Tampilkan postingan dengan label kecemasan 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kecemasan 1. Tampilkan semua postingan
kecemasan 1
By tuna at November 26, 2023
kecemasan 1
GANGGUAN SEKSUAL
Seksualitas merupakan salah satu ranah yang paling privat dalam kehidupan individu. Setiap
orang adalah mahluk seksual dengan minat dan fantasi yang dapat mengejutkan atau bahkan
mengagetkan kita dari waktu ke waktu dimana itu adalah normal. Namun ketika fantasi atau hasrat
tersebut mulai membahayakan diri dan orang lain maka dapat dikategorikan abnormal. Dalam hal
seksualitas sendiri terdapat 3 bagian besar yang dikatagorikan sebagai abnormal diantaranya
gangguan identitas gender, paraphilia, dan disfungsi seksual.
1. Gangguan identitas gender
a. Definisi
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau
wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid,
2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri
seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Gangguan identitas gender bermula di masa
kanak-kanak hal itu dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian
seperti lawan jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, dan melakukan
permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan lawan jenisnya. Gangguan identitas
gender pada anak-anak biasanya teramati oleh orang tua ketika si anak berusia antara 2-4 tahun
(Green & Blanchard, 1995).
Menurut DSM-IV (2000) definisi gangguan identitas gender yaitu adanya perasaan tidak nyaman
dengan jenis kelamin yang dimiliki atau adanya perasaan tidak cocok dengan peran gender dari jenis
kelamin yang dimiliki.Identitas gender biasanya ditemukan sejak awal masa kanak-kanak (18-24
bulan). Seorang anak bisa saja menyukai aktivitas yang kadang terlihat lebih tepat untuk lawan
jenisnya, tetapi anak-anak dengan identitas gender yang normal masih melihat dirinya sebagai
bagian dari seks biologis mereka sendiri.
b. Karakteristik
Adapun karakteristik dari orang dengan gangguan identitas gender antara lain:
1) Merasa bahwa dirinya adalah orang yang bejenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini.
2) Tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.
3) Bukti anatomi mereka tidak membuat mereka merasa merasa bahwa mereka adalah orang
dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka. 4) Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia
anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja
dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya,
berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
5) Umumnya bila ada ketertarikan dengan sesama jenisnya dianggap ketertarikan tersebut pada
dasarnya heteroseksual.
Adapun kriteria gangguan identitas gender menurut DSM IV TR adalah:
Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis
Pada anak-anak, terdapat 4 atau lebih dari ciri, yaitu:
1) Berulang kali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah
lawan jenis
2) Lebih suka memakai pakaian lawan jenis
3) Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus menerus berfantasi
menjadi lawan jenis
4) Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis
5) Lebih suka bermain dengan teman-teman lawan jenis
Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simton seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis,
berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa
emosinya adalah tipikal lawan jenis.
Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari
peran gender jenis kelamin tersebut.
1) Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya; pada laki-laki merasa jijik dengan
penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai
permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan
cara duduk; yakin bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan payudara yang membesar
dan menstruasi; merasa benci/tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional
2) Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal di antaranya; keinginan kuat untuk
menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormone dan/atau operasi;
c. Penyebab gangguan identitas gender
1) Faktor Biologis
Secara spesifik bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon. Sebuah studi
yang dilakukan di republic Dominika terhadap keluarga para anggota sebuah keluarga batih yang
dimana para peserta disini tidak mampu memproduksi hormon yang bertanggung jawab atas
pembentukan penis dan skortum pada masa pertumbuhan janin laki-laki. Mereka yang lahir hanya
memiliki penis dan skortum yang kecil dn mirip lipatan bibir. Dua pertiganya dibesarkan sebagai
perempuan, namun ketika mereka memasuki pubertas kadar testosteronnya meningkat sehingga
penis mereka membesar dan testikelmengecil menjadi skortum. Hasilnya 17 dari 18 peserta
kemudian memiliki identitas gender laki-laki. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak-anak
manusia dan primate lain dari ibu yang mengonsumsi hormone seks selama hamil seringkali
berperilaku seperti lawan jenis dan mengalami abnormalitas. Meskipun anak-anak tersebut tidak
selalu memiliki identitas gender yang tidak normal, hormon seks yang dikonsumsi oleh sang ibu
semasa hamil tampaknya memang menimbulkan minat dan prilaku lintas gender dalam tingkat yang
lebih tinggi dari normal.
2) Faktor Sosial dan Psikologis
Dalam beberapa keluarga, ketika anaknya menunjukkan prilaku lintas gender banyak mendapat
perhatian dan malah mendapat penguatan dari orang tua ataupun kerabatnya. Wawancara dengan
orang tua yang anaknya menunjukkan tanda-tanda GIG, berulang kali mengatakan bahwa mereka
tidak pernah mencegah Dan dalam banyak kasus jelas mendorong perilaku memakai pakaian lawan
jenis pada anak-anak mereka yang tidak normal terutama pada anak laki-laki yang feminim. Reaksi
yang semacam itu yang yang diberikan anggota keluarga terhadap anak yang tidak normal mungkin
berkontribusi besar dalam konflik antar jenis kelamin anatomisnya dan identitas gender yang
dikembangkannya (Green, 1947, 1987; Zuckerman & Green, 1993). Satu factor yang dapat
berkontribusi terhadap pola perilaku orang tua semacam itu adalah daya tarik si anak. Anak laki-laki
yang mengalami GIG memiliki tingkat daya tarik yang lebih besar daripada yang tidak, sedangkan
anak perempuan yang mengalami GIG kurang memiliki daya tarik. Selain itu para pasien laki-laki
yang mengalami GIG menuturkan bahwa mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah,
sedangkan para perempuan menuturkan riwayat penyiksaan fisik atau seksual.
d. Prevensi
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya GIG pada anak antara lain:
1) Menyediakan pakaian yang sesuai gender.
2) Menyediakan mainan yang sesuai gender.
3) Tidak memberikan reinforcement ketika anak melakukan perilaku lintas gender.
4) Pada anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya sehingga ada modeling.
5) Pada anak perempuan didekatkan dengan ibunya sehingga ada modeling.
e. Terapi Gangguan Identitas Gender
1) Perubahan Tubuh
Orang yang mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh umumnya
diminta untuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai gender yang
diinginkan (Harry Benjamin Internasional Gender Dysphoria Assosiation, 1998). Terapi umumnya
tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin dialami orang yang
bersangkutan, namun juga pada berbagai pilihan yang ada untuk mengubah tubuhnya. Banyak
transeksual juga mengonsumsi hormone agar tubuh mereka secara fisik lebih mendekati keyakinan
mereka tentang gender mereka. Banyak yang mengalami gangguan identitas gender tidak
menggunakan metode yang lebih jauh dari itu, namun beberapa orang mengambil langkah
tambahan dengan menjalani operasi perubahan kelamin.
2) Operasi perubahan kelamin
Operasi perubahan kelamin adalah operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih sama
dengan kelamin lawan jenis. Dalam operasi perubahan kelamin laki-laki ke perempuan, alat kelamin
laki-laki hampir seluruhnya di buang dan beberapa jaringan dipertahankan untuk membentuk vagina
buatan. Minimal setahun sebelum operasi, berbagai hormone perempuan dikonsumsi untuk
memulai proses perubahan tubuh. Sebagian besar transeksual laki-laki ke perempuan harus
menjalani elektrolisis yang ekstensif dan mahal untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan tubuh
dan mendapatkan pelatihan untuk menaikkan nada suara mereka, hingga hormone-hormon
perempuan yang dikonsumsi membuat bulu-bulu tidak lagi tumbuh dan suaranya menjadi kurang
maskulin. Operasi kelamin itu sendiri biasanya tidak dilakukan sebelum berakirnya masa uji coba
selama satu atau dua
tahun. Hubungan seks heteroseksual konvensional dimungkinkan bagi transeksual laki-laki ke
perempuan, meskipun kehamilan tidak akan mungkin terjadi karena alat kelamin bagian luar di
ubah.
Proses perubahan kelamin perempuan ke laki-laki dalam beberapa hal lebih sulit, namun, dalam
beberapa hal lain lebih mudah. Di satu sisi, penis yang di buat melalui operasi berukuran kecil dan
tidak mengalami ereksi normal sehingga dibutuhkan alat bantu buatan untuk melakukan hubungan
seksual konvensional. Di sisi lain, lebih sedikit penanganan kosmetik lanjutan yang diperlukan di
banding pada transeksual laki-laki ke perempuan karena hormon laki-laki yang yang di konsumsi
perempuan yang ingin berubah gender secara drastic mengubah distribusi lemak dan menstimulasi
pertumbuhan bulu-bulu di wajah dan tubuh. Operasi perubahan kelamin merupakan pilihan yang
sering kali diambil oleh laki-laki daripada perempuan.
3) Perubahan gender identitas
Operasi dan pemberian hormone sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya penanganan yang
dimungkinkan untuk gangguan identitas gender karena berbagai upaya psikologis untuk mengubah
identitas gender secara konsisten mengalami kegagalan. Identitas gender diasumsikan tertanam
terlalu dalam utuk diubah. Sejumlah kecil prosedur mengubah identitas gender melalui terapi
perilaku yang tampaknya berhasil. Para peneliti mengatakan, para klien mereka kemungkinan
berbeda dari orang-orang lain yang mengalami GIG karena mereka bersedia berpartisipasi dalam
program terapi yang bertujuan mengubah identitas gender. Sebagian besar transeksual menolak
penanganan itu. Bagi mereka mengubah tubuh mereka secara fisik merupakan satu-satunya tujuan
yang diinginkan. Namun, jika tidak terdapat pilihan operasi, akan lebih banyaklah tenaga
professional yang dikeluarkan untuk mengembangkan prosedur psikologis yang mengubah identitas
gender.
f. Kasus
Dian adalah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Dian tinggal dirumah bersama orang tua dan
seorang pembantu. Orang tua Dian merupakan seorang pengusaha sehingga sangat jarang ada
waktu untuk Dian, sehingga Dian lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pembantunya
dirumah. Dian juga memiliki banyak teman seumuran disekitar rumahnya sehingga Dian tidak
pernah merasa sedih ketika ditinggal bekerja oleh orang tuanya. Dian sangat suka melihat ibunya
yang sedang menggunakan make up sebelum berangkat bekerja. Dian juga seringkali mengambil
make up ibunya dan menggunakannya. Pembantunya sering melihat kelakuan Dian tersebut namun
karena terlihat lucu pembantu tersebut juga sering membantu Dian untuk menggunakan make up.
Selain itu Dian sangat sering mengambil baju-baju lama ibunya dan menggunakannya ketika berada
dirumah. Di sekolah Dian lebih senang berkumpul dan bermain dengan teman-teman wanita
dibandingakan yang pria. Dengan teman-temannya dirumah pun begitu, Dian lebih senang bermain
masak-masakan, lompat tali, ataupun bermain boneka bersama teman wanitanya ketimbang
bermain sepakbola bersama teman-teman pria. Dian juga sangat senang mengajak teman-temannya
bermain permainan peran dirumahnya, dimana Dian selalu menginginkan peran sebagai seorang
putri raja ketimbang peran sebagai seorang pangeran.Dengan senangnya Dian
melakukan perilaku yang dilakukan oleh anak wanita, Dian selalu berpikir bahwa dirinya ini adalah
seorang wanita. Ketika berusia 12 tahun Dian melihat teman-teman wanitanya yang sudah mulai
tumbuh payudaranya, dan disana Dian merasa sedih karena payudaranya tidak mau tumbuh seperti
teman-teman wanitanya. Dian pun mulai merasa sangat tidak nyaman dengan perbedaanperbedaan yang dimilikinya saat ini dengan teman-teman wanitanya.
2. Parafilia
Menurut DSM IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual
terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Terdapat deviasi
(para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung
setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat
memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang dimiliki oleh seorang parafilia, namun yang
bersangkutan tidak dapat didiagnosis menderita parafilia jika fantasi atau perilaku yang muncul tidak
berulang atau bila tidak mengalami distress karenanya.
a. Fetishisme
Fetishisme adalah ketergantungan pada benda-benda mati untuk menimbulkan gairah seksual .
Orang yang mengidap fetishisme (hampir seluruhnya laki-laki) memiliki dorongan sesksual berulang
dan intens terhadap berbagai benda mati (fetis), keberadaan fetis dangat diinginkan atau bahkan
merupakan keharusan agar dapat tumbuh gairah seksual. Benda-benda yang umumnya digunakan
untuk menimbulkan gairah seksual bagi para fetish seperti sepatu, stoking transparan, benda-benda
dari karet (jas hujan, sarung tangan, perlengkapan toilet), pakaian dari bulu, dan terutama celana
dalam. Fetisis sering kali mengidap jenis parafilia lain seperti pedofilia, sadism, dan masokisme
(Mason, 1997).
Kriteria fetishisme dalam DSM IV-TR
-benda yang menimbulkan gairah seksual tidak terbatas pada bagian pakaian perempuan
yang dikenakannya sebagai lawan jenis atau alat-alat yang dirancang untuk menstimulasi alat
kelamin secara fisik, sepeti vibrator.
b. Fetishisme Transvestik
Apabila seorang laki-laki mengalami gairah seksual dengan memakai pakaian perempuan meskipun
ia tetap merasa sebagai lelaki maka kondisi ini disebut sebagai fetishisme transversik atau
transvestisme. Para transvestit adalah heteroseksual, selalu laki-laki, dan secara umum hanya
memakai pakaian lawan jenis secara episodik, bukan secara rutin. Mereka cenderung
berpenampilan, berperilaku, dan memiliki minat seksual maskulin. Banyak yang menikah dan
menjalani kehidupan yang konvensional. Memakai pakaian lawan jenis biasanya dilakukan sendirian,
secara diam-diam dan hanya diketahui oleh sedikit anggota keluarga. Dorongan untuk memakai
pakaian lawan jenis dapat menjadi lebih sering seiring perjalanan waktu dan kadang disertai dengan
disforia gender namun tidak sparah
yang dialami GIG. Transvestisme komorbid dengan tipe parafilia lain, terutama masokisme (Zucker &
Blanchard, 1997).
Kriteria fetishisme tranvestik dalam DSM-IV-TR
c. Pedofilia dan Incest
Pedofil adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak fisik dan sering
kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka.
Pelakunya minimal berusia 16 tahun dan minimal berusia 5 tahun lebih tua dari si anak. Pedofilia
lebih banyak diidap oleh laki-laki daripada perempuan. Gangguan ini seringkali komorbid dengan
gangguan mood dan anxietas, penyalahgunaan zat, dan tipe parafilia lainnya. Pedofil bisa
heteroseksual atau homoseksual. Kekerasan jarang menjadi bagian dalam perilaku pedofilia.
Meskipun demikian, sejumlah kecil pedofil juga dapat diklasifikasikan sebagai sadistis seksual atau
berkepribadian antisosial, menyakiti objek nafsu mereka secara fisik dan menyebabkan cedera
serius.
Incest dicantumkan dalam DSM-IV-TR sebagai subtipe pedofilia, adalah hubungan seksual antar
kerabat dekat yang dilarang untuk menikah. Hal ini paling sering terjadi antara saudara kandung lakilaki dan perempuan. Kemudian bentuk paling umum berikutnya, yang dianggap lebih patologis,
antara ayah dan anak perempuannya.
Perbedaan utama antara incest dan pedofilia
ayah mulai tertarik kepada anak perempuannya ketka si anak mulai mengalami kematangan fisik,
sedangkan pada pedofil biasanya tertarik pada anak-anak jelas karena anak tersbut belum mencapai
kematangan seksual)
Kriteria pedofilia dalam DSM-IV-TR
menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan melakukan kontak seksual dengan seorang anak
prapubertas
d. Voyeurisme
Voyeurisme adalah kondisi dimana seseorang memiliki preferensi tinggi untuk mendapatkan
kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan
hubungan seksual. Orgasme seorang voyeur dicapai dengan melakukan masturbasi, baik sambil
tetap mengintip atau setelahnya (sambil mengingat apa yang
dilihatnya). Kadang mereka juga berfantasi melakukan hubungan seksual dengan orang yang
diintipnya, namun hal itu tetap menjadi fantasi karena dalam voyeurisme jarang terjadi kontak
antara orang yang diintip dengan orang yang mengintip. Voyeur sejati (hampir semuanya laki-laki)
tidak akan merasa bergairah dengan melihat perempuan yang sengaja membuka pakaiannya untuk
kesenangan si voyeur (elemen risiko sangat penting karena voyeur merasa bergairah dengan
kemungkinan reaksi si perempuan yang diintipnya jika ia mengetahuinya).
Kriteria voyeurisme dalam DSM-IV-TR
yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan tindakan mengintip orang lain yang sedang
tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa diketahui yang bersangkutan
menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah interpersonal
e. Eksibisionisme
Eksibisionisme adalah preferensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan
memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya. Seperti
halnya pada voyeurisme, jarang ada upaya untuk melakukan kontak secara nyata dengan orang yang
tidak dikenal tersebut. Gairah seksual terjadi dengan berfantasi memamerkan alat kelaminnya atau
benar-benar melakukannya, dan eksibisionis melakukan masturbasi ketika berfantasi atau benarbenar memamerkannya
Kriteria eksibisionisme menurut DSM-IV-TR
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang
yang tidak dikenal yang tidak menduganya.
bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi
tersebut menyebabkan mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal.
f. Froteurisme
Froteurisme adalah gangguan yang berkaitan dengan melakukan sentuhan yang beroirentasi seksual
pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh curiga akan terjadinya hal itu. Froteur bisa
menggosokkan penisnya ke paha atau pantat seorang perempuan, menyentuh payudara, atau alat
kelaminnya. Tindakan ini umumnya dilakukan ditempat umum (contoh: didalam bis yang penuh
penumpang atau trotoar yang penuh dengan pejalan kaki) yang memudahkan pelaku untuk
mearikan diri.
Kriteria froteurisme dalam DSM-IV-TR
Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, atau
perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan menyentuh atau
menggosokkan bagian tubuhnya pada orang yang tidak menghendakinya.
Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan
fantasi tersebut menyebabkan distress atau mengalami masalah interpersonal.
g. Sadisme Seksual dan Masokisme Seksual
Karakteristik utama dari sadisme seksual adalah preferensi kuat untuk mendapatkan atau
meningkatkan kepuasan seksual dengan menimbulkan rasa sakit atau penderitaan psikologis (seperti
dipermalukan) pada orang lain. Sedangkan masokisme seksual adalah preferensi kuat untuk
mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menjadikan diri sendiri sebagai subjek
rasa sakit atau kondisi dipermalukan. Kedua gangguan ini terjadi dalam hubungan heteroseksual dan
homo seksual.
Kriteria masokisme seksual dalam DSM-IV-TR
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) yang dilakukan
oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul dirinya.
atau pekerjaan.
Kriteria sadisme seksual dalam DSM-IV-TR
ns, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, atau perilaku
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) yang dilakukan
oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul dirinya.
bagi orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya dalam fungsi sosial
atau pekerjaan atau orang tersebut betindak berdasarkan doronga tersebut kepada orang lain yang
tidak menghendakinya.
h. Etiologi Parafilia
1) Perspektif Psikodinamika
Teori ini memandang parafilia sebagai :
Contohnya pada kasus voyeurisme (orang yang mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat
orang lain tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seks). Pandangan psikodinamika
beranggapan bahwa individu yang melakukan voyeurisme dikarenakan individu tersebut
menganggap bahwa menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan hal yang menakutkan, maka
dari itu ia lebih memilih untuk mengintip perempuan untuk mendapat kepuasan seksual tanpa perlu
menjalin hubungan dengannya.
2) Perspektif Behavioral dan Kognitif
Pada pandangan behavioral menganggap bahwa individu yang mengidap parafilia disebabkan karena
mereka sendiri dulunya merupakan korban pelecehan seksual atau dibesarkan dari keluarga yang
tidak harmonis. Pengalaman masa lalu tersebut berpengaruh terhadap kemampuan sosial,
penurunan harga diri, dan keterbatasan hubungan intim yang dimiliki. Contohnya pada beberapa
kasus pedofilia, setelah ditelusuri ternyata si pelaku dulunya juga merupakan korban pedofilia.
Sedangkan pada pandangan kognitif beranggapan bahwa individu pengidap parafilia memiliki
kelainan pola pikir dalam memandang hal-hal berbau seksual. Misalnya pada kasus voyeur, si pelaku
bisa jadi beranggapan bahwa seorang perempuan sengaja tidak menutup tirainya saat berganti baju
dan mempersilahkan dirinya untuk diintip, padahal kenyataannya tidak begitu.
3) Perspektif Biologis
Pandangan biologis beranggapan bahwa androgen (hormon utama laki-laki) berperan dalam
gangguan ini. Janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan kelakilakiannya baru
timbul akibat pengaruh hormonal, sehingga munculnya hormon androgen dikaitkan sebagai peyebab
kesalahan dalam perkembangan janin. Selain faktor hormonal, perbedaan dalam otak juga
berpengaruh, disfungsi pada lobus temporalis berkaitan dengan sedikit kasus sadisme &
eksibisionisme. Namun kemungkinan besar faktor biologis hanya mengambil peran yang minim
dalam kasus-kasus parafilia, terdapat penyebab lain yang lebih kompleks seperti pengalaman masa
lalu yang lebih berperan (Meyer, 1995).
i. Terapi Parafilia
1) Terapi Psikoanalisis
Pandangan ini menganggap penyebab munculya gangguan parafilia adalah karakter dari individu itu
sendiri sehingga sulit untuk merubahnya, pandangan psikoanalisis hanya memberikan sedikit
kontribusi terhadap keefektifan suatu terapi.
2) Terapi Behavioral
Terdapat beberapa teknik terapi yang mencakup terapi behavioral diantaranya adalah terapi aversi,
yaitu dengan memberikan kejutan listrik atau hal lain yang kurang menyenangkan setiap kali individu
dengan parafilia menerima stimulus seksualnya yang menyimpang, misalnya seorang pedofilia
diberikan kejutan listrik saat menatap foto seorang anak yang telanjang, harapannya agar setiap kali
si pedofilia menemui stimulus seksualnya ia akan langsung mengingat kejadian yang tak
menyenangkan tersebut sehigga mengurangi gairah seksualnya. Kemudian ada teknik reorientasi
orgasmik yaitu dengan cara menyandingkan stimulus perangsang yang bersifat normal (foto
perempuan seksi) ketika pasien sedang memberikan respon seksualnya pada stimulus yang
disukainya (yang tidak normal), hal ini bertujuan membantu pasien lebih terangsang pada stimuli
seksual yang wajar. Contohnya pada kasus individu dengan sadistik diinstruksikan untuk memikirkan
hal-hal sadis yang dapat merangsangnya secara seksual (ereksi), kemudian ia melakukan masturbasi
sambil menatap foto wanita seksi (stimulus wajar), proses
dilakukan berulang hingga lama kelamaan pasien akan terangsang pada stimulus yang wajar.
3) Terapi Kognitif
Digunakan untuk mengatasi pola pikir yang salah pada pengidap parafilia. Misalnya pada kasus
pedofilia, terapis akan meluruskan pikiran pasien bahwa sebenarnya anak kecil tidak suka bila diajak
berhubungan seksual, berlawanan dengan pemikiran pasien sebelumnya yang menganggap bahwa
anak kecil tertarik pada perilaku seksual. Teknik ini juga dikombinasikan dengan pelatihan empati,
yaitu mengajari pasien untuk memikirkan efek perilaku buruknya terhadap korban.
4) Terapi Biologis
Dengan pemberian MPA yang dapat menurunkan kadar testosteron pada laki-laki, penggunaan obat
ini diasumsikan dapat menghambat gairah seksual sehingga mengurangi perilaku yang menyimpang.
Namun terdapat kelemahan dari terapi ini diantaranya apabila putus obat maka pasien akan kembali
pada perilaku seksual menyimpangnya, selain itu penggunaan obat ini juga menimbulkan efek
samping yaitu diabetes dan kemandulan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi pelaku kejahatan seksual
agar tekun menjalani terapi, diantaranya :
agar si pelaku mengurangi pertahanan dirinya dan mau mengakui kejahatannya.
mengendalikan perilakunya juga menekankan pada konsekuensi negatif yang diterima pelaku
apabila menolak menjalani penanganan, misalnya ia akan dipindahkan ke penjara yang lebih kejam.
ahwa ia bisa menjalani
terapi yang dijalaninya, sehingga menjadi tantangan bagi si pelaku untuk membuktikan kepada
terapis bahwa sebenarnya ia bisa.
pelaku yang dapat mengungkap kecenderungan seksualnya tanpa perlu pengakuannya. Sehingga tak
ada cara berbohong yang bisa dilakukan pelaku untuk menutupi kecenderungan seksualnya dan
satu-satunya jalan untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan mengikuti terapi.
3. Perkosaan
Perkosaan dibagi dalam dua kategori yang pertama secara paksa dan yang kedua secara hukum.
Perkosaan secara paksa adalah hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukannya.
Perkosaan secara hukum adalah perkosaan yang dilakukan dengan seseorang yang berumur di
bawah umur dewasa. Umur dewasa ditentukan oleh hukum-hukum tertentu pada umumnya di
bawah 18 tahun. karena di bawah umur dewasa tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban terhadapa aktivitas seksualnya. Perkosaan secara hukum tidak melibatkan
pemaksaan hanya hubungan sekes dengan seseorang di bawah umur dewasa.
a. Kejahatan Perkosaan
Kasus pemerkosaan sangat bervariasi, beberapa pemerkosaan direncanakan dan beberapa dianggap
lebih impulsif, suatu kejahatan yang dilakukan secara spontan. Beberapa pemerkosaan tampaknya di
motivasi oleh hasrat tuk mengendalikan orang lain dan di motivasi oleh nafsu seksual, meskipun
dalam beberapa kasus pemerkosa mengalami kegagalan dalam mencapai orgasme. Pemerkosaan
jauh lebih dianggap sebagai tindakan kekerasan, agresi dan dominasi daripada sebagai tindakan
seks, karena tidak hanya dilakukannya penetrasi pada vagina tetapi juga meliputi oral dan anal. Tidak
hanya perempuan yang jadi korban pemerkosaan tetapi laki-laki juga tidak luput dari permerkosaan
yang dilakukan oleh sesama laki-laki. Pembahasan ini difokuskan pada perempuan karena
pemerkosaan pada umumnya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
Banyak kelompok feminis keberatan dengan klasidikasi perkosaan sebagai kejahatan seksual semata
kareana dikhawatirkan terminologi tersebut dapat menutupi karakteristik tindakan tersebut yang
pada dasarnya merupakan penyerangan dan pada umumnya brutal dan menciptakan suatu atmosfer
yang mempertanyakan motif seksual korban.
Perkosaan juga terjadi dalam suasana kencan, yang disebut dengan perkosaan oleh kenalan. Jenis
perkosaan ini melebihi jumlah perkosaan oleh orang yang tidak dikenal dengan perbandingan 3:1
(Kilpatrick & Best, 1990). Korban akan lebih cenderung disalahkan atas perkosaan tersebut dan akan
cenderung lebih menyalahkan diri sendiri. Pandangan tersebut sangat ditentang karena tidak
mengindahkan hak pihak yang lemah. Kesedian perempuan untuk diajak makan malam, berciuman
dan berpelukan merupakan hal yang berbeda dengan kesediaan untuk melakukan sesuatu yang
lebih intim.
Perkembangan dari perkosaan oleh teman kencan penggunaan obat penenang Rohhypnol. Obat ini
tidak berbau tidak berasa dan dapat dengan mudah dicampurkan ke dalam minuman, efek obat ini
menyebabkan peminumnya pingsan dan hanya dapat mengingat sedikit, atau bahkan tidak dapat
mengingat sama sekali, tentang apa yang terjadi. Sebanyak 25 persen dari jumlah perempuan di
Amerika Serikat akan diperkosa suatu saat dalam hidup mereka (Kilpatrick & Best, 1990), paling
sering oleh orang yang mereka kenal (Hudson & Ward, 1997) dan kemungkinan lebih dari 80 persen
dari seluruh penyerangan seksual tidak dilaporkan. Jika diperhitungkan aktivitas seksual dengan
paksaan yang tidak sampai ke tindakan pemerkosaan, temuan menunjukan bahwa sebanyak 75
persen mahasiswa perempuan pernah menjadi korban semacam bentuk aktivitas seksual yang tidak
diinginkan (Koss, 1985).
b. Korban, Serangan dan Pascakejadian
Keyakinan masyarakat luas pada korban perkosaan adalah seseorang berusia muda dan
berpenampilan menarik, tetapi itu hanya mitos, walaupun banyak gambaran seperti itu yang terjadi.
Usia dan penampilan fisik bukan halangan bagi beberapa pemerkosa.
Korban perkosaan biasanya menjadi trauma oleh serangan tersebut, fisik maupun mental (Calhoun,
Atkeson, & Resick, 1982; Resick, 1993; Resick dkk., 1986; Rothbaum dkk,. 1992). Dua minggu setelah
diperkosa, 94 persen perempuan mengalami gangguan stress
akut dan sembilan bulan kemudian, 42 persen mengalami PTSD penuh (Rothbaum & Foa, 1993)
Sebelum penyerangan terjadi biasanya korban sudah mulai menyadari situasi yang berbahaya
namun hampir tidak mempercayai apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal utama yang sangat
ditakutkan oleh korban adalah keselamatan jiwanya, korban juga biasanya merasakan
ketidakmampuan untuk melawan penyerangannya yang umumnya lebih kuat. Terlebih lagi pelaku
biasanya melakukan hal yang tidak terduga dan membawa senjata untuk menintimidasi, tidakan
perlawanan sangat terhambat karena besarnya rasa takut. DSM-IV-TR menyebutkan perkosaan
sebagai jenis trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stres pascatrauma. Banyak
korban yang merasa tegang dan malu setelah diperkosa. Meraka merasa bersalah karena tidak
mampu melawan dan ingin melakukan balas dendam, mengalami mimpi buruk dan depresi,
hilangnya harga diri umum terjadi pada korban. Beberapa korban mengalami fobia berada di tempat
umum atau tempat yang gelap, merasa terancam bila ada orang di belakangnya atau bila sedang
berada sendirian.
Banyak kasus pada perempuan yang menjadi korban perkosaan yang bersikap negatif terhadap seks,
dan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan suami atau kekasih mereka (Becker, Skinner,
dkk., 1986). Tanoa intervensi, simtom-simtom kecemasan dan depresi dalam beberapa kasus, pada
beberapa perempuan dapat berlangsung PTSD penuh selama bertahun-tahun setelah penyerangan
tersebut (Calhoun & Atkenson, 1991; Resick, 1993) Risiko bunuh diri dan penyalahgunaan zat juga
sering terjadi pada korban perkosaan. Dari penelitian tentang efek stress terhadap kesehatan tubuh,
didapatkan bahwa korban perkosaan dapat mengalami berbagai masalah somatik dan mereka
cenderung menjadi lebih sering berobat (Phelps, Wallace, & Waigant, 1989).
Karakteristik dan durasi gangguan pada korban perkosaan sangat tergantung pada pola kehidupan
korban sebelum dan sesudah penyerangan. Faktor-faktor yang dapat mengurangi kondisi negatif
pasca perkosaan antara lain adalah pasangan dan teman-teman yang supportif. Pasca kejadian lebih
merupakan fungsi penilaian korban terhadap kejadian tersebut dan bukan karena kejadian itu
sendiri, cara orang-orang mengintrepretasikan berbagai kejadian merupakan hal yang penting.
c. Pemerkosa
Fakta bahwa laki-laki dengan kekuatan yang umumnya lebih besar biasanya dapat menggaghi
perempuan memperkuat pandagan tentang fungsu perkosaan di masa lalu dan hingga saat ini masih
berfungsi sebagai cara untuk mengandalikan dan mengintimidasi perempuan (Brownmiller,1975).
Kompenen seksual itu snediri tampaknya merupakan kompinenpenting dalam sevagian besar
perkosaan (Seto & Barbaree, 2000)
Perkosaan dalam perang : para penjelajah memperkosa sepanjang perjalannya mereka melintasi
Eropa dalam perjalanan ziarah suci pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Orang-orang jerman
memperkosa ketika mereka menyerbu Belgia pada perang Dunia I, para tentara Amerika memerkosa
para perempuan dewasa dan anak-anak Vietnam ketika mereka melakukan pencarian dan
penghancuran. Brownmiller berpendapat bahwa perkosaan sebenarny diharpkan dalam
peperangan. Menurutnya, menjadi anggota militer mendorong timbulnya rasa superioritas maskulin
yang keji dan menciptakan suatu iklim dimana perkosaan dapat diterima.
Siapakah si pemerkosa? Pemerkosa pada umumnya adalah salah satu dari semua laki-laki dari
berbagai kalangan dan berbagai kondisi baik maupun tidak baik, yang sering kali melakukan
perkosaan pada situasi-situasi tertentu dan dengan alasan tertentu.
Para pemerkosa memiliki kesamaan alasan untuk melakukan kekerasan yaitu timbulnya keyakinan
bahwa dirinya sudah dikhianati, disakiti, ditipu dan direndahkan oleh perempuan atau memiliki
pengalam masa kecil disiksa oleh kedua orangtuanya. Selain itu dorongan untuk melakukan
perkosaan karena pelaku merasa kesepian, kemarahan, dipermalukan, merasa tidak adekuat, dan
ditolak.
Dari perspektif sosiologis, semakin masyarakat menerima kekerasan interpersonal sebagai cara
mengatasi konflik, dan menyelasikan masalah, makan semakin tinggi frekuensi perkosaan (sanday,
1981) dari penilitian menunjukan bahwa perkosaan dapat didorong oleh pornografi dimana
menggambarkan perempuan yang menikmati hubungan seksual dengan paksaan.
d. Terapi Bagi Pemerkosa dan Korban Perkosaan
1) Terapi Untuk Pemerkosa
Program terapi yang dilakukan untuk mengurangi pelaku perkosaan mengalami residivisme setelah
keluar dari penjara adalah dengan teknik-teknik kognitif yang bertujuan meluruskan distorsi
keyakinan dan mengubah sikap yang tidak benar terhadap perempuan, berbagai upaya untuk
meningkatkan empati, mengontrol kemarahan dan mengurangi penyalahgunaan zat. Terapi
psikologis juga dilengkap dengan terapi biologis untuk mengurangi dorongan seks si pemerkosa.
Berbagai meta analisis menghasilkan kesimpulan bahwa terapi kognitif dan intervensi biologis cukup
dapat menurunkan tingak residivisme, terutama di kalangan mereka yang menyelesaikan program
penanganan (Hall,1995; Hanson & Bussiere, 1998; Maletsky, 2002)
2) Terapi Untuk Korban Perkosaan
Melakukan berbagai konselin bagi para korban perkosaan. Memfokuskan untuk menormalkan reaksi
emosional korban, mendorong korban untuk menyampaikan perasaanya, dan membantunya
mengatasi berbagai masalah yang mendesak, seperti mengurus penjagaan anak atau meningkatkan
sistem keamanan dirumah korban. Singkatnya adalah membantu korban menyelesaikan masalah
dan menhadapi situasi segera setelah kejadian traumatik tersebut. Mencegah untuk menyalahkan
diri sendiri juga hal yang penting (Frazier, 1990)
Konselor mendorong korban unutuk tidak menarik diri dari pergaulan sosial atau menjadi tidak aktif,
pusat krisi memberikan pendamping untuk korban perkosaan dalam menyelesaikan masalahnya dari
mulai masalah hukum dan maslaah-masalah yang timbul dari kejadian traumatik tersebut.
Sebagian besar terapi korban perkosaan memiliki kesamaan dengan terapi PTSD. Korban diminta
untuk menceritakan secara detail peristiwa tersebut kepada terapis, pemaparan ulang pada trauma
dirancang untuk menghilangkan rasa takut. Depresi dapat ditangani dengan cara membatu pasien
mengevaluasi perannya dalam peristiwa tersebut, karena dalam hal ini korban juga merasa ikut
bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Sebuah intervensi kognitif perilaku yang mulai dievaluasi secara empiris adalah terapi proses kognitif
yang dikembangkan oleh Patricia Resick. Terapi ini mengkombinasikan pemaparan dengan berbagai
memori trauma yang teradapat dalam berbeagai intervensi untuk mengurangi kecemasan dengan
jenis restrukturisasi kognitif. Contohnya, korban didorong untuk menentang setiap kecenderungan
sepenuhnya aspek-aspek kejadian tersebut yang berada diluar kendalinya.
Berikut beberapa alasan mengapa korban perkosaan ketidakmauan untuk melaporkan perkosaan,
yaitu :
-temannya
idak efisien, tidak efektif dan tidak sensitive
Perjalanan sidang dapat menimbulkan stress pada korban, terlebih lagi bila pelaku merupakan
kenalan dari korban, maka keputusan bersalah akan lebih sulit dicapai. Dan yang terakhir, meskipun
pelaku sudah melakukan ratusan kali tindakan pemerkosaan tetapi hanya dipenjarakan dalam waktu
yang tidak lama atau penyerangannya tersebut.
4. Disfungsi Seksual
Berbagai masalah seksual yang biasanya dianggap mencerminkan hambatan dalam siklus respons
seksual normal. Disfungsi seksual dapat menjadi sangat parah sehingga menghilangkan sensitivitas
seksual itu sendri, apalagi kepuasan yangf lebih intens dalam hubungan seks.
a. Disfungsi Seksual dan Siklus Respons Seksual Manusia
DSM-IV-TR membagi disfungsi seksual menjadi empat kategori utama: gangguan nafsu seksual,
gangguan gairah seksual, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri seksual. Diagnosis disfungsi
seksual tidak ditegakkan jika gangguan tersebut diyakini disebabkan sepenuhnya oleh penyakit
medis (seperti diabetes lanjut, yang dapat menyebabkan masalah ereksi pada laki-laki) atau jika
disebabkan oleh gangguan Aksis I lainnya ( seperti depresi mayor).
Empat fase dalam siklus respon seksual manusia secara umum dapat diidentifikasi; fase tersebut
dianggap tidak jauh berbeda pada laki-laki dan perempuan.
1) Keinginan (Appetitive). Dikemukakan oleh Kaplan (1974), tahap ini merujuk minat atau nafsu
seksual, yang sering kali berhubungan dengan fantasi yang menimbulkan gairah seksual.
2) Kegairahan (Excirtement). Merupakan tahap awal dalam konsep Masters dan Jhonson, yaitu suatu
pengalaman subjektif tentang kenikmatan seksual yang dihubungkan dengan perubahan fisiologis
yang disebabkan meningkatnya aliran darah ke alat kelamin dan pada perempuan juga ke payudara.
Pembengkakan tersebut, yaitu mengalirkan darah ke jaringan-jaringan, terlihat dalam bentuk ereksi
penis pada laki-laki dan pada perempuan pembesaran payudara dan perubahan dalam vagina,
seperti meningkatnya lubrikasi.
3) Orgasme. Pada fase ini kenikmatan seksual mencapai puncaknya dengan cara yang mempesona
para penyair dan orang-orang awam seperti kita selama ribuan tahun.
Pada laki-laki ejakulasi dirasakan tidak terhindarkan dan memang hampir selalu terjadi ( dalam
beberapa kasus yang jarang terjadi beberapa laki-laki8 dapat mengalami orgasme tanpa ejaulasi, dan
sebaliknya) . Pada perempuan, tepi-tepi bagian luar ketiga pada vagina mengalami kontraksi. Pada
kedua jenis kelamin terjadi ketegangan otot pada umumnya dan sentakan pada panggul yang terjadi
dengan sendirinya.
4) Resolusi. Tahap akhir dalam konsep Masters dan Johnson merujuk pada relaksasi dan rasa
nyaman yang biasanya mengikuti orgasme. Pada laki-laki terjadi periode pengerasan, di mana ereksi
dan gairah lebih jauh tidak mungkin terjadi, naming selama kurun waktu yang berbeda-beeda pada
setiap individu dan b ahkan pada individu yang sama pada saat berbeda-beda. Perempuan sering kali
hampir secara langsung mampu kembali merespon kenikmatan seksual, yang memungkinkan
terjadinya orgasme ganda.
Versi siklus respons seksual manusia ini adalah suatu kontrak sebagai suatu cara untuk
mengonseptualisasikan serangkaian pikiran, perasaan, perilaku, dan reaksi-reaksi biologis yang
berkesinambungan ke dalam tahap-tahap yang berbeda.
b. Deskripsi dan Etiologi Disfungsi Seksual
Dalam kriteria diagnostik diagnostik untuk setiap disfungsi seksual kalimat “ terus menerus atau
berulang” digunakan untuk menggarisbawahi fakta bahwa suatu masalah memang harus serius agar
dapat ditegaskan suatu diagnosis. Selain itu, terdapat tingkat komorbiditas yang cukup tinggi pada
berbagai disfungsi seksual.
1) Gangguan nafsu seksual
DSM IV-TR membedakan dua jenis gangguan nafsu seksual. Gangguan nafsu seksual hipoaktif dan
gangguan keengganan seksual. 20 hingga 30 persen dari populasi orang dewasa umum, lebih banyak
perempuan disbanding pada laki-laki, kemungkinan mengalami gangguan nafsu seksual hipoaktif.
Kriteria gangguan nafsu seksual hipoaktif dalam DSM IV-TR :
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum Kriteria gangguan keengganan seksual pada DSM IV-TR :
oleh gangguan Aksis I lain ( kecuali disfungsi seksual lain)
Gangguan nafsu seksual hipoaktif merujuk pada kurangnya atau tidak adanya fantasi dan dorongan
seksual. Gangguan keengganan seksual mencerminkan bentuk gangguan ini yang lebih ekstrem,
dimana seseorang secara aktif menghindari hampir semua kontak genital dengan orang lain.
Di antara orang-orang yang berupaya mendapatkan penanganan untuk disfungsi seksual, lebih dari
separuhnya mengeluhkan rendahnya nafsu seksual, di antara mereka gangguan tersebut sering
sekali komorbid dengan gangguan orgasme.
Tidak banyak yang diketahui mengenai penyebab gangguan nafsu seksual hipoaktif atau gangguan
keengganan seksual. Karena para perempuan yang mengalami gangguan tersebut menunjukan
respon seksual normal terhadap stimuli seksual dalam berbagai studi laboratorium, tidak tampak
bahwa mereka tidak mampu untuk merasakan gairah sepenuhnya.
Di antaranya berbagai penyebab dorongan seks rendah pada orang-orang yang ditangani secara
klinis adalah ortodoksitas agama, mencoba melakukan hubungan seks dengan orang yang tidak
bejenis kelamin sesuai yang diinginkan, takut kehilangan kendali, takut hamil, depresi, efek samping
konsumsi obat seperti antihipertensi dan penenang, kurangnya rasa tertarik karena disebabkan
factor-faktor kuangnya kebersihan diri pada pasangan, mengalami gangguan disfungsi seksual lain
seperti gangguan ereksi.
Faktor lain adalah riwayat trauma seksual, seperti perkosaan atau pelecehan seksual dimasa kanakkanak, dan takut terkena penyakit menular seksual. Nafsu seksual menjadi lebih rendah bila
seseorang mengalami stress sehari-hari dalam kadar yang tinggi.
2) Gangguan Gairah Seksual
Kriteria gangguan gairah seksual pada perempuan dalam DSM IV-TR
-menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual
(lubrikasi dan pembengkakan genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
i seksual lainnya) atau efek fisiologis
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum
Kriteria gangguan ereksi pada Laki-Laki dalam DSM IV-TR
-menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual
(lubrikasi dan pembengkakan genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum
Dua subkategori gangguan gairah adalah gangguan gairah seksual perempuan (frigiditas) dan
gangguan ereksi laki-laki (impotensi). Istilah frigiditas dan impotensi diganti menjadi gangguan gairah
seksual karena istilah tersebut memiliki arti yang bersifat merendahkan.
Tingkat prevalensi gangguan gairah pada perempuan adalah sekitar 20 persen (Laumann dkk., 1994).
Pada laki-laki gangguan ereksi diperkirakaan tiga hingga Sembilan persen (a.l.,Ar, 1997; Frank,
Anderson, & Rubenstein, 1978) dan meningkat tajam pada orang dewasa yang lebih tua. Beberapa penyebab spesifik diyakini mendasari masalah gairah peempuan adalah seorang
perempuan bias saja kurang mengetahui hal-hal yang dapat membuatnya terangsang dan bahkan
kurang mengetahui anatomi tubuhnya sendiri. Konflik perkawinan tampaknya menjadi faktor,
seperti juga masalah medis (seperti kurangnya estrogen dan diabetes) dan beberapa obat-obatan
(seperti obat-obat hipertensi).
Sebanyak dua pertiga masalah ereksi memiliki penyebab biologis, yang biasanya dikombonasikan
dengan faktor-faktor psikologis. Pada umumnya, setiap penyakit, obat, atau ketidak seimbangan
hormone yang dapat memengaruhi jalur saraf atau pasokan darah ke penis dapat berkontribusi
terhadap masalah ereksi. Faktor-faktor somatic biasanya berinteraksi dengan faktor-faktor psikologis
untuk dapat menimbulkan masalah ereksi dan membuatnya terus berlangsung.
3) Gangguan Orgasme
Kriteria gangguan orgasme perempuan dalam DSM IV-TR
-menerus setelah periode gairah seksual
normal dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan stimulasi seksual
yang diterimanya
sonal
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum
Kriteria gangguan orgasme laki-laki dalam DSM IV-TR
secara terus-menerus setelah periode gairah seksual
normal dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan stimulasi seksual
yang diterimanya
lainnya (kecuali disfungsi seksual lainnya) atau efek fisiologis
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum
Terdapat perbedaan penting antra masalah yang dapat dialami perempuan daam mengalami gairah
seksual dan masalah yang dapat dialaminya dalam mencapai orgasme. Pada laki-laki, ejakulasi yang
hampir selalu disertai dengan orgasme. Perembuan yang atau tidak pernah melakukan masturbasi
sebelum mereka melakukan hubungan seks memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk tidak
mengalami orgasme dibandingkan dengan perempuan yang melakukan masturbasi. Konsumsi
alcohol kronis dapat menjadi faktor somatic dalam disfungsi orgasme pada perempuan. Perempuan
memiliki ambang batas orgasme yang berbeda. Faktor kemungkinan lain adalah rasa takut kehilangan kendali, beberapa perempuan merasa takut
bahwa mereka akan berteriak tanpa kendali, membuat dirinya tampak bodoh, atau pingsan. Sumber
hambatan yang berkaitan dengan hal ini adalah suatu keyakinan yang mungkin tidak benar bahwa
membiarkan dan
mengizinkan tubuh untuk mengambil alih kesadaran dan kendali pikiran merupakan suatu yang tidak
pantas.
Kondisi hubungan juga merupakan hal penting, meskipun beberapa perempuan dapat menikmati
hubungan seksual dengan seseorang yang sedang menjadi sasaran kemarahannya , atau bahkan
kebenciannya, sebagian besar menarik diri dalam situasi semacam itu.
4) Gangguan orgasme pada laki-laki dan ejakulasi prematur (dini)
Kriteria ejakulasi prematur dalam DSM IV-TR
menginginkannya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi durasi fase
kegairahan seperti umur, masih awam dengan situasi atau pasangan, dan frekuensi hubungan
seksual dalam beberapa waktu terakhir
-mata disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu obat
Gangguan orgasme pada laki-laki atau kesulitan mengalami ejakulasi, relative jarang oleh 4 hingga
10 pasie yang menjalani penanganan. Berbagai penyebab yang dikemukakan antara lain takut bila
pasangannya hamil, menyembunyikan rasa cinta, mengekspresikan kekasaran dan seperti halnya
gangguan orgasme perempuan yaitu takut untuk melepaskan kendali.
Ejakulasi dini kemungkinan merupakan disfungsi seksual yang paling banyak terjadi pada laki-laki.
Penyebab terjadinya adalah penis yang sangat sensitive. Pembelajaran juga dianggap sebagai suatau
faktor. Contohnya, seorang anak laki-laki dapat memiliki kecendrungan untuk cepat berejakulasi
sebagai akibat hubungan seks yang dilakukan terburu-buru karena dilakukan ditempat yang tidak
pribadi dan takut diketahui orang lain.
Kekhawatiran mengalami ejakulasi terlalu dini dapat merupakan akibat alamiah dari penekanan yang
berlebihan pada kontak kelamin dalam hubungan seks dikalangan heteroseksual.
5) Gangguan Nyeri Seksual
Dua gangguan rasa nyeri yang berhubungan dengan seks tercantum dalam DSM IV-TR adalah
Dispareunia dan Vaginismus
Kriteria Dispareunia dalam DSM IV-TR
EATING DISORDER
Eating disorder atau gangguan makan pada DSM IV TR dibagi menjadi 3, yaitu
anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan berlebih (Binge Eating Disorder).
Gambaran Klinis
1. Anoreksia Nervosa
Kata “anorexia” memiliki arti hilangnya selera makan, dan “nervosa” memiliki
arti sebab emosional. Maka anoreksia nervosa bermakna hilangnya selera makan yang
disebab emosional. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena orang yang mengalami
anoreksia tidak selalu kehilangan selera makannya. Anoreksia nervosa adalah sebuah
gangguan di mana seseorang melaparkan dirinya atau menolak untuk makan karena
memiliki ketakutan bahwa berat badannya akan bertambah. Ketakutan bahwa
seseorang akan bertambah gemuk menyebabkan orang yang mengalami anoreksia
akan melakukan berbagai cara untuk menguruskan diri, biasanya dengan diet
berlebihan atau tidak mau makan. Diet ini akan menyebabkan mereka menjadi sangat
kurus. Namun bahkan ketika seseorang sudah sangat kurus, mereka tidak pernah puas
dengan bentuk tubuh mereka dan tetap memiliki ketakutan bahwa berat badannya
akan bertambah, sehingga tetap melakukan diet atau menolak asupan makan. Tidak
jarang kondisi ini menyebabkan penderita anoreksia meninggal.
Perubahan biokimiawi yang disebabkan oleh kelaparan atau rasa bersalah dan
rasa malu yang dialami pasien telah membuat beberapa peneliti mempertimbangkan
kemungkinan bahwa anoreksia menyebabkan depresi. Perubahan fisik yang terjadi
pada penderita anoreksia ditandai dengan tekanan darah menurun, denyut jantung
melambat, ginjal dan sistem pencernaan menjadi bermasalah, masa tulang berkurang,
kulit mengering, kuku jari menjadi mudah patah, kadar hormon berubah, anemia
ringan, kerontokan rambut, perubahan struktur otak seperti rongga yang meluas atau
kelebaran sulcal, juga dapat terjadi namun dapat diperbaiki.
Kriteria DSM IV TR untuk anoreksia adalah :
a. Menolak untuk mempertahankan berat badan normalnya.b. Sangat takut bila berat badannya bertambah, dimana rasa takut ini juga tidak
berkurang ketika berat badan mereka berkurang (tidak pernah merasa kurus).
c. Memiliki pandangan yang menyimpang tentang bentuk tubuh mereka.
d. Pada perempuan, kondisi tubuh yang kurus menyebabkan amenorea, yaitu
berhentinya periode menstruasi.
DSM IV-TR membedakan dua tipe dari anoreksia:
a. Tipe terbatas : menurunkan berat badan dengan membatasi asupan makanan.
b. Tipe binge-pengurasan : orang yang bersangkutan secara rutin juga makan
berlebihan kemudian mengeluarkannya.
Anoreksia nervosa umumnya terjadi pada awal hingga pertengahan remaja,
dan bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Prevalensi anoreksia pada
perempuan 10x lebih banyak daripada laki-laki, di mana beberapa ahli berpendapat
hal ini dikarenakan adanya stereotype bahwa perempuan dinilai dari bentuk tubuh
mereka, sementara laki-laki dari keberhasilan mereka.
Pada umumnya anoreksia komorbid dengan gangguan lain, terutama depresi
dan anxiety disorder. Anxiety disorder (cenderung pada bentuk tubuh) dapat
menyebabkan anoreksia di mana anoreksia ini juga dapat menyebabkan depresi, atau
depresi dapat terjadi bersamaan dengannya.
2. Bulimia Nervosa
Istilah “Bulimia” berasal dari bahasa Yunani yang bermakna “lapar seperti
sapi jantan”. Bulimia nervosa adalah sebuah gangguan di mana seseorang akan
melakukan binge (makan berlebih) kemudian melakukan perilaku pengurasan.
Perilaku binge atau makan secara berlebihan biasanya dilakukan dalam waktu kurang
dari 2 jam, dan lebih mungkin dilakukan saat sedang sendirian pada pagi hari.
Penderita biasanya menghindari makanan kesukaan pada satu hari kemudian makan
berlebihan esok paginya.
Berbagai studi menyatakan bahwa makan berlebihan juga bisa terjadi setelah
interaksi sosial yang negatif atau setidaknya persepsi atas hubungan sosial yang
negatif. Para pasien menuturkan bahwa mereka hilang kendali ketika binge atau
merasa bahwa bukan diri mereka yang ada saat binge terjadi dan merasa malu serta jijik dengan kondisi tersebut bahkan mencoba menutupinya. Rasa malu dan jijik
inilah, yang ditambah dengan ketakutan bahwa berat badan mereka akan bertambah
setelah makan berlebihan, yang menyebabkan munculnya perilaku pengurasan.
Perilaku ini dapat berupa muntah (yang paling sering), puasa, atau olahraga
berlebihan. Perilaku ini dilakukan sebagai kompensasi dan untuk menghilangkan efek
asupan kalori karena makan berlebihan. Dalam DSM IV TR, episode binge dan
pengurasan harus terjadi sekurang-kurangnya dua kali seminggu selama tiga bulan
untuk ditegakkan sebagai bulimia nervosa.
Kriteria DSM-IV TR untuk gangguan Bulimia Nervosa:
1. Makan berlebihan secara berulang.
2. Pengurasan berulang untuk mencegah bertambahnya berat badan.
3. Simtom-simtom terjadi sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama sekurangkurangnya 3 bulan.
4. Penilaian diri sangat tergantung pada bentuk tubuh dan berat badan.
Pada Bulimia nervosa, terdapat dua tipe purging atau mencahar:
a. Purging type (mencahar), yaitu pada saat episode bulimia nervosa
berlangsung, penderita bulimia nervosa secara teratur muntah dengan
sengaja, memakai obat pencahar atau obat-obatan lain dalam dosis yang
salah.
b. Unpurging type (tidak mencahar), yaitu pada saat episode bulimia terjadi,
penderita bulimia nervosa melakukan puasa, olah raga, dan diet yang
berlebihan.
Bulimia nervosa banyak ditemukan pada wanita di kalangan menengah keatas
dan sepersepuluh pria pada rentang usia remaja atau dewasa awal. Kebanyakan
diantara mereka memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu kurang percaya diri, merasakan
cemas yang berlebihan, dan merasa bahwa tubuhnya tidak sesuai keinginannya, maka
tidak jarang diantara penderita bulimia nervosa terindikasi terkena Anxiety disorder
atau pun Mood disorder. Perubahan fisik yang terjadi pada penderita bulimia nervosa
adalah amenorea, kekurangan potassium, diare, denyut jantung tidak teratur, rusaknya
jaringan lambung dan tenggorokan, hilangnya enamel gigi.
Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa memiliki perbedaan walaupun
keduanya memiliki ketakutan akan meningkatnya berat badan dan kecenderunganyang mirip, seperti binge, purging, hingga melakukan diet, latihan, dan puasa yang
ketat. Pada berat badan, penderita anoreksia nervosa mengalami penurunan berar
badan yang drastis, sedangkan penderita bulimia nervosa tidak. Pada penderita
anoreksia nervosa, mereka berusaha keras untuk tidak makan sesuatu, kalaupun
mereka makan, hanya dalam porsi yang sedikit sekali, sedangkan pada penderita
bulimia nervosa, mereka makan yang banyak dan diikuti perlaku memuntahkan atau
melakukan kegiatan fisik secara berlebihan.
3. Binge Eating Disorder
Binge eating disorder atau gangguan makan berlebih di cantumkan dalam
DSM-IV-TR sebagai suatu diagnosis yang memerlukan studi lebih jauh dan bukan
sebagai diagnosis resmi. Ganguan ini terjadi perilaku makan berlebih yang berulang
dalam waktu dua kali seminggu selama sekurang-kurangnya enam bulan. Gangguan
ini memiliki ciri-ciri kurangnya kontrol diri selama episode makan berlebih dan
merasa tertekan karena makan berlebihan dan karakteristik lainnya adalah makan
dengan cepat dan makan secara diam-diam.
Gangguan ini berbeda dengan anoreksia nervosa dalam hal ini gangguan
makan berlebih tidak mengalami penurunan berat badan secara derastis dan berbeda
dengan Bulimia nervosa karena tidak adanya perilaku kompensatori (pengurasan,
berpuasa dan olahraga yang berlebih). Gangguan ini lebih sering terjadi pada
perempuan di bandingkan pada pada laki-laki yang dihubungkan pada obesitas dan
riwayat melakukan diet. Gangguan ini dikaitkan dengan hendaya fungsi pekerjaan dan
sosial, depresi, harga diri rendah, penyalahgunaan zat dan ketidakpuasan dalam
bentuk tubuh. Faktor-faktor resiko terbentuknya gangguan makan berlebihan
mencakup obesitas pada masa kanak-kanak, komentar dengan nada mengkritik atas
berat badan berlebihan, konsep diri yang rendah, depresi dan penyiksaan fisik atau
seksual pada masa kanak-kanak
Etiologi
1. Faktor Biologis
Eating disorder dapat terjadi dalam satu keluarga, sehingga disenyalir gen
merupakan salah satu penyebabnya. Kerabat tingkat pertama dari perempuan
penderita anoreksia memiliki kemungkinan 10x lebih besar disbanding rata-rata untuk
menderita gangguan yang sama. Sedangkan kerabat tingkat pertama dari perempuan
penderita bulimia memiliki kemungkinana 4x lebih besar. Hal serupa juga terjadi pada
laki-laki, dimana kerabat pertama laki-laki penderita eating disorder akan memiliki
kerentanan lebih besar dibanding rata-rata untuk menderita gangguan yang sama.
Gen memiliki pengaruh yang lebih besar pada orang-orang kembar yang
menderita gangguan makan dibandingkan dengan faktor-faktor lingkungan. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa ketidakpuasan atas bentuk tubuh, keinginan yang
kuat untuk menjadi langsing, makan berlebihan, dan preokupasi dengan berat badan
dapat diturunkan dalam keluarga.
Penelitian menunjukan bahwa Hipotalamus (bagian pada otak yang mengatur
rasa lapar), opioid endogenus (bagian yang menekan selera makan), dan serotonin
(meyebabkan rasa kenyang) berperan dalam eating disorder namun terkadang bukan
sebagai penyebabab tapi lebih kepada akibat yang ditimbulkan. Pasien anoreksia yang
melaparkan dirinya menyebabkan akan menyebabkan turunya kadar kortisol (hormon
yang diatur oleh hipotalamus) yang menyebabkan seseorang tidak ingin makan.
Kelaparan pada anoreksia juga akan meningkatkan kadar opiod sehingga seseorang
menjadi semakin tidak mau makan. Penelitian menunjukkan bahwa makan berlebihan
pada penderita bulimia bisa disebabkan oleh kurangnya kadar serotonin yang
menyebabkan mereka tidak merasa kenyang saat makan. Selain itu, asupan makanan
yang terbatas juga akan menghambat sistem serotonin sehingga penderita tidak
merasa kenyang dan melakukan binge.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai standar yang ditetapkan oleh masyarakat mengenai tubuh yang ideal
(terutama perempuan) memiliki peranan yang besar dalam terjadinya eating disorder.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, penderita eating disorder biasanya memiliki
pikiran yang menyimpang tentang tubuh mereka dan sangat terobsesi untuk menjadi
kurus. Pikiran ini bisa berasal dan diperkuat oleh stereotype masyarakat tentang tubuh
ideal.
Pada abad ke 17, lukisan-lukisan perempuan akan berupa perempuan yang
berisi. Namun, saat ini kebanyakan para model, artis, maupun public figure yang
menjadi panutan lainnya bertubuh langsing atau bahkan sangat kurus. Namun
sementara standar bergerak kearah tubuh yang lebih kurus, semakin banyak orang
yang mengalami kelebihan berat badan. Hal ini menjadi tahap awal konflik anatar
bentuk tubuh ideal dan realitas berdasarkan budaya.
Nilai-nilai sosiokultural juga bisa menjadi penyebab mengapa lebih banyak
perempuan yang mengalami eating disorder disbanding laki-laki. Salah satu nilai
tersebut adalah stereotype yang mendorong objektivitas tubuh perempuan sedangkan
kaum laki-laki lebih dihargai berdasarkan keberhasilan mereka.
3. Pandangan Psikodinamika
Menyatakan bahwa penyebab utama adalah hubungan orang tua-anak yang
terganggu. Anoreksia nervosa merupakan usaha yang dilakukan anak-anak untuk
menghilangkan rasa tidak berguna, tidak efektif, dan tidak berdaya yang muncul
akibat pola asuh yang memaksakan keinginan orang tua pada anak-anak. Sedangkan
menurut Goodsitt, episode pengurasan yang dilakukan penderita bulimia merupakan
symbol dari penolakan anak terhadap ibu dikarenakan adanya konflik ibu-anak..
4. Kepribadian
Para penderita eating disorder memiliki beberapa kepribadian yang sama yaitu
tingkat neurotisme tinggi, harga diri rendah, cenderung patuh, tertutup, dan
perfeksionist. Dimana sifat-sifat ini berpengaruh secara tidak langsung pada
munculnya eating disorder.
5. Karakteristik Keluarga
Self report dari pasien sendiri secara konsisten mengungkap tingkat konflik
yang tinggi dalam keluarga. Rendahnya dukungan keluarga merupakan salah satu
karakteristik yang sering terlihat dalam kondisi pasien gangguan makan. Tipe
psikopatologi lain, termasuk depresi dan gangguan kepribadian. Dengan demikian,
pola keluarga tersebut tidak spesifik hanya dalam patologi gangguan makan, namun
dapat merupakan hal umum dalam keluarga yang salah satu anggotanya menderita
psikopatologi secara umum.
6. Penyiksaan Anak & Gangguan Makan
Angka pelecehan seksual yang tinggi ditemukan pada individu yang menderita
gangguan makan yang belum pernah mendapatkan penanganan dan pada individu
yang pernah mendapatkan penanganan.
7. Pandangan Kognitif-Perilaku
Rasa takut terhadap kegemukan & gangguan citra tubuh diprediksi sebagai
faktor-faktor yang memotivasi untuk melakukan kondisi melaparkan diri dan kondisi
pengurasan.
Penanganan
Sering sekali sulit untuk membuat pasien dengan gangguan makan untuk menjalani
penanganan karena umumnya pasien mengingkari bahwa ia memiliki masalah. Oleh karena
itu, mayoritas penderita gangguan makan 90% diantaranya tidak dalam penanganan.
Penanganan untuk Anoreksia Nervosa
1. Biologis
a. Perawatan di rumah sakit, yang kadang dijalani dengan terpaksa, seringkali diperlukan
untuk menangani pasien anoreksia agar asupan makanan pasien dapat ditingkatkan
secara bertahap dan dipantau dengan teliti. Berat badan dapat sangat kurang sehingga
diperlukan pemberian makan melalui infus untuk menyelamatkan nyawa pasien.
b. Obat-obatan juga digunakan dalam upaya menangani anoreksia nervosa. Sayangnya,
hal itu tidak terlalu berhasil. Hanya terdapat sangat sedikit keberhasilan dengan obatobatan untuk meningkatkan berat badan secara signifikan, juga tidak mengubah gejalagejala utama anoreksia, atau memberikan manfaat tambahan yang signifikan dalam
program standar penangan pasien rawat inap.
2. Psikologis
a. Operant Conditioning
Program terapi operant-conditioning cukup berhasil untuk menambah berat
badan dalam jangka pendek. Namun mempertahankan pertambahan berat badan dalam
jangka penjang belum dapat dicapai secara reliable melalui berbagai intevensi medis,
perilaku atau psikodinamika tradisional.
b. Terapi keluarga
Minuchin dan para koleganya berpendapat bahwa simtom-simtom gangguan
makan paling baik dipahami dengan memahami pasien dan bagaimana simtom-simtom
tersebut tertanam dalam struktur keluarga yang disfungsional. Dapat dilakukan dengan
cara terapis bertemu dengan keluarga dalam acara makan siang keluarga karena konflik
yang berhubungan dengan anoreksia diyakini paling terlihat ketika acara makan
berlangsung. Acara makan siang tersebut memiliki 3 tujuan besar :
1. Mengubah peran pasien dari penderita anoreksia
2. Mendefinisi ulang masalah makan sebagai masalah interpersonal
3. Mencegah orang tua memanfaatkan anoreksia yang dialami anaknya sebagai alat
untuk menghindari konflik
Penanganan Bulimia Nervosa
1. Biologis
Karena bulimia sering kali mengalami komorbid dengan depresi, gangguan ini
ditangani dengan berbagai antidepresan yaitu fluoksetin yang lebih memberikan hasil
dibandingkan plasebo untuk mengurangi makan berlebihan dan muntah, juga mengurangi
depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan makan. Namun sebagian besar
pasien berhenti ditengah jalan dalam melakukan terapi obat ini sehingga mengakibatkan
kekambuhan.
2. Psikologis
CBT (cognitif behavior therapy) Merupakan standar penangan bulimia yang paling
baik tervalidasi dengan baik dan paling terkini. Namun, tidak dapat menyembuhkan
bulimia bagi sebagian besar pasien. Terapinya adalah :
a. Pasien didorang untuk mempertanyakan berbagai standar masyarakat terkait
dengan daya tarik fisik.
b. Pasien juga harus mngungkap dan mengubah keyakinan yang mendorong mereka
melaparkan diri sendiri untuk mencegah bertambahnya berat badan.
c. Membantu pasien untuk melihat bahwa berat badan normal dapat dipertahankan
tanpa harus menjalani diet sangat ketat dan bahwa pembatasan asupan makan yang
tidak realistis sering kali dapat memicu makan berlebihan.
d. Mengajari mereka bahwa semua tidak hilang hanya dengan makan satu gigit
makanan berkalori tinggi dan bahwa menguda tidak perlu memicu makan berlebihan, yang akan diikuti dengan muntah secara sengaja atau minum obat
pencaharyang akan menyebabkan harga diri semakin rendah dan depresi.
e. Mengubah pola pikir “ semua atau tidak sama sekali “ tersebut membantu para
pasien mulai makan secara lebih wajar.
f. Mengajari mereka keterampilan asertivitas untuk membantu mereka mengahadapi
tuntutan yang tidak masuk akal dari orang lain, dan mereka juga mempelajari cara
berhubungan yang lbih memuaskan dengan orang lain.
g. Relaksasi dilakukan untuk mengendalikan dorongan muntah dengan sengaja.
CONTOH KASUS
Kasus Anoreksia
Karin adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Medan. Usianya 21 tahun, Ia
bingung dengan kebiasaan yang dilakukannya tiga tahun belakangan ini. Sejak usianya 18
tahunKarin selalu merasa badannya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak. Karin pernah
mengikuti kontes Ratu di kampus, tetapi saat itu IA tidak masuk nominasi. Teman-temannya
mengatakan bahwa Ia terlalu gemuk untuk menang, biarpun wajah dan postur tubuhnya
sudah cukup mendukung. Semenjak itu kebiasaan Karin untuk makan pun berubah. Karin
mengurangi porsi makan dan makan sedikit sekali untuk mencapai berat badan ideal, bahkan
sesekali tidak makan sama sekali seharian. Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang.
Teman-temannya mengatakan bahwa Karin sudah kurus, tetapi tetap saja Karin tidak yakin
dan menganggap teman-temannya berbohong.
Selama ini keadaan Karin terlihat baik-baik saja, tidak seorangpun mengetahui ketakutannya
mengalami kegemukan. Orang tua Karin tidak mengetahui, karena selama kuliah Karin
tinggal di kost, dan pulang ke rumah seminggu sekali. Kekhawatiran Karin mulai timbul
karena 4 bulan ini ia tidak mengalami menstruasi, padahal saya Karin tidak mempunyai
pacar. Selain itu badan Karin terlihat sangat lemas dan sudah beberapa hari tidak bisa buang
air besar. Padahal sebelumnya bila tidak bisa buang air Karin terbiasa memakan obat
pencahar agar bisa buang air besar. Tetapi untuk saat ini, obat pencahar sudah tidak berfungsi
dan Ia tetap kesulitan untuk buang air besar.
Karin selalu berusaha percaya bahwa saya sehat, tetapi Ia merasa ada yang salah dengannya.
Karin sering mendapat saran dari teman untuk tidak menurunkan berat badan lagi karena
sudah sangat kurus. Tetapi setiap kali Ia makan, Ia berfikir akan menimbulkan kegemukan
dan itu sangat menakutkan baginya.
Kasus Bulimia
Susi adalah seorang remaja berusia 18 tahun yang tinggal dengan orang tuanya. Hubungan
yang terjalin dengan orang tuanya kurang harmonis. Orang tuanya kerap menuntut Susi agar
memiliki tubuh yang “ideal” sehingga tampil menarik seperti remaja pada umumnya tanpa
memberikan arahan bagaimana diet yang sehat. Dalam lingkungan pergaulannya, perempuan
yang lebih kurus dianggap ideal dan lebih disukai.
Susi merasa tertekan, ia makan berlebih yang kemudian ia muntahkan kembali makanan
yang sudah dimakannya. Meskipun begitu, Susi menyangkal makan berlebihan dan
menyangkal sengaja memuntahkan makanan tersebut. Susi mengaku sudah berdiet sejak
umur 11 tahun, tetapi tetap saja ia merasa terlalu tinggi dan gemuk. Pada saat berusia 13
tahun, Susi mulai makan berlebih dan memuntahkannya kembali. Dia mengikuti kelas zumba
setiap waktu dan hal itu penting untuk menurunkan berat badannya. Selama beberapa hari,
Susi mencoba menghindari makanan, tetapi hal itu justru menimbulkan keinginannya untuk
makan lebih banyak. Hal itu mengakibatkant setiap malam, Susi mencari makanan di lemari
es, seperti es krim dan kue. Hal tersebut dilakukan Susi tanpa diketahui kedua orang tuanya.
Setiap kali makan, Susi dapat menghabiskan seperempat wadah es krim, satu stoples kue, dan
beberapa makanan pencuci mulut lainnya.
Susi akan makan terus menerus sampai perutnya terasa penuh, yang justru mengakibatkan
Susi semakin merasa tertekan dan ketakutan jika berat badannya bertambah. Untuk mengatasi
hal tersebut, Susi merangsang dirinya sendiri agar memuntahkan makanan yang sudah
dimakannya.
Ketika berusia 14 tahun, Susi hanya mengalami satu kali dalam enam minggu periode makan
berlebih dan muntah, tanpa mengalami berat badan berlebih. Ketika berusia 16 tahun, episode
makan berlebih dan muntah bertambah, yaitu berlangsung empat kali seminggu.
Kasus Makan Berlebih
Wilona, seorang SPG berusia 33 tahun terbiasa memulai harinya dengan sarapan telur dan
roti bakar sebelum bekerja. Kemudian ia mulai menyukai makan-makanan manis seperti
kue-kue kering, donat, biskuit yang diolesi selai kesukaannya, krim keju dan jelly, permen,
serta semangkuk sereal gandum dan susu coklat semuanya dapat ia habiskan dalam waktu
yang singkat. Wilona merasa malu bila terlihat makan berlebih dan merasa menyesal
sesudahnya. Namun Wilona tidak melakukan apapun untuk mengurangi perasaan bersalahnya
karena telah makan secara berlebihan. Pada usia 30 tahun Wilona menunjukkan kondisi
makan berlebihan setidaknya 2 hari dalam seminggu dan di usianya yang 33 tahun meningkat
menjadi 5 hari dalam seminggu. Hal ini juga menimbulkan hubungan yang kurang harmonis
dengan rekan-rekan kerjanya karena ia sering meminta dan mengambil jatah makan temantemannya
GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIVITAS
Menurut DSM IV-TR, Attention Deficit/ Hiperactivity Disorder merupakan gangguan
pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas dengan pola menetap yang ditunjukan dalam
bentuk perilaku dan nampak lebih parah jika dibandingkan dengan individu pada tahap
perkembangan yang sama. Ganguan ini ditunjukan sebelum usia 7 tahun dan terjadi minimal
dalam dua lingkungan yang berbeda seperti rumah dan sekolah.
Kriteria Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas dalam DSM-IV TR
A. Enam atau lebih wujud kurangnya konsentrasi selama minimal 6 bulan hingga ke
tingkat yang maladaptive dan lebih besar dari yang diharapkan, menilik tingkat
perkembangan orang yang bersangkutan
Inattention
- Sering kali tidak teliti dan melakukan kesalahan dalam tugas sekolah,
pekerjaan, dan aktivitas lainnya
- Sulit untuk memberikan perhatian secara terus menerus pada tugas atau
aktivitas bermain
- Terlihat tidak memperhatikan saat diajak berbicara
- Sering kali tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,
ataupun pekerjaan
- Sering mengalami kesulitan saat menyusun tugas dan kegiatan
- Sering menghindar, tidak menyukai, ataupun enggan mengerjakan tugas yang
menggunakan aktivitas mental yang terus menerus seperti pekerjaan rumah
- Mudah teralihkan oleh stimulus dari luar diri
- Sering tidak mengingat kegiatan sehari-hari
Enam atau lebih wujud hiperaktivitas-impulsivitas yang terjadi selama minimal 6
bulan hingga ke titik yang maladaptif dan lebih besar dari yang diharapkan, menilik
tingkat perkembangan orang yang bersangkutan
Hiperaktivitas
- Sering kali menggerakan tangan dan kaki dengan gelisah, dan menggerakan
tubuh saat duduk
- Sering kali meninggalkan tempat duduk di kelas dan situasi lainnya
- Sering kali berlari, memanjat pada waktu yang tidak tepat
- Sulit bermain atau ikut serta dalam sebuah aktivitas dengan tenang
Banyak bicara
Impulsivitas
- Sering kali menjawab sebelum pertanyaan usai diucapkan
- Sulit untuk menunggu
- Sering kali mengganggu atau memaksa orang lain (seperti dalam berbicara dan
bermain)
Beberapa dari karakteristik diatas terjadi sebelum usia 7 tahun
Terjadi di dua lingkungan atau lebih, seperti, di rumah, dan di sekolah atau di tempat
kerja
Disabilitas yang parah dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan
Tidak terdapat karakteristik gangguan lain seperti skizofrenia, gangguan anxietas
gangguan mood.
DSM-IV TR mencantumkan tiga subkategori ADHD
1. Tipe Predominan Inatentif : Anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya tingkat
Konsentrasi, menunjukan sekurang-kurangnya 6 simptom
inattentive selama kurang lebih enam bulan.
2. Tipe Predominan Hiperaktif-Impulsif : Anak-anak yang masalah utamanya terutama
diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif, symptom hiperaktivitas ditunjukan
sekurang-kurangnya 6 simptom selama kurang lebih enam bulan
3. Tipe Kombinasi : Anak-anak yang mengalami kedua rangkaian di atas.
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas
Teori Biologis
- Faktor Genetik
Biederman dkk. (1995) mengungkapkan bahwa bila orang tua mengalami ADHD,
sebagian anak mereka memiliki kemungkinan mengalami gangguan tersebut.
- Struktur Otak
Struktur otak anak ADHD jika dibandingkan dengan otak pada anak-anak normal
terdapat perbedaan. Bagian frontal lobe anak dengan ADHD kurang responsive
terhadap stimulus (Rubia dkk., 1999; Tannock, 1998), dan aliran darah pada
bagian selebral berkurang. Beberapa bagian otak lainnya seperti frontal lobe,
nucleus kaudat, dan globus pallidus pada anak dengan ADHD lebih kecil dari
ukuran normal. Berdasarkan dari beberapa tes neuropsikologis terhadap frontal
lobe yang dilakukan, anak ADHD menunjukan performa yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan anak normal (Barkley, 1997; Klorman dkk., 1999; Nigg,
1999; 2001; Tannock 1998).
- Faktor Perinatal dan Pranatal
Salah satu prediktor yang cukup spesifik bagi perkembangan ADHD adalah berat
lahir rendah, dan berbagai komplikasi lain yang berhubungan dengan kelahiran,
dan zat yang dikonsumsi ibu seperti tembakau dan nikotin.
- Racun Lingkungan
Zat-zat aditif pada makanan memengaruhi kerja sistem saraf pusat (Feingold,
1973). Studi lainnya menunjukan bahwa 22 persen ibu dari anak-anak ADHD
menuturkan bahwa mereka mengkonsumsi rokok setiap hari semasa hamil jika
dibandingkan dengan angka 8 persen pada ibu-ibu yang anak-anaknya tidak
mengalami ADHD (Milberger dkk., 1996). Berdasarkan dari studi terhadap hewan
menunjukan bahwa pemaparan kronis pada nikotin meningkatkan aktivitas
dopamine dalam otak dan menyebabkan hiperaktivitas (Fung & Lau, 1989; Johns
dkk., 1992). Sehingga Milberger menarik hipotesis bahwa merokok semasa hamil
dapat mempengaruhi sistem dopamine pada janin yang menyebabkan ADHD.
Teori Psikologis ADHD
- Teori Psikoanalisa
Hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan tersebut
dipasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian (Bettelheim, 1973).
Seorang anak yang memiliki disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah
berubah moodnya mengalami stress karena orang tua yang mudah menjadi tidak
sabar dan marah, anak tidak mampu menghadapi tuntutan orang tuanya untuk
selalu patuh.
- Teori Belajar
Salah satu teori belajar terkait dengan gangguan ADHD adalah adanya penguatan
yang diberikan sehingga meningkatkan frekuensi ataupun intensitas perilaku
hiperaktif. Selain itu berdasarkan teori modelling, Ross dan Ross (1982)
mengemukakan bahwa hiperaktivitas dapat merupakan peniruan perilaku orang
tua dan saudara kandung.
Penanganan ADHD
Penanganan yang dapat diberikan kepada anak dengan ADHD yakni dengan memberikan
obat stimulant dan penanganan psikologis. Berdasarkan dari prinsip-prinsip operant bagi
penanganan anak dengan ADHD seperti pelatihan bagi orang tua dan perubahan manajemen
kelas. Orang tua dapat menggunakan papan bintang, anak diberikan bintang pada setiap
perilaku yang ingin dikuatkan dimunculkan oleh anak, dimana bintang tersebut nantinya
dapat ditukarkan dengan hadiah. Tujuan dari penanganan ini adalah meningkatkan
kemampuan anak dalam bidang akademik, kemampuan menyelesaikan tugas, serta
keterampilan sosial yang spesifik. Selain itu, menciptakan suasana kelas yang positif juga
dapat meningkatkan kemampuan anak ADHD seperti tutor sebaya serta guru membuat
laporan mengenai perilaku anak di sekolah, yang nantinya akan dilanjutkan dengan hadiah
ataupun konsekuensi di rumah.
GANGGUAN TINGKAH LAKU
Definisi gangguan tingkah laku menurut DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang yang
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial. Tipe perilaku yang dianggap
sebagai simptom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejaman terhadap orang lain
atau hewan, merusak kepemilikan, berbohong dan mencuri. Gangguan tingkah laku ini
merujuk pada tindakan kasar dan sering dilakukan yang melampaui kenakalan dan tipuan
praktis yang biasa dilakukan anak-anak atau remaja. Ditandai dengan kesewenang-wenangan,
kekejian dan kurangnya penyesalan yang membuat gangguan tingkah laku merupakan salah
satu kriteria historis dalam gangguan kepribadian antisosial pada orang dewasa.
Gangguan yang sering kali komorbid dengan gangguan tingkah laku adalah ADHD,
gangguan belajar dan gangguan komunikasi. Perbedaan antara ADHD dengan gangguan
tingkah laku adalalah anak-anak dengan GSM melakukan kegaduhan dengan kesengajaan
dibandingkan anak-anak dengan ADHD. GSM lebih sering dialami oleh anak laki-laki
daripada perempuan.
Kriteria Gangguan Tingkah Laku dalam DSM-IV-TR
Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau
norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih
perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam
enam bulan terakhir:
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai
perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan,
memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalism.
c. Berbohong atau mencuri, contohnya masuk dengan paksa ke rumah orang lain,
menipu, mengutil.
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya, tidak pulang ke rumah hingga larut
malam sebelum berusia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua,
sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun.
Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik, dan pekerjaan.
Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak
memenuhi gangguan kepribadian antisosial.
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
Faktor Biologis :
Sebuah studi menjelaskan bahwa perilaku criminal dan agresif dipengaruhi oleh
faktor biologis dan faktor lingkungan, tetapi faktor lingkungan memiliki peran yang
lebih besar. Menurut Hinshaw dan Lee (di media), mengatakan bahwa hal yang
mungkin diturunkan dalam gangguan tingkah laku adalah karakteristik temperamen
yang berinteraksi dengan berbagai masalah biologis lainnya (kelemahan
neuropsikologis seperti keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi
pelaksanaan, masalah memori, dan IQ yang rendah) serta dengan sekumpulan faktor
lingkungan (pola asuh, informa disekolah, pengaruh teman sebaya).
Faktor Psikologis :
Salah satu teori pembelajaran yang terlibat adalah modeling dan pengondisian
operant. Anak-anak dapat meniru tindakan agresif yang