penciptaan alam 2
By tuna at Januari 24, 2024
penciptaan alam 2
ntitas,
persoalan kekuasaan dalam masyarakat yang plural. Dengan
demikian, istilah revivalisme ini lebih luas jangkauannya karena
pada kenyataannya kemunculan gerakan Islam radikal di negara-
negara Islam di Timur Tengah maupun Asia memang tidak semata-
mata didorong oleh keinginan mereka untuk menerapkan makna
literal dari teks-teks suci dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya
pula sekadar tandingan terhadap cengkeraman Barat, akan tetapi
lebih filosofis.
Islam puritan sering dianggap tidak mempertimbangkan
proses asimilasi dan akulturasi adat dan kepercayaan setempat.
Akibatnya, banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam
puritan terinspirasi oleh Wahabisme yang sangat gencar melawan
semua bentuk apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal.
Dasar klaim dari gerakan Wahabi ini adalah bahwa
agama sudah tidak benar dipahami oleh para pengikutnya
sebagaimana pada masa Nabi saw., sehingga mereka merasa
berkepentingan untuk menyerukan kembali kepada ortodoksi
syariah yang akan memurnikan Islam sesuai kriteria al-Qur’an
dan Sunnah. Wahabisme ini sering merujuk kepada Muhammad
ibn Abd al-Wahab sebagai pendirinya. Beberapa karakter
yang menjadi platform dari gerakan ini antara lain: Pertama,
mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-
teks suci agama. Menolak pemahaman kontekstual atas teks
agama, karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi
kesucian agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme,
karena menurutnya dua hal ini merupakan distorsi pemahaman
terjadap ajaran agama. Ketiga, memonopoli kebenaran atas
tafsir agama, cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang
otoritas penafsir agama yang paling absah, sehingga cenderung
menganggap sesat kepada kelompok yang tidak sealiran dengan
mereka.
Puritanisme yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu
1803 hingga sekitar 1832 disinyalir salah satunya ditunjukkan
oleh Tuanku Imam Bonjol yang memimpin gerakan Kaum Paderi.
Namun gerakan ini sejatinya tidak seperti Wahabi yang keras dan
kaku, tetapi sudah mengalami kulturisasi dengan budaya lokal,
sehingga mudah diterima masyarakat. Idahram menuturkan
bahwa selain gerakan Kaum Paderi, ada beberapa indikator lain
yang menunjukkan bahwa puritanisme di Indonesia pada awal
abad ke-19 tidak terkait secara langsung dengan paham Wahabi,
tetapi kesamaan itu hanya sebatas spirit saja.
Adapun faktor yang melatarbelakangi mudahnya spirit
pembaharuan Wahabi diterima oleh beberapa ulama Indonesia
di antaranya adalah karena medan dakwah nusantara yang
berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme, dan
pengaruh Hindu-Budha. Faktor inilah yang menjadikan mereka
mudah mengadopsi doktrin pemurnian tauhid, dengan harapan
agar umat Islam Indonesia dapat lebih cermat dalam menjalankan
ajaran Islam, sehingga tidak tercampur dengan budaya lokal yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.20
Di antara tokoh-tokoh yang sering dijadikan panutan
bagi para puritan Indonesia ini antara lain: Ibn Baz, Shalih Ibn
Utsaimin, Ibn Fauzan, Muhammad Nashiruddin al-Albani—
ulama asal Albania yang tinggal di Yordania, Syaikh Rabi al-
Madkhali di Madinah, dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Dengan adanya pembedaan antara Islam pribumi
dan Islam puritan seakan menjadikan adanya dikotomi yang
mengesankan pemisahan antara model-model Islam tersebut.
Islam seperti dikotak-kotakkan, bahkan sebagian kalangan
menilai, jika hal ini diteruskan dapat memburukkan citra Islam
di mata dunia, bahkan justru membahayakan eksistensi Islam itu
sendiri yang separatis dan mudah diprovokasi dan dihancurkan
oleh kelompok lain. Sementara kalangan lainnya menilai bahwa
dengan hadirnya Islam pribumi atau Islam Nusantara justru akan
memperbaiki citra Islam di mata dunia. Islam tidaklah rentan
dengan kekerasan dan terorisme.
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan Islam puritan
atau Islam Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau
keislaman seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah
menggunakan ekspresi kearaban sebagai ekspresi tunggal dan
dianggap paling absah dalam beragama, terlebih jika kemudian
budaya yang ada dianggap sebagai sesuatu yang sesat, musyrik
dan bid’ah. Seharusnya agama bisa hidup berdampingan dengan
ekspresi budaya, bukan saling menafikan satu sama lain.
Sementara di sisi lain, pribumisasi Islam pun bukan tanpa
bahaya. Akomodasi dan akulturasi suatu saat bisa menghasilkan
suatu identitas yang karakter Islaminya bisa terkikis atau bahkan
bisa dianggap sama sekali tidak Islami. Untuk menyelamatkan
karakter Islamnya, lembaga-lembaga Islam pribumi di luar sektor
modern, seperti sistem pesantren tradisional, harus diidentifikasi
dan digunakan dalam membangkitkan kembali komunitas
muslim Indonesia.
Pola Keberagamaan Masyarakat Islam di Indonesia
Clifford Geertz mengklasifikasikan Islam di Indonesia,
khususnya Jawa, ke dalam tiga kelompok: Santri, priyayi, dan
abangan. Santri diidentifikasikan sebagai umat Islam yang
mengamalkan ajaran agama Islamnya secara taat, priyayi
sebagai kelompok elit, dan abangan disematkan bagi umat Islam
dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek sinkretis,
seperti percaya kepada roh dengan pemberian sesaji sebagai
bentuk utama ritual, magis, dan bentuk-bentuk mistisisme yang
menekankan kemanunggalan Tuhan dan manusia serta bentuk-
bentuk ritual lainnya.
Klasifikasi yang dibuat Geertz memang dinilai tidak
tepat oleh sebagian kalangan disebabkan tidak didasarkan pada
kriteria yang konsekuen, dan dipandang telah mengacaukan
dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan serta
mencampuradukkan pembagian horizontal dan vertikal,
sementara ia melupakan perbedaan antara stratifikasi horizontal
dan vertikal dalam masyarakat Jawa.Koentjaraningrat misalnya,
menilai bahwa istilah santri dan abangan telah menunjukkan dua
varian religius dalam kebudayaan Jawa, padahal istilah priyayi
tidak menunjukkan tradisi religius apapun juga. Ini dikarenakan
para priyayi dapat digolongkan baik santri maupun abangan.
Meski tidak terlepas dari berbagai kritik, namun setidaknya
klasifikasi ini bisa menjadi pijakan dasar dalam memotret pola
keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, meski definisi yang
dimaksudkannya tidak selalu sama. Sekedar menyebut contoh,
Mulder sebagaimana dikutip Nur Syam yang menyebutkan
bahwa agama di Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah
agama yang telah mengalami proses lokalisasi. Yakni pengaruh
kekuatan budaya lokal terhadap agama-agama yang datang
kepadanya. Agama Islamlah yang kemudian menyerap keyakinan
atau kepercayaan lokal, sehingga terjadi proses asimilasi ajaran
lokal ke dalam agama tersebut. Tanpa proses lokalisasi ini, agama
Islam tidak akan dapat berjalan dengan lokalitas budaya yang
sudah mapan tersebut. Akibatnya, agama Islam tidak akan dapat
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia.26
Selain itu, Mark Woodward yang dalam risetnya tentang
pola religiusitas di Yogyakarta yang menarik kesimpulan berbeda
dengan Geertz bahwa religiusitas yang muncul merupakan
hubungan yang compatible antara Islam dan budaya lokal, bukan
tradisi Hindu dan Islam yang sinkretis. Berbagai ritual dinyatakan
secara signifikan terkait dengan tradisi Islam universal, yang
bersumber dari teks Islam itu sendiri. Sehingga, Islam pribumi
bukanlah Islam animistis dan sinkretik melainkan Islam yang
kontekstual dan berproses secara akulturatif.
Istilah santri identik didefinisikan dengan orang yang
memiliki keyakinan kuat terhadap agama. Sementara jika
pemaknaan santri dikerucutkan pada orang yang mengkaji agama
di suatu tempat tertentu seperti pesantren, maka dapat dinyatakan
bahwa kelompok santri ini memiliki basis di pesantren-pesantren.
Namun pesantren ini tidak selalu berlokasi di daerah pedesaan
sebagaimana dinyatakan Amin Rais dalam bukunya Cakrawala
Islam. Dalam bukunya ini pula, Rais mengungkap karakteristik
dari pesantren ini adalah: Pertama, para santri dalam sistem
pendidikan tradisional pesantren memiliki kebebasan yang lebih
besar dibanding para peserta didik di sekolah modern dalam
bertindak dan berinisiatif, sebab hubungan antara kiai dan santri
bersifat dua arah, sedangkan hubungan guru dan peserta didik
di sekolah-sekolah sering bersifat satu arah. Kedua, kehidupan
pesantren menanamkan semangat demokrasi di kalangan para
santri, karena mereka praktis harus bekerja sama untuk mengatasi
seluruh problem non-kurikulum mereka. Ketiga, para santri
tidak terlalu mempedulikan legalitas ijazah, yang mencerminkan
keikhlasan motivasi mereka dalam mengkaji agama. Keempat,
pesantren menekankan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
persamaan di hadapan Allah, dan percaya diri.
Berbeda dengan statemen Rais, Zamakhsyari Dhofier
dalam penelitiannya mengungkap bahwa dunia pesantren
dengan kiainya bukan merupakan sebuah komunitas yang
stagnan tanpa perubahan, melainkan wadah yang responsif
dengan perubahan seiring dengan perkembangan zaman.
Melalui konsep al-as}a>lah wa at-tajdi >d, para kiai sebenarnya telah
melakukan berbagai perubahan sosial di sekitarnya dengan cara
melestarikan sesuatu yang bernilai baik dan mengambil sesuatu
dari luar yang positif dan lebih baik.29 Dalam konteks ini, Mun’im
menambahkan bahwa pesantren merupakan cagar budaya yang
mampu mengembangkan tradisi sendiri, baik tradisi pemikiran,
keilmuan, berbahasa, dan tata cara berpakaian. Dengan adanya
cagar budaya tersebut, maka pluralisme pemahaman Islam bisa
dipertahankan, dan relasi Islam dengan komunitas non-Islam,
baik komunitas adat, maupun agama lain, juga terus dapat
dijamin di bawah prinsip toleransi yang dikembangkan kalangan
Zaini Muhtarom menjelaskan ciri yang membedakan
antara santri dan abangan, yaitu bahwa para santri lebih
memperhatikan ajaran Islam dibandingkan upacaranya,
sementara para abangan menekankan perincian upacara (ritual)
yang lekat dengan sinkretisme, animisme, dan dinamisme.
Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan
campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis
yang berakar dalam agama non-Islam dan telah ditumpangi oleh
ajaran Islam. Para abangan yang ingin mendapat berkah atau
minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan sajian-
sajian berupa kemenyan ke suatu tempat tertentu yang dianggap
keramat. Ragam ibadah para abangan di antaranya meliputi
upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok
tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan
kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Selain itu, para
abangan juga sering mempercayai benda-benda tertentu seperti
keris, yang menurut kepercayaan mereka, keris memiliki kesaktian
yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya
atau memakainya, bahkan ada keris yang bertuah.31
Jika demikian pola upacara abangan, maka pola upacara
santri diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu yang dapat
dilakukan di rumah, di langgar (mushalla), atau masjid. Para
abangan hampir tidak pernah menjalankan shalat lima waktu
dan shalat Jum’at. Dengan kata lain, kebiasaan menjalankan
shalat wajib membedakan seorang muslim yang saleh maupun
golongan yang patuh pada syariat Islam.
Selain dipolakan dalam santri dan non-santri, pola
keagamaan di Indonesia juga dapat dipetakan menjadi modernis
dan tradisionalis. Menurut Esposito, kaum tradisionalis muncul
seiring dengan masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-13.
Sementara kaum modernis muncul sejak terjadi peningkatan
keterlibatan Indonesia dengan dunia Islam lainnya pada abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Kelompok tradisionalis menekankan
pada kebanggaan nasional yang cenderung menekankan pada
kekhususan Islam Indonesia dan mempertentangkannya dengan
Islam Timur Tengah. Hadirnya kaum modernisme sering
dipandang sebagai serangan kuat terhadap pemikiran keagamaan
di Indonesia, karena umumnya para pembaharu bersikap kritis
terhadap tradisi dan berusaha menghilangkannya dari tubuh
Islam.
Menarik juga untuk diungkap di sini adalah klasifikasi
pola keberagamaan yang dilakukan Dien Syamsuddin yang
mengelompokkan gerakan Islam menjadi tiga golongan. Pertama,
Islam formalistik, yang menekankan penerapan ajaran Islam
secara ketat, termasuk simbol-simbol budaya Arab yang dipercaya
sebagai Islam yang murni. Kelompok ini menekankan penggunaan
terma budaya Arab di negara non-Arab seperti Indonesia, yang
menunjukkan pentingnya formalisme Islam. Kedua, Islam
substantivistik yang lebih menekankan pada substansi daripada
bentuk dan simbol yang berlabel Islam. Pola keberagamaan
Islam seperti ini adalah bagaimana nilai-nilai Islami hidup dan
berpengaruh dalam lembaga formal dalam rangka membangun
Indonesia. Ketiga, Islam fundamentalis yang berpandangan
bahwa dua pola di atas gagal menjadikan Islam sebagai bargaining
power dalam mewujudkan pola keberagamaan Islam yang lebih
baik di Indonesia. Pola ini menekankan agar ajaran dasar Islam
masuk ke dalam realtas sosial politik Indonesia, dan berupaya
untuk menghidupkan kembali kultur Islam secara menyeluruh.34
Nurcholis Madjid menilai Islam fundamentalis tidaklah
sesuai diterapkan di Indonesia karena fundamentalisme memiliki
ciri anti-intelektual yang kental dan banyak mencoba memutar
balik jarum jam kemajuan ilmiah. Salah satunya ini dibuktikan
dengan adanya sikap menentang teori evolusi dan hanya berpegang
pada teori kreasi secara dogmatis. Selain itu, fundamentalisme
dianggap mengusung pandangan keagamaan yang serba sempit,
fanatik, dan tidak toleran disebabkan pemahaman terhadap
ajaran agama sebagai deretan diktum-diktum mati dan kaku
Terlepas dari klasifikasi dikotomis di atas, pola
keberagamaan masyarakat Indonesia semakin lama semakin baik,
dengan indikator semakin banyaknya orang yang menunaikan
shalat, dan yang lebih cermat menjalankan ibadah-ibadah
lainnya seperti zakat dan puasa Ramadhan, ibadah haji semakin
diminati, kian banyak para perempuan yang berbusana Islami,
dan produk-produk halal kian dipedulikan. Menjalankan praktik
Islam secara lebih seksama terlihat jelas khususnya di kalangan
kaum terdidik, dan juga di pedesaan.36
Simpulan
Wajah Islam Indonesia yang akomodatif memberikan
warna lain dari wajah Islam dunia yang selama ini didentikkan
dengan Islam yang keras. Islam di Indonesia yang secara
umum dibedakan dalam dua kelompok: Pribumi dan Puritan,
menunjukkan bahwa Islam di Indonesia memang khas. Pribumi
yang cenderung toleran dengan tradisi lokal memang berbeda
dengan puritanisme. Namun meski demikian, puritanisme
yang ada di Indonesia yang bertujuan memurnikan Islam dan
melepaskan dari tradisi juga tetap jauh dari kekerasan dan
radikalisme.
Kajian tentang sosok kyai beserta perannya selalu
menarik dan aktual untuk dianalisis. Kyai menurut
pandangan masyarakat adalah sosok yang dijadikan
panutan baik dalam perkataan maupun perilakunya.
Sosok kyai sendiri tidak lepas dengan pengetahuan agama
yang sangat melekat pada dirinya, sehingga masyarakat
selalu mendiskusikan permasalahan keagamaan kepada
kyai. Belakangan ini terjadi polarisasi pemikiran tentang
sosok kyai, sehingga memunculkan tipologi kyai yang
cukup variatif. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom
umat terutama dalam kehidupan beragama, sehingga
akan lebih baik jika kyai menghindarkan diri dari
kegiatan politik praktis, sehingga tidak terjebak pada
peran ganda. Namun ada juga sebaliknya, bahwa tidak
ada alasan kyai meninggalkan politik praktis sebab
berpolitik merupakan bagian dari kehidupan agama itu
sendiri. Namun, seringkali ketika kyai memilih politik,
maka jarak kepada masyarakat akan mulai memudar,hal
ini disebabkan dunia politik yang penuh dengan hiruk
pikuk dan penuh dengan intrik, dimana sangat bertolak
belakang dengan kehidupan kyai saat di tengah
masyarakatnya yang penuh kesetiaan dan apa adanya.
Lalu bagaimana seharusnya kyai menjalankan missi
keagamaannya ditengah-tengah pergolakan perubahan
sosial yang tidak terbendung saat ini?, dan bagaimana
pula benturan politik kekuasaan dikemasnya?.
Kata kunci: Kyai, Perubahan sosial, Dinamika politik
kekuasaan.
Pendahuluan
Sosok kyai bagi masyarakat merupakan indikator penting
dalam kelangsungan hidup keberagamaan masyarakatnya. Kyai
tidak hanya sebagai pemimpin dalam ritual keagamaan saja,
namun juga sebagai tempat untuk mencurahkan berbagai keluh
kesah dalam berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Di
desa biasanya kyai diminta solusi dari berbagai persoalan, seperti
masalah keluarga, pendidikan, jodoh bahkan memilihkan waktu
untuk memulai suatu pekerjaan. Tapi ada juga sebagai asumsi,
bahwa penyebutan kyai cenderung disandarkan pada dunia
pesantren yang berbasis tradisional dan NU.
Karena kemampuan agamanya yang cukup tinggi, maka
kyai ditempatkan sebagai sosok “guru” baik dalam ilmu bathin
(esoteric) maupun ilmu zhahir (eksoterik). Jika dilihat dari
sejarahnya, bahwa gelar kyai memang tidak mudah untuk didapat.
Dalam bahasa jawa gelar kyai memiliki asal usul dalam tiga
jenis yang berbeda. Pertama: kyai merupakan gelar kehormatan
bagi sesuatu yang dianggap keramat, kedua: gelar kehormatan
untuk orang yang sudah tua, ketiga: gelar untuk seorang yang
ahli agama Islam/memiliki pesantren dan mengajar kitab klasik.1
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya gelar kyai mulai
melebar dan dapat dimiliki siapapun selama masyarakat setempat
mau mengakuinya dan sang kyai bisa memenuhi kriteria sebagai
sosok kyai apalagi mampu menjangkau apa yang tak terjangkau
oleh orang awam.
Kedudukan sosial kyai dianggap cukup tinggi, sehingga
kyai termasuk elit agama dan tokoh agama yang eksistensinya
selalu diperhitungkan. Sebagai tokoh agama, kyai berada dalam
posisi yang memiliki kharisma akibat hubungan strata sosial
yang tetap dipertahankan dalam komponen masyarakat. Suzanne
Keller memposisikan tokoh sebagai elit penentu sekaligus sebagai
obyek sosial, sehingga berada dalam kondisi tiga hal: pertama,
mempunyai wewenang dan pengambil keputusan, kedua, sebagai
pendukung kekuasaan moral, dan ketiga, sebagai orang yang
terkenal, berhasil dan berderajat.2 Maka seorang tokoh dituntut
untuk berhasil dalam mengembangkan suatu citra umum yang
memudahkan hubungan timbal balik yang bersifat simbolis
antara tokoh agama dengan masyarakat. Tokoh agama dapat
juga ditempatkan sebagai kolektif model dan cermin dari ambisi,
harapan dan pergolakan masyarakat.
Kajian dan penelitian tentang sosok dan peran kyai telah
banyak dilakukan oleh para peneliti, seperti: Hiroko Horikosi
(1978) yang membedakan kyai dengan ulama dan memandang
kyai sebagai agen perubahan sosial, sehingga kyai banyak
bermain pada tataran kultural. Pada akhirnya kyai ditempatkan
sebagai pemelihara sistem, bukan pencipta sistem dan kyai
sebagai perantara (broker) dalam menghubungkan masyarakat
modern dengan pertahanan sistem pertahanan tradisional. Maka
Horikoshi memandang bahwa kyai menjadi tolak ukur dalam
menunjukkan kewaspadaan terhadap prinsip otoritas, sehingga
bila terjadi sebuah kemerosotan dalam hal apapun maka kyailah
yang menjadi penentram3. Sementara Geertz (1960) menyoroti
kyai sebagai makelar budaya (cultural brokers), demikian juga
Martin Van Bruinessen (1995) yang menggandengkan kiprah kyai
dalam dunia tarekat (persaudaraan mistik Islam). Zamakhsyari
Dhofier (1982) juga mengkaji tentang pandangan hidup kyai
dalam tradisi pesantren. Dan masih banyak lagi belakangan
bermunculan kajian dan penelitian seputar kiprah kyai terutama
dalam pentas politik maupun sosial keagamaan.
Peran dominan kyai dalam proses perkembangan
keagamaan tersebut kemudian membentuk sistem sosial, di
mana di dalamnya terdapat unsur yang tidak terpisahkan,
saling mengandaikan, saling membutuhkan dan membangun
suatu keseluruhan sehingga sampai pada keseimbangan yang
cenderung untuk mempertahankan diri. Maka analisa teori
fungsional Parson sangat relevan dengan menggunakan konsep
relasional atau peranan, sebagaimana diuraikan oleh K. J.
Veeger yang mengkaji teori fungsionalisme Talcot Parson dengan
mengintrodusir ke dalam dua ciri khas, yaitu:
Konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan kepada 1.
keselamatan dan ketahanan system social.
Konsep pemeliharaan keseimbangan sebagai ciri utama 2.
dari tiap-tiap sistem sosial,
Maka dalam analisis Sosiologis, menurut Weber (1968)
sebagai kacamata fakta sosial, kepemimpinan tokoh agama
sesungguhnya adalah kepemimpinan kharismatik yang berporos
pada personal leadership. Dalam konteks ini kyai adalah patron
bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik.
Kompetensi Kyai dalam bidang agama menempatkannya sebagai
pemegang otoritas suci agama. Fatwa dan nasehat Kyai senantiasa
dijadikan sebagai preferensi sosial-politik yang dipatuhi umatnya.
Bahkan dengan otoritas kuasa dan moral yang dimilikinya, Kyai
mampu menggerakkan masyarakat dalam menentukan pilihan
politiknya.
Pemetaan Kyai Dalam Perubahan Sosial
Kyai dengan segala eksistensinya telah terjadi banyak
pengembangan, bahkan pergeseran peran, baik dalam fungsi,
tanggung jawab, kiprahnya, juga pada mindsetnya. Pada
dasarnya kiprah kyai tidak hanya dilihat dari kegairahannya
dalam mentransformasi nilai-nilai agama pada masyarakat, juga
pada gigihnya dalam perjuangan social politiknya saja. Melihat
sosok kyai, maka yang ada dalam benak kita adalah: Pertama,
sebagai pendiri/pengasuh pondok pesantren, bahwa pesantren
dapat dikatakan menjadi aspek yang hampir selalu ada dalam
perkembangan masyarakat terutama yang menyangkut pengaruh
kyai.5 Kyai pesantren adalah mereka yang aktifitas kesehariannya
mengajar ilmu-ilmu agama didalam pesantren, baik dalam
lembaga pendidikan formal maupun non formal dan program-
program pesantren lainnya. Kedua, sebagai guru tarekat, sebagai
pemimpin kelompok pengajian. Ketiga, sebagai pembela ummat,
sebagai da’i, dan lain-lain.
Dalam konteks kyai sebagai da’i, kyai menjadi sosok
sumber inspirasi bagi ummatnya, sehingga dalam totalitas seorang
da’i harus profesional. Profesionalisme merupakan aspek penting
dalam menampakkan kualitasnya. Seorang da’i awalnya muncul
dari kalangan kyai dan santri, namun saat ini ada kecenderungan
dikalangan masyarakat umum bahwa profesi ini lebih terbuka,
artinya walau bukan kyai ada peluang untuk menjadi seorang
da’i.6
Kyai sekilas tampak homogen, jika dilihat secara seksama
ternyata amat variatif. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak
faktor. Misalnya, dari perbedaan mereka dalam mempersepsi dan
memahami ajaran agama itu sendiri, lingkungan di mana masing-
masing Kyai itu hidup dan dibesarkan, kondisi ekonomi, dan
juga faktor sosial politik. Muncul dan berkembangnya berbagai
aliran keagamaan di berbagai tempat adalah bukti bahwa selalu
adanya perbedaan pemahaman, persepsi atau sudut pandang. Di
kalangan kyai misalnya, muncul istilah kyai fikih, kyai tasawuf
dan sebagainya.
Berangkat dari asumsi tersebut, kemudian melahirkan
peta konsep tentang perkyaian, di mana kyai terpetakan dalam
dua definisi, yakni: kyai karena “keturunan dan kyai karir”. kyai
karena keturunan sebagaimana diungkapkan diatas merupakan
sosok kyai yang secara genitis memang keturunan kyai besar baik
ditingkat desa maupun dalam skala yang lebih besar, biasanaya
kyai keturunan sudah dipersiapkan sejak kecil, sehingga orientasi
keilmuannya dari awal sudah diarahkan untuk menguatkan
posisinya kelak ketika sudah siap menjadi kyai. Hal ini dibangun
agar masyarakat tidak kecewa ketika kyai tersebut telah tiada
maka keturunannya telah siap dengan segala predikat kyai yang
akan disandangnya. Kemudian kyai karir, secara genetis bukan
keturunan kyai, namun karena memiliki ilmu agama yang cukup
mapan dan dipupuk dengan bakat yang dimilikinya, maka dengan
mudah ia memposisikan dirinya sebagai kyai.
Saat ini kyai karir ini banyak diminati oleh masyarakat,
sehingga ada ungkapan yang cukup menarik dari sebagaian
masyarakat, bahwa untuk menjadi kyai cukup mudah yang
penting punya pengetahuan agama, punya mushalla dan bisa
ngajar ngaji. Peran keagamaan kyai di Indonesia cukup kompleks,
yakni: pertama, sebagai pemimpin ritual keagamaan. Peran ini
berangkat dari ketinggian tingkat relegiusitas masyarakat karena
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, pelaksanaan ritual
keagamaan merupakan bagian penting yang tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat lebih
melihat pada fungsi agama sebagai ikatan solidaritas yang
memberikan ikatan simbolik. Kedua, sebagai pendiri atau
pengasuh pondok pesantren, penggambarannya adalah banyak
berdirinya pesantren yang tersebar disetiap pelosok di Indonesia,
baik pesantren kecil maupun pesantren besar. Disadari ataupun
tidak, ketika seseorang memutuskan memilih pondok pesantren,
maka yang jadi pertimbangan pertama adalah kyai yang mengasuh
pesantren tersebut. Konsep kepemimpinan dalam pesantren
adalah konsep mata rantai yang terus bersambung, artinya
konsep tersebut menganggap sebagai sebuah aspek integral dalam
kepranataan spiritual. Untuk itu santri akan sangat menjunjung
tinggi berkah dari kyai.7 Ketiga, sebagai guru/pemimpin tarekat,
para pemimpin tarekat merupakan kyai yang memiliki pengaruh
besar dan memiliki jamaah cukup banyak.
Perkembangan selanjutnya, ketika bermunculan asumsi
dari sebagian masyarakat yang mulai berani mengkritisi sosok
kyai, bahwa kyai dahulu sangat berbeda dengan kyai sekarang.
Dulu, masyarakat tidak akan berani melontarkan kalimat kritik,
karena dianggap sangat tidak sopan. Namun saat ini ungkapan
tersebut bukan lagi menjadi hal yang tabu untuk dilontarkan.
Fenomena tentang keberanian ini menjadi layak dipertanyakan,
apakah memang benar-benar telah terjadi perubahan yang
signifikan terhadap sosok kyai atau dari masyarakatnya yang sudah
mampu berfikir kritis tentang perkembangan kondisi sosialnya?.
Di samping itu faktor perubahan sosial secara signifikan sangat
7 Jika pesantren ditempatkan sebagai lembaga kekuasaan, maka
strategi perubahan dalam pesantren merupaka jaringan kelompok dan
individuyang saling terkait dalam hubungan atas bawah, yakni kyai
dan santri. Karena itu setiap upaya melaksanakan perubahan perlu
memobilisasi dan memanipulisasi kekuasaan terhadap orang lain.
Strategi kekuasaan merupakan rencana untuk mengiring perubahan yang
mengakui fakta mendasar dalam kehidupan soasial. Maka hal ini menjadi
stategi kekuasaan versus sikap, terutama sikap-sikap yang terjadi dalam
keseharian.
berdampak cukup kritis dalam melahirkan persepsi yang berbeda
dari sebelumnya, dimana studi tentang perubahan sosial akan
melibatkan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang menunjuk
pada wilayah terjadinya perubahan sosial serta kondisi yang
melingkupinya. Dimensi ini mencakup pula konteks historis yang
terjadi pada wilayah tersebut, sedangkan dimensi waktu meliputi
konteks masa lalu (past), sekarang (present) dan masa depan
(future).8
Kemudian jika dianalisa lebih jauh maka akan muncul
pertanyaan yang paling mendasar, dimanakah letak perbedaan
tersebut? Bila akhirnya faktor keterlibatan kyai dalam
dunia politik dianggap biangnya, bukankah kyai berpolitik
bahkan terlibat dalam politik praktik itu sejak masa sebelum
kemerdekaan telah banyak mewarnai percaturan dunia politik.
Dalam konstelasi sejarah di Indonesia, kyai telah banyak
melakukan pergerakan bahkan perjuangan, salah satunya
melalui peran politiknya dengan mengusung berbagai partai-
partai Islam. Namun persoalannya jika dulu kyai berpolitik
karena memiliki musuh bersama dan juga musuhnya cukup jelas
yakni kolonialisme, kemudian berlanjut pada masa orde baru.
Maka saat ini perjuangan kyai yang dihadapi bukan lagi musuh
bersama ataupun musuh yang jelas. Kyai dihadapkan pada dunia
kapitalisme dan modernisme, yang sebagian kecil kyai menjadi
bagian dari itu semua. Budaya tersebut cenderung menjadikan
masyarakat menjadi individualistik karena mengagungkan
tehnologi dan rasionalitas, padahal tindakannya berada level
irasional.
Demikian juga kapitalisme, karena ulahnya seringkali
menghilangkan nilai-nilai solidaritas sosial yang sejak dulu telah
tertanam dalam dalam masyarakat. Akhirnya, karena masing-
masing individu sibuk mengurusi diri sendiri maka semangat
solidaritas menjadi terkikis. Arus modernisasi ini kemudian
dibendung oleh tokoh-tokoh posmodernisme, sehingga melahirkan
teori-teori posmodernisme, seperti: Antony Giddens, Foucault,
Boudrillard dan lain-lain. Mereka mencoba menelanjangi
fenomena masyarakat modern, sehingga studi posmodernisme
cenderung dilihat sebagai studi yang bersifat reflektif. Boudrillard
menilai bahwa masyarakat modern menjadi terjerumus pada
masyarakat konsumtif. Masyarakat konsumtif memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang membawanya menuju pada objek yang
memberinya kepuasan, walaupun pada akhirnya manusia tersebut
tidak pernah merasa puas.9 Manusia modern lebih tertarik untuk
membeli merk, bukan dari nilai dan kemanfaatannya. Semuanya
diarahkan pada konsep penyeragaman karena faktor gaya hidup
dan citra yang diarahkan oleh iklan. Terjadinya perubahan sosial
masyarakat disebabkan proses berlangsungnya transformasi dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang diikuti oleh
berbagai implikasi di bidang ekonomi, geografis, budaya, dan
psikologisnya, baik secara individu maupun kelompok. Kiprah
seorang kyai kemudian mau tidak mau harus terbentur dengan
budaya masyarakat hedonis tersebut. Perjuangan kyai dituntut
untuk lebih fleksibel dan akomodatif, namun juga diperlukan
strategi dinamis agar dakwah agamanya bisa diterima dengan
mudah oleh masyarakat.
Secara historis, kyai menjadi bagian sosok agamawan
yang posisinya cukup dipentingkan dalam konteks berbagai
pertimbangan-pertimbangan menyangkut kebijakan, apalagi
kebijakan yang melibatkan masyarakat, terutama bila
berhubungan dengan kebutuhan gerakan-gerakan maupun
mobilisasi. Maka kyai dinilai dan ditempatkan sebagai penentu
maju dan tidaknya sebuah peradaban. Oleh sebab itu, kemajuan
selalu identik dengan perubahan, kemudian muncul tudingan
apakah kyainya terlebih dahulu yang harus berubah ataukah
masyarakatnya. Tudingan tersebut kemudian ditempatkan dalam
berbagai kepentingan ketika kyai selalu ditempatkan sebagai
penjaga tradisi yang harus stagnan dan tidak dinamis, sehingga
benturan-benturan perubahan sosial harus dihadapi atas nama
agama. Atau sebaliknya, kyailah yang harus berada di garda
paling depan untuk menyesuaikan dengan berbagai pergolakan
perubahan akibat tuntutan zaman.
Posisi tersebut menjadikan kyai berada dalam kondisi
yang cukup dilematis. Zamakhsyari Dhofier menjembatani
dilema tersebut, bahwa kyai memandang tradisi dan modernitas
sebagai dua entitas yang perlu bersatu untuk kebutuhan umat
Islam menuju masa depannya, dengan berpegang pada azas ‘al
muhafadhoh ‘alal qadimil ashlah wal ahdzu min jadidin nafi’
(menjaga tradisi lama yang lebih baik dan menambah ilmu
pengetahuan yang baru yang bermanfaat).10 Hal tersebut berarti
seorang kyai dituntut untuk memiliki strategi dakwah yang bijak,
konsisten dan mampu merespon perkembangan zaman akibat
perubahan sosial.
Modernisasi menjadi hal yang tidak terbantahkan
dengan beberapa fakta yang telah ada di Indonesia. Fenomena
ini menjadi babak tersendiri bagi para kyai, ketika kyai hanya
diidentikkan sebagai pemangku masjid dan madrasah, pengajar
dan pendidik, serta ahli dan penguasa hukum Islam, maka
kemudian harus berhadapan dengan beragamnya pemahaman
baru yang merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakatnya.
Kyai dituntut untuk melakukan berbagai terobosan-terobosan
baru dalam menyampaikan nilai-nilai agama sehingga tidak
terjebak dalam kebekuan tradisi dan tidak terhanyut dalam arus
modernisasi.
Pengkultusan dan Benturan Peran Ganda Kyai
Sebagai pusat dakwah, kyai cukup memiliki banyak andil
dalam membentuk kehidupan bermasyarakat, hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah sejak zaman kolonial
belanda hingga saat ini. Demikian halnya dengan peradaban
Indonesia modern, bahwa ujung tombak pembangunan peradaban
melayu nusantara terdapat pada eksistensi kyai itu sendiri.
Kyai menjadi aktor utama dari segala konsepsi
sosial agamanya sekaligus menjadi institusi yang menjadi
penyebarannya, sehingga kyai memiliki pengaruh yang cukup
signifikan terhadap perkembangan sosial, politik dan ekonomi
terutama bagi masyarakat lokal. Dapat dikatakan bahwa kyai
beserta pengaruh di dalamnya menjadi pembentuk sistem dalam
pola kehidupan masyarakatnya, selain itu juga dapat menjadi
penentu budaya.
Penghormatan dan pengagungan terhadap kyai
merupakan tradisi yang diwarisi oleh masyarakat tradisional,
sehingga kemudian muncul pembelaan-pembelaan yang luar
biasa dari masyarakat terutama santri terhadap pengamanan
sang kyai.11 Sikap heroik tersebut sebagai bentuk bakti, khidmat
dan loyalitas yang tinggi terhadap sang kyai.
Saat ini kyai tidak hanya dominan dalam perkembangan
sosial keagamaan masyarakat, namun juga terlibat dalam politik
dan birokrasi. Peran ganda ini seringkali berpengaruh besar
terhadap manajemen waktu, tenaga bahkan dalam pemikiran
kyai, sehingga baik kyai maupun masyarakat yang tidak siap
akan mengalami keterkejutan dalam hal pemahaman kondisi
sosialnya. Maka kemudian yang menjadi pertanyaan besar
adalah: Bagaimana pergeseran peran kyai tersebut berlangsung
sehingga melandasi motivasi kyai dalam pilihan peran
gandanya?, Bagaimana para kyai yang terlibat peran ganda
tersebut menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah tuntutan
masyarakat yang semakin kompleks? Dan Bagaimana masyarakat
menempatkan sosok kyai yang menjalankan peran ganda dalam
sosial kultural masyarakat yang juga mengalami perkembangan
dalam berbagai sektor?
Kehadiran Kyai ini diharapkan akan dapat memberikan
kesejukan dan kedamaian serta dapat mendinginkan panasnya
arus politik dan menjadi moral force dalam kehidupan
perpolitikan dan jalannya pemerintahan di Indonesia. Disisi lain
adapula sebagian masyarakat yang mengaharapkan peran kyai
atau elit agama berperan lebih signifikan agar dapat mengatasi
persoalan-persoalan dan krisis yang terjadi di Indonesia.
Sebagian kyai punya peran ganda sejak dulu itu sudah
ada, lalu apakah saat ini peran ganda tersebut kemudian menjadi
persoalan?. Namun jika simbol kyai yang sakral dan sangat
dihormati oleh umat menjadi hilang begitu saja karena terlibat
dalam permainan politik dan kekuasan itu menjadi persoalan,
maka dalam politik kyai akan memainkan peran moral yang
terkait dengan kepentingan umum ke berbagai saluran politik,baik
langsung maupun tidak langsung.
Pada dasarnya realitas ini juga terjadi pada masa sebelum
kemerdekaan, kyai punya peran penting dalam perlawanan
penjajahan terutama dalam pembentukan Negara Republik
Indonesia, sehingga kyai menjadi simbol solidaritas perjuangan
ummat. Maka dalam konstelasi sejarah di Indonesia dapat
dipahami bahwa kyai dengan social politiknya tidak dapat
dipisahkan secara ekstrem. Namun bagaimana maneuver politik
kyai saat ini? Apakah muatannya beriringan dengan perjuangan
sebelumnya? Hal ini berlaku juga dalam percaturan perkyaian di
Indonesia, di mana adanya rekonstruksi politik telah menggeser
garis perjuangan kyai seiring dengan perubahan dan perkembangan
politik tanah air. Kyai pun mulai merambah wilayah politik dengan
segala manuver politik dukung- mendukung (legitimasi) yang
seringkali dinamai dengan istilah memberi restu atau silaturahim.
Proses ini karena adanya simbiosis mutualisme untuk interest
tertentu demi mendapatkan bagian dari kekuasaan atau minimal
mendapatkan bantuan dari elit politik yang didukung. Sementara
elit politik akan mendapatkan legitimasi moral keagamaan dari
kyai.
Namun bagaimanapun juga, para kyai telah melestarikan
dirinya bukan saja sebagai pemimpin non formal, tetapi sebagai
institusi yang kritis terhadap kekuasaan yang ada, dan fungsi kritis
tersebut akan tetap bertahan jika kyai tidak masuk dalam ranah
kekuasaan formal birokrasi. Agama dan kyai menjadi institusi
sosial yang mampu mengikat dalam sistem simbol kebersamaan
dan membantu menumbuh kembangkan rasa solidaritas, sehingga
agama menjadi landasan dalam melakukan gerakan-gerakan
sosial. Kepercayaan terhadap kyai dibandingkan pada pemimpin
lainnya menurut Bouwsma (1998) dipandang bahwa orientasi
penduduk pedesaan adalah kyai, bukan pada kepemimpinan
birokrasi. Hal itu karena kyai memiliki kharisma tersendiri
yang hampir tidak dimiliki oleh kepemimpinan yang lainnya.
Taufik Abdullah12 menganalisi tesis Weber, bahwa Islam memiliki
keistimewaan keabsahan dari kebenaran dogma yang ditentukan
oleh konsensus para ulama sebagai tokoh agama. Maka Islam
merupakan agama yang oleh kelompok status tertentu, seperti
dalam perang agama, di mana bagi sebagian para prajurit adalah
untuk mendapatkan ghanimah. Karena itulah kelas sosial dalam
Islam berorientasi pada kepentingan feodal, artinya ada jaringan
sosial antara patron dan klien, maka muncullah prestise sosial.
Jadi, Weber beranggapan bahwa struktur patrimonial
yang berlandaskan kharisma penguasa adalah faktor utama
dari sistem budaya agama Islam, sehingga diperlukan penguasa
kharismatik dan keramat untuk menjadi pemimpin atau penguasa.
Sedangkan penguasa yang bercorak tersebut harus pintar menjaga
kehormatan dan kepercayaan umatnya.
Ketika seorang kyai terlibat dalam politik kekuasaan,
maka akhirnya muncul juga sebutan kiai politik. Hal ini
mengindikasikan bahwa masyarakat punya penilaian tersendiri
tentang sosok kyai dengan segala perannya, atau juga untuk
membedakan antara kyai yang terlibat politik dengan yang tidak
terlibat. Disadari atau tidak, bahwa keterlibatan kyai dalam dunia
politik menyebabkan semakin memudarnya kharisma seorang
kiai di mata umatnya. Ekses negatif ini tentunya dirasakan
oleh kiai yang terlibat dalam perpolitikan, akan tetapi hampir
seluruh kiai menerima imbasnya. Para kiai yang tidak berpolitik
pun merasakan lunturnya loyalitas yang dahulu sudah terpatri
dan tertanam sangat kuat. Namun ada anggapan dari sebagian
masyarakat yang menilai positif keterlibatan kyai dalam dunia
politik, mereka berasumsi bahwa masuknya kyai dalam percaturan
politik diharapkan dapat menekan berbagai penyelewengan
kekuasaan dan lebih mempermudah menjembatani persoalan-
persoalan umat. Sebaliknya, peran ganda kyai dalam dunia
politik dinilai telah menyalahi koridor dan filosofi masyarakat.
Bagi sebagian kyai yang masuk dalam ranah politik, bahwa
keterlibatannya bukan tanpa alasan, karena faktor historis cukup
kuat untuk seorang kyai untuk harus terlibat dalam politik, bagi
mereka Nabi Muhammad SAW adalah sosok negarawan sebagai
kepala Negara, dimana dalam tugas sucinya adalah sebagai
pembawa risalah. Demikian juga Keterlibatan kyai dalam pentas
politik di Idonesia sejak, dimana sejak zaman Kesultanan Mataram
dan pada masa penjajahan Belanda, kyai mempunyai peranan
penting dalam perjuangan Hizbullah dan Sabilillah dimana
pesantren menjadi tempat pelatihan para pejuang. Demikian
juga dalam perjuangan kemerdekaan, para kyai banyak terlibat
memperjuangkan meraih kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut
berarti, secara ideologis ajaran Islam melingkupi tidak hanya
pada aspek ritual dan moral saja, tetapi juga pada nilai-nilai
semua sisi kehidupan – baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi,
hukum, sosial, maupun persoalan politik.
Semestinya Kyai sah-sah saja berpolitik, namun tidak
diorientasikan pada kekuasaan, melainkan menanamkan nilai nilai
moral untuk pencerdasan dan penguatan umat dan masyarakat.
Dalam konteks ini, kekuasaan dipahami sebagai kualitas, kapasitas
atau modal untuk mencapai tujuan tertentu dari pemiliknya.
Foucault tidak menolak cara pandang semacam ini, tapi hal itu
tidak cukup untuk memahami praktik penundukan yang tak kasat
mata. Pandangan yang lebih kritis tentang kekuasaan muncul
dalam kajian budaya. Konsep Gramsci tentang hegemoni sering
digunakan untuk membongkar kemapanan budaya dalam proses
dominasi yang terselubung. Dalam penjelasan yang lebih canggih,
kekuasaan bekerja melampaui cara-cara hegemonik, yang mana
hal ini dikonsepsikan Foucault sebagai governmentality.
Kyai mengemban amanah kekuatan kultural yang selalu
mengingatkan para pemimpin, sekaligus menegaskan perannya
untuk secara etis-profetik mengawal kepentingan umat dalam
kehidupan sehari hari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka
peran kyai akan tetap membumi di masyarakat. Pada akhirnya,
moralitas kyai tidak menjadi sekedar bahasa isoterik belaka, tetapi
dapat menjadi bahasa dan perjuangan politik demi mewujudkan
kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian bagi umat. Walaupun
pada akhirnya pembangunan, industrialisasi dan modernisasi
dijadikan alasan keterlibatan berbagai elemen termasuk di
dalamnya peran kyai, namun menjaga tradisi dan nilai-nilai
hidup harus tetap menjadi program yang beriringan, agar tidak
mengakibatkan ekses negatif yang harus diterima masyarakat.
Sebagaimana digaungkan Sunyoto Usman, bahwa semestinya
gerakan keagamaan berorientasi pada pemeliharaan tradisi lokal
dengan berpegang pada proses internalisasi ajaran agama dengan
tidak harus menghancurkan nilai-nilai sosial yang hidup dalam
kultur lokal, agar tidak terjadi kebangkitan resistensi pada ajaran
agama yang diintroduksi.13
Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai
bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang di mana
kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai
sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk
rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasi
mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu,
kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah
efeknya. Arkoun14 memberikan perbedaan yang jelas antara
wewenang dan kekuasaan dalam Islam. Wewenang muncul
dalam hubungan pribadi tanpa ada kendala fisik atau hukum.
Wewenang merupakan keterikatan sementara seorang individu
atau kelompok pada kata-kata dan tingkah laku seorang individu
lain yang menbawahkan dirinya sendiri terhadap tujuan-tujuan
mereka yang mengikutinya. Seperti, kehadiran Nabi Muhammad
sebagai yang berwenang dalam agama, maka beliau menjadi
pemimpin ummatnya. Sedangkan kekuasaan berada diluar
yang dikuasai, bergantung pada tempatnya bertopang, apakah
pada wewenang atau pada kendala. Kekuasaan menimbulkan
persatuan dan ketaklukan bagi mereka yang ditundukkan. Maka
kyai sebagai tokoh agama ditempatkan sebagai orang yang
mempunyai kekuasaan, dimana mereka memiliki kekuasaan
untuk menilai, memutuskan sejauh batas melakukannya atas
nama tatanan. Hal ini merupakan gabungan dari paksaan,
pengaturan alam semesta wewenang dan daya.
Bagaimanapun juga, peran sosial politik kyai dalam
sosial politik yang tumbuh dan berkembang khususnya pada
masyarakat industrialisasi saat ini, akan selalu melibatkan
persinggungan wacana antara agama dan politik. Selain itu,
kenyataan emperik juga mengilustrasikan perpaduan antara
agama dan politik ini seperti terlihat pada peran-peran yang
dimainkan sejumlah kyai dalam panggung politik praktis paling
tidak selama beberapa dekade terakhir. Di antara efek sosial dari
peran ganda yang ditimbulkannya adalah adanya pergeseran
kecenderungan masyarakat dari tradisional ke modern.
Namun selama masih dalam kendali karidor keagamaan,
dan juga selama kyai masih dapat menjaga ketokohannya, maka
masyarakat juga masih kuat beranggapan bahwa secara normatif,
kyai tetap dipandang sebagai sosok kharismatik yang memainkan
peran-peran sosialnya secara signifikan. Kyai masih ditempatkan
sebagai sumber fatwa dan sumber inspirasi kebajikan ketika
masyarakat berada di simpang jalan di antara pilihan-pilihan
politik yang membingungkan. Sementara di sisi lain, fenomena
perubahan-perubahan struktur kognisi kyai berkenaan dengan
peran-peran sosial politik tersebut berkaitan erat dengan persepsi
teologis yang dianutnya.
Jadi, untuk menempatkan seputar dilema tarik-menarik
antara peran ganda kyai dalam rentang kehidupan sosial-
politik dan agama, maka juga yang menjadi pertimbangan
adalah sejarah kerangka teologis yang berakibat pada aksi
sosial politik yang dihasilkannya. Maka jika ditelusuri lebih
detail akan menghasilkan pemahaman, pertama: bahwa ada
kecenderungan kyai akan terlibat dalam urusan politik untuk
menempatkan urusan ummat dalam panggung politik praktis
dengan asumsi, politik sebagai kendaraan paling praktis. Dalam
hal ini biasanya kyai memahami betul konsekuensi yang ia terima,
yakni berkurangnya peran sosial keagamaannya, sehingga ia
mengantisipasi dengan menempatkan sanak keluarganya untuk
menangani peran tersebut, sehingga kyai bisa lebih fokus pada
urusan politik, kedua: kyai yang memandang ringan dan lebih
fleksibel pada urusan politik praktis, baginya politik hanyalah
menjadi kepentingan sesaat dan menjadi batu loncatan dalam
kepentingan pragmatis semata, ketiga: kyai yang konsisten untuk
tidak bersinggungan dengan urusan politik.
Adanya pemahaman yang melatarbelakangi klasifikasi
peran kyai kemudian melahirkan konsekuensi logis terhadap
persepsi masyarakat tentang sosok kyai. Menjamurnya partai-
partai politik yang bernuansa agama juga tidak lepas dari
asumsi masyarakatan tentang keseriusan kyai untuk lebih jauh
terlibat dalam dunia politik. Maka tidak salah jika kemudian ada
penggambaran masyarakat tentang sosok “kyai partai”.
Oleh karena itu, kajian tentang peran sosial dan politik
kyai dalam perspektif historis-teologis menarik untuk dikaji
lebih mendalam, mengingat urgensi kedalaman tersebut akan
menghasilkan pemetaan kyai yang lebih komprehensif. Kajian
historis-teologis merupakan unsur yang sangat penting untuk
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan
kerangka persepsi yang menjadi dasar pembentukan struktur
kognisi yang dimilikinya.
Maka sudah semestinya sosok kyai muncul dari sebuah
pengembangan kepribadian yang terbuka dan memiliki komitmen
yang tinggi dalam kapasitasnya sebagai elemen seorang tokoh
agama, sehingga mampu melampaui batas-batas primordialisme
namun tetap berdiri di atas kapasitas intelektualnya. Ada juga
perubahan tertentu yang kadang salah dan dikaitkan dengan
modernisasi. Hal tersebut disebabkan tidak semua modernisasi
menjadi seperti semodern barat, itu karena pola modernisasi
berbeda-beda. Tradisi dapat berubah tanpa modernisasi, demikian
juga modernisasi dapat terjadi tanpa perubahan mendasar dalam
tradisi. Unsur-unsur tradisi yang tertanan dalam ketokohan kyai
dan kantong-kantong kebudayaan dapat dipertahankan dalam
masyarakat modernisasi, karena unsure-unsur tradisional tesebut
dapat menyediakan landasan yang kuat dalam memetakan
modernisasi.
Simpulan
Masyarakat Indonesia dikategorikan sebagai masyarakat
yang memegang teguh nilai-nilai spiritualitas agama dan tradisi
hidup, maka kekuasaan di tanah air ini tidak lepas dari tokoh
agama yakni kyai. Kyai mempunyai tanggung jawab secara
Kyai, Perubahan Sosial Dan Dinamika Politik Kekuasaan
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015174
horizontal ditingkat sosial masyarakatnya karena memiliki
integritas moral yang legitimate. Proses legitimasi tersebut
tidak datang begitu saja, tapi ditentukan oleh bagaimana
kiprahnya dalam mengabdikan hidupnya dalam kehidupan
kemasyarakatan. Maka kiprah tersebut melahirkan “charisma”,
di mana ketokohannya melebihi seorang tokoh dalam sektor
formal. Namun tidak seharusnya kharisma tersebut menjadi
luntur hanya karena sektor formal mengalahkan eksistensi sosok
kyai.
Kemudian ketika eksistensi kyai dibenturkan dengan
kondisi riil masyarakat saat ini yang dihadapkan dengan
berbagai benturan modernisasi, globalisasi dan industrialisasi,
sepertinya para elit agama perlu melakukan terobosan sehingga
elemen masyarakat tidak mengalami “shock culture”. Ini
menjadi pembelajaran yang cukup berarti ketika Negara Turki
dan Mesir sebagai pusat intelektual Islam dianggap tidak
mampu mengembangkan pemahaman baru terhadap hukum dan
peradaban Islam melalui pendidikan yang representatif, akibatnya
ketika negara tersebut menjadi modern, maka masyarakat Mesir
jatuh pada pilihan yang pragmatis dengan mengadopsi tradisi-
tradisi barat secara mentah.15 Demikian halnya dengan Turki
dengan sekularisasi dan modernisasinya mengalami keterputusan
kultural masa lalunya. Akibatnya Turki menjadi terjebak dalam
dimensi masa lalu (taklid) dan dimensi masa depan (ijtihad),
dalam arti mau bernostalgia dengan masa lalu tertutup oleh huruf
dan bahasa, namun merengkuh dan berkompetisi dengan masa
depan kalah bersaing dengan Eropa. Tidak halnya dengan Jepang
walaupun negara tersebut canggih dalam industrialisasinya
namun tetap sinergis dengan masa lalunya.
Karena kyai sebagai elit agama merupakan pemimpin
polymorphic, di mana dalam kepemimpinannya membawahi
bidang agama dan sosial, maka figurnya menjembatani masyarakat
dalam membangun kapital sosial yang bernilai produktif
dengan tetap berani menunjukkan nilai-nilai kebenaran yang
berlandaskan agama. Kyai sebagai tokoh agama ditempatkan
pada posisi sentral, hal ini menjadi illustrasi tentang pandangan
positif yang melekat padanya sebagai pengemban moral dan
agama dengan sarana kelas kekuasaan yang selalu bertahan.
Akhirnya upaya untuk mengembalikan peran sosial-
keagamaan kyai merupakan strategi sosial yang harus
diupayakan, apalagi untuk membentengi masyarakat dengan
nilai-nilai agama Islam akibat derasnya arus industrialisasi dan
percepatan transformasi sosial. Kekuasaan kyai diorientasikan
untuk menggalang perubahan sosial yang mampu memperkokoh
posisi sosialnya masyarakat. Bagaimanapun juga, kyai tetap
harus berada dan membela tradisi kultural dan agama, dan jika
kehilangan kekuatannya akibat dari berbagai strategi-strategi
politik maka otoritas kyai menjadi luntur. Kyai membangun
kharisma dan kekuasaannya melalui proses yang tidak mudah
diikuti oleh berbagai kalangan. Mulai dari penggalian ilmu
agama, manajemen sosial dan kepemimpinan, sampai pada
ketahanan memelihara statusnya. Karenarnya adanya kesadaran
bahwa perjuangan kiai berangkat dari otoritas kultural dan
agama menjadi penting untuk dipahami bersama, untuk itu
orientasi perjuangannya juga harus diorientasikan dalam rangka
transformasi sosial masyarakat dan bukan dalam pertarungan
di medan politik yang seringkali menciptakan konflik dan
disintegrasi sosial yang berkepanjangan.
Dalam perkembangan kajian teori sosial, kehadirannya
menjadi titik dasar dari proses kajian yang muncul
pada kerangka akademik studi sosiologi. Teori sosial
merupakan manifestasi dari berbagai macam pendekatan
yang bisa dipergunakan untuk membedah varian-varian
dari dinamika kajian yang ada pada studi sosiologi.
Besarnya peranan dari teori sosial ini mengukuhkan
eksistensinya sebagai instrumen dasar pada bangunan
analisis kajian sosial yang hadir dalam studi sosiologi.
Hal ini pula yang bisa disandarkan kepada analisis
tentang manifestasi konflik dalam dinamika kehidupan
masyarakat. Analisis konflik pada realitas kehidupan
sosial menjadi fakta yang cukup mengesankan untuk
dikaji dalam rangka menempatkan situasi sosial
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada
kerangka dasar data yang tepat serta mengarah kepada
posisi impelementatif dari perwujudannya. Konflik
yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat
merupakan bagian dari pembentukan masyarakat itu
sendiri. Untuk itulah, mengamati fenomena munculnya
konflik beberapa sosiolog membangun asumsi beragam.
Bagi seorang ahli yang melihat masyarakat dari nilai-
nilai internal kehidupan mereka, maka pengembangan
teori sosial berbasis sosiologi mikro dikembangkan.
Namun, bagi mereka yang melihat masyarakat dari
aspek terluar, atau wilayah makro, maka kajian
sosiologi makro dipergunakan. Pada kerangka ini,
baik Marx dan Simmel sebagai penggagas analisis
tentang konflik mencoba memotret fenomena ini dari
dua sudut pandang. Marx ingin melihat masyarakat
dalam perjuangan kelasnya. Sementara itu, Simmel
melihat bahwa pada pertumbuhannya, konflik itu
memberikan fungsi pengembangan dalam masyarakat
yang bersifat lunak. Manifetasi konflik dipersepsikan
oleh Marx dan Simmel mampu menembus sistem sosial
dalam masyarakat. Kedua tokoh ini pada ujungnya
menjelaskan tentang bipolaritas konflik yang dibangun
oleh masing-masing. Marx menjelaskan manifestasi
konflik sebagai usaha memecah stabilitas sosial dengan
pembentukan masyarakat komunis. Sementara itu,
Simmel menjelaskan bahwa konflik merupakan interaksi
yang bisa menghasilkan integrasi melalui kompromi
sosial.
Kata kunci: Dinamika Sosial, Konflik, Dialektika,
Bipolaritas
Embrio Konflik dalam Kehidupan Sosial
Dalam realitas kehidupan sosial, konflik seringkali
menyeruak sebagai hakikat yang dikonotasikan negatif.
Terlepas dari asumsi yang muncul ini hanya sebagai hipotesis
dalam menganalisis fenomena sosial, namun tetap saja
eksistensi konflik masih juga didudukkan sebagai entitas yang
memilukan bagi pribadi-pribadi yang menganalisisnya dari
linearitas sudut pandang. Tidak dapat dipungkiri, persepsi
yang mengemuka dari para pakar khususnya para sosiolog
pun menguraikan probabilitas eksistensi ini. Deskripsi tentang
polemik sudut pandang dasar konflik tergambar melalui
perspektif yang dibangun Turner1 berikut:
Conflict is thus designed to resolve dualism: it is a way
to achieving some kind of unity, even if it be through
the annihilation of one of the conflicting parties. This
is roughly parallel to the fact that it is the most violent
symptom of a disease which represents the effort of the
organism to free itself of disturbances and damages
caused by them.
Senada atas pernyataan Turner di atas, Wes Sharrock
dalam Pip Jones2 menjelaskan bahwa pandangan konflik di
bangun atas dasar asumsi bahwa setiap masyarakat dapat
memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang
tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena kebanyakan
orang tertindas ditekan. Oleh sebab itu, perbedaan kepentingan
dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan
atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagian besar masyarakat
diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak
hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warga
berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak
mendapatkan kemudahan.
Konseptualisasi dari konflik sebagaimana dijelaskan
oleh Turner di atas menunjukkan bahwa secara realistis konflik
dapat saja berimplikasi kepada ketidaknyamanan pada suatu
perspektif, namun pada sisi lain hakikatnya merupakan antitesis
yang bisa menimbulkan solusi atas suatu problematika sosial.
Banyak usaha sejatinya diuraikan oleh para pemerhati studi
atas konflik. Nilai-nilai yang bisa diungkap sebagai kontribusi
positif dari fenomena ini seutuhnya disampaikan guna
menguatkan bahwa tidak ada nilai absolut yang mengarah
kepada aspek negatif kemunculan konflik dalam realitas
sosial. Para pemerhati teori konflik menurut Wallace dan Wolf3
berkeyakinan bahwa analisis sosial yang mereka kembangkan
tidak akan menjauhkan dari komitmen moral yang disepakati
oleh publik. Asumsi yang mereka bangun adalah eksistensi teori
yang dikembangkan ditujukan seutuhnya untuk menciptakan
perubahan dan pencapaian terhadap realitas yang lebih baik.
Keyakinan mereka senantiasa dibangun bersandar kepada
hakikat bahwa objektivitas merupakan sebuah posibilitas
semata. Ilmu sosial dalam pandangan mereka akan berjalan
di antara ruang dan waktu kerja seorang penulis yang
senantiasa diperankan kepada dirinya fungsi-fungsi sosial
yang mengitari. Dalam perspektif lain dapat dijelaskan bahwa
para pakar teori konflik akan menolak paradigma keilmuan
umum yang senantiasa mengukuhkan diri dan paradigma yang
dikembangkan sebagai satu-satunya objektivitas.
Berpijak kepada probabilitas sosial yang akan muncul
dalam realitas kehidupan, Turner4 menjelaskan bahwa
munculnya beberapa kecenderungan kelompok pada sistem
sosial, hal itu akan mengakibatkan munculnya target-target
tertentu dalam eksistensi masing-masing. Kemunculan
dari fakta ini, yakni timbulnya kesadaran dari masing-
masing individu tentang goal-goal tertentu yang diinginkan
dapat mengerupsikan konflik itu sendiri. Sejatinya, fakta
kesepahaman dari unsur-unsur individu dalam realitas sosial
merupakan titik keseimbangan equilibrium yang ingin dicapai,
namun hakikatnya, perjalanan sosial itu akan berdialektika
dalam dimensi-dimensi yang senantiasa mengiringinya.
Pembahasan tentang akar konflik dalam kajian sosial
tidak bisa dilepaskan dari periodisasi kemunculan dinamika
ini dalam kehidupan masyarakat Eropa. Sebagaimana
catatan Sanderson5 disebutkan bahwa sistem kehidupan
ekonomi yang berlaku di Eropa Barat dari sekitar runtuhnya
Kekaisaran Romawi sampai datangnya kapitalisme modern,
dikenal sebagai feodalisme. Feodalisme merupakan ciri khas
masyarakat Perancis, Jerman, dan Inggris. Meskipun demikian,
feodalisme juga terdapat di belahan lain di Eropa Barat. Unit
dasar produksi ekonomi dalam masa feodalisme adalah
manor (suatu daerah tertentu biasanya dikelilingi hutan, di
dalamnya terdapat pemerintahan kecil yang dipimpin seorang
bangsawan). Manor dikelola oleh tuan tanah dan digarap
oleh sejumlah petani. Rata-rata petani menggarap sekitar
30 are yang sekaligus merupakan tanah tempat tinggal dan
pertaniannya. Sedangkan tanah yang dikuasai langsung oleh
tuan tanah untuk kepentingannya sendiri disebut tanah pribadi
(demesne). Hubungan antara tuan tanah dan petani sangat
tidak seimbang dan merugikan petani. Petani harus bekerja
pada tuan tanah di tanah pribadinya, sementara di lain pihak
petani juga harus membayar upeti. Misalnya, petani wajib
memberikan hasil-hasil pertanian tertentu dan membayar bea
seperti bea penggunaan alat pemeras anggur, tungku pemanas,
atau penggiling.
Fenomena yang terjadi dari periode kemunculan
konflik di masyarakat Eropa sebagaimana digambarkan oleh
Sanderson di atas menunjukkan bahwa pada tingkatan tertentu
dari kesepakatan yang ada di masyarakat tentang struktur
sosial, pada saat itu pula sebenarnya mereka sedang berbincang
dengan konflik itu sendiri. Pada kerangka dasar inilah Pip
Jones (2009: 13) menjelaskan bahwa pengaruh terpenting
dalam kehidupan sosial adalah distribusi keberuntungan
dan dampaknya pada perilaku. Apabila keberuntungan itu
tersebar secara tidak merata, kesempatan orang-orang yang
beruntung untuk memilih bagaimana berperilaku jauh lebih
besar daripada orang-orang yang tidak beruntung.
Konflik menurut Turner6 memiliki makna bipolaritas.
Satu sisi ia mengeksploitasi kelas sosial tertentu di bawah
situasi yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dengan
eksistensinya yang senantiasa menimbulkan kepentingan
tertentu dan pada saat yang lain ia menciptakan revolusi dalam
wilayah organisasi politik dengan orientasi melawan kelompok
dominan dan pemilik modal dalam struktur kelas yang
berjalan. Beragam kritik yang muncul dan menentang asumsi
dasar ini keseluruhannya meneguhkan bahwa 1) Identitas
masyarakat pada kedudukannya melampui daripada sekedar
organisasi ekonomi dan pola dari pemilik modal; 2) Konflik
sosial jarang terpolarisasi sebagai bagian dari keseluruhan
hidup masyarakat; 3) Kepentingan dalam masyarakat tidak
selalu berpadu dengan kedudukan dalam kelas; 4) Hubungan
yang erat dalam masyarakat tidak selamanya menunjukkan
ikatan yang erat pula dalam kepemilikan harta benda; dan 5)
Konflik dalam kehidupan sosial tidak selamanya bertujuan
untuk perubahan sosial, dialektika sosial, atau lainnya.
Pertentangan (conflict) menurut Soekanto dan
Sulistyowati7 mungkin pula menjadi sebab terjadinya
perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan
mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau
perantara kelompok dengan kelompok. Pada sub bagian
ini, Soekanto dan Sulistyowati mengetengahkan masyarakat
Indonesia sebagai ilustrasi masyarakat yang bersifat kolektif.
Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat.
Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai
fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya,
yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-
perubahan.
Pola-pola dan embrio konflik yang terjadi di masyarakat
pada beberapa aspek disebabkan pula oleh masalah
ketidaksetaraan. Hal ini dijelaskan oleh Pip Jones8 bahwa
terdapat beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat.
Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin
tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara,
orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak
setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan
seterusnya. Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada
kelompok tersebut juga bermacam-macam. Berbagai kelompok
bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, atau kombinasi
unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya. Sementara
itu, pada bagian yang lain, berbagai pusat perhatian teori
konflik berbasis ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan
yang mereka anggap tersebar tidak merata, teori-teori
tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan
persistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi
atas kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Disebut teori
konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada
masyarakat yang tidak setara adalah “konflik kepentingan”
yang tak terhindari antara “yang berupaya” dan “yang tidak
berupaya”.
Senada dengan argumnetasi Pip Jones di atas Soekanto
dan Sulistyowati9 juga menguraikan bahwa pertentangan
antarkelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan
generasi muda. Pertentangan-pertentangan demikian itu
kerapkali terjadi, apalagi masyarakat yang sedang berkembang
dari tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda yang
belum terbentuk kepribadiannya lebih mudah menerima
unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat)
yang dalam beberapa hal mempunyai taraf hidup lebih tinggi.
Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan
tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih
bebas antara wanita dengan pria, atau kedudukan mereka
yang kian sederajat di dalam masyarakat.
Kemunculan konflik dalam kehidupan sosial bertujuan
untuk menciptakan fungsi sosial yang ideal. Berpijak kepada
kerangka dasar inilah Plummer10 mengutarakan bahwa Thomas
Hobbes (1588-1679) telah tenggelam dalam perdebatan
mengenai perang sipil dan revolusi ketika menulis buku yang
berjudul “The Leviathan” pada tahun 1651. Hobbes dalam
pandangannya menjelaskan bahwa demi menciptakan fungsi
sosial yang ideal diperlukan adanya pemerintahan yang kuat.
Tanpa pemerintahan yang kuat—dibiarkan dalam sebuah
negara yang alami—maka kehidupan mereka akan terpencil,
miskin, rapi, kasar, dan tidak panjang umur. Meskipun jika
kepentingan pribadi masyarakat dapat ditekan, pemerintah
yang kuat tetap dibutuhkan demi terciptanya fungsi sosial
ideal. Perdebatan muncul hingga mencapai puncaknya pada
konflik berikutnya dalam Revolusi Rusia dan Perancis; dan
menciptakan keadaan yang banyak menjadi perdebatan hingga
sekarang, yaitu demokrasi.
Mengamati secara mendasar kemunculan konflik di
tengah-tengah kehidupan sosial, Plummer11 menegaskan
bahwa embrio kemunculannya ada di setiap jenjang kehidupan
bermasyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, konflik akan
muncul karena hakikat dasar dari penciptaan manusia itu
sendiri adalah perbedaan. Aneka ragama kehidupan secara
hakikat menjadi dasar faktual bahwa konflik itu akan muncul
dan terjadi dalam kehidupan sosial. Fakta ini diketengahkannya
melalui sistematika berikut:
Kepentingan-Kepentingan
Pokok Dalam Konflik Dan
Perebuatan Kekuatan Yang
Terjadi Di Dalamnya
Bentuk-Bentuk Stratifikasi
1. Ekonomi
1. Kelas, kasta, perbudakan,
kesenjangan global
2. Kesukuan 2. Ras, rasialisme, rasisme
3. Jenis kelamin
3. Patriarki, tingkatan jenis
kelamin, seksisme
4. Usia 4. Generasi dan pembagian usia
5. Bangsa dan negara
5. Penjajahan, pemusnahan
terhadap suatu bangsa, an
peperangan
6. Seksualitas 6. Heteroseksisme, homophobia
7. Kesehatan 7. Penyakit, kecacatan
Hakikat sistematis dari analisis munculnya konflik
sebagaimana dirumuskan oleh Plummer di atas menguatkan
bahwa dasar alamiah dari perjalanan hidup manusia adalah
diferensiasi dirinya dengan orang lain. Bersandar kepada
perspektif ini dapat diungkapkan bahwa analisis Karl Marx12
tentang dinamika perubahan sosial di masyarakat sebuah
keniscayaan yang tiada bisa dinafikkan. Dalam bukunya
“The German Ideology” Marx menjelaskan beberapa tahap
perubahan sosial terutama terfokus pada kondisi material dan
cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan
sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak. Hakikat
dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ini
juga menjadi satu dalil berarti dari embrio dasar kemunculan
konflik itu sendiri.
Secara hakiki, Marx sangat tertarik dengan adanya
unsur kemajuan dan konflik, serta menggunakannya untuk
menerangkan proses perkembangan masyarakat melalui
revolusi. Pencapaian terhadap tahap perubahan sosial ini
memang dianalisanya pada eksistensi yang lebih bersifat
linear. Deskripsi tersebut digambarkannya secara sistematis
sebagaimana tabel berikut:
Borjuis
Komunal Purba
Feodal
Primitif
Kapitalis
Komunis
Tahap Perubahan Sosial Linear Menurut Marx dalam Nanang
Martono
Implikasi pemikiran materialisme historis Marx,
menurut Martono13 adalah melihat struktur ekonomi sebagai
awal kegiatan manusia. Struktur ekonomi adalah penggerak
sistem sosial yang menyebabkan perubahan sosial, lingkungan
ekonomi menjadi dasar segala perilaku manusia. Selanjutnya,
Marx menyatakan bahwa setiap orang harus mencari
penyebab perubahan di dalam cara-cara produksi mesyarakat
daripada ide-idenya. Marx kemudian memusatkan perhatian
pada proses produksi yang dilakukan oleh manusia ditandai
dengan hakikat infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur
dalam masyarakat berwujud ekonomi. Superstruktur meliputi
ideologi, hukum, pemerintahan, keluarga, dan agama.
Konflik dalam Desain Pemikiran Karl Marx dan George
Simmel
Berpijak kepada analisis Turner14 bahwa sejak tahun
1950-an, di saat pokok-pokok pemikiran Talcott Parsons
runtuh, tradisi kritik mulai mengambil peranan signifikan
dalam bangunan kajian sosial. Teori fungsional dalam kajian
sosiologi sebagai varian pemikiran yang dibangun oleh Parsons
dianggap sebagai salah satu penyebab munculnya realitas
alamiah konflik dalam realitas sosial. Fakta ini pula yang
dikemukan oleh David Lockwood sebagaimana dijelaskan oleh
Turner bahwa perspektif yang dibangun oleh Parsons dalam
rangka menciptakan keseimbangan sosial social equilibrium,
pada sisi yang lain telah menciptakan perseteruan konseptual
dalam dunia sosial.
Perspektif keseimbangan sosial social equilibrium yang
dibangun oleh Parsons bertitik-pijak pada beberapa prinsip
dasar teoritis. Dasar pemikiran yang dikembangkan Parsons
menurut Giddens dan Turner15 ditingkatan metateori adalah
integrasi antara metodologi ideografis, tipe-ideal, nomologis
dan konstruktivis. Dalam menyimpulkan terhadap analisis
pemikiran Parsons tersebut, Giddens dan Turner menjelaskan
bahwa masing-masing dari bentuk prosedural tersebut dapat
dianalisis dengan varian positivistik maupun idealistik.
Langkah-langkah yang perlu diwujudkan sebagai kelanjutan
dari kondisi ini adalah menempatkan penghubung antara
metode-metode penjelasan kausal dan teleonomik positivistik,
dengan metode-metode idealistik yang menyoroti aspek
normatif dan dunia-kehidupan atau interpretasi rasional.
Idealitas dari model integrasi teoritis yang dibangun
oleh Parsons di atas pada tingkatan yang berbeda ditolak
eksistensinya oleh Marx. Marx berpendapat bahwa perubahan
dalam masyarakat bertitik tolak dari hadirnya revolusi dalam
kehidupan mereka. Fakta ini senada dengan pernyataan
Nisbet dalam Ekeh16 bahwa pada abad ke-19 terjadi reaksi
yang cukup menekan terhadap realitas individualistik yang
terjadi di Eropa. Para sosiolog dari Eropa berpikir secara
fundamental bahwa pokok pengetahuan yang bisa direspon
terhadap masalah kepentingan order dimulai dari runtuhnya
rezim lama dan dihembuskannya semangat revolutif dalam
demokrasi. Perubahan radikal yang muncul adalah timbulnya
gerakan revolusi industri di Perancis.
Dalam mengembangkan model dari revolusi konflik antar
kelas dan perubahan sosial, Marx dalam Turner17 mengabaikan
sebuah sketsa bahwa oraganisasi sosial akan dipengaruhi oleh
porsi dominan dari teori sosial kontemporer. Marx memulai
kajiannya dari hal yang sederhana dan asumsi yang realitas
yang umum; organisasi ekonomi, secara khusus pada pemilikan
modal, determinasi organisasi dalam kepentingan organisasi.
Struktur kelas dan bangunan keorganisasian, layaknya nilai
budaya, kepercayaan, dogma agama, dan ide-ide sistematis
lain, secara keseluruhan dari realitas yang ada menempati
tingkatan tertinggi pada refleksi ekonomi bersandar kepada
realitas sosial. Selanjutnya Marx menambahkan asumsi lain;
dalam realitas sosial manapun yang berjalan, mengakar dalam
organisasi ekonominya bahwa komunitas sosial yang memiliki
otoritas tertinggi mereka akan seutuhnya mengendalikan
revolusi konflik antar kelas. Kemunculan revolusi sebagai
dinamika persinggungan kepentingan inilah, menurut Marx
dijelaskan sebagai dialektika dan konseptualisasi dari proses
pencapaian ideal ekonomi.
Revolusi dalam tingkatan dasarnya bersandar kepada
manifestasi kontradiktif yang muncul para wilayah sosial.
Mengenai konseptualisasi ini, kontradiksi dalam pandangan
Martono18 merupakan fakta sentral mengenai segala sesuatu
yang ada. Kontradiksi-kontradiksi ini kemudian melahirkan
sebuah hukum dialektika. Hukum dilektika menegaskan
bahwa kontradiksi adalah inti segala sesuatu, baik di alam
maupun dalam kehidupan manusia. Perkembangan masyarakat
berlangsung sesuai dengan hukum dialektika yang terdiri atas
tiga komponen: tesis, antitesis, dan sintesis. Dialektika dari
hukum dasarnya diletakkan oleh Hegel berada pada dataran
ide (pikiran). Hegel lebih menitikberatkan posisi dialektika
pada dataran ide, sehingga secara alamiah dirinya memusatkan
perhatian pada wilayah ide-ide masyarakat yang kreatif atau
ekspresif: seni, pemikiran-pemikiran yang abstrak (terutama
filosofi), dan agama. Oleh karena itu, Hegel disebut idealis:
dirinya berpikir bahwa sejarah dan eksistensi manusia pada
hakikatnya harus dipahami dalam hal perkembangan ide-
idenya. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan Marx yang
menolak pandangan Hegel tersebut dan beralih mengikuti
pandangan Engels. Menurut Marx kontradiksi (proses
dialektika) harus juga terjadi dalam tingkat materi. Ide tidak
mampu menggambarkan kenyataan empiris dalam masyarakat
karena sifatnya abstrak. Marx menambahkan, sebenarnya
yang mengubah masyarakat bukanlah ide, melainkan materi.
Pandangan Marx ini dikenal dengan konsep materialisme
historis. Materialisme historis memiliki pandangan bahwa
perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materi, bukan
pada ide karena ide adalah bagian dari materi.
Pemikiran Marx (1818-1883) mengenai perubahan
sosial mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Menurut
Kant manusia berasal dari sebuah kesempurnaan, tapi
kemudian masuk ke dalam dunia yang penuh keterbatasan,
kotor, dan tidak suci. Menurut Hegel, kehidupan bergerak
dari sesuatu yang tidak sempurna menuju kesempurnaan
melalui kontradiksi. Setiap orang dapat mengkritisi suatu
pernyataan dengan pemikiran lain berdasarkan temuan,
pengamatan, dan landasan rasional yang berbeda. Kontradiksi
pemikiran ini merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan
dapat menghasilkan dinamika sosial yang dapat membimbing
manusia mencapai pencerahan atau kesempurnaan pikiran
dan perbaikan tindakan yang terjadi secara sistematis dan
transparan.19
Menganalisis kontradiksi yang terjadi dalam dinamika
harmonisasi yang ditimbulkan oleh organisme sosial, Simmel
menekankan pentingnya espektasi kompetisi di antara masing-
masing unit sosial yang bergabung. Meskipun sejatinya
kondisi yang akan berjalan diwarnai dengan rasa kasih di
antara sesama dalam rangka mewujudkan hubungan sosial di
tengah-tengah mereka. Bersandar kepada alasan inilah Simmel
mengungkapkan konflik sebagai sebuah refleksi lebih luas
daripada sekedar konflik kepentingan, namun yang terjadi
menyangkut konflik yang dipijakkan dari munculnya perasaan.
Konflik tersebut bisa saja berwajah kompetisi dalam cinta. Akan
tetapi, di akhir dari semua simpulan yang dimunculkan oleh
Simmel tersebut, dirinya mengukuhkan bahwa unsur dominan
dari kemunculan konflik adalah timbulnya ketidakserupaan
fakta dari faktor biologis yang harus dimunculkan oleh seorang
pelaku.
menekankan pentingnya pengejawantahan eksistensi teknologi
dan pola kekayaan personal dalam rangka mengisi aspek-
aspek dasariah kehidupan masyarakat pada situasi berlakunya
suatu konflik. Namun, pada bagian yang lain penting untuk
diingat bahwa kaum Marxian dan beberapa pemerhati
terhadap konsep-konsep teoritis tentang konflik tidak sepakat
terhadap perlunya penekanan unsur-unsur dimaksud. Dalam
hal ini, Max Weber tetap menganggapnya perlu dihadirkan,
namun hal itu hanya di beberapa sudut pandang saja. Perlu
penguraian lebih jauh dalam rangka merumuskan analisa
kritis terhadap perspektif Marx di atas. Bagian lain yang
bisa dipahami dari perspektif yang dibangun oleh Marx
pada kerangka pemikirannya tentang materi adalah klaim-
klaim yang dibangun untuk menganalisis masa depan dan
eksistensinya dengan posibilitas kesempurnaan, nir-konflik,
dan masyarakat komunis.
Teori besar sosiohistoris Marx, yang sering disebut
konsepsi sejarah materialis atau materialisme historis, bisa
disimak dari perkataan Engels:
Sebab yang utama dan kekuatan penggerak terbesar
dari semua peristiwa sejarah yang penting terletak pada
perkembangan ekonomi masyarakat, pada perubahan-
perubahan model produksi dan pertukaran, pada
pembagian masyarakat dan kelas-kelas yang berlainan,
dan pada perjuangan kelas-kelas ini melawan kelas yang
lain.
Pertama kali Marx menguraikan teorinya, yang
menjadi titik tolak dalam mengkaji karya-karya berikutnya,
di Die Deutsche Ideologie (Ideologi Jerman) 1845-1846.
Pernyataan yang terkenal namun sangat ringkas dari karya
tersebut muncul dalam bagian pembukaan Zur Kritik der
politischen Okonomie (1859) (Kontribusi terhadap Kritik
Ekonomi Politik). Melalui karya tersebut Marx berpendapat
bahwa struktur ekonomi masyarakat, yang ditopang oleh
relasi-relasinya dengan produksi, merupakan pondasi riil
masyarakat. Struktur ekonomi masyarakat ini merupakan
dasar munculnya suprastruktur hukum dan politik, dan
berkaitan dengan bentuk tertentu dari kesadaran sosial. Di sisi
lain, relasi-relasi produksi masyarakat itu sendiri berkaitan
dengan tahap perkembangan tenaga-tenaga produktif material
(masyarakat). Dalam kerangka ini, model produksi dari
kehidupan material akan mempersiapkan proses kehidupan
sosial, politik dan intelektual pada umumnya. Seiring tenaga-
tenaga produktif masyarakat berkembang, tenaga-tenaga
produktif ini mengalami pertentangan dengan berbagai relasi
produksi yang ada, sehingga membelenggu pertumbuhannya.
Lalau mulaila suatu era revolusi sosial seiring dengan
terpecahnya masyarakat akibat konflik, dan seiring dengan
masyarakat menjadi—dalam bentuk yang hampir ideologis—
sadar akan konflik ini dan memperjuangkannya. Konflik
ini terselesaikan sedemikian rupa sehingga menguntungkan
tenaga-tenaga produktif, lalu muncul relasi-relasi produksi
yang baru dan lebih tinggi yang persyaratan materialnya telah
matang dalam rahim masyarakat itu sendiri. Relasi-relasi
produksi yang baru dan lebih tinggi ini mengakomodasi secara
lebih baik keberlangsungan pertumbuhan kapasitas produksi
masyarakat. Model produksi borjuis mewakili era progresif
yang paling baru dalam formasi ekonomi masyarakat, tapi
ini merupakan bentuk produksi antagonistik yang terakhir.
Dengan matinya bentuk produksi tersebut maka prasejarah
kemanusiaan sudah tamat.23
Menurut Marx, kapitalisme adalah suatu sistem
ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai
sumber daya produktif vital, yang mereka gunakan untuk
meraih keuntungan maksimal. Marx menyebut para individu
ini sebagai kaum borjuis. Kaum borjuis mempekerjakan
sekelompok orang yang disebut Marx sebagai golongan
proletar. Golongan proletar ini memproduksi barang-barang
yang oleh kaum kapitalis kemudian dijual di pasar untuk
meraih keuntungan. Para kapitalis tersebut bisa memperoleh
keuntungan karena mereka membayar buruh (golongan
proletar) kurang dari nilai murni barang-barang yang dihasilkan.
Jelaslah, dalam keyakinan Marx, bahwa keuntungan kapitalis
tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang semata,
tetapi keuntungan itu berasal dari proses produksi yang
dilakukan oleh kaum proletar. Sedangkan tindakan penjualan
barang hanyalah upaya merealisasikan keuntungan tersebut,
yang sebenarnya telah ada dalam penciptaan produk oleh
buruh.24
Konsep materialisme historis Marx mengungkapkan
bahwa manusia tidak akan melepaskan apa yang telah mereka
dapatkan. Dalam rangka mempertahankan ‘buah peradaban’,
manusia akan mengubah cara-cara produksinya untuk
mengakomodasi tenaga-tenaga produktif yang diperlukan
dan mendorong kemajuan yang berkelanjutan. Kendati relasi-
relasi produksi mempengaruhi momentum dan arah kualitatif
perkembangan tenaga-tenaga produktif; tapi kapitalisme akan
hancur oleh hasratnya sendiri untuk meletakkan masyarakat
pada tingkat produktif yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Selain itu, konsepsi materialis Marx memberi
penjelasan mengenai perkembangan tenaga-tenaga produktif,
yang membayangkan—sebagai contoh—munculnya
kapitalisme sebagai respons terhadap tingkat tenaga produktif
pada awal mula terbentuk.
Kritik mendasar terhadap formulasi pemikiran yang
dibangun oleh Marx dengan lokus pemikirannya materialisme
historis disampaikan oleh Max Weber dalam karyanya
“The Protestan Ethic and the Spirit Capitalism” (1905).
Dalam karya ini, Weber membangun hipotesisnya bahwa
metrialisme historis marxian hanya menekankan pada satu
sisi. Padahal seharusnya dibutuhkan penyeimbangan dengan
lebih menekankan peranan faktor gagasan sebagai penyebab
perubahan sejarah. Perhatian Weber terpusat kepada upaya
memahami pertumbuhan sistem kapitalisme rasional di Barat.
Dia menaruh perhatian pada determinasi: mengapa kapitalisme
muncul di Barat dengan skala yang besar, sementara di dunia
Timur keadaan begitu tenang dan tidak ada perkembangan.
Weber sama sekali tidak mengesampingkan arti faktor-
faktor ekonomi dalam masa transformasi di Barat, tetapi dia
menekankan pada peranan Reformasi Protestan. Dia melihat
reformasi sebagai suatu pendorong kritis, dan ia menarik
kesimpulan bahwa kekosongan transformasi religius di Timur
sebagai penghalang perkembangan kapitalisme di sana.26
Di antara beberapa sosiolog populer, George Simmel
(1858-1918) adalah salah seorang tokoh yang memiliki
kepedulian terhadap pola pengungkapan umum atas
perilaku masyarakat. Di saat, Marx dan Weber cenderung
berkeinginan untuk memahami proses dari pembentukan
sistem sosial, sementara itu, Simmel lebih berkonsentrasi pada
pengembangan analisis tentang analisis matematis dalam
wilayah sosial; mengumpulkan pernyataan tentang hubungan
antar manusia dan perilaku sosial yang diperankan pada
sejarah sosial itu sendiri. Simmel telah memberikan banyak
pengaruh kepada teoritisi modern yang memiliki minat sama
terhadap hubungan intrapersonal, termasuk juga teori tentang
konflik, interaksionisme simbolik, teori perubahan sosial,
strukturalisme, dan analisis jejaring sosial.27
Pondasi Konflik Marx dan Simmel
Dalam dinamika perjalanan hidup manusia, dia dituntut
menyadari secara mendasar atas perbedaan yang dimiliki.
Manusia perlu menyadari kehidupannya di alam semesta
yang plural. Pada kerangka dasar ini menjadi penting untuk
mengurai secara seksama akan titik-titik perbedaan yang
muncul di tengah-tengah kehidupan sosial. Plummer28 mencatat
bahwa di setiap tempat seseorang bisa menyaksikan perbedaan
manusia yang berkembang menjadi perselisihan dan konflik,
dan menguatkan perbedaan dalam struktur pembagian secara
vertikal dan horizontal. Setiap masyarakat—manusia dan
lainnya—dibedakan oleh pola-pola ketidaksetaraan. Semut
memiliki kelompok pekerja bagi mereka; kera memiliki ritual
perawatan; dan ayam memiliki cara untuk mematuk ayam yang
lain. Pada sebagian besar masyarakat yang bisa diamati, selalu
ada sebagian kecil individu yang memiliki kedudukan yang
tinggi dalam urutan kekuasaan, sementara massa ditempatkan
pada kedudukan yang terendah. Beberapa dari mereka
memiliki pola hidup yang istimewa dan selalu berkembang,
beberapa ada yang memberontak, menolak atau mengelak;
ada yang kehidupannya terbuang atau rusak. Memang, sejarah
masyarakat manusia juga dapat dibaca sebagai sejarah miliaran
orang yang akan tenang di kuburan mereka dengan kehidupan
yang hampir menderita, dan mengalami ketidaksetaraan yang
disebabkan oleh perbedaan yang diberikan kepada mereka
yang oleh masyarakat tempat mereka dilahirkan. Masyarakat
kemudian membangun pembagian sosial, secara hierarki
dan membangun kesenjangan sosial yang terstruktur. Semua
itu selalu akan terlihat, kaya dan miskin, pemilik budak dan
budak, hitam dan putih, migran dan tuan rumahnya, orang
berpendidikan dan orang bodoh, orang sakit dan orang sehat,
pria dan wanita, yang banci dan normal, yang mampu dan
tidak mampu, teroris dan yang diteror, dan yang patologis dan
normal.
Marx dalam Adisusilo29 menjelaskan bahwa adanya
pembagian kerja berarti adanya pertentangan kepentingan
perorangan atau dan suatu keluarga dengan kepentingan
bersama dari semua individu yang bergaul satu sama lain.
Bagi Marx, kepentingan bersama itu tidak hanya berada
dalam bayangan belaka melainkan sungguh hadir dalam
kenyataan sebagai saling ketergantungan antarperorangan
kepada siapa pekerjaan dibagi-bagikan. Marx menguatkan
hakikat pembagian kerja sebenarnya berhubungan bahkan
menyebabkan keterasingan manusia. Pembagian kerja
mengasingkan manusia dari sasarannya sebab pembagian kerja
bukanlah sifat sosial yang instrinsik pada kerja itu sendiri,
melainkan muncul dari dorongan untuk menghasilkan dan
menukar sebanyak mungkin barang, dengan kata lain muncul
karena kecenderungan egoisme. Pada hakikatnya, manusia
adalah makhluk sosial, juga dalam kegiatan produksinya,
maka pertentangan antara kepentingan perorangan dengan
kepentingan umum menyebabkan perpecahan dalam diri
manusia sendiri.
Berpijak kepada abstraksi paradigma yang dibangun
oleh Marx tentang determinasi dan munculnya banyak polemik
sosial, Turner30 mengukuhkan bahwa Marx tetap berasumsi
bahwa solusi bisa diambil dalam rangka mencari alternatif
terjadinya konflik dengan dibangunnya perspektif fungsional
dalam teori Sosiologi. Hal ini pada akhirnya bisa dijadikan
loncatan intelektual dalam dunia sosial. Teori yang dibangunnya
tersebut disandarkan kepada beberapa pertimbangan berikut;
1) Hubungan sosial yang masih mengedepankan atribut
sistematik, faktanya ia akan menimbulkan konflik kepentingan;
2) Sistem sosial yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat akan memberikan dampak timbulnya konflik; 3)
Konflik hakikatnya tidak terelakkan dan dapat menembus
relung dari sistem sosial; 4) Konflik yang muncul di tengah
kehidupan masyarakat bertujuan untuk menghadirkan
bipolaritas dari perjumpaan banyak kepentingan; 5) Frekuensi
dari kemunculan konflik bertitik pijak pada kelangkaan sumber
daya tertentu terutama yang berkaitan dengan kekuasaan;
dan 6) Konflik adalah unsur pokok yang memicu terjadinya
perubahan dalam sistem sosial.
Pokok pikiran yang dibangun oleh Simmel tentang bagian
dari teori konflik adalah titik tekan dirinya kepada konsepsi
bahwa individu dan sosial memiliki pola keterhubungan
di antara satu dengan lainnya. Dalam konsepsinya tentang
konflik, Simmel menegaskan bahwa eksistensi individu
seutuhnya membutuhkan interkorelasi dirinya dengan realitas
sosial. Pada kesamaan kepentingan mereka bisa berjalan
dengan dasar perbedaan kebutuhan dalam realitas sosial.
Dalam kerangka ini Simmel menegaskan seutuhnya bahwa
manifestasi konflik yang berjalan dalam kehidupan sosial
merupakan sebuah kesejatian yang bisa dihadirkan demi
menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik. Simmel dengan
tegas melalui analisis Wallace dan Wolf31 menegaskan bahwa
eksitensi konflik harus diputus rantai “asumsinya” dengan
usaha melakukan penyatuan sosial seraya menekankan bahwa
setiap orang bisa berd