Tampilkan postingan dengan label penciptaan alam 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penciptaan alam 3. Tampilkan semua postingan
penciptaan alam 3
By tuna at Januari 24, 2024
penciptaan alam 3
iri bersama meskipun faktanya mereka
memiliki kecenderungan berselisih dengan orang lain. Pada
tingkatannya yang ekstrim, Simmel juga menekankan bahwa
praktik sosial senantiasa akan menghasilkan keharmonisan,
konflik, cinta, dan kebencian. Hal ini tentunya menjauhkan
asumsi pribadi bahwa analisis tentang konflik hanya
memperhitungkan kondisi koflik semata. Perspektif tentang
konflik juga dibangun dalam rangka menyortir situasi yang
berjalan dalam kehidupan sosial menuju ke arah pemahaman
atas kontak sosial dan implikasi alamiah dari konflik yang
berjalan.
Konklusi atas Pemikiran Marx dan Simmel
Berpijak kepada analisis Turner32 atas pemikiran
Marx dan Simmel, dirinya menyimpulkan bahwa keduanya
mengungkapkan konflik sebagai realitas yang bisa menembus
dan menyusup ke dalam sistem sosial. Marx menjelaskan
tentang eksistensi konflik yang bisa memecah sistem sosial,
sementara itu, Simmel menyimpulkan bahwa konsekuensi
dari konflik adalah integrasi sosial. Dalam simpulannya, Marx
menjelaskan bahwa konflik dapat menciptakan akselerasi
sosial, adapun Simmel mempertanyakan tentang manifestasi
dari hasil yang bisa diwujudkan ketika konflik dimunculkan
Dualisme persepsi yang dibangun oleh kedua tokoh ini
sejatinya menjadi bahan analisis bersama bahwa keduanya
sedang membangun kepentingannya masing-masing. Mustahil
dinafikkan bahwa bipolaritas argumentasi konflik ini juga
menjadi asas dasar guna menjelaskan bahwa secara eksistensial
keduanya sedang”berkonflik” dalam merumuskan sistematika
mendasar tentang konflik itu sendiri.
Simmel dalam upaya objektifnya menjelaskan manifesto
konflik dalam kehidupan masyarakat tidak lain menyandarkan
konflik itu sendiri sebagai pola interaksi antara satu individu
dengan lainnya. Dirinya mencatat bahwa dialektika yang
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat bukanlah
kontradiksi, melainkan sebuah upaya untuk menciptakan
konklusi solutif bagi keberlanjutan masyarakat itu sendiri.
Mengutip pernyataan33 keduanya menyimpulkan bahwa
menurut Simmel, masyarakat merupakan suatu proses yang
berjalan dan berkembang terus. Masyarakat ada di mana
individu mengadakan interaksi dengan individu-individu
lainnya. Interaksi timbul karena kepentingan-kepentingan dan
dorongan tertentu.
Sementara itu, Adisusilo34 menjelaskan bahwa manifesto
konflik dalam pandangan Marx ditujukan untuk menciptakan
komunitas sosial baru. Dalam hal ini Marx menguatkan bahwa
jika masyarakat komunis telah terwujud, maka tidak akan
ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam
perkembangannya, hal ini secara niscaya menjadi bertolak
belakang dengan fakta sejarah yang telah membuktikan bahwa
dalam masyarakat komunis dewasa ini (antara 1917 sampai
runtuhnya Uni Soviet 1990) pun muncul kelas baru yaitu para
penguasa yang menamakan dirinya pemimpin kaum proletar.
Marx juga berpendapat bahwa dalam masyarakat komunis,
negara dengan sendirinya akan lenyap mengingat negara hanya
alat penindasnya kaum kapitalis terhadap kaum proletar atau
kelas lain. Pandangan Marx ini menurut Adisusilo bukan
saja dalam kenyataan dewasa ini tidak terbukti, tetapi secara
teoritis pengandaiannya memang salah.
Sebagai kritik lain atas pemikiran Marx, Adisusilo35
menguraikan jika adanya negara tidak dapat dihindari, maka
itu berarti masyarakat tanpa kelasnya Marx, tanpa paksaan,
tanpa pembagian kerja, adalah utopis belaka. Lebih lanjut
adanya masyarakat tanpa kelas sebagai keharusan terbebasnya
kaum proletar dan penindasan tidaklah satu-satunya alternatif.
Dalam kenyataan masyarakat yang bercirikan liberal-kapitalis
dalam perkembangannya ternyata telah mengubah sifat dan
kedudukan kaum buruh (proletar). Kaum buruh menurut
Marcuse sebagaimana dijabarkan oleh Adisusilo tidak
lagi menjadi “agents of historical (transformation”, malah
sebaliknya ikut mempertahankan “institutional status quo”.
Kaum buruh tidak lagi revolusioner dan aktif tetapi telah pasif
dan reseptif serta menjadi kompromistis. Buruh dan majikan
bisa berdamai dan mencapai kompromi dalam masyarakat
industri kapitalistis.
Dialog pemikiran kedua tokoh yang telah menguraikan
perwujudan konflik dalam kehidupan sosial dengan berbagai
afiliasi yang disampaikan oleh keduanya menjadi dasar
pemicu bahwa eksistensi sosial kemasyarakatan berjalan
di antara kepentingan dan kesepakatan bersama. Mustahil
menafikkan bahwa realitas sosial itu bersandar kepada
interaksi bersama yang berimplikasi kepada kompromisasi
sosial atau eksistensinya akan berjalan di atara kontradiksi
dengan munculnya solusi sosial yang lain dalam kehidupan
bermasyarakat.
Simpulan
Deskripsi tentang konflik dari beberapa lokus pemikiran
yang dibangun oleh Marx dan Simmel di atas memebrikan
peta dasar bahwa eksistensi konflik itu bisa bermuara
kepada perspektif konflik kepentingan dan juga bisa berpola
sebagai sebuah interaksi. Bipolaritas dari hakikat konflik
ini memberikan peneguhan kepada segenap pengkaji sosial
bahwa konflik itu bisa dihadirkan sebagai aspek pemicu untuk
menciptakan status sosial baru dan bisa juga dirancang untuk
menghasilkan keseimbangan sosial social equilibrium lain.
Kedua pemikiran yang dibangun oleh Marx dan Simmel
memberikan analisis berbeda guna melihat perwujudan konflik
bagi kehidupan sosial. Marx lebih menekankan konflik sebagai
sebuah dialektika demi menciptakan status sosial baru dengan
dasar argumentasinya tentang materialisme historis. Sementara
itu, Simmel menyampaikan bahwa manifestasi konflik dalam
kehidupan bersama demi mencari titik-titik kompromistis bagi
keberlangsungan sosial itu sendiri.
Membaca secara seksama analisis kedua tokoh tersebut
sebagai kerangka dasar untuk memotret fenomena konflik
dalam kehidupan sosial, menjelaskan bahwa bipolaritas dari
konflik adalah keniscayaan. Kesadaran akan bipolaritas dari
keduanya ini akan mengilhami segenap analisis para ahli guna
menempatkan dan memberikan posisi positioning yang tepat
terhadap fenomena sosial yang dikaji.
Teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan
emikiran Teologi dari seorang ahli teolog akan
memberikan efek yang signifikan kepada penganutnya
dalam kehidupan konkret. Karena sebagai pondasi
agama tadi, teologi akan menjadi dasar berperilaku dan
penyemangat kehidupan seseorang. Maka dibutuhkan
konsep teologi yang tidak hanya teosentris, namun juga
antroposentris. Hasan Hanafi mencoba menafsirkan
kembali dalil-dalil teologi dalam al-Qur’an dan Sunnah,
dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi, dan
hermeneutik. Dalil-dalil teologi tidak lagi dipergunakan
Hasan Hanafi untuk membuktikan ke-Maha-an dan
kesucian Tuhan, namun digunakan sebagai tuntutan
kepada manusia untuk dapat mengamalkan konsep
dari dalil-dalil tersebut dalam kehidupan nyata. Konsep
antroposentris inilah yang ditekankan oleh para teolog
di era kontemporer seperti Muhammad Abduh, M.
Iqbal, Fazlur Rahman, Murtadha Mutahhari dan lain-
lain. Rekonstruksi Teologi Hasan Hanafi dari teosentris
ke antroposentris yang diejawentahkan dalam gerakan
“Kiri Islam”, telah menginspirasi banyak orang untuk
memikirkan kembali pemikiran teologi yang mempunyai
kontribusi positif dalam perilaku kehidupan umat
Islam.
Kata kunci: Teologi, teosentris, antroposentris
Pendahuluan
Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku
orang-orang meyakininya. Karena konsep teologi yang
diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar dalam menjalani
kehidupannya. Seperti misalnya kaum Jabariyyah (fatalism) yang
meyakini bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan suatu perbuatan tertentu, membuat tingkah laku
mereka dalam keseharian lebih banyak mengandalkan tawakkal
dan menyedikitkan untuk ikhtiyar. Teologi Islam yang dianut
oleh mayoritas umat Islam saat ini menurut Hassan Hanafi
belum bisa mengantarkan umat Islam kepada keyakinan atau
pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan.1
Selain itu menurutnya, konsep-konsep teologi yang dianut umat
Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep yang melangit dan ide-
ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan dan
menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan
konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan
orang banyak.2
Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang
hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma
yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial
manusia yang bersifat antroposentris. Kalau melihat kembali
kepada sejarah masa lalu, dan bisa jadi juga terjadi pada saat
ini, pemikiran teologi kerap dijadikan persembahan kepada
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak jarang
terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam perjalanannya.
Padahal seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi konsep-konsep
yang membebaskan manusia dan menjadi dasar utama motivasi
manusia kearah kemandirian, kesadaran dan kemajuan.
Sekilas Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di kota Kairo, Mesir pada tahun
13 Februari 1935, berdarah Maroko. Kakeknya berasal dari
Maroko dan neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya
menurunkan Bani Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir kedua.
pada saat berusia 5 tahun, Hassan Hanafi sudah hafal Al-
Qur’an.3
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun
1948, kemudian di Madrasah Tsanawiiyah Khalil Agha, Kairo,
selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif
mengikuti disskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin,
sehingga dia paham tentang pemikiran yang dikembangkan dan
aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan oleh organisasi tersebut.
Selain itu ia juga mempelajari pemikiran-pemikiran sayyid
Quthb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan keislaman.
Hanafi memperoleh gelar sarjana mudanya dari Universitas
Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab tahun 1956. Kemudian ia
melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi
kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern.
Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin
ilmu. Ia juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari
pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang mengakui
kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran nilai.
Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah
filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran
Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Massignon (1883-
1962) dalam bidang pembaruan.4 Perjalanan Ilmiah Hanafi
selama di Perancis berlangsung selama kurang lebih 10 tahun
yang membuatnya memiliki kesan abadi pada perkembangan
intelektualnya yang membuatnya berucap “ituah barat yang aku
pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci.5 Namun,
walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak
barat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme
barat, demokratisasi, rasionalisme, dan pencerahannya telah
merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi. Pada
tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan program Master dan
Doktoralnya.
Karier Hanafi di dunia intelektual dimulai pada tahun
1967 ketika diangkat menjadi Lektor, kemudian Lektor Kepala
(1973), Profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas
Kairo serta diserahi jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada
universitas yang sama. Selain itu, ia juga aktif dibeberapa negara
dan perguruan tinggi internasional sebagai dosen tamu, seperti
di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia
AS (1971-1975) Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez
Maroko (1982-1984). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar
pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab
(1985) dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di
Jepang (1985-1987).6 Di samping menggeluti dunia akademik,
Hanafi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti
Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekretaris umum,
anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden Persatuan
Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab
dan Eropa. Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi
pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam).
Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi keras dari
penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981), sehingga
menyeret Hanafi mendekam dalam penjara. Sejak saat itu, jurnal
al-Yasar al-Islami tidak pernah terbit lagi. Namun pemikiran
al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan umat Islam,
bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan
dikembangkan.
Seperti yang telah diungkap di atas, meskipun Hanafi
menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah
mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki
dalam bukunya ”Kiri Islam” mengatakan bahwa Hanafi adalah
seorang modernis-liberal, seperti Luthfi Asy-Sayyid, Taha Husain,
dan Al-Aqqad.7 Salah satu keprihatinan Hanafi adalah bagaimana
melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam
bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hanafi melihat
umat Islam pada masa itu berada dalam ketidakbebasan,
keprihatinan dan berada dalam bayang-bayang negara Barat.
Ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan
umat Islam berada dalam situasi seperti itu.8 Faktor internal
6 Keberangkatan Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu
dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Saddat yang memaksanya
meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam
yang pertama adalah dari sisi metode tafsir, disebabkan adanya
metode interpretasi yang lebih banyak bersifat tekstual, terutama
oleh kaum Hambali seperti banyak terjadi di Mesir pada saat itu.
Meskipun Al-Qur’an menyangkut yang nyata, metafor, fenomena
dan interpretasi, muhkam dan mutasyabihat dan seterusnya,
kaum Hambali hanya mengambil satu sisi saja dari aspek kitab
suci tersebut dan tidak mendialogkan teks dengan teks atau teks
dengan realitas, sehingga hanya mengarah kepada pendalaman
eksistensi teks, bukan esensinya.Kedua sisi pemikiran, bahwa
rasionalitas tidak digunakan pada posisi netral, kritis dan
digunakan sebagai sarana dialog, melainkan digunakan pada
posisi kontradiktif, perselisihan dan justifikasi, sehingga tidak
memberikan kemajuan, penemuan baru dan kedewasaan berfikir
bagi masyarakat Islam. Ketiga sisi Teologi yang dianut umat Islam
cenderung bersifat deterministik, sentralistik dan otoriter, sehingga
memunculkan ide tentang penguasa tunggal, penyelamat agung
dan ketundukan pada penguasa. Sehingga tidak jarang konsep-
konsep teologi yang ada malah dimanfaatkan oleh penguasa
untuk melegalisasi kezaliman dan kesewenang-wenangan dengan
atas nama Tuhan dan pelayan umat (khadim al-umat). Selain itu,
konsep-konsep teologi terlalu teosentris, tidak berkaitan dengan
problem kemanusiaan, sehingga tidak memberi kontribusi yang
positif bagi kehidupan umat Islam. Keempat sisi sosial budaya,
masyarakat muslim kebanyakan dalam kondisi terbelakang,
tertindas dan jauh dari kemajuan peradaban. Hal ini memang
tidak bisa dipungkiri, tidak hanya umat Islam di Afrika saja,
tetapi juga hampir seluruh umat Islam di dunia berada dalam
situasi seperti ini. Sedangkan faktor eksternal adalah dari luar
Hassan Hanafi”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis,
Kritik terhadap metode penafsiran klasik juga dilakukan oleh
beberapa pembaharu seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman.
Keduanya menginginkan penafsiran atas teks Al-Qur’an haruslah
berorientasi pada tindakan positif dan sesuai dengan kebutuhan nyata
umat Islam dalam kehidupan praktis, sehingga bisa membawa umat Islam
kepada kemajuan bukan keterkungkungan. Ahmad Amir Aziz, Pembaruan
Teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme
dunia Islam berupa ancaman kolonialisme, imperialisme,
zionisme dan kapitalisme dari barat. Hanafi mengingatkan bahwa
ancaman Barat yang paling penting bukan dari sisi ekonomi atau
politik, tetapi dari sisi kultural. Imperialisme, kolonialisme dan
kapitalisme pada akhirnya menghancurkan kebudayaan asli
umat Islam, sehingga umat Islam akan kehilangan jati diri dan
kebudayaannya sendiri.
Memperhatikan kondisi umat Islam dan pengaruh Barat
yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan
yang revolusioner, ”Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami) dengan tiga
pilar pokok dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam,
revolusi Islam (revolusi tauhid) dan kesatuaan umat, yaitu
pertama revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme dalam revitalisasi ini. Rasionalisme
merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan
muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam duni
Islam. Kedua adalah perlunya menentang peradaban barat.
Seperti disebutkan di atas, Hanafi mengingatkan pembacanya
akan bahayanya kebudayaan barat yang hegemoninya bisa
menghilangkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak
terkecuali kebudayaan umat Islam. Sebagai langkah ini, ia
mengusulkan “oksidentalisme” sebagai lawan dari “orientalisme”
untuk mengakhiri mitos peradaban barat. Ketiga adalah analisis
atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode
tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengabaikan
realitas. Ia mengusulkan metode tertentu, agar realitas dunia
Islam bisa berbicara bagi dirinya sendiri.11 Ancaman kapitalisme,
imperialisme, dan zionisme barat yang terus membayang-bayangi,
bahkan sudah mencengkeram kuat di dunia Islam sehingga
memunculkan kemiskinan, ketertindasan, keterbelakangan
dikalangan umat Islam, membutuhkan perhatian serius agar
umat Islam bisa bangkit kembali seperti terdapat dalam lintasan
sejarah, dimana umat Islam menjadi pusat peradaban dunia.
Metode Pemikiran Hassan Hanafi
Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah
suatu norma yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan
dalam waktu yang kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan).
Ajaran Islam itu bersifat universal dan tidak bertentangan dengan
rasio. Semua muslim harus selalu membangun peradaban dengan
kepercayaan itu dan harus selalu bertumpu pada pesan-pesan
abadi.12 Persoalannya, bagaimana kita mesti mendekati dan
mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi,
dan sosial dunia Islam yang dibangu di atas universalitas itu?.
Ajaran inti Islam adalah tauhid. Tauhid adalah basis Islam.
Hanafi beranggapan, untuk membangun kembali peradaban Islam
tidak bisa tidak dengan membangun kembali semangat tauhid
itu.13 Tauhid adalah pandangan dunia, asal seluruh pengetahuan.
Oleh karena itu kita harus mengkaji konsep tauhid dan kita akan
melihat bagaimana pandangan dunia tauhid itu berfungsi untuk
membangun dunia Islam. Kita berupaya menemukan bahwa
tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan
yang erat. Hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat
tauhid merupakan suatu keharusan. Tauhid di sini bukanlah
pernyataan “keesaan Tuhan” sebagaimana dipahami umat Islam
sebagai antitesis dari konsep Trinitas dalam agama Kristen.
Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang konsep
teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas
kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan melangit. Tujuannya
sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar
sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan
keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
12 Mungkin timbul pertanyaan “mengapa peradaban Islam menjadi
lemah dibandingkan peradaban Barat?, padahal Islam percaya dengan
konsep ajaran universal”. Al-Afghani mencoba menjawab pertanyaan ini
“Kristen berkembang pesat karena gereja berkembang di dalam tembok
imperium Romawi dan bekerja sama dengan penyembah berhala. Umat
Islam lemah karena kebenaran Islam telah dibusukkan oleh kesalahan-
kesalahan turun temurun. Kristen kuat karena mereka tidak sungguh-
sungguh Kristen, Islam lemah karena mereka tidak sungguh-sungguh
Islam.
motivasi tindakan manusia. Karena itu gagasan Hanafi berkaitan
dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan
teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris,
dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung
kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh
dua alasan, pertama kebutuhan adanya sebuah ideologi dan
teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologi-
ideologi global. Perlunya bangunan teologi yang bukan hanya
bersifat teoritik, namun juga praktis yang bisa melahirkan
gerakan dalam sejarah.15
Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentris.16
Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi
klasik adalah warisan umat Islam terdahulu yang seolah-olah
menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan tidak bisa
diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi
sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan
gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah,
atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang metafisis seperti
Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas sosial. Analisis ini
diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis
munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya
bagi kehidupan masyarakat atau penganutya. Selanjutnya analisa
realitas sosial digunakan untuk menentukan arah dan orientasi
teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawarannya tersebut, Hanafi
menggunakan tiga metode berfikir, dialektika, fenomenologi,
dan hermeunetik.17 Dialektika adalah metode pemikiran yang
didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah
terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis
dan selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan
gagasan Husserl (1859-1938) yang merupakan metode berfikir
untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hakikat
fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap
reduksi, pertama reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek
dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua reduksi
eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi
hakikat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur
dari objek. Ketiga reduksi transendental, yaitu kesadaran murni,
agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri
atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut bisa
dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan
hidup subjek.18 Hanafi menggunakan fenomenologi untuk
menganalisis, memahami, dan memetakan realitas-realitas sosial,
politik, ekonomi, realitas dunia Islam, dan relitas tantangan barat
yang diatasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana kata-
katanya “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak
punya pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk
menganalisis Islam di Mesir”.19 Dengan metode ini, Hanafi ingin
realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka, Islam
adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam, bukan
kacamata barat.
Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap
teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami kemudian
dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri
dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara/penafsir
dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan
hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat
dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya.20
Hanafi menggunakan metode hermeneutik untuk membumikan
gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke
konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi
yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql.
Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih
banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori
kasb Asy’ariyah dan Jabariyah. Begitu pula ia menggunakan ushul
fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela
ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini
dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi
triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis untuk mengetahui
validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi,
(2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks
dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran
praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis.
Konsekuensinya, adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke
dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan
tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis
pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih
dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan
demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang
dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.
Pandangan Tauhid Hassan Hanafi
Teologi sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, bukan
hanya membicarakan masalah keesaan Tuhan, namun juga
membahas kondisi sosial umat Islam. Karena Islam adalah ajaran
universal. Maka teologi juga harus bersifat universal, dalam
artian, pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan, namun juga
terkait aspek-aspek Islam yang lain yang mencakup bidang-
bidang keduniawian dan mental. Dengan demikian, apa yang
harus di analisa kembali adalah bagaimana Tauhid berfungsi
di dalam pemikiran muslim, di dalam lembaga-lembaga sosial
politik Islam, dan di dalam peradaban. Dalam bahasa Murtadha
Mutahhari hal ini disebut sebagai “pandangan dunia Tauhid”.21
Dalam pandangan dunia Tauhid, alam bersifat unipolar dan
unaxial. Pandangan dunia Tauhid berarti bahwa hakikat alam
semesta ini berasal dari Allah (Inna lillahi) dan akan kembali
kepadaNya (Inna ilaihi raji’un).
Apa yang dapat dideduksikan dari pandangan dunia ini
adalah bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini pada materi
dan ruh. Akhirnya segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan
“kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (Qs. Al-
Baqarah: 156). Disinilah kita lihat bahwa tidak ada superioritas
manusia kepada makhluk lain di dunia. Bagi muslim hubungan
antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara pencipta dan
yang diciptakan. Jadi hubungan sebab dan akibat penciptaan,
bukan seperti hubungan sinar dan lampu atau kesadaran manusia
terhadap manusia.22 Dalam Tauhid secara logis, dapat ditarik
pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Ia menolak
segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas,
garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Ia menempatkan
manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia
dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan. Keesaan Tuhan
berarti keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara
keduniawian dan keagamaan.
Sesuai dengan konsep hermeneutikanya bahwa hasil
interpretasi harus bersifat aplikatif dan harus mampu menjawab
problem kemanusiaan, maka Hanafi berusaha menarik gagasan-
gagasan sentral al-Qur’an yang selama ini banyak dipahami dan
diposisikan di atas untuk diturunkan ke bawah atau bersifat
antroposentris. Term-term sakral yang umunya berkaitan dengan
ketuhanan, yang sebelumnya dimaknai dengan sesuatu yang
bertujuan menunjukkan dan menjaga kesucian, kebesaran serta
kekuasaan-Nya, ditarik dan dibumikan menjadi sebuah term
material duniawi. Karena itu, apa yang dimaksud Tauhid bukan
lagi konsep yang menegaskan tentang eksistensi dan keesaan
Tuhan yang bersifat monotheis, politheis, pantheis, deist, dan lain-
lain, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh
dari perilaku dualistik seperti opportunis, hipokrit, munafik dan
perilaku-perilaku madzmum yang lain. Semua deskripsi tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an
dan Sunnah, sebenarnya lebih mengarah kepada pembentukan
manusia yang bai, manusia ideal, insan kamil. Menurut Hanafi,
bahwa kalimat la ilaha illallaah, mencakup dua hal. Pertama,
negasi yang terdapat dalam kalimat la ilaha. Kedua, afirmasi yang
terdapat dalam kalimat illallah. Kalimat tauhid mengandung
dua tindakan: tindakan negatif, yaitu menegasikan segala
bentuk ketuhanan, dan tindakan positif, yaitu menempatkan
perasaan dan kesadaran sebagai contoh ideal dan paripurna.
Perasaan manusia melalui tindakan negatif akan terbebas dari
segala bentuk hegemoni, penindasan, dan penghambaan kepada
makhluk (segala sesuatu yang bersifat temporer). Sedangkan
dengan tindakan positif manusia akan menjadi contoh ideal dan
memproklamirkan kesetiaannya terhadap prinsip sempurna,
yang menempatkan seluruh kelompok manusia pada derajat
yang sama. Tindakan ini membebaskan manusia untuk berkreasi
dan mengembangkan diri. Tindakan yang pertama membebaskan
manusia dari subordinasi penguasa, sedangkan tindakan kedua
menjadikan manusia sebagai pelaku tatanan nilai baru dan
mengikat manusia dengan prinsip universal.23 Dengan kata lain,
tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras,
tanpa perbedaan apa pun.
Apa yang dimaksud Tauhid menurut Hanafi bukanlah
merupakan sifat dari Zat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar
konsepsi kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi
sebaliknya justru lebih mengarah kepada tindakan konkrit,
baik dari sisi penafian maupun penetapan.24 Sebab, apa yang
dikehendaki dari konsep Tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti
dan tidak akan bisa dipahami kecuali dengan ditampakkan.
Jadi konsep Tauhid tidak akan mempunyai makna tanpa
direalisasikan dalam kehidupan konkrit. Perealisasian “penafian”
adalah menghilangkan Tuhan-Tuhan modern yang menggerogoti
umat Islam dan menimbulkan kerugian dikalangan umat Islam
sendiri. Tuhan-Tuhan seperti ideologi, gagasan, kebudayaan dan
pengetahuan yang menjadikan manusia terkotak-kotak, dan
tidak bisa hidup tanpanya, yang kemudian menjadikan manusia
terkungkung, harus ditinggalkan. Realisasi dari “penetapan”
adalah dengan menetapkan suatu konsep ideologi tertentu yang
bisa menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu
Tuhan-Tuhan modern tersebut. Sehingga bisa diambil sebuah
kesimpulan, bahwa dalam konteks kemanusiaan yang lebih
konkrit, Tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat
tanpa kelas, ras, dan warna kulit. Distingsi kelas bertentangan
dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid
berarti kesatuan manusia tanpa diskriminasi ras, tanpa pembedaan
ekonomi, tanpa pembedaan masyarakat maju dan berkembang,
Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.
Hanafi menilai, bahwa orang-orang terdahulu secara
keliru memandang tema pokok ilmu ini adalah Zat Tuhan.
Padahal sesungguhnya Zat Tuhan itu tidak mungkin dijadikan
tema pokok keilmuan. Zat Tuhan tidak pernah menjadi objek
kajian ilmu. Rumusan bahwa “tema pokok ilmu ini adalah Zat
Tuhan” di dalamnya mengandung suatu kontradiksi. Sebab
Allah itu Zat Yang Maha Mutlak, sedangkan ilmu berdasarkan
karakteristik, metodologi, dan tujuannya mengubah sesuatu yang
mutlak menjadi relatif. Ilmu menempatkan fenomena umum
dalam fenomena khusus yang terikat oleh ruang dan waktu.
Sifat kemutlakan Tuhan ini sering terkubur di bawah eksistensi
manusia yang relatif. Jadi, sekali lagi menurut Hanafi, Tuhan
bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan objek
pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami, dibenarkan
atau diungkapkan, melainkan sesuatu yang menggerakkan
perbuatan dan membangkitkan aktifitas, tujuan sebuah orientasi,
dan puncak dari segala pengejawantahan. Tuhan, lanjut Hanafi,
adalah kekuatan aktual pada diri manusia, yang menyebabkan ia
hidup, berperilaku, bertindak, mengindera, merasa, berimajinasi,
dan juga menerima berbagai stimulus. Tuhan adalah sebuah
daya yang mungkin dapat diwujudkan melalui kesungguhan
usaha manusia. Tuhan bukanlah sebuah pemaparan, melainkan
tindakan. Tuhan bukan logos, tetapi sebuah praksis. Deskripsi
Tuhan tentang Zat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada
manusia tentang kesadaran dirinya sendiri (cogito), yang secara
rasional dapat diketahui dengan melalui perasaan diri (self feeling).
berpendapat bahwa Tauhid tidak akan mempunyai makna kalau
tidak diwujudkan dalam aksi yang konkrit dan bermanfaat, namun ia
mengkaitkan aksi ini dengan ritual ibadah. Lihat Murtadha Mutahhari,
Allah dalam Kehidupan Manusia
Penyebutan Tuhan tentang dza-Nya sendiri, sama persis dengan
cogito yang ada dalam diri manusia yang berarti menunjukkan
tentang keberadaannya. Itulah sebabnya, deskripsi pertama dalam
aushaf (sifat-sifat) Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun
deksrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya, berarti ajaran tentang
kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang
lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai
persepsi dan ekspresi teori-teori lainnya. Akhirnya jika Zat
mengacu kepada cogito dan sifat mengacu kepada cogitotum,
keduanya akan menjadi pelajaran langsung dari Tuhan kepada
umat manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar
akan kondisi lingkungannya.27 Rekonstruksi Tauhid ini digagas
Hanafi agar Tauhid yang dijadikan pedoman oleh umat Islam
tidak cenderung metafisis, namun juga lebih berorientasi pada
realitas empirik manusia. Karena bagi Hanafi, Tuhan dalam
istilah Islam bukan hanya Tuhan langit, namun juga Tuhan bumi,
sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum
muslimin dari penjajah atau penguasa dzalim misalnya, adalah
sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan
Tuhan. Selanjutnya akan dibahas masalah sifat Tuhan menurut
Hanafi.
Pertama adalah Wujud. Menurut Hanafi, konsep wujud
Tuhan tidak menjelaskan wujud Tuhan, ke-Maha-an dan kesucian
Tuhan sebagaimana ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak
butuh pensucian maupun pengakuan manusia. Karena tanpa yang
lainpun Tuhan tetaplah Tuhan yang Maha suci dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya. Wujud adalah tuntutan kepada manusia
untuk bisa menunjukkan eksistensi dirinya.28 Menunjukkan
eksistensi dalam perilaku positif sudah mempunyai dalil yang
jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, seperti hadist Rasulullah
yang masyhur “sebaik-sebaik manusia adalah yang bermanfaat
bagi manusia lain”. Salah satu cara menunjukkan eksistensi diri
seperti tergambar dalam hadist tersebut adalah dengan saling
tolong-menolong, gotong-royong, penuh kepedulian kepada
orang lain. Sehingga memberi efek positif dalam kehidupan sosial
masyarakat.
Kedua qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan
yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam
sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan
kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa
depan, sehingga bisa menghindarkan diri dari kesalahan taqlid,
kesesatan dan kesalahan berifikir. Melihat kesejarahan umat
Islam, adalah penting dilakukan. Karena umat Islam pernah
menjadi pusat peradaban, pengetahuan dan kebudayaan
dunia. Dengan menguasai 1/3 wilayah dunia, uamt Islam layak
disandingkan dengan imperium Romawi, imperium Mongol,
imperium Macedonia (di masa Alexander the Great) dan juga
imperium Persia. Islam yang bisa dikatakan “anak kemarin sore”
pada masa itu, sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, jauh
melampaui bangsa Barat pada masa itu yang masih berada dalam
kondisi jahiliyyah atau terkenal dengan the Dark Age.
Ketiga Baqa berarti kekal/abadi (immortal), pengalaman
kemanusiaan yang merupakan lawan dari sifat fana/rusak.
Berarti tuntutan kepada manusia untuk tidak cepat rusak, yang
dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang
positif, konstruktif, dan progressif, baik dalam perbuatan maupun
pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa merusak
keseimbangan alam dan manusia. Menjaga kelestarian alam
merupakan salah satu tugas manusia di muka bumi sebagai wakil
Tuhan (khalifatullah). Maka dari itu tidak dibenarkan perbuatan
merusak, eksploitasi, destruktif dan lain-lain terhadap alam.
Begitupun dengan hubungannya kepada manusia lain. Manusia
dituntut untuk meninggalkan karya-karya yang monumental
yang bisa membuat namanya tetap abadi
Keempat dan kelima Mukhalafatu li al-hawadist
29 Salah satu perintah menjaga alam Sebagaimana Hadist
Rasulullah dalam Musnad Imam Ahmad “jika hari kiamat telah datang
sedang di tangan salah satu diantara kalian terdapat bibit pohon kurma,
maka jika dia tidak mampu berdiri untuk menanamnya, maka lakukanlah.
(berbeda dengan yang lain) dan qiyam binafsihi (berdiri
sendiri). Keduanya merupakan tuntutan kepada manusia agar
menunjukkan eksistensi dirinya secara mandiri tanpa bergantung
kepada orang lain, dan tuntutan meninggalkan taklid buta pada
pemikiran dan budaya orang lain.30 Konsep ini diajukan Hanafi
salah satunya adalah untuk membendung ekspansi Barat dalam
setiap lini kehidupan umat Islam, dan juga untuk memunculkan
kemandirian dikalangan umat Islam. Proses qiyam binafsihi tentu
memerlukan perencanaan yang matang dan penuh kesadaran.
Dalam aspek pemikiran, umat Islam dituntut kritis terhadap
setiap bentuk pemikiran agar bisa menghasilkan pengetahuan
yang komprehensif dan bisa membuat karya tanpa terus-menerus
mengikuti pemikiran orang lain. Dalam konteks kenegaraan,
kiranya sudah tepat apa yang dilakukan bangsa Indonesia dalam
sikap politik luar negerinya, yaitu bebas aktif. Bebas melakukan
kerja sama dengan negara manapun tanpa intervensi negara
lain dan aktif dalam kegiatan-kegiatan internasional. Pemikiran
non-blok memang sudah seharusnya dimiliki oleh umat Islam
biar tidak terpengaruh kebudayaan lain yang nantinya akan
menghilangkan kebudayaan sendiri.
kelima wahdaniyyah (keesaan), bukan merujuk kepada
keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang
diarahkan kepada paham trinitas maupun polyteisme, akan
tetapo mengarah kepada kondisi sosial manusia. Wahdaniyyah
adalah tuntutan kepada manusia untuk tidak melakukan praktek-
praktek diskriminasi, eksploitasi tanpa batas, intimidasi kepada
manusia lain. Wahdaniyyah merupakan ajaran tentang kesatuan
manusia, kesetaraan manusia, keadilan umum dan lain-lain.
Tidak ada yang membedakan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain kecuali ketaqwaannya. Manusia dituntut untuk
melakukan kasih sayang, baik kepada yang seagama maupun yang
berbeda agama. Juga identitas yang diberikan para pemikir esensi
kemanusiaan karena realitasnya adalah tunggal-unifikatif, tidak
akan jatuh tergelincir di dalam lautan kolektif, tidak tenggelam
dalam lautan misteri, tidak terhapus dalam kekacauan umum, dan
tidak mungkin melihatnya karena dia adalah kesadaran murni
yang tidak terformulasi dan tidak lahir dalam bentuk sensual.
Oleh karena itu, esensi religius pada hakikatnya merupakan
sampul yang menguak esensi kemanusiaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bagaimana
corak atau watak pemikiran Hanafi yang hendak membawa dunia
Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai
anak zaman, Hanafi merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak
dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia
membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan
modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana
tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada
masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk
dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis
intelektual dengan penekanan rasionalitas. Pemikiran Hanafi
senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek
diri dan yang lain dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam
rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan
dengan tuntutan kontemporer. Dengan begitu dapat dikatakan
bahwa teori pengetahuan Hanafi mempunyai paradigma
kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai
kebenaran. Untuk itu terjadi sebuah relasi kesadaran subjek
dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh
ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-
unikatif di antara subjek-objek-dan kesadaran. Di sisi lain, dapat
disaksikan bahwa Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri
historisitas akidah dengan menggunakan nalar hingga tauhid
mempunyai ikatan dengan praksis, Allah dengan bumi, subjek
Ilahiah dengan subjek insaniah, sifat-sifat ketuhanan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan
sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan untuk menyerang
orang kafir dan membela akidah itu sendiri, melainkan untuk
menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal melalui analisis
rasional terhadap pengalaman generasi masa lalu dan cara yang
ditempuh untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan
mampu memberikan kebenaran eksternal hingga akidah menjadi
inklusif dan diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia.
Teologi yang selama ini dipahami oleh umat Islam
menurut Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat
kemajuan dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang
ditafsirkan oleh para ahli teolog terlalu bersifat teosentris, dan
sama sekali belum menjamah aspek antroposentri. Padahal
manusia membutuhkan konsep-konsep Teologi yang bersifat
antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan
empirik. Teologi merupakan dasar agama Islam, semangatnyalah
yang mendasari lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan dan semangat
keagamaan. Maka dari itu konsep Teologi harus bisa dipahami
manusia dalam kaitannya dengan perilaku kehidupan manusia,
karena Teologi yang teosentris dan melangit akan tidak
mempunyai arti apa-apa atau kosong bagi aktualisasi manusia
di muka bumi.
Pemikiran Hanafi walaupun kontroversial, bahkan sampai
menyeretnya ke dalam penjara, namun telah menginspirasi banyak
umat muslim. Peemikirannya tentang al-Yasar al-Islami tidak
menghilang begitu saja, walaupun jurnalnya hanya terbit satu
kali. Pemikirannya Hanafi membuka persepsi banya orang, bahwa
kita umat Islam bisa menandingi Barat. Peradaban Barat yang
penuh dengan doktrin imperialisme, zionisme, dan kapitalisme
harus dilawan dengan pemikiran-pemikiran yang progresif, salah
satunya adalah rekonstruksi Teologi antroposentris. Terlepas
apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau
tidak, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju
dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam
mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Walaupun, ada
anggapan miring yang menyebutkan bahwa rekonstruksi teologi
yang dilakukan oleh Hanafi dengan cara mengubah term-term
teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekadar material-
duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi
hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari
muatan-muatan spiritual dan transenden. Namun sangat jelas
bisa ditarik kesimpulan kalau pemikiran Hanafi dalam dunia
Islam patut untuk dijadikan kajian dan tidak bisa dianggap
remeh. Wallahua’lam