penciptaan alam 1







Artikel ini mendeskripsikan tentang berbagai pendapat 
tentang asal usul kejadian alam. Artikel ini dimulai 
dari konsep penciptaan alam secara umum, kemudian 
konsep-konsep agama-agama, seperti Islam (al-Qur’an), 
Kristen (al-Kitab), dan konsep-konsep agama-agama 
lain seperti Hindu dan Budha.  Dalam sumber Islam, 
ketika al-Quran membicarakan tentang alam semesta 
(universe), al-Quran tidak membahasnya secara detail. 
Al-Quran hanya membahas garis besarnya saja, karena 
al-Quran bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku 
ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan 
penciptaan alam semesta secara sistematis (enam hari). 
Ajaran Kristen tentang ajaran penciptaan alam tak 
jauh berbeda dengan Islam. Dalam Bible (al-Kitab) 
dinyatakan bahwa penciptaan alam ini juga terjadi 
melalui beberapa fase. Bahasan tentang alam semesta 
(universe) merupakan bahasan yang kompleks penuh 
dengan teka-teki. Sehingga akal manusia tanpa perantara 
piranti agama dan studi empiris ilmu pengetahuan 
kealaman (kosmologi) niscaya tak akan dapat sampai 
mengambil kesimpulan-kesimpulan, atau jawaban-
jawaban di seputarnya. Bahkan teks-teks agama pun 
kadang dalam membahas hal ini sangatlah dangkal dan 
tidak mencakup semua bahasan yang dikehendaki. 
Kata kunci: Penciptaan, Alam, Komparatif, Agama
Pendahuluan 
Hampir semua agama membicarakan tentang asal usul 
kejadian alam. Para pakar agama-agama telah mengemukakan 
pendapatnya dari pemahaman mereka terhadap kitab sucinya. 
Tidak ketinggalan dengan para filsuf, baik sejak zaman Yunani 
kuno, hingga filsuf muslim telah memberikan sumbangsihnya 
terkait asal usul penciptaan alam. Mulai dari Tales yang berdapat 
bahwa asal muasal segala sesuatu yang ada di alam semesta ini 
berasal dari air. Pendapat yang lain mengatakan, asal dari segala 
sesuatu adalah tanah, ada pula yang berpendat berasal dari api.
Terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa asal 
mula terjadinya alam semesta ini karena adanya big bang (ledakan 
besar) pada jutaan tahun lampau. Dalam Wikepedia dijelaskan:
Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar (bahasa Inggris: 
Big Bang) merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan 
pembentukan alam semesta berdasarkan kajian kosmologi 
mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta (dikenal 
juga dengan Teori Ledakan Dahsyat atau Model Ledakan 
Dahysat). Berdasarkan permodelan ledakan ini, alam semesta, 
awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang 
secara terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran 
terbaik tahun 2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 
13,7 miliar tahun lalu 
Pencetus teori big bang ini adalah Stephen Hawking. 
Menurutnya, jagad raya (alam semesta) berawal dari adanya 
suatu massa yang sangat besar dan panjang dengan berat jenis 
yang besar pula dan mengalami ledakan dan dentuman yang 
sangat dahsyat karena adanya reaksi pada inti massa. Ketika 
terjadi ledakan besar itu, bagian-bagian dari massa tersebut 
berserakan dan terpental menjauhi pusat dari ledakan. Setelah 
miliaran tahun kemudian, bagian-bagian yang terpental tersebut 
membentuk kelompok-kelompok yang dikenal sebagai galaksi 
dalam sistem tata surya.
Para filsuf sebelum al-Ghazali mempunyai pendapat 
bahwa bahwa alam itu qadi>m (tidak mempunyai permulaan), ini 
merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para filosof 
muslim sebelum al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadi>m. 
Sebab qadim Tuhan atas alam sama halnya dengan qadi>m nya 
illat atas ma’lu>lnya (ada sebab akibat), yakni dari z}at dan 
tingkatan, juga dari segi zaman. Para filosof kala itu beralasan 
tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari 
yang qadi>m (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa 
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan 
alam belum ada.1 Menurut al-Ghazali yang qadi>m (tidak 
mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain 
Tuhan haruslah baru (hadis}). Karena apabila terdapat sesuatu 
yang qadi>m selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham; 
apabila yang qadi>m banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran 
ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar 
yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau masuk golongan Ateisme 
yang menyatakan bahwa alam yang qadi>m tidak perlu adanya 
pencipta.
Filsof Muslim lain, seperti al-Farabi, dan Ibnu Sina 
berpendapat bahwa wujudnya alam bukanlah dan bukanlah 
diciptakan, Allah memang prima kausa, penyebab pertama, 
penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah 
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama. Allah 
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran 
(emanasi). Dengan demikian, Allah menciptakan alam semenjak 
azali alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi 
yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah 
baru berasal dari pancaran pikiran akal pertama.2 
Pendapat al-Farabi dan Ibnu Sina di atas kemudian dikritik 
keras oleh al-Ghazali, ia mengemukakan bahwa pemikiran al-
Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam 
pandangan Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber 
dari al-Qur’an dan Hadits) Allah merupakan Dzat yang Pencipta 
(al-Kha>liq), yaitu yang menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau 
alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah 
diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.3
Adanya berbagai pendapat tentang asal usul kejadian 
alam, menyebabkan penulis bermaksud mengeksplorasikan 
tulisan tentang studi komparatif antar agama-agama di Indonesia 
tentang asal usul kejadian alam. Mulai dari konsep penciptaan 
alam secara umum, kemudian konsep-konsep agama-agama, 
seperti Islam (al-Qur’an), Kristen (al-Kitab), dan konsep-konsep 
agama-agama lain seperti Hindu dan Budha. Berangkat dari 
view point diatas, penyusun hanya bermaksud menguraikan 
pandangan-pandangan agama-agama (Islam, Kristen, Hindu dan 
2 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja 
Grafindo Persada, 2004), hlm. 74.
3 Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media 
Pratama, 2002), hlm. 84.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 105
Budha) dengan merujuk kepada teks-teks suci tiap agama yang 
stressing utamanya pada agama Islam dan Kristen saja. 
Konsep Penciptaan Alam menurut Agama-agama
Adalah merupakan sebuah keyakinan setiap agama 
“semit” bahwa Allah lah pencipta alam semesta (universe). Pada 
awalnya yang ada hanyalah kegelapan dan Tuhan menciptakan 
alam semesta ini hanya dengan perintah-Nya saja.4 Hal yang 
demikian ini hanya menurut Bible sedang dalam al-Quran tidak 
dijelaskan kejadian yang seperti ini.  Namun, diberbagai kitab 
sejarah tradisi Islam mengatakan bahwa hal-hal yang diciptakan 
sebelum alam adalah, al-qalam, al-ghamam (awan), al-arsy, al-
hawa’, al-ma’ dan kegelapan (al-dhulmah) di riwayatkan oleh 
Ibn Abbas, dengan obyek manusia sebagai pusat dunia. 
Dalam tradisi ini manusia diciptakan di dunia untuk 
menaklukkan dunia dengan mengetahui hukum-hukum 
yang ditanamkan pada alam oleh Tuhan. Hukum-hukum ini 
dimaksudkan untuk memandu dan mensejahterakan umat 
manusia. Karena itu, dunia ini merupakan dunia-Nya Tuhan, 
dimana dengan mengetahuinya manusia dapat mengetahui ke 
maha kuasaan dan ketakterbatasan Tuhan. Kerenanya, dunia 
disakralkan dan mewujudkan sifat serta kehendak-Nya. Untuk 
itu manusia harus berusaha mengatasinya sebagai petunjuknya 
sendiri. 
Dalam memahami proses penciptaan banyak yang 
berbeda pendapat.5 Dalam memformulasikan penciptaan alam 
semesta, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok; kelompok 
pertama; berpendapat bahwa alam semesta diciptakan Allah dari 
tiada secara langsung. Sementara kelompok kedua berpandangan 
bahwa alam semesta diciptakan Allah dari ada secara tidak 
langsung. Kelompok pertama di “dendang” kan oleh teolog 
Asy’ariah yang bercorak tradisionalis. Sedangkan kelompok 
kedua di “suara” kan oleh teolog Mu’tazilah yang bercorak 
4 Lihat Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 1, hlm. 17. 
5 Lihat Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam 
Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan 
Kemasyarakatan, t.t), hlm. 1-3.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015106
rasionalis dan filosof Islam.
Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa alam semesta dalah 
hadits (baru). Alam, menurut meraka, tidak berasal dari (sesuatu, 
hakikat jauhar dan ‘ardl), tetapi ia diciptakan dari nihil menjadi 
ada dengan kodrat dan irodat-Nya. Sedangkan teolog mu’tazilah 
berpendapat bahwa alam semesta diciptan Allah dari sesuatu yang 
telah ada yang mereka sebut dengan ma’dum. Yang dimaksud 
degan ma’dum ialah (sesuatu, zat dan hakikat). Bahkan ada yang 
mengatakan, alam ma’dum itu telah mempunyai wujud hanya saja 
belum menpunyai shurat seperti alam empiris. Yang jelas, bahwa 
penciptaan alam semesta termasuk salah satu unsur yang penting 
tidak hanya dalam bahasan pemikiran setiap agama, bahkan 
term ini telah menjadi sebuah obyek penelitian ilmu pengetahuan 
kosmologi. Makanya, seiring dengan   berkembangnya   ilmu   
pengetahuan,  timbul  banyak pertanyaan  mengenai  terjadinya  
alam  semesta (universe).  
Konsep Penciptaan Alam Versi Islam
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran inti agama Islam, 
diturunkan untuk menjelaskan kepada manusia hal-hal yan 
tidak bisa dimengerti oleh akal mereka secara mandiri, seperti 
esensi iman, ritual-ritual ibadah, serta landasan-landasan etis dan 
hukum yan berguna untuk mengatur interaksi sosial di antara 
sesama manusia. selain itu, al-Qur’an juga membicarakan alam 
semesta, yang meliputi bumi dan langit, unsur-unsurnya yang 
beraneka ragam, para penghuninya, serta fenomena-fenomena di 
dalamnya.6 
Perlu diketahui bahwa ketika al-Quran membicarakan 
tentang alam semesta (universe) ini, al-Quran tidak membahasnya 
secara detail. Al-Quran hanya membahas garis besarnya saja, 
karena al-Quran bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku 
ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan penciptaan 
alam semesta secara sistematis. Namun, lebih dari seritu ayat 
berbicara tentang alam semesta ini, untuk membuktikan 
6 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an: 
Mengerti Mukjizat Firman Allah, terj. M. Zainal Arifin, dkk., (Jakarta: 
Zaman, 2013), hlm. 328.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 107
kekuasaan, ilmu, dan kebijaksanaan tak terbatas Sang Pencipta, 
yang memapu menciptkan jagat raya ini, melenyapkannya, lalu 
mengembalikannya ke bentuknya semua.7
Al-Quran sedikit sekali bebicara tentang kejadian alam 
(kosmogoni). Mengenai metafisikan penciptaan, al-Quran hanya 
mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang 
hendak diciptakan Allah didalamnya tercipta sekedar dengan 
firman-Nya; “jadilah!” (2:117; 3:47,59; 6;73; 16:40; 19:35; 
36:82; 40:68).8 
Informasi yang kita dapat dari al-Quran tentang penciptaan 
alam itu terungkap dengan berbagai kata yang digunakan dalam 
bentuk kata pengungkapan penciptaan alam. Diantara kata 
tersebut adalah bad’, ja’l,  kholq,9 (semua kata-kata tersebut 
dalam term ini bermakna menciptakan). Hal tersebut dapat kita 
lihat dalam surat al-Baqarah/2; 117;
³  ²  ±  °  ¯  ®  ¬  «  ª   ©¨  §  ¦
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak 
(untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia 
hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah 
ia (QS. Al-Baqarah: 117).
Dalam Surat Hud/11:7;
  ?   >    =   <   ;   :   9   8   7    6   5   4
  K   J   I   H      G     F   E   DC   B   A   @
      T  S  R     Q  P    O   N  M  L
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam 
7 Ibid, hlm. 328   
8 Semua redaksi ayat-ayat al-Quran tersebut adalah “Kun 
(jadilah), maka atas kehendak Allah segala sesuatu tersebut ada, maka 
menjadi (fayakun). Lihat Fazlur Rohman, Tema Pokok al-Quran, hal 95.
9 Masih banyak lagi dalam al-Quran bentuk kata-kata 
pengungkapan penciptaan diantaranya; Bad’, fathr, shun’, ja’l, amr, bad’ 
dan lainnya. Namun, focus al-Quran terhadap penciptaan alam hanya 
tersirat pada tiga bentuk pengungkapan kata diatas. Lihat Sirajuddin Zar, 
Konsep..., hlm. 47.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015108
enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum 
itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara 
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata 
(kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan 
dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang 
kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir 
yang nyata.” (QS. Hud: 7).
Dalam surat as-Sajdah/32: 4:
  O   NM   L   K    J    I   H   G   F   E   D   C   B    A    @
   Z  Y   X  WV   U  T  S  R  Q  P
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan 
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, 
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi 
kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan 
tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah 
kamu tidak memperhatikan? (QS. As-Sajdah: 4).
Berangkat dari informasi ayat-ayat al-Quran tentang 
penciptaan alam, maka penulis berusaha menjelaskan proses 
penciptaan alam semesta menurut al-Quran. Untuk mencapai 
maksud tersebut, memang dirasakan kesulitan tersendiri, karena 
al-Quran selain bersifat universal dan informasinya mengandung 
prinsip-prinsip dasarnya saja, juga yang dibicarakannya 
menyangkut alam fisis. Dari informasi pertama tentang proses 
penciptaan alam semesta yang terdiri dari tiga bentuk kata 
yang erat kaitannya dengan hal ini, yaitu khalq, bad’ dan fathr, 
tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah 
alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari 
ketiadaan? Jadi ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan 
bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebut dari ada 
tiadanya.10
Sementara “Ibnu Jarir dalam Tarikh al-Thobari” 
menyinggung bahwa periodesasi atau tahapan penciptaan alam 
dapat disimak dari hadits Nabi ketika menjawab pertanyaan 
orang-orang Yahudi yang mendatangi Rosul saw dan menanyakan 
10  Ibid, hlm. 135.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 109
perihal penciptaan langit dan bumi. Maka Rosul menjawab 
bahwa “Allah menciptakan bumi pada hari ahad dan senin, 
lalu menciptakan gunung-gunung pada hari selasa, lalu di hari 
rabu allah menciptkan pepohonan, air dan infastuktur bumi, 
bangunan dan perusakan, pada hari kamis Allah menciptakan 
langit. Lalu pada hari jum’at0 Allah menciptakan bintang-
bintang, matahari dan malaikat, hingga tersisa tiga masa (sa’at) 
dari zaman itu, pada masa pertama (al-sâ’ah al-ûla) dari tiga masa 
tersebut adalah penciptaan ketentuan-ketentuan hidup dan mati, 
kedua (al-sâ’ah al-tsâniyah) memberikan suatu cobaan terhadap 
segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, ketiga (al-sâ’ah 
al-tsâlitsah) menciptakan adam dan menempatkannya di surga 
dan memerintahkan pada iblis untuk bersujud padanya dan 
mengeluarkan iblis dari surga”. Kemudian orang-orang Yahudi 
tadi bertanya tentang apa yang dikerjakan Allah selanjutnya, 
Muhammad menjawab “kemudian Allah bersemanyam dalam 
arsy”, lantas mereka berkata ‘kamu benar seandaikan kamu 
sempurnakan lagi (dari cerita)’, mereka menjawab, kemudian 
(Allah) beristirahat. Dengan ucapan tadi Nabi amat marah, maka 
turunlah ayat “Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dan 
diantara keduanya selama enam masa tanpa kecapaian. Maka 
bersabarlah (wahai Muhammad) atas ucapan mereka….” Surat 
Qof/50:38-39.11 
Kemudian proses berikutnya dideskripsikan oleh surat al-
Anbiya’/21: 30, 
  o    n   ml   k   j   i   h   g                f   e     d   c
w  v  u  ts  r       q  p
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahi bahwasanya 
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu 
padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan 
dari air kami jadikan segala sesuau yang hidup. Maka 
mengapakah mereka tiada juga beriman?”. (QS. Al-
Anbiya’: 30).
11 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abbas, lihat selengkapnya Ibn 
Jarir al-Thabary, Tarikh al-Thabari, Maktabar al-Tarikh wa al-Hadlarah, 
hlm. 20 juz I.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015110
Ayat ini merupakan satu-satu ayat al-Quran yang 
menerangkan “pembentangan” alam semesta. Dapat disimpulkan 
bahwa ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardl) sebelumnya 
dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta 
ketika itu merupakan satu kumpulan. 12 
Rangkaian proses berikutnya, --setelah terjadi pemisalah 
oleh Allah—alam semesta mengalami proses transisi fase 
membentuk dukhon. Hal ini terungkap dari pernyataan surat 
fushshilat/41:11;
“kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (al-
sama’), yang ketika itu penuh “embunan (al-dukhon)”. 
Hal ini disebabkan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam 
menangkap maksud kata ‘dukhon’ yang dihubungkan dengan 
proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini 
dipahami degan hasil temuan sains yang telah terandalkan 
kebenarannya secara empiris.  Hasil temuan ilmuan mengenai 
hal ini adalah bahwa suatu ketika dalam penciptaan terjadinya 
ekspansi yang sangat cepat sehingga timbul “kondensasi” dimana 
energi berubah menjadi materi13. Kata “al-dukhan (embunan)” 
bukanlah menunjukkan materi asal ruang alam, akan tetapi ia 
menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya 
fase awal penciptaannya.14
Kemudian dalam al-Quran disebut berturut-turut disebut 
bahwa alam semesta diciptakan selama enam tahap atau periode 
(ayyam). Secara global disebut dalam surat Hud/11:7
  ?   >    =   <   ;   :   9   8   7    6   5   4
  K   J   I   H      G     F   E   DC   B   A   @
T  S  R     Q  P    O   N  M  L
12  Lihat fazlur Rohman, Tema Pokok…, hlm. 95.
13  Sirajuddin Zar, Konsep…, hlm. 137.
14 Ibid, hlm. 137.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 111
 “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam 
enam masa, dan adalah singgana-Nya (sebelum itu) di 
atas air......”. 
kemudian diulang kembali penyebutannya dengan 
menambah “apa yang ada diruang alam dan materi”, dalam 
surat al-Sajdah/32:4. 
  O   NM   L   K    J    I   H   G   F   E   D   C   B    A    @
 Z  Y   X  WV   U  T  S  R  Q  P
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan 
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, 
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi 
kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan 
tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah 
kamu tidak memperhatikan? (QS. As-Sajdah: 4).
Keterangan ini juga didukung beberapa ayat yang 
konteksnya sama dalam surat Fushshilat/41: 9-12, 
  ~   }   |   {z   y   x   w   v   u    t   s   r   q   p  
  °  ¯  ®  ¬       «  ª  ©  ¨  §  ¦  ¥  ¤  £  ¢  ¡   ﮯ
  Á   À         ¿    ¾   ½   ¼   »   º   ¹       ¸   ¶   μ        ´   ³   ²   ±
  -   ,    +*   )       (   '   &   %   $   #   "   !     Ã   Â
6   5       4      3  2  10  /  .
Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir 
kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan 
kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat) 
demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (9). Dan dia 
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh 
di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan 
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya 
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) 
bagi orang-orang yang bertanya. (10). Kemudian Dia 
menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih 
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan 
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015112
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut 
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya 
menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (11). Maka 
Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia 
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami 
hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang 
cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-
baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa 
lagi Maha Mengetahui.  (12) (QS. Fushshilat: 9-12)
Di kuatkan juga surat al-A’raf/7:54,
  b   a   `   _   ^    ]   \   [   Z   Y   X   W   V     U
   p  o  n  ml  k  j  i  h   g  f     e   d  c
   w  v  u  t  s  rq
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah 
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu 
Dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. Dia menutupkan 
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, 
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. 
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak 
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (al-A’raf: 
54).
 Yunus/10-3, al-Furqon/25:59, 
  S  RQ  P  O  N  M  L  K     J  I   H  G  F  E
   W  V   U  T
(Allah)Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang 
ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia 
bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, 
maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih 
mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (al-Furqan: 59).
Qof/50:38 
  L  K  J   I  H  G  F  E  D  C  B  A   @  ?
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 113
Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi 
dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, 
dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan. (QS. Qaf: 
38)
dan al-Hadid/57:4:
  2  1  0  /  .  -,  +    *  )  (  '  &  %  $  #  "  !
    F     E   D   CB   A   @   ?   >   =<   ;   :   9     8   7   6   5   4   3
H  G
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam 
masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia 
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa 
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit 
dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu 
di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat 
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)
Kata yaum15 dengan jama’nya ayyam (tahapan) atau 
periode dalam al-Quran bukanlah dimaksud batasan waktu antara 
terbenamnya matahari hingga terbenam lagi esoknya seperti hari 
dibumi kita ini. Menurut kalam arab dan kebanyakan ayat-ayat 
al-Quran, kata ini dipakai untuk suatu masa atau periode (juz’ 
min al-zaman) yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tidak 
ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya secara pasti kecuali 
Allah. Yaum jika diterjemahkan hari sama dengan hari dunia saat 
ini, maka tidak logis dan ia bertentangan juga dengan ayat-ayat 
al-Quran yang lain. Tidak logis karena penciptaan hari ini baru 
ada setelah penciptaan alam semesta16. 
Dalam al-Quran banyak ayat yang secara eksplisit 
menyebutkan ruang alam (al-sama’) berjumlah tujuh. Sedangkan 
15 Yaum berupa majaz, walaupun banyak ulama yang berpendapat 
bahwa alam ini mulai diciptakan pada hari ahad seperti yang diriwayatkan 
Abdullah bin Salam, Ka’b, Dhohhak dan lainnya, sedangkan menurut Abu 
Hurairoh dan Muhammad bin Ishaq penciptaan alam dimulai hari sabtu. 
Lihat Ibnu Atsir dalam CD maktabar al-tarikh wa al-hadloroh, Juz 1, hlm. 
19. 
16  Sirajuddin Zar, Konsep…, hlm. 139.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015114
materi (al-ardl) sebagaimana ruang alam secara implicit 
disebutkan juga jumlahnya tujuh. Sebagaimana yang tertera 
dalam surat al-Thalaq/65:12 
         ä   ã   â    á   à   ß   Þ   Ý   Ü   Û   Ú   Ù   Ø    ×     Ö   Õ
î  í  ì     ë  ê  é  è  ç  æ  å
Artinya: “Allah lah yang menciptakan tujuh langit 
dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah agar berlaku 
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah 
Maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhanya 
Allah, ilmu-Nya benar meliputi segala sesuatu”. (QS. 
Ath-Thalaq: 12)
Kata ruang alam dalam al-Quran ada yang datang 
dengan konteks mufrad (al-sama’) dan ada pula yang datang 
dalam bentuk jama’ (al-samawat). Sedangkan kata bumi (materi) 
dalam al-Quran hanya disebutkan dalam bentuk mufrad (al-
ardh) saja dan tidak pernah muncul dalam konteks jama’. Dalam 
hal ini Hanafi Ahmad dalam kitabnya, “al-tafsir al-ilmi ayat 
al-kauniyat”, menerangkan bahwa hal ini dimaksudkan agar 
manusia tidak tercengang dan tidak menuntut kepada Rasulullah 
untuk menunjukkan bumi yang lain. Sebab bila bumi (al-ardh) 
disebutkan dalam al-Quran secara eksplisit berjumlah tujuh 
sebagaimana ruang alam (al-sama’) tentu saja bertentangan 
dengan apa yang mereka saksikan setiap hari karena mereka 
hidup dibumi. Sebab penyebutan bumi itu dalam al-Quran secara 
eksplisit hanya satu adalah sangat cocok dengan daya nalar 
manusia yang kebanyakan mereka sederhana dalam berpikir 
(awam). Sedangkan penyebutan al-ardh secara implicit berjumlah 
tujuh, hal ini bukan ditujukan kepada manusia awam, melainkan 
khusus buat para pakar dan kaum intelektual yang akan dapat 
mengetahui setelah melakukan penelitian dan menganalisaan. 
Lain halnya dengan ruang alam (al-sama’) berapapun disebutkan 
jumlahnya, maka manusia tidak akan tercengang dan tidak akan 
mempersoalkan, karena mereka yang kebanyakannya sederhana 
dalam berpikir tidak mengerti tentang, dan tidak hidup di al-
sama’.17 
17 Lihat Hanafi Ahmad dalam, “Al-Tafsir al-Ilmi Ayat al-Kauniyat”, 
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 115
Bisa jadi, penyebutan tujuh yang dihubungkan dengan 
ruang alam (al-sama’) materi (al-ardh) tersebut hanya merupakan 
angka simbolik, yang berarti banyak. Penggunaan angka tujuh 
dalam arti banyak, bukan hanya digunakan orang arab saja, 
melainkan juga orang-orang Yunani dan Romawi kuno. Dengan 
demikian maksud tujuh ruang alam (al-sama’) dan tujuh materi 
(al-ardl) adalah jumlah yang tidak ditentukan. Adapun proses 
penciptaan alam selanjutnya, yaitu Allah melengkapinya dengan 
menciptakan hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan 
sunatullah. Hal ini dipahami dari percakapan simbolis antara 
Allah disatu pihak dan ruang alam (al-sama) dan materi (al-
ardh) dipihak lain. Ini dimaksudkan bahwa hukum-hukum alam 
yang telah ditetapkan Allah tersebut tidak akan pernah berubah 
dan menyimpang. Alam semesta tunduk kepada hukum-hukum 
rancangan Allah tersebut.18 
Doktrin Kristen Tentang Penciptaan Alam
Sebagai agama semit (samawi), pandangan Kristen tentang 
ajaran penciptaan alam tak jauh berbeda dengan Islam. Dalam 
Bible (al-Kitab) dinyatakan bahwa penciptaan alam ini juga 
terjadi melalui beberapa fase. Di hari pertama Allah menciptakan 
dari kegelapan menuju terang. Injil berkata; Berfirmanlah Allah; 
“jadilah terang.”Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa terang 
itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. Dan Allah 
menamai terang itu itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang 
dan jadilah pagi, itulah hari pertama”.
Di hari kedua Allah menciptakan langit. Berfirmanlah 
Allah; “jadilah cakrawala ditengah segala air untuk memisahkan 
air dari air’. Maka Allah menjadikan cakrawala dan ia memisahkan 
air yang ada dibawah cakrawala itu dari air yang ada diatasnya. 
Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. 
Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah dari kedua.
Pada hari ketiga Allah menciptakan daratan, tanah 
dan tanaman. Berfirmanlah Allah; “Hendaklah segala air yang 
dibawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan 
(Kairo: Dar al-Ma’arif), hlm 132-133. 
18 Ibid, hlm. 134.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015116
yang kering.’ Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai 
yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamainya laut. 
Allah melihat  bahwa semuanya itu baik. Berfirmanlah Allah; 
“hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-
tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang 
mengaslkan buah yang berbiji, segala jenis buah yang berbiji, 
supaya ada tumbuh-tumbuhan dibumi”. Dan jadilah demikian. 
Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-
tumbuhan yang berbiji dan segala sjenis pohon-pohonan yang 
menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya 
itu baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketiga”.
Pada hari keempat Allah menciptakan benda penerang 
pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Sedangkan 
dihari kelima Allah menciptakan makhluq hidup yang berada 
dalam air, segala sejis burung, segala jenis makhluk hidup yang 
bergerak. Pada hari pamungkas hari keenam Allah menciptakan 
binatang liar, segala jenis ternak dan akhirnya menciptakan 
manusia, supaya manusia berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan 
burung di udara, ternak dan seluruh isi bumi. Selanjutnya Bible 
berkata;
Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala 
isinya. Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan 
pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah ia pada hari ketujuh 
dari segala pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah ia pada 
hari ketuju dari segala pekerjaan yang telah dibuatnya itu. Lalu 
Allah memberkati hari ketujuh dan mengkuduskannya, karena 
pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan 
yang telah dibuatnya itu.19
Lantas, apa tujuan Allah menciptakan alam semesta ini? 
Gereja Roma Katolik menjawab, bahwa Allah menciptakan 
dunia dengan tujuan memberikan segala kebaikan-Nya yang tak 
terhinggal. Jadi, jagad raya ini mencerminkan kemulian-Nya, dan 
karenanya segala ciptaan-Nya menerima kebaikan-Nya. Dengan 
kebaikan Allah itu pula segala ciptaan-Nya mengenal-Nya, 
19 Dalam al-kitab penjelasan tentang penciptaan alam semuanya 
terdapat dalam kitab kejadian, (Allah menciptakan langit dan bumi serta 
isinya). Lihat al-Kitab; Bab Kejadian 1:1-2:7. Diterbitkan oleh Lembaga 
Alkitab Indonesia.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 117
mencintai-Nya, memuliakan-Nya dan mengapdi kepada-Nya 
untuk memperoleh kebahagiaan selama-lamanya. Karena Tuhan 
menciptakan dunia seperti itu, maka Dia juga memeliharanya, 
mengurusnya dan membimbingnya menuju tujuan akhir. Semua 
makhluk adalah milik-Nya dan berada dibawah perlindungan-
Nya. 
Dalam al-Kitab dan ilmu pengetahuan, Jeff Hammond 
menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu. 
Dalam Kejadian 1:1 diterangkan, “Bereshit bara Elohim et ha 
shamayim we et ha arets”. Yang Tuhan diciptakan adalah “ha 
shamayim” dan “ha arets”. Perkataan itu bermaksud “langit 
dan bumi”. Sedangkan maksud dari “ha shamayim”, secara 
literal bermakna “langit” (Ul 10:14, Ayb 11:8, Mzm 19:2) orang 
Kristen memahaminya dengan maksud “surga” (Mzm 11:4, 2 
Raj 2:11, 2 Taw 7:14). Para pakar bahasa masih kesulitan untuk 
menetapkan apakah kata “ha shamayim” dalam Kejadian 1:1 
harus diterjemahkan “langit” atau “surga”. Namun, apabila 
diterjemahkan secara literal sebagai “langit” dalam pengertian 
suatu hamparan berwarna biru yang ada diatas bumi, maka 
menimbulkan pertanyaan serius: Apakah Tuhan hanya 
menciptakan bentangan berwarna biru yang dinamakan langit 
dan bumi tempat manusia dan hewan dan tumbuhan hidup? Jika 
diterjemahkan “surga”, maka menimbulkan pertanyaan serius 
serupa: Bagaimana dengan kata “shamayim” yang muncul pada 
ayat 8-9, apakah juga dapat diterjemahkan dengan “surga”, 
padahal ayat itu menjelaskan tentang hamparan luas yang 
memisahkan air yang berada di atas dan air yang berada di bawah, 
yang kelak disebut daratan dan lautan? Oleh karena itu, sebutan 
“angkasa” dipilih untuk memberikan identifikasi betapa luasnya 
angkasa tersebut dan tidak berbatas. Angkasa secara sempit dapat 
diartikan sebagai langit, dan makna secara luas sebagai sebuah 
tempat eksistensi yang bersifat metafisika (gaib), yaitu Surga, 
tempat kediaman Tuhan dan mahluk-mahluk surgawi. Kejadian 
1:1 sekaligus menjelaskan mengenai penciptaan dua dunia, yaitu 
dunia material dan dunia spiritual.20
Dengan perantara alam, manusia dapat mengenal dan 
20 Hammond, Jeff, Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan, 
Immanuel, (Jakarta: YPI Immanuel, 1992), hlm. 92-93.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015118
mengetahui adanya Tuhan. Pada sisi lain, hati nurani manusia 
juga memperoleh bisikan yang memberinya petunjuk mana yang 
baik dan mana yang buruk. Tetapi, melalui alam ini, atau dengan 
kemampuan nurani tersebut manusi hanya dapat mengetahui 
adanya Tuhan.21
Pandangan Kristen terhadap penciptaan, dikombinasikan 
dengan perasaan pribadi yesus terhadap kepedulian Tuhan, 
membuat Yesus seorang penganjur yang teguh pendirian. Segala 
sesuatu terbuka bagi Tuhan, dijabarkan berdasarkan kehendak 
Tuhan. Manusia tidak dapat mengetahui rincian kehendak Tuhan 
tetapi, dalam iman, mereka dapat merasa yakin bahwa hal itu 
mengekspresikan kebaikan dan cinta Tuhan.
Citra Yesus yang secara spontan menggunakan Tuhan 
adalah bukan sebagai penguasa alam semesta, Tuhan pencipta, 
pecinta langit dan bumi. Mereka adalah citra patrinalistik, citra 
orang tua, citra seorang penguasa yang dapat sangat keras ketika 
keadilan harus ditegakkan.22
Ajaran Hindu tentang Penciptaan Alam
Berbeda dengan keyakinan didalam agama Islam, Kristen, 
Yahudi yang mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptkan 
Tuhan yang maha esa dari tiada menjadi ada melalui iradat 
dan kodratnya yang tiada terbatas, maka agama Brahma atau 
Hindu mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran 
zat Brahma.
Upanishads pada bagian (hanogya mengungkapkan 
tentang kejadian alam semesta sebagai berikut;
“In the beginning there was existence alone, one only, 
without a second. He, the one, thought to himself; let 
me be many, let me be grow forth. Thus out of himself 
he projected the universe; and having projected out of 
himself the universe, he entered into every being, all that 
21 Djam’annuri, Agama Kita; Perspektif Sejarah Agama-Agama, 
(Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta, 2002), hlm. 87.
22 Dennis Lardner Carmody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani 
Sang Guru Suci dalam Memahami Spiritualitas Buddha, Konfusius, Yesus, 
Muhammad, (Jakarta: Murai Kencana, 2000), hlm. 134-135.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 119
is has it self in him alone. Of all things he is the subtle 
essence. He is the truth. He is the self. And that, svetaku, 
that art thou.
(Pada permulaan Cuma ada sendirian, Maha Esa, tanpa 
ada yng kedua. Dia, yang maha Esa itu, berpikir didalam 
diri-Nya; biarlah aku menjadi banyak. Biarlah Aku 
berkembang selanjutnya. Lantas diri zat-Nya Ia pun 
melenturkan alam semesta; dan sesudah melenturkan 
alam semesta dari zat-Nya, dia masuk ke dalam setiap 
makhluk itu. Seluruh makhluk itu memiliki zat-Nya 
didalam dirinya. Dalam seluruh apapun Dia adalah 
zat terhalus. Dia adalah al-haz. Dia adalah diri. Dan 
begitulah hai svetaku, bahwa itu adalah engkau.)
Di dalam Upanishads pada bagian (handogya itu disahkan 
setrnya bahwa terhadap svetaku yang belum dapat memahamkan 
hal itu, maka Rishi Uddalaka menyuruh svetaku meletakkan 
kepingan garam kedalam mangkok air. Pada keesokannya, Rishi 
Uddalaka lalu menyuruh Svetaku memeriksa kepingan. Sudah 
tidak ada, Rishi Udallaka menyuruh Svetaku mencicipinya 
dan dirasakan air tawar itu menjadi asin. Rishi Udallaka lalu 
menyatakan bahwa demianlah zat Brahma itu menyerap kedalam 
seluruh yang ada dan itulah Atma yang merupakan proyeksi dari 
zat Brahman.23
Berangkat dari atas maka dalam dipahami, sebenarnya 
Brahman berkehendak menjadi banyak dan selanjutnya 
kejadiaanya menerus secara teratur. Namun, tampaknya pemikiran 
India tidak mengangaap adanya awal pertama dari alam semesta 
ini saat kapanpun dan juga tidak menganggap adanya tujuan 
akhir yang pasti. Ia bahkan mendukung pandangan bahwa alam 
semesta ini secara periodic mengalami penciptaan dan peleburan. 
Dalam siklus pencitaan dan peleburan secara periodic ini, alam 
semesta mengalami empat tahapan yang teratur, yaitu satya, treat, 
dvapara dan kaliyuga. Pada tahap akhir kaliyuga, alam semesta 
menjadi terlalu rusak dan harus dilebur untuk memperbaharui 
kembali.24
23 Joesoef  Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta; al-
Husna Zikra, 1996) hlm. 47-48.
24 Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, Studi Banding 
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015120
Ajaran Budha tentang Alam
Siddharta Gautama tidak menolak dan tidak pula berbica 
tentang alam semesta dan alam gaib. Seperti yang terdapat pada 
Sutta-Pitaka, pada bagian Majjhima-Nikaya dalam Sutta 63. 
Diceritakan bahwa seorang murid bernama malunkyraputera 
bertanya tentang hal itu dan Budha Gautama memberikan 
jawabannya; 
“Kehidupan beragama itu tidak bergantung pada ajaran 
bahwa alam itu tidak abadi sekalipun ajaran serupa itu 
ada, bahwa alam itu abadi/alam itu tidak abadi. Tetapi 
disitu tetap ada kelahiran, usia tua, mau, duka, ratapan, 
derita kemalangan dan kekecewaan.25 
Maka boleh dibilang bahwa dalam agama Budha alam 
sama sekali tidak di singgung dalam ajaran mereka, baik berupa 
penciptaannya dan peleburan periodic maupun kekekekalan alam 
dunia ini. Baginya dunia ini hanya merupakan arus peristiwa 
yang bersifat sementara saja, sehingga penuh penderitaan. 
Namun Budhisme sendiri tak dapat menolak pentingnya alam 
dunia ini guna pencapaian nirvana. Maka dunia memiliki makna 
dan tujuan bagi umat manusia.26
Simpulan
Bahasan tentang alam semesta (universe) merupakan 
bahasan yang kompleks penuh dengan teka-teki. Sehingga akal 
manusia tanpa perantara piranti agama dan studi empiris ilmu 
pengetahuan kealaman (kosmologi) niscaya tak akan dapat 
sampai mengambil kesimpulan-kesimpulan, atau jawaban-
jawaban di seputarnya. Bahkan teks-teks agama pun kadang 
dalam membahas hal ini sangatlah dangkal dan tidak mencakup 
semua bahasan yang dikehendaki. 
Teks-teks agama hanya mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan secara global hal-hal yang sekiranya otak tidak 
Antar Agama, (Surabaya: Penerbit Paramita, 2000), hlm. 44.
25  Joesoef  Sou’yb, Agama-Agama…, hlm. 81.
26 Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, opcit hal 44-
45.
Ahmad Atabik
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 121
mampu mencernanya. Yang jelas, bahwa penciptaan alam ini 
merupakan bukti keagungan tuhan yang tiada terkira yang semua 
agama pasti meyakininya. Bahkan agama Budha sekalipun yang 
dalam teks kitab sucinya tidak menyebutkan prosesi penciptaan 
alam ini mengakui hal tersebut.
Demikianlah sekelumit upaya penyuakan cakrawala kita 
tentang bukti keagungan tuhan yang diimplementasikan dalam 
penciptaan alam. Semoga hal ini menambah keyakinan dan 
keimanan kita akan kebesaran dan keagungan-Nya. 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kitab (Bible), diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia, 
1996.
Al-Quran dan Terjemahannya, diterbitkan oleh Departemen 
Agama RI, 1998.
Ahmad, Hanafi “al-Tafsir al-Ilmi Ayat al-Kauniyat”, Cet I. Dar 
al-Ma’arif Kairo, 1995.
Carmody, Dennis Lardner & John Carmody, Jejak Rohani Sang 
Guru Suci; Memahami Spiritualitas Buddha, Konfusius, 
Yesus, Muhammad, cet. I, Murai Kenjana Jakarta Utara, 
2001.
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama, cet 
II, Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Hammond, Jeff, Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan, 
Immanuel, Jakarta. YPI Immanuel, 1992.
Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, CD maktabah al-tarikh wa al-
hadloroh, Kairo 2003.
Rohman, Fazlur, Tema Pokok Al-Quran, cet. I, Percetakan Salman 
Institut Tehnologi Bandung ,1983.
Sou’yb, Joesoef  , Agama-Agama Besar di Dunia, Cet I, Al-Husna 
Zikra Jakarta, 1996.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015122
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan 
Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Thobari al-, Ibnu Jarir, Tarikh al-Thobari, CD maktabah al-
Tarikh wa al-Hadloroh, Kairo 2003.
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran 
Islam, Sains Dan Al-Quran, cet. II, Rajawali Pers PT Raja 
Brafindo Persada Jakarta, 1997.
------------, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,  Jakarta: PT 
Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, Studi Banding 
antar Agama, cet I, Penerbit Paramita Surabaya, 2000.
http://www.sridianti.com/pengertian-teori-dentuman-besar-big-
bang.html diakses tanggal 20 Januari 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Ledakan_Dahsyat diakses tanggal 
20 Januari 2015.
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 123
KONTEKSTUALISASI KONSEP
ULUL ALBAB DI ERA SEKARANG
Azizah Herawati
Penyuluh Agama Ahli Muda Magelang
Azizah_hera@yahoo.co.id
ABSTRACT
This paper discusses Ulul Albab profile. An explanation 
about who ulul albab is, what the characteristics are 
and how the application of ulul albab characteristic in 
today’s era. Ulul albab is a group of humans created 
by Allah with all its advantages. They are a group 
of the choice people who have the power of high 
spiritual, intellectual and social. Their commitment to 
the teachings of Allah “Islam” is very high. They also 
are not easily affected by the temptation of the times 
and lost in lust seduction. Ulul Albab excellences do 
not only stand out from human view, but also have 
to stand in the sight of Allah. So that the elements 
of personality formation of Ulul Albab stated in Al-
Qur’ân as tafakkur, tadabbur and tazakkur becomes 
a necessity. Ulul Albab terms are sixteen times 
mentioned in the Qur’an. Al-Quran does not give a 
definitive concept of ulul albab, but only mentions 
the signs. So that the experts of tafsir provide a 
different understanding about ulul albab. Qur’an 
mentions the term ulul albab repeatedly with various 
characteristics, indicating that the profile ulul albab is 
Aksiologi Ilmuwan Modal Bagi Generasi Berjati Diri: Belajar dari Sejarah
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 3, No.1, Juni 2015
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015124
the desire profile of the people since the first, present 
and future.
Keywords: Ulul Albab, Profiles, Intellectual
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang profil ulul albab. 
Sebuah paparan tentang siapa itu ulul albab, apa ciri-
cirinya dan bagaimana penerapan ciri ulul albab di 
era sekarang ini. Ulul albab merupakan sekelompok 
manusia yang diciptakan Allah SWT dengan segala 
kelebihannya. Mereka  adalah sekelompok manusia 
pilihan yang mempunyai kekuatan spiritual, 
intelektual dan sosial yang tinggi. Komitmen mereka 
terhadap ajaran Allah SWT yakni ajaran Islam sangat 
tinggi. Mereka juga tidak mudah terpengaruh godaan 
perkembangan zaman dan hanyut dalam rayuan hawa 
nafsu yang melenakan. Keunggulan ulul albab tidak 
semata menonjol dari pandangan  manusia, akan tetapi 
juga harus menonjol dalam pandangan Allah SWT. 
Sehingga unsur-unsur pembentukan kepribadian ulul 
albâb yang tertera dalam Al-Qur’ân yaitu tafakkur, 
tadabbur dan tadzakkur menjadi sebuah keniscayaan. 
Istilah ulul albab ١٦ kali disebut dalam Al-Qur’an. Al-
Qur’an tidak menjelaskan secara definitive konsepnya 
tentang ulul albab, tapi hanya menyebutkan tanda-
tandanya saja. Sehingga para mufassir kemudian 
memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang 
ulul albab. Berulangkalinya Al-Qur’an menyebut 
istilah ulul albab dengan berbagai ciri, menunjukkan 
bahwa profil ulul albab merupakan profil dambaan 
umat sejak dahulu, kini dan masa yang akan datang.
Kata kunci : Ulul albab, profil, intelektual
 
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 125
Pendahuluan
Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, Al-
Quran telah menyebutkan kesempurnaan manusia dalam surat 
At-Tin ayat 4. Menurut Quraish Shihab bahwa kesempurnaan 
manusia sering mendapat pujian dari Tuhan, seperti pernyataan 
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya. 
Letak kesempurnaan manusia berbeda dengan makhluq Allah 
lainnya, sebab manusia memiliki potensi akal budi. Akal pula 
yang menjadi manusia terpilih sebagai khalifah di muka bumi 
dan berkewajiban untuk membangun dengan sebaik-bainnya.
Ternyata tidak hanya akal budi yang diberikan kepada 
manusia, Allah memberi amanah kepada manusia sebagai 
khalifahtullah atau wakil Allah dalam mengelola alam ini. 
Kuntowijoyo menyebutkan bahwa di dalam Al-Quran posisi 
manusia sangat penting, posisi itu dapat dilihat dalam predikat 
yang diberikan Tuhan sebagai Khalifah Allah. Ahmad Azhar 
menambahkan bahwa Allah menundukkan isi langit dan 
bumi kepada manusia guna melayani hidup manusia dalam 
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah . Sebagai khalifah 
manusia harus memaksimalkan potensi Akal, yang telah diberi 
oleh Allah SWT. Berfikir tentang ayat kauniyah yakni ayat-ayat 
mengenai visi cosmos dan menganalisa serta menyimpulkan 
sehingga melahirkan gagasan inovatif demi pengembangan 
peradaban manusia. 
Menggunakan akal artinya menggunakan kemampuan 
pemahaman, baik dalam kaitannya dengan realitas yang konkret 
maupun realitas spiritual. Musa Asy’ari memahami bahwa realitas 
konkrit dipahami oleh pemikiran dan realitas spiritual dipahami 
oleh Qalb. Al-Qur’an mengekspos keluhuran orang yang beriman 
dan berilmu sebagai hamba Allah yang memiliki kedudukan 
tinggi. Bahkan, diberi gelar khusus untuk mereka yang memiliki 
kedudukan ini, yang mampu mendayagunakan anugrah Allah. Al 
Quran juga menggambarkan aktivitas keduanya dengan sebutan 
Ulil Albab. 
Mendengar  istilah ulul albab, pikiran kita langsung 
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015126
tertuju kepada sekelompok manusia yang diciptakan Allah 
SWT dengan segala kelebihannya. Mereka  adalah sekelompok 
manusia pilihan yang mempunyai kekuatan spiritual, intelektual 
dan sosial yang tinggi. Komitmen mereka terhadap ajaran Allah 
SWT yakni ajaran Islam sangat tinggi. Mereka juga tidak mudah 
terpengaruh godaan perkembangan zaman dan hanyut dalam 
rayuan hawa nafsu yang melenakan.
Memang tidak terlalu berlebihan jika kita berpikir 
demikian. Karena Al-Qur’an sendiri menempatkan mereka dalam 
posisi istimewa. Merekalah orang-orang yang mampu memikirkan 
hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh sekelompok orang pada 
umumnya. Di era globalisasi seperti saat ini, di mana pengaruh 
tekhnologi terutama informasi,komunikasi dan transportasi 
yang begitu cepat, sangat sulit menemukan profil ulul albab yang 
benar-benar dijadikan patokan dalam Al-Qur’an. Karena ulul 
albab tidak terbatas pada kemampuan intelektual semata, tapi 
juga harus memiliki kemampuan lain yang bersifat emosional 
dan spiritual.
Siapakah Ulul Albab Itu?
Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai Al-
Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam 
intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam Al-Qur’an. 
Namun, sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara 
definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan 
tanda-tandanya saja. Karena itulah, para mufassir kemudian 
memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab. 
Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah 
mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya 
arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan 
mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir 
menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa 
kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan 
diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal.1 
1 A. Khudori Soleh, Ulul Albab, Konsep Al-Qur’an tentang 
Intelektualisme,  www.scribd.com, diakses tanggal 18 Januari 2012.
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 127
Dalam kamus Al-Munawwir, secara etimologi, kata ulul 
albâb terdiri dari dua suku kata yaitu ûlu merupakan sinonim 
dari kata dhawu artinya yang empunya (untuk jama’ berjenis laki-
laki). Albâb  ialah bentuk jama’ dari lubbu yang artinya isi, inti, 
sari, bagian terpenting. Ia merupakan antonim “kulit”. Menurut 
Yusuf Qardhawi, dalam konteks ini al-Qur’ân menunjukkan 
bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk 
fisik adalah kulit, sedangkan akal adalah isi. Sedangkan secara 
terminologi, dalam Al-Qur’ân Al-Karim dan Terjemahan, Zaini 
Dahlan, ulul albâb adalah orang yang berakal cerdik, dapat 
mengambil pelajaran, berpikir cerdas, orang yang menggunakan 
akal, orang yang berpikir tajam.
Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia 
tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT Di antara 
keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan,dan 
pengetahuan, di samping pengetahuan yang mereka peroleh 
secara empiris. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam 
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]  ayat 269 berikut ini :
  à   ÂÁ   À     ¿    ¾   ½   ¼   »   º¹   ¸   ¶   μ
   È  Ç  Æ      Å  Ä
“Allah menganugerahkan Al -Hikmah (kefahaman yang 
dalam tentang Al- Quran dan As -Sunnah) kepada siapa 
yang dikehendaki-Nya dan barangsiapa yang dianugerahi 
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang 
banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang 
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Disebutkan  pula dalam Al-Quran Surat Yusuf [12] ayat 
111  bahwa Allah SWT berfirman :
  É   È   Ç               Æ   Å   ÄÃ   Â   Á   À   ¿         ¾   ½
    Õ  Ô      Ó  Ò  Ñ  Ð  Ï  Î     Í  Ì  Ë  Ê
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat 
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. 
Al- Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan 
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015128
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan 
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan 
rahmat bagi kaum yang beriman”.
Ulul albab mempelajari sejarah berbagai bangsa, 
kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, 
yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di 
dalam kehidupan ini. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 
7 dijelaskan sebagai berikut :
  ¼  »  º   ¹     ¸  ¶  μ´  ³  ²       ±  °  ¯  ®    ¬  «  ª
.Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, 
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat 
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-
orang yang berakal”.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang ulul-albab, sekedar 
untuk membedakan, perlu ditinjau terlebih dahulu beberapa 
istilah lain dalam bahasa Indonesia yang hampir semakna  
yaitu  sarjana, ilmuwan, intelektual. Sarjana diartikan sebagai 
orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar. 
Jumlahnya banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi atau 
universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan ialah orang yang 
mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik 
dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara 
sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian 
berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam 
kegiatan rutin, dan menjadi tukang-tukang profesional.
Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya 
menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan 
tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga 
bukan sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan 
ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok 
orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, 
menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang 
dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif 
pemecahan masalah. Memang, istilah ini biasa diberi bermacam-
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 129
macam arti. Begitu beragamnya definisi intelektual, sehingga 
Raymond Aron sepenuhnya melepaskan istilah itu. Tetapi James 
Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership 
sebagai transforming leadership, berkata bahwa intelektual ialah 
a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang 
yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita, yang 
mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, 
orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis 
adalah seorang teoritisi; orang yang bekerja hanya dengan gagasan-
gagasan normatif adalah seorang moralis; orang yang menggarap 
sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur 
adalah seorang intelektual,” kata Burns. Jadi, intelektual adalah 
orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan-
gagasan analitis dan normatifnya. Sedang menurut Edward A. 
Shils, dalam Internasional Encyclopaedia of the Social Science, 
tugas intelektual ialah “menafsirkan pengalaman masa lalu 
masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan 
masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman 
estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat”.
Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan 
saja seorang yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup 
melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang 
cemerlang, melainkan juga menguasai sejarah Islam, dia adalah 
seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya 
mempunyai istilah khusus yang dikenal dengan istilah ulul-
albab. Al-Quran dan Terjemahannya Departeman Agama 
Republik Indonesia mengartikan ulul-albab sebagai “orang-
orang yang berakal” tidak terlalu tepat. Terjemahan Inggris men 
of understanding men of wisdom, mungkin lebih tepat.2 
Sosok ulul albâb merupakan sosok yang ideal yang 
digambarkan oleh Allah melalui beberapa ayat dan juga  mendapat 
pujian dari Allah SWT. Al-Qur’ân memberikan penghargaan dan 
penghormatan kepada kaum ulul albâb. Bentuk penghargaan 
tersebut, Allah SWT menyebut ulul albâb beberapa kali dalam 
2 Oman Abdurahman, Ulul Albab, Profil Intelektual Plus, http://
quran.al-shia.org/id/lib/005/10, diakses tanggal 19 Januari 2012
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015130
Al-Qur’ân dan diulang pada periode Makkah dan Madinah. 
Sembilan diantaranya diturunkan pada periode Makkah yang 
disebut dengan ayat-ayat Makkiyah dan tujuh lainnya diturunkan 
pada periode Madinah yang sering disebut dengan ayat-ayat 
Madaniyah. Periodisasi dari turunnya ayat-ayat yang berkaitan 
dengan ulul albâb memiliki makna tersendiri dan bentuk perhatian 
Allah SWT yang lebih atas kepribadian ulul albâb. 3
Ciri-Ciri Ulul Albab
Seperti apakah ciri-ciri orang yang termasuk dalam 
kelompok ulul albab ini? Ciri-ciri ulul albab menyangkut 
beberapa aspek kehidupan, baik ritual, sosial, emosional maupun 
intelektual. Ciri-ciri tersebut antara lain :
Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. a. 
Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (Al-
Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum 
yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam 
masyarakat demi kebaikan bersama. Firman Allah SWT dalam 
Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 190 :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan 
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda 
bagi orang-orang yang berakal”.
Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena 
alam dengan segenap hukumnya yang menunjukkan tanda-
tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Illahy, ulul albab juga 
seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan 
kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral 
dalam dirinya. Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan 
hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an 
terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah 
merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul 
dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya 
3 Yusuf Qardawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-
Banna, terjemahan Bustani A. Ghani dan Zainal Abidin (Jakarta: Bulan 
Bintang, 1998), hlm. 30
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 131
yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang 
tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia 
Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin 
bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi. 
Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus 
mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat 
Allah semakin bertambah (Jalaluddin Rahmad, 1988, 213). 
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat  
Ibrahim [14] ayat 7 berikut ini : 
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; 
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami 
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu 
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku 
sangat pedih”.
Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai 
manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir 
dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi. 
Sebagaimana disebut dalam Al- Qur’an Surat Ar-Rahman [55] 
ayat  33 berikut ini : 
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup 
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka 
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali 
dengan kekuatan”.
Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.b. 
Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang 
jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan 
mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau 
kejahatan didukung banyak orang. Ia tidak hanya asyik dalam 
acara ritual atau tenggelam dalam perpustakaan; sebaliknya 
tampil di hadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidak 
beresan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, memberikan 
peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila 
terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.4 (A. Khudlori 
4 A. Khudlori Sholeh, Ulul Albab ..., www.scribd.com, diakses 18 
januari 2012
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015132
Sholeh, Op. Cit.). Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] ayat 100 
menyebutkan :
   z  y  x  w  vu     t  s  r   q  p  o  n  m
  }  |  {
Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, 
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, 
Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang 
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”.
Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-c. 
nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan 
oleh orang lain. (Oman Abdurahman, Op. Cit.)
Ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain,sehingga ia 
tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang 
lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu 
mengecek kebenarannya. (.). Dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar 
ayat 18 Allah SWT berfirman :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa 
yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-
orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka 
itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
d. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk 
memperbaiki masyarakatnya; memperingatkan mereka 
kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat 
ketidakadilan.
 Dia tidak duduk berpangku tangan di labolatorium; dia 
tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan; 
dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk 
memperbaiki ketidak beresan di tengah-tengah masyarakat. 
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim [14] ayat 
52 sebagai berikut :
“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi 
manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-
Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia 
adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang 
yang berakal mengambil pelajaran”.
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 133
Allah SWT juga berfirman  dalam Al-Qur’an  surat Ar-
Ra’du [13] ayat 19-22 berikut ini :
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa 
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar 
sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang 
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, 
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan 
tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang 
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya 
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan 
takut kepada hisab yang buruk, dan orang-orang yang 
sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan 
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami 
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; 
orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan 
(yang baik)”.
Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. e. 
Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk 
kehidupan. Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan 
dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat 
prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat 
persiapan untuk menyambut kemungkinan-kemungkinan yang 
bakal terjadi. Allah berfirman dalam Al-Qur>an surat Al-Hasyr 
[59] ayat 18 :
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada 
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa 
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan 
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha 
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk di hadapan Allah f. 
SWT. 
Ulul Albab senantiasa “membakar” singgasana Allah 
dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang 
Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun dan 
pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di 
muka bumi. Ulul Albab sangat»dekat» dengan Tuhannya. Hal 
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015134
ini ditegaskan oleh Allah SWT Surat Az-Zumar [39] ayat 9 
berikut ini :
“(apakah kamu hai orang musyrik yang lebih 
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-
waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia 
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat 
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang 
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak 
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah 
yang dapat menerima pelajaran”.
Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. g. 
Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai 
pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak 
mau  berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi 
kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu 
pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia dapat 
digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan 
dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar. 
Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat 
berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. 
Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya 
untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan 
nafsu angkara murkanya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an 
Surat Al-Isra’ [17] ayat 36 :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak 
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya 
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan 
diminta pertanggungan jawabnya”.
Mampu memahami substansi dari suatu permasalahan secara h. 
mendalam.
Allah SWT berfirman  dalam  A-Qur’an Surat Al-Baqarah 
[2] ayat 179 sebagai berikut : 
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) 
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya 
kamu bertakwa”.
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 135
Secara substansi, ayat ini menegaskan melalui ketetapan 
hukum  qishash terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi 
manusia. Karena bagaimanapun juga ketika seseorang mengetahui 
bahwa hukuman bagi pembunuh akan dibunuh, maka mereka 
akan mempertimbangkan ketika akan membunuh. Ulul albâb  
dalam konteks ini merupakan sosok kepribadian yang mampu 
memahami substansi dari suatu permasalahan. Mereka mampu 
melihat sisi positif dari perintah pelaksanaan hukuman qishash. 
Albâb  menurut Al-Harali adalah sisi terdalam akal yang berfungsi 
untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat 
diindera, mereka juga mampu menyaksikan Rabb-nya melalui 
ayat-ayat-Nya.5 
Mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa i. 
terdahulu. 
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat 
Yusuf [12] ayat 111 berikut ini :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat 
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. 
Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan 
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan 
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan 
rahmat bagi kaum yang beriman”.
Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi 
melihat pada kisah Nabi Yusuf AS tersebut merupakan salah satu 
kisah penting bagi mereka yang berakal dan berpikiran tajam 
yaitu ulul albâb. Karena itulah kisah ini disebut sebagai qashasha 
al-khabara yang berarti menyampaikan berita dalam bentuk yang 
sebenarnya. Kata ini diambil dari perkataan qashasha al-atsara 
wa iqtashashahu yakni menunjukkan kisah ini menuturkan cerita 
secara lengkap dan benar-benar mengetahui. 
Hal senada diungkapkan oleh al-Nahlawi dalam bukunya, 
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat halaman 
240 menuliskan bahwa kisah Yusuf AS mampu memuaskan 
pikiran melalui dua  cara, yaitu : 
5 Yusuf Qardawi, Pendidikan Islam..., hlm. 31.
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015136
Pemberian sugesti, keinginan dan keantusiasan.1. 
Keteguhan dan ketabahan menghadapi cobaan merupakan 
satu sisi menakjubkan dan dapat diambil pelajaran
Perenungan atau pemikiran. 2. 
Nilai otentik dari kisah Yusuf AS yaitu penalaran yang 
logis, semangat berkorban demi kebenaran, semangat 
ketuhanan dan keteguhan dengan penuh kearifan dalam 
bertindak.
Memiliki kejernihan pikiran dan kelembutan hati untuk j. 
bertaqwa kepada Allah SWT
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq  [65] 
ayat 10 :
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, 
maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang 
mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. 
Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan 
kepadamu”.
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini  
berfungsi sebagai penjelas atau tempat  bagi ulul albâb. Kalimat 
tersebut mengisyaratkan bahwa keilmuan yang menghiasi jiwa 
mereka dikarenakan kejernihan pikiran mereka. Sedangkan 
menurut Az-Zamarkasyi dalam tafsirnya Al-kasafu ‘an Haqâiqi 
Tanzil wa’uyuni fi wujuhi ta’wil  seakan-akan Allah menyiapkan 
siksa bagi mereka yang ingkar dan tidak beriman. Ulul albâb 
yaitu orang-orang yang beriman yang memiliki kelembutan 
hati untuk bertaqwa kepada Allah dengan menghidari segala 
hukuman-Nya.
Mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. k. 
Sebagaimana  firman Allah SWT  dalam Al-Qur’an Surat Al-
Baqarah [2] ayat 269 berikut ini :
“Allah menganugerahkan al- hikmah (kefahaman yang 
dalam tentang Al-Quran dan As- Sunnah) kepada 
siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang 
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi 
karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang 
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 137
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman 
Allah)”.
Pada ayat ini dijelaskan oleh Sayyid Qutb dalam Tafsir 
Fi Dhilalil Qur’an bahwa orang yang berhak mengambil 
manfaat dari  hikmah adalah kaum ulul albâb yaitu mereka yang 
meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan memberikan 
kepada masing-masing yang berhak. Maka bagi mereka telah 
mendapatkan kemuliaan dari Allah dari sisi ilmu pengetahuan.
Apabila dikaji lebih dalam sebenarnya masih banyak 
ciri-ciri dari ulul albab yang diungkap dalam Al-Qur’an, namun 
11 ciri ini saja sudah sangat sulit ditemukan di zaman seperti 
sekarang ini.
Penerapan Fungsi Ulul Albab di Zaman Sekarang
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ulul 
albab adalah cendekiawan muslim yang memiliki kriteria sebagai 
berikut:
Mengerahkan secara optimal semua potensi intelektual a. 
yang dimiliki untuk mencari dan mengembangkan ilmu 
pengetahuan serta beijtihad dalam rangka memahami 
ayat-ayat Alah SWT baik yang qauliyah maupun yang 
kauniyah.
Mampu menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki b. 
sebagai alat untuk mencari karunia sebanyak-banyaknya 
(khairan katsiran) dari Allah SWT untuk kebaikan umat 
manusia, bukan untuk menimbulkan kerusakan dan 
kebinasaan.
Bersedia menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang c. 
dimilikinya dalam rangka memimbing, membina dan 
memimpin masyarakat.
Menyadari bahwa sekalipun orang-orang yang d. 
berilmu pengetahuan tidak sama dengan yang tidak 
berilmu pengetahuan, tapi derajat kemuliaan seorang 
cendekiawan tidak hanya ditentukan oleh ketinggian ilmu 
pengetahuannya semata, tetapi—dan lebih utama lagi—
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015138
ditentukan oleh sejauh mana kedekatan (taqarrub) nya 
dengan Allah SWT. Oleh sebab itu cendekiawan muslim 
harus senantiasa berzikir kepada Allah SWT di mana saja 
berada dan dalam kondisi bagaimana pun. Baik zikir hati, 
lisan, maupun amal perbuatan.
Mempunyai sikap furqan, yaitu mampu membedakan e. 
antara yang hak dan yang batil; selalu konsekuen mengikuti 
dan membela yang hak serta menjauhi dan menentang 
yang batil; serta bersedia berkorban dan menentang arus 
dalam mempertahankan yang hak dan menentang yang 
batil tersebut.
Memiliki iman yang kuat dan akhlaq yang mulia yang f. 
tercermin antara lain dalam beberapa sikap  berikut : 
Mengakui kekuasaan Allah SWT, tidak takut kepada 
siapapun kecuali kepada Allah SWT, selalu mengikuti 
hidayah-Nya, senantiasa ikhlas dalam setiap amalannya, 
cenderung menjauhkan diri dari perilaku menyimpang 
dan kembali kepada prilaku yang mendapat keridhaan 
Allah SWT, senantiasa menyadari kekhilafan, tabah dan 
dapat belajar dari segala macam cobaan.6 
Apabila diterapkan di zaman sekarang, tentu sangat 
luar biasa kalau ditemukan figur muslim seperti ini. Meskipun 
tidak mustahil ditemukan, namun perlu usaha sungguh-sungguh, 
mengerahkan segenap jiwa, raga , spiritual, intelektual dan 
emosional. Ada empat kata kunci yang menjadi esensi profil ulul 
albab menurut Al-Qur’an Al-Karim, yaitu zikir, tazakkur, tafakkur 
dan taqwa. Bahkan khusus tazakkur (kemampuan dan kesediaan 
untuk mendapatkan pelajaran) disebut oleh Al-Qur’an 9 tempat 
dari keseluruhan ayat-ayat tentang ulul albab di atas. Hal itu 
menunjukkan bahwa ulul albab memang diingatkanuntuk lebih 
waspada dan hati-hati dengan ilmu dan tugas yang dipikulkan 
dipundaknya. 
6 Yunahar Ilyas, Ulul   Albab, Suara Muhammadiyah Edisi 2 
Tahun  2002
Azizah Herawati
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 139
Penutup
Secara individual, kepribadian ulul albâb mencerminkan 
satu ciri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut lahir dari usaha 
dan kesungguhan untuk mencari hakekat segala sesuatu dengan 
cara olah pikir dan dzikir. Keluarga berkewajiban untuk 
mendorong dan menyiapkan generasi yang akan datang agar 
memiliki keunggulan tidak semata di sisi manusia, akan tetapi 
di sisi Allah. Untuk itulah, perlu memperhatikan unsur-unsur 
pembentukan kepribadian ulul albâb yang tertera dalam Al-
Qur’ân yaitu tafakkur dan tadzakkur, tadabbur (memperhatikan 
secara seksama), focus pada kualitas, bersabar, menjaga kesucian 
diri dan beribadah.   
Dari uraian di atas diharapkan dapat diterapkan dalam 
mengasah diri menjadi lebih berkualitas, baik yang bersifat hablun 
minallah maupun hablun minannas. Sehingga menjadi pribadi 
yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pribadi yang benar-benar 
terpilih. Amin. Wallahu a’lamu bish-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman,Oman, Ulul Albab, Profil  Intelektual Plus, http://
quran.al-shia.org/id/lib/005/10, diunduh 19 Januari 
2012.
Al-Maraghi , Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi. Mesir, 
Musthafa Al-Babi Al-Halabi. (terjemah) Anwar Rasyidi 
dkk., Semarang: Toha Putra, 1988.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah 
dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Dahlan, Zaini, Al-Qur’ân Al-Karim dan Terjemahan Artinya, 
Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ilyas, Yunahar, Ulul Albab, Suara Muhammadiyah Edisi 2 Tahun  
2002
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap,
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015140
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. 
Qardawi , Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-
Banna, terjemahan Bustani A. Ghani dan Zainal Abidin, 
Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Qutub, Sayyid, Tafsir Fi dhilalil Qur’an, Isa Al-babi Al-halabi, 
tt.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian 
al-Qur’ân, Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Sholeh, A Khudori, Ulul Albab, Konsep Al-Qur’an tentang 
Intelaktualisme,  www.scribd.com, diunduh 18 Januari 
2012.
Umma Farida
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 141
ISLAM PRIBUMI DAN ISLAM PURITAN:
Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Berdasar 
Proses Dialektika Pemeluknya dengan Tradisi Lokal 
Umma Farida
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus
Email: mafarahman@gmail.com
ABSTRACT
Finding the face of Indonesian Islam is always interesting 
to discuss, considering the percentage of Muslims in 
Indonesia belongs to the largest number of Muslims 
around the world having its own characteristic pattern 
of Arabic Islam face. So it is common that many people 
are interested in trying to uncover the face. This paper 
became an effort to capture the face of Indonesian Islam 
and the diversity pattern, by assuming the classification 
made by Geertz. For revealing the portrait the face of 
Indonesian Islam is done by looking at the dialectic 
process of Islam teachings followers with local tradition 
there.
Keywords: Islam, Native (Pribumi), Puritan, Religiosity 
Pattern
ABSTRAK
Menemukan wajah Islam Indonesia selalu menarik 
untuk didiskusikan, mengingat prosentasi umat Islam 
di Indonesia termasuk ke dalam jumlah umat Islam 
terbesar di seluruh dunia disamping memiliki pola dan 
karateristik tersendiri dari wajah Islam Arab. Sehingga 
Aksiologi Ilmuwan Modal Bagi Generasi Berjati Diri: Belajar dari Sejarah
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 3, No.1, Juni 2015
Islam Pribumi dan Islam Puritan.....
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015142
wajar jika banyak kalangan yang berkepentingan untuk 
berusaha menguak wajah tersebut. Tulisan ini menjadi 
suatu ikhtiar untuk memotret wajah Islam Indonesia dan 
pola keberagamaannya, dengan berpijak dari klasifikasi 
yang dibuat Geertz. Sedangkan untuk menguak potret 
wajah Islam Indonesia dilakukan dengan melihat proses 
dialektika pemeluk ajaran Islam dengan tradisi lokal 
yang ada.
Kata kunci: Islam, Pribumi, Puritan, Pola 
Keberagamaan
Pendahuluan
Islam adalah banyak hal. Sama seperti halnya tidak ada 
satu Amerika, Eropa ataupun Barat, begitu pula tidak 
ada satu pun penjelasan pas yang melukiskan berbagai 
kelompok maupun orang dengan nilai dan arti yang 
sama. Juga tidak ada lokasi tunggal ataupun budaya 
seragam yang identik dengan Islam.1
Statemen Bruce B. Lawrence di atas setidaknya memang 
melukiskan betapa ragamnya pola keislaman masyarakat dunia, 
termasuk masyarakat Indonesia. Banyak pakar mensinyalir 
bahwa Islam di Indonesia menampilkan wajah yang lebih 
ramah daripada Islam Timur Tengah. Lalu, bagaimana sejatinya 
wajah Islam Indonesia? Di belahan dunia manapun, Islam tidak 
monolitik. Pluralitas dunia Islam dinilai Lawrence melebihi 
Eropa dan Amerika dalam hal banyaknya kawasan, ras, bahasa, 
serta budayanya. Umat Islam sendiri menyadari betapa perlunya, 
sekaligus betapa sulitnya, menyatukan berbagai persepsi yang 
berbeda tentang Islam.2
Wajah Islam Indonesia
Menemukan ‘wajah’ Islam Indonesia beberapa tahun 
terakhir ini memang sedang hangat diperbincangkan. Ini bisa 
dimengerti mengingat prosentasi umat Islam di Indonesia 
1 Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari 
Kekerasan, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 11.
2 Ibid., hlm. 9.
Umma Farida
Fikrah,  Vol. 3, No. 1, Juni 2015 143
termasuk ke dalam jumlah umat Islam terbesar di seluruh dunia. 
Sehingga banyak kalangan yang berkepentingan untuk berusaha 
menguak ‘wajah’ tersebut, terlebih sejak terdinya pengeboman 
WTC tahun 2001 lalu. Islam kemudian identik dengan kesan 
radikal dan teroris.
John L. Esposito menuturkan bahwa ada semacam 
konsensus umum bahwa Islam telah mapan dalam masyarakat 
lokal Indonesia pada abad ketiga belas dan berkembang pesat 
sekali pada abad kelima belas dan keenam belas. Tersebarnya 
Islam di Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan  
Malabar di India Barat, juga orang Arab, khususnya Hadramaut. 
Pada umumnya, penduduk Indonesia masuk Islam secara damai. 
Islam yang datang tidak melenyapkan unsur lokal melainkan 
mengakomodirnya dengan memasukkan nilai-nilai Islam di 
dalamnya. Sikap para pendakwah Islam yang permisif dan 
akomodatif terhadap tradisi-tradisi lokal inilah yang menjadikan 
Islam tumbuh subur di negeri ini.3 Sikap demikian ini, menurut 
Bisri Affandi, dikarenakan Islam yang dibawa oleh para pedagang 
dari Gujarat India Barat sejatinya telah dipengaruhi budaya Hindu. 
Sinkretisme agama Islam dengan Hindu memudahkan perkenalan 
agama ini pada penduduk asli. Islam dapat diterima di Indonesia 
dengan syarat dapat berjalan berdampingan dengan pola agama 
yang telah ada dan dapat mengasosiasikan diri dengan praktek 
agama dan kepercayaan. Kondisi serupa juga  ditemukan pada 
orang Arab Hadramaut yang sangat lekat dengan mistisisme.4 
Setidaknya ada dua ‘wajah’ yang ditunjukkan oleh 
masyarakat Islam di Indonesia dalam menentukan identitas 
keislamannya dilihat dari proses dialektika para pemeluknya 
terhadap tradisi lokal sebagai berikut:
Islam Pribumia. 
Penamaan Islam Pribumi sejatinya ingin menonjolkan 
ciri keislaman yang khas Indonesia. Islam Indonesia yang khas 
dengan keramahan dan toleransinya tidak bisa dilepaskan dari 
sejarah kehadiran agama tersebut di Indonesia. Menurut Imdadun 
Rahmat, gagasan ini secara genealogis diilhami oleh gagasan 
Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid 
akhir tahun 80-an.5 
Gagasan Wahid dapat disarikan dalam tiga pilar: Pertama, 
keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substansif 
ditafsirkan ulang atau dirumuskan ulang agar tanggap terhadap 
tuntunan kehidupan modern. Kedua, keyakinan bahwa dalam 
konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara, 
dan ketiga, bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, 
demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang eksklusif.6 
Melalui gagasannya ini, Wahid mendeskripsikan Islam sebagai 
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke 
dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan 
identitasnya masing-masing, tidak saling mengalahkan, 
melainkan berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini 
memisahkan antara agama dan budaya. Ini dikarenakan—bagi 
Wahid—Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan 
budaya Timur Tengah sama artinya dengan melepaskan diri kita 
dari akar budaya kita sendiri.7 Sebaliknya, Wahid menganjurkan 
proses kreatif yang  menemukan kembali dan mengurai intisari 
agama dari totalitas Islam. Intisari Islam harus berfungsi sebagai 
basis inspirasional, bukan basis legal.8
Gagasan Wahid terinspirasi dari semangat yang diajarkan 
Walisongo yang sangat toleran dan akomodatif terhadap budaya 
setempat selama proses dakwahnya di tanah Jawa sekitar abad 
15-16 M. Mereka telah mengadopsi kebudayaan lokal secara 
selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang sudah pas 
tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan 
dalam tradisi Islam. Tatkala nilai Islam dianggap sesuai dengan 
adat setempat, maka tidak perlu lagi diubah sesuai dengan selera, 
adat, atau ideologi Arab. Karena, jika hal itu dilakukan maka 
akan menimbulkan kegoncangan budaya. Sementara mengisi 
nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif 
daripada mengganti budaya itu sendiri.
Kedatangan para pendakwah yang tergabung dalam 
Walisongo ke tanah Jawa tidaklah untuk menaklukkan Jawa, 
namun untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang sudah 
beradab dengan mengakui hak-hak kultural masyarakat setempat 
yang selama ini mereka jalankan dan kembangkan.10 Strategi 
yang ditempuh oleh para Walisongo ini pada akhirnya terbukti 
efektif dalam mengakrabkan Islam dengan lingkungan setempat. 
Islam tidak dijauhi, melainkan dapat diterima dengan baik oleh 
masyarakat setempat karena tidak berhadap-hadapan secara 
frontal dengan adat dan tradisi yang mereka anut. Islam pun 
menjadi menyatu dengan kenusantaraan atau keindonesiaan.
Sepanjang pengetahuan penulis, gagasan Wahid ini 
selajutnya dielaborasi oleh Khamami Zada, Imdadun Rahmat 
dan kawan-kawan yang bergabung dalam Lakpesdam NU dengan 
mengambil nomenklatur Islam Pribumi, yang dimaksudkan untuk 
memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam 
praktek kehidupan keberagamaan (Islam) di setiap wilayah yang 
berbeda-beda, sehingga Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, 
melainkan majemuk.11  Islam pribumi berupaya mendialekkan 
ajaran-ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal Indonesia. 
Dalam aksinya, Islam pribumi selalu mempertimbangkan 
kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat di dalam merumuskan 
hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum-hukum inti dalam 
agama.12  Islam pribumi mengakomodir berbagai tradisi lokal 
dan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Ini dikarenakan 
dalam sejarahnya, proses islamisasi di Jawa memang tidak bisa 
dipisahkan dari tradisi dan budaya lokal.
Islam Puritanb. 
Islam Puritan ini menjadi wajah lain dari masyarakat 
Islam Indonesia yang dipelopori oleh Abdurrauf Singkel dan 
Muhammad Yusuf al-Makassari pada abad ke-17. Wajah Islam 
yang dikenalkan oleh dua ulama ini bercorak puritan dan 
menganggap bahwa bentuk keberagamaan Islam yang paling 
benar dan ideal adalah dengan meniru para salaf as}-s}alih}. Adat, 
tradisi, dan budaya lokal dinilai dapat menghilangkan otentisitas 
Islam. Masuknya warna budaya lokal ini sering dipandang 
sebagai sesuatu yang bid’ah dan khurafat.
Para puritan menganggap selamatan dan sejenisnya 
meskipun dimasukkan nilai Islam di dalamnya tetaplah tidak 
dibenarkan karena membahayakan tauhid. Doa terbaik bukan 
yang dibaca saat selamatan tersebut, melainkan doa yang 
dipanjatkan setelah shalat wajib. 
Semangat purifikasi tidak hanya berbentuk pergulatan ide 
dan gagasan, tetapi telah berwujud gerakan. Menurut Idahram, 
gerakan ini makin semarak sejak awal tahun 1980-an, yang mana 
pada saat itu terjadi perkembangan dakwah yang memberikan 
warna berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-
elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke Indonesia 
hingga bermunculan beberapa gerakan seperti Ikhwanul 
Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar 
Jihad dan sebagainya.
Islam puritan memposisikan Islam sebagai kerangka 
normatif ajaran yang transenden, baku, tak berubah dan kekal. 
Bangunan hukum dan ajarannya harus merujuk pada teks 
yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi saw. yang 
diimplementasikan di Makkah dan Madinah sebagai basis 
geografis lahirnya Islam, tanpa mengalami proses historisasi 
ajaran, karena sifat transenden al-Qur’an dan Sunnah dipandang 
tidak bersentuhan sama sekali dengan budaya manusia. 
Islam sebagai suatu ideologi dimaknai sebagai realisasi 
pengislaman seluruh sistem hidup, ekonomi, masyarakat, negara, 
lengkap dengan bentuk dan simbolnya. Konsekuensinya, tindakan 
sosial politik Nabi dan para sahabat juga dianggap sebagai contoh 
final yang harus ditiru oleh umat Islam kapanpun dan dimanapun, 
tidak semata nilai-nilai atau pesan-pesan yang dikandungnya, 
tetapi juga bentuk-bentuk dan simbol-simbolnya.15 
Dengan demikian, Islam harus dipahami sebagai suatu 
totalitas. Pemisahan agama dan negara tidaklah dapat diterima, 
karena Islam adalah aqidah dan syariah, di>n dan daulah. Islam 
adalah kesatuan organik yang utuh dan sempurna, sehingga 
hanya Islam saja yang dapat menjamin perjalanan kehidupan 
manusia. Islam tidak hanya menjadi wahana untuk mengetahui 
kebenaran metafisis, melainkan juga menjadi sarana dalam 
menemukan prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam kehidupan 
sehari-hari. Prinsip-prinsip ini tidak saja wajib diikuti dalam 
bidang spritual semata, namun juga harus ditaati dalam problem-
problem kemanusiaan-duniawi seluruhnya.16 Atau dengan kata 
lain, Islam mencakup aspek spiritual dan politik, wilayah pribadi 
maupun publik. Perhatian pada lingkup yang satu mensyaratkan 
keterlibatan pada yang lainnya. Berbuat tidak demikian sama 
halnya dengan merancukan atau memecah-belah Islam.
Pandangan seperti ini jelas berbeda dari apa yang 
diyakini Islam Pribumi yang menyebutkan bahwa Islam tidak 
lahir dari ruang dan lembaran kosong. Menurutnya, Islam yang 
ideal sebagaimana yang dibayangkan kaum Islam puritan itu 
sebenarnya tidak ada. Sejatinya yang ada hanyalah Islam yang 
riil hidup di tengah masyarakat. 
Sayyid Vali Reza Nasr sebagaimana dikutip Syafiq 
Hasyim lebih suka menyebut para puritan di belahan dunia 
Islam sebagai Islam revivalis. Menurutnya, istilah ini menyimpan 
makna yang lebih dalam, tidak hanya menggambarkan fenomena 
gerakan penafsiran agama yang didasarkan kepada teks semata, 
akan tetapi merupakan gerakan yang sangat berkaitan dengan 
persoalan-persoalan politik umat, pembentukan ide