Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang
ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati ( Daerah Cirebon
sekarang ). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi,
seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan
Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang
dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi,
Raja Pajajaran.
Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh
Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau
mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak
yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual
murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang
juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan
Islam.
Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa
politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa
kedamaian sangat terasa.
Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali
Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang
). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama
yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh
Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk
menjadi anggota Dewan Wali Sangha.
Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan
Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang
= Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat
gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian
barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan,
beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata
KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka
terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh
Lemah Abang atau Sunan Kajenar.
Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang
waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan
bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan
Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ),
Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan
Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan
Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan
Kadipaten Tuban ), begitu juga Sunan Kalijaga ( berdarah
Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.
Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki
‘kecemerlangan’ melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin
ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama
sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan,
selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi.
Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang
bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk
Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir
Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin. Dan Abdullah
Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang
konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah
Pakistan. ( Nah, bisa diketahui kan, kebijaksanaan beliau
berasal dari mana? : Damar Shashangka ).
Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali
Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para
ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq,
lama-lama terpengaruh gerakan militansi Islam yang mulai
digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah
lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran
Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.
Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan
latihan-latihan tempur. Fokus utama memperbaiki diri, kini
berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana
damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama
mulai goncang.
Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi
sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas.
Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai
bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.
Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta.
Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak
berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan
Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan
Kalijaga. Bersama Syeh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba
membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang kini berubah
radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah
menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling
benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist
secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan,
siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah
gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran
bid’ah. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan
PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat Islam yang tidak sepaham
dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan
ABANGAN (Kaum Merah).
Untuk mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan
menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang
penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam
Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan
agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan
Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah.
Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit
berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar
memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan
Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam
tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang
berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu
selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu
berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali,
bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha
adalah atas prakarsa Sunan Benang, disimbolkan dengan
mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap
hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu
melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada
kekosongan pimpinan ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah
sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah seorang ulama, dia
seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir. Dengan
datangnya ’sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan
pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi
kekosongan adalah ’seekor cacing’. Cacing ini, rakyat jelata
ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang.
Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para
bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini,
sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka )
Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah
Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan
diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong Krokot,
diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” (
Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin,
tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya
mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat
orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan
manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan
dimasukkan ke Dewan Wali oleh Sunan Benang, sehingga
kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang
Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara
simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga,
tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing.
Kurang lebih seperti itu.
Padahal, tingkat ’spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur
oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa.
Karena mereka memang tengah terfokus pada duniawi. Pada
Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar
karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.
Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham
dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit
dan ingin mendirikan Kekhalifahan Islam di Jawa, walaupun
lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti Jenar,
menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan,
keluar dari Dewan Wali Sangha.
Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah
Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah
nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung
Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.
Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera
mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali
Sangha yang berpusat di Ampeldhenta. Syarif Hidayatullah
menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan
Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti
Jenar, tertutupi sudah.
Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti
Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati.
Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali
Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti
Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus,
begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini
semakin meruncing.
Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan
Ilmu Tassawwuf tingkat tinggi kepada murid-muridnya, yang
sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh
Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari
kesalahan Syeh Siti Jenar.
Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan
kisahnya tercatat dalam Pupuh ( Bait-Bait ) Tembang Jawa
seperti dibawah ini :
Sinom
Pagurone Syeh Lemah Bang,
Wejangane tanpa rericik,
Lan wus atinggal sembahyang,
Rose kewala liniling,
Meleng tanpa aling-aling,
Wus dadya Paguron Agung,
Misuwur kadibyannya,
Denira talabul’ilmi,
Wus tan beda lan sagunging aulia.
Sangsaya kasusreng janma,
Akeh kang amanjing murid,
Ing praja praja myang desa,
Malah sakehing ulami,
Kayungyun ngayun sami,
Kasoran kang Wali Wolu,
Gunging Paguronira,
Pan anyuwungaken masjid,
Karya suda kang amrih agama mulya.
Santri kathah keh kebawah,
Mring Lemah Bang manjing murid,
Ya ta Sang Syeh Siti Jenar,
Sangsaya gung kang andasih,
Dadya imam pribadi,
Mangku sa-reh bawahipun,
Paguroning Ilmu Khaq,
Kawentar prapteng nagari,
Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar.
Satedhaking Majalengka,
Kalawan dharahing Pengging,
Keh prapta apuruhita,
Mangalap kawruh sejati,
Nenggih Ki Ageng Tingkir,
Kalawan Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang Ing Betah,
Lawan Ki Ageng Pengging,
Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.
Ing lami-lami kawarta,
Mring Jeng Susuhunan Giri,
Gya utusan tinimbalan,
Duta wus anandhang weling,
Mangkat ulama’ kalih,
Datan kawarna ing ngenu,
Wus prapta ing Lemah Bang,
Duta umarek mangarsa,
Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar.
Nandukken ing praptaning,
Dinuteng Jeng Sunan Giri,
Lamun mangkya tinimbalan,
Sarenga salampah mami,
Wit Jeng Sunan miyarsi,
Yen paduka dados guru,
Ambawa Imam Mulya,
Marma tuwan den timbali,
Terang sagung ing pra Wali sadaya.
Prelu musyawaratan,
Cundhuking masalah ilmi,
Sageda nunggil seserepan,
Sampun wonten kang sak serik,
Nadyan mawi rericik,
Apralambang pasang semu,
Sageda salingsingan,
Pangeran Siti Jenar angling,
Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah.
Apa tembunge maring wang,
Ature duta kekalih,
Inggih maksih Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Matura Sunan Giri,
SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN,
ING KENE ORA ANA,
AMUNG PANGERAN SEJATI,
Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa.
Andikane Syeh Lemah Bang,
Wasana matus aris,
Kados pundi karsandika,
Teka makaten kang galih,
Wangsulan kang sayekti,
Pangeran ngandika arum,
Sira iku mung saderma,
Aja nganggo mamadoni,
INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA.
Duta kalih lajeng mesat,
Lungane datanpa pamit,
Sapraptaning Giri Gajah,
Marek ing Jeng Sunan Giri,
Duta matur wot sari,
Dhuh pukulun Jeng Sinuhun,
Amba sampun dinuta,
Animbali Syeh Siti Brit,
Aturipun sengak datan kanthi nalar.
Terjemahan :
Perguruan Syeh Lemah Bang,
Wejangannya tanpa menggunakan perlambang ( simbolisasi dan
langsung ke inti sarinya ilmu ),
Sholat syari’at tidak dipentingkan,
Inti sarinya saja yang dihayati,
Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,
Sudah menjadi Perguruan Besar,
Terkenal kehebatannya,
Kedalaman Ilmu beliau,
Sudah tak ada beda dengan para Aulia.
Semakin terkenal ditengah masyarakat,
Banyak yang datang menjadi murid,
Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan,
Bahkan banyak para ulama,
terpikat dan masuk menjadi pengikut,
Kalahlah Delapan Wali yang lain,
Karena kebesaran perguruannya,
Masjid para wali ditinggalkan,
Membuat surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama
paling mulia.
Banyak para santri yang menjadi pengikut,
Menjadi murid Syeh Lemah Bang,
Adapun Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin banyak yang mencintai,
Beliau menjadi Imam tunggal,
Jadi panutan para murid,
Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Terkenal diseluruh wilayah negara,
Beliau mendapat sebutan,
Sang Pangeran Siti Jenar.
Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk keturunan dari Pengging,
Banyak yang terpikat oleh beliau,
Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti Ki Ageng Tingkir,
Juga Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang dari daerah Butuh,
serta Ki Ageng Pengging,
Menjadi satu paham dengan beliau.
Lama-lama terdengar juga,
Oleh Kangjeng Susuhunan Giri,
Beliau segera memanggil utusan,
Sang duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan,
Berangkatlah dua orang ulama,
Tidak diceritakan di perjalanan,
Sudah sampai di Lemah Bang,
Sang duta mendekat dihadapan,
Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.
Menyampaikan maksud kedatangannya,
Diutus Jeng Sunan Giri,
Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,
Berangkat bersama kami,
Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar,
Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru
Agung,
Menjadi Imam Mulia,
Oleh karena itu tuan dipanggil,
Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para
Wali semua.
Berembug untuk menyatukan pemahaman,
Supaya tidak terjadi perpecahan,
Agar tercapai kesepahaman,
Jangan sampai timbul fitnah,
Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,
menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang,
Intisari-nya jangan sampai berbeda makna,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Aku dipanggil Sunan Giri Gajah,
( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton.
Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah
menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak
juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi
gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri
diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah
menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para
ulama-ulama yang lain untuk segera membentuk Kekhalifahan
Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan
itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama
besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar
Shashangka )
Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?,
Kedua duta menjawab,
Beliau memanggil Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Katakan kepada Sunan Giri,
SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,
DISINI TIDAK ADA,
YANG ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ),
Terkejut keheranan kedua duta.
Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang,
Lantas berkata,
Bagaimana maksud anda ?
Sampai bisa berkata demikian?
Tolong berikan penjelasan kepada kami,
Pangeran Siti Jenar berkata lembut,
Kalian hanyalah utusan,
Jangan membantah,
INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA
MULIA ).
Kedua utusan lantas keluar,
Pergi tanpa berpamitan,
Sesampainya di Giri Gajah,
Mendekat kepada Jeng Sunan Giri,
Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,
Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,
Kami sudah tuan utus,
Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),
Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.
( Bersambung )
Memasak dan mengurus rumah
itu kewajiban suami
Siapa bilang memasak dan mengurus rumah tangga itu kewajiban
seorang istri? Itu adalah persepsi yang salah. Setidaknya,
kalaupun itu betul, itu hanyalah tradisi orang Indonesia, yang
menganggap bahwa kewajiban seorang Istri adalah “Dapur, Sumur,
Kasur.” Mengapa? Karena dalam Islam menafkahi adalah kewajiban
seorang suami, bukan istri! Tak ada satupun keterangan bahwa
menafkahi itu adalah kewajiban seorang istri. Jadi, dari sini
saja sudah ada yang harus diluruskan.
Nah, menafkahi itu apa?
Pertama, memberi tempat bernaung yang layak. Merangkap di
dalamnya merawat rumah hingga tetap nyaman untuk ditempati.
Jadi, kalau rumah berantakan, suamilah yang wajib membersihkan
dan merapikannya. Kalau ada piring kotor dan sampah menumpuk,
tugas suamilah untuk membersihkan dan menjaganya tetap bersih.
Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan pakaian yang
layak, termasuk di dalamnya merawat pakaian agar tetap layak
pakai. Jadi, kalau pakaian istri sudah kotor, suamilah yang
harus mencucinya. Kalau lusuh, ialah yang harus menyetrikanya.
Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan makanan yang
halal dan thayyib kepada istrinya. Itu artinya halal, enak,
sehat dan bergizi. Termasuk di dalamnya belanja kebutuhan
sehari-hari, lalu memasak dan menghidangkan makanan untuk
istrinya. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Lalu, mengurus anak juga adalah tugas dari suami. Seorang ibu
bahkan berhak untuk berhenti menyusui anaknya jika ia merasa
berat dan kepayahan. Dan ayahnya hendaknya mencarikan seorang
ibu susu untuk si bayi jika ingin menyempurnakan masa
persusuannya.
Anda tidak percaya? Saya kutipkan satu ayat di surat Al
Baqarah: 233
Wa ‘alal mauluudi lahu rizquhunna wakiswa tuhunna bilma’ruufi
Yang maknanya, “… dan kewajiban ayahlah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…”
Ini hanyalah satu contoh ayat yang menegaskan bahwa kewajiban
suamilah semua tugas rumah tangga itu, meliputi di dalamnya
membersihkan dan merawat rumah, memasak, mencuci, mengurus
anak, dan yang semisalnya….
Lalu, apa dong tugas seorang istri?
Dalam rumah tangga, tugas istri sebetulnya hanya satu, dan itu
sangat mudah: nurut sama suami!
Jadi, jika istri disuruh memasak, ia harus nurut!
Disuruh mencuci pakaian, ia harus nurut!
Disuruh membereskan rumah, ia harus nurut!
Disuruh mengurus anak, ia harus nurut!
Nah, Lho…?!
Mohon maaf sebelumnya. Ini memang sebuah guyonan, tapi
esensinya adalah kebenaran. Di sinilah Islam mengajarkan
prinsip keadilan serta keseimbangan. Mengangkat wanita pada
derajat yang semestinya dan mendidik setiap suami untuk
bertanggung jawab. Menikah bukanlah sekedar saling menuntut
hak, tetapi juga berbagi kasih sayang.
Seorang suami yang sadar bahwa istrinya telah mengerjakan
semua tugas dan tanggung jawabnya, akan menjadikan sang suami
menghormati dan makin menyayangi istrinya itu. Siapa lagi yang
lebih dermawan dari seorang istri yang mengerjakan tugas-tugas
suaminya tanpa meminta bayaran sedikitpun? Padahal itu bukan
tugasnya sama sekali, dan secara aturan ia berhak meminta
bayaran atas pekerjaannya itu.
Pemahaman semacam itu akan menjadikan suami bersungguh-sungguh
dalam bekerja serta menafkahi keluarganya, karena ia tahu
bahwa di rumahnya seseorang yang berhati mulia telah
menantinya dengan penuh kerinduan. Sungguh Allah akan meliputi
mereka dengan barokah serta kasih sayang.
Dan seorang istri yang bersungguh-sungguh melaksanakan
pekerjaan rumah tangganya dengan penuh keikhlasan, telah
menjadi manusia paling mulia dengan mengerjakan tugas yang
seharusnya dikerjakan suaminya. Semuanya ia lakukan atas dasar
cinta dan ketaatan, dan pemahaman bahwa dalam pernikahan
semuanya adalah tentang berbagi dan tolong menolong. Setiap
pekerjaan yang ia lakukan dengan ikhlas akan dibalas oleh
Allah dengan balasan yang berlipat-lipat ganda.
Inilah yang seharusnya senantiasa kita terapkan dalam
kehidupan rumah tangga kita. Saling menghargai dan
mengingatkan dalam kebaikan. Allah mengingatkan kita dengan
firmannya di surat Al Baqarah:237,
Yang maknanya, “dan janganlah saling melupakan keutamaan di
antara kalian! Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang
kalian kerjakan.”
Wallahu A’lam
5 Obyek Berpikir dan 5 Pengaruhnya
Berpikir merupakan salah satu aktifitas yang dianjurkan oleh
Islam. Berbagai ayat mengindikasikan hal ini seperti afala
ya’qilun, afala yatafakkarun, afala tubshirun dan masih banyak
lagi lainnya. dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw pernah
bersabda:
Berpikir sesa’at lebih baik dari pada beribadah selama enam
puluh tahun.
Para arif bijaksana mengqiyaskan keutamaan berpikir dengan
bahasa lain bahwa berpikir bagaikan lentera hati, barang siapa
yang kehilangan pikiran, maka jadi gelaplah hatinya.
Dalam kitab Nashaihul Ibad dikelompokkan lima objek berpikir
yang akan membawa pada lima kebaikan.
Pertama: berpikir tentang tanda-tanda kebesaran Allah swt. di
alam (ayat kauniyyah) akan melahirkan rasa yakin akan
keesaannya. Keyakinan bahwa Alah hanya satu-satunya tuhan yang
mampu mencipta alam lengkap dengan berbagai hikmah yang
terkandung di dalamnya. Berbagai keajaiban dan keistimewaan
setiap makhluk di dunia mulai dari benda terkecil di dalam
lubang tanah hingga makhluk berbintang di langit dan juga para
malaikat. Karena itulah dalam sebuah ayat diterangkan yang
atinya, jikalau kita benar-benar memikirkan berbagai ciptaan
Allah swt, maka akan menimbulkan pemahaman sifat-sifat Allah
swt. Misalkan Allah Zat Sang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq)
akan terbukti kebesarannya ketika kita memikirkan wujud cicak
yang menempel dinding tanpa ada sayap dengan berbagai nyamuk
yang berterbangan sebagai santapannya. Begitulah lain-lainnya.
Kedua berpikir akan segala ni’mat akan melahirkan perasaan
cinta dan syukur kepada-Nya. Bagaimana kita tidak bersyukur
jika setiap saat kita dapat bernafas dan menikmati udara
dengan bebas tanpa ada pajak dan pungutan. Bagaimana tidak
bersyukur jika mata kita mampu melihat segala warna-warni
dunia? Andaikan semua itu dicabut Allah swt. apa yang dapat
kita lakukan sebagai manusia?
Maka bersyukur dengan sepenuh hati, berterimakasih dengan
sepenuh jiwa bukanlah terasa belum cukup bila dibandingkan
segala nikmat yang terlah diberikannya. Padahal jumlah nikmat
yang ada tidak akan mampu dihitung oleh manusia demikian
firman Allah swt
Ketiga, berpikir dan berangan-angan akan berbagai pahala dan
surga yang dijanjikan oleh Allah swt. kepada orang-orang yang
beramal baik, akan menambah nilai kepribadian seorang hamba
sehingga ia akan berakhlaq lebih mulia, bertindak sedekat
mungkin dengan apa yang dianjurkan Allah dan agama-Nya
Keempat, berpikir dan mengingat-ingat segala pembalasan yang
disiapkan Allah untuk mereka yang dhalim dan selalu berada
pada barisan ‘musuh Allah’ karena senantiasa mengapresiasi
ajakan iblis dn syetan, akan menambah perasaan takut seorang
hamba. Takut akan siksa neraka dan ancamannya.
Sebagaimana layaknya orang yang takut tentu ia akan menghindar
dan melarikan diri dari sesuatu yang ditakuti. Orang yang
takut neraka tentunya akan menghindar dan menjauhi perkara
yang berbau neraka. Berbagai maksiat dan kedurhakaan.
Kelima, berpikir tentang ketaatan seorang hamba dan kebaikan
Allah swt kepadanya akan menjadikan hidup ini lebih bermakna.
Artinya kesadaran akan keluasan ilmu Allah swt yang selalu
ikut berperan dalam kehidupan ini, seolah Allah swt ikut
mempermudah diri seorang hamba dalam beribadah. Akan
memantapkan perasaan pasrahnya diri kepada-Nya.
Nabi Muhammad SAW pernah ditanya istri Nabi, Aisyah, mengenai
doa apa yang mesti dibaca saat Lailatul Qadar, Nabi Menjawab,
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni”. Doa
ini dalam bahasa Indonesia kira-kira, “Ya Allah, ya Tuhanku;
sungguh Engakau Maha Pengampun, suka mengampuni, maka
ampunilah aku.”
Maha pengampun-Nya Allah dan kesukaan-Nya mengampuni tidak
hanya tercermin dalam asma-asma-Nya seperti Al-Ghafuur, al-
Ghaffaar, dan Al-‘Afwu, tetapi juga dapat diketahui melalui
banyak firman-Nya di al Quran dan sabda Rasul-nya dalam hadis-
hadis-Nya.
Salah satu firman-Nya bahkan menyeru hamba-hamba-Nya yang
berdosa agar tidak berputus harapan akan pengampunan-Nya dan
menegaskan bahwa Dia mengampuni dosa-dosa, semuanya (Q39:53).
Bahkan sedemikian sukanya Allah mengampuni sehingga Rasul-Nya
dalam bahasa sahih bersumber dari sahabat Abu Hurairah dan
riwayat imam Muslim-bersumpah bahwa seandainya “kalian semua
tidak ada yang berdoa, Allah SWT akan menghilangkan kalian dan
menggantinya dengan kaum yang berdosa yang memohon ampun
kepada Allah lalu Ia pun mengampuni mereka”.
Maka, kita melihat “lembaga pengampunan” Allah yang dapat
menghapuskan dosa, begitu banyak. Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang menjadikan banyak amalan sebagai penghapus dosa,
mulai dari istighfar, shalat, puasa, hingga berbuat baik
lainnya, semuanya dapat menghapus dosa. Ini sangat kontras
dengan perangai “khalifah”nya di bumi yang namanya manusia
ini.
Manusia-setidaknya kebanyakan mereka-dari satu sisi suka
berbuat kesalahan, dan disisi lain gampang tersinggung dan
sangat sulit memaafkan kesalahan.
Bahkan, dalam banyak diantara mereka yang merasa “dekat”
dengan Tuhan pun tidak tampak lebih pemaaf daripada yang lain.
Malah sering kali justru lebih terlihat sempit dada dan
tengik.
Yang aneh, terhadap Allah yang begitu baik dan Maha Pengampun,
kita ini begitu hati-hati. Namun kepada sesama manusia yang
tersinggung dan begitu sulit memaafkan, kita malah sering
sembrono, padahal, dibandingkan dengan dosa yang langsung
berhubungan dengan Allah, kesalahan terhadap sesama manusia
jauh lebih sulit menghapusnya. Allah tidak akan mengampuni
dosa orang yang mengetahui kesalahan kepada saudaranya sesama
manusia sebelum saudaranya itu memaafkan.
Makna halalbihalal
Ada sebuah hadis sahih yang sungguh membuat mukmin yang sehat
pikirannya akan merasa khawatir merenungkannya. Yaitu hadis
sahih-dari sahabat Abu Hurairah yang diriwatkan oleh Bukhari
dan Muslim-tentang betapa tragisnya orang yang saat datang di
hari kiamat membawa seabrek (pahala) amal, seperti shalat
puasa, dan zakat, sementara ketika hidup di dunia banyak
berbuat kejahatan kepada sesama.
Digambarkan, nanti orang yang pernah dicacinya, orang yang
pernah difitnahnya, yang pernah dimakan hartanya, yang pernah
dilukainya, dan pernah dipukulnya akan beramai-ramai
menggerogoti (pahala) amalnya yang banyak itu.
Bahkan apabila (pahala) amalnya itu sudah habis dan masih ada
orang yang pernah dizalimi dan belum terlunasi dosa orang ini
pun akan ditimpukkan kepadanya sebelum akhirnya dia dilempar
ke neraka. Orang yang malang ini disebut Rasulullah sebagai
orang yang bangkrut yang sebenarnya.
Lihatlah orang yang bangkrut itu disebutkan membawa seabrek
(pahala) shalat, puasa, dan zakat. Berarti dari sisi ini, dia
adalah orang yang taat beribadah. Namun, karena perangainya
yang buruk terhadap sesama, justru hasil ibadahnya itu sirna.
Maka, bagi kaum beriman, berhati-hati dalam pergaulan itu
sangat penting. Kaum beriman tidak hanya mengandalkan amal
ibadahnya tanpa menjaga akhlak pergaulannya dengan sesama.
Apalagi, karena bangga terhadap amal ibadahnya, lalu
merendahkan dan menyepelekan sesamanya. Na’idzubillah min
dzaalik.
Masih ada satu hadis sahih lagi yang senada dengan hadis di
atas yang menganjurkan kita segera meminta halal dari orang
yang pernah kita zalimi (falyatahallalhu minhu), apakah itu
berkenan dengan kehormatannya atau yang lain.
Saya pikir, bertolak dari sinilah bermula istilah halal
bihalal (menulisnya tidak dipisah-pisah). Anjuran Nabi untuk
meminta halal dari saudara kita yang penah kita zalimi
tentunya berlaku juga bagi saudara kita.
Seperti kita ketahui, kata kita ini assembling dari bahasa
Arab. Asalnya halaal-bi-halaal (dalam kamus Arab sendiri,
tidak ditemukan entri halaal-bi-halaal ini). Jadi, ini murni
rakitan bangsa Indonesia. Semua mempunya makna harfiah halal
dengan halal, kemudian menjadi saling menghalalkan.
Begitulah tradisi silaturahmi (Arabnya silaturrahim) di hari
raya Idul Fitri pun diisi dengan acara halalbihalal. Saling
menghalalkan alias saling memaafkan. Halalbihalal-lah terutama
mendorong orang bersemangat melakukan silaturrahim di hari
raya Idul Fitri. Sampai-sampai kemudian melahirkan tradisi
lain yang kita sebut mudik.
Kalau tujuannya saling memaafkan, mengapa halalbihalal ini
(hanya) dilakukan di hari raya Idul Fitri atau di bulan
Syawal, tidak setiap saat.
Boleh jadi ini ada kaitannya dengan “watak” bangsa kita yang
sulit mengaku salah dan sulit memaafkan. Jadi, diperlukan
timing yang tepat untuk saling meminta dan memberi maaf. Lalu
kapan itu? Nah, tidak ada saat yang lebih tepat melebihi saat
setelah puasa Ramadhan.
Mengapa? Karena sesuai janji Rasulullah SAW, barangsiapa yang
berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari
pahala Allah, diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.
Tentunya ini dosa-dosa yang berkaitan dengan Allah langsung.
Orang yang tidak memiliki dosa kepada Allah karena dosa-
dosanya sudah diampuni, dadanya menjadi lapang. Mungkin ini
bisa menjelaskan mengapa setelah usai puasa Ramadhan, orang-
orang Islam menjadi terbuka, ringan menerima maaf, dan mudah
memaafkan.
Maka, dosa-dosa berat yang diakibatkan kesembronoan dalam
pergaulan hidup dengan sesama hamba Allah diharapkan dengan
mudah dilebur. Nah, kesempatan bersilaturrahim di hari raya
Idul Fitri ini sangat sampai kita lewatkan untuk
berhalalbihalal, saling menghalalkan dan saling memaafkan.
Sehingga di Lebaran ini, leburkan semua dosa-dosa kita semoga.
Selamat Iful Fitri 1435 Hijriah. Mohon maaf lahir batin.
(artikel ini telah dimuat di harian Kompas, Sabtu, 26 Juli
2014)