• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Iman katolik 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iman katolik 3. Tampilkan semua postingan

Iman katolik 3

 


tkan. Kisah-kisah itu kemungkinan didasar￾kan (setidaknya sebagian) pada pesan yang dikhotbahkan oleh 

para nabi zaman dulu.

Kedua, kisah-kisah tentang dewa penyelamat diabadi￾kan oleh gagasan tentang korban. Dari saat Adam dan Hawa 

diusir dari Taman Eden, manusia sangat sadar bahwa ia adalah 

makhluk berdosa yang butuh penebusan. Manusia juga me￾ngerti bahwa jenis korban pendamaian tertentu diperlukan un￾tuk membebaskan mereka dari dosa. Penulis kitab Ibrani me￾ngulas bahwa “karena iman Habel telah mempersembahkan 

kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain” 

(11:4). Anehnya, orang-orang skeptis tampaknya memahami

maksud ini dengan sangat baik. Di akhir abad kedelapan belas, 

T. W. Doane dengan kasar menyerang doktrin Kristus dan 

Alkitab. Karyanya, Bible Myths and Their Parallels in Other Reli￾gions (1882), menggerogoti setiap tambatan doktrin Kristen. 

Namun begitu ia bahkan mengerti bahwa umat manusia selalu 

menyadari keberdosaannya dirinya dan kebutuhannya akan korban pendamaian. Ia menulis: “Doktrin penebusan dosa 

telah diberitakan jauh sebelum doktrin itu disimpulkan dari

Kitab Suci Kristen, jauh sebelum Kitab Suci ini pura-pura telah 

ditulis” (p. 181). Sarjana Alkitab R. C. Trench berkomentar: 

Bangsa-bangsa yang mana mustahil bagi mereka 

untuk sudah dapat saling belajar tentang korban, 

bangsa-bangsa yang paling beragam dalam buda￾ya, yang tertinggi dan yang hampir terendah dalam 

skala, ditambah berbeda dalam segala hal, belum 

sepakat dalam satu hal ini, yaitu, dalam memper￾sembahkan korban bernyawa kepada Allah,—atau, 

ketika gagasan tentang Allah yang esa telah 

lenyap,—kepada “banyak dewa” orang kafir—fitur 

penting dalam persembahan itu dalam setiap kasus 

adalah berupa nyawa korban yang diberikan (n.d.,

p. 177). 

Mereka yang mungkin ingin menantang penilaian Trench 

dapat memeriksa buku apa pun tentang sejarah dunia atau

agama-agama dunia dan melihat bahwa ia memang benar. 

Umat manusia telah mengorbankan makhluk hidup kepada 

dewa sejak awal sekali. Habel mempersembahkan hasil perta￾ma dari ternaknya dan sejak itu manusia telah mempesembah￾kan pelbagai korban dengan harapan untuk meredakan murka 

dan pengampunan dosa. Namun korban-korban khusus mana￾kah yang manusia pikir memiliki kuasa untuk mengampuni

dosa? Aturan umum untuk nilai korban pengampunan dosa 

adalah: semakin mahal dan sempurna korban itu, semakin 

banyak dosa yang akan diampuni.

Ketika Allah memulai ritual korban hewan untuk upa￾cara keagamaan bagi umat pilihan-Nya, Ia memberikan aturan 

yang ketat. Dalam Imamat 22:19-20, Allah memberitahu orang-orang Yahudi, “Haruslah persembahan itu tidak bercela dari 

lembu jantan, domba atau kambing. Segala yang bercacat 

badannya janganlah kamu persembahkan, karena dengan itu 

TUHAN tidak berkenan akan kamu.“ Tuhan selalu menuntut 

agar darah ditumpahkan untuk pengampunan dosa. Ibrani 9:22 

menegaskan hal itu, “Dan hampir segala sesuatu disucikan 

menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan 

darah tidak ada pengampunan.” Hal ini harus tidak menge￾jutkan sama sekali, karena “nyawa makhluk ada di dalam 

darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di 

atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, 

karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan 

nyawa“ (Imamat 17:11). 

Kaum laki-laki dan perempuan zaman dulu mengetahui 

dengan sangat baik semua perintah Allah tentang pendamaian 

dengan darah. Itu dimulai dengan Kain dan Habel, ditegaskan 

kembali oleh Nuh (Kejadian 9:1-6), diatur oleh hukum Perjan￾jian Lama, dan diteruskan hingga digenapi oleh Yesus. Ketika 

Allah menetapkan Hukum Musa, Ia tidak memperkenalkan 

korban binatang sebagai inovasi yang belum pernah dilihat 

oleh orang Israel. Sebaliknya, Ia menunjukkan kepada orang 

Israel cara yang tepat untuk mengorbankan binatang-binatang 

seperti itu, sampai pada waktu penggenapannya oleh pengor￾banan Anak-Nya akan menghentikan perlunya pendamaian

lebih lanjut dengan darah melalui korban binatang. Dalam 

menunjukkan kepada mereka cara yang tepat, Allah membuat 

ketentuan yang ketat untuk mencegah anak-anak Israel meng￾abaikan korban yang Allah setujui dan mengorbankan anak￾anak mereka yang tidak bersalah seperti orang-orang kafir di 

sekeliling mereka. Dalam Imamat 18:21, Allah memberitahu 

anak-anak Israel: “Janganlah kauserahkan seorang dari anak￾anakmu untuk dipersembahkan kepada Molokh, supaya ja-ngan engkau melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah 

TUHAN.“ Allah berusaha keras untuk memperingatkan orang 

Israel agar tidak mempersembahkan anak-anak mereka sebagai 

korban karena sudah diketahui secara umum bahwa bangsa￾bangsa di sekitar mereka ikut melakukan pembunuhan anak 

seperti itu. Pertanyaan muncul, “Hal apakah di dunia ini yang 

dapat meyakinkan seorang ibu atau ayah untuk mempersem￾bahkan anak-anak mereka kepada suatu dewa?” Mari kita 

selidiki masalah ini lebih lanjut.

Wendy Davis menulis untuk Widdershins—sebuah jurnal 

yang menyatakan dirinya berisi paganisme yang murni. Dalam 

sebuah artikel dalam World Wide Web, As Old as the Moon: 

Sacrifice in History, ibu ini menyatakan: “Tindakan ritual pem￾bunuhan kemungkinan adalah setua kita [manusia—KB/EL].

Di sepanjang zaman, manusia mempersembahkan korban keti￾ka mereka butuh sesuatu. Nenek moyang kita sering membe￾rikan yang terbaik yang mereka miliki, anak sulung mereka, 

untuk menyelamatkan diri mereka sendiri“ (1995, huruf tebal 

ditambahkan). Harta paling berharga yang seorang ibu atau 

seorang ayah miliki akan berupa anak sulung mereka. Namun 

begitu, anak itu tidak hanya berharga, tetapi juga tidak ber￾dosa. Korban apa saja yang kurang dari apa yang tanpa cela 

dan murni mengurangi nilai bawaan korban itu sendiri. Jadi, 

ada keyakinan bahwa korban yang tanpa dosa dan murni yang 

sedemikian besarnya itu dapat menghapus dosa orang tua

(atau, dalam hal ini, dosa seluruh desa!). Karena itu, agama￾agama jahat yang bejat bermunculan di sekitar korban anak￾anak, salah satu yang paling terkenal adalah Molokh (lihat 2 

Raja-raja 23:10). 

Namun meski korban bayi memenuhi aspek tanpa dosa

bagi korban yang sempurna, tetapi korban itu punya keku￾rangan pada bidang lain. Misalnya, bayi “biasa” yang lahir dari orang tua petani adalah bukan korban paling mahal yang 

tersedia; seorang anak kerajaan dari seorang raja akan menjadi 

korban yang lebih baik. Maka, sebagaimana pengamatan Davis 

selanjutnya, para raja akhirnya mengorbankan anak-anak 

mereka sendiri untuk menenangkan “para dewa.” 

Tetapi korban seorang anak raja masih tidak mewakili 

korban yang sempurna, karena anak itu tidak berkorban atas 

kehendaknya sendiri. Sebuah korban sukarela dari darah bang￾sawan akan mendekati persembahan yang sempurna. Dalam 

sebuah artikel berjudul No Greater Sacrifice, yang muncul dalam

Widdershins, seorang penulis berpendapat, “Korban sukarela 

adalah lebih menarik. Mengapakah seseorang mau mengor￾bankan dirinya untuk apa yang ia yakini ? Secara historis, kita 

harus mempertimbangkan raja-raja suci yang mengorbankan 

diri mereka untuk Negerinya“ (lihat Andy, 1998). Ya, seorang 

raja yang mempersembahkan dirinya sendiri atas kehendaknya 

sendiri akan nyaris menjadi korban yang sempurna. Satu-satu￾nya masalah dengan konsep seperti itu adalah fakta bahwa 

tidak ada raja yang pernah menjalani kehidupan yang sem￾purna. Seperti yang dengan benar diulas oleh penulis Widder￾shins, dalam upaya untuk mengatasi hal ini, “[akhirnya] sese￾orang memunculkan gagasan tentang satu korban pamungkas.

Satu korban untuk mencakup semua sisanya di sepanjang 

waktu. Namun siapakah yang dapat dipersembahkan? Korban 

itu harus orang yang sangat penting; bahkan raja-raja juga 

tidak cukup baik. Jelasnya, hanya dewa yang cukup penting

untuk diperhitungkan sebagai korban terakhir“ (Andy, 1998).

Dengan demikian, menjadi jelas mengapa bahkan dunia pagan 

menuntut korban yang tanpa dosa, rajani, dan kedudukannya 

lebih tinggi daripada manusia lainnya. Doane menyatakan: 

“Kepercayaan tentang penebusan dosa oleh penderitaan Ilahi 

yang Inkarnasi, apakah dengan mati di kayu salib atau tidak, adalah sudah umum dan populer di kalangan kaum kafir, ber￾abad-abad sebelum zaman Yesus dari Nazaret” (1882, p. 183-

185). 

Begitu kita memahami perlunya kematian dewa penye￾lamat, tidak sulit untuk melihat mengapa umat manusia ingin 

(dan perlu) melihat dia mengalahkan maut. Penulis kitab Ibrani 

membahas hal ini ketika ia menulis bahwa Kristus membiarkan 

diri-Nya dikorbankan sehingga Ia dapat “membebaskan mere￾ka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh 

karena takutnya kepada maut“ (2:15). Maut memiliki lebih 

banyak teror bagi manusia daripada hal lain apa pun di Bumi. 

Karena alasan inilah orang-orang Yunani menciptakan Hercu￾les—separuh manusia dan separuh dewa—untuk menakluk￾kan Alam Maut, dan orang Mesir menciptakan Osiris. Tentu￾nya seorang dewa penyelamat yang mempersembahkan diri￾nya secara sukarela sebagai korban bagi seluruh umat manusia 

dapat mengalahkan musuh yang ditakuti umat manusia—

Maut. Jadi, gagasan tentang korban dewa penyelamat yang 

dengan sukses mengalahkan maut melalui kebangkitannya 

dengan mudah diterima oleh pikiran orang-orang yang tahu 

bahwa mereka membutuhkan pengampunan, dan yang sangat 

ingin tetap hidup setelah kematian.

Jadi, dari “kerangka pikiran universal” berbagai suku 

dan agama—yang merentang ribuan tahun—mereka meru￾muskan versi pribadi mereka tentang apa yang menurut mere￾ka harus ditampilkan atau dikerjakan oleh dewa penyelamat 

yang bangkit itu. Beberapa orang mengatakan bahwa ia dicabik 

menjadi empat belas bagian dan disebar ke seluruh tanah Mesir 

(misalnya, Osiris). Yang lain mengatakan ia akan terlihat seper￾ti manusia tetapi akan memiliki kekuatan fisik manusia super 

dan turun ke dunia orang mati untuk menaklukkan Hades 

(misalnya, Hercules). Namun satu hal adalah pasti: kisah ten-tang seorang pahlawan yang menyelamatkan umat manusia 

ada di bibir hampir setiap pendongeng. Trench dengan benar 

menyatakan: 

Tidak ada peneliti yang bijaksana dalam catatan 

masa lalu umat manusia yang dapat menyangkal 

bahwa di sepanjang sejarahnya ada harapan pene￾busan dari kejahatan yang menindasnya; dan seper￾ti sedikit orang yang dapat sangkal bahwa harapan 

ini sudah terus-menerus melekatkan dirinya pada 

beberapa manusia single (n. d., p. 149). 

Namun bagaimanakah, akhirnya, hal itu dapat diperta￾hankan, bahwa, satu-satunya juruselamat yang ditunggu￾tunggu umat manusia dahulu, dan kini, adalah Yesus? 

 

YESUS — JURUSELAMAT UNIK UMAT MANUSIA

Satu fakta penting yang tidak dapat diabaikan adalah 

bahwa Yesus adalah satu-satunya tokoh sejarah Yang meme￾nuhi kriteria yang diperlukan untuk membenarkan, mengu￾duskan, dan menebus umat manusia. Tidak ada pikiran kreatif 

manusia yang dapat meramu narasi tentang Yesus dari Naza￾ret. Mata manusia melihat Dia, dan telinga manusia mendengar 

Dia. Ia berjalan dan bicara—hidup dan mengasihi—di jalan￾jalan dalam kota-kota yang nyata dan di dalam rumah orang￾orang yang nyata. Hidup-Nya adalah satu-satunya kehidupan 

“dewa penyelamat” yang dapat (dan telah) sepenuhnya dido￾kumentasikan. Seperti yang Stephen Franklin katakan: “Tokoh

istimewa agama Alkitab dan, dengan demikian, agama Kristen

berasal dari prioritas yang diberikan kepada dimensi ajaran 

dan doktrin dasar Alkitab yang bersifat faktual historis“ (1993, 

17[1]:40). Karena itu, kisah Yesus Kristus tidak menempati tempat 

di tengah-tengah halaman mitologi Yunani atau legenda agama 

kuno. Namun, oh, betapa kaum skeptis berharap hal itu terjadi! 

Seperti yang Freke dan Gandy ulas dalam The Jesus Mysteries: 

Umat Kristen Literal mula-mula secara keliru per￾caya bahwa kisah Yesus berbeda dengan kisah lain 

tentang Osiris-Dionysus karena Yesus sendiri telah 

menjadi tokoh sejarah ketimbang tokoh mitos. Ini 

telah membuat orang Kristen merasakan iman 

mereka berlawanan dengan semua iman lainnya, 

yang sebetulnya tidak demikian (1999, p. 13, huruf 

tebal ditambahkan). 

Memang, kaum skeptis akan senang bisa menempatkan kisah 

Yesus di lapangan permainan yang sama dengan kisah-kisah

dewa penyelamat legendaris, karena dengan demikian kisah￾kisah yang paralel itu dapat dengan mudah didegradasi men￾jadi mitos, berdasarkan fakta bahwa kisah-kisah itu tidak dapat 

diverifikasi secara historis. Trench menulis tentang sikap skep￾tis seperti itu: 

Dengan membuktikan, karena tidak sulit untuk 

membuktikan, pelbagai kesamaan itu sebagai tidak 

berdasar dan bersifat mitos, tidak memiliki dasar 

historis yang benar, mereka mengharapkan fakta￾fakta luar biasa kepercayaan orang Kristen itu akan 

disimpulkan sebagai lemah, mengandung kesalah￾an yang sama (n. d., p. 135). 

Jika orang-orang kafir itu mampu menciptakan argumen 

yang lemah yang tidak tahan terhadap ujian kebenaran sejarah 

(seperti, misalnya pelbagai legenda dan mitos kaum pagan), 

dan jika mereka dapat menempatkan kisah Yesus dalam kate-gori yang sama sebagai argumen lemah mereka, maka kedua￾nya dianggap akan jatuh bersamaan. Namun begitu, kisah 

Yesus dari Nazaret menolak untuk jatuh. Kisah-kisah para 

dewa penyelamat lainnya diakui sebagai—bahkan oleh mereka 

yang menciptakannya—bukan apa-apa kecuali dongeng (mis., 

banyak orang Yunani menyadari bahwa kisah-kisah fiktif 

mereka hanyalah legenda yang tidak benar yang sepenuhnya 

tidak dapat diverifikasi; lihat McCabe, 1926, p. 59). Namun ki￾sah Yesus menuntut tempatnya yang tepat dalam catatan seja￾rah manusia. Osiris, Krishna, Hercules, Dionysus, dan dewa￾dewa penyelamat mitos lainnya tersandung kembali pada 

bayang-bayang fiksi jika dibandingkan dengan kehidupan 

Yesus dari Nazaret yang didokumentasikan. Jika kaum skeptis 

ingin menantang keunikan Yesus dengan membandingkan Dia 

dengan dewa-dewa penyelamat lainnya, ia pertama-tama harus 

menunjukkan bukti bahwa salah satu dari para dewa penye￾lamat ini benar-benar pernah hidup di Bumi, berinterak￾si dengan umat manusia, dan memengaruhi kehidupan manu￾sia melalui keberadaan yang tanpa dosa dan ajaran yang tak 

tertandingi. Umat manusia selalu menginginkan dewa penye￾lamat yang hidup nyata; tetapi dapatkah salah satu dari yang 

diduga keras sebagai para dewa penyelamat yang diciptakan 

itu memiliki kebanggaan berupa keberadaan historisnya yang 

dapat dibandingkan dengan keberadaan historis Kristus yang 

didokumentasikan secara menyeluruh? Bertanya sama dengan

menjawab. 

Selain itu, Yesus satu-satunya tokoh yang sempurna, 

tanpa cacat. Ia menjalani kehidupan dengan aturan moral yang 

sama yang mengatur semua manusia, namun Ia tidak pernah 

melakukan kesalahan. Penulis Ibrani menulis, “Sebab Imam 

Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat 

turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (4:15, 

huruf tebal ditambahkan; bdk. juga 1 Petrus 2:21-22). Sejarawan 

agama terkenal Philip Schaff menulis: 

Dengan sia-sia kita mencari di seluruh biografi

Yesus satu noda atau karakter moral-Nya yang 

agak meragukan. Tidak pernah ada makhluk yang 

sangat tidak berbahaya yang pernah hidup di bumi. 

Ia tidak melukai siapa saja, Ia tidak mengambil 

keuntungan dari siapa saja. Ia tidak pernah menu￾liskan kata yang salah. Ia tidak pernah melakukan 

tindakan yang salah (1913, p. 32-33). 

Bernard Ramm berkomentar dengan nada yang sama ketika ia 

menyatakan tentang Kristus: 

Di sana Ia berdiri, tanpa dosa. Apa pun yang mung￾kin manusia klaim sebagai hebat, tanpa dosa adalah 

satu hal yang tidak dapat mereka klaim. Mereka 

mungkin cerdas atau kuat, cepat atau pintar, kreatif 

atau terinspirasi, tetapi tidak tanpa dosa. Kesem￾purnaan tanpa dosa dan ketidakberdosaan yang 

sempurna adalah apa yang kita akan harapkan dari 

inkarnasi Allah. Hipotesa dan fakta-fakta sejalan 

(1953, p. 169, huruf tebal dari aslinya). 

Periksalah kisah-kisah para dewa penyelamat lainnya.

Lihat apakah mereka tunduk pada aturan yang sama sebagai 

manusia. Lihat apakah mereka itu mempelajari sifat manusia 

dan menderita secara tidak adil, pada saat yang sama tidak 

pernah berbuat dosa dengan bibir atau hati mereka. Cobalah 

untuk menemukan juruselamat seperti Kristus yang berumur

30 tahun lebih di Bumi dan tidak pernah melakukan satu 

tindakan memalukan. Norman Geisler merangkum situasinya sebagai berikut: “Semua manusia adalah orang berdosa; Allah 

tahu itu dan kita juga. Jika seseorang menjalani kehidupan 

yang sempurna dan menawarkan dirinya sebagai kebenaran 

bahwa Ia adalah Allah yang berinkarnasi maka kita harus meng￾anggap serius klaimnya itu“ (1976, p. 344). Yesus memang 

“menawarkan dirinya sebagai kebenaran bahwa Ia adalah

inkarnasi Allah.” Seperti yang John Stott tulis: 

Ciri yang paling mencolok dari pengajaran Yesus 

adalah bahwa Ia senantiasa bicara tentang diri￾Nya.… Ajaran Yesus yang berpusat pada diri-Nya 

itu segera membuat Yesus berbeda dari para guru 

agama besar lainnya di dunia. Mereka itu menarik

diri. Ia mengajukan diri. Mereka menunjuk orang￾orang yang jauh dari diri mereka, dengan berkata, 

“Itu adalah kebenaran, sejauh yang saya pahami;

ikuti itu.“ Yesus berkata, ”Akulah kebenaran; ikuti 

Aku.“ Para pendiri agama etnis tidak pernah berani 

mengatakan hal seperti itu (1971, p. 23). 

Namun begitu, ada poin penting lain yang harus diper￾timbangkan. Siapakah yang lebih baik untuk menyangkal 

gagasan bahwa Yesus itu sempurna selain mereka yang meng￾habiskan sebagian besar waktunya bersama Dia? Ada sebutir 

kebenaran dalam pepatah bahwa “keakraban melahirkan rasa 

jijik.” Tentunya teman-teman terdekat-Nya akan mengamati 

beberapa cela kecil. Namun ketika kita membaca komentar 

para pengikut terdekat-Nya, kita menemukan bahwa bahkan 

mereka memuji Dia sebagai satu-satunya manusia yang tidak 

berdosa. Rasul Petrus, yang pernah ditegur di depan umum 

oleh Yesus, tetap memanggil Dia “anak domba yang tak ber￾noda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:19). Satu pasal kemudian 

dalam surat yang sama, Petrus mengatakan bahwa Yesus “ti-dak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya” (2:22). 

Bahkan, Kristus melangkah lebih jauh dengan mengundang 

siapa saja yang berani, untuk menunjukkan bahwa Ia pernah 

berbuat dosa ketika Ia berkata: “Siapakah di antaramu yang 

membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?” (Yohanes 8:46). 

Tidak seorang pun yang hidup pada zaman-Nya dapat mem￾buktikan Tuhan berbuat dosa; begitu juga di zaman kini. 

Bagaimanapun, ketika seseorang mulai memeriksa kehidupan 

para dewa penyelamat lainnya, segera menjadi jelas bahwa

”para pahlawan” ini melakukan percabulan dengan manusia, 

mengizinkan emosi berdosa mereka menyala, dan mengamuk 

dengan kecemburuan yang jelas terlihat. Setiap orang yang 

diduga sebagai juruselamat manusia selain Yesus memiliki 

kelemahan. Jika “juruselamat” seperti itu (selain Yesus) pernah 

ada dan tidak memiliki kejahatan atau dosa, hidupnya pasti 

tidak dapat didokumentasikan secara historis. Dan jika dewa 

penyelamat selain Yesus dapat didokumentasikan secara

historis, hidupnya dengan mudah dapat dibuktikan sarat

dengan dosa. 

Kristus Unik Dalam Ajaran-Nya

Tidak hanya perincian khusus kehidupan Kristus yang 

sudah dituduh sebagai plagiarisme, ajaran-ajaran-Nya juga

telah mengalami pemeriksaan yang ketat. Beberapa orang me￾ngeluh, misalnya, bahwa ajaran Yesus sedikit lebih hangat 

daripada konsep-konsep Perjanjian Lama. Dalam artikel utama 

tentang Kristus yang ditulisnya untuk Newsweek edisi 29 Maret 

1999 (sampulnya berjudul “2000 Years of Jesus”), Kenneth 

Woodward berpendapat: “Seperti yang sudah lama disadari 

oleh para pakar, ada sedikit dalam ajaran Yesus yang tidak 

dapat ditemukan dalam Kitab Suci Ibrani yang ia jelaskan“ (135 

[13]:54). Orang Yahudi non-Kristen dan orang-orang skeptis sering memandang Yesus sebagai seorang guru kuno yang 

meminjam banyak materi-Nya dari teks Ibrani yang telah ada 

ratusan tahun sebelum Ia memasuki gelanggang dunia, karena 

banyak dari perkataan-Nya itu dapat dilacak kembali berabad￾abad kepada Daud pemazmur Yahudi, nabi Yesaya, dan sejum￾lah penulis Ibrani kuno lainnya. Yang lain mengeluh bahwa 

ajaran-ajaran Kristus berasal dari pengetahuan pagan kuno. 

Freke dan Gandy berpendapat: 

… [Kami] menemukan bahwa bahkan ajaran Yesus 

tidak orisinal, tetapi telah diantisipasi oleh para 

orang bijak dari kaum Pagan.… Para kritikus aga￾ma Kristen dari kaum pagan, seperti Celsus satiris, 

mengeluh bahwa agama terakhir ini tidak lebih 

daripada refleksi buram dari ajaran kuno mereka 

sendiri (1999, p. 5-6). 

Dengan demikian, jika ingin dianjurkan dengan sukses 

bahwa Yesus itu benar-benar unik dalam ajaran-Nya, maka 

fakta yang tak terbantahkan bahwa Ia menggunakan sejumlah 

besar literatur Ibrani kuno harus dijelaskan, dan perbedaan￾perbedaan penting tertentu harus dinyatakan (antara apakah 

itu dari materi Perjanjian Lama atau dari sumber-sumber pagan 

sebelumnya). Kalau tidak, kita hanya memiliki seorang rabi 

Yahudi lain yang mengetahui sumber-sumber kafir dan juga 

Kitab Suci—sama seperti sejumlah rabi Yahudi lainnya. 

Untuk menjelaskan mengapa Yesus menggunakan begitu 

banyak literatur Ibrani, kita harus memahami hubungan-Nya

dengan literatur itu. Pernyataan dari surat pertama Petrus 

sangat membantu dalam hal ini: Keselamatan itulah yang diselidiki dan diteliti oleh 

nabi-nabi, yang telah bernubuat tentang kasih karu￾nia yang diuntukkan bagimu. Dan mereka meneliti 

saat yang mana dan yang bagaimana yang dimak￾sudkan oleh Roh Kristus, yang ada di dalam mere￾ka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi kesaksian 

tentang segala penderitaan yang akan menimpa 

Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyu￾sul sesudah itu (1 Petrus 1:10-11, huruf tebal ditam￾bahkan). 

Bagian penekanan Petrus adalah bahwa Kristus bukan hanya

pembaca yang tertarik kepada tulisan suci Yahudi kuno; me￾lainkan, Ia adalah Pengarangnya. Ia menulis Perjanjian Lama 

Yahudi melalui Roh-Nya yang bekerja melalui para nabi. Keti￾ka Ia mengutip Yesaya atau Yeremia, Ia tidak menyalin materi 

mereka atau menjiplak kebenaran mereka. Yang sebenarnya, 

justru sebaliknya. Ia hanya mengutip teks-teks yang secara pri￾badi telah Ia ilhamkan dan terbitkan melalui orang-orang suci 

kuno. Sebagaimana “bapa gereja” terkenal Tertullian menulis 

dalam karyanya Apology, ”Tidak ada yang sangat tua mengenai 

kebenaran” (pasal 47). Menyarankan bahwa ajaran-ajaran Kris￾tus itu tidak unik karena Ia mengutip nas-nas Perjanjian Lama 

akan seperti mengatakan bahwa penulis buku tertentu tidak 

dapat mengutip isi buku itu dalam kuliah atau publikasi yang 

diadakan belakangan, agar ia tidak dituduh menjiplak materi￾nya sendiri.

Ada orang-orang, tentu saja, yang akan mengabaikan ar￾gumen di atas dengan mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak 

memiliki otoritas untuk menjawab pertanyaan seperti itu. De￾ngan demikian, mereka akan terus mengklaim bahwa Yesus 

“meminjam” ide-ide-Nya dari halaman-halaman teks orang Israel. Jika mereka ingin mempertahankan sudut pandang se￾perti itu, maka biarkan mereka menemukan dalam Perjanjian 

Lama gambaran tentang hukuman kekal yang dapat diban￾dingkan dengan yang Yesus berikan dalam Markus 9:43. Di 

manakah di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita menemukan 

bahwa lebih sulit bagi orang kaya untuk masuk sorga dari￾pada seekor unta melewati lubang jarum? Di manakah di 

dalam Perjanjian Lama terdapat gagasan untuk mengasihi sesa￾ma manusia yang dikembangkan sejauh yang Kristus jelaskan 

dalam perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati? Yesus 

dari Nazaret tidak hanya memuntahkan nas-nas Perjanjian 

Lama, dengan menambahkan keterangan ketika Ia menjelas￾kannya. Sebaliknya, Ia datang untuk menggenapi Hukum La￾ma, dan untuk memulai Hukum Baru dengan konsep dan perin￾tah yang berbeda—hal yang sangat jelas ditulis oleh penulis 

Ibrani ketika ia menyatakan: ”Oleh karena Ia berkata-kata ten￾tang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama seba￾gai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah men￾jadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya“ (8:13).

Meski dapat dibuktikan bahwa Yesus tidak menjiplak

Perjanjian Lama , pertempuran untuk keunikan ajaran-ajaran￾Nya tidak berakhir di sana. Jejak-jejak dari konsep-konsep yang 

mendahului keberadaan duniawi Kristus juga dapat ditemu￾kan dalam ajaran-Nya. Sebelumnya, kita mengutip dari Agus￾tinus, yang menulis bahwa para pengikut Plato mengklaim 

bahwa Kristus telah menyalin pahlawan filosofis mereka (kecua￾li, mereka berpendapat, bahwa Kristus hampir tidak fasih bica￾ra). Selanjutnya, rabi Hillel, yang hidup kira-kira lima puluh

tahun sebelum Yesus, mengajarkan, “Apa yang tidak akan 

kamu lakukan terhadap dirimu, jangan kau lakukan itu kepada 

orang lain” (lihat Bales, n. d., p. 7). Konfusius (dan sejumlah 

penulis kuno lainnya) mengajarkan hal-hal yang juga diajarkan Yesus. Dari Cina hingga Mesir, kaum pagan yang terus-mene￾rus mengalir mengucapkan hal-hal yang Kristus, berabad-abad 

kemudian, akan juga katakan dalam satu bentuk atau lainnya. 

Bagaimanakah, kemudian, ajaran-ajaran Kristus dapat diang￾gap unik jika mereka telah muncul ke permukaan dalam buda￾ya dan peradaban yang berbeda ratusan tahun sebelum keda￾tangan-Nya ke Bumi? Mungkin ini akan menjadi tempat yang

baik untuk bertanya: Apakah alternatifnya? Seperti yang Bales 

tulis: 

Jika Kristus memang sepenuhnya orisinal, maka Ia 

akan harus sudah menghilangkan setiap kebenaran 

yang telah diungkapkan di dalam Perjanjian Lama, 

atau yang telah dipahami oleh nalar manusia. 

Jika Ia telah melakukan ini, ajaran-Nya akan sudah 

tidak memadai, karena ajaran itu akan sudah meng￾hilangkan banyak kebenaran moral dan spiritual (n. 

d., p. 21, huruf tebal ditambahkan). 

Yesus datang bukan untuk mengulangi kebenaran kuno, 

tetapi untuk mensintesiskan kebenaran itu menjadi satu kesa￾tuan yang lengkap. Ia mewujudkan setiap kebenaran spiritual 

yang dunia pernah lihat atau akan pernah lihat. Seperti komen￾tar Bales: “Kristus mewujudkan semua kebaikan moral yang 

ditemukan di dalam agama lain, dan Ia menghilangkan kesal￾ahan-kesalahan mereka” (p. 7). Dalam suratnya kepada umat 

Kristen di Kolose, Paulus menggambarkan Kristus sebagai 

orang yang “di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat 

dan pengetahuan” (2:3, huruf tebal ditambahkan). Ajaran Kris￾tus seperti emas; sejumlah kecil ajaran-Nya dapat ditemukan 

di hampir setiap wilayah dunia—dari air laut hingga tubuh 

manusia. Namun begitu, agar emas itu dapat digunakan, ia 

harus dikumpulkan menjadi tumpukan yang cukup besaruntuk dimurnikan. Kristus adalah “tempat pemurnian” dari 

semua pengetahuan dan hikmat, di mana sampah kesalahan 

dibersihkan dari logam kebenaran ilahi yang berharga itu. Mes￾ki titik-titik kecil dari ajaran-Nya itu secara praktis muncul dari 

hampir setiap agama, namun mereka dapat disempurnakan 

hanya jika dikumpulkan seluruhnya dalam esensi Yesus orang 

Nazaret. Stephen Franklin mengatakannya seperti ini: 

Dengan menggaungkan tema-tema Kristiani dalam 

setiap budaya dan dalam setiap agama, ia [Allah—

KB/EL] telah memberikan seluruh umat manusia 

beberapa “pegangan” yang membolehkan mereka 

setidaknya memiliki pemahaman awal tentang injil 

ketika diberitakan (1993, p. 51). 

Lebih jauh lagi, pertimbangkanlah baik kuasa maupun 

otoritas yang tampak jelas dalam ajaran-ajaran Kristus. Bahkan 

musuh-musuh-Nya tidak dapat menyangkal apa yang Ia ajar￾kan. Ketika Sanhedrin Yahudi memutuskan untuk bertindak

terhadap Dia dan mengirim pasukan keamanannya untuk 

menangkap Dia, para petugas itu kembali dengan tangan ko￾song dan mengakui: “Belum pernah seorang manusia berkata 

seperti orang itu!” (Yohanes 7:46, huruf tebal ditambahkan).

Ketika Ia baru berusia dua belas tahun dan orang tua-Nya

secara tidak sengaja meninggalkan Dia di Yerusalem, mereka 

kembali dan menemukan Dia sedang membahas masalah-ma￾salah agama dengan para ahli Taurat yang terpelajar, “dan se￾mua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan￾Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya” (Lukas 2:47). 

Orang-orang Yahudi telah lama mendambakan Mesias 

(“Kristus”) yang akan menyelamatkan dan membebaskan mere￾ka. Perempuan Samaria yang ditemui Kristus di sumur itu bica￾ra tentang fakta ini, yang kepada dia Ia menjawab: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:26). 

Ketika Yesus diadili di hadapan Sanhedrin, imam besar Kaya￾fas menuntut, “Katakanlah kepada kami, apakah Engkau 

Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63-64). Ia bicara 

dengan otoritas mengenai pra-manusia masa lalu, karena Ia

ada di sana (Yohanes 1:1 dst.). Di masa kini, “tidak ada suatu 

makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala 

sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada￾Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab“ (Ibrani 

4:13). Dan Ia mengetahui masa depan, seperti terbukti dari bah￾kan dengan membaca sepintas nubuat -Nya tentang pemba￾ngunan gereja-Nya (Matius 16:18), pengiriman Roh Kudus 

kepada para rasul-Nya (Yohanes 14:26), dan banyak gambaran￾Nya tentang kembali-Nya yang terakhir dan Hari Pengha￾kiman (Matius 25:31-46, et al.). Semua ini, dan lebih banyak lagi, 

menjelaskan mengapa Paulus menyebut Dia sebagai “Raja di 

atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (1 Timotius 6:15). 

Tidak ada orang yang pernah memiliki, atau bicara dengan, 

jenis otoritas yang dilimpahkan kepada Kristus, itulah sebab￾nya Ia mengajarkan: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa 

di sorga dan di bumi” (Matius 28:18). Juruselamat gadungan 

tidak pernah mengklaim seperti itu, dan musuh-musuh mereka 

juga tidak akan sudah membenarkan klaim itu. Mungkin ini 

adalah salah satu alasan mengapa, dalam artikel utama dari

sampul majalah Time 6 Desember 1999 (“Jesus at 2000”), 

penulis Reynolds Price menulis: 

Akan diperlukan banyak perhitungan yang eksotis, 

bagaimanapun, untuk menyangkal bahwa satu￾satunya tokoh paling kuat—tidak hanya dalam dua 

milenium ini tetapi juga dalam seluruh sejarah 

manusia—adalah Yesus dari Nazaret.… [Sebuah] argumen serius dapat dibuat bahwa tidak ada kehi￾dupan orang lain yang terbukti sedikitnya sama 

kuat dan bertahannya seperti kehidupan Yesus. Ini 

adalah kesimpulan yang mengejutkan mengingat 

fakta bahwa Yesus adalah manusia yang hidup 

singkat di daerah pedesaan terpencil dalam Keraja￾an Romawi [dan] yang mati dalam siksaan seba￾gai penjahat yang bersalah.… (154 [23]:86). 

Para juruselamat mitos tidak mengalami penilaian yang dila￾kukan ke atas kehidupan mereka atau lebih khususnya ke atas 

ajaran-ajaran mereka.









Mahasiswa baru itu mengikuti kuliah pertamanya dalam 

kelas Comparative Religions 101. Ia sudah siap masuk ke univer￾sitas itu—atau begitulah pikirnya—untuk hal apa pun yang 

mungkin universitas itu lontarkan kepada dia. Bagaimanapun, 

ia adalah orang yang Kristen yang setia, dan dibesarkan oleh 

orang tua Kristen yang berdedikasi yang, di sepanjang pende￾wasaannya, telah mengajar dia tentang Anak Allah yang unik, 

yang diutus sorga, dilahirkan dari anak dara, pembuat mujizat, 

dibangkitkan dari antara orang mati, yang ia hormati, layani, 

dan kasihi. Guru-guru kelas Alkitabnya, dan para pelayan fir￾man yang khotbah-khotbahnya ia sudah dengarkan selama 

delapan belas tahun terakhir, telah ikut juga memperkuat 

dalam pikirannya konsep bahwa tidak ada seorang pun dalam 

seluruh sejarah dunia agak menyerupai Yesus Kristus. Fakta￾nya, jujur saja, siswa muda itu telah tumbuh dengan pikiran 

bahwa tidak ada satu orang pun yang nyaris dapat menye￾rupai, atau meniru, anak tukang kayu dari Nazaret. 

Siswa muda ini, bagaimanapun, akan menerima kejutan 

bagi hidupnya. Dari hari pertama kelas itu, profesor itu mulai 

membacakan sejumlah cerita serupa tentang berbagai “juru￾selamat” dari agama-agama lain masa lalu—banyak di anta￾ranya, konon, juga dilahirkan dari anak dara, mampu menga￾dakan mujizat, disalibkan untuk menyelamatkan umat manu￾sia, dan dibangkitkan setelah kematian mereka. Siswa baru ini 

tidak siap untuk mendengar pendapat profesornya bahwakisah Yesus Kristus sebagai Juruselamat umat manusia tidak 

sepenuhnya unik. Faktanya, ia sepenuhnya heran ketika meli￾hat profesor itu mendokumentasikan fakta bahwa kisah-kisah 

dengan pahlawan-pahlawan serupa telah beredar selama bebe￾rapa dekade—dan bahkan berabad-abad—sebelum Yesus dari 

Nazaret lahir. Saat ia melihat apa yang ia yakini sebagai keu￾nikan Tuhannya benar-benar menguap di depan matanya, 

pemuda itu mulai bertanya-tanya: Apakah selama ini ia diajar 

dengan salah? Apakah Yesus benar-benar Anak Allah yang 

unik, atau Ia hanya satu di antara banyak tokoh masa lalu yang 

mengaku unik, juruselamat pribadi tetapi yang, pada akhirnya, 

tidak unik? Siapakah tokoh-tokoh ini yang diduga sebagai 

“juruselamat yang unik”? Apakah mereka sejelas seperti yang 

diklaim oleh mereka, atau pengikut mereka? Dan bagaimana￾kah klaim seperti itu memengaruhi ajaran Alkitab tentang, dan 

iman khas seseorang kepada, Yesus Kristus sebagai Anak 

Allah? 

Selama pergumulannya untuk mengatasi informasi baru

yang disajikan dengan sangat fasih itu (dan dengan sangat

kuatnya!) oleh profesornya, anak muda ini menghadapi apa 

yang dikenal sebagai “disonansi kognitif”—kebingungan yang 

orang alami ketika disajikan informasi baru yang bertentangan 

dengan apa yang ia percayai sebagai hal yang benar. Seraya ia 

bergumul untuk bersikap konsisten, anak muda itu menyadari 

bahwa ia harus meninggalkan apa pun yang ia yakini benar, 

atau entah bagaimana membantah (dan dengan demikian 

mengabaikan) informasi baru yang menantang itu.

Semakin ia memikirkan masalah itu, pilihan pertama 

tampaknya semakin paling memungkinkan tidak konsisten—

dan goyah. Dan pilihan kedua tampaknya semakin mustahil 

tidak konsisten. Jika dibiarkan, pergumulannya akan mencapai

tingkat keraguan penuh, dan keyakinannya kepada keunikan luar biasa Juruselamat yang ia telah kasihi dan patuhi begitu 

lama akan hilang sepenuhnya. Bagaimanakah ia dapat diban￾tu—atau dapatkah ia ditolong? Apakah materi yang terhadap￾nya ia terpapar dapat dipercaya? Atau bisakah materi itu di￾bantah—dengan demikian iman pribadinya kepada Kristus 

tetap melekat? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini 

membentuk dasar pelajaran kita dalam pasal ini. 

 

SIAPAKAH “PARA JURUSELAMAT UNIK” 

YANG LAIN INI?

Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh orang yang kehi￾dupannya—nyata atau khayalan—memiliki kesamaan ciri-ciri 

tertentu dengan kehidupan Yesus dari Nazaret yang didoku￾mentasikan dengan baik. Kisah-kisah seperti itu sering berisi 

sebagian kurikulum dalam pelajaran perbandingan agama 

pada level perguruan tinggi, dan menyediakan titik awal yang 

baik untuk studi apa saja tentang keunikan Yesus. 

Pertimbangkan, misalnya, Dionysus, dewa mitologi, yang

terkenal. Kisah kelahirannya yang biasa menceritakan bahwa ia 

adalah keturunan Zeus, pemimpin abadi para dewa Yunani 

yang menghamili seorang perempuan manusia bernama Seme￾le, putri Cadmus, Raja Thebes (lihat Graves, 1960, p. 56). Diony￾sus dikatakan turun ke alam maut dan menaklukkan maut, 

akhirnya ia membawa kembali ibunya yang sudah mati ke alam 

orang hidup. Ia juga dikatakan telah mati dan telah dibang￾kitkan lagi. Para pengikutnya menyebut dia Lysios atau Pene￾bus, dan jus anggur biasa digunakan untuk melambangkan 

darahnya. Seperti yang seorang penulis catat: “Banyak orang 

Kristen yang akan merasa ngeri untuk membayangkan bahwa 

Yesus dalam cara tertentu adalah manifestasi Dionysus, tetapi 

beberapa kesamaan itu adalah kompleks dan dalam.… Seperti Yesus, Dionysus adalah dewa yang kasihnya yang tragis 

digambarkan kembali dengan memakan dagingnya dan memi￾num darahnya” (“Dionysus and Yeshua,” n. d.). Penyembahan 

Dionysus mencapai Roma pada 496 S. M., tetapi sudah ada di 

sekitar Roma jauh sebelum itu. Kesamaan kisah Dionysus dan 

Yesus (juga kesamaan dengan kisah Osiris, dewa kesuburan 

dan penguasa alam maut Mesir, dibahas di bawah ini)—dari 

kelahiran unik mereka, hingga kebangkitan mereka, hingga 

hidup mereka diperingati dengan cara yang sama oleh para 

pengikut mereka—memang sangat mencolok. Bahkan, dalam 

buku mereka pada 1999, The Jesus Mysteries, Timothy Freke dan 

Peter Gandy membahas secara panjang pelbagai kesamaan itu 

untuk mendukung gagasan bahwa Yesus agama Kristen tidak 

pernah ada, sebab faktanya ia merupakan tokoh kuno yang 

sedikit lebih bersifat mitologis. Mereka menulis: 

Semakin kita mempelajari berbagai versi mitos Osi￾ris-Dionysus, semakin jelas bahwa kisah Yesus memi￾liki semua karakteristik dari kisah abadi ini. Peris￾tiwa demi peristiwa, kita menemukan bahwa kita 

dapat membuat biografi Yesus berdasarkan dugaan 

dari motif-motif mistik yang sebelumnya terkait 

dengan Osiris-Dionysus:

Osiris-Dionysus adalah Allah yang menjadi manu￾sia, juruselamat dan “Anak Allah.” 

Ayahnya adalah Allah dan ibunya adalah perawan 

yang fana. 

Ia dilahirkan di sebuah gua atau kandang sapi yang 

sederhana pada 25 Desember di hadapan tiga gem￾bala. Ia menawarkan para pengikutnya kesempatan un￾tuk dilahirkan kembali melalui upacara pembaptis￾an. 

Ia secara mujizatiah mengubah air menjadi anggur 

di sebuah upacara pernikahan. 

Ia mengendarai keledai dengan penuh kemenangan 

ke dalam kota sementara orang-orang melambai￾lambaikan daun palem untuk menghormati dia. 

Ia mati pada waktu Paskah sebagai korban untuk 

dosa-dosa di dunia.

Setelah kematiannya ia turun ke neraka, lalu pada

hari ketiga ia bangkit dari antara orang mati dan naik 

ke sorga dalam kemuliaan.

Para pengikutnya menanti kedatangannya sebagai 

hakim pada Akhir Zaman. 

Kematian dan kebangkitannya dirayakan dengan

makanan ritual berupa roti dan air anggur, yang 

melambangkan tubuh dan darahnya.

Ini baru beberapa dari banyak motif yang sama￾sama dimiliki dalam kisah Osiris-Dionysus dan bio￾grafi Yesus. Mengapakah kesamaan yang luar biasa 

ini tidak menjadi pengetahuan umum? (p. 5). 

Dionysus bukan satu-satunya tokoh masa lalu yang hidup

nya diduga paralel dengan kehidupan Yesus. Pertimbangkan￾lah Krishna, dewa Hindu kuno yang diduga memiliki nasib 

buruk yang serupa dengan nasib Kristus. Ia digambarkan seba￾gai tergantung di kayu salib, dengan lubang yang menem￾bus tangan dan kakinya. Gelarnya?—”Tuhan dan Juruselamat kami.” Krishna diduga “bangkit dari antara orang mati” 

dan kemudian “naik secara jasmani ke sorga” (Doane, 1882, 

p. 215). Ia bahkan diduga telah mengatakan, “Berbuat baiklah 

untuk kebaikan itu sendiri, dan jangan mengharapkan upahmu 

untuk itu di Bumi” (Graves, 1875, p. 112). Kristus mengguna￾kan gagasan yang sama dalam Matius 6. Tetapi kisah Krishna 

terjadi pada 1200 S. M. 

Kesamaan itu berlanjut. Dalam Papyrus of Ani dari Mesir 

(juga dikenal sebagai The Egyptian Book of the Dead ), yang 

bertanggal antara 1450 dan 1400 S. M. (lihat Budge, 1960,

p. 220), dewa Osiris menyandang gelar Raja Atas Segala Raja, 

Tuan Atas Segala Tuan, dan Pangeran Atas Segala Pangeran 

(Budge, hal. 352). Dalam bukunya yang menarik, Bible Myths 

and Their Parallels in Other Religions, T. W. Doane mengamati: 

“Osiris, Juruselamat Mesir, setelah dihukum mati, bangkit dari

antara orang mati, dan menyandang gelar ‘Yang Dibang￾kitkan’” (p. 221, huruf tebal dari aslinya). Juru tulis Osiris, Ani, 

digambarkan sebagai pribadi “yang perkataannya adalah kebe￾naran” (Budge, p. 384). Di bagian akhir papirus itu, terdapat 

kredo khusus yang dianggap mampu memberikan pembenar￾an untuk orang yang membacanya berulang-ulang saat ia 

masuk ke dalam alam keabadian. Kredo itu berbunyi sebagai 

berikut: ”Aku telah memberi roti kepada orang yang lapar, dan 

air untuk orang yang haus, dan pakaian untuk orang yang 

telanjang, dan sebuah perahu untuk orang yang tidak memiliki 

perahu” (Budge, p. 587). Penulis papirus itu bisa saja sudah 

menyalin perkataan Yesus seperti yang ditemukan dalam 

Matius 25:31-46—kecuali untuk satu fakta kecil: Papirus Ani

berasal dari tahun 1400 S. M.—lebih dari seribu tahun 

sebelum Kristus muncul di dunia. 

Selanjutnya, pada 550 S. M., Konfusius berkata: “Ja￾ngan perbuat kepada orang lain apa yang tidak ingin kamu lakukan kepada dirimu sendiri.” Kristus mengucapkan per￾nyataan yang hampir identik kira-kira 600 tahun setelah Kon￾fusius ketika Ia berkata: “Dan sebagaimana kamu kehendaki 

supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian 

kepada mereka”(Lukas 6:31).

Juga terdapat pelbagai kesamaan di antara kisah Budha

dan Yesus. Dalam artikel utama yang ia tulis untuk Newsweek

edisi 27 Maret 2000 tentang “Yesus Yang Lain” Kenneth L. 

Woodward berkomentar bahwa “kisah hidup Yesus dan Budha 

secara jelas sangat mirip,” dan kemudian melanjutkan untuk 

mencatat bahwa kedua pemimpin agama ini menantang 

ajaran-ajaran agama pada zaman mereka, diduga lahir dari 

seorang perawan, dan dianggap telah mengadakan banyak 

mujizat (135 [13]:58-59). 

Beberapa pengkritik Alkitab telah berpendapat bahwa 

mengutip lusinan cerita dengan pelbagai kesamaan seperti itu 

akan menjadi masalah sederhana. Bahkan, dalam debat publik 

dengan teis Norman Geisler (diadakan di Columbus College)

Columbus, Georgia pada 29 Maret 1994), Farrell Till, mantan 

Kristen yang menjadi skeptis, menyatakan hal itu dengan tepat 

ketika ia berkata kepada hadirin: 

Hadirin, saya ingin Anda berhenti sejenak dan ber￾pikir serius untuk beberapa saat saja. Saya tahu 

betapa banyak emosionalisme yang terlibat dalam 

hal ini, tapi tolong pahami ini. Dewa-dewa penye￾lamat yang disalibkan dan dibangkitkan, yang 

telah lahir dari seorang perawan, adalah sangat 

umum dan tidak berharga (1994). 

Stephen Franklin—meski merupakan pembela keunikan Kris￾tus yang tekun—menguatkan pernyataan Till dalam sebuah 

artikel di Evangelical Review of Theology ketika ia menulis: ”In-karnasi, jauh dari bersifat unik bagi agama Kristen, tampaknya 

menjadi milik universal dalam warisan agama umat manusia” 

(1993, p. 32).

Para pengkritik Kristus telah berkali-kali menggunakan 

pelbagai kesamaan itu dalam upaya untuk menegakkan pendi￾rian mereka bahwa Yesus dari Nazaret bukan tokoh yang unik 

atau juruselamat pribadi yang layak. Misalnya, tiga minggu

setelah artikel Kenneth Woodward tentang Jesus diterbitkan

di Newsweek, surat kepada editor itu dari Don Zomberg dari 

Wyoming, Michigan muncul dalam edisi 20 April majalah itu. 

Menanggapi kutipan dari artikel Woodward yang berpendapat 

bahwa “Kristus itu benar-benar asli dan benar-benar unik,” Tn. 

Zomberg membantah tulisan itu ketika ia berkata: “Tidak ada 

yang dapat lebih jauh dari kebenaran. Legenda Yesus itu sedi￾kit lebih banyak daripada varian agama-agama yang lebih 

tua bagi Timur Tengah ribuan tahun yang lalu” (2000, 135

[16]:17). Sikap seperti itu—yang berasal dari fakta bahwa 

memang ada kesamaan historis dan mitologis antara Yesus dan 

tokoh-tokoh agama lain—kemungkinan jauh lebih lazim dari￾pada yang disadari banyak orang. Dan meski memang tidak 

ada satu pun dari pelbagai kesamaan historis/mitologis ini

tepat, namun memang benar bahwa beberapa ada yang cukup 

mirip untuk mendapatkan penyelidikan yang serius pada sisi 

mereka yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah 

yang unik.

Tentu saja, para skeptis kontemporer yang mengguna￾kan argumen seperti itu dalam upaya untuk melenyapkan keu￾nikan dan keilahian Kristus tidak dapat menerima pujian seba￾gai pencetusnya. Sejarah mencatat bahwa hampir dua ribu 

tahun yang lalu para apologis Kristen mula-mula sudah sibuk 

terlibat merespons argumen yang sama persis. Sebagai contoh,Agustinus dari Hippo (354-426 M.) menyatakan dalam 

Christian Doctrine: 

Para pembaca dan pengagum Plato dengan mem￾fitnah berani menegaskan bahwa Tuhan kita Yesus 

Kristus mempelajari semua perkataan-Nya, yang 

terpaksa mereka kagumi dan puji, dari buku-buku 

Plato—karena (mereka mendesak) itu tidak dapat 

disangkal bahwa Plato hidup jauh sebelum keda￾tangan Tuhan kita (n. d., 2:28, kata-kata dalam 

tanda kurung dari aslinya). 

Augustinus membantah argumen itu dengan berpendapat bah￾wa Plato telah membaca kitab nabi Yeremia dan kemudian 

dengan nyamannya memasukkan ajaran Yeremia itu ke dalam 

ajarannya sendiri. Intinya, bagaimanapun, sudah jelas: sedini 

400 M., para skeptis dan musuh-musuh salib sudah melepas￾kan panah api dugaan plagiarisme kepada Kristus dan para 

pengikut-Nya.

Investigasi lebih lanjut ke dalam sejarah apologetika Kris￾ten memperlihatkan sesuatu yang bahkan lebih mengejutkan.

Para apologis paling awal tidak hanya mengakui bahwa cerita 

dan ajaran Yesus memiliki kesamaan yang mencolok dengan 

kisah-kisah mitologi kuno, tetapi bahkan menekankan kesa￾maan-kesamaan ini dalam upaya untuk membuat kaum pagan

itu lebih memahami tentang Yesus dan misi-Nya. Justin Martir 

(100-165 M.) mengemukakan argumen dalam bukunya First

Apology yang dimaksudkan untuk menempatkan Kristus seti￾daknya pada lapangan bermain yang sama dengan dewa-dewa 

mitologis yang lebih dulu. 

Dan jika kita menegaskan bahwa Firman Allah 

telah lahir dari Allah dengan cara yang istimewa, yang berbeda dari generasi umumnya, biarkan ini, 

sebagaimana dikatakan di atas, tidak menjadi hal 

yang luar biasa bagi Anda, yang mengatakan Mer￾kurius adalah malaikat firman Allah. Namun jika

ada yang keberatan bahwa Ia disalibkan, dalam hal 

ini juga Ia setara dengan anak-anak Yupiter yang 

terkenal milik Anda.… Dan bahkan bila kami mene￾gaskan bahwa Ia sudah lahir dari seorang perawan, 

terima ini sebagaimana juga Anda menerima Fer￾seus. Dan dalam hal kami mengatakan bahwa Ia 

menyembuhkan orang-orang yang timpang, lum￾puh, dan yang lahir buta, kami sepertinya mengata￾kan apa yang sangat mirip dengan perbuatan yang 

dikatakan telah dilakukan oleh Æsculapius 

(Pasal 22).

Tertullian (sekitar 160-220 M.) mengulas bahwa kisah 

Romulus, tokoh lain dari mitologi Yunani kuno yang terlihat 

setelah kematiannya, cukup mirip dengan kisah Kristus yang 

terlihat setelah kematian-Nya. Namun begitu, Tertullian 

melanjutkan untuk menuliskan bahwa pelbagai kisah tentang 

Kristus adalah jauh lebih pasti karena mereka didokumentasi￾kan oleh bukti sejarah (Apology, 21).

Meski kaum pagan kuno sudah melihat, dan kaum skep￾tis modern masih melihat, pelbagai kesamaan seperti itu seba￾gai menghalangi keaslian dan keunikan Kristus, namun tulis￾an-tulisan manusia seperti Augustinus, Justin Martyr, Tertulli￾an, dan lainnya mendokumentasikan fakta bahwa orang Kris￾ten mula-mula dapat melihat—ya, bahkan menerima—pelba￾gai kesamaan yang jelas antara kisah Yesus dan pelbagai kisah 

mitologis, dewa-dewa pagan. Lebih jauh, beberapa dari orang￾orang Kristen mula-mula itu bahkan memanfaatkan pelbagai kesamaan itu untuk membela posisi Yesus sebagai Anak Allah 

yang unik. Maksud para apologis itu, tentu saja, lipat dua: (1) 

manusia di masa lalu telah mencari dewa penyelamat yang 

unik dan, karena tidak menemukan apa-apa, terpaksa mencip￾takannya dan menyematkan kepada dewa itu sifat-sifat terten￾tu yang berbeda; dan (2) Juruselamat itu—yang, meski di masa 

lalu telah diberikan sifat-sifat yang unik dari ciptaan mereka 

sendiri yang lemah—sebenarnya telah datang! 

Orang Kristen perlu mengenali sebagai sebuah fakta yang 

tidak dapat disangkal—sebuah fakta yang diteguhkan oleh 

mitologi, sejarah, dan bahkan para apologis Kristen mula￾mula—yang diungkapkan oleh pelbagai dokumen kuno bahwa 

kisah Kristus bukan kisah pertama yang pernah diceritakan 

tentang dewa juruselamat yang lahir dari seorang dara, disalib￾kan, dibangkitkan, pembuat mujizat yang dianggap mati demi 

dosa-dosa umat manusia. Dokumen-dokumen ini selanjutnya 

mengungkapkan bahwa banyak ajaran Kristus dapat dikum￾pulkan—terkadang hampir kata demi kata—dari sumber-sum￾ber yang beredar ratusan atau ribuan tahun sebelum Yesus 

lahir. Para apologis mula-mula mengakui fakta-fakta ini karena 

fakta-fakta itu dulu dan sekarang, tidak dapat dibantah lagi. 

Dan itu membawa kita kembali kepada masalah yang 

mengganggu mahasiswa baru di perguruan tinggi yang telah 

disinggung sebelumnya. Bagaimana, dalam terang fakta-fakta 

seperti itu, kita dapat menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah 

unik, Anak Allah yang autentik—ketika kisah-kisah yang seru￾pa dengan kisah-Nya beredar beberapa dekade atau ribuan 

tahun sebelum Ia datang ke Bumi? Respons apakah yang kita 

dapat tawarkan terhadap dakwaan para kritikus Alkitab? Dan 

jaminan apakah yang dapat kita tawarkan kepada mahasiswa 

muda itu tentang keaslian imannya? MENGAPA PILIH YESUS YANG TIDAK ORISINIL?

Sebelum kita membahas apakah Yesus itu Juruselamat 

yang orisinil atau bukan, pertanyaan jelas ini harus ditanyakan: 

Mengapa ada orang yang mau mengklaim bahwa kisah Yesus 

itu tidak orisinal atau jiplakan? Mungkin ada beberapa jawaban 

yang dapat ditawarkan untuk pertanyaan semacam itu Namun 

begitu, karena terbatasnya ruang, marilah kita berkonsentra￾si hanya pada dua jawaban. Pertama, sudah menjadi fakta seder￾hana bahwa mereka yang tidak percaya kepada Allah, dan 

yang sebagai akibatnya menerima pandangan yang sepenuh￾nya naturalistik tentang asal mula Alam Semesta dan isinya, 

harus menemukan cara tertentu untuk menjelaskan keunikan 

Kristus dan keunikan sistem agama yang Ia tetapkan. Dalam 

menyikapi pendapat ini, almarhum James Bales menulis: 

Jika orang menerima kisah naturalistik dan evo￾lusi tentang asal usul agama, maka ia akan perca￾ya bahwa agama Kristen dapat dijelaskan secara 

alami. Dasar pendekatannya itu telah mengesam￾pingkan kemungkinan adanya wahyu supernatural 

dari Allah dalam Yesus Kristus (nd, p. 7). 

Evolusionis Inggris terkemuka Sir JulianHuxley menegaskan: 

Dalam pola pikir evolusioner tidak ada lagi kebu￾tuhan bagi ruang supernatural. Bumi tidak dicipta￾kan; bumi berevolusi. Begitu juga semua binatang 

dan tumbuhan yang ada di dalamnya, termasuk 

kemanusiaan kita sendiri, pikiran, dan jiwa serta 

otak dan tubuh. Begitu juga agama (1960, p. 252-

253, huruf tebal ditambahkan).Mereka yang percaya bahwa Alam Semesta dan kehi￾dupan di dalamnya berevolusi dengan cara yang murni natu￾ralistik harus juga menemukan penyebab yang sepenuhnya 

naturalistik bagi setiap aspek kehidupan. Agama itu sendiri 

adalah salah satu dari bidang itu, dan oleh karenanya, menurut 

kaum naturalis, pasti juga telah berevolusi—persis seperti yang 

Huxley usulkan. Tidak sulit untuk memahami mengapa seo￾rang evolusionis akan percaya bahwa tidak dapat dihindari

lagi bahwa kisah Yesus berasal dari kisah-kisah primitif sebe￾lumnya. Faktanya, mengatakan bahwa kisah Yesus “berevo￾lusi” dari kisah-kisah yang lebih tua, lebih primitif adalah sama 

dengan tidak menegaskan apa-apa selain daripada apa yang 

teori evolusi sudah ajarkan di setiap bidang lain keberadaan 

manusia. Ateis Joseph McCabe menjelaskan, “Apa yang kita 

lihat, faktanya, adalah evolusi dalam agama. Ide-ide tersebut 

diturunkan dari zaman ke zaman, pikiran ini dan pikiran itu 

menambahkan atau memperbaiki sedikit. Sungai evolusi ma￾nusia yang berjalan lambat telah memasuki jeramnya” (1926, p. 

72, huruf tebal ditambahkan). 

Kedua, meski beberapa orang mungkin termotivasi oleh 

pencarian akan asal usul agama yang murni naturalistik, tetapi

yang lain mengajarkan bahwa kisah Yesus berasal dari mitos 

dan legenda Yahudi dan/atau pagan sebelumnya. Seraya Bales 

melanjutkan ulasannya, beberapa orang telah menyarankan 

bahwa “Kristus dan agama Kristen dipandang sebagai per￾kembangan alami dari Yudaisme dan paganisme” (nd, p. 7). 

Posisi itu juga telah dipertahankan oleh mantan orang percaya 

yang menjadi murtad, Timothy Freke dan Peter Gandy, 

dalam The Jesus Mysteries (yang merupakan serangan habis￾habisan, frontal terhadap keilahian Kristus). Kami berdua dibesarkan sebagai orang Kristen dan 

kami terkejut menemukan bahwa, meski sudah 

bertahun-tahun melakukan eksplorasi spiritual de￾ngan pikiran terbuka, entah bagaimana masih tera￾sa berbahaya untuk bahkan berani memikirkan 

pemikiran seperti itu. Indoktrinasi di masa lalu 

masuk sangat dalam. Kami pada dasarnya sedang 

mengatakan bahwa Yesus adalah dewa Pagan dan

agama Kristen adalah produk sesat Paganisme! Itu 

terlihat memalukan. Namun teori ini menjelaskan 

pelbagai kesamaan antara kisah Osiris-Dionysus 

dan Yesus Kristus secara sederhana dan elok. 

Mereka adalah bagian dari mitos yang berkem￾bang.…

Kisah Yesus memiliki semua keunggulan yang sebu￾ah mitos miliki, maka apakah demikian sebenarnya 

…? Mengapa kita harus mempertimbangkan kisah 

Osiris, Dionysus, Adonis, Attis, Mithras, dan para 

juruselamat Misteri Pagan sebagai dongeng, namun 

pada dasarnya menemukan kisah yang sama yang 

diceritakan dalam konteks Yahudi dan memercayai 

itu sebagai biografi seorang tukang kayu dari Betle￾hem?

Kami telah menjadi yakin bahwa kisah Yesus bukan 

biografi seorang Mesias bersejarah, tetapi sebuah 

mitos berdasarkan kisah-kisah abadi kaum Pagan. 

Agama Kristen bukan wahyu baru dan unik tetapi 

sebenarnya adaptasi orang Yahudi terhadap agama 

kuno Misteri Pagan. Ini adalah apa yang kami telah 

sebut Tesis Misteri Yesus.…Penjelasan yang jelas adalah bahwa seraya agama 

Kristen menjadi kekuatan yang dominan di dalam 

dunia yang sebelumnya pagan, motif-motif popu￾ler dari mitologi Pagan dicangkokkan kepada bio￾grafi Yesus.… Motif seperti itu “dipinjam” dari 

Paganisme dengan cara yang sama pelbagai festival 

Pagan diadopsi sebagai hari-hari orang Kudus 

Kristen.… Kisah Yesus adalah mitos yang abadi … 

bukan sekadar sejarah tentang pelbagai peristiwa 

yang terjadi pada seseorang 2.000 tahun lalu (1999, 

p. 9-10,2,6,13, huruf tebal dari aslinya). 

Jadi, meski sebenarnya mungkin ada orang sungguhan yang 

dikenal sebagai “Yesus Kristus,” namun ia tidak lebih daripada 

itu—secara harfiah hanya manusia. Ciri-ciri yang diklaimkan 

bagi Dia oleh para pengikutnya (mis., datang-Nya yang tidak 

biasa ke dalam dunia, segala kegiatan-Nya yang luar biasa sela￾ma ziarah-Nya di Bumi, pergi-Nya yang luar biasa dari dunia 

ini, dll.) muncul “setelah semua itu terjadi” sebagai akibat dari 

pengambilan atau penjiplakan dari sumber-sumber pagan dan/

atau Yahudi.

Yang dipertaruhkan di sini bukan historisitas Kristus 

(yang dibahas dalam pasal pertama); sebagian besar dari

orang-orang yang tidak percaya dan kafir dari setiap golongan 

sudah lama mengakui keberadaan-Nya. Sebaliknya, masalah￾nya adalah berkaitan dengan apakah Yesus dari Nazaret itu 

seperti yang Ia klaim atau tidak—inkarnasi Anak Allah yang 

unik, “satu-satunya.” KEMAMPUAN BERAGAMA MANUSIA DAN 

“BEBERAPA KESAMAAN JURUSELAMAT”

Masalah sebenarnya adalah bahwa dalam perjalanan seja￾rah pastinya banyak kisah yang menyerupai kisah Yesus dari 

Nazaret. Dan mengapa hal ini harus mengejutkan kita? Setelah 

Adam dan Hawa makan dari pohon pengetahuan tentang yang 

baik dan yang jahat, manusia menjadi sangat sadar akan keha￾diran dan konsekuensi dosa. Dari zaman Kain dan Habel, Allah 

telah menetapkan berbagai macam korban dan pelbagai aturan 

khusus tentang korban-korban itu. Sejak saat itu, semua manu￾sia setidaknya telah memiliki beberapa persepsi—betapapun 

kecil atau tidak sempurna—bahwa mereka perlu “melakukan 

sesuatu” agar dapat dibenarkan sekali lagi di hadapan Pencipta 

mereka. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan sosok 

“pengganti”—seseorang yang dapat menggantikan mereka—

sebagai lambang kesempurnaan tanpa dosa yang membela 

kasus mereka di hadapan Hakim Segenap Bumi Yang Adil” 

(lih. Kejadian 18:25).

Selain itu, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa bebe￾rapa kesamaan yang kita telah cantumkan (dan, memang, ba￾nyak yang lainnya yang seperti mereka) adalah kesamaan￾kesamaan semata, bukan paralel yang persis. Selanjutnya 

dapat diperdebatkan bahwa kisah Yesus, sekalipun itu seperti￾nya mirip dengan kisah-kisah yang lain, tidak persis sama dan, 

pada kenyataannya, berbeda secara substansial dalam perin￾ciannya. Sebagai contoh, Krishna diduga disalibkan melalui 

anak panah yang menembus lengannya, sementara Yesus 

dipaku pada kayu salib. Konfusius menawarkan bentuk negatif 

dari apa yang disebut”hukum emas” (“ Jangan perbuat kepada 

orang lain”), sementara Yesus menyatakan bentuk positifnya 

(“Perbuatlah kepada orang lain”). Ibu Dionysus, Persophone, dikabarkan melakukan hubungan intim dengan Zeus, semen￾tara Mary masih perawan. Alur pemikiran ini memiliki kele￾bihan tertentu, karena memang benar bahwa tidak ada kisah 

kuno yang terdengar persis seperti kisah Kristus. 

Melihat lebih dekat legenda Mesir tentang Osiris membe￾rikan contoh yang baik tentang banyak perbedaan penting an￾tara kisah Yesus dan kisah-kisah lainnya. Legenda mengatakan 

bahwa Osiris dibunuh oleh Seth saudaranya yang jahat, yang 

mencabik-cabik tubuh Osiris menjadi empat belas bagian dan 

menyebarkannya ke seluruh Mesir. Isis, istri Osiris yang adalah 

dewi, mengumpulkan potongan-potongan itu dan mengu￾burnya, dengan cara itu memberikan kehidupan kepada Osiris 

di dunia orang mati. Kemudian, Isis menggunakan ilmu sihir 

untuk membangkitkan Osiris untuk menghamili dia dan 

melahirkan seorang anak (Horus). Setelah menjadi ayah Horus, 

Osiris tetap berada di dunia orang mati, tidak pernah benar￾benar bangkit dari antara orang mati (“Osiris,” 1997, 8:1026-

1027). Legenda ini, dipahami secara keseluruhan, menyediakan 

beberapa (jika ada) kesamaan yang nyata dengan kisah Yesus. 

Selanjutnya, ketika semua cerita tentang tokoh-tokoh yang 

konon mirip dengan Kristus itu diceritakan secara keseluruhan, 

jelas terlihat bahwa masing-masing dari mereka hanya berisi 

beberapa karakteristik yang muncul di mana saja yang hampir 

mirip dengan yang terkandung dalam kisah hidup Yesus.

Namun begitu, ada beberapa persamaan umum yang 

merintis jalan mereka melalui berbagai legenda yang banyak 

itu: seorang pahlawan manusia super melakukan hal-hal ajaib, 

dibunuh untuk menyelamatkan umat manusia (terkadang bah￾kan dengan penyaliban), dan dihidupkan kembali dengan satu 

atau lain cara, dan dengan demikian mengalahkan maut. Meski 

perinciannya cukup berbeda, tetapi memang kesamaan umum￾nya cukup mirip dan menuntut penelitian—dan penjelasan yang cermat. Sebagai ilustrasi, misalkan seseorang mengambil 

buku ini yang memiliki hak cipta, dengan menggunakan 

kamus ia mengubah ratusan kata-katanya, dan kemudian 

mencantumkan namanya tanpa izin sebagai pengarang buku 

ini. Orang seperti itu akan secara jelas dipandang sebagai 

penjiplak. Meski buku baru itu mungkin “unik” dalam perin￾ciannya, dalam gagasan besarnya namun buku itu masih akan 

dianggap sebagai jiplakan. Dalam nada yang sama, tidak 

cukup bagi orang Kristen untuk mengklaim bahwa kisah 

tentang Yesus tidak berasal dari salah satu (atau lebih) ratusan 

kisah kuno hanya dengan mengatakan bahwa rincian hidup￾Nya yang istimewa itu berbeda dari yang lainnya. Kita harus 

menawarkan argumen yang lebih baik, lebih teliti, dan lebih 

meyakinkan jika kisah Yesus Kristus harus dipertahankan seba￾gai kisah yang sungguh-sungguh unik.

 

Sifat Independen Kisah-Kisah Yang Serupa

Pada awal abad kedua puluh, Joseph McCabe, salah satu 

ateis paling blak-blakan pada zamannya, menerbitkan bebe￾rapa karyanya, termasuk The Myth of Resurrection (1925), Did 

Jesus Ever Live? (1926), dan How Christianity “Triumphed” (1926).

Pada tahun 1993, Perusahaan Penerbit Prometheus (per￾hatikan bahwa nama organisasi penerbitan sekuler ini adalah 

nama salah satu dari para dewa Yunani yang konon mirip 

dengan Yesus) menerbitkan ulang karya-karya ini dalam sebu￾ah buku berjudul The Myth of the Resurrection and Other Essays.

McCabe dengan susah payah mendokumentasikan pelbagai 

kesamaan antara kisah Yesus dan kisah-kisah pagan seperti 

kisah Osiris, Adonis, Tammuz, dan Attis, namun secara khusus 

mencatat: “Fitur yang paling penting dari kisah kita adalah 

bahwa legenda tentang dewa yang dibunuh dan dibangkit￾kan muncul di bagian dunia peradaban lama yang sangat

berbeda.Tammuz, Attis, dan Osiris adalah tiga ciptaan yang 

terpisah dan independen dari imajinasi pembuat mitos“ (1926, 

p. 45, huruf tebal ditambahkan). Dengan demikian McCabe 

mengakui bahwa kisah-kisah pagan dengan tema yang sama 

ini sebelumnya tidak saling menjiplak antara satu atau bebe￾rapa dengan yang lainnya. Sebaliknya, mereka muncul secara 

terpisah—dan bahkan secara independen—satu sama lain. 

McCabe mengakui: “Untuk alasan tertentu ... di sebagian besar 

belahan dunia pikiran manusia muncul untuk membentuk 

legenda tentang kematian dan kebangkitan.… Bahkan, dalam 

satu bentuk atau lainnya hampir ada kepercayaan di seluruh 

dunia bahwa dewa, atau wakil dewa [raja, tawanan, patung

orang, dll.], mati, atau harus mati setiap tahun“ (p. 52,53, huruf 

tebal ditambahkan; tanda kurung dari aslinya). Dalam kesim￾pulannya, McCabe menulis: “Singkatnya, saya harus katakan 

bahwa kepercayaan universal tentang dewa yang dibunuh 

dan dibangkitkan memberi penjelasan bagi kepercayaan Kris￾ten dengan menunjukkan kepada kita kerangka pikiran uni￾versal yang di banyak tempat secara cukup mudah membuat 

mitos kebangkitan“ (p. 63, huruf tebal ditambahkan). McCabe—

bahkan sebagai orang kafir—dengan rela mengakui bahwa ba￾nyak sekali (tetapi berbeda) mitos kebangkitan muncul dari 

berbagai wilayah di seluruh dunia, masing-masing memiliki 

fakta yang serupa namun asli dalam perbedaan-nya. Kisah￾kisah ini tampaknya muncul oleh karena apa yang ia acukan 

sebagai “kerangka pikiran universal.“ Namun begitu, meski 

ada bukti seperti itu, pada halaman 69 bukunya, McCabe me￾nyimpulkan: “Manusia tidak memiliki naluri keagamaan.“ 

 

Naluri Keagamaan Manusia

Orang-orang di seluruh dunia—karena adanya “kerang￾ka pikiran universal“—secara terpisah menciptakan kisah-kisah yang berkisar di sekitar dewa yang sekarat dan kemudian 

bangkit lagi. Kisah-kisah ini melintasi rintangan waktu dan 

batas-batas geografis ; mereka itu—dalam arti yang sangat 

nyata—“mendunia” dan “universal.” Namun kita diminta 

untuk percaya bahwa orang-orang dari negara dan budaya 

yang berbeda yang menciptakan kisah-kisah ini tidak memiliki 

“naluri keagamaan”? Bagaimana bisa McCabe membuat konse￾si seperti itu, namun ia menarik kesimpulan yang sedemikian 

rupa, yang menentang penjelasan yang rasional. 

Sebenarnya, manusia memang memiliki naluri keagama￾an—naluri yang bahkan lebih tajam daripada yang kebanyakan 

teolog bersedia akui. Dalam bicara tentang Allah, penulis kitab 

Pengkhotbah berpendapat: “Ia membuat segala sesuatu indah 

pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati 

mereka” (3:11). Paulus berkata bahwa umat manusia sudah 

selalu dapat memahami ”Kuasa dan keilahian yang kekal” 

milik Allah (Roma 1:20 ASV). Allah tidak menempatkan 

manusia di Bumi untuk meninggalkan Dia. Sebaliknya: 

Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua 

bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh 

muka bumi dan Ia telah menentukan musim-mu￾sim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, 

supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan 

menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak 

jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia 

kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang 

telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:

Sebab kita ini dari keturunan Allah juga (Kisah Para 

Rasul 17: 26-28, huruf tebal ditambahkan). Allah memang ”memberikan kekekalan” di hati manusia dan 

memberi mereka naluri universal yang dimaksudkan untuk 

membuat mereka mencari Dia. 

Dalam bukunya, Why We Believe the Bible, almarhum 

George DeHoff berkomentar: “Tidak ada bangsa atau suku 

ba