penciptaan alam 3

iri bersama meskipun faktanya mereka 
memiliki kecenderungan berselisih dengan orang lain. Pada 
tingkatannya yang ekstrim, Simmel juga menekankan bahwa 
praktik sosial senantiasa akan menghasilkan keharmonisan, 
konflik, cinta, dan kebencian. Hal ini tentunya menjauhkan 
asumsi pribadi bahwa analisis tentang konflik hanya 
memperhitungkan kondisi koflik semata. Perspektif tentang 
konflik juga dibangun dalam rangka menyortir situasi yang 
berjalan dalam kehidupan sosial menuju ke arah pemahaman 
atas kontak sosial dan implikasi alamiah dari konflik yang 
berjalan.
Konklusi atas Pemikiran Marx dan Simmel
Berpijak kepada analisis Turner32 atas pemikiran 
Marx dan Simmel, dirinya menyimpulkan bahwa keduanya 
mengungkapkan konflik sebagai realitas yang bisa menembus 
dan menyusup ke dalam sistem sosial. Marx menjelaskan 
tentang eksistensi konflik yang bisa memecah sistem sosial, 
sementara itu, Simmel menyimpulkan bahwa konsekuensi 
dari konflik adalah integrasi sosial. Dalam simpulannya, Marx 
menjelaskan bahwa konflik dapat menciptakan akselerasi 
sosial, adapun Simmel mempertanyakan tentang manifestasi 
dari hasil yang bisa diwujudkan ketika konflik dimunculkan
Dualisme persepsi yang dibangun oleh kedua tokoh ini 
sejatinya menjadi bahan analisis bersama bahwa keduanya 
sedang membangun kepentingannya masing-masing. Mustahil 
dinafikkan bahwa bipolaritas argumentasi konflik ini juga 
menjadi asas dasar guna menjelaskan bahwa secara eksistensial 
keduanya sedang”berkonflik” dalam merumuskan sistematika 
mendasar tentang konflik itu sendiri.  
Simmel dalam upaya objektifnya menjelaskan manifesto 
konflik dalam kehidupan masyarakat tidak lain menyandarkan 
konflik itu sendiri sebagai pola interaksi antara satu individu 
dengan lainnya. Dirinya mencatat bahwa dialektika yang 
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat bukanlah 
kontradiksi, melainkan sebuah upaya untuk menciptakan 
konklusi solutif bagi keberlanjutan masyarakat itu sendiri. 
Mengutip pernyataan33 keduanya menyimpulkan bahwa 
menurut Simmel, masyarakat merupakan suatu proses yang 
berjalan dan berkembang terus. Masyarakat ada di mana 
individu mengadakan interaksi dengan individu-individu 
lainnya. Interaksi timbul karena kepentingan-kepentingan dan 
dorongan tertentu.
Sementara itu, Adisusilo34 menjelaskan bahwa manifesto 
konflik dalam pandangan Marx ditujukan untuk menciptakan 
komunitas sosial baru. Dalam hal ini Marx menguatkan bahwa 
jika masyarakat komunis telah terwujud, maka tidak akan 
ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam 
perkembangannya, hal ini secara niscaya menjadi bertolak 
belakang dengan fakta sejarah yang telah membuktikan bahwa 
dalam masyarakat komunis dewasa ini (antara 1917 sampai 
runtuhnya Uni Soviet 1990) pun muncul kelas baru yaitu para 
penguasa yang menamakan dirinya pemimpin kaum proletar. 
Marx juga berpendapat bahwa dalam masyarakat komunis, 
negara dengan sendirinya akan lenyap mengingat negara hanya 
alat penindasnya kaum kapitalis terhadap kaum proletar atau 
kelas lain. Pandangan Marx ini menurut Adisusilo bukan 
saja dalam kenyataan dewasa ini tidak terbukti, tetapi secara 
teoritis pengandaiannya memang salah. 
Sebagai kritik lain atas pemikiran Marx, Adisusilo35 
menguraikan jika adanya negara tidak dapat dihindari, maka 
itu berarti masyarakat tanpa kelasnya Marx, tanpa paksaan, 
tanpa pembagian kerja, adalah utopis belaka. Lebih lanjut 
adanya masyarakat tanpa kelas sebagai keharusan terbebasnya 
kaum proletar dan penindasan tidaklah satu-satunya alternatif. 
Dalam kenyataan masyarakat yang bercirikan liberal-kapitalis 
dalam perkembangannya ternyata telah mengubah sifat dan 
kedudukan kaum buruh (proletar). Kaum buruh menurut 
Marcuse sebagaimana dijabarkan oleh Adisusilo tidak 
lagi menjadi “agents of historical (transformation”, malah 
sebaliknya ikut mempertahankan “institutional status quo”. 
Kaum buruh tidak lagi revolusioner dan aktif tetapi telah pasif 
dan reseptif serta menjadi kompromistis. Buruh dan majikan 
bisa berdamai dan mencapai kompromi dalam masyarakat 
industri kapitalistis. 
Dialog pemikiran kedua tokoh yang telah menguraikan 
perwujudan konflik dalam kehidupan sosial dengan berbagai 
afiliasi yang disampaikan oleh keduanya menjadi dasar 
pemicu bahwa eksistensi sosial kemasyarakatan berjalan 
di antara kepentingan dan kesepakatan bersama. Mustahil 
menafikkan bahwa realitas sosial itu bersandar kepada 
interaksi bersama yang berimplikasi kepada kompromisasi 
sosial atau eksistensinya akan berjalan di atara kontradiksi 
dengan munculnya solusi sosial yang lain dalam kehidupan 
bermasyarakat. 
Simpulan
Deskripsi tentang konflik dari beberapa lokus pemikiran 
yang dibangun oleh Marx dan Simmel di atas memebrikan 
peta dasar bahwa eksistensi konflik itu bisa bermuara 
kepada perspektif konflik kepentingan dan juga bisa berpola 
sebagai sebuah interaksi. Bipolaritas dari hakikat konflik 
ini memberikan peneguhan kepada segenap pengkaji sosial 
bahwa konflik itu bisa dihadirkan sebagai aspek pemicu untuk 
menciptakan status sosial baru dan bisa juga dirancang untuk 
menghasilkan keseimbangan sosial social equilibrium lain. 
Kedua pemikiran yang dibangun oleh Marx dan Simmel 
memberikan analisis berbeda guna melihat perwujudan konflik 
bagi kehidupan sosial. Marx lebih menekankan konflik sebagai 
sebuah dialektika demi menciptakan status sosial baru dengan 
dasar argumentasinya tentang materialisme historis. Sementara 
itu, Simmel menyampaikan bahwa manifestasi konflik dalam 
kehidupan bersama demi mencari titik-titik kompromistis bagi 
keberlangsungan sosial itu sendiri.
Membaca secara seksama analisis kedua tokoh tersebut 
sebagai kerangka dasar untuk memotret fenomena konflik 
dalam kehidupan sosial, menjelaskan bahwa bipolaritas dari 
konflik adalah keniscayaan. Kesadaran akan bipolaritas dari 
keduanya ini akan mengilhami segenap analisis para ahli guna 
menempatkan dan memberikan posisi positioning yang tepat 
terhadap fenomena sosial yang dikaji.


Teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan 
emikiran Teologi dari seorang ahli teolog akan 
memberikan efek yang signifikan kepada penganutnya 
dalam kehidupan konkret. Karena sebagai pondasi 
agama tadi, teologi akan menjadi dasar berperilaku dan 
penyemangat kehidupan seseorang. Maka dibutuhkan 
konsep teologi yang tidak hanya teosentris, namun juga 
antroposentris. Hasan Hanafi mencoba menafsirkan 
kembali dalil-dalil teologi dalam al-Qur’an dan Sunnah, 
dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi, dan 
hermeneutik. Dalil-dalil teologi tidak lagi dipergunakan 
Hasan Hanafi untuk membuktikan ke-Maha-an dan 
kesucian Tuhan, namun digunakan sebagai tuntutan 
kepada manusia untuk dapat mengamalkan konsep 
dari dalil-dalil tersebut dalam kehidupan nyata. Konsep 
antroposentris inilah yang ditekankan oleh para teolog 
di era kontemporer seperti Muhammad Abduh, M. 
Iqbal, Fazlur Rahman, Murtadha Mutahhari dan lain-
lain. Rekonstruksi Teologi Hasan Hanafi dari teosentris 
ke antroposentris yang diejawentahkan dalam gerakan 
“Kiri Islam”, telah menginspirasi banyak orang untuk 
memikirkan kembali pemikiran teologi yang mempunyai 
kontribusi positif dalam perilaku kehidupan umat 
Islam.
Kata kunci: Teologi, teosentris, antroposentris
Pendahuluan
Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku 
orang-orang meyakininya. Karena konsep teologi yang 
diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar dalam menjalani 
kehidupannya. Seperti misalnya kaum Jabariyyah (fatalism) yang 
meyakini bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk 
menghasilkan suatu perbuatan tertentu, membuat tingkah laku 
mereka dalam keseharian lebih banyak mengandalkan tawakkal 
dan menyedikitkan untuk ikhtiyar. Teologi Islam yang dianut 
oleh mayoritas umat Islam saat ini menurut Hassan Hanafi 
belum bisa mengantarkan umat Islam kepada keyakinan atau 
pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud 
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan.1 
Selain itu menurutnya, konsep-konsep teologi yang  dianut umat 
Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep yang melangit dan ide-
ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan dan 
menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan 
konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan 
orang banyak.2
Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang 
hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma 
yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial 
manusia yang bersifat antroposentris. Kalau melihat kembali 
kepada sejarah masa lalu, dan bisa jadi juga terjadi pada saat 
ini, pemikiran teologi kerap dijadikan persembahan kepada 
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak jarang 
terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam perjalanannya. 
Padahal seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi konsep-konsep 
yang membebaskan manusia dan menjadi dasar utama motivasi 
manusia kearah kemandirian, kesadaran dan kemajuan. 
Sekilas Biografi Hassan Hanafi
 Hassan Hanafi lahir di kota Kairo, Mesir pada tahun 
13 Februari 1935, berdarah Maroko. Kakeknya berasal dari 
Maroko dan neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya 
menurunkan Bani Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir kedua.
pada saat berusia 5 tahun, Hassan Hanafi sudah hafal Al-
Qur’an.3
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 
1948, kemudian di Madrasah Tsanawiiyah Khalil Agha, Kairo, 
selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif 

mengikuti disskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, 
sehingga dia paham tentang pemikiran yang dikembangkan dan 
aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan oleh organisasi tersebut. 
Selain itu ia juga mempelajari pemikiran-pemikiran sayyid 
Quthb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan keislaman. 
Hanafi memperoleh gelar sarjana mudanya dari Universitas 
Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab tahun 1956. Kemudian ia 
melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi 
kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern.
Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin 
ilmu. Ia juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari 
pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang mengakui 
kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran nilai. 
Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah 
filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran 
Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Massignon (1883-
1962) dalam bidang pembaruan.4 Perjalanan Ilmiah Hanafi 
selama di Perancis berlangsung selama kurang lebih 10 tahun 
yang membuatnya memiliki kesan abadi pada perkembangan 
intelektualnya yang membuatnya berucap “ituah barat yang aku 
pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci.5 Namun, 
walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak 
barat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme 
barat, demokratisasi, rasionalisme, dan pencerahannya telah 
merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi. Pada 
tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan program Master dan 
Doktoralnya.
Karier Hanafi di dunia intelektual dimulai pada tahun 
1967 ketika diangkat menjadi Lektor, kemudian Lektor Kepala 
(1973), Profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas 
Kairo serta diserahi jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada 
universitas yang sama. Selain itu, ia juga aktif dibeberapa negara 
dan perguruan tinggi internasional sebagai dosen tamu, seperti 
di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia 
AS (1971-1975) Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez 
Maroko (1982-1984). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar 
pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab 
(1985) dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di 
Jepang (1985-1987).6 Di samping menggeluti dunia akademik, 
Hanafi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti 
Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekretaris umum, 
anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden Persatuan 
Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab 
dan Eropa. Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi 
pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). 
Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi keras dari 
penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981), sehingga 
menyeret Hanafi mendekam dalam penjara. Sejak saat itu, jurnal 
al-Yasar al-Islami tidak pernah terbit lagi. Namun pemikiran 
al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan umat Islam, 
bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan 
dikembangkan.
Seperti yang telah diungkap di atas, meskipun Hanafi 
menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah 
mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki 
dalam bukunya ”Kiri Islam” mengatakan bahwa Hanafi adalah 
seorang modernis-liberal, seperti Luthfi Asy-Sayyid, Taha Husain, 
dan Al-Aqqad.7 Salah satu keprihatinan Hanafi adalah bagaimana 
melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam 
bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hanafi melihat 
umat Islam pada masa itu berada dalam ketidakbebasan, 
keprihatinan dan berada dalam bayang-bayang negara Barat. 
Ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan 
umat Islam berada dalam situasi seperti itu.8 Faktor internal 
6 Keberangkatan Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu 
dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Saddat yang memaksanya 
meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam 
yang pertama adalah dari sisi metode tafsir, disebabkan adanya 
metode interpretasi yang lebih banyak bersifat tekstual, terutama 
oleh kaum Hambali seperti banyak terjadi di Mesir pada saat itu. 
Meskipun Al-Qur’an menyangkut yang nyata, metafor, fenomena 
dan interpretasi, muhkam dan mutasyabihat dan seterusnya, 
kaum Hambali hanya mengambil satu sisi saja dari aspek kitab 
suci tersebut dan tidak mendialogkan teks dengan teks atau teks 
dengan realitas, sehingga hanya mengarah kepada pendalaman 
eksistensi teks, bukan esensinya.Kedua sisi pemikiran, bahwa 
rasionalitas tidak digunakan pada posisi netral, kritis dan 
digunakan sebagai sarana dialog, melainkan digunakan pada 
posisi kontradiktif, perselisihan dan justifikasi, sehingga tidak 
memberikan kemajuan, penemuan baru dan kedewasaan berfikir 
bagi masyarakat Islam. Ketiga sisi Teologi yang dianut umat Islam 
cenderung bersifat deterministik, sentralistik dan otoriter, sehingga 
memunculkan ide tentang penguasa tunggal, penyelamat agung 
dan ketundukan pada penguasa. Sehingga tidak jarang konsep-
konsep teologi yang ada malah dimanfaatkan oleh penguasa 
untuk melegalisasi kezaliman dan kesewenang-wenangan dengan 
atas nama Tuhan dan pelayan umat (khadim al-umat). Selain itu, 
konsep-konsep teologi terlalu teosentris, tidak berkaitan dengan 
problem kemanusiaan, sehingga tidak memberi kontribusi yang 
positif bagi kehidupan umat Islam. Keempat sisi sosial budaya, 
masyarakat muslim kebanyakan dalam kondisi terbelakang, 
tertindas dan jauh dari kemajuan peradaban. Hal ini memang 
tidak bisa dipungkiri, tidak hanya umat Islam di Afrika saja, 
tetapi juga hampir seluruh umat Islam di dunia berada dalam 
situasi seperti ini. Sedangkan faktor eksternal adalah dari luar 
Hassan Hanafi”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, 
Kritik terhadap metode penafsiran klasik juga dilakukan oleh 
beberapa pembaharu seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman. 
Keduanya menginginkan penafsiran atas teks Al-Qur’an haruslah 
berorientasi pada tindakan positif dan sesuai dengan kebutuhan nyata 
umat Islam dalam kehidupan praktis, sehingga bisa membawa umat Islam 
kepada kemajuan bukan keterkungkungan. Ahmad Amir Aziz, Pembaruan 
Teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme 
dunia Islam berupa ancaman kolonialisme, imperialisme, 
zionisme dan kapitalisme dari barat. Hanafi mengingatkan bahwa 
ancaman Barat yang paling penting bukan dari sisi ekonomi atau 
politik, tetapi dari sisi kultural. Imperialisme, kolonialisme dan 
kapitalisme pada akhirnya menghancurkan kebudayaan asli 
umat Islam, sehingga umat Islam akan kehilangan jati diri dan 
kebudayaannya sendiri.
Memperhatikan kondisi umat Islam dan pengaruh Barat 
yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan 
yang revolusioner, ”Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami) dengan tiga 
pilar pokok dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, 
revolusi Islam (revolusi tauhid) dan kesatuaan umat, yaitu 
pertama revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan 
perlunya rasionalisme dalam revitalisasi ini. Rasionalisme 
merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan 
muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam duni 
Islam. Kedua adalah perlunya menentang peradaban barat. 
Seperti disebutkan di atas, Hanafi mengingatkan pembacanya 
akan bahayanya kebudayaan barat yang hegemoninya bisa 
menghilangkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak 
terkecuali kebudayaan umat Islam. Sebagai langkah ini, ia 
mengusulkan “oksidentalisme” sebagai lawan dari “orientalisme” 
untuk mengakhiri mitos peradaban barat. Ketiga adalah analisis 
atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode 
tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengabaikan 
realitas. Ia mengusulkan metode tertentu, agar realitas dunia 
Islam bisa berbicara bagi dirinya sendiri.11 Ancaman kapitalisme, 
imperialisme, dan zionisme barat yang terus membayang-bayangi, 
bahkan sudah mencengkeram kuat di dunia Islam sehingga 
memunculkan kemiskinan, ketertindasan, keterbelakangan 
dikalangan umat Islam, membutuhkan perhatian serius agar 
umat Islam bisa bangkit kembali seperti terdapat dalam lintasan 
sejarah, dimana umat Islam menjadi pusat peradaban dunia.
Metode Pemikiran Hassan Hanafi
Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah 
suatu norma yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan 
dalam waktu yang kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan). 
Ajaran Islam itu bersifat universal dan tidak bertentangan dengan 
rasio. Semua muslim harus selalu membangun peradaban dengan 
kepercayaan itu dan harus selalu bertumpu pada pesan-pesan 
abadi.12 Persoalannya, bagaimana kita mesti mendekati dan 
mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi, 
dan sosial dunia Islam yang dibangu di atas universalitas itu?.
Ajaran inti Islam adalah tauhid. Tauhid adalah basis Islam. 
Hanafi beranggapan, untuk membangun kembali peradaban Islam 
tidak bisa tidak dengan membangun kembali semangat tauhid 
itu.13 Tauhid adalah pandangan dunia, asal seluruh pengetahuan.
Oleh karena itu kita harus mengkaji konsep tauhid dan kita akan 
melihat bagaimana pandangan dunia tauhid itu berfungsi untuk 
membangun dunia Islam. Kita berupaya menemukan bahwa 
tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan 
yang erat. Hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat 
tauhid merupakan suatu keharusan. Tauhid di sini bukanlah 
pernyataan “keesaan Tuhan” sebagaimana dipahami umat Islam 
sebagai antitesis dari konsep Trinitas dalam agama Kristen. 
Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang konsep 
teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas 
kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan melangit. Tujuannya 
sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar 
sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi 
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan 
keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan 
12 Mungkin timbul pertanyaan “mengapa peradaban Islam menjadi 
lemah dibandingkan peradaban Barat?, padahal Islam percaya dengan 
konsep ajaran universal”. Al-Afghani mencoba menjawab pertanyaan ini 
“Kristen berkembang pesat karena gereja berkembang di dalam tembok 
imperium Romawi dan bekerja sama dengan penyembah berhala. Umat 
Islam lemah karena kebenaran Islam telah dibusukkan oleh kesalahan-
kesalahan turun temurun. Kristen kuat karena mereka tidak sungguh-
sungguh Kristen, Islam lemah karena mereka tidak sungguh-sungguh 
Islam. 
motivasi tindakan manusia. Karena itu gagasan Hanafi berkaitan 
dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan 
teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, 
dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke 
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung 
kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh 
dua alasan, pertama kebutuhan adanya sebuah ideologi dan 
teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologi-
ideologi global. Perlunya bangunan teologi yang bukan hanya 
bersifat teoritik, namun juga praktis yang bisa melahirkan 
gerakan dalam sejarah.15
Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk 
mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentris.16 
Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi 
klasik adalah warisan umat Islam terdahulu yang seolah-olah 
menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan tidak bisa 
diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi 
sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan 
gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode 
keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, 
atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang metafisis seperti 
Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas sosial. Analisis ini 
diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis 
munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya 
bagi kehidupan masyarakat atau penganutya. Selanjutnya analisa 
realitas sosial digunakan untuk menentukan arah dan orientasi 
teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawarannya tersebut, Hanafi 
menggunakan tiga metode berfikir, dialektika, fenomenologi, 
dan hermeunetik.17 Dialektika adalah metode pemikiran yang 
didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah 
terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis 
dan selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan 
gagasan Husserl (1859-1938) yang merupakan metode berfikir 

untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hakikat 
fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap 
reduksi, pertama reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek 
dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua reduksi 
eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu  yang bukan menjadi 
hakikat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur 
dari objek. Ketiga reduksi transendental, yaitu kesadaran murni, 
agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri 
atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut bisa 
dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan 
hidup subjek.18 Hanafi menggunakan fenomenologi untuk 
menganalisis, memahami, dan memetakan realitas-realitas sosial, 
politik, ekonomi, realitas dunia Islam, dan relitas tantangan barat 
yang diatasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana kata-
katanya “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak 
punya pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk 
menganalisis Islam di Mesir”.19 Dengan metode ini, Hanafi ingin 
realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka, Islam 
adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam, bukan 
kacamata barat.
Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap 
teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk 
menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami kemudian 
dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri 
dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara/penafsir 
dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan 
hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat 
dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya.20 
Hanafi menggunakan metode hermeneutik untuk membumikan 
gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke 
konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi 
yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. 

Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih 
banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori 
kasb Asy’ariyah dan Jabariyah. Begitu pula ia menggunakan ushul 
fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela 
ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini 
dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi 
triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis untuk mengetahui 
validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi, 
(2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks 
dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran 
praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. 
Konsekuensinya, adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke 
dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan 
tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis 
pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih 
dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan 
demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang 
dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.
Pandangan Tauhid Hassan Hanafi
Teologi sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, bukan 
hanya membicarakan masalah keesaan Tuhan, namun juga 
membahas kondisi sosial umat Islam. Karena Islam adalah ajaran 
universal. Maka teologi juga harus bersifat universal, dalam 
artian, pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan, namun juga 
terkait aspek-aspek Islam yang lain yang mencakup bidang-
bidang keduniawian dan mental. Dengan demikian, apa yang 
harus di analisa kembali adalah bagaimana Tauhid berfungsi 
di dalam pemikiran muslim, di dalam lembaga-lembaga sosial 
politik Islam, dan di dalam peradaban. Dalam bahasa Murtadha 
Mutahhari hal ini disebut sebagai “pandangan dunia Tauhid”.21  
Dalam pandangan dunia Tauhid, alam bersifat unipolar dan 
unaxial. Pandangan dunia Tauhid berarti bahwa hakikat alam 
semesta ini berasal dari Allah (Inna lillahi) dan akan kembali 
kepadaNya (Inna ilaihi raji’un).
Apa yang dapat dideduksikan dari pandangan dunia ini 
adalah bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini pada materi 
dan ruh. Akhirnya segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan 
“kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (Qs. Al-
Baqarah: 156). Disinilah kita lihat bahwa tidak ada superioritas 
manusia kepada makhluk lain di dunia. Bagi muslim hubungan 
antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara pencipta dan 
yang diciptakan. Jadi hubungan sebab dan akibat penciptaan, 
bukan seperti hubungan sinar dan lampu atau kesadaran manusia 
terhadap manusia.22 Dalam Tauhid secara logis, dapat ditarik 
pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Ia menolak 
segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas, 
garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Ia menempatkan 
manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia 
dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan. Keesaan Tuhan 
berarti keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara 
keduniawian dan keagamaan.
  Sesuai dengan konsep hermeneutikanya bahwa hasil 
interpretasi harus bersifat aplikatif dan harus mampu menjawab 
problem kemanusiaan, maka Hanafi berusaha menarik gagasan-
gagasan sentral al-Qur’an yang selama ini banyak dipahami dan 
diposisikan di atas untuk diturunkan ke bawah atau bersifat 
antroposentris. Term-term sakral yang umunya berkaitan dengan 
ketuhanan, yang sebelumnya dimaknai dengan sesuatu yang 
bertujuan menunjukkan dan menjaga kesucian, kebesaran serta 
kekuasaan-Nya, ditarik dan dibumikan menjadi sebuah term 
material duniawi.  Karena itu, apa yang dimaksud Tauhid bukan 
lagi konsep yang menegaskan tentang eksistensi dan keesaan 
Tuhan yang bersifat monotheis, politheis, pantheis, deist, dan lain-
lain, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh 
dari perilaku dualistik seperti opportunis, hipokrit, munafik dan 
perilaku-perilaku madzmum yang lain. Semua deskripsi tentang 
Tuhan dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an 
dan Sunnah, sebenarnya lebih mengarah kepada pembentukan 
manusia yang bai, manusia ideal, insan kamil. Menurut Hanafi, 
bahwa kalimat la ilaha illallaah, mencakup dua hal. Pertama, 
negasi yang terdapat dalam kalimat la ilaha. Kedua, afirmasi yang 
terdapat dalam kalimat illallah. Kalimat tauhid mengandung 
dua tindakan: tindakan negatif, yaitu menegasikan segala 
bentuk ketuhanan, dan tindakan positif, yaitu menempatkan 
perasaan dan kesadaran sebagai contoh ideal dan paripurna. 
Perasaan manusia melalui tindakan negatif akan terbebas dari 
segala bentuk hegemoni, penindasan, dan penghambaan kepada 
makhluk (segala sesuatu yang bersifat temporer). Sedangkan 
dengan tindakan positif manusia akan menjadi contoh ideal dan 
memproklamirkan kesetiaannya terhadap prinsip sempurna, 
yang menempatkan seluruh kelompok manusia pada derajat 
yang sama. Tindakan ini membebaskan manusia untuk berkreasi 
dan mengembangkan diri. Tindakan yang pertama membebaskan 
manusia dari subordinasi penguasa, sedangkan tindakan kedua 
menjadikan manusia sebagai pelaku tatanan nilai baru dan 
mengikat manusia dengan prinsip universal.23 Dengan kata lain, 
tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, 
tanpa perbedaan apa pun.
Apa yang dimaksud Tauhid menurut Hanafi bukanlah 
merupakan sifat dari Zat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar 
konsepsi kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi 
sebaliknya justru lebih mengarah kepada tindakan konkrit, 
baik dari sisi penafian maupun penetapan.24 Sebab, apa yang 
dikehendaki dari konsep Tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti 
dan tidak akan bisa dipahami kecuali dengan ditampakkan. 
Jadi konsep Tauhid tidak akan mempunyai makna tanpa 
direalisasikan dalam kehidupan konkrit. Perealisasian “penafian” 
adalah menghilangkan Tuhan-Tuhan modern yang menggerogoti 
umat Islam dan menimbulkan kerugian dikalangan umat Islam 
sendiri. Tuhan-Tuhan seperti ideologi, gagasan, kebudayaan dan 
pengetahuan yang menjadikan manusia terkotak-kotak, dan 
tidak bisa hidup tanpanya, yang kemudian menjadikan manusia 
terkungkung, harus ditinggalkan. Realisasi dari “penetapan” 
adalah dengan menetapkan suatu konsep ideologi tertentu yang 
bisa menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu 
Tuhan-Tuhan modern tersebut. Sehingga bisa diambil sebuah 
kesimpulan, bahwa dalam konteks kemanusiaan yang lebih 
konkrit, Tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial  masyarakat 
tanpa kelas, ras, dan warna kulit. Distingsi kelas bertentangan 
dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid 
berarti kesatuan manusia tanpa diskriminasi ras, tanpa pembedaan 
ekonomi, tanpa pembedaan masyarakat maju dan berkembang, 
Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.
Hanafi menilai, bahwa orang-orang terdahulu secara 
keliru memandang tema pokok ilmu ini adalah Zat Tuhan. 
Padahal sesungguhnya Zat Tuhan itu tidak mungkin dijadikan 
tema pokok keilmuan. Zat Tuhan tidak pernah menjadi objek 
kajian ilmu. Rumusan bahwa “tema pokok ilmu ini adalah Zat 
Tuhan” di dalamnya mengandung suatu kontradiksi. Sebab 
Allah itu Zat Yang Maha Mutlak, sedangkan ilmu berdasarkan 
karakteristik, metodologi, dan tujuannya mengubah sesuatu yang 
mutlak menjadi relatif. Ilmu menempatkan fenomena umum 
dalam fenomena khusus yang terikat oleh ruang dan waktu. 
Sifat kemutlakan Tuhan ini sering terkubur di bawah eksistensi 
manusia yang relatif. Jadi, sekali lagi menurut Hanafi, Tuhan 
bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan objek 
pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami, dibenarkan 
atau diungkapkan, melainkan sesuatu yang menggerakkan 
perbuatan dan membangkitkan aktifitas, tujuan sebuah orientasi, 
dan puncak dari segala pengejawantahan. Tuhan, lanjut Hanafi, 
adalah kekuatan aktual pada diri manusia, yang menyebabkan ia 
hidup, berperilaku, bertindak, mengindera, merasa, berimajinasi, 
dan juga menerima berbagai stimulus. Tuhan adalah sebuah 
daya yang mungkin dapat diwujudkan melalui kesungguhan 
usaha manusia. Tuhan bukanlah sebuah pemaparan, melainkan 
tindakan. Tuhan bukan logos, tetapi sebuah praksis. Deskripsi 
Tuhan tentang Zat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada 
manusia tentang kesadaran dirinya sendiri (cogito), yang secara 
rasional dapat diketahui dengan melalui perasaan diri (self feeling). 
berpendapat bahwa Tauhid tidak akan mempunyai makna kalau 
tidak  diwujudkan dalam aksi yang konkrit dan bermanfaat, namun ia 
mengkaitkan aksi ini dengan ritual ibadah. Lihat Murtadha Mutahhari, 
Allah dalam Kehidupan Manusia 
Penyebutan Tuhan tentang dza-Nya sendiri, sama persis dengan 
cogito yang ada dalam diri manusia yang berarti menunjukkan 
tentang keberadaannya. Itulah sebabnya, deskripsi pertama dalam 
aushaf (sifat-sifat) Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun 
deksrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya, berarti ajaran tentang 
kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang 
lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai 
persepsi dan ekspresi teori-teori lainnya. Akhirnya jika Zat 
mengacu kepada cogito dan sifat mengacu kepada cogitotum, 
keduanya akan menjadi pelajaran langsung dari Tuhan kepada 
umat manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar 
akan kondisi lingkungannya.27 Rekonstruksi Tauhid ini digagas 
Hanafi agar Tauhid yang dijadikan pedoman oleh umat Islam 
tidak cenderung metafisis, namun juga lebih berorientasi pada 
realitas empirik manusia. Karena bagi Hanafi, Tuhan dalam 
istilah Islam bukan hanya Tuhan langit, namun juga Tuhan bumi, 
sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum 
muslimin dari penjajah atau penguasa dzalim misalnya, adalah 
sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan 
Tuhan. Selanjutnya akan dibahas masalah sifat Tuhan menurut 
Hanafi.
Pertama adalah Wujud. Menurut Hanafi, konsep wujud 
Tuhan tidak menjelaskan wujud Tuhan, ke-Maha-an dan kesucian 
Tuhan sebagaimana ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak 
butuh pensucian maupun pengakuan manusia. Karena tanpa yang 
lainpun Tuhan tetaplah Tuhan yang Maha suci dengan segala sifat 
kesempurnaan-Nya. Wujud adalah tuntutan kepada manusia 
untuk bisa menunjukkan eksistensi dirinya.28 Menunjukkan 
eksistensi dalam perilaku positif sudah mempunyai dalil yang 
jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, seperti  hadist Rasulullah 
yang masyhur “sebaik-sebaik manusia adalah yang bermanfaat 
bagi manusia lain”. Salah satu cara menunjukkan eksistensi diri 
seperti tergambar dalam hadist tersebut adalah dengan saling 
tolong-menolong, gotong-royong, penuh kepedulian kepada 
orang lain. Sehingga memberi efek positif dalam kehidupan sosial 
masyarakat.
Kedua qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan 
yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam 
sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan 
kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa 
depan, sehingga bisa menghindarkan diri dari kesalahan taqlid, 
kesesatan dan kesalahan berifikir. Melihat kesejarahan umat 
Islam, adalah penting dilakukan. Karena umat Islam pernah 
menjadi pusat peradaban, pengetahuan dan kebudayaan 
dunia. Dengan menguasai 1/3 wilayah dunia, uamt Islam layak 
disandingkan dengan imperium Romawi, imperium Mongol, 
imperium Macedonia (di masa Alexander the Great) dan juga 
imperium Persia. Islam yang bisa dikatakan “anak kemarin sore” 
pada masa itu, sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, jauh 
melampaui bangsa Barat pada masa itu yang masih berada dalam 
kondisi jahiliyyah atau terkenal dengan the Dark Age.
Ketiga Baqa berarti kekal/abadi (immortal), pengalaman 
kemanusiaan yang merupakan lawan dari sifat fana/rusak. 
Berarti tuntutan kepada manusia untuk tidak cepat rusak, yang 
dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang 
positif, konstruktif, dan progressif, baik dalam perbuatan maupun 
pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa merusak 
keseimbangan alam dan manusia. Menjaga kelestarian alam 
merupakan salah satu tugas manusia di muka bumi sebagai wakil 
Tuhan (khalifatullah). Maka dari itu tidak dibenarkan perbuatan 
merusak, eksploitasi, destruktif dan lain-lain terhadap alam.
Begitupun dengan hubungannya kepada manusia lain. Manusia 
dituntut untuk meninggalkan karya-karya yang monumental 
yang bisa membuat namanya tetap abadi
 Keempat dan kelima Mukhalafatu li al-hawadist 
29 Salah satu perintah menjaga alam Sebagaimana Hadist 
Rasulullah dalam Musnad Imam Ahmad “jika hari kiamat telah datang 
sedang di tangan salah satu diantara kalian terdapat bibit pohon kurma, 
maka jika dia tidak mampu berdiri untuk menanamnya, maka lakukanlah. 
(berbeda dengan yang lain) dan qiyam binafsihi (berdiri 
sendiri). Keduanya merupakan tuntutan kepada manusia agar 
menunjukkan eksistensi dirinya secara mandiri tanpa bergantung 
kepada orang lain, dan tuntutan meninggalkan taklid buta pada 
pemikiran dan budaya orang lain.30 Konsep ini diajukan Hanafi 
salah satunya adalah untuk membendung ekspansi Barat dalam 
setiap lini kehidupan umat Islam, dan juga untuk memunculkan 
kemandirian dikalangan umat Islam. Proses qiyam binafsihi tentu 
memerlukan perencanaan yang matang dan penuh kesadaran. 
Dalam aspek pemikiran, umat Islam dituntut kritis terhadap 
setiap bentuk pemikiran agar bisa menghasilkan pengetahuan 
yang komprehensif dan bisa membuat karya tanpa terus-menerus 
mengikuti pemikiran orang lain. Dalam konteks kenegaraan, 
kiranya sudah tepat apa yang dilakukan bangsa Indonesia dalam 
sikap politik luar negerinya, yaitu bebas aktif. Bebas melakukan 
kerja sama dengan negara manapun tanpa intervensi negara 
lain dan aktif dalam kegiatan-kegiatan internasional. Pemikiran 
non-blok memang sudah seharusnya dimiliki oleh umat Islam 
biar tidak terpengaruh kebudayaan lain yang nantinya akan 
menghilangkan kebudayaan sendiri.
kelima wahdaniyyah (keesaan), bukan merujuk kepada 
keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang 
diarahkan kepada paham trinitas maupun polyteisme, akan 
tetapo mengarah kepada kondisi sosial manusia. Wahdaniyyah 
adalah tuntutan kepada manusia untuk tidak melakukan praktek-
praktek diskriminasi, eksploitasi tanpa batas, intimidasi kepada 
manusia lain. Wahdaniyyah merupakan ajaran tentang kesatuan 
manusia, kesetaraan manusia, keadilan umum dan lain-lain. 
Tidak ada yang membedakan antara manusia yang satu dengan 
manusia yang lain kecuali ketaqwaannya. Manusia dituntut untuk 
melakukan kasih sayang, baik kepada yang seagama maupun yang 
berbeda agama. Juga identitas yang diberikan para pemikir esensi 
kemanusiaan karena realitasnya adalah tunggal-unifikatif, tidak 
akan jatuh tergelincir di dalam lautan kolektif, tidak tenggelam 
dalam lautan misteri, tidak terhapus dalam kekacauan umum, dan 
tidak mungkin melihatnya karena dia adalah kesadaran murni 
yang tidak terformulasi dan tidak lahir dalam bentuk sensual. 
Oleh karena itu, esensi religius pada hakikatnya merupakan 
sampul yang menguak esensi kemanusiaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bagaimana 
corak atau watak pemikiran Hanafi yang hendak membawa dunia 
Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai 
anak zaman, Hanafi merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak 
dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia 
membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan 
modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana 
tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada 
masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk 
dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis 
intelektual dengan penekanan rasionalitas. Pemikiran Hanafi 
senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek 
diri dan yang lain dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam 
rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan 
dengan tuntutan kontemporer. Dengan begitu dapat dikatakan 
bahwa teori pengetahuan Hanafi mempunyai paradigma 
kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai 
kebenaran. Untuk itu terjadi sebuah relasi kesadaran subjek 
dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh 
ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-
unikatif di antara subjek-objek-dan kesadaran. Di sisi lain, dapat 
disaksikan bahwa Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri 
historisitas akidah dengan menggunakan nalar hingga tauhid 
mempunyai ikatan dengan praksis, Allah dengan bumi, subjek 
Ilahiah  dengan subjek insaniah, sifat-sifat ketuhanan dengan 
nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan 
sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan untuk menyerang 
orang kafir dan membela akidah itu sendiri, melainkan untuk 
menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal melalui analisis 
rasional terhadap pengalaman generasi masa lalu dan cara yang 
ditempuh untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan 
mampu memberikan kebenaran eksternal hingga akidah menjadi 
inklusif dan diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia.
Teologi yang selama ini dipahami oleh umat Islam 
menurut Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat 
kemajuan dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang 
ditafsirkan oleh para ahli teolog terlalu bersifat teosentris, dan 
sama sekali belum menjamah aspek antroposentri. Padahal 
manusia membutuhkan konsep-konsep Teologi yang bersifat 
antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan 
empirik. Teologi merupakan dasar agama Islam, semangatnyalah 
yang mendasari lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan dan semangat 
keagamaan. Maka dari itu konsep Teologi harus bisa dipahami 
manusia dalam kaitannya dengan perilaku kehidupan manusia, 
karena Teologi yang teosentris dan melangit akan tidak 
mempunyai arti apa-apa atau kosong bagi aktualisasi manusia 
di muka bumi. 
Pemikiran Hanafi walaupun kontroversial, bahkan sampai 
menyeretnya ke dalam penjara, namun telah menginspirasi banyak 
umat muslim. Peemikirannya tentang al-Yasar al-Islami tidak 
menghilang begitu saja, walaupun jurnalnya hanya terbit satu 
kali. Pemikirannya Hanafi membuka persepsi banya orang, bahwa 
kita umat Islam bisa menandingi Barat. Peradaban Barat yang 
penuh dengan doktrin imperialisme, zionisme, dan kapitalisme 
harus dilawan dengan pemikiran-pemikiran yang progresif, salah 
satunya adalah rekonstruksi Teologi antroposentris. Terlepas 
apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau 
tidak, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju 
dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam 
mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Walaupun, ada 
anggapan miring yang menyebutkan bahwa rekonstruksi teologi 
yang dilakukan oleh Hanafi dengan cara mengubah term-term 
teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekadar material-
duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi 
hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari 
muatan-muatan spiritual dan transenden. Namun sangat jelas 
bisa ditarik kesimpulan kalau pemikiran Hanafi dalam dunia 
Islam patut untuk dijadikan kajian dan tidak bisa dianggap 
remeh. Wallahua’lam