u : (a)
menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang
dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas
yang memadai, tidak mudah tergelincir dalam kesalahan,
mengetahui pemakaian lafal-lafal dengan tepat, serta mampu
menyeleksi dalil yang benar dan dalil yang salah; (b) menguasai
kaidah-kaidah syarak sehingga memiliki kemampuan untuk
memakai dalil-dali syarak secara tepat, sesuai atau tidak sesuai;
(c) memahami maqashid al - syri‘ah , sehingga berdasar ketajaman
nalurinya, ia mampu menetapkan hukum secara tepat dan benar,
mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan
kepadanya, meskipun masalah ini tidak dijelaskan secara
eksplisit dalam nas syarak.
Adapun menurut al-Gazali, seorang mujtahid haruslah
menguasai Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Di samping itu, seorang
mujtahid juga harus menguasai dua macam ilmu, yaitu ilmu-ilmu
pendahuluan ( mu qaddaman) untuk dapat menarik ketentuan hukum
dari sumber hukum yang asli, yaitu Alquran dan atau Sunah. Ini
memerlukan penguasaan penuh terhadap leksikografi dan gramatika
sehingga memahami ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab. Jenis
yang kedua mencakup pengetahuan ‘ulum al- Qur’an dan ‘ulum al -
hadits sehingga dapat membedakan hadis yang sahih dan yang palsu,
hadis yang salah dan yang benar. Penguasaan terhadap ilmu -ilmu
ini, terutama ‘ulum al - Qur’an dan ‘ulum al - hadits, leksikografi dan
yurisprudensi sangat mendasar untuk menjadi seorang mujtahid.
Memerhatikan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa
syarat-syarat seorang mujtahid meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Menguasai bahasa Arab, baik tetang gramatikanya (Nahwu dan
Sharaf) maupun kaidah-kaidah kebahasaannya ( qawa‘id al -
lugawiyah ), sehingga seorang mujtahid mampu menangkap
“pesan” yang ada dalam kata perkata dan redaksional
kalimat yang ada dalam nas syarak. Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mampu membedakan antara mut}laq
dengan muqayyad , hakikat dengan majaz , ‘amm dengan khash ,
dan lain sebagainya.
b. Mengetahui ‘ulum al- Qur’an dan ‘ulum al - hadits, sehingga
mengenali nasikh - mansukh , atau ayat-ayat yang ditakhsis oleh
hadis, dan terutama menguasai ayat-ayat hukum. Demikian juga
‘ulu m al - hadits diperlukan untuk mengetahui kualifikasi hadis
mana hadis yang mutawatir, sahih, dha‘if , mu‘tall, dan lain
sebagainya.
c. Mengetahui wawasan yang komprehensif tentang yurisprudensi
hukum Islam, sehingga dapat memetakan materi hukum yang
telah diijmakkan atau yang masih diperselisihkan agar produk
ijtihadnya tidak dianggap sumbang.
d. Menguasai sehingga paham terhadap metode -
metode mengistinbatkan hukum, seperti kias, istihsan,
mashlahah mursalah , dan lain sebagainya, dan menguasai pula
proses menganalogikan suatu hukum cabang (furu‘ ) dengan
hukum asalnya.
e. Mengetahui maqashid al- ahkam , bahwa tujuan hukum Islam
yaitu untuk mendatangkan rahmat bagi semesta alam yang
harus diaplikasikan dalam bentuk pemenuhan atau perlindungan
hajat hidup manusia, baik yang primer, sekunder, maupun
tersier.
Permasalahannya kemudian yaitu apakah syarat -syarat
mujtahid yang demikian rigid dan mendetail ini dapat dimiliki
oleh ulama Islam dewasa ini. Menanggapai hal ini, sebagian ulama
berpendapat bahwa kriteria mujtahid mutlak sulit terpenuhi pasca
era imam mazhab, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa
pada setiap generasi pasti akan muncul para mujtahid pada
zamannya. Menurut Abu Zahrah, persyaratan yang telah
diuraikan di atas yaitu unutk mujtahid mutlak.
berdasar uraian para ulama ushul fiqh ini di atas,
maka dapat dipahami bahwa seorang mujtahid dalam pengertian
b. Mengetahui ‘ulum al- Qur’an dan ‘ulum al - hadits, sehingga
mengenali nasikh - mansukh , atau ayat-ayat yang ditakhsis oleh
hadis, dan terutama menguasai ayat-ayat hukum. Demikian juga
‘ulu m al - hadits diperlukan untuk mengetahui kualifikasi hadis
mana hadis yang mutawatir, sahih, dha‘if , mu‘tall, dan lain
sebagainya.
c. Mengetahui wawasan yang komprehensif tentang yurisprudensi
hukum Islam, sehingga dapat memetakan materi hukum yang
telah diijmakkan atau yang masih diperselisihkan agar produk
ijtihadnya tidak dianggap sumbang.
d. Menguasai sehingga paham terhadap metode -
metode mengistinbatkan hukum, seperti kias, istihsan,
mashlahah mursalah , dan lain sebagainya, dan menguasai pula
proses menganalogikan suatu hukum cabang (furu‘ ) dengan
hukum asalnya.
e. Mengetahui maqashid al- ahkam , bahwa tujuan hukum Islam
yaitu untuk mendatangkan rahmat bagi semesta alam yang
harus diaplikasikan dalam bentuk pemenuhan atau perlindungan
hajat hidup manusia, baik yang primer, sekunder, maupun
tersier.
Permasalahannya kemudian yaitu apakah syarat -syarat
mujtahid yang demikian rigid dan mendetail ini dapat dimiliki
oleh ulama Islam dewasa ini. Menanggapai hal ini, sebagian ulama
berpendapat bahwa kriteria mujtahid mutlak sulit terpenuhi pasca
era imam mazhab, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa
pada setiap generasi pasti akan muncul para mujtahid pada
zamannya. Menurut Abu Zahrah, persyaratan yang telah
diuraikan di atas yaitu unutk mujtahid mutlak.244
berdasar uraian para ulama ushul fiqh ini di atas,
maka dapat dipahami bahwa seorang mujtahid dalam pengertian
luasnya yaitu para ulama yang memiliki kecakapan untuk
melakukan penalaran guna mengistibatkan hukum dari nas Alquran
dan Sunah terhadap masalah-masalah yang tidak disebutkan secara
eksplisit ( manthuq ) di dalam nas syarak. Kinerja yang demikian
dikenal dengan istilah ijtihad, yakni usaha yang serius dan optimal
untuk mendapatkan pemahaman mengenai aturan-aturan syari’ah.
P enjelasan mengenai tingkatan atau macam-macam mujtahid
di bawah ini kiranya dapat memperjelas tentang kualifikasi mujtahid.
4. Macam- macam Mujtahid
Dalam literatur , secara teoretis, kriteria
mujtahid dapat diklasifikasikan menjadi empat tingkatan sebagai
berikut.
a. Mujtahid mustaqill atau mujtahid mutlak, yaitu orang yang
mampu mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung
dan independen dari sumber hukum aslinya, yaitu nas Alquran
dan Sunah melalui penalaran normatif secara deduktif-makro.
bila tidak mendapati sumber hukumnya dalam nas Alquran
dan Sunah, maka ia akan memakai segala metode ijtihad
seperti metode analogi (kias), istihsan, mashlahah al - mursalah ,
dan sadd al- dzari‘ah . Mereka berijtihad dengan memakai
manhaj - nya sendiri, tidak mengikuti manhaj orang lain. Di
antara para ulama yang termasuk kategori ini dari kalangan
tabi’in yaitu Sa’ id bin al-Musayyab dan an -Nakha’ i. Adapun dari
kalangan mujtahid mazhab yaitu Ja’far ash -Shadiq, al-B aqir,
Abu Han ifah, M alik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al -Auza’ i,
Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya.
b. Mujtahid muntasib , yaitu orang-orang yang dalam berijtihad
bergantung dan memakai manhaj ulama lain tetapi memiliki
ketetapan hukum yang berbeda. Mereka ini yaitu para ulama
pengikut mazhab tertentu, seperti pengikut Abu Han ifah, M alik,
al-Syafi’i , dan Ahmad bin Hanbal. Di antara ulama yang termasuk
kategori ini yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin al -Hasan, dan
Zufar dari pengikut Abu Han ifah; al -Muzn i dari pengikut Mazhab
al-Syafi’ i; Abd ar -Rahm an bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al -Hakam, dan
lain sebagainya.
c. Mujtahid fi al- madzhab , yaitu para ulama yang mengikuti
pendapat para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi
( manhaj ) ijtihad yang dipakai maupun dalam produk
pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanaannya, langkah pertama
yaitu mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang dipakai
para imam mazhab sebelumnya dan kaidah -kaidah fiqh,
kemudian secara induktif kaidah-kaidah ini diterapkan
dalam kasus hukum yang terjadi di warga dan belum
pernah ditemukan sebelumnya. Menurut , praktik
ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq al -
manath .
Dengan melekatnya kompetensi ijmak pada diri mujtahid,
maka orang awam yang tidak memiliki kemampuan berijtihad,
persetujuan atau penolakannya tidak dianggap dalam proses
pemebntukan ijmak. Artinya, kesepakatan atau ketidaksepakatan
orang awam tidaklah diperhitungkan karena keterbatasan
kemampuan mereka untuk menganalisis atau menggali hukum-
hukum syarak dari sumber aslinya.
Menurut al -Gazali, 247 dalam masalah-masalah prinsip yang
dapat dipahami, baik oleh ulama mujtahid maupun orang awam
(seperti salat wajib lima kali sehari semalam, puasa bulan Ramadan,
zakat, haji, dan sebagainya), kesepakatan orang awam diperlukan.
Tetapi dalam masalah-masalah yang hanya dapat dipahami oleh
umat mujtahid (seperti peraturan-peraturan terperinci dalam
ibadah dan perdagangan), maka kesepakatan atau ketidaksepakatan
orang awam tidak perlu diperhitungkan. Al-Bazdawi memiliki
pendapat yang sama, bahwa tidak semua objek ijmak
mempersyaratkan mujtahid sebagai peserta ijmak, tergantung pada
masalah yang akan diijmakkan.248 Akan tetapi, sebagian ulama ushul
al-Syafi’ i; Abd ar -Rahm an bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al -Hakam, dan
lain sebagainya.
c. Mujtahid fi al- madzhab , yaitu para ulama yang mengikuti
pendapat para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi
( manhaj ) ijtihad yang dipakai maupun dalam produk
pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanaannya, langkah pertama
yaitu mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang dipakai
para imam mazhab sebelumnya dan kaidah -kaidah fiqh,
kemudian secara induktif kaidah-kaidah ini diterapkan
dalam kasus hukum yang terjadi di warga dan belum
pernah ditemukan sebelumnya. Menurut , praktik
ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq al -
manath .246
Dengan melekatnya kompetensi ijmak pada diri mujtahid,
maka orang awam yang tidak memiliki kemampuan berijtihad,
persetujuan atau penolakannya tidak dianggap dalam proses
pemebntukan ijmak. Artinya, kesepakatan atau ketidaksepakatan
orang awam tidaklah diperhitungkan karena keterbatasan
kemampuan mereka untuk menganalisis atau menggali hukum-
hukum syarak dari sumber aslinya.
Menurut al -Gazali, 247 dalam masalah-masalah prinsip yang
dapat dipahami, baik oleh ulama mujtahid maupun orang awam
(seperti salat wajib lima kali sehari semalam, puasa bulan Ramadan,
zakat, haji, dan sebagainya), kesepakatan orang awam diperlukan.
Tetapi dalam masalah-masalah yang hanya dapat dipahami oleh
umat mujtahid (seperti peraturan-peraturan terperinci dalam
ibadah dan perdagangan), maka kesepakatan atau ketidaksepakatan
orang awam tidak perlu diperhitungkan. Al-Bazdawi memiliki
pendapat yang sama, bahwa tidak semua objek ijmak
mempersyaratkan mujtahid sebagai peserta ijmak, tergantung pada
masalah yang akan diijmakkan.248 Akan tetapi, sebagian ulama ushul
berpendapat bahwa dalam proses ijmak harus mengikutsertakan
orang awam. Oleh karena itu, dalam mendefinisikan ijmak, kata
“ ittifaq al- mujtahidin ” diganti dengan kata “ ittifaq ummah
Muhammad ”.
Ulama -ulama yang lain mengatakan bahwa ijmak dengan tidak
mengikusertakan orang awam dianggap sah karena orang awam
tidak memiliki kapasitas untuk mencari kebenaran. Ia dapat
disamakan dengan seorang anak kecil atau seorang gila. Di samping
itu, infalibilitas warga sama artinya dengan infalibilitas seorang
yang dapat dipandang memiliki kemampuan untuk menjangkau
kebenaran. Pada era sahabat dari generasi pe rtama, mereka sepakat
bahwa pendapat seorang awam tidak akan dipertimbangkan dalam
ijmak. Sebab, bila seorang awam menyuarakan pendapatnya
dalam masalah hukum, ia melakukan hal itu tanpa didukung
pengetahuan. Tampaknya mensyaratkan mujtahid sebagai pihak
yang paling berkompeten dalam berijmak tidaklah seberapa
conplicated karena sebagian besar ulama sependapat tentang hal
ini .
Hal lain yang menjadi ajang perselisihan pendapat di kalangan
ulama ushul fiqh ialah tentang syarat keislaman seseorang untuk
dapat perperan dalam proses ijmak. Hal ini karena dalam
definisi ijmak yang dikemas oleh para ulama ada kata “ ummah
Muhammad ”. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan kata ini yaitu mukalaf, yakni orang Islam yang sudah
berakal dan balig, atau orang yang memiliki kecakapan bertindak
(ahliyyat al- ada’ ).251 berdasar persyaratan ini, maka orang kafīr,
anak-anak dan orang gila jelas tidak memiliki kompetensi sama
sekali dalam proses ijmak.
Menurut Ali Abd al -Raziq, meski ada perbedaan redaksi,
namun kata “mukalaf” mengarah pada suatu konsep Muslim, bal ig
dan berakal yang benar-benar memiliki kemampuan, keahlian atau
kepakaran untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari sumber-
sumbernya.
Dengan memerhatikan kriteria ini di atas, dapat
diketahui bahwa keislaman seseorang merupakan prasyarat
kompetensi orang untuk berijmak, sehingga pendapat dan
pemikiran seorang non-Muslim tidak dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam berijmak. Untuk ini, al -Amidi mengemukakan
alasan bahwa ijmak ditetapkan atas dasar Alquran dan Sunah (adillah
sam‘iyyah ) yang tidak merekomendasikan keikusertaan non-Muslim
dalam berijmak. Sebaliknya, keduanya hanya mengimplikasikan
infalibilitas kesepakatan dari orang-orang beriman saja. Tegasnya,
pemikiran dan pendapat dari orang kafīr tidak diakui dalam Islam.
Dengan demikian, pendapatnya tidak akan dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan atau menolak suatu sumber syari’ah. bila
ijmak yaitu sah tanpa menyertakan pendapatnya, maka
ketidaksetujuannya pun juga tidak akan memengaruhi keabsahan
dan legitimasi ijmak.
Hal yang demikian ad alah karena keberadaan ijmak sebagai
hujah yaitu berdasar dalil-dalil “sama‘i ”, maka tidak akan ada
ghirah untuk mensyiarkan Islam bagi non-Muslim. Dengan
demikian, maka tidak akan ada urgensi dan signifikasinya
memasukkan non-Muslim dalam kompetensi i jmak, karena muara
ijmak yaitu untuk “memelihara” pemeluk/umat Islam sendiri.
Fazlur Rahman memiliki pendapat yang cukup “liberal”
mengenai syarat keislaman orang untuk berpartisipasi dalam proses
ijmak. Rahman menekankan sikap inklusivisme Islam sehubu ngan
dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasar
sejumlah ayat Alquran, di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 62 dan Q.S.
al-Ma’idah [5]: 69, yang menurut penafsiran Rahman menunjukkan
bahwa siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat
serta melakukan perbuatan baik, akan selamat. Dalam negara
modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama
kepakaran untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari sumber-
sumbernya.
Dengan memerhatikan kriteria ini di atas, dapat
diketahui bahwa keislaman seseorang merupakan prasyarat
kompetensi orang untuk berijmak, sehingga pendapat dan
pemikiran seorang non-Muslim tidak dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam berijmak. Untuk ini, al -Amidi mengemukakan
alasan bahwa ijmak ditetapkan atas dasar Alquran dan Sunah (adillah
sam‘iyyah ) yang tidak merekomendasikan keikusertaan non-Muslim
dalam berijmak. Sebaliknya, keduanya hanya mengimplikasikan
infalibilitas kesepakatan dari orang-orang beriman saja. Tegasnya,
pemikiran dan pendapat dari orang kafīr tidak diakui dalam Islam.
Dengan demikian, pendapatnya tidak akan dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan atau menolak suatu sumber syari’ah. bila
ijmak yaitu sah tanpa menyertakan pendapatnya, maka
ketidaksetujuannya pun juga tidak akan memengaruhi keabsahan
dan legitimasi ijmak.
Hal yang demikian ad alah karena keberadaan ijmak sebagai
hujah yaitu berdasar dalil-dalil “sama‘i ”, maka tidak akan ada
ghirah untuk mensyiarkan Islam bagi non-Muslim. Dengan
demikian, maka tidak akan ada urgensi dan signifikasinya
memasukkan non-Muslim dalam kompetensi i jmak, karena muara
ijmak yaitu untuk “memelihara” pemeluk/umat Islam sendiri.
Fazlur Rahman memiliki pendapat yang cukup “liberal”
mengenai syarat keislaman orang untuk berpartisipasi dalam proses
ijmak. Rahman menekankan sikap inklusivisme Islam sehubu ngan
dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasar
sejumlah ayat Alquran, di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 62 dan Q.S.
al-Ma’idah [5]: 69, yang menurut penafsiran Rahman menunjukkan
bahwa siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat
serta melakukan perbuatan baik, akan selamat. Dalam negara
modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama
lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim maupun
bukan Muslim.
Pandangan Rahman di atas dengan jelas mengidealkan adanya
kesetaraan di antara sesama warga bangsa di era modern ini, baik
Muslim maupun non -Muslim, serta persamaan hak dan
kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus.
Karena itu, ketika suatu ijmak mengkristal atau berhasil dicapai
dalam komunitas ini , berdasar prinsip mayoritas, ia
mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Namun, dalam kitab
Musallam as \ - S|ubut disebutkan bahwa non-Muslim boleh
berpartisipasi dalam proses ijmak, pendapat mereka diperhitungkan.
Al-Syaukani memiliki pendapat yang relatif moderat sekaligus
netral dalam memaknai kata “ ummah Muhammad ”. Menurutnya,
kata ini hanya mengecualikan kesepakatan umat masa lalu
sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul. 256 Dengan
statemennya yang demikian, sepertinya al-Syaukani tidak ingin
terlalu berpolemik tentang kompetensi dan kualifikasi mujtahid
untuk berijmak, termasuk mempermasalahkan keberagamaannya.
Pada bagian akhir pembahasan tentang kompetensi untuk berijmak,
al-Amidi dengan sangat cermat menyatakan bahwa semua
persyaratan tentang kompetensi ijmak yang ketat dan rumit
hanyalah teori semata, yang kesemuanya merupakan keyakinan yang
terbangun setelah isu tertutupnya pintu ijtihad.
5. Produk Ijtihad Kontemporer
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa fiqh
merupakan produk ijtihad sedangkan piranti metodologisnya yaitu
ushul fiqh. Akan tetapi sebenarnya ada beberapa macam
produk pemikiran hokum selain fiqh yang masing-masing memiliki
karakterisitik tersendiri. Dalam hubungan ini, menurut Atho’
Mudzhar, sedikitnya dikenal ada empat kategori produk pemikiran
hukum Islam, yaitu fiqh yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh,
fatwa para ulama, baik secara individu maupun
kolektif/kelembagaan, peraturan perundang -undangan ( qanun ),
serta keputusan pengadilan ( qadh a’ ).258 Keempat macam produk
pemikiran hukum Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Fiqh yaitu pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang
berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari dalil-dali
syarak yang sepsifik.259 Sebagai contoh, berdasar firman
Allah swt dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 77, yang artinya “Dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat”, dapat dipahami bahwa salat lima
waktu dan membayar zakat itu hukumnya wajib.
b. Keputusan pengadilan yang sering disebut dengan al- qadha’ ,
yaitu ucapan atau tulisan penetapan serta keputusan yang
dikeluarkan oleh lembaga atau badan yang diberi kewenangan
untuk itu (wilayat al- qadha’ ).260 Dalam pembahasan tentang
peradilan (al- qadha’ ), menurut para ulama, idealnya seorang
hakim yaitu seorang mujtahid, mengingat keputusan hakim
selain mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, juga dapat
dijadikan yurisprudensi, acuan, atau rujukan oleh hakim lain
dalam menyelesaikan kasus hukum yang sama.
c. Fatwa, yaitu hasil ijtihad seorang mufti atau kelembagaan
sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan atau
ditanyakan kepadanya. Oleh karena itu, fatwa sejatinya lebih
spesifik dan terkadang kasuistik, tidak seperti fiqh atau hasil
ijtihad pada umumnya.261 Dengan pengertian dan posisi fatwa
yang demikian, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang
difatwakan oleh seorang mufti sesungguhnya telah dibahas
dalam fiqh, namun belum diketahui oleh orang yang meminta
hukum Islam, yaitu fiqh yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh,
fatwa para ulama, baik secara individu maupun
kolektif/kelembagaan, peraturan perundang -undangan ( qanun ),
serta keputusan pengadilan ( qadh a’ ). Keempat macam produk
pemikiran hukum Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Fiqh yaitu pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang
berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari dalil-dali
syarak yang sepsifik. Sebagai contoh, berdasar firman
Allah swt dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 77, yang artinya “Dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat”, dapat dipahami bahwa salat lima
waktu dan membayar zakat itu hukumnya wajib.
b. Keputusan pengadilan yang sering disebut dengan al- qadha’ ,
yaitu ucapan atau tulisan penetapan serta keputusan yang
dikeluarkan oleh lembaga atau badan yang diberi kewenangan
untuk itu (wilayat al- qadha’ ). Dalam pembahasan tentang
peradilan (al- qadha’ ), menurut para ulama, idealnya seorang
hakim yaitu seorang mujtahid, mengingat keputusan hakim
selain mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, juga dapat
dijadikan yurisprudensi, acuan, atau rujukan oleh hakim lain
dalam menyelesaikan kasus hukum yang sama.
c. Fatwa, yaitu hasil ijtihad seorang mufti atau kelembagaan
sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan atau
ditanyakan kepadanya. Oleh karena itu, fatwa sejatinya lebih
spesifik dan terkadang kasuistik, tidak seperti fiqh atau hasil
ijtihad pada umumnya.261 Dengan pengertian dan posisi fatwa
yang demikian, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang
difatwakan oleh seorang mufti sesungguhnya telah dibahas
dalam fiqh, namun belum diketahui oleh orang yang meminta
fatwa. Berbeda dengan keputusan pengadilan yang bersifat
mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara, maka fatwa tidak
memiliki daya ikat kepada orang yang bertanya sekalipun,
apalagi kepada orang lain.
d. Perundang -undangan atau qanun , yaitu peraturan yang dibuat
oleh suatu badan legislatif (as- sulthah at- tasyri‘iyyah ) yang
mengikat setiap warga di mana undang-undang itu
diberlakukan, dan bila dilanggar, maka akan mendatangkan
sanksi.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa peran dan fungsi
fiqh lebih dominan dibandingkan dengan fatwa, qanun , ataupun
qadha’ . Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika di kalangan
warga , terutama warga Islam Indonesia, terasa sekali
fiqh - oriented-nya. Hal ini disebabkan fiqh mengandung berbagai
implikasi konkret bagi perilaku keseharian, baik individu maupun
warga .263 Fakta sejarah menunjukkan bahwa hasil pemikiran
yang berupa fiqh sering memengaruhi fatwa seorang mufti, hakim di
pengadilan, atau para pejabat dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan. Artinya, fiqh menempati posisi yang sangat
strategis dalam dinamika pembinaan dan pembaruan hukum Islam.
Berbicara tentang ilmu fiqh sungguh sangatlah luas objek
kajiannya bagai laut yang tak bertepi, karena fiqh membahas
hukum-hukum Allah swt. yang bersinggungan langsung dengan
setiap amal perbuatan manusia baik yang bersifat hubungan vertikal
antara hamba dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan
horizontal antar sesama hamba ( habl min al - nas). Artinya, tidak ada
satupun tutur kata, tingkah laku dan amal perbuatan umat manusia
yang terbebas dari ketentuan hukum Allah swt.
Demikian juga bila dilihat dari aspek manfaat dan
kegunaannya, ilmu fiqh dapat diibaratkan laksana bulan yang
menerangi bumi, sinarnya dapat menerangi taman tempat kita
berteduh. Artinya, ilmu fiqh dapat dijadikan sebagai acuan dan
rujukan, tempat bernaung dan berteduh bagi setiap muslim dalam
melaksanakan segala aktifitas amaliah dan peribadatannya.
Di samping itu ilmu fiqh atau hukum Islam memiliki prinsip-
prinsip dasar (ushul) yang sangat kokoh, yang diserap dari nash
Alquran dan Hadis serta sarat dengan idea-idea dan maslahat–
maslahat yang jelas lagi nyata. berdasar prinsip -prinsip
ini lah masalah fiqh dan cabang– cabang fiqh (furu'iyah ) yang
selalu dinamis dan tak terhingga banyaknya tetap terpelihara ruh
dan semangat syrai’ahn ya. Prinsip -prinsip dasar ini selanjutnya
dikenal dengan istilah ushul al- fiqh.
Berbicara tentang ilmu fiqh sungguh sangatlah luas objek
kajiannya bagai laut yang tak bertepi, karena fiqh membahas
hukum-hukum Allah swt. yang bersinggungan langsung dengan
setiap amal perbuatan manusia baik yang bersifat hubungan vertikal
antara hamba dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan
horizontal antar sesama hamba ( habl min al - nas). Artinya, tidak ada
satupun tutur kata, tingkah laku dan amal perbuatan umat manusia
yang terbebas dari ketentuan hukum Allah swt.
Demikian juga bila dilihat dari aspek manfaat dan
kegunaannya, ilmu fiqh dapat diibaratkan laksana bulan yang
menerangi bumi, sinarnya dapat menerangi taman tempat kita
berteduh. Artinya, ilmu fiqh dapat dijadikan sebagai acuan dan
rujukan, tempat bernaung dan berteduh bagi setiap muslim dalam
melaksanakan segala aktifitas amaliah dan peribadatannya.
Di samping itu ilmu fiqh atau hukum Islam memiliki prinsip-
prinsip dasar (ushul) yang sangat kokoh, yang diserap dari nash
Alquran dan Hadis serta sarat dengan idea-idea dan maslahat–
maslahat yang jelas lagi nyata. berdasar prinsip -prinsip
ini lah masalah fiqh dan cabang– cabang fiqh (furu'iyah ) yang
selalu dinamis dan tak terhingga banyaknya tetap terpelihara ruh
dan semangat syrai’ahn ya. Prinsip -prinsip dasar ini selanjutnya
dikenal dengan istilah ushul al- fiqh.
Para Ulama sebagai ahli waris para Nabi ( waratsat al- anbiya' )
menempati posisi yang sangat sentral dan strategis bagi umat Islam.
Mereka selalu menjadi rujukan, tempat bertan ya dan tempat belajar
bagi umat Islam pada umumnya. Hal yang demikian disebabkan para
Ulama memiliki kemampuan untuk ber istinbath dan berijtihad
secara seksama terhadap nash Alquran dan Hadis Nabi saw. dalam
konteks pembinaan dan pengembangan fiqh atau hukum Islam. Di
antara produk istinbath dan ijtihad para Ulama yaitu ,
mengklasifikasi masalah-masalah fiqh menjadi beberapa bagian dan
beberapa cabang berdasar illat dan sebab hukum yang
menyertainya.
Untuk dapat mengklasifikasi bidang -bidang dan cabang-
cabang fiqh, diperlukan wawasan yang memadai tentang aspek-
aspek keserupaan dan kesamaan (al- asybah wa al - nazhair ) hukum-
hukum fiqh berdasar illat dan sebab hukumnya, untuk
selanjutnya dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang sejenis dan
sebangun. Satuan-satuan yang dapat dijadikan "pengikat" untuk
mengelompokkan masalah-masalah fiqh inilah, yang kemudian
dikenal dengan istilah Qawa'id al- Fiqhiyah.
1. Pengertian Qawa'id al - Fiqhiyah.
Selain istilah Qawa'id al - Fiqhiyah , sebahagian Ulama
memakai istilah Al - Asybah wa al - Nazhair sebagai nama lain
dari kaidah-kaidah fiqh yang bersifat kulli ini . Sebagai contoh,
Taj al-Din al-Subky (abad VIII H), menyusun kitab kaidah fiqhiyah
bermazhab Syafi’y dengan judul Al - Aybah wa al - Nazhair . Kitab
ini kemudian disempurnakan oleh Jalal al -Din Abd al-Rahman
Abu Bakr al -Suyuthi (849 – 911 H) dengan judul yang sama. Demikian
juga halnya, Zain al - Abidin ibn Ibrahim al - Mishry (926 – 970 H),
seorang Ulama bermazhab Hanafi juga menyusun kitab kaidah -
kaidah fiqh dengan judul Al - Asybah wa al - Nazhair . Istilah ini
diduga bersumber dari perkataan khalifah Umar bin Khathab
kepada seorang hakim yang bernama Abu Musa Al -Asy'ari
َأ ٠َُِا ْذ ِٔ َْػَخك َىَذْ٘ ِػ َس ْٞ ُٓ ُْلْح ِِظه َٝ ََٙخزَْشْلْح َٝ َءَخ٤َْشْلْح ِفِشـِْػا ِﷲ ٠َُِا َخ ِّٜزَك
ََٟشط خ َٔ ٤ِْك ِّنَلُْ ِخر َخِٜٜ َزْشِلْ َٝ
Artinya : Kenalilah segala sesuatu yang memiliki keserupaan dan
kiaskanlah segala perkara kepada imbangannya. Kemudian
kiaskanlah segala apa yang ada padamu dan
berketetapanlah kepada apa yang paling disukai oleh Allah
serta yang lebih mendekati kebenaran tentang apa yang
engkau lihat.
Dalam usaha memperoleh pengertian yang komprehensif
tentang Qawa’id al - Fiqhiyah 264 , haruslah ditelusuri pengertian
secara literal atau harfiyah terlebih dahulu dari masing-masing kata,
yakni kata " qawa’id " dan kata " fiqhiyah ".
Secara etimologis kata qawa’id berasal dari bahsa Arab qa’idah ,
yang berarti peraturan, undang-undang atau pondasi bangunan.265
Pengertian ini senada dengan pengertian yang sudah lazim
dipakai dalam kosa kata bahasa Indonesia “kaidah” yang berarti :
rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti,
patokan, dalil.266
pemakaian kata "qawa’id " dalam Alquran dengan pengertian
asas-asas atau dasar-dasar, antara lain dapat dilihat pada QS Al-
Baqarah : 127 sbb :
ُغ٤ ِٔ َّغُح َضْٗ َأ َيَِّٗا خَّ٘ ِٓ َْ َّ َزَوط َخ َّ٘رَس َُ ٤ِػخ َٔ ِْعا َٝ ِض٤َْزُْ ح َٖ ِٓ َذِػح َٞ َوُْ ح ُْ ٤ِٛ حَشِْرا َُغكَْش٣ ِْرا َٝ
/ سشوزُح] ُْ ٤َِِؼُْ ح127[
َأ ٠َُِا ْذ ِٔ َْػَخك َىَذْ٘ ِػ َس ْٞ ُٓ ُْلْح ِِظه َٝ ََٙخزَْشْلْح َٝ َءَخ٤َْشْلْح ِفِشـِْػا ِﷲ ٠َُِا َخ ِّٜزَك
ََٟشط خ َٔ ٤ِْك ِّنَلُْ ِخر َخِٜٜ َزْشِلْ َٝ
Artinya : Kenalilah segala sesuatu yang memiliki keserupaan dan
kiaskanlah segala perkara kepada imbangannya. Kemudian
kiaskanlah segala apa yang ada padamu dan
berketetapanlah kepada apa yang paling disukai oleh Allah
serta yang lebih mendekati kebenaran tentang apa yang
engkau lihat.
Dalam usaha memperoleh pengertian yang komprehensif
tentang Qawa’id al - Fiqhiyah 264 , haruslah ditelusuri pengertian
secara literal atau harfiyah terlebih dahulu dari masing-masing kata,
yakni kata " qawa’id " dan kata " fiqhiyah ".
Secara etimologis kata qawa’id berasal dari bahsa Arab qa’idah ,
yang berarti peraturan, undang-undang atau pondasi bangunan.265
Pengertian ini senada dengan pengertian yang sudah lazim
dipakai dalam kosa kata bahasa Indonesia “kaidah” yang berarti :
rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti,
patokan, dalil.
pemakaian kata "qawa’id " dalam Alquran dengan pengertian
asas-asas atau dasar-dasar, antara lain dapat dilihat pada QS Al-
Baqarah : 127 sbb :
ُغ٤ ِٔ َّغُح َضْٗ َأ َيَِّٗا خَّ٘ ِٓ َْ َّ َزَوط َخ َّ٘رَس َُ ٤ِػخ َٔ ِْعا َٝ ِض٤َْزُْ ح َٖ ِٓ َذِػح َٞ َوُْ ح ُْ ٤ِٛ حَشِْرا َُغكَْش٣ ِْرا َٝ
/ سشوزُح] ُْ ٤َِِؼُْ ح127[
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim menginginkan (membina)
dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (sera ya berdoa) : Ya
Tuhan kami terimalah (amalan) kami, sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(QS Al-Baqarah : 127)
Sedangkan pengertian kaidah secara terminologis atau
menurut istilah syarak yaitu sebagai berikut :
: ُذـِػح َٞ َوُح ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ٌْ ٌْ ُك َخْٜ٘ ِٓ ٍذِكح َٝ َِّ ًُ َضَْلط ُؽِسَذْ٘ َ٣ ٠ِظَُّح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح َخ٣خََؼوـُْ َح
ٌسَش٤ِْؼـ ًَ267
Artinya : Kaidah yaitu ketentuan -ketentuan yang bersifat umum,
yang dapat menginduk kepada masing-masing ketentuan
ini berbagai macam hukum yang spesifik.
Beberapa Ulama yang lain, seperti Fathi Ridwan dalam kitab
Min Falasifat al - Tasyri’ al - Islami dan Musthafa Ahmad al -Zarqa’,
dalam kitab Al - Fiqh Fi Tsaubih al - Jadid mendefinisikan kaidah
sebagai :
ْ٤ ِٔ َؿ ٠ََِػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ٠ٌَِزَِْؿأ ٌْ ٌْ ُك ِٚ ِطخَّ ٤ِثْضُؿ ِغ268
Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup
seluruh bagian-bagiannya.
Al-Jurjani dalam kitan Al - Ta'rifat mengemukakan :
َخِٜطخَّ٤ِثْضُؿ ِغ٤ْ ِٔ َؿ ٠ََِػ ٌَشِوَزطْ٘ ُٓ ٌشَّ٤ِِّ ًُ ٌشَّ٤َِؼه ٠َِٛ ُسَذِػَخوُْ َح269
Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup
seluruh bagian-bagiannya.
Setelah memperhatikan takrif, definisi-definisi dan pengertian
kaidah ini di atas, baik menurut pengertian literal maupun
menurut istilah syarak, maka dapat dijelaskan bahwa kaidah itu
memiliki karakterisitik sebagai berikut :
1. Bahwa kaidah itu merupakan hasil ijtihad para ulama, dan
karenanya para ulama mempunyai kadiah-kadiah istinbath
yang berbeda-beda yang berakibat hasil ijtihadnyapun bisa saja
berbeda-beda.
2. Perumusan k aidah berasal dari dalil-dalil syarak baik yang
bersifat qath’y maupun zhanny, dan para ulama belum sepakat
bulat dalil mana saja yang termasuk kategori qath’y dan dalil
mana yang termasuk kategori zhanny.
3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian (istitsna’ ),
dan pada saat yang demikian terkadang tidak mengaitkan
pemberlakuan suatu kaidah.
Sedangkan kata “ fiqhiyah ”, ia berasal dari kata " fiqh " yang
secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu270 ,
kemudian mendapat tambahan ya’ nisb ah yang berfungsi
mengkategorikan atau penjenisan.
pemakaian kata fiqh dengan pengertian "paham", antara lain
ini dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :
ُسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثخَؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ ٍَشهِْشك َِّ ًُ ْٖ ِٓ ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حٝ
/ شرٞظُح] َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[
Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup
seluruh bagian-bagiannya.
Setelah memperhatikan takrif, definisi-definisi dan pengertian
kaidah ini di atas, baik menurut pengertian literal maupun
menurut istilah syarak, maka dapat dijelaskan bahwa kaidah itu
memiliki karakterisitik sebagai berikut :
1. Bahwa kaidah itu merupakan hasil ijtihad para ulama, dan
karenanya para ulama mempunyai kadiah-kadiah istinbath
yang berbeda-beda yang berakibat hasil ijtihadnyapun bisa saja
berbeda-beda.
2. Perumusan k aidah berasal dari dalil-dalil syarak baik yang
bersifat qath’y maupun zhanny, dan para ulama belum sepakat
bulat dalil mana saja yang termasuk kategori qath’y dan dalil
mana yang termasuk kategori zhanny.
3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian (istitsna’ ),
dan pada saat yang demikian terkadang tidak mengaitkan
pemberlakuan suatu kaidah.
Sedangkan kata “ fiqhiyah ”, ia berasal dari kata " fiqh " yang
secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu270 ,
kemudian mendapat tambahan ya’ nisb ah yang berfungsi
mengkategorikan atau penjenisan.
pemakaian kata fiqh dengan pengertian "paham", antara lain
ini dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :
ُسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثخَؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ ٍَشهِْشك َِّ ًُ ْٖ ِٓ ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حٝ
/ شرٞظُح] َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[
Artinya : Hendaklah setiap golongan dari mereka ada sekelompok
orang yang pergi untuk memamahmi ajaran agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya ketika
kembali kepada mereka (QS al-Taubah : 122 )
Dalam sabda Nabi juga disebutkan :
: ِْ َّ َِع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ِْرا ْٖ َػ
) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ٍك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚ ِر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ271
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang
yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini
paham tentang ajaran agama.
Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau menurut
istilah syarak yaitu :
ِِْؼُْ ح َٞ ُٛ ُْٚوـِلـُْ َح ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح َخِٜظَُّ َِدأ ْٖ ِٓ ِذََغظ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ َؼُْ ح ِشَّ٤ِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ ْكْلِْخر ُْ
272
Artinya : Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak,
yang berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil
dari dalil-dali syarak yang terperinci”.
Muhammad Abu Zahrah juga menerangkan bahwa fiqh ialah
:”Suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syarak tentang
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dali syarak yang
terperinci.
Sebagai contoh hukum fiqh yaitu seperti pemahaman bahwa
hukum shalat lima waktu, zakat fitrah, berhaji bagi orang yang
mampu yaitu wajib, puasa pada hari Senin dan Kamis yaitu sunah,
membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak
yaitu haram, dan lain sebagainya.
Mencermati definisi fiqh sebagaimana ini d i atas, Amir
Syarifuddin mencoba mengurai unsur-unsur atau cakupan
pengertian fikih sebagai berikut:
1. bahwa fiqh itu yaitu ilmu tentang hukum syara’;
2. bahwa yang dibicarakan fiqh yaitu hal-hal yang bersifat
‘amaliyah- furu’iyah ,
3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ didasarkan
kepada dalil tafsili (rinci),
4. bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan
istidlal (pemakaian dalil) oleh mujtahid atau faqih.
Oleh karena itu fiqh mencakup dua aspek yaitu :
1. hukum-hukum fiqh yang hanya dapat dipahami oleh
mujtahid setelah melalui proses ijtihad;
2. dan hukum-hukum fiqh yang tidak memerlukan ijtihad,
seperti hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan
Sunah serta masalah-masalah ijmak.
berdasar penjelasan tentang pengertian qawa’id dan fiqh
sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan Qawa’id al - Fiqhiyah , yaitu
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Taj al-Din al-Subky
sebagai berikut :
ُّ٠ِِّ ٌُ ُْحُش ْٓ َْلْح َخْٜ٘ ِٓ َخٜ ُٓ خ ٌَ ْكأ ُْ َْٜلُـط ٌسَش٤ِْـؼـ ًَ ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ِٚ ٤ََِْػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ِٟزَُّح275
Sebagai contoh hukum fiqh yaitu seperti pemahaman bahwa
hukum shalat lima waktu, zakat fitrah, berhaji bagi orang yang
mampu yaitu wajib, puasa pada hari Senin dan Kamis yaitu sunah,
membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak
yaitu haram, dan lain sebagainya.
Mencermati definisi fiqh sebagaimana ini d i atas, Amir
Syarifuddin mencoba mengurai unsur-unsur atau cakupan
pengertian fikih sebagai berikut:
1. bahwa fiqh itu yaitu ilmu tentang hukum syara’;
2. bahwa yang dibicarakan fiqh yaitu hal-hal yang bersifat
‘amaliyah- furu’iyah ,
3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ didasarkan
kepada dalil tafsili (rinci),
4. bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan
istidlal (pemakaian dalil) oleh mujtahid atau faqih.
Oleh karena itu fiqh mencakup dua aspek yaitu :
1. hukum-hukum fiqh yang hanya dapat dipahami oleh
mujtahid setelah melalui proses ijtihad;
2. dan hukum-hukum fiqh yang tidak memerlukan ijtihad,
seperti hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan
Sunah serta masalah-masalah ijmak.
berdasar penjelasan tentang pengertian qawa’id dan fiqh
sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan Qawa’id al - Fiqhiyah , yaitu
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Taj al-Din al-Subky
sebagai berikut :
ُّ٠ِِّ ٌُ ُْحُش ْٓ َْلْح َخْٜ٘ ِٓ َخٜ ُٓ خ ٌَ ْكأ ُْ َْٜلُـط ٌسَش٤ِْـؼـ ًَ ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ِٚ ٤ََِْػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ِٟزَُّح275
Artinya : Ketentuan yang bersifat umum ( kulli), yang dapat
mancakup beberapa cabang fiqh yang banyak dan dengan
ketentuan ini dapat diketahui hukum-hukumnya.
Menurut sebagian ulama, Qawa’id al - Fiqhiyah yaitu :
َعحَشـْؿْلْح َٝ ُٚ َٓ خ ٌَ ْكأ ُعِسخَّشُح َخٜ٤ََِْػ ٠ََ٘ر ٠ِظَُّح ِظُُعْلِْخر َُشوَِِّؼظ ُٔ ُْ ح َخ٣خََؼوـُْ َح
ِٚ ِؼ٣ِْشْشَـِظر َخٜ٤َُِْا َذََظه ٠ِظَُّح276
Artinya : Ketentuan -ketentuan yang berkenaan dengan asas-asas
pembinaan hukum syarak serta tujuan-tujuan yang
hendak dicapai dengan adanya penetapan hukum
ini .
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Qawa’id al -
Fiqhiyah merupakan koleksi dan kristalisasi hukum-hukum fiqh
yang beraneka ragam. Para fuqaha telah mengidentifikasi berbagai
pesoalan atau permasalahan fiqh berikut cirri-cirinya, illat- illat dan
sebab-sebab hukumnya, kemudian mengikatnya dengan kaidah-
kaidah yang bersifat umum ( kulli ) atau teori-teori untuk mengkoordi
nasikannya.
Dalam literatur teori ilmu fiqh dikenal adanya Qawa'id
Ushuliyah dan Qawa'id Fiqhiyah . Antara keduanya memang memiliki
beberapa persamaan, tapi juga memiliki beberapa sisi perbedaan.
Al-Qarafi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash -Shiddieqy
menjelaskan hakikat Qawa'id Ushuliyah dan Qawa'id Fiqhiyah
sebagai berikut :
: ِٕ خ َٔ ِْغه خ َٔ ُُُٜ ْٞ ُُطأ َٝ ٍع ْٝ ُُشك َٝ ٍٍ ْٞ ُُطأ ٠ََِػ َْضِ َٔ َظِْشا َشَّ٣ِذ َّٔ َل ُٔ ُْ ح َشَؼ٣ِْش َّشُح َّٕ ِا
َِشجِشخَُّ٘ح ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ٤ِْٗح َٞ َه ٠ِك ِٚ ِؼِكَخز َٓ َُذِْؿأ َٝ ِٚ ِْولُْ ح ٍِ ْٞ ُُطِؤر ٠َّٔ َغ ُٔ ُْ ح خ َٔ ُُٛذََكأ
ََِػ ِش ْٓ ْلْح َِشَُلَِذ ًَ ِظَخلـُْ ْلْح ِٖ َػ َِؾ٤ِط َٝ ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ ٠ِْٜ َُّ٘ح َِشَُلَِد َٝ ِد ْٞ ُؿ ُٞ ُْ ح ٠
َٞ ُٛ ٠ِٗخَّؼُح َٝ ِق٤ِْؿْشَّظُح َٝ ِخْغَُّ٘حخ ًَ َخِٜر َُ ِظََّظ٣ خ َٓ َٝ ِّ ْٞ ُٔ ُؼ
ُْ ح َٝ ِص ْٞ ُظُخُْ ح
ِع ْٝ ُشُـك ْٖ ِٓ َخَُٜ ٌسَش٤ِْؼ ًَ ٌَشِ٤َِِْؿ ٠َِٛ َٝ ُشَّ٤ـِٜ ْوِـلـُْ ح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح ُذِػح َٞ َـوـُْ ح َلَ خ َٓ ِّ خ ٌَ ْكْلْح
٠َظُْل٣278
Artinya : Syari'ah Muhammad meliputi ushul dan furu' , dan bagian
ushulnya ada dua macam. Pertama ; yang dinamakan ushul
fiqh yang sebagian besar pembahasannya yaitu tentang
ketentuan-ketentuan hukum yang muncul dari lafazh,
seperti penunjukan amr kepada perintah, penunjukan
nahy kepada larangan, bentuk-bentuk kalimat khsusus
dan umum serta hal-hal yang berhubungan dengan naskh
dan tarjih. Kedua; yaitu kaidah -kaidah fiqhiyah yang
bersifat umum (kulli ). Kaidah -kaidah ini sangat
penting artinya karena ia mengandung hukum-hkum
furu' yang tak terhingga banyaknya.
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan perbedaan antara
Qawa'id Ushuliyah dengan Qawa'id Fiqhiyah , bahwa qawa’id
ushuliyah merupakan metode, cara atau ketentuan-ketentuan yang
harus dipedomani dan dipakai oleh seorang mujtahid dalam
berijtihad agar tidak tersesat dalam melaksanakan jtihadnya.
Sedangkan Qawa'id al -Fiqhiyah yaitu koleksi hukum -hukum fiqh
yang bersifat furu’iyah yang memiliki tasyabuh (kesamaan,
kemiripan, keserupaan) sehingga dapat disatukan dengan satu qiyas
atau dengan kaidah fiqhiyah. . Sebagai contoh : ada kaidah
yang menyangkut masalah kepemilikan, penjaminan, hak pilih
dalam jual beli (khiyar ), dan lain sebagainya.
Dengan kata lain dapat dijelaskan pula bahwa Kaidah
Uhsuliyah itu diciptakan oleh para ulama ahli ushul berdasar
kaidah-kaidah kebahasaan sehingga sering juga dikenal sebagai
kaidah lughawiyah, membahas berbagai tata cara atau sistem
berijtihad dan beristinbath, penggalian hukum dari dalil aslinya.
َٞ ُٛ ٠ِٗخَّؼُح َٝ ِق٤ِْؿْشَّظُح َٝ ِخْغَُّ٘حخ ًَ َخِٜر َُ ِظََّظ٣ خ َٓ َٝ ِّ ْٞ ُٔ ُؼ
ُْ ح َٝ ِص ْٞ ُظُخُْ ح
ِع ْٝ ُشُـك ْٖ ِٓ َخَُٜ ٌسَش٤ِْؼ ًَ ٌَشِ٤َِِْؿ ٠َِٛ َٝ ُشَّ٤ـِٜ ْوِـلـُْ ح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح ُذِػح َٞ َـوـُْ ح َلَ خ َٓ ِّ خ ٌَ ْكْلْح
٠َظُْل٣278
Artinya : Syari'ah Muhammad meliputi ushul dan furu' , dan bagian
ushulnya ada dua macam. Pertama ; yang dinamakan ushul
fiqh yang sebagian besar pembahasannya yaitu tentang
ketentuan-ketentuan hukum yang muncul dari lafazh,
seperti penunjukan amr kepada perintah, penunjukan
nahy kepada larangan, bentuk-bentuk kalimat khsusus
dan umum serta hal-hal yang berhubungan dengan naskh
dan tarjih. Kedua; yaitu kaidah -kaidah fiqhiyah yang
bersifat umum (kulli ). Kaidah -kaidah ini sangat
penting artinya karena ia mengandung hukum-hkum
furu' yang tak terhingga banyaknya.
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan perbedaan antara
Qawa'id Ushuliyah dengan Qawa'id Fiqhiyah , bahwa qawa’id
ushuliyah merupakan metode, cara atau ketentuan-ketentuan yang
harus dipedomani dan dipakai oleh seorang mujtahid dalam
berijtihad agar tidak tersesat dalam melaksanakan jtihadnya.
Sedangkan Qawa'id al -Fiqhiyah yaitu koleksi hukum -hukum fiqh
yang bersifat furu’iyah yang memiliki tasyabuh (kesamaan,
kemiripan, keserupaan) sehingga dapat disatukan dengan satu qiyas
atau dengan kaidah fiqhiyah. . Sebagai contoh : ada kaidah
yang menyangkut masalah kepemilikan, penjaminan, hak pilih
dalam jual beli (khiyar ), dan lain sebagainya.
Dengan kata lain dapat dijelaskan pula bahwa Kaidah
Uhsuliyah itu diciptakan oleh para ulama ahli ushul berdasar
kaidah-kaidah kebahasaan sehingga sering juga dikenal sebagai
kaidah lughawiyah, membahas berbagai tata cara atau sistem
berijtihad dan beristinbath, penggalian hukum dari dalil aslinya.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al - Fiqh , hlm. 10
Sebagai contoh ialah kaidah yang berbunyi :
ِد ْٞ ُؿ ُٞ ِْ ُِ ُش ْٓ ََْلْح2 80
Artinya : Kata perintah itu menunjukkan adanya kewajiban
berdasar kaidah ini , maka bila dalam ayat Alquran
atau Hadis ada kata perintah ( fi'il amr ), sepanjang tidak ada
indikasi yang mengarah kepada yang lain, maka menunjukkan
adanya hukum wajib. Oleh karena itu, berdasar firman Allah swt.
:
خ َٔ َُٜ٣ِذ٣َْأ ح ْٞ َُؼطْهَخك َُشهِسخ َّغُح َٝ ُمِسخَّغُح َٝ
Artinya : Pencuri laki -laki dan pencuri perempuan, potonglah
kedua tangannya;
Firman Allah swt ini di atas me nunjukan bahwa
memotong tangan pencuri, baik pencuri laki-laki atau pencuri
perempuan, hukumnya wajib. Sedangkan Kaidah Fiqhiyah
dirumuskan oleh para ulama ahli fiqh berdasar ruah atau jiwa
dan tujuan hukum fiqh itu sendiri sehingga sering dikenal sebagai
kaidah syar'iyah . Kaidah Fiqhiyah merupakan petunjuk praktis
operasional dalam menetapkan hukum suatu masalah manakala
tidak ditemukan dalil secara langsung dari Alquran dan Hadis, guna
memudahkan para mujtahid dalam beristinbath dengan mengacu
kepada m aqashid al - syar’iyah dan kemaslahatan umum.
Sebagagai contoh ialah kaidah yang berbunyi :
3 - ُِْٚ ـَؼْلَـ٣ ْْ َُ ُ َّٚ َٗأ َُ َْطْلَْخك َلَ ّْ َأ ًخج٤َْش ََ ََؼَكأ َّيَش ْٖ َٓ
Artinya : Barang siapa yang ragu apakah telah melakukan sesuatu
ataukah belum, maka yang dianggap ialah baha orang
ini belum melakukannya.
berdasar kaidah fiqhiyah ini , maka bila seseorang
ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah ada rukun yang
tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya bagi orang ini
mengulanginya.
Dengan demikian, maka meskipun ada perbedaan antara
Qawa’id Uhuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah, namun dalam
aplikasinya antara keduanya saling berkaitan Hal yang demikian
dapat kita lihat pada kitab Qawa’id al - Ahkam karya ‘Izz al -Din ibn
‘Abd al -Salam al-Syafi’y, kitab Al - Furuq karya Al-Qarafy al-Maliky,
kitab Al - Asybah wa al - Nazhair karya Ibnu Nujaim al-Hanafy, Al -
Qawanin karya Ibnu Jazy al -Maliky, kitab Tabshirat al - Hukkam dan
Qawa’id al- Kubra karya Ibnu Rajab al -Hanabilah dan lain sebagainya.
Berdas arkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada
dasarnya kajian Qawa’id al - Fiqhuyah termasuk kajian Fiqh, bukan
kajian Ushul Fiqh, sebab pada dasarnya Qaidah Fiqhiyah dibangun
dan disusun atas dasar perpaduan dan penyatuan di antara berbagai
macam hukum fiqh yang memiliki keserupaan, kesamaan dan
kemiripan.
2. Sejarah Qawa’id al - Fiqhiyah
Menurut Muhlish Usman, sejarah pembentukan dan
perkembangan Qawa'id al - Ushuliyah itu secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi dua fase, yaitu fase pembentukan kaidah dan
fase pembukuan atau kodifkasinya.281 Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Fase pembentukan.
Dalam melakukan ijtihad dan istinbath sudah barang tentu
para ulama memakai metode dan kerangka berpikir yang
dijadikan sebagai acuannya, sehingga hasil ijtihadnya dapat
dievaluasi dan dikritisi oleh orang lain ataupun oleh generasi
penerusnya. Sistem, kerangka berpikir dan acuan berpikir itu berupa
kaidah-kaidah yang bersifat umum yang disarikan dari bermacam-
macam hukum fiqh atas dasar keserupaan dan kemiripan illat dan
berdasar kaidah fiqhiyah ini , maka bila seseorang
ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah ada rukun yang
tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya bagi orang ini
mengulanginya.
Dengan demikian, maka meskipun ada perbedaan antara
Qawa’id Uhuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah, namun dalam
aplikasinya antara keduanya saling berkaitan Hal yang demikian
dapat kita lihat pada kitab Qawa’id al - Ahkam karya ‘Izz al -Din ibn
‘Abd al -Salam al-Syafi’y, kitab Al - Furuq karya Al-Qarafy al-Maliky,
kitab Al - Asybah wa al - Nazhair karya Ibnu Nujaim al-Hanafy, Al -
Qawanin karya Ibnu Jazy al -Maliky, kitab Tabshirat al - Hukkam dan
Qawa’id al- Kubra karya Ibnu Rajab al -Hanabilah dan lain sebagainya.
Berdas arkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada
dasarnya kajian Qawa’id al - Fiqhuyah termasuk kajian Fiqh, bukan
kajian Ushul Fiqh, sebab pada dasarnya Qaidah Fiqhiyah dibangun
dan disusun atas dasar perpaduan dan penyatuan di antara berbagai
macam hukum fiqh yang memiliki keserupaan, kesamaan dan
kemiripan.
2. Sejarah Qawa’id al - Fiqhiyah
Menurut Muhlish Usman, sejarah pembentukan dan
perkembangan Qawa'id al - Ushuliyah itu secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi dua fase, yaitu fase pembentukan kaidah dan
fase pembukuan atau kodifkasinya.281 Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Fase pembentukan.
Dalam melakukan ijtihad dan istinbath sudah barang tentu
para ulama memakai metode dan kerangka berpikir yang
dijadikan sebagai acuannya, sehingga hasil ijtihadnya dapat
dievaluasi dan dikritisi oleh orang lain ataupun oleh generasi
penerusnya. Sistem, kerangka berpikir dan acuan berpikir itu berupa
kaidah-kaidah yang bersifat umum yang disarikan dari bermacam-
macam hukum fiqh atas dasar keserupaan dan kemiripan illat dan
sebab hukumnya. Melalui kaidah -kadiah inilah antara hasil ijtihad
yang satu denan hasil ijtihad yang lain dapat dilacak relevansinya.
Aturan-aturan pokok inilah yang kemudian dikenal atau disebut
dengan Qawa’id al - Fiqhiy ah.
Kaidah -kaidah fiqhiyah ini merupakan hasil kajian yang
mendalam para Ulama yang memiliki kemampun berijtihad dengan
mengistinbathkan hukum dari nash yang bersifat general, dengan
memakai dasar-dasar , dengan memperhatikan
illat- illat dan sebab-sebab hukum serta dengan memakai
analisis pikirannya yang tajam dan seksama.
Agak sulit untuk melacak dan mengetahui dengan pasti
siapakah pencetus atau perumus kali pertama kaidah-kaidah
fiqhiyah. Meski demikian, diyakini bahwa kai dah-kaidah ini
dirumsukan oleh para ulama ahli ijtihad melalui proses dialektika
alamiah para Ulama pada zamannya dengan problem -problem sosial
keagamaan dan kewarga an yang muncul. Kemudian kaidah -
kaidah ini ditransmisikan dan digulirkan dari generasi ke
generasi secara ber kesinambungan. Artinya, kaidah-kaidah fiqhiyah
ini tidak dirumuskan oleh orang perorang, melainkan secara
berangsur-angsur, sambung menyambung, saling melengkapi dan
saling menyahuti.
Berbagai literatur yang ada me nunjukkan bahwa abad ke VIII
merupakan abad di mana para Ulama beramai -ramai menyusun
kitab-kitab kaidah fiqhiyah ini . Menurut Ibnu Nujaim, ulama
Hanafiyahlah yang lebih dahulu menyusun kaidah fiqhiyah. Setelah
itu disusul oleh para Ulama imam mazhab generasi sesudahnya282
Sebagaimana kita ketahui bahwa Ibnu Nujaim yaitu seorang yang
bermazhab Hanafiyah yang menyelaraskan kaidah -kaidah fiqhiyah
yang dinukil dari kitab Al - Asybah wa al - Nazhair karya Imam Jalal al -
Din al-Suyuthi, untuk disesuaikan dengan fiqh mazhab Hanafi
dengan judul kitab yang sama.
2) Fase kodifikasi.
Para Ulama fiqih berusaha untuk mengkodifikasikan kaidah -
kaidah fiqhiyah dengan tujuan dan harapan hal ini akan
berguna untuk memelihara dan mempertahankan loyalitas pengikut
mazhabn ya, terutama dari sisi manhaj atau metode istinbathnya.
Dengan cara demikian, maka dalam bermazhab tidak membabi buta
mengambil pendapat para imam mazhab (taklid bi al - qaul ), tetapi
bermazhab secara metodologis (secara manhaji ). Betapapun ,
kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah ini akan sangat berguna bagi
perkembangan dan pembinaan fiqih pada masa-masa dan generasi
berikutnya.
Berikut akan dikemukakan secara kronologis usaha -usaha
kodifikasi kaidah fiqhiyah yang dilakukan para ulama sesuai dengan
mazhab nya.283
1. Kalangan fuqha Hanafiyah.
a. Abu Thahir al-Dibas, ahli fiqh abad III dan IV H, yaitu
pelopor kodifikasi kaidah kaidah fiqhiyah dari kalangan ulama
Hanifiyah. Al -Dibas mengumpulkan tidak kurang dari 17
kaidah fiqhiyah, yang kemudian disempurnakan oleh Abu
Hasan al -Karkhy menjadi 37 kaidah.
b. Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin al -Dabusy al-Hanafy
(abad V H), menyusun kitab Ta’sis al - Nazhar. Kitab ini
diak hanya memuat kaaidah-kaidah fiqhiyah, tetapi juga
menguraikan perincian dan contoh-contoh kasusnya.
c. Zain al -Abidin ibn Ibrahim al-Mishry (926 – 970 H),
menyusun kitab Al - Asybah wa al - Nazhair yang berisi 25
kaidah dengan sistematika pembagian : kaidah asasiyah
berjumlah 6 kaidah :
1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح
2 - ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح
3 - ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ ُسَدخَؼُْ َح
4 - ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح
2) Fase kodifikasi.
Para Ulama fiqih berusaha untuk mengkodifikasikan kaidah -
kaidah fiqhiyah dengan tujuan dan harapan hal ini akan
berguna untuk memelihara dan mempertahankan loyalitas pengikut
mazhabnya, terutama dari sisi manhaj atau metode istinbathnya.
Dengan cara demikian, maka dalam bermazhab tidak membabi buta
mengambil pendapat para imam mazhab (taklid bi al - qaul ), tetapi
bermazhab secara metodologis (secara manhaji ). Betapapun ,
kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah ini akan sangat berguna bagi
perkembangan dan pembinaan fiqih pada masa-masa dan generasi
berikutnya.
Berikut akan dikemukakan secara kronologis usaha -usaha
kodifikasi kaidah fiqhiyah yang dilakukan para ulama sesuai dengan
mazhab nya.
1. Kalangan fuqha Hanafiyah.
a. Abu Thahir al-Dibas, ahli fiqh abad III dan IV H, yaitu
pelopor kodifikasi kaidah kaidah fiqhiyah dari kalangan ulama
Hanifiyah. Al -Dibas mengumpulkan tidak kurang dari 17
kaidah fiqhiyah, yang kemudian disempurnakan oleh Abu
Hasan al -Karkhy menjadi 37 kaidah.
b. Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin al -Dabusy al-Hanafy
(abad V H), menyusun kitab Ta’sis al - Nazhar. Kitab ini
diak hanya memuat kaaidah-kaidah fiqhiyah, tetapi juga
menguraikan perincian dan contoh-contoh kasusnya.
c. Zain al -Abidin ibn Ibrahim al-Mishry (926 – 970 H),
menyusun kitab Al - Asybah wa al - Nazhair yang berisi 25
kaidah dengan sistematika pembagian : kaidah asasiyah
berjumlah 6 kaidah :
1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح
2 - ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح
3 - ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ ُسَدخَؼُْ َح
4 - ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح
5 - َش٤ِْغ٤َّْظُح ُِذِ ْـ َط ُشَّوَش َٔ ُْ َح
6 - ِشَّ٤ِّـُِ٘خر َِلَا َدح َٞ َـػ َلَ
Selebihnya memuat beberapa topik ( maudlu’ ) yang berbeda-
beda berikut contoh-contoh kasus fiqh cabang (furu’ ) yang
berkenaan dengan amaliah praktis.
d. Ahmad ibn Muhammad al -Hamawy, seorang ahli fqh abad XI
H yang memberi syarah atas kitab al- Asybah wa al - Nazhair
karya Ibrahim al-Mishry dengan judul Ghamdh ‘Uyun al -
Bashair.
e. Muhamad Abu Sa’id al -Khadimy, seorang ahli fiqh abad XII H,
menyusun kitab ushul fiqh berjudul Majmu’ al - Haqaiq , yang
pada penghujung pembahasannya menjelaskan beberapa
kaidah fiqhiyah yang berumlah 154 kaidah secara bajadiyah.
K itab ini dikeudian hari disyarah oleh Musthafa Muhammad
dengan judul Manafi’ al - Daqaiq.
2. Kalangan fuqaha Malikiyah.
a. Imam Juzaim, menyusun kitab berjudul berjudul al- Qawa’id .
b. Syihabuddib Ahmad bin Idris al-Qarafi (abad VII H)
menyusun kitab Anwar al - furuq f i Anwa’ al - Furuq , berisi 548
berikut contoh masalah fiqh serta munasabahnya sehingga
dapat dibedakan antara kaidah yang satu dengan kaidah
lainnya.
3. Kalangan fuqaha Syafi’iyah.
a. Muhammad ‘Izzuddin bin Abd al -Salam (abad VII H),
menyusun kitab Qawa’id al - Ah kam fi Mashalih al - Anam , di
bawah tema besar kaidahnya “menarik manfaat dan menolak
kerusakan” ( Jalb al - mashalih wa daf’ al - Mafasid ).
b. Taj al-Din al-Subky (abad VIII H), menyusun kitab kaidah
fiqhiyah bermazhab Syafi’y dengan judul Al - Asybah wa al -
Nazhai r, yang kemudian disempurnakan oleh jalal al-Din Abd
al-Rahman abi Bakr al -Suyuthi (849 – 911 H) dengan judul
yang sama
4. Kalangan fuqaha Hanabilah.
a. Najm al-Din al-Thufy (w. 717 H), menyusun kitab berjudul Al -
Qawa’id al - Kubra dan Al - Qawa’id al - Shughra .
b. Abd al-Rahman ibn Rajab (w. 795 H), menyusun kitab
berjudul Al - Qawa’id . Kitab ini mendapat sanjungan barbagai
klangan karena materinya yang cukup berkualitas.
5. Kalangan fuqaha yang tidak berafiliasi kepad