sangkan paraning dumadi 3

meminta penjelasan atas keyakinanmu, 
namun belum merasa jelas, maka jelaskanlah, jangan suka 
menyimpan ilmu. Memberi tongkat kepada orang yang 
melewati jalan yang licin itu termasuk perbuatan utama.
3. Sudahlah, sekarang kamu istirahatlah terlebih dahulu.
36. kartosuwiryo : 
Memang saya ingin memohon penjelasan tentang Kalimah 
Syahadat, serta tentang si Wayang yang ingin bertemu dengan 
yang menanggap tadi. Kak, memang pada umumnya seperti itu. 
Namun sebab  penjelasannya agak panjang, makanya saya 
bersabar sampai besok sore saja. Sekarang saya hanya ingin 
memohon dijelaskan tentang perintah Kakak, itu tadi.
I. Otak baiknya dipergunakan dalam pembicaraan tiap harinya 
itu: hanya sebab  tidak ada manfaatnya saja, apa 
sebenarnya  ..... ada Tuah. Atau Halatnya?
II. Mengapa, bahwa sesuatu yang benar, namun tidak bisa 
dibuktikan?
III. Apakah kita ini tidak berkewajiban menyebarkan ilmu yang 
menurut keyakinan kita: sangat besar manfaatnya?
soebandrio : 
Saya menurut saja, penjelasan tentang Kalimat Syahadat dan 
tentang yang satunya itu tadi, sabarlah sampai besok sore. Namun 
pahamilah olehmu, tentang keyakinan itu, bukan berdasarkan 
pendapat umum, tidak harus menang stem. Looo!!
Sedangkan pertanyaan I. II, III, itu semua, pendapatku begini:
Jawaban pertanyaan I: Kata Halat itu ada dua macam yaitu:
a. “Halat” yang sama dengan kata Jawa “Walat” itu artinya Tulah 
sarik. Nah itu tidak ada walatnya sedikit pun. Ilmu KePencipta an 
itu tidak ada yang menyebabkan tampa tulah sarik /kuwalat 
(bsia mendapatkan musibah), bagi yang membicarakannya dan 
bagi yang mendengarkannya. Walau pun demikian, 
membicarakan keyakinan dengan terang-terangan seperti ini, 
tetap kurang baik jika dibicakan dalam pembicaraan sehari-hari, 
artinya dibicarakan dengan siapa saja. Harus dengan cara 
dipilih-pilih, dengan siapakah untuk dibicarakan.
b. “Halat” yang berasal dari Bahasa Arab “Ghalath” itu artinya 
kekeliruan. Nah, itu memang benar, sebab  kebodohan dari 
yang mendengarnya atau yang membicarakannya, bisa 
menyebabkan adanya kekeliruan, seperti contohnya .......... 
mengaku Pencipta  itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke II: Sesuatu yang benar dan nyata, namun 
tidak bisa dibuktikan, itu bukan sesuatu yang aneh kan? Apakah 
kamu bisa membuktikan saat  kamu bermimpi naik pangkat, 
walau pun benar kamu bermimpi seperti itu? Apakah kamu bisa 
membuktikan kamu lupa saat  janjian, walaupun benar kamu 
memang lupa?
Sedangkan kepercayaan (Iman) dan keyakinan (Iktikad) menurut 
ilmu itu, yang disebut benar: “Jika mempergunakan pedoman dua 
macam:
a. Dalil Naqli (nukil=petikan) maksudnya menggunakan dasar 
kutipan dari Kitab Pencipta . Namun sebab  ajaran itu banyak 
yang menggunakan ibarat atau contoh, sehingga untuk 
memahaminya tidak harus semuanya di terima letterlijk (apa 
adanya).
b. Dalil “Aqli (akal pikiran), artinya yang bisa disaksikan oleh 
akal dan pikiran manusia, yang bebas dari pengaruh. 
Sedangkan akal dan pikiran itu bermacam-macam warna dasar 
dan ukurannya, sehingga berbeda-beda pula pendapatnya.
Coba pikirkan: Yang hanya menggunakan pedoman dua macam 
warna saja, pendapatnya berbeda-beda. Apalagi jika yang satu 
menggunakan dasar satu warna, dan yang satunya tidak 
menggunakan dasar sama sekali ..... tentulah tidak akan sama 
pendapatnya!! Padahal antara yang satu dengan yang satunya, 
sama-sama tidak bisa membuktikan kebenaran pendapatnya itu 
tadi, seperti halnya tidak bisa saat  membuktikan kebenaran 
“mimpi” dan kebenaran “lupa” itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke III: Jika berdasar Ilmu Jawa yang dalam 
bahasa luar “psychologie” Kodrat manusia itu ketempatan watak 
mencari teman. Sehingga saat  menyebarkan ilmunya yang 
dikira bermanfaat kepada yang lain, itu tidak lain hanya sebab  
watak untuk mencari ....... Teman itu tadi. Sedangkan ilmu yang 
dikira bermanfaat itu, bagi yang gmenyebarkan beranggapan 
benar, akan namun  golongan lain bisa juga menganggap tidak 
benar dan tidak baik.
Seandainya ilmu yang sebarkan itu kepada golongan manusia 
yang sebagian besar sekali menganggap benar dan baik 
sungguhan itu, manfaatnya tidak lain hanya ...... kehidupan 
bersama di alam dunia ini. Sama sekali bukan syarat mutlak 
dalam mengabdi kepada Pencipta , artinya, Bukan pekerjan wajib. 
Sedangkan yang ermasuk pekerjaan wajib bagi kita ini: hanya 
yang diwajibkan di dalam A;-Qur’an: Wamaa chalaqtu aljinna 
wal insa illa lya’buduuni (Adz-Dzariyat 56 = Tidak menciptakan 
Ingsun (Pencipta ) jin dan manusia, hanya agar menjalankan ibadah).
Sedangkan bagi yang berniat menyebarkan ilmunya tentang Ke￾Pencipta an, termasuk ibadah itu tadi. Perintah Qur’an begini: 
Wamaa anta bihaadie al’umyi ‘an dlalaalatihim intusmi’u illa man 
jun’minu bisyastinaa fahum muslimuuna (An Naml 81 = dan 
kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada orang buta hatinya 
sebab  sesatnya, selain orang yang percaya kapada ayat￾ayatIngsun (Pencipta ) dan berserah diri kepada Ingsun itu yang mau 
mendengarkan).
Sehingga: Menyebarkan ilmu itu boleh saja. Namun jika sudah 
jelas diingini. Bertutur kta dengan siapa saja, untuk meningkatkan 
ilmu dan menjernihkan pendapat, itu baik, namun berbantahan ‘ 
berebut benar” jangan!!!
Sudah, sekarang istirahatlah, aku juga akan beristirahat. Besok 
sore dilanjutkan lagi.



















Upaya manusia untuk mengenali dirinya dan memahami 
keberadaan Pencipta  di antara semua makhluk yang tergelar di 
jagad raya telah membawanya pada pengembaraan yang tak 
pernah berhenti. Pertanyaan tentang bagaimana kehidupan ini 
terjadi, dari mana asalnya, dan akan ke mana tujuan perjalanan 
hidup setiap individu terus menggelinding dari zaman ke zaman 
sesuai keyakinan dan latar belakang budaya yang berbeda-beda. 
Pengembaraan ini  melahirkan pelbagai pengalaman spiritual 
tentang Pencipta , manusia, dan alam, serta bagaimana hubungan 
yang terjadi, baik yang tersimpul dari interpretasi wahyu, 
pemikiran filsafat, maupun tradisi budaya, seperti makrifat dan
wahdatul wujud dalam tasawuf, panteisme dalam filsafat, dan 
manunggaling kawula gusti dalam spiritualisme Jawa. 
Pengalaman-pengelaman spiritual ini  kemudian 
menjadi suatu pemahaman yang unik, tidak seperti konsep ajaran 
yang terlahir dari pemikiran filosofis ansich, tapi merupakan 
perpaduan dari hasil olah pikir dan olah batin sekaligus. Konsep 
manunggaling kawula gusti yang terlahir dari penghayatan 
spiritual orang Islam Jawa misalnya, mempunyai karakteristik 
tersendiri yang seakan berbeda dengan sufisme Islam. Namun jika 
ditelusuri secara mendalam didapati berbagai kesamaan, baik segi 
teori, praktik, maupun pengalaman kerohaniannya.1
Dalam rangka untuk bisa sampai ke pengalaman 
kerohanian yang tinggi, di Jawa ada  satu ajaran yang harus 
dipahami sebagai pintu pembuka, yaitu sangkan paraning 
dumadi. Ajaran ini merupakan bagian dari spiritualisme Jawa 
yang bertujuan menuntun manusia untuk mengenal Pencipta  dengan 
cara menelusuri alur atau jalan kehidupannya, yaitu dengan 
mencari, mengenali, menghayati, dan menyadari asal usul 
kehidupan, perjalanan hidup, dan tujuan hidup di dunia ini sampai 
dapat menemukan kembali dan berjumpa dengan Pencipta  yang 
menciptakannya.2
Puncak kemenangan hidup ideal manusia Jawa 
yaitu  tumbuhnya kesadaran tentang siapa sejatinya diri ini, 
sangkan paraning dumadi dan pengalaman kemanunggalan3
.
Ajaran sangkan paraning dumadi terekam dengan baik 
dalam naskah-naskah Islam kejawen, seperti Serat Dewa Ruci,4
Serat Wirid Hidayat Jati,5
Serat Wulangreh6
, Serat Centini7
, dan 
lain sebagainya. Ajaran ini  boleh dibilang sebagai ajaran 
“kebatinan” yang hanya dapat dipahami melalui ketajaman rasa 
dalam hati. Naskah-naskah yang mengandung ajaran kebatinan 
ini  dikatakan sebagai naskah Islam kejawen sebab  pesan￾pesan yang disampaikan menunjuk pada sebuah etika dan cara 
hidup orang Islam yang diilhami oleh pemikiran intuitif Jawa.8
Secara umum, kandungan naskah-naskah mistik Islam 
kejawen yang diwedar di kalangan masyarakat Jawa, pada awal 
pembicaraannya selalu membahas satu bab tentang pengenalan 
diri. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Bratakesawa dalam 
buku Kunci Swarga Miftahul Djanati. Dalam naskah ini  
Bratakesawa menguraikan bab “mengenal diri” dengan 
terminologi Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”. Pembahasan ini 
dijabarkan dari satu ungkapan “siapa yang mengenal dirinya, 
maka dia mengenal Pencipta nya”. Seseorang baru bisa mengenal 
Pencipta  setelah ia mampu mengenal dirinya, dalam artian 
mengenal asal kejadiannya.9
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati yaitu  salah satu 
produk Islam Kejawen, mengajarkan spiritualisme Islam, yakni 
tasawuf dengan menggunakan bahasa dan rasa orang Jawa. 
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati, menerangkan ajaran 
sangkan paraning dumadi sebagai bagian dari ilmu 
kasampurnan,
10 yakni ilmu kasunyatan, ilmu untuk mencapai 
tingkat kesempurnaan hidup.11 Hidup yang sempurna ialah hidup 
yang memiliki kesadaran akan wujud diri ini sebagai manifestasi 
dari Yang Maha Wujud. Bahasa tasawuf menyebutnya insan 
kamil atau manusia sempurna. Kesempurnaan hidup dihayati 
dengan seluruh kesempurnaan cipta-rasa-karsa. Dengan 
demikian, manusia sempurna ialah yang telah mengenal dirinya, 
menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang Jawa sering 
menyebut mulih mula mulanira atau kembali manunggal dengan 
penciptanya
Kehidupan dewasa ini telah berkembang menjadi 
sedemikian materialistis. Orang berlomba-lomba mendapatkan 
materi sebanyak-banyaknya, sebab  dengannya manusia merasa 
diri sukses, terhormat, dan terpandang. Akibatnya, manusia 
(modern) sering bertindak tanpa kontrol demi jabatan dan 
kesenangan, nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, manusia 
cenderung semakin individualistis dan materialistis, bahkan 
hedonis, manusia menjadi lupa akan jati diri yang sebenarnya. 
Secara tidak sadar manusia modern justru diperbudak oleh 
modernitas yang memenjarakan jiwanya. Dari sinilah 
kompleksitas gejala negatif bagi kemanusiaan dimulai. Secara 
kolektif manusia mengalami gejala keterasingan jiwa (alienasi) 
atau keterbelahan jiwa (split personality). Dalam konteks yang 
demikian, sains dan teknologi industri memicu munculnya proses 
de-humanisasi secara akut. 13
Apabila manusia sudah menderita split personality, ia tidak 
lagi memiliki kesadaran tentang relasi antara eksistensi dirinya 
dengan Pencipta  yang menciptakannya, saat  itu pula manusia 
berada dalam keadaan yang sama seperti mati. Itulah, mengapa 
ajaran mengenal diri memiliki nilai yang amat penting dan 
berharga. Kesadaran akan hakikat dirilah yang membangunkan 
manusia modern dari sikap berputus harapan, yang dapat 
menggerakkannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Manusia modern merasa rindu akan nilai-nilai universal, 
yaitu nilai-nilai kePencipta an yang telah dibawanya sejak ia 
diciptakan. Kenyataan yang demikian sejalan dengan prediksi 
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave.
14 Pandangan yang 
serupa juga disampaikan oleh John Naisbitt dan istrinya Patricia 
Aburdence yang mengatakan bahwa pada abad ke-21 terjadi 
kebangkitan agama yang disebutnya dengan istilah The Age of 
Religion.15 Hal ini disebab kan ilmu pengetahuan dan teknologi 
modern tidak memberikan makna yang tepat tentang kehidupan 
sehingga di zaman ini muncul istilah Turning to the East, sebagai 
penomena bahwa agama akan mengalami kebangkitan. 16 Itulah 
sebabnya akhir-akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke Turki, 
India, Tibet, Srilangka, Cina, dan Jepang untuk menggali tradisi 
kearifan spiritual yang berakar dari ajaran Sufisme, Hinduisme, 
Budhisme Zen, dan Taoisme, dalam rangka mencarai harmoni diri 
(the universal harmony) serta makna dan hakikat kehidupan17
Di Nusantara, the universal harmony dapat dicapai oleh 
orang Jawa dengan membangun suatu kepercayaan bahwa Pencipta  
yaitu  pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Pusat 
yang dimakusd dalam pengertian ini yaitu  yang dapat 
memberikan keseimbangan dan kestabilan dan juga kehidupan 
yang terhubung antara kawula lan Gusti. Pemikiran ini 
melahirkan kesadaran mistis orang Jawa yang beranggapan 
bahwa kewajiban moral manusia yaitu  mencapai harmoni 
dengan kekuatan terakhir sehingga sampai pada kesatuan terakhir 
dengan cara menyerahkan diri secara total selaku hamba (kawula) 
terhadap sang pencipta (Gusti). 18
Kepercayaan bahwa Pencipta  yaitu  Pusat alam semesta dan 
Pusat Kehidupan dibangun melalui satu ajaran yang lumrah 
disebut sebagai sangkan paraning dumadi. Ajaran ini merupakan 
bagian dari kawruh bejo, yaitu menggapai kesempurnaan dan 
kebahagiaan sejati. “seseorang bisa mencapai kawruh bejo harus 
melalui beberapa tahap di antaranya yang terpenting ialah mulat 
saliro, artinya mawas diri, tahu jati diri pribadi.“19
Berangkat dari problematika di atas, sangat menarik untuk 
dilakukan suatu kajian yang mendalam, membedah kembali nilai￾nilai spiritual lokal yang relevan dengan kebuPencipta  manusia 
modern khususnya masyarakat Islam Jawa. Nilai-nilai spiritual 
yang demikian dapat ditelusuri dalam lembaran-lembaran naskah 
Islam kejawen. Di antara naskah-naskah ini  yang cukup 
representative dan digemari oleh masyarakat Jawa ialah Kunci 
Swarga Miftahul Djanati. Naskah ini bahkan mengandung 
beberapa hal penting terkait pandangan-pandangan falsafi dalam 
ranah tasawuf. Sejumlah terminology sufistik juga digunakan, 
misalnya Nur Muhammad, ma’rifah, mengenal diri, mematikan 
diri, musyahadah, martabat tujuh,20 dan lain sebagainya selaras 
dengan tasawuf falsafi yang sudah mafhum, dikenal dalam 
pelbagai sumber yang otoritatif. Kajian ini berjudul ILMU 
MAKRIFAT JAWA SANGKAN PARANING DUMADI 
(Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam 
Kejawen Kuntji Swarga Miftahul Djanati)
C. Permasalahan
Focus kajian ini yaitu  mengeksplorasi nilai-nilai spiritual 
Islam kejawen sangkan paraning dumadi dalam naskah Kunci 
Swarga Miftahul Djanati dari sudut pandang ajaran tasawuf 
“mengenal diri”. Dengan demikian, maka rumusan masalah 
kajian ini yaitu : Bagaimana ajaran mistik Islam Kejawen sangkan paraning dumadi dalam buku Kunci Swarga Miftahul 
Djanati menurut perspektif ilmu tasawuf?
D. Tujuan dan Signifikansi
Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini yaitu  
mengeksplorasi ajaran Islam kejawen sangkan paraning dumadi 
dalam buku Kunci Swarga Miftahul Djanati dan menganalisisnya 
dengan teori ilmu tasawuf mengenal diri
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini 
yaitu :
1. Secara historis, diharapkan bermanfaat untuk memperkaya 
pengetahuan bahwa dalam khazanah Islam di Nusantara 
ada  ajaran mengenal diri yang tertuang dalam naskah 
klasik Islam Kejawen yang masih eksis sampai hari ini
2. Secara praktis manfaat kajian ini pertama, hasil analisis 
kajian ini bisa menjadi informasi yang dapat memenuhi 
kebuPencipta  manusia modern yang mencari solusi alternative 
guna mengatasi kegelisahan yang dideritanya akibat 
kehilangan nilai-nilai kepribadiannya. Kedua, diharapkan 
menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah, lembaga 
atau perorangan saat  mengambil kebijakan atau langkah 
dalam pembinaan kehidupan umat beragama, khususnya 
umat Islam
E. Teori Mengenal Diri
Seorang muslim dapat dipastikan akan mengatakan bahwa 
ajaran agamanya dimulai dengan sebuah ikrar secara lisan bahwa 
Asyhadu an lâ Ilâha illâ Allâh (Aku bersaksi bahwa tiada Pencipta  
selain Pencipta ), yang selanjutnya diikuti dengan kalimat Wa 
asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh (Dan aku bersaksi bahwa 
Muhammad yaitu  Utusan Pencipta ). Kedua-dua pernyataan ini  
sering disebut sebagai dua kalimat persaksian atau syahâdatain. 
Setelah diikrarkan dengan lisan, dua kalimat syahâdat ini wajib 
diyakini dalam hati, dan dinyatakan dalam perbuatan jika seorang 
muslim ingin menjadi orang mukmin dalam arti yang 
sebenarnya .
Ulama sepakat mengatakan bahwa asas atau pondasi ajaran 
Islam ialah keesaan Pencipta , Pencipta  tidak bersekutu, tidak pula 
tersamai atau terpadani Kemahakuasaan-Nya. Dia melarang siapa 
pun mengubah firman-Nya atau mencampuri ketetapan-Nya. 
Islam tidak mengenal Pencipta  yang berinkarnasi dalam diri 
makhluk-Nya, segala urusan ada pada-Nya. Sejumlah manusia 
telah dipilih menjadi rasul-rasul-Nya dengan tugas menyeru 
manusia untuk mengesakan-Nya baik dalam sifat (shifah), 
perbuatan (af’âl), nama (asmâ’), dan wujud-Nya (dzât). Inilah 
ajaran Tauhid Islam.
Ajaran tentang keesaan Pencipta  ini menjadi titik sentral 
semua ajaran yang berkembang dalam pemikiran Islam selama 
satu abad sepeninggal Nabi Muhammad saw, baik Ilmu Kalam, 
Ilmu Fiqh maupun Ilmu Tasawuf. Dari kalimat tauhid Lâ Ilâha 
illâ Allâh (Tiada Pencipta  selain Pencipta ) seperti disebutkan di atas, 
dalam Ilmu Tasawuf lahir kalimat-kalimat turunannya, seprti Lâ 
Ma’bûda illâ Allâh, Lâ Mahbûba illâ Allâh, Lâ Maujûda illâ 
Allâh (Tiada Yang Disembah kecuali Pencipta , tiada Yang Dicinta 
kecuali Pencipta , dan tiada Yang Ada kecuali Pencipta ).
Dalam konteks bagaimana cara mengenal Pencipta  yang Esa 
yang menjadi awal dan akhir seluruh aktivitas kehidupan muslim, 
dalam ajaran tasawuf, orang harus mengenal lebih dulu tentang 
dirinya sendiri. Katanya: “Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta , 
sedangkan terhadap dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab  itu 
katanya pula: “Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal 
kepada Pencipta .”
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf 
tentang manusuia yaitu  dijadikannya manusia sebagai tujuan 
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah 
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab  engkau dan bukan sebab  
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta 
ini). Engkau dalam hadis ini  tentu saja Muhammad saw, 
namun  Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi 
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu 
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya. 
Pandangan seperti disebutkan di atas telah dianut oleh beberapa 
sufi terkenal, seperti Ibn ‘Arabi (w.1240), Jalaluddin Rami 
(w.1273) Shadruddin al-Qunyawi (w.1274) dan ‘Abdul Karim al￾Jili (w.1403). 
Manusia, menurut Ibn ‘Arabi, yaitu  tempat tajalli Pencipta  
yang paling sempurna, sebab  manusia itu yaitu  al-kaun al-jami’ 
yakni dia merupakan sentral wujud yang dapat disebut alam kecil 
(mikrokosmos), yang padanya tercermin alam semesta atau alam
besar (makrokosmos) dan tergambar padanya sifat-sifat 
KePencipta an. Dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi 
mengatakan bahwa benda-benda alam ini, dari yang terbesar 
sampai kepada yang terkecil, selalu ada bandingannya dalam diri 
manusia.21 Itulah sebabnya maka manusia disebut alam kecil dan 
alam semesta disebut alam besar. Oleh sebab  itulah manusia 
diangkat sebagai khalifah.22
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi 
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia 
dengan buah. Walaupun buah itu, tumbuh sesudah batang, dahan 
dan ranting, namun  pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk 
menghasilkan buah ini . sebab , sebuah pohon tanpa buah 
yaitu  pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat 
Rasulullah saw saat  menggambarkan kesia-siaan ilmu yang 
tidak diamalkan. Oleh sebab  itu, manusia mempunyai kedudukan 
yang sangat tinggi dalam pandangan para sufi, baik dalam 
kaitannya dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya. 
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu  buah atau 
hasil akhir evolusi biologis alam. Ia yaitu  tujuan akhir 
penciptaan alam sendiri, selain itu manusia mengandungi seluruh 
unsur alam semesta, sebagaimana buah mengandungi seluruh 
unsur pohonnya, dari mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting, 
dan daun. Oleh sebab  itu, manusia dikatakan sebagai 
mikrokosmos. Lebih dari itu menurut Rumi, saat  manusia telah 
mencapai tujuan penciptaannya, manusia bukan lagi 
mikrokosmos, namun  makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi 
terakhir, manusia yaitu  yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan 
kompleksitasnya, yang dalam kitab suci kitab muslim  disebut ahsani 
al-taqwim. 23
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian 
diri. Di sini muncul ajaran tentang Nur Muhammad atau Hakikah 
Muhammadiyah. Menurut al-Hallaj, Nur Muhammad yaitu  asal 
atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan, 
dan ilmu pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah 
yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini, 
termasuk manusia, pada mulanya yaitu  dari Nur Muhammad.
24
Dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis: 
“Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. 
Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam 
cahaya-cahaya itu tidak ada asatu pun cahaya yang lebih 
cemerlang, gemerlap dan terdahulu dari cahaya pemegang 
kemuliaan (Muhammad saw). Cita-citanya lebih dahulu. 
Wujudnya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Namanya 
lebih dahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum 
makhlukmakhluk lain”.
Paham tentang Nur Muhammad ini juga berpangkal dari 
“hadis” yang sangat populer di kalangan ahli tasawuf, khususnya 
tasawuf falsafi, yang artinya: “Aku berasal dari cahaya Pencipta  dan 
seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Paham ini kemudian 
dikembangkan dan disebar luaskan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi
dan Abd al-Karim al-Jili dalam kerangka ide al-Insan al-Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad tampak 
ada kemiripan dengan ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, 
teori terjadinya alam semesta dikenalkan oleh al-Farabi dengan 
mentransfer teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus, maka 
dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj 
dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad
atau Hakikah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang 
ada.

Sejauh pelacakan dan informasi yang didapat, kajian 
tentang ajaran sangkan paraning dumadi telah dilakukan, di 
antaranya dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama, kajian yang 
dilakukan oleh Rangai Wisnumurti yang dituangkan dalam buku 
berjudul Sangkan Paraning Dumadi: Konsep Kelahiran dan 
Kematian Orang Jawa. Penelitian ini  dilatarbelakangi oleh 
keadaan masyarakat Jawa yang dikenal sebagai masyarakat yang 
religius, sebab  perilaku keseharian mereka dipengaruhi oleh 
alam pikiran yang bersifat spiritual. 
Selanjutnya Wisnumurti mendeskripsikan pemikiran orang 
Jawa yang bersifat spiritual ini  menjadi pengetahuan 
spiritual masyarakat Jawa yang meyakini bahwa Pencipta  yaitu  
pusat alam semesta dan segala kehidupan, sebab  sebelum segala 
sesuatu terjadi di dunia, Pencipta -lah yang pertama kali ada. 
Adapun pusat yang dimaksud yaitu  sumber yang dapat 
memberikan penghidupan, keseimbangan, kestabilan, dan 
menjadi penghubung antara individu dengan “dunia atas”. 
Pandangan masyarakat Jawa ini disebut Manunggaling Kawula 
Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban 
moral manusia yaitu  mencapai harmoni dengan kekuatan 
terakhir dan pada kesatuan terakhir, yakni penyerahan diri 
seorang kawula (hamba) terhadap Gustinya. 
Buku ini mengupas konsep Sangkan paraning dumadi
dalam bingkai proses kelahiran dan kematian orang Jawa. 
Sangkan paraning dumadi dalam karya ini memiliki arti dari 
mana asal-usul kejadian manusia dan mau kemana perjalanan 
manusia. Sangkan paraning dumadi mengandung arti pula bahwa 
manusia itu berasal dan diciptakan oleh Pencipta  dan kembali 
kepada Pencipta . Semua makhluk akhirnya akan mengalami 
kematian, termasuk manusia. Namun kebanyakan orang 
menganggap kematian sebagai sesuatu yang mengerikan, 
menakukutkan dan sebagainya. Buku ini menyjikan manajemen 
serta renungan tentang kematian, sehingga kematian tidak lagi 
dianggap sebagai hal yang menakutkan. 
Kedua, buku yang berjudul Sangkan Paraning Dumadi 
Orang Jawa dan Rahasia Kematian karya Bendung 
Layungkuning, terbit di Yogyakarta, Narasi, tahun 2013. Pada 
bagian pendahuluan buku ini penulisnya memberi latar belakang 
bahwa manusia dalam upayanya untuk memahami keberadaan 
Pencipta  tidak kunjung usai. Manusia selalu mempertanyakan dari 
mana dan mau kemana perjalanan hidup ini dimulai dan diakhiri. 
Jawapan dari persoalan ini  diuraikan dengan lugas bahwa 
awal dan akhir manusia yaitu  sang Sangkan sekaligus sang 
Paran, yaitu Pencipta . Ia hanya satu, tanpa kembaran, Gusti 
Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang jawa 
menyebutnya Gusti Pangeran. Kata pangeran berasal dari kata 
pangengeran, yang artinya tempat bernaung dan berlindung. 
Terhadap Pencipta  manusia hanya mampu memberikan sebutan 
sehubungan dengan peran-Nya, Gusti kang murbeng dumadi
(Penentu nasib semua makhluk), dan tidak dapat menggambarkan 
wujudnya sebab  untuk mendefinisikannya pun tidak bisa, sebab 
kata-kata hanyalah produk fikiran, sehingga orang jawa 
menyebutnya tan kena kinaya ngapa (tak dapat disepertikan). 
Selanjutnya Bendung juga menguraikan bahwa dasar kepercayaan 
masyarakat jawa (javanisme) yaitu  keyakinan bahwa segala 
sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya merupakan 
kesatuan hidup. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan 
suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman 
yang religius.
Akhirnya, Bendung menyimpulkan perkembangan 
kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya 
pencarian yang tiada hentinya. Syarat utama bagi para pejalan 
spiritual yaitu  kebersediaannya dan kemampuannya 
menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman 
dogmatis yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan 
keterbukaan hati dan pikiran untuk merambah ke jagad ilmu 
pengetahuan (kawruh) non-ragawi, yaitu ilmu yang gawat dan 
wingit, sebab  sifatnya sangat pribadi dan tidak bisa 
diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada. Perjalanan spiritual 
yaitu  proses panning upaya manusia untuk mencapai tataran￾kahanan (strata, maqam) dengan cara membebaskan diri dari 
segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan, 
baik itu jasmani ataupun rohani.
Ketiga, Taat Subekti, Chairman of the Board at The 
Beautiful Indonesia Foundation, menulis satu artikel tentang
“Mencermati dan Memahami Falsafah Kehidupan dalam Budaya 
Jawa untuk Hidup Lebih Sejahtera di Masa Kini”. Subekti 
menjelaskan dalam kata pengantar tulisannya bahwa dalam 
falasaf hidup orang Jawa dikenal adanya dua istilah yang 
berkaitan antara satu dengan lainnya, yaitu Sangkan Paraning 
Dumadi dan Manunggaling Kawulo Gusti. Falsafah ini 
mengajarkan kepada orang-orang Jawa untuk dapat membina 
kehidupan sampai saat kematian nanti dengan sempurna. 
Bagaimana bisa mempunyai sangkan (asal muasal) yang baik dan 
bisa mencapai paran (arah tujuan) agar bisa dumadi, yaitu 
mencapai kesempurnaan. Selanjutnya dia uraikan tentang falsafah 
kehidupan dalam Budaya Jawa dalam kaitannya dengan upaya 
bagaimana mencermati dan memahami falsafah hidup agar dapat 
menjadi pedoman untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera 
dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Hidup di sini berarti 
ganda yaitu hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat. 
Kehidupan yang sempurna dalam kehidupan dunia yaitu  
memayu wahyuning bawana menjaga kelestarian kehidupan 
pribadi dan manusia lain dan kelestarian bumi, agar dapat terus 
didiami oleh anak cucu di masa-masa mendatang, dan setelah 
mati mencapai “manunggaling Kawulo Gusti” di mana ruh 
kembali bersama Pencipta , yang berarti masuk Surga. Setiap 
manusia akan mengalami tiga tahapan kehidupan yaitu Metu–
Manten-Mati. Metu berarti lahir atau sangkan, di mana dalam 
kelahiran ini dipandang sebagai takdir sebab  bayi ini  tidak 
bisa siapa orang tuanya dan di mana dia dilahirkan. Manten 
berarti menikah, di mana dengan menikah ini, dipandang bahwa 
seseorang sudah tidak lagi hanya harus mempunyai beban 
tanggungjawab dan kewajiban pribadi semata. Namun, dua 
manusia menyatukan kewajibannya dalam upaya untuk memulai 
tahapan “memayu wahyuning bumi” atau “hamemayu hayuning 
bawana” dan “manunggaling kawulo Gusti” yang sempurna. Mati 
yang berarti akhir kehidupan manusia dan kembali kepada Sang 
Pencipta. 
Kesimpulan yang dibuat oleh Subekti ialah “Sangkan 
Paran Dumadi” sebagai falfasah hidup orang Jawa, membing 
manusia untuk tidak “sak paran-paran” sebab  semua harus ada 
tujuan yang jelas, keinginan untuk mencapai sesuatu yang 
sempurna, baik untuk diri sendiri, anak, sanak kadang dan orang 
lain. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk bekerja keras, tekun, 
tidak kenal lelah maupun putus asa. Prinsip “nrimo mergo isaku 
mung ngene” tidak ada dalam ajaran budaya Jawa sebab  ini 
menunjukkan watak malas berpikir dan berkerja. Falsafah hidup 
dalam budaya Jawa mengajarkan kita untuk memikirkan dengan 
seksama serta merencanakan kehidupan guna mencapai 
kesempurnaan hidup tanpa perlu mengeluh atau “ndersulo” 
sebab  semua apa yang dicapai, apa yang dimiliki, dan apa yang 
dinikmati yaitu  hasil dari “mlaku” diri sendiri demi kebuPencipta  
“lelaku”. Semua tetap dalam garis keputusan Illahi agar dapat 
mencapai kesempurnaan dalam “manunggaling kawulo Gusti”. 
Dengan semakin majunya jaman dan keaneragaman cara dan 
jalan menuju tujuan hidup yang sempurna (“paran kang 
dumadi”), semakin banyak tersedia. Proses untuk belajar dan 
pembelajaran dalam mencari jati diri guna memilih cara dan 
menentukan tujuan hidup juga semakin luas dan terbuka. Peran 
falsafah hidup “sangkan paran dumadi”, hanya dapat dicapai 
dengan bekal pengetahuan dan ilmu serta pemikiran dan 
perenungan yang mendalam berdasar kepada “eneng”, “ening”, 
“awas” dan “eling” sert akan memudahkan mencapai 
“manunggaling kawulo Gusti” dengan hidup yang lebih sejahtera 
dan lebih bahagia.
Keempat, artikel yang ditulis oleh A. Hajar Mutahir--
mencatat dirinya sebagai peminat filsafat ilmu pengetahuan dan 
filsafat sosial, yang sedang belajar filsafat Jawa--menulis artikel 
dengan judul “Sangkan Paraning Dumadi”. Artikel ini 
dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Jawa sebagai 
masyarakat pemikir. Pemikiran Jawa sebagian besar didapatkan 
melalui pengalaman mistik. Dengan pengalaman mistik, dapat 
diketahui bagaimana manusia Jawa berpikir tentang hidup, 
manusia, dunia, dan Pencipta . Jadi, mistik Kejawen tidak lain juga 
merupakan representasi upaya berpikir filosofis masyarakat Jawa. 
Sayangnya, cara berpikir filosofis manusia Jawa belum dihimpun 
menjadi suatu sistem filsafat. Rentangan pola pikir itu masih 
tercecer dalam berbagai karya sastra dan budaya Jawa, termasuk 
ke dalam ritual mistik Kejawen. Oleh sebab , manusia Jawa 
memiliki timbunan sistem filosofis, yaitu berupa endapan 
pengalaman para pujangga dan leluhur. 
Tulisan Hajar Mutahir menyimpulkan bahwa Pengetahuan 
yang berasal dari pengalaman spiritual merupakan langkah untuk 
mencari arti kehidupan manusia, baik itu asal-usul, tujuan akhir, 
dan hubungan manusia dengan Pencipta . Pengetahuan seperti  ini 
dinamakan ‘falsafah hidup jawa’, yakni suatu sikap hidup yang 
bertujuan untuk mencari ‘kesempurnaan’ hidup melalui 
‘pangawikan ngelmu sangkan paraning dumadi’ dan 
‘manunggaling kawula-Gusti’. Manusia Jawa melihat dunia 
sebagai sesuatu yang sudah sempurna. Tugas manusia hanya 
mencari pengetahuan tentang dunia dan menjalankannya saja. 
Tidak ada kehendak yang harus dipaksakan. Semua kenyataan 
memiliki hakikatnya masing-masing. Keyakinan bahwa manusia 
perlu hidup seturut dengan dunia (makrokosmos dan 
mikrokosmos) yaitu  upaya menuju kesempurnaan itu sendiri. 
Kesadaran tentang kefanaan dunia juga dapat dikatakan sebagai 
landasan dasar laku mistik Kejawen. Ibarat seperti manusia pergi 
ke pasar dan segera akan kembali ke rumah asalnya tadi. Untuk 
itu, manusia tidak boleh sampai ragu terhadap asal-usulnya, agar 
tidak sampai salah jalan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia 
hidup di dunia sekedar ‘mampir ngombe’ (singgah untuk minum), 
sebab  suatu saat  akan kembali kepada Pencipta . Jadi, Pencipta  
yaitu  tumpuan dari ‘sangkan paraning dumadi’. 
Menurut Mutahir, istilah ‘sangkan paraning dumadi’ 
tergolong ‘ngelmu kasampurnan’. Ngelmu seperti  ini diperoleh 
melalui laku prihatin. sebab nya, dalam Serat Wirid yang 
merupakan “kitab suci” penganut mistik kejawen, istilah ini  
masih terbagi ke dalam beberapa hal, yakni ‘asaling dumadi’ 
(asal mula suatu wujud), ‘sangkaning dumadi’ (dari mana 
datangnya dan bagaimana atau akan kemana arah perkembangan 
wujud itu), ‘purwaning dumadi’ (permulaan suatu wujud), 
‘tataraning dumadi’ (derajad atau martabat suatu wujud), 
‘paraning dumadi’ (cara dan arah perkembangan suatu wujud). 
Kesimpulannya, ngelmu ‘sangkan paraning dumadi’ memang 
wahana agar hidup manusia selamat. Manusia yang selamat yaitu 
yang mempu mencapai kesempurnaan. Sedangkan kesempurnaan 
diperoleh dengan cara mengekang hawa nafsu, yang antara lain 
dilakukan melalui ritual mistik kejawen.
Kelima, Siti Nurjayanti, melakukan penelitian tesis tentang
Peran Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi terhadap 
Perubahan Perilaku Ekonomi Komunitas Samin (Studi Kasus di 
Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora).
Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang. Penelitian 
ini dilatarbelakangi oleh kenyataan yang terjadi di Kabupaten 
Blora yang ada  sebuah komunitas bernama Samin. Mereka 
mendirikan sebuah Paguyuban untuk menaungi segala kegiatan 
mereka. Paguyuban ini diberi nama Paguyuban Sangkan 
Paraning Dumadi. Paguyuban ini memiliki peranan yang sangat 
penting dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Seiring 
perkembangan zaman yang semakin maju, peran Paguyuban 
Sangkan Paraning Dumadi juga semakin beragam. 
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga 
permasalahan, yaitu pertama, bagaimana aktivitas ekonomi yang 
dilakukan oleh anggota Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi. 
Kedua, Bagaimana nilai-nilai yang mendasari aktivitas ekonomi 
anggota Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi, dan ketiga, 
bagaimana peran Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi dalam 
perubahan perilaku ekonomi komunitas Samin. Metode penelitian 
yang digunakan yaitu  metode kualitatif. Lokasi penelitian di 
Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora. 
Subyek penelitian ini yaitu  anggota Paguyuban Sangkan 
Paraning Dumadi yang bertempat tinggal di Dukuh Pace. 
Penelitian ini menggunakan Teori Moral Ekonomi yang 
dikemukakan oleh James Sscott dan Tindakan Sosial yang 
dikemukakan oleh Max Weber. Hasil yang diperoleh dari 
penelitian ini, pertama, aktivitas paguyuban yang melibatkan 
pihak luar seperti alat-alat pertanian modern ternyata sesuai 
dengan teori yang dikemukakan oleh Max Weber sebab  hal ini 
menumbuhkan kerjasama dengan pihak luar. Kedua, nilai-nilai 
yang mendasari aktivitas ekonomi yang dimiliki oleh anggota 
Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi yaitu untuk meningkatkan 
taraf hidup mereka namun  tetap dengan landasan nilai-nilai budaya 
Samin. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Scott 
mengenal moral ekonomi petani yang mana dia memaparkan 
kehidupan kaum peasant yang menitikberatkan pada pembagian 
kerja yang merata sehingga tidak terjadi kesenjangan 
kesejahteraan dan masih berlandaskan moral kaum peasant, dan 
ketiga, paguyuban memiliki peran penting terhadap perubahan 
perilaku ekonomi komunitas Samin. Paguyuban ini memberikan 
banyak kontribusi bagi kehidupan komunitas Samin diantaranya 
dengan diadakan berbagai sosialisasi dan pelatihan yang membuat 
mereka ingin meningkatkan kehidupan ekonomi mereka. 
Penelitian Siti Nurjayanti menyimpulkan, pertama,
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh anggota Paguyuban 
berdampak sangat baik bagi perkembangan komunitas Samin 
secara umum. Kedua, nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota 
Paguyuban tidak hanya ingin meningkatkan kehidupan ekonomi 
namun  juga melestarikan budaya Samin, dan ketiga, Paguyuban 
Sangkan Paraning Dumadi berperan penting dalam peningkatan 
taraf kehidupan komunitas Samin walaupun tidak secara 
signifikan.
Terakhir, penulis menemukan kajian pustaka yang 
dilakukan oleh Hana Makmun dalam bukunya Life Skill Personal 
Self Awareness (Kecakapan Mengenal Diri), (Yogyakarta: 
Deepublish, 2017). Buku ini penting untuk disandingkan dengan 
penelitian sebelumnya sebab  juga menguraikan secara derkriptif 
tentang sangkan paraning dumadi dalam relevansinya dengan 
modernitas. Hana Makmun menyimpulkan life skill personal self 
awareness berperan menumbuhkan kesadaran akan peranan diri 
sebagai hamba Pencipta  dalam kehidupan social kemasyarakatan 
maupun individu. Life skill personal self awareness juga berperan 
sebagai pembangun kesadaran berperilaku/berattitude/sikap 
lembut (soft skill) sebagai penguat hard skill yang akhirnya akan 
berimplikasi pada terciptanya kehidupan yang tenteram, damai, 
sejahtera, dan bahagia dalam masyarakat berbangsa dan 
bernegara, gemah ripah loh jinawi, baldatun thoyyibatun wa 
rabbun ghafur. 
Adapun kajian terdahulu tentang naskah Kunci Swarga 
Miftahul Djanati, telah dilakukan oleh Harun Hadiwijono, 
seorang doktor ilmu teologi, pendeta, dan penulis sejumlah buku 
tentang Kristen. Hadiwijono memposisikan serat Kunci Swarga
karya Bratakesawa masuk ke dalam ajaran Kebatinan. 
Pembahasan Hadiwijono tentang isi ajaran serat ini  termuat 
dalam sub pembahasan tentang sosok Bratakesawa pada bukunya 
”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada penilaian Imam Supardi 
bahwa karya Bratakesawa ”berlainan sekali dengan tulisan￾tulisan tentang kebatinan yang lain”, Hadiwijono menyimpulkan 
bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan dan ajarannya 
merupakan doktrin kebatinan.27
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria 
(KOS), membahas sosok Bratakesawa dalam buku 
”Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan 
Kejawen” menempatkan ”Serat Kuntji Swarga” karya 
Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan Jawa.28 Karya 
tulis Bambang Noorsena ini kurang mengetengahkan model 
pembahasan yang tertib dan argumentatif. Untuk sebuah tulisan 
yang berusaha mengungkap relasi antara Kekristenan dan 
Kejawen, karya ini justru gagal mendefinisikan makna 
”kebatinan” maupun ”kejawen” itu sendiri. Kegagalan 
terminologis ini selanjutnya secara signifikan berpengaruh 
terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap entitas yang 
diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Di antara 
konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena sering 
menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa mengacu 
pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi bagi 
teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas Kristen 
dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud lahir 
dari konsepsi Islam.29
Susiyanto, seorang peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, 
Solo menulis satu artikel “Raden Bratakesawa: Antara Fakta dan 
Opini Kristen”. Menurutnya, kajian yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh Kristen, khususnya Harun Hadiwijono dan Bambang 
Noorsena merupakan bentuk manipulasi data diri seorang 
Bratakesawa. Susiyanto menyatakan Raden Bratakesawa, seorang 
tokoh muslim di Jawa, selama ini banyak disalahpahami orang. 
Beberapa cendekiawan Kristen, misalnya, menggambarkan 
pribadinya sebagai tokoh kebatinan. Dari deskripsi manipulatif 
inilah kesalahpahaman itu berakar. Padahal Bratakesawa yaitu  
seorang muslim, bahkan seorang dai. Hal ini terungkap dari 
testimoni dan kiprahnya dalam membangun kehidupan rohani 
masyarakat muslim di Jawa melalui tulisan-tulisan berbobot yang 
dihasilkannya.30
Selanjutnya, Susiyono juga menyatakan bahwa pandangan 
yang memposisikan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan seperti 
di atas, secara umum tidak memberikan garis batas yang tegas 
terhadap terminologi ”kebatinan” dan yang di luar itu. Bangunan 
argumentasinya hanya didasarkan pada karya Bratakesawa dalam 
kuantitas yang terbatas. Harun Hadiwijono mendasarkan 
pandangannya berdasarkan dua karya Bratakesawa yaitu ”Serat 
Kuntji Swarga” dan ”Wirid I.T.M.I.”. Sedangkan Bambang 
Noorsena hanya pada satu karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji 
Swarga”.31
Penelitian terdahulu tentang ajaran sangkan paran dan serat 
Kunci Swarga sebagaimana telah disebutkan di atas relevan 
dengan kajian ini pada aspek sebagai objek kajian, yaitu aspek 
ajaran sangkan paraning dumadi dalam naskah Kunci Swarga 
Miftahul Djanati. Penelitian ini  masih bersifat umum dan 
kajian ini secara khusus diarahkan pada ajaran sangkan paraning 
dumadi dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati dari sudut 
pandang tasawuf. Kajian ini berjudul Sangkan Paraning Dumadi 
(Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam 
Kejawen) merupakan bagian penting dari eksplorasi khazanah 
Islam Nusantara yang berhubungan dengan ranah kehidupan 
mistis masyarakat Jawa, khususnya yang berhubungan dengan 
pustaka kuno yang dikaji oleh pengamal ajaran mistik Islam 
kejawen. Dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati ada  
pesan penting untuk menarik pemikiran tasawuf falsafi ke ranah 
pengamalan praktis dengan menggunakan cara pandang yang 
menekankan aspek esoterikal dalam perilaku kehidupan sehari￾hari masyarakat Jawa, khususnya dalam memandang hubungan 
trilogi: Manusia, Pencipta , dan alam semesta. Tentu saja tanpa 
melupakan dimensi personalitas manusia sempurna yang menjadi 
titik sentral tasawuf falsafi. Aspek inilah yang belum disentuh 
oleh para peneliti terdahulu dan menjadi focus kajian ini. 
Selain itu, yang membedakan kajian ini dengan 
sebelumnya terletak pada segi pendekatannya. Peneliti akan 
menyingkap ajaran sangkan paraning dumadi yang ada  di 
dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati yang ditulis oleh 
Bratakesawa pada tahun 1952. Untuk menganalisis itu semua, 
digunakan teori hermeneutika objektif.



Asal Kejadian Diri
Asal-usul diri sebagai suatu teori dalam pemikiran sufistik, 
terekam dengan jelas dalam pemikiran Ibn Arabi, terkait langsung 
dengan konsep wahdatul wujud. Konsep wahdatul wujud sendiri 
diduga behubungan dengan pemikiran filsafat emanasi al-Farabi. 
Oleh sebab itu, sebelum kita mendalami teori tentang kejadian 
diri, ada baiknya lebih dahulu menengok pemikiran filsafat 
emanasi al-Farabi. Melalui teorinya tesebut al-Farabi menjelaskan 
bagaimana yang banyak (alam ini termasuk manusia) bisa lahir 
dari Yang Satu (Pencipta ). Dalam keyakinan muslim, Pencipta  
bersifat Maha Esa, tidak berubah, tidak berupa materi, tidak 
mengandung arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada 
apapun. Kalau demikian hakikat sifat Pencipta , lalu bagaimana alam 
materi yang banyak ini bisa terjadi dari yang Maha Esa? Menurut 
al-Farabi, alam terjadi dengan cara emanasi (faidh).
Pemikiran al-Farabi tentang kejadian alam ini terlihat rumit 
sebab menurutnya Pencipta  tidak mencipta alam, akan namun  alam 
tercipta sebagai akibat dari aktifitas berfikir Pencipta . Dengan 
pemikiran ini, al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang 
banyak bisa timbul dari Yang Satu". Pencipta  sebagai akal, katanya, 
berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran ini muncul suatu 
mawjud lain. Pencipta  merupakan wujud pertama berfikir, dan 
dengan aktifitas berfikir itu timbul Wujud Kedua yang juga 
mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat 
materi. Selanjutnya, wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud 
Pertama dan dari pemikiran ini timbullah Wujud Ketiga, yang 
disebut Akal Kedua. Seterusnya, Wujud Kedua atau Akal 
Pertama itu juga berpikir tentang Pencipta , maka muncullah Wujud 
Ketiga, dan berpikir tentang dirinya lahirlah Langit Pertama. 
Aktifitas berfikir ini  terus berjalan. Wujud Ketiga/Akal 
Kedua berpikir tentang Pencipta  maka lahirlah Wujud Keempat, dan 
berpikir tentang dirinya, lahirlah bintang-bintang. Wujud 
Keempat/Akal Ketiga berpikir tentang Pencipta , maka lahirlah 
Wujud Kelima, dan berpikir tentang dirinya, maka lahirlah 
Saturnus. Wujud Kelima/Akal Keempat berpikir tentang Pencipta , 
maka muncullah Wujud Keenam, dan berpikir tentang dirinya 
muncullah Jupiter. Wujud keenam/Akal Kelima berpikir tentang 
Pencipta  lahirlah Wujud Ketujuh, dan berpikir tentang dirinya, 
maka lahirlah Mars. Wujud Ketujuh/Akal Keenam berpikir 
tentang Pencipta , maka lahirlah Wujud Kedelapan,dan berpikir 
tentang dirinya, maka lahirlah Matahari. Wujud Kedelapan/Akal 
Ketujuh berpikir tentang Pencipta  lahirlah Wujud Kesembilan, dan 
berpikir tentang dirinya, maka lahirlah Venus. Wujud 
Kesembilan/Akal Kedelapan berrpikir tentang Pencipta , lahirlah 
Wujud Kesepuluh, dan berpikir tentang dirinya, lahirlah Mercury. 
Wujud kesepuluh/Akal Kesembilan berpikir tentang Pencipta , 
lahirlah Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, dan berpikir tentang 
dirinya lahirlah Bulan. Pada pemikiran Wujud Kesembilan/Akal 
Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. 
namun  dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta ruh-ruh dan 
materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur: api, 
udara, air dan tanah.32
Filsafat emanasi al-Farabi ini ternyata diikuti oleh Ibnu 
Arabi (1163-1240 M) dalam pemikiran tasawuf. Dalam kitabnya 
Al-Futuhat al-Makkiyah Ibnu Arabi menegaskan bahwa Pencipta  
yaitu  Wujud Mutlak, maksudnya, wujud Pencipta  bersifat mandiri, 
wujud begitu saja dengan sendirinya, yang tidak disebabkan oleh 
sebab apa pun. 33 Di halaman lain Ibn Arabi menjelaskan: 
“Pertama-tama harus diketahui bahwa Pencipta  yaitu  Wujud
Yang Awal, yang tidak didahului oleh apa pun sebelum-Nya, 
tidak ada sesuatu pun yang awal bersama-Nya, Dia mengada 
dengan sendiri-Nya, tidak butuh perangkat apapun untuk wujud 
selain Dia. Di situlah letak ke-Esaan-Nya. Dia yaitu  Pencipta Yang 
Maha Esa, yang tidak berhajat kepada alam semesta.” 34
Walau bagaimanapun, Pencipta  yaitu  Sang Pencipta alam 
semesta. Tentang proses penciptaan alam ini dapat dilihat dalam 
tulisannya Fushush al-Hikam. Menurut Ibnu Arabi, Pencipta  
mencipta alam melalui proses tajalli (penampakan diri). Ada lima 
tingkatan tajalli atau tanazzul (turun berjenjang) Pencipta , yaitu:
1. Tajalli Pencipta  dalam entitas-entitas ala’yan al-tsabitah, 
yang disebut dengan‘Alam al-Ma’ani.
2. Tajalli Pencipta  dari ‘Alam al-Ma’ani kepada realitas-realitas 
ruhaniah, yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
3. Tajalli Pencipta  dalam rupa realitas-realitas psikis (al￾nafsiyah), yang disebut dengan‘Alam al-Nufus al-Nathiqah.
4. Tajalli Pencipta  dalam bentuk-betuk jasad tanpa materi, yang 
dusebut dengan‘Alam al-Mitsal.
5. Tajalli Pencipta  dalam bentuk-bentuk jasad bermateri, yang 
disebut dengan‘Alam al-Ajsam al-Madiyah, yang disebut 
juga dengan ‘alam al-Hissi atau‘alam al-Syahadah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tingkatan pertama sampai 
tingkatan keempat yaitu  martabat ghaib (tingkatan alam 
metafisik) sedang, tentu saja, tingkatan yangterakhir atau kelima 
yaitu  alam fisik atau alam materi.
Dengan demikian dapatlah dipahami jika Ibnu Arabi 
menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam ini berasal “dari 
tiada kepada ada” (min al-‘adam ila alwujud/creation ex niliho). 
Menurutnya, asal segala yang ada (alam, termasuk manusia) 
yaitu  emanasi Pencipta  yang terus menerus. Dalam kitabnya al￾Futuhat, dia menyatakan: “Mahasuci Dia yang menjadikan 
segalasesuatu dan Dia lah ‘ain segala sesuatu itu.” 36 sebab  
itulah, Dr. Ahmad Amin menyimpulkan paham tasawuf Ibnu 
Arabi sebagai berikut: ‘Dan tidaklah alam dalam bentuknya yang 
beaneka ragam ini melainkan manifestasi wujud Pencipta  Ta’ala.” 37
Teori emanasi dalam proses penciptaan alam telah mengisi 
dan mendasari sistem pemikiran Ibnu Arabi. Dr. Ibrahim Hilal 
mengatakan: “Teori emanasi telah mendasri ajaran tasawuf Ibnu 
Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dariPencipta . 
sebab  itu dapat dikatakan, sebenarnya  alam ini yaitu  
manifestasi Pencipta .” 38 Itulah sebabnya esensi dari alam semesta 
ini yaitu  Pencipta , sedang lahirnya berupa materi hanyalah 
bayang-bayang, yang pada hakikatnya tidak ada. Ibnu Arabi 
mengatakan, sebenarnya  para muqarrabin telah menetapkan 
bahwa tidak ada wujud yang sebenarnya  dalam alam ini, 
melainkan Pencipta  semata. Kita, meskipun ada, sebenarnya  
adanya kita yaitu  sebab  Dia. Sesuatu yang wujudnya 
tergantung pada-Nya, sebenarnya sesuatu itu dihukumkan tidak 
ada. Jadi, adanya makhluk yaitu  bayang-bayang dan merupakan 
gambar dalam cermin di mana wujud yang di luar cermin jualah 
sebenarnya ada. Oleh sebab  itu makhluk seluruhnya hanyalah 
bayang-bayang belaka.39
Penadapat Ibnu Arabi ini tampak pula dalam gubahan lirik 
syairnya sebagai berikut:
Ya Pencipta , dari diri-Mu lah asal segala sesuatu,
Engkau Pencipta , mengapa Kau jadikan semuanya satu,
Engkau jadikan barang yang takberhenti adanya,
Baik di tempat sempit maupun lapang, Kau ada di sana40
Dalam gubahan syair yang lain Ibnu Arabi bersenandung:
Wajah sebenarnya hanyalah tunggal ,wujud-Nya,
namun  jika kau perbanyak cermin,banyaklah ada-Nya.41
Dalam perkembangan pemikiran tasawuf, teori Ibnu Arabi 
ini mempengaruhi pemikiran Abd al-Karim al-Jili (1365-1403M) 
seperti yang tertuang dalam kitabnya Al-Insan al-Kamil fi 
Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail. Al-Jili mengatakan bahwa 
proses tanazzul atau tajalli Pencipta  itu ada tiga tahapan, yaitu 
Ahadiyah, Huwiyah dan Iniyah. Pada tahap Ahadiyah, Pencipta  
dalam keabsolutan-Nya baru keluar dari al-A’ma. Sedangkan 
Huwiyah masih belum tampak dalam kenyataan, namun  berada di 
bawah Ahadiyah, sifat-sifat dan nama-nama Pencipta  dalam bentuk 
potensial. Tahap Iniyah merupakan penampakan diri Pencipta  
dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya pada makhluk. Teori 
penciptaan alam dengan tajalli dan tanazzul yang dikembangkan 
oleh IbnuArabi dan al-Jili ini dalam sejarahnya kemudian 
dikembangkan oleh seorang sufi dari Gujarat, Muhammad ibn 
Fadhlillah al-Burhanfuri (w.1029 H/1620 M) dalam kitabnya Al￾Tuhfah al-Mursalah ila (Ruh) al-Nabiy. Ia mengembangkan teori 
tajalli menjadi tujuh tahapan, yang dikenal dengan istilah 
Martabat Tujuh.
Martabat Tujuh dari Muhammad ibnu Fadhlillah ini 
mengajarkan bahwa segala yang ada dalam alam semesta ini, 
terutama manusia, yaitu  aspek lahir dari suatu hakikat yang
tunggal, yaitu Pencipta . Pencipta  sebagai zat mutlak tidak dapat 
dikenal, baik oleh indera, akal maupun imajinasi. Diabaru dapat 
dikenal sesudah bertajalli (menampakkan diri) melalui tujuh 
martabat/tahapan, sehingga tercipta alam semesta beserta seluruh 
isinya, termasuk manusia, sebagai aspek lahir dari zat Pencipta . 
Tujuh martabat itu yaitu :
1. Ahadiyah (kesatuan mutlak);
2. Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara 
keseluruhan);
3. Wahidiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terinci 
batas-batas setiap sesuatu);
4. Alam Arwah (alam segala nyawa yang masih dalam 
bentuk kesatuan);
5. Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara
keseluruhan);
6. Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam 
kejamakan secara terinci batas-batasnya;
7. Alam Insan (alam seluruh manusia). 42
Dari tiga tajalli (Ahadiyah, Wahdahdan Wahidiyah), yang 
disebut sebagai martabat batin, muncullah tiga martabat yang 
merupakan aspek lahir (Alam Arwah, Alam Mitsal, dan Alam 
Ajsam. Tiga martabat batin dan tiga martabat lahir ini  
terkumpul dalam martabat yang ketujuh, yaitu Alam Insan. 43
B. Relasi Manusia dengan Pencipta 
Seperti yang dapat dilihat dari uraian di atas bahwa satu hal 
yang paling menonjol dari pandangan tasawuf tentang relasi 
manusia dengan Pencipta  yaitu  tentang dijadikannya manusia 
sebagai tujuan akhir penciptaan alam semesta. Pandangan seperti 
ini telah dianut oleh Ibnu Arabi (1163-1240M), Shadr al-Din al￾Qunyawi (w.1274 M), Jalal al-Din Rumi (1217-1273 M) dan 
Abdal-Karim al-Jili (1365-1403 M).
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi 
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia 
dengan buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah batang dan 
ranting, namun  pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk 
menghasilkan buah ini . “Kalau bukan mengharap buah, 
tanya Rumi, “apakah seorang petani akan menanam pohon?” 
sebenarnya  seorang petani menanam pohon agar dapat 
menghasilkan dan mengharapkan buah dari pohon ini . 
Dengan analogi seperti itu, manusia memiliki kedudukan yang 
sangat tinggidalam pandangan para sufi, baik dalam kaitannya 
dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya.44
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu  
“buah” atau hasil akhir evolusi biologi alam seperti diuraikan di 
atas. Sedangkan dalam kaitannya dengan Pencipta , manusia yaitu  
wakil (khalifah) Pencipta  di muka bumi, yang sangat dimuliakan￾Nya. Sebagai khalifah, tugas manusia yaitu  menyampaikan 
berita dari dunia gaib agar dapat dipahami dan dirasakan 
manfaatnya oleh seluruh manuaia. namun , sebab  tidaksemua 
manusia pada praktiknya bisa menerima pesan-pesan Ilahi ini, 
makaPencipta  mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk membawa 
dan menyampaikan kabar ini . Oleh sebab  itu, para nabi dan 
rasul, yang berpuncak pada diri NabiMuhammad saw yaitu  
teladan-teladan dari manusia paripurna (al-Insan al-Kamil). 
saat  tidak ada para nabi lagi setelah “penutup para nabi dan 
rasul” yaitu Muhammad saw, peran itu akan diteruskan oleh awlia 
Pencipta , ulama, dan juga para sufi.
Di antara hadis yang sering dijadikan dalil oleh orang sufi 
tentang relasi manusia dengan Pencipta  ini yaitu : sebenarnya  
Pencipta  menciptakan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. 
Dikatakan, manusia baru secara potensial saja dapat 
mencerminkan sifat-sifat Pencipta , sebab  pencerminan itu baru bisa 
secara aktual dicapai, hanya pada manusia yang dapat 
mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya, yaitu saat  
manusia ini  mencapai tingkat manusia paripurna. Paham 
tentang manusia paripurna (al-Insan al-Kamil) ini telah menjadi 
tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibnu Arabi dan 
para pengikutnya.
Manusia, menurut Ibnu Arabi, yaitu  tempat tajalli Pencipta  
yang paling sempurna, sebab  ia yaitu  al-kaun al-jami’, 
iamerupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang 
tercermin padanya alam besar (makrokosmos) dan tergambar 
padanya sifat-sifat kePencipta an. Pada manusia terhimpun rupa 
Pencipta  dan rupa alam. Iayaitu  sebuah cermin yang 
menyingkapkan wujud Pencipta . Kita punya sifat yang kitasifatkan 
dengan sifat Pencipta , wujud kita yaitu  pada hakikatnya wujud￾Nya. Pendapat Ibnu Arabi bahwa manusia yaitu  tempat tajalli 
(penampakan diri) Pencipta  yang paling sempurna, dengan jelas 
dapat dilihat dalam ungkapan syairnya:
Jika Pencipta  tidak ada dan kita tidak ada,
Maka tidaklah ada semua yang ada;
Saya menyembah Pencipta  yang sebenarnya,
Pencipta  lah Pencipta  kami yang sebenarnya ;
Ketahuilah, saya yaitu  ‘ain wujud-Nya,
meskipun saya berkata, saya yaitu  manusia. 45
Sekarang, yang dimaksud dengan al-Insan al-Kamil 
menurut Ibnu Arabi, seperti yang ini  di dalam kitabnya 
Fushush, yaitu :
Ain al-Haqq, artinya manusia yaitu  perwujudan dalam 
bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan 
segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq (Pencipta ) ‘ain segala 
sesuatu, namun  segala sesuatu itu bukan‘ain (zat)-Nya sebab  ia 
hanya perwujudan sebagian ama’-Nya, bukanPencipta  bertajalli 
pada sesuatu itu dalam rupa zat-Nya. Apabila engkau berkata 
insan (manusia), maka maksudnya Al-Insan al-Kamil dalam 
kemanusiaannya, yaitu Pencipta  bertajalli dalam bentuk zat-Nya 
sendiri, itulah yang disebut dengan‘ain-Nya. 46
Masalah Al-Insan al-Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi 
tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur 
Muhammad, seperti ditegaskan: “Ketahuilah,bukanlah yang 
dimaksudkan dengan Al-Insan al-Kamil kecuali Nur Muhammad 
yaitu ruh Ilahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh sebab  itu, 
Adam yaitu  esensi kehidupan dan awal manusia.”47 Dikatakan 
bahwa “Nabi Muhammad saw yaitu  Al-Insan al-Kamil yang 
paling sempurna. Sedang yang dimaksud di sini ialah Al-Haqiqah 
al-Muhammdiyah. 48 Dengan Al-Haqiqah al-Muhammadiyah 
inilah orang bisa mencapai derajat Al-Insan al-Kamil. 49
Salah seorang pengikut Ibnu Arabi yang secara khusus 
menulis tentang Al-Insanal-Kamil yaitu  Abd al-Karim al-Jili. 
Dalam bukunya yang telah tersebar luas Al-Insanal-Kamil fi 
Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail, al-Jili menjelaskan tiga macam 
manifestasi yang dapat dipantulkan manusuia dari Pencipta , yaitu: 
af’al, asma’ dan sifat. Pertama:Tajalli af’al, yaitu tentang 
manusia yang dapat mencerminkan tindakan-tindakan Pencipta , 
sebab nya yang berlaku padadirinya yaitu  tindakan-tindakan
Pencipta ,sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya, 
upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang yang seperti ini tidak lah 
bertindak kecuali apa yang dikehendaki Pencipta . Kedua: Tajalli 
asma’, manusia sebagai cermin dari nama-nama Pencipta . Ini terjadi 
saat  nama-nama tertentu dari Pencipta  tercerap oleh manusia dan 
menggantikan namanya. Kalau ini terjadi pada seseorang, maka 
terhapuslah namaorang itu dan digantikan oleh salah satu nama 
Pencipta . Pada saat itu terjadi, kesadaran diri seseorang hilang dan 
digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Pencipta . Pada saat itu 
“aku” dan “Dia” menjadi lebur. Ketiga:Tajalli af’al, artinya 
manusia sebagai cermin atau tempat bertajalli sifat-sifat Pencipta . 
Al-Jili mengatakan: “Apabila sifat Pencipta  bertajalli pada diri 
hamba, maka hamba ini  berenang dalam falak sifat ini . 
Kalau sifat ilmu Pencipta  yang bertajalli pada diri hamba, maka ia 
akan mengetahui objek-objek ilmunya itu secara komprehensif 
dari awal sampai akhir. Demikian pula jika sifat sama’ Pencipta  
yang bertajalli pada seorang hamba, maka ia dapat mendengar 
pembicaraan benda-benda mati dan makhluk-makhluk Pencipta  
lainnya.50
Al-Insan al-Kamil yaitu  quthb atau sumbu tempat 
beredarnya segala sesuatu dari awal hingga akhir. Ia yaitu  satu￾satunya untuk selamanya. Ia memiliki berbagai bentuk dan ia 
muncul dalam rupa yang bermacam-macam. Untuk 
menghormatinya, ia dipanggil dengan nama yang berbeda-beda. 
Siapakah dia? Nama sebenarnya yaitu  Muhammad. Nama 
Muhammad tidak bisa diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada 
Hakikat Muhammad (Al-Haqiqah al-Muhammadiyah). Dengan 
demikian, saat  ia muncul dalam bentuk Syibli, maka Syibli 
berkata kepada muridnya: ”Saksikanlah bahwa saya yaitu  utusan 
Pencipta .” Muridnya ini , sebagai orang yang kasyf, berkata: 
Saya bersaksi bahwasanya Anda yaitu  utusan Pencipta .”51 sebab  
itu, Muhammad yaitu  Al-Insan al-Kamil yang dapat lahir pada 
setiap orang yang dikehendaki Pencipta  di mana pada diri orang itu 
ada  Nur Muhammad (Al-Nur al-Muhammady) atau Hakikat 
Muhammad (Al-Haqiqah al-Muhammadiyah). Al-Insan al-Kamil 
ini  merupakan mazhar (manifestasi) dari af’al, asma, sifat, 
dan zat Pencipta  sendiri.
C. Relasi Manusia dengan Rasul Muhammad Saw
Bagi kaum sufi, khususnya dalam kelompok tasawuf 
falsafi, Nabi Muhammad saw tidak semata dipahami seperti 
diuraikan di atas. Bagi mereka, Muhammad saw tidak hanya 
diyakini sebagai Nabi dan Rasul, namun  juga sebagai Nur yang 
mereka sebut dengan Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad 
(Al-Haqiqah al-Muhammadiyah).
Menurut beberapa sumber, teori NurMuhammad ini 
dimunculkan pertama kali oleh Al-Husain ibnu Mashur al-Hallaj 
(858-921 M). Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, yaitu  awal 
yang ada yang menitisdari Pencipta  dan merupakan asal atau 
sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, perbuatan dan ilmu 
pengetahuan. Dengan perantaraannya lah alam ini dijadikan. Di 
dalam kitabnya Al-Thawasin, al-Hallaj menulis:
Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. 
Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya￾cahaya itu tidak ada satu pun cahaya yang lebih cemerlang, 
gemerlap dan terdahulu daricahaya pemegang kemuliaan 
(Muhammad saw). Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang segala 
cita-cita. Wujudnya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Juga 
namanya lebih terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada 
sebelum makhluk makhluk lain.
Teori Nur Muhammad yang dibawa oleh al-Hallaj ini 
selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Dalam teori Ibnu 
Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dengan ajaran 
tentang Nur Muhammad. Dia mengatakan bahwa Nur Muhamm 
adyaitu  sesuatu yang pertama sekali melimpah dari Nur Ilahi. 
Ibrahim Hilal, saat  mengulas ajaran tasawuf Ibnu Arabi, 
menceritakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan 
pertama dari tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) Pencipta  dalam 
bentuk-bentuk wujud.53 Dengan demikian Nur Muhammad telah 
ada sebelum terjadinya tahapan-tahapan tajalli dan tanazzul 
Pencipta  seperti disebutkan di atas.
Selain Ibnu Arabai berpendapat bahwa Nur Muhammad
yaitu  sesuatu yang pertama kali melimpah dari Pencipta , dia juga 
mengatakan bahwa dari Nur Muhammadlah terjadinya alam 
semesta ini.54 Juga ditegaskan bahwa dari Nur Muhammad inilah 
dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya, tidak ada 
yang maujud di alam ini kecuali semuanya dari Nur Muhammad
atau Al-Haqiqah al-Muhammadiyah.55 Apabila dikatakan orang 
Al-Haqiqah al-Muhammadiyah, maka ketahuilah bahwa ia yaitu  
asal segala sesuatu.56
D. Jalan Makrifat
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau 
pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah diartikan 
sebagai pengetahuan mengenai Pencipta  melalai hati (qalbu). 
Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya 
merasa satu dengan yang diketahuinya itu. Abu Nasr al-Sarraj al￾Tusi di dalam kitabnya Al-Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah itu 
merupakan pengenalan hati ada  obyek-obyek yang menjadi 
sasarannya. 57 Inilah, menurut al-Gazali, pengetahuan yang 
meyakinkan dan merupakan pengetahuan yang hakiki.
Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang 
segala sesuatu, pertama-tama kata al-Gazali, haruslah diketahui 
arti pengetahuan atau ilmu yang benar dan meyakinkan itu. 
Dalam kitabnya al-Munqiz, al-Gazali mengatakan: “Al-’Ilm Al￾Yaqini (ilmu yang meyakinkan) ialah tersingkapnya sesuatu 
dengan jelas, sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak 
mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu.” 58
Sebagai contoh kata al-Gazali: “Jika kuketahui bahwa sepuluh 
lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan 
bukti tongkat dapat diubahnya menjadi ular dan itu memang 
terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tidak akan membuat aku 
ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepluh lebih banyak dari 
tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang 
ini . Hal ini sama sekali tidak akan membuat aku ragu 
terhadap pengetahuanku.59
Dikatakan, ma’rifah berarti mengetahui Pencipta  dari dekat, 
sehingga hati sanubari dapat melihat Pencipta . Oleh sebab  itu 
orang-orang sufi mengatakan:
a) Kalau mata yang ada  dalam hati sanubari manusia 
terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat  itu 
yang dilihatnya hanya Pencipta .
b) Ma’rifah yaitu  cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke 
cermin itu, yang akan dilihatnya hanya Pencipta .
c) Yang diliha orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun 
sewaktu bangun hanya Pencipta .
d) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua 
orang yang melihat padanya akan mati sebab  tak tahan 
melihat kecantikan serta keindahannya; dan semua 
cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan 
yang gilang gemilang.60
Al-Junaid saat  ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan: 
“Ma’rifah yaitu  hadirnya hati di antara pernyataan kebesaran 
Pencipta  yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya 
yang tak bisa diutarakan.” Pada saat yang lain, saat  dia ditanya 
tentang pertanyaan yang sama, mengatakan: “Ma’rifah berarti 
mengetahui bahwa apa pun yang engkau bayangkan dalam 
hatimu, Pencipta  merupakan kebalikannya.”61
Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf, yang dimaksud 
dengan ma’rifah ialah mengenal Pencipta  (ma’ifatullah). Dan ini 
merupakan “tujuan utama” dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal 
Pencipta  dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini, Pencipta 
berfirman: sebenarnya  Aku ini yaitu  Pencipta , tidak ada Pencipta  
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk 
mengingat Aku. (QS. 20:14).
Menurut Ibn Ataillah, ma’rifatullah yaitu  melihat Pencipta  
dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan 
dengan padangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah 
SAW pernah bersabda: “Hai Abu Zar, sembahlah Pencipta  seakan￾akan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak melihat-Nya, 
sebenarnya  Dia melihat kamu.”62
Menurut H.M. Asywadie Syukur, bahwa setiap orang yang 
telah kenal kepada Pencipta , dan pengenalannya naik setingkat 
sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat, maka 
pengenalan yang demikian itu dinamakan “ma’rifah”.
Imam al-Qusyairi berkata ”Ma’rifah menurut para ulama 
ialah, setiap ilmu pengetahuan dinamakan ma’rifah, dan setiap 
ma’rifah dinamakan ilmu. Setiap orang yang berilmu 
pengetahuan dinamakan arif, dan setiap arif dinamakan alim”.
sebab  itu menurut orang shufi, ma’rifah ialah sifat orang 
yang mengenal asma dan sifat Pencipta  dan sebagai bukti 
pengenalannya ialah kedudukannya kepada Pencipta , dengan 
meninggalkan sifat-sifat yang tercela, selalu ingat kepada Pencipta , 
sehingga Pencipta  mencintainya dan membeikan karunia kepadanya 
yang berupa kondisi mental yang tangguh, sehingga dengan 
mental yang demkian itu ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun, 
ke arah yang tidak diridhai Pencipta .
Dengan kondisi mental yang tangguh ia menjadi orang 
yang asing di dalam hidup ini, sebab  terhindar dari pelbagai 
perbuatan yang kebiasaannya diperbuat orang yang lahir dari 
dorongan mental yang bejat. Dengan mental yang tangguh semua 
perbuatan dan tindak tanduknya bersih, pada setiap detik dan saat 
hubungannya dengan Pencipta  tetap dan tidak pernah terputus 
sehingga Pencipta  memberikan karunian-Nya yang lain lagi ialah 
pengetahuannya terhadap segala yang gaib. Sikap mental yang 
seperti itu dinamakan ma’rifah dan orangnya dinamakan arif.
Imam Ghazali menerangkan, “Bahwa ma’rifah menurut 
pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang tidak bercampur 
dengan keraguan, yang obyek pengetahuan tadi yaitu  zat dan 
sifat Pencipta ”.
Abu Zakariya Anshari berkata, bahwa ma’rifah menurut 
pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang sampai ke tingkat 
keyakinan yang mutlak dalam mengesakan Pencipta ”. Orang shufi 
tidak menamakan setiap orang yang memiliki pengetahuan 
dengan nama arif, melainkan orang yang memiliki ilmu 
pengetahuan yang bersangkut-paut dengan Pencipta , Serta 
memikirkan segala yang diciptakan Pencipta  sebagai bukti tentang 
adanya Pencipta 
Ibnu Athillah juga berbicara tentang arti ma’rifah beliau 
mengatakan, “Ma’rifah ialah pengenalan terhadap sesuatu, baik 
zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang 
sebenarnya. Mengenal Pencipta  yaitu  merupakan ilmu pengetahuan 
yang terpenting, sebab  Pencipta  tidak ada bandingnya, kendatipun 
demikian Pencipta  mewajibkan kepada setiap makhluk-Nya untuk 
mengenal-Nya, baik jin, manusia, malaikat, dan setan untuk 
mengenal zat asma serta sifat-sifat Pencipta , bahkan diwajibkan 
kepada seluruh makhluk-Nya sesuai dengan keadaan makhluk itu 
sendiri”.
Zu al-Nun al-Misri berkata, “sebenarnya  ma’rifah orang 
yang arif akan terus menerus bertambah, dengan bertambah 
ma’rifahnya maka bertambah juga dekatnya kepada Pencipta ”. 
Kemudian Zi Nun ditanya dengan apa orang mengenal Pencipta nya. 
Beliau menjawab, “Kukenal Pencipta ku dengan (ni’mat) Pencipta ku, 
kalaulah tidak (tidak dengan ni’mat Pencipta ku), niscaya aku tidak 
mengenal Pencipta ku”.
Ibnu Athaillah membagi ma’rifah menjadi dua macam. 
Beliau berkata, “Dan ia (ma’rifah) terbagi menjadi dua macam: 
Pertama, ma’rifah yang umum, ialah pengenalan yang diwajib 
kepada seluruh makhluk-Nya, makhluknya diwajibkan untuk 
mengenal zat-Nya, kemudian memuji dengan pujian yang sesuai 
dengan keadaan setiap makhluk masing-masing, serta 
memberikan sifat kepada Pencipta nya, menurut yang telah 
ditetapkan Pencipta  sendiri.
Kedua, ma’rifah yang khusus ialah pengenalan yang lahir 
dari musyahadah, maka seorang yang arif ialah orang yang telah 
mengenal zat, sifat, asma dan lafal Pencipta  dengan perantaraan 
musyahadahnya. Sedang orang yang alim ialah orang yang 
mengenal Pencipta nya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya 
melalui kepercayaan biasa saja. sebab  itu ada sebagian orang 
yang berpendapat bahwa ma’rifah ialah seperti  ilmu 
pengetahuan yang didapat dari kesungguhan seseorang dalam 
ibadahnya”. Dalam hal ini Imam Ghazali pernah berkata, 
“Seseorang dapat mengenal Pencipta nya melalui inderanya, dan 
pengenalan yang tertinggi ialah pengenaln dengan kurnia Pencipta  
sendiri. sebab  itu seseorang tidak akan sampai ke tingkat 
ma’rifah yang sebenarnya, melainkan orang yang dikehendaki 
Pencipta , ialah para nabi dan orang yang siddiq. Nabi Muhammad 
sendiri pernah bersabda, “Aku tidak dapat menilai pujianku 
terhadap-Mu, sebagaimana yang kau puji terhadap zat-Mu”.
Menurut Imam Ghazali ma’rifah yang khusus ini ialah 
keinginan untuk mengenal zat Pencipta , sifat Pencipta  dan menolak 
segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi 
Pencipta . Ma’rifah yang demikian itu yaitu  wajib bagi setiap insan, 
sesuai dengan ajaran Alqur’an, Sunnah dan Ijma Umat, dan dalam 
hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama 
tentang wajibnya, hanya ada  perbedaan pendapat mengenai 
definisinya”.
Imam Ghazali berkata, “Ma’rifah itu terbagi kepada dua 
macam; ma’rifatuz zat dan ma’rifatus sifat”. Ma’rifatuz zat ialah 
pengetahuan seseorang terhadap Pencipta , bahwa Pencipta  ada, Maha 
Esa, tidak berbilang, Ia yaitu  zat yang Maha Agung, yang ada 
dengan sendirinya dan tidak ada yang lain yang mirip dengan￾Nya. Sedangkan ma’rifatus sifat ialah pengetahuan bahwa Pencipta  
Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, 
Maha Melihat, dan seterusnya tentang sifat-sifat kesempurnaanya.
Adapun tanda orang yang betul-betul mengenal Pencipta , 
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali ialah 
“hatinya selalu ingat dan memandang (musyahadah) kepada 
Pencipta . sebab nya Pencipta  melimpahkan karunia-Nya kepadanya 
sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal zat 
Pencipta nya. Dengan karunia itu Pencipta  menyingkapkan sebagian 
hijab yang melindungi sehingga hambanya-Nya kenal kepada 
sifat dan zat Pencipta nya, dan tidaklah seluruh hijab itu 
disingkapkan dan hanya sebagiannya saja.”
Abu Ali Daqaq berkata, “Sebagai tanda ma’rifah Pencipta  
ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Pencipta , siapa yang 
bertambah ma’rifatnya bertambah juga takutnya kepada Pencipta ”.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apakah kau 
menyembah sesuatu yang kau lihat atau yang kau tidak 
melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah 
yang kulihat, namun bukan dengan penglihatan mata, namun  
dengan penglihatan hati”.
Juga Ja’far Sadiq pernah ditanya orang, apakah ia melihat 
Pencipta nya? Beliau menjawab: “Aku tidak akan menyembah 
Pencipta  yang tidak kulihat.” Orang bertanya, “Bagaimana kau 
dapat melihatnya sedang Pencipta  tidak dapat dilihat dengan mata 
kepala?” Beliau menjawab, “Memang tidak dapat dilihat dengan 
mata kepala, namun dapat dilihat dengan mata hati dan dengan 
mata hakekat iman”.
Sebagian orang shufi berkata, “Hakekat ma’rifah ialah 
musyahadah Pencipta , tanpa perantara, tidak melalui keadaan dan 
tidak pula melalui perbandingan”. Dan sebagain yang lain lagi 
berkata: ma’rifah yang sebenarnya ialah kosong jiwa dari segala 
keinginan, meninggalkan apa yang menjadi adat kebiasaannya, 
hati tenteram, menyerahkan segala urusan kepada Pencipta  dan tidak 
berpaling kepada yang lainnya. Namun pengenalan manusia 
tidaklah sa hakekat zat Pencipta , hanya Pencipta  sendiri. mpai ke 
tingkat hakekat zat, dan tidak ada yang mengenal bagaimana
sebenarnya
Akhirnya Abu Bakar Razi menceritakan bahwa ia pernah 
mendengar dari Abu Umar Al Antaki, beliau pernah bercerita 
seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Junaidi katanya 
ada sebagian orang yang mengaku dirinya ahli ma’rifah namun 
mereka telah meninggalkan syariat agama, mereka meninggalkan 
kewajiban-kewajiban agama yang akan mendatangkan kebajikan 
dan takwa (ibadah). Junaidi menjawab: pendapat yang 
mengatakan dengan meninggalkan amal-amal syariat sebagai 
tanda ahli ma’rifah, bagiku lebih baik orang yang mencuri dan 
berbuat zina, dari orang yang mengakui ahli ma’rifah tadi, sebab  
orang yang kenal (ma’rifah) kepada Pencipta , mereka mengambil 
amal ibadah itu dari Pencipta , dan mereka kerjakan untuk Pencipta , 
mereka kembalikan semua itu kepada Pencipta . Kendatipun umur 
mereka sampai seribu tahun, tidaklah mereka mengurangi 
kewajiban mereka terhadap Pencipta , sekalipun hanya sedetik”.
Demikianlah peranan ma’rifah dalam pembinaan mental 
dan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Pencipta , dengan 
bertambah ma’rifah bertambah juga takwanya kepada Pencipta , dan 
bertambah dekatlah ia kepada Pencipta .
Menurut Hamka, ma’rifat artinya ialah ujung perjalanan 
dari Ilmu Pengetahuan. Ilmu ialah usaha mengetahui keadaan 
suatu barang, namun  ma’rifat menanyakan sebabnya dan nilainya. 
Misalnya kata ilmu, dua kali dua sama dengan empat. Maka 
ma’rifat tidak hendak mencukupkan perjalanan sehingga itu saja. 
Dia masih bertanya: “Mengapa jadi empat, dan siapa yang 
menjadikan empat?”.
Orang yang mempunyai ma’rifat dinamai “Arif. Kumpulan 
pengetahuannya tentang Syari’at, dengan kesediaannya 
menempuh jalan (Thariqat) dan mencapainya akan Hakikat, 
semuanya itulah yang Ma’rifat. Jadi Ma’rifat yaitu  kumpulan 
Ilmu Pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadat. 
Kumpulan dari Ilmu, Filsafat dan Agama. Kumpulan dari 
Manthik (Logika), Keindahan (Aestetika) dan Cinta.
Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, namun  
tergantung karunia Pencipta  kepada hamba-Nya. Ma’rifat yaitu  
pemberian Pencipta  kepada hamba-Nya yang sanggup menerima. 
Dan datangnya ma’rifat itu sebab  adanya kesungguhan, 
kerajinan, kepaPencipta  dan ketaatan menjadikan diri sebagai hamba 
Pencipta  dalam beramal secara lahiriyah sebagai pengabdian yang 
dikerjakan oleh tubuh untuk beribadat.
Ma’rifat menurut pandangan para Ahli Tashawwuf yaitu  
berarti mengenal Pencipta . Ada juga yang mengartikan mengetahui 
Pencipta  dari dekat dimana hati sanubari melihat Pencipta . Dalam 
hubungan ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata dalam 
syairnya:
Kulihat Pencipta ku dengan mata hatimu, dan akupun 
berkata: Tidak syak lagi Yang Engkau itu, yaitu  Engkau 
Pencipta ”.
Sedangkan Imam Al Ghazali memberikan ta’rif sebagai 
berikut:
المعرفة الطالع على اسرار الربوبية والعلم بترتب األمور االلهية المحيطة بكل 
المجودات
“Ma’rifat ialah mengetahui akan rahasia-rahasia Pencipta  
dan mengetahui peraturan-peraturan Pencipta  tentang segala yang 
ada”.
Oleh sebab  itu selanjutnya Imam Al Ghazali mengatakan:
المعرفة النظر الى وجه هللا تعالى
“Ma’rifat ialah memandang kepada wajah Pencipta ..”
Dalam kitab Ar Risalah Al Qusyairiyah dikatakan:
المعرفة هى الغيبة عن الغيرية بشهود االحدية
“Ma’rifat itu ialah lenyap dari segala yang lain, pada saat 
nampaknya Yang Maha Esa”.
Sebagian ahli-ahli Tashawwuf mengatakan:
مذ عرفت االله لم ار غيرا * وكذا لغير عندنا ممنوع
“saat  aku melihat Pencipta , tidaklah melihat yang lain, 
demikianlah yang lain, di sisi Kami tidak lagi dibolehkan”.
Pengertian ma’rifat dalam hubungan hamba dengan Pencipta  
yaitu  mempunyai arti penting dan merupakan kewajiban yang 
paling pokok. Firman Pencipta :
وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan 
untuk menyembah kepada-Ku (untuk mengenal Aku)”.
E. Mengenal Diri Mengenal Pencipta 
Seorang muslim dapat dipastikan akan mengatakan bahwa 
ajaran agamanya dimulai dengan sebuah ikrar secara lisan bahwa 
Asyhadu an lâ Ilâha illâ Allâh (Aku bersaksi bahwa tiada Pencipta  
selain Pencipta ), yang selanjutnya diikuti dengan kalimat Wa 
asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh (Dan aku bersaksi bahwa 
Muhammad yaitu  Utusan Pencipta ). Kedua-dua pernyataan ini  
sering disebut sebagai dua kalimat persaksian atau syahâdatain. 
Setelah diikrarkan dengan lisan, dua kalimat syahâdat ini wajib 
diyakini dalam hati, dan dinyatakan dalam perbuatan jika seorang 
mulism ingin menjadi orang mukmin dalam arti yang 
sebenarnya .
Ulama sepakat mengatakan bahwa asas atau pondasi ajaran 
Islam ialah keesaan Pencipta , Pencipta  tidak bersekutu, tidak pula 
tersamai atau terpadani Kemahakuasaan-Nya. Dia melarang siapa 
pun mengubah firman-Nya atau mencampuri ketetapan-Nya. 
Islam tidak mengenal Pencipta  yang berinkarnasi dalam diri 
makhluk-Nya, segala urusan ada pada-Nya. Sejumlah manusia 
telah dipilih menjadi rasul-rasul-Nya dengan tugas menyeru 
manusia untuk mengesakan-Nya baik dalam sifat (shifah), 
perbuatan (af’âl), nama (asmâ’), dan wujud-Nya (dzât). Inilah 
ajaran Tauhid Islam.
Ajaran tentang keesaan Pencipta  ini menjadi titik sentral 
semua ajaran yang berkembang dalam pemikiran Islam selama 
satu abad sepeninggal Nabi Muhammad saw, baik Ilmu Kalam, 
Ilmu Fiqh maupun Ilmu Tasawuf. Dari kalimat tauhid Lâ Ilâha 
illâ Allâh (Tiada Pencipta  selain Pencipta ) seperti disebutkan di atas, 
dalam Ilmu Tasawuf lahir kalimat-kalimat turunannya, seprti Lâ 
Ma’bûda illâ Allâh, Lâ Mahbûba illâ Allâh, Lâ Maujûda illâ 
Allâh (Tiada Yang Disembah kecuali Pencipta , tiada Yang Dicinta 
kecuali Pencipta , dan tiada Yang Ada kecuali Pencipta ).
Dalam konteks bagaimana cara mengenal Pencipta  yang Esa 
yang menjadi awal dan akhir seluruh aktivitas kehidupan muslim, 
dalam ajaran tasawuf, orang harus mengenal lebih dulu tentang 
dirinya sendiri. Katanya: “Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta , 
sedangkan terhadap dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab  itu 
katanya pula: “Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal 
kepada Pencipta .”
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf 
tentang manusuia yaitu  dijadikannya manusia sebagai tujuan 
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah 
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab  engkau dan bukan sebab  
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta 
ini). Engkau dalam hadis ini  tentu saja Muhammad saw, 
namun  Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi 
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu 
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya. 
Pandangan seperti disebutkan di atas telah dianut oleh beberapa 
sufi terkenal, seperti Ibn ‘Arabi (w.1240), Jalaluddin Rami 
(w.1273) Shadruddin al-Qunyawi (w.1274) dan ‘Abdul Karim al￾Jili (w.1403). 
Manusia, menurut Ibn ‘Arabi, yaitu  tempat tajalli Pencipta  
yang paling sempurna, sebab  manusia itu yaitu  al-kaun al-jami’ 
yakni dia merupakan sentral wujud yang dapat disebut alam kecil 
(mikrokosmos), yang padanya tercermin alam semesta atau alam 
besar (makrokosmos) dan tergambar padanya sifat-sifat 
KePencipta an. Dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi 
mengatakan bahwa benda-benda alam ini, dari yang terbesar 
sampai kepada yang terkecil, selalu ada bandingannya dalam diri 
manusia.63 Itulah sebabnya maka manusia disebut alam kecil dan 
alam semesta disebut alam besar. Oleh sebab  itulah manusia 
diangkat sebagai khalifah.64
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi 
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia 
dengan buah. Walaupun buah itu, tumbuh sesudah batang, dahan 
dan ranting, namun  pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk 
menghasilkan buah ini . sebab , sebuah pohon tanpa buah 
yaitu  pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat
Rasulullah saw saat  menggambarkan kesia-siaan ilmu yang 
tidak diamalkan. Oleh sebab  itu, manusia mempunyai kedudukan 
yang sangat tinggi dalam pandangan para sufi, baik dalam 
kaitannya dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya. 
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu  buah atau 
hasil akhir evolusi biologis alam. Ia yaitu  tujuan akhir 
penciptaan alam sendiri, selain itu manusia mengandungi seluruh 
unsur alam semesta, sebagaimana buah mengandungi seluruh 
unsur pohonnya, dari mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting, 
dan daun. Oleh sebab  itu, manusia dikatakan sebagai 
mikrokosmos. Lebih dari itu menurut Rumi, saat  manusia telah 
mencapai tujuan penciptaannya, manusia bukan lagi 
mikrokosmos, namun  makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi 
terakhir, manusia yaitu  yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan 
kompleksitasnya, yang dalam kitab suci kitab muslim  disebut ahsani 
al-taqwim. 65
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian 
diri. Di sini muncul ajaran tentang Nur Muhammad atau Hakikah 
Muhammadiyah. Menurut al-Hallaj, Nur Muhammad yaitu  asal 
atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan, 
dan ilmu pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah 
yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini, 
termasuk manusia, pada mulanya yaitu  dari Nur Muhammad.
66
Dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis: 
Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahaya￾cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya￾cahaya itu tidak ada asatu pun cahaya yang lebih cemerlang, 
gemerlap dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan 
(Muhammad saw). Cita-citanya lebih dahulu. Wujudnya 
lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Namanya lebih dahulu 
ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum 
makhlukmakhluk lain.67
Paham tentang Nur Muhammad ini juga berpangkal dari 
“hadis” yang sangat populer di kalangan ahli tasawuf, khususnya 
tasawuf falsafi, yang artinya: “Aku berasal dari cahaya Pencipta  dan 
seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Paham ini kemudian 
dikembangkan dan disebar luaskan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi 
dan Abd al-Karim al-Jili dalam kerangka ide al-Insan al-Kamil.68
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad tampak 
ada kemiripan dengan ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, 
teori terjadinya alam semesta dikenalkan oleh al-Farabi dengan 
mentransfer teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus, maka 
dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj 
dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad
atau Hakikah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang 
ada.

Makrifat Jawa
A. Pendahuluan
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati ditulis oleh 
Batakesawa pada tahun 1952. 69 Naskah ini  ditulis dalam 
bahasa Jawa dengan tujuan untuk ikut menyumbangkan pikiran 
bagi pembangunan akhlak bangsa Indonesia yang sudah bebas 
dari belenggu penjajahan. Bratakesawa merasa sedih melihat 
bermacam-macam perbuatan yang merugikan masyarakat dan 
Negara di era setelah kemerdekaan. Bahkan, beliau melihat 
banyak perbuatan masyarakat yang telah menyeleweng dari 
ajaran agama yang benar sesuai ajaran rasul. Beberapa aliran 
kebatinan yang tumbuh seperti jamur di musim hujan menjurus 
pada sikap saling menghujat dan mencela. Kenyataan seperti itu 
dikuatirkan berdampak buruk pada kehidupan sosial dalam 
berbangsa dan bernegara.70
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati terdiri dari tiga bab 
yang dipaparkan dalam 119 halaman. Bab pertama, membahas 
tentang Hakikat Zat Wajibul Maujud. Bab kedua, membahas 
tentang Azabil qabri wa yaumil qiyamah, dan Bab ketiga 
nenbahas tentang makrifatullah dan ghaibul maujud. Secara 
umum, naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati berisi tentang 
ajaran bagaimana cara mengenal Pencipta  Yang Maha Esa 
berdasarkan pemahaman yang menurut penulisnya dapat 
dipertanggungjawabkan sebab  berdasarkan dalil naqli dan 
diuraikan dengan rasional sesuai dalil aqli. Dua hal inilah yang 
membedakan karya Bratakesawa dari karya kebatinan lainnya.71
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati diuraikan dengan 
pemilihan kata yang tepat dan diperkaya dengan diksi, serta 
disusun dengan kalimat yang indah. Naskah ini diuraikan dalam 
bentuk soal jawab antara guru dan murid. Seluruh uraiannya 
mengandung ajaran tengan Pencipta , kematian, cara untuk 
mendapatkan pengetahuan tentang Pencipta , dan lain-lain tentang 
sesuatu yang gaib yang harus diimani.72
B. Biografi Penulis Naskah
Penulis Kuntji Swarga Miftaul Dajanati bernama 
Bratakesawa, lahir pada tahun 1897 di Wonopati, salah satu desa 
di Kecamatan Suwungalur, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI 
Yogyakarta. Saat masih kecil, ia lebih dikenal dengan nama Gatot 
Sastrodiharjo. Secara genealogis, ia merupakan keturunan dari 
Pujangga terkemuka Jawa dari Keraton Solo Raden Ngabei 
Ranggawarsita (1802-1873 M) dari jalur ayah, Raden Ngabei 
Wonosastro. Bratakesawa wafat pada 17 Oktober 1972 dalam 
usianya yang ke-75 tahun.73
Sebagaimana pada umumnya anak-anak pribumi di masa 
kolonial Belanda, Bratakesawa tumbuh berkembang dengan 
hanya mencicipi bangku pendidikan tingkat dasar, Sekolah 
Rendah (SR). Kendati begitu, Bratakesawa mampu memupuk 
kemampuan akademisnya dengan cukup baik meski dilakukan 
secara otodidak. Proses belajar demikian sangat dimungkinkan 
mengingat penguasaannya terhadap beberapa bahasa asing baik 
bahasa Belanda, Inggris, Bahasa Arab, termasuk bahasa 
Sanskerta. 
Kapasitas pengetahuan dan keluasan wawasan juga didapat 
melalui kepribadiannya yang cenderung mudah berinteraksi, 
bahkan dengan para akademisi yang dikenal menyandang status 
guru besar bidang keilmuan tertentu. Dua diantaranya yaitu  
Profesor Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967)74 dan Raden Mas 

Ngabehi Poerbatjaraka. 75 Tidak hanya dengan ilmuwan, 
interaksinya juga dibangun melalui keaktifannya pada sejumlah 
organisasi sosial-politik-keagamaan seperti Budi Oetomo, 
Teosofia, Perkumpulan Kawula Yogyakarta, Muhammadiyah, 
hingga Sarekat Islam.76 Sikapnya yang cenderung mudah bergaul 
dengan para ilmuwan dan keaktifannya di berbagai organisasi 
memungkinkannya menyerap ilmu pengetahuan dan wawasan 
secara luas.
Sementara itu, sebelum menelorkan berbagai karya 
pemikiran, Bratakesawa memulai karier formalnya sebagai Guru 
Bantu di Sekolah Rendah Negeri dan Pesantren Budi Luhur di 
wilayah Klaten, Jawa Tengah, pada tahun 1914. Lima tahun 
kemudian Bratakesawa merintis kariernya sebagai sekretaris 
kedua Insulinde Surakarta. 
Salah satu bakat yang cukup menonjol dalam diri 
Bratakesawa yaitu  tulis menulis dan jurnalistik. Bratakesawa 
diriwayatkan rajin menulis kolom dan artikel di sejumlah surat 
kabar baik terbitan harian, mingguan, ataupun bulanan. Bakatnya 
menulis mendorongnya meniti karier sebagai jurnalis pada 
sejumlah media cukup terkemuka dalam hampir sepanjang 
hidupnya. 
Pada tahun 1920 misalnya, Bratakesawa menjabat posisi 
komisaris sekaligus pemimpin redaksi Surat Kabar Sinar Harapan 
Yogyakarta. Bratakesawa juga aktif sebagai redaktur mingguan 
Pengunggah Yogyakarta yang dibina oleh R.M. Suwardi 
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), redaktur bulanan Putri Kediri
di Kediri Jawa Timur, redaktur Setya Tama di Yogyakarta, 
termasuk surat kabar mingguan Dunia Baru di Yogyakarta.77
Sejak bertugas di Klaten, Bratakesawa tercatat banyak 
berinteraksi dengan berbagai kelompok pergerakan maupun 
individu. Salahsatunya yaitu  tokoh pergerakan sekaligus 
pimpinan Sarekat Abangan pimpinan SI Delanggu, 
Mangunatmaja. Interaksi dan pergulatan pemikiran serta 
kemampuannya menulis mendorong produktifitas Bratakesawa 
dalam menulis sejumlah karya pemikirannya. 
Suwarno mencatat, sekurangnya ada  sembilan karya 
yang ditulis oleh Bratakesawa. Di antaranya yaitu, Bayanul 
Khaliq, Bayanul Haqq, Bayaanul Iman, Bayanul Maot, Salat
Da'im Mulat Salira; Wirid Iman, Tauhid, Makrifat, Islam; Suluk 
Sangkan Paran, Falsafah Suka-Sungkawa; dan Kunci Swarga 
(Miftahu’l Djannati). Namun, dari seluruh buku ini , Kunci 
Swarga tampaknya yang paling populer sebab  cukup mewakili 
pemikiran sang penulisnya. 78 Analisis Harun, pentingnya buku 
ini  sebab  di dalamnya, Bratakesawa menyampaikan 
pemikiran-pemikirannya tentang Pencipta  dan manusia. 
Bratakesawa sendiri menjelaskan, buku terakhir ditulis sebagai 
kontribusinya bagi perbaikan moral bangsa Indonesia yang baru 
lahir pasca terbebas dari kolonialisme. 
Harun Hadiwijono--doktor ilmu teologi, pendeta, dan 
penulis sejumlah buku tentang Kristen--memposisikan 
Bratakesawa masuk ke dalam jajaran tokoh Kebatinan. Ia 
membahas sosok dan ajaran Bratakesawa ke dalam salah satu 
bagian dari bukunya ”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada 
penilaian Imam Supardi bahwa karya Bratakesawa ”berlainan 
sekali dengan tulisan-tulisan tentang kebatinan yang lain”, 
Hadiwijono menyimpulkan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh 
kebatinan dan ajarannya merupakan doktrin kebatinan.79
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria 
(KOS), dalam buku ”Menyongsong Sang Ratu Adil: 
Menyongsong Sang Ratu Adil” menempatkan ”Serat Kuntji 
Swarga” karya Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan 
Jawa. 80 Karya tulis Bambang Noorsena ini kurang 
mengetengahkan model pembahasan yang tertib dan 
argumentatif. Untuk sebuah tulisan yang berusaha mengungkap 
relasi antara Kekristenan dan Kejawen, karya ini justru gagal 
mendefinisikan makna ”kebatinan” maupun ”kejawen” itu 
sendiri. Kegagalan terminologis ini selanjutnya secara signifikan 
berpengaruh terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap 
entitas yang diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Di 
antara konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena 
sering menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa 
mengacu pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi 
bagi teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas 
Kristen dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud 
lahir dari konsepsi Islam.
C. Terjemah Naskah
Pada sub bab ini penulis sajikan terjemahan buku Kuntji 
Swarga Miftahul Djanati yang penulis adaptasi dari terjemah bebas 
Pujo Prayitno. Naskah asli ditulis dengan huruf latin dalam bahasa 
Jawa. Naskah penulis terjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa 
Indonesia sesuai sistematika penulisan naskah asal, yaitu terdiri dari 
tiga bab yang dinarasikan dalam bentuk dialog, tanya jawab antara 
Mudadama dan Wredadama.
PRAWACANA
Bismi’llahi’ rrahmani’rrahiem
Atas asma Dalem Gusti Pencipta  ingkang maha Mirah ingkang 
Maha Asih.
KULA NUWUN, anggen kula cumantaka ngripta serat “Kunci 
Swargo (miftahul jannati) punika, boten saking bade ngongasaken 
kalangkungan kula ing babagan falsafah tuwin tashawwuf adedasar 
Islam, ingkang kula pancen boten gadah kalangkungan babagan 
punika, sayektosipun namung saking kaderenging achlaq, tumrap 
bangsa kita ingkang sampun uwal saking penjajah punika.
Saking pamanah kula: mubalipun panindak warni-warni 
ingkang mitunani masyarakat tuwin praja, ngrebdanipun panindak 
nyulayani wulangan agama ingkang dipun siyaraken para Rasul, 
tuwin tuwuhipun grombolan “Kabatosan” pinten-pinten ingkang sisip 
sembiripun cacad-cinacad: andadosaken karingkihaning bangsa, 
punika boten sanes, jalaran kita kesupen dating ingkang sinebut asma 
Pencipta .
Jalaran saking punika, amila serat punika, boten sanes inggih 
namung bade isi andaran iktikad ingatasipun pangeran ingkang 
Maha Esa, miturut salah satunggaling paham. Pangandaripun 
adedasar dalil naqli (kitabing Pangeran) tuwin dalil ‘aqli (akal 
pikiran) sagadugipun ingkang ngandaraken. Punapa dene kaurutaken 
wiwit saking tataran iman(percaya ingkang boten namung tiru-tiru) 
dumugi tataran ma’rifat (weruh, ingkang sanes weruhing netra), 
kagubah ing basa Ngoko adapur soal-jawab, dados 3 bab.
Sarehning ingkang kula andaraken punika nama satunggaling 
paham, amila saupami wonten ingkang boten nyuwaweni jalaran 
ngrungkebi paham sanes, nuwun inggih boten aneh. Ewadene kula 
inggih ngunjukaken suka sukur kula ing Pangeran dene serat punika, 
boten ketang namung panda latu sapelik, meksa wonten ingkang 
rumaos kasuluhan, katitik saking datenging serat-serat saking para 
maosipun “Kunci Swarga”, ingakang sami mratelaken mareming
panggalihipun.
Nalika manitra ( cap-capan I ) sinangkalan: Tri Murti Salira 
Nabi 1883 Jawi = 1952 Masehi








URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT 
(BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L AQIYAAMATI)
1. kartosuwiryo : 
Kak, saya sangat mengharapkan pemberian penjelasan Kakak 
dalam saya mohon keterangan tentang yang dimaksud dari Lafal: 
“Laa ilaha ilaPencipta  Muhammadun Rasuulullah: serta tentang se 
Wayang yang ingin bertemu dengan yang Nanggap (Bab I No.38) 
kemarin malam itu. Sebaiknya dimulai sekarang saja, senyampang 
masih sore, longgar waktunya.
soebandrio : 
Aku setuju saja, sekehendakmu, dimulai ya silahkan. Tapi saya 
ingin bertanya terlebih dahulu, apakah kamu sudah benar-benar 
mengerti penjelasan tentang “Purusha dan Isywara itu?
2. kartosuwiryo : 
Menurut perasaanku sudah benar-benar mengerti, hanya saja agar 
lebih paham pengertianku, seandainya “Purusha” itu disebut 
“Pencipta nya setiap diri manusia” dan “Isywara” itu desbut “Pencipta ￾nya orang umum, bagaimana?
soebandrio : 
Jika kejelasan pemahamanmu harus kamu sebut demikian, juga 
bisa, akan namun  tidak umum, Pada umumnya seseorang 
menyebutnya, serta tertulis dalam A;-Qur’an, ya hanya berbunyi 
Pencipta , itu saja, tidak ada tambahan Individueel atau algemeen. 
Akan namun  jika mau memperhatikan, sebenarnya di Qur’an ada 
kalimat yang artinya Pencipta  atau Pencipta , yaitu kata “RABB” 
*Rabbun), yang terperinci menjadi:
Rabbi = Pencipta ku
Rabbana = Pencipta  kami (Pencipta  kita)
Rabbihim = Pencipta  kami (Pencipta  kita)
Raabika = Pencipta mu
Rabbikum = Pencipta  kamu 
Rabbahu = Pencipta nya 
Rabbahum = Pencipta  mereka
Sehingga dalam sebetunmu tadi, walau pun tidak umum, akan 
namun  tidak salah. Hanya saja harus ingat, bahwa Pencipta  tiap 
masing-masing orang itu hanya bayangannya Alla-nya manusia 
pada umumnya itu tadi. An harus memahami, bahwa sang pemilik 
bayangan itu tidak terbayangkan, sehingga bayangannya juga tidak 
terbayangkan. Jika masih bisa dibayangkan, jelas salah.
3. kartosuwiryo : 
Iya, iya, Kak. Sekarang pemahamanku semakin terang. Jika 
demikian, kalimat “Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, 
waman ‘arofa rabbahu faqad jahila nafsahu” yang disampaikan di 
depan (Bab I No.36) itu lebih cocok seumpama di ganti: “Waman 
‘arafa Rabbahu faqad ‘arafa Pencipta u, waman ‘arafa Pencipta u fadad 
jahila nafsahu” = Barangsiapa mengetahi Pencipta nya sendiri, 
sebenarnya  mengetahui Alalah, sing sapa mengetahui Pencipta  
sungguh bodh dirinya itu.
soebandrio : 
Nah, sekaran ini kamu sudah pintar. Kalimat itu sebenarnya 
petikan dari Hadits, akan namun  bukan hadits yang syah(shahih atau 
qudsi) alias hanya ciptaanya seorang sarjana sendiri saja, sehingga 
boleh saja kamu rubah seperti itu. Justru aku lebih memilih yang 
kamu rubah itu, sebab, kata “nafsahu” (dirinya) yang depan itu, 
jika salah pemahamannya, bisa menyebabkan sesat.
Sekarang saya akan bertanya lagi, jika kamu sudah benar-benar 
mengerti tentang yang kita bicarakan ini, biasanya ada buktinya di 
dalam hatimu. Yaitu merasa Tegar, Kuat, bukan percaya kepada 
yang tidak ada buktinya, tidak mudah terpengaruh (Bab I No.26), 
bertambah baktinya kepada Pencipta , benar tindakannya, cinta 
kepada sesamanya (Bab I No.35), tenteram, longgar, selalu sabar 
dan syukur, giat berikhtiar akan namun  pasrah, dan sifat yang lain￾lainnya yang terpuji. Jika diringkas menjadi satu kata, Hidup 
terkuasai oleh ....... Cinta. Sehingga benarlah kalimat yang 
berbunyi God is liefd. Nah, apakah kamu sudah ada perasaan 
kenikmatan yang seperti itu? Walau pun belum 100% atau 50%, 
tidak mengapa. Kadang juga sudah ada buahnya saja sudah sangat 
beruntung, berkembangnya akan ditemukan di belakang.
4. kartosuwiryo : 
Ooo, Kakakku! Tentulah Kakak tidak akan salah terka. Menurut 
perasaanku, perubahan di dalam sanubariku itu sudah ada, namun 
jika diibaratkan biji baru tumbuh atau baru bersemi, entah baru 
baru berapa persennya.
Namun, saya terlebih dahulu menyela untuk mohon keterangan 
terlebih dahulu, tentang “Cinta” yang berkuasa itu tadi. Tentunya 
akan menjadi orang passief (terserah apa adanya) dan reaksioner 
(musuh perkembangan) dalam kehidupan bermasyarakat. 
Sedangkan ilmu Hakikat itu, menurut yang Kakak sampaikan: 
bermanfaat dan menyelamatkan di dunia dan di akhirat (Bab I 
No.2). Menurut pemahamanku “Dunia” itu juga termasuk 
masyarakat ini, tidak bisa bila dunia hanya diartikan sebagai 
sebuah Gua bagi orang yang sedang bertapa, menjauhi kehidupan 
bermasyarakat.
soebandrio : 
Sudah benarlah pemahamanmu tentang kata “Dunia” . namun  
tentang pemahamanmu bahwa orang yang terkuasai oleh “Cinta” 
akan menjadi pasif dan reaksioner itu masih salah. sebab  “Cinta” 
itu seharusnya justru .... Revolusioner, bahkan kadang .... ultra 
revoluisoner. Seperti halnya para Rasul saat  menjadi Senopati 
Perang, itu disebab kan terkuasai oleh “Cinta”, bukan 
ddisebab kan menuruti hawa nafsunya.
Contohnya lagi, saat  Satria Rama memebantu atas permintaan 
Sugriwa untuk membunuh Subali. saat  Subali hampir lepas 
nyawanya, tiba-tiba mengeluarkan tuntutannya, mengapa Satria 
Rama ikut campur pertengkaran antar saudara? Jawaban dari Satria 
Rama: Mengapa saya membunuhmu sebab  terdorong rasa “Cinta” 
agarkamu tidak semakin tersesat dalam kubangan kesalahan.
Hal itu, rasakanlah! Tentunya kamu mengira itu hal yang aneh, 
mengapa membunuh justru terdorong oleh rasa “Cinta”. sebab  
pada umumnya membunuh itu sebab  terdorong sebab  marah dan 
kebencian. Akan namun  bagi para Rasul, bukan hal yang aneh. Jika 
tidak demikian, justru sangat aneh. Seperti itulah tindakan Satria 
Rama itu tadi. Oleh sebab  Satria Rama itu diceritakan sebagai 
titisan Awatara (Kata Sanskrit “Avatara” juga dimaknai utusan 
Pencipta  – Rasul).
Selanjutnya: Para pencari Hakikat, harus selalu mengoreksi dan 
mengawasi “Hatinya sendiri” dan berlatih diri agar segala 
tindakannya berdasarkan “Cinta” Tidak perduli saat  berada di 
tengah-tengah kehidupan amsyarakat, atau sedang berada di dalam 
Gua. Sedangkan berada di tempat yang sepi dan kosong pun jika 
tindakannya belum dilandasi rasa “CINTA”, tidak bakalan bisa 
untuk bisa mencapai Ilmu Hakikat.
Sedangkan untuk mebjalankan perbuatan yang berlandaskan 
“Cinta” itu tadi, jika menurut ajaran Sri Kresna kepada Sang 
Harjuna, yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, dikatakan: 
“Melakukan yang tidak melakukan” Dalam Bahasa Arab, singkat
saja, hanya dua suku kata, yaitu “Ikhlas. Maksudnya, tidak punya 
pamrih, selain hanya sebab  Pencipta , atau sebab  “Cinta”.
5. kartosuwiryo : 
Itu, Kak!! Walau pun bagiku baru menjadi gambaran saja, namun 
sudah membuat terangnya pikiranku. Sekarang Kakak agar 
berkenan memberikan penjelasan tentang Kalimat dua yang saya 
mohon untuk dijelaskan kemarin itu.
soebandrio : 
Untuk makna atau bahasa Indonesia, kamu tentunya sudah 
mengerti, benar kan?
“Laa ilaha IllaPencipta  = Tidak ada Pencipta  kecuali hanya Pencipta .”
“Muhammadun Rasuulullah = Muhammad utusan Pencipta .”
Jika lafat ini  ditambahi “Asyhadu anna” (Aku bersaksi 
dengan sebenarnya) barulah disebut “Kalimat Syahadat” (Kalimat 
persaksian).
Nah, itu di pelajaran “Aqaid, sudah diterangkan dengan jelas 
tentang Sifat-Sifat Pencipta  dan Sifat-sifat Rasul-Nya. Kamu 
tentunya kan sudah mengetahui?
Sifat wajib Pencipta  itu 20, mokalnya 20, Wenang 1, jumlahnya 41, 
sudah saya jelaskan di depan (Bab I No.21,22,34)
Sedangkan sifat Rasul itu:
Sifat wajibnya 4, yaitu Sidiq + Jujur, Amanah = bisa dipercaya, 
tabligh = menyampaikan perintah Pencipta , Fathanah = Bijaksana.
Mokalnya juga 4, yaitu: Kidzib + dusta, Chiyanat = berkhianat, 
ingkar, Kitman = Mengurangi