prahara 1965. 1
By tuna at November 29, 2023
prahara 1965 1
nyi tribuanatunggadewi suhartini berasal dari keraton yogya . sesudah lulus dari Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) ia melanjutkan studi banding di Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri keraton yogya . Di luar kampus, ia
aktif dalam berbagai kegiatan remaja muda , seperti Ikatan Pemuda dan
Pelajar Indonesia (IPPI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI).
Suatu saat , ia ditangkap begitu saja. sesudah ditahan selama 4
(empat) bulan terbukti bahwa ia tidak bersalah. Ia pun dibebaskan.
Namun demikian, seperti telah kita singgung di bagian Pendahuluan
artikel singkat ini, nyi tribuanatunggadewi suhartini (nama samaran untuk narasumber kita
berikut) ditangkap lagi meskipun juga tidak jelas alasannya. Oleh para
penangkapnya, ia dihina dan disiksa dengan cara-cara yang sangat amoral
dan di luar batas-batas kemanusiaan. Dengan sekuat tenaga suhartini
bertahan hidup.
Meskipun tidak terbukti bersalah, ia tetap ditahan bahkan dipindah
dari satu penjara ke penjara lain. Ia harus berpindah-pindah selama lima
kali, sebelum akhirnya selama bertahun-tahun dimasukkan ke penjaraperempuan lesbian Blatungan , Jawa Tengah. Di penjara Blatungan ini ia menyaksikan bagaimana para Tahanan Politik perempuan lesbian diperlakukan
oleh para penjaga. Ia juga melihat bagaimana di Blatungan banyak
bayi tak ber-ayah, akibat perbuatan para petugas.
saat berefl eksi tentang Tragedi ’65 suhartini ingin supaya
penderitaan para korban tragedi ini tidak dibiarkan “mandeg” atau
berhenti begitu saja. Ia ingin supaya mereka itu terus didorong biar selalu
bergerak gerak , biar terus mengalir bagaikan air, biar bisa menjadi sumber
inspirasi bagi bangsa Indonesia agar menjadi lebih baik dan lebih saling
menghormati. Dalam kaitan dengan ini, kiranya salah satu ungkapan
suhartini , yakni “Biarkan air tetap mengalir”, perlu digarisbawahi.
Dengan ungkapan seperti itu, tampaknya ia berharap bahwa bangsa ini
tidak bersikap anti-perbedaan—mungkin karena dia sadar, ini bangsa
yang majemuk—melainkan bersikap hormat terhadap setiap perbedaan
dan keragaman. Lebih jauh ia berharap supaya perbedaan yang ada
tidak disikapi dengan kekerasan fi sik, apalagi model kekerasan seperti
Tragedi ‘65.
suhartini adalah salah satu tokoh dalam fi lm dokumenter berjudul
“perempuan lesbian Yang Tertuduh” karya Putu Oka Sukanta. Dalam fi lm itu
ia secara apa adanya menceritakan berbagai hal yang ia alami berkaitan
dengan Tragedi ‘65. Ia kemudian melakukan analisis dan pemaknaan
atas apa yang ia alami itu, untuk selanjutnya melontarkan sejumlah
harapan atas pengalaman pahitnya menjadi korban ketidak- adilan
bangsanya.
***
SEBELUM terjadinya Tragedi ’65, saya adalah anggota IPPI, yakni
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, sebuah organisasi pergerakan gerakan remaja muda .
sesudah lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), saya melanjutkan
studi banding di IKIP keraton yogya . sesudah studi banding , saya bergabung dengan
PMKRI. Bulan Desember 1965, saya diambil secara paksa dan saya
dibawa ke Camp [militer] Cebongan, keraton yogya . Saya ditahan di sana
kurang lebih selama 4 bulan, dengan tuduhan saya adalah anggota
gerakan gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Dikatakan bahwa di tubuh
setiap anggota Gerwani, khususnya di pahanya, termasuk saya, ada cap
Gerwani-nya. Tetapi ternyata tuduhan itu sama sekali tidak terbukti.
Saya lalu dibebaskan. Saya pun diberi surat pembebasan.
Hanya Boleh Bermimpi
sesudah bebas, saya kembali melanjutkan studi di bangku studi banding dan
mencari kerja. Puji Tuhan, saya diterima menjadi Guru Sekolah Dasar
(SD). Waktu itu saya merasa bahagia karena biarpun capai atau lelah
saya tetap bisa membagi waktu dengan baik antara studi dan kerja.
Hal ini bisa terjadi antara lain karena adanya saling pengertian antara
teman-teman guru dan teman-teman studi banding saya. Dengan rela hati,
mereka membantu saya. Kalau kebetulan ada jadwal studi banding dan jadwal
mengajar dalam waktu bersamaan, mereka membantu mencari jalan
keluarnya.
Apa boleh buat, dalam tempo kurang lebih dua tahun semua yang
baik itu tiba-tiba berubah. Pada tahun 1968, saya kembali diambil
paksa untuk kedua kalinya. Saya dijemput di luar kemauan saya di
rumah kost saya pada kurang lebih pukul 02.00 dini hari. Tentu saja
saya merasa kaget dan bingung. Saya ditanya tentang nama seseorang
yang tidak saya kenal. Karena saya mengatakan bahwa saya tidak tahu,
dan saya memang tidak kenal, saya lalu disiksa. Anehnya, alasan yang
dipakai untuk menangkap saya kali ini adalah justru karena adanya
surat pembebasan saya sesudah saya ditahan secara keliru dulu itu.
Saya dipukuli dan ditelanjangi. Bulu kemaluan dan rambut
kepala saya dibakar. Saya hanya bisa menjerit dan menyebut nama Tuhan. Kemudian saya dibawa ke kantor Corps Polisi Militer [CPM].
Di sana, saya dimasukkan ke dalam sebuah sel. Tangan saya diborgol.
Saya dicampur dengan tahanan laki-laki yang sudah terlebih dahulu
berada di situ. Setiap saya diperiksa saya selalu dipertemukan dengan
orang-orang tangkapan baru. Saya selalu ditanya apakah saya kenal
dengan mereka. Tentu saja saya katakan saya tidak tahu, karena
memang tidak mengenal mereka.
Bagaimana mungkin saya bisa mengenal mereka, mengingat saya
sama sekali tidak tahu-menahu tentang gerakan gerakan politik, apalagi yang
disebut sebagai “gerilya politik”? Waktu itu kegiatan mengajar dan
studi banding sambil mengurus adik-adik saja sudah membuat saya repot.
Bagaimana bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Apalagi waktu
itu saya juga masih harus selalu mengirim makanan untuk Bapak saya,
karena Bapak saya sedang ditahan. Semua kegiatan itu sudah benarbenar menguras energi saya.
Saya sering diperiksa dan sering ditelanjangi. Pernah saya
diposisikan berpangkuan dengan seorang Tahanan Politik ( Tapol)
laki-laki. Dalam keadaan telanjang, saya dipegangi dan disuruh
menciumi kemaluan semua petugas yang memeriksa pada waktu itu.
Terakhir saya ditelanjangi lalu ditengkurapkan untuk diinjak-injak
sambil rambut saya digunduli. Saya sering tidak sadarkan diri. Tahutahu sudah berada di kamar tahanan. Selama 8 bulan saya mengalami
stress berat. Namun demikian, berkat nasihat dan perawatan ibu-ibu
tapol yang lain saya bisa bertahan hidup.
Saya menyadari, memang beginilah nasib seorang Tapol. Hanya
berkat belas kasihan Tuhanlah, saya bisa kuat menjalani kehidupan yang
luar biasa keji dan tak mengenal peri kemanusiaan ini. Padahal para
pelaku kekejian di luar kemanusiaan itu sering gembar-gembor, sering
berteriak-teriak untuk menyatakan diri sebagai “insan Pancasilais”
atau sebagai orang-orang religius dan moralis. Pada kenyataannya,
benarkah mereka itu memegang nilai-nilai moral-keagamaan? Kalau
benar demikian, mengapa para aparat kekuasaan itu justru bejat moralnya? Mengapa mereka bersifat serakah dan haus akan darah orangorang yang tak berdosa? Aku sulit mengerti kenapa bangsaku bisa
men jadi seperti ini.
Dulu aku selalu merasa bangga atas bangsa dan negaraku ini yang
rukun, yang damai, yang cinta kemerdekaan. Karena aku lahir di masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dalam diriku tertanam
erat dan kuat rasa bela-negara. Aku adalah seorang pengagum Bung
Karno yang selalu mencanangkan kepada segenap pemuda, “Jadilah
ka der bangsa!”; “Jangan jadi pemuda tempe!”; “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!”; atau, “Di tanganmulah terletak jayanya negerimu yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah
kang sarwa tinuku!”102. Waktu itu bangsa kita tidak pernah menjadi
bangsa pengemis. Kita adalah bangsa yang berdikari [berdiri di atas
kaki sendiri], yang anti terhadap penjajahan dan anti terhadap segala
bentuk eksploitasi, baik eksploitasi yang dilakukan oleh para kapitalis,
oleh para imperialis maupun oleh para neo-kolonialis beserta antekantek mereka.
Sayang sekali cita-citaku itu hanya menjadi kenangan sejarah. Itu
pun sejarah yang telah dibelokkan. Sementara itu, bangsaku mengalami kemunduran dalam berbagai macam hal. Kemerdekaan menjadi
jauh dari kehidupan rakyat kecil. Mungkin para penguasa masih bisa
berbicara tentang apa itu kemerdekaan. Tetapi orang kecil seperti aku
hanya boleh bermimpi saja. Dan mungkin mimpi akan kemerdekaan
itu hanya akan terwujud di bumi pertiwi ini kalau aku bisa hidup 100
tahun lagi.
Ingin Tertawa
Selama ditahan aku mengalami 5 kali pemindahan. Pada tahun 1971,
aku dipindahkan ke Semarang. Tak lama kemudian, aku dipindahkan
ke penjara Blatungan , Jawa Tengah.103 Di sana, saya ditahan selama
satu tahun. Dari Blatungan aku dipindahkan lagi ke Penjara Bulu,
Semarang. Seperti Blatungan , penjara ini merupakan penjara khusus
untuk perempuan lesbian . Ada 44 orang lain yang bersama saya dipindahkan
dari penjara Blatungan ke Penjara Bulu. Menurut para penguasa,
alasan kami dipindahkan adalah karena kami 45 orang ini “sudah tidak bisa dibina lagi”.
Berbicara masalah bina-membina, siapa sebenarnya yang perlu
membina dan siapa yang perlu dibina kalau petugas-petugas militer
itu kerjanya cuma melakukan pelanggaran seks terselubung sehingga
lahir bayi-bayi tak ber-ayah di Blatungan . Di Blatungan memang
tidak terjadi pemeriksaan dengan menggunakan cara-cara kekerasan
atau siksaan fi sik, tetapi hal itu bukan berarti tidak ada pelanggaranpelanggaran berupa pelanggaran-pelanggaran psikis. Misalnya saja,
kami harus mengakui sesuatu yang tidak pernah kami lakukan.
Atau, hanya demi kepentingan aparat kami harus mengatakan
sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kami lihat. Ya wajarlah kiranya
kalau Blatungan dikatakan sebagai “ Pulau Buru”-nya para Tapol
perempuan lesbian . Kapan dan di mana ada penjara yang membuat tentram,
nyaman, damai bagi mereka yang terpenjara? Mungkin hanya di fi lm-
fi lm sinetron.
Penjara Bulu, Semarang, merupakan tempat penjara khusus
perempuan lesbian dan mayoritas penjaganya adalah perempuan lesbian . Hal ini
tentu saja ada segi positifnya. Di sana tidak ada lagi pemerkosaan
yang dilakukan oleh oknum-oknum militer laki-laki, sehingga kami
bisa merasa lega. Kami terlepas dari rasa takut dihamili. Tinggal satu
kebiasaan yang masih diwajibkan di Penjara Bulu, yakni “Santiaji”.
Ini merupakan kegiatan indoktrinasi. Kami disuruh mendengarkan
ceramah yang variatif dan kreatif, tetapi yang intinya semacam seruan
“bertobatlah dari hidup sebagai seorang pemberontak, pelacur, atheis
dan perusak rumah tangga orang.” Kalau sudah seperti itu rasanya jadi
geli, dan hati ini ingin tertawa sepuas-puasnya. Tetapi mana mungkin
bisa tertawa seperti itu? Paling-paling ya hanya bisa tertawa dalam
hati. Dasar penguasa! Mereka bisa omong apa saja. Tak usah mereka
repot-repot keluar uang untuk bisa omong seperti itu. Mereka justru
dibayar untuk ngomong.
Mulai Dibebaskan
Untunglah, suatu saat datang Tim Amnesty International. Kebanyakan anggota tim itu bertanya dalam bahasa asing, dan dari ibu-ibu yang
bisa berbahasa asing diperbolehkan menjawab sesuai dengan bahasa
yang mereka kuasai. Ada yang menggunakan bahasa Jerman, ada
yang bahasa Belanda, bahasa Inggris, Prancis, dan sebagainya. Bahkan
dari ibu-ibu Tapol ada yang bisa berbahasa Jepang dan bahasa Rusia.
Sementara itu, dari antara para petugas tidak ada satu pun yang bisa
berbahasa asing. Akibatnya, mereka tidak tahu saat kepada Tim
Amnesty International itu kami membuka rahasia bagaimana para
penguasa memperlakukan kami para Tapol di Penjara Blatungan .
Kami katakan baik Tapol perempuan lesbian yang sudah tua maupun yang
masih muda semua mendapat porsi penderitaan masing-masing.
Dari hasil pembicaraan dengan tim itu, kini diketahui bahwa
kami ibu-ibu diperlakuan secara tidak manusiawi. Di mata para
penguasa seakan-akan kami ini jauh lebih tidak berharga daripada
sampah yang masih bisa didaur ulang ataupun dijadikan pupuk
keti ka sudah membusuk. Kami dipandang sebagai penyakit yang
mema tikan, yang menular seperti virus yang sangat membahayakan
buat bangsa dan negara. Alasan kami diperlakukan demikian adalah
karena kami ibu-ibu ini dituduh “komunis”. Padahal sesungguhnya,
kami ini tidak mengerti bagaimana kami bisa dinyatakan sebagai
komunis, mengingat sebagian besar dari kami sama sekali tidak tahumenahu tentang “A-B-C”-nya politik. Kami dituduh komunis, tetapi
membaca teorinya Marx-pun kami, setidaknya saya, belum pernah.
Tetapi memang [Presiden] Soeharto telah berhasil dengan gemilang
menancapkan kuku-kuku macan-nya dan mencuci otak bangsa
Indonesia, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang penakut,
bangsa pengemis, pengecut, munafi k dan tak bermartabat. Prinsipnya
silakan melakukan semuanya saja, asal bapak senang. Soeharto takut
kalau rakyat menjadi pandai, cerdas, dan kritis. Mengapa, karena kalau rakyat menjadi pandai, cerdas dan kritis, apalagi menjadi berani,
hal itu akan berbahaya bagi kekuasaan yang sedang dibangunnya. Tak
lama sesudah kedatangan Tim Amnesty International itu ibu-ibu Tapol
mulai dibebaskan. Aku sendiri dibebaskan pada tanggal 27 September
1978.
Mudah Diperbudak
sesudah bebas, aku menikah dan punya anak 2 orang. Yang besar
perempuan lesbian dan yang kecil laki-laki. Aku menjalani kehidupan yang
wajar sebagai mantan Tapol dengan kondisi sosial yang menantang.
Bagaimana tidak. Saya harus menyandang stigma yang begitu gelap,
yang begitu lekat-erat dalam pikiran masyarakat, yakni stigma sebagai
eks- Tapol.
Inilah jalan hidupku. Aku harus hidup dalam kondisi masyarakat
yang secara struktural tidak memberi ruang buat para mantan Tapol.
Meskipun demikian, aku tetap optimis. Tuhan itu Maha Kasih kepada
setiap ciptaan-Nya. Oleh karena itu, aku pasti akan diberi solusi dalam
keadaan bagaimanapun.
Kini aku tak perlu menangisi hidup. Sekarang ini bukan waktunya
untuk berpangku tangan, melainkan untuk kerja dan kerja. Aku
mulai membuka warung dengan modal semua perhiasan hadiah dari
adik-adikku. Bahkan cincin kawin pun aku lepas untuk modal usaha.
Berkat Tuhan, usahaku sukses dan suami pun juga demikian. Apa pun
aku lakukan demi merebut kembali kehidupan.
Anak-anak kupersiapkan sejak dini. Kepada mereka, aku ajarkan
bagaimana kita harus menyikapi kehidupan. Aku berjualan kue dan
makanan gorengan. sesudah ada tambahan modal, aku juga mulai
menerima pesanan jamu. Di samping warung sembilan bahan pokok
rumah-tangga [sembako] yang siap-antar, aku mencoba membuka
pangkalan minyak tanah. Aku merangkap beberapa pekerjaan sambil
mengajari anakku yang relatif masih begitu kecil agar tak segan
bekerja keras. Kuajarkan, kerja keras merupakan suatu keharusan
untuk mempersiapkan biaya pendidikan mereka. Mereka aku gaji,
dan dengan gaji itu mereka aku suruh ambil les bahasa Inggris biar
nanti tidak menjadi orang bodoh seperti Bapak-Ibu mereka.
Ada bermacam suara komentar yang datang dari tetangga. Saya
dibilang ngangsa [memaksa diri terlalu keras], tidak merasa kasihan
terha dap anak, dan sebagainya. Tetapi bodoh amat. Semua itu tidak
saya pikirkan.
Kebetulan anak-anak memang sadar akan posisi mereka sebagai
anggota keluarga mantan Tapol. Mereka harus berjuang untuk menata
hari depan. Bagi mereka, semua pekerjaan adalah mulia di hadapan
Tuhan. Mereka tidak malu menjadi loper-loper kecil membawa
minyak, gula, dan seterusnya, guna membantu orangtua.
Tentu saja, aku harus terlebih dulu membanting tulang siang
malam. Entah itu sedang hujan, atau petir sedang bernyala-nyala,
atau apa pun, minyak pasti sampai ke pelanggan. Puji Tuhan seiring
dengan berjalannya waktu semuanya dapat dikatakan lancar. Aku
pun lalu ingat kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Dulu terasa
berat, tapi semuanya kini berjalan dengan baik.
Nah, saat anak-anakku sudah mulai bisa mandiri dengan
dunia masing-masing, aku pun mulai berpikir, kenapa aku harus
tetap membisu. Aku mulai kembali merenungkan nasib sesamaku,
yakni orang-orang yang sama-sama disingkirkan seperti diriku. Aku
putuskan untuk mulai bicara tentang kebohongan-kebohongan
yang telah menyesatkan bangsa ini. Hal itu ingin kulakukan supaya
kejahatan bangsaku terhadap bangsanya sendiri tidak akan terulang
lagi di waktu-waktu mendatang.
Cukup sudah potret buram bangsa dan negara tercinta ini di
masa silam. Aku ingin melihat bumi tercinta damai dan sejahtera, di
mana hukum ditegakkan dan keadilan diwujudkan. Aku ingin melihat
bahwa semua anak bangsa bisa menjadi cerdas dan bermartabat. Aku
sadar, hal ini memang tidak akan mudah untuk diwujudkan, tetapi
menurutku hal itu merupakan suatu keharusan.
Jeritan kaumku yang terbelenggu selalu terngiang di telinga. Sikap
dan keinginanku yang demikian itu tentu banyak menuai sikap pro
dan kontra, tetapi menurutku itu merupakan hal yang biasa. Perbedaan
itu diperlukan. Semua perlu waktu dan tak usah dipaksakan. Biarkan
air tetap mengalir.
Kini secara realistis dan jujur, bangsaku belum mau mengakui
bahwa dulu pernah keliru. Apalagi berpikir untuk minta maaf dan
memberikan kembali kepada korban hak-haknya yang selama puluhan
tahun sudah dirampas. Tak mungkin para penguasa menanggalkan
keangkuhannya. Apalagi secara sukarela. Hanya Yesus yang rela
mengham pakan diri-Nya demi orang-orang yang berdosa. Tapi itu
Yesus, Tuhan. Para pemimpin negara dan aparat pemerintah adalah
manusia yang lemah yang mudah diperbudak oleh setan-setan yang
menyatakan kehadiran dengan keserakahan dan kerakusan.
Tak Lelah Berharap
Aku mengharapkan dunia internasional bisa meringankan beban
para korban Tragedi ’65 baik secara fi nansial maupun spiritual. Bagi
yang berusia 60 tahun ke atas tolong beri kami bantuan biaya hidup.
Biar saja orang menilai aku sebagai orang yang berjiwa pengemis.
Aku tidak malu demi saudara-saudaraku yang selama hidupnya telah
disengsarakan oleh para pemimpin negaranya.
Demikian juga bagi anak-cucu korban, tolong bantu mereka
dengan lapangan kerja dan pendidikan. Nah, nanti kalau kondisi
dan situasi bangsa sudah membaik dan kami mengalami perlakuan
yang manusiawi, tentu semuanya akan mengetahui kalau kami sudah
dimanusiakan kembali. Apalagi yang kami cari selain amal dan bakti
sebagai bekal di kehidupan abadi nanti. Demikian nasihat atau fatwa
dari para ulama, para rohaniwan yang begitu syahdu di telinga, tetapi
begitu sulit dihadir-tampakkan oleh siapa pun. Di usia senja ini kami
para korban Tragedi ’65 tak pernah lelah berharap dan mengandalkan
kemurahan Tuhan. Mari, silakan menjadi tangan-tangan kepanjangan
tangan Tuhan yang penuh kasih.
Sebagaimana tampak dalam narasi-narasi para saksi maupun korban
dalam dua bagian di depan, salah satu dimensi penting dalam Tragedi
’65 adalah dimensi keagamaan. Selain bahwa banyak saksi dan korban
tragedi ini melihat apa yang mereka saksikan atau alami itu
dari perspektif religius, tampak juga bahwa terdapat kaitan antara
kemelut tahun 1965 itu dengan lembaga-lembaga keagamaan yang
ada. Sebagaimana kita tahu, salah satu unsur yang mendorong histeria
pembunuhan dan penangkapan massal waktu itu adalah tuduhan
bahwa para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia itu
atheis. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur
maupun beberapa tempat lain unsur itu kuat terasa.
Berkaitan dengan apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 itu
pula lembaga-lembaga keagamaan memiliki pandangan dan sikap
yang ber agam. Ada yang sepenuhnya mendukung tindakan militer
dan sosial yang ada waktu itu, ada yang menentang, tetapi ada juga
yang pandangan dan sikapnya merupakan kombinasi antara keduanya.
Dalam banyak kasus, terdapat keberagaman juga dalam hal sikap resmi
dan tindakan konkret di lapangan berhadapan dengan gelombang
kekerasan yang massif waktu itu.
Dalam bagian berikut ini Anda akan diajak mengikuti hasil
penelitian atas sikap sebuah lembaga keagamaan, dalam hal ini agama Katolik, berkaitan dengan tragedi kemanusiaan ini . Yang
ingin dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap resmi
kepemimpinan agama Katolik, khususnya di wilayah keraton yogya ,
terhadap dinamika politik dan berbagai kekerasan yang berlangsung,
serta bagaimana sikap dan tindakan orang-orang Katolik di luar
kepemimpinan resmi Gereja.
Penelitian beserta laporan itu dilakukan oleh dua orang
peneliti dari generasi yang tumbuh sesudah Tragedi ’65. Keduanya
bukan merupakan saksi tetapi juga bukan merupakan korban dari
tragedi ini . Dengan posisi itu diharapkan bahwa apa yang
mereka sampaikan dapat menambah perspektif dan wawasan dalam
memandang Tragedi ’65 selain yang telah diberikan oleh para saksi
maupun korban
saat mulai pada paruh kedua tahun 1965 terjadi kekerasan massal
terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia banyak pemimpin
agama mengalami dilema moral. Mereka sadar, pada satu sisi, mereka
yang menjadi korban itu adalah orang-orang yang diyakini bertentangan
dengan keyakinan dan kaidah agama. Di lain pihak, bagaimanapun juga
para korban itu (beserta sanak keluarganya) adalah manusia-manusia
biasa, yang seperti kita semua perlu diperlakukan sebagaimana layaknya
manusia. Mereka tidak boleh menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan
secara semena-mena dan massif sebagaimana yang terjadi waktu itu.
Setidaknya itulah salah satu pergulatan yang, menurut laporan
penelitian berikut, muncul dalam Gereja Katolik sebagai salah satu
lembaga keagamaan, khususnya di wilayah keraton yogya dan sekitarnya.
Penelitian ini melihat bahwa memang berkaitan dengan Tragedi ’65 Gereja
Katolik (setidaknya dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang) telah
memiliki kebijakan umum untuk melawan tindakan kekerasan. Namun
demikian, belum banyak studi atau penelitian dilakukan untuk melihat
bagaimana kebijakan itu diimplementasikan di tingkat masyarakat, baik
saat tragedi itu sedang berlangsung maupun sesudah tragedi itu mereda
pada tahun-tahun sesudah nya. Sebagaimana dikatakan oleh dua peneliti
yang sekaligus penulisnya,”studi ini bermaksud mendalami tataran proses
sosial dari pengalaman, sikap dan tindakan orang-orang Katolik dalam
melewati tragedi ini , baik yang dilakukan oleh pejabat Gereja
maupun oleh umatnya.”
Penelitian dan penulisan dilakukan oleh dua orang anggota Komisi
Sejarah PUSdEP, yakni Y. Tri Subagya, M.A. dan Dr. G. Budi
Subanar, SJ. Selain merupakan anggota Komisi Sejarah Y. Tri Subagya
adalah juga staff PUSdEP dan mahasiswa program doktor Universitas
Radbod, Nijmegen, Belanda. G. Budi Subanar adalah Ketua Program
Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma,
keraton yogya .
***
SEBAGAIMANA kita tahu, wacana Tragedi ’65 masih menjadi
perdebatan dan selalu memunculkan kontroversi di kalangan
masyarakat Indonesia. Usaha-usaha membuka jalan untuk berdialog
atau menyelesaikan berbagai persoalan di sekitar tragedi itu sering
berbenturan dengan kecurigaan dan prasangka dari kelompok yang
meyakini narasi versi resmi dari penguasa Orde Baru.104 Kendati
demikian, wacana itu tidak berarti terkunci di dalamnya, dan bukannya
tidak bisa ditinjau kembali untuk memperoleh penjelasan yang lebih
mendalam dan menyeluruh. Bukti-bukti baru baik berupa dokumen
maupun pengalaman para korban memberi landasan penting bagi
pengungkapan kebenaran serta penulisan ulang sejarah mengenai
tragedi ini . 105
Tidak terkecuali, sejarah hubungan antar lembaga atau organisasi pergerakan gerakan
agama di tengah pusaran kemelut itu perlu diperiksa kembali karena
stigma dan dendam yang diwariskan masa lalu terhadap para korban
yang dituduh sebagai anggota dari Partai Komunis Indonesia atau
simpatisannya juga membelenggu warga masyarakat secara luas.
Pada satu sisi lembaga agama bersitegang dengan PKI dan organisasi pergerakan gerakan
massanya yang diasosiasikan dengan atheisme. Ancaman hingga tindak
kekerasan para pengikutnya sering tidak terhindarkan dan bahkan
besar kemungkinan banyak di antara mereka ikut ambil bagian dalam
pembantaian pada masa itu. Namun demikian, pada sisi lain, lembaga
agama juga menjadi tempat perlindungan orang-orang yang teraniaya
dan mencari suaka politik akibat kebijakan negara yang mewajibkan
warganya memilih satu di antara lima agama. Salah satu indikatornya
adalah kenaikan jumlah pengikut pada masa-masa itu.106
Lebih jauh, Tragedi ‘65 juga menjadi titik balik hubungan antarlembaga agama di Indonesia. Hingga kini masih ada lembaga dan
organisasi pergerakan gerakan keagamaan yang bersikap saling curiga dan bersitegang satu
sama lain dalam mengelola pengikut serta mendudukan posisinya
dalam kehidupan bernegara. Kelompok Kristen misalnya menaruh
kekawatiran terhadap kelompok Islam yang menginginkan hukumhukum syariah menjadi landasan negara hingga menciptakan
marginalisasi dan perlakuan diskriminatif di kalangan mereka.
Sementara di sisi lain, isu Kristenisasi selalu dipandang oleh kelompok
Islam (radikal) sebagai ancaman yang terus menerus terjadi, di
antaranya seperti yang dituduhkan bahwa pasca tahun 1965 banyak
eks- Tahanan Politik dan pengikut aliran kepercayaan ditengarai masuk
menjadi Kristen Protestan dan Katolik.107
Pendekatan Kualitatif
Hingga saat ini, kajian yang memfokuskan perhatian pada peran
dan kedudukan lembaga dan kelompok agama di dalam kemelut
Tragedi ’65 relatif terbatas. Satu di antaranya adalah anak-anak muda
Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam organisasi pergerakan gerakan ”Syarikat Indonesia”
yang berpusat di keraton yogya . Mereka secara intensif mendalami dan
mengusahakan rekonsiliasi dengan para korban meski tidak sedikit
dari orangtua mereka atau generasi sebelumnya menjadi pelaku atau
bahkan algojo pembantaian.108 Namun demikian, apa yang mereka
lakukan pun belum sepenuhnya memperoleh dukungan formal dan
serius secara kelembagaan oleh organisasi pergerakan gerakan agama ini . Karena
belum ada pernyataan resmi secara kelembagaan oleh organisasi pergerakan gerakan
keagamaan di luar Nahdlatul Ulama terkait Tragedi ‘65, ada pendapat
bahwa organisasi pergerakan gerakan keagamaan selain NU abai dan tidak berniat
melakukan rekonsiliasi dari keterlibatannya dalam tragedi kekerasan
1965.109 Di kalangan agama Katolik, usaha serupa kurang memperoleh
perhatian secara khusus. Kalaupun ada, biasanya masih sebatas pada
wacana ataupun kegiatan-kegiatan karitatif yang berkaitan dengan
pendampingan atau penyantunan korban.
Berangkat dari persoalan serta kajian-kajian yang sudah
dikemukakan di atas, tulisan yang berdasarkan penelitian kami ini
ingin berusaha mengetengahkan peran (lembaga) Gereja serta orang
Katolik di dalam Tragedi ‘65. Secara umum memang sudah ada uraian
mengenai garis besar kebijakan yang dilakukan Gereja di Keuskupan
Agung Semarang dalam melewati tragedi itu,110 tetapi belum dijelaskan
praktik yang berlangsung dalam proses sosialnya. Melalui studi ini,
diperiksa dan ditelusuri kedudukan serta aktivitas Gereja dan orangorang Katolik manakala berada di tengah pusaran kemelut itu.
Secara khusus, tulisan ini mau mendeskripsikan berbagai peristiwa
yang menyangkut pengalaman mereka saat dihadapkan pada situasi
traumatis dan memilukan dalam sejarah kehidupan masyarakat
Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh, studi ini
bermaksud mendalami tataran proses sosial dari pengalaman, sikap
dan tindakan orang-orang Katolik dalam melewati tragedi ini ,
baik yang dilakukan oleh pejabat Gereja maupun oleh umatnya. Oleh
karenanya, akan ditinjau pula peran lembaga (Gereja) di tengah
kemelut Tragedi ’65 melalui peran pejabat (hirarki) Gereja dalam
mengambil keputusan di tengah ketegangan dan pembasmian atas
mereka yang dituduh sebagai anggota PKI. Kajian ini merupakan
usaha menelaah kedudukan lembaga (Gereja) Katolik baik secara
kolektif maupun individual di tengah Tragedi ‘65. Pengetahuan yang
diperoleh dari kajian ini diharapkan bisa menjadi landasan dalam
mencari jalan bagi rekonsiliasi atau penyelesaian atas pengalaman
pahit dari tragedi kebangsaan ini .
Ruang lingkup studi ini dibatasi pada lembaga (Gereja) Katolik
di wilayah Keuskupan Agung Semarang, khususnya di keraton yogya .
Namun demikian, bukan berarti studi ini hanya menjangkau sumbersumber yang ada di wilayah ini . Studi ini juga mencakup wilayah
lain yang dipandang dapat mempertajam analisis maupun sebagai
bahan perbandingan. Penelitian ini berlangsung dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Data digali terutama melalui metode sejarah
lisan dengan teknik wawancara mendalam. Beberapa informan kunci
diajak menceritakan kembali pengalaman mereka di masa lalu dan
merefl eksikan dengan situasi dan konteks yang terjadi pada waktu
itu. Data-data yang terkumpul ditriangulasikan dengan wacana,
dokumen serta arsip-arsip yang bisa diakses oleh peneliti. Informan
penelitian ini diperoleh dengan teknik snowball, dengan kriteria
bahwa mereka ikut mengalami dan cukup mengetahui persoalan
yang dihadapi oleh Gereja Katolik pada waktu itu. Misalnya apakah
sebagai perwakilan dari lembaga Gereja atau individu yang ikut dalam
pengambilan keputusan. Seluruh informan terutama diprioritaskan
berasal dari wilayah keraton yogya dan Jawa Tengah. Hal ini dilakukan
berkenaan dengan fokus kajian serta mengingat terbatasnya energi
dan dana penelitian yang kami miliki. Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan data-data kepustakaan. Sebelum menulis laporan akhir,
kami juga melakukan rangkaian diskusi terbatas dengan para anggota
Komisi Sejarah PUSdEP yang lain. Dalam diskusi-diskusi itu kami
saling mengkritisi dan tukar pengetahuan mengenai persoalan yang
menjadi fokus kajian kami masing-masing, termasuk kajian ini.
Perseteruan (Lembaga) Gereja Katolik dengan PKI
Salah satu kajian yang membahas kedudukan dan sikap Gereja
Katolik dalam menghadapi Tragedi ‘65 dilakukan dengan memeriksa
naskah dan arsip di Keuskupan Agung Semarang dari tahun 1940
hingga 1981.111 Meski kajian ini lebih menekankan sejarah
kemandirian Gereja Katolik di wilayah itu, kedudukan Gereja dan
sikap yang diambil pejabatnya berkenaan dengan Tragedi ‘65 juga
memperoleh perhatian khusus. Secara umum ditegaskan dalam uraian
itu bahwa Gereja mengedepankan persoalan kemanusiaan di tengah
kemelut tragedi berdarah ini . Dengan kata lain, meski Gereja
Katolik melawan komunisme dan PKI, saat tragedi kekerasan itu
berlangsung Gereja menyerukan perlindungan dan memberikan
bantuan kepada korban-korban yang berjatuhan tanpa melihat afi liasi
mereka terhadap PKI.
Jamak diketahui bahwa di seluruh dunia, Gereja Katolik
menentang Komunisme. Tidak terkecuali di Indonesia. Jauh
sebelum Tragedi ‘65 terjadi, pejabat Gereja Katolik di Indoensia
menyatakan bahwa secara kelembagaan Gereja berseberangan dengan
PKI, meskipun ada pula orang Katolik yang menjadi anggota atau
simpatisan PKI.112 Sikap perlawanan ini ditunjukkan manakala
pertarungan ideologi di antara kelompok-kelompok masyarakat
memanas. Keluarnya Manifesto Katolik dari sidang Komisi WaliGereja Indonesia bulan Desember 1955 menegaskan posisi itu. Para
tokoh Partai Katolik Indonesia yang diundang Presiden Sukarno bulan
Februari dan April 1957 untuk memberi tanggapan atas konsepsinya
mengenai pembentukan Dewan Nasional dan ”Kabinet Kaki Empat”
dengan memasukkan PKI juga menentang mentah-mentah gagasan
itu. Dicatat misalnya:
Kasimo mengemukakan bahwa menurut pengalaman sejarah, pengikutsertaan orang-orang komunis di dalam kabinet di negara-negara Eropa Timur,
lama kelamaan menyebabkan negara-negara itu menjadi komunis. Oleh
karena itu, ia tidak setuju kalau di dalam kabinet dimasukkan unsur
komunis. Dan oleh karena itu pula ia tidak dapat menyetujui Konsepsi
Presiden.113
Sejalan dengan sikap penolakan Gereja terhadap komunisme,
Uskup Agung Semarang Mgr. A. Soegijapranata, memainkan pe ran
sangat besar dalam menanamkan perlawanan itu di dalam komunitas
umat Katolik. Perlawanan terhadap komunisme dan pengaruh
organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan massa PKI dilakukan melalui berbagai diskusi,
misalnya lewat kontaknya dengan para politisi Katolik dan dengan
organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan kaum awam di tingkat akar rumput.114
Para politisi dari Partai Katolik rupanya juga berusaha keras
menggagalkan PKI untuk mendapatkan akses atas posisi strategis
di dalam kekuasaan. Bahkan dalam mengantisipasi kemungkinan
menguatnya posisi PKI berada dalam jabatan kabinet di pemerintahan,
Frans Seda yang semula menolak duduk di dalam Kabinet 100 menteri
kemudian menerima jabatan sebagai Menteri Perkebunan dengan
dukungan Angkatan Darat. Tentang hal ini disebutkan bahwa:
Sementara berunding (dengan tokoh-tokoh partai Katolik), Jenderal A.
Yani menelpon, dan menganjurkan agar Partai dan Frans Seda menerima
untuk duduk dalam Kabinet, supaya memperkuat front antikomunis di
dalam pemerintahan. Menurut desas-desus di Istana, jabatan menteri
yang direncanakan untuk Frans Seda adalah Menteri Perikanan (Menteri
Lele). Tetapi Pak Yani berkata,” Tidak..., akan diperjuangkan dan sedang
di lobby-kan pada Bung Karno lewat Pak Leimena, untuk jabatan Menteri
Perkebunan, karena sektor itulah sektor modal, dan harus diamankan dari
pengaruh PKI/ kiri.115
Sikap para tokoh Partai Katolik itu rupanya bersambut
dengan keinginan pejabat militer yang sama-sama menunjukkan
permusuhannya dengan PKI. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa
situasi menjelang Tragedi ‘65, kalangan tokoh-tokoh agama baik dari
Islam, Kristen, dan Katolik bersatu-padu memusuhi PKI dengan
menyebar kan kewaspadaan tinggi atas ideologi atau partai itu kepada
umat atau jemaat mereka.
Menarik untuk dicatat bahwa kendati hubungan lembaga Gereja
dan PKI berseberangan, Gereja Katolik secara konsisten menolak
dipakainya cara-cara kekerasan saat pihak militer memobilisasi
rakyat untuk membasmi anggota dan simpatisan PKI. Sikap tersebut tertuang dalam tiga surat yang dikeluarkan pejabat Gereja
di Keuskupan Agung Semarang selama tahun-tahun itu. Di antara
surat-surat itu ada yang mendesak pemerintah untuk menghindarkan
kekerasan dalam menanganinya. Dilaporkan bahwa:
Surat pertama ditulis oleh Pater Carri, SJ, Vikaris Jenderal Keuskupan
Agung Semarang, yang berisi ajakan kepada seluruh umat beriman untuk
menunjukkan semangat kekatolikan yang pro ecclesia et patria di dalam
negara Indonesia yang didasarkan Pancasila yang menghargai adanya
pluralisme di dalam masyarakat dan mengakui kepercayaan kepada Tuhan.
Surat kedua ditujukan kepada para imam dan anggota kelompok religius di
wilayah Keuskupan Agung Semarang yang isinya melarang mereka untuk
ikut serta di dalam aksi militer yang menjaring atau mengejar para anggota
PKI. Sedangkan surat ketiga dialamatkan kepada kaum awam Katolik yang
isinya menghimbau mereka untuk mendukung tindakan penyaringan
anggota PKI yang dikomando oleh tentara, tetapi tetap tidak melibatkan
diri di dalam tindakan kekerasan.,
Sikap yang diambil Gereja dengan mengutamakan prinsipprinsip kemanusiaan rupanya tidak terlepas dari situasi kalut pada
masa itu, di samping ajaran-ajaran moral Gereja yang memang
bertumpu pada persoalan kemanusiaan. Kekalutan situasi terutama
berkaitan dengan kedudukan dan latar belakang umat Katolik yang
beraneka-ragam dalam gelanggang politik nasional. Banyak di antara
umat Katolik terutama mereka yang baru dibaptis diliputi kecemasan
akibat kecurigaan dan tuduhan sebagai pelarian anggota PKI yang
dianggap atheis. Padahal, tidak semua umat Katolik yang baru
memper oleh pembaptisan memiliki hubungan dengan PKI. Di antara
mereka juga berasal dari kelompok kepercayaan atau yang sebelumnya
mengikuti praktik agama lokal. Walaupun di antara anggota PKI
juga ada yang beragama Katolik dan mantan tahanan politik yang
kemudian mengikuti ajaran Katolik. Pada masa itu, kenaikan jumlah
pemeluk agama Katolik memang cukup signifi kan. Sejumlah Paroki
mencatat pertumbuhan umat sepanjang tahun 1965 hingga tahun
1970-an. Gelombang perpindahan agama terutama didorong oleh
keputusan pemerintah melalui ketetapan MPRS tahun 1966 yang
mewajibkan setiap warga negara memilih satu di antara lima agama
resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindhu,
dan Budha.
Sambutan Orang terhadap Usaha Gereja Katolik
Dalam situasi yang menegangkan itu, Gereja menolak usulan
untuk membuat kartu tanda umat Katolik dengan alasan agar tidak
memperuncing konfl ik serta menghindarkan tuduhan bagi umat yang
baru dipermandikan semata-mata sebagai pelarian anggota PKI. Lebih
jauh, Konferensi Wali-Gereja Indonesia juga mengeluarkan surat
kepada para pastor paroki untuk mencatat para korban di wilayah
mereka. Di samping usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kekerasan,
para pejabat Gereja ikut secara aktif melakukan pendampingan dan
memberi santunan kepada para tahanan politik yang menjadi anggota
dan simpatisan PKI beserta keluarga mereka. Di Keuskupan Agung
Semarang tahun 1969 dibuat Program Sosial Kardinal (PSK) yang
secara khusus ditujukan untuk kegiatan ini . Di keraton yogya
didirikan pula Yayasan Realino dengan tujuan yang sama. Program
dan aktivitas kemanusiaan ini tahun 1981 menyebar ke berbagai
daerah di Indonesia, meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Bandung,
Purwokerto, Malang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Makassar,
Ambon, Medan, Pangkal Pinang, Padang, Palembang, dan Tanjung
Karang.
Sementara itu, di bawah koordinasi Pater De Blot, SJ para biarawan
dan warga Gereja tidak hanya memberikan pelayanan pastoral, tetapi
ikut memberi bantuan material dan kesehatan di beberapa penjara
dan kamp penahanan, termasuk di Pulau Buru. Yang dibantu tidak
terbatas pada mereka yang ditahan saja, melainkan juga anggota
keluarga mereka. Tentang hal ini diungkapkan antara lain:
Romo De Blot telah banyak berjasa terhadap para Tahanan Politik. Beliau
mendatangi kamp-kamp tawanan, memberi penghiburan, kemudian juga
diusahakan bantuan makanan seperti bulgur dan Corn Sugar Milk (CSM).
Semua bantuan itu dari gabungan gereja-gereja Katolik dan Protestan.
Terpaksa harus kucatat, namun tanpa dendam, bahwa dari pihak Islam
tidak pernah ada bantuan. Mungkin mereka berpendapat, PKI itu kan kafi r,
jadi biar saja mati sendiri. Ini pun tidak lepas dari propaganda dan hasutan
penguasa. Diisukan, bahwa pihak Kristen memberi bantuan itu dengan
tujuan meng-kristen-kan para Tahanan Politik. Kami bisa memastikan
bahwa hal itu tidak benar. Gereja-gereja memberi bantuan-bantuan itu atas
dasar panggilan kemanusiaan.117
Diungkapkan pula:
Berkat seorang Pastor Belanda, Romo De Bleg [ De Blot. ed.] begitu kami
sering memanggilnya, aku bersama adik-adik berhasil keluar dari penjara.
Aku baru beberapa bulan di penjara saat Romo itu datang ke penjara dan
mengajak kami keluar dari penjara.118
Pelayanan pastoral memang merupakan program yang
memperoleh dukungan dari pemerintah melalui Pusat Pembinaan
Rohani Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI) bekerja sama
Departemen Agama. Hal ini ditujukan untuk program rehabilitasi
mental melalui Santiaji untuk membina Tahanan Politik yang dituduh
atheis. Alih-alih, pelaksanaan progam ini menurut beberapa Tahanan
Politik lebih merupakan indoktrinasi dan pendisiplinan untuk
menjalankan ibadah sesuai agama yang mereka anut karena mereka
yang sebelumnya tercatat beragama lain sebelum ditahan tidak serta
merta bisa mengikuti kegiatan peribadatan agama yang berbeda.119
Para biarawan dan biarawati yang tercatat dalam ingatan eks-
Tahanan Politik melakukan pelayanan keagamaan dan kegiatan
kemanusiaan di Pulau Buru adalah Mgr. Andreas Sol MSC, Romo
Roovink, Romo Mangunwijaya, Suster Cecilia, dan Suster Fransisca.
Di Flores, seorang pastor di Paroki Bola, Yosef Frederikus da Lopez
berusaha membebaskan 45 orang yang ditahan di markas tentara
karena dicurigai sebagai anggota PKI. Pastor itu berusaha menemui
komandannya dan menjaminkan dirinya untuk pembebasan mereka,
tetapi hanya 10 orang yang berhasil diselamatkan.120 Aktivitas
kemanusiaan beberapa organisasi pergerakan gerakan sosial Katolik bagi eks-Tahanan
Politik 65 kemudian menyebar hingga di tingkat lingkungan paroki
atau struktur terendah dalam hirarki Gereja.121
Pelayanan rohani dan aktivitas kemanusiaan oleh biarawan dan
umat Katolik terhadap para Tahanan Politik dan keluarganya tidak
serta merta berjalan tanpa kesulitan. Sejumlah Pastor konon ditahan
oleh pihak militer karena aktivitas ini . Di Purwodadi ( Jawa
Tengah) misalnya, beberapa pengurus Paroki ditangkap, disiksa dan
ditahan aparat sesudah salah seorang pemuda dan pastor parokinya
memberikan kesaksian kepada H.J.C. Princen, seorang penggiat Hak
Azasi Manusia mengenai terjadinya pembantaian massal di daerah
itu. Mereka ditangkap sesudah hasil wawancara ini tersebar
di media massa dan membuat pemerintah serta aparat setempat
merasa disudutkan. Penangkapan ini rupanya merupakan
usaha membungkam warga masyarakat agar tidak bercerita atas
tindakan keji yang mereka saksikan. Hal itu terjadi bersamaan dengan
undangan aparat pemerintah kepada para wartawan media cetak untuk
berkeliling ke daerah itu demi menepis dan menghilangkan jejak
kekejian seperti yang telah diceriterakan oleh H.J.C. Princen. Konon,
perjalanan rombongan wartawan yang disponsori oleh aparat ini lebih
menyerupai perjalanan wisata karena orang dan tempat-tempat yang
dikunjungi terkesan sudah dipersiapkan dengan baik untuk menjamu
mereka, jauh dari cerita yang mereka dapatkan sebelumnya.122
Sikap dan Tindakan Orang Katolik terhadap Tragedi ‘65
Ketegangan hubungan antar partai juga berpengaruh dalam kehidupan warga masyarakat, termasuk di kalangan umat Katolik. Situasi
ini mengalami eskalasi pada tahun 1965. Antara lain, hari-hari
yang diwarnai berita akan adanya penyerangan di berbagai tempat.123
Kendati sampai pada peristiwa tanggal 30 September 1965 situasi
tegang tidak menentu, hal itu tidak dipahami sebagai saat yang sangat
genting.124
Sikap Gereja Katolik yang anti terhadap Komunis memberi
pengaruh yang cukup kuat bagi para umatnya, baik secara individual
maupun kelompok. Salah satu kelompok di kalangan orang Katolik
yang sangat gencar menelanjangi dan melawan komunisme serta
gerakan gerakan nya adalah Biro Dokumentasi yang dipimpin oleh Pater
Beek, SJ.125 Biro Dokumentasi meski digagas dan direstui oleh
pejabat Gereja, tetapi kedudukannya tidak berada di bawah hirarki
Gereja secara langsung. Biro ini mengumpulkan berbagai dokumen
sosial politik dan menganalisisnya yang kemudian didistribusikan
dalam bentuk newsletter. Bahan-bahan ini ditujukan untuk
memberikan informasi setidaknya kepada orang-orang Katolik yang
menjadi politisi mengenai situasi sosial politik yang sedang panas dan
tidak jelas arahnya pada waktu itu.
Di antara analisis dan persoalan yang menjadi sorotan Biro
Dokumentasi pada waktu itu terutama menyangkut perseteruan
kelompok agama, nasionalis, dan PKI. Dalam hal ini Biro
Dokumentasi menyediakan bahan-bahan analisis sebagai dukungan
kepada para aktivis di Front Pancasila dan di Sekber Golkar yang
bersitegang melawan Front Nasional dukungan PKI.126 Meski pun
Biro Dokumentasi ini hanya menyebarkan artikel dan analisis yang
keputusannya diserahkan kepada pembaca, tetapi rupa-rupanya juga
memiliki andil dalam membentuk opini serta memberi masukan
bagi beberapa tokoh masyarakat dalam bersikap terhadap PKI.
Cosmas Batubara dalam otobiografi nya memberi catatan mengenai
pentingnya Biro Dokumentasi dalam menghadang komunisme yang
memungkinkan para mahasiswa Katolik melakukan persiapan di
tengah ketegangan politik saat itu. Menurut Cosmas,
... Jasa Pater Beek, SJ sangat besar dalam mengembangkan sistem
dokumentasi mengenai kegiatan komunis dan kegiatan kelompok
nonkomunis dalam rangka melawan komunis itu. Dengan sistem
dokumentasi yang dikembangkan Pater Beek kita mengetahui dengan
jelas tema apa yang dipakai kelompok komunis untuk menggalang
kekuatan. Dengan semakin siapnya kader-kader maha siswa, kami juga
mempersiapkan diri menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan. Pertemuan
kelompok Katolik dan kelompok Islam makin sering dilakukan menjelang
peristiwa G30S/PKI.127
gerakan gerakan perlawanan yang dilakukan para mahasiswa dan aktivis
Katolik terhadap PKI berupa desakan moral untuk membubarkan
partai itu dengan ikut membuat ”Deklarasi Pendukung Pancasila,
Piagam Kebulatan Tekad” pada 31 Desember 1965. Deklarasi ini
dila kukan bersama dengan berbagai kelompok masyarakat, ormas
keagamaan dan partai politik yang bermusuhan dengan PKI. Embrio
gerakan gerakan ini berawal dari sekelompok pelajar dan mahasiswa Muslim
bersama Katolik yang dengan dukungan Pangdam Jaya Umar
Wirahadikusuma mendirikan Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP)
Kontra Revolusi Gestapu. Mereka menuntut pembubaran PKI serta
menutup media yang mendukung Gestapu. Dalam aksinya, mereka
menyerang kantor dan bangunan-bangunan PKI. Tanggal 25 Oktober
1965 pertemuan pimpinan KAP Gestapu sepakat membuat Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI) yang mewadahi mahasiswa Islam,
Kristen, dan Katolik dalam demonstrasi massa. Pada bulan Januari
1966 KAP Gestapu berubah menjadi Garda Pancasila yang aktivitasnya
lebih pada politik tingkat tinggi. Sementara itu, di berbagai daerah
pembasmian PKI dan pengikutnya dilakukan oleh organisasi pergerakan gerakan massa
keagamaan dengan dukungan militer.
Tidak diketahui seberapa jauh para pemuda Katolik terlibat dalam
kekerasan dan pengganyangan terhadap orang-orang yang dituduh
PKI karena secara kelembagaan PMKRI dan Pemuda Katolik juga
menyerukan pencegahan terhadap rasialisme dan provokasi dalam
operasi pemulihan keamanan oleh pemerintah dan ABRI. Kendati
demikian, sejumlah sumber yang tersebar menyebutkan bahwa
ada orang-orang Katolik yang ambil bagian dalam pembantaian
itu, terutama mereka yang tergabung dalam Garda Pancasila yang
memperoleh latihan kemiliteran.
Di Tingkat Akar Rumput
Di saat saat genting itu, ada di antara orang-orang Katolik yang tidak
menjadi anggota PKI ikut dijebloskan ke penjara karena memberi
perlindungan kepada keluarga atau orang-orang yang sedang
dikejar-kejar maupun salah tangkap. Beberapa dokumen mencatat
bahwa PKI memang tidak membatasi anggotanya secara eksklusif
karena merupakan partai terbuka yang anggotanya juga berasal dari
kalangan agama mana pun. Namun demikian, lawan-lawan politik
PKI selalu berusaha menghubungkan partai itu dengan isu atheisme
dan anti-agama. Paul Webb dan Steven Farram (2005) menguraikan
mengenai pemeluk agama Katolik dan Kristen di Flores, Sumba,
dan Timor yang tidak luput dari pengejaran dan kekerasan karena
menjadi anggota PKI. Sementara itu, Hasan Raid (2001) dan Ahmadi
Moestahal (2002) menceritakan pengalamannya sebagai orang Islam
dan teman-temannya di dalam penjara yang menjadi anggota PKI
karena persinggungan keberpihakannya pada kepentingan rakyat.
Kedudukan PKI yang dicitrakan bertolak belakang dengan kelompok
agama, bahkan anti agama cenderung dipolitisasi oleh kelompok
agama dan militer untuk menghancurkan partai itu dan menghabisi
pengikutnya.
Seperti telah disinggung di muka, meskipun di satu sisi Gereja
Katolik melawan komunisme, di sisi lain lembaga Gereja ikut
melancarkan kegiatan kemanusiaan bagi para korban dan keluarganya
dengan mengutus tokoh umat dan pastor. Mereka tidak hanya
mencegah atau menghindari kekerasan, melainkan juga menyantuni
dan membantu mereka yang dipenjarakan serta keluarga mereka
yang ditinggalkan. Peran dan sikap tokoh Gereja Katolik dalam aksi
kemanusiaan ditengarai memperoleh simpati dari para korban dan
mereka yang terpinggirkan. Sejumlah peneliti melihat implikasi hal
ini dengan kecenderungan naiknya jumlah umat yang tercatat
menerima pembaptisan pascaTragedi ’65.128 Kendati demikian, ada
indikasi bahwa pertumbuhan jumlah umat Katolik tidak serta merta
berasal dari mereka yang menjadi korban Tragedi ‘65, melainkan
juga berasal dari orang-orang yang sebelumnya mengikuti aliran
kepercayaan lokal.129 Mereka dipaksa memilih salah satu dari lima
agama resmi yang ditentukan pemerintah melalui ketetapan MPRS
1966.
Kisah di berbagai daerah memperlihatkan keragaman orang
untuk sampai pada pilihan menjadi Katolik yang berlangsung pada
masa itu. Kerja keras dan ketekunan pastor dan para pengajar agama
dalam melayani kebutuhan mereka berlangsung dalam perjumpaan
yang manusiawi. Juga memberi harapan baru untuk perbaikan keadaan
ekonomi keluarga. Dengarlah kesaksian berikut.
Delapan tahun sesudah baptisanku, akhirnya doaku terkabul juga. Ya,
pada tahun 1967 Bapak Yohanes Suhardi, putera daerah Gawan, dibaptis
menjadi Katolik. Suatu hari Pak Hardi, panggilan akarabnya bercerita
padaku tentang ketertarikan awalnya menjadi orang Katolik. Selain karena
pernah mengenyam pendidikan di SMP Saverius Gawan, yang waktu itu
memang sedang dalam masa keemasan, ia juga tertarik dengan pribadi
Romo Wakkers, SJ. Kefasihan Romo Wakkers berbahasa Jawa, bahkan yang
krama inggil mencerminkan pandangan hidup Kristiani yang luar biasa.
Tak ada sekat-sekat budaya, tak juga ke-landa-annya [ke-belanda-annya],
yang mampu menghalanginya memperkenalkan kasih Kristus. Dan yang
menarik, Pak Hardi juga bercerita tentang ballpoint Romo Wakers yang
masih langka waktu itu. Dalam senda guraunya Pak Hardi tak menolak
kalau ada yang mengatakan imannya tumbuh dari ujung pena Rama
Wakkers.130
Atau kesaksian ini.
Ruslan Kocoatmojo tidak sekadar mengajar agama. Ia pun mengajak warga
yang mulai mengenal Kristus itu membuat kolam ikan, koperasi, ternak
ayam dan membuka poliklinik. Karena karya nyata ini memberi hasil
konkret, warga yang semula pasif, pelan-pelan ikut menjadi Katekumen
[calon baptis]. saat jumlah Katekumen sudah lebih dari 10 orang,
Pak Lurah justru gelisah. Ia tidak mau menanggung segala akibat yang
terjadi, jika jumlahnya semakin membengkak. Untunglah bahwa Dansek
[Komandan Sektor-Militer, ed.] tetap mengizinkan. Pelaja ran agama yang
biasa dilakukan pada hari Selasa malam Rabu itu pun semakin diminati
warga masyarakat Ngaliyan.131
Beberapa kajian dan dokumen di atas memperlihatkan bahwa
Tragedi ‘65 ikut menyeret orang-orang Katolik di dalam pusaran arus
kekerasan yang didukung oleh aparat militer dan negara, baik sebagai
korban maupun pelaku. Walaupun sikap Gereja di dalam hirarkinya
lebih mengutamakan kemanusiaan yang memberikan perlindungan
dan santunan kepada para korban, bukan berarti tidak ada orangorang Katolik yang tidak ikut di dalam aksi kekerasan ini .
Penutup
Dari uraian di atas, secara jelas tampak bahwa kedudukan Gereja
pada masa-masa itu berseberangan dengan ideologi Komunisme dan
PKI dalam gelanggang politik nasional. Namun demikian, saat
pembantaian massal dan pengejaran terhadap anggota dan simpatisan
partai itu berlangsung, Gereja melalui para pejabatnya berusaha
mencegah jatuhnya korban jiwa, dan setidaknya keterlibatan orang
Katolik di dalam kekerasan. Bahkan kemudian Gereja juga mendirikan
yayasan-yayasan sosial yang menyantuni dan memberi pendampingan
bagi para korbannya. Memang tidak dimungkiri bahwa terdapat orangorang Katolik yang menjadi simpatisan PKI ikut terseret menjadi
korban, tetapi sikap yang diambil Gereja bukan semata-mata karena
alasan itu melainkan karena landasan atas prinsip-prinsip kemanusiaan
yang lebih diutamakan. Sikap Gereja ini ditengarai membuat
banyak para mantan Tahanan Politik minta dibaptis menjadi umat
Katolik, baik sebagai bagian dari upaya mencari suaka politik maupun
karena alasan spiritual
NARASI demi narasi telah kita ikuti dan simak bersama. Ada narasi
yang berasal dari tuturan mereka yang menjadi saksi Tragedi ’65, ada
pula narasi yang bersumber dari mereka yang telah menjadi korban
dari peristiwa dahsyat bersejarah ini . Telah kita simak pula
laporan hasil penelitian dan ulasan mengenai sikap sebuah lembaga
agama terhadap Tragedi ’65. Sekarang tibalah kita pada penghujung
artikel singkat ini.
Tetap Berpengaruh
Sebagaimana telah kita lihat di awal artikel singkat , biasanya suatu narasi
sejarah tidak dibuat hanya demi dirinya sendiri, melainkan demi
tujuan-tujuan tertentu. Termasuk di antara tujuan-tujuan itu adalah
tujuan-tujuan sosial, politis, atau mungkin tujuan yang lain. Tidak
mengherankan jika di mana pun di dunia ini hampir setiap kelompok
masyarakat merasa terdorong untuk menyampaikan narasi sejarah
masing-masing, dengan cara menceritakannya dari satu generasi
ke generasi. Ada yang menceritakannya secara lisan, ada pula yang
menyampaikannya secara tertulis.
Dengan menyimak apa yang dikatakan Paul Thompson kita
juga telah melihat bagaimana sejarah itu penting karena sejarah dapat
menjadi salah satu sarana penting bagi masyarakat untuk memahami
(making sense) apa yang bergerak gerak di lingkungannya, baik itu yang
bergerak gerak secara sosial, ekonomi, politik maupun yang lain. Sekaligus
kita melihat bahwa melalui sejarah masyarakat menjadi sadar bahwa
terdapat kesinambungan antara apa yang terjadi di masa lalu, di masa
sekarang dan di masa-masa selanjutnya. Sebuah peristiwa sebagai
sebuah peristiwa boleh saja “selesai” di masa lalu, namun dampak
dan pengaruhnya akan terus mengalir ke masa-masa selanjutnya.
Jika di balik, apa yang berlangsung sekarang ini (dan di masa depan)
sangat erat kaitannya dengan apa yang telah terjadi di masa silam.
Dengan kata lain, dengan memahami sejarah masyarakat menjadi
terbantu untuk melihat realitas kehidupan sebagai suatu continuum
atau kesinambungan tiada henti, bagaikan air yang terus mengalir.
“Ta panta rhei,” dalam ungkapan Herakletos, fi lsuf Yunani asal Efesus
itu. Semuanya mengalir...
Belajar Banyak
Berkaitan dengan Tragedi ’65, dari narasi mereka yang telah menjadi
saksi tetapi tidak menjadi korban atas peristiwa itu kita melihat bahwa
peristiwa itu bisa dilihat dari berbagai perspektif dan kaya akan
dimensi-dimensi kehidupan. Ada dimensi pertarungan di tingkat elite
antara kelompok militer dan sipil; ada dimensi ketegangan sosialekonomi-religius; ada dimensi rekayasa dari atas yang mengubah relasi
sosial yang relatif harmonis di tingkat bawah; ada dimensi keyakinan
spiritual; tetapi ada pula dimensi persaingan ideologi-politik-ekonomi
di tingkat internasional. Narasi-narasi itu membuat kita menjadi lebih
kaya wawasan, kaya akan perspektif, sekaligus terdorong terus untuk
semakin rajin melihat kehidupan dengan segala dimensinya. Belum
lagi kalau narasi itu menyadarkan kita bahwa sebagai sebuah peristiwa
masa lalu Tragedi ’65 boleh saja sudah “selesai”, tetapi dampak dan
pola-polanya tetap berpengaruh pada kita hingga hari ini, baik pada
tataran sosial maupun pada tataran individual.
Bagaimana Tragedi ‘65 itu dialami secara individual dan
personal bisa kita simak dari narasi-narasi mereka yang waktu itu
menjadi korban dari tragedi ini . Ada korban yang ditangkap
dengan tuduhan berat padahal ia hanya seorang pemuda kampung
usia 19 tahun; ada mahasiswi yang menjadi korban salah tangkap,
dibebaskan secara resmi, namun kemudian ditangkap lagi; ada korban
yang usianya baru 14 tahun tetapi hanya karena namanya sama ia
ditangkap dan dipenjara selama 14 tahun; ada yang semasa mudanya
berjuang demi kemerdekaan Indonesia, tetapi ditangkap dan disiksa
habis-habisan sebelum akhirnya dibuang ke Pulau Buru; ada pula yang
tidak dipenjara tetapi menderita seumur hidup hanya karena ayah dan
suaminya adalah mantan Tahanan Politik. Narasi-narasi para korban
ini menyadarkan kita bahwa dalam setiap narasi besar atau narasi resmi
atas suatu peristiwa sejarah, ada banyak dimensi real dan personal yang
tidak tertampung di dalamnya. Padahal dengan menekuni dimensidimensi real dan personal itu kita justru bisa belajar banyak tentang
sejarah dan tentang kehidupan manusia itu sendiri.
Menyegarkan Kita
Bertolak dari dua kelompok narasi yang telah dibagikan dalam artikel singkat
ini, berikut laporan penelitian atas sikap sebuah lembaga agama
terhadap Tragedi ’65, diharapkan bahwa kita akan menjadi lebih
terbuka dan lebih diperkaya saat melihat apa yang telah dilalui,
dilakukan, dan dialami (bahkan diderita) oleh para warga bangsa
ini pada pertengahan dekade 1960-an dan sesudah nya. Tak cukup
kiranya jika kita hanya mencoba melihat semua itu dari perspektif
narasi resmi para penguasa. Kita perlu melihat sejarah dari sebanyak
mungkin perspektif, termasuk dari perspektif mereka yang selama ini
telah dibungkam suaranya—atau memilih untuk bungkam seribu
bahasa. Dikatakan oleh Ronnie Hatley pada pengantar artikel singkat ini,
“suatu pemahaman sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam
membentuk masa depan suatu masyarakat atau bangsa.”
Lebih dari itu, apa yang telah kita ikuti tadi adalah narasi-narasi
yang berasal dari “orang lain”, yakni dari para narasumber kita. Yang
tidak kalah penting sekarang ini adalah narasi yang datang dari kita
sendiri. Jika di muka para narasumber telah menyampaikan narasi
mereka dengan berbagai perspektif masing-masing, kini tiba saatnya
bagi kita untuk menyampaikan narasi kita sendiri, menurut perspektif
kita sendiri-sendiri. Jika di muka para narasumber telah menunjukkan
diri di mana mereka “berdiri” saat Tragedi ‘65 itu berlangsung,
kini tiba pula saatnya bagi kita untuk menunjukkan diri di mana
kita sendiri “berdiri” saat harus melihat kembali tragedi ini .
Selanjutnya kita juga perlu bertanya pada diri sendiri: di tengah arus
sejarah Indonesia yang terus bergerak gerak selama ini sebenarnya di mana
kita berdiri? Di mana Anda berdiri?
Apa pun jawabnya, biarlah suara dan narasi-narasi di balik prahara
politik-kemanusiaan Tragedi ‘65 yang datang dari berbagai perspektif
itu menyegarkan ingatan kita akan apa yang terjadi pada waktu itu
dan sesudah nya. Dengan begitu, sekali lagi semoga kita akan menjadi
lebih bersemangat dan lebih dewasa dalam memperjuangkan hari-hari
depan bersama yang lebih cemerlang
SEBAGAIMANA telah kita lihat, menurut narasi resmi para korban
yang ditangkap dan dipenjarakan—atau dibunuh secara massal—
dalam Tragedi ’65 itu diperlakukan demikian karena mereka terlibat
dalam aksi ”pengkhianatan” (menurut istilah Orde Baru) yang
dilakukan oleh gerakan gerakan Tiga Puluh September pada tanggal 1 Oktober
1965 di Jakarta. Sementara itu, para korban perempuan lesbian ditangkap
atau dipenjarakan—atau dibunuh secara massal juga—karena mereka
terlibat dengan ”aksi amoral” yang dilakukan oleh para anggota
gerakan gerakan Wanita Indonesia di pangkalan udara milik Angkatan Udara
Republik Indonesia, Halim Perdanakusuma.
Meskipun demikian, di lapangan—sebagaimana akan kita lihat
dalam narasi-narasi dalam bagian ini—realitasnya cukup berbeda.
Banyak yang ditangkap, dipenjarakan atau disiksa sebenarnya tidak
punya kaitan langsung dengan apa yang terjadi di Jakarta pada tanggal
1 Oktober 1965 dini hari itu. Salah seorang korban Tragedi ’65 yang
ditangkap di keraton yogya pada tahun 1965, misalnya, ternyata hanyalah
seorang remaja muda kampung (putra seorang penjaga pasar) berusia 19
tahun. Sulit dibayangkan, dalam usia semuda itu ia telah mampu
merencanakan sebuah aksi ”pengkhianatan” terhadap negara, dan
oleh karena itu harus ditangkap dan dipenjara. Apa boleh buat, oleh
sejumlah petugas tak dikenal, ia dipandang membahayakan negara. Ia
pun ditangkap lalu dipenjarakan—tanpa surat resmi, tentu saja. sesudah
beberapa saat mengalami penderitaan hidup sebagai Tahanan Politik
di Pulau Nusa Kambangan, ia lantas dibuang ke Pulau Buru, jauh dari
kampung Ledhok Ratmakan di keraton yogya tempat ia menikmati harihari indah bersama teman-teman sekampungnya.
Korban lain yang juga bertutur pada bagian ini adalah seorang
pria keturunan etnis Tionghoa, yang waktu itu merupakan mahasiswa
Fakultas Sastra Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
keraton yogya . saat terjadi konfl ik politik tahun 1965 sebenarnya dia
tidak diapa-apakan. Namun demikian, pada tahun 1969, saat sedang
bekerja sebagai wartawan, tiba-tiba saja ia ditangkap. Tidak jelas
mengapa, tetapi mungkin alasannya hanya karena antara akhir tahun
1964 dan awal tahun 1965, ia pernah mengikuti ”Kaderisasi Revolusi”
di Jakarta. Padahal kaderisasi itu penggagasnya adalah Presiden Sukarno
sendiri, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
ketegangan rasial sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1963.
Kaderisasi itu sendiri sebenarnya merupakan kaderisasi terbuka,
melibatkan sekitar 600 peserta, dan instrukturnya antara lain adalah
Jenderal A.H. Nasution, Jenderal A. Yani, dan Ali Sastroamidjojo. Ia
ditahan di Penjara Salemba, dan pada tahun 1971 dibuang ke Pulau
Buru. Sembilan tahun lamanya ia ditahan dan disuruh kerja paksa di
tempat pembuangan itu, dan baru dibebaskan pada tahun 1979. Tak
ada permintaan maaf dalam bentuk apapun untuknya.
Sementara itu, seorang korban lain ternyata adalah korban salah
tangkap. Usianya baru 14 tahun saat itu, tetapi ia tetap ditangkap.
Alasannya ternyata karena namanya mirip dengan nama orang lain
yang sedang dicari petugas. Ia pun dimasukkan ke dalam penjara,
tanpa dijelaskan apa duduk masalahnya. Di penjara itu makanannya
tidak layak, yakni jagung dan gaplek50 berlaukkan ikan asin yang sudah
busuk. Semula ia ditahan di Penjara Wirogunan, keraton yogya , tetapi ia
lalu dipindahkan untuk sementara di Penjara Bulu, Semarang, sebelum
akhirnya dibuang ke Penjara Blatungan di daerah Semarang bersama
para Tahanan Politik perempuan lesbian yang lain. Baru pada tahun 1979 ia
dibebaskan, sehingga ia harus kehilangan 14 tahun hidupnya tanpa
ada kesalahan apa pun yang ia perbuat—kecuali bahwa namanya sama
dengan nama orang lain yang hendak ditangkap. Sulit membayangkan
anak kampung usia 14 tahun ini merupakan anggota sebuah gerakan gerakan
wanita yang menari-nari secara amoral di Lubang Buaya, jauh di dekat
Jakarta sana. Baginya juga tak ada permintaan maaf dalam bentuk apa
pun.
Tak kalah menarik dalam bagian ini adalah kisah seorang korban
yang waktu ditangkap, statusnya mahasiswi di keraton yogya dan aktif
dalam sebuah organisasi pergerakan gerakan pelajar yang bernama Ikatan Pemuda dan
Pelajar Indonesia. organisasi pergerakan gerakan itu biasa disebut IPPI dan memiliki
anggota kehormatan Presiden Sukarno. Semula mahasiswi ini
ditangkap dan ditahan tanpa alasan yang jelas. Empat bulan kemudian,
ia dilepaskan karena ternyata dia memang tidak diketemukan
kesalahan apa pun. Kepadanya diberikan surat pembebasan resmi.
Namun demikian, malang baginya, tak lama kemudian ia ditangkap
lagi. Kali ini surat resmi itu justru dijadikan alasan oleh para petugas
untuk menangkap dan menahannya. Ia disiksa, dihina, dan dituduh
anggota gerakan gerakan Wanita Indonesia. Ia sempat ditelanjangi di hadapan
petugas karena menurut para petugas itu (yang notabene semuanya
laki-laki) menuduh bahwa ia menyembunyikan tato bergambar palu
arit di dekat alat vitalnya. Mungkin susah dibayangkan bagaimana
sebuah organisasi pergerakan gerakan modern memberi identitas kepada anggotanya dalam
bentuk tato mini di bagian tubuh yang tidak biasa. Namun demikian, entah semua itu masuk akal atau tidak, entah ia ada kaitannya dengan
para perempuan lesbian yang konon menari-nari secara erotis di Pangkalan
Udara Halim Perdanakusuma atau tidak, ia harus mendekam selama
belasan tahun dalam penjara.
Yang juga akan kita temui dalam bagian ini adalah seorang mantan
pejuang yang pada masa mudanya menghabiskan waktu untuk angkat
senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Jakarta
dan sekitarnya. saat perjuangan selesai, ia dengan penuh keyakinan
memilih untuk membantu kelompok yang jumlahnya sangat besar
di negeri yang baru merdeka dan berciri agraris itu, yakni kelompok
petani. Perjuangannya untuk membela kelompok tani itu kemudian
membawanya untuk menjadi pemimpin gerakan gerakan tani dan kemudian
menjadi wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
( MPRS). Apa boleh buat, pada tanggal 1 Oktober 1965 suatu peristiwa
yang berada di luar jangkauan pengetahuannya terjadi, dan ternyata
salah satu buntut dari peristiwa itu adalah bahwa ia diburu dan
ditangkap. Ia sering diinterogasi oleh petugas, dan seusai interogasi,
biasanya dia harus digotong karena tubuhnya remuk dipukuli. Orang
boleh saja bertanya, itukah cara orang Indonesia berterima kasih
kepada mantan pejuang kemerdekaan negerinya? Namun demikian,
begitulah kenyataan yang harus dialami oleh narasumber kisah ini. Tak
hanya itu, ia juga lantas dibuang jauh ke Pulau Buru. Ia dibuang oleh
warga bangsa yang telah ia bela dan pertahankan kemerdekaannya.
Seorang narasumber lain memiliki kisah yang sedikit berbeda.
Ia sendiri tidak pernah disiksa atau dipenjara seperti yang lain-lain.
Namun demikian, derita yang dia alami tidak kalah hebatnya. Garagara ayahnya menjadi Tahanan Politik (hanya karena dipandang
membangkang terhadap permintaan seorang ketua kampung di
keraton yogya ) dan suaminya (ternyata) adalah juga mantan Tahanan
Politik, ia dan anak-anaknya terus menerus distigmatisasi, disingkirkan,
dan ditekan oleh masyarakat sekitar—bahkan oleh lingkungan
keluarganya sendiri. Tekanan demi tekanan datang silih berganti,
seakan tiada henti. Satu-satunya yang membuat dia mampu bertahan
hidup adalah keyakinannya akan Tuhan yang selalu baik terhadapnya,
dalam suka maupun duka, saat tidur maupun berjaga.
Kisah-kisah itu semua nyata dan menjadi bagian tak terpisahkan
dari Tragedi ’65. Namun demikian, sebagaimana kita tahu, kisahkisah seperti ini justru sering absen dari kisah tentang Tragedi ’65
menurut versi resmi penguasa. Dalam narasi resmi produk rezim
penguasa Orde Baru, misalnya, yang dipakai biasanya adalah pola
berpikir ”hitam-putih” sehingga dengan mudah ditentukan mana yang
benar dan mana yang salah—menurut versi pencerita. Suara rakyat
di tingkat masyarakat bawah lalu terabaikan. Melalui narasi-narasi di
bagian berikut ini, Anda akan diajak untuk sejenak mendengarkan
suara yang terabaikan itu. Dari narasi-narasi ini Anda mungkin
akan menjadi sadar bahwa predikat yang lebih tepat untuk mereka
mungkin bukan ”korban” melainkan ”survivor” atau mungkin bahkan
”pemenang”, mengingat mereka telah mampu untuk terus bertahan
hidup. Selain telah mampu bertahan hidup mereka juga telah bersedia
bertutur tentang apa yang mereka alami itu kepada Anda sekaligus
memaknai pengalaman itu. Selamat menyimak.
LAHIR tanggal 23 Januari 1944 di Kotagede, keraton yogya , narasumber
dari tuturan berikut adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Secara
tradisional, Asnawi (bukan nama sebenarnya) dan keluarganya adalah
keluarga Muhammadiyah, mirip dengan Suherjanto di atas. Ayahnya
seorang aktivis Muhammadiyah di tingkat cabang dan aktif dalam
berbagai kegiatan sosial di masyarakat. Saat Tragedi ’65 terjadi, usianya
sekitar dua puluh atau dua puluh satu tahun dan merupakan anggota
Pemuda Muhammadiyah. Waktu itu ia sedang studi banding di Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada ( UGM), keraton yogya .
Sejauh dia ingat, berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pemuda di daerahnya pada awal 1960-an berjalan
dengan baik dan kompak. Misalnya, kegiatan-kegiatan dalam bidang
seni dan beladiri. Seandainya pun ada semacam “konfrontasi” di bidang
budaya antara kelompok Muhammadiyah dengan kelompok Pemuda
Rakyat, biasanya bentuknya hanya sekadar “perang propaganda” melalui
papan yang dibuat oleh masing-masing pihak. “Paling itu saja. Jadi cuma
sekadar perang kata-kata saja lewat karya. Tidak ada kejadian bentrok
secara fi sik,” kata Asnawi.
Tentang Tragedi ‘65 sebagai sebuah peristiwa besar Asnawi tidak
banyak memberikan refl eksinya. Meskipun demikian, menurutnya
pemberian kode khusus (misalnya kode “ ET”) pada Kartu Tanda Pengenal
milik para mantan Tahanan Politik tidak tepat lagi. Ia mendukung
usaha orang-orang Muhammadiyah untuk mengadakan rekonsiliasi
dengan para mantan Tahanan Politik yang bentuknya adalah sosialisasi
dan dakwah.
Menurutnya pula yang terjadi pada tahun 1960-an adalah konfl ik
ideologi. Namun demikian, sejauh dia mengamati, sekarang ini konfl ik
macam itu sudah tidak ada, mengingat peran ideologi sudah tak menonjol
lagi. Kalaupun ada perbedaan pandangan, biasanya lebih menyangkut
soal sistem-sistem ekonomi, misalnya ekonomi kapitalis lawan ekonomi
non-kapitalis.”Kalau soal paham monotheis atau anti-monotheis, percaya
pada Tuhan atau tidak percaya Tuhan, sekarang ini kelihatannya orang
lebih berpikir secara rasional,” kata Asnawi lagi.
Seperti narasi sebelumnya, narasi berikut adalah pengolahan
kembali hasil wawancara yang dilakukan Mohammad Subkhi Ridho,
orang muda aktivis Muhammadiyah dan alumnus Program Magister
Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, keraton yogya .
Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2009 di kantor di Baitul
Mal wa Tamwil (BMT) an-Nikmah, Kotagede, keraton yogya
***
NAMA saya Asnawi. Saya lahir tanggal 23 Januari 1944 di Kotagede,
keraton yogya . Saya terlahir sebagai anak ragil [bungsu]. Kakak tertua saya
adalah seorang perempuan lesbian , dan saat ini menetap di Wonosobo, Jawa
Tengah. Kakak kedua saya seorang laki-laki, tetapi sudah mening gal
pada tahun 1999. Saya mempunyai seorang anak perempuan lesbian . Suami
anak saya dari Pekalongan dan saat ini mereka sudah memberikan
cucu pertama untuk saya.
Saya lahir dari tradisi keluarga Muhammadiyah. Bapak saya
aktivis Muhammadiyah, meskipun hanya di tingkat cabang dan bukan
di tingkat pusat. Ayah saya aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di
masyarakat. Misalnya dalam kegiatan koperasi di kampung, di mana
Bapak saya adalah ketuanya.
Saat terjadi Tragedi ’65, umur saya sekitar 20-21 tahun. Saya masih
berstatus mahasiswa, studi banding di Fakultas Ekonomi UGM [ Universitas
Gadjah Mada, keraton yogya ]. Waktu itu saya baru saja masuk studi banding ,
tetapi kemudian studi banding terhenti karena adanya peristiwa Gestapu itu.
saat itu seluruh kegiatan di UGM berhenti selama satu semester.
studi banding baru dimulai lagi pada tahun 1967-an. Saya menyelesaikan
program sarjana pada tahun 1971. Sejak mahasiswa, saya sudah aktif di
organisasi pergerakan gerakan sayap Muhammadiyah, yakni di Pemuda Muhammadiyah.
Saya sempat menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah sekitar tahun
1968-1970, sebelum saya lulus ujian sarjana dari UGM.
sesudah menyelesaikan studi banding sarjana pada tahun 1971, mulai
akhir tahun 1972 saya merantau ke Jakarta dan bekerja di sana. Selama
sekitar 30 tahun saya meninggalkan Yogya dan menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Jakarta, dan pada tahun 2003 saya kembali ke
Kotagede. Di Kotagede saya diminta untuk mengelola kegiatan di
Baitul Mal wa Tamwil atau BMT.
Memang Ada Ketegangan
Berkaitan dengan Tragedi ’65, baik sebelum maupun sesudahnya, saya
hanya berperan sebagai “pemain fi guran” saja. Ini meminjam istilah
dari dunia fi lm. Itu pun mungkin peran saya masih di bawah peran
pembantu, bukan sebagai aktor intelektual atau aktivis. Memang
setiap malam saya terlibat dalam ronda, akan tetapi masih dalam
bentuk sebatas wira-wiri, ubyang-ubyung [mondar-mandir dan ikutikutan] saja, bukan terlibat aktif, apalagi mengetahui berbagai hal
secara detil. Waktu itu masih kroco. Saya belum aktif sebagai pengurus
di Muhammadiyah. Memang saya sudah mulai ikut di Pemuda
Muhammadiyah, tetapi hanya sebagai anggota saja.
Sementara itu pada tahun 1960-1965 itu saya masih kecil.
Ibaratnya saya ini masih precil [anak katak]. Saya menjadi anggota
”Sanggar Bulus Kuning”, sebuah kelompok seni milik Muhammadiyah
di Kotagede. Saya menjadi anggota di Divisi Publikasi. Tugasnya
antara lain membuat spanduk, membikin gambar-gambar, baik
menggunakan papan ataupun kertas. Sanggar seni ini dibuat untuk
”mengimbangi” program-program kesenian Lembaga Kebudayaan
Rakyat ( Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI ).
Di kalangan Muhammadiyah memang ada banyak kegiatan
bidang seni. Terutama di antara Pemuda Muhammadiyah dan
Nasyiatul Aisyiah (NA). NA adalah organisasi pergerakan gerakan sayap perempuan lesbian muda
Muhammadiyah. Aktivitas seninya antara lain permainan musik
angklung, yang dibuat untuk mengimbangi kesenian ketoprak dan
tari Genjer-genjer milik Lekra. Akan tetapi tentang tari Genjer-genjer,
bentuknya bagaimana, saya tidak mengetahuinya. Hanya saja dahulu
pada tahun-tahun sebelum terjadinya Tragedi ’65, tarian itu memang
terkenal. Dulu sering dipentaskan di Jalan Sopingan, keraton yogya .
Pada waktu itu di Kotagede gerakan gerakan Wanita Indonesia atau
Gerwani tidak begitu menonjol. Yang menonjol kala itu adalah
kesenian dari Pemuda Rakyat. Dengan demikian NA bukanlah
kom petitor dari Gerwani. Adapun NA waktu itu sangat terkenal.
Kesenian angklung di Kotagede itu penggeraknya adalah para anggota
NA. Setiap ada perayaan hari besar Islam, di samping ceramah dan
sebagainya, biasanya hiburannya adalah musik. Nah, musiknya itu
musik angklung dan tari-tari yang Islami. Tarian Islami ini dilakukan
oleh orang-orang Kotagede sendiri, khususnya orang-orang Kotagede
yang tinggal di daerah sebelah timur, seperti di Mertosanan, Jampitan,
dan Piyungan.
Perlakuan di Muhammadiyah kepada orang-orang ”merah”
[maksudnya orang-orang berhaluan kiri atau anggota PKI , ed.]
secara spesifi k saya tidak mengetahuinya. Yang saya ketahui, sebelum
terjadinya Tragedi ’65 memang ada ketegangan. Ketegangan yang saya
maksud adalah ketegangan yang terjadi karena saat orang-orang Islam
melakukan kegiatan pengajian dan sebagainya, orang-orang ”merah”
itu melakukan kegiatan lainnya seperti latihan ketoprak, kumpulkumpul, dan sebagainya yang dimaksudkan untuk ”menandingi”
kegiatan di masjid.
Tidak Ada Bentrok Fisik
Informasi mengenai terjadinya Peristiwa Gestapu baru saya dengar
beberapa hari kemudian. Saya mendapat informasi bahwa peristiwa
itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, PKI . Informasi ini saya
terima dari salah satu keluarga saya yang kebetulan bekerja sebagai
intelijen. Ia menginformasikan kalau peristiwa Gestapu pelakunya
adalah PKI . Intel ini yang memberi tahu kepada orangtua saya
bahwa ada gerakan gerakan -gerakan gerakan seperti ini atau seperti itu. Saudara saya
itu lalu bilang kepada Bapak saya, “Tapi Bapak tidak usah khawatir,
tidak usah mengungsi karena rumah sudah teratasi dengan baik.”
Demikian kata kakak saya.
Informasi bahwa pelaku Peristiwa G30S adalah Partai Komunis
sebetulnya simpang siur. Saya sendiri sebenarnya kurang tahu.
Informasi yang saya ketahui hanya saya terima dari kakak saya saja.
Kakak saya memberi tahu supaya jangan keluar malam sendirian.
Yang saya dengar hanya itu saja.
Memang saat meletus peristiwa pembunuhan para Jenderal di
Jakarta, terjadi semacam tindakan counter attack [perlawanan-balik]
terhadap kegiatan orang-orang PKI . Jadi, waktu itu setiap malam warga
Muhammadiyah melakukan siskamling [kegiatan sistem keamanan
lingkungan], dan terus melakukan latihan beladiri. Di kalangan anakanak Muhammadiyah ada kecondongan untuk melakukan latihan
beladiri secara rutin. Padahal sebelumnya mereka tidak terlalu giat.
Tapi saya tidak ikut. Saya sendiri waktu itu senangnya pada kegiatan
gambar-menggambar dan lukis-melukis. Pokoknya lebih pada kegiatan yang dekat dengan bidang kesenian. Karena sejak kecil badan
saya sudah kurus, maka saya tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan
beladiri.
Yang jelas waktu itu semua kegiatan berjalan dengan kompak, baik
kegiatan di bidang seni maupun beladirinya. Kekompakan ini terlihat
dari kegiatan jaga malam yang terkoordinasi dengan baik. Kemudian
kegiatan dapur umum diselenggarakan oleh NA dan dipusatkan di
mushola dan sekitarnya.
Saya punya pengalaman pribadi yang membekas berkaitan
dengan riak-riak hubungan antara Muhammadiyah dengan PKI .
Pengalaman saya itu dalam bidang seni budaya yang mungkin
dianggap berkonfrontasi dengan seniman Lekra. Polemik muncul
saat kita sama-sama membuat tulisan propaganda lewat papan yang
dibuat oleh masing-masing. Paling itu saja. Jadi cuma sekadar perang
kata-kata saja lewat karya. Tidak ada kejadian bentrok secara fi sik.
Tetap Mewaspadai
Terkait kebijakan yang memberi tanda khusus di KTP orang-orang
yang dianggap PKI pada zaman Orde Baru, menurut saya situasi pada
waktu itu diperlukan. Akan tetapi dengan adanya perjuangan di bidang
Hak-hak Asasi Manusia [ HAM] seperti sekarang ini, kelihatannya
sudah tidak tepat lagi memberikan cap seperti itu.
Waktu itu tak lama sesudah Tragedi ’65, orang-orang Muha m -
madiyah di Kotagede mencoba melakukan rekonsiliasi, dan bentuknya adalah sosialisasi dan dakwah. Sosialisasi dan dakwah
dilakukan dengan cara bertemu dengan tokoh-tokoh PKI . Tapi
waktu itu saya sendiri tidak ikut melakukannya, karena saya masih
terlalu muda. Menurut saya sesudah terjadinya Tragedi ’65, dakwah
berkembang pesat di Kotagede. Tandanya adalah munculnya banyak
masjid. Sebelum terjadi Tragedi ’65 di sini jumlah masjid hanya ada
dua, yakni Masjid Gede dan Masjid Perak. Tapi sesudah Tragedi ’65
setiap kampung sudah memiliki masjid atau musholanya sendiri. Dan
itu berjalan hingga sekarang.
Sekarang ini kebetulan saya bergiat di bidang dakwah. Sekaligus
saya juga jadi jamaah di Masjid Mataram. Masjid Mataram itu masjid
kuno dan di sampingnya petilasan [peninggalan] makam raja-raja.
Di situ kan masih ada klenik [ilmu gaib]. Misalnya ada sirep37 dan
sebagainya. Paham klenik seperti itu kan harus dilawan.
Saya kira salah satu caranya supaya paham seperti itu tidak sampai
masuk lagi, ya dengan mengadakan sosialisasi sambil mengatakan
kepada mereka yang masih melaksanakan sirep bahwa hal macam
itu keliru. Praktik seperti itu berarti mengkultuskan, menghormati
arwah-arwah, dan sebagainya. Hal-hal seperti itu sebetulnya bukan
suruhan [perintah] agama. Agama apa pun, mana pun, kan begitu
ya? Jadi, caranya dengan melakukan banyak sosialisasi. Menurut saya
perlu sosialisasi dan dakwah. Nah, dakwahnya sesuai dengan yang
dilakukan oleh Pak AR [maksudnya AR Fachruddin],38 yakni caracara yang sejuk dan persuasif.
Cara yang tidak persuasif itu misalnya mengatakan kepada
tetangga “kowe kok ra salat?” [kamu kok tidak shalat?]. Wuuah..., kalau
caranya begitu mungkin tetangga itu malah akan benci. Perlu dicari
cara-cara lain. Misalnya melalui takjilan sore hari.
Mungkin juga dengan pendekatan ekonomi. Misalnya, sekarang
ini kan secara ekonomis banyak orang bekerja dengan gaji di bawah
ketentuan upah minimum regional. Ada buruh benik [kancing baju],
yakni buruh yang tugasnya memasang bat kancing baju, pendapatannya sehari hanya Rp 4.000,- sampai Rp 5.000,-. Jauuhhh..., jauh
dari upah minimum. Coba kalau jumlah itu dikalikan 30 [hari]. Kan
jumlahnya hanya antara Rp 120.000,- dan Rp 150.000,-? Padahal
ketentuan Upah Minimum Regional [UMR] untuk Yogya adalah Rp
672.000,- sekarang ini. Kalau seseorang menerima upah di bawah itu
kan berarti dia masih miskin.
Nah, kemiskinan seperti ini kan mirip sekali dengan kemiskinan
yang terjadi dulu itu. Banyak pemilik pabrik sangat kaya, tapi buruhburuhnya miskin-miskin. Situasi seperti ini harus diatasi melalui
sosialisasi dakwah. Selain itu, perlu juga meningkatkan kemampuan
ekonomi umat, khususnya mereka yang ada di grass roots, di lapisan
bawah. Saya yakin kalau kehidupan masyarakat sudah sejahtera nggak
akan timbul lagi hal-hal seperti dulu. Orang tidak akan aeng-aeng [anehaneh] lagi. Kalau hidupnya sudah sejahtera, orang akan berpikir, ”Ah,
ngapa aku golek gawean sing malah dilarang ro pemerintah? [Ah, kenapa
saya musti mencari pekerjaan yang dilarang oleh pemerintah?]
Menurut saya dulu itu yang paling bahaya sebetulnya adalah
paham ideologinya. Kalau zaman sekarang, sepertinya peran ideologi
itu tidak lagi menonjol. Yang ada malah paham-paham, atau sistem
ekonomi, misalnya paham kapitalisme. Kalau soal paham monotheis
dan anti-monotheis, percaya pada Tuhan atau tidak percaya Tuhan,
sekarang ini kelihatannya orang kan lebih berpikir secara rasional.
Meskipun demikian, kita harus tetap mewaspadai, jangan sampai
ada paham-paham yang seperti dulu itu. Sekarang kan zamannya
sudah lain. Tapi tetap harus diwaspadai, jangan sampai bahaya laten
itu timbul. Tapi ya, mungkin selama Rusia atau negara-negara lain
tidak memunculkan paham seperti itu [maksudnya paham komunis]
kemungkinannya kecil saja untuk bangkit lagi. Tapi bukan berarti kita
boleh mengabaikannya lho ya?
Yang akan Anda baca berikut ini adalah narasi tentang Tragedi ’65 di
mata seorang penganut Kejawen. Penuturnya adalah Agung Priyambodo
(bukan nama resmi tentu saja) yang berasal dari keraton yogya . Waktu
Tragedi ‘65 berlangsung ia adalah seorang remaja muda berusia 14 tahun,
masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan menjadi
anggota dari gerakan gerakan Siswa Nasionalis Indonesia ( GSNI).
Seingat dia, pada saat menjelang Tragedi ’65 relasi sosial antara
kelompok Agama, Nasionalis, dan Komunis biasa-biasa saja. Meskipun
resminya kelompok Nasionalis dan Komunis itu tidak menjadi bagian
dari kelompok Agama, menurut Agung, hal itu “ .... tidak berarti bahwa
yang kaum Nasionalis dan Komunis itu tidak beragama. Teman-teman
saya yang aktif di Pemuda Rakyat juga beragama.” Dia akui, mungkin
saja ada yang tidak beragama. Namun demikian, itu adalah urusan
pribadi.
Di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, sejauh dia tahu, meskipun
masyarakat terbagi dalam berbagai golongan, dalam hal kebudayaan
maju. Masing-masing kelompok, seperti kelompok Partai Nasional Indonesia dan kelompok Partai Komunis Indonesia, memiliki grup seni
ketoprak sendiri-sendiri. Semuanya berjalan dengan “guyup rukun” alias
rukun dan saling bekerjasama. Ia bahkan mendapat kesan bahwa waktu
itu bangsa Indonesia bangga dengan budayanya sendiri.”Kita betul-betul
berkepribadian di bidang kebudayaan,” ujarnya.
Agung menolak penggambaran dari masa Orde Baru bahwa
sebelum Peristiwa 1 Oktober 1965 itu suasana masyarakat kacau dan
saling bertentangan. Apalagi gambaran bahwa setiap orang seakan sudah
siap untuk saling berperang dan saling membunuh sebagai sesama anak
bangsa. “Itu tidak benar!” tandas Agung.
Menengok kembali pada apa yang telah terjadi, Agung yakin bahwa
setiap peristiwa tentu ada penyebabnya. Demikian pula dengan Tragedi
’65. Tragedi itu terjadi, menurutnya, karena ada yang melanggar aturan
Tuhan. Pelanggaran itu kemudian melahirkan penderitaan. Melalui
kacamata Kejawen, ia melihat bahwa seharusnya orang tidak boleh
terlibat dalam tindak pengucilan, penangkapan atau pembunuhan.
Alasannya, karena dengan melakukan tindakan-tindakan seperti itu
berarti seseorang menghakimi orang lain. Padahal seharusnya manusia itu
hidup dengan penuh kasih sayang dan saling mengampuni. Pesan Agung,
“Kepada siapa pun kita harus bersifat kasih sayang. Harus didasari
[keyakinan] bahwa Tuhan itu Maha Pengampun, dan oleh karena itu
manusia harus belajar saling mengampuni. Orang tidak boleh membenci
siapa pun. Yang berhak menghukum itu hanya Tuhan.”
Agung juga mengingatkan bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965
dan sesudahnya itu tidak lepas dari dinamika politik internasional. Waktu
itu Amerika dan seluruh Blok Barat sangat anti-komunis dan merasa
cemas saat Bung Karno membentuk “Poros Jakarta- Peking-Pnompenh”.
Itulah sebabnya, menurut pendapat Agung, “Mereka pun mendukung
apa yang terjadi pada tahun 1965. Nyatanya sesudah terjadinya Tragedi
‘65 mereka melakukan penjajahan ekonomi di sini.”
Narasi di bawah merupakan rangkuman hasil wawancara dengan
Agung yang ditulis kembali oleh Kiswondo, anggota Komisi Sejarah
PUSdEP yang sejak studi banding di Universitas Gadjah Mada keraton yogya
aktif dalam gerakan gerakan mahasiswa. Kini Kiswondo banyak tertarik untuk
melakukan penelitian dan bekerjasama dengan para survirors Tragedi
’65.
***
NAMA saya Agung Priyambodo. Dalam hal pilihan agama, saya
Islam, namun dalam hal kebudayaan saya penganut Kepercayaan
atau Kejawen. Saya bertempat tinggal di keraton yogya . saat Peristiwa
1 Oktober 1965 terjadi, saya masih berumur 14 tahun dan masih
duduk di bangku SMP Negeri II keraton yogya , kelas 3. Waktu itu saya
aktif di organisasi pergerakan gerakan ekstra sekolah gerakan gerakan Siswa Nasionalis Indonesia
atau GSNI.
Semua Kebudayaan Hidup
Menurut saya kotak-kotak golongan politik, yakni golongan nasionalis,
golongan agama (terutama agama Islam) dan golongan komunis, dulu
itu memang ada. Di sekolah pun ada. Tetapi tidak begitu tajam. Hanya
bersaing, dan tidak ada bentrok kekerasan. Kalau di sekolah tidak ada.
Itu yang saya alami ya. Tetapi kalau di luar, misalnya di kampung,
itu jelas sekali. Ada persaingan dan bentrokan. Dulu di kampung ada
kelompok Pemuda Rakyat dari PKI , lalu Pemuda Marhaen dari PNI,
kemudian ada juga Pemuda Muslim. Pengkotak-kotakan itu jelas
sekali ada pada waktu mendekati meletusnya Tragedi ’65. Waktu itu
situasi terasa panas.Tentang paham NASAKOM yang ada pada waktu itu saya
menangkapnya sebagai suatu rumusan untuk menunjukkan bahwa
dalam kenyataannya di Indonesia itu terdapat tiga golongan, yakni
golongan nasionalis, golongan agama, dan golongan komunis. Tetapi
ketiganya itu bisa disatukan dengan Pancasila. Yang ditonjolkan itu,
Pancasilanya. Boleh saja orang bergolong-golongan untuk menuju ke
Pancasila. Waktu itu menurut ajaran Bung Karno, kaum nasionalis di
Indonesia itu bukan seperti kaum nasionalis zamannya Hitler, yakni
kaum nasionalis yang sangat ekstrem, yang merasa bahwa menjadi
bangsanya adalah bangsa yang paling menonjol atau paling tinggi di
antara bangsa-bangsa lain, dengan kata lain bersikap chauvinistik.
Bukan. Kemudian agama di Indonesia pun bukan agama yang
mendorong sikap ekstrem, di mana orang menjadi yang paling benar.
Kaum agamawan di Indonesia tetap ingat, dasar negaranya adalah
Pancasila. Begitu. Jadi penggolongan itu hanyalah penggolongan
berdasarkan suatu ideologi. Mereka terpisah-pisahkan secara tegas.
Yang lebih penting lagi, pada waktu itu semua golongan itu beragama.
Hanya ideologi-ideologi politiknya saja yang berbeda.
Jadi, tidak berarti bahwa yang kaum Nasionalis dan Komunis
itu tidak beragama. Teman-teman saya yang aktif di Pemuda Rakyat
juga beragama. Tetapi mungkin ada juga sebagian yang tidak
beragama. Tetapi itu kan urusan pribadi. Di Indonesia itu memang
begitu. Berbeda dengan di luar negeri. Di sini yang ada itu hanya
pengelompokan berdasarkan pandangan politik: Nasionalis, Agama,
Komunis. Itu pandangan politik, bukan rasa Ke-Tuhan-an. Saya rasa
pada waktu itu semua orang beragama, ber-Tuhan. Apalagi negara
berdasaran Pancasila, khususnya sila pertama, yakni Ke-Tuhan-an
yang Maha Esa. Itu yang saya tangkap pada waktu itu, saat umur
saya masih 14 tahun.
Pada masa Bung Karno itu meskipun secara politik masyarakat
terbagi-bagi dalam golongan, tetapi dalam bidang kebudayaan
suasananya terasa lebih semarak. PNI punya ketoprak sendiri, PKI juga
punya ketoprak sendiri. Anehnya waktu itu malah terkesan muncul
suasana guyup rukun. Semua kebudayaan hidup dan kita bangga
dengan kebudayaan kita sendiri. Kita betul-betul berkepribadian di
bidang kebudayaan.
Sebenarnya Potensial Sekali
Kalau mengikuti cerita yang berkembang di masyarakat dan di artikel singkat artikel singkat sejarah pada masa Orde Baru dan sesudah nya, seolah-olah situasi
masyarakat sebelum Peristiwa 1 Oktober 1965 itu kacau. Seolah-olah
setiap orang siap berperang, siap untuk saling membunuh sesama anak
bangsa. Itu tidak benar! Menurut saya situasi waktu itu malah tidak
begitu tragis seperti sekarang. Pada waktu itu ada kepemimpinan yang
jelas. Meskipun ada perbedaan pendapat di sana-sini, rasa kebangsaan
itu masih kuat.
Misalnya, pernah ada peristiwa di mana saat Pemuda Marhaen
melakukan long march lengkap dengan atribut-atributnya dari Klaten
ke keraton yogya , dicegat di Prambanan oleh golongan Komunis. Memang
ada tawuran sebentar, tetapi tawurannya tidak sehebat sekarang ini.
Sekarang ini ada tawuran mahasiswa antar universitas. Bahkan antar
fakultas saja terjadi tawuran, seperti yang sering terjadi di Jakarta dan
Makasar. Tawuran antar pelajar SMP dan SMA saja juga sering terjadi
di Jakarta. Kalau dulu itu tidak begitu. Hanya ada beberapa orang
nakal yang suka memancing-mancing, sehingga terjadi tawuran, tetapi
lalu sudah. Tidak dahsyat dan berlarut-larut seperti sekarang ini.
Waktu Tragedi ‘65 itu terjadi sebenarnya bangsa Indonesia
bingung dan bertanya-tanya: sebenarnya ada apa dengan semua yang
terjadi ini? Lalu tiba-tiba ada peristiwa G30S itu, Peristiwa 1 Oktober
1965 itu. Dalam pidatonya Bung Karno tidak menyebutnya “ G30S”,
tetapi “ Gestok”. Artinya, gerakan gerakan Satu Oktober. Bung Karno tahutahu diungsikan di Halim [Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma,
ed.] dan sebagainya dan sebagainya. Semua orang tahu ceritanya.
Berdasar ingatan saya waktu itu, terdapat situasi politik yang
gawat, dan di situ ternyata ada dua blok di dalam Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia [ ABRI] sendiri. Jadi di angkatan bersenjata sendiri
ada dua blok, yakni blok yang termakan oleh ideologi komunis, dan
blok yang nasionalis dan agama. Keduanya berebut pengaruh. Hal
itu terjadi karena pengaruh masuknya partai politik ke ABRI. Lalu
ABRI terpecah dan termakan oleh politik partai itu. Akibatnya terjadi
bentrokan atau benturan.
Itu yang saya ingat dari masa kecil saya waktu itu. Waktu itu saya
belum bisa menghubung-hubungkan satu peristiwa dengan yang lain.
Iki ana apa sih sakjane? (Ini sebenarnya ada apa sih?). Apakah yang
menggerakkan bangsa ini sehingga pecah? Siapa yang berperanan?
Waktu itu lalu ada Jenderal Soeharto, komandan Kostrad, yang demi
keamanan memerintahkan penangkapan-penangkapan terhadap para
“pemberontak” itu. Jelas yang bergerak gerak di lapangan adalah Kolonel
Sarwo Edhi Wibowo. Saya sendiri pernah ikut melihat langsung di
alun-alun utara keraton yogya bagaimana Kolonel Sarwo Edhi Wibowo
datang dengan mengendarai helikopter dan disambut.
Ternyata sesudah peristiwa itu selesai, saya baru tahu bahwa ada
unsur-unsur pemecah-belah bangsa yang masuk ke dalam ABRI.
Seharusnya ABRI itu pengawal bangsa, pengawal Revolusi, tetapi
dalam kenyataannya justru terpecah belah dan saling bersaing.
Tetapi pada waktu itu saya tidak memiliki pandangan politik yang
mendalam. Ngertine ya mung ngana kuwi (yang saya tahu ya hanya
sebatas itu). Jadi korban-korban jenderal itu katanya para pendukung
Sukarno yang setia. Mereka dibunuh semua. Di Jakarta ada enam
jenderal dan satu perwira tinggi dibunuh. Di keraton yogya ada dua,
yakni Komandan Komando Resort Militer [KOREM] dan Kepala
Staf KOREM [KASREM]. Waktu itu kebetulan saya juga melihat
prosesi penguburan dua komandan ini di keraton yogya . Prosesinya
dilakukan dengan menggunakan angkutan Panser, lewat di depan
sekolah saya di SMPN II keraton yogya . Dari arah Jalan Malioboro
pro sesi berbelok ke kiri ke Jalan Senopati, lalu ke Taman Makam
Pahlawan. Saya melihat itu semua. Menurut cerita yang berkembang,
katanya pembunuhan itu terjadi di daerah Kentungan, sebelah utara
keraton yogya .
ABRI di keraton yogya pun terpecah. Batalyon 403 dulu terkenal
sebagai Yon L atau Batalyon L. Sementara Yon C [Batalyon C] itu
yang ada di Benteng Vredeburg. Yon L itu dulu katanya, sekali lagi
katanya, wong dulu saya masih kecil jadi belum benar-benar mengerti,
sudah termakan ideologi PKI . Artinya sudah mendukung PKI .
Kenyataan yang terpenting adalah bahwa meskipun situasinya
kacau, tetapi ekonomi rakyat tidak terpengaruh. Misalnya pegawai
negeri tetap kerja seperti biasa. Tidak terjadi chaos atau kekacauan
sosial. Ibu saya kerja wiraswasta, pengusaha modiste. Ia tetap
menerima jahitan, bordiran, dan sebagainya. Semuanya berjalan biasa
saja. Hanya saja waktu genting-gentingnya memang diberlakukan
jam malam, terjadi pemadaman listrik, serta tidak boleh menyalakan
lampu besar. Yang dibolehkan hanya menyalakan lampu kecil.
Berikutnya lalu terjadi penangkapan-penangkapan terhadap para
anggota PKI . Entah orang itu tahu soal pemberontakan atau tidak,
entah ikut berontak atau tidak, entah tahu politik atau tidak, pokoknya
semua ditangkap. Istilahnya terjadi pen-ciduk-an. Orang di-ciduk.
Saya melihat hal itu dengan mata kepala sendiri. Suatu hari sewaktu
saya pulang sekolah bersama segerombol anak melihat bagaimana
pencidukan itu terjadi. Saya melihat pencidukan atas suami Ibu yang
jualan gudheg di selatan Plengkung Wijilan. Tetapi saya tidak tahu
apakah orang itu dipulangkan lagi atau tidak. Mungkin dia meninggal
di tahanan atau dibunuh, atau apa. Saya lupa namanya. Kejadian itu
saya lihat sendiri. Kalau sekarang membeli gudheg di situ saya masih
ingat bahwa ibu yang jual gudheg ini dulu suaminya ditangkap. Saya
masih ingat jelas. Ibu itu sekarang sudah tua, tetapi masih gesit. Itu
salah satu peristiwa yang saya ingat.
Berkaitan dengan peristiwa pencidukan dan penculikan, menurut
saya situasinya waktu itu tidak terlalu kacau. Setidak-tidaknya di
daerah tempat tinggal saya. Saya dulu tinggal di Kecamatan Kraton di
Panembahan, keraton yogya . Ketua Pemuda Rakyatnya, yang saya kenal,
memang diambil. Dia diambil bersama seorang pelukis. Ada juga orang
dari Lembaga Kebudayaan Rakyat [ Lekra]. Kan, waktu itu oleh PKI
banyak seniman diwadahi di Lekra. Mereka itu memang sebetulnya
potensial sekali. Ada seniman kethoprak, pelukis, maupun yang aktif
di karawitan ikut ditangkap. Dua pemain kethoprak di Rotowijayan,
yakni Yatin dan Kadhariyah, juga ikut ditangkap. Saya tahu itu.
Dimasukkan Luweng
Menjelang terjadinya Peristiwa dini hari 1 Oktober 1965 itu
kebetulan kampung saya sedang membangun gedung Balai Rukun
Kampung [RK]. Dulu namanya RK, bukan Kelurahan. Untuk
mencari dana guna membiayai pembangunan ini diadakanlah
pertunjukan kethoprak “Kridho Mardi” di Sasono Hinggil. Dulu saya
ikut menonton, karena Bapak saya adalah salah satu anggota panitia
pertunjukkan. Tokoh-tokoh di Panembahan yang berkecimpung di
dunia seni Kethoprak itu ternyata semuanya tokoh Lekra. Lakonlakon kethoprak yang saya lihat waktu kecil itu sampai sekarang masih
saya ingat. Ceritanya memang bagus. Kalau dibandingkan dengan
lakon-lakon kethoprak zaman sekarang memang berbeda. Jauh lebih
bagus. Dulu para pemainnya adalah para pemain watak. Hanya sebatas
itu yang saya ketahui.
Kalau mengenai pembunuhan-pembunuhan itu saya tidak
melihat. Waktu itu saya masih sekolah, tapi lalu sekolah diliburkan
sebentar. Bulan Agustus [1965] seharusnya saya ujian SMP. Tetapi
ujian itu diundur. Baru pada bulan Januari 1966 ujian itu terselenggara. Tahun 1966 saya masuk SMA. Saya lupa kapan persisnya, tapi
pokoknya pada bulan-bulan muda. Tapi situasi yang sebenarnya
katanya sedang terjadi tragedi. Katanya mereka yang diciduk-ciduk
tentara itu kemudian dibawa pakai truk tertutup lalu dimasukan kamp
seperti pada zaman Hitler. Sebagian besar yang termasuk Golongan B
ditahan di Pulau Nusa Kambangan, lalu dipindahkan ke Pulau Buru.
Mereka yang termasuk Golongan A langsung diadili dan dihukum
mati. Sementara itu, mereka yang termasuk Golongan C dijebloskan
di penjara-penjara setempat.
Sebagian lagi katanya dieksekusi dengan cara dicemplungke
[dimasukkan] ke dalam luweng39 di daerah Wonosari, Gunung Kidul.
Mereka diperintah untuk berbaris lalu ditembaki dan dijatuhkan
ke lubang luweng. Masih menurut cerita yang beredar, katanya ada
yang tidak ditembak, tetapi ditutup matanya, diikat tangannya lalu
disuruh jalan, padahal di depannya ada mulut luweng yang besar itu.
Di bawah luweng ada sungai bawah tanah. Jadi mereka terjatuh ke
dalam luweng. Waktu itu oleh orangtua saya tidak diperbolehkan
bermain terlalu jauh, sebab situasi sedang genting. Jadi, saya tidak
benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Saya hanya tahu dari
cerita-cerita yang beredar. sesudah semuanya selesai, tahun berapa saya
kurang ingat, saya baru tahu tragedi itu sesudah diceritai.
Sebenarnya konfl ik dan benturan itu tidak ada. Aneh memang.
Situasi di atas [elite politik] gawat, tetapi bagi pelajar dan mahasiswa
biasa tidak ada apa-apa. Semuanya ayem tentrem [tenteram dan
bahagia] dan lancar-lancar saja. Tidak ada konfl ik yang tajam sekali.
Di sekolah misalnya, tidak terjadi konfl ik. Suasananya biasa-biasa saja.
Misalnya, mereka yang masih sekolah dan orangtuanya PKI , atau ikut
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), tidak diapa-apakan oleh
pihak guru. Hanya dipanggil dan diingatkan saja. Ada yang kemudian
bisa terus sekolah sampai bisa studi banding .Waktu itu bahkan ada juga yang
bisa masuk AKABRI.
Kemudian saya juga masih ingat peristiwa pengepungan Gedung
Chung Hua Tjung Hwee [ CHTH]. Gedung itu dikepung oleh massa,
karena ada rumor yang berkembang dan mengatakan bahwa Pemuda
Rakyat merencanakan pembakaran Masjid Agung atau Masjid Kauman, atau bagaimana persisnya saya kurang paham. Lalu datang ABRI
dan terjadilah tembak-menembak, semacam perang-perangan. Saya
ada di situ tapi bersembunyi di Kantor Pos Pusat keraton yogya . Saya
menyelinap di pagarnya bersama teman-teman saya, mengintip melalui
kawat-kawat pagar di temboknya itu. Gedung KONI di sebelah barat
Kantor Pos Pusat itu dahulu adalah Gedung CHTH. “ CHTH” itu
tulisan Cina yang artinya apa saya tidak tahu. Karena orang Cina
banyak yang ikut Komunis, maka posisi mereka gawat. Teman saya
yang menjadi ketua Pemuda Rakyat ditangkap lalu dibawa ke Pulau
Nusa Kambangan. Saya lupa nama teman itu, tetapi saya tahu dia.
Rumahnya di daerah Langenastran. Dia benar-benar tokoh Komunis.
Seluruh keluarganya tokoh-tokoh komunis semua.
Selanjutnya waktu itu lalu terjadi ketegangan antar pelajar. Apalagi
sesudah Partai Nasional Indonesia [PNI] pecah. Saat itu sempat beredar
isu bahwa PNI ikut terlibat, tokohnya ada yang ikut terlibat. PNI
lalu terpecah menjadi “PNI Asu” dan “PNI Osa-Usep”.40 Muncullah
Kesatuan Aksi Pemuda