lasik yang sangat bernilai.
Dalam akan banyak diperkenalkan pada
pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum dan metode
ijtihad yang dipakai oleh para ulama dalam mengambil keputusan
suatu hukum. Di antara dalil-dalil hukum ini ada dalil-
dalil hukum yang sepakati pemakaian nya oleh jumhur ulama, tapi
ada juga dalil-dalil hukumyang tidak sepakati atau masih
diperselisihkan. Dalil hukum yang disepakati yaitu Alquran, Sunah,
Ijmak dan Qiyas. Hanya saja mengenai dalil Ijmak dan Qiyas sebagian
ulama menyepakati, tapi ada juga sebagian ulama yang tidak sepakat
meskipun jumlahnya sedikit.
Allah swt. telah berfirman dalam QS al-Nisa’ :
َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣
َش ٢ِك ْْ ُظْػَصَخَ٘ط ِّ ْٞ َ٤ُْ ح َٝ ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢ْ
/ ءخغُ٘ح] ًلً٣ِٝ
َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح59[
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
berdasar ayat di atas dapat dijelaskan bahwa perintah taat
kepada Allah, menunjukkan perintah untuk menjadikan Alquran yang
merupakan firman Allah sebagai sumber hukum pertama dan utama.
Perintah taat kepada Rasul menunjukkan adanya perintah untuk
menjadikan sunah sebagai sumber hokum kedua setelah Alquran.
Adapun perintah taat kepada ulil amri menunjukkan adanya
perintah untuk menjadikan kesepakatan ulama atau ijmak sebagai
sumber hukum ketiga. Adapun sumber hukum yang keempat yaitu
qiyas ditunjukkan oleh perintah kembali kepada Allah dan Rasul
(kembali kepada Alquran dan sunah), jika ada perselisihan pendapat,
yakni dengan cara analogi.
Menurut jumhur ulama tertib sumber hukum Islam yaitu
Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Alquran yaitu sumber hukum Islam
pertama karena merupakan fīrman Allah swt., sedangkan Sunah
sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian,
penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang
diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi
ada karena memang ada restu dari Alquran. Sementara itu,
keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil -dalil
Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia
haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaih -
nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
Alquran dan Sunah-lah yang merupakan sumber hukum utama,
sedangkan ijmak dan kias merupakan sumber hukum subordinatif.
Ijmak dan kias memang membawa semangat wahyu, namun untuk
dapat dikategorikan sebagai sumber hukum tidak independen
karena harus melalui proses tertentu dan harus merujuk kepada
Alquran dan Sunah.
Tertib sumber hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat
pula diperhatikan dialog antara Nabi saw. dengan Mua dz bin Jabal
ketika ditutus ke Yaman untuk menjabat sebagai hakim.
berdasar ayat di atas dapat dijelaskan bahwa perintah taat
kepada Allah, menunjukkan perintah untuk menjadikan Alquran yang
merupakan firman Allah sebagai sumber hukum pertama dan utama.
Perintah taat kepada Rasul menunjukkan adanya perintah untuk
menjadikan sunah sebagai sumber hokum kedua setelah Alquran.
Adapun perintah taat kepada ulil amri menunjukkan adanya
perintah untuk menjadikan kesepakatan ulama atau ijmak sebagai
sumber hukum ketiga. Adapun sumber hukum yang keempat yaitu
qiyas ditunjukkan oleh perintah kembali kepada Allah dan Rasul
(kembali kepada Alquran dan sunah), jika ada perselisihan pendapat,
yakni dengan cara analogi.
Menurut jumhur ulama tertib sumber hukum Islam yaitu
Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Alquran yaitu sumber hukum Islam
pertama karena merupakan fīrman Allah swt., sedangkan Sunah
sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian,
penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang
diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi
ada karena memang ada restu dari Alquran. Sementara itu,
keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil -dalil
Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia
haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaih -
nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
Alquran dan Sunah-lah yang merupakan sumber hukum utama,
sedangkan ijmak dan kias merupakan sumber hukum subordinatif.
Ijmak dan kias memang membawa semangat wahyu, namun untuk
dapat dikategorikan sebagai sumber hukum tidak independen
karena harus melalui proses tertentu dan harus merujuk kepada
Alquran dan Sunah.
Tertib sumber hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat
pula diperhatikan dialog antara Nabi saw. dengan Mua dz bin Jabal
ketika ditutus ke Yaman untuk menjabat sebagai hakim.
ِﷲ ٍَ ْٞ ُعَس َّٕ أ ٍَ َزَؿ ِٖ ْر ِرخَؼ ُٓ ْٖ َػ- َْ ََِّع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط- ِٖ َٔ َ٤ ُْ ح ٠َُا َُٚؼـَؼَـر خ َّٔ َُ
ْْ َُ ْٕ َبك : ٍَ َخه ،ِﷲ ِدَخظٌِ ِر ٠ِؼْهأ : ٍَ َخه ؟ٌءخََؼه ََيُ َعِشـُػ حَِرا ٠ِؼْوَـط َق٤ْـ ًَ : ٍَ َخه
َُِّ٘غَزك : ٍَ َخه ِ؟ﷲ ِدَخظًِ ٠ِك ْذ ِـ َط ِ؟ﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ِشَُّ٘ع ٠ِك ْذ ِـ َط ْْ َُ ْٕ َبك : ٍَ َخه ، ِﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ِش
٠َػَْش٣ خ َٔ ُِ ِﷲ ٍِ ْٞ ُعَس ٍَ ْٞ ُعَس َن ّـَك َٝ ِٟزَُّح ِللَّ ُذ ْٔ َلُْ َح : ٍَ َخه َٝ ٠ِ٣ْأَس ُذِٜ َظْؿأ : ٍَ َخه
ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس. 44
Artinya : (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah
saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada
Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika
dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab
Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila tidak
Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muad z menjawab,
“berdasar Sunah Rasulullah.” Rasulullah saw. bertanya
lagi, “Bagaimana bila tidak engkau dapati dasarnya
dalam Sunah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad
berdasar pemikiran saya.” Rasulullah saw. bersabda,
“Segala puji bagi Allah ya ng telah menunjukkan utusan
Rasulullah atas sesuatu yang diridai Rasulullah .”
Sedangkan dalil-dalil hukum yang tidak disepakati meliputi
isthisan, istishhab, mashlahah mursalah, ‘urf, mazhzb shahabi, dan
syar’u man qablama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan
dalil-dalil ini sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak
sepakat. Artinya, dalil-dalil hukum dapat diklasifikasikan menjadi 2 :
a) dalil-dalil hukum yang disepakati oleh para ulama; dan b) dalil -
dalil yang tidak disepakatikeberadaanya sebagai sumber hukum.
Dengan kondisi karakter dalil-dalil hukum yang demikian,
maka umat Islam harus mengetahui dalil-dalil hukum yang
disepakati dan dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, sebagai bekal
dalam mengambil sebuah hukum, apakah dalam proses pengambilan
hukum sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil ini atau
tidak sehingga tidak ada lagi keraguan dalam mengenai status suatu
hokum yang diambilnya.
1. Pengertian Dalil Hukum
Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil
secara etimologis sebagai sesuatu yang dapat memberi petunjuk
kepada apa yang dikehendaki atau dicari.45 Dapat juga dikatakan
bahwa kata dalil secara bahasa mengandung beberapa makna, yakni:
penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti
dan saksi. Denghan kata lain, dalil yaitu penunjuk kepada sesuatu,
baik yang bersifat inderawi-kasat mata (hissi) maupun yang abstrak
( ma’nawi).
Sementara itu Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa
pengertian dalil menurut bahasa ialah sesuatu yang dapat member
petunjuk kepada sesuatu yang lain, dapat dirasakan atau dipahami,
yang sifatnya baik meupun yang tidak baik. Adapun pengertian dalil
secara terminologisnya yaitu sebagai berikut :
ـُك ٠َِـَػ ِٚ ـ٤ِْـك ِقـ٤ْـِلـ َّظـُح ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر ٍُّ َِذظـْغَـ٣ خ َٓ َِ ٤ِْـزـَع ٠ََِػ ٍّ٠ِِـ َٔ ـَػ ٍّ٠ِػْشـَش ٍْ ـ ٌْ
٠ِّ٘ ّـَظُح ِٝ َأ ٠ِؼـْطَـوـُْ ح46
Artinya : Segala sesuatu yang berdasar teori yang benar dapat
menunjukkan adanya hukum syarak suatu perbuatan, baik
secara qat’i maupun secara zha nni”.
memiliki dua tema kajian utama yakni : (1)
menetapkan suatu hukum berdasar dalil; dan (2) menetapkan
dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, tidak
dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum itu
sendiri.
Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil
menurut para ulama ushul fiqh, di antaranya yaitu sebagai berikut.
tidak sehingga tidak ada lagi keraguan dalam mengenai status suatu
hokum yang diambilnya.
1. Pengertian Dalil Hukum
Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil
secara etimologis sebagai sesuatu yang dapat memberi petunjuk
kepada apa yang dikehendaki atau dicari.45 Dapat juga dikatakan
bahwa kata dalil secara bahasa mengandung beberapa makna, yakni:
penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti
dan saksi. Denghan kata lain, dalil yaitu penunjuk kepada sesuatu,
baik yang bersifat inderawi-kasat mata (hissi) maupun yang abstrak
( ma’nawi).
Sementara itu Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa
pengertian dalil menurut bahasa ialah sesuatu yang dapat member
petunjuk kepada sesuatu yang lain, dapat dirasakan atau dipahami,
yang sifatnya baik meupun yang tidak baik. Adapun pengertian dalil
secara terminologisnya yaitu sebagai berikut :
ـُك ٠َِـَػ ِٚ ـ٤ِْـك ِقـ٤ْـِلـ َّظـُح ِشَـظ ّـَ٘ـُِخر ٍُّ َِذظـْغَـ٣ خ َٓ َِ ٤ِْـزـَع ٠ََِػ ٍّ٠ِِـ َٔ ـَػ ٍّ٠ِػْشـَش ٍْ ـ ٌْ
٠ِّ٘ ّـَظُح ِٝ َأ ٠ِؼـْطَـوـُْ ح46
Artinya : Segala sesuatu yang berdasar teori yang benar dapat
menunjukkan adanya hukum syarak suatu perbuatan, baik
secara qat’i maupun secara zha nni”.
memiliki dua tema kajian utama yakni : (1)
menetapkan suatu hukum berdasar dalil; dan (2) menetapkan
dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, tidak
dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum itu
sendiri.
Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil
menurut para ulama ushul fiqh, di antaranya yaitu sebagai berikut.
1. Menurut Abd al -Wahhab al -Subki, dalil yaitu sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan memakai
pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang
diinginkannya.
2. Menurut Al -Amidi, para ahli ushul fiqh biasa memberi definisi
dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang]
kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
3. Menurut Wahbah al -Zuhaili dan Abd al -Wah hab Khallaf, dalil
yaitu sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar
dalam memperoleh hukum syarak yang bersifat praktis.47
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan Alquran dan
Sunah sebagai dalil, namun mereka berbeda pendapat mengenai
dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada
yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan
menolak yang selebihnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalil
yaitu merupakan sesuatu yang dari padanya diambil hukum syarak
yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik
dengan jalan qath ’ i atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan
kebenaran.
2. Dalil Hukum yang Disepakati
berdasar literatur yang ada dapat dijelaskan bahwa jumhur
ulama telah bersepakat menetapkan empat sumber dalil Alquran,
Sunah, Ijmak, dan Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi,
ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang
terakhir, Ijma dan Qiyas. Demikian juga halnya Ahmad Hassan,
pendiri Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijmak,
terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari
Bek, para ulama dari kalangan mazhab Zhahiri (di antara tokohnya
yaitu Imam Daud dan Ibnu Hazm al -Andalusi) dan para ulama
Syiah tidak mengakui Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil -dalil hukum
yang disepakati oleh mayoritas ulama yaitu Alquran, Sunah, Ijmak
dan Qiyas.
1. Alquran
a. Pengertian Alquran
Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif
etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a , yang bisa
dimasukkan pada waza n fu’lan , yang berarti bacaan atau apa yang
tertulis padanya.48 Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS
Al-Qiyamah 17 – 18 :
: شٓخ٤ـوـُح( َُٚٗحَءْشُـه َٝ ُٚـَؼـ ْٔ ـَؿ َخ٘ـ٤َْـِـَػ خَِّٗا17-18)
Dari aspek bahasa, lafaz qur’an memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.
Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani,
pengertian Alquran secara ialah :
ٍِ ْٞ ُـوـْ٘ ـ َٔ ُْ ح ِقـِكخـَظـ َٔ ُْ ح ٠ََِػ ِد ْٞ ُـظـ ٌْ َٔ ـُْ ح ٍِ ْٞ ـُع َّشُح ٠ََِػ ٍُ َّضَـ٘ـ ُٔ ـُْ ح َٞ ُـٛ ُٕ آْشُـوـُْ َأ
ٍشَـٜـْزـُش َِلًرحًِشطح َٞ َـظـ ُٓ ًلًـْوَـٗ ُٚـْ٘ ـَػ49
Artinya : Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang
diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan.
Alquran merupakan kitab suci agama Islam dan umat Islam
memercayai bahwa Alquran merupakan puncak dan penutup wahyu
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil -dalil hukum
yang disepakati oleh mayoritas ulama yaitu Alquran, Sunah, Ijmak
dan Qiyas.
1. Alquran
a. Pengertian Alquran
Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif
etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a , yang bisa
dimasukkan pada waza n fu’lan , yang berarti bacaan atau apa yang
tertulis padanya.48 Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS
Al-Qiyamah 17 – 18 :
: شٓخ٤ـوـُح( َُٚٗحَءْشُـه َٝ ُٚـَؼـ ْٔ ـَؿ َخ٘ـ٤َْـِـَػ خَِّٗا17-18)
Dari aspek bahasa, lafaz qur’an memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.
Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani,
pengertian Alquran secara ialah :
ٍِ ْٞ ُـوـْ٘ ـ َٔ ُْ ح ِقـِكخـَظـ َٔ ُْ ح ٠ََِػ ِد ْٞ ُـظـ ٌْ َٔ ـُْ ح ٍِ ْٞ ـُع َّشُح ٠ََِػ ٍُ َّضَـ٘ـ ُٔ ـُْ ح َٞ ُـٛ ُٕ آْشُـوـُْ َأ
ٍشَـٜـْزـُش َِلًرحًِشطح َٞ َـظـ ُٓ ًلًـْوَـٗ ُٚـْ٘ ـَػ49
Artinya : Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang
diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan.
Alquran merupakan kitab suci agama Islam dan umat Islam
memercayai bahwa Alquran merupakan puncak dan penutup wahyu
Allah swt. yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril .
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Alquran
ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat
Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., isinya tak dapat
ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan
dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
b. Kedudukan Alquran sebagai Sumber Hukum
Alquran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur
jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya
ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia
berhakim kepada Alquran. Alquran lebih lanjut memerankan fungsi
sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. M isalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi
oleh Allah swt. Di samping itu Alquran juga mampu memecahkan
problem-problem kemanusiaan dari berbagai aspek kehidupan, baik
rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan
yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Allah swt.
Pada setiap problem itu Alquran meletakkan sentuhannya
yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan
landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula
dengan zaman. Dengan demikian, Alquran selal u memperoleh
kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam yaitu
agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh
seorang pakar bahwa Islam yaitu suatu sistem yang lengkap, ia
dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia yaitu negara dan tanah
air atau pemerintah dan bangsa. Ia yaitu moral dan potensi atau
rahmat dan keadilan. Ia yaitu undang-undang atau ilmu dan
keputusan. Ia yaitu materi dan kekayaan atau pendapatan dan
kesejahteraan. Ia yaitu jihad dan dakwah atau tentara dan ide.
Begitu pula ia yaitu akidah yang benar dan ibadah yang sah.
c. Hukum - hukum dalam Alquran
Hukum -hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3
macam, yaitu:
Pertama ; hukum -hukum i’tiqadiyah , yakni, hukum-hukum
yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat -malaikat-Nya, Kitab -kitab-Nya, Rasul -rasul-
Nya dan hari pembalasan.
Kedua ; hukum -hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang
berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat
yang tercela.
Ketiga ; hukum -hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan
itulah yang hendak dicapai oleh .l
Hukum -hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua
macam, yakni:
1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya. Hukum -hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk
mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum -hukum muamalat; seperti segala macam hokum
perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat
(hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum -hukum
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur
hubungan antar sesame manusia, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai anggota warga . Hukum -hukum selain
ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil kajian para ulama tentang ayat -ayat Alquran yang
berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-
hukum Alquran yang berkaitan dengan ibadat dan ahwal al-
syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum -hukum ini
bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan
kesempatan fukaha untuk menginterpretasikannya dan hukum ini
c. Hukum - hukum dalam Alquran
Hukum -hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3
macam, yaitu:
Pertama ; hukum -hukum i’tiqadiyah , yakni, hukum-hukum
yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat -malaikat-Nya, Kitab -kitab-Nya, Rasul -rasul-
Nya dan hari pembalasan.
Kedua ; hukum -hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang
berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat
yang tercela.
Ketiga ; hukum -hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan
itulah yang hendak dicapai oleh .
Hukum -hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua
macam, yakni:
1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya. Hukum -hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk
mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum -hukum muamalat; seperti segala macam hokum
perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat
(hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum -hukum
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur
hubungan antar sesame manusia, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai anggota warga . Hukum -hukum selain
ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil kajian para ulama tentang ayat -ayat Alquran yang
berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-
hukum Alquran yang berkaitan dengan ibadat dan ahwal al-
syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum -hukum ini
bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan
kesempatan fukaha untuk menginterpretasikannya dan hukum ini
bersifat permanen, tetap, tidak dapat berubah-ubah lantaran
perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-
syakhshiyah , seperti hukum perdata, pidana, perundang-undangan
internasional, ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al - maliyah),
maka dalil-dalil hukumnya merupakan ketentuan yang umum atau
masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah
terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum -hukum ini
berkembang sesuai dengan perkembangan warga dan
kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Alquran hanya memberi ketentuan-ketentuan
umum dan dasar-dasar yang bersifat pokok saja agar penguasa
setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-
undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang
secara riil memang dibutuhkan, asal tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dan ruh syari’at Islam.
2. Sunah
a. Pengertian Sunah
Pengertian Sunah secara etimologis yaitu jalan yang biasa
dilalui atau suatu cara yang selalu dilakukan, tanpa
mempermasalahkan apakah jalan atau cara ini baik atau
buruk.52
Sunah atau al- hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw. baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun
taqrir (persetujuan) Nabi saw. berdasar tiga ruang lingkup Sunah
yang disandarkan kepada Rasulullah saw., maka Sunah dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunah qauliyah ; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam
beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda Nabi sebagai
berikut :
َسحَشـِػ َلَ َٝ َسَشـَػ َلَ
Hadis di atas termasuk Su nah qauliyah yang bertujuan
memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat
kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunah fi’liyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai
contoh yaitu tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima)
waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji,
dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah ; ialah perkataan atau perbuatan sebagian
sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang
tidak diingkari oleh Rasulullah saw..atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan
atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap
sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau
sendiri.
Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat
dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis,
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw., baik perkataan, perbuatan sebagai perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
2) , menurut ulama ahli ushul fiqh sunah yaitu
segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum.
3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir
sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan
yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak
berdosa bila ditinggalkan.l
Hadis di atas termasuk Su nah qauliyah yang bertujuan
memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat
kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunah fi’liyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai
contoh yaitu tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima)
waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji,
dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah ; ialah perkataan atau perbuatan sebagian
sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang
tidak diingkari oleh Rasulullah saw..atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan
atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap
sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau
sendiri.
Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat
dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis,
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw., baik perkataan, perbuatan sebagai perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
2) , menurut ulama ahli ushul fiqh sunah yaitu
segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum.
3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir
sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan
yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak
berdosa bila ditinggalkan.
b. Kedudukan Sunah Sebagai Dalil Hukum
Kedudukan Sunah sebagai sumber ajaran Islam, selain
didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis, juga
didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah
bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti Sunah Rasulullah saw.
Para ulama telah sepakat bahwa Sunah dapat dijadikan hujjah
(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang
sifatnya mutaba’ah (diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan
taqarrub kepada Allah), misalnya dalam urusan akidah dan ibadah,
tetapi ada juga yang ghair muttaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah
(budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh
jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai
dan lain sebagainya. Adapun contoh khushushiyyah yaitu beristri
lebih dari empat, puasawishal(menyambung) sampai 2 hari dan
shalat 2 rakaat bakda ashar.
Hukum -hukum yang dipetik dari Sunah wajib ditaati
sebagaimana hukum-hukum yang diistinbath kan dari Alquran sesuai
yang diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
ْٕ ِ َبك ٍَ ُٞع َّشُح َٝ َ َّﷲحٞـُؼ٤َِؽأ َْ ُه / ٕحشٔؼُآ] َٖ ٣ِشِـكخ ٌَ ُْ ح ُّذُِل٣َلَ َ َّﷲ َّٕ ِ َبكح ْٞ َّ ـُ َٞ َـط32[
Artinya : Katakanlah “Taatilah Allah dan Rasul -Nya, jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir.Al- Nisa: 80,
َْذه ٍَ ُٞع َّشُح ِغُِط٣ ْٖ َٓ خ َٔ َك ٠َُّ َٞ َط ْٖ َٓ َٝ َ َّﷲ َعَخَؽأ ًخظ٤ِلَك ْْ ِٜ ٤ََِْػ َىَخِْ٘ َعَْسأ
/ءخغُ٘ح[80[
Artinya : Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.
ْػَصَخَ٘ط َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣ ْْ ُظ
ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح ِّ ْٞ َ٤ ُْ ح َٝ ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢َْش ٢ِك
/ ءخغُ٘ح] ًلً٣ِٝ
َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ59[
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
ْٖ ِٓ ُسََش٤ِخُْ ح ُْ َُُٜ َٕ ٞ ٌُ َ٣ ْٕ َأ حًش ْٓ َأ ُُُُٚٞعَس َٝ ُ َّﷲ ٠ََؼهحَِرا ٍَش٘ ِٓ ْئ ُٓ َلَ َٝ ٍٖ ِٓ ْئ ُٔ ُِ َٕ خ ًَ خ َٓ َٝ
/ دحضكلْح] ًخ٘٤ِز ُٓ ًلََلًَػ ََّ َػ َْذَوك َُُُٚٞعَس َٝ َ َّﷲ ضَْؼ٣ ْٖ َٓ َٝ ْْ ِٛ ِش ْٓ َأ36[
Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, bila Allah dan
Rasul -Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul -Nya, maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
c . Hubungan Sunah dengan Alquran
Sunah dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari
dua aspek, yakni hubungannya dengan Alquran dan Sunah yang
bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan Alquran, Sunah
yaitu sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, Sunah
sebagai penjelas bagi Alquran disebut hubungan fungsional.
Di antara dasarnya yaitu firman Allah swt. dalam QS. al-
Hasyr: 7
ُٞع َّشُح ُْ ًُ َخَطآ خ َٓ َٝ/ ششلُح] حَُٜٞظْٗ َخك ُْٚ٘ َػ ْْ ًُ َخَٜٗ خ َٓ َٝ ُُٙٝزَُخك ٍُ7[
35
ْػَصَخَ٘ط َِٕبك ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ ِش ْٓ َْلْح ٢ُُِٝأ َٝ ٍَ ُٞع َّشُح حُٞؼ٤َِؽأ َٝ َ َّﷲ حُٞؼ٤َِؽأ حُٞ٘ َٓ َآ َٖ ٣ِزَُّح َخ ُّٜ٣َأَخ٣ ْْ ُظ
ٌش٤َْخ َِيَُرِشَِخ٥ْح ِّ ْٞ َ٤ ُْ ح َٝ ِ َّللَِّخر َٕ ُٞ٘ ِٓ ُْئط ْْ ُظْ٘ ًُ ْٕ ِا ٍِ ُٞع َّشُح َٝ ِ َّﷲ ٠َُِا ُٙٝ ُّدَُشك ٍء٢َْش ٢ِك
/ ءخغُ٘ح] ًلً٣ِٝ
َْؤط ُٖ َغَْكأ َٝ59[
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
ْٖ ِٓ ُسََش٤ِخُْ ح ُْ َُُٜ َٕ ٞ ٌُ َ٣ ْٕ َأ حًش ْٓ َأ ُُُُٚٞعَس َٝ ُ َّﷲ ٠ََؼهحَِرا ٍَش٘ ِٓ ْئ ُٓ َلَ َٝ ٍٖ ِٓ ْئ ُٔ ُِ َٕ خ ًَ خ َٓ َٝ
/ دحضكلْح] ًخ٘٤ِز ُٓ ًلََلًَػ ََّ َػ َْذَوك َُُُٚٞعَس َٝ َ َّﷲ ضَْؼ٣ ْٖ َٓ َٝ ْْ ِٛ ِش ْٓ َأ36[
Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, bila Allah dan
Rasul -Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul -Nya, maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
c . Hubungan Sunah dengan Alquran
Sunah dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari
dua aspek, yakni hubungannya dengan Alquran dan Sunah yang
bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan Alquran, Sunah
yaitu sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, Sunah
sebagai penjelas bagi Alquran disebut hubungan fungsional.
Di antara dasarnya yaitu firman Allah swt. dalam QS. al-
Hasyr: 7
ُٞع َّشُح ُْ ًُ َخَطآ خ َٓ َٝ/ ششلُح] حَُٜٞظْٗ َخك ُْٚ٘ َػ ْْ ًُ َخَٜٗ خ َٓ َٝ ُُٙٝزَُخك ٍُ7[
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia,
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah
خ َٓ ِطخَُِِّ٘ َٖ ِّ٤َُزِظَُش ًْ ِّزُح َي٤َُِْا َخُْ٘ َضْٗ َأ َٝ َُ َٝ ْْ ِٜ ٤َُِْا ٍَ ِّضُـٗ/ َلُ٘ح] َٕ ُٝشـٌَّ َـلَــَظـ٣ ْْ ُ ََِّٜؼ44[
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan
َزُـظِـُ َِّلَا َدخَـظـٌِ ُْ ح َيـ٤َِْـَػَخُْ٘ َضْٗ َأ خ َٓ َٝ ًش َٔ ْكَس َٝ ًٟذُـٛ َٝ ِٚ ٤ِـك حُٞـَلـَِـظْخح ١ِزَُّح ُْ َُُٜ َٖ ِّ ـ٤ـ
/ َلُ٘ح] َٕ ُٞـ٘ ِٓ ُْئـ٣ ٍّ ْٞ َـوِـُ64[
Artinya : Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al -Kitab (Alquran)
ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
eptunjuk dan rahmat bagi kamu yang beriman.
d. Fungsi Sunah terhadap Alquran
Fungsi Sunah terhadap Alquran dari segi kandungan hukum
mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1. Sunah sebagai bayan (penjelas); takhshish (pengkhusus) dan
taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global),
‘ am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat
Alquran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan
bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam Sunah. Misalnya,
perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan Sunah.
Nabi Saw. bersabda:
٠ِِّـَُطأ ٠ِـٗ ْٞ ــ ُٔ ـُـظــ٣ْأَس خـ َٔ ــ ًَ ح ْٞ ُِّـَط
Artinya : Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan)
aku shalat. (HR. Bukhari)
2. Sunah berfungsi sebagai menmabhakan hukum-hukum yang
telah ada dasar-dasarnya secara garis besar dalam Alquran.
Artinya Alquran sebagai penetap hukum dan Sunah sebagai
36
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
3. Sunnah menetapkan hukum yang tidak ada nashnya dalam
Alquran.55
3. Ijmak
a. Pengertian Ijmak
Guna memperoleh wawasan yang komprehensif tentang
paradigma ijmak klasik serta untuk mengetahui hakikat ijmak secara
utuh, diperlukan telaah dari aspek ontologi, aspek epistemologi, dan
aspek aksiologi, karena antara ketiga aspek ini akan saling kait-
mengait. Untuk aspek pertama, secara ontologis pertanyaan yang
pertama kali muncul terkait dengan istilah ijmak ialah “ apakah ijmak
itu?”. Untuk itu, terlebih dahulu akan diuraikan pengerti an ijmak
menurut semantika kebahasaan dan menurut pengertian
terminologisnya. Dari telaah ini kelak diharapkan akan terungkap
pengertian dan hakikat ijmak yang sebenarnya.
Istilah ijmak bagi umat Islam pada umumnya dan fukaha pada
khususnya sudah sangat familier, apalagi kata ijmak sesungguhnya
telah dikenal di dunia Arab jauh sebelum Islam datang.56 Dalam
literatur Islam abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, istilah ijmak juga sudah
sering muncul, namun dipakai dalam pengertian non-teknis.57
Istilah ijmak mulai mengkristal dalam artian teknis-metodologis
bersamaan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pemikiran
dalam Islam yang semakin tajam. Memang timbulnya ijmak
(kesepakatan) yaitu karena berawal dari adanya perbedaan
(ikhtil af), sehingga orang sering mengatakan bahwa antara ijmak dan
ikhtil af sama tuanya.
Secara etimologis, ijmak merupakan derivasi dari ajma‘a (
َغـ َٔ ـْؿأ(yang dapat berarti “mengumpulkan, menyatukan,
menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
3. Sunnah menetapkan hukum yang tidak ada nashnya dalam
Alquran.55
3. Ijmak
a. Pengertian Ijmak
Guna memperoleh wawasan yang komprehensif tentang
paradigma ijmak klasik serta untuk mengetahui hakikat ijmak secara
utuh, diperlukan telaah dari aspek ontologi, aspek epistemologi, dan
aspek aksiologi, karena antara ketiga aspek ini akan saling kait-
mengait. Untuk aspek pertama, secara ontologis pertanyaan yang
pertama kali muncul terkait dengan istilah ijmak ialah “ apakah ijmak
itu?”. Untuk itu, terlebih dahulu akan diuraikan pengerti an ijmak
menurut semantika kebahasaan dan menurut pengertian
terminologisnya. Dari telaah ini kelak diharapkan akan terungkap
pengertian dan hakikat ijmak yang sebenarnya.
Istilah ijmak bagi umat Islam pada umumnya dan fukaha pada
khususnya sudah sangat familier, apalagi kata ijmak sesungguhnya
telah dikenal di dunia Arab jauh sebelum Islam datang.56 Dalam
literatur Islam abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, istilah ijmak juga sudah
sering muncul, namun dipakai dalam pengertian non-teknis.57
Istilah ijmak mulai mengkristal dalam artian teknis-metodologis
bersamaan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pemikiran
dalam Islam yang semakin tajam. Memang timbulnya ijmak
(kesepakatan) yaitu karena berawal dari adanya perbedaan
(ikhtil af), sehingga orang sering mengatakan bahwa antara ijmak dan
ikhtil af sama tuanya.
Secara etimologis, ijmak merupakan derivasi dari ajma‘a (
َغـ َٔ ـْؿأ(yang dapat berarti “mengumpulkan, menyatukan,
menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik
bersama”. 58 Menurut Abu Luwis Ma’luf, ij mak memiliki arti
“kehendak” dan “kesepakatan” ( al- ‘azm - al- ittifaq ).59 Perbedaannya,
“kehendak” dapat terlahir dari satu orang, sedangkan “kesepakatan”
memerlukan keterlibatan dua orang atau lebih. Oleh karena itu,
dalam konteks disertasi ini, kata ijmak akan lebih tepat jika dimaknai
sebagai “kesepakatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa kata ijmak memiliki pengertian “kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau
peristiwa”. 60
Contoh pemakaian kata ijmak d engan pengertian
“kesepakatan”, dalam ungkapan bahasa Arab dikatakan ٠ِػ ّٞوُح غٔـؿأ
حزً, jika kaum itu telah menyepakatinya atas yang demikian. Adapun
contoh pemakaian kata ijmak dalam arti “kehendak”, dalam Q.S.
Yunus [10]: 71 Allah swt. berfirman:
َأَْ ْنَُم َْمأ ام ُ ِْجْ
Maka, bulatkanlah kehendakmu (dalam menyelesaikan)
urusanmu. (Q.S. Yunus [10]: 71)
Rasulullah saw. pernah bersabda:
.ِلْي تلا َفِم َماَيِّصلا ِعِلُْيُ ْنَول ْفَلِل َماَيِص َلَ61
Artinya : Tidak sah puasa orang yang tidak menyengaja berpuasa
sejak malam.
Lazimnya suatu takrif atau definisi akan muncul setelah ilmu
terkait tersusun secara sistematis dan mapan. Penulis akan mencoba
merunut bagaimana persepsi para ulama terhadap ijmak dari waktu
ke waktu seiring dengan dinamika itu sendiri.
Al-Syafi’i (w. 204 H) yang tercatat sebagai ulama pertama
penyusun tidak memaparkan definisi ijmak, namun
mengakui eksistensi ijmak sebagai hujah.
Untuk ini, al-Syafi’i menyatakan, “Saya menerima kehujahan
ijmak umat Islam yang di dalamnya tidak ada perselisihan di antara
mereka karena mereka tidak akan sepakat atau berbeda pendapat
kecuali atas dasar kebenaran. Seseorang tidak diperkenankan
menyatakan pendapat hukum (membolehkan, melarang, atau
menetapkan hak seseorang) kecuali memiliki dasar nas dari Alquran
dan atau Sunah.”
berdasar penjelasan ini , dan dari beberapa
pernyataan al-Syafi’i dalam kitab ar- Risalah 63 dan kitab Jima‘ al -
‘ Ilm ,64 dapat diketahui persepsi al-Syafi’i tentang hakikat ijmak,
bahwa ijmak merupakan kesepakatan bulat seluruh umat Islam
dalam masalah-masalah yang diketahui dengan jelas dan pasti
(‘ ulima min al - din bi al - dharurah) seperti dalam masalah wajib salat
lima kali, wajib zakat fitrah, wajib haji bagi yang mampu, dan lain
sebagainya, serta secara implisit menolak ijmak ulama yang tidak
didukung nas syarak.
Hanya saja ketika berbicara tentang kemungkinan
terwujudnya ijmak pada tataran praktis, menurut al-Syafi’i akan
menemui beberapa kendala.65 Di antara-nya yaitu bahwa untuk
mengetahui keberadaan dan pendapat para mujtahid yang tersebar
di berbagai daerah yang berjauhan sangatlah sulit. Di samping itu,
tidak ada kriteria yang disepakati tentang siapa yang memiliki
kecakapan sebagai mujtahid. Kendala juga akan ditemui ketika
menyangkut masalah-masalah yang dasar hukumnya zhanni , di
mana dalam hal yang demikian selalu terjadi perbedaan pendapat di
antara para ulama. Demikian pula halnya, untuk menelusuri validitas
informasi telah terjadinya ijmak di kalangan ulama juga mustahil.66
Jika demik ian halnya, maka dapat dikatakan bahwa pada akhirnya
Untuk ini, al-Syafi’i menyatakan, “Saya menerima kehujahan
ijmak umat Islam yang di dalamnya tidak ada perselisihan di antara
mereka karena mereka tidak akan sepakat atau berbeda pendapat
kecuali atas dasar kebenaran. Seseorang tidak diperkenankan
menyatakan pendapat hukum (membolehkan, melarang, atau
menetapkan hak seseorang) kecuali memiliki dasar nas dari Alquran
dan atau Sunah.”
berdasar penjelasan ini , dan dari beberapa
pernyataan al-Syafi’i dalam kitab ar- Risalah 63 dan kitab Jima‘ al -
‘ Ilm ,64 dapat diketahui persepsi al-Syafi’i tentang hakikat ijmak,
bahwa ijmak merupakan kesepakatan bulat seluruh umat Islam
dalam masalah-masalah yang diketahui dengan jelas dan pasti
(‘ ulima min al - din bi al - dharurah) seperti dalam masalah wajib salat
lima kali, wajib zakat fitrah, wajib haji bagi yang mampu, dan lain
sebagainya, serta secara implisit menolak ijmak ulama yang tidak
didukung nas syarak.
Hanya saja ketika berbicara tentang kemungkinan
terwujudnya ijmak pada tataran praktis, menurut al-Syafi’i akan
menemui beberapa kendala.65 Di antara-nya yaitu bahwa untuk
mengetahui keberadaan dan pendapat para mujtahid yang tersebar
di berbagai daerah yang berjauhan sangatlah sulit. Di samping itu,
tidak ada kriteria yang disepakati tentang siapa yang memiliki
kecakapan sebagai mujtahid. Kendala juga akan ditemui ketika
menyangkut masalah-masalah yang dasar hukumnya zhanni , di
mana dalam hal yang demikian selalu terjadi perbedaan pendapat di
antara para ulama. Demikian pula halnya, untuk menelusuri validitas
informasi telah terjadinya ijmak di kalangan ulama juga mustahil.66
Jika demik ian halnya, maka dapat dikatakan bahwa pada akhirnya
pendapat al-Syafi’i dalam hal ini mirip dengan pendapat Ahmad bin
Hanbal yang menyatakan, barang siapa yang mengklaim telah terjadi
ijmak, berarti dia telah berdusta.
Pendapat orisinal Im am M alik (w. 17 9 H) mengenai masalah
ijmak sulit dilacak, kecuali dari beberapa informasi yang
disampaikan oleh para pengikutnya. Pada awalnya ulama Malikiyah
memakai ijmak dalam konteks periwayatan dan pengawalan
hadis yang dianggap sahih. Oleh karena itu, Imam M alik yang
berdomisili di Madinah serta ulama Malikiyah pada umumnya
mengakui validitas ijmak penduduk Madinah karena para sahabat
Madinah mendominasi periwayatan hadis. Sebagaimana
dimaklumi, Madinah merupakan tempat berdomisilinya para sahabat
besar yang menerima hadis secara langsung dari Nabi saw. Dengan
demikian, maka dapat dimaklumi bila Imam Malik dan ulama
Malikiyah sangat memegang tegung ijmak ulama Madinah. 69
Menurut sebagian ulama ushul, pendapat ini sejatinya bukan
karena lokalitas (Madinah)nya, tetapi karena totalitasnya, di mana
pada periode ini para sahabat belum banyak yang keluar dari
Madinah.70 Oleh karena itu, tidak lebih dari 48 masalah fiqh yang
diakui oleh Imam Malik dalam al- Muwat}t}a’ sebagai ijmak ulama
Madinah periode sahabat dan tabi’in, sedangkan untuk periode
sesudahnya, Imam Malik tidak mengakuinya. 71 Akan tetapi, hal ini
dibantah oleh al-Qarafi dan Ibnu al-Hajib bahwa kehujahan ijmak
Madinah yaitu karena didasarkan pada kualitas dalil yang kuat. 72
Artinya, pengkuna ijmak Madin ah yaitu bukan karena totalitasnya,
melainkan karena kualitas dan lokalitasnya.
Paparan di atas menunjukkan adanya persamaan dan
perbedaan persepsi tentang ijmak antara al-Syafi’i dengan Imam
Malik. Kedua ulama ini sama -sama mengakui kehujahan ijmak.
Adapun perbedaannya, menurut al-Syafi’i, ijmak bersifat global dan
universal (kesepakatan total seluruh mujtahid), harus didukung nas
syarak, mengunci ijmak pada masalah-masalah yang ‘ulima min al -
din bi al- dharurah, dan secara implisit menolak terwujudnya ijmak
pascasahabat. Sementara, Imam M alik dapat mererima kehujahan
ijmak lokal, sepanjang memiliki kualitas baik dari aspek dukungan
dalil nas ataupun para mujtahidnya.
Ulama ushul fiqh berikutnya, Abu Bakr Ahmad al -Jashshash (w.
370 H), dalam kitab al- F ushul fi al- Ushul , juga tidak mengemukakan
definisi ijmak. Sama halnya dengan al-Syafi’i, al-Jashshash
menyebutkan dua kategori ijmak, yaitu: (a) ijmak umat Islam di mana
seluruh umat Islam harus sepakat atasnya, tidak boleh ada yang
berbeda pendapatnya; d an (b) ijmak ulama di mana hanya ulama
yang memiliki kemampuan spesifik saja yang berkompeten, yakni
dalam masalah-masalah yang memerlukan proses penalaran untuk
memahaminya, seperti masalah objek zakat mal . Berbeda dengan al-
Syafi’i, al-Jashshash tidak mensyaratkan ijmak total, hanya
mensyaratkan terpublikasikannya masalah yang diijmakkan di
warga .
Tampaknya pendapat al-Jashshash tidak jauh berbeda dengan
pendapat al-Syafi’i. K edua tokoh ini mengemukakan tiga unsur
ijmak, yaitu masalah otoritas atau kehujahan ijmak, masalah orang
yang memiliki kompetensi untuk berijmak, dan masalah objek ijmak.
Menurut kedua tokoh ini , ijmak memiliki nilai kehujahan atau
dalil dalam menentukan hukum Islam. Perbedaannya, al -Syafi’i
mensyaratkan totalitas kesepakatan umat Islam yang
direpresentasikan oleh para ulama, sedangkan al-Jashshash tidak
mensyaratkan yang demikian. Mengenai objek ijmak, menurut
keduanya, ruang lingkupnya dibatasi pada hukum syarak saja.
Dalam kitab al- Muhalla , Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan
bahwa ijmak haruslah merupakan kesepakatan seluruh umat Islam,
dan bahwa ijmak yang benar harus didukung oleh nas Alquran dan
atau Sunah yang diriwayatkan secara mutawatir , muttashil , dan
diterima dari Nabi saw. Masalah -masalah yang memenuhi kriteria
ini dikenal dengan istilah ‘ulima min al - din bi al - dharurah,
universal (kesepakatan total seluruh mujtahid), harus didukung nas
syarak, mengunci ijmak pada masalah-masalah yang ‘ulima min al -
din bi al- dharurah, dan secara implisit menolak terwujudnya ijmak
pascasahabat. Sementara, Imam M alik dapat mererima kehujahan
ijmak lokal, sepanjang memiliki kualitas baik dari aspek dukungan
dalil nas ataupun para mujtahidnya.
Ulama ushul fiqh berikutnya, Abu Bakr Ahmad al -Jashshash (w.
370 H), dalam kitab al- F ushul fi al- Ushul , juga tidak mengemukakan
definisi ijmak. Sama halnya dengan al-Syafi’i, al-Jashshash
menyebutkan dua kategori ijmak, yaitu: (a) ijmak umat Islam di mana
seluruh umat Islam harus sepakat atasnya, tidak boleh ada yang
berbeda pendapatnya; d an (b) ijmak ulama di mana hanya ulama
yang memiliki kemampuan spesifik saja yang berkompeten, yakni
dalam masalah-masalah yang memerlukan proses penalaran untuk
memahaminya, seperti masalah objek zakat mal . Berbeda dengan al-
Syafi’i, al-Jashshash tidak mensyaratkan ijmak total, hanya
mensyaratkan terpublikasikannya masalah yang diijmakkan di
warga .
Tampaknya pendapat al-Jashshash tidak jauh berbeda dengan
pendapat al-Syafi’i. K edua tokoh ini mengemukakan tiga unsur
ijmak, yaitu masalah otoritas atau kehujahan ijmak, masalah orang
yang memiliki kompetensi untuk berijmak, dan masalah objek ijmak.
Menurut kedua tokoh ini , ijmak memiliki nilai kehujahan atau
dalil dalam menentukan hukum Islam. Perbedaannya, al -Syafi’i
mensyaratkan totalitas kesepakatan umat Islam yang
direpresentasikan oleh para ulama, sedangkan al-Jashshash tidak
mensyaratkan yang demikian. Mengenai objek ijmak, menurut
keduanya, ruang lingkupnya dibatasi pada hukum syarak saja.
Dalam kitab al- Muhalla , Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan
bahwa ijmak haruslah merupakan kesepakatan seluruh umat Islam,
dan bahwa ijmak yang benar harus didukung oleh nas Alquran dan
atau Sunah yang diriwayatkan secara mutawatir , muttashil , dan
diterima dari Nabi saw. Masalah -masalah yang memenuhi kriteria
ini dikenal dengan istilah ‘ulima min al - din bi al - dharurah,
7 3 Ahmad bin ‘Al i al-Jashshash, al- Fushul fi al - Ushul, Juz VII (Kuwait: Mau qi’ al -
Islam, 1985) , hlm. 220.
yaitu masalah-masalah yang diketahui secara jelas dan pasti. Dengan
demikian, ijmak menurut Ibnu Hazm merupakan kesepakatan total
seluruh ulama Islam dan menolak ijmak generasi pascasahabat,
karena hanya pada generasi sahabat saja ijmak total dapat dicapai.
Teori ijmak yang cukup liberal dikemukakan oleh al-Basri (w.
463) yang menyebutkan bahwa
ا مِإ َِْمُمُْلْا َفِم ٍْمأ ىَت َ ٍة ََاَجْ ْفِم ُقاَفوِّت ِْلا َمُه ُعَاْجْ ِْلَا ٍك َْوت ْتأ ٍل ِْْ. 7 5
Artinya : Ijmak ialah kesepakatan sekelompok umat mengenai suatu
masalah tertentu, baik melalui perkataan, perbuatan,
maupun sikap.
Dengan deskripsi ijmak yang demikian, maka dapat diketahui
bahwa terkait objek ijmak, tidak ada klasifikasi keagamaan atau
keduniaan dan al-Basri dapat menerima keabsahan ijmak sukuti .
Al-Sarakhsi (w. 483 H) juga tidak mengemukakan konsep ijmak
secara definitif. Hal baru yang dikemukakan oleh as -Sarakhsi yaitu
bahwa kehujahan ijmak itu bukan karena total atau tidaknya
kesepakatan mujtahid, melainkan karena “penghormatan” kepada
umat dalam kehidupan beragama. Mengenai standar orang yang
dinggap cakap dalam proses berijmak, menurut as-Sarakhsi yaitu
orang yang memiliki ilmu yang mendalam, mampu berijtihad, dan
tidak memiliki cacat moral, di samping syarat “kurun waktu” bahwa
ijmak itu bukan menjadi monopoli generasi tertentu saja.76
Adapun al-Gazali (w. 505 H) mendeskripsikan ijmak sebagai
kesepakatan secara lisan atau secara langsung (sharih) dari umat
Islam pada suatu generasi dalam masalah-masalah keagamaan, baik
ijmak itu disandarkan pada nas syarak maupun pada hasil ijtihad.
berdasar penjelasan ini , tersirat bahwa al -Gazali
menolak ijmak secara diam-diam (sukuti ) karena sikap orang yang
diam itu mengandung keraguan. Al-Gazali juga menyatakan bahwa
di Madinah tidak pernah terjadi ijmak total, baik sebelum maupun
sesudah Nabi saw. hijrah, karena di antara mereka selalu ada yang
sedang berperang, berkelana, atau menetap di luar Madinah.
Al-Syathibi (w. 790 H) tidak banyak membicarakan teori ijmak,
ia hanya menekankan bahwa ijmak telah mendapatkan justifikasi
dari syarak berdasar kolektivitas dalil -dalil yang bersumber dari
objek dan pendekatan yang berbeda-beda, baik dari Alquran, Sunah,
maupun dalil akal. 78 Al-Amidi (w. 931 H) berpendapat bahwa
ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ ِش َّٓ ُأ ْٖ ِٓ ِذـْوـَؼُْ ح َٝ َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمخَـل ّـِِطا ْٖ َػ ٌسَسَخزِػ ُعخ َٔ ْؿَْلْح
ِِغثَخه َٞ
ُْ ح َٖ ِٓ ٍشَِؼهح َٝ ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 79
Artinya : Ijmak ialah kesepakatan ahl al- hill wa al- ‘aqd dari umat
Muhammad pada suatu generasi tertentu atas hukum
setiap kejadian.
Tampak jelas, tidak klasifikasi tentang objek ijmak, tidak
terbatas pada masalah keagamaan saja. Menurut al -Amidi, kata
ittifaq mencakup perkataan dan perbuatan atau sikap sehingga
dapat saja kesepakatan terjadi melalui pernyataan secara terang-
terangan (sharih} ) atau secara diam-diam (sukuti ).80
Menurut al -Syaukani (w. 1250 H),
ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ ِش َّٓ أ ْٖ ِٓ ِذـْوـَؼُْ ح َٝ َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمَخلِِّطا ْٖ ـَػ ٌسَسَخزـِػ ُعخ َٔ ْؿ َِْلْح
ِِغثَخه َٞ
ُْ ح َٖ ِٓ ٍشَِؼهح َٝ ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 81
berdasar penjelasan ini , tersirat bahwa al -Gazali
menolak ijmak secara diam-diam (sukuti ) karena sikap orang yang
diam itu mengandung keraguan. Al-Gazali juga menyatakan bahwa
di Madinah tidak pernah terjadi ijmak total, baik sebelum maupun
sesudah Nabi saw. hijrah, karena di antara mereka selalu ada yang
sedang berperang, berkelana, atau menetap di luar Madinah.
Al-Syathibi (w. 790 H) tidak banyak membicarakan teori ijmak,
ia hanya menekankan bahwa ijmak telah mendapatkan justifikasi
dari syarak berdasar kolektivitas dalil -dalil yang bersumber dari
objek dan pendekatan yang berbeda-beda, baik dari Alquran, Sunah,
maupun dalil akal. 78 Al-Amidi (w. 931 H) berpendapat bahwa
ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ ِش َّٓ ُأ ْٖ ِٓ ِذـْوـَؼُْ ح َٝ َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمخَـل ّـِِطا ْٖ َػ ٌسَسَخزِػ ُعخ َٔ ْؿَْلْح
ِِغثَخه َٞ
ُْ ح َٖ ِٓ ٍشَِؼهح َٝ ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 79
Artinya : Ijmak ialah kesepakatan ahl al- hill wa al- ‘aqd dari umat
Muhammad pada suatu generasi tertentu atas hukum
setiap kejadian.
Tampak jelas, tidak klasifikasi tentang objek ijmak, tidak
terbatas pada masalah keagamaan saja. Menurut al -Amidi, kata
ittifaq mencakup perkataan dan perbuatan atau sikap sehingga
dapat saja kesepakatan terjadi melalui pernyataan secara terang-
terangan (sharih} ) atau secara diam-diam (sukuti ).80
Menurut al -Syaukani (w. 1250 H),
ٍشْظَػ ٠ِك ٍذ َّٔ َل ُٓ ِش َّٓ أ ْٖ ِٓ ِذـْوـَؼُْ ح َٝ َِّ َلُْ ح َِ ْٛ َأ َِشِ ْٔ ُؿ ِمَخلِِّطا ْٖ ـَػ ٌسَسَخزـِػ ُعخ َٔ ْؿ َِْلْح
ِِغثَخه َٞ
ُْ ح َٖ ِٓ ٍشَِؼهح َٝ ٍْ ٌْ ُك ٠ََِػ ِسخَظَْػْلْح َٖ ِٓ. 81
Artinya : Ijmak yaitu kesepakatan para mujtahid umat Muhammad
setelah Nabi saw. wafat pada masa tertentu atas suatu
masalah, baik masalah keagamaan maupun duniawi.
Para ulama yang datang terkemudian tidak membawa
perubahan berarti dalam pendefinisian ijmak, sampai dengan
munculnya kritik dan gugatan atas teori ijmak ulama klasik oleh
tokoh-tokoh pembaru hukum Islam.
berdasar paparan di atas, dapat diketahui bahwa definisi
tentang ijmak yang dikemukakan oleh para ulama bereda-beda. Hal
ini menunjukkan keragaman teori serta persepsi ijmak di antara para
ulama karena perbedaan definisi merupakan akibat logis dari
persoalan persepsi tentang ijmak.
b. Kehujahan Ijmak : Antara Q ath‘i dan Zha nni
Masalah otoritas atau kehujahan ijmak merupakan isu sentral
dalam kajian konsep atau teori ijmak. Sebab, pokok permasalahan
ijmak memang beranjak dari silang pendapat para ulama mengenai
eksistensi ijmak sebagai salah atau dalil hukum Islam (al- adillah at-
tasyri‘ iyyah). Dalam konteks ini, maka muncul pertanyaan, apakah
ijmak dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan hukum
Islam. Terkait dengan kehujahan ijmak ini, kemudian muncul juga
pertanyaan, siapakah orang-orang yang memenuhi standar mujtahid
dan berkompeten untuk ikut serta dalam proses ijmak.
Berkenaan dengan masalah kehujahan ijmak , pendapat para
ulama secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua,
sebagaimana akan dikemukakan berikut ini.
1) Ijmak Sebagai Hujah
Sebagian ulama berpendapat bahwa ijmak merupakan hujah.
Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama 82 seperti al-Syafi’i, Ibn u al-
Hum am, al-Ja shshash, al-Gazal i, asy-Syathibi, as-Sarakhsi, Ibnu
H azm , dan para ulama kontemporer lainnya.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk
mendukung kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran dan
hadis Nabi saw., antara lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. an-
Nisa’ [4]: 5 9:
ْن َُِْم ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ لا ام ُيَِطأَت َه تلا ام ُيَِطأ امََُمَآ َفِْذ لا اَهُّوَْأ َاْ.
Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul -(Nya) dan ulil amri di antara kamu sakalian. (Q.S.
an-Nisa’ [4]: 59 )
Wajh al - dilalah kata “ al- amr ” dalam ayat di atas merupakan
sinonim dengan kata “ al- sya’n ” yang berarti urusan atau bidang. Ini
sifatnya umum, mencakup bidang keagamaan dan bidang keduniaan.
Dalam bidang keduniaan, yang berwenang mengaturnya yaitu
kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara, atau pemimpin
lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang
berwenang mengaturnya yaitu para ulama. Dengan demikian,
pemahaman hukum yang dapat diambil dari ayat ini yaitu
bahwa umat Islam wajib taat kepada ulil amri jika mereka telah
menyepakati hukum suatu masalah atau telah memproduk ijmak
berdasar nas Alquran dan atau Sunah.83
Ayat lain yang dikemukakan oleh golongan ini ialah firman
Allah swt. dalam Q.S. al-Nisa’ [4] : 83 sebagai berikut .
ُُّ ََ ْمَلَت ْنُهْوَِم َُه ُم ِبََْوتْسَْ َفِْذ لا ُهَلِت ََل ْنُه ْوَِم ِْمَْلْا ُِتأ َلَِإَت ِلمَُ لا َلَِإ ُهت.
Artinya : bila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang hendak
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan ulil amri). (Q.S. an-Nisa’ [4] : 83 )
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk
mendukung kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran d