prahara 1965 2
By tuna at November 29, 2023
prahara 1965 2
pemuda Pelajar Indonesia atau KAPPI dan Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI. Tempat yang dulunya menjadi
markas Pemuda Rakyat dan Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia
[IPPI], yang terletak di selatan Alun-alun Selatan, yang sekarang
menjadi lokasi Warung sate Pak Ahmad, diduduki KAMI/ KAPPI.
sesudah terjadinya Tragedi ‘65 itu golongan Islam agak naik daun,
karena golongan komunis dianggap atheis alias tidak beragama.
Tidak Boleh Menjadi Hakim
Pasca- Tragedi ‘65 itu situasi ekonomi memang terasa parah. Kalau
soal situasi sosial-politiknya, karena waktu itu saya masih kecil, saya
kurang begitu tahu. sesudah pemerintahan dipegang Soeharto ekonomi terasa lebih parah lagi. Kantor-kantor yang dulu mendapat jatah
beras, sekarang mendapat beras tetapi beras pengguk [berbau apek]
karena lama di gudang itu. Sebagian lagi hanya diberi bulgur berwarna
coklat, yang rasanya cethil-cethil. Sebagian lagi berupa jagung yang
digiling, tetapi hanya pecah-pecah dan tidak sampai menjadi tepung.
Jauh sesudah Soeharto memerintah, saat wakil presidennya Sri Sultan
Hamengku Buwono IX ada jatah “Beras Tekad”. Yang meresmikan
program itu adalah Sri Sultan HB IX. Saya sendiri pernah merasakan
pengalaman disuruh orangtua untuk mengambil jatah beras. Saya
pergi dari Panembahan ke Kantor Pajak di Jalan Senopati. Kantor itu
dekat dengan sekolah saya. Saya bersepeda memboncengkan beras
jagung yang sudah digiling. Padahal kalau sekarang ini jagung hanya
untuk pakan ayam. Dulu jagung itu untuk makanan manusia. Itu
zaman Bung Karno menjelang turun, kira-kira tahun 1966-1967.
Kami makan beras campur bulgur [semacam gandum], lalu beras
campur jagung. Saya ingat terus hal itu, karena sayalah yang ambil
jatah beras-jagung itu. Pasokan bahan pangan lebih parah di awalawal pemerintahan Pak Harto. Pada masa Sukarno, pegawai negeri
makanan pokoknya tetap beras. sesudah ganti pemerintahan, beras
diganti dengan bulgur dan beras-jagung. Benar-benar jagung giling
itu yang baunya penguk. Itu yang saya rasakan. Tentang urusan sekolah
semuanya tetap lancar-lancar saja, tidak ada gangguan.
Sekarang sesudah dewasa, sesuai dengan ajaran yang saya pegang,
saya meyakini bahwa tidak ada suatu keadaan yang terjadi tanpa sebab.
Semua hal di atas terjadi hanya akibat saja dari kejiwaan seseorang
yang melanggar aturannya Tuhan. Karena adanya pelanggaran itu
akhir nya terjadi suatu penderitaan. Dalam pemahaman Jawa, di
dunia ini sebenarnya orang hanya ngundhuh pakerti (memetik hasil
dari tindakannya) dari kehidupan sebelumnya. Karena itu, sekarang
kita diwajibkan nandur kabecikan (menamam kebaikan) supaya apa
yang diunduh [dipetik] besok adalah kabecikan atau kebaikan. Entah
pada periode berikutnya nanti orang tumimba lahir lagi [dilahirkan
kembali] atau langsung kembali kepada Yang Maha Esa itu kita
tidak tahu. Itu urusannya Tuhan. Yang kita tahu adalah bahwa kita
diwajibkan menanam kebaikan. Mengenai Tragedi Kemanusiaan
1965, mungkin itu merupakan unduh-uduhane [buah atau hasil] dari
apa yang terjadi sebelumnya. Mungkin saja di kehidupan terdahulu di
zaman Majapahit atau zaman Mataram terjadi sesuatu, lalu pada tahun
1965 itu kita meng-unduh [memetik] hasilnya ta? Jadi memanen apa
yang dulu dia tanam.
Apakah hal itu berarti bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965
itu bisa disebut “alami” atau “sah” terjadi? Menurut pandangan
saya begini. Manusia itu sebetulnya boleh memilih untuk menjadi
lantaran [perantara] kebaikan atau lantaran piweleh [keburukan]. Itu
kenyataan yang tidak bisa diingkari. Karena itu sekarang ini kita wajib
dengan penuh kesadaran menanam kebaikan, berbakti kepada Tuhan,
berbakti kepada negara, berbakti kepada pimpinan negara, berbakti
kepada guru, berbakti kepada orang tua, berbakti kepada saudara tua,
dan sebagainya. Juga, kita perlu berbakti kepada ajaran keutamaan,
tidak mencela agama lain, dan sebagainya. Hal-hal di atas wajib
dilakukan supaya terjadi ketenteraman dalam kehidupan, supaya
kehi du pan bernegara dan bermasyarakat itu tenteram dan damai. Jika
hal-hal itu dilanggar pasti akan terjadi kekacauan. Penderitaan atau
penebusan dosa itu ada dua, yakni fi sik dan jiwa. Misalnya begini.
Ada orang yang suka sekali berbakti, yang ibadahnya bagus, tetapi
badannya sakit-sakitan, yang secara kejiwaan stabil dan bagus, tetapi
secara fi sik sakit. Itu berarti orang ini sedang ngunduh hasil dari
perbuatannya yang dulu. Sebaliknya, jika kita melihat orang yang
fi siknya bagus, tetapi jiwanya sakit itu berarti karma yang ia terima
adalah karma jiwa. Nah, dalam hal ini perlu dilihat, dulu itu dia
berbuat apa kok sekarang dia ngunduh penderitaan jiwa seperti itu. Itu
menurut pandangan ajaran Pengestu yang saya pegang teguh.
Menurut ajaran Kejawen, seharusnya orang tidak boleh ikut
terlibat dalam pembunuhan, penangkapan atau pengucilan terhadap
orang lain dengan alasan apa pun. Kenapa? Karena itu berarti
menghakimi orang lain. Hal ini tidak boleh dilakukan. Kepada siapa
pun kita harus bersifat kasih sayang. Harus didasari [keyakinan] bahwa
Tuhan itu Maha Pengampun, dan oleh karena itu manusia harus
belajar saling mengampuni. Orang tidak boleh membenci siapa pun.
Yang berhak menghukum itu hanya Tuhan. Dalam kasus mereka yang
berprofesi Hakim, mereka itu menghakimi, tetapi hal itu dilakukan
karena pekerjaannya memang menjalankan hukum negara. Tetapi
bagaimana pun ia harus memutuskan sesuatu atas nama Tuhan. Oleh
karena itu harus berpegang pada dasar-dasar yang ada dan tidak boleh
asal-asalan.
Pada prinsipnya kita tidak mungkin menjadi hakim terhadap
sesama manusia, karena kita bukanTuhan. Karena Tuhan itu Maha
Pengampun, maka kita harus belajar mengampuni. Karena Tuhan
itu Maha Penolong maka kita harus belajar untuk menolong orang
yang mengalami kesusahan atau sengsara. Kalau orang mau menebus
dosanya maka ia harus belajar banyak untuk memaafkan, lalu suka
menghibur orang yang susah. Orang tidak boleh menjadi hakim
terhadap sesamanya.
Takut Dikira Ikut-ikutan
Konfl ik politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an itu
dampaknya dirasakan sampai ke tingkat keluarga. Waktu itu terjadi
perpecahan antara kakak dan adik dalam satu keluarga, atau antara
Paklik [paman lebih muda] dan Pakdhe [paman yang lebih tua] garagara pilihan politiknya berbeda. Pada waktu itu suatu pilihan politik
itu benar-benar dilakukan karena ideologi, sehingga orang cenderung
menjadi ideologis. Sekarang ini orang berpartai bukan karena ideologi,
tetapi hanya karena selera. Misalnya hari ini orang ikut partai A, lalu
besok ganti ke partai B, dan sebagainya. Zaman dulu tidak begitu.
Dulu itu sampai ada istilah pejah gesang nderek Bung Karno [hidup atau
mati ikut Bung Karno]. Kalau sekarang apa ada yang berani seperti
itu? Apa ada yang sampai mengatakan pejah gesang nderek Soeharto?..
Tidak ada. Kalau waktu itu slogannya jelas: pejah gesang nderek Bung
Karno.
Pada masa pemerintahan Sukarno, orang memilih suatu partai
politik karena partai itu ada ideologinya, ada cita-citanya, ada
programnya yang jelas. Misalnya kalau PNI jelas dasarnya Pancasila,
cita-citanya menuju Indonesia yang adil dan makmur, dan programnya
mendukung program politik Sukarno. Jadi, jelas bahwa pemimpinnya
itu Sukarno, partainya itu PNI Front Marhaenis, dan cita-citanya
adalah menuju Indonesia Jaya berdasarkan Pancasila. Kalau sekarang
partai-partai itu kabur. Waktu SMP saja saya sudah tahu politik. Saya
sudah bisa merasakan politik dan semangat cinta tanah air dan bangsa
yang sangat berkobar. Semangat itu sangat tertanam. Ada grensengnya [gairahnya]. Kami kumpul-kumpul berorganisasi pergerakan gerakan berpolitik.
Walau masih kecil, masih pelajar di tingkat SMP, tetapi jiwanya sudah
terbakar semangat patriotisme dan nasionalisme.
Salah seorang yang hebat dalam berpidato pada waktu itu bukan
Megawati, melainkan adiknya, yakni Rahmawati Soekarnoputri.
Rahmawati pada tahun 1960-an itu pernah menggembleng Pemuda
Marhaen di Gedung Negara di keraton yogya —sekarang Gedung Agung.
Di situ ia menerangkan arti Pancasila itu sambil mengepalkan tangan
kirinya, sambil berteriak “Marhaen menang”, “dengan dasar Pancasila
wong cilik akan menang!” Dulu itu PNI nasionalismenya betulbetul murni. Sementara itu, partai-partai lain tidak. Mereka tidak
mengedepankan nasionalisme. Waktu itu Pancasila, semangat cinta
tanah air, dan rasa nasionalisme benar-benar berkobar. Bukan hanya
di bibir saja, melainkan betul-betul dihayati, dari pikiran sampai ke
hati dan tindakan. Pokoknya cita-citanya adalah Indonesia itu jaya
berdasarkan Pancasila. Di dalam benak kami yang namanya pemimpin
itu ya Sukarno. Tidak ada yang lain. Pejah gesang nderek Bung Karno!
Nah, dengan adanya situasi seperti itu seringkali hubungan antarkeluarga bisa menjadi renggang. Kalau dalam suatu keluarga besar
ada anggotanya yang pernah ikut komunis, maka hubungan keluarga
itu akan menjadi renggang, atau akan agak dikucilkan. Misalnya ada
anggota keluarga jauh saya dari pihak Eyang, siapa namanya saya lupa,
anak-anaknya banyak yang ikut komunis dan oleh karena itu, banyak
yang diciduki. Lalu hubungan kami jadi renggang, tidak tahu karena
apa. Bertahun-tahun sesudah nya, tetap saja ada semacam trauma. Baru
kemudian diketahui: ooo..., ternyata mereka itu ikut komunis. Belum
tentu benar apakah dia itu ikut atau tidak, apakah dia itu salah atau
tidak, karena memang tidak ada proses pengadilan, tetapi langsung
saja mereka ini dituduh ikut komunis untuk kemudian dikucilkan
dari masyarakat.
Waktu itu ada suatu kenyataan yang berkembang secara diamdiam, yaitu yang dilakukan oleh pihak Gereja. Gereja memberikan
uluran tangan kasih kepada para korban Tragedi ’65. Khususnya mereka yang dikucilkan. Mereka itu lalu menjadi umat Kristiani bersama
keluarganya. Itu banyak contohnya. Misalnya beberapa orang di daerah
.... [narasumber menyebut satu nama tempat tetapi tidak jelas, ed.].
Dulu di daerah itu ada keluarga yang orangtuanya tersangkut, lalu
diayomi oleh Gereja. Akhirnya mereka diberi ideologi Kristiani dan
sampai sekarang terus berkembang. Itu hanya sebagian saja ya, tidak
semuanya. Jadi waktu itu memang Kristiani banyak berkembangnya
dari segi itu. Perasaan sosial itu menolong.
Dalam bidang rohani keagamaan anak-anak dari keturunan PKI
mengalami perkembangan yang menarik. Mereka intensif memeluk
agama. Entah apa alasannya, tetapi kebanyakan meme luk Kristen atau
Budha. Barangkali karena Islam sangat membenci mereka. Bagi Islam
mereka itu aib besar. Karena tidak diterima di golongan Islam, mereka
lalu memeluk Kristen, Katolik, atau Budha.
Contohnya adalah ada kakak saya dari eyang jauh yang kemudian
memilih menjadi Budha. sesudah situasi menjadi aman beberapa tahun
kemudian kami saling berkunjung lagi. Saya kaget karena sekarang
dia sudah berubah. Omongannya sudah lain. Yang diomongkan
sudah berkaitan dengan agama-agama, khususnya ke-Tuhan-an yang
sumbernya dari ajaran Budha. Dulu sebelum Peristiwa 1965, setiap
kali lebaran, saudara-saudara datang berkunjung ke eyang-eyang. Akan
tetapi sesudah Tragedi ’65, tidak pernah lagi untuk saling bertandang.
Alasannya karena takut kalau dikira ikut-ikutan.
Tidak Boleh Mendapat Tempat
Menurut beberapa ahli, para pendukung PNI dan PKI itu mayoritasnya
dari kalangan Kejawen atau Abangan. Memang ada golongan yang
tidak memakai agama formal, tetapi memakai kepercayaan, karena
dia sudah mempunyai keyakinan bahwa orang Jawa itu juga memiliki
sumber kepercayaan sendiri yang benar. Menurut mereka, bangsa ini
memiliki dasar-dasar spiritualitas sendiri. Di mata mereka meskipun
agama-agama yang datang dari luar Indonesia itu juga benar, tetapi
mereka merasa tidak perlu memeluknya, karena kita ini sudah
memiliki kebenaran yang asli. Saya sendiri beragama Islam, karena
saya dari kalangan keluarga Islam. Tetapi secara kepercayaan, saya
adalah penganut Pangestu atau Paguyuban Ngesti Tunggal. Pangestu
itu organisasi pergerakan gerakan yang sudah berdiri sejak tahun 1949.
Karena merebaknya tuduhan bahwa mayoritas pendukung PKI
dan PNI yang mengikuti aliran kepercayaan itu “atheis”, dampakya
adalah bahwa para Penghayat Kepercayaan seolah-olah tidak boleh
mendapat tempat. Ada anggapan bahwa para Penghayat Kepercayaan
itu tidak beragama. Anggapan macam ini muncul karena orang
memandang bahwa agama yang paling benar itu adalah agama yang
diresmikan oleh negara. Di situ letak kesalahannya. Tetapi waktu
zaman Pak Harto di dalam Tap MPR No IV tahun 1978, disebutkan
istilah “Agama/Kepercayaan”.
Memberi Contoh
Kalau saya harus menjawab pertanyaan “Apa yang sebenarnya terjadi
dengan gerakan gerakan 30 September?” atau “Sebenarnya pada tanggal 1
0ktober 1965 dini hari itu ada persoalan apa?” saya akan mengatakan
bahwa saat itu kehadiran ideologi komunis yang seolah-olah ingin
mendominasi itu memang merupakan persoalan politik. Sampai
sekarang yang namanya politik itu selalu mengandung keinginan
untuk mendominasi. Dalam kampanye kan itu yang mereka lakukan.
Jadi keinginan untuk mendominasi itu berlaku untuk kelompok
politik apa pun. Persaingan politik itu biasa.
Menurut saya apa yang terjadi pada tahun 1965 itu ada
hubungannya dengan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur
waktu itu. Waktu itu Blok Barat, terutama Amerika Serikat, merasa
ketakutan terhadap ideologi komunis yang sedang berkembang pesat
di mana-mana. Apalagi dalam program politiknya, Bung Karno saat
itu mencanangkan prinsip poros Jakarta- Peking-Pnompenh. Saya kira
waktu itu Amerika Serikat dan seluruh Blok Barat merasa ketakutan
di segala bidang. Mereka pun mendukung apa yang terjadi pada tahun
1965. Nyatanya sesudah terjadinya Tragedi ‘65 mereka melakukan
penjajahan ekonomi di sini. Produk-produk mereka menjadi bisa
bebas dipasarkan di sini. sesudah tahun 1965 di sini terjadi dominasi
politik Blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Nyatanya begitu.
Seandainya Bung Karno tidak dilengserkan dan program-program
pemerintahannya tentu akan masih bisa berjalan. Pertanyaannya,
kira-kira kalau program-program itu berjalan, apakah negara dan
masyarakat Indonesia ini bisa lebih maju? Menjawab pertanyaan ini,
menurut saya begini. Ukurannya bukan maju atau tidak maju. Yang
jelas, kalau saja program pemerintahan Sukarno bisa berjalan penuh,
pasti setidak-tidaknya masyarakat Indonesia akan memiliki kepribadian
bangsa. Bangsa Indonesia itu mempunyai warna yang khas Indonesia,
dan memiliki tingkah laku yang khas Indonesia. Cita-citanya Sukarno
itu jelas. Dia tunjukkan bahwa kepribadian Indonesia itu sepert ini,
kebudayaannya seperti ini, dan tingkah lakunya seperti ini. Nilai yang
dipegang teguh Bung Karno, nasionalisme. Tetapi bukan nasionalisme
yang chauvinistik. Kita mengakui nasionalisme orang lain juga, kita
bergaul dengan bangsa-bangsa lain juga. Sayangnya Bung Karno
itu lemah di bidang ekonomi. Ini karena dia itu basisnya bukan
ilmu ekonomi. Selain itu, juga karena dia terlalu berambisi untuk
menekankan “politik mercusuar”. Dia ingin mengangkat egonya
supaya bisa menjadi sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Menurut saya apa yang dilakukan oleh Bung Karno itu terlalu
dini. Program-programnya tidak didukung oleh kondisi ekonomi,
sosial, dan politik yang kuat. Menurut saya saat itu belum waktunya.
Akan tetapi, Bung Karno sudah [tidak sabar untuk tampil] ke depan.
Tapi yang dilakukan itu memang luar biasa. Ditolak di Olimpiade,
ia mennyelenggarakan “ Ganefo” atau Games of the New Emerging
Forces; ia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika Amerika Latin; ia
membuat “ Conefo” atau Conference of the New Emerging Forces; ia juga
berani pidato di PBB; ia bahkan berani mengatakan kepada Amerika
“Go to hell with your aid!”. Ia sadar, bantuan yang diberikan oleh
negara-negara Blok Barat khususnya Amerika Serikat itu akan sering
dijadikan sarana untuk menjajah bangsa ini.
Dalam bidang ekonomi, masa Orde Baru benar-benar maju,
tetapi ideologi ekonominya lemah. Ideologi ekonominya lemah
dan kepribadian bangsanya ambruk. Harusnya pembangunan itu
pembangunan yang seutuhnya, bukan hanya pembangunan fi sik,
namun juga pembangunan mental bangsa. Ini belum tercapai. Dalam
pengertian Sukarno itu namanya nation and character building. Itu
yang penting, pembangunan fi sik dan mental. Sayangnya, hal itu
sekarang ini masih kacau.
Sekarang bangsa ini masih goyah dan silau dengan gemerlap
materi, gemerlap dunia. Apalagi masalah duit. Ini terjadi karena
karakter sebagai bangsa Indonesia belum terbentuk. Jadinya ya
bubrah [bubar]. Idealnya para pemimpin yang di atas itu memberi
contoh. Mereka harus berbuat seperti ksatria, berbudi luhur. Sekarang
ini watak satrio pinandito itu masih jauh dari harapan. Lalu apakah
nantinya cita-cita adil makmur itu akan tercapai? Menurut para
sesepuh dibutuhkan waktu 75 tahun bagi suatu bangsa untuk menata
dirinya sesudah merdeka. Kalau begitu baru sesudah seratus tahun kita
akan bisa sama dengan Amerika Serikat dalam hal kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik.
Bangsa Kita Sendiri
Berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, sebenarnya yang namanya
kekerasan dan tragedi kemanusiaan itu tidak boleh terjadi. Manusia
tidak boleh berlaku sampai begitu. Situasi rukun, damai, tenang,
penuh kasih sayang harus terbentuk dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Termasuk di dalamnya adalah sikap saling mengasihi satu
negara terhadap negara lain. Sebagaimana kita ingat, salah satu citacita program luar negeri bangsa adalah turut memajukan perdamaian
dunia. Ke dalam harusnya lebih dalam hal mengusahakan perdamaian.
Dalam ideologi Pancasila itu jelas bahwa yang ingin dicapai adalah
kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Itu sudah tercermin di situ. Kita nggak boleh keluar
dari itu. Kalau keluar dari situ, itu namanya menyalahi apa yang telah
disepakati. Jadi, apa yang terjadi pada bangsa ini bukan merupakan
hukuman dari Tuhan, melainkan hasil dari perbuatannya sendiri, dari
perbuatan bangsa Indonesia sendiri. Kita perlu ngunduh pembelajaran
supaya di masa yang akan datang tragedi seperti itu jangan terjadi
lagi. Supaya hal seperti itu tidak terjadi lagi, sebagai bangsa Indonesia
kita harus mengikuti ideologi Pancasila. Itu pasti pas. Berke-Tuhananlah yang benar sesuai agama masing-masing, hiduplah rukun antar
berbagai pemeluk agama, maka akan tenteram. Kalau kita saling
mengejek dan saling bentrok pasti akan terjadi kekacauan.
Guna kepentingan pembelajaran dalam hal demokrasi dan etika
politik di masa depan, saya berharap bahwa generasi sekarang memegang
unsur-unsur kepribadian Indonesia, menjadi manusia Indonesia yang
seutuhnya. Masyarakat Jepang, misalnya, kepribadiannya jelas. Mereka
memakai kimono dan sebagainya dengan rasa bangga. Kalau bangsa
kita? Apa kita bangga pakai blangkon? Mungkin malah menertawakan.
Kita malah lebih suka pakai jas. Padahal itu hanya mode berpakaian,
yang bisa berubah-ubah. Namun demikian, yang lebih penting lagi
adalah memperkuat moral dan kejiwaannya. Kita harus merasa bangga
disebut bangsa Indonesia.
Sebaliknya sekarang ini kita menjadi pembantu rumah tangga di
negara-negara lain. Di zaman Bung Karno hal-hal seperti ini benarbenar diperangi. Dia katakan: kita itu bukan bangsa kuli, bukan
“bangsa tempe”; ini dadaku mana dadamu!? Pada masa penjajahan
dulu sikap mental semacam ini tertempa. Di zaman modern sekarang
ini, di era penjajahan ekonomi ini, bangsa ini telah terseret oleh arus
modal kapitalis. Orang kita sendiri banyak yang jadi kapitalis. Sekarang
Nekolimnya [Neo-Kolonialis dan Neo-Imperialisnya] adalah bangsa
kita sendiri.
ARIF Uun lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Maret
1934. Ayahnya bernama Kwee Goen Hok dan Ibunya bernama Oei Tau
Nio, dua orangtua yang dengan kuat memengang tradisi Konghucu. Ia
pernah menempuh pendidikan di Sekolah Siauw Shiuk Chung Hoa di
Kutoarjo. Pada tahun 1947 keluarganya pindah ke keraton yogya dan ia
pun belajar di Sekolah Rakyat Santo Yosef di kota itu.
Di masa mudanya Arif Uun (bukan nama asli tentu saja) aktif
dalam berbagai kegiatan remaja muda . Ia misalnya terlibat dalam
kegiatan organisasi pergerakan gerakan Persatuan Pemuda Kristen, organisasi pergerakan gerakan Tjing Nien
Hwee [TNH], sebuah organisasi pergerakan gerakan pemuda Tionghoa yang merupakan
bagian dari Chung Hua Tjung Hwee [ CHTH]. Ia juga aktif dalam
kegiatan-kegiatan Pemuda Pembaruan Indonesia [ PPI], yang merupakan
anak organisasi pergerakan gerakan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia).
Sejauh yang ia ketahui, sebelum terjadinya Tragedi ’65 keadaan
di Kutoarjo aman-aman saja, bahkan bisa dikatakan sangat harmonis.
“Tidak ada konfrontasi terbuka antara golongan Tionghoa dan pribumi,”
katanya. Meskipun demikian, ia akui bahwa di bawah permukaan bisa
saja ada semacam ketegangan akibat adanya kesenjangan ekonomi, sosial,
dan politik. Kesenjangan ini terutama berbentuk kesenjangan kayamiskin antara orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi.
saat penangkapan-penangkapan terjadi pada tahun 1965, Arif
Uun selamat. Waktu itu ia sedang berada di keraton yogya karena sakit.
Namun demikian, sejumlah anggota keluarganya menjadi sasaran tentara
yang datang untuk menggeledah rumah mereka. Ia bercerita, “Sebagian
tentara masuk ke dalam rumah, dan sebagian lagi menuju ke belakang
rumah untuk mengantisipasi kemungkinan ada yang melarikan diri.
Para tentara ini masuk tanpa permisi, tanpa surat tugas, dan tanpa
sepatah kata terucap. Semua kamar digeledah, termasuk isi lemari.”
Arif melihat bahwa apa yang terjadi tahun 1965 itu tidak terjadi
begitu saja, melainkan sengaja dibuat. Dia katakan,“Tragedi ’65 itu
merupakan rekayasa yang dibuat oleh pemerintah dan menjadi ajang
bagi golongan Pribumi yang memiliki rasa dendam terhadap orangorang Tionghoa.” Sebagaimana bisa kita lihat di bawah, menurutnya
sebagian orang pribumi yang sebelum tahun 1965 sudah memiliki rasa
dendam menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan dendamnya
dengan mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang tidak disukainya
adalah anggota Partai Komunis Indonesia. “Padahal pada waktu
sebelum meletusnya tragedi ini tidak ada konfl ik fi sik yang terjadi,”
tambahnya.
Wawancara dengan Arif Uun dilakukan oleh anggota Komisi
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, alumnus lulusan jurusan Sejarah
Universitas Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di
program Magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya .
***
NAMA saya Arif Uun, saya tinggal di keraton yogya . Saya lahir dari
keluarga miskin. Ayah saya bernama Kwee Goen Hok dan Ibu saya
bernama Oei Tau Nio. Saya lahir pada tanggal 24 Maret 1934 di desa
Kemiri Kerep, Kutoarjo, Jawa Tengah. Pendidikan yang pernah saya
lalui adalah Sekolah Siauw Shiuk Chung Hoa yang dulu beralamat di
Jl. Pasar Kutoarjo. Kemudian saat pada tahun 1947 terjadi Agresi
Militer Belanda Pertama, Kutoarjo menjadi ajang pertempuran antara
Belanda dan Pasukan Pejuang kemerdekaan Indonesia. Keluarga
saya terpaksa pindah ke keraton yogya . Di tempat yang baru inilah saya
bersekolah di Sekolah Rakyat “Santo Yosef”. Setamat dari Sekolah
Rakyat Santo Yosef keraton yogya , saya kembali ke Kutoarjo. Pada
permulaan tahun 1951 saya berangkat ke Bandung. Selain untuk
mengantar kakak saya yang bernama Ping Liang, saya juga mengambil
kursus fotografi selama satu tahun. Selesai dari kursus, saya bekerja di
Studio Foto “Lovely” di Bandung. Kurang dari satu tahun kemudian,
saya harus kembali ke Kutoarjo untuk membantu bekerja sebagai
fotografer di studio foto milik Ping An, kakak saya. Tetapi kemudian
studio ini bangkrut, disebabkan saya sering tinggal pergi untuk
mengikuti kegiatan organisasi pergerakan gerakan yang saya ikuti.
Memperkokoh Kesatuan
Sepengetahuan saya, kehidupan masyarakat di Kutoarjo dan
keraton yogya sebelum terjadinya Tragedi ‘65 sangatlah harmonis. Tidak
ada konfrontasi terbuka antara golongan Tionghoa dan pribumi.
Namun demikian, perlu ada sedikit catatan kecil. Waktu itu sudah
bisa diduga bahwa harmoni itu tidak akan berlangsung lama. Apabila
timbul suatu masalah tentu akan timbul ketegangan. Waktu itu
ada sejumlah kesenjangan di masyarakat. Tapi apakah kesenjangan
ekonomi, sosial, atau politik yang bisa menjadi sumber ketegangan itu
tidak ada yang dapat menebaknya. Kalau menurut saya yang paling
potensial untuk itu adalah kesenjangan ekonomi dan sosial, yakni
kesenjangan antara kaya dan miskin. Waktu itu kesenjangan sosialekonomi antara golongan Tionghoa dan pribumi sangat terasa. Di
permukaan, yang kelihatan memang adalah harmoni, tetapi di bawah
permukaan ada semacam ketegangan akibat adanya berbagai macam
perbedaan kepentingan.
Di Kutoarjo sendiri terdapat golongan Tionghoa yang berbeda
pendapat mengenai masalah proses “asimilasi”, yang nantinya akan
berpengaruh terhadap Peristiwa 1965. Beberapa orang Tionghoa dari
Baperki, lebih memilih mendukung program Bung Karno, yakni
proses “integrasi” bangsa. Tujuannya adalah untuk memperkokoh
kesatuan dan persatuan Indonesia. Kalau yang beragama Kristen atau
Tionghoa Kristen biasanya lebih mendukung proses asimilasi.
Rasa Saling Membantu
Waktu meletus peristiwa berdarah tahun 1965 saya sedang berada di
Yogya. Sebulan sebelumnya, saya menderita sakit dan harus berobat
ke keraton yogya . Waktu itu saya berobat ke Rumah Sakit Bethesda.
Saya itu orangnya tidak bisa diam. Dari muda hingga tua sekarang
saya selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasi pergerakan gerakan an. Berhubung
sekarang usia saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti
banyak organisasi pergerakan gerakan , saya hanya aktif di kegiatan Gereja dan olahraga,
khususnya golf. Berbeda saat saya masih muda dulu. Saya selalu aktif
dalam organisasi pergerakan gerakan . Misalnya, di Kutoarjo saya ikut organisasi pergerakan gerakan Pemuda
Kristen. Memang agak aneh ya, kok saya bisa kena kasus 1965. Padahal
saya ini beragama Katolik. Ini ada kaitannya dengan keikutsertaan
saya dalam kegiatan-kegiatan organisasi pergerakan gerakan Pemuda Kristen.
Saya berasal dari keluarga yang masih memegang teguh ajaran
Khonghucu. Papa saya selalu memperlakukan anak-anaknya sesuai
aturan adat. Jika tidak menurut, kami digebuki [dipukul] Papa dengan
rotan yang biasanya dipakai untuk nggebuki [memukuli] kasur itu
sebagai hukuman.
Saat itu saya duduk di bangku kelas 5 di Siauw Shiuk Chung
Hoa Hwee Koan [Sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa, Ed.].
Lahir dari keluarga Khonghucu membuat saya saat itu memandang
tetangga yang beragama lain sebagai orang-orang yang berbeda. Dari
sekian banyak tetangga yang kepercayaannya berbeda dari kepercayaan
keluarga saya, terdapat sebuah keluarga seorang pendeta Kristen yang
waktu itu bertugas di Gereja Kie Tok Kauw Hwee. Nama pendeta
ini adalah Tjoa Tjien Tauw. Saya sering banget berkunjung ke
rumah pendeta ini dan bermain dengan anak-anaknya. Rumah
Pendeta Tjoa ini bersebelahan dengan rumah orangtua saya kala
itu. Keluarga ini adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan
peraturan agama. saat makan bersama, mereka selalu mendahuluinya
dengan doa bersama.
Dari sekian banyak hal yang saya amati, yang sangat menarik
perhatian saya dari keluarga pendeta itu adalah cara bagaimana mereka
minum obat. saat menyuruh anak-anaknya untuk minum obat,
pendeta itu sama sekali tidak melakukan pemaksaan. Hal ini berbeda
dengan keluarga saya.
Sebagai sebuah keluarga yang hidup di daerah yang rawan wabah
malaria, semua anak di keluargaku diwajibkan untuk secara berkala
minum jamu daun pepaya. Tentu itu merupakan hal yang baik. Tapi
cara Papa menyuruh anak-anaknya untuk minum jamu menurut saya
terlalu keras. Ia keras dalam hal mendisiplinkan anak-anaknya untuk
minum jamu. Ia suka secara langsung menunggui anak-anaknya
supaya meminum jamu daun pepaya pahit ini . Kalau ada yang
tidak mau minum, maka gagang rotan yang tadi saya bilang itu selalu
siap dipukulkan olehnya ke pantat anaknya yang tidak menurut.
Pemandangan ini berbeda jauh dengan di keluarga pendeta Tjoa.
Dalam keluarga itu saya menemukan hubungan yang hangat antara
orangtua dan anak-anaknya. Maka di rumah itu saya selalu merasa
krasan [betah] bermain. Dari situ pulalah saya mulai berkenalan
dengan ajaran Kristiani. Lalu ajaran itu semakin meresap lebih dalam
di diri saya, saat saya bersekolah di Sekolah Rakyat “Santo Yosef”
di keraton yogya .
Selain mengikuti kegiatan di organisasi pergerakan gerakan Persatuan Pemuda Kristen,
saya juga ikut organisasi pergerakan gerakan Tjing Nien Hwee [TNH], yakni organisasi pergerakan gerakan
pemuda Tionghoa yang merupakan bagian dari Chung Hua Tjung
Hwee [ CHTH]. Lalu saya aktif juga dalam kegiatan-kegiatan di Pemuda
Pembaruan Indonesia [ PPI], anak organisasi pergerakan gerakan Baperki. Di PPI ini saya
mewakili golongan pemuda Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) wilayah Kutoarjo untuk mengikuti penataran
di Magelang, yakni penataran mengenai kewarganegaraan. Sebagai
anggota dari PPI, saya juga kerap membantu kegiatan-kegiatan di
organisasi pergerakan gerakan lain, seperti kegiatan yang diadakan para pemuda dari
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI].
Lha, waktu kumpul-kumpul seperti itu ya tidak ada rasa
bermusuhan, tak ada rasa perbedaan dan sebagainya. Adanya ya cuma
rasa saling membantu. Tapi ada juga beberapa orang pemuda yang
tidak suka satu sama lain, tapi malah dipendam saja. Ini yang nantinya
berujung pada sikap saling menuding bahwa dia PKI atau bukan.
Waktu aktif di PPI saya kenal dengan beberapa pengurus Baperki
Kutoarjo, walaupun saya bukan pengurus PPI. Kalau tidak salah ingat,
namanya Gwan Hien [Ketua Baperki Kutoarjo] dan Untung. Tapi ini
bukan Letkol Untung yang terlibat G30S itu lho. Orangnya baik kok.
Cuma, kalau Gwan Hien itu cenderung ke kiri dalam pandangan
ideologinya. Makanya, dia itu akhirnya lama dijebloskan ke dalam
penjara, dan tidak kembali lagi.
Penangkapan Brutal
Waktu meletus Peristiwa gerakan gerakan Satu Oktober [ Gestok] itu sebetulnya
saya yang hampir kena. Tapi karena saya sedang sakit di RS Bethesda
Yogya akhirnya saya selamat dari maut. Tapi akibatnya, keluarga saya
justru yang jadi sasaran. Saya dapat kabar dari Encik [adik laki-laki
dari Ayah], bahwa [waktu itu tanggal 3 November 1965], saat Ping
Gwan sedang membaca koran di rumah, satu truk Tentara Resimen
Para Komando Angkatan Darat [ RPKAD] Baret Merah datang ke
rumah saya. Sebagian tentara masuk ke dalam rumah, dan sebagian lagi
menuju ke belakang rumah untuk mengantisipasi kemungkinan ada
yang melarikan diri. Para tentara ini masuk tanpa permisi, tanpa
surat tugas, dan tanpa sepatah kata terucap. Semua kamar digeledah,
termasuk isi lemari. sesudah tidak ada barang yang dicurigai, tentaratentara ini mengangkut Ayah, adik, dan adik ipar saya, untuk
dibawa ke asrama Angkatan Darat [AD] di Purworejo. Di sana sudah
ada sekitar 100 orang lain yang ditahan.
Setiap harinya mereka mendapat jatah makanan yang tidak layak,
seperti sedikit nasi dan sayur yang ditaruh di atas piring seng tipis
yang sudah berkarat. Di dalam rumah tahanan ini Djing Tiok—
adik ipar saya—mendapat “bogem mentah” [pukulan] dari beberapa
tentara karena dianggap menghina. Djing Tiok terlahir dengan penyakit gangguan syaraf. Akibatnya mata kanannya tidak bisa terbuka
dengan sempurna dan selalu berkedip. Keadaan ini oleh para tentara
itu dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap mereka. Selama
dua hari, ketiga anggota keluarga saya itu tidak diperiksa. Baru pada
hari ketiga mereka dipindahkan ke Kutoarjo. Mereka ditempatkan
di belakang kantor Bank Rakyat Indonesia [BRI] Kutoarjo. Di
tempat baru inilah ada sedikit keleluasaan bagi para tahanan. Di situ
keadaannya tidak seketat di Purworejo. Mereka masih boleh ditengok
dan dikirimi makanan oleh keluarga.
Selama kurang lebih sekitar 20 hari Papa, adik dan adik ipar
saya ditahan, tanpa ada pemeriksaan terhadap mereka. sesudah 23
hari, mereka diangkut kembali ke Purworejo untuk diinterogasi satupersatu. Ping Gwan ditanya studi banding di mana, mengapa pulang, dan
lain sebagainya. Dia menjawab semua dengan jujur dan apa adanya.
Akhirnya Ping Gwan diizinkan pulang ke rumah. Sementara Papa dan
Djing Tiok juga dibebaskan selang beberapa hari sesudah pembebasan
Ping Gwan. Namun mereka masih punya kewajiban melapor setiap
seminggu sekali. Saya sendiri yang kala itu menjalani rawat inap
di RS Bethesda juga mengalami proses penangkapan paksa, tetapi
keberuntungan masih berpihak pada saya.
Kala itu ada dua staf dari Komando Distrik Militer [Kodim]
datang ke RS Bethesda dengan maksud mengambil saya karena ada
isu yang beredar bahwa saya ini orang PKI . Awalnya mereka menemui
bagian perawat depan [resepsionis] menanyakan apakah ada nama saya
tercatat sebagai pasien. Lalu suster jaga meminta mereka menemui
dokter Hoorweg yang merawat saya, dan mengatakan padanya bahwa
saya harus ditangkap. Tetapi dokter Hoorweg menolak mentahmentah dengan alasan bahwa saya adalah pasiennya dan berada di
bawah tanggung jawab serta pengawasannya. Akhirnya dua orang dari
Kodim ini batal menangkap saya. Yang aneh, saat itu di dalam
artikel singkat daftar pasien, saya itu tercatat sebagai pasien penderita kanker
otak. Lha, tentu saja ini adalah kesalahan suster yang menulisnya.
Tetapi justru karena kesalahan inilah maka saya ikut terselamatkan
dari penangkapan paksa pihak militer, karena dianggap pasien yang
menderita sakit berat dan umurnya tidak panjang.
Lalu cerita lain mengenai nasib orang-orang Tionghoa dalam
Tragedi ‘65 adalah penangkapan brutal seorang pegawai rendahan
di Pabrik Sien Hien bernama Soe Ging. saat peristiwa itu terjadi,
Soe Ging bekerja di satu kantor dengan Engkoh [kakak laki-laki]
saya bernama Tik Kiong, di Pabrik Sien Hien. Soe bekerja sebagai
pembantu umum yang sehari-harinya bertugas membuatkan minum
untuk seluruh karyawan-karyawan di pabrik dan di kantor. Waktu
kejadian 1965 itu, Soe ditangkap dan dibawa ke Purworejo dengan
paksa. Bahkan beberapa bulan kemudian dia dipindahkan ke Pulau
Buru. Padahal dia bukan anggota PKI . Usut punya usut, ternyata
saat di kampungnya ada hajatan ulang tahun Pemuda Rakyat yang
notabene merupakan organisasi pergerakan gerakan pemuda di bawah payung PKI , Soe
diminta untuk ikut membantu menarik kabel dan memasang lampulampu untuk acara itu. Oleh sebab peristiwa inilah, Soe dicap sebagai
bagian dari PKI .41
Sikap Sosial
Saya pikir Tragedi ’65 itu merupakan rekayasa yang dibuat oleh
pemerintah dan menjadi ajang bagi golongan Pribumi yang memiliki
rasa dendam terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka mau memanfaatkan situasi ini untuk menjatuhkan Tionghoa yang dibencinya,
dengan cara melaporkan bahwa orang Tionghoa [yang dibencinya] itu
adalah PKI . Padahal pada waktu sebelum meletusnya tragedi ini
tidak ada konfl ik fi sik yang terjadi. Itu semua muncul disebabkan oleh
adanya dendam akibat dari ulah sebagian orang Tionghoa yang dirasa
cukup mengecewakan orang-orang Pribumi. Salah satunya adalah
sikap sosial yang ditunjukkan oleh Tionghoa dalam pergaulannya
dengan masyarakat sekitar. Pada akhirnya semua itu melahirkan apa
yang bisa disebut “ilmu nuding” [tindakan menunjuk dengan amarah],
yang di dalamnya berisi kata-kata: Titenana Kowe [artinya: tunggu
saja, suatu saat nanti tindakanmu itu akan kami balas
NARASI selanjutnya disampaikan oleh Dra. B. Ninik S. Rahayu,
M.A., seorang mantan dosen yang sejak masa mudanya sudah aktif dalam
bidang organisasi pergerakan gerakan remaja muda . Keluarganya adalah sebuah keluarga
Katolik dan Jawa tradisional yang sekaligus sangat taat beragama,
dalam hal ini agama Katolik. sesudah menyelesaikan belajarnya di SD
Kanisius, ia melanjutkan ke SMP dan SMA Stella Duce dan kemudian
ke Universitas Gadjah Mada, semuanya di keraton yogya .
Dikisahkan oleh Ninik S. Rahayu (seperti yang lain, bukan nama
aslinya), antara tahun 1960 dan 1965 situasi ekonomi di Indonesia
pada umumnya, khususnya di keraton yogya tempat ia tinggal, sangat
sulit.”Makanan dan pakaian sangat susah diperoleh,” katanya. Dalam
situasi ekonomi yang sulit seperti itu menurutnya masyarakat menjadi
mudah terprovokasi. Ia contohkan misalnya provokasi tentang adanya
para “ Kabir” (Kapitalis Birokrat) yang memperkaya diri dan menjadi
penyebab kesengsaraan rakyat. Dengan mudah rakyat di daerah menerima
provokasi macam itu, karena situasi memang sedang sulit.
Di tengah krisis sosial, ekonomi dan politik waktu itu, menurut
Ninik, Gereja Katolik berada dalam posisi yang tidak mudah. Tokoh
politik Katolik I.J. Kasimo menentang gagasan Presiden Sukarno tentang
Nasakom ( Nasionalis, Agama dan Komunis). Di mata Kasimo, ketiga
unsur itu tidak bisa dipaksakan secara politis untuk bersatu, mengingat
ketiganya berbeda secara mendasar dalam hal visi masing-masing.
Sementara itu di panggung politik para pemimpin Komunis terkesan
menyisihkan dan bersifat memaksakan kehendak terhadap kaum Agama.
Pada saat yang sama, menanggapi situasi demikian, kaum Nasionalis
terpecah. Untunglah, menurut Ninik, di tengah suasana sulit seperti itu
Gereja Katolik tetap menjalankan misinya, yakni secara konsisten terus
berusaha menanggapi krisis sosial dan ekonomi yang sedang terjadi.
Misalnya, menyediakan makanan dan pakaian semampunya guna
membantu masyarakat.
Di mata Ninik, salah satu pelajaran sangat berharga yang bisa
ditarik dari apa yang terjadi pada tahun 1965 adalah kesadaran akan
pentingnya peran media massa dalam membentuk opini publik. Orang
bisa dengan gampang memandang apa yang disiarkan lewat radio, surat
kabar atau televisi sebagai “kebenaran”. Berdasarkan apa yang didapat
dari media massa itu masyarakat bisa dengan cepat beropini, dan dengan
opini itu lantas melakukan tindakan-tindakan tertentu. Padahal,
menurut Ninik, waktu itu banyak berita sengaja dibuat dengan maksud
untuk menyesatkan opini rakyat tanpa rakyat menyadarinya. Ia lantas
mengingatkan,“Cara-cara seperti ini berlanjut pada era Orde Baru.
Akibatnya masyarakat menjadi tidak berani bersikap kritis.”
Semula wawancara dengan Dra. B. Ninik S. Rahayu, M.A.
dilakukan oleh Tim PUSdEP secara lisan. Namun demikian, supaya
lebih jelas dan luas cakupannya, wawancara dilanjutkan dalam bentuk
tertulis. Hasilnya adalah narasi menarik dan personal sebagaimana
tertera di bawah ini.
SAYA adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Keluarga saya adalah
sebuah keluarga Katolik dan Jawa tradisional. Orangtua saya sangat
taat kepada agama, maka kami bersaudara dipermandikan sejak
berumur satu minggu. Saya dibesarkan di Kompleks Rumah Sakit
Mata “Dr. Yap” keraton yogya , karena Bapak saya adalah seorang
mantri kesehatan spesialis mata, asisten Dokter Yap. Selain mendapat
pendidikan di rumah dari orang tua saya—Ibu berasal dari keluarga
priyayi Kraton sedang Bapak berasal dari keluarga petani—saya
menghabiskan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Kanisius, Kota
Baru. Pendidikan SMP dan SMA saya jalani di SMP dan SMA Stella
Duce. Tahun 1962, saya lulus dari SMA Stella Duce, lalu melanjutkan
studi banding di Fakultas Ekonomi/HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial Politik)
Universitas Gadjah Mada ( UGM), keraton yogya . Saya mengambil
Jurusan Ekonomi dan Sosiologi. Saya sangat berminat untuk belajar
ilmu multi-disipliner. Saya lulus tahun 1968.
Selain mendapat gelar Sarjana di bidang Ekonomi dan Sosiologi
saya juga mendapatkan diploma dari Akademi Kewanitaan (AKWA)
Tarakanita. Saya pun mendapat beberapa diploma dari kursus-kursus
singkat seperti kursus tentang Gender, Feminisme, dan Metode
Pekerjaan Sosial. Di Maryknoll School of Theology, New York,
Amerika Serikat, saya belajar Teologi hingga mendapatkan diploma
Pastoral Konseling dan Master of Arts di bidang Justice and Peace
pada tahun 1984.
sesudah lulus dari UGM itu, saya mengajar sebagai dosen ti dak
tetap di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
keraton yogya ; Jurusan Ekonomi IKIP Sanata Dharma;42 Fakultas Sosial
Politik Universitas Widyamataram; dan di Akademi Kesejahteraan
Sosial (AKS) Tarakanita, semuanya di keraton yogya . Mengikuti
panggilan saya untuk memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi
perempuan lesbian , saya memilih AKS Tarakanita sebagai tempat mengajar
tetap. Saya mengajar sebagai dosen tetap AKS Tarakanita sejak tahun
1968-1999. Selain mengajar, di AKS Tarakanita saya bertugas sebagai
Direktur selama 15 tahun (1974-1989). sesudah pensiun dari AKS
Tarakanita tahun 1999, saya mengajar Teologi Feminis pada program
Pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma ( USD)
keraton yogya sampai tahun 2009. Di samping pekerjaan mengajar,
sebagai aktivis perempuan lesbian beragama Katolik saya diangkat oleh
Presiden Habibie menjadi anggota komisioner Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap perempuan lesbian ( Komnas perempuan lesbian ) saat terjadi
kerusuhan Mei 1998, bersama dengan 16 anggota komisioner lainnya.
Saya bertugas di Komnas perempuan lesbian sampai tahun 2008 (dua periode
masa bakti).
Berlanjut Sampai Sekarang
Sejak belajar di Sekolah Rakyat, saya suka berkomunitas dan melakukan
aktivitas bersama kawan-kawan saya. Saya mengenal organisasi pergerakan gerakan saat
saya masuk SMP dan saya aktif sebagai pengurus organisasi pergerakan gerakan Siswa
(semacam OSIS). Kesukaan saya berorganisasi pergerakan gerakan berlanjut pula saat
saya belajar di SMA, dan makin menjadi saat saya studi banding . Tahun
1963, saya diajak aktif dalam organisasi pergerakan gerakan Pemuda Katolik, hingga
saya dipilih menjadi Ketua I Pemuda Katolik Komda DIY (Daerah
Istimewa keraton yogya ) yang mengurus internal organisasi pergerakan gerakan . Pekerjaan
mendampingi anggota Pemuda Katolik membentuk saya menjadi
aktivis militan. Selain mengajak anggota aktif berorganisasi pergerakan gerakan saya
juga mendapatkan pendidikan kader di bidang sosial, ekonomi, dan
politik
Kaderisasi dalam Pemuda Katolik sungguh membuat kaum
muda menjadi aktivis yang militan. Semboyan “Pro Ecclesia et Patria”
[Untuk Gereja dan Tanah Air, ed.] dan ajakan Mgr. Alb.Sugiyopranata,
SJ “100 % Katolik dan 100 % Indonesia”, membuat kami aktivis
Pemuda Katolik bersemangat berorganiasi dan berpolitik. Situasi
sosial politik mendukung semangat kaum muda Indonesia karena
Presiden Sukarno secara periodik memberikan kursus berpolitik dan
berpidato kepada kaum muda. Dalam pandangan Presiden Sukarno,
pemuda adalah salah satu pilar di samping perempuan lesbian , buruh, petani,
dan nelayan. Menurut Bung Karno, pemuda, perempuan lesbian , buruh,
petani, dan nelayan adalah pilar-pilar pendukung kokohnya negara
Indonesia. Oleh karena itu, perhatian Bung Karno sangat besar
terhadap kelompok-kelompok ini. Saya sendiri pernah mengikuti
kursus berpidato dari Bung Karno, dan bersama Ibu saya—sebagai
anggota Wanita Katolik Republik Indonesia [ WKRI]—saya mengikuti
kursus politik bagi perempuan lesbian dari Bung Karno.
Kegemaran saya berorganisasi pergerakan gerakan berlanjut sampai sekarang. Di
samping melakukan pekerjaan sebagai dosen di kampus saya juga
aktif dalam organisasi pergerakan gerakan masa perempuan lesbian Perkumpulan Solidaritas
perempuan lesbian [SP]. Saya menjadi Ketua Badan Eksekutif Nasional SP
tahun 1998-2002. Saya selalu bergabung dengan gerakan gerakan rakyat
seperti gerakan gerakan Keadilan Konsumen. Di bidang gerakan gerakan teologi, saya
bergabung dalam EATWOT (Ecumenical Association of the Third
World Theologian) bertugas sebagai Koordinator Regional Asia.
Peduli Kepada Rakyat
saat terjadi tragedi G30S, saya berumur 22 tahun (saya lahir 21
Agustus 1943) dan masih studi banding Fakultas Ekonomi UGM. Keadaan
Kampus UGM sangat kacau. Pendidikan sempat terhenti. Beberapa
mahasiswa anggota Central gerakan gerakan Mahasiswa Indonesia ( CGMI)
dan dosen anggota Himpunan Sarjana Indonesia ( HSI), ditangkap
karena dituduh telibat dengan G30S.
Antara tahun 1960-1965 situasi kehidupan rakyat, khususnya
di keraton yogya di mana saya tinggal, sangat susah. Makanan dan
pakaian sangat susah diperoleh. Kami sekeluarga tidak mampu lagi
makan nasi, tetapi harus makan jagung dan singkong, karena harga
jagung dan singkong lebih murah dari harga beras. Masyarakat sering
mendapatkan pembagian nasi bulgur, bantuan dari Gereja. Situasi
sosial ekonomi sungguh buruk. Rakyat kecil benar-benar mengalami
krisis sosial ekonomi. Saya bersama kawan-kawan dari organisasi pergerakan gerakan
perempuan lesbian Gerwani, bersama masyarakat kampung kami membentuk
Koperasi Konsumsi (collective buying) dan Koperasi Simpan Pinjam.
Kami membagikan minyak tanah, beras, dan gula pasir agar semua
warga mendapatkan bagian bahan kebutuhan pokok ini . Akibat
situasi krisis ini mendorong masyarakat sangat mudah kena provokasi
terutama provokasi tentang kelompok Kapitalis Birokrat (KABIR).
Di telinga rakyat pedesaan dan perkampungan, selalu dikampanyekan
kejelekan kelompok KABIR ini. Mereka diinformasikan sebagai
pembuat rakyat sengsara demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Dalam situasi krisis sosial, ekonomi, dan politik pada tahun 1960-
an posisi Gereja Katolik terancam. Namun para pemimpin Gereja
dan tokoh politik Katolik tanggap atas situasi ini. Seperti misalnya
Bapak I.J. Kasimo sangat tidak setuju dengan konsep Bung Karno
Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM). Beliau berpendapat
tiga unsur ini tidak mungkin dipaksakan untuk bersatu secara
politik, karena ada perbedaan visi secara prinsip. Para pemimpin
Komunis, khususnya di bidang legislatif dan eksekutif nampak dan
terasa memaksakan kehendak dan menyisihkan tokoh-tokoh Agama.
Tokoh-tokoh Nasionalis pecah karena berbeda pandangan. Tetapi
Gereja tetap menjalankan misinya menanggapi situasi krisis sosial
dan ekonomi secara konsisten. Melalui lembaga Gereja dan umat,
Gereja tetap berbagi sandang dan pangan dari bantuan luar negeri
(bulgur dan pakaian bekas). organisasi pergerakan gerakan Katolik seperti organisasi pergerakan gerakan guru
Katolik, Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) dan Wanita Katolik Republik Indonesia ( WKRI)
semua menanggapi situasi krisis dengan hati-hati. Partai Katolik,
Pemuda Katolik, dan PMKRI tampak dan terasa sangat tanggap pada
situasi politik.
Beberapa pemimpin Katolik baik di bidang politik, sosial, dan
pendidikan secara aktif memberikan informasi secara rutin dan
mendampingi kaum muda Katolik. Saya sebagai aktivis Pemuda Katolik
merasakan situasi sosial politik rawan, tetapi sikap Gereja sangat jelas,
hati-hati dan terus membantu ekonomi umat. Romo A.Sumandar,
SJ dan Romo A.Jayasiswaya, Pr sebagai moderator Pemuda Katolik
selalu mengingatkan agar kami berhati-hati, tidak mudah terpancing
gerakan gerakan rakyat yang sedang memanas. Di pedesaan, gerakan gerakan Barisan
Tani Indonesia ( BTI), di perkotaan gerakan gerakan Pemuda Rakyat bertambah
aktivitasnya. Mereka menunjukkan bahwa merekalah pembela rakyat.
gerakan gerakan “show of force” ini memancing kelompok organisasi pergerakan gerakan massa
kaum muda lainnya, termasuk Pemuda Katolik, Pemuda Marhaen,
Pemuda Ansor, dan sebagainya. gerakan gerakan Wanita Indonesia ( Gerwani)
melakukan kegiatan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan
budaya. Melalui kegiatan pembelian bahan kebutuhan pokok secara
bersama-sama, pendidikan untuk anak-anak, dan latihan kesenian
yang sangat giat mereka menunjukkan bahwa mereka peduli kepada
rakyat.
Membaca Situasi
Menjelang akhir tahun 1965 situasi sosial politik makin memanas.
Konfl ik terjadi di mana-mana, di antara golongan apa pun, baik
konfl ik internal golongan maupun konfl ik antar golongan. Konfl ik
juga melanda umat Katolik di Yogya, khususnya terhadap para
pemimpin Katolik yang tidak menunjukkan ke- Katolik-annya.
organisasi pergerakan gerakan Pemuda Katolik DIY, misalnya, tidak percaya kepada
wakil Katolik43 yang menjabat sebagai Badan Pimpinan Harian
(BPH) Propinsi DIY. Oleh karena itu, Pemuda Katolik memasang
iklan di harian Kedaulatan Rakyat, menyatakan bahwa tidak mengakui
pejabat ini sebagai wakil dari umat Katolik. Peristiwa ini menjadi
masalah besar bagi Pemuda Katolik, khususnya Komda DIY. Untuk
menyelesaikan masalah ini saya diutus ke Jakarta menemui
Pimpinan Pusat Partai Katolik (Bapak Kasimo dan Bapak Frans Seda)
untuk menjelaskan duduk persoalannya.
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 7.00 pagi, saya berangkat ke
Jakarta menggunakan kereta api pagi dari Stasiun Tugu. Tetapi sebelum
berangkat, Ibu saya yang mendengarkan Berita RRI berpesan agar
saya hati-hati karena di Jakarta ada kudeta Dewan Jenderal. Tanpa
perasaan takut, saya berangkat ke Jakarta ditemani Sulanjana, rekan
Pemuda Katolik yang juga anggota Angkatan Laut Republik Indonesia
(ALRI). Dalam kereta, saya duduk berdampingan dengan seorang
laki-laki membawa radio transistor dan selalu mendengarkan berita
radio. sesudah sampai di Cirebon, laki-laki tadi menghilang, radio dan
tas pakaiannya ditinggal. saat itu hati saya mulai merasakan sesuatu
tidak beres yang berkaitan dengan berita kudeta Dewan Jenderal di
Jakarta. Kekhawatiran saya bertambah besar saat tiba di stasiun
Gambir, karena tempat itu sudah penuh dengan tentara.
Tujuan saya menginap di rumah paman saya di kompleks Halim
saya batalkan karena daerah menuju ke sana diblokir tentara. Maka
saya dan Sulanjana menuju ke Pusroh [Pusat Rohani] Katolik, di
Jalan Gunung Sahari. Di sana kami disambut oleh Romo Wijoyo, SJ,
Koordinator Pusroh Katolik. Kami dimarahi karena dalam situasi yang
sangat genting kami pergi ke Jakarta. Kami hanya boleh menginap satu
malam dan disarankan untuk segera pulang ke Yogya. Tetapi karena
tujuan kami menemui Pimpinan Pusat Partai Katolik belum terlaksana,
maka kami pindah menginap di rumah saudara di daerah Kemayoran.
Namun sial, saya dimarahi kakak saya karena ketahuan Sulanjana
membawa pistol, padahal hari itu sedang diadakan pembersihan di
Kompleks Perumahan kakak. Sadar bahwa kami sedang menghadapi
situasi genting, Sulanjana memisahkan diri. Sejak itu saya tidak tahu
bagaimana nasibnya.
Di rumah saudara saya ini, saya menyaksikan berita tentang
pembunuhan para Jenderal. Kami semua menyadari bahwa ini semua
perbuatan PKI , tetapi tidak berani bicara terbuka. Bersama kakak
saya, saya menyaksikan pemakaman para Jenderal bersama banyak
orang yang memadati sepanjang jalan menuju makam. sesudah tiga
hari saya berada di Jakarta dan tidak dapat menemui Pimpinan Pusat
Partai Katolik, saya disuruh pulang ke Yogya oleh kakak saya. Ia tidak
berani menanggung keselamatan saya karena saya selalu keluar dari
rumah mereka untuk berusaha ketemu Pak Kasimo dan Pak Frans
Seda. Akhirnya saya pulang ke Yogya, sendiri.
Sampai di Yogya, saya melihat bahwa situasi tegang melanda
kawan-kawan karena hilangnya Pak [Brigjen] Katamso dan Pak
[Letkol] Sugijono, Komandan Resimen dan Komandan Kodim
DIY. Suasana menjadi bertambah mencekam saat jenazah mereka
ditemukan di Kompleks tentara Kentungan, keraton yogya , dalam
keadaan mengenaskan. Sejak itu situasi kami aktivis Pemuda Katolik
sudah tidak aman lagi. Berkali-kali saya dicari anggota Pemuda
Rakyat yang datang ke rumah saya. Ibu saya selalu melindungi saya
dan mengatakan bahwa saya tidak di rumah. Saya dan kawan-kawan
aktivis Katolik dari organisasi pergerakan gerakan Katolik lainnya terpaksa sembunyi dan
mengadakan pertemuan rutin untuk membaca situasi.
Ikut Terseret Arus
Situasi sosial politik makin tidak menentu. Berita yang dimuat di surat
kabar Jakarta sangat mempengaruhi pikiran rakyat, walaupun sering
berbeda dengan kenyataan di daerah. Berita-berita mengerikan yang
dituduhkan kepada PKI sangat menakutkan. Membaca berita surat
kabar, mendengar cerita pengalaman kawan-kawan dan mengalami
sendiri kejadian-kejadian aneh, saya sadar bahwa pada waktu itu
telah terjadi peristiwa luar biasa. Saya mengalami peristiwa sangat
mengerikan saat saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
tentara baret merah membunuh sekelompok orang di pinggir Sungai
Wedi di daerah Klaten, Jawa Tengah.
saat itu, saya akan menjemput tunangan saya yang bekerja di
sebuah bank di Bayat, Klaten. Saya sangat khawatir karena sudah dua
minggu tunangan saya tidak pulang, padahal biasanya setiap Sabtu
pulang. Sepanjang jalan, saya melihat pohon-pohon ditebangi untuk
merintangi jalan. saat sampai di Sungai Wedi44, saya menyaksikan
pembunuhan massal itu. Mayat para korban dibuang begitu saja di
sepanjang sungai. Kejadian lain yang mengerikan dialami oleh sahabat
saya mahasiswa ekonomi. Ibunya yang menjadi Lurah di suatu Desa
di Pati, Jawa Tengah, dibunuh di depan dia, bapak dan saudaranya,
karena Ibu Lurah ini adalah anggota Gerwani. Masih banyak lagi
kejadian mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober-Desember
1965.
Menghadapi situasi yang menegangkan ini kami para
aktivis Katolik makin mendalami persoalan sosial-politik melalui
diskusi-diskusi dan analisis fakta. Kami berkumpul secara rutin. Agar
aman, kami berpindah-pindah tempat. Pertemuan selalu dihadiri para
aktivis Katolik dari organisasi pergerakan gerakan massa dan organisasi pergerakan gerakan politik. Walaupun
kami membuat analisis sosial politik secara kritis, media massa telah
berhasil membentuk opini publik sehingga kami cenderung percaya
bahwa yang membuat kekacauan adalah PKI . Oleh karena itu saat
suasana politik membawa angin untuk membubarkan PKI , kami
para aktivis Katolik ikut terseret arus bergabung dalam demonstrasi
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda
dan Pelajar Indonesia ( KAPPI), dan Keatuan Aksi Wanita Indonesia
(KAWI). Kami bergabung dengan organisasi pergerakan gerakan Islam dan Nasionalis.
Suasana politik membawa umat Katolik mendukung pembubaran
PKI dan semua organisasi pergerakan gerakan di bawah payungnya, tanpa bisa berpikir
jernih.
Ada Skenario Besar
Sebagai aktivis organisasi pergerakan gerakan Pemuda Katolik saya juga bergabung dalam
demonstrasi untuk mendukung pembubaran PKI dan organisasi pergerakan gerakan organisasi pergerakan gerakan di bawah payungnya. Pada waktu itu, saya merasa ada
arus politik sangat kuat yang mendorong rakyat agar semua setuju
PKI dan sekutunya dibubarkan. Media massa, baik surat kabar,
radio, dan televisi sangat berperan membentuk opini publik dan
semua menyalahkan PKI . Tetapi sebagai seorang aktivis Katolik yang
sebelumnya sangat akrab bekerja dengan para aktivis Gerwani dalam
menanggapi krisis ekonomi dengan kegiatan sosial, pendidikan dan
ekonomi, saya merasakan telah terjadi kekerasan dan ketidakadilan
terhadap anggota organisasi pergerakan gerakan di bawah naungan PKI . Lebih-lebih saat
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap terlibat
organisasi pergerakan gerakan komunis menjadi membabi buta. Teman Bapak saya yang
menggantikan Bapak menjadi Ketua Serikat Buruh Kesehatan DIY
juga ikut ditangkap.45 Padahal beliau beragama Protestan.
Penangkapan kawan-kawan saya sekampung yang menjadi anggota
Gerwani juga merisaukan hati saya. Ada dua orang ibu anggota aktif
Gerwani yang bekerja sama dengan saya dalam Koperasi Kampung
juga ditangkap. Saya sangat marah dan tidak bisa menerima kejadian
itu. Maka saya beranikan diri untuk membela mereka walaupun saya
terpaksa menjadi bulan-bulanan petugas Polisi Militer di Makodim
keraton yogya . Melalui kesaksian Romo A. Jayasiswaya, Pr (moderator
Pemuda Katolik) dan Bapak FX. Sastraharjana (polisi yang selalu
menolong kami) tentang diri saya, saya berhasil membebaskan rekan
kerja sekampung saya itu.
Kerisauan saya bahwa ada yang tidak beres dengan cara-cara
menghadapi Tragedi ’65 ini mendapat jawaban saat saya diminta
membantu Romo P. De Blot, SJ untuk mendampingi keluarga para
tahanan politik yang ditampung di Wisma Realino, keraton yogya . Dari
cerita pengalaman mereka, saya makin yakin bahwa ada skenario besar
di belakang Tragedi 1965.
Bersikap Rasional
Sebagai seorang Katolik, saat itu pandangan saya masih terbentuk
oleh ajaran-ajaran Gereja yang memisahkan politik dan non-politik
secara dikotomis. Oleh karena itu saya tidak heran kalau Gereja dan
para pemimpin Gereja tampak “menjaga jarak” dari kegiatan berbau
politik, seperti membuat pernyataan atau memberi dukungan tentang
suatu sikap politik tertentu. Perilaku politik kami dipimpin oleh
Partai Katolik, yang kami percaya mendapatkan restu dari Gereja.
Karena itu saat Partai Katolik mendukung pembubaran PKI , kami
mengikutinya.47 Secara perseorangan beberapa umat Katolik, Awam,
Pastor, Bruder, Suster terlibat langsung dalam pekerjaan kemanusiaan,
walaupun belum banyak yang berani secara terbuka.
Gereja Katolik baik para pemimpin maupun umatnya lebih
memilih menanggapi Tragedi 1965 dengan melayani pekerjaan
kemanusiaan. Saya sebagai aktivis organisasi pergerakan gerakan pemuda juga
mengurangi kegiatan berpolitik praktis. Lebih-lebih sesudah saya
ditangkap polisi, ditahan dua hari di Mapolda keraton yogya karena
harus mempertanggungjawabkan kerusuhan yang terjadi saat kami
melakukan demonstrasi bersama organisasi pergerakan gerakan pemuda lainnya. Nama
saya ada dalam daftar intel Makodim untuk dipantau terus di mana
keberadaan saya. Karena itu, saya harus bersikap rasional agar tidak
mati konyol.
Pada tahun 1965 itu menurut pengamatan saya, masyarakat
keraton yogya pada umumnya dilanda kecemasan karena peristiwaperistiwa mengerikan yang terjadi di sekitar wilayah keraton yogya .
Misalnya di Desa Manisrenggo, sebelah timur Prambanan. Desa itu
terkenal sebagai tempat pembunuhan orang-orang yang dituduh
terlibat PKI . Masyarakat resah karena setiap hari dihadapkan pada
berita tentang orang-orang yang hilang, ditangkap, dibunuh. Berita
tentang sumur di desa-desa tertentu sebagai kuburan massal menjadi
berita yang disajikan setiap hari. Namun demikian, kehidupan
masyarakat tetap tenang dan tidak ada gejolak yang menonjol.
Kekuasan Ekonomi Internasional
Menurut pengamatan saya memang terjadi perubahan situasi sosial,
ekonomi, dan politik di Indonesia pasca-Tragedi 1965. Perubahan
diawali dengan terjadinya kekerasan dan politik represif dari militer.
Di bidang sosial, masyarakat yang semula kebingungan, takut kepada
orang-orang komunis, mulai berproses dan percaya kepada militer,
khususnya Angkatan Darat yang tampil sebagai “pelindung” rakyat.
Rakyat yang pandangan sudah terbentuk bahwa PKI adalah dalang
dari tragedi 1965, menjadi percaya bahwa Angkatan Darat adalah
“penyelamat”. Kekuasaan birokrasi mulai diganti dari pimpinan sipil
menjadi pimpinan militer. Hampir semua Gubernur dan Bupati
di wilayah seluruh Indonesia dijabat oleh militer. Militerisme yang
terwujud dalam bentuk kekerasan mulai dialami rakyat Indonesia.
Para aktivis yang membuat gerakan gerakan di akar rumput dicurigai, diculik,
atau ditangkap secara terbuka.
Situasi politik membuat orang tidak berani mengkritik, membuat
analisis sosial politik, berorganisasi pergerakan gerakan mandiri atau melakukan gerakan gerakan
massa. Alasannya karena takut dituduh PKI . Berorganisasi pergerakan gerakan harus
minta izin. Bahkan segala kegiatan yang melibatkan orang banyak
harus minta izin. Politik pemerintah yang represif, penyalahgunaan
wewenang dari pimpinan terjadi di mana-mana, khususnya persoalan
tanah. Para pejabat membeli tanah rakyat. Para aktivis organisasi pergerakan gerakan
masa, baik organisasi pergerakan gerakan sosial dan budaya banyak yang hilang diculik.
Saya sendiri tidak berani melakukan kegiatan berorganisasi pergerakan gerakan di luar
pekerjaan saya sebagai dosen, karena telah terjadi kekerasan yang
tidak manusiawi. Perspektif militer mulai mempengaruhi masyarakat,
memandang golongan lain sebagai kawan atau lawan.
Kehidupan ekonomi mulai terasa membaik, karena pemerintah
mulai mengadakan kerja sama dengan negara-negara kapitalis. Utang
Luar Negeri dan investasi asing mulai mengalir. Situasi ini memicu
Peristiwa MALARI sekitar tahun 1970-an. Peristiwa ini terjadi karena
para aktivis mahasiswa secara kritis mulai sadar bahwa perbaikan
ekonomi yang terjadi adalah perbaikan semu. Namun demikian,
demonstrasi ini ditumpas dengan kekerasan militer. Oleh pemerintah
Orde Baru, bangsa Indonesia mulai dilibatkan dengan kekuasaan
ekonomi internasional.
Kapitalis juga Diuntungkan
Tragedi 1965 sangat merugikan masyarakat yang dituduh terlibat,
padahal mereka sebagai anggota organisasi pergerakan gerakan tidak tahu-menahu tentang
rencana peristiwa itu. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari keluarga
PKI dan organisasi pergerakan gerakan di bawahnya diberi tanda “ ET” yang berarti Eks-
Tahanan Politik. Mereka diperlakukan diskriminatif dan disingkirkan.
Para aktivis organisasi pergerakan gerakan sosial kemasyarakatan juga dirugikan karena
banyak organisasi pergerakan gerakan yang dibekukan atau dibubarkan. Masyarakat tidak
bebas untuk membentuk organisasi pergerakan gerakan . Bahkan kaum perempuan lesbian juga
jadi takut berorganisasi pergerakan gerakan , karena bisa dituduh Gerwani. perempuan lesbian ,
pemuda, petani, buruh yang semula aktif dan militan berorganisasi pergerakan gerakan
semakin menurun jumlahnya atau berhenti sama sekali. Dalam situasi
rakyat takut berorganisasi pergerakan gerakan ini, pemerintah membentuk organisasi pergerakan gerakan
seperti PKK dan Dharma Wanita untuk perempuan lesbian . Pemerintah juga
membentuk organisasi pergerakan gerakan untuk buruh, petani, dan pemuda, bahkan
membentuk Koperasi versi pemerintah.
Pihak yang diuntungkan dari peristiwa ini adalah militer,
khususnya Angkatan Darat. Kekuasaan penuh ada di tangan mereka.
Pemerintah bekerja sama dengan negara-negara kapitalis. Untuk
memperbaiki perekonomian dan demi pembangunan, pemerintah
membuka investasi asing. Pembangunan Indonesia bersifat developmentalist, berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional saja, tanpa
memperhatikan aspek pemerataan. Kekuasaan diktator membawa
masyarakat tidak berani melawan. Situasi represif membuat masyarakat
takut sehingga menjadi tidak kritis. Dalam situasi seperti ini para
kapitalis juga diuntungkan.
Tetap Tidak Berani Kritis
Politik Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri saat itu
memperkuat terjadinya kemiskinan struktural yang membuat
banyak orang menderita. Padahal realitas menunjukkan bahwa ada
sekelompok masyarakat yang hidup berkelimpahan. Masyarakat sadar
bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam kehidupan. Jurang antara
kaya dan miskin semakin lebar, sehingga muncul kecemburuan sosial.
Dalam situasi seperti ini rakyat mudah dihasut dan dimanfaatkan
bagi kepentingan tertentu. Pada tahun 1960-an penderitaan rakyat
semakin berat dan meluas. Cita-cita Bung Karno “berdiri di atas kaki
sendiri” makin jauh dari kenyataan. Perekonomian makin terpuruk
mengingat Indonesia itu sangat luas sementara situasi sosial, ekonomi,
dan budayanya sangat beragam. Penderitaan rakyat ini rupanya
dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk menghasut rakyat.
Melalui kampanye didengung-dengungkanlah pertanyaan “siapa”
yang membuat penderitaan, dan bukan “apa” yang menyebabkan.
Dengan menekankan sisi “siapa”-nya berarti terbukalah pintu untuk
mengkambing-hitamkan pihak-pihak tertentu, dan pihak tertentu itu
harus dilawan, dibunuh, dimusnahkan.
Pengalaman belajar Teologi Pembebasan dari Amerika Latin,
membuat saya bisa merasakan bahwa situasi rakyat di negara-negara
Dunia Ketiga,48 di termasuk Indonesia, sama dengan situasi rakyat
di negara-negara Amerika Latin. Kemiskinan struktural tidak dapat
diselesaikan dengan sedekah yang bersifat karitatif. Di Amerika Latin
juga terjadi kemiskinan struktural, di mana para pemimpin Negara
dan Gereja menghadapinya secara karitatif. Tetapi perbedaan besar
antara Indonesia dan Amerika Latin adalah cara penyadaran rakyat.
Di Amerika Latin, khususnya di Brazil,49 rakyat diajak memikirkan
pengalaman hidup dan merefl eksikan iman mereka. Mereka diajak
untuk mencari apa yang menyebabkan kemiskinan, lalu diajak untuk
menyadari kemiskinan sebagai keprihatinan bersama, untuk kemudian
diajak mencari penyelesaiannya secara bersama-sama. Kalau di Indonesia,
rakyat digiring untuk mencari kambing hitam siapa yang membuat
kemiskinan. Akibatnya terjadi kemarahan rakyat yang mendorong
perbuatan anarkis melawan golongan yang dituduh sebagai pembuat
penderitaan rakyat. Sebagaimana kita tahu, persoalan kemiskinan dan
penindasan itu sangat sarat muatan emosi yang mudah disulut dan
mudah meledak.
Pada tahun 1960-an, umat Katolik termasuk saya masih meman dang politik secara sempit. Secara dikotomis dibedakan dan
dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan beragama. Ajaran
Gereja yang membentuk pandangan seperti itu membuat saya harus
benar-benar membedakan kegiatan politik dan kegiatan beragama.
Politik dipandang sebagai kekuasaan duniawi. Oleh karena itu, saya
tidak heran kalau pada tahun 1965-1966 Gereja seolah-olah “diam”,
sehingga umat Katolik juga ikut “diam”. Bahkan banyak umat Katolik
mengecam sesama umat yang melakukan kegiatan politik di luar partai
politik. Misalnya, umat mengecam Pastor yang ikut menandatangani
pernyataan “40 tokoh masyarakat” tentang keprihatinan rakyat DIY,
saat Bapak Kardinal J. Darmoyuwono bergabung dengan gerakan gerakan
Ratu Adil mencita-citakan keadilan dan perdamaian. Ingat misalnya
kasus Sawito. Masih banyak umat Katolik yang memberi komentar
sinis pada karya kenabian para imam ini . Ajaran Gereja yang
diterima umat seperti itu membuat umat Katolik kurang berani tampil
menyuarakan kebenaran, membela keadilan, dan memperjuangkan
perdamaian.
Pelajaran lain yang sangat besar yang saya petik adalah peranan
luar biasa media massa dalam membentuk pandangan masyarakat.
Berita yang tersiar melalui surat kabar, radio, dan televisi ternyata
sangat mudah dianggap sebagai kebenaran, walaupun tidak sedikit
yang menyesatkan. Apalagi telah terjadi monopoli informasi. Berita
yang didengar, dilihat, dan dibaca dianggap sebagai kebenaran dan
akhirnya membentuk opini publik. Berita-berita dibuat dengan sengaja
untuk menyesatkan rakyat tanpa rakyat mampu menyadarinya. Caracara seperti ini berlanjut pada era Orde Baru. Akibatnya masyarakat
menjadi tidak berani bersikap kritis.
Bergabung
Belajar dari pengalaman saya berada dalam suasana Tragedi 1965,
saya menjadi sadar bahwa pandangan dikotomis terhadap politik dan
agama ternyata tidak realistis. Saya sadar dan makin memahami konsep
Feminis Radikal yang mengatakan, “the personal is political”. Artinya
aspek personal-politik, domestik-publik, duniawi-ilahi, dan sebagainya
harus dipandang secara utuh, tidak secara dikotomis. Oleh karena
itu, pemahaman saya tentang politik telah berubah. Politik tidaklah
sekadar perebutan kekuasaan, melainkan bagaimana kita berperan serta
dalam menentukan keputusan-keputusan yang dimaksudkan untuk
membuat pranata kehidupan agar manusia dan ekologi makin saling
memberikan manfaat sehingga terciptalah keadilan dan perdamaian.
Untuk menghilangkan pandangan dikotomis atas politik dan agama
perlu disadari bahwa berpolitik dan refl eksi iman merupakan suatu
kesatuan utuh. Proses “Aksi–Refl eksi–Aksi Lanjut” merupakan proses
berpolitik untuk melakukan perubahan sosial, politik, ekonomi dan
budaya.
Karya Yesus Kristus mewartakan Kerajaan Allah dan menyerukan
pertobatan belum selesai. Oleh karenanya, kita yang mengaku muridmurid Yesus wajib melanjutkan karya ini . Melanjutkan karya
Yesus tidak mungkin terjadi kalau kita tidak berpolitik. Mewartakan
Kerajaan Allah berarti menciptakan dunia baru yang adil dan damai,
karena hanya Allah yang me-Raja. Cara yang dipilih Yesus untuk
melaksanakan karya-Nya adalah melakukan gerakan gerakan rakyat dengan
metoda Aktif Tanpa Kekerasan. gerakan gerakan perubahan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya, menuju dunia baru dilakukan dengan kegiatan
politik.
Agar tetap setia menjadi murid Yesus, sampai sekarang saya
bergabung dengan gerakan gerakan ini. Di dunia sudah bergulir gerakan gerakan rakyat
yang mencita-citakan terwujudnya “dunia baru”. gerakan gerakan dunia
dilakukan oleh pribadi dan lembaga atau organisasi pergerakan gerakan yang bergabung
dalam World Social Forum (WSF). gerakan gerakan dunia yang bersemboyan
another world is possible itu berawal dari Puorto Allegre, Brazil, dan
sekarang sudah menyebar ke seluruh dunia guna mengajak semua
orang agar mencita-citakan dunia adil dan damai. gerakan gerakan yang boleh
diikuti oleh siapa saja tanpa diskriminasi ini selalu dibarengi dengan
refl eksi teologi para teolog dunia yang bergabung dalam World Forum
on Theology and Liberation (WFTL).
Saya mengajak semua pengikut Yesus untuk bergabung dalam
gerakan gerakan dunia ini.[
PADA umumnya suatu narasi sejarah tidak dibuat demi dirinya
sendiri. Narasi sejarah dibuat demi tujuan-tujuan tertentu, termasuk
tujuan-tujuan sosial, politis, atau yang lain. Itulah sebabnya hampir
setiap kelompok masyarakat merasa perlu untuk menyampaikan
sejarahnya dari satu generasi ke generasi lain. Sebagaimana dikatakan
oleh Paul Thompson dalam artikel singkat The Voice of the Past, melalui sejarah
masyarakat berusaha memahami apa yang bergerak gerak dan berkembang
di lingkungannya, baik secara sosial, politik, kultural maupun
ekonomi. Suatu narasi sejarah, misalnya, diharapkan dapat membantu
masyarakat semakin menyadari bahwa ternyata peristiwa-peristiwa
yang terjadi di masa lalu itu tidak serta merta berhenti di masa lalu,
melainkan tetap “hidup” dan mempengaruhi gerak dan cara berpikir
masyarakat sekarang ini. Pengaruh itu mungkin akan terus berlanjut
bahkan hingga ke waktu-waktu yang akan datang.6
Dalam menyampaikan narasi sejarah biasanya masyarakat
menggunakan cara tertulis atau cara lisan, meskipun mungkin juga
kombinasi antara keduanya. Sementara cara pertama menggunakan medium atau sarana tulis yang hasilnya bisa dibaca berulang-ulang, cara
kedua mengandalkan penyampaian melalui tuturan langsung tanpa
tulisan. Cara pertama biasanya banyak dipakai oleh masyarakatmasyarakat yang sudah lama mengenal dan terbiasa dengan budaya
tulis-menulis. Sementara itu cara kedua (lisan) bisa dengan mudah
ditemukan dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan budaya
tulis. Bisa juga di antara warga masyarakat yang untuk jangka waktu
yang lama tersisihkan atau terbatas aksesnya terhadap sarana-sarana
pendidikan modern.
Pada gilirannya baik medium tertulis maupun lisan akan bergu na bagi sejarawan dalam melakukan penelitian dan penulisan
sejarah. Dalam penelitian atau penulisannya, seorang sejarawan dapat
menggunakan sumber-sumber tertulis maupun lisan yang datang dari
masyarakat. Bagi para sejarawan, baik sumber-sumber tertulis maupun lisan penting dalam rangka studi dan penelitian sejarah-sebagaiilmu maupun dalam rangka memahami dan menerangkan sejarahseba gai-peristiwa. Dengan demikian, jika dikerjakan dengan baik,
penu lisan sejarah yang dasarnya adalah sumber-sumber lisan (sering
disebut “sejarah lisan” begitu saja), dapat memperkaya tidak hanya
penulisan sejarah itu sendiri, melainkan juga pemahaman akan masa
lalu masyarakat atau bangsa dengan segala dinamikanya.
Makin Kuat
Salah satu keuntungan dari sejarah lisan adalah bahwa melaluinya,
kita dapat memberi “ruang” yang lebih luas kepada orang-orang yang
selama ini tidak mendapat cukup kesempatan untuk menarasikan
sejarahnya, khususnya mereka yang berasal dari kelas bawah, mereka
yang memiliki keterbatasan akses ke publik, maupun mereka yang
terlanjur dianggap “kalah” oleh elemen-elemen tertentu dalam
masyarakat.7
Sekaligus sejarah lisan memberi kesempatan kepada
para sejarawan untuk menyampaikan pesan sosial sejarah dengan cara
mendengarkan dan menarasikan ungkapan hati dan pikiran mereka.
Lebih dari itu, sejarah lisan dapat menjadi semacam alternatif bagi
narasi besar dan resmi yang diproduksi dan direproduksi oleh para
penguasa dan yang untuk jangka waktu yang lama beredar luas serta
dianut oleh sebagian besar warga masyarakat.8
Dengan mengangkat suara-suara dan dari masyarakat di lapisan
bawah yang selama ini kurang terdengar atau bahkan terbungkam,
cakupan penulisan sejarah menjadi lebih luas. Narasi sejarah tak
lagi didominasi oleh suara elite, apalagi elite pemegang kekuasaan,
melainkan terbuka terhadap berbagai pandangan dan dimensi yang
berasal dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam kata-kata Paul
Thompson disebutkan:
By introducing new evidence from the underside, by shifting the focus and
opening new areas of inquiry, by challenging some of the assumptions and
accepted judgements of historians, by bringing recognition to substantial groups
of people who had been ignored, a cumulative process of transformation is set in
motion... History becomes, to put it simply, more democratic.9
Sebagaimana sering terjadi, suatu kekuasaan yang bersifat totaliter
cenderung merepresi ingatan-ingatan yang tidak sejalan dengan
kepentingannya, termasuk ingatan-ingatan yang sifatnya personal,
lokal, dan berasal dari para korban kekuasaan totaliter ini . Apa
yang diinginkan oleh suatu rezim totaliter seperti itu adalah bahwa masyarakat hanya boleh mengingat narasi-narasi yang diizinkan oleh
rezim untuk diingat.10
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa narasi sejarah resmi yang
berasal dari kekuasaan totaliter seperti itu harus disingkirkan begitu
saja. Ada unsur-unsur tertentu dalam narasi sejarah versi penguasa
yang tetap perlu untuk dicermati karena unsur-unsur itu merupakan
cerminan dari suatu realitas atau kepentingan tertentu. Sebagaimana
sekarang makin disadari, setiap “teks” lahir dari “konteks” tertentu.11
Demikian halnya teks-teks sejarah yang lahir dari para penguasa
otoriter.
Itulah sebabnya suatu studi sejarah akan menjadi lebih menarik
jika di dalamnya terkandung narasi-narasi baik yang disampaikan
oleh para penguasa dengan segala kepentingannya, maupun oleh
mereka yang berada di luar kepentingan kekuasaan itu, serta mereka
yang telah menjadi korban dari kepentingan kekuasaan ini .
Dengan memadukan bahan-bahan yang diperoleh secara lisan dari
para korban serta mereka yang berada di luar lingkaran kepentingan
kekuasaan dengan bahan-bahan yang berasal dari mereka yang berada
di dalam lingkaran kekuasaan diharapkan bahwa seorang sejarawan
dapat melakukan rekonstruksi masa lalu secara lebih realistik dan
lebih mendalam. Hal itu penting, mengingat bahwa yang namanya
realitas itu bersifat multidimensional. Melalui sejarah lisan, seorang
sejarawan dapat membantu menunjukkan multidimensionalitas dari
realitas itu.
Dalam kaitan dengan penulisan sejarah lisan yang berasal dari
orang-orang di luar kepentingan kekuasaan, para pemikir besar seperti
E.P. Thompson dan James Hinton sebenarnya merupakan perintis
penulisan sejarah yang tidak bersumber pada elite kekuasaan. Namun
demikian, keduanya masih mendasarkan karya-karya mereka pada
dokumen-dokumen yang ditulis oleh para petugas yang digaji oleh
pemerintah. Bahan-bahan yang mereka dapatkan belum benar-benar
berasal dari hasil perjumpaan dan wawancara langsung dengan rakyat
di lapisan bawah. Sekarang ini makin kuat desakan untuk menulis
sejarah yang melibatkan sumber-sumber yang datang langsung dari
warga masyarakat di lapisan akar rumput, khususnya yang diperoleh
dengan secara langsung menemui dan mewawancarai mereka.
Ingatan
Perlu disadari, suatu proses penulisan sejarah lisan tidak hanya
menguntungkan masyarakat atau pembaca pada umumnya. Proses
penulisan sejarah lisan juga menguntungkan para sejarawan itu sendiri.
Dengan mewawancarai narasumber, misalnya, seorang sejarawan
didorong (baca: diberi kesempatan) untuk menjumpai dan bekerja
sama secara langsung dengan orang lain, sehingga ia tidak hanya
“asyik” bekerja sendirian di ruang tertutup ber-AC yang penuh dengan
dokumen dan artikel singkat -artikel singkat rujukan. Melalui sejarah lisan, seorang
sejarawan mendapat kesempatan untuk memperkaya pengalaman
dalam hal relasi antar manusia (human relationship). Sekaligus dengan
begitu, seorang sejarawan mendapat ruang untuk mendengarkan serta
berbagi pengalaman dan pandangan dengan para narasumber sebagai
sesama manusia (sharing experience on a human level). Artinya, seorang
sejarawan dapat berelasi dengan orang lain bukan dalam konteks relasi
antara seorang peneliti di satu sisi dan seorang terteliti di sisi lain, atau
relasi antara orang yang merasa diri lebih tahu dengan orang lain yang
dianggap kurang tahu, melainkan dalam relasi antar sesama manusia
yang posisinya sejajar, meskipun mungkin memiliki pengalaman dan
pandangan yang berbeda.
Lebih dari itu, wawancara dalam rangka sejarah lisan dapat
mempertemukan orang dari berbagai latar belakang sehingga mereka
bisa berbincang satu sama lain secara langsung. Suatu kesempatan
yang sulit terbangun jikalau tidak dalam rangka kepentingan penulisan
sejarah lisan. Jadi, peneliti mungkin akan sulit untuk bertemu dan
berbincang dengan banyak narasumber jika tanpa proses wawancara.
Melalui wawancara dalam rangka penulisan sejarah lisan, seorang
sejarawan dimungkinkan untuk berjumpa dengan orang-orang lain
yang memiliki nilai-nilai atau pandangan yang berbeda dengan
pandangan yang selama ini telah ia miliki, sehingga ia dapat terbantu
untuk membuka atau memperbaharui cakrawala pandangnya
sendiri.13
Itulah sebabnya seorang sejarawan perlu mengusahakan agar
hubungan yang berlangsung antara dirinya sebagai seorang peneliti
sejarah dan para narasumbernya, serta hubungan antara sejarah dan
masyarakat, tidak merupakan suatu hubungan yang sifatnya linear
atau searah, melainkan hubungan yang bersifat timbal-balik, dinamis,
dialektik dan saling memperkaya. Dengan kata lain, karena menulis
dengan semangat demikian dan menyusun studinya di seputar
manusia-manusia konkret di lapangan, diharapkan bahwa seorang
sejarawan akan dapat membantu manusia-manusia lain agar semakin
menjadi manusia
Catatan demikian itu penting, mengingat bahwa seharusnya
sejarah mampu mendorong seorang sejarawan (atau siapa pun juga)
un tuk secara kritis dan terus-menerus berpikir ulang atas pemahamanpemahaman lamanya akan realitas, sekaligus men dorongnya untuk
secara rutin melakukan perubahan, baik itu perubahan di tingkat
individual, atau itu di tingkat sosial. Ditarik lebih jauh, dengan
menulis sejarah yang melibatkan sumber-sumber yang diperoleh dari
kalangan elite maupun yang didapat secara lisan dari kalangan bawah,
seorang sejarawan mendorong orang lain maupun dirinya sendiri
untuk tidak hanya melakukan renungan tentang dunia, melainkan
untuk “mengubah” dunia.15
Salah satu unsur pokok dalam sejarah lisan tentu saja adalah
apa yang disebut dengan “ingatan” atau memory, khususnya ingatan
yang dimiliki oleh para narasumber yang merupakan subjek penelitian sejarah lisan. Ingatan yang dimiliki oleh para narasumber itu
merupakan bahan utama yang diolah oleh sejarawan agar selanjutnya
menghasilkan suatu narasi sejarah lisan. Namun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa masalah ingatan dalam kaitannya dengan
penelitian dan penulisan sejarah lisan bukanlah masalah yang ringan.
Apalagi jika subjek penelitian dan penulisan itu adalah korban
pelanggaran hak-hak asasi manusia ( HAM) yang ingatannya penuh
dengan ingatan akan praktik-praktik kekerasan yang menimpanya
di masa lalu. Dalam banyak kasus, oleh para korban sejumlah unsur
dari ingatan itu telah direpresi atau bahkan coba “dihapus” dari benak
mereka. Alasannya bisa karena adanya desakan dari luar, bisa juga
karena adanya desakan dari dalam diri orang yang bersangkutan.
Desakan dari diri sendiri itu muncul misalnya karena adanya rasa
takut atau karena faktor-faktor yang lain.
Ruang Relasi
Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, jelaslah bahwa narasi-narasi
sejarah yang ada dalam artikel singkat ini tidak dimaksudkan demi dirinya
sendi ri, melainkan demi tujuan-tujuan tertentu. Salah satunya adalah
membantu masyarakat dalam memahami apa yang bergerak gerak dan
berkembang di sekitarnya, sekaligus menyadari bahwa banyak peristiwa
yang terjadi di masa lalu itu tidak serta merta berhenti pada masa lalu
itu, melainkan tetap “hidup” dan terus memiliki pengaruhnya hingga
sekarang bahkan mungkin hingga ke masa-masa yang akan datang.
Ada banyak narasi disuguhkan dalam artikel singkat ini, dan kebanyakan
sumbernya adalah tuturan lisan dari para narasumbernya. Sebagian
narasi berasal dari mereka yang telah menjadi korban kekerasan dan
pelanggaran HAM di masa lalu, yakni mereka yang menjadi korban
Tragedi ’65. Sebagian lagi berasal dari para saksi, yakni orang-orang
yang bukan merupakan korban dari tragedi ini , meskipun mereka
juga tidak termasuk dalam kalangan para pelaku. Dengan memadukan
bahan-bahan yang diperoleh secara lisan dari kedua kelompok ini
diharapkan artikel singkat ini dapat membantu Anda dan para pembaca
lainnya agar mampu merekonstruksi masa lalu secara lebih realistik
dan lebih lengkap. Sekali lagi, realitas itu multidimensional dan narasi
sejarah yang berasal dari pihak-pihak yang berbeda diharapkan dapat
membantu menangkap multidimensionalitas realitas itu.
Berkaitan dengan ingatan para narasumber sebagaimana telah
kita singgung di atas, kita perlu bersyukur, mengingat bahwa sedikit
banyak para narasumber yang ada dalam artikel singkat ini telah mampu
mengatasi rasa takut seperti itu. Seperti dikatakan oleh Ronnie Hatley,
di sini mereka berani untuk menghadirkan kembali ingatan mereka
mengenai bermacam ketidakadilan dan kekerasan yang mereka alami
di masa lampau. Mereka berani mengalahkan rasa takut itu untuk
kemudian semampu mungkin menyampaikan apa yang dulu pernah
mereka alami. Itulah sebabnya dalam arti tertentu, melalui artikel singkat ini,
Anda diajak untuk “merayakan kemenangan ingatan”. Anda dan para
pembaca lain diajak untuk bersama-sama mensyukuri fakta bahwa
ingatan telah mengalahkan berbagai macam praktik kekerasan dan
pelanggaran HAM yang bentuknya bisa berupa siksaan, hinaan,
tuduhan, penahanan, dan pemenjaraan tanpa alasan yang jelas,
ketidakpastian nasib, ingatan-ingatan palsu yang coba dipaksakan
oleh penguasa, atau bermacam tindak lain yang bersifat represif. Di
sini kita diajak untuk menyaksikan bahwa pada akhirnya ingatan itu
menang. Bahkan lebih dari itu, karena dinarasikan dan ditulis untuk
kalangan lebih luas, Anda diajak untuk terus berharap bahwa ingatan
yang menang itu nantinya akan melahirkan pemikiran-pemikiran
baru, untuk selanjutnya melahirkan bibit-bibit kehidupan baru.
Sudah sejak semula, bagi para narasumber yang ada dalam
artikel singkat ini (khususnya para mantan korban) yang namanya “ingatan”
itu merupakan sesuatu yang sangat penting. Di tengah penderitaan
yang mereka alami waktu itu, mereka tetap mampu bertahan hidup
atau survive karena mereka telah “diselamatkan” oleh ingatan mereka:
ingatan akan orang-orang yang dekat di hati mereka, yang terpaksa
mereka tinggalkan saat mereka ditangkap dan ditahan. Orang-orang
itu bisa orangtua, anak, suami, istri, teman, tetangga, atau yang lain.
Di balik ingatan akan orang-orang itu terkandung sebersit harapan
bahwa jika mereka nanti bisa bebas kembali, mereka akan bisa bertemu
lagi dengan orang-orang yang telah mereka tinggalkan, tetapi yang
tetap “hidup” dalam ingatan mereka itu.
Sebagaimana sering kita sadari, bagi kita pun sebenarnya ingatan
itu juga sangat penting artinya. Ingatan merupakan “alat” yang kita
perlukan untuk memaknai berbagai peristiwa yang kita alami atau
yang berlangsung di sekitar kita. Sekaligus ingatan juga penting bagi
kita untuk memaknai orang-orang yang pernah, sedang dan akan kita
jumpai dalam berbagai peristiwa hidup kita. Dengan kata lain, yang
namanya ingatan pada prinsipnya bersifat relasional. Artinya, ingatan
itu selalu terkait dengan orang lain—atau setidaknya dengan peristiwa
yang kita alami bersama orang lain. Kaitan itu bisa dalam arti kaitan
antar personal, antar kelompok, atau bahkan antar generasi. Mengutip
Passerini:
After all, memory is the tool we have in order to give meaning to our lives, if
we understand it in the sense of an inter-subjective (or inter-human) work that
connects different generations, times, and places.17
Itulah sebabnya kita berharap bahwa ingatan yang mendasari
narasi-narasi dalam artikel singkat ini akan bisa membantu menciptakan
“ruang relasi” yang tidak hanya menyangkut relasi antara pembaca
dengan para narasumber, melainkan juga relasi antara satu kelompok
dengan kelompok lain, antara satu generasi dengan generasi lain.
Misalnya antara generasi mereka yang hidup pada tahun 1960-an
dengan generasi-generasi yang lahir jauh sesudah nya.
Berpikir Kritis
Dalam kaitan dengan sejarah Indonesia, pentingya mengolah ingatan
akan masa lalu itu terasa mendesak, mengingat bahwa sejak pertengahan
1960-an hingga beberapa dekade berikutnya masyarakat berada di
bawah sistem pemerintahan yang totaliter, yang ingin mengontrol
hampir semua aspek kehidupan rakyatnya. Itulah yang terjadi selama
pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Oleh
pemerintah ini tidak hanya kebebasan politik dan ekonomi
rakyat yang mau dikontrolnya, melainkan juga ingatan masyarakat
akan masa lalu atau sejarahnya. Pemerintah rajin mengeluarkan artikel singkat artikel singkat sejarah, tetapi pada saat yang sama dengan keras melarang dan
mengawasi artikel singkat -artikel singkat sejarah yang bertolak dari sudut pandang yang
berbeda, khususnya yang bertolak dari sudut pandang masyarakat.
Persis seperti yang dikatakan oleh Luisia Passerini dalam artikel singkat
Memory and Totaliarianism, totaliatarianisme ternyata tidak hanya
menyangkut bidang politik, melainkan juga bidang-bidang lain,
termasuk mentalitas, bahasa, ekspresi kultural dan ingatan masa silam.
Totalitarianisme menekankan keseragaman, membatasi kebebasan
berekspresi dan mendesakkan pentingnya kegiatan mengulangi dan
meniru.18
Menariknya, bahkan sesudah Orde Baru yang totaliter itu
tumbang pada tahun 1998, upaya kontrol dan dominasi terhadap
ingatan masyarakat akan masa lalu tidak dengan sendirinya berhenti.
Meskipun untuk sementara waktu sempat ada kelonggaran, pelanpelan upaya-upaya totalitarian itu muncul lagi. artikel singkat -artikel singkat sejarah
yang mendukung narasi resmi yang menguntungkan kepentingan
kekuasaan boleh beredar secara leluasa, namun artikel singkat -artikel singkat teks yang
berusaha menolak distorsi-distorsi historis yang ada, dilarang atau
bahkan dibakar.
Berhadapan dengan situasi demikian makin perlulah dilakukan
berbagai penelitian dan penulisan sejarah yang tujuannya lebih luas
daripada sekadar melanggengkan suatu kepentingan kekuasaan
dengan cara mengontrol pikiran masyarakat. Makin mendesak untuk
dilakukan penelitian dan penulisan sejarah yang justru dimaksudkan
untuk mendorong masyarakat berpikir secara lebih kritis; untuk
mampu memahami masa lalu secara lebih menyeluruh; dan untuk
semakin terbuka terhadap suara-suara dari mereka yang selama ini
terbungkam atau tidak terdengar suaranya. Dengan begitu narasi
sejarah tidak akan lagi didominasi oleh narasi sejarah resmi yang
diproduksi dan direproduksi oleh elite kekuasaan, melainkan terbuka
terhadap partisipasi masyarakat seluas mungkin. Di sinilah antara lain
terletak pentingnya penelitian dan penulisan sejarah lisan.
Selanjutnya, bertolak dari gagasan seperti itu pulalah narasi-narasi
yang disuguhkan dalam artikel singkat ini menjadi penting. Melalui artikel singkat ini,
Anda disuguhi narasi-narasi tentang apa yang terjadi di pertengahan
tahun 1960-an, tetapi yang tidak berasal dari elite kekuasaan,
melainkan dari kalangan di luar elite kekuasan, termasuk mereka yang
telah menjadi korban dari elite kekuasaan ini .
Tentu saja narasi-narasi itu tidak harus sepenuhnya diterima.
Tidak perlu semuanya diterima mentah-mentah. Mengingat bahwa
narasi-narasi yang disampaikan dalam artikel singkat ini dasarnya adalah ingatan
personal, sangat mungkin ada hal-hal tertentu yang ditekankan, dan
ada hal-hal lain yang kurang mendapat tekanan; ada peristiwa-peristiwa
tertentu yang diingat, tetapi ada juga yang mungkin terlupakan;
demikian seterusnya. Sangat mungkin pula bahwa saat harus
memaknai pengalaman masa lalu itu para narasumber memberikan
pesan-pesan moral tertentu (moralizing the narrative) yang dasarnya
adalah pandangan atau penilaian pribadi yang sangat subjektif.
Semua itu tentu wajar, mengingat bahwa yang diinginkan
dari paparan atas narasi-narasi yang ada dalam artikel singkat ini bukanlah
munculnya sikap hitam-putih untuk menerima atau menolak, untuk
mendukung atau melawan. Yang diharapkan adalah kesadaran bahwa
entah kita menerima atau menolaknya, hendaknya narasi-narasi
yang ada di sini akan bisa merangsang kita untuk berpikir kritis dan
selanjutnya mendorong kita untuk menyampaikan narasi-narasi kita
sendiri.
Ternyata Tidak Sesuai
Dengan bertumpu pada pengertian di atas, diharapkan kita akan bisa
melihat secara lebih utuh sejarah seputar Tragedi Kemanusiaan 1965,
serta bagaimana selama ini sejarah tentang tragedi itu dinarasikan dan
dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini penting mengingat
bahwa, sebagaimana telah kita singgung, untuk jangka waktu yang
lama—tepatnya selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru—
narasi yang secara dominan beredar di masyarakat adalah narasi
yang diproduksi pemerintah ini guna menunjang kepentingankepentingannya sendiri. Sementara itu narasi yang berasal dari
masyarakat—khususnya mereka yang dianggap “kalah” dan karena
itu dianggap “bersalah”—jarang kita dengar.
Seperti banyak diketahui, menurut narasi resmi Orde Baru apa
yang terjadi adalah sebuah proses linear sebab-akibat yang terkesan
kronologis, masuk akal, dan sepertinya bisa diterima begitu saja.
Dikatakan misalnya, pada tanggal 1 Oktober 1965 tujuh orang
Jenderal diculik dan dibunuh oleh gerakan gerakan Tiga Puluh September
yang dimotori oleh sebuah partai politik, dalam hal ini Partai Komunis
Indonesia ( PKI). sesudah penculikan dan pembunuhan itu mayat para
Jenderal dibawa ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Di sana,
masih menurut narasi ini , mayat para korban disayat-sayat oleh
sejumlah perempuan lesbian anggota sebuah organisasi pergerakan gerakan perempuan lesbian bernama
“ gerakan gerakan Wanita Indonesia” yang sangat keji dan berada di luar batasbatas kemanusiaan. Para perempuan lesbian itu “menyilet-nyilet” mayat para
korban sambil menari-nari secara erotis dalam sebuah tarian ritual
yang katanya disebut “tari harum bunga”. sesudah itu mayat para
korban dimasukkan ke dalam sebuah lobang sumur, yakni di “lubang
buaya”.19
Narasi resmi yang coba dibangun saat itu dicari dukungannya
lewat media massa. Melalui koran Angkatan Bersendjata (yang dekat
dengan para penguasa militer saat itu) edisi 11 Oktober 1965, misalnya,
dikatakan bahwa mata para korban penculikan itu “dicongkel”
dengan alat tertentu, sementara kemaluan mereka dipotong-potong.
Disampaikan melalui harian ini : “... sukarelawan-sukarelawan
Gerwani telah bermain-main dengan para Jenderal, dengan
menggosok-gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri...” Pada
hari berikutnya 12 Oktober 1965, melalui koran Duta Masyarakat,
yang dimiliki oleh lembaga keagamaan tertentu, dikatakan: “...
menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menarinari telanjang di depan korban-korban mereka.”20 Tidak diterangkan
siapa dan bagaimana identitas “sumber yang dapat dipercaya” itu.
Masih menurut narasi para (calon) penguasa saat itu, karena
kekejaman-kekejaman seperti itu, akhirnya rakyat marah dan
melakukan balas dendam kepada para anggota PKI di seluruh
Indonesia. Ada ribuan orang tewas dalam tindak balas dendam yang
berwujud pembunuhan massal ini, tetapi menurut narasi ini
hal itu merupakan tindakan yang sudah sewajarnya, sebab prinsip
yang berlaku waktu itu adalah “membunuh atau dibunuh”. Artinya,
kalau seseorang tidak membunuh anggota PKI, merekalah yang akan
dibunuh oleh PKI. sesudah pembunuhan selesai, rezim penguasa negeri
yang baru, yakni pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal
Soeharto, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan
kepada orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI yang masih
hidup. Mereka ini ditahan di penjara-penjara lokal maupun nasional.
Banyak perempuan lesbian anggota Gerwani juga ditahan dan dipenjara.
Selanjutnya, mengingat bahwa orang-orang yang ditahan itu
menurut narasi para penguasa waktu itu merupakan anggota PKI,
sedang PKI merupakan “pengkhianat” negara, maka sesudah keluar dari
penjara pun mereka harus tetap diawasi, dicurigai, dilabeli dengan capcap negatif tertentu, dan kalau perlu terus dipersulit dan dikucilkan.
Kartu Tanda Pengenal (KTP) mereka pun perlu diberi kode khusus
“ ET”, singkatan dari “Eks Tapol”. Kode itu dibutuhkan oleh rezim
Orde Baru untuk menunjukkan bahwa pemegangnya merupakan
mantan Tahanan Politik, dan oleh karena itu harus diawasi secara
khusus. Selama pemerintahannya, para penguasa Orde Baru di satu
pihak mengklaim diri bahwa mereka telah “sukses” menghancurkan
PKI sampai ke akar-akarnya (caranya antara lain adalah dengan tindak
pembunuhan dan pemenjaraan massal itu tadi), namun di lain pihak
menyatakan kepada rakyat untuk selalu waspada karena menurut
mereka bahaya PKI “tetap ada” dan merupakan “bahaya laten” bagi
bangsa Indonesia. Kontradiktif, memang.
Tanpa harus mengatakan paparan macam itu benar atau salah,
terhadap narasi seperti itu ada sejumlah hal yang kiranya bisa (dan
patut) dikaji lebih lanjut, mungkin bahkan dipertanyakan kembali.
Misalnya, berkaitan dengan masih belum jelasnya siapa sebenarnya
orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap gerakan gerakan
Tiga Puluh September. Bagaimana dengan kenyataan bahwa ketiga
pemimpin gerakan gerakan Tiga Puluh September—yakni Letnan Kolonel
Untung, Kolonel Abdul Latief, dan Brigadir Jenderal Soepardjo—
adalah personil militer dan tidak pernah secara resmi menjadi anggota
partai politik mana pun? Bagaimana dengan kesaksian Letnan Kolonel
Abdul Latief sebagai salah seorang pemimpin gerakan gerakan Tiga Puluh
September bahwa ia telah memberi laporan kepada Jenderal Soeharto
tentang rencana-rencana gerakan gerakan Tiga Puluh September yang turut ia
pimpin sebelum penculikan para Jenderal terjadi?21
Mengapa pula meskipun tahu bahwa di ibukota Jakarta akan
terjadi peristiwa besar, Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai
Pangkostrad tidak melapor kepada pimpinannya, yakni Jendral A.
Yani atau kepada Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI yakni
Presiden Sukarno? Bagaimana dengan kemungkinan bahwa konteks
internasional, khususnya dinamika Perang Dingin, turut menjadi
latar belakang terjadinya Tragedi ’65? Bagaimana pula dengan laporan
tentang “penyayat-nyayatan” dengan silet atas jenasah para korban
yang ternyata tidak sesuai dengan hasil visum et repertum yang dicatat
dan dilaporkan oleh tim dokter resmi dari Universitas Indonesia
yang ditugaskan untuk melakukan otopsi? Padahal pemberitaan dan
narasi resmi tentang penyayat-nyayatan jenasah para korban itu telah
terlanjur menjadi penyulut bagi terjadinya histeria pembunuhan dan
pemenjaraan massal 1965.22
Ruang Belajar yang Terbuka
Sebagaimana kita tahu, tentang apa yang terjadi pada tahun 1965
sebenarnya ada dua peristiwa yang tak terpisahkan namun dapat
dibedakan. Peristiwa pertama adalah peristiwa penculikan dan
pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di
Jakarta. Peristiwa kedua adalah peristiwa pembantaian massal yang
mulai terjadi di Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965,
yang berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada
bulan Desember 1965 di Bali. Dalam peristiwa pertama korbannya
adalah tujuh perwira tinggi militer yang semuanya tinggal di Jakarta.
Dalam peristiwa kedua korbannya adalah ratusan ribu warga sipil
yang tinggalnya tersebar di berbagai tempat di tanah air.23 Ada sekitar
tiga minggu jarak antara terjadinya peristiwa pertama dan terjadinya
peristiwa kedua.
Jika narasi resmi para penguasa pada waktu itu banyak memberi
keterangan mengenai peristiwa 1 Oktober 1965 (yakni peristiwa
perta ma), bagaimana dengan narasi atau keterangan tentang apa yang
terjadi sejak pekan ketiga bulan Oktober 1965 (yakni peristiwa kedua)?
Padahal peristiwa kedua ini korbannya tidak sedikit, yakni setengah
juta nyawa rakyat Indonesia. Belum jelas diterangkan misalnya, jika
pembunuhan massal itu merupakan tindakan “balas dendam spontan”
masyarakat atas apa yang terjadi di Jakarta serta (konon) atas “penyayatnyayatan” tubuh para korban di kompleks Bandar Udara Halim
Perdanakusuma, mengapa pembunuhan massal ini terjadinya
secara bergelombang? Pada bulan Oktober 1965 pembunuhan terjadi
di Jawa Tengah, pada bulan November di Jawa Timur, dan baru pada
bulan Desember terjadi di Bali. Mengapa pula di Jawa Barat justru
tidak terjadi pembantaian massal? Padahal geografi s Jawa Barat jauh
lebih dekat dengan ibukota Jakarta daripada daerah-daerah lain.
Perlu dijawab pula pertanyaan mengenai bagaimana dengan para
korban di berbagai tempat di Indonesia yang ditangkap dan dipenjara,
tetapi tanpa terlebih dahulu dibuktikan salah atau benarnya di
pengadilan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia
sebagai negara hukum. Jika yang bersalah adalah Partai Komunis
Indonesia, mengapa banyak pendukung Presiden Sukarno ikut
ditangkap dan ditahan? Lihat, misalnya para menteri yang ditangkapi
pada tanggal 18 Maret 1966 atas perintah Jenderal Soeharto. Mereka
ini adalah para menteri negara dan bukan