ilmu ushul fiqh 8




 u : (a) 

menguasai ilmu ‘aqliyah  (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang 

dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas 

                                                           

yang memadai, tidak mudah tergelincir dalam kesalahan, 

mengetahui pemakaian  lafal-lafal dengan tepat, serta mampu 

menyeleksi dalil yang benar dan dalil yang salah; (b) menguasai 

kaidah-kaidah syarak sehingga memiliki kemampuan untuk 

memakai  dalil-dali syarak secara tepat, sesuai atau tidak sesuai; 

(c) memahami maqashid al - syri‘ah , sehingga berdasar  ketajaman 

nalurinya, ia mampu menetapkan hukum secara tepat dan benar, 

mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan 

kepadanya, meskipun masalah ini  tidak dijelaskan secara 

eksplisit dalam nas syarak.  

Adapun menurut al-Gazali, seorang mujtahid haruslah 

menguasai Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Di samping itu, seorang 

mujtahid juga harus menguasai dua macam ilmu, yaitu ilmu-ilmu 

pendahuluan ( mu qaddaman) untuk dapat menarik ketentuan hukum 

dari sumber hukum yang asli, yaitu Alquran dan atau Sunah. Ini 

memerlukan penguasaan penuh terhadap leksikografi dan gramatika 

sehingga memahami ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab. Jenis 

yang kedua mencakup pengetahuan ‘ulum al- Qur’an dan ‘ulum al -

hadits sehingga dapat membedakan hadis yang sahih dan yang palsu, 

hadis yang salah dan yang benar. Penguasaan terhadap ilmu -ilmu 

ini, terutama ‘ulum al - Qur’an  dan ‘ulum al - hadits, leksikografi dan 

yurisprudensi sangat mendasar untuk menjadi seorang mujtahid.

Memerhatikan  uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa 

syarat-syarat seorang mujtahid  meliputi hal-hal sebagai berikut. 

a. Menguasai bahasa Arab, baik tetang gramatikanya (Nahwu dan 

Sharaf) maupun kaidah-kaidah kebahasaannya ( qawa‘id al -

lugawiyah ), sehingga seorang mujtahid mampu menangkap 

“pesan” yang ada  dalam kata perkata dan redaksional 

kalimat yang ada  dalam nas syarak. Oleh karena itu, 

seorang mujtahid harus mampu membedakan antara mut}laq  

dengan muqayyad , hakikat dengan majaz , ‘amm  dengan khash , 

dan lain sebagainya.  

b. Mengetahui ‘ulum al- Qur’an  dan ‘ulum al - hadits, sehingga 

mengenali nasikh - mansukh , atau ayat-ayat yang ditakhsis oleh 

hadis, dan terutama menguasai ayat-ayat hukum. Demikian juga 

‘ulu m al - hadits diperlukan  untuk mengetahui kualifikasi hadis 

mana hadis yang mutawatir, sahih, dha‘if , mu‘tall, dan lain 

sebagainya.  

c. Mengetahui wawasan yang komprehensif tentang yurisprudensi 

hukum Islam, sehingga dapat memetakan materi hukum yang 

telah diijmakkan atau yang masih diperselisihkan agar produk 

ijtihadnya tidak dianggap sumbang. 

d. Menguasai   sehingga paham terhadap metode -

metode mengistinbatkan hukum, seperti kias, istihsan, 

mashlahah mursalah , dan lain sebagainya, dan menguasai pula 

proses menganalogikan suatu hukum cabang (furu‘ ) dengan 

hukum asalnya. 

e. Mengetahui maqashid al- ahkam , bahwa tujuan hukum Islam 

yaitu  untuk mendatangkan rahmat bagi semesta alam yang 

harus diaplikasikan dalam bentuk pemenuhan atau perlindungan 

hajat hidup manusia, baik yang primer, sekunder, maupun 

tersier.

Permasalahannya kemudian yaitu  apakah syarat -syarat 

mujtahid yang demikian rigid  dan mendetail ini  dapat dimiliki 

oleh ulama Islam dewasa ini. Menanggapai hal ini, sebagian ulama 

berpendapat bahwa kriteria mujtahid mutlak sulit terpenuhi pasca 

era imam mazhab, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa 

pada setiap generasi pasti akan muncul para mujtahid pada 

zamannya.  Menurut Abu Zahrah, persyaratan yang telah 

diuraikan di atas yaitu  unutk mujtahid mutlak.  

berdasar  uraian para ulama ushul fiqh ini  di atas, 

maka dapat dipahami bahwa seorang mujtahid dalam pengertian 

                                                           

b. Mengetahui ‘ulum al- Qur’an  dan ‘ulum al - hadits, sehingga 

mengenali nasikh - mansukh , atau ayat-ayat yang ditakhsis oleh 

hadis, dan terutama menguasai ayat-ayat hukum. Demikian juga 

‘ulu m al - hadits diperlukan  untuk mengetahui kualifikasi hadis 

mana hadis yang mutawatir, sahih, dha‘if , mu‘tall, dan lain 

sebagainya.  

c. Mengetahui wawasan yang komprehensif tentang yurisprudensi 

hukum Islam, sehingga dapat memetakan materi hukum yang 

telah diijmakkan atau yang masih diperselisihkan agar produk 

ijtihadnya tidak dianggap sumbang. 

d. Menguasai   sehingga paham terhadap metode -

metode mengistinbatkan hukum, seperti kias, istihsan, 

mashlahah mursalah , dan lain sebagainya, dan menguasai pula 

proses menganalogikan suatu hukum cabang (furu‘ ) dengan 

hukum asalnya. 

e. Mengetahui maqashid al- ahkam , bahwa tujuan hukum Islam 

yaitu  untuk mendatangkan rahmat bagi semesta alam yang 

harus diaplikasikan dalam bentuk pemenuhan atau perlindungan 

hajat hidup manusia, baik yang primer, sekunder, maupun 

tersier.

Permasalahannya kemudian yaitu  apakah syarat -syarat 

mujtahid yang demikian rigid  dan mendetail ini  dapat dimiliki 

oleh ulama Islam dewasa ini. Menanggapai hal ini, sebagian ulama 

berpendapat bahwa kriteria mujtahid mutlak sulit terpenuhi pasca 

era imam mazhab, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa 

pada setiap generasi pasti akan muncul para mujtahid pada 

zamannya.   Menurut Abu Zahrah, persyaratan yang telah 

diuraikan di atas yaitu  unutk mujtahid mutlak.244  

berdasar  uraian para ulama ushul fiqh ini  di atas, 

maka dapat dipahami bahwa seorang mujtahid dalam pengertian 

                                                           

luasnya yaitu  para ulama yang memiliki kecakapan untuk 

melakukan penalaran guna mengistibatkan hukum dari nas Alquran 

dan Sunah terhadap masalah-masalah yang tidak disebutkan secara 

eksplisit ( manthuq ) di dalam nas syarak.  Kinerja yang demikian 

dikenal dengan istilah ijtihad, yakni usaha  yang serius dan optimal 

untuk mendapatkan pemahaman mengenai aturan-aturan syari’ah.  

P enjelasan mengenai tingkatan atau macam-macam mujtahid 

di bawah ini kiranya dapat memperjelas tentang kualifikasi mujtahid. 

 

4. Macam- macam Mujtahid  

Dalam literatur   , secara teoretis, kriteria 

mujtahid dapat diklasifikasikan menjadi empat tingkatan sebagai 

berikut. 

a. Mujtahid mustaqill  atau mujtahid mutlak, yaitu orang yang 

mampu mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung 

dan independen dari sumber hukum aslinya, yaitu nas Alquran 

dan Sunah melalui penalaran normatif secara deduktif-makro. 

bila  tidak mendapati sumber hukumnya dalam nas Alquran 

dan Sunah, maka ia akan memakai  segala metode ijtihad 

seperti metode analogi (kias), istihsan, mashlahah al - mursalah , 

dan sadd al- dzari‘ah . Mereka berijtihad dengan memakai  

manhaj - nya sendiri, tidak mengikuti manhaj  orang lain. Di 

antara para ulama yang termasuk kategori ini dari kalangan 

tabi’in yaitu  Sa’ id bin al-Musayyab dan an -Nakha’ i. Adapun dari 

kalangan mujtahid mazhab yaitu  Ja’far ash -Shadiq, al-B aqir, 

Abu Han ifah, M alik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al -Auza’ i, 

Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya.    

b. Mujtahid muntasib , yaitu orang-orang yang dalam berijtihad 

bergantung dan memakai  manhaj  ulama lain tetapi memiliki 

ketetapan hukum yang berbeda. Mereka ini yaitu  para ulama 

pengikut mazhab tertentu, seperti  pengikut Abu Han ifah, M alik, 

al-Syafi’i , dan Ahmad bin Hanbal. Di antara ulama yang termasuk 

kategori ini yaitu  Abu Yusuf, Muhammad bin al -Hasan, dan 

Zufar dari pengikut Abu Han ifah; al -Muzn i dari pengikut Mazhab 

                                                          

al-Syafi’ i; Abd ar -Rahm an bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al -Hakam, dan 

lain sebagainya. 

c. Mujtahid fi al- madzhab , yaitu para ulama yang mengikuti 

pendapat para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi 

( manhaj ) ijtihad yang dipakai  maupun dalam produk 

pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanaannya, langkah pertama 

yaitu  mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang dipakai  

para imam mazhab sebelumnya dan kaidah -kaidah fiqh, 

kemudian secara induktif kaidah-kaidah ini  diterapkan 

dalam kasus hukum yang terjadi di warga  dan belum 

pernah ditemukan sebelumnya. Menurut   , praktik 

ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq al -

manath .

Dengan melekatnya kompetensi ijmak pada diri mujtahid, 

maka orang awam yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, 

persetujuan atau penolakannya tidak dianggap dalam proses 

pemebntukan ijmak. Artinya, kesepakatan atau ketidaksepakatan 

orang awam tidaklah diperhitungkan karena keterbatasan 

kemampuan mereka untuk menganalisis atau menggali hukum-

hukum syarak dari sumber aslinya.  

Menurut al -Gazali, 247  dalam masalah-masalah prinsip yang 

dapat dipahami, baik oleh ulama mujtahid maupun orang awam 

(seperti salat wajib lima kali sehari semalam, puasa bulan Ramadan, 

zakat, haji, dan sebagainya), kesepakatan orang awam diperlukan. 

Tetapi dalam masalah-masalah yang hanya dapat dipahami oleh 

umat mujtahid (seperti peraturan-peraturan terperinci dalam 

ibadah dan perdagangan), maka kesepakatan atau ketidaksepakatan 

orang awam tidak perlu diperhitungkan. Al-Bazdawi memiliki 

pendapat yang sama, bahwa tidak semua objek ijmak 

mempersyaratkan mujtahid sebagai peserta ijmak, tergantung pada 

masalah yang akan diijmakkan.248 Akan tetapi, sebagian ulama ushul 

al-Syafi’ i; Abd ar -Rahm an bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al -Hakam, dan 

lain sebagainya. 

c. Mujtahid fi al- madzhab , yaitu para ulama yang mengikuti 

pendapat para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi 

( manhaj ) ijtihad yang dipakai  maupun dalam produk 

pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanaannya, langkah pertama 

yaitu  mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang dipakai  

para imam mazhab sebelumnya dan kaidah -kaidah fiqh, 

kemudian secara induktif kaidah-kaidah ini  diterapkan 

dalam kasus hukum yang terjadi di warga  dan belum 

pernah ditemukan sebelumnya. Menurut   , praktik 

ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq al -

manath .246  

Dengan melekatnya kompetensi ijmak pada diri mujtahid, 

maka orang awam yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, 

persetujuan atau penolakannya tidak dianggap dalam proses 

pemebntukan ijmak. Artinya, kesepakatan atau ketidaksepakatan 

orang awam tidaklah diperhitungkan karena keterbatasan 

kemampuan mereka untuk menganalisis atau menggali hukum-

hukum syarak dari sumber aslinya.  

Menurut al -Gazali, 247  dalam masalah-masalah prinsip yang 

dapat dipahami, baik oleh ulama mujtahid maupun orang awam 

(seperti salat wajib lima kali sehari semalam, puasa bulan Ramadan, 

zakat, haji, dan sebagainya), kesepakatan orang awam diperlukan. 

Tetapi dalam masalah-masalah yang hanya dapat dipahami oleh 

umat mujtahid (seperti peraturan-peraturan terperinci dalam 

ibadah dan perdagangan), maka kesepakatan atau ketidaksepakatan 

orang awam tidak perlu diperhitungkan. Al-Bazdawi memiliki 

pendapat yang sama, bahwa tidak semua objek ijmak 

mempersyaratkan mujtahid sebagai peserta ijmak, tergantung pada 

masalah yang akan diijmakkan.248 Akan tetapi, sebagian ulama ushul 

berpendapat bahwa dalam proses ijmak harus mengikutsertakan 

orang awam.  Oleh karena itu, dalam mendefinisikan ijmak, kata 

“ ittifaq al- mujtahidin ” diganti dengan kata “ ittifaq ummah 

Muhammad ”.  

Ulama -ulama yang lain mengatakan bahwa ijmak dengan tidak 

mengikusertakan orang awam dianggap sah karena orang awam 

tidak memiliki kapasitas untuk mencari kebenaran. Ia dapat 

disamakan dengan seorang anak kecil atau seorang gila. Di samping 

itu, infalibilitas warga  sama artinya dengan infalibilitas seorang 

yang dapat dipandang memiliki kemampuan untuk menjangkau 

kebenaran. Pada era sahabat dari generasi pe rtama, mereka sepakat 

bahwa pendapat seorang awam tidak akan dipertimbangkan dalam 

ijmak. Sebab, bila  seorang awam menyuarakan pendapatnya 

dalam masalah hukum, ia melakukan hal itu tanpa didukung 

pengetahuan. Tampaknya mensyaratkan mujtahid sebagai pihak 

yang paling berkompeten dalam berijmak tidaklah seberapa 

conplicated  karena sebagian besar ulama sependapat tentang hal 

ini .  

Hal lain yang menjadi ajang perselisihan pendapat di kalangan 

ulama ushul fiqh ialah tentang syarat keislaman seseorang untuk 

dapat perperan dalam proses ijmak. Hal ini  karena dalam 

definisi ijmak yang dikemas oleh para ulama ada  kata “ ummah 

Muhammad ”. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud 

dengan kata ini  yaitu  mukalaf, yakni orang Islam yang sudah 

berakal dan balig, atau orang yang memiliki kecakapan bertindak 

(ahliyyat al- ada’ ).251  berdasar  persyaratan ini, maka orang kafīr, 

anak-anak dan orang gila jelas tidak memiliki kompetensi sama 

sekali dalam proses ijmak. 

Menurut Ali Abd al -Raziq, meski ada  perbedaan redaksi, 

namun kata “mukalaf” mengarah pada suatu konsep Muslim, bal ig 

dan berakal yang benar-benar memiliki kemampuan, keahlian atau 

kepakaran untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari sumber-

sumbernya.  

Dengan memerhatikan kriteria ini  di atas, dapat 

diketahui bahwa keislaman seseorang merupakan prasyarat 

kompetensi orang untuk berijmak, sehingga pendapat dan 

pemikiran seorang non-Muslim tidak dapat dijadikan bahan 

pertimbangan dalam berijmak. Untuk ini, al -Amidi mengemukakan 

alasan bahwa ijmak ditetapkan atas dasar Alquran dan Sunah (adillah 

sam‘iyyah ) yang tidak merekomendasikan keikusertaan non-Muslim 

dalam berijmak. Sebaliknya, keduanya hanya mengimplikasikan 

infalibilitas kesepakatan dari orang-orang beriman saja. Tegasnya, 

pemikiran dan pendapat dari orang kafīr tidak diakui dalam Islam. 

Dengan demikian, pendapatnya tidak akan dijadikan pertimbangan 

dalam menetapkan atau menolak suatu sumber syari’ah. bila  

ijmak yaitu  sah tanpa menyertakan pendapatnya, maka 

ketidaksetujuannya pun juga tidak akan memengaruhi keabsahan 

dan legitimasi ijmak.  

Hal yang demikian ad alah karena keberadaan ijmak sebagai 

hujah yaitu  berdasar  dalil-dalil “sama‘i ”, maka tidak akan ada 

ghirah  untuk mensyiarkan Islam bagi non-Muslim. Dengan 

demikian, maka tidak akan ada urgensi dan signifikasinya 

memasukkan non-Muslim dalam kompetensi i jmak, karena muara 

ijmak yaitu  untuk  “memelihara” pemeluk/umat Islam sendiri.   

Fazlur Rahman memiliki pendapat yang cukup “liberal” 

mengenai syarat keislaman orang untuk berpartisipasi dalam proses 

ijmak. Rahman menekankan sikap inklusivisme Islam sehubu ngan 

dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasar  

sejumlah ayat Alquran, di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 62 dan Q.S. 

al-Ma’idah [5]: 69, yang menurut penafsiran Rahman menunjukkan 

bahwa siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat 

serta melakukan perbuatan baik, akan selamat. Dalam negara 

modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama 

                                                           

kepakaran untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari sumber-

sumbernya.  

Dengan memerhatikan kriteria ini  di atas, dapat 

diketahui bahwa keislaman seseorang merupakan prasyarat 

kompetensi orang untuk berijmak, sehingga pendapat dan 

pemikiran seorang non-Muslim tidak dapat dijadikan bahan 

pertimbangan dalam berijmak. Untuk ini, al -Amidi mengemukakan 

alasan bahwa ijmak ditetapkan atas dasar Alquran dan Sunah (adillah 

sam‘iyyah ) yang tidak merekomendasikan keikusertaan non-Muslim 

dalam berijmak. Sebaliknya, keduanya hanya mengimplikasikan 

infalibilitas kesepakatan dari orang-orang beriman saja. Tegasnya, 

pemikiran dan pendapat dari orang kafīr tidak diakui dalam Islam. 

Dengan demikian, pendapatnya tidak akan dijadikan pertimbangan 

dalam menetapkan atau menolak suatu sumber syari’ah. bila  

ijmak yaitu  sah tanpa menyertakan pendapatnya, maka 

ketidaksetujuannya pun juga tidak akan memengaruhi keabsahan 

dan legitimasi ijmak.  

Hal yang demikian ad alah karena keberadaan ijmak sebagai 

hujah yaitu  berdasar  dalil-dalil “sama‘i ”, maka tidak akan ada 

ghirah  untuk mensyiarkan Islam bagi non-Muslim. Dengan 

demikian, maka tidak akan ada urgensi dan signifikasinya 

memasukkan non-Muslim dalam kompetensi i jmak, karena muara 

ijmak yaitu  untuk  “memelihara” pemeluk/umat Islam sendiri.   

Fazlur Rahman memiliki pendapat yang cukup “liberal” 

mengenai syarat keislaman orang untuk berpartisipasi dalam proses 

ijmak. Rahman menekankan sikap inklusivisme Islam sehubu ngan 

dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasar  

sejumlah ayat Alquran, di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 62 dan Q.S. 

al-Ma’idah [5]: 69, yang menurut penafsiran Rahman menunjukkan 

bahwa siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat 

serta melakukan perbuatan baik, akan selamat. Dalam negara 

modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama 

                                                          

lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim maupun 

bukan Muslim.    

Pandangan Rahman di atas dengan jelas mengidealkan adanya 

kesetaraan di antara sesama warga bangsa di era modern ini, baik 

Muslim maupun non -Muslim, serta persamaan hak dan 

kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. 

Karena itu, ketika suatu ijmak mengkristal atau berhasil dicapai 

dalam komunitas ini , berdasar  prinsip mayoritas, ia 

mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Namun, dalam kitab 

Musallam as \ - S|ubut  disebutkan bahwa non-Muslim boleh 

berpartisipasi dalam proses ijmak, pendapat mereka diperhitungkan. 

Al-Syaukani memiliki pendapat yang relatif moderat sekaligus 

netral dalam memaknai kata “ ummah Muhammad ”. Menurutnya, 

kata ini  hanya mengecualikan kesepakatan umat masa lalu 

sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul. 256 Dengan 

statemennya yang demikian, sepertinya al-Syaukani tidak ingin 

terlalu berpolemik tentang kompetensi dan kualifikasi mujtahid 

untuk berijmak, termasuk mempermasalahkan keberagamaannya. 

Pada bagian akhir pembahasan tentang kompetensi untuk berijmak, 

al-Amidi dengan sangat cermat menyatakan bahwa semua 

persyaratan tentang kompetensi ijmak yang ketat dan rumit 

hanyalah teori semata, yang kesemuanya merupakan keyakinan yang 

terbangun setelah isu tertutupnya pintu ijtihad.   

 

5.  Produk Ijtihad Kontemporer  

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa fiqh 

merupakan produk ijtihad sedangkan piranti metodologisnya yaitu  

ushul fiqh. Akan tetapi sebenarnya ada  beberapa macam 

produk pemikiran hokum selain fiqh yang masing-masing memiliki 

karakterisitik tersendiri. Dalam hubungan ini, menurut Atho’ 

Mudzhar, sedikitnya dikenal ada empat kategori produk pemikiran 

                                                           

hukum Islam, yaitu fiqh yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh, 

fatwa para ulama, baik secara individu maupun 

kolektif/kelembagaan, peraturan perundang -undangan ( qanun ), 

serta keputusan pengadilan ( qadh a’ ).258  Keempat macam produk 

pemikiran hukum Islam ini  dapat dijelaskan sebagai berikut. 

a. Fiqh yaitu  pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang 

berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari dalil-dali 

syarak yang sepsifik.259 Sebagai contoh, berdasar  firman 

Allah swt dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 77, yang artinya “Dirikanlah 

salat dan tunaikanlah zakat”, dapat dipahami bahwa salat lima 

waktu dan membayar zakat itu hukumnya wajib.  

b. Keputusan pengadilan yang sering disebut dengan  al- qadha’ , 

yaitu ucapan atau tulisan penetapan serta keputusan yang 

dikeluarkan oleh lembaga atau badan yang diberi kewenangan 

untuk itu (wilayat al- qadha’ ).260  Dalam pembahasan tentang 

peradilan (al- qadha’ ), menurut para ulama, idealnya seorang 

hakim yaitu  seorang mujtahid, mengingat keputusan hakim 

selain mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, juga dapat 

dijadikan yurisprudensi, acuan, atau rujukan oleh hakim lain 

dalam menyelesaikan kasus hukum yang sama. 

c. Fatwa, yaitu hasil ijtihad seorang mufti atau kelembagaan 

sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan atau 

ditanyakan kepadanya. Oleh karena itu, fatwa sejatinya lebih 

spesifik dan terkadang kasuistik, tidak seperti fiqh atau hasil 

ijtihad pada umumnya.261  Dengan pengertian dan posisi fatwa 

yang demikian, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang 

difatwakan oleh seorang mufti sesungguhnya telah dibahas 

dalam fiqh, namun belum diketahui oleh orang yang meminta 

                                                          

hukum Islam, yaitu fiqh yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh, 

fatwa para ulama, baik secara individu maupun 

kolektif/kelembagaan, peraturan perundang -undangan ( qanun ), 

serta keputusan pengadilan ( qadh a’ ).  Keempat macam produk 

pemikiran hukum Islam ini  dapat dijelaskan sebagai berikut. 

a. Fiqh yaitu  pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang 

berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari dalil-dali 

syarak yang sepsifik.  Sebagai contoh, berdasar  firman 

Allah swt dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 77, yang artinya “Dirikanlah 

salat dan tunaikanlah zakat”, dapat dipahami bahwa salat lima 

waktu dan membayar zakat itu hukumnya wajib.  

b. Keputusan pengadilan yang sering disebut dengan  al- qadha’ , 

yaitu ucapan atau tulisan penetapan serta keputusan yang 

dikeluarkan oleh lembaga atau badan yang diberi kewenangan 

untuk itu (wilayat al- qadha’ ).  Dalam pembahasan tentang 

peradilan (al- qadha’ ), menurut para ulama, idealnya seorang 

hakim yaitu  seorang mujtahid, mengingat keputusan hakim 

selain mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, juga dapat 

dijadikan yurisprudensi, acuan, atau rujukan oleh hakim lain 

dalam menyelesaikan kasus hukum yang sama. 

c. Fatwa, yaitu hasil ijtihad seorang mufti atau kelembagaan 

sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan atau 

ditanyakan kepadanya. Oleh karena itu, fatwa sejatinya lebih 

spesifik dan terkadang kasuistik, tidak seperti fiqh atau hasil 

ijtihad pada umumnya.261  Dengan pengertian dan posisi fatwa 

yang demikian, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang 

difatwakan oleh seorang mufti sesungguhnya telah dibahas 

dalam fiqh, namun belum diketahui oleh orang yang meminta 

                                                           

fatwa. Berbeda dengan keputusan pengadilan yang bersifat 

mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara, maka fatwa tidak 

memiliki daya ikat kepada orang yang bertanya sekalipun, 

apalagi kepada orang lain. 

d. Perundang -undangan atau qanun , yaitu peraturan yang dibuat 

oleh suatu badan legislatif (as- sulthah at- tasyri‘iyyah ) yang 

mengikat setiap warga di mana undang-undang itu 

diberlakukan, dan bila  dilanggar, maka akan mendatangkan 

sanksi.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa peran dan fungsi 

fiqh lebih dominan dibandingkan dengan fatwa, qanun , ataupun 

qadha’ . Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika di kalangan 

warga , terutama warga  Islam Indonesia, terasa sekali 

fiqh - oriented-nya. Hal ini disebabkan fiqh mengandung berbagai 

implikasi konkret bagi perilaku keseharian, baik individu maupun 

warga .263  Fakta sejarah menunjukkan bahwa hasil pemikiran 

yang berupa fiqh sering memengaruhi fatwa seorang mufti, hakim di 

pengadilan, atau para pejabat dalam proses pembuatan peraturan 

perundang-undangan. Artinya, fiqh menempati posisi yang sangat 

strategis dalam dinamika pembinaan dan pembaruan hukum Islam. 


Berbicara tentang ilmu fiqh sungguh sangatlah luas objek 

kajiannya bagai laut yang tak bertepi, karena fiqh membahas 

hukum-hukum Allah swt. yang bersinggungan langsung dengan 

setiap amal perbuatan manusia baik yang bersifat hubungan vertikal 

antara hamba dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan 

horizontal antar sesama hamba ( habl min al - nas). Artinya, tidak ada 

satupun tutur kata, tingkah laku dan amal perbuatan umat manusia 

yang terbebas dari ketentuan hukum Allah swt.  

Demikian juga bila  dilihat dari aspek manfaat dan 

kegunaannya, ilmu fiqh dapat diibaratkan  laksana bulan yang 

menerangi bumi, sinarnya dapat menerangi taman tempat kita 

berteduh. Artinya, ilmu fiqh dapat dijadikan sebagai acuan dan 

rujukan, tempat bernaung dan berteduh bagi setiap muslim dalam 

melaksanakan segala aktifitas amaliah dan peribadatannya. 

Di samping itu ilmu fiqh atau hukum Islam memiliki prinsip-

prinsip dasar (ushul) yang sangat kokoh, yang diserap dari nash 

Alquran dan Hadis  serta sarat dengan idea-idea dan maslahat–

maslahat yang jelas lagi nyata. berdasar  prinsip -prinsip 

ini lah masalah fiqh dan  cabang– cabang fiqh (furu'iyah ) yang 

selalu dinamis dan tak terhingga banyaknya tetap terpelihara ruh 

dan semangat syrai’ahn ya. Prinsip -prinsip dasar ini selanjutnya 

dikenal dengan istilah ushul al- fiqh.  

Berbicara tentang ilmu fiqh sungguh sangatlah luas objek 

kajiannya bagai laut yang tak bertepi, karena fiqh membahas 

hukum-hukum Allah swt. yang bersinggungan langsung dengan 

setiap amal perbuatan manusia baik yang bersifat hubungan vertikal 

antara hamba dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan 

horizontal antar sesama hamba ( habl min al - nas). Artinya, tidak ada 

satupun tutur kata, tingkah laku dan amal perbuatan umat manusia 

yang terbebas dari ketentuan hukum Allah swt.  

Demikian juga bila  dilihat dari aspek manfaat dan 

kegunaannya, ilmu fiqh dapat diibaratkan  laksana bulan yang 

menerangi bumi, sinarnya dapat menerangi taman tempat kita 

berteduh. Artinya, ilmu fiqh dapat dijadikan sebagai acuan dan 

rujukan, tempat bernaung dan berteduh bagi setiap muslim dalam 

melaksanakan segala aktifitas amaliah dan peribadatannya. 

Di samping itu ilmu fiqh atau hukum Islam memiliki prinsip-

prinsip dasar (ushul) yang sangat kokoh, yang diserap dari nash 

Alquran dan Hadis  serta sarat dengan idea-idea dan maslahat–

maslahat yang jelas lagi nyata. berdasar  prinsip -prinsip 

ini lah masalah fiqh dan  cabang– cabang fiqh (furu'iyah ) yang 

selalu dinamis dan tak terhingga banyaknya tetap terpelihara ruh 

dan semangat syrai’ahn ya. Prinsip -prinsip dasar ini selanjutnya 

dikenal dengan istilah ushul al- fiqh.  

Para Ulama sebagai  ahli waris para Nabi ( waratsat al- anbiya' ) 

menempati  posisi yang sangat sentral dan strategis bagi umat Islam. 

Mereka selalu menjadi rujukan, tempat bertan ya dan tempat belajar 

bagi umat Islam pada umumnya. Hal  yang demikian disebabkan para 

Ulama memiliki kemampuan untuk ber istinbath  dan berijtihad 

secara seksama terhadap nash Alquran dan Hadis Nabi saw. dalam 

konteks pembinaan dan pengembangan fiqh atau hukum Islam. Di 

antara produk istinbath  dan ijtihad  para Ulama yaitu ,  

mengklasifikasi masalah-masalah fiqh menjadi beberapa bagian dan 

beberapa cabang berdasar  illat dan sebab hukum yang 

menyertainya.  

Untuk dapat mengklasifikasi bidang -bidang dan cabang-

cabang fiqh, diperlukan wawasan yang memadai tentang aspek-

aspek keserupaan dan kesamaan (al- asybah wa al - nazhair ) hukum-

hukum fiqh berdasar  illat dan sebab hukumnya, untuk 

selanjutnya dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang sejenis dan 

sebangun. Satuan-satuan yang dapat dijadikan "pengikat" untuk 

mengelompokkan masalah-masalah fiqh inilah, yang kemudian 

dikenal dengan istilah Qawa'id al- Fiqhiyah.  

 

1.  Pengertian Qawa'id al - Fiqhiyah.  

Selain istilah Qawa'id al - Fiqhiyah , sebahagian Ulama 

memakai  istilah Al - Asybah wa al - Nazhair  sebagai nama lain 

dari kaidah-kaidah fiqh yang bersifat kulli  ini . Sebagai contoh, 

Taj al-Din al-Subky (abad VIII H), menyusun kitab kaidah fiqhiyah 

bermazhab Syafi’y dengan  judul Al - Aybah wa al - Nazhair . Kitab 

ini  kemudian disempurnakan oleh Jalal al -Din Abd al-Rahman 

Abu Bakr al -Suyuthi (849 –  911 H) dengan judul yang sama. Demikian 

juga halnya,  Zain al - Abidin ibn Ibrahim al - Mishry (926 –  970 H), 

seorang Ulama bermazhab Hanafi juga menyusun kitab kaidah -

kaidah fiqh dengan judul  Al - Asybah wa al - Nazhair . Istilah ini  

diduga bersumber dari perkataan khalifah Umar bin Khathab   

kepada seorang hakim yang bernama Abu Musa Al -Asy'ari 

 َأ ٠َُِا ْذ ِٔ َْػَخك َىَذْ٘ ِػ َس ْٞ ُٓ ُْلْح ِِظه َٝ  ََٙخزَْشْلْح َٝ  َءَخ٤َْشْلْح ِفِشـِْػا ِﷲ ٠َُِا َخ ِّٜزَك

ََٟشط خ َٔ ٤ِْك   ِّنَلُْ ِخر َخِٜٜ َزْشِلْ َٝ 

Artinya : Kenalilah segala sesuatu yang memiliki keserupaan dan 

kiaskanlah segala perkara kepada imbangannya. Kemudian 

kiaskanlah segala apa yang ada padamu dan 

berketetapanlah kepada apa yang paling disukai oleh Allah 

serta yang lebih mendekati kebenaran tentang apa yang 

engkau lihat. 

 

Dalam usaha  memperoleh pengertian yang komprehensif 

tentang Qawa’id al - Fiqhiyah 264 , haruslah ditelusuri pengertian 

secara literal atau harfiyah terlebih dahulu dari masing-masing kata, 

yakni  kata " qawa’id " dan kata " fiqhiyah ".  

Secara etimologis kata qawa’id  berasal dari bahsa Arab qa’idah , 

yang berarti peraturan, undang-undang atau pondasi bangunan.265 

Pengertian ini senada dengan pengertian yang sudah lazim 

dipakai  dalam kosa kata bahasa Indonesia “kaidah” yang berarti : 

rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, 

patokan, dalil.266  

pemakaian  kata "qawa’id " dalam Alquran dengan pengertian 

asas-asas atau dasar-dasar, antara lain dapat dilihat pada QS Al-

Baqarah : 127 sbb :  

 

 ُغ٤ ِٔ َّغُح َضْٗ َأ َيَِّٗا خَّ٘ ِٓ  َْ َّ َزَوط َخ َّ٘رَس َُ ٤ِػخ َٔ ِْعا َٝ  ِض٤َْزُْ ح َٖ ِٓ  َذِػح َٞ َوُْ ح ُْ ٤ِٛ حَشِْرا َُغكَْش٣ ِْرا َٝ

/ سشوزُح]   ُْ ٤َِِؼُْ ح127[ 

 َأ ٠َُِا ْذ ِٔ َْػَخك َىَذْ٘ ِػ َس ْٞ ُٓ ُْلْح ِِظه َٝ  ََٙخزَْشْلْح َٝ  َءَخ٤َْشْلْح ِفِشـِْػا ِﷲ ٠َُِا َخ ِّٜزَك

ََٟشط خ َٔ ٤ِْك   ِّنَلُْ ِخر َخِٜٜ َزْشِلْ َٝ 

Artinya : Kenalilah segala sesuatu yang memiliki keserupaan dan 

kiaskanlah segala perkara kepada imbangannya. Kemudian 

kiaskanlah segala apa yang ada padamu dan 

berketetapanlah kepada apa yang paling disukai oleh Allah 

serta yang lebih mendekati kebenaran tentang apa yang 

engkau lihat. 

 

Dalam usaha  memperoleh pengertian yang komprehensif 

tentang Qawa’id al - Fiqhiyah 264 , haruslah ditelusuri pengertian 

secara literal atau harfiyah terlebih dahulu dari masing-masing kata, 

yakni  kata " qawa’id " dan kata " fiqhiyah ".  

Secara etimologis kata qawa’id  berasal dari bahsa Arab qa’idah , 

yang berarti peraturan, undang-undang atau pondasi bangunan.265  

Pengertian ini senada dengan pengertian yang sudah lazim 

dipakai  dalam kosa kata bahasa Indonesia “kaidah” yang berarti : 

rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, 

patokan, dalil.  

pemakaian  kata "qawa’id " dalam Alquran dengan pengertian 

asas-asas atau dasar-dasar, antara lain dapat dilihat pada QS Al-

Baqarah : 127 sbb :  

 

 ُغ٤ ِٔ َّغُح َضْٗ َأ َيَِّٗا خَّ٘ ِٓ  َْ َّ َزَوط َخ َّ٘رَس َُ ٤ِػخ َٔ ِْعا َٝ  ِض٤َْزُْ ح َٖ ِٓ  َذِػح َٞ َوُْ ح ُْ ٤ِٛ حَشِْرا َُغكَْش٣ ِْرا َٝ

/ سشوزُح]   ُْ ٤َِِؼُْ ح127[ 

                                                        

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim menginginkan (membina) 

dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (sera ya berdoa) : Ya  

Tuhan kami terimalah (amalan) kami, sesungguhnya 

Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui 

(QS Al-Baqarah : 127)  

 

Sedangkan pengertian kaidah secara terminologis atau 

menurut istilah syarak yaitu  sebagai berikut : 

 

: ُذـِػح َٞ َوُح  ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ٌْ ٌْ ُك َخْٜ٘ ِٓ  ٍذِكح َٝ  َِّ ًُ  َضَْلط ُؽِسَذْ٘ َ٣ ٠ِظَُّح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح َخ٣خََؼوـُْ َح

 ٌسَش٤ِْؼـ ًَ267 

 

Artinya : Kaidah yaitu  ketentuan -ketentuan yang bersifat umum, 

yang dapat menginduk kepada masing-masing ketentuan 

ini  berbagai macam hukum yang spesifik. 

 

Beberapa Ulama yang lain, seperti Fathi Ridwan dalam  kitab 

Min Falasifat al - Tasyri’ al - Islami dan Musthafa Ahmad al -Zarqa’, 

dalam kitab Al - Fiqh Fi Tsaubih al - Jadid  mendefinisikan kaidah 

sebagai : 

 

 ْ٤ ِٔ َؿ ٠ََِػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ٠ٌَِزَِْؿأ ٌْ ٌْ ُك ِٚ ِطخَّ ٤ِثْضُؿ ِغ268 

 

Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup 

seluruh bagian-bagiannya. 

 

Al-Jurjani dalam kitan Al - Ta'rifat  mengemukakan : 

 

 َخِٜطخَّ٤ِثْضُؿ ِغ٤ْ ِٔ َؿ ٠ََِػ ٌَشِوَزطْ٘ ُٓ  ٌشَّ٤ِِّ ًُ  ٌشَّ٤َِؼه ٠َِٛ  ُسَذِػَخوُْ َح269  

                                                           

Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup 

seluruh bagian-bagiannya. 

 

Setelah memperhatikan takrif, definisi-definisi dan pengertian 

kaidah ini  di atas, baik menurut pengertian literal  maupun 

menurut istilah syarak, maka dapat dijelaskan bahwa kaidah itu 

memiliki karakterisitik sebagai berikut : 

1. Bahwa kaidah itu merupakan hasil ijtihad  para ulama, dan  

karenanya para ulama mempunyai kadiah-kadiah istinbath  

yang berbeda-beda yang berakibat hasil ijtihadnyapun bisa saja 

berbeda-beda. 

2. Perumusan k aidah berasal dari dalil-dalil syarak  baik yang 

bersifat qath’y  maupun zhanny,  dan para ulama belum sepakat 

bulat dalil mana saja yang termasuk  kategori qath’y  dan dalil 

mana yang termasuk kategori zhanny.  

3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian (istitsna’ ), 

dan pada saat yang demikian terkadang tidak mengaitkan 

pemberlakuan suatu kaidah. 

 

Sedangkan kata “ fiqhiyah ”, ia berasal dari kata " fiqh " yang 

secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu270 , 

kemudian mendapat tambahan  ya’ nisb ah yang berfungsi 

mengkategorikan atau penjenisan.  

pemakaian  kata fiqh dengan pengertian "paham", antara lain 

ini  dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :  

 

  ُسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ  ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثخَؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ  ٍَشهِْشك َِّ ًُ  ْٖ ِٓ  ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حٝ

/ شرٞظُح]  َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[ 

Artinya : Ketentuan yang bersifat umum yang dapat mencakup 

seluruh bagian-bagiannya. 

 

Setelah memperhatikan takrif, definisi-definisi dan pengertian 

kaidah ini  di atas, baik menurut pengertian literal  maupun 

menurut istilah syarak, maka dapat dijelaskan bahwa kaidah itu 

memiliki karakterisitik sebagai berikut : 

1. Bahwa kaidah itu merupakan hasil ijtihad  para ulama, dan  

karenanya para ulama mempunyai kadiah-kadiah istinbath  

yang berbeda-beda yang berakibat hasil ijtihadnyapun bisa saja 

berbeda-beda. 

2. Perumusan k aidah berasal dari dalil-dalil syarak  baik yang 

bersifat qath’y  maupun zhanny,  dan para ulama belum sepakat 

bulat dalil mana saja yang termasuk  kategori qath’y  dan dalil 

mana yang termasuk kategori zhanny.  

3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian (istitsna’ ), 

dan pada saat yang demikian terkadang tidak mengaitkan 

pemberlakuan suatu kaidah. 

 

Sedangkan kata “ fiqhiyah ”, ia berasal dari kata " fiqh " yang 

secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu270 , 

kemudian mendapat tambahan  ya’ nisb ah yang berfungsi 

mengkategorikan atau penjenisan.  

pemakaian  kata fiqh dengan pengertian "paham", antara lain 

ini  dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :  

 

  ُسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ  ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثخَؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ  ٍَشهِْشك َِّ ًُ  ْٖ ِٓ  ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حٝ

/ شرٞظُح]  َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[ 

Artinya : Hendaklah setiap golongan dari mereka ada sekelompok 

orang yang pergi untuk memamahmi ajaran agama  dan 

untuk memberi peringatan kepada kaumnya ketika 

kembali kepada mereka (QS al-Taubah : 122 )  

 

Dalam sabda Nabi juga disebutkan : 

 

    : ِْ َّ َِع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ِْرا ْٖ َػ

 ) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ٍك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚ ِر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ271 

 

Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang 

yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini  

paham tentang ajaran agama. 

 

Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau  menurut 

istilah syarak yaitu  : 

 

  ِِْؼُْ ح َٞ ُٛ  ُْٚوـِلـُْ َح ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح َخِٜظَُّ َِدأ ْٖ ِٓ  ِذََغظ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ َؼُْ ح ِشَّ٤ِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ ْكْلِْخر ُْ

272 

 

Artinya :  Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak, 

yang berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil 

dari dalil-dali syarak yang terperinci”.  

 

Muhammad Abu Zahrah juga menerangkan bahwa fiqh ialah 

:”Suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syarak tentang 

perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dali syarak yang 

terperinci.

Sebagai contoh hukum fiqh yaitu  seperti pemahaman bahwa 

hukum shalat lima waktu, zakat fitrah, berhaji bagi orang yang 

mampu yaitu  wajib, puasa pada hari Senin dan Kamis yaitu  sunah, 

membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak  

yaitu  haram, dan lain sebagainya. 

Mencermati definisi fiqh sebagaimana ini  d i atas, Amir 

Syarifuddin  mencoba mengurai unsur-unsur atau cakupan 

pengertian fikih sebagai berikut: 

1. bahwa fiqh itu yaitu  ilmu tentang hukum syara’;  

2. bahwa yang dibicarakan fiqh yaitu  hal-hal yang bersifat 

‘amaliyah- furu’iyah , 

3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’  didasarkan 

kepada dalil tafsili (rinci), 

4. bahwa fiqh  itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan 

istidlal (pemakaian  dalil) oleh mujtahid atau faqih.  

 

Oleh karena itu fiqh mencakup dua aspek yaitu : 

1. hukum-hukum fiqh yang hanya dapat dipahami oleh 

mujtahid setelah melalui proses ijtihad;  

2.  dan hukum-hukum fiqh yang tidak memerlukan ijtihad, 

seperti hukum-hukum yang ada  dalam Alquran dan 

Sunah serta masalah-masalah ijmak. 

 

berdasar  penjelasan tentang pengertian qawa’id  dan fiqh  

sebagaimana telah dikemukakan  di atas, maka dapat dikemukakan 

bahwa yang dimaksud dengan  Qawa’id al - Fiqhiyah , yaitu  

sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Taj al-Din al-Subky 

sebagai berikut : 

 

 ُّ٠ِِّ ٌُ ُْحُش ْٓ َْلْح  َخْٜ٘ ِٓ  َخٜ ُٓ خ ٌَ ْكأ ُْ َْٜلُـط ٌسَش٤ِْـؼـ ًَ  ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ِٚ ٤ََِْػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ِٟزَُّح275 

                                                           

 

Sebagai contoh hukum fiqh yaitu  seperti pemahaman bahwa 

hukum shalat lima waktu, zakat fitrah, berhaji bagi orang yang 

mampu yaitu  wajib, puasa pada hari Senin dan Kamis yaitu  sunah, 

membunuh orang tanpa alasan yang dapat dibenarkan syarak  

yaitu  haram, dan lain sebagainya. 

Mencermati definisi fiqh sebagaimana ini  d i atas, Amir 

Syarifuddin  mencoba mengurai unsur-unsur atau cakupan 

pengertian fikih sebagai berikut: 

1. bahwa fiqh itu yaitu  ilmu tentang hukum syara’;  

2. bahwa yang dibicarakan fiqh yaitu  hal-hal yang bersifat 

‘amaliyah- furu’iyah , 

3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’  didasarkan 

kepada dalil tafsili (rinci), 

4. bahwa fiqh  itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan 

istidlal (pemakaian  dalil) oleh mujtahid atau faqih.  

 

Oleh karena itu fiqh mencakup dua aspek yaitu : 

1. hukum-hukum fiqh yang hanya dapat dipahami oleh 

mujtahid setelah melalui proses ijtihad;  

2.  dan hukum-hukum fiqh yang tidak memerlukan ijtihad, 

seperti hukum-hukum yang ada  dalam Alquran dan 

Sunah serta masalah-masalah ijmak. 

 

berdasar  penjelasan tentang pengertian qawa’id  dan fiqh  

sebagaimana telah dikemukakan  di atas, maka dapat dikemukakan 

bahwa yang dimaksud dengan  Qawa’id al - Fiqhiyah , yaitu  

sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Taj al-Din al-Subky 

sebagai berikut : 

 

 ُّ٠ِِّ ٌُ ُْحُش ْٓ َْلْح  َخْٜ٘ ِٓ  َخٜ ُٓ خ ٌَ ْكأ ُْ َْٜلُـط ٌسَش٤ِْـؼـ ًَ  ٌصخَّ٤ِثْضُؿ ِٚ ٤ََِْػ ُِنزَطْ٘ َ٣ ِٟزَُّح275 

                                                           

Artinya : Ketentuan yang bersifat umum ( kulli), yang dapat 

mancakup beberapa cabang fiqh yang banyak dan dengan 

ketentuan ini  dapat diketahui hukum-hukumnya. 

 

Menurut sebagian ulama, Qawa’id al - Fiqhiyah  yaitu  : 

 

 َعحَشـْؿْلْح َٝ  ُٚ َٓ خ ٌَ ْكأ ُعِسخَّشُح َخٜ٤ََِْػ ٠ََ٘ر ٠ِظَُّح ِظُُعْلِْخر َُشوَِِّؼظ ُٔ ُْ ح َخ٣خََؼوـُْ َح

 ِٚ ِؼ٣ِْشْشَـِظر َخٜ٤َُِْا َذََظه ٠ِظَُّح276 

 

Artinya : Ketentuan -ketentuan yang berkenaan dengan asas-asas 

pembinaan hukum syarak serta tujuan-tujuan yang 

hendak dicapai dengan adanya penetapan hukum 

ini . 

 

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Qawa’id al -

Fiqhiyah  merupakan koleksi dan kristalisasi hukum-hukum fiqh  

yang beraneka ragam. Para fuqaha telah mengidentifikasi berbagai 

pesoalan atau permasalahan fiqh berikut cirri-cirinya, illat- illat dan 

sebab-sebab hukumnya, kemudian mengikatnya dengan kaidah-

kaidah yang bersifat umum ( kulli ) atau teori-teori untuk mengkoordi 

nasikannya.  

Dalam  literatur teori ilmu fiqh dikenal adanya Qawa'id 

Ushuliyah  dan Qawa'id Fiqhiyah . Antara keduanya memang memiliki 

beberapa persamaan, tapi juga memiliki beberapa sisi  perbedaan.  

Al-Qarafi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash -Shiddieqy

menjelaskan hakikat Qawa'id Ushuliyah dan Qawa'id Fiqhiyah  

sebagai berikut : 

 

 : ِٕ خ َٔ ِْغه خ َٔ ُُُٜ ْٞ ُُطأ َٝ  ٍع ْٝ ُُشك َٝ  ٍٍ ْٞ ُُطأ ٠ََِػ َْضِ َٔ َظِْشا َشَّ٣ِذ َّٔ َل ُٔ ُْ ح َشَؼ٣ِْش َّشُح َّٕ ِا

 َِشجِشخَُّ٘ح ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ٤ِْٗح َٞ َه ٠ِك ِٚ ِؼِكَخز َٓ  َُذِْؿأ َٝ  ِٚ ِْولُْ ح ٍِ ْٞ ُُطِؤر ٠َّٔ َغ ُٔ ُْ ح خ َٔ ُُٛذََكأ

 ََِػ ِش ْٓ ْلْح َِشَُلَِذ ًَ  ِظَخلـُْ ْلْح ِٖ َػ َِؾ٤ِط َٝ  ِْ ٣ِْشْلَّظُح ٠ََِػ ٠ِْٜ َُّ٘ح َِشَُلَِد َٝ  ِد ْٞ ُؿ ُٞ ُْ ح ٠

                                                           

 


 َٞ ُٛ ٠ِٗخَّؼُح َٝ  ِق٤ِْؿْشَّظُح َٝ  ِخْغَُّ٘حخ ًَ  َخِٜر َُ ِظََّظ٣ خ َٓ َٝ  ِّ ْٞ ُٔ ُؼ

ُْ ح َٝ  ِص ْٞ ُظُخُْ ح

 ِع ْٝ ُشُـك ْٖ ِٓ  َخَُٜ ٌسَش٤ِْؼ ًَ  ٌَشِ٤َِِْؿ ٠َِٛ َٝ  ُشَّ٤ـِٜ ْوِـلـُْ ح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح ُذِػح َٞ َـوـُْ ح  َلَ خ َٓ  ِّ خ ٌَ ْكْلْح

 ٠َظُْل٣278 

 

Artinya :  Syari'ah Muhammad meliputi ushul dan furu' , dan bagian 

ushulnya ada dua macam. Pertama ; yang dinamakan ushul 

fiqh yang sebagian besar pembahasannya yaitu  tentang 

ketentuan-ketentuan hukum yang muncul dari lafazh,  

seperti penunjukan amr  kepada perintah, penunjukan 

nahy kepada larangan, bentuk-bentuk kalimat khsusus 

dan umum serta hal-hal yang berhubungan dengan naskh  

dan tarjih. Kedua; yaitu  kaidah -kaidah fiqhiyah yang 

bersifat umum (kulli ). Kaidah -kaidah ini  sangat 

penting artinya karena ia mengandung hukum-hkum  

furu'   yang tak terhingga banyaknya. 

 

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan perbedaan antara 

Qawa'id Ushuliyah  dengan Qawa'id Fiqhiyah , bahwa qawa’id 

ushuliyah merupakan metode, cara atau ketentuan-ketentuan  yang 

harus dipedomani dan dipakai  oleh seorang mujtahid dalam 

berijtihad agar tidak tersesat dalam melaksanakan jtihadnya. 

Sedangkan Qawa'id  al -Fiqhiyah yaitu  koleksi hukum -hukum fiqh 

yang bersifat furu’iyah  yang memiliki tasyabuh  (kesamaan, 

kemiripan, keserupaan) sehingga dapat  disatukan dengan satu qiyas 

atau dengan kaidah fiqhiyah. .  Sebagai contoh : ada  kaidah 

yang menyangkut masalah kepemilikan,  penjaminan, hak pilih 

dalam jual  beli (khiyar ), dan lain sebagainya.  

Dengan kata lain dapat dijelaskan pula bahwa Kaidah 

Uhsuliyah itu diciptakan oleh para ulama ahli ushul berdasar  

kaidah-kaidah kebahasaan sehingga sering juga dikenal sebagai 

kaidah lughawiyah, membahas berbagai tata cara atau sistem 

berijtihad dan beristinbath, penggalian hukum dari dalil aslinya.  

                                                           

 َٞ ُٛ ٠ِٗخَّؼُح َٝ  ِق٤ِْؿْشَّظُح َٝ  ِخْغَُّ٘حخ ًَ  َخِٜر َُ ِظََّظ٣ خ َٓ َٝ  ِّ ْٞ ُٔ ُؼ

ُْ ح َٝ  ِص ْٞ ُظُخُْ ح

 ِع ْٝ ُشُـك ْٖ ِٓ  َخَُٜ ٌسَش٤ِْؼ ًَ  ٌَشِ٤َِِْؿ ٠َِٛ َٝ  ُشَّ٤ـِٜ ْوِـلـُْ ح ُشَّ٤ِِّ ٌُ ُْ ح ُذِػح َٞ َـوـُْ ح  َلَ خ َٓ  ِّ خ ٌَ ْكْلْح

 ٠َظُْل٣278 

 

Artinya :  Syari'ah Muhammad meliputi ushul dan furu' , dan bagian 

ushulnya ada dua macam. Pertama ; yang dinamakan ushul 

fiqh yang sebagian besar pembahasannya yaitu  tentang 

ketentuan-ketentuan hukum yang muncul dari lafazh,  

seperti penunjukan amr  kepada perintah, penunjukan 

nahy kepada larangan, bentuk-bentuk kalimat khsusus 

dan umum serta hal-hal yang berhubungan dengan naskh  

dan tarjih. Kedua; yaitu  kaidah -kaidah fiqhiyah yang 

bersifat umum (kulli ). Kaidah -kaidah ini  sangat 

penting artinya karena ia mengandung hukum-hkum  

furu'   yang tak terhingga banyaknya. 

 

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan perbedaan antara 

Qawa'id Ushuliyah  dengan Qawa'id Fiqhiyah , bahwa qawa’id 

ushuliyah merupakan metode, cara atau ketentuan-ketentuan  yang 

harus dipedomani dan dipakai  oleh seorang mujtahid dalam 

berijtihad agar tidak tersesat dalam melaksanakan jtihadnya. 

Sedangkan Qawa'id  al -Fiqhiyah yaitu  koleksi hukum -hukum fiqh 

yang bersifat furu’iyah  yang memiliki tasyabuh  (kesamaan, 

kemiripan, keserupaan) sehingga dapat  disatukan dengan satu qiyas 

atau dengan kaidah fiqhiyah. .  Sebagai contoh : ada  kaidah 

yang menyangkut masalah kepemilikan,  penjaminan, hak pilih 

dalam jual  beli (khiyar ), dan lain sebagainya.  

Dengan kata lain dapat dijelaskan pula bahwa Kaidah 

Uhsuliyah itu diciptakan oleh para ulama ahli ushul berdasar  

kaidah-kaidah kebahasaan sehingga sering juga dikenal sebagai 

kaidah lughawiyah, membahas berbagai tata cara atau sistem 

berijtihad dan beristinbath, penggalian hukum dari dalil aslinya.  

                                                           

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al - Fiqh , hlm. 10 

Sebagai contoh ialah kaidah yang berbunyi : 

 

 ِد ْٞ ُؿ ُٞ ِْ ُِ ُش ْٓ ََْلْح2 80 

 

Artinya : Kata perintah itu menunjukkan adanya kewajiban  

 

berdasar  kaidah ini , maka bila  dalam ayat Alquran 

atau Hadis ada  kata perintah ( fi'il amr ), sepanjang tidak ada 

indikasi yang mengarah kepada yang lain, maka menunjukkan 

adanya hukum wajib. Oleh karena itu, berdasar  firman Allah swt. 

خ َٔ َُٜ٣ِذ٣َْأ ح ْٞ َُؼطْهَخك َُشهِسخ َّغُح َٝ  ُمِسخَّغُح َٝ 

 

Artinya :  Pencuri laki -laki dan pencuri perempuan, potonglah 

kedua tangannya;  

 

Firman Allah swt ini  di atas me nunjukan bahwa 

memotong tangan pencuri, baik pencuri laki-laki atau pencuri 

perempuan, hukumnya wajib. Sedangkan Kaidah Fiqhiyah 

dirumuskan oleh para ulama ahli fiqh berdasar  ruah atau jiwa 

dan tujuan hukum fiqh itu sendiri sehingga sering dikenal sebagai 

kaidah syar'iyah . Kaidah Fiqhiyah merupakan petunjuk praktis 

operasional dalam menetapkan hukum suatu masalah manakala 

tidak ditemukan dalil secara langsung dari Alquran dan Hadis, guna 

memudahkan para mujtahid dalam beristinbath dengan mengacu 

kepada m aqashid al - syar’iyah  dan  kemaslahatan umum. 

Sebagagai contoh ialah kaidah yang berbunyi : 

 

3 -  ُِْٚ ـَؼْلَـ٣ ْْ َُ ُ َّٚ َٗأ َُ َْطْلَْخك َلَ ّْ َأ ًخج٤َْش ََ ََؼَكأ َّيَش ْٖ َٓ 

 

Artinya : Barang siapa yang ragu apakah telah melakukan sesuatu 

ataukah belum, maka yang dianggap ialah baha orang 

ini  belum melakukannya. 

                                                           

berdasar  kaidah fiqhiyah ini , maka bila  seseorang 

ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah ada rukun yang 

tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya bagi orang ini  

mengulanginya. 

Dengan demikian, maka meskipun ada  perbedaan antara 

Qawa’id Uhuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah, namun dalam 

aplikasinya antara keduanya saling berkaitan Hal yang demikian 

dapat kita lihat pada kitab Qawa’id al - Ahkam  karya ‘Izz al -Din ibn 

‘Abd al -Salam al-Syafi’y, kitab Al - Furuq  karya Al-Qarafy al-Maliky, 

kitab Al - Asybah wa al - Nazhair  karya  Ibnu Nujaim al-Hanafy, Al -

Qawanin  karya Ibnu Jazy al -Maliky, kitab Tabshirat al - Hukkam  dan 

Qawa’id al- Kubra karya Ibnu Rajab al -Hanabilah dan lain sebagainya.  

Berdas arkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada 

dasarnya kajian Qawa’id al - Fiqhuyah  termasuk kajian Fiqh, bukan 

kajian Ushul Fiqh, sebab pada dasarnya Qaidah Fiqhiyah dibangun 

dan disusun atas dasar perpaduan dan penyatuan di antara berbagai 

macam hukum fiqh yang memiliki keserupaan, kesamaan dan 

kemiripan. 

 

2.  Sejarah Qawa’id al - Fiqhiyah  

Menurut Muhlish Usman, sejarah pembentukan dan 

perkembangan Qawa'id al - Ushuliyah  itu secara garis besar dapat 

diklasifikasi menjadi dua fase, yaitu fase pembentukan kaidah dan 

fase pembukuan atau kodifkasinya.281  Untuk lebih jelasnya dapat 

diuraikan sebagai berikut : 

 

1) Fase pembentukan.  

 Dalam melakukan ijtihad dan istinbath  sudah barang tentu 

para ulama  memakai  metode dan kerangka berpikir  yang 

dijadikan sebagai acuannya, sehingga hasil ijtihadnya dapat 

dievaluasi dan dikritisi oleh orang lain ataupun oleh generasi 

penerusnya. Sistem, kerangka berpikir dan acuan berpikir itu berupa 

kaidah-kaidah yang bersifat umum yang disarikan dari bermacam-

macam hukum fiqh atas dasar keserupaan dan kemiripan illat dan 

                                                           

berdasar  kaidah fiqhiyah ini , maka bila  seseorang 

ragu di tengah wudu atau shalatnya, apakah ada rukun yang 

tertinggal ataukah tidak, maka wajib hukumnya bagi orang ini  

mengulanginya. 

Dengan demikian, maka meskipun ada  perbedaan antara 

Qawa’id Uhuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah, namun dalam 

aplikasinya antara keduanya saling berkaitan Hal yang demikian 

dapat kita lihat pada kitab Qawa’id al - Ahkam  karya ‘Izz al -Din ibn 

‘Abd al -Salam al-Syafi’y, kitab Al - Furuq  karya Al-Qarafy al-Maliky, 

kitab Al - Asybah wa al - Nazhair  karya  Ibnu Nujaim al-Hanafy, Al -

Qawanin  karya Ibnu Jazy al -Maliky, kitab Tabshirat al - Hukkam  dan 

Qawa’id al- Kubra karya Ibnu Rajab al -Hanabilah dan lain sebagainya.  

Berdas arkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada 

dasarnya kajian Qawa’id al - Fiqhuyah  termasuk kajian Fiqh, bukan 

kajian Ushul Fiqh, sebab pada dasarnya Qaidah Fiqhiyah dibangun 

dan disusun atas dasar perpaduan dan penyatuan di antara berbagai 

macam hukum fiqh yang memiliki keserupaan, kesamaan dan 

kemiripan. 

 

2.  Sejarah Qawa’id al - Fiqhiyah  

Menurut Muhlish Usman, sejarah pembentukan dan 

perkembangan Qawa'id al - Ushuliyah  itu secara garis besar dapat 

diklasifikasi menjadi dua fase, yaitu fase pembentukan kaidah dan 

fase pembukuan atau kodifkasinya.281  Untuk lebih jelasnya dapat 

diuraikan sebagai berikut : 

 

1) Fase pembentukan.  

 Dalam melakukan ijtihad dan istinbath  sudah barang tentu 

para ulama  memakai  metode dan kerangka berpikir  yang 

dijadikan sebagai acuannya, sehingga hasil ijtihadnya dapat 

dievaluasi dan dikritisi oleh orang lain ataupun oleh generasi 

penerusnya. Sistem, kerangka berpikir dan acuan berpikir itu berupa 

kaidah-kaidah yang bersifat umum yang disarikan dari bermacam-

macam hukum fiqh atas dasar keserupaan dan kemiripan illat dan 

                                                           

sebab hukumnya. Melalui kaidah -kadiah inilah antara hasil ijtihad 

yang satu denan hasil ijtihad yang lain dapat dilacak relevansinya. 

Aturan-aturan pokok inilah yang kemudian dikenal atau disebut 

dengan Qawa’id al - Fiqhiy ah. 

Kaidah -kaidah fiqhiyah ini  merupakan hasil kajian yang 

mendalam para Ulama yang memiliki kemampun  berijtihad dengan 

mengistinbathkan hukum dari nash yang bersifat  general, dengan 

memakai  dasar-dasar   , dengan memperhatikan 

illat- illat dan sebab-sebab hukum serta dengan memakai  

analisis pikirannya yang tajam dan seksama. 

Agak sulit untuk melacak dan  mengetahui dengan pasti 

siapakah pencetus atau perumus  kali pertama kaidah-kaidah 

fiqhiyah. Meski demikian, diyakini bahwa kai dah-kaidah ini  

dirumsukan oleh para ulama ahli ijtihad melalui proses dialektika 

alamiah para Ulama pada zamannya dengan problem -problem sosial 

keagamaan dan kewarga an yang muncul. Kemudian kaidah -

kaidah ini  ditransmisikan  dan digulirkan dari generasi ke 

generasi secara ber kesinambungan. Artinya, kaidah-kaidah fiqhiyah 

ini  tidak dirumuskan oleh  orang perorang, melainkan secara 

berangsur-angsur, sambung menyambung, saling melengkapi dan 

saling menyahuti. 

Berbagai literatur  yang ada me nunjukkan bahwa abad ke VIII 

merupakan abad di mana para Ulama beramai -ramai menyusun 

kitab-kitab kaidah fiqhiyah ini . Menurut Ibnu Nujaim, ulama 

Hanafiyahlah yang lebih dahulu menyusun kaidah fiqhiyah. Setelah 

itu disusul oleh para Ulama imam mazhab generasi sesudahnya282  

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ibnu Nujaim yaitu  seorang yang 

bermazhab  Hanafiyah yang menyelaraskan kaidah -kaidah fiqhiyah 

yang dinukil dari kitab Al - Asybah wa al - Nazhair  karya Imam Jalal al -

Din al-Suyuthi, untuk disesuaikan dengan fiqh mazhab Hanafi 

dengan judul kitab yang sama.               

2)  Fase kodifikasi.  

Para Ulama fiqih berusaha untuk mengkodifikasikan kaidah -

kaidah fiqhiyah dengan tujuan dan harapan hal ini  akan 

berguna  untuk memelihara dan mempertahankan loyalitas pengikut 

mazhabn ya, terutama dari sisi manhaj  atau metode istinbathnya. 

Dengan cara demikian, maka dalam bermazhab tidak membabi buta 

mengambil pendapat para imam mazhab (taklid bi al - qaul ), tetapi 

bermazhab secara metodologis (secara manhaji ). Betapapun , 

kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah ini   akan sangat berguna bagi 

perkembangan dan pembinaan  fiqih pada masa-masa dan generasi 

berikutnya. 

Berikut akan dikemukakan secara kronologis usaha -usaha 

kodifikasi kaidah fiqhiyah yang dilakukan para ulama sesuai dengan 

mazhab nya.283   

1. Kalangan fuqha Hanafiyah.  

a. Abu Thahir al-Dibas, ahli fiqh abad III dan IV H, yaitu  

pelopor kodifikasi kaidah kaidah fiqhiyah dari kalangan ulama 

Hanifiyah. Al -Dibas mengumpulkan tidak kurang dari 17 

kaidah fiqhiyah, yang kemudian disempurnakan oleh Abu 

Hasan al -Karkhy menjadi 37 kaidah.  

b. Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin al -Dabusy al-Hanafy 

(abad  V H), menyusun kitab Ta’sis al - Nazhar. Kitab ini  

diak hanya memuat kaaidah-kaidah fiqhiyah, tetapi juga 

menguraikan perincian dan contoh-contoh kasusnya. 

c. Zain al -Abidin ibn Ibrahim al-Mishry (926 –  970 H), 

menyusun kitab Al - Asybah wa al - Nazhair  yang  berisi 25 

kaidah dengan sistematika pembagian : kaidah asasiyah 

berjumlah 6 kaidah : 

 

1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح 

2 -   ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح 

3 -   ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ  ُسَدخَؼُْ َح 

4 -   ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح 

                                                           

2)  Fase kodifikasi.  

Para Ulama fiqih berusaha untuk mengkodifikasikan kaidah -

kaidah fiqhiyah dengan tujuan dan harapan hal ini  akan 

berguna  untuk memelihara dan mempertahankan loyalitas pengikut 

mazhabnya, terutama dari sisi manhaj  atau metode istinbathnya. 

Dengan cara demikian, maka dalam bermazhab tidak membabi buta 

mengambil pendapat para imam mazhab (taklid bi al - qaul ), tetapi 

bermazhab secara metodologis (secara manhaji ). Betapapun , 

kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah ini   akan sangat berguna bagi 

perkembangan dan pembinaan  fiqih pada masa-masa dan generasi 

berikutnya. 

Berikut akan dikemukakan secara kronologis usaha -usaha 

kodifikasi kaidah fiqhiyah yang dilakukan para ulama sesuai dengan 

mazhab nya.   

1. Kalangan fuqha Hanafiyah.  

a. Abu Thahir al-Dibas, ahli fiqh abad III dan IV H, yaitu  

pelopor kodifikasi kaidah kaidah fiqhiyah dari kalangan ulama 

Hanifiyah. Al -Dibas mengumpulkan tidak kurang dari 17 

kaidah fiqhiyah, yang kemudian disempurnakan oleh Abu 

Hasan al -Karkhy menjadi 37 kaidah.  

b. Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin al -Dabusy al-Hanafy 

(abad  V H), menyusun kitab Ta’sis al - Nazhar. Kitab ini  

diak hanya memuat kaaidah-kaidah fiqhiyah, tetapi juga 

menguraikan perincian dan contoh-contoh kasusnya. 

c. Zain al -Abidin ibn Ibrahim al-Mishry (926 –  970 H), 

menyusun kitab Al - Asybah wa al - Nazhair  yang  berisi 25 

kaidah dengan sistematika pembagian : kaidah asasiyah 

berjumlah 6 kaidah : 

 

1 - َخِٛذِطَخو َٔ ِر ُس ْٞ ُٓ َُْلْح 

2 -   ٍُ حَضُـ٣ ُسَش َّؼَُح 

3 -   ٌشـ َٔ ٌَّ َل ُٓ  ُسَدخَؼُْ َح 

4 -   ِّيَّشُِخر ٍُ حَُض٣ َلَ ُٖ ٤ِْـوَـ٤ُْ َح 

                                                           

5 -   َش٤ِْغ٤َّْظُح ُِذِ ْـ َط ُشَّوَش َٔ ُْ َح 

6 -   ِشَّ٤ِّـُِ٘خر َِلَا َدح َٞ َـػ َلَ 

  

Selebihnya memuat beberapa topik ( maudlu’ ) yang berbeda-

beda berikut contoh-contoh kasus  fiqh  cabang (furu’ ) yang 

berkenaan dengan amaliah praktis. 

d. Ahmad ibn Muhammad al -Hamawy, seorang ahli fqh abad XI 

H yang memberi syarah atas kitab al- Asybah wa al - Nazhair  

karya Ibrahim al-Mishry dengan judul  Ghamdh ‘Uyun al -

Bashair.  

e. Muhamad Abu Sa’id al -Khadimy, seorang ahli fiqh abad XII H, 

menyusun kitab ushul fiqh berjudul Majmu’ al - Haqaiq , yang 

pada penghujung  pembahasannya menjelaskan beberapa 

kaidah fiqhiyah yang berumlah 154 kaidah secara bajadiyah. 

K itab ini dikeudian hari disyarah oleh Musthafa Muhammad 

dengan judul Manafi’ al - Daqaiq.  

 

2. Kalangan fuqaha Malikiyah.  

a. Imam Juzaim, menyusun kitab berjudul berjudul al- Qawa’id . 

b. Syihabuddib Ahmad bin Idris al-Qarafi (abad VII H) 

menyusun kitab Anwar al - furuq f i Anwa’ al - Furuq , berisi 548 

berikut contoh masalah fiqh serta munasabahnya sehingga 

dapat dibedakan antara kaidah yang satu dengan kaidah 

lainnya.  

 

3. Kalangan fuqaha Syafi’iyah.  

a. Muhammad ‘Izzuddin bin Abd al -Salam (abad VII H), 

menyusun kitab Qawa’id al - Ah kam fi Mashalih al - Anam , di 

bawah tema besar kaidahnya “menarik manfaat dan menolak 

kerusakan” ( Jalb al - mashalih  wa daf’ al -  Mafasid ). 

b. Taj al-Din al-Subky (abad VIII H), menyusun kitab kaidah 

fiqhiyah bermazhab Syafi’y dengan  judul Al - Asybah wa al -

Nazhai r, yang kemudian disempurnakan oleh jalal al-Din Abd 

al-Rahman abi Bakr al -Suyuthi (849 –  911 H) dengan judul 

yang sama 

4. Kalangan fuqaha Hanabilah.  

a. Najm al-Din al-Thufy (w. 717 H), menyusun kitab berjudul Al -

Qawa’id al - Kubra dan Al - Qawa’id al - Shughra . 

b. Abd al-Rahman ibn Rajab (w. 795 H), menyusun kitab 

berjudul  Al - Qawa’id . Kitab ini mendapat sanjungan barbagai  

klangan karena materinya yang cukup berkualitas. 

 

5. Kalangan fuqaha yang tidak berafiliasi kepad