tkan. Kisah-kisah itu kemungkinan didasarkan (setidaknya sebagian) pada pesan yang dikhotbahkan oleh
para nabi zaman dulu.
Kedua, kisah-kisah tentang dewa penyelamat diabadikan oleh gagasan tentang korban. Dari saat Adam dan Hawa
diusir dari Taman Eden, manusia sangat sadar bahwa ia adalah
makhluk berdosa yang butuh penebusan. Manusia juga mengerti bahwa jenis korban pendamaian tertentu diperlukan untuk membebaskan mereka dari dosa. Penulis kitab Ibrani mengulas bahwa “karena iman Habel telah mempersembahkan
kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain”
(11:4). Anehnya, orang-orang skeptis tampaknya memahami
maksud ini dengan sangat baik. Di akhir abad kedelapan belas,
T. W. Doane dengan kasar menyerang doktrin Kristus dan
Alkitab. Karyanya, Bible Myths and Their Parallels in Other Religions (1882), menggerogoti setiap tambatan doktrin Kristen.
Namun begitu ia bahkan mengerti bahwa umat manusia selalu
menyadari keberdosaannya dirinya dan kebutuhannya akan korban pendamaian. Ia menulis: “Doktrin penebusan dosa
telah diberitakan jauh sebelum doktrin itu disimpulkan dari
Kitab Suci Kristen, jauh sebelum Kitab Suci ini pura-pura telah
ditulis” (p. 181). Sarjana Alkitab R. C. Trench berkomentar:
Bangsa-bangsa yang mana mustahil bagi mereka
untuk sudah dapat saling belajar tentang korban,
bangsa-bangsa yang paling beragam dalam budaya, yang tertinggi dan yang hampir terendah dalam
skala, ditambah berbeda dalam segala hal, belum
sepakat dalam satu hal ini, yaitu, dalam mempersembahkan korban bernyawa kepada Allah,—atau,
ketika gagasan tentang Allah yang esa telah
lenyap,—kepada “banyak dewa” orang kafir—fitur
penting dalam persembahan itu dalam setiap kasus
adalah berupa nyawa korban yang diberikan (n.d.,
p. 177).
Mereka yang mungkin ingin menantang penilaian Trench
dapat memeriksa buku apa pun tentang sejarah dunia atau
agama-agama dunia dan melihat bahwa ia memang benar.
Umat manusia telah mengorbankan makhluk hidup kepada
dewa sejak awal sekali. Habel mempersembahkan hasil pertama dari ternaknya dan sejak itu manusia telah mempesembahkan pelbagai korban dengan harapan untuk meredakan murka
dan pengampunan dosa. Namun korban-korban khusus manakah yang manusia pikir memiliki kuasa untuk mengampuni
dosa? Aturan umum untuk nilai korban pengampunan dosa
adalah: semakin mahal dan sempurna korban itu, semakin
banyak dosa yang akan diampuni.
Ketika Allah memulai ritual korban hewan untuk upacara keagamaan bagi umat pilihan-Nya, Ia memberikan aturan
yang ketat. Dalam Imamat 22:19-20, Allah memberitahu orang-orang Yahudi, “Haruslah persembahan itu tidak bercela dari
lembu jantan, domba atau kambing. Segala yang bercacat
badannya janganlah kamu persembahkan, karena dengan itu
TUHAN tidak berkenan akan kamu.“ Tuhan selalu menuntut
agar darah ditumpahkan untuk pengampunan dosa. Ibrani 9:22
menegaskan hal itu, “Dan hampir segala sesuatu disucikan
menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan
darah tidak ada pengampunan.” Hal ini harus tidak mengejutkan sama sekali, karena “nyawa makhluk ada di dalam
darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di
atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu,
karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan
nyawa“ (Imamat 17:11).
Kaum laki-laki dan perempuan zaman dulu mengetahui
dengan sangat baik semua perintah Allah tentang pendamaian
dengan darah. Itu dimulai dengan Kain dan Habel, ditegaskan
kembali oleh Nuh (Kejadian 9:1-6), diatur oleh hukum Perjanjian Lama, dan diteruskan hingga digenapi oleh Yesus. Ketika
Allah menetapkan Hukum Musa, Ia tidak memperkenalkan
korban binatang sebagai inovasi yang belum pernah dilihat
oleh orang Israel. Sebaliknya, Ia menunjukkan kepada orang
Israel cara yang tepat untuk mengorbankan binatang-binatang
seperti itu, sampai pada waktu penggenapannya oleh pengorbanan Anak-Nya akan menghentikan perlunya pendamaian
lebih lanjut dengan darah melalui korban binatang. Dalam
menunjukkan kepada mereka cara yang tepat, Allah membuat
ketentuan yang ketat untuk mencegah anak-anak Israel mengabaikan korban yang Allah setujui dan mengorbankan anakanak mereka yang tidak bersalah seperti orang-orang kafir di
sekeliling mereka. Dalam Imamat 18:21, Allah memberitahu
anak-anak Israel: “Janganlah kauserahkan seorang dari anakanakmu untuk dipersembahkan kepada Molokh, supaya ja-ngan engkau melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah
TUHAN.“ Allah berusaha keras untuk memperingatkan orang
Israel agar tidak mempersembahkan anak-anak mereka sebagai
korban karena sudah diketahui secara umum bahwa bangsabangsa di sekitar mereka ikut melakukan pembunuhan anak
seperti itu. Pertanyaan muncul, “Hal apakah di dunia ini yang
dapat meyakinkan seorang ibu atau ayah untuk mempersembahkan anak-anak mereka kepada suatu dewa?” Mari kita
selidiki masalah ini lebih lanjut.
Wendy Davis menulis untuk Widdershins—sebuah jurnal
yang menyatakan dirinya berisi paganisme yang murni. Dalam
sebuah artikel dalam World Wide Web, As Old as the Moon:
Sacrifice in History, ibu ini menyatakan: “Tindakan ritual pembunuhan kemungkinan adalah setua kita [manusia—KB/EL].
Di sepanjang zaman, manusia mempersembahkan korban ketika mereka butuh sesuatu. Nenek moyang kita sering memberikan yang terbaik yang mereka miliki, anak sulung mereka,
untuk menyelamatkan diri mereka sendiri“ (1995, huruf tebal
ditambahkan). Harta paling berharga yang seorang ibu atau
seorang ayah miliki akan berupa anak sulung mereka. Namun
begitu, anak itu tidak hanya berharga, tetapi juga tidak berdosa. Korban apa saja yang kurang dari apa yang tanpa cela
dan murni mengurangi nilai bawaan korban itu sendiri. Jadi,
ada keyakinan bahwa korban yang tanpa dosa dan murni yang
sedemikian besarnya itu dapat menghapus dosa orang tua
(atau, dalam hal ini, dosa seluruh desa!). Karena itu, agamaagama jahat yang bejat bermunculan di sekitar korban anakanak, salah satu yang paling terkenal adalah Molokh (lihat 2
Raja-raja 23:10).
Namun meski korban bayi memenuhi aspek tanpa dosa
bagi korban yang sempurna, tetapi korban itu punya kekurangan pada bidang lain. Misalnya, bayi “biasa” yang lahir dari orang tua petani adalah bukan korban paling mahal yang
tersedia; seorang anak kerajaan dari seorang raja akan menjadi
korban yang lebih baik. Maka, sebagaimana pengamatan Davis
selanjutnya, para raja akhirnya mengorbankan anak-anak
mereka sendiri untuk menenangkan “para dewa.”
Tetapi korban seorang anak raja masih tidak mewakili
korban yang sempurna, karena anak itu tidak berkorban atas
kehendaknya sendiri. Sebuah korban sukarela dari darah bangsawan akan mendekati persembahan yang sempurna. Dalam
sebuah artikel berjudul No Greater Sacrifice, yang muncul dalam
Widdershins, seorang penulis berpendapat, “Korban sukarela
adalah lebih menarik. Mengapakah seseorang mau mengorbankan dirinya untuk apa yang ia yakini ? Secara historis, kita
harus mempertimbangkan raja-raja suci yang mengorbankan
diri mereka untuk Negerinya“ (lihat Andy, 1998). Ya, seorang
raja yang mempersembahkan dirinya sendiri atas kehendaknya
sendiri akan nyaris menjadi korban yang sempurna. Satu-satunya masalah dengan konsep seperti itu adalah fakta bahwa
tidak ada raja yang pernah menjalani kehidupan yang sempurna. Seperti yang dengan benar diulas oleh penulis Widdershins, dalam upaya untuk mengatasi hal ini, “[akhirnya] seseorang memunculkan gagasan tentang satu korban pamungkas.
Satu korban untuk mencakup semua sisanya di sepanjang
waktu. Namun siapakah yang dapat dipersembahkan? Korban
itu harus orang yang sangat penting; bahkan raja-raja juga
tidak cukup baik. Jelasnya, hanya dewa yang cukup penting
untuk diperhitungkan sebagai korban terakhir“ (Andy, 1998).
Dengan demikian, menjadi jelas mengapa bahkan dunia pagan
menuntut korban yang tanpa dosa, rajani, dan kedudukannya
lebih tinggi daripada manusia lainnya. Doane menyatakan:
“Kepercayaan tentang penebusan dosa oleh penderitaan Ilahi
yang Inkarnasi, apakah dengan mati di kayu salib atau tidak, adalah sudah umum dan populer di kalangan kaum kafir, berabad-abad sebelum zaman Yesus dari Nazaret” (1882, p. 183-
185).
Begitu kita memahami perlunya kematian dewa penyelamat, tidak sulit untuk melihat mengapa umat manusia ingin
(dan perlu) melihat dia mengalahkan maut. Penulis kitab Ibrani
membahas hal ini ketika ia menulis bahwa Kristus membiarkan
diri-Nya dikorbankan sehingga Ia dapat “membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh
karena takutnya kepada maut“ (2:15). Maut memiliki lebih
banyak teror bagi manusia daripada hal lain apa pun di Bumi.
Karena alasan inilah orang-orang Yunani menciptakan Hercules—separuh manusia dan separuh dewa—untuk menaklukkan Alam Maut, dan orang Mesir menciptakan Osiris. Tentunya seorang dewa penyelamat yang mempersembahkan dirinya secara sukarela sebagai korban bagi seluruh umat manusia
dapat mengalahkan musuh yang ditakuti umat manusia—
Maut. Jadi, gagasan tentang korban dewa penyelamat yang
dengan sukses mengalahkan maut melalui kebangkitannya
dengan mudah diterima oleh pikiran orang-orang yang tahu
bahwa mereka membutuhkan pengampunan, dan yang sangat
ingin tetap hidup setelah kematian.
Jadi, dari “kerangka pikiran universal” berbagai suku
dan agama—yang merentang ribuan tahun—mereka merumuskan versi pribadi mereka tentang apa yang menurut mereka harus ditampilkan atau dikerjakan oleh dewa penyelamat
yang bangkit itu. Beberapa orang mengatakan bahwa ia dicabik
menjadi empat belas bagian dan disebar ke seluruh tanah Mesir
(misalnya, Osiris). Yang lain mengatakan ia akan terlihat seperti manusia tetapi akan memiliki kekuatan fisik manusia super
dan turun ke dunia orang mati untuk menaklukkan Hades
(misalnya, Hercules). Namun satu hal adalah pasti: kisah ten-tang seorang pahlawan yang menyelamatkan umat manusia
ada di bibir hampir setiap pendongeng. Trench dengan benar
menyatakan:
Tidak ada peneliti yang bijaksana dalam catatan
masa lalu umat manusia yang dapat menyangkal
bahwa di sepanjang sejarahnya ada harapan penebusan dari kejahatan yang menindasnya; dan seperti sedikit orang yang dapat sangkal bahwa harapan
ini sudah terus-menerus melekatkan dirinya pada
beberapa manusia single (n. d., p. 149).
Namun bagaimanakah, akhirnya, hal itu dapat dipertahankan, bahwa, satu-satunya juruselamat yang ditunggutunggu umat manusia dahulu, dan kini, adalah Yesus?
YESUS — JURUSELAMAT UNIK UMAT MANUSIA
Satu fakta penting yang tidak dapat diabaikan adalah
bahwa Yesus adalah satu-satunya tokoh sejarah Yang memenuhi kriteria yang diperlukan untuk membenarkan, menguduskan, dan menebus umat manusia. Tidak ada pikiran kreatif
manusia yang dapat meramu narasi tentang Yesus dari Nazaret. Mata manusia melihat Dia, dan telinga manusia mendengar
Dia. Ia berjalan dan bicara—hidup dan mengasihi—di jalanjalan dalam kota-kota yang nyata dan di dalam rumah orangorang yang nyata. Hidup-Nya adalah satu-satunya kehidupan
“dewa penyelamat” yang dapat (dan telah) sepenuhnya didokumentasikan. Seperti yang Stephen Franklin katakan: “Tokoh
istimewa agama Alkitab dan, dengan demikian, agama Kristen
berasal dari prioritas yang diberikan kepada dimensi ajaran
dan doktrin dasar Alkitab yang bersifat faktual historis“ (1993,
17[1]:40). Karena itu, kisah Yesus Kristus tidak menempati tempat
di tengah-tengah halaman mitologi Yunani atau legenda agama
kuno. Namun, oh, betapa kaum skeptis berharap hal itu terjadi!
Seperti yang Freke dan Gandy ulas dalam The Jesus Mysteries:
Umat Kristen Literal mula-mula secara keliru percaya bahwa kisah Yesus berbeda dengan kisah lain
tentang Osiris-Dionysus karena Yesus sendiri telah
menjadi tokoh sejarah ketimbang tokoh mitos. Ini
telah membuat orang Kristen merasakan iman
mereka berlawanan dengan semua iman lainnya,
yang sebetulnya tidak demikian (1999, p. 13, huruf
tebal ditambahkan).
Memang, kaum skeptis akan senang bisa menempatkan kisah
Yesus di lapangan permainan yang sama dengan kisah-kisah
dewa penyelamat legendaris, karena dengan demikian kisahkisah yang paralel itu dapat dengan mudah didegradasi menjadi mitos, berdasarkan fakta bahwa kisah-kisah itu tidak dapat
diverifikasi secara historis. Trench menulis tentang sikap skeptis seperti itu:
Dengan membuktikan, karena tidak sulit untuk
membuktikan, pelbagai kesamaan itu sebagai tidak
berdasar dan bersifat mitos, tidak memiliki dasar
historis yang benar, mereka mengharapkan faktafakta luar biasa kepercayaan orang Kristen itu akan
disimpulkan sebagai lemah, mengandung kesalahan yang sama (n. d., p. 135).
Jika orang-orang kafir itu mampu menciptakan argumen
yang lemah yang tidak tahan terhadap ujian kebenaran sejarah
(seperti, misalnya pelbagai legenda dan mitos kaum pagan),
dan jika mereka dapat menempatkan kisah Yesus dalam kate-gori yang sama sebagai argumen lemah mereka, maka keduanya dianggap akan jatuh bersamaan. Namun begitu, kisah
Yesus dari Nazaret menolak untuk jatuh. Kisah-kisah para
dewa penyelamat lainnya diakui sebagai—bahkan oleh mereka
yang menciptakannya—bukan apa-apa kecuali dongeng (mis.,
banyak orang Yunani menyadari bahwa kisah-kisah fiktif
mereka hanyalah legenda yang tidak benar yang sepenuhnya
tidak dapat diverifikasi; lihat McCabe, 1926, p. 59). Namun kisah Yesus menuntut tempatnya yang tepat dalam catatan sejarah manusia. Osiris, Krishna, Hercules, Dionysus, dan dewadewa penyelamat mitos lainnya tersandung kembali pada
bayang-bayang fiksi jika dibandingkan dengan kehidupan
Yesus dari Nazaret yang didokumentasikan. Jika kaum skeptis
ingin menantang keunikan Yesus dengan membandingkan Dia
dengan dewa-dewa penyelamat lainnya, ia pertama-tama harus
menunjukkan bukti bahwa salah satu dari para dewa penyelamat ini benar-benar pernah hidup di Bumi, berinteraksi dengan umat manusia, dan memengaruhi kehidupan manusia melalui keberadaan yang tanpa dosa dan ajaran yang tak
tertandingi. Umat manusia selalu menginginkan dewa penyelamat yang hidup nyata; tetapi dapatkah salah satu dari yang
diduga keras sebagai para dewa penyelamat yang diciptakan
itu memiliki kebanggaan berupa keberadaan historisnya yang
dapat dibandingkan dengan keberadaan historis Kristus yang
didokumentasikan secara menyeluruh? Bertanya sama dengan
menjawab.
Selain itu, Yesus satu-satunya tokoh yang sempurna,
tanpa cacat. Ia menjalani kehidupan dengan aturan moral yang
sama yang mengatur semua manusia, namun Ia tidak pernah
melakukan kesalahan. Penulis Ibrani menulis, “Sebab Imam
Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat
turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (4:15,
huruf tebal ditambahkan; bdk. juga 1 Petrus 2:21-22). Sejarawan
agama terkenal Philip Schaff menulis:
Dengan sia-sia kita mencari di seluruh biografi
Yesus satu noda atau karakter moral-Nya yang
agak meragukan. Tidak pernah ada makhluk yang
sangat tidak berbahaya yang pernah hidup di bumi.
Ia tidak melukai siapa saja, Ia tidak mengambil
keuntungan dari siapa saja. Ia tidak pernah menuliskan kata yang salah. Ia tidak pernah melakukan
tindakan yang salah (1913, p. 32-33).
Bernard Ramm berkomentar dengan nada yang sama ketika ia
menyatakan tentang Kristus:
Di sana Ia berdiri, tanpa dosa. Apa pun yang mungkin manusia klaim sebagai hebat, tanpa dosa adalah
satu hal yang tidak dapat mereka klaim. Mereka
mungkin cerdas atau kuat, cepat atau pintar, kreatif
atau terinspirasi, tetapi tidak tanpa dosa. Kesempurnaan tanpa dosa dan ketidakberdosaan yang
sempurna adalah apa yang kita akan harapkan dari
inkarnasi Allah. Hipotesa dan fakta-fakta sejalan
(1953, p. 169, huruf tebal dari aslinya).
Periksalah kisah-kisah para dewa penyelamat lainnya.
Lihat apakah mereka tunduk pada aturan yang sama sebagai
manusia. Lihat apakah mereka itu mempelajari sifat manusia
dan menderita secara tidak adil, pada saat yang sama tidak
pernah berbuat dosa dengan bibir atau hati mereka. Cobalah
untuk menemukan juruselamat seperti Kristus yang berumur
30 tahun lebih di Bumi dan tidak pernah melakukan satu
tindakan memalukan. Norman Geisler merangkum situasinya sebagai berikut: “Semua manusia adalah orang berdosa; Allah
tahu itu dan kita juga. Jika seseorang menjalani kehidupan
yang sempurna dan menawarkan dirinya sebagai kebenaran
bahwa Ia adalah Allah yang berinkarnasi maka kita harus menganggap serius klaimnya itu“ (1976, p. 344). Yesus memang
“menawarkan dirinya sebagai kebenaran bahwa Ia adalah
inkarnasi Allah.” Seperti yang John Stott tulis:
Ciri yang paling mencolok dari pengajaran Yesus
adalah bahwa Ia senantiasa bicara tentang diriNya.… Ajaran Yesus yang berpusat pada diri-Nya
itu segera membuat Yesus berbeda dari para guru
agama besar lainnya di dunia. Mereka itu menarik
diri. Ia mengajukan diri. Mereka menunjuk orangorang yang jauh dari diri mereka, dengan berkata,
“Itu adalah kebenaran, sejauh yang saya pahami;
ikuti itu.“ Yesus berkata, ”Akulah kebenaran; ikuti
Aku.“ Para pendiri agama etnis tidak pernah berani
mengatakan hal seperti itu (1971, p. 23).
Namun begitu, ada poin penting lain yang harus dipertimbangkan. Siapakah yang lebih baik untuk menyangkal
gagasan bahwa Yesus itu sempurna selain mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Dia? Ada sebutir
kebenaran dalam pepatah bahwa “keakraban melahirkan rasa
jijik.” Tentunya teman-teman terdekat-Nya akan mengamati
beberapa cela kecil. Namun ketika kita membaca komentar
para pengikut terdekat-Nya, kita menemukan bahwa bahkan
mereka memuji Dia sebagai satu-satunya manusia yang tidak
berdosa. Rasul Petrus, yang pernah ditegur di depan umum
oleh Yesus, tetap memanggil Dia “anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:19). Satu pasal kemudian
dalam surat yang sama, Petrus mengatakan bahwa Yesus “ti-dak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya” (2:22).
Bahkan, Kristus melangkah lebih jauh dengan mengundang
siapa saja yang berani, untuk menunjukkan bahwa Ia pernah
berbuat dosa ketika Ia berkata: “Siapakah di antaramu yang
membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?” (Yohanes 8:46).
Tidak seorang pun yang hidup pada zaman-Nya dapat membuktikan Tuhan berbuat dosa; begitu juga di zaman kini.
Bagaimanapun, ketika seseorang mulai memeriksa kehidupan
para dewa penyelamat lainnya, segera menjadi jelas bahwa
”para pahlawan” ini melakukan percabulan dengan manusia,
mengizinkan emosi berdosa mereka menyala, dan mengamuk
dengan kecemburuan yang jelas terlihat. Setiap orang yang
diduga sebagai juruselamat manusia selain Yesus memiliki
kelemahan. Jika “juruselamat” seperti itu (selain Yesus) pernah
ada dan tidak memiliki kejahatan atau dosa, hidupnya pasti
tidak dapat didokumentasikan secara historis. Dan jika dewa
penyelamat selain Yesus dapat didokumentasikan secara
historis, hidupnya dengan mudah dapat dibuktikan sarat
dengan dosa.
Kristus Unik Dalam Ajaran-Nya
Tidak hanya perincian khusus kehidupan Kristus yang
sudah dituduh sebagai plagiarisme, ajaran-ajaran-Nya juga
telah mengalami pemeriksaan yang ketat. Beberapa orang mengeluh, misalnya, bahwa ajaran Yesus sedikit lebih hangat
daripada konsep-konsep Perjanjian Lama. Dalam artikel utama
tentang Kristus yang ditulisnya untuk Newsweek edisi 29 Maret
1999 (sampulnya berjudul “2000 Years of Jesus”), Kenneth
Woodward berpendapat: “Seperti yang sudah lama disadari
oleh para pakar, ada sedikit dalam ajaran Yesus yang tidak
dapat ditemukan dalam Kitab Suci Ibrani yang ia jelaskan“ (135
[13]:54). Orang Yahudi non-Kristen dan orang-orang skeptis sering memandang Yesus sebagai seorang guru kuno yang
meminjam banyak materi-Nya dari teks Ibrani yang telah ada
ratusan tahun sebelum Ia memasuki gelanggang dunia, karena
banyak dari perkataan-Nya itu dapat dilacak kembali berabadabad kepada Daud pemazmur Yahudi, nabi Yesaya, dan sejumlah penulis Ibrani kuno lainnya. Yang lain mengeluh bahwa
ajaran-ajaran Kristus berasal dari pengetahuan pagan kuno.
Freke dan Gandy berpendapat:
… [Kami] menemukan bahwa bahkan ajaran Yesus
tidak orisinal, tetapi telah diantisipasi oleh para
orang bijak dari kaum Pagan.… Para kritikus agama Kristen dari kaum pagan, seperti Celsus satiris,
mengeluh bahwa agama terakhir ini tidak lebih
daripada refleksi buram dari ajaran kuno mereka
sendiri (1999, p. 5-6).
Dengan demikian, jika ingin dianjurkan dengan sukses
bahwa Yesus itu benar-benar unik dalam ajaran-Nya, maka
fakta yang tak terbantahkan bahwa Ia menggunakan sejumlah
besar literatur Ibrani kuno harus dijelaskan, dan perbedaanperbedaan penting tertentu harus dinyatakan (antara apakah
itu dari materi Perjanjian Lama atau dari sumber-sumber pagan
sebelumnya). Kalau tidak, kita hanya memiliki seorang rabi
Yahudi lain yang mengetahui sumber-sumber kafir dan juga
Kitab Suci—sama seperti sejumlah rabi Yahudi lainnya.
Untuk menjelaskan mengapa Yesus menggunakan begitu
banyak literatur Ibrani, kita harus memahami hubungan-Nya
dengan literatur itu. Pernyataan dari surat pertama Petrus
sangat membantu dalam hal ini: Keselamatan itulah yang diselidiki dan diteliti oleh
nabi-nabi, yang telah bernubuat tentang kasih karunia yang diuntukkan bagimu. Dan mereka meneliti
saat yang mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus, yang ada di dalam mereka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi kesaksian
tentang segala penderitaan yang akan menimpa
Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu (1 Petrus 1:10-11, huruf tebal ditambahkan).
Bagian penekanan Petrus adalah bahwa Kristus bukan hanya
pembaca yang tertarik kepada tulisan suci Yahudi kuno; melainkan, Ia adalah Pengarangnya. Ia menulis Perjanjian Lama
Yahudi melalui Roh-Nya yang bekerja melalui para nabi. Ketika Ia mengutip Yesaya atau Yeremia, Ia tidak menyalin materi
mereka atau menjiplak kebenaran mereka. Yang sebenarnya,
justru sebaliknya. Ia hanya mengutip teks-teks yang secara pribadi telah Ia ilhamkan dan terbitkan melalui orang-orang suci
kuno. Sebagaimana “bapa gereja” terkenal Tertullian menulis
dalam karyanya Apology, ”Tidak ada yang sangat tua mengenai
kebenaran” (pasal 47). Menyarankan bahwa ajaran-ajaran Kristus itu tidak unik karena Ia mengutip nas-nas Perjanjian Lama
akan seperti mengatakan bahwa penulis buku tertentu tidak
dapat mengutip isi buku itu dalam kuliah atau publikasi yang
diadakan belakangan, agar ia tidak dituduh menjiplak materinya sendiri.
Ada orang-orang, tentu saja, yang akan mengabaikan argumen di atas dengan mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak
memiliki otoritas untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Dengan demikian, mereka akan terus mengklaim bahwa Yesus
“meminjam” ide-ide-Nya dari halaman-halaman teks orang Israel. Jika mereka ingin mempertahankan sudut pandang seperti itu, maka biarkan mereka menemukan dalam Perjanjian
Lama gambaran tentang hukuman kekal yang dapat dibandingkan dengan yang Yesus berikan dalam Markus 9:43. Di
manakah di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita menemukan
bahwa lebih sulit bagi orang kaya untuk masuk sorga daripada seekor unta melewati lubang jarum? Di manakah di
dalam Perjanjian Lama terdapat gagasan untuk mengasihi sesama manusia yang dikembangkan sejauh yang Kristus jelaskan
dalam perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati? Yesus
dari Nazaret tidak hanya memuntahkan nas-nas Perjanjian
Lama, dengan menambahkan keterangan ketika Ia menjelaskannya. Sebaliknya, Ia datang untuk menggenapi Hukum Lama, dan untuk memulai Hukum Baru dengan konsep dan perintah yang berbeda—hal yang sangat jelas ditulis oleh penulis
Ibrani ketika ia menyatakan: ”Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya“ (8:13).
Meski dapat dibuktikan bahwa Yesus tidak menjiplak
Perjanjian Lama , pertempuran untuk keunikan ajaran-ajaranNya tidak berakhir di sana. Jejak-jejak dari konsep-konsep yang
mendahului keberadaan duniawi Kristus juga dapat ditemukan dalam ajaran-Nya. Sebelumnya, kita mengutip dari Agustinus, yang menulis bahwa para pengikut Plato mengklaim
bahwa Kristus telah menyalin pahlawan filosofis mereka (kecuali, mereka berpendapat, bahwa Kristus hampir tidak fasih bicara). Selanjutnya, rabi Hillel, yang hidup kira-kira lima puluh
tahun sebelum Yesus, mengajarkan, “Apa yang tidak akan
kamu lakukan terhadap dirimu, jangan kau lakukan itu kepada
orang lain” (lihat Bales, n. d., p. 7). Konfusius (dan sejumlah
penulis kuno lainnya) mengajarkan hal-hal yang juga diajarkan Yesus. Dari Cina hingga Mesir, kaum pagan yang terus-menerus mengalir mengucapkan hal-hal yang Kristus, berabad-abad
kemudian, akan juga katakan dalam satu bentuk atau lainnya.
Bagaimanakah, kemudian, ajaran-ajaran Kristus dapat dianggap unik jika mereka telah muncul ke permukaan dalam budaya dan peradaban yang berbeda ratusan tahun sebelum kedatangan-Nya ke Bumi? Mungkin ini akan menjadi tempat yang
baik untuk bertanya: Apakah alternatifnya? Seperti yang Bales
tulis:
Jika Kristus memang sepenuhnya orisinal, maka Ia
akan harus sudah menghilangkan setiap kebenaran
yang telah diungkapkan di dalam Perjanjian Lama,
atau yang telah dipahami oleh nalar manusia.
Jika Ia telah melakukan ini, ajaran-Nya akan sudah
tidak memadai, karena ajaran itu akan sudah menghilangkan banyak kebenaran moral dan spiritual (n.
d., p. 21, huruf tebal ditambahkan).
Yesus datang bukan untuk mengulangi kebenaran kuno,
tetapi untuk mensintesiskan kebenaran itu menjadi satu kesatuan yang lengkap. Ia mewujudkan setiap kebenaran spiritual
yang dunia pernah lihat atau akan pernah lihat. Seperti komentar Bales: “Kristus mewujudkan semua kebaikan moral yang
ditemukan di dalam agama lain, dan Ia menghilangkan kesalahan-kesalahan mereka” (p. 7). Dalam suratnya kepada umat
Kristen di Kolose, Paulus menggambarkan Kristus sebagai
orang yang “di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat
dan pengetahuan” (2:3, huruf tebal ditambahkan). Ajaran Kristus seperti emas; sejumlah kecil ajaran-Nya dapat ditemukan
di hampir setiap wilayah dunia—dari air laut hingga tubuh
manusia. Namun begitu, agar emas itu dapat digunakan, ia
harus dikumpulkan menjadi tumpukan yang cukup besaruntuk dimurnikan. Kristus adalah “tempat pemurnian” dari
semua pengetahuan dan hikmat, di mana sampah kesalahan
dibersihkan dari logam kebenaran ilahi yang berharga itu. Meski titik-titik kecil dari ajaran-Nya itu secara praktis muncul dari
hampir setiap agama, namun mereka dapat disempurnakan
hanya jika dikumpulkan seluruhnya dalam esensi Yesus orang
Nazaret. Stephen Franklin mengatakannya seperti ini:
Dengan menggaungkan tema-tema Kristiani dalam
setiap budaya dan dalam setiap agama, ia [Allah—
KB/EL] telah memberikan seluruh umat manusia
beberapa “pegangan” yang membolehkan mereka
setidaknya memiliki pemahaman awal tentang injil
ketika diberitakan (1993, p. 51).
Lebih jauh lagi, pertimbangkanlah baik kuasa maupun
otoritas yang tampak jelas dalam ajaran-ajaran Kristus. Bahkan
musuh-musuh-Nya tidak dapat menyangkal apa yang Ia ajarkan. Ketika Sanhedrin Yahudi memutuskan untuk bertindak
terhadap Dia dan mengirim pasukan keamanannya untuk
menangkap Dia, para petugas itu kembali dengan tangan kosong dan mengakui: “Belum pernah seorang manusia berkata
seperti orang itu!” (Yohanes 7:46, huruf tebal ditambahkan).
Ketika Ia baru berusia dua belas tahun dan orang tua-Nya
secara tidak sengaja meninggalkan Dia di Yerusalem, mereka
kembali dan menemukan Dia sedang membahas masalah-masalah agama dengan para ahli Taurat yang terpelajar, “dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasanNya dan segala jawab yang diberikan-Nya” (Lukas 2:47).
Orang-orang Yahudi telah lama mendambakan Mesias
(“Kristus”) yang akan menyelamatkan dan membebaskan mereka. Perempuan Samaria yang ditemui Kristus di sumur itu bicara tentang fakta ini, yang kepada dia Ia menjawab: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:26).
Ketika Yesus diadili di hadapan Sanhedrin, imam besar Kayafas menuntut, “Katakanlah kepada kami, apakah Engkau
Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63-64). Ia bicara
dengan otoritas mengenai pra-manusia masa lalu, karena Ia
ada di sana (Yohanes 1:1 dst.). Di masa kini, “tidak ada suatu
makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala
sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepadaNya kita harus memberikan pertanggungan jawab“ (Ibrani
4:13). Dan Ia mengetahui masa depan, seperti terbukti dari bahkan dengan membaca sepintas nubuat -Nya tentang pembangunan gereja-Nya (Matius 16:18), pengiriman Roh Kudus
kepada para rasul-Nya (Yohanes 14:26), dan banyak gambaranNya tentang kembali-Nya yang terakhir dan Hari Penghakiman (Matius 25:31-46, et al.). Semua ini, dan lebih banyak lagi,
menjelaskan mengapa Paulus menyebut Dia sebagai “Raja di
atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (1 Timotius 6:15).
Tidak ada orang yang pernah memiliki, atau bicara dengan,
jenis otoritas yang dilimpahkan kepada Kristus, itulah sebabnya Ia mengajarkan: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa
di sorga dan di bumi” (Matius 28:18). Juruselamat gadungan
tidak pernah mengklaim seperti itu, dan musuh-musuh mereka
juga tidak akan sudah membenarkan klaim itu. Mungkin ini
adalah salah satu alasan mengapa, dalam artikel utama dari
sampul majalah Time 6 Desember 1999 (“Jesus at 2000”),
penulis Reynolds Price menulis:
Akan diperlukan banyak perhitungan yang eksotis,
bagaimanapun, untuk menyangkal bahwa satusatunya tokoh paling kuat—tidak hanya dalam dua
milenium ini tetapi juga dalam seluruh sejarah
manusia—adalah Yesus dari Nazaret.… [Sebuah] argumen serius dapat dibuat bahwa tidak ada kehidupan orang lain yang terbukti sedikitnya sama
kuat dan bertahannya seperti kehidupan Yesus. Ini
adalah kesimpulan yang mengejutkan mengingat
fakta bahwa Yesus adalah manusia yang hidup
singkat di daerah pedesaan terpencil dalam Kerajaan Romawi [dan] yang mati dalam siksaan sebagai penjahat yang bersalah.… (154 [23]:86).
Para juruselamat mitos tidak mengalami penilaian yang dilakukan ke atas kehidupan mereka atau lebih khususnya ke atas
ajaran-ajaran mereka.
Mahasiswa baru itu mengikuti kuliah pertamanya dalam
kelas Comparative Religions 101. Ia sudah siap masuk ke universitas itu—atau begitulah pikirnya—untuk hal apa pun yang
mungkin universitas itu lontarkan kepada dia. Bagaimanapun,
ia adalah orang yang Kristen yang setia, dan dibesarkan oleh
orang tua Kristen yang berdedikasi yang, di sepanjang pendewasaannya, telah mengajar dia tentang Anak Allah yang unik,
yang diutus sorga, dilahirkan dari anak dara, pembuat mujizat,
dibangkitkan dari antara orang mati, yang ia hormati, layani,
dan kasihi. Guru-guru kelas Alkitabnya, dan para pelayan firman yang khotbah-khotbahnya ia sudah dengarkan selama
delapan belas tahun terakhir, telah ikut juga memperkuat
dalam pikirannya konsep bahwa tidak ada seorang pun dalam
seluruh sejarah dunia agak menyerupai Yesus Kristus. Faktanya, jujur saja, siswa muda itu telah tumbuh dengan pikiran
bahwa tidak ada satu orang pun yang nyaris dapat menyerupai, atau meniru, anak tukang kayu dari Nazaret.
Siswa muda ini, bagaimanapun, akan menerima kejutan
bagi hidupnya. Dari hari pertama kelas itu, profesor itu mulai
membacakan sejumlah cerita serupa tentang berbagai “juruselamat” dari agama-agama lain masa lalu—banyak di antaranya, konon, juga dilahirkan dari anak dara, mampu mengadakan mujizat, disalibkan untuk menyelamatkan umat manusia, dan dibangkitkan setelah kematian mereka. Siswa baru ini
tidak siap untuk mendengar pendapat profesornya bahwakisah Yesus Kristus sebagai Juruselamat umat manusia tidak
sepenuhnya unik. Faktanya, ia sepenuhnya heran ketika melihat profesor itu mendokumentasikan fakta bahwa kisah-kisah
dengan pahlawan-pahlawan serupa telah beredar selama beberapa dekade—dan bahkan berabad-abad—sebelum Yesus dari
Nazaret lahir. Saat ia melihat apa yang ia yakini sebagai keunikan Tuhannya benar-benar menguap di depan matanya,
pemuda itu mulai bertanya-tanya: Apakah selama ini ia diajar
dengan salah? Apakah Yesus benar-benar Anak Allah yang
unik, atau Ia hanya satu di antara banyak tokoh masa lalu yang
mengaku unik, juruselamat pribadi tetapi yang, pada akhirnya,
tidak unik? Siapakah tokoh-tokoh ini yang diduga sebagai
“juruselamat yang unik”? Apakah mereka sejelas seperti yang
diklaim oleh mereka, atau pengikut mereka? Dan bagaimanakah klaim seperti itu memengaruhi ajaran Alkitab tentang, dan
iman khas seseorang kepada, Yesus Kristus sebagai Anak
Allah?
Selama pergumulannya untuk mengatasi informasi baru
yang disajikan dengan sangat fasih itu (dan dengan sangat
kuatnya!) oleh profesornya, anak muda ini menghadapi apa
yang dikenal sebagai “disonansi kognitif”—kebingungan yang
orang alami ketika disajikan informasi baru yang bertentangan
dengan apa yang ia percayai sebagai hal yang benar. Seraya ia
bergumul untuk bersikap konsisten, anak muda itu menyadari
bahwa ia harus meninggalkan apa pun yang ia yakini benar,
atau entah bagaimana membantah (dan dengan demikian
mengabaikan) informasi baru yang menantang itu.
Semakin ia memikirkan masalah itu, pilihan pertama
tampaknya semakin paling memungkinkan tidak konsisten—
dan goyah. Dan pilihan kedua tampaknya semakin mustahil
tidak konsisten. Jika dibiarkan, pergumulannya akan mencapai
tingkat keraguan penuh, dan keyakinannya kepada keunikan luar biasa Juruselamat yang ia telah kasihi dan patuhi begitu
lama akan hilang sepenuhnya. Bagaimanakah ia dapat dibantu—atau dapatkah ia ditolong? Apakah materi yang terhadapnya ia terpapar dapat dipercaya? Atau bisakah materi itu dibantah—dengan demikian iman pribadinya kepada Kristus
tetap melekat? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini
membentuk dasar pelajaran kita dalam pasal ini.
SIAPAKAH “PARA JURUSELAMAT UNIK”
YANG LAIN INI?
Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh orang yang kehidupannya—nyata atau khayalan—memiliki kesamaan ciri-ciri
tertentu dengan kehidupan Yesus dari Nazaret yang didokumentasikan dengan baik. Kisah-kisah seperti itu sering berisi
sebagian kurikulum dalam pelajaran perbandingan agama
pada level perguruan tinggi, dan menyediakan titik awal yang
baik untuk studi apa saja tentang keunikan Yesus.
Pertimbangkan, misalnya, Dionysus, dewa mitologi, yang
terkenal. Kisah kelahirannya yang biasa menceritakan bahwa ia
adalah keturunan Zeus, pemimpin abadi para dewa Yunani
yang menghamili seorang perempuan manusia bernama Semele, putri Cadmus, Raja Thebes (lihat Graves, 1960, p. 56). Dionysus dikatakan turun ke alam maut dan menaklukkan maut,
akhirnya ia membawa kembali ibunya yang sudah mati ke alam
orang hidup. Ia juga dikatakan telah mati dan telah dibangkitkan lagi. Para pengikutnya menyebut dia Lysios atau Penebus, dan jus anggur biasa digunakan untuk melambangkan
darahnya. Seperti yang seorang penulis catat: “Banyak orang
Kristen yang akan merasa ngeri untuk membayangkan bahwa
Yesus dalam cara tertentu adalah manifestasi Dionysus, tetapi
beberapa kesamaan itu adalah kompleks dan dalam.… Seperti Yesus, Dionysus adalah dewa yang kasihnya yang tragis
digambarkan kembali dengan memakan dagingnya dan meminum darahnya” (“Dionysus and Yeshua,” n. d.). Penyembahan
Dionysus mencapai Roma pada 496 S. M., tetapi sudah ada di
sekitar Roma jauh sebelum itu. Kesamaan kisah Dionysus dan
Yesus (juga kesamaan dengan kisah Osiris, dewa kesuburan
dan penguasa alam maut Mesir, dibahas di bawah ini)—dari
kelahiran unik mereka, hingga kebangkitan mereka, hingga
hidup mereka diperingati dengan cara yang sama oleh para
pengikut mereka—memang sangat mencolok. Bahkan, dalam
buku mereka pada 1999, The Jesus Mysteries, Timothy Freke dan
Peter Gandy membahas secara panjang pelbagai kesamaan itu
untuk mendukung gagasan bahwa Yesus agama Kristen tidak
pernah ada, sebab faktanya ia merupakan tokoh kuno yang
sedikit lebih bersifat mitologis. Mereka menulis:
Semakin kita mempelajari berbagai versi mitos Osiris-Dionysus, semakin jelas bahwa kisah Yesus memiliki semua karakteristik dari kisah abadi ini. Peristiwa demi peristiwa, kita menemukan bahwa kita
dapat membuat biografi Yesus berdasarkan dugaan
dari motif-motif mistik yang sebelumnya terkait
dengan Osiris-Dionysus:
Osiris-Dionysus adalah Allah yang menjadi manusia, juruselamat dan “Anak Allah.”
Ayahnya adalah Allah dan ibunya adalah perawan
yang fana.
Ia dilahirkan di sebuah gua atau kandang sapi yang
sederhana pada 25 Desember di hadapan tiga gembala. Ia menawarkan para pengikutnya kesempatan untuk dilahirkan kembali melalui upacara pembaptisan.
Ia secara mujizatiah mengubah air menjadi anggur
di sebuah upacara pernikahan.
Ia mengendarai keledai dengan penuh kemenangan
ke dalam kota sementara orang-orang melambailambaikan daun palem untuk menghormati dia.
Ia mati pada waktu Paskah sebagai korban untuk
dosa-dosa di dunia.
Setelah kematiannya ia turun ke neraka, lalu pada
hari ketiga ia bangkit dari antara orang mati dan naik
ke sorga dalam kemuliaan.
Para pengikutnya menanti kedatangannya sebagai
hakim pada Akhir Zaman.
Kematian dan kebangkitannya dirayakan dengan
makanan ritual berupa roti dan air anggur, yang
melambangkan tubuh dan darahnya.
Ini baru beberapa dari banyak motif yang samasama dimiliki dalam kisah Osiris-Dionysus dan biografi Yesus. Mengapakah kesamaan yang luar biasa
ini tidak menjadi pengetahuan umum? (p. 5).
Dionysus bukan satu-satunya tokoh masa lalu yang hidup
nya diduga paralel dengan kehidupan Yesus. Pertimbangkanlah Krishna, dewa Hindu kuno yang diduga memiliki nasib
buruk yang serupa dengan nasib Kristus. Ia digambarkan sebagai tergantung di kayu salib, dengan lubang yang menembus tangan dan kakinya. Gelarnya?—”Tuhan dan Juruselamat kami.” Krishna diduga “bangkit dari antara orang mati”
dan kemudian “naik secara jasmani ke sorga” (Doane, 1882,
p. 215). Ia bahkan diduga telah mengatakan, “Berbuat baiklah
untuk kebaikan itu sendiri, dan jangan mengharapkan upahmu
untuk itu di Bumi” (Graves, 1875, p. 112). Kristus menggunakan gagasan yang sama dalam Matius 6. Tetapi kisah Krishna
terjadi pada 1200 S. M.
Kesamaan itu berlanjut. Dalam Papyrus of Ani dari Mesir
(juga dikenal sebagai The Egyptian Book of the Dead ), yang
bertanggal antara 1450 dan 1400 S. M. (lihat Budge, 1960,
p. 220), dewa Osiris menyandang gelar Raja Atas Segala Raja,
Tuan Atas Segala Tuan, dan Pangeran Atas Segala Pangeran
(Budge, hal. 352). Dalam bukunya yang menarik, Bible Myths
and Their Parallels in Other Religions, T. W. Doane mengamati:
“Osiris, Juruselamat Mesir, setelah dihukum mati, bangkit dari
antara orang mati, dan menyandang gelar ‘Yang Dibangkitkan’” (p. 221, huruf tebal dari aslinya). Juru tulis Osiris, Ani,
digambarkan sebagai pribadi “yang perkataannya adalah kebenaran” (Budge, p. 384). Di bagian akhir papirus itu, terdapat
kredo khusus yang dianggap mampu memberikan pembenaran untuk orang yang membacanya berulang-ulang saat ia
masuk ke dalam alam keabadian. Kredo itu berbunyi sebagai
berikut: ”Aku telah memberi roti kepada orang yang lapar, dan
air untuk orang yang haus, dan pakaian untuk orang yang
telanjang, dan sebuah perahu untuk orang yang tidak memiliki
perahu” (Budge, p. 587). Penulis papirus itu bisa saja sudah
menyalin perkataan Yesus seperti yang ditemukan dalam
Matius 25:31-46—kecuali untuk satu fakta kecil: Papirus Ani
berasal dari tahun 1400 S. M.—lebih dari seribu tahun
sebelum Kristus muncul di dunia.
Selanjutnya, pada 550 S. M., Konfusius berkata: “Jangan perbuat kepada orang lain apa yang tidak ingin kamu lakukan kepada dirimu sendiri.” Kristus mengucapkan pernyataan yang hampir identik kira-kira 600 tahun setelah Konfusius ketika Ia berkata: “Dan sebagaimana kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian
kepada mereka”(Lukas 6:31).
Juga terdapat pelbagai kesamaan di antara kisah Budha
dan Yesus. Dalam artikel utama yang ia tulis untuk Newsweek
edisi 27 Maret 2000 tentang “Yesus Yang Lain” Kenneth L.
Woodward berkomentar bahwa “kisah hidup Yesus dan Budha
secara jelas sangat mirip,” dan kemudian melanjutkan untuk
mencatat bahwa kedua pemimpin agama ini menantang
ajaran-ajaran agama pada zaman mereka, diduga lahir dari
seorang perawan, dan dianggap telah mengadakan banyak
mujizat (135 [13]:58-59).
Beberapa pengkritik Alkitab telah berpendapat bahwa
mengutip lusinan cerita dengan pelbagai kesamaan seperti itu
akan menjadi masalah sederhana. Bahkan, dalam debat publik
dengan teis Norman Geisler (diadakan di Columbus College)
Columbus, Georgia pada 29 Maret 1994), Farrell Till, mantan
Kristen yang menjadi skeptis, menyatakan hal itu dengan tepat
ketika ia berkata kepada hadirin:
Hadirin, saya ingin Anda berhenti sejenak dan berpikir serius untuk beberapa saat saja. Saya tahu
betapa banyak emosionalisme yang terlibat dalam
hal ini, tapi tolong pahami ini. Dewa-dewa penyelamat yang disalibkan dan dibangkitkan, yang
telah lahir dari seorang perawan, adalah sangat
umum dan tidak berharga (1994).
Stephen Franklin—meski merupakan pembela keunikan Kristus yang tekun—menguatkan pernyataan Till dalam sebuah
artikel di Evangelical Review of Theology ketika ia menulis: ”In-karnasi, jauh dari bersifat unik bagi agama Kristen, tampaknya
menjadi milik universal dalam warisan agama umat manusia”
(1993, p. 32).
Para pengkritik Kristus telah berkali-kali menggunakan
pelbagai kesamaan itu dalam upaya untuk menegakkan pendirian mereka bahwa Yesus dari Nazaret bukan tokoh yang unik
atau juruselamat pribadi yang layak. Misalnya, tiga minggu
setelah artikel Kenneth Woodward tentang Jesus diterbitkan
di Newsweek, surat kepada editor itu dari Don Zomberg dari
Wyoming, Michigan muncul dalam edisi 20 April majalah itu.
Menanggapi kutipan dari artikel Woodward yang berpendapat
bahwa “Kristus itu benar-benar asli dan benar-benar unik,” Tn.
Zomberg membantah tulisan itu ketika ia berkata: “Tidak ada
yang dapat lebih jauh dari kebenaran. Legenda Yesus itu sedikit lebih banyak daripada varian agama-agama yang lebih
tua bagi Timur Tengah ribuan tahun yang lalu” (2000, 135
[16]:17). Sikap seperti itu—yang berasal dari fakta bahwa
memang ada kesamaan historis dan mitologis antara Yesus dan
tokoh-tokoh agama lain—kemungkinan jauh lebih lazim daripada yang disadari banyak orang. Dan meski memang tidak
ada satu pun dari pelbagai kesamaan historis/mitologis ini
tepat, namun memang benar bahwa beberapa ada yang cukup
mirip untuk mendapatkan penyelidikan yang serius pada sisi
mereka yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah
yang unik.
Tentu saja, para skeptis kontemporer yang menggunakan argumen seperti itu dalam upaya untuk melenyapkan keunikan dan keilahian Kristus tidak dapat menerima pujian sebagai pencetusnya. Sejarah mencatat bahwa hampir dua ribu
tahun yang lalu para apologis Kristen mula-mula sudah sibuk
terlibat merespons argumen yang sama persis. Sebagai contoh,Agustinus dari Hippo (354-426 M.) menyatakan dalam
Christian Doctrine:
Para pembaca dan pengagum Plato dengan memfitnah berani menegaskan bahwa Tuhan kita Yesus
Kristus mempelajari semua perkataan-Nya, yang
terpaksa mereka kagumi dan puji, dari buku-buku
Plato—karena (mereka mendesak) itu tidak dapat
disangkal bahwa Plato hidup jauh sebelum kedatangan Tuhan kita (n. d., 2:28, kata-kata dalam
tanda kurung dari aslinya).
Augustinus membantah argumen itu dengan berpendapat bahwa Plato telah membaca kitab nabi Yeremia dan kemudian
dengan nyamannya memasukkan ajaran Yeremia itu ke dalam
ajarannya sendiri. Intinya, bagaimanapun, sudah jelas: sedini
400 M., para skeptis dan musuh-musuh salib sudah melepaskan panah api dugaan plagiarisme kepada Kristus dan para
pengikut-Nya.
Investigasi lebih lanjut ke dalam sejarah apologetika Kristen memperlihatkan sesuatu yang bahkan lebih mengejutkan.
Para apologis paling awal tidak hanya mengakui bahwa cerita
dan ajaran Yesus memiliki kesamaan yang mencolok dengan
kisah-kisah mitologi kuno, tetapi bahkan menekankan kesamaan-kesamaan ini dalam upaya untuk membuat kaum pagan
itu lebih memahami tentang Yesus dan misi-Nya. Justin Martir
(100-165 M.) mengemukakan argumen dalam bukunya First
Apology yang dimaksudkan untuk menempatkan Kristus setidaknya pada lapangan bermain yang sama dengan dewa-dewa
mitologis yang lebih dulu.
Dan jika kita menegaskan bahwa Firman Allah
telah lahir dari Allah dengan cara yang istimewa, yang berbeda dari generasi umumnya, biarkan ini,
sebagaimana dikatakan di atas, tidak menjadi hal
yang luar biasa bagi Anda, yang mengatakan Merkurius adalah malaikat firman Allah. Namun jika
ada yang keberatan bahwa Ia disalibkan, dalam hal
ini juga Ia setara dengan anak-anak Yupiter yang
terkenal milik Anda.… Dan bahkan bila kami menegaskan bahwa Ia sudah lahir dari seorang perawan,
terima ini sebagaimana juga Anda menerima Ferseus. Dan dalam hal kami mengatakan bahwa Ia
menyembuhkan orang-orang yang timpang, lumpuh, dan yang lahir buta, kami sepertinya mengatakan apa yang sangat mirip dengan perbuatan yang
dikatakan telah dilakukan oleh Æsculapius
(Pasal 22).
Tertullian (sekitar 160-220 M.) mengulas bahwa kisah
Romulus, tokoh lain dari mitologi Yunani kuno yang terlihat
setelah kematiannya, cukup mirip dengan kisah Kristus yang
terlihat setelah kematian-Nya. Namun begitu, Tertullian
melanjutkan untuk menuliskan bahwa pelbagai kisah tentang
Kristus adalah jauh lebih pasti karena mereka didokumentasikan oleh bukti sejarah (Apology, 21).
Meski kaum pagan kuno sudah melihat, dan kaum skeptis modern masih melihat, pelbagai kesamaan seperti itu sebagai menghalangi keaslian dan keunikan Kristus, namun tulisan-tulisan manusia seperti Augustinus, Justin Martyr, Tertullian, dan lainnya mendokumentasikan fakta bahwa orang Kristen mula-mula dapat melihat—ya, bahkan menerima—pelbagai kesamaan yang jelas antara kisah Yesus dan pelbagai kisah
mitologis, dewa-dewa pagan. Lebih jauh, beberapa dari orangorang Kristen mula-mula itu bahkan memanfaatkan pelbagai kesamaan itu untuk membela posisi Yesus sebagai Anak Allah
yang unik. Maksud para apologis itu, tentu saja, lipat dua: (1)
manusia di masa lalu telah mencari dewa penyelamat yang
unik dan, karena tidak menemukan apa-apa, terpaksa menciptakannya dan menyematkan kepada dewa itu sifat-sifat tertentu yang berbeda; dan (2) Juruselamat itu—yang, meski di masa
lalu telah diberikan sifat-sifat yang unik dari ciptaan mereka
sendiri yang lemah—sebenarnya telah datang!
Orang Kristen perlu mengenali sebagai sebuah fakta yang
tidak dapat disangkal—sebuah fakta yang diteguhkan oleh
mitologi, sejarah, dan bahkan para apologis Kristen mulamula—yang diungkapkan oleh pelbagai dokumen kuno bahwa
kisah Kristus bukan kisah pertama yang pernah diceritakan
tentang dewa juruselamat yang lahir dari seorang dara, disalibkan, dibangkitkan, pembuat mujizat yang dianggap mati demi
dosa-dosa umat manusia. Dokumen-dokumen ini selanjutnya
mengungkapkan bahwa banyak ajaran Kristus dapat dikumpulkan—terkadang hampir kata demi kata—dari sumber-sumber yang beredar ratusan atau ribuan tahun sebelum Yesus
lahir. Para apologis mula-mula mengakui fakta-fakta ini karena
fakta-fakta itu dulu dan sekarang, tidak dapat dibantah lagi.
Dan itu membawa kita kembali kepada masalah yang
mengganggu mahasiswa baru di perguruan tinggi yang telah
disinggung sebelumnya. Bagaimana, dalam terang fakta-fakta
seperti itu, kita dapat menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah
unik, Anak Allah yang autentik—ketika kisah-kisah yang serupa dengan kisah-Nya beredar beberapa dekade atau ribuan
tahun sebelum Ia datang ke Bumi? Respons apakah yang kita
dapat tawarkan terhadap dakwaan para kritikus Alkitab? Dan
jaminan apakah yang dapat kita tawarkan kepada mahasiswa
muda itu tentang keaslian imannya? MENGAPA PILIH YESUS YANG TIDAK ORISINIL?
Sebelum kita membahas apakah Yesus itu Juruselamat
yang orisinil atau bukan, pertanyaan jelas ini harus ditanyakan:
Mengapa ada orang yang mau mengklaim bahwa kisah Yesus
itu tidak orisinal atau jiplakan? Mungkin ada beberapa jawaban
yang dapat ditawarkan untuk pertanyaan semacam itu Namun
begitu, karena terbatasnya ruang, marilah kita berkonsentrasi hanya pada dua jawaban. Pertama, sudah menjadi fakta sederhana bahwa mereka yang tidak percaya kepada Allah, dan
yang sebagai akibatnya menerima pandangan yang sepenuhnya naturalistik tentang asal mula Alam Semesta dan isinya,
harus menemukan cara tertentu untuk menjelaskan keunikan
Kristus dan keunikan sistem agama yang Ia tetapkan. Dalam
menyikapi pendapat ini, almarhum James Bales menulis:
Jika orang menerima kisah naturalistik dan evolusi tentang asal usul agama, maka ia akan percaya bahwa agama Kristen dapat dijelaskan secara
alami. Dasar pendekatannya itu telah mengesampingkan kemungkinan adanya wahyu supernatural
dari Allah dalam Yesus Kristus (nd, p. 7).
Evolusionis Inggris terkemuka Sir JulianHuxley menegaskan:
Dalam pola pikir evolusioner tidak ada lagi kebutuhan bagi ruang supernatural. Bumi tidak diciptakan; bumi berevolusi. Begitu juga semua binatang
dan tumbuhan yang ada di dalamnya, termasuk
kemanusiaan kita sendiri, pikiran, dan jiwa serta
otak dan tubuh. Begitu juga agama (1960, p. 252-
253, huruf tebal ditambahkan).Mereka yang percaya bahwa Alam Semesta dan kehidupan di dalamnya berevolusi dengan cara yang murni naturalistik harus juga menemukan penyebab yang sepenuhnya
naturalistik bagi setiap aspek kehidupan. Agama itu sendiri
adalah salah satu dari bidang itu, dan oleh karenanya, menurut
kaum naturalis, pasti juga telah berevolusi—persis seperti yang
Huxley usulkan. Tidak sulit untuk memahami mengapa seorang evolusionis akan percaya bahwa tidak dapat dihindari
lagi bahwa kisah Yesus berasal dari kisah-kisah primitif sebelumnya. Faktanya, mengatakan bahwa kisah Yesus “berevolusi” dari kisah-kisah yang lebih tua, lebih primitif adalah sama
dengan tidak menegaskan apa-apa selain daripada apa yang
teori evolusi sudah ajarkan di setiap bidang lain keberadaan
manusia. Ateis Joseph McCabe menjelaskan, “Apa yang kita
lihat, faktanya, adalah evolusi dalam agama. Ide-ide tersebut
diturunkan dari zaman ke zaman, pikiran ini dan pikiran itu
menambahkan atau memperbaiki sedikit. Sungai evolusi manusia yang berjalan lambat telah memasuki jeramnya” (1926, p.
72, huruf tebal ditambahkan).
Kedua, meski beberapa orang mungkin termotivasi oleh
pencarian akan asal usul agama yang murni naturalistik, tetapi
yang lain mengajarkan bahwa kisah Yesus berasal dari mitos
dan legenda Yahudi dan/atau pagan sebelumnya. Seraya Bales
melanjutkan ulasannya, beberapa orang telah menyarankan
bahwa “Kristus dan agama Kristen dipandang sebagai perkembangan alami dari Yudaisme dan paganisme” (nd, p. 7).
Posisi itu juga telah dipertahankan oleh mantan orang percaya
yang menjadi murtad, Timothy Freke dan Peter Gandy,
dalam The Jesus Mysteries (yang merupakan serangan habishabisan, frontal terhadap keilahian Kristus). Kami berdua dibesarkan sebagai orang Kristen dan
kami terkejut menemukan bahwa, meski sudah
bertahun-tahun melakukan eksplorasi spiritual dengan pikiran terbuka, entah bagaimana masih terasa berbahaya untuk bahkan berani memikirkan
pemikiran seperti itu. Indoktrinasi di masa lalu
masuk sangat dalam. Kami pada dasarnya sedang
mengatakan bahwa Yesus adalah dewa Pagan dan
agama Kristen adalah produk sesat Paganisme! Itu
terlihat memalukan. Namun teori ini menjelaskan
pelbagai kesamaan antara kisah Osiris-Dionysus
dan Yesus Kristus secara sederhana dan elok.
Mereka adalah bagian dari mitos yang berkembang.…
Kisah Yesus memiliki semua keunggulan yang sebuah mitos miliki, maka apakah demikian sebenarnya
…? Mengapa kita harus mempertimbangkan kisah
Osiris, Dionysus, Adonis, Attis, Mithras, dan para
juruselamat Misteri Pagan sebagai dongeng, namun
pada dasarnya menemukan kisah yang sama yang
diceritakan dalam konteks Yahudi dan memercayai
itu sebagai biografi seorang tukang kayu dari Betlehem?
Kami telah menjadi yakin bahwa kisah Yesus bukan
biografi seorang Mesias bersejarah, tetapi sebuah
mitos berdasarkan kisah-kisah abadi kaum Pagan.
Agama Kristen bukan wahyu baru dan unik tetapi
sebenarnya adaptasi orang Yahudi terhadap agama
kuno Misteri Pagan. Ini adalah apa yang kami telah
sebut Tesis Misteri Yesus.…Penjelasan yang jelas adalah bahwa seraya agama
Kristen menjadi kekuatan yang dominan di dalam
dunia yang sebelumnya pagan, motif-motif populer dari mitologi Pagan dicangkokkan kepada biografi Yesus.… Motif seperti itu “dipinjam” dari
Paganisme dengan cara yang sama pelbagai festival
Pagan diadopsi sebagai hari-hari orang Kudus
Kristen.… Kisah Yesus adalah mitos yang abadi …
bukan sekadar sejarah tentang pelbagai peristiwa
yang terjadi pada seseorang 2.000 tahun lalu (1999,
p. 9-10,2,6,13, huruf tebal dari aslinya).
Jadi, meski sebenarnya mungkin ada orang sungguhan yang
dikenal sebagai “Yesus Kristus,” namun ia tidak lebih daripada
itu—secara harfiah hanya manusia. Ciri-ciri yang diklaimkan
bagi Dia oleh para pengikutnya (mis., datang-Nya yang tidak
biasa ke dalam dunia, segala kegiatan-Nya yang luar biasa selama ziarah-Nya di Bumi, pergi-Nya yang luar biasa dari dunia
ini, dll.) muncul “setelah semua itu terjadi” sebagai akibat dari
pengambilan atau penjiplakan dari sumber-sumber pagan dan/
atau Yahudi.
Yang dipertaruhkan di sini bukan historisitas Kristus
(yang dibahas dalam pasal pertama); sebagian besar dari
orang-orang yang tidak percaya dan kafir dari setiap golongan
sudah lama mengakui keberadaan-Nya. Sebaliknya, masalahnya adalah berkaitan dengan apakah Yesus dari Nazaret itu
seperti yang Ia klaim atau tidak—inkarnasi Anak Allah yang
unik, “satu-satunya.” KEMAMPUAN BERAGAMA MANUSIA DAN
“BEBERAPA KESAMAAN JURUSELAMAT”
Masalah sebenarnya adalah bahwa dalam perjalanan sejarah pastinya banyak kisah yang menyerupai kisah Yesus dari
Nazaret. Dan mengapa hal ini harus mengejutkan kita? Setelah
Adam dan Hawa makan dari pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat, manusia menjadi sangat sadar akan kehadiran dan konsekuensi dosa. Dari zaman Kain dan Habel, Allah
telah menetapkan berbagai macam korban dan pelbagai aturan
khusus tentang korban-korban itu. Sejak saat itu, semua manusia setidaknya telah memiliki beberapa persepsi—betapapun
kecil atau tidak sempurna—bahwa mereka perlu “melakukan
sesuatu” agar dapat dibenarkan sekali lagi di hadapan Pencipta
mereka. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan sosok
“pengganti”—seseorang yang dapat menggantikan mereka—
sebagai lambang kesempurnaan tanpa dosa yang membela
kasus mereka di hadapan Hakim Segenap Bumi Yang Adil”
(lih. Kejadian 18:25).
Selain itu, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa beberapa kesamaan yang kita telah cantumkan (dan, memang, banyak yang lainnya yang seperti mereka) adalah kesamaankesamaan semata, bukan paralel yang persis. Selanjutnya
dapat diperdebatkan bahwa kisah Yesus, sekalipun itu sepertinya mirip dengan kisah-kisah yang lain, tidak persis sama dan,
pada kenyataannya, berbeda secara substansial dalam perinciannya. Sebagai contoh, Krishna diduga disalibkan melalui
anak panah yang menembus lengannya, sementara Yesus
dipaku pada kayu salib. Konfusius menawarkan bentuk negatif
dari apa yang disebut”hukum emas” (“ Jangan perbuat kepada
orang lain”), sementara Yesus menyatakan bentuk positifnya
(“Perbuatlah kepada orang lain”). Ibu Dionysus, Persophone, dikabarkan melakukan hubungan intim dengan Zeus, sementara Mary masih perawan. Alur pemikiran ini memiliki kelebihan tertentu, karena memang benar bahwa tidak ada kisah
kuno yang terdengar persis seperti kisah Kristus.
Melihat lebih dekat legenda Mesir tentang Osiris memberikan contoh yang baik tentang banyak perbedaan penting antara kisah Yesus dan kisah-kisah lainnya. Legenda mengatakan
bahwa Osiris dibunuh oleh Seth saudaranya yang jahat, yang
mencabik-cabik tubuh Osiris menjadi empat belas bagian dan
menyebarkannya ke seluruh Mesir. Isis, istri Osiris yang adalah
dewi, mengumpulkan potongan-potongan itu dan menguburnya, dengan cara itu memberikan kehidupan kepada Osiris
di dunia orang mati. Kemudian, Isis menggunakan ilmu sihir
untuk membangkitkan Osiris untuk menghamili dia dan
melahirkan seorang anak (Horus). Setelah menjadi ayah Horus,
Osiris tetap berada di dunia orang mati, tidak pernah benarbenar bangkit dari antara orang mati (“Osiris,” 1997, 8:1026-
1027). Legenda ini, dipahami secara keseluruhan, menyediakan
beberapa (jika ada) kesamaan yang nyata dengan kisah Yesus.
Selanjutnya, ketika semua cerita tentang tokoh-tokoh yang
konon mirip dengan Kristus itu diceritakan secara keseluruhan,
jelas terlihat bahwa masing-masing dari mereka hanya berisi
beberapa karakteristik yang muncul di mana saja yang hampir
mirip dengan yang terkandung dalam kisah hidup Yesus.
Namun begitu, ada beberapa persamaan umum yang
merintis jalan mereka melalui berbagai legenda yang banyak
itu: seorang pahlawan manusia super melakukan hal-hal ajaib,
dibunuh untuk menyelamatkan umat manusia (terkadang bahkan dengan penyaliban), dan dihidupkan kembali dengan satu
atau lain cara, dan dengan demikian mengalahkan maut. Meski
perinciannya cukup berbeda, tetapi memang kesamaan umumnya cukup mirip dan menuntut penelitian—dan penjelasan yang cermat. Sebagai ilustrasi, misalkan seseorang mengambil
buku ini yang memiliki hak cipta, dengan menggunakan
kamus ia mengubah ratusan kata-katanya, dan kemudian
mencantumkan namanya tanpa izin sebagai pengarang buku
ini. Orang seperti itu akan secara jelas dipandang sebagai
penjiplak. Meski buku baru itu mungkin “unik” dalam perinciannya, dalam gagasan besarnya namun buku itu masih akan
dianggap sebagai jiplakan. Dalam nada yang sama, tidak
cukup bagi orang Kristen untuk mengklaim bahwa kisah
tentang Yesus tidak berasal dari salah satu (atau lebih) ratusan
kisah kuno hanya dengan mengatakan bahwa rincian hidupNya yang istimewa itu berbeda dari yang lainnya. Kita harus
menawarkan argumen yang lebih baik, lebih teliti, dan lebih
meyakinkan jika kisah Yesus Kristus harus dipertahankan sebagai kisah yang sungguh-sungguh unik.
Sifat Independen Kisah-Kisah Yang Serupa
Pada awal abad kedua puluh, Joseph McCabe, salah satu
ateis paling blak-blakan pada zamannya, menerbitkan beberapa karyanya, termasuk The Myth of Resurrection (1925), Did
Jesus Ever Live? (1926), dan How Christianity “Triumphed” (1926).
Pada tahun 1993, Perusahaan Penerbit Prometheus (perhatikan bahwa nama organisasi penerbitan sekuler ini adalah
nama salah satu dari para dewa Yunani yang konon mirip
dengan Yesus) menerbitkan ulang karya-karya ini dalam sebuah buku berjudul The Myth of the Resurrection and Other Essays.
McCabe dengan susah payah mendokumentasikan pelbagai
kesamaan antara kisah Yesus dan kisah-kisah pagan seperti
kisah Osiris, Adonis, Tammuz, dan Attis, namun secara khusus
mencatat: “Fitur yang paling penting dari kisah kita adalah
bahwa legenda tentang dewa yang dibunuh dan dibangkitkan muncul di bagian dunia peradaban lama yang sangat
berbeda.Tammuz, Attis, dan Osiris adalah tiga ciptaan yang
terpisah dan independen dari imajinasi pembuat mitos“ (1926,
p. 45, huruf tebal ditambahkan). Dengan demikian McCabe
mengakui bahwa kisah-kisah pagan dengan tema yang sama
ini sebelumnya tidak saling menjiplak antara satu atau beberapa dengan yang lainnya. Sebaliknya, mereka muncul secara
terpisah—dan bahkan secara independen—satu sama lain.
McCabe mengakui: “Untuk alasan tertentu ... di sebagian besar
belahan dunia pikiran manusia muncul untuk membentuk
legenda tentang kematian dan kebangkitan.… Bahkan, dalam
satu bentuk atau lainnya hampir ada kepercayaan di seluruh
dunia bahwa dewa, atau wakil dewa [raja, tawanan, patung
orang, dll.], mati, atau harus mati setiap tahun“ (p. 52,53, huruf
tebal ditambahkan; tanda kurung dari aslinya). Dalam kesimpulannya, McCabe menulis: “Singkatnya, saya harus katakan
bahwa kepercayaan universal tentang dewa yang dibunuh
dan dibangkitkan memberi penjelasan bagi kepercayaan Kristen dengan menunjukkan kepada kita kerangka pikiran universal yang di banyak tempat secara cukup mudah membuat
mitos kebangkitan“ (p. 63, huruf tebal ditambahkan). McCabe—
bahkan sebagai orang kafir—dengan rela mengakui bahwa banyak sekali (tetapi berbeda) mitos kebangkitan muncul dari
berbagai wilayah di seluruh dunia, masing-masing memiliki
fakta yang serupa namun asli dalam perbedaan-nya. Kisahkisah ini tampaknya muncul oleh karena apa yang ia acukan
sebagai “kerangka pikiran universal.“ Namun begitu, meski
ada bukti seperti itu, pada halaman 69 bukunya, McCabe menyimpulkan: “Manusia tidak memiliki naluri keagamaan.“
Naluri Keagamaan Manusia
Orang-orang di seluruh dunia—karena adanya “kerangka pikiran universal“—secara terpisah menciptakan kisah-kisah yang berkisar di sekitar dewa yang sekarat dan kemudian
bangkit lagi. Kisah-kisah ini melintasi rintangan waktu dan
batas-batas geografis ; mereka itu—dalam arti yang sangat
nyata—“mendunia” dan “universal.” Namun kita diminta
untuk percaya bahwa orang-orang dari negara dan budaya
yang berbeda yang menciptakan kisah-kisah ini tidak memiliki
“naluri keagamaan”? Bagaimana bisa McCabe membuat konsesi seperti itu, namun ia menarik kesimpulan yang sedemikian
rupa, yang menentang penjelasan yang rasional.
Sebenarnya, manusia memang memiliki naluri keagamaan—naluri yang bahkan lebih tajam daripada yang kebanyakan
teolog bersedia akui. Dalam bicara tentang Allah, penulis kitab
Pengkhotbah berpendapat: “Ia membuat segala sesuatu indah
pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati
mereka” (3:11). Paulus berkata bahwa umat manusia sudah
selalu dapat memahami ”Kuasa dan keilahian yang kekal”
milik Allah (Roma 1:20 ASV). Allah tidak menempatkan
manusia di Bumi untuk meninggalkan Dia. Sebaliknya:
Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua
bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh
muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,
supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan
menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak
jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia
kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang
telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:
Sebab kita ini dari keturunan Allah juga (Kisah Para
Rasul 17: 26-28, huruf tebal ditambahkan). Allah memang ”memberikan kekekalan” di hati manusia dan
memberi mereka naluri universal yang dimaksudkan untuk
membuat mereka mencari Dia.
Dalam bukunya, Why We Believe the Bible, almarhum
George DeHoff berkomentar: “Tidak ada bangsa atau suku
ba