Tampilkan postingan dengan label teologi 15. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 15. Tampilkan semua postingan
teologi 15
By tuna at Januari 19, 2024
teologi 15
Belakangan ini topik mengenai “anugerah” (grace) juga menjadi diskusi dan perdebatan yang
marak dibicarakan di lingkungan gereja. Istilahnya biasa juga disebut “kasih karunia modern”
atau “Reformasi kasih karunia”. Istilah tersebut digunakan oleh sejumlah pengajar atau tokoh
dalam menjelaskan pemahaman teologi mereka mengenai kasih karunia yang mereka anggap
sebagai pewahyuan baru mengenai kasih karunia. Pengajaran tentang injil kasih karunia bukan
merujuk kepada suatu gereja tertentu, tetapi lebih kepada pengajaran atau pemahaman teologi
yang sedang merebak dengan sangat cepat ke berbagai gereja di seluruh dunia. Ada beberapa
tokoh yang menulis sejumlah buku yang di dalam buku mereka menjelaskan pengajaran injil
kasih karunia, beberapa diantaranya yang terkenal dan berpengaruh adalah Paul Ellis, Joseph
Prince, Steve McVey, Clark Whitten dan pengajar injil kasih karunia lainnya. Tidak dapat
disangkal Joseph Prince sebagai salah satu pengajar “anugerah” ini yang juga mempengaruhi
pandangan orang-orang Kristen di Singapura, Amerika dan Indonesia.
Pemikiran hypergrace yang banyak disinggung oleh Joseph Prince adalah pemahaman
yang sangat menekankan pada kasih karunia (grace) dan mengesampingkan pengajaran-
pengajaran penting lainnya seperti pengakuan dosa, hukum Taurat, kekudusan dan
ketekunan. Michael Brown menjelaskan pemahaman pengajar injil kasih karunia
sebagai berikut:
Jika anda mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan dan
sekarang sebagai orang percaya kita dipanggil oleh Tuhan mengerjakan
keselamatan kita dan mengejar kekudusan hati dan kehidupan dengan kata lain,
menjalani proses penyucian yang terus berlangsung anda sedang mengajarkan
tentang “modifikasi prilaku”, Anda ada dalam urusan “manajemen dosa”, anda
sedang menyebarkan “kebohongan yang membunuh kerohanian” seperti yang
diajarkan oleh Luther & Calvin, dan anda perlu menerima pewahyuan baru dari
reformasi baru ini, yaitu revolusi kasih karunia.
Pada dasarnya, kasih karunia adalah suatu berita berisi kasih Allah dan berita
pengampunan dari Bapa lewat karya Kristus di kayu salib yang harus disampaikan dan
dikabarkan kepada dunia. Wesley Brill mengatakan, “Kasih Karunia Allah mempersiap-
kan dan membawa orang kepada pertobatan.”2 Namun dalam hal ini berbeda dengan
pandangan teologi injil kasih karunia.
Dalam bukunya, Michael L. Brown memaparkan bahwa Joseph Prince mengarti-
kan ajaran hyper-grace untuk membantu pembaca modern memahami kepenuhan kasih
karunia, Prince akan memakai kata-kata “kemurahan yang tidak layak kita terima
dan kasih karunia adalah kemurahan Tuhan yang tidak pantas, tidak dapat diusahakan
dan tidak selayaknya kita terima.3
Tokoh lain yang terlebih dahulu mengajarkan tentang hyper-grace ini adalah Paul
Ellis, ia menceritakan kisah-kisah tentang anugerah yang radikal, membela orang-orang
berdosa, dan mengampuni yang tidak menunjukkan penyesalan. Dan dalam demonstrasi
kasih terbesar yang pernah dunia saksikan, Yesus menyerahkan nyawa-Nya sehingga
melalui-Nya kita bisa mendapat kehidupan sejati.4 Paul Ellis mengatakan, “Nasihat
untuk berbalik dari dosa bukanlah kabar baik. Bahkan itu bukanlah kabar, tetapi sebuah
pesan kuno yang berorientasi pada pekerjaan yang akan membuat anda berfokus pada
dosa dan bersikap introspektif. Itu adalah pesan dari sebagian besar Perjanjian Lama. Itu
bukan injil kasih karunia yang kita temukan dalam Perjanjian Baru.” 5 Pemberitaan
tentang kasih karunia bukan hanya berhenti saat seseorang menerima kasih karunia
itu tetapi merupakan suatu proses yang terus menerus berkelanjutan dalam kehidupan
orang percaya.
Sementara Charles Colson mengatakan “Tetapi Allah menuntut timbal balik atas
kehadiran-Nya. Ia menuntut kita mengidentikkan diri dengan-Nya, kita harus kudus
sebab Ia kudus.”6 Lanjut Anthony A. Hoekema menjelaskan “Jadi walaupun Allah
meregenerasi manusia dan memberikan kepada mereka kehidupan rohani yang baru,
tetapi orang-orang percaya memiliki tanggung jawab dalam proses keselamatan mereka,
dalam mempergunakan iman mereka dalam pengudusan dan ketekunan mereka.”
Sebutan hyper-grace sebenarnya bukanlah sebuah nama yang diberikan oleh Paul
Ellis untuk mengajar para jemaatnya tetapi muncul akibat perdebatan disebuah media.
Bagi Paul Ellis suatu serangan agresif terhadap injil anugerah. Serangan ini sudah
terlihat di media Kristen, blogosphere (kumpulan sebuah blog atau weblog yang saling
tersambung di dunia internet), dan dalam terbitan buku-buku dari para pengajar Alkitab
kenamaan. Paul Ellis pernah menemukan beberapa artikel dengan judul seperti
“Mengkonfrontasi Kekeliruan Hyper-Anugerah”, “Tipu Daya Hyper-Anugerah,” dan
judul ini aneh bagi Paul Ellis adalah “Apa yang Salah dengan Anugerah?3 Menyikapi
pengajaran hyper-grace ini pada Januari 2014, Dr. Michael L. Brown menerbitkan buku
berjudul Hyper Grace, Menyingkap Bahaya Kasih Karunia Modern, dalam bukunya ini,
Brown mencoba mengoreksi “beberapa penyimpangan dan kekeliruan serius” yang
dikhotbahkan sebagai bagian dari apa yang ia sebut “pesan anugerah modern.”
Brown menggambarkan para pengkotbah Hyper-Anugerah sebagai penentang
pertobatan dan pengakuan dosa, dan ia mengklaim kelompok pengkotbah Paul Ellis,
bahwa perkataan Yesus sudah tidak relevan bagi kita pada zaman ini. Kemudian, pada
September 2015, Paul Ellis menanggapi sebuah respon Michael L. Brown dan bagi
mereka yang penentang pesan kasih karunia modern dengan menjawab setiap tuduhan
yang diberikan oleh pembaca Kristen. Di dalam jawaban Ellis atas tuduhan-tuduhan
Brown, mengatakan bahwa Brown telah memberi pujian luar biasa kepada kelompok
yang mengajarkan dan menulis tentang injil anugerah. Dengan menjulukinya kelompok
pengajar hyper-grace sehingga menempatkan para pengajar-pengajarnya dalam kelom-
pok istimewa. Paul Ellis menjawab Kritik Brown dan menguraikan banyak distorsi yang
ada dalam bukunya, dengan hati terbuka Elli menerima julukan yang diberikan oleh
pengkritik ajaran mereka dengan nama “hyper-grace”, ia mengutip kebenaran Alkitab
dalam Yohanes 1:16-17, Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih
karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih
karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Mulai dari situlah Paul Ellis
menyebut Injil anugerah sebagai pesan anugerah modern atau Injil Hyper-Anugerah.
Sebagai pengkhotbah “anugerah modern” ajaran ini jugalah yang mendorong
popularitas Joseph Prince dengan mendadak bukan karena kharisma maupun pemasaran
yang hebat. Joseph Prince mengatakan itu adalah bukti pesan dalam pelayanannya, yang
dia sebut "Injil Kasih Karunia. Prince dalam Kata Pengantar-nya mengaku bahwa ia
mendapat “suara Tuhan” saat ia sedang dalam perjalanan liburan di Pegunungan
Alpen, tahun 1997. Menurutnya, Tuhan berkata bahwa ia tidak mengkhotbahkan kasih
karunia-Nya. Tuhan berkata, “Setiap kali engkau mengkhotbahkan kasih karunia,
engkau menyampaikannya dengan mencampuradukkan hukum Taurat. Engkau
berusaha menyeimbangkan kasih karunia dengan hukum Taurat seperti banyak
pengkhotbah lain, dan saat engkau menyeimbangkan kasih karunia, engkau
menetralkannya. Engkau tidak dapat memasukkan anggur baru ke dalam kantung
anggur yang lama. Engkau tidak bisa mencampuradukkan kasih karunia-Ku dengan
hukum Taurat.”
Sebelum memahami hakikat ajaran Joseph Prince mengenai hyper-grace, maka
perlu untuk meninjau persuposisi dibalik ajaran “hypergrace” Joseph Prince. Selain
daripada pesan tentang mengalami hidup yang berkemenangan, sukses, kaya terdapat
tiga persoalan teologis mengenai “anugerah” yang berkaitan dengan aspek-aspek
soteriologi lainnya yang dihadapi oleh gereja berkaitan dengan doktrin pengudusan,
yakni: a) kaitan antara anugerah Allah dalam pengudusan dengan iman; b) kaitan antara
pengudusan dan pembenaran; dan c) tingkat pengudusan dalam hidup sekarang8
Beberapa istilah lain bagi pengajaran kasih karunia yang berlebihan ini, seperti:
Radical grace, modern grace, grace revolution, gospel revolusion, cheap grace, atau
unconditional Internal Security. Namun dalam tulisan ini penulis akan memakai
sebutan hyper-grace seperti yang Michael Brown munculkan. Berikut adalah penjelasan
ajaran kasih karunia yang disebut dengan “hyper-grace”.
Hyper-grace adalah sebuah istilah yang terdiri dari gabungan dua kata; „Hyper’
yang berarti „berlebihan,‟ dan „grace‟ yang berarti „Anugerah atau kasih karunia‟.
Grace = Kasih, Karunia = Anugerah adalah pemberian Allah kepada manusia. Allah
penuh anugerah, anugerah yang berlimpah-limpah dan tak berkesudahan. Dalam
Pengajaran-nya Prince memaparkan ciri-ciri berita atau ajaran “anugerah” yang begitu
kontroversial mengenai anugerah, yang menyebutkan bahwa orang percaya tidak perlu
lagi bertanggung jawab atas dosa-dosanya yang diperbuatnya sekarang dan meminta
ampun karena secara otomatis sudah diampuni, ”Kita tidak perlu mengakui dosa-dosa
kita supaya kita diampuni.9
Joseph Prince mengajarkan bahwa “strategi iblis adalah membuat Anda merasa
tidak layak untuk memasuki hadirat Tuhan. Tuhan akan memberikan anda 1001
macam alasan mengapa anda tidak layak untuk menerima berkat-berkat Tuhan. Namun,
sebenarnya apa pun perasaan salah anda atau kebiasaan buruk yang telah menundukkan
anda, darah Yesus menjaga anda tetap bersih. Darah Yesus membuat anda layak
mempunyai akses terus-menerus kepada Tuhan Yang Mahatinggi. Karena Anda berada
di bawah air terjun pengampunan ini, di mana setiap doa yang anda panjatkan
sangat bermanfaat. Penulis menanggapi perkataaan Joseph Prince ini akan meng-
akibatkan orang percaya merasa tidak perlu untuk mengoreksi diri atas dosa yang
dilakukannya.
Prince juga mengajarkan bahwa Roh Kudus tidak pernah menegur anda tentang
dosa-dosa anda. Ia tidak pernah menunjukkan kesalahan anda.10 tidak ada dosa yang
dilakukan orang Kristen yang tidak dapat diampuni. 11 Kasih karunia bukan suatu
teologi. Itu bukan suatu topik yang dibicarakan. Itu bukan suatu dokrin. Itu adalah
suatu Pribadi dan nama-Nya adalah Yesus.12 Isu hyper-grace ini begitu populer pada
masa kini.” Dalam menanggapinya, orang-orang Kristen telah terbagi-bagi menjadi
beberapa kelompok. Ada yang bersikap acuh tak acuh terhadap ajaran hyper-grace ini,
mungkin karena ketidaktahuan tentang konsep tersebut atau memang tidak mau terlibat
di dalam polemik yang berkepanjangan.
Realita yang demikian telah menimbulkan persoalan teologis di dalam kekristen-
an, dengan pertanyaan utama, manakah posisi yang paling benar? Tulisan ini tidak
sedang menempatkan diri dalam salah satu posisi di atas, tetapi mencoba menjawab
persoalan tersebut dengan berefleksi secara lebih kritis terhadap berbagai posisi
tersebut. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan di atas dengan cara menguji setiap
pandangan dalam dua aspek utama: prasuposisi di balik konsep dan ajaran “hyper-
grace” serta metode penafsiran (prinsip-prinsip pemahaman Alkitab) terhadap teks-teks
“Anugerah.”
Baik mereka yang pro maupun yang kontra terhadap isu hyper-grace sesungguhnya
memiliki beberapa prasuposisi yang sama. Keduanya sama-sama percaya bahwa,
pertama, anugerah adalah alkitabiah. Pada umumnya anugerah dihubungkan secara
langsung dengan tulisan Paulus dalam surat-suratnya, misalnya (Ef. 2:5; 8; Rm. 5:16;
17; 2 Kor. 8:1; Flp. 3:9) Jadi, karena ada dan tercatat di dalam Alkitab maka konsep
hyper-grace ini adalah alkitabiah.
Kedua, benar bahwa anugerah Allah bukanlah usaha manusia. Di dalam Alkitab,
tercatat dengan jelas dan konsisten bahwa Allah adalah pribadi yang berinisiatif untuk
menyelamatkan manusia (Kej. 3:8-9; 21; 4:15; 6:12-22; 12:1-3; Yer. 1:5; Gal 1:5; Ef.
1:4). Anugerahnya dapat dilihat baik di dalam Perjanjian Lama dan Baru. Teologi
Reformasi Protestan mengikuti pendapat Augustinus (354-430) yang mengajarkan
bahwa anugerah tidak tergantung pada syarat tertentu, melainkan harus dianggap
sebagai pemberian belaka dari Allah. Para reformator maupun Augustinus menekankan
anugerah sebagai kebaikan kehendak Allah yang ditunjukkan kepada orang berdosa,
yang memberikannya dengan cara yang menyingkirkan semua jasa dari pihak orang
berdosa.13
Ketiga, “anugerah‟ merupakan pemberitaan paling sentral di dalam Perjanjian
Baru, khususnya kitab-kitab injil dan surat-surat Paulus (Yoh. 1:17; 3:16; 4:1–42; 8:7;
15:16; Rm. 3:24; 6:14 15:17, Ef. 2:4-6). Karena itu, anugerah adalah bagian integral
dari pemberitaan tetang Injil. Dalam konteks ini, hyper-grace dianggap sebagai transisi
dari hukum yang sebelunya yakni Taurat yang dianggap lebih relevan dan dibutuhkan
pada zaman ini.
Dari berbagai presuposisi di atas, yang ketiga adalah yang sering menimbulkan
masalah dan menjadi akar perbedaan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap
hyper-grace ini. Pertanyaan dasarnya adalah, “Apakah pemberitaan tentang Hukum
“anugerah” yang diberitakan dalam Perjanjian Baru bertolak belakang dengan Hukum
Taurat dalam Perjanjian Lama. Pertanyaan ini menyoal pada titik manakah penekanan
yang relevan antara “anugerah” atau Hukum Taurat. Apakah penekanan penyataan di
atas lebih bertumpu pada perbedaan zaman?” Jawaban atas pertanyaan ini, nantinya,
akan mempengaruhi pengertian yang benar akan persoalan “Hukum Taurat dan
Anugerah.” Jadi, setidaknya ada tiga pandangan yang dipegang oleh berbagai
pandangan yang ada, baik yang pro maupun kontra untuk menjawab pertanyaan apakah
justru Hukum Taurat kontradiksi dengan “hukum anugerah”.
Metodologi Joseph Prince
Pandangan umum Joseph Prince adalah bahwa orang Kristen akan sukses. Itu jelas di
subjudul dan bab pembuka, “Anda memang ditakdirkan untuk memerintah dalam hidup.
Anda telah dipanggil oleh Tuhan untuk berhasil, menikmati kekayaan, kesehatan, dan
kehidupan yang berkemenangan. Tuhan tidak ingin Anda menjalani kehidupan
pecundang, kemiskinan, dan kegagalan. Ia telah memanggil Anda untuk menjadi kepala
dan bukan ekor.
Namun apakah kesuksesan dan kemakmuran adalah sesuatu yang mutlak?
Bagaimana panggilan untuk menderita dan dianiaya demi Injil, masih relevankah? Di
mana panggilan untuk meniru dan menyerahkan hidup seperti yang Yesus lakukan? jika
ajaran ini dipahami semata-mata hanya memamerkan hal-hal lahiriah maka itu akan
sangat berbahaya itu, karena ia bermain dalam Pandangan dunia yang begitu populer
dengan keserakahan manusia namun jauh dari padangan yang alkitabiah. Teologi Prince
ini mirip sekali dengan Teologi Suskes. Sebagaimana Herlianto memaparkan bahwa
teologi sukses tidak lepas dari pengaruh perkembangan dunia yang makin lama makin
materialistis dan bermewah-mewah, di mana uang dan materi (mammon) di puja-puja
dan dikejar-kejar.
Dunia saat ini sedang memasuki suatu era yang terus menawarkan kemudahan,
kepuasan dan rasa nyaman bagi manusia. Pada saat yang sama dalam dunia kerohanian
juga banyak mengalami perkembangan pemahaman teologi yang seakan menjawab
kebutuhan dan persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat masa kini.
Pertanyaan yang sering dijumpai di lapangan adalah: Bagaimanakah hidup sebagai
seorang yang telah menerima kasih karunia Tuhan di tengah keadaan dan era yang terus
berkembang?
Meskipun Joseph Prince banyak mengutip tulisan Paulus mengenai anugerah
tetapi ia juga seolah-olah mengabaikan dan justru telah mencampuradukkan kebenaran
sejati yang seharusnya tidak dapat diukur secara lahiriah (Fil. 3:3). Lebih jelasnya lagi
menurut 1 Yohanes 2:16 “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan
daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa,
melainkan dari dunia. Prince selalu menekankan “kekristenan bukan tentang melakukan
yang benar untuk menjadi benar tetapi adalah tentang berfikir benar di dalam Yesus
untuk menjadi benar. Prince menerima beberapa tipologi dalam Perjanjian Lama
sebagai petunjuk kepada Kristus, di titik lain dia menyimpang ke dalam alegori: pada
satu titik dia menyarankan pohon pengetahuan tentang kejahatan yang baik di Eden
adalah simbol hukum; di tempat lain ia memperlakukan Perjanjian Lama sebagai
semacam kode untuk menemukan Kristus.
Kelemahan yang paling serius dan menyulitkan pandangannya terhadap Perjanjian
Lama adalah penanganan hukumnya. Baginya hukum itu sebagai hal yang buruk,
sebuah perbudakan, karena itu identik dengan legalisme. Hukum adalah jalan menuju
keselamatan melalui perbuatan baik yang tidak akan pernah berhasil. Penulis mencatat
sedikitnya ada tiga hal yang begitu menonjol dalam pengajaran hyper-grace ini Joseph
Prince: Salib Kristus bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga menghilangkan sifat
dosa dalam diri orang percaya. Di dunia ini tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa
dosa sama sekali. Pengakuan akan dosa hanya akan membuat orang percaya berpusat
kepada diri sendiri dan bukan kepada Yesus.
Ajaran tentang kekudusan/penyucian diri buat mereka adalah sebuah “kebohongan
yang membunuh kerohanian.” Pembenaran secara otomatis, Prince menekankan Yesus
telah mengampuni semua dosa kita, baik dosa masa lalu, sekarang dan masa depan.16
Pembenaran itu memang diberikan oleh Allah dan tidak ada usaha manusiapun yang
dapat mengusahakannya (justification). Dalam bukunya Prince berkata, “Sahabatku,
Roh Yesus dalam Perjanjian Baru kasih karunia tidak sama dengn Roh Perjanjian Lama
hukum Taurat pada zaman Elia. 17 Prince memberikan petunjuk dalam membaca
Alkitab: “JIka anda membaca alkitab, pastikanlah untuk membaca semuanya dalam
konteksnya. 18 Sementara Prince sering menafsirkan beberapa bagian Alkitab secara
alegoris.
Pemahaman terhadap teks-teks anugerah lebih banyak diperoleh melalui berbagai
pengalaman hidup atau pelayanan daripada pemahaman Alkitab yang sesuai dengan
prinsip dan metode penafsiran yang tepat. Hal ini sangat umum diajarkan di kalangan
Pentakosta dan Karismatik. Seorang teolog Pentakosta, Gordon D. Fee, melakukan
otokritik dengan mengatakan, “It is fair—and important—to note that in general
Pentecostal’s experience has preceded their hermeneutics.”19 Pengalaman yang bersifat
pentakostal telah mendahului penafsiran mereka. Selain itu, kelompok ini juga telah
menyangkali prinsip eksegesis yang benar dengan melakukan hermeneutika praktis,
“obey what should be taken literally; spiritualize, allegorize, or devotionalize the
rest.”20 Maksudnya, teks-teks yang tidak dapat dipahami secara hurufiah akan langsung
diapli-kasikan, sementara yang tidak akan dirohanikan, dialegorikan atau
didevosionalkan.
Akibat utama yang terjadi karena penggunaan cara yang demikian adalah bahwa
pemahaman terhadap teks-teks tersebut menjadi tidak tepat. Tidak tepat, karena cara
seperti ini memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi. Penafsir secara sengaja atau tidak
sengaja dapat “memasukkan” unsur-unsur subyektif, seperti pengalaman, perasaan dan
pikirannya sendiri ke dalam teks dan memaknainya berdasarkan unsur-unsur tersebut
(eisegesis), dan tidak berusaha “menarik keluar” makna dari dalam teks (exegesis).
Kesulitan akan muncul saat pengalaman dari satu orang ke orang yang lain menjadi
berbeda, dan saat pengalaman ini masuk dalam proses pemaknaan teks, maka makna-
nya akan menjadi majemuk dan subjektif. Penafsiran yang demikian dalam konteks
pascamodern disebut metode “reader’s response,” penafsiran yang menitikberatkan
pada pemaknaan teks melalui apa tanggapan “pribadi” pembaca modern.
Dengan tidak menerapkan prinsip dan metode yang tepat, penafsiran terhadap
teks-teks hyper-grace ini akan selalu “dipaksakan” dan “cocok/saling terkait” antara
satu dengan yang lain. Ini adalah sebuah praktik penafsiran yang “proof-texting.”
Contoh praktisnya, kelompok ini percaya bahwa Allah, di dalam Yesus Kristus, telah
menjanjikan anugerah yang di dalamnya keselamatan, kesuksesan, kesembuhan,
kekayaan dan hidup yang berkelimpahan dalam kehidupan setiap orang percaya, dan
hanya ketiadaan/ kekurangan iman yang dapat mencegah terealisasinya janji ini (Mat.
9:35; Mrk. 6:5-6).
Pengajaran mengenai kasih karunia ini sebenarnya sangat baik untuk diberitakan. Hanya
saja pengajaran injil kasih karunia atau kasih karunia modern ini menjadi permasalahan
dikarenakan teologi dasar atau teologi awal dari pengajaran ini umumnya benar, tetapi
implikasi dan aplikasi adalah salah atau menyimpang bahkan tidak lengkap. Jika
demikian maka pengajaran ini tentunya akan menjadi bidah. “Bidah adalah di mana
anda mengambil separuh kebenaran dan menjadikannya seluruh kebenaran.”24 Dan hal
ini dapat berdampak serius pada gereja apabila tidak diberitakan secara benar. Michael
L. Brown mengatakan: “Beberapa pengajar kasih karunia modern mengajarkan tentang
kasih karunia dengan wawasan yang sama, sama seperti yang saya ajarkan dan percayai,
namun mereka pun memperkenalkan sejumlah penyimpangan, yaitu penyimpangan
yang berbahaya yang bisa membawa kepada kekeliruan, yang membuat orang-orang
terbelenggu, dan bukannya dimerdekakan.”25
Ajaran Prince tentang Hukum pada dasarnya adalah berbagai antinomianisme. Ini
adalah gagasan bahwa "walaupun hukum moral dapat dan memang membawa
seseorang ke pertobatan, ini tidak memiliki relevansi dengan kehidupan orang beriman
yang bertobat sesudahnya."26 Pengajaran Joseph Prince yang paling ambigu mengenai
Hukum Taurat berdasarkan Efesus 2:15. Kata- kata di dalam ayat 15a merupakan salah
satu bagian yang sangat sulit untuk ditafsirkan dalam paragraf yang begitu dalam
dengan tataran teologis (ay. 14-18).27 Kata-kata ini tidak memiliki paralelisme di tempat
lain dalam Perjanjian Baru, meskipun penumpukan ungkapan persamaan kata (sinonim)
mengenai kata “hukum,” “perintah,” dan “ketentuan” sudah menjadi ciri khas dalam
gaya tulis surat Efesus. 28 Dalam hal ini, penulis akan membahas secara literal dan
gramatika mengenai maksud “pembatalan Hukum Taurat dengan segala perintah dan
ketentuannya.”
Perlu diketahui bahwa kata kerja katargesas dapat diterjemahkan sebagai
“membatalkan.” Kata ini sendiri dapat memiliki makna “membuat tidak efektif, tidak
berdaya, dan menghapuskan.”29 Kata ini juga digunakan oleh Paulus sebagai rujukan
tentang penghapusan kesetiaan kepada Allah (Rom. 3:3) dan menghapuskan sesuatu
yang ada (1 Kor. 1:28). Dalam hal ini, menurut penulis kata kerja katargesas
(katargesas) yaitu “menghapuskan” dapat berarti bahwa Kristus dengan kematian-Nya
membuat hukum tidak berdampak bagi orang Yahudi, maupun kepada orang non-
Yahudi. Kristus meniadakannya, sehingga dua kelompok tersebut tidak lagi mengikat
kepada hukum Taurat. Kristus “membatalkan” permusuhan/perseteruan dengan
menghapuskan hukum Taurat itu sendiri. Walter C. Kaiser lebih menyetujui bahwa ayat
14 dan 15 tidak berbicara mengenai hukum Musa secara keseluruhan, melainkan
persyaratan ritual dari hukum taurat itulah yang sudah berakhir, tetapi dasar mengenai
hukum moral Allah tetap berlaku.30
Refleksi dari keseluruhan diskusi dalam dua bagian utama di atas, ada beberapa
sikap Kristen yang tepat yang harus diambil, misalnya oran Kristen tidak perlu alergi
dengan isu hyper-grace. Hyper-grace adalah sebuah konsep yang alkitabiah, karena hal
ini tercatat di dalam lusinan teks di dalam Alkitab. Hyper-grace telah menjadi bagian
integral dari kerajaan Allah yang telah melembaga di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Namun Secara biblika, penganut hyper-grace memiliki kekeliruan terhadap analisanya
kepada doktrin-doktrin yang sangat mendasar.
Ada ada 2 (dua) pemahaman dasar yang harus diperhatikan bagi orang-orang
percaya. Pertama, pemahaman keselamatan bagi gerakan hyper-grace memiliki
kekeliruan yang cukup besar. Memang perlu diketahui bahwa hyper-grace
menjaminkan keselamatan secara rohani di sorga. Keselamatan ini dijamin bagi setiap
orang percaya, namun begitu pandangan yang keliru adalah keselamatan secara jasmani
turut diperhatikan bagi pengagum hyper-grace. Dalam hal ini, keselamatan tersebut
juga dapat memberikan “berkat, keberhasilan, kesembuhan, terobosan keuangan.”
Penambahan arti ini dipandang sebagai sesuatu yang extra-biblica, karena tidak ada
dasar yang kuat secara eksegesis terhadap pemahaman keselamatan seperti pemahaman
hyper-grace. Extra-biblical ini terjadi saat Andrew Wommack memahami Roma 1:16-
17 bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang dapat memperoleh kesembuhan,
pembebasan, kemakmuran, untuk memperoleh segala sesuatu yang datang kepada orang
percaya sejak dilahirkan kembali. Eksegesis terhadap Efesus 2:11-12 memberikan suatu
pemahaman bahwa keselamatan didasarkan kepada pengoraban Kristus di kayu salib,
sehingga menciptakan komunitas yang baru yaitu tubuh Kristus. Keselamatan ini
didasarkan pada jaminan yang kekal bersama-sama dengan Tuhan di sorga (Fil. 3:20).
Memang perlu untuk dibedakan antara keselamatan ini dan pemeliharaan Allah bagi
orang percaya, karena hal tersebut terkait dengan providensi Allah kepada orang
percaya.
Kedua, gerakan hyper-grace sangat menolak Hukum Taurat baik dalam dasar
terhadap keselamatan ataupun kegunaannya bagi orang percaya masa kini. Hal ini
masih dipandang sebagai legalitas bagi orang-orang Yahudi yang tidak tepat
keberlakuannya bagi orang percaya masa kini. Hukum Taurat dianggap sesuatu yang
menghalang anugerah Allah bagi umat manusia untuk melihat dan menerima Sang
Juruselamat yaitu Yesus Kristus. Namun begitu, penulis patut memperhatikan Efesus
2:14-15 sebagai kajian yang penting berkaitan pemahaman tentang maksud dari
“tembok pemisah” dan “pembatalan hukum taurat.” Maksud dari “pembatalan hukum
taurat” pada ayat 15 bukan merujuk kepada ketidakberlakuan hukum itu sendiri bagi
orang percaya, melainkan paparan yang menjelaskan bahwa Yesus membatalkan hukum
Taurat bukan sebagai syarat dalam memperoleh keselamatan di dalam diri-
Nya.“Pembatalan hukum menciptakan orang Yahudi dan non-Yahudi menjadi satu
manusia baru di dalam diriNya (ay.15b) dan (2) memperdamaikan keduanya di dalam
satu tubuh dengan Allah oleh salib (16a). Keberlakuan Hukum Taurat bagi masa kini
harus diperhatikan secara keseluruhan, karena ada 3 (tiga) sifat pokok dalam hukum
tersebut, yaitu: hukum ceremonial (upacara/ibadah), Sipil dan moral.
Memang hukum ceremonial dan sipil tidak berlaku bagi masa kini karena memang
kegunaannya bagi umat Israel, namun begitu masih ada prinsip-prinsip rohani yang
patut diberlakukan bagi orang-orang percaya masa kini. Dari sisi yang lain, Hukum
moral tetap berlaku bagi orang percaya masa kini sebagai pelajaran-pelajaran etika yang
patut untuk diperhatikan dan diterapkan. Tampaknya gerakan hyper-grace tidak
memperhatikan bagian ini sebagai sesuatu benang merah yang memiliki tujaun bagi
orang percaya. Gerakan Tersebut terlalu memandang legalisme terhadap hukum taurat
yang dipandang terlalu mengikat atau keterpaksaan yang harus diperbuat oleh orang-
orang percaya masa kini.
Akhirnya, orang Kristen seharusnya lebih berhati-hati dan menjadi lebih kritis terhadap
fenomena ajaran yang dinamakan hyper-grace (anugerah modern). Memahami bahwa
dapat terjadi kekeliruan di dalam prasuposisi dan cara memahami teks-teks anugerah
dan substansinya. Di dalam Alkitab, dicatat berbagai peringatan terhadap adanya ajaran
palsu dari Iblis melalui orang-orang yang memberitakan tentang suatu ajaran yang
hanya menyenangkan telinga, termasuk berita tentang “Injil anugerah”, yang ujungnya
berakhir pada “penyesatan” dan perlawanan terhadap Allah (Kis. 20:30; Ef. 4:1; Kol.
2:8; 2 Petrus 2:1; 2 Kor. 11:4; Gal. 1:6). Meski tidak bisa terlalu yakin siapa penyesat-
penyesat ini, tetapi orang Kristen diajarkan untuk “dapat membedakan” (1Kor. 12:10)
mana yang berasal dari Tuhan dan mana yang bukan. Dengan belajar untuk
membedakan ini, ia dapat bertumbuh menjadi lebih dewasa di dalam Kristus.