sangkan paraning dumadi 1

Ajaran sangkan paraning dumadi dalam Kunci Swarga 
Miftahul Djanati dekat sekali dengan ajaran Islam esoterik. 
Kesadaran akan sangkan paraning dumadi, yaitu kesadaran 
tentang makna hidup yang sebenarnya , kesadaran tentang dari 
mana asal kehidupan ini, bagaimana kejadiannya, ke mana arah 
tujuannya, dan apa saja yang harus dilakukan dalam kehidupan 
ini merupakan pertanyaan yang jawabannya dapat 
ditemukan sacara gamblang dalam ajaran mengenal diri dalam 
Tasawuf. Menurut ajaran tasawuf, awwaluddîn ma’rifatullâh,
awal-awal agama ialah mengenal Pencipta . Untuk dapat mengenal 
Pencipta  manusia harus mengenali dirinya. Manusia berasal dari 
Pencipta , diciptakan oleh Pencipta  melalui suatu proses tanâzul, 
seperti  proses emanasi, dimana Pencipta  mengejawantah atau 
menjelmakan diri dalam beberapa pangkat emanasi, dari 
wujudnya yang gaib sampai akhirnya bermuara pada terwujudnya 
manusia yang terdiri dari jasmani dan rohani, yang disebut insân 
kâmil.
Dalam dunia tasawuf, term “mengenal diri” juga selalu 
dibahas oleh para sufi sebagai kalimat pengantar untuk memasuki bab makrifat.
168 Makrifat dalam pengertian tasawuf yaitu  
pengetahuan atau kesadaran diri akan wujud Pencipta  dan 
hubungannya dengan manusia dan alam. Makrifat digambarkan 
sebagai suatu keadaan hati yang terang benderang, dimana 
seseorang telah berhasil mengenali Pencipta  dengan cara mengenali 
hakikat dirinya.  Cahaya makrifat seseorang akan bertambah 
terang seiring dengan bertambahnya ketekunan pengabdian 
kepada Pencipta  yang disebut ibadah. Untuk mencapai 
kesempurnaan ibadah maka manusia harus senantiasa sadar akan 
siapa dirinya di hadapan Pencipta  dan bagaiaman peranan yang 
harus dimainkannya di alam ini.
Ajaran sangkan paraning dumadi yang ada  dalam 
naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati dekat sekali dengan 
ajaran tasawuf mengenal diri, sebagai upaya manusia untuk
mengenal dan mendekat atau bahkan menyatu dengan Pencipta  
(wihdat al-wujud atau manunggaling kawula gusti). Betapa 
dekatnya ajaran tasawuf mengenal diri dengan spiritualisme Jawa, 
khususnya menurut pandangan Kunci Swarga Miftahul Djanati,
dapat dilihat dari beberapa sebutan atau istilah yang menunjukkan 
harmoni ilmu ini, dan ilmu sangkan paran. 
Empat komponen makrifat, yaitu syariat, tarikat, hakikat, 
dan makrifat menjadi perbendaharaan tersendiri dalam naskah 
Kunci Swarga Miftahul Djanati. Selain itu beberapa sebutan 
untuk ilmu sangkan paran dari segi maknanya dekat sekali 
dengan peristilahan yang lazim digunakan dalam ilmu makrifat. 
Pertama, ilmu sangkan paran dinamai ilmu kasunyatan sebab  
dalam ilmu ini akan dapat diperoleh kebenaran dan kesejatian. 
Kata kasunyatan berasal dari kata Sanskrit sunyata yang berarti 
empty, void atau kosong. Pendapat itu benar adanya sebab  jalan 
kelepasan apabila telah sampai ke pusat terdalam, menurut 
Bratakesawa berada di dalam alam yang sunyi dan kosong.
Dalam khazanah tasawuf al-Ghazali ada  satu istilah yang 
memiliki arti dan maksud yang kurang lebih sama, yaitu takhalli.
Takhalli artinya mengosongkan. Yakni mengosongkan diri, hati, 
dan pikiran dari segala sesuatu selain Pencipta . Takhalli merupakan 
langkah pertama dalam zuhud.
Kedua, ilmu sangkan paran dinamai ilmu kasampurnan
sebab  ilmu ini  dapat membuat hidup manusia menjadi lebih 
sempurna. Penghargaan dengan istilah ilmu kasampurnan
agaknya merupakan pengaruh dari ajaran tasawuf pada umumnya, 
yang para sufi memandang penghayatan makrifat kepada Pencipta  
disebut insan kamil, manusia sempurna. Istilah kasampurnan 
dalam Kunci Swarga berasal dari kata kamil ini .
Ketiga, dinamai ilmu sangkan paran (asal dan tujuan) 
sebab  apabila mengenal Pencipta  berarti mengenal asal kejadian 
manusia yang sekaligus merupakan tempat kembalinya di 
kemduan hari. Dengan kata lain, manusia berasal dari Pencipta  dan 
akan kembali kepada Pencipta . Ajaran ini erat sekali kaitannya 
dengan ajaran tasawuf mengenal diri. Sebagaimana sudah dibahas 
di bagian pendahuluan buku ini, dalam konteks bagaimana cara 
mengenal Pencipta  yang Esa, dalam ajaran tasawuf, orang harus 
mengenal lebih dulu tentang dirinya sendiri. Katanya: 
“Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta , sedangkan terhadap 
dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab  itu katanya pula: 
“Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal kepada Pencipta .”
Filsafat Jawa, di samping sejarahnya selalu berkesimpulan bahwa 
Pencipta  merupakan sangkan paraning dumadi, asal dan tempat 
kembali semua kejadian.
Selain kedekatan dari segi makna istilah, beberapa konsep 
yang ada  dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati, 
seperti konsep tentang mausia, konsep tentang Pencipta , konsep 
tentang kelepasan, menunjukkan keserupaannya dengan makrifat
dalam tasawuf.
1. Konsep tentang Pencipta 
Konsep kePencipta an yang ada  dalam naskah Kunci 
Swarga Miftahul Djanati bukanlah kePencipta an sebagai 
pengetahuan atau ilmu, melainkan semata-mata sebagai 
“kepercayaan kepada Pencipta ” (iman), sebuah kekuatan yang tiada 
taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan. 
Sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya, secara 
teologis, corak pemikiran Bratakesawa cenderung mendekati 
pemikiran kalam Ahlussunnah Asy’ariyah. Sekurangnya, ada  
tiga bukti kedekatan ini . Pertama, keyakinannya bahwa 
Pencipta  bersifat hingga 41 sifat, masing-masing yaitu 20 sifat 
wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz. Kedua, pengelompokan 
tiga derajat keimanan manusia terhadap Pencipta  cenderung 
mendekati tiga derajat keimanan al-Ghazali. 
Apabila merujuk kepada pemikiran sufistik al-Ghazali 
maka konsep Kunci Swarga Miftahul Djanati tentang Pencipta  
dengan segala sifatnya, ada  kesamaannya dengan tasawuf 
sunni al-Ghazali. Namun, di sisi lain, konsepnya tentang Pencipta  
ada  kemiripan dengan filsafat tasawuf, yaitu pernyataan 
dalam Kunci Swarga menyatakan bahwa Pencipta  sebagai oknum 
atau pribadi, Ia tidak dapat digambarkan baik oleh akal maupun 
budi manusia. Meski begitu, pada penyifatan Pencipta  dalam Ilmu 
kasunyatan, buku ini  menggambarkan Pencipta  sebagai Yang 
Maha Mutlak secara filosofis, yaitu Zat Tinggi yang terbebas dari 
segala bentuk hubungan yang mengandaikan ketergantungan, 
melainkan menjadi sebab atas berbagai sesuatu. Ini mirip dengan 
konsep Pencipta  dalam pemikiran tasawuf falsafi.
Dari sini dapat dipahami bahwa, pertama, pesan tentang 
Pencipta  yang disampaikan oleh penulis buku Kunci Swarga
menggunakan pendekatan pemikiran tradisional, bukan rasional 
sesuai dengan aliran pemikiran dalam agama Islam yang 
mengamalkan tanzih, yaitu tidak mau menyamakan Pencipta  dengan 
sesuatu, tan kena kinaya ngapa.
172
Kedua, pesan yang disampaikan oleh penulis Kunci Swarga
yaitu  agar pencari Pencipta  menyempurnakan pemahaman syariat 
terlebih dahulu, baru kemudian bisa melanjutkan perjalanannya 
yang lebih tinggi, yaitu pada suatu taraf pemahaman tentang 
adanya sifat Pencipta  yang biasa dikenakan kepada Pencipta  oleh para 
ahli kebatinan, yaitu hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal 
tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa (tan kena 
kinayangapa), tiada zaman tiada makan (maqam), tiada tujuan 
tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa senPencipta , tiada luar 
tiada dalam, namun  meliputi semua yang tergelar atau terbentang 
ini, dan sebagainya.
Kedua-dua model pendekatan yang digunakan naskah 
Kunci Swarga sebagaimana disebutkan di atas, menunjukkan 
buku ini  menyampaikan pesan tasawuf sunni akhlaki dan 
falsafi sekaligus, di mana metode tasawuf akhlaki yang bersifat 
praktis ini  ditegaskan bagi para pemula dan metode tasawuf 
falsafi diarahkan bagi mereka yang sudah dibilang mafhum 
tentang dasar-dasar agama.
2. Kosep tentang Manusia
Hal lain yang berkaitan dengan ajaran makrifat dalam 
tasawuf yaitu  konsep tentang manusia. Dapat dikatakan bahwa 
unsur manusia menduduki tempat yang vital sebagai subjek yang 
melakukan suluk, perjalanan nistik untuk mencapai hubungan 
dengan subjek lainnya, yaitu Pencipta .
Sebelum kita lihat kesesuaian tentang apa dan bagaimana 
konsep manusia menurut Kunci Swarga Miftahul Djanati dengan 
konsep makrifat dalam tasawuf, terlebih dahulu dibicarakan 
secara selintas konsep penciptaan (manusia). Hal ini dimaksudkan 
untuk memberi kejelasan pada uraian tentang konsepsi manusia,
sebab  kedua-dua hal ini  sangat berkaitan.
Menurut Kunci Swarga, yang pertama kali dicipta oleh 
Pencipta  yaitu  cahaya Isywara, baru kemudian keempat anasir 
(bumi, air, angin, dan api). Isywara tidak lain yaitu  Nur 
Muhammad atau hakikat Muhammad dalam istilah tasawuf. 
Dalam naskah Kunci Swarga dinyatakan bahwa isywara
merupakan sarana bagi Pencipta  untuk berhubungan dengan hamba. 
Artinya, pamoring kawulo gusti haruslah dengan lantaran Nur 
Muhammad.
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf 
tentang manusuia yaitu  dijadikannya manusia sebagai tujuan 
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah 
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab  engkau dan bukan sebab  
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta 
ini). Engkau dalam hadis ini  tentu saja Muhammad saw, 
namun  Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi 
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu 
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya. 
Pandangan seperti ini masuk ke dalam alam pemikiran kebatinan 
Jawa dan menjilma dalam bentuknya yang sudah beradaptasi 
dengan kaweruh kejawen.
Dalam perspektif tasawuf, untuk menggambarkan 
bagaimana manusia telah menjadi tujuan akhir penciptaan alam, 
Rumi menganalogikan manusia dengan buah. Walaupun buah itu, 
tumbuh sesudah batang, dahan dan ranting, namun  pohon secara 
keseluruhan justru tumbuh untuk menghasilkan buah ini . 
sebab , sebuah pohon tanpa buah yaitu  pohon yang sia-sia, 
sebagaimana analogi yang dibuat Rasulullah saw saat  
menggambarkan kesia-siaan ilmu yang tidak diamalkan. Oleh 
sebab  itu, manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi 
dalam pandangan para sufi, baik dalam kaitannya dengan alam 
semesta maupun dengan Pencipta nya. Dalam kaitannya dengan 
alam semesta, manusia yaitu  buah atau hasil akhir evolusi 
biologis alam. Ia yaitu  tujuan akhir penciptaan alam sendiri, 
selain itu manusia mengandungi seluruh unsur alam semesta, 
sebagaimana buah mengandungi seluruh unsur pohonnya, dari 
mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting, dan daun. Oleh sebab  
itu, manusia dikatakan sebagai mikrokosmos. Lebih dari itu 
menurut Rumi, saat  manusia telah mencapai tujuan 
penciptaannya, manusia bukan lagi mikrokosmos, namun  
makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi terakhir, manusia 
yaitu  yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan kompleksitasnya, 
yang dalam kitab suci kitab muslim  disebut ahsani al-taqwim. 
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian 
diri. Di sini muncul ajaran tentang NHakikah 
Muhammadiyah. Nur Muhammad yaitu  asal atau sumber dari 
segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan, dan ilmu 
pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah yang mula￾mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini, termasuk 
manusia, pada mulanya yaitu  dari Nur Muhammad.


Gagasan tentang isywara yang dikatakan sama dengan Nur 
Muhammad, setidaknya juga dapat ditelusuri dalam ajaran Ibn 
Arabi tentang Hakikat Muhammad, dimana Hakikat Muhammad
menurut Ibn Arabi merupakan sabda Pencipta  yang mengungkapkan 
diri-Nya dalam kenyataan; bahwa segala sesuatunya berasal dari 
sabda Pencipta . Ajaran Hakikat Muhammad dari Ibn Arabi ini 
dibawa masuk ke Sumatera oleh Nuruddin al-Raniri dan juga 
Hamzah Fansuri. 
Sudah diakui oleh sejarah bahwa kepustakaan Islam yang 
berkembang di Aceh mengalir ke Jawa, kemungkinan besar 
gagasan Miftahul Djanati tentang Nur Muhammad ini berasal dari 
Aceh melalui pujangga Jawa Raden Ngabehi Rangga Warsita, 
bukan langsung dari al-Raniri atau Hamzah Fansuri. Namun 
boleh dibilang berasal dari Ibn Arabi sebab  memang dialah yang 
memformulasikan konsep Nur Muhammad ke dalam pemikiran 
tasawuf.
Berdasarkan konsep tentang awal mula penciptaan itu dapat 
pula dikatakan bahwa seperti halnya umumnya ajaran dalam 
tasawuf, ajaran Kunci Swarga juga dapat digolongkan ke dalam 
paham union mistic, yaitu aliran mistik yang memandang manusia 
bersumber dari Pencipta  dan dapat mencapai penghayatan kesatuan 
kembali dengan Pencipta . Dalam paham ini manusia dipandang 
sebagai percikan atau tajalli, penampakan keluar dari Pencipta . 
Dengan kata lain, agar diketahui zat, sifat, asma, dan af’al-Nya, 
Pencipta  bertajalli.
3. Konsep tentang Kelepasan
Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapkan 
oleh para sufi yaitu  dapat langsung berhubungan atau 
mengadakan persatukan dengan Pencipta  (wihdatul wujud), yang 
dalam istilah kejawen disebut manunggaling kawula gusti. Kunci 
Swarga pun berpaham yang demikian. 
Untuk mencapai kelepasan, ada jalan yang harus dilaluinya. 
Jalan untuk mencapai kelepasan dapat disebut sebagai jalan 
kelepasan (mencapai Pencipta ). Jalan kelepasan inilah yang sering 
pula diistilahkan sebagai suluk, yang berarti jalan. Di dalam ilmu
tasawuf, seperti juga dikemukakan dalam buku Miftahul Djanati, 
ada empat jalan atau tingkatan untuk menuju kepada Pencipta , yaitu 
syariah, tarikat, hakikat, dan makrifat. Keempat-empat tingkatan 
itu haruslah dilakukan dengan sempurna, dengan tidak boleh 
meninggalkan salah satunya. Melaksanakan keempat tingkatan 
ini  juga harus didasarkan kepada empat dasar hukum Islam, 
yaitu Quran, hadis, ijmak, dan qiyas.
Beberapa kesamaan pemikiran konsep kelepasan dan 
makrifat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Syariat merupakan kewajiban pertama seorang yang 
hendak menempuh tarikat, yaitu jalan mistik. Syariat berarti 
aturan, yaitu aturan yang sudah ditetapkan leh Pencipta  kepada 
Rasul-Nya. Dalam kalangan sufi, syariat berarti amal ibadah lahir 
dan urusan muamalah hubungan manusia dengan manusia. Dalam 
tataran muamalah ini ditonjolkan perilaku yang baik, adil, dan 
tidak adigang-adigung-adiguna. 
Tarikat, berarti cara, metode, atau system merupakan 
tingkatan yang sudah mulai masuk ke kebatinan yang 
dilaksanakan dengan cara tapa brata dan mesu budi.Hakikat yang berarti kebenaran atau kesejatian merupakan 
tingkatan yang sudah menuju kepada hasil usaha, yaitu mengenal 
Pencipta . Orang yang telah mencapai hakikat telah kasyaf, terbuka 
rahasia yang senantiasa menyelubungi antara kita dan Pencipta  dan 
yang ada hanyalah kebenaran (haqq). Tingkat hakikat merupakan 
persiapan menuju ke pintu rasa atau tingkat makrifat.
Makrifat yang berarti pengertian atau pengetahuan 
merupakan tingkatan tertinggi sebab  oran yang telah berada pada 
tingkat inilah (makrifatullah) dapat dikatakan telah manunggaling 
kawula gusti. 
F. Refleksi
Pencipta , selain menganugerahi manusia kemampuan untuk 
merasa dan nafsu untuk makan, minum serta kebuPencipta  biologis 
lainnya, Ia juga membekali manusia dengan perasaan ingin tahu, 
yang disebut dengan hati dan pikiran. Keingintahuan manusia itu 
menghantarkan mereka kepada sejumlah penemuan hingga 
lahirlah sebuah ilmu; seperangkat aturan yang telah disusun 
secara sistematis untuk mengetahui sesuatu. 
Kemampuan berpikir pada manusia memang berbeda-beda, 
namun sumbernya tetap sama, yaitu Pencipta . Pada perjalanan 
hidupnya, ada sebagian orang yang diberi ilmu yang mulia 
sehingga dengan ilmu itu ia menjadi mulia sebab  dapat 
menyelamatkan manusia lain dari ketidaktahuan, kebodohan dan 
kesesatan serta ia sandarkan apa yang Dia tahu sebab  Pencipta . 
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sebenarnya  kemuliaan 
pengetahuan (ilmu) itu sesuai dengan kemuliaan objek yang 
diketahui. Maka, tidak disangsikan bahwa pengetahuan yang 
paling mulia dan paling agung ialah pengetahuan tentang Pencipta  
Swt; Pencipta  semesta alam, Yang Menciptakan langit dan bumi, 
Yang Maha Benar, yang memiliki segala sifat kesempurnaan, 
Yang suci dari segala kekurangan, yang tidak ada sesuatu pun 
yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Tidak disangsikan bahwa pengetahuan tentang nama-nama, sifat-sifat, dan 
perbuatan-perbuatan-Nya yaitu  ilmu yang paling tinggi nilainya.
Ilmu tentang Pencipta  yaitu  asas dari segala 
pengetahuan. Sebagaimana keberadaan segala sesuatu tergantung 
pada keberadaan-Nya, Maha Menciptakan, maka seluruh jenis 
ilmu tanpa terkecuali mengikuti ilmu tentang-Nya dan teramat 
sangat membutuhkan-Nya untuk merealisasikan keberadaan-Nya. 
Tidak disangsikan lagi bahwa pengetahun tentang sebab awal dan 
penyebab utama berkonsekuensi pada pengetahuan tentang akibat 
dan efeknya. Keberadaan segala sesuatu selain Pencipta  bergantung 
kepada-Nya, sebagaimana keberadaan sebuah benda yang 
tergantung pada pembuatnya, dan objek pada subjeknya. Maka 
ilmu tentanag zat, sifat, dan perbuatan-perbuatan Pencipta  
berimplikasi kepada pengetahuan tentang selain Pencipta . Siapa 
yang tidak mengenal Pencipta nya, maka dia lebih tidak mengenal 
segala sesuatu selain Dia. Pencipta  berfirman, “Dan janganlah 
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Pencipta  sehingga 
Pencipta  menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka 
itulah orang-orang yang fasik,” (Qs Al-Hasyr: 19)
Jika kita perhatikan ayat ini dengan seksama, maka kita 
akan menemukan makna yang sangat indah, yaitu barangsiapa 
yang melupakan Pencipta nya niscaya Pencipta  pun akan membuat ia 
lupa kepada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengenal hakikat 
dirinya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan diapun lupa dengan 
apa saja yang akan membawanya kepada kebaikan dunia dan 
akhirat. Dengan demikian, dia pun akan rusak dan diabaikan 
seperti binatang. Bahkan, binatang lebih mengetahui 
kemaslahatan dirinya sebab  mengikuti petunjuk (ilham) Sang 
Pencipta yang diberikan kepadanya. Sedangkan orang ini  
keluar dari fitrah penciptaanya, sehingga dia lupa akan Pencipta nya 
terlebih dirinya sendiri.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Masruq ra, 
saat  ia menemui Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa 
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Manusia! barangsiapa 
mengetahui sesuatu hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya. Barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka 
hendaklah ia mengatakan Pencipta -lah yang Maha Mengetahui. 
sebab  termasuk ilmu jika ia mengatakan bahwa Pencipta  Maha 
Tahu,” (HR Bukhari, Shahihul Bukhari, Jilid 3; 4809)
Maka, dapat kita simpulkan bahwa ma’rifat yaitu  asal dan 
puncak dari segala ilmu. Ia yaitu  asas ilmu hamba tentang 
kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatan dunia akhirat. 
Tidak adanya pengetahuan tentang Pencipta  mengakibatkan 
ketidaktahuan tentang dirinya sendiri dan kemaslahatannya serta 
apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi 
dirinya di dunia dan di akhirat kelak. Oleh karennya, pengetahuan 
tentang Pencipta  yaitu  pangkal kebahagiaan seorang hamba 
sedangkan ketidaktahuan tentang Pencipta  merupakan pangkal 
penderitaan.
G. Penutup
Sejarah pemikiran manusia menunjukkan bahwa masalah 
mengenal diri mendapat perhatian agama-agama Ilahi dan 
merupakan salah satu tujuan utama para nabi. Di samping itu, 
para spiritualis dan filosof juga memperhatikan masalah ini 
sehingga muncul pelbagai pandangan yang beragam tentang 
wujud.
Dalam sumber-sumber teks Islami, sangat ditekankan 
tentang urgensi mengenal diri, ma’rifat al-nafs. Dalam Alquran 
dijelaskan: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; 
tiyaitu  orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu 
apabila kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. al Maidah: 105). 
Dalalah muthabiqiyah ayat ini menegaskan perihal pembangunan 
diri dan perbaikan diri. Mengingat bahwa pembangunan diri tidak
mungkin terjadi tanpa pengenalan diri, maka dapat disimpulkan 
bahwa berdasarkan ayat ini pengenalan diri yaitu  suatu 
keharusan dan memiliki peran penting dalam pembangunan diri.
WPencipta u a’lam















URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA Pencipta  DAN 
ADANYA YANG GAIB-GAIB (BABU MA’RIFATULLAH 
WA GHAIBI’L MAUJUUDI)
1. kartosuwiryo : 
“Kak, saya merasa bahwa pemberian penjelasan Kakak yang sudah 
saya terima itu masih jauhdari mencukupi, namun besok saya 
terpaksa mohon pamit pulang, sebab  ada tugas dinas yang harus 
saya kerjakan di liburan ini”.
soebandrio : 
Nah... hal itu aku sepakat, dalam kamu mencintai ilmu kebatinan, 
walau pun sampai bagaimanapun, namun jangan sampai 
meninggalkan tugas wajib yang sudah menjadi kewajibanmu.
Jika kamu mencari ilmu batin, dengan jalan tidak mementingkan 
urusan dunia, itu termasuk dalam peribahasa “Luput ing 
piyangkuh” (salah jalan), tidak merasa bahwa hidupmu itu ada di 
dunia, masih butuh pakaian, makan dan kebuPencipta  hidup yang lain 
selama masih hidup di dunia. Dan jika kamu hanya sendirian, yang 
tidak mempunyai kewajiban atas anak istri, bisa saja seumpama 
menjauhi urusan dunia, kemudian pergi ke tempat sunyi, artinya 
sudah tidak hidup di dalam lingkungan masyarakat pada 
umumnya.
Hanya saja, dalam kamu mementingkan urusan dunia itu, bagi para 
penempuh, seharusnya dengan diiringi sadar, bahwa manusia itu 
penguasa dunia, bukan dikuasai oleh dunia. Dunia itu hanyalah 
alat, jangan sampai manusianya yang diperalat oleh dunia.
2. kartosuwiryo : 
Iya Kak, semoga saja saya selalu sadar dan ingat atas perintah 
Kakak. sebenarnya  saya belum bosan mendengarkan nasehat 
Kakak itu, Jika tidak terhalang jarak yang jauh, pastilah sering 
datang ke sini, walau pun ibaratnya “Canthing Jali” digunakan 
mengambil air pun hanya menghasilkan sedikit saja.soebandrio : 
Ilmu milik Pencipta  itu, dikatakan bahwa seumpama semeu daun 
yang ada di seluruh dunia itu sebagai kertasnya, dan lautan sebagai 
tintanya (Al-Kahfi: 109), tidak akan cukup. Jika dikatakan tidak 
akan ada putusnya. Sedangkan musyawarah di dalam pertemuanku 
dengan dirimu ini kan hanya sebagai “Biji”saja, Untuk tumbuh 
berkembangnya, buahnya ........ itu tergantung keseuburan tanahnya 
dan perawatannya.
3. kartosuwiryo : 
Aduh Kakak!! Hal itu, aku masih teramat sngat jauh. Sehingga 
akan selalu datang gke sini.
soebandrio : 
Jangan merasa rendah diri. Saya doakan dirimu itu bisa melebihi 
aku, sedangkan sekolahnya saja lebih tinggi dirimu. An sebenarnya 
ilmu kebatinan itu lebih mudah diterima oleh orang yang 
mengetahui ilmu Kudrat (natuurkunde), ilmu dunia (Scheikunde), 
dan lain-lainnya. Dan juga memang tidak jarang anak melebihi 
orang tuanya, saudara muda melebihi saudara tua, murid melebihi 
guru.
Oleh sebab  pertemuanku dengan kamu hanya tinggal semalam 
ini, aku hanya ngikut saja, tentang apa yang masih perlu kamu 
tanyakan sekarang ini?
4. kartosuwiryo : 
Yang perlu lebih dari perlu, saya mohon penjelasan: Bagaimana 
jika aku meninggal dunia itu bisa pulang kepada Pencipta , tidak 
mengalami terlahir lagi menjadi bayi? Ibaratnya “Senteg pisan 
anigasi” (sekali tebas putus. Jika menggunakan syarat, syaratnya 
apa, jika menggunakan laku, lakunya bagaimana?
soebandrio : 
Wahhhh... jadi yang kamu cita-citakan itu terbebas dari Kiyamat 
(bebas bangkit dari kematian) atau surga tanpa hisab?
Yah... itu cita-cita yang tinggi lebih dari yang tinggi, Jika hanya 
itu yang sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya 
disediakan untuk para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita 
yang terpilih, Mukmin Chas yang terpilih dan...... makhluk yang 
mendapat anugerah Pencipta  saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit, 
bagaimana? Seperti: Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat 
juga mau, kadang juga tidak dengan berada di alam kubur. 
Kemudian diberi kelonggaran lagi: lama di alam kubur juga terima, 
kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
sebab  katahuilah olehmu, yang ini kan bahwa manusia yang 
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta 
Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II: 5) itu juga baru bermakna 
“Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai Pencipta , 
kembali kepada Pencipta ” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersama￾sama kita cari, barangkali saja diterima.
5. kartosuwiryo : 
Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang 
longgar, aku ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak 
menjelaskan tentang cita-cita yang tinggi itu tadi. sebab  jika surga 
yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi manusia biasa yang 
mendapat anugerah Pencipta , sehingga jika ada manusia biasa seperti 
aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
soebandrio : 
Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur 
Alhamdulillah, menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu 
bisa kamu terima dengan jelas. Aku tidak keberatan menuruti 
permintaanmu itu, beginilah jelasnya:
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat 
“Bangkit dari kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau 
terlahir ke dunia lagi itu, tidak lain hanyalah manusia yang sudah 
bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi, Dalam Agama Kristen disebut 
menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II No.37).
teorinya saja bisa di katakan, akan namun  tindakan dan berhasilnya 
itu yang sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya 
disediakan untuk para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita 
yang terpilih, Mukmin Chas yang terpilih dan...... makhluk yang 
mendapat anugerah Pencipta  saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit, 
bagaimana? Seperti: Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat 
juga mau, kadang juga tidak dengan berada di alam kubur. 
Kemudian diberi kelonggaran lagi: lama di alam kubur juga terima, 
kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
sebab  katahuilah olehmu, yang ini kan bahwa manusia yang 
matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta 
Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II: 5) itu juga baru bermakna 
“Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai Pencipta , 
kembali kepada Pencipta ” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersama￾sama kita cari, barangkali saja diterima.
5. kartosuwiryo : 
Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang 
longgar, aku ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak 
menjelaskan tentang cita-cita yang tinggi itu tadi. sebab  jika surga 
yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi manusia biasa yang 
mendapat anugerah Pencipta , sehingga jika ada manusia biasa seperti 
aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
soebandrio : 
Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur 
Alhamdulillah, menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu 
bisa kamu terima dengan jelas. Aku tidak keberatan menuruti 
permintaanmu itu, beginilah jelasnya:
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat 
“Bangkit dari kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau 
terlahir ke dunia lagi itu, tidak lain hanyalah manusia yang sudah 
bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi, Dalam Agama Kristen disebut 
menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II No.37).
Sedangkan yang disebut terkekang oleh dunia itu, tidak lain yaitu  
...... KEINGINAN. Bukan hanya keinginan yang rendah atau pun 
yang luhur, dan juga yang luhur dari yang terluhur. Cobalah 
dipikir, mana ada manusia hidup yang tidak mempunyai 
keinginan?
Ujud dari keinginan yang agak luhur, contohnya, ingin mengerti 
tentang semua ilmu. Jika cukup amalnya, saat  pulang kembali ke 
dunia lagi, bisa juga menjadi ..... Proffesor, atau penemu ilmu baru.
Ada lagi yang lebih luhur dibanding itu, contohnya , keinginan 
untuk membuat ketenteraman dunia, Jika cukup amalnya, saat  
terlahir kembali ke dunia bisa menjadi .... Presiden sebuah Negara 
Besar yang bisa membawahi wilayahnya.
Sedang yang luhur dari yang terluhur itu keinginan untuk menjadi 
penuntun umat manusia agar berbakti kepda Pencipta . Tentang yang 
ini, jika cukup amalnya, saat  terlahir kembali bisa juga menjadi 
.... Nabi utusan Pencipta , Arab Rasul, Sanskrit Avatar yang 
menyebarkan Agama.
6. kartosuwiryo : 
Mohon ijin Kak!! Menurut pemahamanku, Kakak mempunyai 
pendapat, bahwa Utusan Pencipta  itu saat  tercipta di dunia juga 
berasal dari akibat “terkekang”. Apakah pendapat seperti itu itu 
tidak sesat?
Apa yang berkehendak ignin menjadi penuntun umat manusia agar 
berbakti kepada Pencipta  itu bukan atas Anugerah Pencipta .?
soebandrio : 
Sebentar, aku agak kurang paham, mengpa kamu bertanya seperti 
itu. Cobalah dengarkan dengan tenang.
Menurutku, penduduk dunia, sangat menghormati profesor yang 
menemukan sebuah ilmu, yang kemudian di sebarkan di dunia ini. 
Dan lebih menghormati lagi terhadap Kepala Negara besar yang 
bisa membuat ketenteraman dunia ini. Terlebih lagi menganggap 
terhormat dan mematuhi kepada Utusan Pencipta  yang mengelar 
pencerahan di dunia ini. sebab  jika tidak demikian tentu saja 
dunia ini tidak akan ada kemajuan, tidak tenteram, dan tidanterang. Sehingga kata “Terkekang” atau terikat itu tidak berarti 
meremehkan. Marilah, sekarang kita pikir menggunakan pikiran 
pada umumnya saja dan merdeka saja (obyektif).
Keinginan atau cita-cita akan berbuat kebaikan di dunia 
(masyarakatnya orang hidup di dunia) itu baru bsia disebut 
“berhasil”, Sedangkan jika yang mempunyai keinginan itu kembali 
ke dunia, tentulah bisa melaksanakan keinginannya, kan? Tentunya 
akan bisa terlaksananya cita-citu itu, kan, yang pada umumnya 
dikatakan “mendapat anugerah Pencipta ”?
Sehingga: Seumpama yang mempunyai keinginan itu tidak 
kembali ke dunia, malah bisa kamu sebut tidak mendapat anugerah 
Pencipta . Hal itulah yang menyebabkan aku tidak mengerti, mengapa 
dalam kamu berpikir, menjadi terbalik?
Dan aku agak heran, mengapa kamu masih ragu-ragu atas sifat 
Pencipta  yang Maha Murah. Singkatnya, semua cita-cita (keinginan) 
baik sang rendah atau pun yang tinggi, asal cukup syarat-syaratnya 
(amalnya, lakunya) pasti akan mendapat ridho Pencipta , artinya, 
terlaksana. Dan jika tidak bisa didapat saat  di hidupnya, sebab  
tiba-tiba mati. Tidak ada perbuatan yang hilang sia-sia, dan tidak 
ada kejadian yagn tanpa sebab. 
7. kartosuwiryo : 
Sudah, sudah kak, kau yang keliru, sekarang aku sudah mengerti. 
Yang ku inginkan Kakak terus memberikan penjelasan tentang 
untuk bisa tercapainya cita-cita “Terbebas dari kiyamat” itu.
soebandrio : 
Jika masalahnya seperti itu kan sudah jelas lebih dari jelas ta? Oleh 
sebab  yang menyebabkan kembali tercipta di dunia lagi itu yaitu  
keinginan tentang urusan dunia, sehingga agar bisa terbebas 
tercipta lagi, tidak ada lain jika sudah ...... tidak mempunyai 
keinginan tentang urusan dunia itu tadi. Di dalam bahasa Sanskrit 
disebut “Wairagya”, bahasa Arabnya “Zuhud” orangnya disebut 
zaahid. Di dalam Filsafat Kristen, dikatakan; Agar bisa terlepas 
dari dosa warisan Nabi Adam (memakan buah larangan) itu, jika 
sudah bisa membawa salib sendiri
Namun “Wiragya” itu hanya salah satu sifat saja, sempurnanya 
harus dengan Ilmu dan laku (Amal). Artinya, jiak ada orang yang 
bisa melenyapkan keinginannya tentang urusan dunia, akan namun  
kurang ilmunya dan amalnya, buahnya kira-kira hanya ..... dikira 
orang gila.
8. kartosuwiryo : 
Maaf, menyela sedikit. Sedangkan yang Wairagya serta cukup 
ilmunya serta amalnya itu, terus bagaimanakah hidupnya di dunia 
ini? Apakah sudah tidak mencari sandang pangan untuk kebuPencipta  
raga ini?
soebandrio : 
Hlo....., kan baru saja, saya mengatakannya kepadamu, tentang 
yang kamu tanyakan itu? (Bab III No.1), Jelasnya lagi, begini:
Urusan mencari sandang pangan untuk memenuhi tuntutan raga 
itu, kita bebas memilih, mana yang kita bisa dan kita senangi., 
singkatnya: merdeka se merda-merdekanya. Namun, bagi para 
pencari Hakikat itu, entah sudah mencapai wairagra 100%, apa 
50% apa baru 1% .... harus bertekad di dalam sanubarinya, bahwa 
dalam segala tindakannya hanya sebatas untuk merawat sebatas 
kebuPencipta  raga saja. Walau menjadi pengemis, apa tani, dagang, 
guru sekolah, polisi, tentara, pengarang, dokter, pamong praja, ..... 
Perdana Menteri sekali pun, hakikatnya sama saja, agar sebisa-bisa 
harus bertekad seperti itu.
Oleh sebab  keyakinan seperti itu, pastilah cara hidupnya hanya 
sepertlunya saja, tidak berlebihan, Di dalam Agama Hindu Kuna, 
mewajibkan kepada orang yan gsudah tidak mempunyai 
tanggungan anak, mengembara hidup mengemis (menjadi bikhsu), 
namun tidak boleh menerima pemberian yang lebih dari kebuPencipta  
per harinya.
Nah... melakukannya bagaimana? Apakah pasief: Polisi tidak mau 
menangkap pencuri, tentara tidak mau membunuh musuh? 
Tidak!!!! Tidak demikian. Seharunya justru jelih aktif dibanding 
dengan yang bukan pencari hakikat. sebab  bagi pencari hakikat 
itu tidak akan mau menerima balas jasa yang tidak sebanding 
dengan kerjanya. Namun aktifnya sebab  menjalankan kewajiban 

yang sudah menjadi tanggung jawabnya, bukan sebab  rasa benci 
kepada pencuri atau kepada musuhnya, tidak mengharap 
mendapatkan sanjungan dari atasannya, atau bukan mencari 
ketinggian pangkat dan bayarannya, walau pun tidak menolak 
seumpama dinaikan pangkatnya.
9. kartosuwiryo : 
Wah..... Jika bertindak dan bekerja yang seperti itu bagiku ... sangat 
sulit sekali. sebab  bisa disebut perbuatan yang hampa dari segala 
harapan.
soebandrio : 
Nahhh... itu sebab  kamu bertanya laku bagi yang sudah wairagya! 
Ya seperti itulah. Yaitu yang dikatakan “Agawe kang tan agawe 
(berbuat yang tanpa mengharapkan hasilnya). Dalam bahasa Arab 
didsebut Ikhlas (Bab II No.4) sebab  hidupnya telah terkuasai oleh 
CINTA, yang bersumber dari sifat Pencipta  Yang Maha Penyayang 
(Bab II No.3).
Soal aku dan dan kamu masih merasa sangat jauh, tidak mengapa, 
hanya agar bisa dijadikan pedoman terlebih dahulu. Tidak beda 
dengan anak sekolah yang masih di sekolah dasar, terus 
mengerjakan soal anak SMA atau Mahasiswa, tentunya kejauhan.
Oleh sebab  kejauhan itu tadi, sehingga dalam ajaran Agam Islam 
bagi para Mu’min “Am ( Mukmin biasa) seperti aku dan dirimu ini 
“Kumpulkanlah harta seolah tidak akan mati selamanya, namun 
beribadahlah kepada Pencipta  seperti kamu akan mati besok hari”. 
Nahhh...hal itu tidak sulit untuk dijalankan.
Akan namun  bagi Mukmin Chas (Mukmin cerdas) dan juga yagn 
disebut Chawasul chawas (cerdas dan kuat) tentu saja tidak 
menggunakan ajaran itu tadi, sebab  sudah yakin se yakin￾yakinnya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan secara 
bersamaan tentang hal yang berlawanan, hingga bisa berhasil 
keduanya. Pastilah hasilnya hanya di tengah-tengahnya saja, atau 
memihak salah satunya.
10. kartosuwiryo : 
Memang benarlah demikian Kak. Singkatnya, harus memilih, jika 
mementingkan kekayaan, dalam pencarian tentang KePencipta an 
harus bisa menerima hanya sampai tingkatan Syari’at saja. 
Sedangkan jika mementingkan KePencipta an, juga harus hanya 
menerima dunia seperlunya saja. Jika pun jadi orang kaya yang 
tidak disengaja, bukan sebab  giatnya bekerja.
Namun menurut sejarah dari masa lalu, dan yang kita ketahui 
sendiri sekarang ini, mengapa tidak ada para Arif (ahli ma’rifay) 
dan para “Ubad (ahli ibadah) itu yang.......... kaya. Justru ceritanya 
Ki Ageng andanarang dahulu, yang sudah terlanju sangat kaya 
sebab  hasil kerja sebelumnya, kemudian meninggalkan 
kekayaannya itu, sebab  lebih mementingkan tentang KePencipta an, 
yang akhirnya menjadi Wali terkenal dengan nama Sunan di 
Tembayat. Demikian juga Sidharta Gautama, yang takdir semula 
sebagai orang kaya sebab  sebagai Raja Putra calon Raja, tiba-tiba 
meninggalkan kekayaan dan derajatnya, sebab  lebih 
mementingkan urusan KePencipta an, akhirnya menjadi Buddha 
Gautama.
Akan namun , Kakak, entahlah, akan baagaimanakah akhirnya diriku 
ini, aku memaksa tetap mohon dijelaskan tentang Ilmu dan Amal, 
yang sudah akan dibicarakan itu tadi.
soebandrio : 
Hal itu aku tidak keberatan, hanya mengikuti kehendakmu saja. 
Silahkan dengarkan yang sungguh-sungguh, sebab  ini hal yang 
sangat rahasia dan berbahaya.... !
Kamu mempunyai keinginan agar supaya saat kematianmu tidak 
terpaksa terlahir lagi ke dunia. Yairu “Asal dari Pencipta  kembali 
kepada Pencipta ”. Untuk cita-cita yang demikian yang harus 
dibicarakan tentunya tentang, yaitu:
a. Yang disebut Pencipta  itu apa?
b. Yang disebut mati “kembali kepada Pencipta ” itu
 bagaimana?
c. Carakematian “Kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana?

Penjelasan a,b,c, itu semua disebut “Ngelmu” sedang caranya yang 
ini  di c itu dinamakan “Laku” atau Ngamal. Marilah sekarang 
kita bicarakan:
11. kartosuwiryo : 
Iya Kak, memang demikian. Yang kuminta, Kakak berkenan 
menjelaskan satu demi satu sampai sejelas-jelasnya.
soebandrio : 
a. Yang disebut Pencipta  itu apa? Di depan kan sudah dibicarakan 
panjang lebar, menurutku sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Di 
antara Sifat Pencipta  itu, seperti: Yang tidak bisa dibayangkan. 
Sehingga di dalam keadaan apa pun juga jika masih bisa 
dibayangkan jelas bukan Pencipta . Selain itu, Pencipta  itu disebut 
Maha kuasa tanpa alat, iya kan? Dua macam itu saja dahulu, 
sudah cukup dijadikan sebagai pedoman.
b. Yang disebut mati “kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana? 
Memang seharusnsya demikian, jawabannya mudah saja, dan 
pasti benarnya: (I). Oleh sebab  Pencipta  itu tidak bisa 
dibayangkan, sehingga “Kembali kepada Pencipta ” itu juga ........ 
tidak bisa dibayangkan. (II). Oleh sebab  Pencipta  itu berkuasa 
tanpa mempergunakan alat, sehingga jika kita masih 
menggunakan alat, walau pun alat yang halus lebih dari yang 
terhalus, jelas belum kembali kepada Pencipta .
c. Caranya mati “Kembali kepada Pencipta ” itu bagaimana? Ini (c) 
Jawabannya juga tidak sulit, yaitu: dipelajari dengan tekun, 
saat  masih belum mati, ini.
Sehingga, saat  masih hidup menggunakan jazad kasar ... 
belajarlah... tentang ,,, yang tidak terbayangkan, atau belajar tanpa 
alat.
Tentunya hal itu tidak sulit kan? Namun, yang perlu keterangan 
yang panjang itu yaitu  caranya belajar. Dan yang sulit dari yang 
tersulit , itu yaitu  keberhasilannya dalam belajar.
Jika berhasil dalam belajarnya, hal itu berarti sudah sampai 
kesejatian Ma’rifat. Barangkali diperkanan oleh Pencipta  
menjalankan apa yang dikatakan di dalam dalil yang sudah pernah
saya sampaikan di depan, yang artinya: saat  orang-orang ahli 
surga itu diberi rizki dari buah-buahan surga, saling berkata: Ini 
kan sama dengan yang sudah diberikan kepadaku saat  dahulu 
(Bab I No.10).
Sehingga “Surga” di dalam dalil ini bisa dimaknai “Surga Tanpa 
Hisab” (Bebas dari Kiyamat) juga bisa dimaknai “Surga dengan 
hisab” (Takdir setelah terlahir kembali di dunia). Kesemuanya 
berdasar dari Ilmu dan amalnya saat  masih hidup menggunakan 
jasa kasar ini.
12. kartosuwiryo : 
Iya, iya Kak, sudah jelas. Namun masih ada sedikit yang saya 
belum mengerti, tentang telah berhasil dalam belajar, namun masih 
dikatakan “Barangkali mendapat perkenan Pencipta ”. Itu 
kejelasannya bagaimana?
soebandrio : 
Ketahuilah olehmu, manusia ini bersifat celaka dan berubah-ubah. 
Maka dari itu, agama yang terpuji, tentang apa saja, memastikan 
bahwa hal itu termasuk larangan besar. Terlebih lagi tentang hal 
kematian.
saat  dalam sakaratil maut, itu sama saja sedang menempuh ..... 
Ujian. Banyak yang saat  di rumah sudah paham tentang apa 
yang dipelajarinya, bisa dengan sebenar-benarnya, tiba-tiba saat  
mengerjakan ujian ....... tidak bisa. Tentunya tidak lulus ujian.
Pastilah kejadian ini  tidak terlepas dari sebab, namun yang 
namanya sebab itu bisa mengembang panjang sekali, hingga 
sampai tidak diketahui. Contohnya: Penyebab dari tidak bisanya 
mengerjakan ujian itu sebab  lupa. Sebabnya lupa sebab  
pikirannya tidak konsentrasi. Penyebab tidak konsentrasinya 
sebab  teringat kesusahannya. Penyebab kesusahannya itu sebab  
ayahnya sakit keras. sebab  ayahnya sakit keras sehingga 
mengaikatkan sanagta sedih, sebab  adiknya masih kecil-kecil ...... 
begitulah seterusnya. Sehinga bisa disimpulkan: Semuanya itu 
tergantung kemurahan Pencipta .
Namun dalam menumpuh ujian, jika tidak lulus masih bisa 
diulangi lagi di tahun yang lain. Sedangkan tentang kematian, tidak 
demikian, sehingga dikatakan “Senteg pisan anigasi” (Sekali tebas 
putus).
“Anigasi” itu isitilahnya orang menenun, artinya sudah selesai 
menjadi tenunan: Di tigas dari alat tenunnya. Jangan kamu kira 
bermakna telah selesai semua atau sempurna (Bab III No.4), 
Sedangkan “Seneteg” itu ibarat dari suaranya “Walira dibenturkan” 
setelah benagnya di pasang.
Berbahayanya tentang masalah mati itu diibartkan “Benturan 
Walira itu tadi, yaitu hanya dalam hitungan waktu sak.... detik. 
Sangat sayang sekali, sudah bertahun-tahun belajar dengan tekun 
“Dog-dog byang anenun garingsing wayang, pakanane mas 
kumambang” ... wasana bareng anigasi, dadi jarit tenunan ... 
kepyur-kepyur negnteni randa semaya, tur benange lawe bae (Alias 
Gagal Totoal). Disebab kan lupa pada waktu satu detik itu tadi. 
Mati yang demikian itu disebut “Suul chatimah”. Sedangkan bila 
menjadi “jarit tenunan garingsing wayang temenan, (Kain pakaian 
jawa yang bagus), benangnya juga benang emas sungguhan, mati 
yang demikian itu dikatakan “Husnul chatimah”
Maka dari itu, didalam kita mengamalkan itlmu itu, baerhasil atau 
pun tidak hanya...... pasrah (berserah diri), sekehendak Yang Maha 
Kuasa yang menguasai segalanya. Berserah diri... hanya... Cuma... 
itu saja. Tanpa Amal ...... salah, sebab  jika tidak menenun, atau 
menenun menggunakan benang lawe, juga tidak akan bisa menjadi 
tenunan benang emas.
Bagaimana, apakah sudah jelas?
13. kartosuwiryo : 
Sudah Kak, Untuk selanjutnya mohon penjelasan tentang Cara 
belajar “Tanpa mempergunakan alat” itu tadi, aku sangat ingin 
mendengarnya.
soebandrio : 
Baiklah, dengarkanlah. Agar lebih jelas, kamu haru mengetahui 
terlebih dahhulu bahwa belajarnya itu bernama “Shalat Ma’rifat. 
Barangkali kami baru kali ini mendengar kata ini . Memang 
ini kata yang berasal dari bahasa Arab yang diserap ke dalam 
bahasa Jawa. Dalam saya menggunakan kata ini , dengan 
harapan agar tata caranya, jangan sampai salah pengertian.
“Shalat” itu sebutan dari suatu pekerjaan, termasuk kata kerja 
(Fi’il). Sedangkan pekerjaan “Shalat Ma’rifat” dalam bahasa 
sanskrit; Yoga, orang yang mengerjakannya disebut “Yogie”
14. kartosuwiryo : 
Saya memang belum pernah mendengar kata “Shalat Ma’rifat” itu 
tadi Kak. Yang sering saya dengar itu, Shalat Wajib, Shalat sunnat, 
shalat Hajat, shalat Witir, Shalat .... Daim. Terus, bagaimanakah 
penjelasannya?
soebandrio : 
Istilah Shalat itu ada 4 jenis, sedangkan shalat-shalat yang baru saja 
kamu sebutkan itu, dari masing-masing jenis itu, termasuk salah 
satu jenis dari 4 macam, yang akan saya jelaskan, yaitu:
1. Shalat Syari’at = Ibadah raga, bersuci menggunakan air, jika 
diterima akan medapatkan Ma’rifat Syaria’t, artinya paham 
tentang Astrendiya yang lima (Panca Indra). Seperti, oleh 
sebab  mata melihat dunia yang tergelar ini, menyebabkan 
percaya bahwa segala sessuatu itu ada yang menciptakannya, 
yaitu yagn disebut Pencipta . Keyakinan yang seperti ini 
dinamakan “Wajibul Yaqin”
2. Shalat Tharikat = Ibadahnya cipta (hati), bersuci dengan cara 
memerangi hawa nafsu, Jika diterima akan memperoleh 
Ma’rifat Tharikat, artinya memahamkan kepada pikiran tentang 
astrendiya yagn tiga (Tri Indriya). Artinya percaya dengan 
pengertian kepada yang sebenarnya dari yang disebut Pencipta , 
tidak hanya percaya meniru orang banyak saja. Kepercayaan 
yang seperti ini dinamakan “Ainul Yaqin”.
3. Shalat Khakikat + Ibadahnya Jiwa (roh) yang mempergunakan 
alat yang bernama “Rasa jati” inti rasa, bersuci dengan cara 
“Eneng Ening Awas Eling” (Kesadaran diri dengan penuh 
ketenangan dan kesucian serta kewaspaadan dengan kesadaran 
penuh). Jika diterima akan mendapatkan Ma’rifat Khakekat, 
artinya mengetahui Rasa Jati. Artinya percayanya tidak hanya 
berhenti pada pengertian saja. Kepercayaan yang seperti ini 
dinamakan Haqqul Yaqin. Dalam tingkatan ini , sudah mulai 
terbukanya bermacam-macam hijab (penutup) yang 
menghalang-halangi antara makhluk dengan penciptanya. 
Namun, disinilah tingkatan yang “amat sangat berbahaya” 
sebab  teramat sangat banyak “godaannya”.
4. Shalat Ma’rifat = ibadahnya Suksma, yaitu Jiwa yang berkuasa 
tanpa mempergunakan sarana (Purusha = Ikheid, Bab I No.32, 
Bab II No.7) bersuci menggunakan Wairagya (Zuhud, Bab III 
No.7) yaitu membuang segala cita-cita apa saja, selain hanya 
tertuju kepada Pencipta . Jika diterima akan mendapatkan 
Ma’rifat dari Ma’rifat atau sebenar-benarnya Ma’rifat 
(sejatining ma”rifat). Artinya, percayanya tanpa sarana, serta 
tidak bisa terbayangkan. Yaitu dalam tingkatan ini disebut 
“Leburing papan kalawan tulis” “Hilangnya padan dan tulis”. 
“cep tan kena kinecap” “Diam tenang tanpa ucap” // Tingkatan 
ini disebut “Isbatul Yaqin”, yaitu tetapnya kepercayaan. Itulah 
yagn paling utama, bisalah melakukan hal itu, 5 kali dalam 
sehari semalam. Paling tidak 1 kali dalam satu minggu. Jika 
tidak, paling tidak sekali dalam satu bulan. Jika pun tidak, 
sekali dalam satu tahun. Jika tidak, sekali dalam se umur 
hidup”.
Nyanyian Jawa (ura-ura) entah siapa pengarangnya, yang 
menggabarkan Rindunya seseorang yang baru sekali mencicipi 
“Tan kena kinaya ngapa “ (Yang tak terbayangkan), seperti ini 
(Dhadhanggula).
Damar kurung binekta ing kemit;
Tintingana salira priyangga;
Den rumangsa ing sisipe;
Roningkacang puniku;
Angelayung rasaning ati;
Sela penglawed ganda;
Sepisan ketemu;
Kelabang sinandung muncar;
Nora rena kepanggih pisan ping kalih;
Kumudu saben dina.... (Tidak diterjemahkan)
Bagi yang sudah terbaisa seeprti itu (Tan kena kinaya ngapa = 
Sejatining ma;rifat) sinebut “ARIFIN”. Sehingga yang disebut Arif 
itu pasti “Yogie”, namun “Yogie” belum tentu sudah sampai di 
tingkatan “Arif”.
Bagaimana? Apa sujah jelas pemahamanmu?
15. kartosuwiryo : 
Sudah Kak! Aku sekarang paham, sehingga kata “Ma;rifat” itu 
bermacam-macam dalam memaknainya. Untuk selanjutnya, 
mohon penjelasan bagaimana caranya menjalankan yang disebut 
“Shalat Ma’rifat”, aku sangat ingin mendengarnya. Apakah yagn 
disebut nutupi babahan hawa sanga, mandeng pucuking grana? 
(Menutup lobang sembilan dan memandang pucuk hidung). Dan 
aku pernah mendengar kata “Tafakur” dan juga “Semedi” itu 
maknanya bagaimana? Apakah yang itu yang sesuai dengan istilah 
Kakak menyebutnya “Shalat Ma’rifat”?
soebandrio : 
Menutup longa sembilan (Tidak mengaktifkan 2 lubang Kuping, 2 
lubang Hidung, 2. Mata, 1 mulut, 1 lubang kelamin, 1 lubang 
pembuangan, itu termasuk sikap memaksakan diri, yang akan bisa 
merusak raga kita. Sama saja dengan bunuh diri. Ikap yang 
demikian itu mungkin dilakukan di Tanah Hindu sebelum Sang 
Buddha mengajarkan penerang. Bagi Agama Islam, tentang hal 
apa saja yang menyebakan rusaknya badan itu jadi larangan.
Tentang memusatkan pandangan pada ujung hidung, dengan 
setengah terpejam (Rem-rem ayam), atau benar-benar terpejam, 
tidak ada larangan untuk dijalankan, Tujuan dari kata-kata ini , 
Pandangan kedua mata dipusatkan menuju di antara kedua alis 
mata (Panon = diatas pasu). Ujung hidung di dalam Qur’an disebut 
Gunung, yang dipandang oleh Nabi Musa as. Atas perintah Pencipta , 
sebab  Nabi Musa as. Ingin melihat Dzat Pencipta  (Al A’raf 143). Di 
serat Dewa Ruci (Ada di Blog ini) disebut “Gunung Reksamuka”, 
sedangkan di serat-serat lainnya disebut “Gunung Tursina”.
Tentang sikap yang tidak merusak badan kasar itu bagaimana?
Singkatnya saja begini: Tujuan dari sikap demikian tidak lain 
hanya untuk mengendalikan gar menjadi tenang kerja dari 
Astrendiya. Seperti yang sudah saya sampaikan di depan, 
Astendriya bisa berfungsi sebab  teraliri daya yang bernama 
“RASA’ atau “TALI RASA” (Bab I No.29 Bab II No.20, 21). 
saat  Astrendiya sudah tenang, yang aktif tinggal daya (Sesuatu 
yang sangat halus) yang bernama Rasa Sadar (Eling) atau Rasa 
Jati. Sehingga yang bernama rasa jati itu tidak lain, Rasa yang 
berfungsinya tidak teraliri si Astenriya.
Dalam tingkatan ini, bisa disebut , menjalankan “anjumenengake 
Jiwa (Roh) kang urip mawa piranti rasa jati” (Menegakkan Jiwa 
(roh) yang hidup dengan menggunakan rasa jati).
Oleh sebab  sudah mengerti tujuannya itu bisa membuat diamnya 
gerak dari astrendiya, maka sikap dari badan kasar itu tidak perlu 
dipaksa-paksa. Sebisanya dan sesuai dengan caranya sendiri￾sendiri, tenang dengan menopang paha juga boleh. Menata nafas 
juga bisa, biar menata dengan sendirinya juga boleh. Singkatnya, 
sesuai dengan pengalaman diri masing-masing, yang apda 
akhirnya akan menemukan cara yang paling cocok, untuk dirinya 
sendiri.
16. kartosuwiryo : 
Mohon maaf Kak. Seandainya laku yang disampaikan Kakak itu 
berhasil, itu kan bukan sejatinya Ma’rifat, sebab  baru sampai 
tegaknya jiwa yang masih mempergunakan sarana Rasa jati. Jika 
kau tidak salah, Kakak mengatakan, bahwa sebenarnya ma’rifat itu 
di dalam keadaan yang tanpa sarana.
soebandrio : 
Memang bukan Ma’rifat yang sebenarnya, Itu jika diperkenankan 
baru sampai ke tingkat Ma’rifat hakikat (Mengetahui isi rasa jati) 
yaitu tingkatan yang saya katakan sangat Berbahaya itu (Bab III 
no.14). Padahal baru sampai ke tingkat itu saja sudah sangat sulit, 
pilih-pilih yang bisa diterima dalam pencariannya.
Dan juga, apa yang sudah saya katakan, belum selesai. Baru 
sampai bab sikap dari badan kasar saja dan tentang pengaturan
nafas. Sedangkan kelanjutannya, sebagai berikut:
Seseorang yang menjalankan Shalat Ma’rifat (Yoga) itu dalam 
mengolah ciptanya tujuannya ada dua jenis, yaitu:
a. Menyatukan (memusatkan, mengheningkan, konsentrasi) cipta, 
dalam Bahasan Arab disebut Tafakur. Makna apa adanya dari 
kata tafakur itu memikirkan atau mikir-mikir, akan namun  dalam 
tindakan itu bermakna Pikir (Cipta). Memusatkan Cipta itu kata 
lainnya yaitu :Shalat Ma’rifat yang menggunakan (gigitan) = 
(Lisan, obyek), dalam bahasa sanskrit: samprajnata.
b. Mengosongkan cipta, bahasa lainnya barangkali meditasi. Jika 
dalam mengosongkan itu dengan mengucapkan mantra atau 
kata-kata atau dalam bahasara Arabnya Dzikir. Makna apa 
adanya dari Dzikir itu mengingat-ingat, namun dalam tindakan 
itu bermakna mengucapkan kata-kata sebagai sarana untuk 
menapak dengan tujuan untuk mengosongkan cipta. Sedangkan 
mengosongkan cipta itu dalam kata yang lain disebut: Shalat 
Ma’rifat, yang tanpa cakotan, dalam bahasa Sanskrit: 
asamprajnata. Jika saat  mengosongkan cipta menggunakan 
pijakan mengucapkan rangkaian kata, dalam bahasa sanskrit 
disebut: asamprajnata mantra yoga.
17. kartosuwiryo : 
Sekarang saya sudah mengerti makna kata Tafakur yang saya 
mohonkan keterangan itu tadi (Bab III No.15),. Ternyata tafakur 
itu tidak sama artinya dengan Shalat Ma’rifat, hanya salah satu cara 
dama menjalankan Shalat Ma’rifat saja. Sedangkan yang diberi 
nama “Semedi” Kakak belum menjelaskannya.
soebandrio : 
Shalat Ma’rifat (Yoga) yang bisa berhasil mencapai sejatinya 
Ma’rifat (Ma’rifat kepada Pencipta  = Ma’rifatullah) itu, dalam 
bahasa Sanskrit: Samadhi, dalam bahasa Arabnya disebut: 
Khusyuk. Sehingga kata Samadhi dan Khusyuk itu kata kerja, akan 
namun  berkembang melebar dalam bahasa Jawa “Samadhi” itu 
dianggap kata kerja yang artinya sama dengan “Yoga”. Dalam 
sebuah Hadits: Man shalla rakataini lamyuhits fihima nafsuhu 
bisyai’in min amri addunya (Barang siapa Shalat dalam dua raka’at 
bisa bebas dari perkara dunia) Ghufiralahu maa taqaddama min 
dzanbihi (diampuni oleh Pencipta , atas segala dosa yang telah 
dilakukan selama hidupnya).
Sedangkan “bebas dari semua perkara dunia itu, yang disebut 
khusyuk atau samadhi, yang bisa melepaskan manusia dari dosa 
warisan yang berasal dari Nabi Adam (Dosa selama hidup).
Sedangkan keterangan hadits “Shalatnya khusyuk, diampuni 
dosanya” itu perintah yang mengandung didikan ke arah aktif dan 
optimistis (mau mengerjakan dengan tanpa putus asa), padahal 
sebenarnya ....... siapakah yang tidak berdosa: Shalatnya bisa 
khusyuk”.
Sedangkan yang dinamakan dosa bagi para penempuh Ma’rifat itu 
tidak sama dengan dosa bagi ahli Syari’at. Dalam ajaran Syariat, 
perbuatan jahat yang belum terlahir, itu belum termasuk dosa. 
Sedangkan batasan perbuatan jahat itu, yang menjadi larangan 
Agama. Akan namun  bagi para penempuh Ma’rifat, yang 
dinamakan dosa itu, semua perbuatan baik dalam tata lahir maupun 
masih di dalam hati, itu yang menjadi penutup antara Sang 
penempuh dengan Pencipta nya. Jika dosa yang seperti itu sudah bisa 
dihilangkan, yahhhh itu baru bisa melakukan Shalat Khusyuk 
(samadhi). Walau pun tidak bisa dua raka’at, iya satu raka’at, apa 
satu menit, apa satu detik, menurut tebal tipisnya sisa dari dosa 
yang masih menguasainya.
Yah, jadi melebar!! Urutannya kan baru sampai membahas sikap 
yoga, tadi itu?
18. kartosuwiryo : 
Iya, sekarang sebaiknya meneruskan menjelaskan tentang Yoga 
lagi. Yoga yang masih gigitan dan yoha yang tanpa gigitan, itu 
lebih baik yang mana dan lebih mudah yang mana untuk 
dilakukan?
soebandrio : 
Kesullitannya itu samasaja, akan namun  tiap-tiap orang tidak sama 
keadaannya. Orang yang sifatnya pasif, walau pun belajar 
menggunakan gigitan, kadang-kadang akibatnya menjadi tanpa 
gigitan. Demikian juga sebaliknya, orang yang sifatnya aktif, walau 
pun saat  belajar tidak menggunakan gigitan, pada akhirnya 
mejadi menggunakan gigitan.
Namun kita ini bebas memilih mana yang cocok. Bagi yang baru 
belajar itu lebih baik yang menggunakan gigitan (menyatukan 
cipta). Yang menjadi gigitan: apa pun saja boleh, memang yang 
paling baik itu memusatkan ciptanya kepada Pencipta  (isi alam ini 
semuanya). sebab  bagi yang baru belajar tanpa gigitan 
(mengsongkan cipta) itu, kebanyakan tertipu atau tersesat menjadi 
...... Perewangan (medium), yang tidak disengaja. 
Perewangan itu, mendesak jiwanya sendiri (roh yagn asli), seluruh 
badan kasarnya beserta perlengkapan astendriya: tidak mempunyai 
daya kekuatan untuk membantah perintah dari roh lainnya yang 
mempengaruhinya. Diperintah berkata-kata ya berkata-kata, 
diperintah berjalan juga akan berjalan ..... dengan setengah ingat 
setengah sadar apa yang dilakukannya itu, atau tidak ingat apa-apa.
Hal seperti itu, itulah hal sangat berbahaya dan menakutkan, baik 
dalam lahir maupun dalam batin. Sebab jika yang mempengaruhi 
itu roh yang baik, tentu akan diperintah tentang hal yang baik, 
sebaliknya jika yang mempenagaruhi itu roh yang jahat, pastilah 
akan memerintah hal kejahatan dan hal yang aneh-aneh. Kemudian 
orang banyak akan mengira gila atau kesurupan. Lebih baik 
perewangan yang di harapkan daripada perewangan yang tidak 
diharapkan. sebab  perewanagn yagn diharapkan itu , ruh lain 
dalam mempengaruhi tidak tetap, hanya saat  diperlukan saja. 
Sebaliknya, roh yang tidak dinginkan, dalam melakukan pengaruh 
secara terus menerus. Agak lebih beruntung, jika yang 
mempengaruhi itu roh yang baik, walau pun orang ini  
dipengaruhi terus menerus “Abnormal” namun orang awam tidak 
menuduhnya gila atau kesurupan, terkadang malah .... dihormati, 
dan di agungkan oleh umum.
19. kartosuwiryo : 
Mohon maaf Kak!! Kakak pernah menyampaikan, yang disebut 
Pandita putus ing Sunyata (ahli dalam hal sunyata atau hampa), di 
malam ini kakak menyebutnya “ Yogie yang sudah samapi 
samadhinya. Jadi, puncak yoga itu kan ...... kosong (hampa). 
Apakah sebabnya, yang belajar yoga di awali dengan cara 
mengosongkan cipta banyak yang tersesat menjadi perewangan?
soebandrio : 
Apa yang kamu sampaikan itu sangat tepat. Memang puncak yoga 
itu kosong (hampa). Akan namun  kosongnya seorang pandita putus 
dalam kehampaan itu tidak sama dengan kosongnya orang yang 
baru saja belajar.
Yang baru belajar itu pada umumnya belum bisa melepaskan 
keterikan dunia (cita-cita). Malah tidak kurang-kurang saat  
belajar yoga itu memang dipakai sarana untuk mencapai tetang 
urusan dunia (derajat, semat, keramat). Yang demikian saat  
mengosongkan, sebagai gambarannya bagaikan memasang rumah 
lebah yang disi gula, barangkali ada lebah yang datang. Atau 
memasang jebakan yang ada kambingnya berbunyi embek-embek, 
barangkali saja ada harimau yang mendatanginya.
Kamu kan sudah mengerti, yang menyebabkan seseorang saat 
meninggal dunia belum kembali kepada Pencipta , serta terpaksa akan 
terlahir lagi ke dunia ini? Tidak alain sebab  belum bisa 
melepaskan ikatan dengan dunia (Bab II No.37). Itu contoh 
ibaratnya lebah atau harimau itu tadi.
Roha dari seseorang yang meninggal dunia yang akan 
mempengaruhi calin perewangan itu, bisa dipastikan kondisinya 
mengikuti isi dari calon perewangan, dibahasakan mencari yagn 
sejenis, Isian itu diibaratkan gula atau kambing itu tadi. Sehinga: isi 
dari calon perewangan itu menginginkan kekayaan, yang 
mendatanginya juga roh yang bernafsu tentang urusan harta. Jika 
isi dari calon perewanagan itu tadi menginginkan untuk menjadi 
Dukun atau guru ilmu kebatinan, dan sejenisnya, juka akan 
didatangi roh yang saat  hidupnya mempunyai cita-cita demikian.
Sedangkan kosongnya Pendita putus itu sunyata (kehampaan) yang 
tidak demikian itu. sebab  beliaunya tidak ketempelan urusan 
dunia, sehingga tidak akan ada roh yang ketrik sebab  Sang 
Pandita tidak ada isinya yang sama jenisnya dengan roh yang 
berkelana itu tadi.
Pun demikian, ada sebagaian ajaran (namun bukan bersumber dari 
Qur’an dan hadits) yang dalam menempunya tentang 
kesempurnaan itu mengharapkan mendapatkan tuntunan dari roh 
luhur dan suci dengan cara seperti itu. Aku mengatakan hal yang 
jujur kepada dirimu, bagi kakakmu, Aku, hal seperti, tidak mau.
20. kartosuwiryo : 
Sedangkan tidak mau Kakak itu, sebabnya bagaimana? Dan juga 
tadi Kakak mengatakan tentang perewangan terus-terusan, itu 
tandanya seperti apa? Seumpama aku mengoreksi diriku sendiri, 
gar tidak terjadi demikian, apakah tidak bisa?
soebandrio : 
Memang, penolakanku itu tidak sepi dari sebab. Menuru 
pendapatku, begini:
Luhur bagaimana pun, sesuci apapun, roh yang belum kembali 
kepada Pencipta  itu jelas merupakan roh yang belum sempurna. 
Seumpama roh yagn belums empurna mengajarkan ajaran, tentu 
saja ....... Tidak sempurna, terkadan justrus menyesatkan. 
Sedangkan kita yang masih berbadan kasar ini, masih mempunyai 
kesempatan yagn sangat longgar untuk menggapai yang lebih 
sempurna. Dan jika di rasakan dari ajaran Agama, ilmu yagn 
demikian itu bagaikan menyembah berhala atau menyekutukan 
Pencipta , yagn semestinya harus kita hindari.
Selain itu, luhur yang bagaimana pun, sucu yang seperti apa pun, 
roh ahli kubur yang menuntun terhadsap orang yang hidup di dunia 
itu saya anggap ..... sesat. Sejauh-jauhnya. Sedangkan jalan yang 
benar; Jika dirinya mempunyai tujuan akan menuntun manusia 
yang hidup di dunia itu, juga harus bisa hidup di alam dunia 
terlebih dahulu, yaitu harus terlahir menjadi bayi dahulu, 
barangkali saja akan tercapai cita-citanya.
Sedangkan tanda dari perewangan yang tetap atau orang yang 
dalam pencariannya dituntun oleh roh yang lain itu, yang pasi ...... 
fanatik, tidak akan mau mempertimbangan pendapat orang lain. 
sebab  akal dan pikirannya memang sudah tanpa daya. sebab  
akal dan pikirannya sudah tidak bisa mempertimbangkan dan 
menalar, sehingga kadang-kadang melakukan perbuatan yang 
aneh-aneh sehingga disebut aneh.
Yang demikian itu, sebenarnya  yang menjalankannya sendiri 
pun juga bisa mengoreksi dirinya sendiri, jika saja mau. Bagi yang 
mengoreksi dirinya sendiri selain tanda-tanda itu tadi, ada tandanya 
lagi yang nyata, yaitu saat  dirinya mulai kehilangan 
kemerdekaannya, itu sudah pasti ada yang menuntun. Maksudnya 
akan ke utara menjadi ke arah selatan, akan menyambut tamu 
justru menutup pintu, dan sebagainya, jika memaksakan diri untuk 
menuruti keinginannya sendiri, kemudian .... Sakit, atau 
mendapatkan siksa yang lainnya.
21. kartosuwiryo : 
Wah.... sungguh sangat gawat, Kak! Nah... sekarang nasihat 
Kakak: Mana yagn bisa saya lakukan serta jauh dari bahaya? 
sebab , aku juga tidak mau dituntun oleh roh gentayangan seperti 
itu.
soebandrio : 
“Menyarankan” itu kurang baik, sebab  hal itu tergantung pilihan 
kamu sendiri. Aku hanya bisa berkata: Yang tanpa beban itu .... 
menjalankan Syari’at! (Bab I No.8). Sedangkan jika kamu akan 
menyetakan tentagn Hakikat, untuk mencapai Ma’rifat, jangan 
lupa matangkan dahulu pencarianmu tentagn Tarikat (Bab II 
No.40).
Sebab, kejadian bahaya itu tadi, selain sebab  sikap dalam 
pencarian, tidak lain sebab  belum benar-benar jelas tentang 
membedakan yang “Iya” dan yang “bukan”, alias belum matang 
tarekatnya. Jika syarat rukunnya sudah dijalankan, tentu tidak 
menemukan kehinaan, serta disyarati tekad “Jika hanya berani atas 
yang mudah saja, dan takut kepada yang sulit, segala sesuatu tidak 
akan bisa ditemukan” Iya apa tidak?
22. kartosuwiryo : 
Iya betul Kak! Akan namun  kau tetap memohon untuk diberi 
penjelasan tentang Yoga itu tadi, supaya aku lebih jelas, barangkali
ada bahaya tambahan.
soebandrio : 
Aku tidak keberatan, Dengarkanlah!
Belajar Yoga itu, gunakanlah sikap menyatukan cipta, apa .............. 
sulitnya. Tidak bisa dibatasi kapan sampai bisanya dalam berapa 
bulan atau berapa tahun, seperti saat  mencari ilmu di tata lahir 
ini. sebab  belajar Yoga itu tidak cukup dibekali Rajin dan tekun. 
Bisa dan belum bisanya itu tergantung lengkap atau belum 
lengkapnya dalam menenangkan si astendriya.
Awas, yang saya sebut “Bisa” di sini bukan berarti bisa yoga yang 
sebenarnya yoga, apalagi sampai dengan “Samadhi” hlo! 
Makanya, tidak menyebutkan tentang Wairagya, Yang saya 
katakan bisa di sini itu, baru sampai berdirinya Jiwa yang masih 
beserta perangkatnya yang bernama Rasa Jati (Bab III No.15), 
sehingga bagu sampai bsai melewati jalannya Yoga saja.
Maka dari itu, awal belajar itu, boleh saya belum wairagya, 
maksudnya boleh saja menyatukan citanya kepada urusan dunia. 
Tentang apa saja yagn disenangi itu boleh saja (Bab III No.18), 
kadan gjuga bisa menjadi syarat memepermudah dikala belajar.
Di sinilah kunci dari segala Aji, seperti: Pengasihan, gendam, 
kedidayaan, kekuatan, asmaragama dan sebagainya. Sehingga para 
sesepuh dalam melihat ilmu yang seperti ini, bisa diterima: Agar 
yang dilihat belajar melewati jalan Yoga (Shalat Ma’rifat). 
Sayangnya, banyak yang terhenti di tingkatan itu, malahan yang 
semula mempunyai cita-cita lebih luhur (Tentagn Pencipta ) juga 
banyak yang tergiur di tingkatan itu.
23. kartosuwiryo : 
Mohon menyela dahulu Kak! Yang belajar mempergunakan sikap 
menyatukan cipta, bisa menghasilkan kelebihan yang disebut “aji” 
itu tadi, bisa dikatakan juga: Kelebihan itu terjadinya dari 
terpusatnya cipta. 
Sedangkan yang belajar mempergunakan cara mengosongkan 
cipta, bisa menghasilkan kelebihan apa?
soebandrio : 
Wah, pertanyaan ini  terkadang, sangat sulit untuk dijawab.
Belajar dengan menggunakan cara mengosongkan cipta itu, 
buahnya kebanyakan: Mendapatkan sasmita atau wangsit. Namun 
juga bisa: Tidak sengaja membuahkan salah satu kelebihan seperti 
yagn menyatukan cipta itu tadi. Keterangan seperti ini: ....
Kelebihan yang terjadi dari terpusatnya cipta itu, pasti hanya salah 
satu kelebihan saja, dari mana yang dipelajarinya. Sedangkan jika 
ingin mempunyai kelebihan dua atau tiga, dalam memusatkan 
saat  belajar, juga harus dua tiga kali.
Sedangkan yang belajar menggunakan cara mengosongkan cipta 
iu, saat  dipengaruhi oleh roh yagn saat  hidupnya 
mengedepankan kepada salah satu dari kelebihan itu, maka akan 
mempunyai kelebihan seperti itu, yang tanpa disengaja.
Sehingga: Keleibihan orang yang menyatukan cipta itu dengan 
jalan disengaja, serta berasal dari kekuatan roh-nya sendiri, akan 
kelebihan orang yang mengosongkan ciptanya itu, tidak disengaja, 
serta berasal dari kekuatan roh lain yang mempengaruhinya.
Bagaimana, apakah kamu bisa menerimanya?
24. kartosuwiryo : 
Iya, mengerti Kak! Kemudian bagaimana terusnya? Sepertinya 
masih panjang yang perlu di jelaskan kepadaku.
soebandrio : 
Akan saya singkat saja, menjadi panjang itu, tergantung 
pertanyaanmu.
saat  kita mengawali belajar menangkan astendriya itu, pastilah 
pada awalnya, kedunya, bahkan sampai berkali-kali hingga 
berpuluh-puluh atus pengulangan .... juga belum bisa mencapai 
ketenangan. Apa lagi tenang yang sebenarnya. Jika 
mempergunakan cara menyatukan cipta, citanya atidak bisa 
menyatu, jika mempergunakan cara mengosongkan cipta, ciptanya 
melayang. Sedangkan jika matanya, dipejamkan, yang ada hanya 
gelap, jika di pejamkan seperti ayam mengantuk jiga tidak melihat 
apa-apa. Maka dari itu, jika tidak dengan sabar dan tekun, pastilah 
menjadi bosan, malas, putus asa sehingga menghentikan dalam 
belajarnya.’ 
saat  astendriya mulai bisa tenang sedikit, matanya yang 
terpejam atau terpejam bagaikan ayam yang mengantuk itu mulai 
bisa melihat apa-apa: berujud berbagai warna kadang juga suatu 
ujud, namun hanya sekejap-sekejap, saling bergantian, belum jelas 
sama sekali.
saat  itu, yang belajar pada umumnya mulai senang, hilagn 
bosannya, sebab  sudah merasakan apa yang disebut “Penglihatan 
gaib”.
Namun yang demikian itu, sebenarnya masih sangat jauh, 
seandainya orang berjalan itu, baru melaangkahkan satu langkah 
kaki.
25. kartosuwiryo : 
Maaf Kak, Aku mohon untuk diterangkan sekalian: Mata yang 
terpejam tiba-tiba bisa melihat apa-apa, itu nalarnya bagaimana? 
Dan yang terlihat itu dari mana salnya dan sejenis apa?
soebandrio : 
Di depan sudah saya jelaskan, saat  si astendriya itu tenang, yang 
bekerja tinggal si rasa jati (Bab III No.15) Sehingga yagn bernama 
penglihatan Gaib yang bisa dilihat pun penglihatan gaib itu, tidak 
lain yaitu  penglihatan rasa jati.
Akan namun  sebab  yang sedang kita bicarakan itu tadi si astendriya 
belum tenang beneran. Sehingga penglihatan rasa jati basih sangat 
bergetar tidak terlihat jelas.
Sedangkan gambaran gaib yang nampak saat  itu (Warna atau 
ujud) bukan berasa dari sana sini, tidak lain yaitu  berasal dari diri 
sendiri. Yaitu bekas dari kerja astendriya yang tiga (Tri Indriya), 
Angan-angan, pikiran dan keinginan. Seingga seperti orang yang 
bercermin: melihat rupa sendiri. Semua itu singkatnya dinamakan 
Hijab (Warana = penghalang), sehingga tidak perlu diperhatikan, 
tidak perlu dimaknai atau di otak-atik dikira-kira.
Kadangkala, pengalaman seperti itu sangat lama. Terlebih lagi bila 
yang sedang belajar itu merasa mendapatkan kunci gedong gaib, 
yang bisa ditanyai tentang apa saja, pastilah pengalamannya hanta 
terhenti hanya di situ saja.
 Memang, tiap bertanya pasti mendapat jawaban, sebab  pertanyaan 
dan jawaban itu dari satu sumber, seperti bagaikan berkeaca itu 
tadi.
Sedangkan bagi yang tidak mau memperhatikan atas yang terlihat 
itu, sebab  paham bahwa itu penghalang/hijab/penutupyang harus 
dibuka, kemudian akan memperoleh pengalaman lagi yang ..... 
sangat berat sekali. Yaitu terasa bergetar di seluruh badan atau 
seperti ada yang merambat, kadang seperti digigit semut rasa di 
seluruh badan, kadang juga terdengar suara yang mengagetkan dan 
lain-sebagainya. Singkatnya, jarang yang mampu bertahan. 
Keadaan seperti ini dalam kisah pedalangan digambarkan, pasukan
“Bajo – Barat” yang menggoda seorang satria yang sedang bertapa. 
Sedangkan yagn dirasa dan yagn didengar itu semua tidak lain: 
adaalah si asendriya itu tadi yang akan benar-benar teenang. 
Pengalaman yang seperti ini berkali-kali terulang lagi.
Jika yang sedang belajar sudah berkali-kali lulus dari pengalaman 
yagn berat ini, jika diperkenankan, kemudian akan mendapatkan 
pengalaman lagi yang ...... mengerikan! Yaitu terasa darahnya 
berjlan diawali dari ujung jempol kaki, naik ke punggung, tengkuk, 
kepala. Demikian juga yang dari dada juga naik ke kepala. 
Kemudian terasa melayang seperti akan pingsan. Setelah akan 
terasa merinding, bulu kuduk berdiri semua, sangat takut. Khawatir 
jika terlanjut ....... meninggal dunia, akhirnya kembali jalan.
Di dalam mengalami pengalaman yang seperti itu, seharusnya 
jangalah takut dan kuatir, kadang juga nafas yang menjadi tali 
hidup ini... janganlah dirubah sedikit pun.
Dan jika di waktu itu nafasnya di tahan, tentu akan putus, hingga 
berakhir menjadi kematian, dan tidak bisa diulang lagi atau 
disambung lagi.
Cara memutus tali hidup dalam keadaan seperti itu tadi, yang 
sudah dijalankan oleh Syeikh Siti Jenar dan para muridnya, yang 
termuat di dalam layangBabad.
26. kartosuwiryo : 
Iya Kak, aku sudah bisa menerima. Kira-kira jika demikian 
pengalaman yang akan dialami saat  dalam keadaan sakaratil 
maut. Sehingga yang kelihatakan dalam tata lahirnya; Bagi sudah 
pernah belajar sekarat dengan yang belum pernah, memang ada 
bedanya.
Sedangkan yang tidak kembali seperti penjelasan Kakak,
kelanjutannya bagaimana, Kak?
soebandrio : 
Jika tidak kembali kepada jalannya, itu berarti bisa membuka 
penghalang, Yaitu yagn saya sebut bisa diterima pada tingkatan 
Ma’rifat Hakekat (Bab III No.14) measuk ke dalam alam yang 
baru, yang bukan alam bagi orang yang melihat dengan mata 
kepala. Bukan alam bagi orang tidur. Di dalam Serat Wedhatama 
(ada di Blog ini juga); dikatakan .... “Kabuka ing warana”. Tarlen 
saking liyep layaping aluyut, pinda pisating supena, sumusup ing 
rasa jati”
Bagi yang belajar dengan cara mengosongkan cipta, pada detik itu 
awal mula mulai kepengaruh oleh roh lain yang kemudian menjadi 
penuntunnya. Sedangkan bagi belajar menggunakan cara 
menyatukan cipta, pada detik itu menyatu dengan yang ada dalam 
ciptanya.
Namun ketahuilah olehmu, walau pun sudah pernah memasuki 
pengalaman seperti itu, belum tentu dalam tiap-tiap melakukan hal 
yang sama saat  menenangkan Astendriya bisa mengalami hal 
seperti itu lagi. Sehingga banyak yang berpendapat, bahwa saat  
itu sudah samapi kepada seejatinya ma’rifat, yagn digambarkan 
kenikmatannya “Sor langening salulut”, dan ceritakan serta di 
katakan bahwa yang menyembah itu yaitu  yang disembah, sebab  
kenyataannnya hanya stu, bukan dua atau tiga. Di dalam Serat 
Wedhatama itu tadi juga mempunyai anggapan bahwa itu sudah 
disebut “Mulih mula mulanira” (Kembali kepada asalnya).
Hal itu menurut Kakakmu aku ini, walau pun belum pernah 
memasuki alam Sejatinya Ma’rifat (Ma’rifatullah), namun punya 
keyakinan, bahwa sejatinya Ma’rifat tidak hanya seperti yang baru 
saja dibicarakan itu tadi, sebab  pengalaman tentang rasa 
kenikmatan dan rasa dalam penyatuan atau satu rasa itu berarti 
masih menggunakan “Alat” dan masih bisa digambarkan atau 
dibayangkan. Sehingga: yang disebut Ma’rifat kepada Pencipta  itu 
seharusnya juga dalam pengalaman yang “Tanpa menggunakan 
alat” dan “Tidak bisa terbayangkan” (Bab III No.11.b). Iya apa 
tidak?
27. kartosuwiryo : 
Penyampaian Kakak yang demikian, memang masuk akal dan 
pikiran. Untuk selanjutnya, mohon perkenan Kakak untuk 
memeberikan penjelasan: Dari pengalaman Ma’rifat Hakekat 
sampai dengan Ma’rifatnya Ma’rifat itu cara-caranya bagaimana?
soebandrio : 
Sabar dulu, yang baru saja kita bicarakan itu tadi, saya teruskan 
lagi:
Seseorang yang mengosongkan ciptanya yang kemudian 
memasuki pengalaman seperti itu, tentu saja untuk selanjutnya 
hanya tinggal mengikuti dan mematuhi kepada roh yang 
mempengaruhinya, sebab  keadaanya sudah menjadi “Luar biasa” 
secara terus menerus (Bab III No.18).
Sedangkan bagi orang yang bercita-cita terhadap sesuatu urusan 
dunia dengan jalan menyatukan ciptanya, jika sudah sampai 
kepada pengalaman yang demikian itu sudah selesai, artinya hanya 
berhenti sampai di situ saja. Serta biasanya yang menjadi cita￾citanya itu akan terlaksana. Sedangkan jika di lain hari ada yagn di
cita-citakan lagi, juga dengan jalan melakukan yang seperti itu lagi, 
namun belum tentu memperoleh pengalaman seperti yang sudah 
itu.
Sedangkan bagi seseorang yang bercita-cita untuk Ma’rifat kepada 
Pencipta , dan saat  menyatukan ciptanya ditujukan atas salah satu 
urusan dunia hanya untuk pijakan saja, setelah memeperoleh 
pengalaman seperti itu, harus dilanjutkan lagi usahanya. Boleh saja 
berganti-ganti yang dijadikan untuk berpijak, yang kemudian 
melanjutkan menyatukan ciptanya tertuju kepada Pencipta .
Hal itu biasanya, penglihatan rasa jatinya bisa melihat ....... Ujud 
dirinya sendiri, yang berwarna putih dan tanpa cacat. Di dalam 
serat-serat Wirid dan Suluk-suluk disebut dengan nama “Mayang 
Seta” (Bayangan putih). Apakah itu yagn disebut Pencipta ? 
BUKAN!!!!!! sebab  Tuha itu tidak akan bisa terbayangkan, 
padahal yang itu rupad dari dirinya sendiri, sehingga jelas bukan 
Pencipta .!!!
Kejelasannya: Itu hanya seperti orang yagn sedang bercermin, 
yagn sudah saya jelaskan tadi itu (Bab III No.25). Perbedaannya: 
Yang tadi itu Astendriya sama sekali belum tenang, makanya 
saat  bercermin: Penglihatan Rasa jati hanya melihat rupa atau 
perwujudan Symbol (perlambang) bekas dari kerja angan-angan, 
pikiran, keinginan. Namun sekarang astendriya sudah bisa benar￾benar tenng, sehingga saat  bercermin: penglihatan rasa jati bisa 
melihat jiwa (roh)nya sendiri.
Namun ketahuilah olehmu, Roh yang lain yang yang dituntun oleh 
perewangan secara terus menerus itu tadi, juga sering 
memperlihatkan diri kepada yagn dituntun; Seperti rupa dari yang 
dituntun itu!! Bahkan orang yang bukan menggunakan 
perewangan, juga sering DIPALSU oleh roh lain, dengan cara 
seperti itu. (Hati-hatilah).
28. kartosuwiryo : 
Wahhhh!!! Jika demikian, Sungguh, sangat amat berbahaya sekali, 
Kak!! Sehigga: aku, yagn tidak mau dintuntun oleh roh 
gentayangan seperti itu (Bab III No.21) seandainya aku bisa 
sampai tingkatan itu, jika kurang waspada dan hati-hati, masih bisa 
di palsu yang kemudian dituntun juga. Sedangkan perbedaan Roh￾nya sendiri yang sebenarnya, dengan yang menyerupai roh diri ini, 
akan namun  palsu, itu bagaimana Kak?
soebandrio : 
Perbedaanya itu sebenarnya  tidak perlu untuk diceritakan. 
Seperti, ada yang menerangkan, bahwa roh-nya sendiri yang 
sebenarnya itu, ada tanda Huruf Alif di dahinya, yagn disebut 
“ALIF mutakalimun wahid.” Ada juga yang menerangkan bahwa 
rohnya diri sendiri itu dengan tanda duduk di singgasana. Ada juga 
yang menjelaskan roh-nya sendiri itu warnanya putih, bukan putih 
susu atau putih kaca, yaitu putih alumunium. Namun tanda-tanda 
itu semua .... tidak ada gunanya. Sebab jika kamu sudah mengerti 
terlebih dahulu, tidak lain akan dijadikan penggambaran, yang 
akhirnya roh lian yang bertekad menyesatkan itu juga akan 
menyerupai ..... seperti yang yang gambarkan atau kamu bayang￾bayangkan itu, Nahhh.. tentunya tak ada gunanya, Kan??
Dan yang pati tidak akan bisa salah itu, tidak laina yaitu  .... jangan 
mau dituntun. Sehingga tidak akan mempergunakan cara 
membedakan antara rohnya diri ini dan roh yang lain.
(Catatan Penterjemah: Ada juga yang berbekal ilmu mengusir roh 
sebelum meraga sukma seperti itu, untuk benteng diri, ada yang 
berbekal Ayat Kursi bagi yang Islam dan sejenisnya. Dan bagi 
orang Jawa ada yang menggunakan Rajah Kalacakra, dan 
sejenisnya. Untuk membentengi diri dari serangan-serangan ruh 
yang jahat, yang bisa membahayakan diri ini. Ada juga yang 
mempergunakan Aji Panggandha (Aji penciuman Gaib) sebab  
Bau tiap diri (Bahasa kasarnya yaitu bau keringat) tiap diri itu tidak 
ada yang sama. Maaf bagi yang tidak sependapat – Jika ingin 
mendalami... sebaiknya atas bimbingan sang ahli dan sebaiknya 
jangan di cari di dunia maya.. itu semua cukup dijadikan wawasan 
saja).
29. kartosuwiryo : 
Sebentar dulu Kak!! Mohon maaf. Yang dibicarakan ini tadi: sikap 
dari orang yang berusaha mencapai Sejatinya Ma’rifat, dengan cara 
menempatkan roh nya sendiri (Bab III No.15, 22) yang tidak mau 
dituntun oleh orang lainnya (Bab III No.19,29), setelh rohnya 
sendiri sudah datang berdiri, kemudian tunutannya di tolak, hal itu 
apakah tidak rugi bagi keberhasilan pencarian.?
soebandrio : 
Rugi atau pun tidak, itu sebenarnya hanya tergantung dari 
anggapan dari diri sendiri. Coba saya terangkan rumusnya 
(formulanya), begini:
1. Yang dari semula sudah mau (mengharapkan) dituntun oleh roh 
yang lain, itu berarti sesat dari awal. sebab  roh yang dintuntun 
terdesak (terpengaruh) terus-terusan, sedangkan roh yang 
menuntunnya itu sebenarnya menurut istilahmu ....... 
Gentayangan. saat  sampai saat kematiannya ...... seperti yagn 
ini  di surat Al-An’aam 94: Walaqad ji’tumuunaa furaadaa 
kamaa chalaqnaakum awwala marrotin wa tarktum maa 
chwwalnaakum (Sesungginya kamu akan menghadap kepada 
(KU) sendirian, seperti saat  kamu (AKU) ciptakan awalnya, 
dan meninggalkan apa pun yang sudah (AKU) berikan 
kepadamu) Waraa’a dhuhuurikum wamaa naraama’akum 
sufa’aakumu adzdziena za’amtum annahum fiekum surakawua 
(dan (AKU) tidak melihat kamu kumpul dengan berhalamu 
yang bisa menolongmu, yang kamu anggap sekutu Pencipta ) 
Laqad aqaththa’a bainakum wadlalla’ankum maakuntum 
tas’umuuna (sebenarnya  sudah pisah antara kamu dan 
berhalamu, dan sudah hilang darimu apa yang sebelumnya 
kamu anggap (AKU). // Sehingga roh yang dituntun itu tinggal 
sendirian, mengalami siksa kubur, terpisah dengan roh yang 
menuntunnya. sebab  pada saat itu (ini  di dalam surat 
lainnya) Berhala atau roh yang menuntunnya itu kemudian 
mengelak alian meninggalkan dan membiarkannya sendirian.
2. Yang dituntun oleh roh yang lain yang tidak dari awalnya, 
hanya sebab  setelah mendapatkan pengalaman melihat ujud 
dirinya sendiri, tidak bisa membedakan yang sebenarnya 
dengan yang palsu, berarti tersesatnya tidak dari awal mulanya. 
saat  sampai waktu kematiannya ...... juga ditinggal oleh 
penuntunnya seperti a. Itu tadi. Hanaya yang membedakannya 
b. Ini tidak sendirian, hanya gentayangan saja, sebab  roh yang 
ditinggalkan oleh penuntunnya itu keadaanya sudah mulai 
memiliki ilmu, dari hasil usahanya yang tidak sesat 
sebelumnya.
3. Yang dituntun oleh rohnya sendiri .. jika tidak salah dalam 
memilihnya --- itu berarti tidak mengalami kesesatan seperti 
halnya a. Atau 
Cobalah pikirkan: Roh siapa pun juga yang baru sampai pada 
pengalaman sebegitu itu, keadaannya sama saja. sebab  masih 
menggunakan alat yang bernama rasa jati, yang menyebabkan 
mengalami perasaan (enak atau tidak enak) saat  berada di alam 
kubur. Sehingga rohnya sendiri tidak akan mengalami 
“gentayangan” seperti roh yang lain kamu tolak itu.
Sehingga jika disingkat:
a. Sendirian, sebab sesat dari awal.
b. Gentayangan, sebab  sestanya tidak dari awalnya.
c. Gentayangan sebab  dari perbuatannya sendiri, sebab  tidak 
mengalami sesat.
Sekarang, coba kamu jawab: Bagi yang sedang berusaha mencapai 
sejatinya Ma’rifat, jika seperti a. Menolak, seperti b, juga menolak, 
akan namun  jika seperti a. Mau, hal itu, apakah keuntungannya? Jika 
seperti c. Juga menolaknya juga, hal itu apa kerugiannya?
30. kartosuwiryo : 
Alasanku menganggp rugi itu tadi sebab  aku belum mengerti Kak. 
Sedangkan sekarang sudah jelas, walau pun seperti c itu tidak sesat, 
akan namun  seandainya orang bepergian masih harus melanjutkan 
perjalanannya, sehingga tidak terlalu lama terhenti di tempat itu, 
artinya tidak perlu memperhatikan pengalaman yang itu tadi. Kan 
begitu, Kak?
soebandrio : 
Jika yang diusahakan itu sejatinya Ma’rifat (Ma’rifat KePencipta an), 
memang benar seperti itu. Bandingkan dengan cerita di dalam 
Hadits Mi’raj: saat  Nabi Muhammad diantarkan oleh Malaikat 
Jibril (Rohul Kudus) untuk menghadap kepada Pencipta nya, saat  
hampir sampai sampai di Hadapan Pencipta , sang pengiring itu 
terpaksa ditinggal, sebab  sang pengiring itu tadi tidak kuat untuk 
melanjutkan perjalanannya.
Akan namun  ketahuilah olehmu, Jika bukan Nabi yang terpilih, atau 
Wali yang terpilih, atau Mukmin chas yang mendapat perkenan 
Pencipta , saat  sampai kepada pengalaman melihat “Mayangan 
Seta” (bayangan putih)) itu pada umumnya akan..... tergiur. sebab  
kala itu yaitu  sebagai sumber dari segala Aji kesaktian dan segala 
kelebihan (Bab III No.22), yang umumnya itu yang menjadi cta￾citanya. Sehingga bagi yang ingin mencapai sejatinya Ma’rifat 
(Marifat KePencipta an), yang seperti itu disebut Tingkatan yang 
sangat penuh jebakan yang sangat berbahaya (Bab III No.14).
Siapa saja yang berulangkali mendapatkan pengalaman melihat 
bayangan putih itu (walau pun yang palsu) kemudian akan 
mendapatkan kelebihan bermacam-macam, contohnya:
a. Terbukanya penglihatan gaib, melihat dan bisa berhubungan 
dengan roh-roh yang berada di alam gaib, bisa minta tolong 
atau memerintah kepada roh-roh ini , bisa mengetahui isi 
hati orang dan nasib seseorang, dan juga melihat gambaran gaib 
yang lain-lainnya, yang singkatnya disebut “helderzien”.
b. Terbukanya pendengaran gaib, perasa gaib, penciuman gaib, 
yang bagi orang biasa tidak memilikinya.
c. Bia mempunyai daya gaib yang bisa dipergunakan dalam hal 
penyembuhan, (magnetiseeren) atau kewibawaan 
(Hypnotiseeren).
d. Memiliki kelebihan yang lainnya lagi (kedigdayaan) yang aneh￾aneh, dan mendapat pengalaman yang bermacam-macam yang 
indah-indah.
Sehingga tidak aneh hingga banyak yang tercebur lupa kepada cita￾cita semula (Ma’rifat KePencipta an), serta jika sudah lupa yang 
demikian itu kemudian menjadi FANATIK, mengandalkan 
kebenarannya dan pendapatnya sendiri saja, hampa dari 
pertimbangan dan penalaran.
Sedangkan bagi yagn tidak mengalami lupa dari tujuan semula, 
pastilah tidak ada kefanatikan, sebab  selalu ingat dan sadar bahwa 
manusia ini mempunyai sifat celaka( sakit, lupa, salah), Apalagi 
hanya kita, selagi Nabi Rasul sendiri (Atas perintah Pencipta nya) 
mengatakan kepada orang-orang kafir: Wa innaa au iyyakum al’ala 
hudan au fie dlalalin mubienin (Sabaa” 24 + Entah aku entah kamu 
semua yang benar, atau dalam kesesatan yang nyata).
Oleh sebab  tidak fanatik, akal dan pikirannya masih bisa 
didpergunakannya untuk menimbang dan menalar, sebagai berikut:
a. Kelebihan itu jika dibandingkan dengan kelebihan Pencipta , 
ibaratnya hanya setetes air dibanding dengan samudra, untuk 
apa dicintai (ora urub den kurebi).
b. Kelebihannya itu hanya khusus urusan abstrak (tidak terlihat 
mata) yang tidak mudah untuk ditetapkan benar salahnya oleh 
orang lain. Sehingga: kalah dasar dari ilmu nyata, tentang hal 
yang abstrak, terlebih lagi dengan ilmu lahir tentang hal yang 
konkrit (terlihat mata), yang bisa didsaksikan kebenaran dan 
salahnya oleh orang lain.
c. Kelebihan tentang hal abstrak itu ada batasnya yang tidak 
merubah kudrat, seperti, tidak bisa digunakan untuk merubah 
takdir yang dialami oleh orang hidup, termasuk dirinya sendiri. 
Juga tidak bisa untuk menolong yang dialami roh di alam 
kuburnya, seperti, dari dari irang yang sangat dicintai.
d. Pengalamannya yang aneh-aneh tentang hal gaib itu, jika di 
teliti tidak secara fanatik, kebanyakan hanya tertipu oleh 
perasaanya sendir, dari akibat gambaran dari angan-angan dan 
catatan keyakinan saat  pernah mendengar tentang hal gaib. 
Padahal yang diyakininya itu belum tentu benar.
31. kartosuwiryo : 
Mohon maaf Kak! Jika yang memperoleh keleibihan atau 
“Mampu” itu terus tergiur, tentu hal itu bisa disebut tertipu. Namun 
apakah Kakak tidak percaya terhadap adanya Mukjizat dan kramat 
(Karomah), yaitu kelebihan yang diberikan oleh Pencipta  kepada 
titah yang tidak terkena tipuan.
soebandrio : 
Sangat amat yakin dan percaya! Namun yang terpenting yang 
harus kamu pahami, itu bukan tentang percayaku atau tidak 
percayaku, yaitu tentang perincian dari kelebihan ini .
Kelebihan yang aneh-aneh yang juga bia kamu sebut 
“Kemampuan” itu dalam garis besarnya ada 4 macam, yaitu: (1) 
Mukjizatnya Nabi, (2) Karomahnya Wali, (3). Ma’unahnya 
Mukmin, (4), Istijrat-nya Kafir.
Kelebihan yang empat macam itu, bagi orang lain yang melihatnya 
tidak ada bedanya, sebab  terlihat sama keanehannya. Sedangkan 
membedakan yang ketempatan kelebihan itu tidak mudah. Bisa 
saja kafir dikira Wali, atau sebalinya.
Sedangkan yang membedakannya itu seharusnya dirinya sendiri, 
yang kadang tidak terikat oleh sakit yang beranama Fanatik itu 
tadi, Sedangkan untuk memilahnya, begini:
Mukjizat dan karomah itu yang ketempatan, tidak akan merasa 
bahwa dirinya mempunyai kelebihan. Sehingga keluarnya 
mukjizat atau pun karomah itu tidak dengan diniyati, serta hanya 
berhubungan dengan penyiaran Ajaran Agama.
“Ma’unah” itu yang ketempatan, juga tidak merasa bahwa dirinya 
ketempatan. Sehingga keluarnya Ma’unah itu tidak dengan 
diniyati, hanya “tiba-tiba” saat  yang ketempatan itu menghadapi 
bahaya.
Sehingga, jika yang ketempatan kelebihan itu merasa ketempatan, 
serta keluarnya kelebihan itu sebab  diniyati, kelebihan itu yang 
bernama kelebihan tas perintah dari Nafsu. Jika untuk 
mendapatkan kelebihan itu sebab  diusahakan itulah perintah 
Setan. Namun sebab  Pencipta  itu Maha Murah, pun dikabulkan 
juga. Kelebihan yang demikian itu yang disebut .... “istidraj”.
32. kartosuwiryo : 
Cukup jelas Kak! Sekarang Kaka, mohon berkenan meneruskan 
memberikan penjelasan: Bagaimana caranya untuk menghilangkan 
tipuan itu, serta bisa terlaksananya cita-cita itu (Ma’rifat 
KePencipta an) itu yang sudah bagaimana?
soebandrio : 
Jika hanya menceritakan saja, aku tidak keberatan, walau pun bagi 
ku dan kamu: tentang hal ini baru ada dalam niyat saja yang 
masih.... sangat-sangat jauhnya.
Pengalaman yang banyak cobaan dan tipuannya itu pasti dilewati, 
sebab  hal itu memang jalannya. Sedangkan kita ini, ada yang bisa 
melewati jalan itu saat  hidupnya, ada yang tidak bisa. Namun 
walau pun bisa atau tidak bisa mengalami saat  masih hidup ini, 
besok saat  masuk ke pintu kematian *Sakaratil maut) juga 
mengalami.
Sedangkan caranya untuk menghindari cobaan tipuan itu --- apa 
mengalami sekarang, atau saat  sakaratil maut--- tidak lain 
hanya... tidak memerintahkannya.
Jika kita lulus dari pengalaman itu saat  dalam hidup ini, insya 
Pencipta  usaha kita dalam menuju Ma’rifat Tullah itu bisa terlaksana
Jika kita lulus dari pengalaman itu saat  sakaratil maut, Insya 
Pencipta  kita “Asal dari Pencipta  kembali kepada-Nya”,
Di kala itu sudah tidak bisa dibicarakan, sebab  “Tidak bisa 
terbayangkan” di dalam keadaan saat  “Tanpa alat” Bab III 
No.11,b. 26). Paling Pol hanya bisa digambarkan bagikan orang 
tidur yang tidak bermimpi atau seperti seseorang yang pingsan. 
Didalam Qur’an diceritakan saat  Nabi Musa memandang 
Gunung (Bab III No.15) hinga terlaksana Ma’rifat kepada Pencipta , 
itu begini: Falamma tajalla rabbuhu liljabali ja’alahu dakkan 
wacharra muusa sha’iqan (Al A’raf 143 = saat  Ma’rifat kepada 
Pencipta  di gunung itu, kemudian gunung itu hancur, Nabi Musa 
terjatuh pingsan).
Sudah-sudah, tentang Ma’rifat kepada Pencipta  tidak perlu dirembug 
panjang lebar lagi, hanya perlu saya tambahi keterangan seperti ini: 
Bisa saja saat  kamu belajar Shalat Ma’rifat (Yoga) tau 
mengalami satu detik bagaikan tidur tidak bermimpi, atau seperti 
pingsan, hal itu jangan kau kira jika kamu sudah Ma’rifat kepada 
Pencipta : Tanpa melewati jalan yang banyak godaannya itu. Hal 
seperti itu sama seperti saat  tidur merasa tidak bermimpi, 
sebenarnya bermimi, namun mempinya sedikit sekali hinga tidak 
teringat sama sekali.
Singkatnya, jalan yang banyak godaanya itu (Menyusup di rasa 
jati” Bab III No.26) tidak bisa dihindari, seperti orang yang 
menghitung dari satu hingga sepuluh, tidak akan bisa menghindari 
angka sembilan.
Dan jika setelah kepulanganmu dari sini, kemudian kamu belajar 
Shalat Ma’rifat, aku hanya pesan sedikit:
I. Perhatikanlah kesehatan badan, sebab  jika badan kasar sakit￾sakitan, bisa dipastikan: Tidak akan bisa tercapai yang dicita￾citakan.
II. Tekun dalam menjalankannya dan telaten, namun jangan 
dipaksa-paksa: tergesa-gesa ingins egera sampai; sebab  
ma’rifat itu tidak bisa dikerjakan dengan memaksakan diri.
III.Bisa disertai mengurangi makan, tidur, asmaram namun jangan 
sampai merugikan kesehatan badan. Boleh juga dengan 
mendasari seperti itu, beserta juga jangan memuaskan makan, 
memuaskan tidur, memuaskan asmara.
33. kartosuwiryo : 
Iya Kak, perintah Kakak, akan saya patuhi. Nah sekarang tinggal 
menjelaskan tentang yang gaib, yang pada umunya percaya atau 
tidak percayanya seseorang hanya meniru-niru saja. Seperti pada 
Rukun Iman yang ke enam, Kita harus mempercayai Malaikat￾Malaikat-nya Pencipta  (Bab II No.24) Yang dinamakan Malaikat itu 
apa, Kak? Mohon penjelasannya hingga membuat diriku puas.
soebandrio : 
Penjelasan yang tidak memuaskan itu berasal dari bodohnya yang 
memberikan penjelasan, atau juga yang menerima penjelasan, atau 
kedua-duanya. Akan namun  akan saya coba, dengankalah!
Makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar ada empat.
1. Roh manusia yang sudah meninggal dunia, yang belum 
kembali kepada asalnya dan belum dilahrikan ke dunia lagi 
(belum kiyamat = belum bangkit dari kematian). Alamnya 
disebut alam kubur. Roh ini  ada yang mengalami enak dan 
tidak enak. Sehingga jika ada yang menerangkan alam kubur 
itu ada tingkatannya, dan masing-masing jenisnya diberi nama 
sendiri-sendiri, juga tidak salah. Di tempat itu tidak ada hdiup 
bertetangga, sebab  masing-masing roh itu hanya menjalankan 
keadaan menurut rasa dirinya masing-masing. Seumpama ada 
yang merasa bermasyarakat, juga menurut rasanya diri mereka 
itu tadi, seperti halnya orang bermimpi bermasyarakat. 
Sehingga tidak akan berkembangbiak atau pun berumah 
tangga. Roh-roh ini  jika sudah sampai waktunya 
(berdasarkan ilmu dan amal perbuatannya) kemudian lahir 
menjadi bayi ke dunia lagi.
2. Bangsa Jin; yaitu mahkluk Pencipta , tidak berbeda dengan hewan 
dan manusia ini, namun tidak berbadan kasar. Hewan itu tidak 
terbilang jenisnya, ada yang merambat, merangkak, melata, 
terbang dan lain sebagainya ..... demikian juga bangsa Jin, juga 
tanpa bilangan jenisnya, masing-masing jenis ditandai dengan 
nama sendiri-sendiri oleh manusia. Alam Jin itu dinamakan 
alam astral (ajsam) dan ditingkatkan sama dengan alam kubur 
yang terendah. Sehingga siapa yang mata batinnya terbuka bisa 
berhubungan dengan roh yang ada di alam kubur, juga bisa 
berhubungan dengan bangsa jin. Banga jin itu hidup di 
alamnya, bermasyarakat seperti halnya manusia yang hidup di 
lam dunia ini. Sehingga berkembang biak dan berumah tangga.
Sama-sama bangsa Jin, yang tertinggi tingkatannya itu “Jin” yang 
sering disebut dalam kitab muslim , yaitu yang bentuk badannya 
banyak sekali yang mirip dengan manusia. Sedangkan 
kelakuannya juga seperti manusia ini. Ada yang jelek ada yang 
bagus, juga ada yang berbakti kepada Pencipta nya, dan belajar Ilmu 
Agama.
Sabagian manusia ada yang suka bersahabt dengan Jin, malahan 
ada yang sukka berumah menikah dengan Jin. Demikian juga Jin 
itu, ada yang suka bersahabt dan kawin dengan manusia. Itu tidak 
mengherankan, sama saja dengan orang yang suka kawin dengan 
orang beda bangsa itu.
Sedangkan jika terjadi hal yang demikian itu, menurut aturan 
kudrat, mau tidak mau yang satu termasuk golongan (warga 
negara) satunya. Namun Jin mokal dan tidak mungkin berubah 
menjadi manusia, sebab  hanya memiliki badan halus saja, tidak 
memiliki dan tidak bisa membuat badan kasar. Sedang 
manusianya, mempunya badan kasar pun juga mempunyai badan 
halus. Sehingga manusialah yang harus mengubah dirinya untuk 
bisa masuk pada alam jin, dan saat  raga kasarnya sudah rusak 
(mati). Seterusnya manusia yang sudah pindah warga negara ke 
bangsa Jin itu juga mirip seperti Jin: Hidup berumah tangga dan 
bisa memiliki keturunan di alam ajsam itu.
Makhluk berjenis Jin itu menurut aturan Kudrat Pencipta , tidak bisa 
tidak, jiawanya juga mengalami kemajuan (Evolusi) hinga sampai 
sempurna: Kembali kepada Pencipta nya. Namun bagaimana 
perjalanan kemajuan itu, kita manusia tidak mengerti. Yang jelas 
saja, pasti beda dengan amnusia. Sedangkan manusisa yagn sudah 
menjad “Warganegara Jin itu, kemajuan jiwanya juga mengikuti 
cara Jin.
Ada juga manusia yang tidak kawin dengan Jin, namun saat  
matinya, rohnya juga terpaksa menjadi warga negara Jin, hingga 
lama sekali baru bisa menjadi warga negara manusia lagi. Yaitu 
manusia yang saat  hidupnya berguru atau mengambil tuntunan 
dan pertolongan Jin, menggunakan perjanjian atau pun tidak. Itu 
sama dengan orang berpakaian serba putih, menceburkan diri di 
perapian batu arang, mokal jika pakaiannya tidak terkena hitamnya 
arang. Sehingga jika akan kembali menjadi putih lagi harus 
membersihkan hitamnya terlebih dahulu.
Roh yang mempengaruhi manusia hidup yang menjadi 
perewangan yang kadang-kadang saja atau yagn terus menerus 
(Bab III No. 18, 19, 20, 27), itu bisa dipastikan roh dari orang mti 
yang pindah alam ke alam jin, atau memang jin blesteran atau jin 
murni.
Bangsa Setan (Syaithan), yaitu makhluk Pencipta  yang lebih lembut 
dibanding Proton (bagian dari atoom), jenisnya juga tidak 
terbilang, sedangkan tunggal jenisnya yaitu: Iblis atau Idajil. Setan 
dan Iblis itu sering disebut dalam kitab muslim , yaitu yang selama￾lamanya menggoda manusia dan menjadi musuh manusia.
Alam setan itu juga termasuk alam Ajsam, artinya jika ingin 
menyatakan ujudnya ttidak bisa terlihat (dibesarkan) dengan 
menggunakan mikroskoop, harus dengan penglihatan gaib, seperti 
halnya seseorang yang menyatakan ujud dari jenis Jin. Sedang 
Jenis Setan itu, walau pun yang paling tinggi, disebab kan ujud dan 
perbuatannya, tingkatannya sama dengan bangsa Jin yagn paling 
rendah sendiri. Yaitu ujudnya mengerikan, perbuatannya tidak ada 
yang baik. Masih ada bedanya lagi, yaitu bangsa Jin yagn paling 
rendah itu tadi, hdiupnya mengalami perubahan-perubahan 
berevolusi, sedangkan setan tidak, serta senang menang dalam 
dalam kejahilannya.
Sitan itu hidupnya hanya menjadi benalu di badan kasar manusia. 
saat  raga manusia ini ditinggal oleh roh-nya, setan yang 
menumpang dan tidak terbilang jumlahnya itu ditinggal pula, 
akhirnya rusak, kembali kepasa asalnya dan “Selesai” tanpa kisah 
lagi. Sehingga perbuatan setan itu tanpa tanggung jawab sama 
sekali. Yang bertanggung jawab manusianya yang di tempeli, yang 
saat  meninggalkan raganya masih ada riwayat lagi
34. kartosuwiryo : 
Maaf Kak! Jika tentang roh orang yagn meninggal dunia yagn 
masih kekal hidup di alam kubur, itu sudah jelas penerimaanku. 
Demikian juga tentang makhluk yang berbadan halus yang disebut 
“Jin” itu aku juga bisa menerimanya, walau pun aku belum pernah 
melihatnya. sebab  kepercayaan itu tidak harus bisa ddisaksikan 
oleh astendriya yagn lima (Pancaindra), juga bisa disaksikan 
menggunakan pengertian. Kepercayaanku tentang adanya Jin, 
sama saja dengan kepercayaanku, bahwa di dalam laut ditempati 
hewan buruan air yang jumlah jenis tidak beda dengan hewan 
buruan darat, walau pun aku belum pernah melihat keadaan di 
kedalam laut.
Namun, tentagn Setan .... pemahamanku belum bisa menerimanya. 
Tiba-tiba ada makhluk yang hidup sebagai “benalu” segala, atu 
maksuddnya bagaimana dan kejelasannya seperti apa?
Dan juga, mohon maaf sebelumnya, aku tadi kan mohon 
penjelasan tentang “Malaikat” yang termasuk Tukun Iman, itu 
kan?
soebandrio : 
Jika langsung aku menerangkan tentang Malaikat, menurutku 
kamu tidak langsung mengerti. Sehingga sebelum menerangkan 
tentang malaikat, saya awali menjelaskan tentang Jin dan setan 
terlebih dahulu, yang juga disebut di dalam kitab muslim .
Tentang badan kasar manusia yang ditempeli kehidupan makhluk 
lain, itu kan bukan hal yang aneh, ta? Sepertinya: Cacing tambang, 
kutu rambut, daln lain-lainnya, itu semua kehidupannya benalu 
bagi raga manusia. Artinya jika badan kasar itu telah rusak, si 
cacing gdan kutu rambut itu ikut rusak. Hanya saja perbedaanya, 
demikian: Cacing dan kutu rambut itu benalu yang datang 
gkemudian, yang menjadi ada sebab  terbawa dari makanan atau 
kotoran, dan bisa dihilangkan dari badan manusia. Sedangkan 
Setan itu “Benalu” asli, dalam menjadi benalu sejak manusia 
terlahir dari kandungan Ibu, serta tidak bisa dimusnahkan dari raga 
manusia. Soal itu perlu dijelaskan hingga sejelas-jelasnya.
saat  manusia hidup menggunakan basan kasar, itu dari 
kudratnya Pencipta ; pasti ketemepatan setan, walau pun para Wali 
dan para Nabi, juga demikian. Dalam Hadits: Maa minkum min 
ahadin illa walahu syaithan (Tidak ada satu manusia pun dari 
kalian semua, kecuali pasti ketempatan setan). Inu bukan hal yang 
aneh, seperti halnya tiap manusia hidup itu pasti ketempatan nafas, 
hasrat, nafsu, akal, pikiran, dan kelengkapan yang lain-lainnya lagi. 
Seandainya kosong salah satunya, pasti tidak hidup atau tidak 
sempurna hidupnya.
Sedangkan yagn dinamakan setan itu apa? Marilah dengarkan yang 
jelas. Jangan mudah percaya pun jangan mudah membantah.
Pada abad pertangan sekarang ini, para sarjana Ilmu Kedokteran 
sudah sepakat pendapatnya, bahwa di dalam badan kasar manusia 
hidup itu ada biji sakit (Baksil, bakteri) bermacam-macam, namun 
ada daya reaksi yagn cukup kekuatannya untuk menahan 
kekuatannya (aksine) dari baksil-baksil itu. Itu bagi orang yang 
sehat.
Sedangkan jika ada kejadian dari sebab yang berasal dari dalam 
atau dari luar, yang menyebabkan daya reaksi itu tadi kurang 
kekuatannya ...... baksil bakteri itu kemudian In Aksi, orangnya 
dinamakan sakit. Sedangkan ujud dari baksil bakteri yang teramat 
sangat kecilnya itu sekarang sudah bisa di lihat menggunakan alat, 
juga buatan para sarjana, yang bernama mikroskoop.
Coba sekarang pikirkan yang obyektif, seumpama bakteri-bakteri 
itu saya namakan X, atau Y, atau Z, apa ... setan, kan bisa saja, ta? 
Kan hanya nama saja!
35. kartosuwiryo : 
Iya, Kak, jika hanya tentang nama saja, dari pengertianku tidak ada 
keberatannya. Namun yagn bernama “setan” dengan yang bernama 
“bakteri-bateri” itu apakah sama, Kak?
soebandrio : 
Sabar dulu, jika tentang “Nama” kamu sduah tidak keberatan, saya 
teruskan uraianku.
Sebenarnya yagn disebut Setan di dalam Kitab-Kitab Suci, saat  
di jaman kuna itu, yaitu yang dinamakan baksil-baksil oleh Ilmu 
kedokteran di jaman sekrang ini. Namun baksil-baksil itu termasuk 
setan pada tingkatan rendah dan kasar (agal), sehingga sekarang 
sudah bisa dilihat dengan menggunakan alat. Sedangkan di badan 
manusia itu juga ada setannya yang tingkatannya lebih tinggi dan 
keadaannya lebih lembut dibanding dengan baksil-baksil itu.
saat  sarjana ahli Wetenschaschap belum bisa membuat alat yang 
disebut Mikroskoop, kepercayaan orang biasa kepada bakteri￾bakteri cukup hanya merasakan akibat dari perbuatannya saja. 
Demikian juga sekarang, kepercayaan orang kebanyakan kepada 
adanya setan (Bakteri-bakteri yagn lebih lembut) itu seharusnya 
juga cukup dengan mengetahui akibat dari perbuatannya saja. Dan 
juga bukan hal yang aneh seumpama besok berapa turunan lagi, 
ada sarjana ahli wetenschap yagn bisa membuat mikroskoop yang 
lebih canggih, yang bisa dipergunakan untuk melihat setan dengan 
sejelas-jelasnya, itu yaitu  apa, dan juga tentang badan halus yang 
lainnya.
36. kartosuwiryo : 
Nahhh.. sekarang pehamanku sudah terang, Kak. Malah menurut 
pendapatkku, tentang adanya Lelembut (makhluk lembut) yagn 
bernama setan itu lebih dekat kepada wetenschap dibanding 
terhadap mystiek. Untuk selanjut, Kakakberkenanlah menerangkan 
akibat dari perbuatan setan itu, agar orang kebanyakan seperti aku 
ini, bisa percaya – yakin bahwa memang ada sungguhan.
soebandrio : 
Itu tidak sulit, asal saja kamu masih mau menggunakan akal dan 
pikiran saja.
Sebangsa setan yagn ada di badan kasar manusia itu takdir 
perbuatan yang pokok menyebabkan sakitnya jiwa bagi manusia. 
Sedangkan yagn sebut sakitnya jiwa itu, angan-anagn yang 
menghalangi antara makhluk dengan penciptanya. Tidak 
membedakan yang memiliki angan-angan itu bodoh atau pinter, 
kaya atau miskin, raganya sakit atau sehat, Dan juga tidak 
membedakan apa yang punya angan-angan itu dalam tindakan 
lahirnya bertindak maksiat atau tidak maksiat.
Sedangkan setan yagn kasar yagn bernama baksil-bakteri yagn ada 
di badan kasar dari manusia