• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label teologi 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teologi 12. Tampilkan semua postingan

teologi 12




proposal  ini bertujuan untuk membuktikan bahwa manifestasi kehadiran Tuhan di dalam Perjanjian Lama 
(PL) bukanlah sesuatu yang final. Puncak kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya terlihat pada kedatangan 
Yesus ke dalam dunia melalui peristiwa inkarnasi. Melalui proposal  ini dijelaskan bahwa sekalipun Tuhan 
transenden di dalam teologi Kristen, Dia juga imanen pada saat yang sama. Transendensi Tuhan tidak 
dapat dilepaskan dari sifat imanensinya, demikian sebaliknya. Data utama yang dipakai  dalam 
studi  ini yaitu melalui telaah pustaka. Hasil-hasil yang diperoleh dari telaah pustaka tersebut 
diramu melalui pendekatan Integrative Critical Analysis (ICA)  untuk memenuhi tujuan studi . 
Kesimpulan utama yaitu, secara teologis Kristiani manusia yaitu tempat kediaman Tuhan yang sejati. 
Kehadiran Allah di dalam teologi Kristen dipahami dalam dua sisi sekaligus yakni Allah yang 
transenden, yang ada “di atas” sana dan yang hidup di dalam iman setiap orang yang percaya kepadanya 
atau disebut imanen (Ransford, 2016). Transendensi dipahami sebagai hakikat dan eksistensi Tuhan yang 
menjelaskan keberadaan-Nya sekalipun tidak terlihat, nyata melalui semua ciptaan, memiliki sifat-sifat 
yang melampauhi kemampuan manusia sehingga disebut dengan istilah ‘maha’, melebihi setiap ruang di 
dalam akal budi dan pikiran manusia, dan tidak pernah mampu dijangkau oleh manusia yang fana 
 mengatakan hakikat dan eksistensi demikian membangun kesadaran bahwa 
Tuhan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dan kemahakuasaan, di dalam segala aspek yang mampu 
mendatangkan kebaikan dan juga pencobaan serta menjadi alamat doa karena diyakini mampu 
mengabulkan permohonan dan keinginan manusia Mistisme Tuhan dan segala misteri 
tentang eksistensi-Nya tergolong ke dalam sifat transendensi yang dianggap tidak dapat disetarakan 
dengan manusia atau apapun di bawah kolong langit ini. Akan namun , sekalipun dianggap terlalu jauh di 
atas sana, manusia juga meyakini bahwa Tuhan dekat dan berpartisipasi di dalam kehidupan manusia 
secara aktif sebagai makhluk ciptaan-Nya  Di antara seluruh ciptaan, manusia dipandang 
sebagai puncak ciptaan sehingga secara teologis disebut sebagai the crown of creation.  Salah satu 
perbedaanya dengan ciptaan lain yaitu adanya kesadaran manusia tentang Tuhan sang pencipta dan 
penguasa segala yang ada. Kesadaran tersebut membangun sistem kepercayaan kepada-Nya melalui 
agama ,Dengan demikian kerangka imanensi berpijak pada pengertian bahwa Tuhan juga 
dekat dan hidup di dalam iman kepercayaan manusia. Secara teologis imanen mengembangkan 
pemahaman bahwa Tuhan bersolidaritas di dalam seluruh kehidupan manusia, alam semesta, secara 
nyata dan proaktif. Teologi Kristen mendukung hal ini. Manusia dianggap membawa gambar Allah melalui 
konsep imago dei, makhluk yang diciptakan serupa dengan gambar-Nya ,
Bahkan di dalam Alkitab dibeberkan bahwa kehadiran-Nya di bumi melalui inkarnasi menjelaskan 
keserupaan tersebut sekaligus membuktikan bahwa Tuhan dekat. Kitab Yohanes 1:14 menegaskan hal 
tersebut, bahwa “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat 
kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih 
karunia dan kebenaran” ,
studi  mengenai imanensi Tuhan pernah dilakukan oleh Murnita ,
studi  ini berpijak pada pemikiran Ibn ’Arabi di dalam melihat dan mempelajari sifat transendensi dan 
imanensi Tuhan. studi  itu mengambil kesimpulan bahwa dalam terminologi Ibn ’Arabi imanensi 
berpijak pada konsepsi keserupaan Tuhan dengan manusia yang diukur dari kemampuan-Nya untuk 
mengatur, memelihara, dan memiliki otoritas terhadap alam semesta dan seluruh ciptaan. Secara spesifik 
Murnita menjelaskan bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabi imanensi merupakan perwujudan Tuhan pada 
level atau martabat Syuhudi. Dalam konteks ini manusia dan seluruh ciptaan yaitu realiasasi ketuhanan 
itu sendiri.  
Jika Murnita melihat aspek imanensi dari perspektif teologi Islam, 
mencoba mendekati imanensi dengan pendekatan inkarnasi yang berpijak pada teologi Kristen. 
Menurutnya, sebagai konsep sentral di dalam doktrin Kristologi, inkarnasi yaitu hal yang sangat 
mendasar di dalam menjelaskan keserupaan Tuhan dengan manusia. Bahkan melebihi hal itu, bukan 
hanya sekedar serupa, Tuhan sendiri hadir di tengah-tengah umat-Nya secara fisik untuk merealisasikan 
rancangan keselamatan bagi manusia. Inkarnasi dipandang sebagai pembuktian eksistensi Tuhan yang 
transenden menjadi imanen. Kehadiran-Nya dipandang sebagai persekutuan dengan umat manusia 
Dua studi  pendahuluan di atas memiliki sebuah benang merah yang sama bahwa sekalipun 
Tuhan secara eksistensial yaitu transenden hal tersebut tidak lantas memisahkan secara mutlak 
hubungan antara Tuhan dan manusia. Hakikat lain dari eksistensinya menjelaskan bahwa pada saat yang 
sama, Tuhan hadir dan menjadi imanen di tengah-tengah manusia melalui kesadaran iman dan kehadiran.  
Tuhan yang hadir di tengah-tengah umatNya yaitu tujuan inti dari studi  ini. studi  
sebelumnya memperlihatkan bahwa topik pembahasan mengenai kehadiran Tuhan dalam konsep 
kronologis Alkitab dari PL ke PB belum tersentuh. Bagaimana Tuhan hadir di dalam sejarah manusia di 
dalam PL? Di dalam bentuk seperti apa manifestasi-Nya? Bagaimanakah bentuk kehadiran-Nya di dalam 
PB? Apa perbedaan dan kesamaan manifestasi kehadiran Tuhan di PL dan PB? Seluruh pertanyaan 
tersebut menjadi titik tolak pembahasan  dan diskusi di dalam studi  ini. Oleh sebab itu, artikel ini 
bertujuan untuk membuktikan bahwa kehadiran Tuhan di dalam Perjanjian Lama memiliki makna yang 
menyatu dengan inkarnasi Yesus di dalam Perjanjian Baru. Eksitensi transendensi Tuhan tidak dapat 
dipisahkan dengan eksistensi imanensinya.  

Data utama yang dipakai  dalam studi  ini yaitu melalui telaah pustaka dengan menjadikan 
Alkitab sebagai patokan primer. Narasi Alkitab yang mencatat hubungan Israel-Tuhan di dalam PL, 
perkataan Yesus di PB dan penjelasan teologis dari Rasul Paulus menyangkut kekristenan, menjadi 
bingkai pembahasan. Hasil-hasil tersebut digabung dengan konsep teoritis dari berbagai buku sumber 
dan laporan studi  berbentuk jurnal. Pendekatan Integrative Critical Analysis (ICA) dipergunakan di 
dalam diskusi untuk memenuhi tujuan studi . Secara keseluruhan, analisis, pembahasan dan diskusi 
terikat pada pandangan dan konstruksi teologi Kristen. ICA dijelaskan oleh Gilbert untuk memenuhi tiga 
hal. Pertama, menjelaskan overview dari literatur secara keseluruhan di dalam sebuah gambar besar. 
Kedua, melakukan generated literature review untuk membangun kasus. Dan ketiga yaitu memunculkan 
apa yang tidak terlihat dari literatur sebagai pesan inti Melalui kajian terhadap narasi 
Alkitab, commentary dan konsep-konsep teologis, pendekatan ICA dipergunakan untuk mengkonstruksi 
kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya dimulai dari sejarah Israel kuno hingga kekristenan. 

Konsep Kehadiran Tuhan di dalam Perjanjian Lama 
Teofani yaitu salah satu bentuk kehadiran Tuhan di dalam Alkitab ,
Tanakh yaitu referensi mengenai manifestasi kehadiran Tuhan 
(orang Ibrani mengenal-Nya dengan nama YHWH) dalam tiga bentuk, yakni malaikat Tuhan yang 
memiliki sifat antropomorfisme (Angel of the Lord), hadirat Tuhan yang disertai kemuliaan-Nya (the Glory 
of the Lord) serta kehadiran Roh Tuhan atas seseorang (the Spirit of the Lord). Ketiga bentuk ini sangat 
umum di dalam sejarah kehadiran Tuhan di dalam PL. Kesimpulan yang dibuat Bittle ini memperkuat 
pandangan klasik Windsor (2010) yang menjelaskan bahwa semua manifestasi kehadiran Tuhan di dalam 
PL bertumpu pada teofani.  Setiap kali Tuhan menampakkan diri kepada umat-Nya di seluruh Alkitab 
(dalam berbagai bentuk badai petir, manusia, kereta berapi, awan, malaikat, kemuliaan, dll) Dia 
mendatangi orang tertentu untuk tujuan tertentu. Dengan kata lain, bentuk manifestasi kehadiran 
bergantung dari tujuan kehadiran-Nya. Poythress (2018) bahwa  ada tiga fungsi utama dari 
teofani. Pertama untuk menggambarkan wujudkan karakter dan kemuliaan Tuhan di tengah-tengah 
umatNya; Kedua untuk mengingatkan bahwa Tuhan menyertai umat-Nya dan ketiga, menyangkut aspek 
eskatologis, agar manusia mempersiapkan diri menyambut kedatangan dan penampakan terakhir Tuhan 
di akhir zaman. 
Di antara sekian banyak daftar kehadiran Tuhan di tengah umatNya di dalam PL, manifestasi yang 
sangat luar biasa terlihat dari sejumlah tanda supernatural yang dicatat oleh Alkitab. Tiga tanda teofani 
utama yang dibahas di dalam proposal  ini yaitu tiang awan-tiang api, shekinah glory dan kemuliaan Tuhan. 
Tiang Awan-Tiang Api 
Dalam perjalanan bani Israel saat eksodus dari Mesir menuju Tanah Perjanjian, sebuah tiang 
supernatural muncul di depan rombongan. bahwa  tiang (pillars) 
tersebut bukanlah tiang yang berbeda karena hanya kelihatan berawan pada siang hari dan berapi pada 
malam hari. Bentuknya memanjang dengan bagian paling atasnya seperti jamur sehingga mampu menjadi 
tudung seluruh rombongan eksodus dari terpaan sinar matahari gurun yang menyengat hingga di barisan 
paling belakang. Demikian juga pada malam hari, panas dari tiang tersebut menjangkau orang paling 
belakang barisan dengan menghadirkan rasa hangat ditengah udara malam gurun yang dingin.  
 Tiang supernatural ini selain berfungsi untuk menudungi dari terpaan cahaya matahari dan 
menerangi perjalanan malam, bertujuan sebagai penuntun perjalanan. Wilayah yang dilalui bani Israel 
yaitu padang gurun yang sangat luas dan belum pernah mereka lewati sebelumnya. Ketidaktepatan di 
dalam menentukan arah dapat menyesatkan perjalanan seluruh rombongan. Tiang tersebut menjadi 
patokan untuk menentukan arah perjalanan. Saking besarnya menjulang ke langit, tiang dapat terlihat 
oleh orang yang berada di barisan eksodus paling belakang. Tiang itu yaitu sebuah teofani. Kitab 
Keluaran mencatat “TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun 
mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat 
berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih, tiang awan itu tetap muncul pada siang hari, dan tiang api 
pada waktu malam di depan bangsa itu” (Keluaran 13:21-22). 
 Bukti bahwa tiang tersebut bukan sekedar manifestasi alam dikemukakan oleh Alkitab sendiri. 
Setidaknya ada tiga referensi di dalam Taurat yang menegaskan bahwa tiang awan tersebut yaitu sebuah 
teofani. Pertama di dalam Keluaran 34:5 dikatakan, “Turunlah TUHAN dalam awan, lalu berdiri di sana 
dekat Musa serta menyerukan nama TUHAN.” Kemudian di ulang di dalam Kitab Bilangan 11:25  “Lalu 
turunlah TUHAN dalam awan dan berbicara kepada Musa, kemudian diambil-Nya sebagian dari Roh yang 
hinggap padanya, dan ditaruh-Nya atas ketujuh puluh tua-tua itu; saat  Roh itu hinggap pada mereka, 
kepenuhanlah mereka seperti nabi, namun  sesudah itu tidak lagi.” Rujukan ketiga lebih spesifik. Bilangan 
12:5 mencatat, “Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri di pintu kemah itu, lalu memanggil 
Harun dan Miryam; maka tampillah mereka keduanya.” Ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa awan 
yaitu bentuk teofani yang sering dipergunakan Tuhan di dalam memanifestasikan diri-Nya. Kadang 
berupa awan di dalam bentuk harafiah dan kadang berbentuk tiang sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 
Implikasi teologisnya sangat jelas bahwa di dalam perkemahan bangsa Israel, Tuhan turun hadir melalui 
manifestasi supernatural di Kemah Pertemuan yang dibangun Musa. Tuhan ada di tengah-tengah umat-
Nya. 
 
Shekinah Glory yaitu sebuah istilah yang menjelaskan tentang konsep kemuliaan Tuhan. 
Premisnya yaitu, kemuliaan Tuhan selalu menyertai kehadiran-Nya. Meskipun istilah ini tidak  terdapat 
di dalam Alkitab, fenomena kemuliaan Tuhan mewarnai banyak narasi Alkitab. Tiang awan yang dibahas 
sebelumnya merupakan bagian dari Shekinah akan namun  di dalam konsep yang lebih luas.  
Musa pernah meminta Tuhan untuk melihat kemulian-Nya. Narasi di dalam Keluaran 33:18-23 
mencatat respon Tuhan atas permohonan Musa tersebut. Musa berkata "Perlihatkanlah kiranya 
kemuliaan-Mu kepadaku." namun  firman-Nya: "Aku akan melewatkan segenap kegemilangan-Ku dari 
depanmu dan menyerukan nama TUHAN di depanmu: Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa 
yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa yang Kukasihani." Lagi firman-Nya: "Engkau tidak tahan 
memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup." Berfirmanlah TUHAN: 
"Ada suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu; apabila kemuliaan-Ku 
lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk gunung itu dan Aku akan menudungi engkau 
dengan tangan-Ku, sampai Aku berjalan lewat. Kemudian Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan 
melihat belakang-Ku, namun  wajah-Ku tidak akan kelihatan." Catatan tersebut menguraikan dengan jelas, 
saat  Musa meminta untuk melihat kemuliaan Tuhan, keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi karena 
kemuliaan-Nya yaitu kekudusan-Nya. Kefanaan manusia tidak akan mampu bertahan di dalam 
kemuliaan dan kekudusan tersebut. Itu sebabnya, Musa disembunyikan di sebuah celah batu dan ditutupi 
dengan tangan-Nya saat Ia lewat. Musa hanya dapat melihat punggung-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa 
kemuliaan Tuhan terlalu dahsyat dan sangat berkuasa sehingga tidak mampu dilihat sepenuhnya oleh 
manusia. 
 Kemuliaan di tengah umat-Nya juga pernah dinyatakan saat Salomo, Raja Monarkhi Israel kedua, 
mentahbiskan Bait Allah. Di dalam Kitab 1 Raja-Raja 8:10-11 dikisahkan, “saat  imam-imam keluar dari 
tempat kudus, datanglah awan memenuhi rumah TUHAN, sehingga imam-imam tidak tahan berdiri untuk 
menyelenggarakan kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah TUHAN.” 
Kemuliaan  Tuhan yang hadir dalam pentahbisan yaitu sebuah manifestasi shekinah glory. Kuatnya 
kemuliaan tersebut menyebabkan para pelayan terjatuh di dalam kekudusan-Nya dan tidak mampu 
berdiri melaksanakan ibadah.  
Shekinah glory yaitu manifestasi kehadiran Tuhan di suatu waktu dan tempat tertentu. Istilah ini 
berasal dari kata Ibrani shachan, yang artinya berarti 'tinggal' atau ‘menetap’.  Mirip dengan kata Yunani 
skeinei, yang artinya 'tabernakel' atau tempat kediaman. Bait Allah yang dibangun Salomo didedikasikan 
kepada YHWH sebagai realisasi mandat yang diterima Salomo dari ayahnya, Daud. Itu sebabnya, 
menyaksikan kehadiran Tuhan di dalam Bait Allah tersebut, Salomo mengaitkannya dengan kediaman 
dengan berkata, "TUHAN telah menetapkan matahari di langit, namun  Ia memutuskan untuk diam dalam 
kekelaman. Sekarang, aku telah mendirikan rumah kediaman bagi-Mu, tempat Engkau menetap selama-
lamanya" (1 Raja-raja 8:12-13).  
  
Kehadiran yang menjadi Daging 
Manifestasi tiang awan/api dan shekinah glory tidak pernah dapat dilepaskan dari tujuan kehadiran 
Tuhan di tengah-tengah umat-Nya. Kedua manifestasi itu selalu berkaitan dengan kepentingan yang 
melibatkan bukan hanya perseorangan, namun  keumatan secara keseluruhan. Tiang awan/api yang hadir 
di perkemahan hanya terlihat selama periode padang gurun. Pada masa itu, perkemahan berpindah-
pindah. Dengan sendirinya kehadiran Tuhan mengikuti perpindahan tersebut.  
saat  telah memasuki Tanah Perjanjian, bani Israel berdiam di tanah Kanaan sebagai suatu 
bangsa. Tidak terjadi lagi perpindahan dan bongkar pasang perkemahan. Manifestasi kehadiran Tuhan 
berubah. Dari tiang awan/api di perkemahan menjadi kemuliaan yang menetap di dalam sebuah tempat 
yang dinamakan Bait Allah. Yang dapat disimpulkan disini yaitu, baik di kemah maupun di bangunan 
Bait Allah, manifestasikan kehadiran Tuhan selalu berlangsung di tengah-tengah umat-Nya.  
Pola tersebut berubah di masa Perjanjian Baru. Tuhan tidak lagi hadir dalam berbagai manifestasi 
supernatural sebagaimana rujukan PL. Kehadiran-Nya menjadi nyata melalui kelahiran Kristus di dunia 
yang disebut sebagai sebuah inkarnasi. bahwa  inkarnasi yaitu sebuah cara 
Tuhan menyatakan diri di tengah-tengah umatNya.  Di dalam teologi Kristen, peristiwa inkarnasi 
dijelaskan sebagai peristiwa dimana firman menjadi daging dan berdiam di tengah-tengah manusia 
dengan memakai rupa manusia yang fana. Injil Yohanes 1:14 mencatat, “Firman itu telah menjadi manusia, 
dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-
Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” 
Keener (2014, hal. 250) menjelaskan bahwa kebanyakan orang Yahudi sangat menekankan 
pemahaman bahwa manusia tidak dapat menjadi Tuhan, dengan demikian juga beranggapan bahwa 
Tuhan tidak dapat menjadi manusia. Itulah sebabnya orang-orang Yahudi hingga saat ini mengharapkan 
Tuhan untuk terus mengungkapkan kemuliaan-Nya sebagaimana pernah dinyatakan di dalam PL. Akibat 
pemahaman ini, orang-orang Yahudi gagal memahami Yesus sebagai pengungkapan eksistensi Tuhan. 
Padahal maksud Yohanes sangat jelas. Kata ‘diam diantara kita’ berarti memiliki tempat tinggal yang 
secara harafiah diterjemahkan sebagai "tabernakel" (tempat kediaman Tuhan di PL). Artinya jelas, 
sebagaimana Tuhan tinggal bersama umat-Nya di padang gurun, demikian pula Firman telah ditempatkan 
di antara umat-Nya melalui inkarnasi anak Allah yang bernama Yesus Kristus ,
Tabel berikut ini menjelaskan perbandingkan paralel mengenai manifestasi kehadiran Tuhan di 
dalam Kitab Keluaran 33-34 tentang menifestasi dan Injil Yohanes 1:14-18 tentnag inkarnasi 
 
Tabel 1 memperlihatkan perbedaan eksistensi Tuhan yang berlangsung dalam masa PL dan PB. 
Terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang memperlihatkan bahwa manifestasi eksistensi Tuhan 
tidak sama di kedua perjanjian namun  saling terkait dan berkaitan. Manifestasi di dalam PL menjadi dasar 
bagi perwujudan di dalam kehadiran di dalam PB. Terlihat bahwa segala hal yang terjadi di masa PL 
tersebut merupakan gambaran (imagery) yang digenapi lebih jelas, operasional dan deskriptif di era PB. 
 
Analisis Teologis 
Kehadiran Tuhan di dalam PL sangat menekankan persyaratan berupa kelayakan dalam hal 
kekudusan-kemuliaan. Siapapun yang tidak siap dengan hal tersebut akan mengalami hukuman dan 
berhadapan langsung dengan murka Tuhan. Terlihat bahwa, meskipun Tuhan hadir di tengah-tengah 
umatNya, manusia tidak dapat menjangkau-Nya atau leluasa terhubung dengan-Nya. Pada masa-masa 
Tuhan memanifestasikan diri-Nya di perkemahan, orang-orang Israel hanya menyaksikan kehadiran-Nya 
dari jauh, tidak berani mendekat dan imam-imam hanya diberikan kesempatan sekali satu tahun 
memasuki Ruang Maha Kudus, tabernakel kudus Tuhan. Bahkan untuk menginjakkan kaki ke tempat 
kudus dimana terjadi manifestasi, orang awam harus membawa korban dan diwakili oleh para imam 
untuk memperdamaikan dirinya dengan Tuhan. Di dalam konsep PL, umat-Nya tidak mendapat akses 
langsung dengan Tuhan dan harus diwakili oleh para Imam dari Kaum Lewi. Sejumlah prosedur dan ritus 
harus dilakukan berupa penumpahan darah hewan korban. Hukum keimamatan menjadi hal mutlak 
untuk menghadap Tuhan ,
Daud pernah salah memahami hal ini di dalam peristiwa Perez Uza. Pada waktu itu, Daud hendak 
mengangkut tabut perjanjian dari Kirjat Yearim menuju Kota Daud di Yerusalem. Di tengah perjalanan, 
kaki lembu pengangkut tabut terpeleset sehingga Tabut Perjanjian hampir jatuh. Secara refleks tangan 
Uza berusaha menahan tabut tersebut. Selanjutnya di dalam Kitab 2 Samuel 6:7 dikisahkan, “Maka 
bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia 
mati di sana dekat tabut Allah itu.” Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa eksistensi Tuhan ternyata 
tidak dapat dibawa ke dalam ranah logika dan akal pikiran manusia. Hal yang baik menurut pemandangan 
manusia belum tentu berkenan dihadapan Tuhan. Itulah sebabnnya Daud menitipkan tabut itu ke rumah 
Obed Edom dan  beberapa bulan kemudian kembali mengangkut tabut itu. Kali ini, para pengangkutnya 
yaitu Imam-imam dari Kaum Lewi dan sejumlah pengorbanan dilakukan. Tabut, yang menjadi tempat 
kediaman manifestasi YHWH aman dan tiba di Yerusalem karena Daud mengikuti protokol keimamatan 
(Hügel, 2016). Bahkan Daud sendiri menari-nari dihadapan Tuhan dalam prosesi pengangkutan tabut itu 
menuju Yerusalem (Berchie, 2014; Zaluchu, 2021). 
Hal yang revolusioner terjadi di dalam PB. Jika di dalam PL hadirat Tuhan dimanifestasikan pada 
benda mati tabut perjanjian, ruang maha kudus, Bait Allah, gunung, maka di dalam PB terjadi perubahan 
yang radikal dan signifikan. Tuhan tidak lagi berdiam dan bermanifestasi pada benda-benda mati. 
Sebaliknya, Tuhan memakai manusia sebagai tempat-Nya bertahta. Penjelasan teologis yang sangat 
relevan datang dari tulisan Rasul Paulus. Kepada jemaat di Korintus Paulus menekankan bahwa “Tidak 
tahukah kamu, bahwa kamu yaitu bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang 
yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah yaitu kudus dan 
bait Allah itu ialah kamu” (1 Korintus 3:16-17). Terhadap hal ini Keener memberi tanggapan sebagai 
berikut. Beberapa penulis kuno memahami terminologi Paulus itu sebagai kuil spiritual. Berpijak pada 
Gulungan Laut Mati (misalnya, 1QS 8.5-9; 9.6) maksud Paulus tersebut menggambarkan umat Allah 
sebagai sebuah bangunan, bait suci yang secara fisik pernah dibangun Salomo, sehingga gambaran 
(imagery) tersebut menjadi tidak asing lagi bagi pengikut Kristus abad-abad pertama ,
Dengan kata lain, peralihan yang terjadi mengenai Bait (tempat kediaman Tuhan) dari bangunan fisik 
(konsep PL) menjadi bangunan rohani (konsep PB) yang yaitu hidup manusia itu sendiri. 
Argumentasi yang sangat signifikan juga datang dari penjelasan Yesus kepada seorang perempuan 
Samaria sewaktu sedang berbincang-bincang di Sumur Yakub di kaki Gunung Gerizim. Perempuan itu 
menjelaskan bahwa pusat penyembahan mereka (orang Samaria) yaitu kuil yang dibangun di atas 
puncak Gunung Gerizim. namun  Yesus menimpali penjelasan wanita itu melalui perkataan, "Percayalah 
kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini 
dan bukan juga di Yerusalem” (Yoh. 4 :21). Yesus menegaskan bahwa penyembahan yang sejati tidak 
terletak di atas gunung dan pada bangunan-bangunan yang ada di atas gunung itu, sebagaimana dipahami 
secara tradisi baik oleh orang Yahudi di Yerusalem maupun oleh orang Samaria di Utara. Kedatangan 
Yesus ke dunia merombak cara orang terhubung dengan Tuhan dan dalam menyembah-Nya. 
Penyembahan yang sejati terletak pada penjelasan Yesus berikutnya, “namun  saatnya akan datang dan 
sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan 
kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (Yoh. 4:23). Roh yang 
dimaksudkan itu yaitu roh manusia sendiri. Disitulah manifestasi kehadiran Tuhan dinyatakan. Roh 
Allah yang bermanifestasi hanya pada pribadi tertentu di dalam PL, kini mendiami setiap orang yang 
percaya dan menjadikan hidup manusia sebagai bait-Nya 
Bait Allah yang hidup yaitu misi PB di dalam spiritualitas manusia. Yang terjadi di dalam konsep 
PL yaitu pendahuluan atau tepatnya gambaran (imagery) dari tujuan final Tuhan yang digenapi melalui 
Kristus di masa PB. Dengan demikian, manusia atau orang percaya tidak perlu lagi mengejar manifestasi 
fisik sebagaimana terjadi di dalam kisah-kisah PL. Sebab, hidup orang percaya itu sendiri yaitu tempat 
kediaman dan alat manifestasi Tuhan di dalam realm ciptaan. Teologi Kristen tentang eksistensi Tuhan 
secara transenden dan imanen yaitu dua sisi yang selalu ada. Transendensi Tuhan tidak dapat 
dilepaskan dari sifat imanensinya, demikian sebaliknya. Tuhan yang transeden tersebut tetap hadir di 
tengah-tengah umat-Nya. Analisis membuktikan bahwa kehadiran Tuhan memuncak pada pribadi Kristus 
yang hadir ke dunia untuk mengemban misi keselamatan. Kehadiran Kristus telah menggeser pola-pola 
lama di dalam PL mengenai manifestasi Tuhan. Ternyata, pola-pola di dalam PL tersebut bukanlah 
eksistensi final penyataan diri-Nya yang imanen. Hal tersebut hanya merupakan bayang-bayang atau 
bahkan tipologi dari inkarnasi Yesus. PL menekankan bahwa kemuliaan dan hadirat-Nya merupakan 
sesuatu yang tidak mudah di akses oleh orang percaya. Hukuman dan kemarahan Tuhan menjadi hasil 
dari kesalahan sekaligus kefanaan manusia di dalam menghadapi Tuhan. namun  melalui inkarnasi, Tuhan 
‘menjadi sama’ dengan manusia. Penurunan grade ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada 
manusia di dalam kehidupan dan kebudayaanya untuk menyatu dengan Tuhan dan mengakses-Nya 
sekalipun fana. Hal tersebtu terjadi karena Bait Allah yang sejati yaitu manusia itu sendiri.