Tampilkan postingan dengan label islam 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 1. Tampilkan semua postingan
islam 1
Sekali seseorang menyatakan dirinya telah beriman—melalui penyebutan dua ka-
limat syahadat, maka dengan sendirinya ia telah menerangkan status dirinya dalam keadaan
sebagai muslim. Pencapaian pada penyebutan kata dua kalimat syahadat, sesungguhnya,
telah menandai seseorang memasuki fase kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan yang
dinilai sama sekali baru dalam diri seorang muslim, yang kemudian menjadi identik dengan
perubahan total, sekiranya mengikuti bahasa al-Qur’an, berarti seseorang telah menerima
apa saja dalam bentuk dan keadaan apapun sebagai sebuah konsekuensi, termasuk penetapan
konsepsi Allah sebagai Tuhan yang berkuasa mutlak.
Dikarenakan manusia (insan) dalam pengertian hamba (‘abd) telah menempatkan
Tuhan sebagai Penguasa Mutlak, maka yang diperlukan oleh seorang hamba adalah pengab-
dian kepada-Nya. saat pengabdian ini terbentuk meski secara sepihak (tanpa paksaan; tan-
pa syarat oleh hamba), maka yang menjadi perhatian utama berikutnya adalah posisi seorang
hamba (‘abd) tentu harus berbuat dan bertingkah laku layaknya seorang hamba. Penekanan
pada dimensi pengabdian seorang hamba kepada Tuhan-Nya adalah reaksi al-Qur’an yang
bernilai teosentris, bahwa Tuhan yang pantas disembah dan Dia yang menguasai langit dan
bumi; dan ini dapat ditunjukkan dengan jelas pada ayat berikut ini:
Artinya: “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di
antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya.
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?.2
Apa yang melandasi uraian di atas, kiranya bertujuan memberi sebuah gambaran
di mana seorang muslim-Islam atau kata kerjanya, aslama berdasarkan pengertian yang di-
gunakan dalam frasa aslama wajha-hu li-Allahi, yang secara harfiah berarti, “Ia telah me-
nyerahkan wajahnya kepada Allah”,3 makna sesungguhnya adalah seseorang yang dengan
sukarela menyerahkan dirinya kepada kehendak Ilahi dan mempercayakan dirinya hanya
sepenuhnya kepada Allah. Alasan ini telah dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 128 se-
bagai berikut:
Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada
Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”.
Supaya kajian ini lebih mengarah dalam konsep eskatologis, maka eksistensi mati
dan hidup adalah sebuah peniscayaan yang patut diterima dan diyakini oleh manusia seb-
agai muslim. Penerimaan dalam konteks teologi misalnya, sesungguhnya mati dan hidup
adalah sebuah rantai kehidupan yang saling menghubungkan—yakni sesuatu yang mewakili
tahap transisi antara dua wilayah (kutub A sebagai sebuah wilayah kematian dan kutub B
sebagai wilayah kehidupan). Kedua wilayah ini, antara mati dan hidup, dalam bahasa al-
Qur’an merupakan bagian yang sama menuju kehidupan yang abadi.4 Karenanya, kedua
pemahaman antara mati dan hidup menjadi lebih khas, jika tidak dikatakan identik, di mana
al-Qur’an telah memainkan peranan penting menginformasikan kedua kata ini berdasarkan
konteks apa saja sebagai manifestasi yang pasti terniscayakan. Perhatian yang dinilai pent-
ing ini, oleh al-Qur’an meski diklasifikasi sebagai kasus biasa “nasib manusia”—mati dan
hidup—namun itu tetap memiliki magnet yang sama dalam konteks sebagai suatu pencip-
taan. Artinya, ada yang menciptakan akan kematian sebagaimana penciptaan adanya sebuah
kehidupan.
Artinya: “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di
dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak
lain hanyalah menduga-duga saja”.
Penegasan pada ayat di atas, sesungguhnya, kematian berdasarkan versi masyara-
kat jahiliyah Pagan sangatlah terikat oleh masa (dahr). Informasi al-Qur’an ini menandakan
dampak nihilisme yang begitu pesimistik di kalangan masyarakat Arab Pagan menyangkut
kematian; dan pemahaman ini ternyata tidak termanifestasi dalam konteks kehidupan. Ke-
tentuan ini mengembalikan pada tingkat pemahaman Arab Pagan terkait gagasan kebangki-
tan kembali tubuh yang telah mati, dan biasanya dinyatakan melalui kata-kata ba’atha dan
anshara (nashr).
Artinya: “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan
kita di dunia Ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.”
Pengingkaran terhadap adanya kematian (maut) tanpa harus menyilang pemahaman yang disebabkan oleh masa (dahr), sebagaimana argumentasi atau ekstensifikasi Arab
Jahiliyah, al-Qur’an dengan tegas memberi posisi yang khas bahwa kematian (sebagai ses-
uatu yang natural-biologis; sebagai fenomena),7 yang merupakan titik akhir dari sebuah ke-
hidupan dunia. Atau dengan kata lain, bahwa titik akhir kematian Arab Pagan adalah dahr
(sebagai nasib; determinasi). Adapun titik akhir kematian, dalam konsep al-Qur’an adalah
ajal. Kata ajal, atau hari (waktu) yang telah dijanjikan (ditetapkan) adalah struktur kata yang
memberi sinyal yang pasti dan mutlak dan bukan dari hasil imajinasi yang tidak berdasar
layaknya pandangan Arab Pagan. Ini dibutikan sesuai dengan ayat berikut di bawah ini:
Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh…”?8
Demikian pula ayat berikut ini menjelaskan sebagai berikut:
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya
ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah
mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”
Dengan demikian, bagaimanapun keniscayaan mati dalam bentuk ajal, menurut
al-Qur’an tidak menuju pada pandangan nihilisme, sebagaimana yang dipahami oleh ma-
syarakat Arab Pagan, lantaran ajal dalam al-Qur’an bukanlah titik akhir eksistensi manusia.
Sebaliknya, kematian merupakan permualaan kehidupan yang sama sekali baru dan lain,
kehidupan abadi (khulud). Dalam sistem ini, ajal (kematian) pada setiap orang tidak lain
adalah sebagai tahap pertengahan dari seluruh rentang kehidupannya, suatu titik balik dalam
sejarah kehidupan yang terletak antara dunia dan akhirat.
B. Konsep Mati dan Hidup
Dari segi ke-bahasaan, istilah kata mati (al-mawt) memiliki korelasi yang sama
dengan istilah pancaindera, akal dan Iain-lain, Korelasi ini mengandung pemahaman
bahwa, kematian yang dimaksud berarti telah kehilangan kekuatan atau kemampuan
untuk hidup; dan ini sama seperti seseorang telah kehilangan sejumlah organ tubuh,
yang menyebabkan seseorang tidak dapat merasakan atau melihat sesuatu. Mati
mengindikasikan berlawanan dengan kata hidup (al-hayah),14 meski kemudian kedua
kata ini murupakan ciptaan Allah swt. Namun demikian, mati dan hidup berkaitan erat
dengan kedudukan dan perwujudan roh.
Dalam al-Qur’an, perkataan al-mawt disebutkan sebanyak lima puluh (50) kali
dalam bentuk mufrad, dan enam (6) kali dalam bentuk jama’ (al-amwat).15 Di antara ayat-
ayat yang berkaitan dengan mati adalah:
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.”
Artinya: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang
kamu selalu lari daripadanya.”
Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu…”
Demikian pula untuk kata hidup (al-hayah). Kata ini mengandung makna
hidup, kehidupan, tumbuh berkembang, kekal, atau berguna. Kata hayat dalam al-
Qur’an selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia di dunia yang ditandai antara lain
dengan pertumbuhan fisik, pertambahan usia, pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan
silaturrahmi, kepemilikan harta, kedudukan, kemegahan, dan seterusnya yang kemudian
pikun dan pada gilirannya akan mati.
Kata hayat termasuk kata yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dan, al-Qur’an bahkan menginformasikan bahwa kata tersebut diulang sebanyak tujuh puluh
enam (76) kali. Enam puluh delapan (68) kali di antaranya dihubungkan dengan kata al-
dunya, sehingga tersusun menjadi kata al-hayah al-dunya, yang berarti kehidupan dunia
sebagai lawan dari kehidupan akhirat.
Artinya: “Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak
akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan
dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya,
padahal ia adalah penantang yang paling keras.”
Artinya: “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Berdasarkan kedua kata antara mati dan hidup, sebagaimana uraian di atas,
sesungguhnya oleh al-Qur’an biasa dikonfrontasikan sebagai pasangan yang saling
melengkapi. Bahkan dalam al-Qur’an, jumlah kata al-mawt dan yang seakar dengannya
sebanyak jumlah kata al-hayah dan yang seakar dengannya, yakni seratus empat puluh
lima (145) kali.21 Penyebutan kata mati dan hidup dari sekian banyak kodrat dan kuasa
agaknya disebabkan karena kedua hal ini merupakan bukti yang paling jelas tentang
kuasa-Nya dalam konteks manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain-Nya dan
mati tidak dapat ditampik oleh siapa pun. Keduanya tidak dapat dilakukan.
Secara sederhana, al-Qur’an turut mengemukakan pengertian yang hampir sama
tanpa ada perubahan maksud. Al-Qur’an menunjukkan bahwa setiap makhluk yang
bernyawa (ruh) pasti mati, bahkan alam dunia pun akan diakhiri dengan mati (kiamat).22
Oleh karena itu, kematian adalah suatu kepastian, dan tiada satu pun yang dapat melarikan
diri daripadanya; dan bahkan mati yang akan mendatanginya. Di sini al-Qur’an justru
mensifatkan mati sebagai sunnah Allah swt yang umum bagi segala kejadian.Di samping
itu, mati merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan peristiwa
kejadiannya berlaku pada setiap detik (lahzah), masa (waqt) dan pada setiap jiwa (nafs)
menuju untuk menerima ajal.
Mati menjadi titik pemisah di antara dua perkara, yakni masa, keadaan dan
kehidupan dunia menuju kepada masa, keadaan dan kehidupan akhirat yang abadi. la
bertindak sebagai pintu ke alam akhirat (hayah al-akhirah).25 Ini memberikan implikasi
bahwa sekiranya kematian tidak berlaku sudah tentu persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan alam akhirat tidak akan berlaku. Dengan berlakunya kematian, keadilan di alam
akhirat yang abadi mulai dilaksanakan dan kiamat (al-qiymah) bagi setiap manusia pun
telah dimulai. Dengan demikian, bahwa mati dianggap sebagai perpindahan dari suatu
kejadian dalam bentuk hidup kepada suatu kejadian yang lain berdasarkan keterangan
Allah dalam surat al-Waqi’ah ayat 61.
Artinya: “Untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu
(dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu
ketahui.”
ada beberapa keterangan yang diberikan kepada persoalan kematian.
Sebahagian mengatakan mati sebagai bentuk penyucian dari kotoran yang meliputi
perbuatan dosa dan ia boleh dianggap sebagai tempat kesucian yang biasa digunakan
untuk menghilangkan sejumlah bentuk kotoran. Oleh kerana itu, kematian merupakan
peluang terakhir bagi setiap manusia untuk membebaskan diri dari sejumlah dosa dan
menyucikan diri dari segala bentuk keburukan. Penyucian ini termanifestasi kepada dua
golongan manusia, yaitu apakah seseorang itu sebagai mukmin atau kafir.
Adapun terkait dengan persoalan pengambilan ruh yang dimiliki oleh setiap
makhluk, al-Qur’an mengemukakan beberapa penjelasan mengenainya. Sebahagian ayat
menggambarkan Allah swt sendiri mematikan makhluk-makhluk-Nya yang bernyawa
(al-anfus).26 Sementara dalam ayat yang lain disebutkan, bahwa malaikat maut yang akan
melakukannya,27 sedangkan ayat seterusnya menunjukkan malaikat-malaikat yang akan
mematikannya.28 Dalam menguraikan persoalan tersebut, merujuk kepada argumentasi
‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Allah swt melakukan segala urusan mengikuti kehendak-
Nya. Untuk tujuan itu, Allah swt telah memilih malaikat maut secara khusus sebagai
wakil-Nya untuk melaksanakan tugas itu dengan mengacu berdasarkan kehendak-Nya.
Malaikat maut pula diwakili dan dibantu oleh para malaikat yang menjadi utusannya
untuk melaksanakan tugas dalam rangka pengambilan ruh setiap makhluk-Nya.Oleh
karena ruh manusia diklasifikasi kepada dua hal, antara yang “baik” dan yang “jahat”,
maka para malaikat yang ditugaskan untuk mengambil ruh tersebut juga dikatakan terdiri
dari dua kategori, yaitu malaikat rahmat dan malaikat azab. Adapun Malaikat rahmat
ditugaskan mengambil ruh orang-orang yang baik dan taat (ahl al-ta’ah), sementara
malaikat azab juga mengambil ruh orang-orang yang jahat dan ingkar (ahl al-ma’siyah).
Untuk memperjelas hal ini secara umum, beliau mengklasifikasikan manusia di
dunia ini kepada dua golongan:
Pertama: Orang yang bersenang-senang dan terdiri dari orang-orang kafir. Kedua:
Orang yang melepaskan diri dari beban orang-orang mukmin, yang dengan kematiannya
itu dapat melepaskan diri dari dunia dan ujian-ujiannya.31 Berdasarkan klasifikasi di atas,
sekiranya dibiarkan manusia tanpa kematian, tentulah mereka akan senantiasa berupaya
mengarahkan kepada setiap perbuatan yang mengadung dosa dan maksiat. Karena itu,
mati bermaksud untuk menjadi peringatan (wa’id) bagi manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka ketentuan mati dan hidup merupakan persoalan
yang berhubungan dengan hikmah Allah swt dalam konteks yang begitu dinamis dan
praktis sebagai bentuk pertanggungjawaban:
Pertama, Allah menciptakan mati dan hidup bermaksud untuk menguji,
membedakan dan menentukan manusia berdasarkan amalan dan perbuatan mereka
terhadap perintah dan larangan yang Allah swt kemukakan untuk diberikan pembalasan.
Kedua, menghindari dunia ini yang tampak sempit lantaran dipenuhi oleh keturunan
manusia yang banyak. Ketiga, sebagai peringatan (wa’id) kepada semua makhluk,
khususnya manusia dan jin supaya dengan demikian, mereka senantiasa menjaga diri
dalam setiap perbuatannya.32
Adapun alasan Allah merahasiakan tentang kematian dan kehidupan lantaran
disebabkan sebagai berikut:
Pertama, sekiranya manusia mengetahui datangnya kematiannya atau adanya
kehidupan, maka dimungkinkan bahwa manusia gagal dalam tugasnya sebelum ajalnya
tiba. Untuk itu, adalah suatu rahmat dan perbuatannya menjadi faktor penggerak dalam
kehidupan. Kedua, kejahilan itu sebagai sesuatu yang berbentuk pendidikan kerana
sekiranya diketahui tiba waktunya ajal, sudah tentu manusia tidak menjadi sombong.
Keadaan ini tidak mendatangkan kesempurnaan dari segi aspek spiritual dan tingkat
kemuliaan sebagai langkah untuk mengatasi kehinaan seorang hamba atau manusia.33
C. Hubungan Etik-Spiritual dalam Kerangka Eskatologis
Pertanyaan yang mendasar dalam konteks religius-filosofis, seperti yang telah
diurai di atas, apakah kematian-kehidupan yang merupakan eksistensi manusia memiliki
etik-spiritual dalam kerangka eskatologis? Untuk menjawab titik temu ini, al-Qur’an
yang nota bene telah memiliki informasi, jawaban yang benar—dengan memberikan
kodifikasi dalam sketsa adanya alam barzakh,34 hari kebangkitan,35 dan kehidupan neraka
dan syurga.36 Investasi ketiga alam ini diyakini al-Qur’an sebagai sesuatu yang pasti,
dengan pertimbangan, bahwa fase ketiga alam ini akan dilalui berdasarkan periode kedua
alam sebelumnya, yakni kematian dan kehidupan.
Namun demikian, dalam tahapan kehidupan manusia, konsep kematian merupakan
perihal yang diberi nilai kepada sesuatu yang signifikan. Perhatian pada konsep ini dan
merupakan bagian yang sama berhubungan secara langsung dengan eksistensi manusia
pada periode-periode berikutnya, adalah kaitannya dengan konsep penciptaan. Dalam
kerangka penciptaan, posisi Tuhan adalah pengendali secara mutlak. Penciptaan hanya
menandai awal kekuasaan Tuhan terhadap segala sesuatu yang diciptakan. Semua urusan
manusia, sampai yang terkecil dan tak berarti sekalipun semuanya dalam pengawasan
ketat Allah. Dan, yang paling penting mengenai hal ini adalah bahwa Tuhan, menurut al-
Qur’an adalah Tuhan yang Maha Adil, yang tidak pernah berbuat dhalim (zulm) terhadap
siapapun (termanifestasi dalam asma’ al-husna).37
Tentu saja persoalan ini telah memberikan simulasi awal, bahwa Tuhan sendiri,
pada hakikatnya, bersifat etis, maka relasi Tuhan dan manusia tentu juga harus bersifat
etik. Dengan kata lain, Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara etik, yaitu sebagai
Tuhan Keadilan dan Kebaikan, demikian pula manusia diharapkan merespon tindakan
Ilahiah ini juga dengan cara yang etis. Dikarenakan Tuhan adalah sang Pencipta, maka
tuntutan kepada manusia hanya bersyukur dan atau beriman. Sekiranya tuntutan itu
diterima oleh manusia dengan baik, tentu balasan yang setimpal di kemudian hari akan ia
terima. Demikian pula, sekiranya tuntutan itu ia tolak, maka balasan Tuhan pun akan ia
terima di kemudian hari.
Pada dataran di mana manusia cenderung menolak tuntutan Tuhan--di sini, Allah
merupakan Tuhan yang keras, yang akan membalas di hari Pengadilan, yang balasannya
sangat pedih (shadid al-iqab), Tuhan yang membalas dendam (dhu intiqam), yang
kemarahan-Nya (ghadhab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan.
Artinya: “Makanlah di antara rezeki yang baik yang Telah kami berikan kepadamu,
dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu.
dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.”
Pokok persoalan dari semua uraian di atas, adalah adanya Hari Pengadilan sebagai
sebuah lembaga hukum yang akan dimintai keterangan hukum (pertanggungjawaban).
Oleh karena itu, pasca kematian merupakan rantai kehidupan selanjutnya yang bertujuan
untuk dimintai tanggungjawab.
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Gambaran di mana Tuhan sendiri menguasai segala sesuatu dengan tegas, keras, dan
adil, yang di depan-Nya manusia hanya berdiri diam dengan kepala tertunduk. Investigasi
pada Hari Pengadilan—suatu peristiwa yang pasti terjadi—harus selalu diperhatikan
dalam pikiran sedemikian rupa, sehingga bisa menjadikan dirinya bersungguh-sungguh,
bukannya sembrono dan lalai dalam hidupnya. Inilah yang merupakan pokok dari
kesalehan dalam Islam. Penekanan mutlak terhadap kesungguhan dalam hidup ini berasal
dari kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang yang sangat ditekankan pada
periode Mekkah. Inilah taqwa berdasarkan makna asalnya.
Kata taqwa kehilangan warna eskatologisnya yang sangat kuat sesuai dengan
berjalannya waktu, sehingga pada akhirnya hampir-hampir diartikan sama dengan
“ketaatan”. Namun, pada mulanya ia menunjukkan suasana yang sangat khusus yang
berkaitan secara langsung dengan konsep Hari Pengadilan.
Artinya: “Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
Untuk memperhatikan kata taqwa, dengan kombinasi kepada tiga kata, ittiqa
(takut), Allah dan ‘iqab (siksaan) dalam kalimat yang pendek tersebut dengan sangat
jelas menerangkan struktur dasar taqwa dalam al-Qur’an menurut bentuk aslinya. Taqwa
dalam pengertian ini merupakan konsep eskatologis, yang maknanya adalah “takut kepada
siksaan Ilahi di akhirat.” Dari makna yang asli ini, kemudian muncul makna “ketakutan
yang patuh (kepada Allah)”, kemudian akhirnya menjadi makna “ketaatan” saja.
Lebih lanjut, konsep taqwa seiring perkembangan zamannya—periode hijriah,
warna eskatologis ini semakin lemah sampai akhirnya makna taqwa mencapai tahap
tidak lagi memiliki hubungan nyata dengan citra Hari Pengadilan dan keganasannya, lalu
berubah menjadi hampir sama dengan ketaatan. Pada tahap ini, taqwa hanya terkait sedikit
atau sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsep “takut” (khawf). Itulah sebabnya, di
dalam al-Qur’an kata muttaqi—bentuk partisipial dari ittaqa seringkali digunakan dengan
pengertian “orang beriman yang taat”, yang menjadi lawan dari kafir.
Di dalam al-Quran, Muttaqi pada tahap ini diberikan sebuah definisi yang pada
hakikatnya tidak berbeda dengan muslim atau mukmin. Dalam Surah al-Baqarah, muttaqi
didefinisikan sebagai “seseorang yang percaya kepada yang gaib, mendirikan salat,
menafkahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya, dan yang beriman
kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad, serta yakin akan adanya kehidupan akhirat.
Artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka
yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab
yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.
Di sini, sebagaimana taqwa sama sekali tidak ada hubungannya dengan eskatologi/
akhirat dan takut terhadap siksaan atau terkait dengan mati dan hidup. Hal ini jelas
berdasarkan fakta bahwa kebaikan dan karunia Allah disebutkan sebagai alasan kenapa
manusia harus ber-taqwa kepada Tuhan swt secara sungguh-sungguh.
Secara keseluruhan, bahwa al-Qur’an menjelaskan tentang mati dan hidup
merupakan persoalan-persoalan yang termasuk dalam ilmu Allah swt yang tidak
dijelaskan kepada manusia, namun pemahaman tentang kedua kata ini (mati dan hidup),
oleh al-Qur’an telah diberikan sejumlah informasi agar manusia memperhatikan secara
seksama pentingnya kedua kata ini. Bahkan dalam al-Qur’an, kedua kata ini (mati dan
hidup) dinilai sebagai bentuk representasi adanya kehidupan yang abadi setelah adanya
kematian. Karenanya, manusia atau makhluk yang bernyawa dipastikan akan dijemput
melalui kematian untuk menuju alam akhirat. Dengan demikian, maka mati dikatakan
mempunyai ciri-ciri penyucian, perpindahan dan pemisahan.