• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label teologi 15. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 15. Tampilkan semua postingan

teologi 15






Belakangan ini topik mengenai “anugerah” (grace) juga menjadi diskusi dan perdebatan yang 
marak dibicarakan di lingkungan gereja. Istilahnya biasa juga disebut “kasih karunia modern” 
atau “Reformasi kasih karunia”. Istilah tersebut digunakan oleh sejumlah pengajar atau tokoh 
dalam menjelaskan pemahaman teologi mereka mengenai kasih karunia yang mereka anggap 
sebagai pewahyuan  baru mengenai kasih karunia. Pengajaran tentang injil kasih karunia bukan 
merujuk kepada suatu gereja tertentu, tetapi lebih kepada pengajaran atau pemahaman teologi 
yang sedang merebak dengan sangat cepat ke berbagai gereja di seluruh dunia. Ada beberapa 
tokoh yang menulis sejumlah buku yang di dalam  buku mereka menjelaskan pengajaran injil 
kasih karunia, beberapa diantaranya yang terkenal dan berpengaruh adalah Paul Ellis, Joseph 
Prince, Steve McVey, Clark Whitten dan pengajar injil kasih karunia lainnya. Tidak dapat 
disangkal Joseph Prince sebagai salah satu pengajar “anugerah” ini yang juga mempengaruhi 
pandangan orang-orang Kristen di Singapura, Amerika dan Indonesia. 
Pemikiran hypergrace yang banyak disinggung oleh Joseph Prince adalah pemahaman 
yang sangat menekankan pada kasih karunia (grace) dan mengesampingkan pengajaran-
pengajaran penting lainnya seperti pengakuan dosa, hukum Taurat, kekudusan dan 
ketekunan. Michael Brown menjelaskan pemahaman pengajar injil kasih karunia 
sebagai  berikut: 
                                                                                  
                                                                                                                                       
Jika anda mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan dan 
sekarang sebagai orang percaya kita dipanggil oleh Tuhan mengerjakan 
keselamatan kita dan mengejar kekudusan hati dan kehidupan dengan kata lain, 
menjalani proses penyucian yang terus berlangsung anda sedang mengajarkan 
tentang “modifikasi prilaku”, Anda ada dalam urusan “manajemen dosa”, anda 
sedang menyebarkan “kebohongan yang membunuh kerohanian” seperti yang 
diajarkan oleh Luther & Calvin, dan anda perlu menerima pewahyuan baru dari 
reformasi baru ini, yaitu revolusi kasih karunia.
 
Pada dasarnya, kasih karunia adalah suatu berita berisi kasih Allah dan  berita 
pengampunan dari Bapa lewat karya Kristus di kayu salib yang harus disampaikan dan 
dikabarkan kepada dunia. Wesley Brill mengatakan, “Kasih Karunia Allah mempersiap-
kan dan membawa orang kepada pertobatan.”2 Namun dalam hal ini berbeda dengan 
pandangan teologi injil kasih karunia.  
Dalam bukunya, Michael L. Brown  memaparkan bahwa Joseph Prince mengarti-
kan ajaran hyper-grace untuk membantu pembaca modern memahami kepenuhan kasih 
karunia, Prince akan memakai  kata-kata “kemurahan yang tidak layak kita terima 
dan kasih karunia adalah kemurahan Tuhan yang tidak pantas, tidak dapat diusahakan 
dan tidak selayaknya kita terima.3 
Tokoh lain yang terlebih dahulu mengajarkan tentang hyper-grace ini adalah Paul 
Ellis, ia menceritakan kisah-kisah tentang anugerah yang radikal, membela orang-orang 
berdosa, dan mengampuni yang tidak menunjukkan penyesalan. Dan dalam demonstrasi 
kasih terbesar yang pernah dunia saksikan, Yesus menyerahkan nyawa-Nya sehingga 
melalui-Nya kita bisa mendapat  kehidupan sejati.4 Paul Ellis mengatakan, “Nasihat 
untuk berbalik dari dosa bukanlah kabar baik. Bahkan itu bukanlah kabar, tetapi sebuah 
pesan kuno yang berorientasi pada pekerjaan yang akan membuat anda berfokus pada 
dosa dan bersikap introspektif. Itu adalah pesan dari sebagian besar Perjanjian Lama. Itu 
bukan injil kasih karunia yang kita temukan dalam Perjanjian Baru.” 5  Pemberitaan 
tentang kasih karunia bukan hanya berhenti saat  seseorang menerima kasih karunia 
itu tetapi merupakan suatu proses yang terus menerus berkelanjutan dalam kehidupan 
orang percaya.  
Sementara Charles Colson mengatakan “Tetapi Allah menuntut timbal balik atas 
kehadiran-Nya. Ia menuntut kita mengidentikkan diri dengan-Nya, kita harus kudus 
sebab Ia kudus.”6  Lanjut Anthony A. Hoekema menjelaskan “Jadi walaupun Allah 
meregenerasi manusia dan memberikan kepada mereka kehidupan rohani yang baru, 
tetapi orang-orang percaya memiliki tanggung jawab dalam proses keselamatan mereka, 
dalam mempergunakan iman mereka dalam pengudusan dan ketekunan mereka.”
Sebutan hyper-grace sebenarnya bukanlah sebuah nama yang diberikan oleh Paul 
Ellis untuk mengajar para jemaatnya tetapi muncul akibat perdebatan disebuah media. 
Bagi Paul Ellis suatu serangan agresif terhadap injil anugerah. Serangan ini sudah 
terlihat di media Kristen, blogosphere (kumpulan sebuah blog atau weblog yang saling 
tersambung di dunia internet), dan dalam terbitan buku-buku dari para pengajar Alkitab 
kenamaan. Paul Ellis pernah menemukan beberapa artikel dengan judul seperti 
“Mengkonfrontasi Kekeliruan Hyper-Anugerah”, “Tipu Daya Hyper-Anugerah,” dan 
judul ini aneh bagi Paul Ellis adalah “Apa yang Salah dengan Anugerah?3 Menyikapi 
pengajaran hyper-grace ini pada Januari 2014, Dr. Michael L. Brown menerbitkan buku 
berjudul Hyper Grace, Menyingkap Bahaya Kasih Karunia Modern, dalam bukunya ini, 
Brown mencoba mengoreksi “beberapa penyimpangan dan kekeliruan serius” yang 
dikhotbahkan sebagai bagian dari apa yang ia sebut “pesan anugerah modern.” 
Brown menggambarkan para pengkotbah Hyper-Anugerah sebagai penentang 
pertobatan dan pengakuan dosa, dan ia mengklaim kelompok pengkotbah Paul Ellis, 
bahwa perkataan Yesus sudah tidak relevan bagi kita pada zaman ini. Kemudian, pada 
September 2015, Paul Ellis menanggapi sebuah respon Michael L. Brown dan bagi 
mereka yang penentang pesan kasih karunia modern dengan menjawab setiap tuduhan 
yang diberikan oleh pembaca Kristen. Di dalam jawaban Ellis atas tuduhan-tuduhan 
Brown, mengatakan bahwa Brown telah memberi pujian luar biasa kepada kelompok 
yang mengajarkan dan menulis tentang injil anugerah. Dengan menjulukinya kelompok 
pengajar hyper-grace sehingga menempatkan para pengajar-pengajarnya dalam kelom-
pok istimewa. Paul Ellis menjawab Kritik Brown dan menguraikan banyak distorsi yang 
ada dalam bukunya, dengan hati terbuka Elli menerima julukan yang diberikan oleh 
pengkritik ajaran mereka dengan nama “hyper-grace”, ia mengutip kebenaran Alkitab 
dalam Yohanes 1:16-17, Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih 
karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih 
karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Mulai dari situlah Paul Ellis 
menyebut Injil anugerah sebagai pesan anugerah modern atau Injil Hyper-Anugerah. 
Sebagai pengkhotbah “anugerah modern” ajaran ini jugalah yang mendorong 
popularitas Joseph Prince dengan mendadak bukan karena kharisma maupun pemasaran 
yang hebat. Joseph Prince mengatakan itu adalah bukti pesan dalam pelayanannya, yang 
dia sebut "Injil Kasih Karunia. Prince dalam Kata Pengantar-nya mengaku bahwa ia 
mendapat  “suara Tuhan” saat  ia sedang dalam perjalanan liburan di Pegunungan 
Alpen, tahun 1997. Menurutnya, Tuhan berkata bahwa ia tidak mengkhotbahkan kasih 
karunia-Nya. Tuhan berkata, “Setiap kali engkau mengkhotbahkan kasih karunia, 
engkau menyampaikannya dengan mencampuradukkan hukum Taurat. Engkau 
berusaha menyeimbangkan kasih karunia dengan hukum Taurat seperti banyak 
pengkhotbah lain, dan saat engkau menyeimbangkan kasih karunia, engkau 
menetralkannya. Engkau tidak dapat memasukkan anggur baru ke dalam kantung 
anggur yang lama. Engkau tidak bisa mencampuradukkan kasih karunia-Ku dengan 
hukum Taurat.” 
Sebelum memahami hakikat ajaran Joseph Prince mengenai hyper-grace, maka 
perlu untuk meninjau persuposisi dibalik ajaran “hypergrace” Joseph Prince. Selain 
daripada pesan tentang mengalami hidup yang berkemenangan, sukses, kaya terdapat 
tiga persoalan teologis mengenai “anugerah” yang berkaitan dengan aspek-aspek 
soteriologi lainnya yang dihadapi oleh gereja berkaitan dengan doktrin pengudusan, 
yakni: a) kaitan antara anugerah Allah dalam pengudusan dengan iman; b) kaitan antara 
pengudusan dan pembenaran; dan c) tingkat pengudusan dalam hidup sekarang8 
Beberapa istilah lain bagi pengajaran kasih karunia yang berlebihan ini, seperti: 
Radical grace, modern grace, grace revolution, gospel revolusion, cheap grace, atau 
unconditional Internal Security. Namun dalam tulisan ini penulis akan memakai  
sebutan hyper-grace seperti yang Michael Brown munculkan. Berikut adalah penjelasan 
ajaran kasih karunia yang disebut dengan “hyper-grace”. 
Hyper-grace adalah sebuah istilah yang terdiri dari gabungan dua kata; „Hyper’ 
yang berarti „berlebihan,‟ dan „grace‟ yang berarti „Anugerah atau kasih karunia‟. 
Grace = Kasih, Karunia = Anugerah adalah pemberian Allah kepada manusia. Allah 
penuh anugerah, anugerah yang berlimpah-limpah dan tak berkesudahan. Dalam 
Pengajaran-nya Prince memaparkan ciri-ciri berita atau ajaran “anugerah” yang begitu 
kontroversial mengenai anugerah, yang menyebutkan bahwa orang percaya tidak perlu 
lagi  bertanggung jawab atas dosa-dosanya yang diperbuatnya sekarang dan  meminta 
ampun karena secara otomatis sudah diampuni, ”Kita tidak perlu  mengakui dosa-dosa 
kita supaya kita diampuni.9  
Joseph  Prince mengajarkan bahwa “strategi iblis adalah membuat Anda merasa 
tidak  layak untuk memasuki hadirat Tuhan. Tuhan akan memberikan  anda 1001 
macam alasan mengapa anda tidak layak untuk menerima  berkat-berkat Tuhan. Namun, 
sebenarnya apa pun perasaan salah anda atau  kebiasaan buruk yang telah menundukkan 
anda, darah Yesus menjaga anda  tetap bersih. Darah Yesus membuat anda layak 
mempunyai akses  terus-menerus kepada Tuhan Yang Mahatinggi. Karena Anda berada 
di bawah air terjun pengampunan ini, di mana setiap doa yang anda panjatkan 
sangat  bermanfaat. Penulis menanggapi perkataaan Joseph Prince ini akan meng-
akibatkan orang percaya merasa tidak perlu untuk mengoreksi diri atas dosa yang 
dilakukannya. 
Prince juga mengajarkan bahwa Roh Kudus tidak pernah menegur  anda tentang 
dosa-dosa anda. Ia tidak pernah menunjukkan kesalahan anda.10 tidak ada dosa yang 
dilakukan orang Kristen yang tidak dapat diampuni. 11  Kasih karunia bukan suatu 
teologi. Itu bukan suatu  topik yang dibicarakan. Itu bukan suatu dokrin. Itu adalah 
suatu Pribadi  dan nama-Nya adalah Yesus.12 Isu hyper-grace ini begitu populer pada 
masa kini.” Dalam menanggapinya, orang-orang Kristen telah terbagi-bagi menjadi 
beberapa kelompok. Ada yang bersikap acuh tak acuh terhadap ajaran hyper-grace ini, 
                                                             
mungkin karena ketidaktahuan tentang konsep tersebut atau memang tidak mau terlibat 
di dalam polemik yang berkepanjangan.   
Realita yang demikian telah menimbulkan persoalan teologis di dalam kekristen-
an, dengan pertanyaan utama, manakah posisi yang paling benar? Tulisan ini tidak 
sedang menempatkan diri dalam salah satu posisi di atas, tetapi mencoba menjawab 
persoalan tersebut dengan berefleksi secara lebih kritis terhadap berbagai posisi 
tersebut. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan di atas dengan cara menguji setiap 
pandangan dalam dua aspek utama: prasuposisi di balik konsep dan ajaran “hyper-
grace” serta metode penafsiran (prinsip-prinsip pemahaman Alkitab) terhadap teks-teks 
“Anugerah.” 
Baik mereka yang pro maupun yang kontra terhadap isu hyper-grace sesungguhnya 
memiliki beberapa prasuposisi yang sama. Keduanya sama-sama percaya bahwa, 
pertama, anugerah adalah alkitabiah. Pada umumnya anugerah dihubungkan secara 
langsung dengan tulisan Paulus dalam surat-suratnya, misalnya (Ef. 2:5; 8; Rm. 5:16; 
17; 2 Kor. 8:1; Flp. 3:9) Jadi, karena ada dan tercatat di dalam Alkitab maka konsep 
hyper-grace ini adalah alkitabiah.  
Kedua, benar bahwa anugerah Allah bukanlah usaha manusia. Di dalam Alkitab, 
tercatat dengan jelas dan konsisten bahwa Allah adalah pribadi yang berinisiatif untuk 
menyelamatkan manusia (Kej. 3:8-9; 21; 4:15; 6:12-22; 12:1-3; Yer. 1:5; Gal 1:5; Ef. 
1:4). Anugerahnya dapat dilihat baik di dalam Perjanjian Lama dan Baru. Teologi 
Reformasi Protestan mengikuti pendapat Augustinus (354-430) yang mengajarkan 
bahwa anugerah tidak tergantung pada syarat tertentu, melainkan harus dianggap 
sebagai pemberian belaka dari Allah. Para reformator maupun Augustinus menekankan 
anugerah sebagai kebaikan kehendak Allah yang ditunjukkan kepada orang berdosa, 
yang memberikannya dengan cara yang menyingkirkan semua jasa dari pihak orang 
berdosa.13 
Ketiga, “anugerah‟ merupakan pemberitaan paling sentral di dalam Perjanjian 
Baru, khususnya kitab-kitab injil dan surat-surat Paulus (Yoh. 1:17; 3:16; 4:1–42; 8:7; 
15:16; Rm. 3:24; 6:14 15:17, Ef. 2:4-6). Karena itu, anugerah adalah bagian integral 
dari pemberitaan tetang Injil. Dalam konteks ini, hyper-grace dianggap sebagai transisi 
dari hukum yang sebelunya yakni Taurat yang dianggap lebih relevan dan dibutuhkan 
pada zaman ini. 
Dari berbagai presuposisi di atas, yang ketiga adalah yang sering menimbulkan 
masalah dan menjadi akar perbedaan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap 
hyper-grace ini. Pertanyaan dasarnya adalah, “Apakah pemberitaan tentang Hukum 
“anugerah” yang diberitakan dalam Perjanjian Baru bertolak belakang dengan Hukum 
Taurat dalam Perjanjian Lama. Pertanyaan ini menyoal pada titik manakah penekanan 
yang relevan antara “anugerah” atau Hukum Taurat. Apakah penekanan penyataan di 
                                                             
atas lebih bertumpu pada perbedaan zaman?” Jawaban atas pertanyaan ini, nantinya, 
akan mempengaruhi pengertian yang benar akan persoalan “Hukum Taurat dan 
Anugerah.” Jadi, setidaknya ada tiga pandangan yang dipegang oleh berbagai 
pandangan yang ada, baik yang pro maupun kontra untuk menjawab pertanyaan apakah 
justru Hukum Taurat kontradiksi dengan “hukum anugerah”. 
 
Metodologi Joseph Prince 
Pandangan umum Joseph Prince adalah bahwa orang Kristen akan sukses. Itu jelas di 
subjudul dan bab pembuka, “Anda memang ditakdirkan untuk memerintah dalam hidup. 
Anda telah dipanggil oleh Tuhan untuk berhasil, menikmati kekayaan, kesehatan, dan 
kehidupan yang berkemenangan. Tuhan tidak ingin Anda menjalani kehidupan 
pecundang, kemiskinan, dan kegagalan. Ia telah memanggil Anda untuk menjadi kepala 
dan bukan ekor.
Namun apakah kesuksesan dan kemakmuran adalah sesuatu yang mutlak? 
Bagaimana panggilan untuk menderita dan dianiaya demi Injil, masih relevankah? Di 
mana panggilan untuk meniru dan menyerahkan hidup seperti yang Yesus lakukan? jika 
ajaran ini dipahami semata-mata hanya memamerkan hal-hal lahiriah maka itu  akan 
sangat berbahaya itu, karena ia bermain dalam Pandangan dunia yang begitu populer  
dengan keserakahan manusia namun jauh dari padangan yang alkitabiah. Teologi Prince 
ini mirip sekali dengan Teologi Suskes. Sebagaimana Herlianto memaparkan bahwa 
teologi sukses tidak lepas dari pengaruh perkembangan dunia yang makin lama makin 
materialistis dan bermewah-mewah, di mana uang dan materi (mammon) di puja-puja 
dan dikejar-kejar.
Dunia saat ini sedang memasuki suatu era yang terus menawarkan kemudahan, 
kepuasan dan rasa nyaman bagi manusia. Pada saat yang sama dalam dunia kerohanian 
juga banyak mengalami perkembangan pemahaman teologi yang seakan menjawab 
kebutuhan dan persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat masa kini. 
Pertanyaan yang sering dijumpai di lapangan adalah: Bagaimanakah hidup sebagai 
seorang yang telah menerima kasih karunia Tuhan di tengah keadaan dan era yang terus 
berkembang? 
Meskipun Joseph Prince banyak mengutip tulisan Paulus mengenai anugerah 
tetapi ia juga seolah-olah mengabaikan dan justru telah mencampuradukkan kebenaran 
sejati yang seharusnya tidak dapat diukur secara lahiriah (Fil. 3:3). Lebih jelasnya lagi 
menurut 1 Yohanes 2:16 “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan 
daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, 
melainkan dari dunia. Prince selalu menekankan “kekristenan bukan tentang melakukan 
yang benar untuk menjadi benar tetapi adalah tentang berfikir benar di dalam Yesus 
untuk menjadi benar. Prince menerima beberapa tipologi dalam Perjanjian Lama 
sebagai petunjuk kepada Kristus, di titik lain dia menyimpang ke dalam alegori: pada 
satu titik dia menyarankan pohon pengetahuan tentang kejahatan yang baik di Eden 
                                                            
adalah simbol hukum; di tempat lain ia memperlakukan Perjanjian Lama sebagai 
semacam kode untuk menemukan Kristus. 
Kelemahan yang paling serius dan menyulitkan pandangannya terhadap Perjanjian 
Lama adalah penanganan hukumnya. Baginya hukum itu sebagai hal yang buruk, 
sebuah perbudakan, karena itu identik dengan legalisme. Hukum adalah jalan menuju 
keselamatan melalui perbuatan baik yang tidak akan pernah berhasil. Penulis mencatat 
sedikitnya ada tiga hal yang begitu menonjol dalam pengajaran hyper-grace ini Joseph 
Prince: Salib Kristus bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga menghilangkan sifat 
dosa dalam diri orang percaya. Di dunia ini tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa 
dosa sama sekali. Pengakuan akan dosa hanya akan membuat orang percaya berpusat 
kepada diri sendiri dan bukan kepada Yesus.  
Ajaran tentang kekudusan/penyucian diri buat mereka adalah sebuah “kebohongan 
yang membunuh kerohanian.” Pembenaran secara otomatis, Prince menekankan Yesus 
telah mengampuni semua dosa kita, baik dosa masa lalu, sekarang dan masa depan.16 
Pembenaran itu memang diberikan oleh Allah dan tidak ada usaha manusiapun yang 
dapat mengusahakannya (justification). Dalam bukunya Prince berkata, “Sahabatku, 
Roh Yesus dalam Perjanjian Baru kasih karunia tidak sama dengn Roh Perjanjian Lama 
hukum Taurat pada zaman Elia. 17  Prince memberikan petunjuk dalam membaca 
Alkitab: “JIka anda membaca alkitab, pastikanlah untuk membaca semuanya dalam 
konteksnya. 18  Sementara Prince sering menafsirkan beberapa bagian Alkitab secara 
alegoris. 
Pemahaman terhadap teks-teks anugerah lebih banyak diperoleh melalui berbagai 
pengalaman hidup atau pelayanan daripada pemahaman Alkitab yang sesuai dengan 
prinsip dan metode penafsiran yang tepat. Hal ini sangat umum diajarkan di kalangan 
Pentakosta dan Karismatik. Seorang teolog Pentakosta, Gordon D. Fee, melakukan 
otokritik dengan mengatakan, “It is fair—and important—to note that in general 
Pentecostal’s experience has preceded their hermeneutics.”19 Pengalaman yang bersifat 
pentakostal telah mendahului penafsiran mereka. Selain itu, kelompok ini juga telah 
menyangkali prinsip eksegesis yang benar dengan melakukan hermeneutika praktis, 
“obey what should be taken literally; spiritualize, allegorize, or devotionalize the 
rest.”20 Maksudnya, teks-teks yang tidak dapat dipahami secara hurufiah akan langsung 
diapli-kasikan, sementara yang tidak akan dirohanikan, dialegorikan atau 
didevosionalkan. 
Akibat utama yang terjadi karena penggunaan cara yang demikian adalah bahwa 
pemahaman terhadap teks-teks tersebut menjadi tidak tepat. Tidak tepat, karena cara 
seperti ini memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi. Penafsir secara sengaja atau tidak 
sengaja dapat “memasukkan” unsur-unsur subyektif, seperti pengalaman, perasaan dan 
                                                            
pikirannya sendiri ke dalam teks dan memaknainya berdasarkan unsur-unsur tersebut 
(eisegesis), dan tidak berusaha “menarik keluar” makna dari dalam teks (exegesis).
Kesulitan akan muncul saat  pengalaman dari satu orang ke orang yang lain menjadi 
berbeda, dan saat  pengalaman ini masuk dalam proses pemaknaan teks, maka makna-
nya akan menjadi majemuk dan subjektif. Penafsiran yang demikian dalam konteks 
pascamodern disebut metode “reader’s response,” penafsiran yang menitikberatkan 
pada pemaknaan teks melalui apa tanggapan “pribadi” pembaca modern.
Dengan tidak menerapkan prinsip dan metode yang tepat, penafsiran terhadap 
teks-teks hyper-grace ini akan selalu “dipaksakan” dan “cocok/saling terkait” antara 
satu dengan yang lain. Ini adalah sebuah praktik penafsiran yang “proof-texting.”
Contoh praktisnya, kelompok ini percaya bahwa Allah, di dalam Yesus Kristus, telah 
menjanjikan anugerah yang di dalamnya keselamatan, kesuksesan, kesembuhan, 
kekayaan dan hidup yang berkelimpahan dalam kehidupan setiap orang percaya, dan 
hanya ketiadaan/ kekurangan iman yang dapat mencegah terealisasinya janji ini (Mat. 
9:35; Mrk. 6:5-6). 
 
Pengajaran mengenai kasih karunia ini sebenarnya sangat baik untuk diberitakan. Hanya 
saja pengajaran injil kasih karunia atau kasih karunia modern ini menjadi permasalahan 
dikarenakan teologi dasar atau teologi awal dari  pengajaran ini umumnya benar, tetapi 
implikasi dan aplikasi adalah salah atau menyimpang bahkan tidak lengkap. Jika 
demikian maka pengajaran ini tentunya akan menjadi bidah. “Bidah adalah di mana 
anda mengambil separuh kebenaran dan menjadikannya seluruh kebenaran.”24 Dan hal 
ini dapat berdampak serius pada gereja apabila tidak diberitakan secara benar. Michael 
L. Brown mengatakan: “Beberapa pengajar kasih karunia modern mengajarkan tentang 
kasih karunia dengan wawasan yang sama, sama seperti yang saya ajarkan dan percayai, 
namun mereka pun memperkenalkan sejumlah penyimpangan, yaitu penyimpangan 
yang berbahaya yang bisa membawa kepada kekeliruan, yang membuat orang-orang 
terbelenggu, dan bukannya dimerdekakan.”25  
Ajaran Prince tentang Hukum pada dasarnya adalah berbagai antinomianisme. Ini 
adalah gagasan bahwa "walaupun hukum moral dapat dan memang membawa 
seseorang ke pertobatan, ini tidak memiliki relevansi dengan kehidupan orang beriman 
                                                            
yang bertobat sesudahnya."26 Pengajaran Joseph Prince yang paling ambigu mengenai 
Hukum Taurat berdasarkan Efesus 2:15. Kata- kata di dalam ayat 15a merupakan salah 
satu bagian yang sangat sulit untuk ditafsirkan dalam paragraf yang begitu dalam 
dengan tataran teologis (ay. 14-18).27 Kata-kata ini tidak memiliki paralelisme di tempat 
lain dalam Perjanjian Baru, meskipun penumpukan ungkapan persamaan kata (sinonim) 
mengenai kata “hukum,” “perintah,” dan “ketentuan” sudah menjadi ciri khas dalam 
gaya tulis surat Efesus. 28  Dalam hal ini, penulis akan membahas secara literal dan 
gramatika mengenai maksud “pembatalan Hukum Taurat dengan segala perintah dan 
ketentuannya.” 
Perlu diketahui bahwa kata kerja katargesas dapat diterjemahkan sebagai 
“membatalkan.” Kata ini sendiri dapat memiliki makna “membuat tidak efektif, tidak 
berdaya, dan menghapuskan.”29 Kata ini juga digunakan oleh Paulus sebagai rujukan 
tentang penghapusan kesetiaan kepada Allah (Rom. 3:3) dan menghapuskan sesuatu 
yang ada (1 Kor. 1:28). Dalam hal ini, menurut penulis kata kerja katargesas 
(katargesas) yaitu “menghapuskan” dapat berarti bahwa Kristus dengan kematian-Nya 
membuat hukum tidak berdampak bagi orang Yahudi, maupun kepada orang non-
Yahudi. Kristus meniadakannya, sehingga dua kelompok tersebut tidak lagi mengikat 
kepada hukum Taurat. Kristus “membatalkan” permusuhan/perseteruan dengan 
menghapuskan hukum Taurat itu sendiri. Walter C. Kaiser lebih menyetujui bahwa ayat 
14 dan 15 tidak berbicara mengenai hukum Musa secara keseluruhan, melainkan 
persyaratan ritual dari hukum taurat itulah yang sudah berakhir, tetapi dasar mengenai 
hukum moral Allah tetap berlaku.30 
Refleksi dari keseluruhan diskusi dalam dua bagian utama di atas, ada beberapa 
sikap Kristen yang tepat yang harus diambil, misalnya oran Kristen tidak perlu alergi 
dengan isu hyper-grace. Hyper-grace adalah sebuah konsep yang alkitabiah, karena hal 
ini tercatat di dalam lusinan teks di dalam Alkitab. Hyper-grace telah menjadi bagian 
integral dari kerajaan Allah yang telah melembaga di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. 
Namun Secara biblika, penganut hyper-grace memiliki kekeliruan terhadap analisanya 
kepada doktrin-doktrin yang sangat mendasar.  
Ada ada 2 (dua) pemahaman dasar yang harus diperhatikan bagi orang-orang 
percaya. Pertama, pemahaman keselamatan bagi gerakan hyper-grace memiliki 
kekeliruan yang cukup besar. Memang perlu diketahui bahwa hyper-grace 
menjaminkan keselamatan secara rohani di sorga. Keselamatan ini dijamin bagi setiap 
                                                            
orang percaya, namun begitu pandangan yang keliru adalah keselamatan secara jasmani 
turut diperhatikan bagi pengagum hyper-grace. Dalam hal ini, keselamatan tersebut 
juga dapat memberikan “berkat, keberhasilan, kesembuhan, terobosan keuangan.” 
Penambahan arti ini dipandang sebagai sesuatu yang extra-biblica, karena tidak ada 
dasar yang kuat secara eksegesis terhadap pemahaman keselamatan seperti pemahaman 
hyper-grace. Extra-biblical ini terjadi saat  Andrew Wommack memahami Roma 1:16-
17 bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang dapat memperoleh kesembuhan, 
pembebasan, kemakmuran, untuk memperoleh segala sesuatu yang datang kepada orang 
percaya sejak dilahirkan kembali. Eksegesis terhadap Efesus 2:11-12 memberikan suatu 
pemahaman bahwa keselamatan didasarkan kepada pengoraban Kristus di kayu salib, 
sehingga menciptakan komunitas yang baru yaitu tubuh Kristus. Keselamatan ini 
didasarkan pada jaminan yang kekal bersama-sama dengan Tuhan di sorga (Fil. 3:20). 
Memang perlu untuk dibedakan antara keselamatan ini dan pemeliharaan Allah bagi 
orang percaya, karena hal tersebut terkait dengan providensi Allah kepada orang 
percaya. 
Kedua, gerakan hyper-grace sangat menolak Hukum Taurat baik dalam dasar 
terhadap keselamatan ataupun kegunaannya bagi orang percaya masa kini. Hal ini 
masih dipandang sebagai legalitas bagi orang-orang Yahudi yang tidak tepat 
keberlakuannya bagi orang percaya masa kini. Hukum Taurat dianggap sesuatu yang 
menghalang anugerah Allah bagi umat manusia untuk melihat dan menerima Sang 
Juruselamat yaitu Yesus Kristus. Namun begitu, penulis patut memperhatikan Efesus 
2:14-15 sebagai kajian yang penting berkaitan pemahaman tentang maksud dari 
“tembok  pemisah” dan “pembatalan hukum taurat.” Maksud dari “pembatalan hukum 
taurat” pada ayat 15 bukan merujuk kepada ketidakberlakuan hukum itu sendiri bagi 
orang percaya, melainkan paparan yang menjelaskan bahwa Yesus membatalkan hukum 
Taurat bukan sebagai syarat dalam memperoleh keselamatan di dalam diri-
Nya.“Pembatalan hukum menciptakan orang Yahudi dan non-Yahudi menjadi satu 
manusia baru di dalam diriNya (ay.15b) dan (2) memperdamaikan keduanya di dalam 
satu tubuh dengan Allah oleh salib (16a). Keberlakuan Hukum Taurat bagi masa kini 
harus diperhatikan secara keseluruhan, karena ada 3 (tiga) sifat pokok dalam hukum 
tersebut, yaitu: hukum ceremonial (upacara/ibadah), Sipil dan moral.  
Memang hukum ceremonial dan sipil tidak berlaku bagi masa kini karena memang 
kegunaannya bagi umat Israel, namun begitu masih ada prinsip-prinsip rohani yang 
patut diberlakukan bagi orang-orang percaya masa kini. Dari sisi yang lain, Hukum 
moral tetap berlaku bagi orang percaya masa kini sebagai pelajaran-pelajaran etika yang 
patut untuk diperhatikan dan diterapkan. Tampaknya gerakan hyper-grace tidak 
memperhatikan bagian ini sebagai sesuatu benang merah yang memiliki tujaun bagi 
orang percaya. Gerakan Tersebut terlalu memandang legalisme terhadap hukum taurat 
yang dipandang terlalu mengikat atau keterpaksaan yang harus diperbuat oleh orang-
orang percaya masa kini.  
Akhirnya, orang Kristen seharusnya lebih berhati-hati dan menjadi lebih kritis terhadap 
fenomena ajaran yang dinamakan hyper-grace (anugerah modern). Memahami bahwa 
dapat terjadi kekeliruan di dalam prasuposisi dan cara memahami teks-teks anugerah 
dan substansinya. Di dalam Alkitab, dicatat berbagai peringatan terhadap adanya ajaran 
palsu dari Iblis melalui orang-orang yang memberitakan tentang suatu ajaran yang 
hanya menyenangkan telinga, termasuk berita tentang “Injil anugerah”, yang ujungnya 
berakhir pada “penyesatan” dan perlawanan terhadap Allah (Kis. 20:30; Ef. 4:1; Kol. 
2:8; 2 Petrus 2:1; 2 Kor. 11:4; Gal. 1:6). Meski tidak bisa terlalu yakin siapa penyesat-
penyesat ini, tetapi orang Kristen diajarkan untuk “dapat membedakan” (1Kor. 12:10) 
mana yang berasal dari Tuhan dan mana yang bukan. Dengan belajar untuk 
membedakan ini, ia dapat bertumbuh menjadi lebih dewasa di dalam Kristus.