• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Iman katolik 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iman katolik 1. Tampilkan semua postingan

Iman katolik 1

 




Setelah membual bahwa ia akan mati bersama Yesus, 

rasul Petrus menyerah kepada perangkap si penggoda untuk 

menyangkal Tuhan. Petrus tidak hanya menyangkal Tuhan 

satu kali, tetapi tiga kali, dan, ketika diberi kesempatan untuk 

mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus, ia runtuh di ba￾wah beban pencobaan. Lukas, dalam kisah Injilnya, memberi 

kita pandangan sekilas ke dalam salah satu pemandangan 

paling kuat dalam Alkitab, ketika ia menggambarkan apa yang 

terjadi pada Petrus malam itu. Ketika Petrus selesai menyang￾kal Tuhan untuk ketiga kalinya, ayam jantan berkokok, “Lalu 

berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Pe￾trus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya:…“ (Lukas 22:61). 

Bayangkanlah mata yang tajam dan penuh kasih itu melihat ke 

dalam jiwa Petrus yang tak berdaya, berdosa, sombong. Apa 

lagikah yang harus Petrus lakukan di sana selain keluar dan 

menangis dengan sedih? Kasih dan rasa sakit di mata Jurusela￾mat bertindak sebagai seberkas energi spiritual yang menem￾bus hati Petrus yang jujur namun berdosa.

Buku ini telah dengan singkat membahas tentang kua￾sa Juruselamat. Ia hidup dalam sejarah, dan pengaruh-Nya ter￾hadap manusia lebih besar daripada tokoh mana pun yang 

pernah ada. Kehidupan fisik-Nya yang tanpa dosa, tanpa tan￾dingan dihabisi oleh mereka yang telah menyerahkan Dia oleh 

karena iri hati. Kubur di mana tubuh-Nya yang tercabik-cabik 

dibaringkan selama tiga hari ditemukan kosong pada hari 

Minggu yang mulia hampir 2.000 tahun yang lalu—persis 

seperti yang para nabi telah ramalkan. Kebangkitan-Nya, muji￾zat utama dari eksistensi duniawi-Nya, membuktikan bahwa Ia 

adalah manusia dalam daging. Kisah-Nya yang terdokumenta￾si secara historis adalah jawaban utama untuk masalah dosa yang dicari oleh generasi-generasi yang tak terhitung banyak￾nya di sepanjang sejarah. Dan di sanalah Ia, sang Juruselamat, 

menatap ke dalam mata pikiran kita dengan segenap kasih dan 

penderitaan yang membuat rasul Petrus berlutut. Satu-satunya 

pertanyaan yang tersisa untuk kita tanyakan hanyalah, “Apa￾kah yang akan kita lakukan dengan Yesus?” 

Apakah Anda akan menolak Anak Allah sebagai Tuhan 

dan Juruselamat Anda seperti yang dilakukan oleh banyak 

orang Farisi yang keras kepala pada abad pertama? Akankah 

Anda secara lisan mengaku akan mengikut Dia, tetapi benar￾benar tidak pernah mendedikasikan hidup Anda kepada Dia 

seperti yang dilakukan jutaan orang percaya sekarang ini (bdk. 

Matius 7:21-23; 16:24-26)? Atau, akankah Anda tunduk kepada 

Dia dan menjadi orang Kristen sejati?

Sayangnya, beberapa orang tiba pada kesimpulan bahwa 

manusia tidak punya peran dalam penyelamatan dirinya dari

dosa oleh Allah. Mereka percaya bahwa tidak ada yang dapat 

mereka lakukan sama sekali. Beberapa orang hanya berpikir 

bahwa kehidupan Yesus tidak menuntut respons dari kita. 

Namun begitu, yang benar adalah ketika tiba pada masalah 

karunia keselamatan secara cuma-cuma yang Allah tawarkan 

kepada seluruh dunia melalui Anak-Nya (Yohanes 3:16), ada 

persyaratan yang harus dipenuhi dari pihak manusia agar ia 

dapat menerima karunia itu. Mirip dengan seorang pria yang 

mungkin secara cuma-cuma diberi Rp. 100.000.000, tetapi ma￾sih harus “melakukan” hal-hal tertentu untuk menerima uang 

itu (misalnya, mengambil cek di lokasi tertentu, membawa cek 

itu ke bank, menandatangani cek itu, menguangkan cek itu, 

dll.), pendosa non-Kristen harus melakukan beberapa hal un￾tuk dapat diselamatkan. 

Sida-sida Etiopia merespons pemberitaan Filipus tentang

Yesus dengan melakukan sesuatu (Kisah 8:35-38). Orangorang Yahudi pada hari Pentakosta memahami hal ini, seperti 

yang dibuktikan oleh pertanyaan mereka: “Apakah yang harus 

kami perbuat, saudara-saudara?” (Kisah 2:37). Saulus, yang 

belakangan bernama Paulus (Kisah 13:9), percaya bahwa ada 

sesuatu yang lain yang perlu ia lakukan selain mengalami per￾jumpaan pribadi dengan Tuhan yang bangkit dalam perjalan￾annya ke Damsyik, karena ia bertanya kepada Yesus, “Tuhan, 

apakah yang Engkau inginkan untuk aku perbuat?” (Kisah 9:6; 

NKJV). Dan kepala penjara di Filipi, setelah mengamati kesa￾lehan Paulus dan Silas dan terbangun oleh gempa bumi serta 

melihat pintu penjara terbuka (Kisah 16:20-29), “dengan geme￾tar tersungkurlah ia di depan Paulus dan Silas.… sambil ber￾kata: ‘Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku 

selamat?’” (Kisah 16:30). Jika mereka yang merespons perta￾nyaan-pertanyaan ini (Petrus dalam Kisah 2, Yesus dalam 

Kisah 9, dan Paulus dan Silas dalam Kisah 16) memiliki pola 

pikir yang dimiliki beberapa orang dewasa ini, mereka harus￾nya menjawab dengan mengatakan, “Tidak ada yang dapat 

kalian perbuat. Tunggu saja, dan keselamatan akan datang ke￾padamu.“ Tetapi respons mereka sangat berbeda dari ini. Da￾lam keseluruhan tiga kali pertanyaan itu diajukan, perintah un￾tuk melakukan sesuatu diberikan. Petrus memberitahu mere￾ka pada hari Pentakosta untuk “bertobat dan dibaptis” (Kisah 

2:38); Paulus dan Silas menginstruksikan kepala penjara Filipi 

dan orang seisi rumahnya untuk “percayalah kepada Tuhan 

Yesus Kristus” (Kisah 16:31); dan Yesus memerintahkan Saulus 

untuk “bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan 

dikatakan kepadamu, apa yang harus kau perbuat” (Kisah 9:6).

Perhatikanlah tidak satu pun dari mereka yang memberi kesan 

bahwa keselamatan membebaskan kita untuk “tidak ber￾buat apa-apa.” Yesus memberitahu Saulus bahwa ia ”harus

melakukan” sesuatu. Ketika Saulus tiba di Damsyik seperti yang Yesus arahkan kepada dia, ia melakukan persis apa yang

juru bicara Allah, Ananias, perintahkan untuk ia lakukan (Ki￾sah 22:12-16; 9:17-18).

Perjanjian Baru memberikan prasyarat khusus yang ha￾rus diikuti sebelum orang dapat menerima manfaat pendamai￾an dari darah Kristus (Wahyu 1:5; 1Yohanes 1:7). Kondisi ini 

tidak samar-samar atau sulit dipahami. Orang harus mengakui 

iman kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah (Yohanes 8:24; 

Roma 10:9-10; bdk. 1Timotius 6:12), dan ia harus berbalik dari

dosa masa lalunya (Kisah 26:20; Lukas 13:3; Kisah 2:38). Namun 

begitu, itu bukan akhir masalah ini. Alkitab membahas satu 

lagi langkah yang mendahului penerimaan karunia keselamat￾an—suatu langkah yang tidak diragukan lagi telah menjadi 

kontroversi dalam dunia Kristen—baptisan air. Itu disebutkan 

beberapa kali sepanjang Perjanjian Baru, dan Yesus maupun 

murid-muridnya mengajarkan bahwa baptisan mendahului

keselamatan (Markus 16:16; Matius 28:19-20; Kisah 2:38). Dosa￾dosa rasul Paulus dibasuh bersih hanya setelah ia diselamkan 

ke dalam air (Kisah 22:16; bdk. Kisah 9:18). [ CATATAN : Mes￾ki Paulus mendengar Tuhan, bicara kepada Dia, dan perca￾ya tentang Dia di jalan menuju Damsyik (Kisah 9), namun Pau￾lus tidak menerima keselamatan itu sampai ia pergi ke Dam￾syik dan dibaptiskan.] Kitab Kisah Para Rasul penuh dengan 

contoh-contoh tentang mereka yang tidak menerima karunia 

keselamatan sampai setelah mereka mengaku beriman kepada 

Kristus, bertobat dari dosa-dosa mereka, dan dibaptis (Kisah 

2:38-41; 8:12; 8:26-40; 10:34-48; 16:14-15; 16:30-34; 18:8). Selan￾jutnya, surat kiriman dari Petrus dan Paulus juga menunjuk￾kan perlunya baptisan (1Petrus 3:21; Kolose 2:12; Roma 6:1-4). 

Jika seseorang menginginkan banyak berkat rohani ditemukan 

“di dalam Kristus” (mis., keselamatan—2Timotius 2:10; peng￾ampunan—Efesus 1: 7; bdk. Efesus 2:12; dll.), ia harus jangan berhenti setelah mengaku beriman kepada Tuhan Yesus, atau 

setelah memutuskan dalam dirinya sendiri untuk berbalik dari 

gaya hidup yang berdosa. Ia juga harus “dibaptis ke dalam

Kristus” (Galatia 3:27; Roma 6:3) “untuk pengampunan dosa” 

(Kisah 2:38). Pada titik inilah Allah menghapus (Kisah 22:16) 

dosa-dosa pendosa orang non-Kristen oleh darah Yesus Kris￾tus (1Petrus 1:18-19; Wahyu 1:5). 

Jika Anda bukan orang Kristen, ini adalah doa kami bah￾wa Anda akan menjadi orang Kristen satu hari nanti dengan 

merespons dengan iman apa yang Yesus lakukan untuk Anda, 

sama seperti yang orang non-Kristen lakukan 2.000 tahun 

lalu. Jika Anda orang Kristen, kami menganjurkan Anda untuk 

tetap setia kepada Tuhan, “Sebab kamu tahu bahwa dalam per￾sekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Korin￾tus 15:58; Wahyu 2:10). 

Sepanjang sejarah manusia, miliaran orang telah lahir, 

hidup, dan mati. Andaikan dunia masih ada lebih lama lagi, 

miliaran orang lagi akan datang dan pergi. Tapi hanya ada satu 

orang, satu nama, yang memiliki kuasa untuk menyelamatkan 

dunia dari dosa dan kematian. Hanya satu pribadi dalam selu￾ruh sejarah manusia yang dapat menjalani kehidupan yang

sempurna dan membangun kerajaan yang tidak akan pernah 

binasa. Hanya satu orang yang memiliki kuasa untuk menak￾lukkan kematian dan membebaskan manusia dari cengkeram￾an penawanannya. Hari ini kata-kata Petrus bersuara sebagai 

kebenaran sama seperti yang disuarakan hampir 20 abad yang 

lalu: “Di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang 

diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamat￾kan” (Kisah 4:12). Yesus Kristus berdiri sendiri sebagai satu￾satunya Pribadi yang dapat menawarkan keselamatan yang 

kekal.





YESUS KRISTUS—MATI ATAU HIDUP?

 

Kemungkinan besar, beberapa orang yang membaca buku

ini akan sudah punya keputusan tentang kebangkitan Yesus 

Kristus. Dan, mungkin banyak yang mengakui bahwa Yesus Kris￾tus hidup di Bumi ini untuk sekitar 33 tahun, mati di tangan 

wali negeri Romawi, Pontius Pilatus, dikuburkan di sebuah 

makam baru milik Yusuf dari Arimatea, dan secara mujizat￾iah mengalahkan maut dengan kebangkitan-Nya tiga hari ke￾mudian. Tetapi mungkin ada beberapa orang yang masih 

ragu tentang kebenaran kebangkitan Kristus. Faktanya, banyak 

orang memiliki lebih daripada sekadar keraguan yang tetap 

melekat; mereka sudah memutuskan bahwa kisah kebangkitan 

yang terjadi sudah terlalu lama, disaksikan oleh terlalu sedikit 

orang, belum dibuktikan secara sainstifik, dan karenanya harus 

dibuang sebagai legenda yang tidak dapat diandalkan . 

Terlepas dari posisi mana yang paling terbaik untuk 

menggambarkan pandangan pribadi Anda tentang kebang￾kitan Kristus, apa yang kita semua harus lakukan adalah 

meninggalkan prasangka kita di pintu masuk, dan bersedia 

secara terbuka dan jujur memeriksa fakta-fakta sejarah yang 

menyertai kebangkitan.

 

FAKTA: YESUS KRISTUS PERNAH HIDUP DAN MATI 

Menentukan apakah Yesus Kristus benar-benar pernah 

hidup atau tidak merupakan sesuatu yang perlu ditetapkan 

sebelum orang mulai dapat membahas kebangkitan-Nya. Jelas-nya, jika tidak dapat dibuktikan tanpa keraguan sedikit pun 

bahwa Ia pernah hidup di Bumi ini, maka diskusi apa saja 

tentang apakah Ia sudah bangkit dari kematian atau tidak 

secara cepat akan melantur ke dalam pembuatan mitos yang 

didasarkan lebih pada terkaan dan imajinasi manusia. Untung￾nya, fakta bahwa Yesus pernah hidup hampir diterima secara 

universal karena, seperti yang telah kita dokumentasikan da￾lam pasal satu, sejumlah saksi yang bermusuhan bersaksi ten￾tang kehidupan-Nya, dan Perjanjian Baru mendokumentasikan 

keberadaan-Nya dengan rincian yang sangat rinci. [Bahkan 

jika orang tidak mau menerima Perjanjian Baru sebagai diil￾hami oleh Allah, ia tidak dapat menyangkal bahwa kitab-kitab￾nya berisi informasi sejarah mengenai orang bernama Yesus

Kristus yang benar-benar pernah hidup di abad pertama M.] 

Sejarawan yang jujur dipaksa untuk mengakui bahwa doku￾mentasi bagi keberadaan dan kehidupan Yesus adalah dalam 

dan luas. Dengan begitu, mengetahui bahwa Yesus Kristus itu 

eksis membolehkan kita untuk bergerak lebih jauh ke dalam 

subjek kebangkitan-Nya . 

Bagi kebanyakan orang, tiba pada kesimpulan bahwa 

Yesus sudah mati adalah tidak sulit, oleh karena salah satu dari 

dua alasan ini. Pertama, pengiman Alkitab menerima fakta 

bahwa Yesus sudah mati karena beberapa penulis Alkitab yang 

berbeda meneguhkan hal itu. Kedua, orang yang tidak percaya 

menerima gagasan itu, bukan didasarkan pada bukti Alkitab, 

tetapi lebih pada gagasan bahwa urutan alami yang ia sudah 

alami dalam hidup ini adalah bahwa orang yang hidup pada 

akhirnya mati. Satu bukti yang cukup untuk membuktikan 

keberadaan Kristus dalam sejarah telah ditegakkan, orang 

naturalis/empiris tidak kesulitan menerima fakta kematian￾Nya. Namun begitu, dengan maksud untuk memberi orang￾orang semacam itu argumentasi yang lebih luas yang dapat diterima tentang hal ini, tentu baik untuk diperhatikan bahwa 

beberapa penulis sekuler mendukung fakta bahwa Yesus Kris￾tus memang sudah mati. Tacitus, sejarawan Romawi kuno 

yang menulis sekitar 115 M., mendokumentasikan kematian 

fisik Kristus ketika ia menulis tentang umat Kristen bahwa 

“pencetus mereka, Kristus, telah dieksekusi pada masa peme￾rintahan Tiberius oleh gubernur dari Yudea, Pontius Pilatus“ 

(1952, 15.44). Selain sumber-sumber Romawi, para rabi Yahudi 

awal yang pendapatnya dicatat dalam Talmud mengakui

kematian Yesus. Menurut para rabi sebelumnya,

 

Yesus dari Nazaret adalah seorang pelanggar hu￾kum di Israel yang mempraktikkan sihir, mencemo￾oh kata-kata bijak, menyesatkan banyak orang, dan 

mengatakan bahwa ia datang bukan untuk meng￾hancurkan hukum Taurat tetapi untuk menambah￾kannya. Ia digantung pada Malam Paskah karena 

ajaran bid'ah dan menyesatkan orang-orang (Bruce, 

1953, p.102). 

 

Demikian juga, sejarawan Yahudi Josephus menulis:

 

Di sekitar waktu ini muncul Yesus, orang bijaksa￾na.… Dan ketika Pilatus telah menghukum dia di 

kayu salib berdasarkan tuduhan oleh tua-tua di 

antara kita, orang-orang yang dari awalnya menga￾sihi dia tidak lenyap (Antiquities of the Jewish, 18.3.3).

 

Fakta bahwa Pilatus menghukum Kristus di kayu salib ada￾lah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Seperti yang arkeolog 

Edwin Yamauchi nyatakan:Bahkan jika kita tidak memiliki Perjanjian Baru 

atau tulisan-tulisan Kristen, kita akan dapat me￾nyimpulkan dari tulisan-tulisan non-Kristen seper￾ti Josephus, Talmud, Tacitus, dan Pliny the Younger 

bahwa … ia [Yesus—KB/EL ] disalibkan di bawah 

Pilatus pada masa pemerintahan Tiberius (1995, p. 

222). 

 

Masih ada orang-orang yang, dalam upaya untuk me￾nyangkal kebangkitan tubuh Kristus, telah menyarankan bah￾wa Kristus tidak mati pada waktu penyaliban. Sebaliknya, 

dikatakan, Tuhan hanya “pingsan” di kayu salib. Beberapa 

orang mengklaim bahwa belakangan Ia pulih dari siksaan￾Nya dan mengumumkan kebangkitan-Nya! Konsep ini tam￾paknya telah dikembangkan pertama kali pada 1768 oleh Peter 

Annet, seorang deis Inggris. Pada 1977, Andreas Faber-Kaiser, 

seorang filsuf dan jurnalis, mengemukakan gagasan bahwa 

Yesus selamat dari penyiksaan di Kalvari. Pembela konsep ini 

yang paling menonjol dalam beberapa tahun terakhir adalah 

Hugh Schonfield. Bukunya, The Passover Plot, sudah beredar di 

pasaran selama empat puluh tahun (telah mengalami dua 

puluh kali cetak dalam dekade pertamanya saja!). Schon￾field berteori bahwa Yesus, yang percaya bahwa dirinya adalah 

Mesias, merencanakan untuk berpura-pura “mati,” sebab ber￾niat, setelah peristiwa dramatis itu, untuk dengan penuh keme￾nangan meraup kekuasaan. Perhatikan pernyataannya: “Ia 

[Kristus] merencanakan dan merancang dengan keterampilan 

dan sumber daya paling baik, terkadang membuat pengaturan 

rahasia, mengambil keuntungan dari setiap keadaan yang kon￾dusif untuk mencapai tujuan-Nya itu“ (1965, p. 155). Schon￾field menuduh bahwa bunga karang yang ditawarkan kepada 

Yesus ketika berada di kayu salib (Yohanes 19:29-30) telah direndam dengan narkotika yang kuat, tujuannya untuk me￾nimbulkan kesan kematian. Rencananya adalah para sahabat 

itu akan menurunkan tubuh-Nya dan menyembunyikan dia 

sampai Ia mendapatkan kembali kekuatan-Nya. Menurut Schon￾field, bagaimanapun, rencana itu gagal ketika tentara Romawi 

tiba-tiba menusukkan tombak ke lambung Yesus. Tuhan itu 

diduga diturunkan dari salib dalam keadaan tidak sadar, dan 

dibawa ke tempat rahasia di mana Ia kemudian mati dan dima￾kamkan secara diam-diam.

Seperti yang sering terjadi pada “sarjana-sarjana” seperti 

itu, Schonfield merusak catatan Perjanjian Baru yang memba￾has penampakan Kristus pasca-kebangkitan. Misalnya, ia ber￾pendapat bahwa orang yang menampakkan diri kepada Maria 

Magdalena di taman itu (Yoh. 20:11 dst.) adalah bukan Yesus, 

sebagaimana catatan para rasul, tetapi mungkin salah satu 

rekan konspirator Kristus—mungkin orang yang memberi 

Tuhan narkotika di kayu salib (pp. 168-169). Cara orang kafir 

menangani teks Alkitab adalah sangat menarik. Schonfield 

bahkan tidak akan tahu tentang wawancara di taman itu jika 

tidak karena catatan dari Yohanes; jadi ia dengan demikian 

menerima itu sebagai sejarah. Pada saat yang sama ia berani 

memberitahu kita—sembilan belas abad setelah peristiwa itu, 

ingatlah itu—bahwa identifikasi Yohanes atas orang itu sebagai 

Yesus tidak dapat diandalkan! Dengan mengingat manipulasi 

seperti itu, tidak heran bahwa bahkan seorang penulis 

modern akan mengakui: “Teori pingsan adalah sangat cerdik, 

tetapi teori itu memperlakukan dengan kasar semua bukti dari 

sumber-sumber Kristen sedemikian rupa sehingga tidak ada 

petunjuk tentang teori ini oleh lawan-lawan awal agama 

Kristen mana saja“ (Cornfield, 1982, p. 182). 

Salah satu prinsip utama Injil adalah ini: “Kristus telah 

mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci“ (1Korin-tus 15:3). Semua manusia yang jujur, dipaparkan dengan bukti 

itu, harus mengakui kebenaran fakta ini. 

 

FAKTA: KUBUR KOSONG KRISTUS 

Sekitar tahun 165 M., Justin Martyr menulis Dialogue with

Trypho. Di awal pasal 108 bukunya ini, ia mencatat sebuah surat 

yang diedarkan oleh komunitas Yahudi tentang kubur kosong 

Kristus: 

 

Sebuah bidah fasik dan durhaka telah muncul 

dari Yesus, seorang Galilea penipu, yang sudah kita 

salibkan, tetapi murid-muridnya mencuri dia pada 

malam hari dari kubur tempat ia dibaringkan keti￾ka diturunkan dari salib itu, dan sekarang menipu 

orang-orang dengan menegaskan bahwa ia telah 

bangkit dari antara orang mati dan naik ke sorga.

 

Di suatu tempat sekitar abad keenam, sebuah risalah 

pedas lain yang ditulis untuk mencemarkan nama baik Kristus 

beredar di antara komunitas Yahudi. Dalam narasi ini, yang 

dikenal sebagai Toledoth Yeshu, Yesus digambarkan sebagai 

anak haram dari prajurit bernama Joseph Pandera. Ia juga

dicap sebagai penipu kurang ajar yang menyesatkan banyak 

orang dari kebenaran. Di penghujung risalah itu, di bawah 

pembahasan tentang kematian-Nya, paragraf berikut ini dapat 

ditemukan:

 

Penyelidikan yang tekun dilakukan dan ia [Yesus—

KB/EL] tidak ditemukan di kubur tempat ia sudah 

dikuburkan. Seorang tukang kebun telah mengam￾bil dia dari kubur itu dan membawa dia ke dalam kebunnya dan menguburkan dia dalam pasir yang 

di atasnya air mengalir ke dalam kebun itu (Toledoth 

Yeshu). 

 

Setelah membaca gambaran Justin Martyr tentang satu teori 

Yahudi mengenai kubur Kristus, dan premis lain dari Toledoth 

Yeshu, maka jelaslah bahwa satu benang merah menyatukan 

keduanya—di dalam kubur Kristus tidak ada mayat! 

Semua pihak yang terlibat mengakui fakta bahwa kubur 

Kristus kosong pada hari ketiga. Merasa terpaksa untuk mem￾berikan alasan bagi kekosongan yang tak terduga ini, pihak 

berwenang Yahudi rupanya mengarang beberapa teori berbe￾da untuk menjelaskan hilangnya mayat itu. Teori yang paling

dapat diterima secara umum tampaknya adalah teori bahwa 

para murid Yesus mencuri mayat-Nya pada malam hari selagi 

para penjaga itu tertidur (Matius 28:13). Namun, bagaimana￾kah para prajurit itu dapat mengenali para pencuri itu jika me￾reka tertidur? Dan mengapakah para prajurit penjaga itu tidak 

dihukum mati karena tertidur saat bertugas dan dengan demi￾kian mengabaikan tanggung jawabnya (bdk. Kisah 12:6-19)?

Dan pertanyaan yang bahkan lebih mendesak yang terlintas 

dalam pikiran—jika mayat itu masih ada di dalam kubur itu 

mengapakah para prajurit itu perlu memberi penjelasan?

Ketika Petrus berdiri pada Hari Pentakosta sesudah ke￾bangkitan Kristus, inti dari khotbahnya bertumpu pada fakta 

bahwa Yesus sudah mati, sudah dikuburkan, dan sudah bang￾kit kembali pada hari ketiga. Untuk membungkam Petrus, dan

menghentikan perubahan hidup secara massal, para pemimpin 

Yahudi hanya perlu menghadirkan mayat Kristus. Mengapa￾kah para pemimpin Yahudi itu tidak mau berjalan sedikit ke 

taman itu dan menghadirkan mayat itu? Karena mereka me￾mang tidak dapat; kubur itu kosong—fakta yang orang-orangYahudi itu akui dan berusaha untuk dikaburkan. Para rasul 

tahu itu, dan memberitakannya dengan berani di kota Yerusa￾lem. Dan ribuan penduduk Yerusalem tahu itu dan berubah 

memeluk agama Kristen. John Warwick Montgomery secara

akurat menilai masalah itu ketika ia menulis: “Itu melewati

batas kredibilitas bahwa umat Kristen mula-mula sudah bisa 

mengarang kisah seperti itu dan kemudian memberitakan￾nya di antara mereka yang bisa dengan mudah membantah￾nya dengan menghadirkan mayat Yesus“ (1964, p. 78). 

Kubur Yesus memang kosong, dan itu adalah fakta. 

 

FAKTA: PARA RASUL MEMBERITAKAN BAHWA 

YESUS SUDAH BANGKIT SECARA FISIK 

DARI ANTARA ORANG MATI

Terlepas dari apakah orang percaya atau tidak bahwa 

Kristus sudah bangkit dari antara orang mati, satu hal yang 

tidak dapat disangkal adalah fakta bahwa para rasul-Nya 

memberitakan bahwa mereka sudah melihat Yesus setelah Ia 

bangkit secara fisik dari antara orang mati. Kitab Perjanjian 

Baru Kisah Para Rasul menekankan masalah ini hampir sam￾pai titik yang berlebihan. Kisah 1:22, sebagai contoh, menda￾patkan Petrus dan para rasul lainnya sedang memilih seorang 

rasul yang akan menjadi “saksi” kebangkitan Kristus. Lalu, 

pada Hari Pentakosta, Petrus menegaskan dalam khotbahnya 

kepada orang banyak yang telah berkumpul untuk mende￾ngarkan dia bahwa “Allah membangkitkan” Yesus dan dengan 

demikian melepaskan Dia dari sengsara maut (Kisah 2:24). Dan 

untuk memastikan bahwa pendengarnya mengerti bahwa ke￾bangkitan itu adalah kebangkitan fisik, Petrus menyatakan 

secara khusus bahwa “daging [Yesus] tidak mengalami kebi￾nasaan“ (Kisah 2:31). Maksudnya jelas: Yesus telah dibangkit-kan secara jasmani dari antara orang mati dan para rasul telah 

menyaksikan Kristus yang telah bangkit. [Nas-nas lain yang 

mendokumentasikan bahwa tema utama khotbah para rasul itu 

adalah kebangkitan tubuh Kristus mencakup Kisah 3:15, 3:26, 

4:2,10,33, dan 5:30.] Selanjutnya, seluruh pasal 1 Korintus 15 

(terutama ayat 14) memverifikasi bahwa khotbah rasul Paulus 

berpusat pada kebangkitan.

Bahkan Joseph McCabe, salah satu orang kafir awal abad 

kedua puluh yang paling lantang, mengatakan: “Paulus secara 

mutlak yakin akan kebangkitan itu; dan ini membuktikan bah￾wa hal itu diyakini secara luas tidak beberapa lama setelah

kematian Yesus“ (1926, p. 24). Skeptis modern Shirley Jackson 

Case dari University of Chicago dipaksa mengakui: “Kesaksian 

Paulus sendiri sudah cukup untuk meyakinkan kita, melam￾paui keraguan apa pun yang masuk, bahwa ini adalah penda￾pat yang diterima secara umum pada zamannya—sebuah 

pendapat pada zaman itu yang didukung oleh otoritas terting￾gi yang dapat dibayangkan, para saksi mata itu sendiri“ (1909, 

p. 171-172). C. S. Lewis dengan benar menyatakan: “Pada 

masa-masa awal agama Kristen, seorang ‘rasul’ adalah orang 

pertama dan terutama yang mengaku sebagai saksi mata Ke￾bangkitan” (1975, p. 188). 

Telah dikemukakan oleh beberapa kritikus bahwa para 

rasul dan saksi-saksi lain tidak benar-benar melihat Kristus, 

tetapi hanya berhalusinasi. Namun begitu, Gary Habermas 

harus mengatakan ini tentang ide aneh seperti itu:

 

[H]alunisasi relatif jarang terjadi. Itu biasanya dise￾babkan oleh obat-obatan atau adanya kekurangan 

pada tubuh. Kemungkinannya adalah, Anda tidak 

tahu siapa pun yang pernah mengalami halusinasi 

yang tidak disebabkan oleh salah satu dari dua pe-nyebab itu. Namun kita diharapkan untuk percaya 

bahwa setelah beberapa minggu berlalu, orang￾orang dari segala macam latar belakang, dengan 

semua jenis tabiat, dalam berbagai tempat, semua￾nya mengalami halusinasi? Hal itu cukup banyak 

menyulitkan hipotesis itu, bukan? (seperti dikutip 

dalam Strobel, 1998, p. 239). 

 

Sesungguhnya, teori halusinasi itu merupakan upaya 

lemah untuk merongrong fakta bahwa para rasul (dan para

saksi mata lain abad pertama tentang Kristus yang bangkit) 

memberitakan pesan bahwa mereka benar-benar telah melihat 

Yesus yang telah bangkit. Para rasul memberitakan bahwa 

Kristus sudah bangkit secara fisik, dan mereka yang sudah 

mendengar para rasul itu memverifikasi bahwa mereka mem￾beritakan kebangkitan. Terlepas dari apa yang orang percayai 

tentang kebangkitan Kristus, ia tidak dapat menyangkal (secara 

sah) fakta bahwa para rasul melakukan perjalanan yang jauh 

dan luas untuk memberitakan satu pesan utama—kematian, 

penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. 

 

FAKTA: PARA RASUL MENDERITA DAN MATI 

OLEH KARENA MEREKA MENGAJARKAN 

KEBANGKITAN

Seraya daftar fakta-fakta itu berlanjut, satu yang harus 

disebutkan adalah fakta sejarah yang terverifikasi bahwa seba￾gian besar para rasul mengalami kekejaman, kematian akibat 

penyiksaan karena mereka memberitakan bahwa Kristus sudah 

bangkit dari antara orang mati. Mendokumentasikan pengani￾ayaan ini bukan tugas yang sulit. Fox’s Book of Martyrs men￾ceritakan bahwa Paulus dipenggal, Petrus disalibkan (mungkin dengan posisi terbalik), Tomas ditikam dengan tombak, Matius 

dibunuh dengan tombak-kapak, Matias dirajam dan dipeng￾gal, Andreas disalibkan, dan daftar itu selanjutnya menggam￾barkan kematian martir setiap orang dari rasul-rasul Tuhan

yang setia kecuali Yohanes saudara Yakobus (Forbush, 1954, 

pp. 2-5). 

Kesaksian tambahan datang dari bapak-bapak gereja 

mula-mula. Eusebius, yang dilahirkan sekitar tahun 260 Mase￾hi meninggal sekitar 340, menulis bahwa Paulus dipenggal di 

Roma dan Petrus disalibkan di sana (Ecclesiastical History, 2.25).

[Tepatnya bagaimana dan di mana Petrus menjadi martir tidak 

jelas dari sejarah; namun fakta bahwa ia martir adalah jelas.] 

Clement dari Roma (yang wafat sekitar tahun 100 M.), dalam 

pasal lima dari suratnya First Epistle to the Corinthian, juga

menyebutkan kematian martir Petrus dan Paulus. Lukas, penu￾lis kitab Kisah Para Rasul, mendokumentasikan kematian

Yakobus ketika ia menyatakan: “Kira-kira pada waktu itu raja 

Herodes mulai bertindak dengan keras terhadap beberapa 

orang dari jemaat. Ia menyuruh membunuh Yakobus, saudara 

Yohanes, dengan pedang” Kisah 12:1-2). Rasul Paulus mungkin 

menyimpulkan itu dengan sangat baik ketika ia berkata: 

 

Sebab, menurut pendapatku, Allah memberikan 

kepada kami, para rasul, tempat yang paling ren￾dah, sama seperti orang-orang yang telah dijatuhi 

hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan 

bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manu￾sia. Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu 

arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. 

Kamu mulia, tetapi kami hina. Sampai pada saat ini 

kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup 

mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; 

kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difit￾nah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami 

telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama 

dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada 

saat ini (1Korintus 4:9-13).

 

Wayne Jackson dengan benar menulis bahwa “meski manusia 

mungkin saja mati karena penipuan agama, tapi mereka tidak 

bersedia menjemput kematian mereka dengan kesadaran bah￾wa mereka sedang melakukan penipuan“ (1982, 1:34). 

Beberapa upaya keliru telah dilakukan untuk menyang￾kal bahwa para rasul Kristus benar-benar mati oleh karena ke￾percayaan mereka kepada, dan pemberitaan tentang, kebang￾kitan. Sebagai contoh, pernah diusulkan bahwa para rasul mati 

karena mereka adalah penghasut politik atau provokator. Na￾mun begitu, dengan menggabungkan kualitas moral ajaran 

mereka yang tinggi dengan kesaksian para bapak gereja mula￾mula, dan dengan mengakui fakta bahwa tugas utama mereka 

adalah menjadi saksi kebangkitan, maka secara historis tidak 

akurat untuk menyiratkan bahwa para rasul itu menderita un￾tuk alasan apa pun selain daripada pengakuan mereka tentang 

kebangkitan. Faktanya adalah, para rasul itu mati karena mere￾ka menolak untuk berhenti memberitakan bahwa mereka telah 

melihat Tuhan hidup setelah kematian-Nya.

FAKTA: ALKITAB ADALAH KITAB KUNO

PALING AKURAT SECARA HISTORIS

Sir William Ramsay pernah menjadi orang yang tidak 

percaya dan merupakan arkeolog kelas dunia. Pendidikannya 

yang luas telah menanamkan di dalam dirinya indra keilmuan yang paling tajam. Tetapi seiring dengan keilmuan itu muncul 

juga prasangka yang melekat tentang dugaan ketidakakuratan 

Alkitab (khususnya kitab Kisah Para Rasul). Seperti yang 

Ramsay sendiri katakan: 

 

[S]ekitar tahun 1880 hingga 1890, kitab Kisah Para 

Rasul dianggap sebagai bagian Perjanjian Baru yang

paling lemah. Tidak ada orang yang menghargai 

reputasinya sebagai seorang sarjana mau peduli 

untuk mengatakan sepatah kata pun untuk membe￾la kitab itu. Para sarjana teologi yang paling konser￾vatif, biasanya, menganggap rencana pembelaan 

paling bijaksana untuk Perjanjian Baru secara kese￾luruhan adalah dengan sedikit mungkin membi￾carakan kitab Kisah Para Rasul (1915, p. 38). 

 

Seperti yang dapat diantisipasi dari orang yang telah 

dilatih oleh “para sarjana” seperti itu, Ramsay memiliki pan￾dangan yang sama. Ia, bagaimanapun, akhirnya meninggalkan 

itu, karena ia bersedia melakukan apa yang beberapa orang 

pada zamannya tidak berani lakukan—menjelajahi sendiri 

negeri-negeri Alkitab dengan beliung arkeolog di satu tangan 

dan Alkitab terbuka di tangan lainnya. Niatnya yang ia nyata￾kan sendiri adalah untuk membuktikan ketidakakuratan data 

sejarah oleh Lukas sebagaimana dicatat dalam kitab Kisah Para 

Rasul. Tetapi, yang sangat mengejutkan dia, kitab Kisah Para 

Rasul lulus dalam setiap ujian yang dapat ditanyakan kepada 

narasi sejarah mana saja. Faktanya, setelah bertahun-tahun 

benar-benar menggali bukti di Asia Kecil, Ramsay menyimpul￾kan bahwa Lukas adalah seorang sejarawan teladan. Lee S. 

Wheeler, dalam karya klasiknya, Famous Infidels Who Found 

Christ, menceritakan kembali kisah hidup Ramsay dengan sangat terinci (1931, pp. 102-106), dan kemudian mengutip 

arkeolog terkenal itu, yang akhirnya mengakui:

 

Semakin banyak saya mempelajari narasi Kisah 

para Rasul, dan semakin banyak saya belajar dari 

tahun ke tahun tentang masyarakat dan pemikiran 

dan kebiasaan Graeco-Romawi, dan organisasi di 

provinsi-provinsi tersebut, semakin saya kagum 

dan semakin baik pengertian saya. Saya pergi un￾tuk mencari kebenaran di perbatasan di mana

Yunani dan Asia bertemu, dan menemukannya di 

sini [dalam kitab Kisah Para Rasul—KB/EL]. Anda

bisa saja menekan kata-kata Lukas itu dengan 

kadar melampaui sejarawan lain mana saja, dan 

kata-kata itu bertahan dalam penelitian paling ketat 

dan perlakuan paling berat, asalkan pengritik itu 

selalu mengetahui subjeknya dan tidak melampaui 

batas sains dan keadilan (Ramsay, 1915, p. 89). 

 

Dalam bukunya, The Bearing of Recent Discovery on the 

Trustworthiness of the NewTestament, Ramsay dipaksa mengakui: 

“Lukas adalah sejarawan peringkat pertama; bukan hanya 

pelbagai pernyataannya merupakan fakta yang dapat diper￾caya, tetapi ia juga memiliki nalar sejarah sejati.… Singkatnya, 

penulis ini harus ditempatkan bersama dengan para sejarawan 

yang paling hebat“ (1915, p. 222; bdk. juga karya Ramsay tahun 

1908, Luke the Physician). ( CATATAN: Untuk informasi yang 

lebih luas tentang keandalan catatan Perjanjian Baru, lihat kem￾bali pasal 2). 

Namun begitu, harap dicatat bahwa argumen yang diper￾kenalkan di sini tidak untuk mengklaim bahwa Perjanjian 

Baru adalah terilham (meski beberapa penulis tertentu telah menggunakannya dengan cara ini dengan cukup efektif). Seba￾liknya, ini disisipkan pada titik ini dalam diskusi itu untuk 

menggambarkan bahwa kitab-kitab yang paling banyak bicara 

tentang kebangkitan telah terbukti akurat ketika dihadapkan 

dengan fakta yang dapat diverifikasi. Pergilah ke Negeri-Neg￾eri Alkitab dan lihat sendiri jika Anda meragukan keakuratan 

Alkitab. Milikilah pikiran yang jujur, terbuka dan Alkitab yang 

terbuka, dan Anda akan dipaksa untuk menghormati para 

penulis Perjanjian Baru sebagai sejarawan yang akurat.

 

TENTANG DUGAAN KONTRADIKSI DALAM INJIL

Mungkin dokumen-dokumen Perjanjian Baru akurat keti￾ka membahas informasi sejarah dan geografi. Namun bagaima￾na dengan semua dugaan “kontradiksi” tentang kebangkitan di 

antara kisah-kisah injil? Charles Templeton, yang bekerja ber￾tahun-tahun bersama Billy Graham Crusade tetapi akhirnya 

meninggalkan imannya, menggunakan beberapa halaman buku￾nya, Farewell to God, untuk membandingkan dan membedakan 

pelbagai pernyataan dalam keempat injil, dan kemudian me￾nyimpulkan: “Seluruh kisah kebangkitan tidak kredibel“ (1996, 

p. 122). Seorang pengkhotbah terkenal lain yang menjadi skep￾tis, Dan Barker, punya kesenangan pribadi dalam upaya mene￾mukan berbagai kontradiksi kebangkitan dalam empat kisah 

injil. Dalam bukunya, Losing Faith in Faith, ia memenuhi tujuh 

halaman dengan daftar “kontradiksi” yang ia yakini telah ia 

temukan. Akhirnya ia menyatakan, “Hai orang-orang Kristen, 

beritahu saya dengan tepat apa yang terjadi pada Minggu Pas￾kah, atau mari kita biarkan mitos Yesus terkubur“ (1992, p. 181).

Memang menarik, bukan, bahwa Barker meminta untuk 

tahu “dengan tepat apa yang terjadi” pada suatu hari dalam 

sejarah kuno yang terjadi hampir 2.000 tahun yang lalu? Per-mintaan semacam itu bicara keras tentang legitimasi sejarah

kisah kebangkitan, karena tidak ada hari lain dalam sejarah 

kuno yang pernah diperiksa dengan ketelitian seperti itu. Para 

sejarawan hari ini tidak dapat mengatakan dengan “tepat apa 

yang terjadi” pada 17 Agustus 1945 atau 28 Oktober 1928, tetapi

orang Kristen diharapkan untuk memberikan rincian yang 

“tepat” tentang kebangkitan Kristus? Untungnya, para penulis 

injil menjelaskan ”dengan tepat apa yang terjadi”—tanpa 

kontradiksi. Periksalah bukti berikut ini.KOLUSI TAHU SAMA TAHU

“Benturan: persetujuan rahasia antara dua pihak atau 

lebih untuk tujuan kecurangan, pelanggaran, atau penipuan“

(The AmericanHeritage …, 2000, p. 363). Bahkan jika sebelumnya 

kita tidak pernah mendengar kata kolusi, sebagian besar dari 

kita masih akan memahami situasi yang kata itu gambarkan.

Katakanlah, misalnya, lima perampok bank mengenakan mas￾ker nilon mereka, merampok bank kota, dan menyimpan uang 

tunai itu dalam sebuah gua terdekat. Setiap perampok lalu 

pulang ke rumah mereka masing-masing sampai selesainya 

pencarian oleh polisi. Perampok pertama mendengar ketukan 

di pintu rumahnya dan, saat dibuka, menjumpai seorang polisi 

yang “hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada 

dia.“ Petugas itu lalu bertanya,” Di manakah Anda berada, dan 

apakah yang Anda sedang lakukan, pada malam hari 1 Febru￾ari 2002?“ Pencuri itu segera menjawab, ”Saya berada di rumah 

Pak Parto nonton televisi dengan empat sahabat.“ Polisi itu mem￾peroleh nama dan alamat keempat sahabat itu dan mendatangi 

masing-masing rumah mereka. Setiap perampok itu, pada gilir￾annya, menceritakan kisah yang persis sama. Benarkah kisah 

itu? Tidak benar sama sekali! Tapi apakah semua cerita itu ter-dengar persis sama, dengan tidak ada kontradiksi yang tam￾paknya terlihat? Ya.

Sekarang, mari kita periksa prinsip ini dalam terang dis￾kusi kita tentang kebangkitan. Jika setiap narasi menggam￾barkan kebangkitan itu terdengar persis sama, menurut Anda 

apakah yang akan dikatakan tentang narasi itu? ”Mereka pasti 

telah saling menyontek!” Faktanya, dalam bidang lain kehidu￾pan Kristus selain kebangkitan, ketika kitab Matius dan Lukas 

memberikan informasi yang sama seperti kitab Markus, para 

kritikus sekarang ini mengklaim bahwa Matius dan Luke pasti 

telah menyontek dari Markus karena Markus dianggap sebagai 

yang paling awal dari tiga kitab itu. Pertanyaan panas lainnya 

dalam jajaran atas ”kecendekiaan” Alkitab sekarang ini adalah 

apakah Petrus menyontek Yudas dalam 2 Petrus 2:4-17 (atau 

apakah Yudas menyontek Petrus), karena dua bagian tulisan 

suci itu terdengar sangat mirip. 

Namun begitu, yang mengejutkan, Alkitab tidak membiar￾kan terbukanya prospek kolusi terkait dengan narasi kebangkit￾an. Sesungguhnya, tidak bisa dipungkiri (secara sah) bahwa 

kisah kebangkitan telah sampai kepada kita dari sumber inde￾penden. Dalam bukunya, Science vs. Religion, Tad S. Clements

dengan keras menyangkal adanya bukti yang cukup untuk mem￾benarkan keyakinan pribadi kepada kebangkitan. Ia, bagaima￾napun, mengakui, “Tidak hanya ada satu kisah tentang kebang￾kitan Kristus tetapi banyak kisah yang memalukan …“ (1990, p. 

193). Meski ia berpendapat bahwa kisah-kisah ini “tidak sejalan 

dalam rincian yang penting,“ namun ia tetap menjelaskan bah￾wa injil-injil itu berisi kisah-kisah yang terpisah tentang kisah 

yang sama. Dan Barker mengakui hal yang sama ketika ia 

dengan berani menyatakan: “Karena Easter [istilahnya untuk 

kisah kebangkitan—KB/EL] diceritakan oleh lima penulis yang 

berbeda, maka kisah itu memberi orang peluang terbaik untuk meneguhkan atau membantah kisah itu“ (1992, p. 179). Satu 

pintu yang diakui dengan bebas oleh semua orang dalam ke￾dua sisi kontroversi kebangkitan itu dan yang telah dikunci 

selamanya oleh kisah-kisah injil adalah pintu yang dipaku mati 

terhadap adanya kolusi.

 

MENANGANI “KONTRADIKSI”

Tentu saja tidak mungkin, dalam beberapa paragraf ini,

kita dapat menangani setiap dugaan perbedaan di antara kisah￾kisah kebangkitan. Namun kita ingin menyampaikan beberapa 

prinsip bermanfaat yang dapat digunakan untuk menun￾jukkan bahwa tidak ada kontradiksi sejati di antara narasi￾narasi kebangkitan yang telah didokumentasikan.

 

Penambahan Bukan Kontradiksi

Misalkan seorang suami bercerita tentang waktu ia dan 

istrinya pergi belanja di mal. Suami itu menyebutkan semua 

tempat yang bagus di mal itu untuk membeli alat pertukangan

dan makanan tradisional. Si istri bercerita tentang perjalanan 

belanja yang sama, tetapi hanya menyebutkan tempat untuk 

membeli pakaian. Apakah ada kontradiksi hanya karena istri 

itu menyebutkan toko pakaian, sedangkan suaminya hanya 

menyebutkan makanan tradisional dan alat pertukangan? Ti￾dak. Mereka hanya sedang menambahkan (atau melengkapi)

cerita masing-masing untuk membuatnya lebih lengkap. Jenis 

hal yang sama terjadi cukup sering dalam kisah-kisah kebang￾kitan. 

Sebagai contoh, kisah Injil Matius mengacukan ”Maria 

Magdalena dan Maria yang lain” sebagai perempuan yang me￾ngunjungi kubur lebih awal pada hari pertama minggu itu 

(Matius 28:1). Markus mengutip Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome sebagai para pemberita (Markus 

16:1). Lukas menyebut Maria dari Magdala, dan Yohana, dan 

Maria ibu Yakobus, dan “perempuan-perempuan lain” (Lukas 

24:0). Namun Yohanes hanya menulis tentang Maria Magda￾lena mengunjungi kubur Kristus lebih awal pada hari Minggu 

(Yohanes 20:1). Dan Barker mengutip nama-nama yang berbe￾da ini sebagai perbedaan dan/atau kontradiksi (p. 182). Namun

apakah daftar-daftar yang berbeda ini benar-benar saling ber￾tentangan? Tidak, mereka tidak bertentangan. Mereka itu ada￾lah pelengkap (dengan setiap penulis menambahkan nama￾nama untuk membuat daftar itu lebih lengkap), tetapi mere￾ka tidak bertentangan. Seandainya Yohanes berkata “hanya

Maria Magdalena yang mengunjungi kubur itu,“ atau jika 

Matius menyatakan bahwa “Maria Magdalena dan Maria yang 

lain merupakan satu-satunya kaum perempuan yang mengun￾jungi kubur itu,“ maka itu akan menimbulkan kontradiksi.

Namun demikian, tidak ada kontradiksi yang terjadi. Untuk 

mengilustrasikan lebih jauh, anggaplah Anda punya uang 10 

ribu di saku Anda. Seseorang mendatangi Anda dan bertanya, 

“Apakah Anda punya uang seribu rupiah disaku Anda?“ Tentu 

saja, Anda mengiyakan. Misalkan orang lain bertanya, “Apa￾kah Anda punya uang 5 ribu di saku Anda?“ dan lagi Anda 

mengiyakannya. Akhirnya, orang lain bertanya, “Apakah An￾da punya 10 ribu di saku Anda?“ dan Anda berkata ”ya“ untuk 

ketiga kalinya. Apakah Anda mengatakan yang sebenarnya 

setiap saat Anda menjawab? Ya, Anda mengatakannya. Apa￾kah ketiga pernyataan tentang isi saku Anda berbeda? Ya, 

mereka berbeda. Namun adakah dari 3 jawaban Anda itu yang 

kontradiktif? Tidak, mereka tidak kontradiktif. Bagaimana bisa?

Faktanya adalah: penambahan tidak sama dengan kontradiksi! 

Yang juga relevan dengan diskusi tentang penambahan

ini adalah para malaikat, manusia, dan orang muda yang di-gambarkan dalam kisah kebangkitan yang berbeda. Dua ”ma￾salah” yang berbeda muncul dengan masuknya “bentara suci”

di kubur kosong Kristus. Pertama, berapa banyakkah mereka 

itu tepatnya? Kedua, apakah mereka itu malaikat atau manu￾sia? Kisah dalam Matius mengutip “seorang malaikat Tuhan 

turun dari langit“ yang wajahnya ”bagaikan kilat dan pakaian￾nya putih bagaikan salju“ (28:2-5). Catatan Markus menyajikan 

gambaran yang sedikit berbeda tentang “seorang muda yang 

memakai jubah putih duduk di sebelah kanan“ (16:5). Tetapi 

Lukas menyebutkan bahwa “dua orang berdiri dekat mereka 

[kaum perempuan—KB/EL] memakai pakaian yang berkilau￾kilauan“ (24:4). Dan, akhirnya, Yohanes menulis tentang “dua 

orang malaikat berpakaian putih, yang seorang duduk di 

sebelah kepala dan yang lain di sebelah kaki di tempat mayat

Yesus terbaring” (20:12). Apakah ada dari beberapa kisah ini 

yang bertentangan dalam jumlah orang atau malaikat di kubur 

itu? Dengan mengingat faktor aturan penambahan, kita harus 

menjawab tidak ada. Meski kisah-kisah itu berbeda, tapi mere￾ka tidak bertentangan tentang jumlah utusan. Markus tidak 

menyebut “hanya satu orang muda” dan Lukas tidak menga￾takan ada “tepat dua malaikat.” Apakah ada satu utusan di 

kubur itu? Ya, ada satu. Apakah ada juga dua utusan? Ya, ada 

dua utusan. Sekali lagi, perhatikanlah bahwa penambahan 

tidak sama dengan kontradiksi. 

 

Apakah Mereka Itu Manusia Atau Malaikat?

Pertanyaan kedua tentang utusan itu adalah identitas 

mereka: Apakah mereka itu malaikat atau manusia? Keba￾nyakan orang yang akrab dengan Perjanjian Lama tidak pu￾nya masalah menjawab pertanyaan ini. Kejadian pasal 18 dan 

19 menyebutkan tiga “orang” yang datang mengunjungi Abra￾ham dan Sara. Tiga orang ini bertamu untuk waktu yang singkat, dan kemudian dua dari mereka melanjutkan perjalanan 

untuk mengunjungi kota Sodom. Alkitab memberitahu kita da￾lam Kejadian 19:1 bahwa ”orang-orang” ini sebenarnya adalah 

malaikat. Namun ketika kaum laki-laki Sodom datang untuk 

melakukan kekerasan terhadap para malaikat ini, penduduk 

kota itu bertanya: “Di manakah orang-orang yang datang 

kepadamu malam ini?” (Kejadian 19:5). Di sepanjang dua pasal 

itu, para utusan itu diacukan sebagai manusia dan malaikat 

dengan akurasi yang setara. Mereka melihat, bicara, jalan, 

dan terdengar seperti manusia. Lalu dapatkah mereka diacu￾kan (secara sah) sebagai manusia? Ya. Tetapi apakah mereka 

itu sebenarnya malaikat? Ya. Malaikat yang terlihat dalam 

wujud manusia.

Sebagai ilustrasi, misalkan Anda melihat seorang laki￾laki duduk di sebuah bangku taman dan melepas sepatu 

kanannya. Saat Anda memperhatikan dia, ia mulai menge￾luarkan antena dari ujung kaki sepatunya dan bantalan nomor 

dari tumit sepatunya. Ia melanjutkan dengan memencet sebuah 

nomor dan mulai bicara kepada seseorang dengan ”telepon 

sepatunya.” Jika Anda akan menuliskan apa yang telah Anda 

lihat, dapatkah Anda secara akurat mengatakan bahwa laki￾laki itu memencet sebuah nomor di sepatunya? Ya, dapat. Da￾patkah Anda juga mengatakan bahwa ia memencet sebuah no￾mor di teleponnya? Tentu saja, Anda dapat. Sepatu itu memi￾liki tumit, sol, ujung sepatu, dan semua hal lain yang berhu￾bungan dengan sepatu, tetapi dalam kenyataannya itu lebih 

daripada sekadar sepatu. Begitu juga halnya, utusan di kubur 

itu dapat digambarkan secara akurat sebagai manusia. Mereka 

memiliki kepala yang bertengger di dua bahu dan ditopang

oleh leher, dan mereka memiliki tubuh yang lengkap dengan 

lengan dan kaki, dll. Jadi, mereka adalah manusia. Namun,

sebenarnya, mereka itu sangat jauh melebihi manusia karena mereka adalah malaikat—utusan suci yang diutus dari takhta 

Allah untuk mengumumkan kepada orang-orang tertentu. De￾ngan mempertimbangkan fakta bahwa Perjanjian Baru sering 

menggunakan istilah “manusia” untuk menggambarkan malai￾kat yang mengambil bentuk manusia, maka cukup mudah 

untuk menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi mengenai 

identitas para utusan itu. 

 

Perspektif Memainkan Peranan

Apa yang terus kita lihat dalam narasi-narasi indepen￾den tentang kebangkitan adalah bukan kontradiksi, tetapi ha￾nya perbedaan perspektif. Misalnya, anggaplah seseorang pu￾nya kartu indeks ukuran 4x6 sentimeter yang satu sisinya ber￾warna merah dan sisi lainnya berwarna putih. Selanjutnya 

anggaplah ia berdiri di depan banyak orang, meminta semua 

orang laki-laki untuk menutup mata mereka, dan menunjuk￾kan sisi merah kartu itu kepada para hadirin perempuan, dan 

kemudian menyuruh mereka untuk menuliskan apa yang me￾reka sudah lihat. Lalu anggaplah bahwa ia menyuruh semua

perempuan untuk menutup mata mereka sementara ia me￾nunjukkan sisi putih kartu itu kepada kaum laki-laki dan min￾ta mereka menuliskan apa yang mereka sudah lihat. Satu 

kelompok orang melihat kartu merah dan satu kelompok orang 

lagi melihat kartu putih. Ketika jawaban mereka dibanding￾kan, pada awalnya mereka akan terlihat berkontradiksi, namun 

sebenarnya tidak. Jawaban itu terlihat kontradiktif karena ke￾dua kelompok orang itu memiliki perspektif yang berbeda, 

karena masing-masing telah melihat sisi berbeda dari kartu 

yang sama. Fenomena perspektif memainkan peran besar da￾lam kehidupan sehari-hari. Dalam cara yang sama di mana 

tidak ada saksi mata pernah melihat kecelakaan mobil dengan 

cara yang persis sama, maka tidak ada satu saksi pun tentangYesus yang bangkit telah melihat peristiwa itu dari sudut yang 

sama dengan saksi-saksi yang lain.

Jelasnya, kita memang belum menangani setiap dugaan 

perbedaan tentang kisah-kisah kebangkitan. Namun begitu, 

kita telah menyebutkan beberapa perbedaan yang utama, yang

dapat dijelaskan dengan cukup mudah melalui prinsip 

penambahan atau perbedaan perspektif. Studi yang jujur ten￾tang “masalah-masalah” yang tersisa mengungkapkan bahwa 

tidak ada satu pun kontradiksi yang sah ditemukan di antara 

narasi-narasi itu; mereka mungkin saja berbeda dalam bebera￾pa aspek, tetapi mereka tidak bertentangan. Selanjutnya, per￾bedaan apa pun yang ada tidak membuktikan keterlibatan ko￾lusi dan perbedaan itu mendokumentasikan keragaman yang 

akan sudah diantisipasi dari individu-individu berbeda yang 

menyaksikan peristiwa yang sama . 

Persoalan Mujizat 

Berdasarkan alasan sejarah, kebangkitan Yesus Kristus 

memiliki bukti yang banyak atau lebih untuk diverifikasi kredi￾bilitasnya dibandingkan peristiwa lain apa saja dalam sejarah 

kuno. Sayangnya, bukti ini sering dikesampingkan oleh mere￾ka yang menyangkal kemungkinan adanya mujizat.

Tetapi ketika tiba pada kebangkitan Kristus, bebera￾pa orang lebih suka menggunakan pendekatan empiris yang 

ketat, dan hasilnya, telah memutuskan apa yang mungkin, dan 

apa yang tidak mungkin, dalam dunia mereka. Dan mujizat 

(seperti kebangkitan) tidak masuk ke dalam kategori “mung￾kin” mereka. Karena mereka belum pernah melihat orang dibang￾kitkan dari antara orang mati, dan karena tidak ada eksperimen 

ilmiah yang dapat dilakukan pada tubuh yang dibangkitkan, 

mereka lalu menganggap kisah-kisah kebangkitan dari injil

harus memiliki penjelasan alami. Dalam sebuah artikel berju-dul, “Mengapa Saya Tidak Percaya Kebangkitan,” Richard 

Carrier mengetengahkan inti argumennya dalam komentar be￾rikut ini:

 

Berapapun jumlah argumen tidak dapat meyakin￾kan saya untuk memercayai laporan tidak langsung 

berusia 2000 tahun tentang apa yang saya lihat, diri 

saya sendiri, secara langsung, di sini dan saat ini, 

dengan mata saya sendiri. Jika saya mengamati 

fakta-fakta yang mengharuskan saya lenyap ketika 

saya mati, maka kisah Yesus tidak akan pernah da￾pat menyingkirkan pengamatan itu, karena sangat 

jauh lebih lemah sebagai bukti. Dan semua bukti di 

hadapan pancaindra saya menegaskan mortalitas 

saya.… Kisah tidak langsung berusia 2000 tahun

dari tempat terpencil yang buta huruf dan bodoh 

tidak pernah dapat mengalahkan fakta-fakta ini.

Saya tidak melihat ada orang yang hidup kembali 

sesudah otak mereka benar-benar mati karena keku￾rangan oksigen. Saya tidak punya percakapan de￾ngan roh-roh orang mati. Apa yang saya lihat sa￾ngat bertolak belakang dengan apa yang diklaim 

oleh kisah yang hebat ini. Bagaimana bisa kisah 

itu meminta lebih banyak penghargaan daripada 

kedua mata saya sendiri? Itu tidak bisa (2000). 

Meski argumen seperti itu awalnya mungkin tampak 

sangat masuk akal, tetapi argumen itu menghadapi dua kesu￾litan yang tidak dapat diatasi. Pertama, ada hal-hal yang terjadi 

di masa lalu yang tidak satu orang pun di zaman kini sudah 

atau akan pernah melihatnya, namun hal-hal itu masih diteri￾ma sebagai fakta. Asal usul kehidupan di planet ini memberi￾kan contoh yang baik. Terlepas dari apakah seseorang percaya kepada penciptaan atau evolusi, ia harus mengakui bahwa 

beberapa hal yang terjadi di masa lalu tidak masih sedang 

terjadi sekarang ini (atau setidaknya sesuatu yang belum disak￾sikan). Kepada kaum evolusionis, kita mengajukan pertanyaan: 

“Pernahkah Anda secara pribadi menggunakan pancaindra 

Anda untuk membuktikan bahwa benda mati dapat mengha￾silkan makhluk hidup.” Tentu saja, para evolusionis harus me￾ngakui bahwa mereka tidak pernah melihat hal seperti itu 

terjadi, terlepas dari semua eksperimen tentang asal usul 

kehidupan yang telah dilakukan selama lima puluh tahun ter￾akhir. Apakah pengakuan seperti itu berarti bahwa para evolu￾sionis tidak menerima gagasan bahwa kehidupan berasal dari 

benda mati, hanya karena mereka tidak pernah menyaksikan 

peristiwa semacam itu? Tentu saja tidak. Sebaliknya, kita di￾minta untuk mempertimbangkan “bukti kuno” (seperti kolom 

geologi dan catatan fosil ) yang para evolusionis yakini meng￾arah kepada kesimpulan semacam itu. Tetap saja, kenyataan 

pahitnya adalah bahwa tidak ada satu orang pun yang hidup 

sekarang ini (atau, dalam hal ini, siapa pun yang pernah 

hidup di masa lalu) telah menyaksikan sesuatu yang hidup 

berasal dari sesuatu yang mati melalui proses alami.

Dengan mengikuti alur pemikiran yang sama ini, mereka 

yang percaya kepada penciptaan dengan bebas mengakui 

bahwa penciptaan kehidupan di Bumi adalah peristiwa yang 

belum disaksikan oleh siapa pun yang hidup sekarang ini 

(atau, dalam hal ini, siapa pun di masa lalu, kecuali mungkin 

Adam). Itu adalah peristiwa unik, yang terjadi satu kali saja, 

yang tidak dapat diduplikasi oleh eksperimen dan saat ini tidak 

dapat dideteksi oleh lima indra manusia. Seperti halnya de￾ngan para evolusionis, para kreasionis meminta kita untuk 

memeriksa bukti seperti catatan fosil, rancangan inheren Alam 

Semesta dan penghuninya, Hukum Sebab Akibat, Hukum Bio-genesis, dll., yang mereka yakini mengarah kepada kesimpulan 

bahwa pada satu titik di masa lalu kehidupan diciptakan oleh 

Pencipta yang cerdas. Namun, sebelum kita hanyut terlalu jauh 

dari topik utama kebangkitan kita, ingatlah bahwa diskusi 

singkat ini tentang penciptaan dan evolusi disisipkan hanya 

untuk menetapkan satu maksud—setiap orang harus menga￾kui bahwa ia menerima beberapa konsep dari masa lalu yang

jauh tanpa secara pribadi telah menginspeksi konsep itu de￾ngan menggunakan indra empirisnya. 

Kedua, memang benar bahwa orang mati yang bangkit 

dari antara orang mati akan menjadi luar biasa dan, ya, secara 

empiris merupakan peristiwa mencengangkan. Manusia biasa￾nya tidak bangkit dari antara orang mati dalam pola peristiwa 

sehari-hari. Namun, bukankah justru hal itu yang para rasul 

dan para saksi kebangkitan sedang upayakan untuk dipahami 

oleh manusia? Jika Yesus dari Nazaret benar-benar sudah 

bangkit dari kubur untuk tidak pernah mati lagi—dengan 

demikian mencapai sesuatu yang manusia fana tidak pernah 

capai—tidakkah hal itu akan cukup untuk membuktikan bah￾wa Ia adalah Anak Allah seperti yang telah Ia klaim (lihat 

Markus 14:61-62)? Ia telah meramalkan bahwa Ia akan dibang￾kitkan dari antara orang mati (Yohanes 2:19). Dan Ia telah 

dibangkitkan!

Para pengamat abad pertama tentunya mengerti bahwa 

orang yang bangkit dari antara orang mati adalah tidak alami,

karena mereka memahami cara kerja hukum alam. Seperti yang 

C. S. Lewis jelaskan: 

 

Namun ada satu hal yang sering dikatakan tentang 

nenek moyang kita yang harus jangan kita katakan. 

Kita harus jangan mengatakan ”Mereka percaya 

kepada mujizat karena mereka tidak mengetahui Hukum Alam.” Ini adalah omong kosong. Ketika 

Santo Yusuf mengetahui mempelai perempuanya 

hamil, ia “ bermaksud menceraikannya.” Ia cukup

tahu cukup tentang biologi kehamilan.… Ketika 

para murid melihat Kristus berjalan di atas air me￾reka ketakutan; mereka tidak akan takut kecuali 

mereka telah mengetahui Hukum Alam dan tahu 

bahwa ini adalah pengecualian (1970, p. 26). 

 

Rasul Paulus menekankan maksud ini dalam Roma 1:4 

ketika ia menyatakan bahwa Yesus Kristus “dinyatakan oleh 

kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah 

Anak Allah yang berkuasa.” Seluruh maksud kebangkitan 

Kristus dulu, dan kini, adalah bahwa itu membuktikan keilahi￾an-Nya. Seperti yang telah kita katakan sebelumnya, kebanya￾kan orang yang menyangkal kebangkitan melakukan itu kare￾na mereka menolak untuk percaya kepada Allah Yang menga￾dakan pelbagai mujizat, bukan karena bukti sejarah tidak me￾madai.

 

Menghadapi Fakta-Fakta

Ketika berurusan dengan kebangkitan Kristus, kita harus 

berkonsentrasi pada fakta-fakta. Yesus dari Nazaret pernah 

hidup. Ia pernah mati. Kubur-Nya kosong. Para rasul membe￾ritakan bahwa mereka melihat Dia setelah Ia bangkit secara 

fisik dari antara orang mati. Para rasul menderita dan mati oleh 

karena mereka memberitakan, dan menolak untuk menyang￾kal, kebangkitan itu. Pesan mereka dilestarikan dalam doku￾men paling akurat yang sejarah kuno dapat banggakan. Saksi￾saksi independen membahas kebangkitan itu dalam tulisan￾tulisan mereka—dengan keragaman yang cukup (namun tanpa satu kontradiksi yang sah ) untuk membuktikan tidak ada 

kolusi yang terlibat.

Argumen utama untuk menentang kebangkitan, tentu 

saja, adalah bahwa pada umumnya, orang mati tidak bangkit 

dari kubur—yang merupakan maksud utama yang sedang 

disampaikan oleh para rasul. Tetapi ketika semua bukti ditim￾bang dan diungkapkan bahwa para rasul tidak pernah ciut di 

bawah penyiksaan, Perjanjian Baru tidak pernah runtuh di 

bawah penyelidikan, dan saksi-saksi sekuler, sejarah menolak 

untuk ditenggelamkan ke dalam lautan kecaman, maka jelas 

terlihat bahwa kebangkitan Yesus Kristus menuntut tempat 

yang selayaknya di dalam catatan sejarah sebagai peristiwa 

paling penting yang pernah ada di dunia ini. Inilah kutipan

kata-kata abadi Roh Kudus sebagaimana diucapkan melalui 

rasul Paulus kepada Raja Agripa di zaman dahulu kala, 

“Mengapa kamu menganggap mustahil, bahwa Allah mem￾bangkitkan orang mati?” (Kisah 26:8).

 

MENGAPAKAH KEBANGKITAN YESUS 

SANGAT PENTING?

Setelah anak janda itu mati, Elia berdoa kepada Allah,

”dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia 

hidup kembali” (1Raja 17:22). Beberapa tahun kemudian, 

nabi Elisa membangkitkan anak orang Sunem yang mati (2Raja

4:32-35). Lalu, setelah kematian Elisa, seseorang yang sudah 

mati, dalam proses pemakaman di makam Elisa, hidup kem￾bali setelah menyentuh tulang-tulang Elisa (2Raja 13:20-21). 

Ketika Yesus berada di Bumi, Ia membangkitkan anak perem￾puan Yairus dari kematian (Markus 8:21-24, 35-43), juga anak 

janda dari Nain (Lukas 7:11-16), dan Lazarus, yang tubuhnya 

telah dikuburkan selama empat hari (Yohanes 11:1-45). Setelah kematian dan kebangkitan Yesus, Matius mencatat bagaimana 

“kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah 

meninggal bangkit. Dan sesudah kebangkitan Yesus, mereka

pun keluar dari kubur, lalu masuk ke kota kudus dan menam￾pakkan diri kepada banyak orang” (27:52-53). Lalu belakangan, 

selama tahun-tahun awal gereja, Petrus membangkitkan Tabita 

dari kematian (Kisah 9:36-43), sedangkan Paulus membangkit￾kan pemuda Eutikhus, yang mati setelah jatuh dari jendela 

lantai tiga (Kisah 20:7-2). Semua orang ini mati, dan belakang￾an bangkit untuk hidup kembali. Meski beberapa orang segera 

bangkit lagi setelah kematian, tapi Lazarus dan (kemungkinan 

besar) orang-orang kudus yang dibangkitkan setelah kebang￾kitan Yesus, dikuburkan lebih lama daripada Yesus itu sendiri. 

Dengan mengingat semua kebangkitan ini, beberapa orang ber￾tanya, “Mengapakah kebangkitan Yesus sangat penting?“ Jika 

orang lain di masa lalu telah mati untuk hidup kembali, hal 

apakah yang membuat kebangkitan-Nya sangat istimewa? Me￾ngapakah kebangkitan Yesus lebih penting daripada yang 

lainnya?

Pertama, mirip dengan bagaimana mujizat-mujizat Yesus 

diadakan untuk membedakan Dia sebagai Anak Allah dan Me￾sias yang dijanjikan, meski semua orang lain yang pernah 

mengadakan mukjizat di masa zaman Alkitab adalah bukan 

Allah dalam daging, mujizat-mujizat Yesus itu lebih penting 

daripada mujizat-mujizat lainnya semata karena demikianlah 

yang dikatakan oleh para rasul dan nabi-nabi yang terilham. 

Banyak orang di seluruh Alkitab mengadakan mujizat untuk 

meneguhkan pesan ilahi mereka (bdk. Markus 16:20; Ibrani 2:1-

4), tetapi hanya Yesus yang melakukannya sebagai bukti bagi 

sifat ilahi-Nya Suatu hari, sewaktu Hari Raya Dedikasi di 

Yerusalem, sekelompok orang Yahudi mengelilingi Yesus dan 

bertanya, ”Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang ke-pada kami” (Yohanes 10:24)? Yesus menjawab mereka dengan 

berkata, “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu 

tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam 

nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang 

Aku, … Aku dan Bapa adalah satu“ (Yohanes 10:25, 30). Orang￾orang Yahudi ini mengerti bahwa Yesus mengklaim diri-Nya 

sebagai Anak Allah dalam daging (bdk. 10:33, 36), dan Yesus 

ingin mereka memahami bahwa kebenaran ini dapat diketa￾hui sebagai akibat dari mujizat-mujizat yang Ia telah adakan, 

yang bersaksi tentang keilahian-Nya (bdk. Yohanes 20:30-31). 

Mengapa? Karena Ia berkata begitu (10:25,35-38; bdk. Yohanes 

5:36). Mujizat-mujizat yang Yesus adakan memberi kesaksian 

tentang fakta bahwa Ia datang dari Bapa (Yohanes 5:36), karena 

Ia berkata bahwa Ia datang dari Bapa. Mujizat itu sendiri tidak 

memaksudkan bahwa orang yang mengadakannya adalah ilah. 

Musa, Elia, Elisa, Petrus, Paulus, dan sejumlah orang lainnya 

telah mengadakan mujizat, dengan beberapa di antaranya bah￾kan telah membangkitkan orang dari antara orang mati, tetapi 

tidak dengan tujuan untuk membuktikan bahwa mereka ada￾lah Allah dalam daging. Para rasul dan para nabi Perjanjian 

Baru mengadakan mujizat untuk meneguhkan pesan mereka 

bahwa Yesus adalah Anak Allah, bukan untuk membuktikan 

bahwa mereka adalah Allah (bdk. Kisah 14:8-18). Yesus, di sisi 

lain, mengadakan mujizat untuk memberi kesaksian bahwa Ia 

adalah Anak Allah, sama seperti pengakuan-Nya (bdk. Yoha￾nes 9:35-38).

Demikian juga, satu alasan mengapa kebangkitan muji￾zatiah Yesus lebih penting daripada kebangkitan Lazarus, Ta￾bita, Eutikhus, atau siapa pun yang dibangkitkan dari antara 

orang mati, adalah semata-mata karena para rasul dan para 

nabi yang terilham dalam gereja mula-mula mengatakan demi￾kian. Seperti pelbagai mujizat yang Ia adakan selama pelayanan duniawi-Nya yang memberi kesaksian tentang keillahian-Nya,

kebangkitan-Nya juga memberikan kesaksian tentang sifat 

ilahi-Nya. Tidak ada catatan tentang orang yang menyatakan 

bahwa Lazarus adalah Anak Allah berdasarkan kebangkitan￾nya, juga gereja mula-mula tidak mengklaim keilahian Euti￾khus atau Tabita karena mereka pernah mati dan hidup kem￾bali. Tidak satu pun dari orang-orang yang disebutkan di atas 

yang telah dibangkitkan pernah mengklaim bahwa kebang￾kitan mereka adalah bukti keilahian, juga tidak ada klaim dari 

para nabi atau para rasul yang terilham. Sebaliknya, Yesus 

“dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bah￾wa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa” (Roma 1:4). Kebang￾kitan-Nya berbeda oleh karena Siapa Ia—Anak Allah. Sama 

seperti pelbagai mujizat yang diadakan selama pelayanan-Nya 

di bumi bersaksi tentang pesan ilahi-Nya, dan juga sifat ilahi￾Nya, demikian pula kebangkitan-Nya.

Kedua, pentingnya kebangkitan Yesus terlihat dalam fak￾ta bahwa Ia adalah yang pertama bangkit dari antara orang 

mati dan tidak pernah mati lagi. Karena tidak ada orang yang 

telah dibangkitkan dari antara orang mati masih hidup di 

Bumi, dan karena tidak ada bukti di dalam Alkitab bahwa Allah 

pernah mengangkat orang yang telah dibangkitkan dari antara 

orang mati ke sorga tanpa mati lagi, maka masuk akal untuk 

menyimpulkan bahwa semua orang yang pernah dibangkit￾kan dari antara orang mati, mati lagi beberapa tahun berikut￾nya. Yesus, bagaimanapun, “sesudah Ia bangkit dari antara 

orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia“ 

(Roma 6:9). Yesus berkata tentang diri-Nya, “Aku adalah Yang 

Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun 


lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya” (Wahyu 1:17-18). 

Semua yang lainnya yang sebelumnya pernah dibangkitkan, 

mati lagi, dan ada di antara mereka yang “tidur” dan terus menunggu kebangkitan tubuh. Hanya Yesus yang benar-benar 

telah menaklukkan maut. Hanya kebangkitan tubuh-Nya yang

diikuti oleh kehidupan kekal, bukan oleh kematian fisik lagi. 

Meski telah diperdebatkan oleh kaum skeptis bahwa “yang 

penting, adalah Kebangkitan itu sendiri, bukan fakta bahwa 

Yesus tidak pernah mati lagi” (lihat McKinsey, 1983, p. 1), 

Paulus sebenarnya mengaitkan bersama keduanya, dengan 

mengatakan, Allah “telah membangkitkan Dia dari antara 

orang mati dan Ia tidak akan diserahkan kembali kepada 

kebinasaan”(Kisah 13:34, huruf tebal ditambahkan). Selan￾jutnya, penulis Ibrani menegaskan kehidupan yang lebih baik 

melalui Yesus karena maut tidak berkuasa atas Yesus. Salah 

satu alasan bagi kelemahan keimamatan lama adalah karena 

“mereka dicegah oleh maut.” Yesus, bagaimanapun, karena Ia 

sudah bangkit dan tidak pernah mati lagi, “tetap selama-lama￾nya” dalam “imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang 

lain,” dan hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka 

(Ibrani 7: 23-25).

Alasan ketiga mengapa kebangkitan Yesus menonjol di 

atas semua yang lainnya adalah karena kebangkitan itu sendiri 

telah dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama. Dalam khotbah￾nya pada Hari Pentakosta, Petrus menegaskan bahwa Allah 

telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati karena 

dunia orang mati tidak mungkin menahan Dia. Sebagai bukti￾nya, ia mengutip Mazmur 16:8-11. 

 

Aku senantiasa memandang kepada Tuhan, karena 

Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. 

Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak￾sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tente￾ram, sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada 

dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. Engkau memberi￾tahukan kepadaku jalan kehidupan; Engkau akan