penciptaan alam 1
By tuna at Januari 24, 2024
penciptaan alam 1
Artikel ini mendeskripsikan tentang berbagai pendapat
tentang asal usul kejadian alam. Artikel ini dimulai
dari konsep penciptaan alam secara umum, kemudian
konsep-konsep agama-agama, seperti Islam (al-Qur’an),
Kristen (al-Kitab), dan konsep-konsep agama-agama
lain seperti Hindu dan Budha. Dalam sumber Islam,
ketika al-Quran membicarakan tentang alam semesta
(universe), al-Quran tidak membahasnya secara detail.
Al-Quran hanya membahas garis besarnya saja, karena
al-Quran bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku
ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan
penciptaan alam semesta secara sistematis (enam hari).
Ajaran Kristen tentang ajaran penciptaan alam tak
jauh berbeda dengan Islam. Dalam Bible (al-Kitab)
dinyatakan bahwa penciptaan alam ini juga terjadi
melalui beberapa fase. Bahasan tentang alam semesta
(universe) merupakan bahasan yang kompleks penuh
dengan teka-teki. Sehingga akal manusia tanpa perantara
piranti agama dan studi empiris ilmu pengetahuan
kealaman (kosmologi) niscaya tak akan dapat sampai
mengambil kesimpulan-kesimpulan, atau jawaban-
jawaban di seputarnya. Bahkan teks-teks agama pun
kadang dalam membahas hal ini sangatlah dangkal dan
tidak mencakup semua bahasan yang dikehendaki.
Kata kunci: Penciptaan, Alam, Komparatif, Agama
Pendahuluan
Hampir semua agama membicarakan tentang asal usul
kejadian alam. Para pakar agama-agama telah mengemukakan
pendapatnya dari pemahaman mereka terhadap kitab sucinya.
Tidak ketinggalan dengan para filsuf, baik sejak zaman Yunani
kuno, hingga filsuf muslim telah memberikan sumbangsihnya
terkait asal usul penciptaan alam. Mulai dari Tales yang berdapat
bahwa asal muasal segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
berasal dari air. Pendapat yang lain mengatakan, asal dari segala
sesuatu adalah tanah, ada pula yang berpendat berasal dari api.
Terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa asal
mula terjadinya alam semesta ini karena adanya big bang (ledakan
besar) pada jutaan tahun lampau. Dalam Wikepedia dijelaskan:
Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar (bahasa Inggris:
Big Bang) merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan
pembentukan alam semesta berdasarkan kajian kosmologi
mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta (dikenal
juga dengan Teori Ledakan Dahsyat atau Model Ledakan
Dahysat). Berdasarkan permodelan ledakan ini, alam semesta,
awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang
secara terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran
terbaik tahun 2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar
13,7 miliar tahun lalu
Pencetus teori big bang ini adalah Stephen Hawking.
Menurutnya, jagad raya (alam semesta) berawal dari adanya
suatu massa yang sangat besar dan panjang dengan berat jenis
yang besar pula dan mengalami ledakan dan dentuman yang
sangat dahsyat karena adanya reaksi pada inti massa. Ketika
terjadi ledakan besar itu, bagian-bagian dari massa tersebut
berserakan dan terpental menjauhi pusat dari ledakan. Setelah
miliaran tahun kemudian, bagian-bagian yang terpental tersebut
membentuk kelompok-kelompok yang dikenal sebagai galaksi
dalam sistem tata surya.
Para filsuf sebelum al-Ghazali mempunyai pendapat
bahwa bahwa alam itu qadi>m (tidak mempunyai permulaan), ini
merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para filosof
muslim sebelum al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadi>m.
Sebab qadim Tuhan atas alam sama halnya dengan qadi>m nya
illat atas ma’lu>lnya (ada sebab akibat), yakni dari z}at dan
tingkatan, juga dari segi zaman. Para filosof kala itu beralasan
tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari
yang qadi>m (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan
alam belum ada.1 Menurut al-Ghazali yang qadi>m (tidak
mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain
Tuhan haruslah baru (hadis}). Karena apabila terdapat sesuatu
yang qadi>m selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham;
apabila yang qadi>m banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran
ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar
yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau masuk golongan Ateisme
yang menyatakan bahwa alam yang qadi>m tidak perlu adanya
pencipta.
Filsof Muslim lain, seperti al-Farabi, dan Ibnu Sina
berpendapat bahwa wujudnya alam bukanlah dan bukanlah
diciptakan, Allah memang prima kausa, penyebab pertama,
penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama. Allah
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran
(emanasi). Dengan demikian, Allah menciptakan alam semenjak
azali alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi
yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah
baru berasal dari pancaran pikiran akal pertama.2
Pendapat al-Farabi dan Ibnu Sina di atas kemudian dikritik
keras oleh al-Ghazali, ia mengemukakan bahwa pemikiran al-
Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam
pandangan Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber
dari al-Qur’an dan Hadits) Allah merupakan Dzat yang Pencipta
(al-Kha>liq), yaitu yang menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau
alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah
diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.3
Adanya berbagai pendapat tentang asal usul kejadian
alam, menyebabkan penulis bermaksud mengeksplorasikan
tulisan tentang studi komparatif antar agama-agama di Indonesia
tentang asal usul kejadian alam. Mulai dari konsep penciptaan
alam secara umum, kemudian konsep-konsep agama-agama,
seperti Islam (al-Qur’an), Kristen (al-Kitab), dan konsep-konsep
agama-agama lain seperti Hindu dan Budha. Berangkat dari
view point diatas, penyusun hanya bermaksud menguraikan
pandangan-pandangan agama-agama (Islam, Kristen, Hindu dan
2 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 74.
3 Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), hlm. 84.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 105
Budha) dengan merujuk kepada teks-teks suci tiap agama yang
stressing utamanya pada agama Islam dan Kristen saja.
Konsep Penciptaan Alam menurut Agama-agama
Adalah merupakan sebuah keyakinan setiap agama
“semit” bahwa Allah lah pencipta alam semesta (universe). Pada
awalnya yang ada hanyalah kegelapan dan Tuhan menciptakan
alam semesta ini hanya dengan perintah-Nya saja.4 Hal yang
demikian ini hanya menurut Bible sedang dalam al-Quran tidak
dijelaskan kejadian yang seperti ini. Namun, diberbagai kitab
sejarah tradisi Islam mengatakan bahwa hal-hal yang diciptakan
sebelum alam adalah, al-qalam, al-ghamam (awan), al-arsy, al-
hawa’, al-ma’ dan kegelapan (al-dhulmah) di riwayatkan oleh
Ibn Abbas, dengan obyek manusia sebagai pusat dunia.
Dalam tradisi ini manusia diciptakan di dunia untuk
menaklukkan dunia dengan mengetahui hukum-hukum
yang ditanamkan pada alam oleh Tuhan. Hukum-hukum ini
dimaksudkan untuk memandu dan mensejahterakan umat
manusia. Karena itu, dunia ini merupakan dunia-Nya Tuhan,
dimana dengan mengetahuinya manusia dapat mengetahui ke
maha kuasaan dan ketakterbatasan Tuhan. Kerenanya, dunia
disakralkan dan mewujudkan sifat serta kehendak-Nya. Untuk
itu manusia harus berusaha mengatasinya sebagai petunjuknya
sendiri.
Dalam memahami proses penciptaan banyak yang
berbeda pendapat.5 Dalam memformulasikan penciptaan alam
semesta, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok; kelompok
pertama; berpendapat bahwa alam semesta diciptakan Allah dari
tiada secara langsung. Sementara kelompok kedua berpandangan
bahwa alam semesta diciptakan Allah dari ada secara tidak
langsung. Kelompok pertama di “dendang” kan oleh teolog
Asy’ariah yang bercorak tradisionalis. Sedangkan kelompok
kedua di “suara” kan oleh teolog Mu’tazilah yang bercorak
4 Lihat Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 1, hlm. 17.
5 Lihat Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam
Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, t.t), hlm. 1-3.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015106
rasionalis dan filosof Islam.
Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa alam semesta dalah
hadits (baru). Alam, menurut meraka, tidak berasal dari (sesuatu,
hakikat jauhar dan ‘ardl), tetapi ia diciptakan dari nihil menjadi
ada dengan kodrat dan irodat-Nya. Sedangkan teolog mu’tazilah
berpendapat bahwa alam semesta diciptan Allah dari sesuatu yang
telah ada yang mereka sebut dengan ma’dum. Yang dimaksud
degan ma’dum ialah (sesuatu, zat dan hakikat). Bahkan ada yang
mengatakan, alam ma’dum itu telah mempunyai wujud hanya saja
belum menpunyai shurat seperti alam empiris. Yang jelas, bahwa
penciptaan alam semesta termasuk salah satu unsur yang penting
tidak hanya dalam bahasan pemikiran setiap agama, bahkan
term ini telah menjadi sebuah obyek penelitian ilmu pengetahuan
kosmologi. Makanya, seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, timbul banyak pertanyaan mengenai terjadinya
alam semesta (universe).
Konsep Penciptaan Alam Versi Islam
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran inti agama Islam,
diturunkan untuk menjelaskan kepada manusia hal-hal yan
tidak bisa dimengerti oleh akal mereka secara mandiri, seperti
esensi iman, ritual-ritual ibadah, serta landasan-landasan etis dan
hukum yan berguna untuk mengatur interaksi sosial di antara
sesama manusia. selain itu, al-Qur’an juga membicarakan alam
semesta, yang meliputi bumi dan langit, unsur-unsurnya yang
beraneka ragam, para penghuninya, serta fenomena-fenomena di
dalamnya.6
Perlu diketahui bahwa ketika al-Quran membicarakan
tentang alam semesta (universe) ini, al-Quran tidak membahasnya
secara detail. Al-Quran hanya membahas garis besarnya saja,
karena al-Quran bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku
ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan penciptaan
alam semesta secara sistematis. Namun, lebih dari seritu ayat
berbicara tentang alam semesta ini, untuk membuktikan
6 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:
Mengerti Mukjizat Firman Allah, terj. M. Zainal Arifin, dkk., (Jakarta:
Zaman, 2013), hlm. 328.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 107
kekuasaan, ilmu, dan kebijaksanaan tak terbatas Sang Pencipta,
yang memapu menciptkan jagat raya ini, melenyapkannya, lalu
mengembalikannya ke bentuknya semua.7
Al-Quran sedikit sekali bebicara tentang kejadian alam
(kosmogoni). Mengenai metafisikan penciptaan, al-Quran hanya
mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang
hendak diciptakan Allah didalamnya tercipta sekedar dengan
firman-Nya; “jadilah!” (2:117; 3:47,59; 6;73; 16:40; 19:35;
36:82; 40:68).8
Informasi yang kita dapat dari al-Quran tentang penciptaan
alam itu terungkap dengan berbagai kata yang digunakan dalam
bentuk kata pengungkapan penciptaan alam. Diantara kata
tersebut adalah bad’, ja’l, kholq,9 (semua kata-kata tersebut
dalam term ini bermakna menciptakan). Hal tersebut dapat kita
lihat dalam surat al-Baqarah/2; 117;
³ ² ± ° ¯ ® ¬ « ª ©¨ § ¦
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak
(untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia
hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah
ia (QS. Al-Baqarah: 117).
Dalam Surat Hud/11:7;
? > = < ; : 9 8 7 6 5 4
K J I H G F E DC B A @
T S R Q P O N M L
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
7 Ibid, hlm. 328
8 Semua redaksi ayat-ayat al-Quran tersebut adalah “Kun
(jadilah), maka atas kehendak Allah segala sesuatu tersebut ada, maka
menjadi (fayakun). Lihat Fazlur Rohman, Tema Pokok al-Quran, hal 95.
9 Masih banyak lagi dalam al-Quran bentuk kata-kata
pengungkapan penciptaan diantaranya; Bad’, fathr, shun’, ja’l, amr, bad’
dan lainnya. Namun, focus al-Quran terhadap penciptaan alam hanya
tersirat pada tiga bentuk pengungkapan kata diatas. Lihat Sirajuddin Zar,
Konsep..., hlm. 47.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015108
enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum
itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata
(kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang
kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata.” (QS. Hud: 7).
Dalam surat as-Sajdah/32: 4:
O NM L K J I H G F E D C B A @
Z Y X WV U T S R Q P
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi
kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan
tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah
kamu tidak memperhatikan? (QS. As-Sajdah: 4).
Berangkat dari informasi ayat-ayat al-Quran tentang
penciptaan alam, maka penulis berusaha menjelaskan proses
penciptaan alam semesta menurut al-Quran. Untuk mencapai
maksud tersebut, memang dirasakan kesulitan tersendiri, karena
al-Quran selain bersifat universal dan informasinya mengandung
prinsip-prinsip dasarnya saja, juga yang dibicarakannya
menyangkut alam fisis. Dari informasi pertama tentang proses
penciptaan alam semesta yang terdiri dari tiga bentuk kata
yang erat kaitannya dengan hal ini, yaitu khalq, bad’ dan fathr,
tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah
alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari
ketiadaan? Jadi ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan
bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebut dari ada
tiadanya.10
Sementara “Ibnu Jarir dalam Tarikh al-Thobari”
menyinggung bahwa periodesasi atau tahapan penciptaan alam
dapat disimak dari hadits Nabi ketika menjawab pertanyaan
orang-orang Yahudi yang mendatangi Rosul saw dan menanyakan
10 Ibid, hlm. 135.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 109
perihal penciptaan langit dan bumi. Maka Rosul menjawab
bahwa “Allah menciptakan bumi pada hari ahad dan senin,
lalu menciptakan gunung-gunung pada hari selasa, lalu di hari
rabu allah menciptkan pepohonan, air dan infastuktur bumi,
bangunan dan perusakan, pada hari kamis Allah menciptakan
langit. Lalu pada hari jum’at0 Allah menciptakan bintang-
bintang, matahari dan malaikat, hingga tersisa tiga masa (sa’at)
dari zaman itu, pada masa pertama (al-sâ’ah al-ûla) dari tiga masa
tersebut adalah penciptaan ketentuan-ketentuan hidup dan mati,
kedua (al-sâ’ah al-tsâniyah) memberikan suatu cobaan terhadap
segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, ketiga (al-sâ’ah
al-tsâlitsah) menciptakan adam dan menempatkannya di surga
dan memerintahkan pada iblis untuk bersujud padanya dan
mengeluarkan iblis dari surga”. Kemudian orang-orang Yahudi
tadi bertanya tentang apa yang dikerjakan Allah selanjutnya,
Muhammad menjawab “kemudian Allah bersemanyam dalam
arsy”, lantas mereka berkata ‘kamu benar seandaikan kamu
sempurnakan lagi (dari cerita)’, mereka menjawab, kemudian
(Allah) beristirahat. Dengan ucapan tadi Nabi amat marah, maka
turunlah ayat “Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dan
diantara keduanya selama enam masa tanpa kecapaian. Maka
bersabarlah (wahai Muhammad) atas ucapan mereka….” Surat
Qof/50:38-39.11
Kemudian proses berikutnya dideskripsikan oleh surat al-
Anbiya’/21: 30,
o n ml k j i h g f e d c
w v u ts r q p
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahi bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan
dari air kami jadikan segala sesuau yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?”. (QS. Al-
Anbiya’: 30).
11 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abbas, lihat selengkapnya Ibn
Jarir al-Thabary, Tarikh al-Thabari, Maktabar al-Tarikh wa al-Hadlarah,
hlm. 20 juz I.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015110
Ayat ini merupakan satu-satu ayat al-Quran yang
menerangkan “pembentangan” alam semesta. Dapat disimpulkan
bahwa ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardl) sebelumnya
dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta
ketika itu merupakan satu kumpulan. 12
Rangkaian proses berikutnya, --setelah terjadi pemisalah
oleh Allah—alam semesta mengalami proses transisi fase
membentuk dukhon. Hal ini terungkap dari pernyataan surat
fushshilat/41:11;
“kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (al-
sama’), yang ketika itu penuh “embunan (al-dukhon)”.
Hal ini disebabkan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam
menangkap maksud kata ‘dukhon’ yang dihubungkan dengan
proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini
dipahami degan hasil temuan sains yang telah terandalkan
kebenarannya secara empiris. Hasil temuan ilmuan mengenai
hal ini adalah bahwa suatu ketika dalam penciptaan terjadinya
ekspansi yang sangat cepat sehingga timbul “kondensasi” dimana
energi berubah menjadi materi13. Kata “al-dukhan (embunan)”
bukanlah menunjukkan materi asal ruang alam, akan tetapi ia
menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya
fase awal penciptaannya.14
Kemudian dalam al-Quran disebut berturut-turut disebut
bahwa alam semesta diciptakan selama enam tahap atau periode
(ayyam). Secara global disebut dalam surat Hud/11:7
? > = < ; : 9 8 7 6 5 4
K J I H G F E DC B A @
T S R Q P O N M L
12 Lihat fazlur Rohman, Tema Pokok…, hlm. 95.
13 Sirajuddin Zar, Konsep…, hlm. 137.
14 Ibid, hlm. 137.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 111
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan adalah singgana-Nya (sebelum itu) di
atas air......”.
kemudian diulang kembali penyebutannya dengan
menambah “apa yang ada diruang alam dan materi”, dalam
surat al-Sajdah/32:4.
O NM L K J I H G F E D C B A @
Z Y X WV U T S R Q P
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi
kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan
tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah
kamu tidak memperhatikan? (QS. As-Sajdah: 4).
Keterangan ini juga didukung beberapa ayat yang
konteksnya sama dalam surat Fushshilat/41: 9-12,
~ } | {z y x w v u t s r q p
° ¯ ® ¬ « ª © ¨ § ¦ ¥ ¤ £ ¢ ¡ ﮯ
Á À ¿ ¾ ½ ¼ » º ¹ ¸ ¶ μ ´ ³ ² ±
- , +* ) ( ' & % $ # " ! Ã Â
6 5 4 3 2 10 / .
Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir
kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan
kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat)
demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (9). Dan dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh
di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban)
bagi orang-orang yang bertanya. (10). Kemudian Dia
menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015112
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya
menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (11). Maka
Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami
hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang
cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-
baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui. (12) (QS. Fushshilat: 9-12)
Di kuatkan juga surat al-A’raf/7:54,
b a ` _ ^ ] \ [ Z Y X W V U
p o n ml k j i h g f e d c
w v u t s rq
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (al-A’raf:
54).
Yunus/10-3, al-Furqon/25:59,
S RQ P O N M L K J I H G F E
W V U T
(Allah)Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia
bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah,
maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih
mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (al-Furqan: 59).
Qof/50:38
L K J I H G F E D C B A @ ?
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 113
Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa,
dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan. (QS. Qaf:
38)
dan al-Hadid/57:4:
2 1 0 / . -, + * ) ( ' & % $ # " !
F E D CB A @ ? > =< ; : 9 8 7 6 5 4 3
H G
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu
di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)
Kata yaum15 dengan jama’nya ayyam (tahapan) atau
periode dalam al-Quran bukanlah dimaksud batasan waktu antara
terbenamnya matahari hingga terbenam lagi esoknya seperti hari
dibumi kita ini. Menurut kalam arab dan kebanyakan ayat-ayat
al-Quran, kata ini dipakai untuk suatu masa atau periode (juz’
min al-zaman) yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tidak
ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya secara pasti kecuali
Allah. Yaum jika diterjemahkan hari sama dengan hari dunia saat
ini, maka tidak logis dan ia bertentangan juga dengan ayat-ayat
al-Quran yang lain. Tidak logis karena penciptaan hari ini baru
ada setelah penciptaan alam semesta16.
Dalam al-Quran banyak ayat yang secara eksplisit
menyebutkan ruang alam (al-sama’) berjumlah tujuh. Sedangkan
15 Yaum berupa majaz, walaupun banyak ulama yang berpendapat
bahwa alam ini mulai diciptakan pada hari ahad seperti yang diriwayatkan
Abdullah bin Salam, Ka’b, Dhohhak dan lainnya, sedangkan menurut Abu
Hurairoh dan Muhammad bin Ishaq penciptaan alam dimulai hari sabtu.
Lihat Ibnu Atsir dalam CD maktabar al-tarikh wa al-hadloroh, Juz 1, hlm.
19.
16 Sirajuddin Zar, Konsep…, hlm. 139.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015114
materi (al-ardl) sebagaimana ruang alam secara implicit
disebutkan juga jumlahnya tujuh. Sebagaimana yang tertera
dalam surat al-Thalaq/65:12
ä ã â á à ß Þ Ý Ü Û Ú Ù Ø × Ö Õ
î í ì ë ê é è ç æ å
Artinya: “Allah lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah agar berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhanya
Allah, ilmu-Nya benar meliputi segala sesuatu”. (QS.
Ath-Thalaq: 12)
Kata ruang alam dalam al-Quran ada yang datang
dengan konteks mufrad (al-sama’) dan ada pula yang datang
dalam bentuk jama’ (al-samawat). Sedangkan kata bumi (materi)
dalam al-Quran hanya disebutkan dalam bentuk mufrad (al-
ardh) saja dan tidak pernah muncul dalam konteks jama’. Dalam
hal ini Hanafi Ahmad dalam kitabnya, “al-tafsir al-ilmi ayat
al-kauniyat”, menerangkan bahwa hal ini dimaksudkan agar
manusia tidak tercengang dan tidak menuntut kepada Rasulullah
untuk menunjukkan bumi yang lain. Sebab bila bumi (al-ardh)
disebutkan dalam al-Quran secara eksplisit berjumlah tujuh
sebagaimana ruang alam (al-sama’) tentu saja bertentangan
dengan apa yang mereka saksikan setiap hari karena mereka
hidup dibumi. Sebab penyebutan bumi itu dalam al-Quran secara
eksplisit hanya satu adalah sangat cocok dengan daya nalar
manusia yang kebanyakan mereka sederhana dalam berpikir
(awam). Sedangkan penyebutan al-ardh secara implicit berjumlah
tujuh, hal ini bukan ditujukan kepada manusia awam, melainkan
khusus buat para pakar dan kaum intelektual yang akan dapat
mengetahui setelah melakukan penelitian dan menganalisaan.
Lain halnya dengan ruang alam (al-sama’) berapapun disebutkan
jumlahnya, maka manusia tidak akan tercengang dan tidak akan
mempersoalkan, karena mereka yang kebanyakannya sederhana
dalam berpikir tidak mengerti tentang, dan tidak hidup di al-
sama’.17
17 Lihat Hanafi Ahmad dalam, “Al-Tafsir al-Ilmi Ayat al-Kauniyat”,
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 115
Bisa jadi, penyebutan tujuh yang dihubungkan dengan
ruang alam (al-sama’) materi (al-ardh) tersebut hanya merupakan
angka simbolik, yang berarti banyak. Penggunaan angka tujuh
dalam arti banyak, bukan hanya digunakan orang arab saja,
melainkan juga orang-orang Yunani dan Romawi kuno. Dengan
demikian maksud tujuh ruang alam (al-sama’) dan tujuh materi
(al-ardl) adalah jumlah yang tidak ditentukan. Adapun proses
penciptaan alam selanjutnya, yaitu Allah melengkapinya dengan
menciptakan hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan
sunatullah. Hal ini dipahami dari percakapan simbolis antara
Allah disatu pihak dan ruang alam (al-sama) dan materi (al-
ardh) dipihak lain. Ini dimaksudkan bahwa hukum-hukum alam
yang telah ditetapkan Allah tersebut tidak akan pernah berubah
dan menyimpang. Alam semesta tunduk kepada hukum-hukum
rancangan Allah tersebut.18
Doktrin Kristen Tentang Penciptaan Alam
Sebagai agama semit (samawi), pandangan Kristen tentang
ajaran penciptaan alam tak jauh berbeda dengan Islam. Dalam
Bible (al-Kitab) dinyatakan bahwa penciptaan alam ini juga
terjadi melalui beberapa fase. Di hari pertama Allah menciptakan
dari kegelapan menuju terang. Injil berkata; Berfirmanlah Allah;
“jadilah terang.”Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa terang
itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. Dan Allah
menamai terang itu itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang
dan jadilah pagi, itulah hari pertama”.
Di hari kedua Allah menciptakan langit. Berfirmanlah
Allah; “jadilah cakrawala ditengah segala air untuk memisahkan
air dari air’. Maka Allah menjadikan cakrawala dan ia memisahkan
air yang ada dibawah cakrawala itu dari air yang ada diatasnya.
Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai cakrawala itu langit.
Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah dari kedua.
Pada hari ketiga Allah menciptakan daratan, tanah
dan tanaman. Berfirmanlah Allah; “Hendaklah segala air yang
dibawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan
(Kairo: Dar al-Ma’arif), hlm 132-133.
18 Ibid, hlm. 134.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015116
yang kering.’ Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai
yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamainya laut.
Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Berfirmanlah Allah;
“hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-
tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang
mengaslkan buah yang berbiji, segala jenis buah yang berbiji,
supaya ada tumbuh-tumbuhan dibumi”. Dan jadilah demikian.
Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-
tumbuhan yang berbiji dan segala sjenis pohon-pohonan yang
menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya
itu baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketiga”.
Pada hari keempat Allah menciptakan benda penerang
pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Sedangkan
dihari kelima Allah menciptakan makhluq hidup yang berada
dalam air, segala sejis burung, segala jenis makhluk hidup yang
bergerak. Pada hari pamungkas hari keenam Allah menciptakan
binatang liar, segala jenis ternak dan akhirnya menciptakan
manusia, supaya manusia berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan
burung di udara, ternak dan seluruh isi bumi. Selanjutnya Bible
berkata;
Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala
isinya. Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan
pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah ia pada hari ketujuh
dari segala pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah ia pada
hari ketuju dari segala pekerjaan yang telah dibuatnya itu. Lalu
Allah memberkati hari ketujuh dan mengkuduskannya, karena
pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan
yang telah dibuatnya itu.19
Lantas, apa tujuan Allah menciptakan alam semesta ini?
Gereja Roma Katolik menjawab, bahwa Allah menciptakan
dunia dengan tujuan memberikan segala kebaikan-Nya yang tak
terhinggal. Jadi, jagad raya ini mencerminkan kemulian-Nya, dan
karenanya segala ciptaan-Nya menerima kebaikan-Nya. Dengan
kebaikan Allah itu pula segala ciptaan-Nya mengenal-Nya,
19 Dalam al-kitab penjelasan tentang penciptaan alam semuanya
terdapat dalam kitab kejadian, (Allah menciptakan langit dan bumi serta
isinya). Lihat al-Kitab; Bab Kejadian 1:1-2:7. Diterbitkan oleh Lembaga
Alkitab Indonesia.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 117
mencintai-Nya, memuliakan-Nya dan mengapdi kepada-Nya
untuk memperoleh kebahagiaan selama-lamanya. Karena Tuhan
menciptakan dunia seperti itu, maka Dia juga memeliharanya,
mengurusnya dan membimbingnya menuju tujuan akhir. Semua
makhluk adalah milik-Nya dan berada dibawah perlindungan-
Nya.
Dalam al-Kitab dan ilmu pengetahuan, Jeff Hammond
menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu.
Dalam Kejadian 1:1 diterangkan, “Bereshit bara Elohim et ha
shamayim we et ha arets”. Yang Tuhan diciptakan adalah “ha
shamayim” dan “ha arets”. Perkataan itu bermaksud “langit
dan bumi”. Sedangkan maksud dari “ha shamayim”, secara
literal bermakna “langit” (Ul 10:14, Ayb 11:8, Mzm 19:2) orang
Kristen memahaminya dengan maksud “surga” (Mzm 11:4, 2
Raj 2:11, 2 Taw 7:14). Para pakar bahasa masih kesulitan untuk
menetapkan apakah kata “ha shamayim” dalam Kejadian 1:1
harus diterjemahkan “langit” atau “surga”. Namun, apabila
diterjemahkan secara literal sebagai “langit” dalam pengertian
suatu hamparan berwarna biru yang ada diatas bumi, maka
menimbulkan pertanyaan serius: Apakah Tuhan hanya
menciptakan bentangan berwarna biru yang dinamakan langit
dan bumi tempat manusia dan hewan dan tumbuhan hidup? Jika
diterjemahkan “surga”, maka menimbulkan pertanyaan serius
serupa: Bagaimana dengan kata “shamayim” yang muncul pada
ayat 8-9, apakah juga dapat diterjemahkan dengan “surga”,
padahal ayat itu menjelaskan tentang hamparan luas yang
memisahkan air yang berada di atas dan air yang berada di bawah,
yang kelak disebut daratan dan lautan? Oleh karena itu, sebutan
“angkasa” dipilih untuk memberikan identifikasi betapa luasnya
angkasa tersebut dan tidak berbatas. Angkasa secara sempit dapat
diartikan sebagai langit, dan makna secara luas sebagai sebuah
tempat eksistensi yang bersifat metafisika (gaib), yaitu Surga,
tempat kediaman Tuhan dan mahluk-mahluk surgawi. Kejadian
1:1 sekaligus menjelaskan mengenai penciptaan dua dunia, yaitu
dunia material dan dunia spiritual.20
Dengan perantara alam, manusia dapat mengenal dan
20 Hammond, Jeff, Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan,
Immanuel, (Jakarta: YPI Immanuel, 1992), hlm. 92-93.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015118
mengetahui adanya Tuhan. Pada sisi lain, hati nurani manusia
juga memperoleh bisikan yang memberinya petunjuk mana yang
baik dan mana yang buruk. Tetapi, melalui alam ini, atau dengan
kemampuan nurani tersebut manusi hanya dapat mengetahui
adanya Tuhan.21
Pandangan Kristen terhadap penciptaan, dikombinasikan
dengan perasaan pribadi yesus terhadap kepedulian Tuhan,
membuat Yesus seorang penganjur yang teguh pendirian. Segala
sesuatu terbuka bagi Tuhan, dijabarkan berdasarkan kehendak
Tuhan. Manusia tidak dapat mengetahui rincian kehendak Tuhan
tetapi, dalam iman, mereka dapat merasa yakin bahwa hal itu
mengekspresikan kebaikan dan cinta Tuhan.
Citra Yesus yang secara spontan menggunakan Tuhan
adalah bukan sebagai penguasa alam semesta, Tuhan pencipta,
pecinta langit dan bumi. Mereka adalah citra patrinalistik, citra
orang tua, citra seorang penguasa yang dapat sangat keras ketika
keadilan harus ditegakkan.22
Ajaran Hindu tentang Penciptaan Alam
Berbeda dengan keyakinan didalam agama Islam, Kristen,
Yahudi yang mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptkan
Tuhan yang maha esa dari tiada menjadi ada melalui iradat
dan kodratnya yang tiada terbatas, maka agama Brahma atau
Hindu mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran
zat Brahma.
Upanishads pada bagian (hanogya mengungkapkan
tentang kejadian alam semesta sebagai berikut;
“In the beginning there was existence alone, one only,
without a second. He, the one, thought to himself; let
me be many, let me be grow forth. Thus out of himself
he projected the universe; and having projected out of
himself the universe, he entered into every being, all that
21 Djam’annuri, Agama Kita; Perspektif Sejarah Agama-Agama,
(Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta, 2002), hlm. 87.
22 Dennis Lardner Carmody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani
Sang Guru Suci dalam Memahami Spiritualitas Buddha, Konfusius, Yesus,
Muhammad, (Jakarta: Murai Kencana, 2000), hlm. 134-135.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 119
is has it self in him alone. Of all things he is the subtle
essence. He is the truth. He is the self. And that, svetaku,
that art thou.
(Pada permulaan Cuma ada sendirian, Maha Esa, tanpa
ada yng kedua. Dia, yang maha Esa itu, berpikir didalam
diri-Nya; biarlah aku menjadi banyak. Biarlah Aku
berkembang selanjutnya. Lantas diri zat-Nya Ia pun
melenturkan alam semesta; dan sesudah melenturkan
alam semesta dari zat-Nya, dia masuk ke dalam setiap
makhluk itu. Seluruh makhluk itu memiliki zat-Nya
didalam dirinya. Dalam seluruh apapun Dia adalah
zat terhalus. Dia adalah al-haz. Dia adalah diri. Dan
begitulah hai svetaku, bahwa itu adalah engkau.)
Di dalam Upanishads pada bagian (handogya itu disahkan
setrnya bahwa terhadap svetaku yang belum dapat memahamkan
hal itu, maka Rishi Uddalaka menyuruh svetaku meletakkan
kepingan garam kedalam mangkok air. Pada keesokannya, Rishi
Uddalaka lalu menyuruh Svetaku memeriksa kepingan. Sudah
tidak ada, Rishi Udallaka menyuruh Svetaku mencicipinya
dan dirasakan air tawar itu menjadi asin. Rishi Udallaka lalu
menyatakan bahwa demianlah zat Brahma itu menyerap kedalam
seluruh yang ada dan itulah Atma yang merupakan proyeksi dari
zat Brahman.23
Berangkat dari atas maka dalam dipahami, sebenarnya
Brahman berkehendak menjadi banyak dan selanjutnya
kejadiaanya menerus secara teratur. Namun, tampaknya pemikiran
India tidak mengangaap adanya awal pertama dari alam semesta
ini saat kapanpun dan juga tidak menganggap adanya tujuan
akhir yang pasti. Ia bahkan mendukung pandangan bahwa alam
semesta ini secara periodic mengalami penciptaan dan peleburan.
Dalam siklus pencitaan dan peleburan secara periodic ini, alam
semesta mengalami empat tahapan yang teratur, yaitu satya, treat,
dvapara dan kaliyuga. Pada tahap akhir kaliyuga, alam semesta
menjadi terlalu rusak dan harus dilebur untuk memperbaharui
kembali.24
23 Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta; al-
Husna Zikra, 1996) hlm. 47-48.
24 Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, Studi Banding
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015120
Ajaran Budha tentang Alam
Siddharta Gautama tidak menolak dan tidak pula berbica
tentang alam semesta dan alam gaib. Seperti yang terdapat pada
Sutta-Pitaka, pada bagian Majjhima-Nikaya dalam Sutta 63.
Diceritakan bahwa seorang murid bernama malunkyraputera
bertanya tentang hal itu dan Budha Gautama memberikan
jawabannya;
“Kehidupan beragama itu tidak bergantung pada ajaran
bahwa alam itu tidak abadi sekalipun ajaran serupa itu
ada, bahwa alam itu abadi/alam itu tidak abadi. Tetapi
disitu tetap ada kelahiran, usia tua, mau, duka, ratapan,
derita kemalangan dan kekecewaan.25
Maka boleh dibilang bahwa dalam agama Budha alam
sama sekali tidak di singgung dalam ajaran mereka, baik berupa
penciptaannya dan peleburan periodic maupun kekekekalan alam
dunia ini. Baginya dunia ini hanya merupakan arus peristiwa
yang bersifat sementara saja, sehingga penuh penderitaan.
Namun Budhisme sendiri tak dapat menolak pentingnya alam
dunia ini guna pencapaian nirvana. Maka dunia memiliki makna
dan tujuan bagi umat manusia.26
Simpulan
Bahasan tentang alam semesta (universe) merupakan
bahasan yang kompleks penuh dengan teka-teki. Sehingga akal
manusia tanpa perantara piranti agama dan studi empiris ilmu
pengetahuan kealaman (kosmologi) niscaya tak akan dapat
sampai mengambil kesimpulan-kesimpulan, atau jawaban-
jawaban di seputarnya. Bahkan teks-teks agama pun kadang
dalam membahas hal ini sangatlah dangkal dan tidak mencakup
semua bahasan yang dikehendaki.
Teks-teks agama hanya mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan secara global hal-hal yang sekiranya otak tidak
Antar Agama, (Surabaya: Penerbit Paramita, 2000), hlm. 44.
25 Joesoef Sou’yb, Agama-Agama…, hlm. 81.
26 Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, opcit hal 44-
45.
Ahmad Atabik
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 121
mampu mencernanya. Yang jelas, bahwa penciptaan alam ini
merupakan bukti keagungan tuhan yang tiada terkira yang semua
agama pasti meyakininya. Bahkan agama Budha sekalipun yang
dalam teks kitab sucinya tidak menyebutkan prosesi penciptaan
alam ini mengakui hal tersebut.
Demikianlah sekelumit upaya penyuakan cakrawala kita
tentang bukti keagungan tuhan yang diimplementasikan dalam
penciptaan alam. Semoga hal ini menambah keyakinan dan
keimanan kita akan kebesaran dan keagungan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kitab (Bible), diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia,
1996.
Al-Quran dan Terjemahannya, diterbitkan oleh Departemen
Agama RI, 1998.
Ahmad, Hanafi “al-Tafsir al-Ilmi Ayat al-Kauniyat”, Cet I. Dar
al-Ma’arif Kairo, 1995.
Carmody, Dennis Lardner & John Carmody, Jejak Rohani Sang
Guru Suci; Memahami Spiritualitas Buddha, Konfusius,
Yesus, Muhammad, cet. I, Murai Kenjana Jakarta Utara,
2001.
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama, cet
II, Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Hammond, Jeff, Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan,
Immanuel, Jakarta. YPI Immanuel, 1992.
Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, CD maktabah al-tarikh wa al-
hadloroh, Kairo 2003.
Rohman, Fazlur, Tema Pokok Al-Quran, cet. I, Percetakan Salman
Institut Tehnologi Bandung ,1983.
Sou’yb, Joesoef , Agama-Agama Besar di Dunia, Cet I, Al-Husna
Zikra Jakarta, 1996.
Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-Agama
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015122
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan
Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Thobari al-, Ibnu Jarir, Tarikh al-Thobari, CD maktabah al-
Tarikh wa al-Hadloroh, Kairo 2003.
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran
Islam, Sains Dan Al-Quran, cet. II, Rajawali Pers PT Raja
Brafindo Persada Jakarta, 1997.
------------, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, Studi Banding
antar Agama, cet I, Penerbit Paramita Surabaya, 2000.
http://www.sridianti.com/pengertian-teori-dentuman-besar-big-
bang.html diakses tanggal 20 Januari 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Ledakan_Dahsyat diakses tanggal
20 Januari 2015.
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 123
KONTEKSTUALISASI KONSEP
ULUL ALBAB DI ERA SEKARANG
Azizah Herawati
Penyuluh Agama Ahli Muda Magelang
Azizah_hera@yahoo.co.id
ABSTRACT
This paper discusses Ulul Albab profile. An explanation
about who ulul albab is, what the characteristics are
and how the application of ulul albab characteristic in
today’s era. Ulul albab is a group of humans created
by Allah with all its advantages. They are a group
of the choice people who have the power of high
spiritual, intellectual and social. Their commitment to
the teachings of Allah “Islam” is very high. They also
are not easily affected by the temptation of the times
and lost in lust seduction. Ulul Albab excellences do
not only stand out from human view, but also have
to stand in the sight of Allah. So that the elements
of personality formation of Ulul Albab stated in Al-
Qur’ân as tafakkur, tadabbur and tazakkur becomes
a necessity. Ulul Albab terms are sixteen times
mentioned in the Qur’an. Al-Quran does not give a
definitive concept of ulul albab, but only mentions
the signs. So that the experts of tafsir provide a
different understanding about ulul albab. Qur’an
mentions the term ulul albab repeatedly with various
characteristics, indicating that the profile ulul albab is
Aksiologi Ilmuwan Modal Bagi Generasi Berjati Diri: Belajar dari Sejarah
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 3, No.1, Juni 2015
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015124
the desire profile of the people since the first, present
and future.
Keywords: Ulul Albab, Profiles, Intellectual
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang profil ulul albab.
Sebuah paparan tentang siapa itu ulul albab, apa ciri-
cirinya dan bagaimana penerapan ciri ulul albab di
era sekarang ini. Ulul albab merupakan sekelompok
manusia yang diciptakan Allah SWT dengan segala
kelebihannya. Mereka adalah sekelompok manusia
pilihan yang mempunyai kekuatan spiritual,
intelektual dan sosial yang tinggi. Komitmen mereka
terhadap ajaran Allah SWT yakni ajaran Islam sangat
tinggi. Mereka juga tidak mudah terpengaruh godaan
perkembangan zaman dan hanyut dalam rayuan hawa
nafsu yang melenakan. Keunggulan ulul albab tidak
semata menonjol dari pandangan manusia, akan tetapi
juga harus menonjol dalam pandangan Allah SWT.
Sehingga unsur-unsur pembentukan kepribadian ulul
albâb yang tertera dalam Al-Qur’ân yaitu tafakkur,
tadabbur dan tadzakkur menjadi sebuah keniscayaan.
Istilah ulul albab ١٦ kali disebut dalam Al-Qur’an. Al-
Qur’an tidak menjelaskan secara definitive konsepnya
tentang ulul albab, tapi hanya menyebutkan tanda-
tandanya saja. Sehingga para mufassir kemudian
memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang
ulul albab. Berulangkalinya Al-Qur’an menyebut
istilah ulul albab dengan berbagai ciri, menunjukkan
bahwa profil ulul albab merupakan profil dambaan
umat sejak dahulu, kini dan masa yang akan datang.
Kata kunci : Ulul albab, profil, intelektual
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 125
Pendahuluan
Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, Al-
Quran telah menyebutkan kesempurnaan manusia dalam surat
At-Tin ayat 4. Menurut Quraish Shihab bahwa kesempurnaan
manusia sering mendapat pujian dari Tuhan, seperti pernyataan
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya.
Letak kesempurnaan manusia berbeda dengan makhluq Allah
lainnya, sebab manusia memiliki potensi akal budi. Akal pula
yang menjadi manusia terpilih sebagai khalifah di muka bumi
dan berkewajiban untuk membangun dengan sebaik-bainnya.
Ternyata tidak hanya akal budi yang diberikan kepada
manusia, Allah memberi amanah kepada manusia sebagai
khalifahtullah atau wakil Allah dalam mengelola alam ini.
Kuntowijoyo menyebutkan bahwa di dalam Al-Quran posisi
manusia sangat penting, posisi itu dapat dilihat dalam predikat
yang diberikan Tuhan sebagai Khalifah Allah. Ahmad Azhar
menambahkan bahwa Allah menundukkan isi langit dan
bumi kepada manusia guna melayani hidup manusia dalam
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah . Sebagai khalifah
manusia harus memaksimalkan potensi Akal, yang telah diberi
oleh Allah SWT. Berfikir tentang ayat kauniyah yakni ayat-ayat
mengenai visi cosmos dan menganalisa serta menyimpulkan
sehingga melahirkan gagasan inovatif demi pengembangan
peradaban manusia.
Menggunakan akal artinya menggunakan kemampuan
pemahaman, baik dalam kaitannya dengan realitas yang konkret
maupun realitas spiritual. Musa Asy’ari memahami bahwa realitas
konkrit dipahami oleh pemikiran dan realitas spiritual dipahami
oleh Qalb. Al-Qur’an mengekspos keluhuran orang yang beriman
dan berilmu sebagai hamba Allah yang memiliki kedudukan
tinggi. Bahkan, diberi gelar khusus untuk mereka yang memiliki
kedudukan ini, yang mampu mendayagunakan anugrah Allah. Al
Quran juga menggambarkan aktivitas keduanya dengan sebutan
Ulil Albab.
Mendengar istilah ulul albab, pikiran kita langsung
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015126
tertuju kepada sekelompok manusia yang diciptakan Allah
SWT dengan segala kelebihannya. Mereka adalah sekelompok
manusia pilihan yang mempunyai kekuatan spiritual, intelektual
dan sosial yang tinggi. Komitmen mereka terhadap ajaran Allah
SWT yakni ajaran Islam sangat tinggi. Mereka juga tidak mudah
terpengaruh godaan perkembangan zaman dan hanyut dalam
rayuan hawa nafsu yang melenakan.
Memang tidak terlalu berlebihan jika kita berpikir
demikian. Karena Al-Qur’an sendiri menempatkan mereka dalam
posisi istimewa. Merekalah orang-orang yang mampu memikirkan
hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh sekelompok orang pada
umumnya. Di era globalisasi seperti saat ini, di mana pengaruh
tekhnologi terutama informasi,komunikasi dan transportasi
yang begitu cepat, sangat sulit menemukan profil ulul albab yang
benar-benar dijadikan patokan dalam Al-Qur’an. Karena ulul
albab tidak terbatas pada kemampuan intelektual semata, tapi
juga harus memiliki kemampuan lain yang bersifat emosional
dan spiritual.
Siapakah Ulul Albab Itu?
Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai Al-
Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam
intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam Al-Qur’an.
Namun, sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara
definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan
tanda-tandanya saja. Karena itulah, para mufassir kemudian
memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab.
Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah
mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya
arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan
mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir
menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa
kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan
diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal.1
1 A. Khudori Soleh, Ulul Albab, Konsep Al-Qur’an tentang
Intelektualisme, www.scribd.com, diakses tanggal 18 Januari 2012.
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 127
Dalam kamus Al-Munawwir, secara etimologi, kata ulul
albâb terdiri dari dua suku kata yaitu ûlu merupakan sinonim
dari kata dhawu artinya yang empunya (untuk jama’ berjenis laki-
laki). Albâb ialah bentuk jama’ dari lubbu yang artinya isi, inti,
sari, bagian terpenting. Ia merupakan antonim “kulit”. Menurut
Yusuf Qardhawi, dalam konteks ini al-Qur’ân menunjukkan
bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk
fisik adalah kulit, sedangkan akal adalah isi. Sedangkan secara
terminologi, dalam Al-Qur’ân Al-Karim dan Terjemahan, Zaini
Dahlan, ulul albâb adalah orang yang berakal cerdik, dapat
mengambil pelajaran, berpikir cerdas, orang yang menggunakan
akal, orang yang berpikir tajam.
Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia
tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT Di antara
keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan,dan
pengetahuan, di samping pengetahuan yang mereka peroleh
secara empiris. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 269 berikut ini :
à ÂÁ À ¿ ¾ ½ ¼ » º¹ ¸ ¶ μ
È Ç Æ Å Ä
“Allah menganugerahkan Al -Hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al- Quran dan As -Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Disebutkan pula dalam Al-Quran Surat Yusuf [12] ayat
111 bahwa Allah SWT berfirman :
É È Ç Æ Å ÄÃ Â Á À ¿ ¾ ½
Õ Ô Ó Ò Ñ Ð Ï Î Í Ì Ë Ê
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al- Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015128
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman”.
Ulul albab mempelajari sejarah berbagai bangsa,
kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat,
yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di
dalam kehidupan ini. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat
7 dijelaskan sebagai berikut :
¼ » º ¹ ¸ ¶ μ´ ³ ² ± ° ¯ ® ¬ « ª
.Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-
orang yang berakal”.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang ulul-albab, sekedar
untuk membedakan, perlu ditinjau terlebih dahulu beberapa
istilah lain dalam bahasa Indonesia yang hampir semakna
yaitu sarjana, ilmuwan, intelektual. Sarjana diartikan sebagai
orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar.
Jumlahnya banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi atau
universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan ialah orang yang
mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik
dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara
sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian
berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam
kegiatan rutin, dan menjadi tukang-tukang profesional.
Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya
menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan
tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga
bukan sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan
ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok
orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya,
menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang
dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif
pemecahan masalah. Memang, istilah ini biasa diberi bermacam-
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 129
macam arti. Begitu beragamnya definisi intelektual, sehingga
Raymond Aron sepenuhnya melepaskan istilah itu. Tetapi James
Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership
sebagai transforming leadership, berkata bahwa intelektual ialah
a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang
yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita, yang
mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini,
orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis
adalah seorang teoritisi; orang yang bekerja hanya dengan gagasan-
gagasan normatif adalah seorang moralis; orang yang menggarap
sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur
adalah seorang intelektual,” kata Burns. Jadi, intelektual adalah
orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan-
gagasan analitis dan normatifnya. Sedang menurut Edward A.
Shils, dalam Internasional Encyclopaedia of the Social Science,
tugas intelektual ialah “menafsirkan pengalaman masa lalu
masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan
masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman
estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat”.
Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan
saja seorang yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup
melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang
cemerlang, melainkan juga menguasai sejarah Islam, dia adalah
seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya
mempunyai istilah khusus yang dikenal dengan istilah ulul-
albab. Al-Quran dan Terjemahannya Departeman Agama
Republik Indonesia mengartikan ulul-albab sebagai “orang-
orang yang berakal” tidak terlalu tepat. Terjemahan Inggris men
of understanding men of wisdom, mungkin lebih tepat.2
Sosok ulul albâb merupakan sosok yang ideal yang
digambarkan oleh Allah melalui beberapa ayat dan juga mendapat
pujian dari Allah SWT. Al-Qur’ân memberikan penghargaan dan
penghormatan kepada kaum ulul albâb. Bentuk penghargaan
tersebut, Allah SWT menyebut ulul albâb beberapa kali dalam
2 Oman Abdurahman, Ulul Albab, Profil Intelektual Plus, http://
quran.al-shia.org/id/lib/005/10, diakses tanggal 19 Januari 2012
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015130
Al-Qur’ân dan diulang pada periode Makkah dan Madinah.
Sembilan diantaranya diturunkan pada periode Makkah yang
disebut dengan ayat-ayat Makkiyah dan tujuh lainnya diturunkan
pada periode Madinah yang sering disebut dengan ayat-ayat
Madaniyah. Periodisasi dari turunnya ayat-ayat yang berkaitan
dengan ulul albâb memiliki makna tersendiri dan bentuk perhatian
Allah SWT yang lebih atas kepribadian ulul albâb. 3
Ciri-Ciri Ulul Albab
Seperti apakah ciri-ciri orang yang termasuk dalam
kelompok ulul albab ini? Ciri-ciri ulul albab menyangkut
beberapa aspek kehidupan, baik ritual, sosial, emosional maupun
intelektual. Ciri-ciri tersebut antara lain :
Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. a.
Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (Al-
Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum
yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam
masyarakat demi kebaikan bersama. Firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 190 :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal”.
Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena
alam dengan segenap hukumnya yang menunjukkan tanda-
tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Illahy, ulul albab juga
seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan
kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral
dalam dirinya. Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan
hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an
terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah
merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul
dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya
3 Yusuf Qardawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-
Banna, terjemahan Bustani A. Ghani dan Zainal Abidin (Jakarta: Bulan
Bintang, 1998), hlm. 30
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 131
yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang
tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia
Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin
bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi.
Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus
mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat
Allah semakin bertambah (Jalaluddin Rahmad, 1988, 213).
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat
Ibrahim [14] ayat 7 berikut ini :
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih”.
Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai
manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir
dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi.
Sebagaimana disebut dalam Al- Qur’an Surat Ar-Rahman [55]
ayat 33 berikut ini :
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan”.
Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.b.
Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang
jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan
mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau
kejahatan didukung banyak orang. Ia tidak hanya asyik dalam
acara ritual atau tenggelam dalam perpustakaan; sebaliknya
tampil di hadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidak
beresan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, memberikan
peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila
terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.4 (A. Khudlori
4 A. Khudlori Sholeh, Ulul Albab ..., www.scribd.com, diakses 18
januari 2012
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015132
Sholeh, Op. Cit.). Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] ayat 100
menyebutkan :
z y x w vu t s r q p o n m
} | {
Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu,
Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”.
Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-c.
nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan
oleh orang lain. (Oman Abdurahman, Op. Cit.)
Ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain,sehingga ia
tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang
lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu
mengecek kebenarannya. (.). Dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar
ayat 18 Allah SWT berfirman :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-
orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
d. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk
memperbaiki masyarakatnya; memperingatkan mereka
kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat
ketidakadilan.
Dia tidak duduk berpangku tangan di labolatorium; dia
tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan;
dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk
memperbaiki ketidak beresan di tengah-tengah masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim [14] ayat
52 sebagai berikut :
“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi
manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-
Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia
adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang
yang berakal mengambil pelajaran”.
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 133
Allah SWT juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-
Ra’du [13] ayat 19-22 berikut ini :
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar
sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan
takut kepada hisab yang buruk, dan orang-orang yang
sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan;
orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan
(yang baik)”.
Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. e.
Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk
kehidupan. Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan
dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat
prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat
persiapan untuk menyambut kemungkinan-kemungkinan yang
bakal terjadi. Allah berfirman dalam Al-Qur>an surat Al-Hasyr
[59] ayat 18 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk di hadapan Allah f.
SWT.
Ulul Albab senantiasa “membakar” singgasana Allah
dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang
Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun dan
pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di
muka bumi. Ulul Albab sangat»dekat» dengan Tuhannya. Hal
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015134
ini ditegaskan oleh Allah SWT Surat Az-Zumar [39] ayat 9
berikut ini :
“(apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-
waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”.
Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. g.
Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai
pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak
mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi
kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu
pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan
dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar.
Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat
berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab.
Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya
untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan
nafsu angkara murkanya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surat Al-Isra’ [17] ayat 36 :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya”.
Mampu memahami substansi dari suatu permasalahan secara h.
mendalam.
Allah SWT berfirman dalam A-Qur’an Surat Al-Baqarah
[2] ayat 179 sebagai berikut :
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa”.
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 135
Secara substansi, ayat ini menegaskan melalui ketetapan
hukum qishash terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi
manusia. Karena bagaimanapun juga ketika seseorang mengetahui
bahwa hukuman bagi pembunuh akan dibunuh, maka mereka
akan mempertimbangkan ketika akan membunuh. Ulul albâb
dalam konteks ini merupakan sosok kepribadian yang mampu
memahami substansi dari suatu permasalahan. Mereka mampu
melihat sisi positif dari perintah pelaksanaan hukuman qishash.
Albâb menurut Al-Harali adalah sisi terdalam akal yang berfungsi
untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat
diindera, mereka juga mampu menyaksikan Rabb-nya melalui
ayat-ayat-Nya.5
Mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa i.
terdahulu.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat
Yusuf [12] ayat 111 berikut ini :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman”.
Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi
melihat pada kisah Nabi Yusuf AS tersebut merupakan salah satu
kisah penting bagi mereka yang berakal dan berpikiran tajam
yaitu ulul albâb. Karena itulah kisah ini disebut sebagai qashasha
al-khabara yang berarti menyampaikan berita dalam bentuk yang
sebenarnya. Kata ini diambil dari perkataan qashasha al-atsara
wa iqtashashahu yakni menunjukkan kisah ini menuturkan cerita
secara lengkap dan benar-benar mengetahui.
Hal senada diungkapkan oleh al-Nahlawi dalam bukunya,
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat halaman
240 menuliskan bahwa kisah Yusuf AS mampu memuaskan
pikiran melalui dua cara, yaitu :
5 Yusuf Qardawi, Pendidikan Islam..., hlm. 31.
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015136
Pemberian sugesti, keinginan dan keantusiasan.1.
Keteguhan dan ketabahan menghadapi cobaan merupakan
satu sisi menakjubkan dan dapat diambil pelajaran
Perenungan atau pemikiran. 2.
Nilai otentik dari kisah Yusuf AS yaitu penalaran yang
logis, semangat berkorban demi kebenaran, semangat
ketuhanan dan keteguhan dengan penuh kearifan dalam
bertindak.
Memiliki kejernihan pikiran dan kelembutan hati untuk j.
bertaqwa kepada Allah SWT
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq [65]
ayat 10 :
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras,
maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang
mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan
kepadamu”.
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini
berfungsi sebagai penjelas atau tempat bagi ulul albâb. Kalimat
tersebut mengisyaratkan bahwa keilmuan yang menghiasi jiwa
mereka dikarenakan kejernihan pikiran mereka. Sedangkan
menurut Az-Zamarkasyi dalam tafsirnya Al-kasafu ‘an Haqâiqi
Tanzil wa’uyuni fi wujuhi ta’wil seakan-akan Allah menyiapkan
siksa bagi mereka yang ingkar dan tidak beriman. Ulul albâb
yaitu orang-orang yang beriman yang memiliki kelembutan
hati untuk bertaqwa kepada Allah dengan menghidari segala
hukuman-Nya.
Mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. k.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-
Baqarah [2] ayat 269 berikut ini :
“Allah menganugerahkan al- hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al-Quran dan As- Sunnah) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 137
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)”.
Pada ayat ini dijelaskan oleh Sayyid Qutb dalam Tafsir
Fi Dhilalil Qur’an bahwa orang yang berhak mengambil
manfaat dari hikmah adalah kaum ulul albâb yaitu mereka yang
meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan memberikan
kepada masing-masing yang berhak. Maka bagi mereka telah
mendapatkan kemuliaan dari Allah dari sisi ilmu pengetahuan.
Apabila dikaji lebih dalam sebenarnya masih banyak
ciri-ciri dari ulul albab yang diungkap dalam Al-Qur’an, namun
11 ciri ini saja sudah sangat sulit ditemukan di zaman seperti
sekarang ini.
Penerapan Fungsi Ulul Albab di Zaman Sekarang
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ulul
albab adalah cendekiawan muslim yang memiliki kriteria sebagai
berikut:
Mengerahkan secara optimal semua potensi intelektual a.
yang dimiliki untuk mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan serta beijtihad dalam rangka memahami
ayat-ayat Alah SWT baik yang qauliyah maupun yang
kauniyah.
Mampu menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki b.
sebagai alat untuk mencari karunia sebanyak-banyaknya
(khairan katsiran) dari Allah SWT untuk kebaikan umat
manusia, bukan untuk menimbulkan kerusakan dan
kebinasaan.
Bersedia menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang c.
dimilikinya dalam rangka memimbing, membina dan
memimpin masyarakat.
Menyadari bahwa sekalipun orang-orang yang d.
berilmu pengetahuan tidak sama dengan yang tidak
berilmu pengetahuan, tapi derajat kemuliaan seorang
cendekiawan tidak hanya ditentukan oleh ketinggian ilmu
pengetahuannya semata, tetapi—dan lebih utama lagi—
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015138
ditentukan oleh sejauh mana kedekatan (taqarrub) nya
dengan Allah SWT. Oleh sebab itu cendekiawan muslim
harus senantiasa berzikir kepada Allah SWT di mana saja
berada dan dalam kondisi bagaimana pun. Baik zikir hati,
lisan, maupun amal perbuatan.
Mempunyai sikap furqan, yaitu mampu membedakan e.
antara yang hak dan yang batil; selalu konsekuen mengikuti
dan membela yang hak serta menjauhi dan menentang
yang batil; serta bersedia berkorban dan menentang arus
dalam mempertahankan yang hak dan menentang yang
batil tersebut.
Memiliki iman yang kuat dan akhlaq yang mulia yang f.
tercermin antara lain dalam beberapa sikap berikut :
Mengakui kekuasaan Allah SWT, tidak takut kepada
siapapun kecuali kepada Allah SWT, selalu mengikuti
hidayah-Nya, senantiasa ikhlas dalam setiap amalannya,
cenderung menjauhkan diri dari perilaku menyimpang
dan kembali kepada prilaku yang mendapat keridhaan
Allah SWT, senantiasa menyadari kekhilafan, tabah dan
dapat belajar dari segala macam cobaan.6
Apabila diterapkan di zaman sekarang, tentu sangat
luar biasa kalau ditemukan figur muslim seperti ini. Meskipun
tidak mustahil ditemukan, namun perlu usaha sungguh-sungguh,
mengerahkan segenap jiwa, raga , spiritual, intelektual dan
emosional. Ada empat kata kunci yang menjadi esensi profil ulul
albab menurut Al-Qur’an Al-Karim, yaitu zikir, tazakkur, tafakkur
dan taqwa. Bahkan khusus tazakkur (kemampuan dan kesediaan
untuk mendapatkan pelajaran) disebut oleh Al-Qur’an 9 tempat
dari keseluruhan ayat-ayat tentang ulul albab di atas. Hal itu
menunjukkan bahwa ulul albab memang diingatkanuntuk lebih
waspada dan hati-hati dengan ilmu dan tugas yang dipikulkan
dipundaknya.
6 Yunahar Ilyas, Ulul Albab, Suara Muhammadiyah Edisi 2
Tahun 2002
Azizah Herawati
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 139
Penutup
Secara individual, kepribadian ulul albâb mencerminkan
satu ciri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut lahir dari usaha
dan kesungguhan untuk mencari hakekat segala sesuatu dengan
cara olah pikir dan dzikir. Keluarga berkewajiban untuk
mendorong dan menyiapkan generasi yang akan datang agar
memiliki keunggulan tidak semata di sisi manusia, akan tetapi
di sisi Allah. Untuk itulah, perlu memperhatikan unsur-unsur
pembentukan kepribadian ulul albâb yang tertera dalam Al-
Qur’ân yaitu tafakkur dan tadzakkur, tadabbur (memperhatikan
secara seksama), focus pada kualitas, bersabar, menjaga kesucian
diri dan beribadah.
Dari uraian di atas diharapkan dapat diterapkan dalam
mengasah diri menjadi lebih berkualitas, baik yang bersifat hablun
minallah maupun hablun minannas. Sehingga menjadi pribadi
yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pribadi yang benar-benar
terpilih. Amin. Wallahu a’lamu bish-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman,Oman, Ulul Albab, Profil Intelektual Plus, http://
quran.al-shia.org/id/lib/005/10, diunduh 19 Januari
2012.
Al-Maraghi , Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi. Mesir,
Musthafa Al-Babi Al-Halabi. (terjemah) Anwar Rasyidi
dkk., Semarang: Toha Putra, 1988.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah
dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Dahlan, Zaini, Al-Qur’ân Al-Karim dan Terjemahan Artinya,
Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ilyas, Yunahar, Ulul Albab, Suara Muhammadiyah Edisi 2 Tahun
2002
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap,
Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015140
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Qardawi , Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-
Banna, terjemahan Bustani A. Ghani dan Zainal Abidin,
Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Qutub, Sayyid, Tafsir Fi dhilalil Qur’an, Isa Al-babi Al-halabi,
tt.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’ân, Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Sholeh, A Khudori, Ulul Albab, Konsep Al-Qur’an tentang
Intelaktualisme, www.scribd.com, diunduh 18 Januari
2012.
Umma Farida
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 141
ISLAM PRIBUMI DAN ISLAM PURITAN:
Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Berdasar
Proses Dialektika Pemeluknya dengan Tradisi Lokal
Umma Farida
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus
Email: mafarahman@gmail.com
ABSTRACT
Finding the face of Indonesian Islam is always interesting
to discuss, considering the percentage of Muslims in
Indonesia belongs to the largest number of Muslims
around the world having its own characteristic pattern
of Arabic Islam face. So it is common that many people
are interested in trying to uncover the face. This paper
became an effort to capture the face of Indonesian Islam
and the diversity pattern, by assuming the classification
made by Geertz. For revealing the portrait the face of
Indonesian Islam is done by looking at the dialectic
process of Islam teachings followers with local tradition
there.
Keywords: Islam, Native (Pribumi), Puritan, Religiosity
Pattern
ABSTRAK
Menemukan wajah Islam Indonesia selalu menarik
untuk didiskusikan, mengingat prosentasi umat Islam
di Indonesia termasuk ke dalam jumlah umat Islam
terbesar di seluruh dunia disamping memiliki pola dan
karateristik tersendiri dari wajah Islam Arab. Sehingga
Aksiologi Ilmuwan Modal Bagi Generasi Berjati Diri: Belajar dari Sejarah
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 3, No.1, Juni 2015
Islam Pribumi dan Islam Puritan.....
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015142
wajar jika banyak kalangan yang berkepentingan untuk
berusaha menguak wajah tersebut. Tulisan ini menjadi
suatu ikhtiar untuk memotret wajah Islam Indonesia dan
pola keberagamaannya, dengan berpijak dari klasifikasi
yang dibuat Geertz. Sedangkan untuk menguak potret
wajah Islam Indonesia dilakukan dengan melihat proses
dialektika pemeluk ajaran Islam dengan tradisi lokal
yang ada.
Kata kunci: Islam, Pribumi, Puritan, Pola
Keberagamaan
Pendahuluan
Islam adalah banyak hal. Sama seperti halnya tidak ada
satu Amerika, Eropa ataupun Barat, begitu pula tidak
ada satu pun penjelasan pas yang melukiskan berbagai
kelompok maupun orang dengan nilai dan arti yang
sama. Juga tidak ada lokasi tunggal ataupun budaya
seragam yang identik dengan Islam.1
Statemen Bruce B. Lawrence di atas setidaknya memang
melukiskan betapa ragamnya pola keislaman masyarakat dunia,
termasuk masyarakat Indonesia. Banyak pakar mensinyalir
bahwa Islam di Indonesia menampilkan wajah yang lebih
ramah daripada Islam Timur Tengah. Lalu, bagaimana sejatinya
wajah Islam Indonesia? Di belahan dunia manapun, Islam tidak
monolitik. Pluralitas dunia Islam dinilai Lawrence melebihi
Eropa dan Amerika dalam hal banyaknya kawasan, ras, bahasa,
serta budayanya. Umat Islam sendiri menyadari betapa perlunya,
sekaligus betapa sulitnya, menyatukan berbagai persepsi yang
berbeda tentang Islam.2
Wajah Islam Indonesia
Menemukan ‘wajah’ Islam Indonesia beberapa tahun
terakhir ini memang sedang hangat diperbincangkan. Ini bisa
dimengerti mengingat prosentasi umat Islam di Indonesia
1 Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari
Kekerasan, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 11.
2 Ibid., hlm. 9.
Umma Farida
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 143
termasuk ke dalam jumlah umat Islam terbesar di seluruh dunia.
Sehingga banyak kalangan yang berkepentingan untuk berusaha
menguak ‘wajah’ tersebut, terlebih sejak terdinya pengeboman
WTC tahun 2001 lalu. Islam kemudian identik dengan kesan
radikal dan teroris.
John L. Esposito menuturkan bahwa ada semacam
konsensus umum bahwa Islam telah mapan dalam masyarakat
lokal Indonesia pada abad ketiga belas dan berkembang pesat
sekali pada abad kelima belas dan keenam belas. Tersebarnya
Islam di Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan
Malabar di India Barat, juga orang Arab, khususnya Hadramaut.
Pada umumnya, penduduk Indonesia masuk Islam secara damai.
Islam yang datang tidak melenyapkan unsur lokal melainkan
mengakomodirnya dengan memasukkan nilai-nilai Islam di
dalamnya. Sikap para pendakwah Islam yang permisif dan
akomodatif terhadap tradisi-tradisi lokal inilah yang menjadikan
Islam tumbuh subur di negeri ini.3 Sikap demikian ini, menurut
Bisri Affandi, dikarenakan Islam yang dibawa oleh para pedagang
dari Gujarat India Barat sejatinya telah dipengaruhi budaya Hindu.
Sinkretisme agama Islam dengan Hindu memudahkan perkenalan
agama ini pada penduduk asli. Islam dapat diterima di Indonesia
dengan syarat dapat berjalan berdampingan dengan pola agama
yang telah ada dan dapat mengasosiasikan diri dengan praktek
agama dan kepercayaan. Kondisi serupa juga ditemukan pada
orang Arab Hadramaut yang sangat lekat dengan mistisisme.4
Setidaknya ada dua ‘wajah’ yang ditunjukkan oleh
masyarakat Islam di Indonesia dalam menentukan identitas
keislamannya dilihat dari proses dialektika para pemeluknya
terhadap tradisi lokal sebagai berikut:
Islam Pribumia.
Penamaan Islam Pribumi sejatinya ingin menonjolkan
ciri keislaman yang khas Indonesia. Islam Indonesia yang khas
dengan keramahan dan toleransinya tidak bisa dilepaskan dari
sejarah kehadiran agama tersebut di Indonesia. Menurut Imdadun
Rahmat, gagasan ini secara genealogis diilhami oleh gagasan
Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid
akhir tahun 80-an.5
Gagasan Wahid dapat disarikan dalam tiga pilar: Pertama,
keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substansif
ditafsirkan ulang atau dirumuskan ulang agar tanggap terhadap
tuntunan kehidupan modern. Kedua, keyakinan bahwa dalam
konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara,
dan ketiga, bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif,
demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang eksklusif.6
Melalui gagasannya ini, Wahid mendeskripsikan Islam sebagai
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke
dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya masing-masing, tidak saling mengalahkan,
melainkan berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara agama dan budaya. Ini dikarenakan—bagi
Wahid—Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah sama artinya dengan melepaskan diri kita
dari akar budaya kita sendiri.7 Sebaliknya, Wahid menganjurkan
proses kreatif yang menemukan kembali dan mengurai intisari
agama dari totalitas Islam. Intisari Islam harus berfungsi sebagai
basis inspirasional, bukan basis legal.8
Gagasan Wahid terinspirasi dari semangat yang diajarkan
Walisongo yang sangat toleran dan akomodatif terhadap budaya
setempat selama proses dakwahnya di tanah Jawa sekitar abad
15-16 M. Mereka telah mengadopsi kebudayaan lokal secara
selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang sudah pas
tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan
dalam tradisi Islam. Tatkala nilai Islam dianggap sesuai dengan
adat setempat, maka tidak perlu lagi diubah sesuai dengan selera,
adat, atau ideologi Arab. Karena, jika hal itu dilakukan maka
akan menimbulkan kegoncangan budaya. Sementara mengisi
nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif
daripada mengganti budaya itu sendiri.
Kedatangan para pendakwah yang tergabung dalam
Walisongo ke tanah Jawa tidaklah untuk menaklukkan Jawa,
namun untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang sudah
beradab dengan mengakui hak-hak kultural masyarakat setempat
yang selama ini mereka jalankan dan kembangkan.10 Strategi
yang ditempuh oleh para Walisongo ini pada akhirnya terbukti
efektif dalam mengakrabkan Islam dengan lingkungan setempat.
Islam tidak dijauhi, melainkan dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat setempat karena tidak berhadap-hadapan secara
frontal dengan adat dan tradisi yang mereka anut. Islam pun
menjadi menyatu dengan kenusantaraan atau keindonesiaan.
Sepanjang pengetahuan penulis, gagasan Wahid ini
selajutnya dielaborasi oleh Khamami Zada, Imdadun Rahmat
dan kawan-kawan yang bergabung dalam Lakpesdam NU dengan
mengambil nomenklatur Islam Pribumi, yang dimaksudkan untuk
memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam
praktek kehidupan keberagamaan (Islam) di setiap wilayah yang
berbeda-beda, sehingga Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,
melainkan majemuk.11 Islam pribumi berupaya mendialekkan
ajaran-ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal Indonesia.
Dalam aksinya, Islam pribumi selalu mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat di dalam merumuskan
hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum-hukum inti dalam
agama.12 Islam pribumi mengakomodir berbagai tradisi lokal
dan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Ini dikarenakan
dalam sejarahnya, proses islamisasi di Jawa memang tidak bisa
dipisahkan dari tradisi dan budaya lokal.
Islam Puritanb.
Islam Puritan ini menjadi wajah lain dari masyarakat
Islam Indonesia yang dipelopori oleh Abdurrauf Singkel dan
Muhammad Yusuf al-Makassari pada abad ke-17. Wajah Islam
yang dikenalkan oleh dua ulama ini bercorak puritan dan
menganggap bahwa bentuk keberagamaan Islam yang paling
benar dan ideal adalah dengan meniru para salaf as}-s}alih}. Adat,
tradisi, dan budaya lokal dinilai dapat menghilangkan otentisitas
Islam. Masuknya warna budaya lokal ini sering dipandang
sebagai sesuatu yang bid’ah dan khurafat.
Para puritan menganggap selamatan dan sejenisnya
meskipun dimasukkan nilai Islam di dalamnya tetaplah tidak
dibenarkan karena membahayakan tauhid. Doa terbaik bukan
yang dibaca saat selamatan tersebut, melainkan doa yang
dipanjatkan setelah shalat wajib.
Semangat purifikasi tidak hanya berbentuk pergulatan ide
dan gagasan, tetapi telah berwujud gerakan. Menurut Idahram,
gerakan ini makin semarak sejak awal tahun 1980-an, yang mana
pada saat itu terjadi perkembangan dakwah yang memberikan
warna berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-
elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke Indonesia
hingga bermunculan beberapa gerakan seperti Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar
Jihad dan sebagainya.
Islam puritan memposisikan Islam sebagai kerangka
normatif ajaran yang transenden, baku, tak berubah dan kekal.
Bangunan hukum dan ajarannya harus merujuk pada teks
yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi saw. yang
diimplementasikan di Makkah dan Madinah sebagai basis
geografis lahirnya Islam, tanpa mengalami proses historisasi
ajaran, karena sifat transenden al-Qur’an dan Sunnah dipandang
tidak bersentuhan sama sekali dengan budaya manusia.
Islam sebagai suatu ideologi dimaknai sebagai realisasi
pengislaman seluruh sistem hidup, ekonomi, masyarakat, negara,
lengkap dengan bentuk dan simbolnya. Konsekuensinya, tindakan
sosial politik Nabi dan para sahabat juga dianggap sebagai contoh
final yang harus ditiru oleh umat Islam kapanpun dan dimanapun,
tidak semata nilai-nilai atau pesan-pesan yang dikandungnya,
tetapi juga bentuk-bentuk dan simbol-simbolnya.15
Dengan demikian, Islam harus dipahami sebagai suatu
totalitas. Pemisahan agama dan negara tidaklah dapat diterima,
karena Islam adalah aqidah dan syariah, di>n dan daulah. Islam
adalah kesatuan organik yang utuh dan sempurna, sehingga
hanya Islam saja yang dapat menjamin perjalanan kehidupan
manusia. Islam tidak hanya menjadi wahana untuk mengetahui
kebenaran metafisis, melainkan juga menjadi sarana dalam
menemukan prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam kehidupan
sehari-hari. Prinsip-prinsip ini tidak saja wajib diikuti dalam
bidang spritual semata, namun juga harus ditaati dalam problem-
problem kemanusiaan-duniawi seluruhnya.16 Atau dengan kata
lain, Islam mencakup aspek spiritual dan politik, wilayah pribadi
maupun publik. Perhatian pada lingkup yang satu mensyaratkan
keterlibatan pada yang lainnya. Berbuat tidak demikian sama
halnya dengan merancukan atau memecah-belah Islam.
Pandangan seperti ini jelas berbeda dari apa yang
diyakini Islam Pribumi yang menyebutkan bahwa Islam tidak
lahir dari ruang dan lembaran kosong. Menurutnya, Islam yang
ideal sebagaimana yang dibayangkan kaum Islam puritan itu
sebenarnya tidak ada. Sejatinya yang ada hanyalah Islam yang
riil hidup di tengah masyarakat.
Sayyid Vali Reza Nasr sebagaimana dikutip Syafiq
Hasyim lebih suka menyebut para puritan di belahan dunia
Islam sebagai Islam revivalis. Menurutnya, istilah ini menyimpan
makna yang lebih dalam, tidak hanya menggambarkan fenomena
gerakan penafsiran agama yang didasarkan kepada teks semata,
akan tetapi merupakan gerakan yang sangat berkaitan dengan
persoalan-persoalan politik umat, pembentukan ide