukup efektif). Sebaliknya, ini disisipkan pada titik ini dalam diskusi itu untuk
menggambarkan bahwa kitab-kitab yang paling banyak bicara
tentang kebangkitan telah terbukti akurat ketika dihadapkan
dengan fakta yang dapat diverifikasi. Pergilah ke Negeri-Negeri Alkitab dan lihat sendiri jika Anda meragukan keakuratan
Alkitab. Milikilah pikiran yang jujur, terbuka dan Alkitab yang
terbuka, dan Anda akan dipaksa untuk menghormati para
penulis Perjanjian Baru sebagai sejarawan yang akurat.
TENTANG DUGAAN KONTRADIKSI DALAM INJIL
Mungkin dokumen-dokumen Perjanjian Baru akurat ketika membahas informasi sejarah dan geografi. Namun bagaimana dengan semua dugaan “kontradiksi” tentang kebangkitan di
antara kisah-kisah injil? Charles Templeton, yang bekerja bertahun-tahun bersama Billy Graham Crusade tetapi akhirnya
meninggalkan imannya, menggunakan beberapa halaman bukunya, Farewell to God, untuk membandingkan dan membedakan
pelbagai pernyataan dalam keempat injil, dan kemudian menyimpulkan: “Seluruh kisah kebangkitan tidak kredibel“ (1996,
p. 122). Seorang pengkhotbah terkenal lain yang menjadi skeptis, Dan Barker, punya kesenangan pribadi dalam upaya menemukan berbagai kontradiksi kebangkitan dalam empat kisah
injil. Dalam bukunya, Losing Faith in Faith, ia memenuhi tujuh
halaman dengan daftar “kontradiksi” yang ia yakini telah ia
temukan. Akhirnya ia menyatakan, “Hai orang-orang Kristen,
beritahu saya dengan tepat apa yang terjadi pada Minggu Paskah, atau mari kita biarkan mitos Yesus terkubur“ (1992, p. 181).
Memang menarik, bukan, bahwa Barker meminta untuk
tahu “dengan tepat apa yang terjadi” pada suatu hari dalam
sejarah kuno yang terjadi hampir 2.000 tahun yang lalu? Per-mintaan semacam itu bicara keras tentang legitimasi sejarah
kisah kebangkitan, karena tidak ada hari lain dalam sejarah
kuno yang pernah diperiksa dengan ketelitian seperti itu. Para
sejarawan hari ini tidak dapat mengatakan dengan “tepat apa
yang terjadi” pada 17 Agustus 1945 atau 28 Oktober 1928, tetapi
orang Kristen diharapkan untuk memberikan rincian yang
“tepat” tentang kebangkitan Kristus? Untungnya, para penulis
injil menjelaskan ”dengan tepat apa yang terjadi”—tanpa
kontradiksi. Periksalah bukti berikut ini.KOLUSI TAHU SAMA TAHU
“Benturan: persetujuan rahasia antara dua pihak atau
lebih untuk tujuan kecurangan, pelanggaran, atau penipuan“
(The AmericanHeritage …, 2000, p. 363). Bahkan jika sebelumnya
kita tidak pernah mendengar kata kolusi, sebagian besar dari
kita masih akan memahami situasi yang kata itu gambarkan.
Katakanlah, misalnya, lima perampok bank mengenakan masker nilon mereka, merampok bank kota, dan menyimpan uang
tunai itu dalam sebuah gua terdekat. Setiap perampok lalu
pulang ke rumah mereka masing-masing sampai selesainya
pencarian oleh polisi. Perampok pertama mendengar ketukan
di pintu rumahnya dan, saat dibuka, menjumpai seorang polisi
yang “hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada
dia.“ Petugas itu lalu bertanya,” Di manakah Anda berada, dan
apakah yang Anda sedang lakukan, pada malam hari 1 Februari 2002?“ Pencuri itu segera menjawab, ”Saya berada di rumah
Pak Parto nonton televisi dengan empat sahabat.“ Polisi itu memperoleh nama dan alamat keempat sahabat itu dan mendatangi
masing-masing rumah mereka. Setiap perampok itu, pada gilirannya, menceritakan kisah yang persis sama. Benarkah kisah
itu? Tidak benar sama sekali! Tapi apakah semua cerita itu ter-dengar persis sama, dengan tidak ada kontradiksi yang tampaknya terlihat? Ya.
Sekarang, mari kita periksa prinsip ini dalam terang diskusi kita tentang kebangkitan. Jika setiap narasi menggambarkan kebangkitan itu terdengar persis sama, menurut Anda
apakah yang akan dikatakan tentang narasi itu? ”Mereka pasti
telah saling menyontek!” Faktanya, dalam bidang lain kehidupan Kristus selain kebangkitan, ketika kitab Matius dan Lukas
memberikan informasi yang sama seperti kitab Markus, para
kritikus sekarang ini mengklaim bahwa Matius dan Luke pasti
telah menyontek dari Markus karena Markus dianggap sebagai
yang paling awal dari tiga kitab itu. Pertanyaan panas lainnya
dalam jajaran atas ”kecendekiaan” Alkitab sekarang ini adalah
apakah Petrus menyontek Yudas dalam 2 Petrus 2:4-17 (atau
apakah Yudas menyontek Petrus), karena dua bagian tulisan
suci itu terdengar sangat mirip.
Namun begitu, yang mengejutkan, Alkitab tidak membiarkan terbukanya prospek kolusi terkait dengan narasi kebangkitan. Sesungguhnya, tidak bisa dipungkiri (secara sah) bahwa
kisah kebangkitan telah sampai kepada kita dari sumber independen. Dalam bukunya, Science vs. Religion, Tad S. Clements
dengan keras menyangkal adanya bukti yang cukup untuk membenarkan keyakinan pribadi kepada kebangkitan. Ia, bagaimanapun, mengakui, “Tidak hanya ada satu kisah tentang kebangkitan Kristus tetapi banyak kisah yang memalukan …“ (1990, p.
193). Meski ia berpendapat bahwa kisah-kisah ini “tidak sejalan
dalam rincian yang penting,“ namun ia tetap menjelaskan bahwa injil-injil itu berisi kisah-kisah yang terpisah tentang kisah
yang sama. Dan Barker mengakui hal yang sama ketika ia
dengan berani menyatakan: “Karena Easter [istilahnya untuk
kisah kebangkitan—KB/EL] diceritakan oleh lima penulis yang
berbeda, maka kisah itu memberi orang peluang terbaik untuk meneguhkan atau membantah kisah itu“ (1992, p. 179). Satu
pintu yang diakui dengan bebas oleh semua orang dalam kedua sisi kontroversi kebangkitan itu dan yang telah dikunci
selamanya oleh kisah-kisah injil adalah pintu yang dipaku mati
terhadap adanya kolusi.
MENANGANI “KONTRADIKSI”
Tentu saja tidak mungkin, dalam beberapa paragraf ini,
kita dapat menangani setiap dugaan perbedaan di antara kisahkisah kebangkitan. Namun kita ingin menyampaikan beberapa
prinsip bermanfaat yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi sejati di antara narasinarasi kebangkitan yang telah didokumentasikan.
Penambahan Bukan Kontradiksi
Misalkan seorang suami bercerita tentang waktu ia dan
istrinya pergi belanja di mal. Suami itu menyebutkan semua
tempat yang bagus di mal itu untuk membeli alat pertukangan
dan makanan tradisional. Si istri bercerita tentang perjalanan
belanja yang sama, tetapi hanya menyebutkan tempat untuk
membeli pakaian. Apakah ada kontradiksi hanya karena istri
itu menyebutkan toko pakaian, sedangkan suaminya hanya
menyebutkan makanan tradisional dan alat pertukangan? Tidak. Mereka hanya sedang menambahkan (atau melengkapi)
cerita masing-masing untuk membuatnya lebih lengkap. Jenis
hal yang sama terjadi cukup sering dalam kisah-kisah kebangkitan.
Sebagai contoh, kisah Injil Matius mengacukan ”Maria
Magdalena dan Maria yang lain” sebagai perempuan yang mengunjungi kubur lebih awal pada hari pertama minggu itu
(Matius 28:1). Markus mengutip Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome sebagai para pemberita (Markus
16:1). Lukas menyebut Maria dari Magdala, dan Yohana, dan
Maria ibu Yakobus, dan “perempuan-perempuan lain” (Lukas
24:0). Namun Yohanes hanya menulis tentang Maria Magdalena mengunjungi kubur Kristus lebih awal pada hari Minggu
(Yohanes 20:1). Dan Barker mengutip nama-nama yang berbeda ini sebagai perbedaan dan/atau kontradiksi (p. 182). Namun
apakah daftar-daftar yang berbeda ini benar-benar saling bertentangan? Tidak, mereka tidak bertentangan. Mereka itu adalah pelengkap (dengan setiap penulis menambahkan namanama untuk membuat daftar itu lebih lengkap), tetapi mereka tidak bertentangan. Seandainya Yohanes berkata “hanya
Maria Magdalena yang mengunjungi kubur itu,“ atau jika
Matius menyatakan bahwa “Maria Magdalena dan Maria yang
lain merupakan satu-satunya kaum perempuan yang mengunjungi kubur itu,“ maka itu akan menimbulkan kontradiksi.
Namun demikian, tidak ada kontradiksi yang terjadi. Untuk
mengilustrasikan lebih jauh, anggaplah Anda punya uang 10
ribu di saku Anda. Seseorang mendatangi Anda dan bertanya,
“Apakah Anda punya uang seribu rupiah disaku Anda?“ Tentu
saja, Anda mengiyakan. Misalkan orang lain bertanya, “Apakah Anda punya uang 5 ribu di saku Anda?“ dan lagi Anda
mengiyakannya. Akhirnya, orang lain bertanya, “Apakah Anda punya 10 ribu di saku Anda?“ dan Anda berkata ”ya“ untuk
ketiga kalinya. Apakah Anda mengatakan yang sebenarnya
setiap saat Anda menjawab? Ya, Anda mengatakannya. Apakah ketiga pernyataan tentang isi saku Anda berbeda? Ya,
mereka berbeda. Namun adakah dari 3 jawaban Anda itu yang
kontradiktif? Tidak, mereka tidak kontradiktif. Bagaimana bisa?
Faktanya adalah: penambahan tidak sama dengan kontradiksi!
Yang juga relevan dengan diskusi tentang penambahan
ini adalah para malaikat, manusia, dan orang muda yang di-gambarkan dalam kisah kebangkitan yang berbeda. Dua ”masalah” yang berbeda muncul dengan masuknya “bentara suci”
di kubur kosong Kristus. Pertama, berapa banyakkah mereka
itu tepatnya? Kedua, apakah mereka itu malaikat atau manusia? Kisah dalam Matius mengutip “seorang malaikat Tuhan
turun dari langit“ yang wajahnya ”bagaikan kilat dan pakaiannya putih bagaikan salju“ (28:2-5). Catatan Markus menyajikan
gambaran yang sedikit berbeda tentang “seorang muda yang
memakai jubah putih duduk di sebelah kanan“ (16:5). Tetapi
Lukas menyebutkan bahwa “dua orang berdiri dekat mereka
[kaum perempuan—KB/EL] memakai pakaian yang berkilaukilauan“ (24:4). Dan, akhirnya, Yohanes menulis tentang “dua
orang malaikat berpakaian putih, yang seorang duduk di
sebelah kepala dan yang lain di sebelah kaki di tempat mayat
Yesus terbaring” (20:12). Apakah ada dari beberapa kisah ini
yang bertentangan dalam jumlah orang atau malaikat di kubur
itu? Dengan mengingat faktor aturan penambahan, kita harus
menjawab tidak ada. Meski kisah-kisah itu berbeda, tapi mereka tidak bertentangan tentang jumlah utusan. Markus tidak
menyebut “hanya satu orang muda” dan Lukas tidak mengatakan ada “tepat dua malaikat.” Apakah ada satu utusan di
kubur itu? Ya, ada satu. Apakah ada juga dua utusan? Ya, ada
dua utusan. Sekali lagi, perhatikanlah bahwa penambahan
tidak sama dengan kontradiksi.
Apakah Mereka Itu Manusia Atau Malaikat?
Pertanyaan kedua tentang utusan itu adalah identitas
mereka: Apakah mereka itu malaikat atau manusia? Kebanyakan orang yang akrab dengan Perjanjian Lama tidak punya masalah menjawab pertanyaan ini. Kejadian pasal 18 dan
19 menyebutkan tiga “orang” yang datang mengunjungi Abraham dan Sara. Tiga orang ini bertamu untuk waktu yang singkat, dan kemudian dua dari mereka melanjutkan perjalanan
untuk mengunjungi kota Sodom. Alkitab memberitahu kita dalam Kejadian 19:1 bahwa ”orang-orang” ini sebenarnya adalah
malaikat. Namun ketika kaum laki-laki Sodom datang untuk
melakukan kekerasan terhadap para malaikat ini, penduduk
kota itu bertanya: “Di manakah orang-orang yang datang
kepadamu malam ini?” (Kejadian 19:5). Di sepanjang dua pasal
itu, para utusan itu diacukan sebagai manusia dan malaikat
dengan akurasi yang setara. Mereka melihat, bicara, jalan,
dan terdengar seperti manusia. Lalu dapatkah mereka diacukan (secara sah) sebagai manusia? Ya. Tetapi apakah mereka
itu sebenarnya malaikat? Ya. Malaikat yang terlihat dalam
wujud manusia.
Sebagai ilustrasi, misalkan Anda melihat seorang lakilaki duduk di sebuah bangku taman dan melepas sepatu
kanannya. Saat Anda memperhatikan dia, ia mulai mengeluarkan antena dari ujung kaki sepatunya dan bantalan nomor
dari tumit sepatunya. Ia melanjutkan dengan memencet sebuah
nomor dan mulai bicara kepada seseorang dengan ”telepon
sepatunya.” Jika Anda akan menuliskan apa yang telah Anda
lihat, dapatkah Anda secara akurat mengatakan bahwa lakilaki itu memencet sebuah nomor di sepatunya? Ya, dapat. Dapatkah Anda juga mengatakan bahwa ia memencet sebuah nomor di teleponnya? Tentu saja, Anda dapat. Sepatu itu memiliki tumit, sol, ujung sepatu, dan semua hal lain yang berhubungan dengan sepatu, tetapi dalam kenyataannya itu lebih
daripada sekadar sepatu. Begitu juga halnya, utusan di kubur
itu dapat digambarkan secara akurat sebagai manusia. Mereka
memiliki kepala yang bertengger di dua bahu dan ditopang
oleh leher, dan mereka memiliki tubuh yang lengkap dengan
lengan dan kaki, dll. Jadi, mereka adalah manusia. Namun,
sebenarnya, mereka itu sangat jauh melebihi manusia karena mereka adalah malaikat—utusan suci yang diutus dari takhta
Allah untuk mengumumkan kepada orang-orang tertentu. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa Perjanjian Baru sering
menggunakan istilah “manusia” untuk menggambarkan malaikat yang mengambil bentuk manusia, maka cukup mudah
untuk menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi mengenai
identitas para utusan itu.
Perspektif Memainkan Peranan
Apa yang terus kita lihat dalam narasi-narasi independen tentang kebangkitan adalah bukan kontradiksi, tetapi hanya perbedaan perspektif. Misalnya, anggaplah seseorang punya kartu indeks ukuran 4x6 sentimeter yang satu sisinya berwarna merah dan sisi lainnya berwarna putih. Selanjutnya
anggaplah ia berdiri di depan banyak orang, meminta semua
orang laki-laki untuk menutup mata mereka, dan menunjukkan sisi merah kartu itu kepada para hadirin perempuan, dan
kemudian menyuruh mereka untuk menuliskan apa yang mereka sudah lihat. Lalu anggaplah bahwa ia menyuruh semua
perempuan untuk menutup mata mereka sementara ia menunjukkan sisi putih kartu itu kepada kaum laki-laki dan minta mereka menuliskan apa yang mereka sudah lihat. Satu
kelompok orang melihat kartu merah dan satu kelompok orang
lagi melihat kartu putih. Ketika jawaban mereka dibandingkan, pada awalnya mereka akan terlihat berkontradiksi, namun
sebenarnya tidak. Jawaban itu terlihat kontradiktif karena kedua kelompok orang itu memiliki perspektif yang berbeda,
karena masing-masing telah melihat sisi berbeda dari kartu
yang sama. Fenomena perspektif memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cara yang sama di mana
tidak ada saksi mata pernah melihat kecelakaan mobil dengan
cara yang persis sama, maka tidak ada satu saksi pun tentangYesus yang bangkit telah melihat peristiwa itu dari sudut yang
sama dengan saksi-saksi yang lain.
Jelasnya, kita memang belum menangani setiap dugaan
perbedaan tentang kisah-kisah kebangkitan. Namun begitu,
kita telah menyebutkan beberapa perbedaan yang utama, yang
dapat dijelaskan dengan cukup mudah melalui prinsip
penambahan atau perbedaan perspektif. Studi yang jujur tentang “masalah-masalah” yang tersisa mengungkapkan bahwa
tidak ada satu pun kontradiksi yang sah ditemukan di antara
narasi-narasi itu; mereka mungkin saja berbeda dalam beberapa aspek, tetapi mereka tidak bertentangan. Selanjutnya, perbedaan apa pun yang ada tidak membuktikan keterlibatan kolusi dan perbedaan itu mendokumentasikan keragaman yang
akan sudah diantisipasi dari individu-individu berbeda yang
menyaksikan peristiwa yang sama .
Persoalan Mujizat
Berdasarkan alasan sejarah, kebangkitan Yesus Kristus
memiliki bukti yang banyak atau lebih untuk diverifikasi kredibilitasnya dibandingkan peristiwa lain apa saja dalam sejarah
kuno. Sayangnya, bukti ini sering dikesampingkan oleh mereka yang menyangkal kemungkinan adanya mujizat.
Tetapi ketika tiba pada kebangkitan Kristus, beberapa orang lebih suka menggunakan pendekatan empiris yang
ketat, dan hasilnya, telah memutuskan apa yang mungkin, dan
apa yang tidak mungkin, dalam dunia mereka. Dan mujizat
(seperti kebangkitan) tidak masuk ke dalam kategori “mungkin” mereka. Karena mereka belum pernah melihat orang dibangkitkan dari antara orang mati, dan karena tidak ada eksperimen
ilmiah yang dapat dilakukan pada tubuh yang dibangkitkan,
mereka lalu menganggap kisah-kisah kebangkitan dari injil
harus memiliki penjelasan alami. Dalam sebuah artikel berju-dul, “Mengapa Saya Tidak Percaya Kebangkitan,” Richard
Carrier mengetengahkan inti argumennya dalam komentar berikut ini:
Berapapun jumlah argumen tidak dapat meyakinkan saya untuk memercayai laporan tidak langsung
berusia 2000 tahun tentang apa yang saya lihat, diri
saya sendiri, secara langsung, di sini dan saat ini,
dengan mata saya sendiri. Jika saya mengamati
fakta-fakta yang mengharuskan saya lenyap ketika
saya mati, maka kisah Yesus tidak akan pernah dapat menyingkirkan pengamatan itu, karena sangat
jauh lebih lemah sebagai bukti. Dan semua bukti di
hadapan pancaindra saya menegaskan mortalitas
saya.… Kisah tidak langsung berusia 2000 tahun
dari tempat terpencil yang buta huruf dan bodoh
tidak pernah dapat mengalahkan fakta-fakta ini.
Saya tidak melihat ada orang yang hidup kembali
sesudah otak mereka benar-benar mati karena kekurangan oksigen. Saya tidak punya percakapan dengan roh-roh orang mati. Apa yang saya lihat sangat bertolak belakang dengan apa yang diklaim
oleh kisah yang hebat ini. Bagaimana bisa kisah
itu meminta lebih banyak penghargaan daripada
kedua mata saya sendiri? Itu tidak bisa (2000).
Meski argumen seperti itu awalnya mungkin tampak
sangat masuk akal, tetapi argumen itu menghadapi dua kesulitan yang tidak dapat diatasi. Pertama, ada hal-hal yang terjadi
di masa lalu yang tidak satu orang pun di zaman kini sudah
atau akan pernah melihatnya, namun hal-hal itu masih diterima sebagai fakta. Asal usul kehidupan di planet ini memberikan contoh yang baik. Terlepas dari apakah seseorang percaya kepada penciptaan atau evolusi, ia harus mengakui bahwa
beberapa hal yang terjadi di masa lalu tidak masih sedang
terjadi sekarang ini (atau setidaknya sesuatu yang belum disaksikan). Kepada kaum evolusionis, kita mengajukan pertanyaan:
“Pernahkah Anda secara pribadi menggunakan pancaindra
Anda untuk membuktikan bahwa benda mati dapat menghasilkan makhluk hidup.” Tentu saja, para evolusionis harus mengakui bahwa mereka tidak pernah melihat hal seperti itu
terjadi, terlepas dari semua eksperimen tentang asal usul
kehidupan yang telah dilakukan selama lima puluh tahun terakhir. Apakah pengakuan seperti itu berarti bahwa para evolusionis tidak menerima gagasan bahwa kehidupan berasal dari
benda mati, hanya karena mereka tidak pernah menyaksikan
peristiwa semacam itu? Tentu saja tidak. Sebaliknya, kita diminta untuk mempertimbangkan “bukti kuno” (seperti kolom
geologi dan catatan fosil ) yang para evolusionis yakini mengarah kepada kesimpulan semacam itu. Tetap saja, kenyataan
pahitnya adalah bahwa tidak ada satu orang pun yang hidup
sekarang ini (atau, dalam hal ini, siapa pun yang pernah
hidup di masa lalu) telah menyaksikan sesuatu yang hidup
berasal dari sesuatu yang mati melalui proses alami.
Dengan mengikuti alur pemikiran yang sama ini, mereka
yang percaya kepada penciptaan dengan bebas mengakui
bahwa penciptaan kehidupan di Bumi adalah peristiwa yang
belum disaksikan oleh siapa pun yang hidup sekarang ini
(atau, dalam hal ini, siapa pun di masa lalu, kecuali mungkin
Adam). Itu adalah peristiwa unik, yang terjadi satu kali saja,
yang tidak dapat diduplikasi oleh eksperimen dan saat ini tidak
dapat dideteksi oleh lima indra manusia. Seperti halnya dengan para evolusionis, para kreasionis meminta kita untuk
memeriksa bukti seperti catatan fosil, rancangan inheren Alam
Semesta dan penghuninya, Hukum Sebab Akibat, Hukum Bio-genesis, dll., yang mereka yakini mengarah kepada kesimpulan
bahwa pada satu titik di masa lalu kehidupan diciptakan oleh
Pencipta yang cerdas. Namun, sebelum kita hanyut terlalu jauh
dari topik utama kebangkitan kita, ingatlah bahwa diskusi
singkat ini tentang penciptaan dan evolusi disisipkan hanya
untuk menetapkan satu maksud—setiap orang harus mengakui bahwa ia menerima beberapa konsep dari masa lalu yang
jauh tanpa secara pribadi telah menginspeksi konsep itu dengan menggunakan indra empirisnya.
Kedua, memang benar bahwa orang mati yang bangkit
dari antara orang mati akan menjadi luar biasa dan, ya, secara
empiris merupakan peristiwa mencengangkan. Manusia biasanya tidak bangkit dari antara orang mati dalam pola peristiwa
sehari-hari. Namun, bukankah justru hal itu yang para rasul
dan para saksi kebangkitan sedang upayakan untuk dipahami
oleh manusia? Jika Yesus dari Nazaret benar-benar sudah
bangkit dari kubur untuk tidak pernah mati lagi—dengan
demikian mencapai sesuatu yang manusia fana tidak pernah
capai—tidakkah hal itu akan cukup untuk membuktikan bahwa Ia adalah Anak Allah seperti yang telah Ia klaim (lihat
Markus 14:61-62)? Ia telah meramalkan bahwa Ia akan dibangkitkan dari antara orang mati (Yohanes 2:19). Dan Ia telah
dibangkitkan!
Para pengamat abad pertama tentunya mengerti bahwa
orang yang bangkit dari antara orang mati adalah tidak alami,
karena mereka memahami cara kerja hukum alam. Seperti yang
C. S. Lewis jelaskan:
Namun ada satu hal yang sering dikatakan tentang
nenek moyang kita yang harus jangan kita katakan.
Kita harus jangan mengatakan ”Mereka percaya
kepada mujizat karena mereka tidak mengetahui Hukum Alam.” Ini adalah omong kosong. Ketika
Santo Yusuf mengetahui mempelai perempuanya
hamil, ia “ bermaksud menceraikannya.” Ia cukup
tahu cukup tentang biologi kehamilan.… Ketika
para murid melihat Kristus berjalan di atas air mereka ketakutan; mereka tidak akan takut kecuali
mereka telah mengetahui Hukum Alam dan tahu
bahwa ini adalah pengecualian (1970, p. 26).
Rasul Paulus menekankan maksud ini dalam Roma 1:4
ketika ia menyatakan bahwa Yesus Kristus “dinyatakan oleh
kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah
Anak Allah yang berkuasa.” Seluruh maksud kebangkitan
Kristus dulu, dan kini, adalah bahwa itu membuktikan keilahian-Nya. Seperti yang telah kita katakan sebelumnya, kebanyakan orang yang menyangkal kebangkitan melakukan itu karena mereka menolak untuk percaya kepada Allah Yang mengadakan pelbagai mujizat, bukan karena bukti sejarah tidak memadai.
Menghadapi Fakta-Fakta
Ketika berurusan dengan kebangkitan Kristus, kita harus
berkonsentrasi pada fakta-fakta. Yesus dari Nazaret pernah
hidup. Ia pernah mati. Kubur-Nya kosong. Para rasul memberitakan bahwa mereka melihat Dia setelah Ia bangkit secara
fisik dari antara orang mati. Para rasul menderita dan mati oleh
karena mereka memberitakan, dan menolak untuk menyangkal, kebangkitan itu. Pesan mereka dilestarikan dalam dokumen paling akurat yang sejarah kuno dapat banggakan. Saksisaksi independen membahas kebangkitan itu dalam tulisantulisan mereka—dengan keragaman yang cukup (namun tanpa satu kontradiksi yang sah ) untuk membuktikan tidak ada
kolusi yang terlibat.
Argumen utama untuk menentang kebangkitan, tentu
saja, adalah bahwa pada umumnya, orang mati tidak bangkit
dari kubur—yang merupakan maksud utama yang sedang
disampaikan oleh para rasul. Tetapi ketika semua bukti ditimbang dan diungkapkan bahwa para rasul tidak pernah ciut di
bawah penyiksaan, Perjanjian Baru tidak pernah runtuh di
bawah penyelidikan, dan saksi-saksi sekuler, sejarah menolak
untuk ditenggelamkan ke dalam lautan kecaman, maka jelas
terlihat bahwa kebangkitan Yesus Kristus menuntut tempat
yang selayaknya di dalam catatan sejarah sebagai peristiwa
paling penting yang pernah ada di dunia ini. Inilah kutipan
kata-kata abadi Roh Kudus sebagaimana diucapkan melalui
rasul Paulus kepada Raja Agripa di zaman dahulu kala,
“Mengapa kamu menganggap mustahil, bahwa Allah membangkitkan orang mati?” (Kisah 26:8).
MENGAPAKAH KEBANGKITAN YESUS
SANGAT PENTING?
Setelah anak janda itu mati, Elia berdoa kepada Allah,
”dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia
hidup kembali” (1Raja 17:22). Beberapa tahun kemudian,
nabi Elisa membangkitkan anak orang Sunem yang mati (2Raja
4:32-35). Lalu, setelah kematian Elisa, seseorang yang sudah
mati, dalam proses pemakaman di makam Elisa, hidup kembali setelah menyentuh tulang-tulang Elisa (2Raja 13:20-21).
Ketika Yesus berada di Bumi, Ia membangkitkan anak perempuan Yairus dari kematian (Markus 8:21-24, 35-43), juga anak
janda dari Nain (Lukas 7:11-16), dan Lazarus, yang tubuhnya
telah dikuburkan selama empat hari (Yohanes 11:1-45). Setelah kematian dan kebangkitan Yesus, Matius mencatat bagaimana
“kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah
meninggal bangkit. Dan sesudah kebangkitan Yesus, mereka
pun keluar dari kubur, lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang” (27:52-53). Lalu belakangan,
selama tahun-tahun awal gereja, Petrus membangkitkan Tabita
dari kematian (Kisah 9:36-43), sedangkan Paulus membangkitkan pemuda Eutikhus, yang mati setelah jatuh dari jendela
lantai tiga (Kisah 20:7-2). Semua orang ini mati, dan belakangan bangkit untuk hidup kembali. Meski beberapa orang segera
bangkit lagi setelah kematian, tapi Lazarus dan (kemungkinan
besar) orang-orang kudus yang dibangkitkan setelah kebangkitan Yesus, dikuburkan lebih lama daripada Yesus itu sendiri.
Dengan mengingat semua kebangkitan ini, beberapa orang bertanya, “Mengapakah kebangkitan Yesus sangat penting?“ Jika
orang lain di masa lalu telah mati untuk hidup kembali, hal
apakah yang membuat kebangkitan-Nya sangat istimewa? Mengapakah kebangkitan Yesus lebih penting daripada yang
lainnya?
Pertama, mirip dengan bagaimana mujizat-mujizat Yesus
diadakan untuk membedakan Dia sebagai Anak Allah dan Mesias yang dijanjikan, meski semua orang lain yang pernah
mengadakan mukjizat di masa zaman Alkitab adalah bukan
Allah dalam daging, mujizat-mujizat Yesus itu lebih penting
daripada mujizat-mujizat lainnya semata karena demikianlah
yang dikatakan oleh para rasul dan nabi-nabi yang terilham.
Banyak orang di seluruh Alkitab mengadakan mujizat untuk
meneguhkan pesan ilahi mereka (bdk. Markus 16:20; Ibrani 2:1-
4), tetapi hanya Yesus yang melakukannya sebagai bukti bagi
sifat ilahi-Nya Suatu hari, sewaktu Hari Raya Dedikasi di
Yerusalem, sekelompok orang Yahudi mengelilingi Yesus dan
bertanya, ”Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang ke-pada kami” (Yohanes 10:24)? Yesus menjawab mereka dengan
berkata, “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu
tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam
nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang
Aku, … Aku dan Bapa adalah satu“ (Yohanes 10:25, 30). Orangorang Yahudi ini mengerti bahwa Yesus mengklaim diri-Nya
sebagai Anak Allah dalam daging (bdk. 10:33, 36), dan Yesus
ingin mereka memahami bahwa kebenaran ini dapat diketahui sebagai akibat dari mujizat-mujizat yang Ia telah adakan,
yang bersaksi tentang keilahian-Nya (bdk. Yohanes 20:30-31).
Mengapa? Karena Ia berkata begitu (10:25,35-38; bdk. Yohanes
5:36). Mujizat-mujizat yang Yesus adakan memberi kesaksian
tentang fakta bahwa Ia datang dari Bapa (Yohanes 5:36), karena
Ia berkata bahwa Ia datang dari Bapa. Mujizat itu sendiri tidak
memaksudkan bahwa orang yang mengadakannya adalah ilah.
Musa, Elia, Elisa, Petrus, Paulus, dan sejumlah orang lainnya
telah mengadakan mujizat, dengan beberapa di antaranya bahkan telah membangkitkan orang dari antara orang mati, tetapi
tidak dengan tujuan untuk membuktikan bahwa mereka adalah Allah dalam daging. Para rasul dan para nabi Perjanjian
Baru mengadakan mujizat untuk meneguhkan pesan mereka
bahwa Yesus adalah Anak Allah, bukan untuk membuktikan
bahwa mereka adalah Allah (bdk. Kisah 14:8-18). Yesus, di sisi
lain, mengadakan mujizat untuk memberi kesaksian bahwa Ia
adalah Anak Allah, sama seperti pengakuan-Nya (bdk. Yohanes 9:35-38).
Demikian juga, satu alasan mengapa kebangkitan mujizatiah Yesus lebih penting daripada kebangkitan Lazarus, Tabita, Eutikhus, atau siapa pun yang dibangkitkan dari antara
orang mati, adalah semata-mata karena para rasul dan para
nabi yang terilham dalam gereja mula-mula mengatakan demikian. Seperti pelbagai mujizat yang Ia adakan selama pelayanan duniawi-Nya yang memberi kesaksian tentang keillahian-Nya,
kebangkitan-Nya juga memberikan kesaksian tentang sifat
ilahi-Nya. Tidak ada catatan tentang orang yang menyatakan
bahwa Lazarus adalah Anak Allah berdasarkan kebangkitannya, juga gereja mula-mula tidak mengklaim keilahian Eutikhus atau Tabita karena mereka pernah mati dan hidup kembali. Tidak satu pun dari orang-orang yang disebutkan di atas
yang telah dibangkitkan pernah mengklaim bahwa kebangkitan mereka adalah bukti keilahian, juga tidak ada klaim dari
para nabi atau para rasul yang terilham. Sebaliknya, Yesus
“dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa” (Roma 1:4). Kebangkitan-Nya berbeda oleh karena Siapa Ia—Anak Allah. Sama
seperti pelbagai mujizat yang diadakan selama pelayanan-Nya
di bumi bersaksi tentang pesan ilahi-Nya, dan juga sifat ilahiNya, demikian pula kebangkitan-Nya.
Kedua, pentingnya kebangkitan Yesus terlihat dalam fakta bahwa Ia adalah yang pertama bangkit dari antara orang
mati dan tidak pernah mati lagi. Karena tidak ada orang yang
telah dibangkitkan dari antara orang mati masih hidup di
Bumi, dan karena tidak ada bukti di dalam Alkitab bahwa Allah
pernah mengangkat orang yang telah dibangkitkan dari antara
orang mati ke sorga tanpa mati lagi, maka masuk akal untuk
menyimpulkan bahwa semua orang yang pernah dibangkitkan dari antara orang mati, mati lagi beberapa tahun berikutnya. Yesus, bagaimanapun, “sesudah Ia bangkit dari antara
orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia“
(Roma 6:9). Yesus berkata tentang diri-Nya, “Aku adalah Yang
Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun
lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya” (Wahyu 1:17-18).
Semua yang lainnya yang sebelumnya pernah dibangkitkan,
mati lagi, dan ada di antara mereka yang “tidur” dan terus menunggu kebangkitan tubuh. Hanya Yesus yang benar-benar
telah menaklukkan maut. Hanya kebangkitan tubuh-Nya yang
diikuti oleh kehidupan kekal, bukan oleh kematian fisik lagi.
Meski telah diperdebatkan oleh kaum skeptis bahwa “yang
penting, adalah Kebangkitan itu sendiri, bukan fakta bahwa
Yesus tidak pernah mati lagi” (lihat McKinsey, 1983, p. 1),
Paulus sebenarnya mengaitkan bersama keduanya, dengan
mengatakan, Allah “telah membangkitkan Dia dari antara
orang mati dan Ia tidak akan diserahkan kembali kepada
kebinasaan”(Kisah 13:34, huruf tebal ditambahkan). Selanjutnya, penulis Ibrani menegaskan kehidupan yang lebih baik
melalui Yesus karena maut tidak berkuasa atas Yesus. Salah
satu alasan bagi kelemahan keimamatan lama adalah karena
“mereka dicegah oleh maut.” Yesus, bagaimanapun, karena Ia
sudah bangkit dan tidak pernah mati lagi, “tetap selama-lamanya” dalam “imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang
lain,” dan hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka
(Ibrani 7: 23-25).
Alasan ketiga mengapa kebangkitan Yesus menonjol di
atas semua yang lainnya adalah karena kebangkitan itu sendiri
telah dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama. Dalam khotbahnya pada Hari Pentakosta, Petrus menegaskan bahwa Allah
telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati karena
dunia orang mati tidak mungkin menahan Dia. Sebagai buktinya, ia mengutip Mazmur 16:8-11.
Aku senantiasa memandang kepada Tuhan, karena
Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.
Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersoraksorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram, sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada
dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; Engkau akan