penciptaan alam 2

ntitas, 
persoalan kekuasaan dalam masyarakat yang plural. Dengan 
demikian, istilah revivalisme ini lebih luas jangkauannya karena 
pada kenyataannya kemunculan gerakan Islam radikal di negara-
negara Islam di Timur Tengah maupun Asia memang tidak semata-
mata didorong oleh keinginan mereka untuk menerapkan makna 
literal dari teks-teks suci dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya 
pula sekadar tandingan terhadap cengkeraman Barat, akan tetapi 
lebih filosofis.
Islam puritan sering dianggap tidak mempertimbangkan 
proses asimilasi dan akulturasi adat dan kepercayaan setempat. 
Akibatnya, banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam 
puritan terinspirasi oleh Wahabisme yang sangat gencar melawan 
semua bentuk apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal. 
Dasar klaim dari gerakan Wahabi ini adalah bahwa 
agama sudah tidak benar dipahami oleh para pengikutnya 
sebagaimana pada masa Nabi saw., sehingga mereka merasa 
berkepentingan untuk menyerukan kembali kepada ortodoksi 
syariah yang akan memurnikan Islam sesuai kriteria al-Qur’an 
dan Sunnah. Wahabisme ini sering merujuk kepada Muhammad 
ibn Abd al-Wahab sebagai pendirinya. Beberapa karakter 
yang menjadi platform dari gerakan ini antara lain: Pertama, 
mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-
teks suci agama. Menolak pemahaman kontekstual atas teks 
agama, karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi 
kesucian agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme, 
karena menurutnya dua hal ini merupakan distorsi pemahaman 
terjadap ajaran agama. Ketiga, memonopoli kebenaran atas 
tafsir agama, cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang 
otoritas penafsir agama yang paling absah, sehingga cenderung 
menganggap sesat kepada kelompok yang tidak sealiran dengan 
mereka.
Puritanisme yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 
1803 hingga sekitar 1832 disinyalir salah satunya ditunjukkan 
oleh Tuanku Imam Bonjol yang memimpin gerakan Kaum Paderi. 
Namun gerakan ini sejatinya tidak seperti Wahabi yang keras dan 
kaku, tetapi sudah mengalami kulturisasi dengan budaya lokal, 
sehingga mudah diterima masyarakat. Idahram menuturkan 
bahwa selain gerakan Kaum Paderi, ada beberapa indikator lain 
yang menunjukkan bahwa puritanisme di Indonesia pada awal 
abad ke-19 tidak terkait secara langsung dengan paham Wahabi, 
tetapi kesamaan itu hanya sebatas spirit saja. 
Adapun faktor yang melatarbelakangi mudahnya spirit 
pembaharuan Wahabi diterima oleh beberapa ulama Indonesia 
di antaranya adalah karena medan dakwah nusantara yang 
berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme, dan 
pengaruh Hindu-Budha. Faktor inilah yang menjadikan mereka 
mudah mengadopsi doktrin pemurnian tauhid, dengan harapan 
agar umat Islam Indonesia dapat lebih cermat dalam menjalankan 
ajaran Islam, sehingga tidak tercampur dengan budaya lokal yang 
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.20 
Di antara tokoh-tokoh yang sering dijadikan panutan 
bagi para puritan Indonesia ini antara lain: Ibn Baz, Shalih Ibn 
Utsaimin, Ibn Fauzan, Muhammad Nashiruddin al-Albani—
ulama asal Albania yang tinggal di Yordania, Syaikh Rabi al-
Madkhali di Madinah, dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Dengan adanya pembedaan antara Islam pribumi 
dan Islam puritan seakan menjadikan adanya dikotomi yang 
mengesankan pemisahan antara model-model Islam tersebut. 
Islam seperti dikotak-kotakkan, bahkan sebagian kalangan 
menilai, jika hal ini diteruskan dapat memburukkan citra Islam 
di mata dunia, bahkan justru membahayakan eksistensi Islam itu 
sendiri yang separatis dan mudah diprovokasi dan dihancurkan 
oleh kelompok lain. Sementara kalangan lainnya menilai bahwa 
dengan hadirnya Islam pribumi atau Islam Nusantara justru akan 
memperbaiki citra Islam di mata dunia. Islam tidaklah rentan 
dengan kekerasan dan terorisme. 
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan Islam puritan 
atau Islam Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau 
keislaman seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah 
menggunakan ekspresi kearaban sebagai ekspresi tunggal dan 
dianggap paling absah dalam beragama, terlebih jika kemudian 
budaya yang ada dianggap sebagai sesuatu yang sesat, musyrik 
dan bid’ah. Seharusnya agama bisa hidup berdampingan dengan 
ekspresi budaya, bukan saling menafikan satu sama lain. 
Sementara di sisi lain, pribumisasi Islam pun bukan tanpa 
bahaya. Akomodasi dan akulturasi suatu saat bisa menghasilkan 
suatu identitas yang karakter Islaminya bisa terkikis atau bahkan 
bisa dianggap sama sekali tidak Islami. Untuk menyelamatkan 
karakter Islamnya, lembaga-lembaga Islam pribumi di luar sektor 
modern, seperti sistem pesantren tradisional, harus diidentifikasi 
dan digunakan dalam membangkitkan kembali komunitas 
muslim Indonesia.
Pola Keberagamaan Masyarakat Islam di Indonesia
Clifford Geertz mengklasifikasikan Islam di Indonesia, 
khususnya Jawa, ke dalam tiga kelompok: Santri, priyayi, dan 
abangan. Santri diidentifikasikan sebagai umat Islam yang 
mengamalkan ajaran agama Islamnya secara taat, priyayi 
sebagai kelompok elit, dan abangan disematkan bagi umat Islam 
dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek sinkretis, 
seperti percaya kepada roh dengan pemberian sesaji sebagai 
bentuk utama ritual, magis, dan bentuk-bentuk mistisisme yang 
menekankan kemanunggalan Tuhan dan manusia serta bentuk-
bentuk ritual lainnya.
Klasifikasi yang dibuat Geertz memang dinilai tidak 
tepat oleh sebagian kalangan disebabkan tidak didasarkan pada 
kriteria yang konsekuen, dan dipandang telah mengacaukan 
dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan serta 
mencampuradukkan pembagian horizontal dan vertikal, 
sementara ia melupakan perbedaan antara stratifikasi horizontal 
dan vertikal dalam masyarakat Jawa.Koentjaraningrat misalnya, 
menilai bahwa istilah santri dan abangan telah menunjukkan dua 
varian religius dalam kebudayaan Jawa, padahal istilah priyayi 
tidak menunjukkan tradisi religius apapun juga. Ini dikarenakan 
para priyayi dapat digolongkan baik santri maupun abangan.
Meski tidak terlepas dari berbagai kritik, namun setidaknya 
klasifikasi ini bisa menjadi pijakan dasar dalam memotret pola 
keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, meski definisi yang 
dimaksudkannya tidak selalu sama. Sekedar menyebut contoh, 
Mulder sebagaimana dikutip Nur Syam yang menyebutkan 
bahwa agama di Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah 
agama yang telah mengalami proses lokalisasi. Yakni pengaruh 
kekuatan budaya lokal terhadap agama-agama yang datang 
kepadanya. Agama Islamlah yang kemudian menyerap keyakinan 
atau kepercayaan lokal, sehingga terjadi proses asimilasi ajaran 
lokal ke dalam agama tersebut. Tanpa proses lokalisasi ini, agama 
Islam tidak akan dapat berjalan dengan lokalitas budaya yang 
sudah mapan tersebut. Akibatnya, agama Islam tidak akan dapat 
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia.26
Selain itu, Mark Woodward yang dalam risetnya tentang 
pola religiusitas di Yogyakarta yang menarik kesimpulan berbeda 
dengan Geertz bahwa religiusitas yang muncul merupakan 
hubungan yang compatible antara Islam dan budaya lokal, bukan 
tradisi Hindu dan Islam yang sinkretis. Berbagai ritual dinyatakan 
secara signifikan terkait dengan tradisi Islam universal, yang 
bersumber dari teks Islam itu sendiri. Sehingga, Islam pribumi 
bukanlah Islam animistis dan sinkretik melainkan Islam yang 
kontekstual dan berproses secara akulturatif.  
Istilah santri identik didefinisikan dengan orang yang 
memiliki keyakinan kuat terhadap agama. Sementara jika 
pemaknaan santri dikerucutkan pada orang yang mengkaji agama 
di suatu tempat tertentu seperti pesantren, maka dapat dinyatakan 
bahwa kelompok santri ini memiliki basis di pesantren-pesantren. 
Namun pesantren ini tidak selalu berlokasi di daerah pedesaan 
sebagaimana dinyatakan Amin Rais dalam bukunya Cakrawala 
Islam. Dalam bukunya ini pula, Rais mengungkap karakteristik 
dari pesantren ini adalah: Pertama, para santri dalam sistem 
pendidikan tradisional pesantren memiliki kebebasan yang lebih 
besar dibanding para peserta didik di sekolah modern dalam 
bertindak dan berinisiatif, sebab hubungan antara kiai dan santri 
bersifat dua arah, sedangkan hubungan guru dan peserta didik 
di sekolah-sekolah sering bersifat satu arah. Kedua, kehidupan 
pesantren menanamkan semangat demokrasi di kalangan para 
santri, karena mereka praktis harus bekerja sama untuk mengatasi 
seluruh problem non-kurikulum mereka. Ketiga, para santri 
tidak terlalu mempedulikan legalitas ijazah, yang mencerminkan 
keikhlasan motivasi mereka dalam mengkaji agama. Keempat, 
pesantren menekankan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, 
persamaan di hadapan Allah, dan percaya diri.
Berbeda dengan statemen Rais, Zamakhsyari Dhofier 
dalam penelitiannya mengungkap bahwa dunia pesantren 
dengan kiainya bukan merupakan sebuah komunitas yang 
stagnan tanpa perubahan, melainkan wadah yang responsif 
dengan perubahan seiring dengan perkembangan zaman. 
Melalui konsep al-as}a>lah wa at-tajdi >d, para kiai sebenarnya telah 
melakukan berbagai perubahan sosial di sekitarnya dengan cara 
melestarikan sesuatu yang bernilai baik dan mengambil sesuatu 
dari luar yang positif dan lebih baik.29 Dalam konteks ini, Mun’im 
menambahkan bahwa pesantren merupakan cagar budaya yang 
mampu mengembangkan tradisi sendiri, baik tradisi pemikiran, 
keilmuan, berbahasa, dan tata cara berpakaian. Dengan adanya 
cagar budaya tersebut, maka pluralisme pemahaman Islam bisa 
dipertahankan, dan relasi Islam dengan komunitas non-Islam, 
baik komunitas adat, maupun agama lain, juga terus dapat 
dijamin di bawah prinsip toleransi yang dikembangkan kalangan 
Zaini Muhtarom menjelaskan ciri yang membedakan 
antara santri dan abangan, yaitu bahwa para santri lebih 
memperhatikan ajaran Islam dibandingkan upacaranya, 
sementara para abangan menekankan perincian upacara (ritual) 
yang lekat dengan sinkretisme, animisme, dan dinamisme. 
Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan 
campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis 
yang berakar dalam agama non-Islam dan telah ditumpangi oleh 
ajaran Islam. Para abangan yang ingin mendapat berkah atau 
minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan sajian-
sajian berupa kemenyan ke suatu tempat tertentu yang dianggap 
keramat. Ragam ibadah para abangan di antaranya meliputi 
upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok 
tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan 
kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Selain itu, para 
abangan juga sering mempercayai benda-benda tertentu seperti 
keris, yang menurut kepercayaan mereka, keris memiliki kesaktian 
yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya 
atau memakainya, bahkan ada keris yang bertuah.31  
Jika demikian pola upacara abangan, maka pola upacara 
santri diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu yang dapat 
dilakukan di rumah, di langgar (mushalla), atau masjid. Para 
abangan hampir tidak pernah menjalankan shalat lima waktu 
dan shalat Jum’at. Dengan kata lain, kebiasaan menjalankan 
shalat wajib membedakan seorang muslim yang saleh maupun 
golongan yang patuh pada syariat Islam. 
Selain dipolakan dalam santri dan non-santri, pola 
keagamaan di Indonesia juga dapat dipetakan menjadi modernis 
dan tradisionalis. Menurut Esposito, kaum tradisionalis muncul 
seiring dengan masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-13. 
Sementara kaum modernis muncul sejak terjadi peningkatan 
keterlibatan Indonesia dengan dunia Islam lainnya pada abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Kelompok tradisionalis menekankan 
pada kebanggaan nasional yang cenderung menekankan pada 
kekhususan Islam Indonesia dan mempertentangkannya dengan 
Islam Timur Tengah. Hadirnya kaum modernisme sering 
dipandang sebagai serangan kuat terhadap pemikiran keagamaan 
di Indonesia, karena umumnya para pembaharu bersikap kritis 
terhadap tradisi dan berusaha menghilangkannya dari tubuh 
Islam.
Menarik juga untuk diungkap di sini adalah klasifikasi 
pola keberagamaan yang dilakukan Dien Syamsuddin yang 
mengelompokkan gerakan Islam menjadi tiga golongan. Pertama, 
Islam formalistik, yang menekankan penerapan ajaran Islam 
secara ketat, termasuk simbol-simbol budaya Arab yang dipercaya 
sebagai Islam yang murni. Kelompok ini menekankan penggunaan 
terma budaya Arab di negara non-Arab seperti Indonesia, yang 
menunjukkan pentingnya formalisme Islam. Kedua, Islam 
substantivistik yang lebih menekankan pada substansi daripada 
bentuk dan simbol yang berlabel Islam. Pola keberagamaan 
Islam seperti ini adalah bagaimana nilai-nilai Islami hidup dan 
berpengaruh dalam lembaga formal dalam rangka membangun 
Indonesia. Ketiga, Islam fundamentalis yang berpandangan 
bahwa dua pola di atas gagal menjadikan Islam sebagai bargaining 
power dalam mewujudkan pola keberagamaan Islam yang lebih 
baik di Indonesia. Pola ini menekankan agar ajaran dasar Islam 
masuk ke dalam realtas sosial politik Indonesia, dan berupaya 
untuk menghidupkan kembali kultur Islam secara menyeluruh.34   
Nurcholis Madjid menilai Islam fundamentalis tidaklah 
sesuai diterapkan di Indonesia karena fundamentalisme memiliki 
ciri anti-intelektual yang kental dan banyak mencoba memutar 
balik jarum jam kemajuan ilmiah. Salah satunya ini dibuktikan 
dengan adanya sikap menentang teori evolusi dan hanya berpegang 
pada teori kreasi secara dogmatis. Selain itu, fundamentalisme 
dianggap mengusung pandangan keagamaan yang serba sempit, 
fanatik, dan tidak toleran disebabkan pemahaman terhadap 
ajaran agama sebagai deretan diktum-diktum mati dan kaku 
Terlepas dari klasifikasi dikotomis di atas, pola 
keberagamaan masyarakat Indonesia semakin lama semakin baik, 
dengan indikator semakin banyaknya orang yang menunaikan 
shalat, dan yang lebih cermat menjalankan ibadah-ibadah 
lainnya seperti zakat dan puasa Ramadhan, ibadah haji semakin 
diminati, kian banyak para perempuan yang berbusana Islami, 
dan produk-produk halal kian dipedulikan. Menjalankan praktik 
Islam secara lebih seksama terlihat jelas khususnya di kalangan 
kaum terdidik, dan juga di pedesaan.36
Simpulan
Wajah Islam Indonesia yang akomodatif memberikan 
warna lain dari wajah Islam dunia yang selama ini didentikkan 
dengan Islam yang keras. Islam di Indonesia yang secara 
umum dibedakan dalam dua kelompok: Pribumi dan Puritan, 
menunjukkan bahwa Islam di Indonesia memang khas. Pribumi 
yang cenderung toleran dengan tradisi lokal memang berbeda 
dengan puritanisme. Namun meski demikian, puritanisme 
yang ada di Indonesia yang bertujuan memurnikan Islam dan 
melepaskan dari tradisi juga tetap jauh dari kekerasan dan 
radikalisme.   
Kajian tentang sosok kyai beserta perannya selalu 
menarik dan aktual untuk dianalisis. Kyai menurut 
pandangan masyarakat adalah sosok yang dijadikan 
panutan baik dalam perkataan maupun perilakunya. 
Sosok kyai sendiri tidak lepas dengan pengetahuan agama 
yang sangat melekat pada dirinya, sehingga masyarakat 
selalu mendiskusikan permasalahan keagamaan kepada 
kyai. Belakangan ini terjadi polarisasi pemikiran tentang 
sosok kyai, sehingga memunculkan tipologi kyai yang 
cukup variatif. Sebagian kalangan berpendapat bahwa 
kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom 
umat terutama dalam kehidupan beragama, sehingga 
akan lebih baik jika kyai menghindarkan diri dari 
kegiatan politik praktis, sehingga tidak terjebak pada 
peran ganda. Namun ada juga sebaliknya, bahwa tidak 
ada alasan kyai meninggalkan politik praktis sebab 
berpolitik merupakan bagian dari kehidupan agama itu 
sendiri. Namun, seringkali ketika kyai memilih politik, 
maka jarak kepada masyarakat akan mulai memudar,hal 
ini disebabkan dunia politik yang penuh dengan hiruk 
pikuk dan penuh dengan intrik, dimana sangat bertolak 
belakang dengan kehidupan kyai saat di tengah 
masyarakatnya yang penuh kesetiaan dan apa adanya. 
Lalu bagaimana seharusnya kyai menjalankan missi 
keagamaannya ditengah-tengah pergolakan perubahan 
sosial yang tidak terbendung saat ini?, dan bagaimana 
pula benturan politik kekuasaan dikemasnya?.
Kata kunci: Kyai, Perubahan sosial, Dinamika politik 
kekuasaan. 
Pendahuluan
Sosok kyai bagi masyarakat merupakan indikator penting 
dalam kelangsungan hidup keberagamaan masyarakatnya. Kyai 
tidak hanya sebagai pemimpin dalam ritual keagamaan saja, 
namun juga sebagai tempat untuk mencurahkan berbagai keluh 
kesah dalam berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Di 
desa biasanya kyai diminta solusi dari berbagai persoalan, seperti 
masalah keluarga, pendidikan, jodoh bahkan memilihkan waktu 
untuk memulai suatu pekerjaan. Tapi ada juga sebagai asumsi, 
bahwa penyebutan kyai cenderung disandarkan pada dunia 
pesantren yang berbasis tradisional dan NU.
Karena kemampuan agamanya yang cukup tinggi, maka 
kyai ditempatkan sebagai sosok “guru” baik dalam ilmu bathin 
(esoteric) maupun ilmu zhahir (eksoterik). Jika dilihat dari 
sejarahnya, bahwa gelar kyai memang tidak mudah untuk didapat. 
Dalam bahasa jawa gelar kyai memiliki asal usul dalam tiga 
jenis yang berbeda. Pertama: kyai merupakan gelar kehormatan 
bagi sesuatu yang dianggap keramat, kedua: gelar kehormatan 
untuk orang yang sudah tua, ketiga: gelar untuk seorang yang 
ahli agama Islam/memiliki pesantren dan mengajar kitab klasik.1 
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya gelar kyai mulai 
melebar dan dapat dimiliki siapapun selama masyarakat setempat 
mau mengakuinya dan sang kyai bisa memenuhi kriteria sebagai 
sosok kyai apalagi mampu menjangkau apa yang tak terjangkau 
oleh orang awam.
Kedudukan sosial kyai dianggap cukup tinggi, sehingga 
kyai termasuk elit agama dan tokoh agama yang eksistensinya 
selalu diperhitungkan. Sebagai tokoh agama, kyai berada dalam 
posisi yang memiliki kharisma akibat hubungan strata sosial 
yang tetap dipertahankan dalam komponen masyarakat. Suzanne 
Keller memposisikan tokoh sebagai elit penentu sekaligus sebagai 
obyek sosial, sehingga berada dalam kondisi tiga hal: pertama, 
mempunyai wewenang dan pengambil keputusan, kedua, sebagai 
pendukung kekuasaan moral, dan ketiga, sebagai orang yang 
terkenal, berhasil dan berderajat.2 Maka seorang tokoh dituntut 
untuk berhasil dalam mengembangkan suatu citra umum yang 
memudahkan hubungan timbal balik yang bersifat simbolis 
antara tokoh agama dengan masyarakat. Tokoh agama dapat 
juga ditempatkan sebagai kolektif  model  dan cermin dari ambisi, 
harapan dan pergolakan masyarakat.
Kajian dan penelitian tentang sosok dan peran kyai telah 
banyak dilakukan oleh para peneliti, seperti: Hiroko Horikosi 
(1978) yang membedakan kyai dengan ulama dan memandang 
kyai sebagai agen perubahan sosial, sehingga kyai banyak 
bermain pada tataran kultural. Pada akhirnya kyai ditempatkan 
sebagai pemelihara sistem, bukan pencipta sistem dan kyai 
sebagai perantara (broker) dalam menghubungkan masyarakat 
modern dengan pertahanan sistem pertahanan tradisional. Maka 
Horikoshi memandang bahwa kyai menjadi tolak ukur dalam 
menunjukkan kewaspadaan terhadap prinsip otoritas, sehingga 
bila terjadi sebuah kemerosotan dalam hal apapun maka kyailah 
yang menjadi penentram3. Sementara Geertz  (1960)  menyoroti 
kyai sebagai makelar budaya (cultural brokers), demikian juga 
Martin Van Bruinessen (1995) yang menggandengkan kiprah kyai 
dalam dunia tarekat (persaudaraan mistik Islam). Zamakhsyari 
Dhofier (1982) juga mengkaji tentang pandangan hidup kyai 
dalam tradisi pesantren. Dan masih banyak lagi belakangan 
bermunculan kajian dan penelitian seputar kiprah kyai terutama 
dalam pentas politik maupun sosial keagamaan.
Peran dominan kyai dalam proses perkembangan 
keagamaan tersebut kemudian membentuk sistem sosial, di 
mana di dalamnya terdapat unsur yang tidak terpisahkan, 
saling mengandaikan, saling membutuhkan dan membangun 
suatu keseluruhan sehingga sampai pada keseimbangan yang 
cenderung untuk mempertahankan diri. Maka analisa teori  
fungsional Parson sangat relevan dengan menggunakan konsep 
relasional atau peranan, sebagaimana diuraikan oleh K. J. 
Veeger yang mengkaji teori fungsionalisme Talcot Parson dengan 
mengintrodusir ke dalam dua ciri khas, yaitu:
Konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan kepada 1. 
keselamatan dan ketahanan system social.
Konsep pemeliharaan keseimbangan sebagai ciri utama 2. 
dari tiap-tiap sistem sosial,
Maka dalam analisis Sosiologis, menurut Weber (1968) 
sebagai kacamata fakta sosial, kepemimpinan tokoh agama 
sesungguhnya adalah kepemimpinan kharismatik yang berporos 
pada personal leadership. Dalam konteks ini kyai adalah patron 
bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik. 
Kompetensi Kyai dalam bidang agama menempatkannya sebagai 
pemegang otoritas suci agama. Fatwa dan nasehat Kyai senantiasa 
dijadikan sebagai preferensi sosial-politik yang dipatuhi umatnya. 
Bahkan dengan otoritas kuasa dan moral yang dimilikinya, Kyai 
mampu menggerakkan masyarakat dalam menentukan pilihan 
politiknya.
Pemetaan Kyai Dalam Perubahan Sosial
Kyai dengan segala eksistensinya telah terjadi banyak 
pengembangan, bahkan pergeseran peran, baik dalam fungsi, 
tanggung jawab, kiprahnya, juga pada mindsetnya. Pada 
dasarnya kiprah kyai tidak hanya dilihat dari kegairahannya 
dalam mentransformasi nilai-nilai agama pada masyarakat, juga 
pada gigihnya dalam perjuangan social politiknya saja. Melihat 
sosok kyai, maka yang ada dalam benak kita adalah: Pertama, 
sebagai pendiri/pengasuh pondok pesantren, bahwa pesantren 
dapat dikatakan menjadi aspek yang hampir selalu ada dalam 
perkembangan masyarakat terutama yang menyangkut pengaruh 
kyai.5 Kyai pesantren adalah mereka yang aktifitas kesehariannya 
mengajar ilmu-ilmu agama didalam pesantren, baik dalam 
lembaga pendidikan formal maupun non formal dan program-
program pesantren lainnya. Kedua, sebagai guru tarekat, sebagai 
pemimpin kelompok pengajian. Ketiga, sebagai pembela ummat, 
sebagai da’i, dan lain-lain. 
Dalam konteks kyai sebagai da’i, kyai menjadi sosok 
sumber inspirasi bagi ummatnya, sehingga dalam totalitas seorang 
da’i harus profesional. Profesionalisme merupakan aspek penting 
dalam menampakkan kualitasnya. Seorang da’i awalnya muncul 
dari kalangan kyai dan santri, namun saat ini ada kecenderungan 
dikalangan masyarakat umum bahwa profesi ini lebih terbuka, 
artinya walau bukan kyai ada peluang untuk menjadi seorang 
da’i.6
Kyai sekilas tampak homogen, jika dilihat secara seksama 
ternyata amat variatif. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak 
faktor. Misalnya, dari perbedaan mereka dalam mempersepsi dan 
memahami ajaran agama itu sendiri, lingkungan di mana masing-
masing Kyai itu hidup dan dibesarkan, kondisi ekonomi, dan 
juga faktor sosial politik. Muncul dan berkembangnya berbagai 
aliran keagamaan di berbagai tempat adalah bukti bahwa selalu 
adanya perbedaan pemahaman, persepsi atau sudut pandang. Di 
kalangan kyai misalnya, muncul istilah kyai fikih, kyai tasawuf 
dan sebagainya.
Berangkat dari asumsi tersebut, kemudian melahirkan 
peta konsep tentang perkyaian, di mana kyai terpetakan dalam 
dua definisi, yakni: kyai karena “keturunan dan kyai karir”. kyai 
karena keturunan sebagaimana diungkapkan diatas merupakan 
sosok kyai yang secara genitis memang keturunan kyai besar baik 
ditingkat desa maupun dalam skala yang lebih besar, biasanaya 
kyai keturunan sudah dipersiapkan sejak kecil, sehingga orientasi 
keilmuannya dari awal sudah diarahkan untuk menguatkan 
posisinya kelak ketika sudah siap menjadi kyai. Hal ini dibangun 
agar masyarakat tidak kecewa ketika kyai tersebut telah tiada 
maka keturunannya telah siap dengan segala predikat kyai yang 
akan disandangnya. Kemudian kyai karir, secara genetis bukan 
keturunan kyai, namun karena memiliki ilmu agama yang cukup 
mapan dan dipupuk dengan bakat yang dimilikinya, maka dengan 
mudah ia memposisikan dirinya sebagai kyai. 
Saat ini kyai karir ini banyak diminati oleh masyarakat, 
sehingga ada ungkapan yang cukup menarik dari sebagaian 
masyarakat, bahwa untuk menjadi kyai cukup mudah yang 
penting punya pengetahuan agama, punya mushalla dan bisa 
ngajar ngaji. Peran keagamaan kyai di Indonesia cukup kompleks, 
yakni: pertama, sebagai pemimpin ritual keagamaan. Peran ini 
berangkat dari ketinggian tingkat relegiusitas masyarakat karena 
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, pelaksanaan ritual 
keagamaan merupakan bagian penting yang tak terpisahkan 
dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat lebih 
melihat pada fungsi agama sebagai ikatan solidaritas yang 
memberikan ikatan simbolik. Kedua, sebagai pendiri atau 
pengasuh pondok pesantren, penggambarannya adalah banyak 
berdirinya pesantren yang tersebar disetiap pelosok di Indonesia, 
baik pesantren kecil maupun pesantren besar. Disadari ataupun 
tidak, ketika seseorang memutuskan memilih pondok pesantren, 
maka yang jadi pertimbangan pertama adalah kyai yang mengasuh 
pesantren tersebut. Konsep kepemimpinan dalam pesantren 
adalah konsep mata rantai yang terus bersambung, artinya 
konsep tersebut menganggap sebagai sebuah aspek integral dalam 
kepranataan spiritual. Untuk itu santri akan sangat menjunjung 
tinggi berkah dari kyai.7 Ketiga, sebagai guru/pemimpin tarekat, 
para pemimpin tarekat merupakan kyai yang memiliki pengaruh 
besar dan memiliki jamaah cukup banyak.
Perkembangan selanjutnya, ketika bermunculan asumsi 
dari sebagian masyarakat yang mulai berani mengkritisi sosok 
kyai, bahwa kyai dahulu sangat berbeda dengan kyai sekarang. 
Dulu, masyarakat tidak akan berani melontarkan kalimat kritik, 
karena dianggap sangat tidak sopan. Namun saat ini ungkapan 
tersebut bukan lagi menjadi hal yang tabu untuk dilontarkan. 
Fenomena tentang keberanian ini menjadi layak dipertanyakan, 
apakah memang benar-benar telah terjadi perubahan yang 
signifikan terhadap sosok kyai atau dari masyarakatnya yang sudah 
mampu berfikir kritis tentang perkembangan kondisi sosialnya?. 
Di samping itu faktor perubahan sosial secara signifikan sangat 
7 Jika pesantren ditempatkan sebagai lembaga kekuasaan, maka 
strategi perubahan dalam pesantren merupaka jaringan kelompok dan 
individuyang saling terkait dalam hubungan atas bawah, yakni kyai 
dan santri. Karena itu setiap upaya melaksanakan perubahan perlu 
memobilisasi dan memanipulisasi kekuasaan terhadap orang lain. 
Strategi kekuasaan merupakan rencana untuk mengiring perubahan yang 
mengakui fakta mendasar dalam kehidupan soasial. Maka hal ini menjadi 
stategi kekuasaan versus sikap, terutama sikap-sikap yang terjadi dalam 
keseharian. 
berdampak cukup kritis dalam melahirkan persepsi yang berbeda 
dari sebelumnya, dimana studi tentang perubahan sosial akan 
melibatkan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang menunjuk 
pada wilayah terjadinya perubahan sosial serta kondisi yang 
melingkupinya. Dimensi ini mencakup pula konteks historis yang 
terjadi pada wilayah tersebut, sedangkan dimensi waktu meliputi 
konteks masa lalu (past), sekarang (present) dan masa depan 
(future).8
Kemudian jika dianalisa lebih jauh maka akan muncul 
pertanyaan yang paling mendasar, dimanakah letak perbedaan 
tersebut? Bila akhirnya faktor keterlibatan kyai dalam 
dunia politik dianggap biangnya, bukankah kyai berpolitik 
bahkan terlibat dalam politik praktik itu sejak masa sebelum 
kemerdekaan telah banyak mewarnai percaturan dunia politik. 
Dalam konstelasi sejarah di Indonesia, kyai telah banyak 
melakukan pergerakan bahkan perjuangan, salah satunya 
melalui peran politiknya dengan mengusung berbagai partai-
partai Islam. Namun persoalannya jika dulu kyai berpolitik 
karena memiliki musuh bersama dan juga musuhnya cukup jelas 
yakni kolonialisme, kemudian berlanjut pada masa orde baru. 
Maka saat ini perjuangan kyai yang dihadapi bukan lagi musuh 
bersama ataupun musuh yang jelas. Kyai dihadapkan pada dunia 
kapitalisme dan modernisme, yang sebagian kecil kyai menjadi 
bagian dari itu semua. Budaya tersebut cenderung menjadikan 
masyarakat menjadi individualistik karena mengagungkan 
tehnologi dan rasionalitas, padahal tindakannya berada  level 
irasional. 
Demikian juga kapitalisme, karena ulahnya seringkali 
menghilangkan nilai-nilai solidaritas sosial yang sejak dulu telah 
tertanam dalam dalam masyarakat. Akhirnya, karena masing-
masing individu sibuk mengurusi diri sendiri maka semangat 
solidaritas menjadi terkikis. Arus modernisasi ini kemudian 
dibendung oleh tokoh-tokoh posmodernisme, sehingga melahirkan 
teori-teori posmodernisme, seperti: Antony Giddens, Foucault, 
Boudrillard dan lain-lain. Mereka mencoba menelanjangi 
fenomena masyarakat modern, sehingga studi posmodernisme 
cenderung dilihat sebagai studi yang bersifat reflektif. Boudrillard 
menilai bahwa masyarakat modern menjadi terjerumus pada 
masyarakat konsumtif. Masyarakat konsumtif memiliki 
kebutuhan-kebutuhan yang membawanya menuju pada objek yang 
memberinya kepuasan, walaupun pada akhirnya manusia tersebut 
tidak pernah merasa puas.9 Manusia modern lebih tertarik untuk 
membeli merk, bukan dari nilai dan kemanfaatannya. Semuanya 
diarahkan pada konsep penyeragaman karena faktor gaya hidup 
dan citra yang diarahkan oleh iklan. Terjadinya perubahan sosial 
masyarakat disebabkan proses berlangsungnya transformasi dari 
masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang diikuti oleh 
berbagai implikasi di bidang ekonomi, geografis, budaya, dan 
psikologisnya, baik secara individu maupun kelompok. Kiprah 
seorang kyai kemudian mau tidak mau harus terbentur dengan 
budaya masyarakat hedonis tersebut. Perjuangan kyai dituntut 
untuk lebih fleksibel dan akomodatif, namun juga diperlukan 
strategi dinamis agar dakwah agamanya bisa diterima dengan 
mudah oleh masyarakat.
Secara historis, kyai menjadi bagian sosok agamawan 
yang posisinya cukup dipentingkan dalam konteks berbagai 
pertimbangan-pertimbangan menyangkut kebijakan, apalagi 
kebijakan yang melibatkan masyarakat, terutama bila 
berhubungan dengan kebutuhan gerakan-gerakan maupun 
mobilisasi. Maka kyai dinilai dan ditempatkan  sebagai penentu 
maju dan tidaknya sebuah peradaban. Oleh sebab itu, kemajuan 
selalu identik dengan perubahan, kemudian muncul tudingan 
apakah kyainya terlebih dahulu yang harus berubah ataukah 
masyarakatnya. Tudingan tersebut kemudian ditempatkan dalam 
berbagai kepentingan ketika kyai selalu ditempatkan sebagai 
penjaga tradisi yang harus stagnan dan tidak dinamis, sehingga 
benturan-benturan perubahan sosial harus dihadapi atas nama 
agama. Atau sebaliknya, kyailah yang harus berada di garda 
paling depan untuk menyesuaikan dengan berbagai pergolakan 
perubahan akibat tuntutan zaman.
Posisi tersebut menjadikan kyai berada dalam kondisi 
yang cukup dilematis. Zamakhsyari Dhofier menjembatani 
dilema tersebut, bahwa kyai memandang tradisi dan modernitas 
sebagai dua entitas yang perlu bersatu untuk kebutuhan umat 
Islam menuju masa depannya, dengan berpegang pada azas ‘al 
muhafadhoh ‘alal qadimil ashlah wal  ahdzu min jadidin nafi’ 
(menjaga tradisi lama yang lebih baik dan menambah ilmu 
pengetahuan yang baru yang bermanfaat).10 Hal tersebut berarti 
seorang kyai dituntut untuk memiliki strategi dakwah yang bijak, 
konsisten dan mampu merespon perkembangan zaman akibat 
perubahan sosial.
Modernisasi menjadi hal yang tidak terbantahkan 
dengan beberapa fakta yang telah ada di Indonesia. Fenomena 
ini menjadi babak tersendiri bagi para kyai, ketika kyai hanya 
diidentikkan sebagai pemangku masjid dan madrasah, pengajar 
dan pendidik, serta ahli dan penguasa hukum Islam, maka 
kemudian harus berhadapan dengan beragamnya pemahaman 
baru yang merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakatnya. 
Kyai dituntut untuk melakukan berbagai terobosan-terobosan 
baru dalam menyampaikan nilai-nilai agama sehingga tidak 
terjebak dalam kebekuan tradisi dan tidak terhanyut dalam arus 
modernisasi.
Pengkultusan  dan Benturan Peran Ganda Kyai
Sebagai pusat dakwah, kyai cukup memiliki banyak andil 
dalam membentuk kehidupan bermasyarakat, hal tersebut sangat 
berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah sejak zaman kolonial 
belanda hingga saat ini. Demikian halnya dengan peradaban 
Indonesia modern, bahwa ujung tombak pembangunan peradaban 
melayu nusantara terdapat pada eksistensi kyai itu sendiri. 
Kyai menjadi aktor utama dari segala konsepsi 
sosial agamanya sekaligus menjadi institusi yang menjadi  
penyebarannya, sehingga kyai memiliki pengaruh yang cukup 
signifikan terhadap perkembangan sosial, politik dan ekonomi 
terutama bagi masyarakat lokal. Dapat dikatakan bahwa kyai 
beserta pengaruh di dalamnya menjadi pembentuk sistem dalam 
pola kehidupan masyarakatnya, selain itu juga dapat menjadi 
penentu budaya. 
Penghormatan dan pengagungan terhadap kyai 
merupakan tradisi yang diwarisi oleh masyarakat tradisional, 
sehingga kemudian muncul pembelaan-pembelaan yang luar 
biasa dari masyarakat terutama santri terhadap pengamanan 
sang kyai.11 Sikap heroik tersebut sebagai bentuk bakti, khidmat 
dan loyalitas yang tinggi terhadap sang kyai.
Saat ini kyai tidak hanya dominan dalam perkembangan 
sosial keagamaan masyarakat, namun juga terlibat dalam politik 
dan birokrasi. Peran ganda ini seringkali berpengaruh besar 
terhadap manajemen waktu, tenaga bahkan dalam pemikiran 
kyai, sehingga baik kyai maupun masyarakat yang tidak siap 
akan mengalami keterkejutan dalam hal pemahaman kondisi 
sosialnya. Maka kemudian yang menjadi pertanyaan besar 
adalah: Bagaimana pergeseran peran kyai tersebut berlangsung 
sehingga melandasi motivasi kyai dalam pilihan peran 
gandanya?, Bagaimana para kyai yang terlibat peran ganda 
tersebut menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah tuntutan 
masyarakat yang semakin kompleks? Dan Bagaimana masyarakat 
menempatkan sosok kyai yang menjalankan peran ganda dalam 
sosial kultural masyarakat yang juga mengalami perkembangan 
dalam berbagai sektor?
Kehadiran Kyai ini diharapkan akan dapat memberikan 
kesejukan dan kedamaian serta dapat mendinginkan panasnya 
arus politik dan menjadi moral force dalam kehidupan 
perpolitikan dan jalannya pemerintahan di Indonesia. Disisi lain 
adapula sebagian masyarakat yang mengaharapkan peran kyai 
atau elit agama berperan lebih signifikan agar dapat mengatasi 
persoalan-persoalan dan krisis yang terjadi di Indonesia.
Sebagian kyai punya peran ganda sejak dulu itu sudah 
ada, lalu apakah saat ini peran ganda tersebut kemudian menjadi 
persoalan?. Namun jika simbol kyai yang sakral dan sangat 
dihormati oleh umat menjadi hilang begitu saja karena terlibat 
dalam permainan politik dan kekuasan itu menjadi persoalan, 
maka dalam politik kyai akan memainkan peran moral yang 
terkait dengan kepentingan umum ke berbagai saluran politik,baik 
langsung maupun tidak langsung. 
Pada dasarnya realitas ini juga terjadi pada masa sebelum 
kemerdekaan, kyai punya peran penting dalam perlawanan 
penjajahan terutama dalam pembentukan Negara Republik 
Indonesia, sehingga kyai menjadi simbol solidaritas perjuangan 
ummat. Maka dalam konstelasi sejarah di Indonesia dapat 
dipahami bahwa kyai dengan social politiknya tidak dapat 
dipisahkan secara ekstrem. Namun bagaimana maneuver politik 
kyai saat ini? Apakah muatannya beriringan dengan perjuangan 
sebelumnya? Hal ini berlaku juga dalam percaturan perkyaian di 
Indonesia, di mana adanya rekonstruksi politik telah menggeser 
garis perjuangan kyai seiring dengan perubahan dan perkembangan 
politik tanah air. Kyai pun mulai merambah wilayah politik dengan 
segala manuver politik dukung- mendukung (legitimasi) yang 
seringkali dinamai dengan istilah memberi restu atau silaturahim. 
Proses ini karena adanya simbiosis mutualisme untuk interest 
tertentu demi mendapatkan bagian dari kekuasaan atau minimal 
mendapatkan bantuan dari elit politik yang didukung. Sementara 
elit politik akan mendapatkan legitimasi moral keagamaan dari 
kyai.
Namun bagaimanapun juga, para kyai telah melestarikan 
dirinya bukan saja sebagai pemimpin non formal, tetapi sebagai 
institusi yang kritis terhadap kekuasaan yang ada, dan fungsi kritis 
tersebut akan tetap bertahan jika kyai tidak masuk dalam ranah 
kekuasaan formal birokrasi. Agama dan kyai menjadi institusi 
sosial yang mampu mengikat dalam sistem simbol kebersamaan 
dan membantu menumbuh kembangkan rasa solidaritas, sehingga 
agama menjadi landasan dalam melakukan gerakan-gerakan 
sosial. Kepercayaan terhadap kyai dibandingkan pada pemimpin 
lainnya menurut Bouwsma (1998) dipandang bahwa orientasi 
penduduk pedesaan adalah kyai, bukan pada kepemimpinan 
birokrasi. Hal itu karena kyai memiliki kharisma tersendiri 
yang hampir tidak dimiliki oleh kepemimpinan yang lainnya. 
Taufik Abdullah12 menganalisi tesis Weber, bahwa Islam memiliki 
keistimewaan keabsahan dari kebenaran dogma yang ditentukan 
oleh konsensus para ulama sebagai tokoh agama. Maka Islam 
merupakan agama yang oleh kelompok status tertentu, seperti 
dalam perang agama, di mana bagi sebagian para prajurit adalah 
untuk mendapatkan ghanimah. Karena itulah kelas sosial dalam 
Islam berorientasi pada kepentingan feodal, artinya ada jaringan 
sosial antara patron dan klien, maka muncullah prestise sosial.
Jadi, Weber beranggapan bahwa struktur patrimonial 
yang berlandaskan kharisma penguasa adalah faktor utama 
dari sistem budaya agama Islam, sehingga diperlukan penguasa 
kharismatik dan keramat untuk menjadi pemimpin atau penguasa. 
Sedangkan penguasa yang bercorak tersebut harus pintar menjaga 
kehormatan dan kepercayaan umatnya. 
Ketika seorang kyai terlibat dalam politik kekuasaan, 
maka akhirnya muncul juga sebutan kiai politik. Hal ini 
mengindikasikan bahwa masyarakat punya penilaian tersendiri 
tentang sosok kyai dengan segala perannya, atau juga  untuk 
membedakan antara kyai yang terlibat politik dengan yang tidak 
terlibat. Disadari atau tidak, bahwa keterlibatan kyai dalam dunia 
politik  menyebabkan semakin memudarnya kharisma seorang 
kiai di mata umatnya. Ekses negatif ini tentunya  dirasakan 
oleh kiai yang terlibat dalam perpolitikan, akan tetapi hampir 
seluruh kiai menerima imbasnya. Para kiai yang tidak berpolitik 
pun merasakan lunturnya loyalitas yang dahulu sudah terpatri 
dan tertanam sangat kuat. Namun ada anggapan dari sebagian 
masyarakat yang menilai positif keterlibatan kyai dalam dunia 
politik, mereka berasumsi bahwa masuknya kyai dalam percaturan 
politik diharapkan dapat menekan berbagai penyelewengan 
kekuasaan dan lebih mempermudah menjembatani persoalan-
persoalan umat. Sebaliknya,  peran ganda kyai dalam dunia 
politik dinilai telah menyalahi koridor dan filosofi masyarakat. 
Bagi sebagian kyai yang masuk dalam ranah politik, bahwa 
keterlibatannya bukan tanpa alasan, karena faktor historis cukup 
kuat untuk seorang kyai untuk harus terlibat dalam politik, bagi 
mereka Nabi Muhammad SAW adalah sosok negarawan sebagai 
kepala Negara, dimana dalam tugas sucinya adalah sebagai 
pembawa risalah. Demikian juga Keterlibatan kyai dalam pentas 
politik di Idonesia sejak, dimana sejak zaman Kesultanan Mataram 
dan pada masa penjajahan Belanda, kyai mempunyai peranan 
penting dalam perjuangan Hizbullah dan Sabilillah dimana 
pesantren menjadi tempat pelatihan para pejuang. Demikian 
juga dalam perjuangan kemerdekaan, para kyai banyak terlibat 
memperjuangkan meraih kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut 
berarti, secara ideologis ajaran Islam melingkupi tidak hanya 
pada aspek ritual dan moral saja, tetapi juga pada nilai-nilai 
semua sisi kehidupan – baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, 
hukum, sosial, maupun persoalan politik. 
Semestinya Kyai sah-sah saja berpolitik, namun tidak 
diorientasikan pada kekuasaan, melainkan menanamkan nilai nilai 
moral untuk pencerdasan dan penguatan umat dan masyarakat. 
Dalam konteks ini, kekuasaan dipahami sebagai kualitas, kapasitas 
atau modal untuk mencapai tujuan tertentu dari pemiliknya. 
Foucault tidak menolak cara pandang semacam ini, tapi hal itu 
tidak cukup untuk memahami praktik penundukan yang tak kasat 
mata. Pandangan yang lebih kritis tentang kekuasaan muncul 
dalam kajian budaya. Konsep Gramsci tentang hegemoni sering 
digunakan untuk membongkar kemapanan budaya dalam proses 
dominasi yang terselubung. Dalam penjelasan yang lebih canggih, 
kekuasaan bekerja melampaui cara-cara hegemonik, yang mana 
hal ini dikonsepsikan Foucault sebagai governmentality.
Kyai mengemban amanah kekuatan kultural yang selalu 
mengingatkan para pemimpin, sekaligus menegaskan perannya 
untuk secara etis-profetik mengawal kepentingan umat dalam 
kehidupan sehari hari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka 
peran kyai akan tetap membumi di masyarakat. Pada akhirnya, 
moralitas kyai tidak menjadi sekedar bahasa isoterik belaka, tetapi 
dapat menjadi bahasa dan perjuangan politik demi mewujudkan 
kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian bagi umat. Walaupun 
pada akhirnya pembangunan, industrialisasi dan modernisasi 
dijadikan alasan keterlibatan berbagai elemen termasuk di 
dalamnya peran kyai, namun menjaga tradisi dan nilai-nilai 
hidup harus tetap menjadi program yang beriringan, agar tidak 
mengakibatkan ekses negatif yang harus diterima masyarakat. 
Sebagaimana digaungkan Sunyoto Usman, bahwa semestinya 
gerakan keagamaan berorientasi pada pemeliharaan tradisi lokal 
dengan berpegang pada proses internalisasi ajaran agama dengan 
tidak harus menghancurkan nilai-nilai sosial yang hidup dalam 
kultur lokal, agar tidak terjadi kebangkitan resistensi pada ajaran 
agama yang diintroduksi.13
Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai 
bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang di mana 
kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai 
sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk 
rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasi 
mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, 
kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah 
efeknya. Arkoun14 memberikan perbedaan yang jelas antara 
wewenang dan kekuasaan dalam Islam. Wewenang muncul 
dalam hubungan pribadi tanpa ada kendala fisik atau hukum. 
Wewenang merupakan keterikatan sementara seorang individu 
atau kelompok pada kata-kata dan tingkah laku seorang individu 
lain yang menbawahkan dirinya sendiri terhadap tujuan-tujuan 
mereka yang mengikutinya. Seperti, kehadiran Nabi Muhammad 
sebagai yang berwenang dalam agama, maka beliau menjadi 
pemimpin ummatnya. Sedangkan kekuasaan berada diluar 
yang dikuasai, bergantung pada tempatnya bertopang, apakah 
pada wewenang atau pada kendala. Kekuasaan menimbulkan 
persatuan dan ketaklukan bagi mereka yang ditundukkan. Maka 
kyai sebagai tokoh agama ditempatkan sebagai orang yang 
mempunyai kekuasaan, dimana mereka memiliki kekuasaan 
untuk menilai, memutuskan sejauh batas melakukannya atas 
nama tatanan. Hal ini merupakan gabungan dari paksaan, 
pengaturan alam semesta wewenang dan daya.
Bagaimanapun juga,  peran sosial politik kyai dalam 
sosial politik yang tumbuh dan berkembang khususnya pada 
masyarakat industrialisasi saat ini, akan selalu melibatkan 
persinggungan wacana antara agama dan politik. Selain itu, 
kenyataan emperik juga mengilustrasikan perpaduan antara 
agama dan politik ini seperti terlihat pada peran-peran yang 
dimainkan sejumlah kyai dalam panggung politik praktis paling 
tidak selama beberapa dekade terakhir. Di antara efek sosial dari 
peran ganda yang ditimbulkannya adalah adanya pergeseran 
kecenderungan masyarakat  dari tradisional ke modern.
Namun selama masih dalam kendali karidor keagamaan, 
dan juga selama kyai masih dapat menjaga ketokohannya, maka  
masyarakat juga  masih kuat beranggapan bahwa secara normatif, 
kyai tetap dipandang sebagai sosok kharismatik yang memainkan 
peran-peran sosialnya secara signifikan. Kyai  masih ditempatkan 
sebagai sumber fatwa dan sumber inspirasi kebajikan  ketika 
masyarakat berada di simpang  jalan di antara pilihan-pilihan 
politik yang membingungkan. Sementara di sisi lain, fenomena 
perubahan-perubahan struktur kognisi kyai berkenaan dengan 
peran-peran sosial politik tersebut berkaitan erat dengan persepsi 
teologis yang dianutnya. 
Jadi, untuk menempatkan seputar dilema tarik-menarik 
antara peran ganda kyai dalam rentang kehidupan sosial-
politik dan agama, maka juga yang menjadi pertimbangan 
adalah sejarah kerangka teologis yang berakibat pada aksi 
sosial politik yang dihasilkannya. Maka jika ditelusuri lebih 
detail akan menghasilkan pemahaman, pertama: bahwa ada 
kecenderungan kyai akan terlibat dalam urusan politik untuk 
menempatkan urusan ummat dalam panggung politik praktis 
dengan asumsi, politik sebagai kendaraan paling praktis. Dalam 
hal ini biasanya kyai memahami betul konsekuensi yang ia terima, 
yakni berkurangnya peran sosial keagamaannya, sehingga ia 
mengantisipasi dengan menempatkan sanak keluarganya untuk 
menangani peran tersebut, sehingga kyai bisa lebih fokus pada 
urusan politik, kedua:  kyai yang memandang ringan dan lebih 
fleksibel pada urusan politik praktis, baginya politik hanyalah 
menjadi kepentingan sesaat dan menjadi batu loncatan dalam 
kepentingan pragmatis semata, ketiga: kyai yang konsisten untuk 
tidak bersinggungan dengan urusan politik.
Adanya pemahaman yang melatarbelakangi klasifikasi 
peran kyai kemudian melahirkan konsekuensi logis terhadap 
persepsi masyarakat tentang sosok kyai. Menjamurnya partai-
partai politik yang bernuansa agama juga tidak lepas dari 
asumsi masyarakatan tentang keseriusan kyai untuk lebih jauh 
terlibat dalam dunia politik. Maka tidak salah jika kemudian ada 
penggambaran masyarakat tentang sosok “kyai partai”.  
Oleh karena itu, kajian tentang peran sosial dan politik 
kyai dalam perspektif historis-teologis menarik untuk dikaji 
lebih mendalam, mengingat urgensi kedalaman tersebut akan 
menghasilkan pemetaan kyai yang lebih komprehensif. Kajian 
historis-teologis merupakan unsur yang sangat penting untuk 
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan 
kerangka persepsi yang menjadi dasar pembentukan struktur 
kognisi yang dimilikinya. 
Maka sudah semestinya sosok kyai muncul dari sebuah 
pengembangan kepribadian yang terbuka dan memiliki komitmen 
yang tinggi dalam kapasitasnya sebagai elemen seorang tokoh 
agama, sehingga mampu melampaui batas-batas primordialisme 
namun tetap berdiri di atas kapasitas intelektualnya.  Ada  juga 
perubahan tertentu yang kadang salah dan dikaitkan dengan 
modernisasi. Hal tersebut disebabkan tidak semua modernisasi 
menjadi seperti semodern barat, itu karena pola modernisasi 
berbeda-beda. Tradisi dapat berubah tanpa modernisasi, demikian 
juga modernisasi dapat terjadi tanpa perubahan mendasar dalam 
tradisi. Unsur-unsur tradisi yang tertanan dalam ketokohan kyai 
dan kantong-kantong kebudayaan dapat dipertahankan dalam 
masyarakat modernisasi, karena unsure-unsur tradisional tesebut 
dapat menyediakan landasan yang kuat dalam memetakan 
modernisasi.
Simpulan
Masyarakat Indonesia dikategorikan sebagai masyarakat 
yang memegang teguh nilai-nilai spiritualitas agama dan tradisi 
hidup, maka kekuasaan di tanah air ini tidak lepas dari tokoh 
agama yakni kyai. Kyai mempunyai tanggung jawab secara 
Kyai, Perubahan Sosial Dan Dinamika Politik Kekuasaan 
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015174
horizontal ditingkat sosial masyarakatnya karena memiliki 
integritas moral yang legitimate. Proses legitimasi tersebut 
tidak datang begitu saja, tapi ditentukan oleh bagaimana 
kiprahnya dalam mengabdikan hidupnya dalam kehidupan 
kemasyarakatan. Maka kiprah tersebut melahirkan “charisma”, 
di mana ketokohannya melebihi seorang tokoh dalam sektor 
formal. Namun tidak seharusnya kharisma tersebut menjadi 
luntur hanya karena sektor formal mengalahkan eksistensi sosok 
kyai.
Kemudian ketika eksistensi kyai dibenturkan dengan 
kondisi riil masyarakat saat ini yang dihadapkan dengan 
berbagai benturan modernisasi, globalisasi dan industrialisasi, 
sepertinya para elit agama perlu melakukan terobosan sehingga 
elemen masyarakat tidak mengalami “shock culture”. Ini 
menjadi pembelajaran yang cukup berarti ketika Negara Turki 
dan Mesir sebagai pusat intelektual Islam dianggap tidak 
mampu mengembangkan pemahaman baru terhadap hukum dan 
peradaban Islam melalui pendidikan yang representatif, akibatnya 
ketika negara tersebut menjadi modern, maka masyarakat Mesir 
jatuh pada pilihan yang pragmatis dengan mengadopsi tradisi-
tradisi barat secara mentah.15 Demikian halnya dengan Turki 
dengan sekularisasi dan modernisasinya mengalami keterputusan 
kultural masa lalunya. Akibatnya Turki menjadi terjebak dalam 
dimensi masa lalu (taklid) dan dimensi masa depan (ijtihad), 
dalam arti mau bernostalgia dengan masa lalu tertutup oleh huruf 
dan bahasa, namun merengkuh dan berkompetisi dengan masa 
depan kalah bersaing dengan Eropa. Tidak halnya dengan Jepang 
walaupun negara tersebut canggih dalam industrialisasinya 
namun tetap sinergis dengan masa lalunya.
Karena kyai sebagai elit agama merupakan pemimpin 
polymorphic, di mana dalam kepemimpinannya membawahi 
bidang agama dan sosial, maka figurnya menjembatani masyarakat 
dalam membangun kapital sosial yang bernilai produktif 
dengan tetap berani menunjukkan nilai-nilai kebenaran yang 
berlandaskan agama. Kyai sebagai tokoh agama ditempatkan 
pada posisi sentral, hal ini menjadi illustrasi tentang pandangan 
positif  yang melekat padanya sebagai pengemban moral dan 
agama dengan sarana kelas kekuasaan yang selalu bertahan. 
Akhirnya upaya untuk mengembalikan peran sosial-
keagamaan kyai merupakan strategi sosial yang harus 
diupayakan, apalagi untuk membentengi masyarakat dengan 
nilai-nilai agama Islam akibat derasnya arus industrialisasi dan 
percepatan transformasi sosial. Kekuasaan kyai diorientasikan 
untuk menggalang perubahan sosial yang mampu memperkokoh 
posisi sosialnya  masyarakat. Bagaimanapun juga, kyai tetap 
harus berada dan membela tradisi kultural dan agama, dan jika 
kehilangan kekuatannya akibat dari berbagai strategi-strategi 
politik maka otoritas kyai menjadi luntur. Kyai membangun 
kharisma dan kekuasaannya melalui proses yang tidak mudah 
diikuti oleh berbagai kalangan. Mulai dari penggalian ilmu 
agama, manajemen sosial dan kepemimpinan, sampai pada 
ketahanan memelihara statusnya. Karenarnya adanya kesadaran 
bahwa perjuangan kiai berangkat dari otoritas kultural dan 
agama menjadi penting untuk dipahami bersama, untuk itu 
orientasi perjuangannya juga  harus diorientasikan dalam rangka 
transformasi sosial masyarakat dan bukan dalam pertarungan 
di medan politik yang seringkali menciptakan konflik dan 
disintegrasi sosial yang berkepanjangan. 


Dalam perkembangan kajian teori sosial, kehadirannya 
menjadi titik dasar dari proses kajian yang muncul 
pada kerangka akademik studi sosiologi. Teori sosial 
merupakan manifestasi dari berbagai macam pendekatan 
yang bisa dipergunakan untuk membedah varian-varian 
dari dinamika kajian yang ada pada studi sosiologi. 
Besarnya peranan dari teori sosial ini mengukuhkan 
eksistensinya sebagai instrumen dasar pada bangunan 
analisis kajian sosial yang hadir dalam studi sosiologi. 
Hal ini pula yang bisa disandarkan kepada analisis 
tentang manifestasi konflik dalam dinamika kehidupan 
masyarakat. Analisis konflik pada realitas kehidupan 
sosial menjadi fakta yang cukup mengesankan untuk 
dikaji dalam rangka menempatkan situasi sosial 
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada 
kerangka dasar data yang tepat serta mengarah kepada 
posisi impelementatif dari perwujudannya. Konflik 
yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat 
merupakan bagian dari pembentukan masyarakat itu 
sendiri. Untuk itulah, mengamati fenomena munculnya 
konflik beberapa sosiolog membangun asumsi beragam. 
Bagi seorang ahli yang melihat masyarakat dari nilai-
nilai internal kehidupan mereka, maka pengembangan 
teori sosial berbasis sosiologi mikro dikembangkan. 
Namun, bagi mereka yang melihat masyarakat dari 
aspek terluar, atau wilayah makro, maka kajian 
sosiologi makro dipergunakan. Pada kerangka ini, 
baik Marx dan Simmel sebagai penggagas analisis 
tentang konflik mencoba memotret fenomena ini dari 
dua sudut pandang. Marx ingin melihat masyarakat 
dalam perjuangan kelasnya. Sementara itu, Simmel 
melihat bahwa pada pertumbuhannya, konflik itu 
memberikan fungsi pengembangan dalam masyarakat 
yang bersifat lunak. Manifetasi konflik dipersepsikan 
oleh Marx dan Simmel mampu menembus sistem sosial 
dalam masyarakat. Kedua tokoh ini pada ujungnya 
menjelaskan tentang bipolaritas konflik yang dibangun 
oleh masing-masing. Marx menjelaskan manifestasi 
konflik sebagai usaha memecah stabilitas sosial dengan 
pembentukan masyarakat komunis. Sementara itu, 
Simmel menjelaskan bahwa konflik merupakan interaksi 
yang bisa menghasilkan integrasi melalui kompromi 
sosial.
Kata kunci: Dinamika Sosial, Konflik, Dialektika, 
Bipolaritas
Embrio Konflik dalam Kehidupan Sosial
Dalam realitas kehidupan sosial, konflik seringkali 
menyeruak sebagai hakikat yang dikonotasikan negatif. 
Terlepas dari asumsi yang muncul ini hanya sebagai hipotesis 
dalam menganalisis fenomena sosial, namun tetap saja 
eksistensi konflik masih juga didudukkan sebagai entitas yang 
memilukan bagi pribadi-pribadi yang menganalisisnya dari 
linearitas sudut pandang. Tidak dapat dipungkiri, persepsi 
yang mengemuka dari para pakar khususnya para sosiolog 
pun menguraikan probabilitas eksistensi ini. Deskripsi tentang 
polemik sudut pandang dasar konflik tergambar melalui 
perspektif yang dibangun Turner1 berikut:
Conflict is thus designed to resolve dualism: it is a way 
to achieving some kind of unity, even if it be through 
the annihilation of one of the conflicting parties. This 
is roughly parallel to the fact that it is the most violent 
symptom of a disease which represents the effort of the 
organism to free itself of disturbances and damages 
caused by them.
Senada atas pernyataan Turner di atas, Wes Sharrock 
dalam Pip Jones2 menjelaskan bahwa pandangan konflik di 
bangun atas dasar asumsi bahwa setiap masyarakat dapat 
memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang 
tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena kebanyakan 
orang tertindas ditekan. Oleh sebab itu, perbedaan kepentingan 
dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan 
atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagian besar masyarakat 
diorganisasi  sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak 
hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warga 
berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak 
mendapatkan kemudahan.
Konseptualisasi dari konflik sebagaimana dijelaskan 
oleh Turner di atas menunjukkan bahwa secara realistis konflik 
dapat saja berimplikasi kepada ketidaknyamanan pada suatu 
perspektif, namun pada sisi lain hakikatnya merupakan antitesis 
yang bisa menimbulkan solusi atas suatu problematika sosial. 
Banyak usaha sejatinya diuraikan oleh para pemerhati studi 
atas konflik. Nilai-nilai yang bisa diungkap sebagai kontribusi 
positif dari fenomena ini seutuhnya disampaikan guna 
menguatkan bahwa tidak ada nilai absolut yang mengarah 
kepada aspek negatif kemunculan konflik dalam realitas 
sosial. Para pemerhati teori konflik menurut Wallace dan Wolf3 
berkeyakinan bahwa analisis sosial yang mereka kembangkan 
tidak akan menjauhkan dari komitmen moral yang disepakati 
oleh publik. Asumsi yang mereka bangun adalah eksistensi teori 
yang dikembangkan ditujukan seutuhnya untuk menciptakan 
perubahan dan pencapaian terhadap realitas yang lebih baik. 
Keyakinan mereka senantiasa dibangun bersandar kepada 
hakikat bahwa objektivitas merupakan sebuah posibilitas 
semata. Ilmu sosial dalam pandangan mereka akan berjalan 
di antara ruang dan waktu kerja seorang penulis yang 
senantiasa diperankan kepada dirinya fungsi-fungsi sosial 
yang mengitari. Dalam perspektif lain dapat dijelaskan bahwa 
para pakar teori konflik akan menolak paradigma keilmuan 
umum yang senantiasa mengukuhkan diri dan paradigma yang 
dikembangkan sebagai satu-satunya objektivitas.
Berpijak kepada probabilitas sosial yang akan muncul 
dalam realitas kehidupan, Turner4 menjelaskan bahwa 
munculnya beberapa kecenderungan kelompok pada sistem 
sosial, hal itu akan mengakibatkan munculnya target-target 
tertentu dalam eksistensi masing-masing. Kemunculan 
dari fakta ini, yakni timbulnya kesadaran dari masing-
masing individu tentang goal-goal tertentu yang diinginkan 
dapat mengerupsikan konflik itu sendiri. Sejatinya, fakta 
kesepahaman dari unsur-unsur individu dalam realitas sosial 
merupakan titik keseimbangan equilibrium yang ingin dicapai, 
namun hakikatnya, perjalanan sosial itu akan berdialektika 
dalam dimensi-dimensi yang senantiasa mengiringinya. 
Pembahasan tentang akar konflik dalam kajian sosial 
tidak bisa dilepaskan dari periodisasi kemunculan dinamika 
ini dalam kehidupan masyarakat Eropa. Sebagaimana 
catatan Sanderson5 disebutkan bahwa sistem kehidupan 
ekonomi yang berlaku di Eropa Barat dari sekitar runtuhnya 
Kekaisaran Romawi sampai datangnya kapitalisme modern, 
dikenal sebagai feodalisme. Feodalisme merupakan ciri khas 
masyarakat Perancis, Jerman, dan Inggris. Meskipun demikian, 
feodalisme juga terdapat di belahan lain di Eropa Barat. Unit 
dasar produksi ekonomi dalam masa feodalisme adalah 
manor (suatu daerah tertentu biasanya dikelilingi hutan, di 
dalamnya terdapat pemerintahan kecil yang dipimpin seorang 
bangsawan). Manor dikelola oleh tuan tanah dan digarap 
oleh sejumlah petani. Rata-rata petani menggarap sekitar 
30 are yang sekaligus merupakan tanah tempat tinggal dan 
pertaniannya. Sedangkan tanah yang dikuasai langsung oleh 
tuan tanah untuk kepentingannya sendiri disebut tanah pribadi 
(demesne). Hubungan antara tuan tanah dan petani sangat 
tidak seimbang dan merugikan petani. Petani harus bekerja 
pada tuan tanah di tanah pribadinya, sementara di lain pihak 
petani juga harus membayar upeti. Misalnya, petani wajib 
memberikan hasil-hasil pertanian tertentu dan membayar bea 
seperti bea penggunaan alat pemeras anggur, tungku pemanas, 
atau penggiling.
Fenomena yang terjadi dari periode kemunculan 
konflik di masyarakat Eropa sebagaimana digambarkan oleh 
Sanderson di atas menunjukkan bahwa pada tingkatan tertentu 
dari kesepakatan yang ada di masyarakat tentang struktur 
sosial, pada saat itu pula sebenarnya mereka sedang berbincang 
dengan konflik itu sendiri. Pada kerangka dasar inilah Pip 
Jones (2009: 13) menjelaskan bahwa pengaruh terpenting 
dalam kehidupan sosial adalah distribusi keberuntungan 
dan dampaknya pada perilaku. Apabila keberuntungan itu 
tersebar secara tidak merata, kesempatan orang-orang yang 
beruntung untuk memilih bagaimana berperilaku jauh lebih 
besar daripada orang-orang yang tidak beruntung.
Konflik menurut Turner6 memiliki makna bipolaritas. 
Satu sisi ia mengeksploitasi kelas sosial tertentu di bawah 
situasi yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dengan 
eksistensinya yang senantiasa menimbulkan kepentingan 
tertentu dan pada saat yang lain ia menciptakan revolusi dalam 
wilayah organisasi politik dengan orientasi melawan kelompok 
dominan dan pemilik modal dalam struktur kelas yang 
berjalan. Beragam kritik yang muncul dan menentang asumsi 
dasar ini keseluruhannya meneguhkan bahwa 1) Identitas 
masyarakat pada kedudukannya melampui daripada sekedar 
organisasi ekonomi dan pola dari pemilik modal; 2) Konflik 
sosial jarang terpolarisasi sebagai bagian dari keseluruhan 
hidup masyarakat; 3) Kepentingan dalam masyarakat tidak 
selalu berpadu dengan kedudukan dalam kelas; 4) Hubungan 
yang erat dalam masyarakat tidak selamanya menunjukkan 
ikatan yang erat pula dalam kepemilikan harta benda; dan 5) 
Konflik dalam kehidupan sosial tidak selamanya bertujuan 
untuk perubahan sosial, dialektika sosial, atau lainnya.
Pertentangan (conflict) menurut Soekanto dan 
Sulistyowati7  mungkin pula menjadi sebab terjadinya 
perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan 
mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau 
perantara kelompok dengan kelompok. Pada sub bagian 
ini, Soekanto dan Sulistyowati mengetengahkan masyarakat 
Indonesia sebagai ilustrasi masyarakat yang bersifat kolektif. 
Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat. 
Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai 
fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara 
kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, 
yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-
perubahan. 
Pola-pola dan embrio konflik yang terjadi di masyarakat 
pada beberapa aspek disebabkan pula oleh masalah 
ketidaksetaraan. Hal ini dijelaskan oleh Pip Jones8 bahwa 
terdapat beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat. 
Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin 
tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, 
orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak 
setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan 
seterusnya. Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada 
kelompok tersebut juga bermacam-macam. Berbagai kelompok 
bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, atau kombinasi 
unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya. Sementara 
itu, pada bagian yang lain, berbagai pusat perhatian teori 
konflik berbasis ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan 
yang mereka anggap tersebar tidak merata, teori-teori 
tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan 
persistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi 
atas kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Disebut teori 
konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada 
masyarakat yang tidak setara adalah “konflik kepentingan” 
yang tak terhindari antara “yang berupaya” dan “yang tidak 
berupaya”.
Senada dengan argumnetasi Pip Jones di atas Soekanto 
dan Sulistyowati9  juga menguraikan bahwa pertentangan 
antarkelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan 
generasi muda. Pertentangan-pertentangan demikian itu 
kerapkali terjadi, apalagi masyarakat yang sedang berkembang 
dari tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda yang 
belum terbentuk kepribadiannya lebih mudah menerima 
unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) 
yang dalam beberapa hal mempunyai taraf hidup lebih tinggi. 
Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan 
tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih 
bebas antara wanita dengan pria, atau kedudukan mereka 
yang kian sederajat di dalam masyarakat.
Kemunculan konflik dalam kehidupan sosial bertujuan 
untuk menciptakan fungsi sosial yang ideal. Berpijak kepada 
kerangka dasar inilah Plummer10 mengutarakan bahwa Thomas 
Hobbes (1588-1679) telah tenggelam dalam perdebatan 
mengenai perang sipil dan revolusi ketika menulis buku yang 
berjudul “The Leviathan” pada tahun 1651. Hobbes dalam 
pandangannya menjelaskan bahwa demi menciptakan fungsi 
sosial yang ideal diperlukan adanya pemerintahan yang kuat. 
Tanpa pemerintahan yang kuat—dibiarkan dalam sebuah 
negara yang alami—maka kehidupan mereka akan terpencil, 
miskin, rapi, kasar, dan tidak panjang umur. Meskipun jika 
kepentingan pribadi masyarakat dapat ditekan, pemerintah 
yang kuat tetap dibutuhkan demi terciptanya fungsi sosial 
ideal. Perdebatan muncul hingga mencapai puncaknya pada 
konflik berikutnya dalam Revolusi Rusia dan Perancis; dan 
menciptakan keadaan yang banyak menjadi perdebatan hingga 
sekarang, yaitu demokrasi. 
Mengamati secara mendasar kemunculan konflik di 
tengah-tengah kehidupan sosial, Plummer11 menegaskan 
bahwa embrio kemunculannya ada di setiap jenjang kehidupan 
bermasyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, konflik akan 
muncul karena hakikat dasar dari penciptaan manusia itu 
sendiri adalah perbedaan. Aneka ragama kehidupan secara 
hakikat menjadi dasar faktual bahwa konflik itu akan muncul 
dan terjadi dalam kehidupan sosial. Fakta ini diketengahkannya 
melalui sistematika berikut:
Kepentingan-Kepentingan 
Pokok Dalam Konflik Dan 
Perebuatan Kekuatan Yang 
Terjadi Di Dalamnya
Bentuk-Bentuk Stratifikasi
1. Ekonomi
1. Kelas, kasta, perbudakan, 
kesenjangan global
2. Kesukuan 2. Ras, rasialisme, rasisme
3. Jenis kelamin
3. Patriarki, tingkatan jenis 
kelamin, seksisme
4. Usia 4. Generasi dan pembagian usia
5. Bangsa dan negara
5. Penjajahan, pemusnahan 
terhadap suatu bangsa, an 
peperangan
6. Seksualitas 6. Heteroseksisme, homophobia
7. Kesehatan 7. Penyakit, kecacatan
Hakikat sistematis dari analisis munculnya konflik 
sebagaimana dirumuskan oleh Plummer di atas menguatkan 
bahwa dasar alamiah dari perjalanan hidup manusia adalah 
diferensiasi dirinya dengan orang lain. Bersandar kepada 
perspektif ini dapat diungkapkan bahwa analisis Karl Marx12 
tentang dinamika perubahan sosial di masyarakat sebuah 
keniscayaan yang tiada bisa dinafikkan. Dalam bukunya 
“The German Ideology” Marx menjelaskan beberapa tahap 
perubahan sosial terutama terfokus pada kondisi material dan 
cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan 
sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak. Hakikat 
dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ini 
juga menjadi satu dalil berarti dari embrio dasar kemunculan 
konflik itu sendiri. 
Secara hakiki, Marx sangat tertarik dengan adanya 
unsur kemajuan dan konflik, serta menggunakannya untuk 
menerangkan proses perkembangan masyarakat melalui 
revolusi. Pencapaian terhadap tahap perubahan sosial ini 
memang dianalisanya pada eksistensi yang lebih bersifat 
linear. Deskripsi tersebut digambarkannya secara sistematis 
sebagaimana tabel berikut:
 
Borjuis 
Komunal Purba 
Feodal 
Primitif 
Kapitalis 
Komunis 
Tahap Perubahan Sosial Linear Menurut Marx dalam Nanang 
Martono
Implikasi pemikiran materialisme historis Marx, 
menurut Martono13 adalah melihat struktur ekonomi sebagai 
awal kegiatan manusia. Struktur ekonomi adalah penggerak 
sistem sosial yang menyebabkan perubahan sosial, lingkungan 
ekonomi menjadi dasar segala perilaku manusia. Selanjutnya, 
Marx menyatakan bahwa setiap orang harus mencari 
penyebab perubahan di dalam cara-cara produksi mesyarakat 
daripada ide-idenya. Marx kemudian memusatkan perhatian 
pada proses produksi yang dilakukan oleh manusia ditandai 
dengan hakikat infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur 
dalam masyarakat berwujud ekonomi. Superstruktur meliputi 
ideologi, hukum, pemerintahan, keluarga, dan agama.
Konflik dalam Desain Pemikiran Karl Marx dan George 
Simmel
Berpijak kepada analisis Turner14 bahwa sejak tahun 
1950-an, di saat pokok-pokok pemikiran Talcott Parsons 
runtuh, tradisi kritik mulai mengambil peranan signifikan 
dalam bangunan kajian sosial. Teori fungsional dalam kajian 
sosiologi sebagai varian pemikiran yang dibangun oleh Parsons 
dianggap sebagai salah satu penyebab munculnya realitas 
alamiah konflik dalam realitas sosial. Fakta ini pula yang 
dikemukan oleh David Lockwood sebagaimana dijelaskan oleh 
Turner bahwa perspektif yang dibangun oleh Parsons dalam 
rangka menciptakan keseimbangan sosial social equilibrium, 
pada sisi yang lain telah menciptakan perseteruan konseptual 
dalam dunia sosial. 
Perspektif keseimbangan sosial social equilibrium yang 
dibangun oleh Parsons bertitik-pijak pada beberapa prinsip 
dasar teoritis. Dasar pemikiran yang dikembangkan Parsons 
menurut Giddens dan Turner15 ditingkatan metateori adalah 
integrasi antara metodologi ideografis, tipe-ideal, nomologis 
dan konstruktivis. Dalam menyimpulkan terhadap analisis 
pemikiran Parsons tersebut, Giddens dan Turner menjelaskan 
bahwa masing-masing dari bentuk prosedural tersebut dapat 
dianalisis dengan varian positivistik maupun idealistik. 
Langkah-langkah yang perlu diwujudkan sebagai kelanjutan 
dari kondisi ini adalah menempatkan penghubung antara 
metode-metode penjelasan kausal dan teleonomik positivistik, 
dengan metode-metode idealistik yang menyoroti aspek 
normatif dan dunia-kehidupan atau interpretasi rasional. 
Idealitas dari model integrasi teoritis yang dibangun 
oleh Parsons di atas pada tingkatan yang berbeda ditolak 
eksistensinya oleh Marx. Marx berpendapat bahwa perubahan 
dalam masyarakat bertitik tolak dari hadirnya revolusi dalam 
kehidupan mereka. Fakta ini senada dengan pernyataan 
Nisbet dalam Ekeh16 bahwa pada abad ke-19 terjadi reaksi 
yang cukup menekan terhadap realitas individualistik yang 
terjadi di Eropa. Para sosiolog dari Eropa berpikir secara 
fundamental bahwa pokok pengetahuan yang bisa direspon 
terhadap masalah kepentingan order dimulai dari runtuhnya 
rezim lama dan dihembuskannya semangat revolutif dalam 
demokrasi. Perubahan radikal yang muncul adalah timbulnya 
gerakan revolusi industri di Perancis.
Dalam mengembangkan model dari revolusi konflik antar 
kelas dan perubahan sosial, Marx dalam Turner17 mengabaikan 
sebuah sketsa bahwa oraganisasi sosial akan dipengaruhi oleh 
porsi dominan dari teori sosial kontemporer. Marx memulai 
kajiannya dari hal yang sederhana dan asumsi yang realitas 
yang umum; organisasi ekonomi, secara khusus pada pemilikan 
modal, determinasi organisasi dalam kepentingan organisasi. 
Struktur kelas dan bangunan keorganisasian, layaknya nilai 
budaya, kepercayaan, dogma agama, dan ide-ide sistematis 
lain, secara keseluruhan dari realitas yang ada menempati 
tingkatan tertinggi pada refleksi ekonomi bersandar kepada 
realitas sosial. Selanjutnya Marx menambahkan asumsi lain; 
dalam realitas sosial manapun yang berjalan, mengakar dalam 
organisasi ekonominya bahwa komunitas sosial yang memiliki 
otoritas tertinggi mereka akan seutuhnya mengendalikan 
revolusi konflik antar kelas. Kemunculan revolusi sebagai 
dinamika persinggungan kepentingan inilah, menurut Marx 
dijelaskan sebagai dialektika dan konseptualisasi dari proses 
pencapaian ideal ekonomi.
Revolusi dalam tingkatan dasarnya bersandar kepada 
manifestasi kontradiktif yang muncul para wilayah sosial. 
Mengenai konseptualisasi ini, kontradiksi dalam pandangan 
Martono18 merupakan fakta sentral mengenai segala sesuatu 
yang ada. Kontradiksi-kontradiksi ini kemudian melahirkan 
sebuah hukum dialektika. Hukum dilektika menegaskan 
bahwa kontradiksi adalah inti segala sesuatu, baik di alam 
maupun dalam kehidupan manusia. Perkembangan masyarakat 
berlangsung sesuai dengan hukum dialektika yang terdiri atas 
tiga komponen: tesis, antitesis, dan sintesis. Dialektika dari 
hukum dasarnya diletakkan oleh Hegel berada pada dataran 
ide (pikiran). Hegel lebih menitikberatkan posisi dialektika 
pada dataran ide, sehingga secara alamiah dirinya memusatkan 
perhatian pada wilayah ide-ide masyarakat yang kreatif atau 
ekspresif: seni, pemikiran-pemikiran yang abstrak (terutama 
filosofi), dan agama. Oleh karena itu, Hegel disebut idealis: 
dirinya berpikir bahwa sejarah dan eksistensi manusia pada 
hakikatnya harus dipahami dalam hal perkembangan ide-
idenya. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan Marx yang 
menolak pandangan Hegel tersebut dan beralih mengikuti 
pandangan Engels. Menurut Marx kontradiksi (proses 
dialektika) harus juga terjadi dalam tingkat materi. Ide tidak 
mampu menggambarkan kenyataan empiris dalam masyarakat 
karena sifatnya abstrak. Marx menambahkan, sebenarnya 
yang mengubah masyarakat bukanlah ide, melainkan materi. 
Pandangan Marx ini dikenal dengan konsep materialisme 
historis. Materialisme historis memiliki pandangan bahwa 
perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materi, bukan 
pada ide karena ide adalah bagian dari materi.
Pemikiran Marx (1818-1883) mengenai perubahan 
sosial mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Menurut 
Kant manusia berasal dari sebuah kesempurnaan, tapi 
kemudian masuk ke dalam dunia yang penuh keterbatasan, 
kotor, dan tidak suci. Menurut Hegel, kehidupan bergerak 
dari sesuatu yang tidak sempurna menuju kesempurnaan 
melalui kontradiksi. Setiap orang dapat mengkritisi suatu 
pernyataan dengan pemikiran lain berdasarkan temuan, 
pengamatan, dan landasan rasional yang berbeda. Kontradiksi 
pemikiran ini merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan 
dapat menghasilkan dinamika sosial yang dapat membimbing 
manusia mencapai pencerahan atau kesempurnaan pikiran 
dan perbaikan tindakan yang terjadi secara sistematis dan 
transparan.19
Menganalisis kontradiksi yang terjadi dalam dinamika 
harmonisasi yang ditimbulkan oleh organisme sosial, Simmel 
menekankan pentingnya espektasi kompetisi di antara masing-
masing unit sosial yang bergabung. Meskipun sejatinya 
kondisi yang akan berjalan diwarnai dengan rasa kasih di 
antara sesama dalam rangka mewujudkan hubungan sosial di 
tengah-tengah mereka. Bersandar kepada alasan inilah Simmel 
mengungkapkan konflik sebagai sebuah refleksi lebih luas 
daripada sekedar konflik kepentingan, namun yang terjadi 
menyangkut konflik yang dipijakkan dari munculnya perasaan. 
Konflik tersebut bisa saja berwajah kompetisi dalam cinta. Akan 
tetapi, di akhir dari semua simpulan yang dimunculkan oleh 
Simmel tersebut, dirinya mengukuhkan bahwa unsur dominan 
dari kemunculan konflik adalah timbulnya ketidakserupaan 
fakta dari faktor biologis yang harus dimunculkan oleh seorang 
pelaku. 
menekankan pentingnya pengejawantahan eksistensi teknologi 
dan pola kekayaan personal dalam rangka mengisi aspek-
aspek dasariah kehidupan masyarakat pada situasi berlakunya 
suatu konflik. Namun, pada bagian yang lain penting untuk 
diingat bahwa kaum Marxian dan beberapa pemerhati 
terhadap konsep-konsep teoritis tentang konflik tidak sepakat 
terhadap perlunya penekanan unsur-unsur dimaksud. Dalam 
hal ini, Max Weber tetap menganggapnya perlu dihadirkan, 
namun hal itu hanya di beberapa sudut pandang saja. Perlu 
penguraian lebih jauh dalam rangka merumuskan analisa 
kritis terhadap perspektif Marx di atas. Bagian lain yang 
bisa dipahami dari perspektif yang dibangun oleh Marx 
pada kerangka pemikirannya tentang materi adalah klaim-
klaim yang dibangun untuk menganalisis masa depan dan 
eksistensinya dengan posibilitas kesempurnaan, nir-konflik, 
dan masyarakat komunis. 
Teori besar sosiohistoris Marx, yang sering disebut 
konsepsi sejarah materialis atau materialisme historis, bisa 
disimak dari perkataan Engels:
Sebab yang utama dan kekuatan penggerak terbesar 
dari semua peristiwa sejarah yang penting terletak pada 
perkembangan ekonomi masyarakat, pada perubahan-
perubahan model produksi dan pertukaran, pada 
pembagian masyarakat dan kelas-kelas yang berlainan, 
dan pada perjuangan kelas-kelas ini melawan kelas yang 
lain.
Pertama kali Marx menguraikan teorinya, yang 
menjadi titik tolak dalam mengkaji karya-karya berikutnya, 
di Die Deutsche Ideologie (Ideologi Jerman) 1845-1846. 
Pernyataan yang terkenal namun sangat ringkas dari karya 
tersebut muncul dalam bagian pembukaan Zur Kritik der 
politischen Okonomie (1859) (Kontribusi terhadap Kritik 
Ekonomi Politik). Melalui karya tersebut Marx berpendapat 
bahwa struktur ekonomi masyarakat, yang ditopang oleh 
relasi-relasinya dengan produksi, merupakan pondasi riil 
masyarakat. Struktur ekonomi masyarakat ini merupakan 
dasar munculnya suprastruktur hukum dan politik, dan 
berkaitan dengan bentuk tertentu dari kesadaran sosial. Di sisi 
lain, relasi-relasi produksi masyarakat itu sendiri berkaitan 
dengan tahap perkembangan tenaga-tenaga produktif material 
(masyarakat). Dalam kerangka ini, model produksi dari 
kehidupan material akan mempersiapkan proses kehidupan 
sosial, politik dan intelektual pada umumnya. Seiring tenaga-
tenaga produktif masyarakat berkembang, tenaga-tenaga 
produktif ini mengalami pertentangan dengan berbagai relasi 
produksi yang ada, sehingga membelenggu pertumbuhannya. 
Lalau mulaila suatu era revolusi sosial seiring dengan 
terpecahnya masyarakat akibat konflik, dan seiring dengan 
masyarakat menjadi—dalam bentuk yang hampir ideologis—
sadar akan konflik ini dan memperjuangkannya. Konflik 
ini terselesaikan sedemikian rupa sehingga menguntungkan 
tenaga-tenaga produktif, lalu muncul relasi-relasi produksi 
yang baru dan lebih tinggi yang persyaratan materialnya telah 
matang dalam rahim masyarakat itu sendiri. Relasi-relasi 
produksi yang baru dan lebih tinggi ini mengakomodasi secara 
lebih baik keberlangsungan pertumbuhan kapasitas produksi 
masyarakat. Model produksi borjuis mewakili era progresif 
yang paling baru dalam formasi ekonomi masyarakat, tapi 
ini merupakan bentuk produksi antagonistik yang terakhir. 
Dengan matinya bentuk produksi tersebut maka prasejarah 
kemanusiaan sudah tamat.23
Menurut Marx, kapitalisme adalah suatu sistem 
ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai 
sumber daya produktif vital, yang mereka gunakan untuk 
meraih keuntungan maksimal. Marx menyebut para individu 
ini sebagai kaum borjuis. Kaum borjuis mempekerjakan 
sekelompok orang yang disebut Marx sebagai golongan 
proletar. Golongan proletar ini memproduksi barang-barang 
yang oleh kaum kapitalis kemudian dijual di pasar untuk 
meraih keuntungan. Para kapitalis tersebut bisa memperoleh 
keuntungan karena mereka membayar buruh (golongan 
proletar) kurang dari nilai murni barang-barang yang dihasilkan. 
Jelaslah, dalam keyakinan Marx, bahwa keuntungan kapitalis 
tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang semata, 
tetapi keuntungan itu berasal dari proses produksi yang 
dilakukan oleh kaum proletar. Sedangkan tindakan penjualan 
barang hanyalah upaya merealisasikan keuntungan tersebut, 
yang sebenarnya telah ada dalam penciptaan produk oleh 
buruh.24
Konsep materialisme historis Marx mengungkapkan 
bahwa manusia tidak akan melepaskan apa yang telah mereka 
dapatkan. Dalam rangka mempertahankan ‘buah peradaban’, 
manusia akan mengubah cara-cara produksinya untuk 
mengakomodasi tenaga-tenaga produktif yang diperlukan 
dan mendorong kemajuan yang berkelanjutan. Kendati relasi-
relasi produksi mempengaruhi momentum dan arah kualitatif 
perkembangan tenaga-tenaga produktif; tapi kapitalisme akan 
hancur oleh hasratnya sendiri untuk meletakkan masyarakat 
pada tingkat produktif yang tidak pernah terbayangkan 
sebelumnya. Selain itu, konsepsi materialis Marx memberi 
penjelasan mengenai perkembangan tenaga-tenaga produktif, 
yang membayangkan—sebagai contoh—munculnya 
kapitalisme sebagai respons terhadap tingkat tenaga produktif 
pada awal mula terbentuk.
Kritik mendasar terhadap formulasi pemikiran yang 
dibangun oleh Marx dengan lokus pemikirannya materialisme 
historis disampaikan oleh Max Weber dalam karyanya 
“The Protestan Ethic and the Spirit Capitalism” (1905). 
Dalam karya ini, Weber membangun hipotesisnya bahwa 
metrialisme historis marxian hanya menekankan pada satu 
sisi. Padahal seharusnya dibutuhkan penyeimbangan dengan 
lebih menekankan peranan faktor gagasan sebagai penyebab 
perubahan sejarah. Perhatian Weber terpusat kepada upaya 
memahami pertumbuhan sistem kapitalisme rasional di Barat. 
Dia menaruh perhatian pada determinasi: mengapa kapitalisme 
muncul di Barat dengan skala  yang besar, sementara di dunia 
Timur keadaan begitu tenang dan tidak ada perkembangan. 
Weber sama sekali tidak mengesampingkan arti faktor-
faktor ekonomi dalam masa transformasi di Barat, tetapi dia 
menekankan pada peranan Reformasi Protestan. Dia melihat 
reformasi sebagai suatu pendorong kritis, dan ia menarik 
kesimpulan bahwa kekosongan transformasi religius di Timur 
sebagai penghalang perkembangan kapitalisme di sana.26
Di antara beberapa sosiolog populer, George Simmel 
(1858-1918) adalah salah seorang tokoh yang memiliki 
kepedulian terhadap pola pengungkapan umum atas 
perilaku masyarakat. Di saat, Marx dan Weber cenderung 
berkeinginan untuk memahami proses dari pembentukan 
sistem sosial, sementara itu, Simmel lebih berkonsentrasi pada 
pengembangan analisis tentang analisis matematis dalam 
wilayah sosial; mengumpulkan pernyataan tentang hubungan 
antar manusia dan perilaku sosial yang diperankan pada 
sejarah sosial itu sendiri. Simmel telah memberikan banyak 
pengaruh kepada teoritisi modern yang memiliki minat sama 
terhadap hubungan intrapersonal, termasuk juga teori tentang 
konflik, interaksionisme simbolik, teori perubahan sosial, 
strukturalisme, dan analisis jejaring sosial.27
Pondasi Konflik Marx dan Simmel
Dalam dinamika perjalanan hidup manusia, dia dituntut 
menyadari secara mendasar atas perbedaan yang dimiliki. 
Manusia perlu menyadari kehidupannya di alam semesta 
yang plural. Pada kerangka dasar ini menjadi penting untuk 
mengurai secara seksama akan titik-titik perbedaan yang 
muncul di tengah-tengah kehidupan sosial. Plummer28 mencatat 
bahwa di setiap tempat seseorang bisa menyaksikan perbedaan 
manusia yang berkembang menjadi perselisihan dan konflik, 
dan menguatkan perbedaan dalam struktur pembagian secara 
vertikal dan horizontal. Setiap masyarakat—manusia dan 
lainnya—dibedakan oleh pola-pola ketidaksetaraan. Semut 
memiliki kelompok pekerja bagi mereka; kera memiliki ritual 
perawatan; dan ayam memiliki cara untuk mematuk ayam yang 
lain. Pada sebagian besar masyarakat yang bisa diamati, selalu 
ada sebagian kecil individu yang memiliki kedudukan yang 
tinggi dalam urutan kekuasaan, sementara massa ditempatkan 
pada kedudukan yang terendah. Beberapa dari mereka 
memiliki pola hidup yang istimewa dan selalu berkembang, 
beberapa ada yang memberontak, menolak atau mengelak; 
ada yang kehidupannya terbuang atau rusak. Memang, sejarah 
masyarakat manusia juga dapat dibaca sebagai sejarah miliaran 
orang yang akan tenang di kuburan mereka dengan kehidupan 
yang hampir menderita, dan mengalami ketidaksetaraan yang 
disebabkan oleh perbedaan yang diberikan kepada mereka 
yang oleh masyarakat tempat mereka dilahirkan. Masyarakat 
kemudian membangun pembagian sosial, secara hierarki 
dan membangun kesenjangan sosial yang terstruktur. Semua 
itu selalu akan terlihat, kaya dan miskin, pemilik budak dan 
budak, hitam dan putih, migran dan tuan rumahnya, orang 
berpendidikan dan orang bodoh, orang sakit dan orang sehat, 
pria dan wanita, yang banci dan normal, yang mampu dan 
tidak mampu, teroris dan yang diteror, dan yang patologis dan 
normal. 
Marx dalam Adisusilo29 menjelaskan bahwa adanya 
pembagian kerja berarti adanya pertentangan kepentingan 
perorangan atau dan suatu keluarga dengan kepentingan 
bersama dari semua individu yang bergaul satu sama lain. 
Bagi Marx, kepentingan bersama itu tidak hanya berada 
dalam bayangan belaka melainkan sungguh hadir dalam 
kenyataan sebagai saling ketergantungan antarperorangan 
kepada siapa pekerjaan dibagi-bagikan. Marx menguatkan 
hakikat pembagian kerja sebenarnya berhubungan bahkan 
menyebabkan keterasingan manusia. Pembagian kerja 
mengasingkan manusia dari sasarannya sebab pembagian kerja 
bukanlah sifat sosial yang instrinsik pada kerja itu sendiri, 
melainkan muncul dari dorongan untuk menghasilkan dan 
menukar sebanyak mungkin barang, dengan kata lain muncul 
karena kecenderungan egoisme. Pada hakikatnya, manusia 
adalah makhluk sosial, juga dalam kegiatan produksinya, 
maka pertentangan antara kepentingan perorangan dengan 
kepentingan umum menyebabkan perpecahan dalam diri 
manusia sendiri. 
Berpijak kepada abstraksi paradigma yang dibangun 
oleh Marx tentang determinasi dan munculnya banyak polemik 
sosial, Turner30 mengukuhkan bahwa Marx tetap berasumsi 
bahwa solusi bisa diambil dalam rangka mencari alternatif 
terjadinya konflik dengan dibangunnya perspektif fungsional 
dalam teori Sosiologi. Hal ini pada akhirnya bisa dijadikan 
loncatan intelektual dalam dunia sosial. Teori yang dibangunnya 
tersebut disandarkan kepada beberapa pertimbangan berikut; 
1) Hubungan sosial yang masih mengedepankan atribut 
sistematik, faktanya ia akan menimbulkan konflik kepentingan; 
2) Sistem sosial yang berkembang di tengah-tengah kehidupan 
masyarakat akan memberikan dampak timbulnya konflik; 3)
Konflik hakikatnya tidak terelakkan dan dapat menembus 
relung dari sistem sosial; 4) Konflik yang muncul di tengah 
kehidupan masyarakat bertujuan untuk menghadirkan 
bipolaritas dari perjumpaan banyak kepentingan; 5) Frekuensi 
dari kemunculan konflik bertitik pijak pada kelangkaan sumber 
daya tertentu terutama yang berkaitan dengan kekuasaan; 
dan 6) Konflik adalah unsur pokok yang memicu terjadinya 
perubahan dalam sistem sosial.
Pokok pikiran yang dibangun oleh Simmel tentang bagian 
dari teori konflik adalah titik tekan dirinya kepada konsepsi 
bahwa individu dan sosial memiliki pola keterhubungan 
di antara satu dengan lainnya. Dalam konsepsinya tentang 
konflik, Simmel menegaskan bahwa eksistensi individu 
seutuhnya membutuhkan interkorelasi dirinya dengan realitas 
sosial. Pada kesamaan kepentingan mereka bisa berjalan 
dengan dasar perbedaan kebutuhan dalam realitas sosial. 
Dalam kerangka ini Simmel menegaskan seutuhnya bahwa 
manifestasi konflik yang berjalan dalam kehidupan sosial 
merupakan sebuah kesejatian yang bisa dihadirkan demi 
menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik. Simmel dengan 
tegas melalui analisis Wallace dan Wolf31 menegaskan bahwa 
eksitensi konflik harus diputus rantai “asumsinya” dengan 
usaha melakukan penyatuan sosial seraya menekankan bahwa 
setiap orang bisa berd