sangkan paraning dumadi 3
By tuna at November 29, 2023
sangkan paraning dumadi 3
meminta penjelasan atas keyakinanmu,
namun belum merasa jelas, maka jelaskanlah, jangan suka
menyimpan ilmu. Memberi tongkat kepada orang yang
melewati jalan yang licin itu termasuk perbuatan utama.
3. Sudahlah, sekarang kamu istirahatlah terlebih dahulu.
36. kartosuwiryo :
Memang saya ingin memohon penjelasan tentang Kalimah
Syahadat, serta tentang si Wayang yang ingin bertemu dengan
yang menanggap tadi. Kak, memang pada umumnya seperti itu.
Namun sebab penjelasannya agak panjang, makanya saya
bersabar sampai besok sore saja. Sekarang saya hanya ingin
memohon dijelaskan tentang perintah Kakak, itu tadi.
I. Otak baiknya dipergunakan dalam pembicaraan tiap harinya
itu: hanya sebab tidak ada manfaatnya saja, apa
sebenarnya ..... ada Tuah. Atau Halatnya?
II. Mengapa, bahwa sesuatu yang benar, namun tidak bisa
dibuktikan?
III. Apakah kita ini tidak berkewajiban menyebarkan ilmu yang
menurut keyakinan kita: sangat besar manfaatnya?
soebandrio :
Saya menurut saja, penjelasan tentang Kalimat Syahadat dan
tentang yang satunya itu tadi, sabarlah sampai besok sore. Namun
pahamilah olehmu, tentang keyakinan itu, bukan berdasarkan
pendapat umum, tidak harus menang stem. Looo!!
Sedangkan pertanyaan I. II, III, itu semua, pendapatku begini:
Jawaban pertanyaan I: Kata Halat itu ada dua macam yaitu:
a. “Halat” yang sama dengan kata Jawa “Walat” itu artinya Tulah
sarik. Nah itu tidak ada walatnya sedikit pun. Ilmu KePencipta an
itu tidak ada yang menyebabkan tampa tulah sarik /kuwalat
(bsia mendapatkan musibah), bagi yang membicarakannya dan
bagi yang mendengarkannya. Walau pun demikian,
membicarakan keyakinan dengan terang-terangan seperti ini,
tetap kurang baik jika dibicakan dalam pembicaraan sehari-hari,
artinya dibicarakan dengan siapa saja. Harus dengan cara
dipilih-pilih, dengan siapakah untuk dibicarakan.
b. “Halat” yang berasal dari Bahasa Arab “Ghalath” itu artinya
kekeliruan. Nah, itu memang benar, sebab kebodohan dari
yang mendengarnya atau yang membicarakannya, bisa
menyebabkan adanya kekeliruan, seperti contohnya ..........
mengaku Pencipta itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke II: Sesuatu yang benar dan nyata, namun
tidak bisa dibuktikan, itu bukan sesuatu yang aneh kan? Apakah
kamu bisa membuktikan saat kamu bermimpi naik pangkat,
walau pun benar kamu bermimpi seperti itu? Apakah kamu bisa
membuktikan kamu lupa saat janjian, walaupun benar kamu
memang lupa?
Sedangkan kepercayaan (Iman) dan keyakinan (Iktikad) menurut
ilmu itu, yang disebut benar: “Jika mempergunakan pedoman dua
macam:
a. Dalil Naqli (nukil=petikan) maksudnya menggunakan dasar
kutipan dari Kitab Pencipta . Namun sebab ajaran itu banyak
yang menggunakan ibarat atau contoh, sehingga untuk
memahaminya tidak harus semuanya di terima letterlijk (apa
adanya).
b. Dalil “Aqli (akal pikiran), artinya yang bisa disaksikan oleh
akal dan pikiran manusia, yang bebas dari pengaruh.
Sedangkan akal dan pikiran itu bermacam-macam warna dasar
dan ukurannya, sehingga berbeda-beda pula pendapatnya.
Coba pikirkan: Yang hanya menggunakan pedoman dua macam
warna saja, pendapatnya berbeda-beda. Apalagi jika yang satu
menggunakan dasar satu warna, dan yang satunya tidak
menggunakan dasar sama sekali ..... tentulah tidak akan sama
pendapatnya!! Padahal antara yang satu dengan yang satunya,
sama-sama tidak bisa membuktikan kebenaran pendapatnya itu
tadi, seperti halnya tidak bisa saat membuktikan kebenaran
“mimpi” dan kebenaran “lupa” itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke III: Jika berdasar Ilmu Jawa yang dalam
bahasa luar “psychologie” Kodrat manusia itu ketempatan watak
mencari teman. Sehingga saat menyebarkan ilmunya yang
dikira bermanfaat kepada yang lain, itu tidak lain hanya sebab
watak untuk mencari ....... Teman itu tadi. Sedangkan ilmu yang
dikira bermanfaat itu, bagi yang gmenyebarkan beranggapan
benar, akan namun golongan lain bisa juga menganggap tidak
benar dan tidak baik.
Seandainya ilmu yang sebarkan itu kepada golongan manusia
yang sebagian besar sekali menganggap benar dan baik
sungguhan itu, manfaatnya tidak lain hanya ...... kehidupan
bersama di alam dunia ini. Sama sekali bukan syarat mutlak
dalam mengabdi kepada Pencipta , artinya, Bukan pekerjan wajib.
Sedangkan yang ermasuk pekerjaan wajib bagi kita ini: hanya
yang diwajibkan di dalam A;-Qur’an: Wamaa chalaqtu aljinna
wal insa illa lya’buduuni (Adz-Dzariyat 56 = Tidak menciptakan
Ingsun (Pencipta ) jin dan manusia, hanya agar menjalankan ibadah).
Sedangkan bagi yang berniat menyebarkan ilmunya tentang KePencipta an, termasuk ibadah itu tadi. Perintah Qur’an begini:
Wamaa anta bihaadie al’umyi ‘an dlalaalatihim intusmi’u illa man
jun’minu bisyastinaa fahum muslimuuna (An Naml 81 = dan
kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada orang buta hatinya
sebab sesatnya, selain orang yang percaya kapada ayatayatIngsun (Pencipta ) dan berserah diri kepada Ingsun itu yang mau
mendengarkan).
Sehingga: Menyebarkan ilmu itu boleh saja. Namun jika sudah
jelas diingini. Bertutur kta dengan siapa saja, untuk meningkatkan
ilmu dan menjernihkan pendapat, itu baik, namun berbantahan ‘
berebut benar” jangan!!!
Sudah, sekarang istirahatlah, aku juga akan beristirahat. Besok
sore dilanjutkan lagi.
Upaya manusia untuk mengenali dirinya dan memahami
keberadaan Pencipta di antara semua makhluk yang tergelar di
jagad raya telah membawanya pada pengembaraan yang tak
pernah berhenti. Pertanyaan tentang bagaimana kehidupan ini
terjadi, dari mana asalnya, dan akan ke mana tujuan perjalanan
hidup setiap individu terus menggelinding dari zaman ke zaman
sesuai keyakinan dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Pengembaraan ini melahirkan pelbagai pengalaman spiritual
tentang Pencipta , manusia, dan alam, serta bagaimana hubungan
yang terjadi, baik yang tersimpul dari interpretasi wahyu,
pemikiran filsafat, maupun tradisi budaya, seperti makrifat dan
wahdatul wujud dalam tasawuf, panteisme dalam filsafat, dan
manunggaling kawula gusti dalam spiritualisme Jawa.
Pengalaman-pengelaman spiritual ini kemudian
menjadi suatu pemahaman yang unik, tidak seperti konsep ajaran
yang terlahir dari pemikiran filosofis ansich, tapi merupakan
perpaduan dari hasil olah pikir dan olah batin sekaligus. Konsep
manunggaling kawula gusti yang terlahir dari penghayatan
spiritual orang Islam Jawa misalnya, mempunyai karakteristik
tersendiri yang seakan berbeda dengan sufisme Islam. Namun jika
ditelusuri secara mendalam didapati berbagai kesamaan, baik segi
teori, praktik, maupun pengalaman kerohaniannya.1
Dalam rangka untuk bisa sampai ke pengalaman
kerohanian yang tinggi, di Jawa ada satu ajaran yang harus
dipahami sebagai pintu pembuka, yaitu sangkan paraning
dumadi. Ajaran ini merupakan bagian dari spiritualisme Jawa
yang bertujuan menuntun manusia untuk mengenal Pencipta dengan
cara menelusuri alur atau jalan kehidupannya, yaitu dengan
mencari, mengenali, menghayati, dan menyadari asal usul
kehidupan, perjalanan hidup, dan tujuan hidup di dunia ini sampai
dapat menemukan kembali dan berjumpa dengan Pencipta yang
menciptakannya.2
Puncak kemenangan hidup ideal manusia Jawa
yaitu tumbuhnya kesadaran tentang siapa sejatinya diri ini,
sangkan paraning dumadi dan pengalaman kemanunggalan3
.
Ajaran sangkan paraning dumadi terekam dengan baik
dalam naskah-naskah Islam kejawen, seperti Serat Dewa Ruci,4
Serat Wirid Hidayat Jati,5
Serat Wulangreh6
, Serat Centini7
, dan
lain sebagainya. Ajaran ini boleh dibilang sebagai ajaran
“kebatinan” yang hanya dapat dipahami melalui ketajaman rasa
dalam hati. Naskah-naskah yang mengandung ajaran kebatinan
ini dikatakan sebagai naskah Islam kejawen sebab pesanpesan yang disampaikan menunjuk pada sebuah etika dan cara
hidup orang Islam yang diilhami oleh pemikiran intuitif Jawa.8
Secara umum, kandungan naskah-naskah mistik Islam
kejawen yang diwedar di kalangan masyarakat Jawa, pada awal
pembicaraannya selalu membahas satu bab tentang pengenalan
diri. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Bratakesawa dalam
buku Kunci Swarga Miftahul Djanati. Dalam naskah ini
Bratakesawa menguraikan bab “mengenal diri” dengan
terminologi Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”. Pembahasan ini
dijabarkan dari satu ungkapan “siapa yang mengenal dirinya,
maka dia mengenal Pencipta nya”. Seseorang baru bisa mengenal
Pencipta setelah ia mampu mengenal dirinya, dalam artian
mengenal asal kejadiannya.9
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati yaitu salah satu
produk Islam Kejawen, mengajarkan spiritualisme Islam, yakni
tasawuf dengan menggunakan bahasa dan rasa orang Jawa.
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati, menerangkan ajaran
sangkan paraning dumadi sebagai bagian dari ilmu
kasampurnan,
10 yakni ilmu kasunyatan, ilmu untuk mencapai
tingkat kesempurnaan hidup.11 Hidup yang sempurna ialah hidup
yang memiliki kesadaran akan wujud diri ini sebagai manifestasi
dari Yang Maha Wujud. Bahasa tasawuf menyebutnya insan
kamil atau manusia sempurna. Kesempurnaan hidup dihayati
dengan seluruh kesempurnaan cipta-rasa-karsa. Dengan
demikian, manusia sempurna ialah yang telah mengenal dirinya,
menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang Jawa sering
menyebut mulih mula mulanira atau kembali manunggal dengan
penciptanya
Kehidupan dewasa ini telah berkembang menjadi
sedemikian materialistis. Orang berlomba-lomba mendapatkan
materi sebanyak-banyaknya, sebab dengannya manusia merasa
diri sukses, terhormat, dan terpandang. Akibatnya, manusia
(modern) sering bertindak tanpa kontrol demi jabatan dan
kesenangan, nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, manusia
cenderung semakin individualistis dan materialistis, bahkan
hedonis, manusia menjadi lupa akan jati diri yang sebenarnya.
Secara tidak sadar manusia modern justru diperbudak oleh
modernitas yang memenjarakan jiwanya. Dari sinilah
kompleksitas gejala negatif bagi kemanusiaan dimulai. Secara
kolektif manusia mengalami gejala keterasingan jiwa (alienasi)
atau keterbelahan jiwa (split personality). Dalam konteks yang
demikian, sains dan teknologi industri memicu munculnya proses
de-humanisasi secara akut. 13
Apabila manusia sudah menderita split personality, ia tidak
lagi memiliki kesadaran tentang relasi antara eksistensi dirinya
dengan Pencipta yang menciptakannya, saat itu pula manusia
berada dalam keadaan yang sama seperti mati. Itulah, mengapa
ajaran mengenal diri memiliki nilai yang amat penting dan
berharga. Kesadaran akan hakikat dirilah yang membangunkan
manusia modern dari sikap berputus harapan, yang dapat
menggerakkannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Manusia modern merasa rindu akan nilai-nilai universal,
yaitu nilai-nilai kePencipta an yang telah dibawanya sejak ia
diciptakan. Kenyataan yang demikian sejalan dengan prediksi
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave.
14 Pandangan yang
serupa juga disampaikan oleh John Naisbitt dan istrinya Patricia
Aburdence yang mengatakan bahwa pada abad ke-21 terjadi
kebangkitan agama yang disebutnya dengan istilah The Age of
Religion.15 Hal ini disebab kan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern tidak memberikan makna yang tepat tentang kehidupan
sehingga di zaman ini muncul istilah Turning to the East, sebagai
penomena bahwa agama akan mengalami kebangkitan. 16 Itulah
sebabnya akhir-akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke Turki,
India, Tibet, Srilangka, Cina, dan Jepang untuk menggali tradisi
kearifan spiritual yang berakar dari ajaran Sufisme, Hinduisme,
Budhisme Zen, dan Taoisme, dalam rangka mencarai harmoni diri
(the universal harmony) serta makna dan hakikat kehidupan17
.
Di Nusantara, the universal harmony dapat dicapai oleh
orang Jawa dengan membangun suatu kepercayaan bahwa Pencipta
yaitu pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Pusat
yang dimakusd dalam pengertian ini yaitu yang dapat
memberikan keseimbangan dan kestabilan dan juga kehidupan
yang terhubung antara kawula lan Gusti. Pemikiran ini
melahirkan kesadaran mistis orang Jawa yang beranggapan
bahwa kewajiban moral manusia yaitu mencapai harmoni
dengan kekuatan terakhir sehingga sampai pada kesatuan terakhir
dengan cara menyerahkan diri secara total selaku hamba (kawula)
terhadap sang pencipta (Gusti). 18
Kepercayaan bahwa Pencipta yaitu Pusat alam semesta dan
Pusat Kehidupan dibangun melalui satu ajaran yang lumrah
disebut sebagai sangkan paraning dumadi. Ajaran ini merupakan
bagian dari kawruh bejo, yaitu menggapai kesempurnaan dan
kebahagiaan sejati. “seseorang bisa mencapai kawruh bejo harus
melalui beberapa tahap di antaranya yang terpenting ialah mulat
saliro, artinya mawas diri, tahu jati diri pribadi.“19
Berangkat dari problematika di atas, sangat menarik untuk
dilakukan suatu kajian yang mendalam, membedah kembali nilainilai spiritual lokal yang relevan dengan kebuPencipta manusia
modern khususnya masyarakat Islam Jawa. Nilai-nilai spiritual
yang demikian dapat ditelusuri dalam lembaran-lembaran naskah
Islam kejawen. Di antara naskah-naskah ini yang cukup
representative dan digemari oleh masyarakat Jawa ialah Kunci
Swarga Miftahul Djanati. Naskah ini bahkan mengandung
beberapa hal penting terkait pandangan-pandangan falsafi dalam
ranah tasawuf. Sejumlah terminology sufistik juga digunakan,
misalnya Nur Muhammad, ma’rifah, mengenal diri, mematikan
diri, musyahadah, martabat tujuh,20 dan lain sebagainya selaras
dengan tasawuf falsafi yang sudah mafhum, dikenal dalam
pelbagai sumber yang otoritatif. Kajian ini berjudul ILMU
MAKRIFAT JAWA SANGKAN PARANING DUMADI
(Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam
Kejawen Kuntji Swarga Miftahul Djanati)
C. Permasalahan
Focus kajian ini yaitu mengeksplorasi nilai-nilai spiritual
Islam kejawen sangkan paraning dumadi dalam naskah Kunci
Swarga Miftahul Djanati dari sudut pandang ajaran tasawuf
“mengenal diri”. Dengan demikian, maka rumusan masalah
kajian ini yaitu : Bagaimana ajaran mistik Islam Kejawen sangkan paraning dumadi dalam buku Kunci Swarga Miftahul
Djanati menurut perspektif ilmu tasawuf?
D. Tujuan dan Signifikansi
Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini yaitu
mengeksplorasi ajaran Islam kejawen sangkan paraning dumadi
dalam buku Kunci Swarga Miftahul Djanati dan menganalisisnya
dengan teori ilmu tasawuf mengenal diri
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini
yaitu :
1. Secara historis, diharapkan bermanfaat untuk memperkaya
pengetahuan bahwa dalam khazanah Islam di Nusantara
ada ajaran mengenal diri yang tertuang dalam naskah
klasik Islam Kejawen yang masih eksis sampai hari ini
2. Secara praktis manfaat kajian ini pertama, hasil analisis
kajian ini bisa menjadi informasi yang dapat memenuhi
kebuPencipta manusia modern yang mencari solusi alternative
guna mengatasi kegelisahan yang dideritanya akibat
kehilangan nilai-nilai kepribadiannya. Kedua, diharapkan
menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah, lembaga
atau perorangan saat mengambil kebijakan atau langkah
dalam pembinaan kehidupan umat beragama, khususnya
umat Islam
E. Teori Mengenal Diri
Seorang muslim dapat dipastikan akan mengatakan bahwa
ajaran agamanya dimulai dengan sebuah ikrar secara lisan bahwa
Asyhadu an lâ Ilâha illâ Allâh (Aku bersaksi bahwa tiada Pencipta
selain Pencipta ), yang selanjutnya diikuti dengan kalimat Wa
asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh (Dan aku bersaksi bahwa
Muhammad yaitu Utusan Pencipta ). Kedua-dua pernyataan ini
sering disebut sebagai dua kalimat persaksian atau syahâdatain.
Setelah diikrarkan dengan lisan, dua kalimat syahâdat ini wajib
diyakini dalam hati, dan dinyatakan dalam perbuatan jika seorang
muslim ingin menjadi orang mukmin dalam arti yang
sebenarnya .
Ulama sepakat mengatakan bahwa asas atau pondasi ajaran
Islam ialah keesaan Pencipta , Pencipta tidak bersekutu, tidak pula
tersamai atau terpadani Kemahakuasaan-Nya. Dia melarang siapa
pun mengubah firman-Nya atau mencampuri ketetapan-Nya.
Islam tidak mengenal Pencipta yang berinkarnasi dalam diri
makhluk-Nya, segala urusan ada pada-Nya. Sejumlah manusia
telah dipilih menjadi rasul-rasul-Nya dengan tugas menyeru
manusia untuk mengesakan-Nya baik dalam sifat (shifah),
perbuatan (af’âl), nama (asmâ’), dan wujud-Nya (dzât). Inilah
ajaran Tauhid Islam.
Ajaran tentang keesaan Pencipta ini menjadi titik sentral
semua ajaran yang berkembang dalam pemikiran Islam selama
satu abad sepeninggal Nabi Muhammad saw, baik Ilmu Kalam,
Ilmu Fiqh maupun Ilmu Tasawuf. Dari kalimat tauhid Lâ Ilâha
illâ Allâh (Tiada Pencipta selain Pencipta ) seperti disebutkan di atas,
dalam Ilmu Tasawuf lahir kalimat-kalimat turunannya, seprti Lâ
Ma’bûda illâ Allâh, Lâ Mahbûba illâ Allâh, Lâ Maujûda illâ
Allâh (Tiada Yang Disembah kecuali Pencipta , tiada Yang Dicinta
kecuali Pencipta , dan tiada Yang Ada kecuali Pencipta ).
Dalam konteks bagaimana cara mengenal Pencipta yang Esa
yang menjadi awal dan akhir seluruh aktivitas kehidupan muslim,
dalam ajaran tasawuf, orang harus mengenal lebih dulu tentang
dirinya sendiri. Katanya: “Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta ,
sedangkan terhadap dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab itu
katanya pula: “Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal
kepada Pencipta .”
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf
tentang manusuia yaitu dijadikannya manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab engkau dan bukan sebab
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta
ini). Engkau dalam hadis ini tentu saja Muhammad saw,
namun Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya.
Pandangan seperti disebutkan di atas telah dianut oleh beberapa
sufi terkenal, seperti Ibn ‘Arabi (w.1240), Jalaluddin Rami
(w.1273) Shadruddin al-Qunyawi (w.1274) dan ‘Abdul Karim alJili (w.1403).
Manusia, menurut Ibn ‘Arabi, yaitu tempat tajalli Pencipta
yang paling sempurna, sebab manusia itu yaitu al-kaun al-jami’
yakni dia merupakan sentral wujud yang dapat disebut alam kecil
(mikrokosmos), yang padanya tercermin alam semesta atau alam
besar (makrokosmos) dan tergambar padanya sifat-sifat
KePencipta an. Dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi
mengatakan bahwa benda-benda alam ini, dari yang terbesar
sampai kepada yang terkecil, selalu ada bandingannya dalam diri
manusia.21 Itulah sebabnya maka manusia disebut alam kecil dan
alam semesta disebut alam besar. Oleh sebab itulah manusia
diangkat sebagai khalifah.22
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia
dengan buah. Walaupun buah itu, tumbuh sesudah batang, dahan
dan ranting, namun pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk
menghasilkan buah ini . sebab , sebuah pohon tanpa buah
yaitu pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat
Rasulullah saw saat menggambarkan kesia-siaan ilmu yang
tidak diamalkan. Oleh sebab itu, manusia mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi dalam pandangan para sufi, baik dalam
kaitannya dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya.
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu buah atau
hasil akhir evolusi biologis alam. Ia yaitu tujuan akhir
penciptaan alam sendiri, selain itu manusia mengandungi seluruh
unsur alam semesta, sebagaimana buah mengandungi seluruh
unsur pohonnya, dari mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting,
dan daun. Oleh sebab itu, manusia dikatakan sebagai
mikrokosmos. Lebih dari itu menurut Rumi, saat manusia telah
mencapai tujuan penciptaannya, manusia bukan lagi
mikrokosmos, namun makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi
terakhir, manusia yaitu yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan
kompleksitasnya, yang dalam kitab suci kitab muslim disebut ahsani
al-taqwim. 23
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian
diri. Di sini muncul ajaran tentang Nur Muhammad atau Hakikah
Muhammadiyah. Menurut al-Hallaj, Nur Muhammad yaitu asal
atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan,
dan ilmu pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah
yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini,
termasuk manusia, pada mulanya yaitu dari Nur Muhammad.
24
Dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis:
“Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya.
Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam
cahaya-cahaya itu tidak ada asatu pun cahaya yang lebih
cemerlang, gemerlap dan terdahulu dari cahaya pemegang
kemuliaan (Muhammad saw). Cita-citanya lebih dahulu.
Wujudnya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Namanya
lebih dahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum
makhlukmakhluk lain”.
Paham tentang Nur Muhammad ini juga berpangkal dari
“hadis” yang sangat populer di kalangan ahli tasawuf, khususnya
tasawuf falsafi, yang artinya: “Aku berasal dari cahaya Pencipta dan
seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Paham ini kemudian
dikembangkan dan disebar luaskan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi
dan Abd al-Karim al-Jili dalam kerangka ide al-Insan al-Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad tampak
ada kemiripan dengan ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam,
teori terjadinya alam semesta dikenalkan oleh al-Farabi dengan
mentransfer teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus, maka
dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj
dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad
atau Hakikah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang
ada.
Sejauh pelacakan dan informasi yang didapat, kajian
tentang ajaran sangkan paraning dumadi telah dilakukan, di
antaranya dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama, kajian yang
dilakukan oleh Rangai Wisnumurti yang dituangkan dalam buku
berjudul Sangkan Paraning Dumadi: Konsep Kelahiran dan
Kematian Orang Jawa. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh
keadaan masyarakat Jawa yang dikenal sebagai masyarakat yang
religius, sebab perilaku keseharian mereka dipengaruhi oleh
alam pikiran yang bersifat spiritual.
Selanjutnya Wisnumurti mendeskripsikan pemikiran orang
Jawa yang bersifat spiritual ini menjadi pengetahuan
spiritual masyarakat Jawa yang meyakini bahwa Pencipta yaitu
pusat alam semesta dan segala kehidupan, sebab sebelum segala
sesuatu terjadi di dunia, Pencipta -lah yang pertama kali ada.
Adapun pusat yang dimaksud yaitu sumber yang dapat
memberikan penghidupan, keseimbangan, kestabilan, dan
menjadi penghubung antara individu dengan “dunia atas”.
Pandangan masyarakat Jawa ini disebut Manunggaling Kawula
Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban
moral manusia yaitu mencapai harmoni dengan kekuatan
terakhir dan pada kesatuan terakhir, yakni penyerahan diri
seorang kawula (hamba) terhadap Gustinya.
Buku ini mengupas konsep Sangkan paraning dumadi
dalam bingkai proses kelahiran dan kematian orang Jawa.
Sangkan paraning dumadi dalam karya ini memiliki arti dari
mana asal-usul kejadian manusia dan mau kemana perjalanan
manusia. Sangkan paraning dumadi mengandung arti pula bahwa
manusia itu berasal dan diciptakan oleh Pencipta dan kembali
kepada Pencipta . Semua makhluk akhirnya akan mengalami
kematian, termasuk manusia. Namun kebanyakan orang
menganggap kematian sebagai sesuatu yang mengerikan,
menakukutkan dan sebagainya. Buku ini menyjikan manajemen
serta renungan tentang kematian, sehingga kematian tidak lagi
dianggap sebagai hal yang menakutkan.
Kedua, buku yang berjudul Sangkan Paraning Dumadi
Orang Jawa dan Rahasia Kematian karya Bendung
Layungkuning, terbit di Yogyakarta, Narasi, tahun 2013. Pada
bagian pendahuluan buku ini penulisnya memberi latar belakang
bahwa manusia dalam upayanya untuk memahami keberadaan
Pencipta tidak kunjung usai. Manusia selalu mempertanyakan dari
mana dan mau kemana perjalanan hidup ini dimulai dan diakhiri.
Jawapan dari persoalan ini diuraikan dengan lugas bahwa
awal dan akhir manusia yaitu sang Sangkan sekaligus sang
Paran, yaitu Pencipta . Ia hanya satu, tanpa kembaran, Gusti
Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang jawa
menyebutnya Gusti Pangeran. Kata pangeran berasal dari kata
pangengeran, yang artinya tempat bernaung dan berlindung.
Terhadap Pencipta manusia hanya mampu memberikan sebutan
sehubungan dengan peran-Nya, Gusti kang murbeng dumadi
(Penentu nasib semua makhluk), dan tidak dapat menggambarkan
wujudnya sebab untuk mendefinisikannya pun tidak bisa, sebab
kata-kata hanyalah produk fikiran, sehingga orang jawa
menyebutnya tan kena kinaya ngapa (tak dapat disepertikan).
Selanjutnya Bendung juga menguraikan bahwa dasar kepercayaan
masyarakat jawa (javanisme) yaitu keyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya merupakan
kesatuan hidup. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan
suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman
yang religius.
Akhirnya, Bendung menyimpulkan perkembangan
kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya
pencarian yang tiada hentinya. Syarat utama bagi para pejalan
spiritual yaitu kebersediaannya dan kemampuannya
menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman
dogmatis yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan
keterbukaan hati dan pikiran untuk merambah ke jagad ilmu
pengetahuan (kawruh) non-ragawi, yaitu ilmu yang gawat dan
wingit, sebab sifatnya sangat pribadi dan tidak bisa
diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada. Perjalanan spiritual
yaitu proses panning upaya manusia untuk mencapai tatarankahanan (strata, maqam) dengan cara membebaskan diri dari
segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan,
baik itu jasmani ataupun rohani.
Ketiga, Taat Subekti, Chairman of the Board at The
Beautiful Indonesia Foundation, menulis satu artikel tentang
“Mencermati dan Memahami Falsafah Kehidupan dalam Budaya
Jawa untuk Hidup Lebih Sejahtera di Masa Kini”. Subekti
menjelaskan dalam kata pengantar tulisannya bahwa dalam
falasaf hidup orang Jawa dikenal adanya dua istilah yang
berkaitan antara satu dengan lainnya, yaitu Sangkan Paraning
Dumadi dan Manunggaling Kawulo Gusti. Falsafah ini
mengajarkan kepada orang-orang Jawa untuk dapat membina
kehidupan sampai saat kematian nanti dengan sempurna.
Bagaimana bisa mempunyai sangkan (asal muasal) yang baik dan
bisa mencapai paran (arah tujuan) agar bisa dumadi, yaitu
mencapai kesempurnaan. Selanjutnya dia uraikan tentang falsafah
kehidupan dalam Budaya Jawa dalam kaitannya dengan upaya
bagaimana mencermati dan memahami falsafah hidup agar dapat
menjadi pedoman untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera
dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Hidup di sini berarti
ganda yaitu hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Kehidupan yang sempurna dalam kehidupan dunia yaitu
memayu wahyuning bawana menjaga kelestarian kehidupan
pribadi dan manusia lain dan kelestarian bumi, agar dapat terus
didiami oleh anak cucu di masa-masa mendatang, dan setelah
mati mencapai “manunggaling Kawulo Gusti” di mana ruh
kembali bersama Pencipta , yang berarti masuk Surga. Setiap
manusia akan mengalami tiga tahapan kehidupan yaitu Metu–
Manten-Mati. Metu berarti lahir atau sangkan, di mana dalam
kelahiran ini dipandang sebagai takdir sebab bayi ini tidak
bisa siapa orang tuanya dan di mana dia dilahirkan. Manten
berarti menikah, di mana dengan menikah ini, dipandang bahwa
seseorang sudah tidak lagi hanya harus mempunyai beban
tanggungjawab dan kewajiban pribadi semata. Namun, dua
manusia menyatukan kewajibannya dalam upaya untuk memulai
tahapan “memayu wahyuning bumi” atau “hamemayu hayuning
bawana” dan “manunggaling kawulo Gusti” yang sempurna. Mati
yang berarti akhir kehidupan manusia dan kembali kepada Sang
Pencipta.
Kesimpulan yang dibuat oleh Subekti ialah “Sangkan
Paran Dumadi” sebagai falfasah hidup orang Jawa, membing
manusia untuk tidak “sak paran-paran” sebab semua harus ada
tujuan yang jelas, keinginan untuk mencapai sesuatu yang
sempurna, baik untuk diri sendiri, anak, sanak kadang dan orang
lain. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk bekerja keras, tekun,
tidak kenal lelah maupun putus asa. Prinsip “nrimo mergo isaku
mung ngene” tidak ada dalam ajaran budaya Jawa sebab ini
menunjukkan watak malas berpikir dan berkerja. Falsafah hidup
dalam budaya Jawa mengajarkan kita untuk memikirkan dengan
seksama serta merencanakan kehidupan guna mencapai
kesempurnaan hidup tanpa perlu mengeluh atau “ndersulo”
sebab semua apa yang dicapai, apa yang dimiliki, dan apa yang
dinikmati yaitu hasil dari “mlaku” diri sendiri demi kebuPencipta
“lelaku”. Semua tetap dalam garis keputusan Illahi agar dapat
mencapai kesempurnaan dalam “manunggaling kawulo Gusti”.
Dengan semakin majunya jaman dan keaneragaman cara dan
jalan menuju tujuan hidup yang sempurna (“paran kang
dumadi”), semakin banyak tersedia. Proses untuk belajar dan
pembelajaran dalam mencari jati diri guna memilih cara dan
menentukan tujuan hidup juga semakin luas dan terbuka. Peran
falsafah hidup “sangkan paran dumadi”, hanya dapat dicapai
dengan bekal pengetahuan dan ilmu serta pemikiran dan
perenungan yang mendalam berdasar kepada “eneng”, “ening”,
“awas” dan “eling” sert akan memudahkan mencapai
“manunggaling kawulo Gusti” dengan hidup yang lebih sejahtera
dan lebih bahagia.
Keempat, artikel yang ditulis oleh A. Hajar Mutahir--
mencatat dirinya sebagai peminat filsafat ilmu pengetahuan dan
filsafat sosial, yang sedang belajar filsafat Jawa--menulis artikel
dengan judul “Sangkan Paraning Dumadi”. Artikel ini
dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Jawa sebagai
masyarakat pemikir. Pemikiran Jawa sebagian besar didapatkan
melalui pengalaman mistik. Dengan pengalaman mistik, dapat
diketahui bagaimana manusia Jawa berpikir tentang hidup,
manusia, dunia, dan Pencipta . Jadi, mistik Kejawen tidak lain juga
merupakan representasi upaya berpikir filosofis masyarakat Jawa.
Sayangnya, cara berpikir filosofis manusia Jawa belum dihimpun
menjadi suatu sistem filsafat. Rentangan pola pikir itu masih
tercecer dalam berbagai karya sastra dan budaya Jawa, termasuk
ke dalam ritual mistik Kejawen. Oleh sebab , manusia Jawa
memiliki timbunan sistem filosofis, yaitu berupa endapan
pengalaman para pujangga dan leluhur.
Tulisan Hajar Mutahir menyimpulkan bahwa Pengetahuan
yang berasal dari pengalaman spiritual merupakan langkah untuk
mencari arti kehidupan manusia, baik itu asal-usul, tujuan akhir,
dan hubungan manusia dengan Pencipta . Pengetahuan seperti ini
dinamakan ‘falsafah hidup jawa’, yakni suatu sikap hidup yang
bertujuan untuk mencari ‘kesempurnaan’ hidup melalui
‘pangawikan ngelmu sangkan paraning dumadi’ dan
‘manunggaling kawula-Gusti’. Manusia Jawa melihat dunia
sebagai sesuatu yang sudah sempurna. Tugas manusia hanya
mencari pengetahuan tentang dunia dan menjalankannya saja.
Tidak ada kehendak yang harus dipaksakan. Semua kenyataan
memiliki hakikatnya masing-masing. Keyakinan bahwa manusia
perlu hidup seturut dengan dunia (makrokosmos dan
mikrokosmos) yaitu upaya menuju kesempurnaan itu sendiri.
Kesadaran tentang kefanaan dunia juga dapat dikatakan sebagai
landasan dasar laku mistik Kejawen. Ibarat seperti manusia pergi
ke pasar dan segera akan kembali ke rumah asalnya tadi. Untuk
itu, manusia tidak boleh sampai ragu terhadap asal-usulnya, agar
tidak sampai salah jalan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia
hidup di dunia sekedar ‘mampir ngombe’ (singgah untuk minum),
sebab suatu saat akan kembali kepada Pencipta . Jadi, Pencipta
yaitu tumpuan dari ‘sangkan paraning dumadi’.
Menurut Mutahir, istilah ‘sangkan paraning dumadi’
tergolong ‘ngelmu kasampurnan’. Ngelmu seperti ini diperoleh
melalui laku prihatin. sebab nya, dalam Serat Wirid yang
merupakan “kitab suci” penganut mistik kejawen, istilah ini
masih terbagi ke dalam beberapa hal, yakni ‘asaling dumadi’
(asal mula suatu wujud), ‘sangkaning dumadi’ (dari mana
datangnya dan bagaimana atau akan kemana arah perkembangan
wujud itu), ‘purwaning dumadi’ (permulaan suatu wujud),
‘tataraning dumadi’ (derajad atau martabat suatu wujud),
‘paraning dumadi’ (cara dan arah perkembangan suatu wujud).
Kesimpulannya, ngelmu ‘sangkan paraning dumadi’ memang
wahana agar hidup manusia selamat. Manusia yang selamat yaitu
yang mempu mencapai kesempurnaan. Sedangkan kesempurnaan
diperoleh dengan cara mengekang hawa nafsu, yang antara lain
dilakukan melalui ritual mistik kejawen.
Kelima, Siti Nurjayanti, melakukan penelitian tesis tentang
Peran Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi terhadap
Perubahan Perilaku Ekonomi Komunitas Samin (Studi Kasus di
Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora).
Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang. Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh kenyataan yang terjadi di Kabupaten
Blora yang ada sebuah komunitas bernama Samin. Mereka
mendirikan sebuah Paguyuban untuk menaungi segala kegiatan
mereka. Paguyuban ini diberi nama Paguyuban Sangkan
Paraning Dumadi. Paguyuban ini memiliki peranan yang sangat
penting dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Seiring
perkembangan zaman yang semakin maju, peran Paguyuban
Sangkan Paraning Dumadi juga semakin beragam.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga
permasalahan, yaitu pertama, bagaimana aktivitas ekonomi yang
dilakukan oleh anggota Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi.
Kedua, Bagaimana nilai-nilai yang mendasari aktivitas ekonomi
anggota Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi, dan ketiga,
bagaimana peran Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi dalam
perubahan perilaku ekonomi komunitas Samin. Metode penelitian
yang digunakan yaitu metode kualitatif. Lokasi penelitian di
Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora.
Subyek penelitian ini yaitu anggota Paguyuban Sangkan
Paraning Dumadi yang bertempat tinggal di Dukuh Pace.
Penelitian ini menggunakan Teori Moral Ekonomi yang
dikemukakan oleh James Sscott dan Tindakan Sosial yang
dikemukakan oleh Max Weber. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini, pertama, aktivitas paguyuban yang melibatkan
pihak luar seperti alat-alat pertanian modern ternyata sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Max Weber sebab hal ini
menumbuhkan kerjasama dengan pihak luar. Kedua, nilai-nilai
yang mendasari aktivitas ekonomi yang dimiliki oleh anggota
Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi yaitu untuk meningkatkan
taraf hidup mereka namun tetap dengan landasan nilai-nilai budaya
Samin. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Scott
mengenal moral ekonomi petani yang mana dia memaparkan
kehidupan kaum peasant yang menitikberatkan pada pembagian
kerja yang merata sehingga tidak terjadi kesenjangan
kesejahteraan dan masih berlandaskan moral kaum peasant, dan
ketiga, paguyuban memiliki peran penting terhadap perubahan
perilaku ekonomi komunitas Samin. Paguyuban ini memberikan
banyak kontribusi bagi kehidupan komunitas Samin diantaranya
dengan diadakan berbagai sosialisasi dan pelatihan yang membuat
mereka ingin meningkatkan kehidupan ekonomi mereka.
Penelitian Siti Nurjayanti menyimpulkan, pertama,
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh anggota Paguyuban
berdampak sangat baik bagi perkembangan komunitas Samin
secara umum. Kedua, nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota
Paguyuban tidak hanya ingin meningkatkan kehidupan ekonomi
namun juga melestarikan budaya Samin, dan ketiga, Paguyuban
Sangkan Paraning Dumadi berperan penting dalam peningkatan
taraf kehidupan komunitas Samin walaupun tidak secara
signifikan.
Terakhir, penulis menemukan kajian pustaka yang
dilakukan oleh Hana Makmun dalam bukunya Life Skill Personal
Self Awareness (Kecakapan Mengenal Diri), (Yogyakarta:
Deepublish, 2017). Buku ini penting untuk disandingkan dengan
penelitian sebelumnya sebab juga menguraikan secara derkriptif
tentang sangkan paraning dumadi dalam relevansinya dengan
modernitas. Hana Makmun menyimpulkan life skill personal self
awareness berperan menumbuhkan kesadaran akan peranan diri
sebagai hamba Pencipta dalam kehidupan social kemasyarakatan
maupun individu. Life skill personal self awareness juga berperan
sebagai pembangun kesadaran berperilaku/berattitude/sikap
lembut (soft skill) sebagai penguat hard skill yang akhirnya akan
berimplikasi pada terciptanya kehidupan yang tenteram, damai,
sejahtera, dan bahagia dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara, gemah ripah loh jinawi, baldatun thoyyibatun wa
rabbun ghafur.
Adapun kajian terdahulu tentang naskah Kunci Swarga
Miftahul Djanati, telah dilakukan oleh Harun Hadiwijono,
seorang doktor ilmu teologi, pendeta, dan penulis sejumlah buku
tentang Kristen. Hadiwijono memposisikan serat Kunci Swarga
karya Bratakesawa masuk ke dalam ajaran Kebatinan.
Pembahasan Hadiwijono tentang isi ajaran serat ini termuat
dalam sub pembahasan tentang sosok Bratakesawa pada bukunya
”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada penilaian Imam Supardi
bahwa karya Bratakesawa ”berlainan sekali dengan tulisantulisan tentang kebatinan yang lain”, Hadiwijono menyimpulkan
bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan dan ajarannya
merupakan doktrin kebatinan.27
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria
(KOS), membahas sosok Bratakesawa dalam buku
”Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan
Kejawen” menempatkan ”Serat Kuntji Swarga” karya
Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan Jawa.28 Karya
tulis Bambang Noorsena ini kurang mengetengahkan model
pembahasan yang tertib dan argumentatif. Untuk sebuah tulisan
yang berusaha mengungkap relasi antara Kekristenan dan
Kejawen, karya ini justru gagal mendefinisikan makna
”kebatinan” maupun ”kejawen” itu sendiri. Kegagalan
terminologis ini selanjutnya secara signifikan berpengaruh
terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap entitas yang
diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Di antara
konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena sering
menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa mengacu
pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi bagi
teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas Kristen
dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud lahir
dari konsepsi Islam.29
Susiyanto, seorang peneliti Pusat Studi Peradaban Islam,
Solo menulis satu artikel “Raden Bratakesawa: Antara Fakta dan
Opini Kristen”. Menurutnya, kajian yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh Kristen, khususnya Harun Hadiwijono dan Bambang
Noorsena merupakan bentuk manipulasi data diri seorang
Bratakesawa. Susiyanto menyatakan Raden Bratakesawa, seorang
tokoh muslim di Jawa, selama ini banyak disalahpahami orang.
Beberapa cendekiawan Kristen, misalnya, menggambarkan
pribadinya sebagai tokoh kebatinan. Dari deskripsi manipulatif
inilah kesalahpahaman itu berakar. Padahal Bratakesawa yaitu
seorang muslim, bahkan seorang dai. Hal ini terungkap dari
testimoni dan kiprahnya dalam membangun kehidupan rohani
masyarakat muslim di Jawa melalui tulisan-tulisan berbobot yang
dihasilkannya.30
Selanjutnya, Susiyono juga menyatakan bahwa pandangan
yang memposisikan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan seperti
di atas, secara umum tidak memberikan garis batas yang tegas
terhadap terminologi ”kebatinan” dan yang di luar itu. Bangunan
argumentasinya hanya didasarkan pada karya Bratakesawa dalam
kuantitas yang terbatas. Harun Hadiwijono mendasarkan
pandangannya berdasarkan dua karya Bratakesawa yaitu ”Serat
Kuntji Swarga” dan ”Wirid I.T.M.I.”. Sedangkan Bambang
Noorsena hanya pada satu karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji
Swarga”.31
Penelitian terdahulu tentang ajaran sangkan paran dan serat
Kunci Swarga sebagaimana telah disebutkan di atas relevan
dengan kajian ini pada aspek sebagai objek kajian, yaitu aspek
ajaran sangkan paraning dumadi dalam naskah Kunci Swarga
Miftahul Djanati. Penelitian ini masih bersifat umum dan
kajian ini secara khusus diarahkan pada ajaran sangkan paraning
dumadi dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati dari sudut
pandang tasawuf. Kajian ini berjudul Sangkan Paraning Dumadi
(Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam
Kejawen) merupakan bagian penting dari eksplorasi khazanah
Islam Nusantara yang berhubungan dengan ranah kehidupan
mistis masyarakat Jawa, khususnya yang berhubungan dengan
pustaka kuno yang dikaji oleh pengamal ajaran mistik Islam
kejawen. Dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati ada
pesan penting untuk menarik pemikiran tasawuf falsafi ke ranah
pengamalan praktis dengan menggunakan cara pandang yang
menekankan aspek esoterikal dalam perilaku kehidupan seharihari masyarakat Jawa, khususnya dalam memandang hubungan
trilogi: Manusia, Pencipta , dan alam semesta. Tentu saja tanpa
melupakan dimensi personalitas manusia sempurna yang menjadi
titik sentral tasawuf falsafi. Aspek inilah yang belum disentuh
oleh para peneliti terdahulu dan menjadi focus kajian ini.
Selain itu, yang membedakan kajian ini dengan
sebelumnya terletak pada segi pendekatannya. Peneliti akan
menyingkap ajaran sangkan paraning dumadi yang ada di
dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati yang ditulis oleh
Bratakesawa pada tahun 1952. Untuk menganalisis itu semua,
digunakan teori hermeneutika objektif.
Asal Kejadian Diri
Asal-usul diri sebagai suatu teori dalam pemikiran sufistik,
terekam dengan jelas dalam pemikiran Ibn Arabi, terkait langsung
dengan konsep wahdatul wujud. Konsep wahdatul wujud sendiri
diduga behubungan dengan pemikiran filsafat emanasi al-Farabi.
Oleh sebab itu, sebelum kita mendalami teori tentang kejadian
diri, ada baiknya lebih dahulu menengok pemikiran filsafat
emanasi al-Farabi. Melalui teorinya tesebut al-Farabi menjelaskan
bagaimana yang banyak (alam ini termasuk manusia) bisa lahir
dari Yang Satu (Pencipta ). Dalam keyakinan muslim, Pencipta
bersifat Maha Esa, tidak berubah, tidak berupa materi, tidak
mengandung arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada
apapun. Kalau demikian hakikat sifat Pencipta , lalu bagaimana alam
materi yang banyak ini bisa terjadi dari yang Maha Esa? Menurut
al-Farabi, alam terjadi dengan cara emanasi (faidh).
Pemikiran al-Farabi tentang kejadian alam ini terlihat rumit
sebab menurutnya Pencipta tidak mencipta alam, akan namun alam
tercipta sebagai akibat dari aktifitas berfikir Pencipta . Dengan
pemikiran ini, al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu". Pencipta sebagai akal, katanya,
berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran ini muncul suatu
mawjud lain. Pencipta merupakan wujud pertama berfikir, dan
dengan aktifitas berfikir itu timbul Wujud Kedua yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat
materi. Selanjutnya, wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud
Pertama dan dari pemikiran ini timbullah Wujud Ketiga, yang
disebut Akal Kedua. Seterusnya, Wujud Kedua atau Akal
Pertama itu juga berpikir tentang Pencipta , maka muncullah Wujud
Ketiga, dan berpikir tentang dirinya lahirlah Langit Pertama.
Aktifitas berfikir ini terus berjalan. Wujud Ketiga/Akal
Kedua berpikir tentang Pencipta maka lahirlah Wujud Keempat, dan
berpikir tentang dirinya, lahirlah bintang-bintang. Wujud
Keempat/Akal Ketiga berpikir tentang Pencipta , maka lahirlah
Wujud Kelima, dan berpikir tentang dirinya, maka lahirlah
Saturnus. Wujud Kelima/Akal Keempat berpikir tentang Pencipta ,
maka muncullah Wujud Keenam, dan berpikir tentang dirinya
muncullah Jupiter. Wujud keenam/Akal Kelima berpikir tentang
Pencipta lahirlah Wujud Ketujuh, dan berpikir tentang dirinya,
maka lahirlah Mars. Wujud Ketujuh/Akal Keenam berpikir
tentang Pencipta , maka lahirlah Wujud Kedelapan,dan berpikir
tentang dirinya, maka lahirlah Matahari. Wujud Kedelapan/Akal
Ketujuh berpikir tentang Pencipta lahirlah Wujud Kesembilan, dan
berpikir tentang dirinya, maka lahirlah Venus. Wujud
Kesembilan/Akal Kedelapan berrpikir tentang Pencipta , lahirlah
Wujud Kesepuluh, dan berpikir tentang dirinya, lahirlah Mercury.
Wujud kesepuluh/Akal Kesembilan berpikir tentang Pencipta ,
lahirlah Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, dan berpikir tentang
dirinya lahirlah Bulan. Pada pemikiran Wujud Kesembilan/Akal
Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal.
namun dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta ruh-ruh dan
materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur: api,
udara, air dan tanah.32
Filsafat emanasi al-Farabi ini ternyata diikuti oleh Ibnu
Arabi (1163-1240 M) dalam pemikiran tasawuf. Dalam kitabnya
Al-Futuhat al-Makkiyah Ibnu Arabi menegaskan bahwa Pencipta
yaitu Wujud Mutlak, maksudnya, wujud Pencipta bersifat mandiri,
wujud begitu saja dengan sendirinya, yang tidak disebabkan oleh
sebab apa pun. 33 Di halaman lain Ibn Arabi menjelaskan:
“Pertama-tama harus diketahui bahwa Pencipta yaitu Wujud
Yang Awal, yang tidak didahului oleh apa pun sebelum-Nya,
tidak ada sesuatu pun yang awal bersama-Nya, Dia mengada
dengan sendiri-Nya, tidak butuh perangkat apapun untuk wujud
selain Dia. Di situlah letak ke-Esaan-Nya. Dia yaitu Pencipta Yang
Maha Esa, yang tidak berhajat kepada alam semesta.” 34
Walau bagaimanapun, Pencipta yaitu Sang Pencipta alam
semesta. Tentang proses penciptaan alam ini dapat dilihat dalam
tulisannya Fushush al-Hikam. Menurut Ibnu Arabi, Pencipta
mencipta alam melalui proses tajalli (penampakan diri). Ada lima
tingkatan tajalli atau tanazzul (turun berjenjang) Pencipta , yaitu:
1. Tajalli Pencipta dalam entitas-entitas ala’yan al-tsabitah,
yang disebut dengan‘Alam al-Ma’ani.
2. Tajalli Pencipta dari ‘Alam al-Ma’ani kepada realitas-realitas
ruhaniah, yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
3. Tajalli Pencipta dalam rupa realitas-realitas psikis (alnafsiyah), yang disebut dengan‘Alam al-Nufus al-Nathiqah.
4. Tajalli Pencipta dalam bentuk-betuk jasad tanpa materi, yang
dusebut dengan‘Alam al-Mitsal.
5. Tajalli Pencipta dalam bentuk-bentuk jasad bermateri, yang
disebut dengan‘Alam al-Ajsam al-Madiyah, yang disebut
juga dengan ‘alam al-Hissi atau‘alam al-Syahadah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat yaitu martabat ghaib (tingkatan alam
metafisik) sedang, tentu saja, tingkatan yangterakhir atau kelima
yaitu alam fisik atau alam materi.
Dengan demikian dapatlah dipahami jika Ibnu Arabi
menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam ini berasal “dari
tiada kepada ada” (min al-‘adam ila alwujud/creation ex niliho).
Menurutnya, asal segala yang ada (alam, termasuk manusia)
yaitu emanasi Pencipta yang terus menerus. Dalam kitabnya alFutuhat, dia menyatakan: “Mahasuci Dia yang menjadikan
segalasesuatu dan Dia lah ‘ain segala sesuatu itu.” 36 sebab
itulah, Dr. Ahmad Amin menyimpulkan paham tasawuf Ibnu
Arabi sebagai berikut: ‘Dan tidaklah alam dalam bentuknya yang
beaneka ragam ini melainkan manifestasi wujud Pencipta Ta’ala.” 37
Teori emanasi dalam proses penciptaan alam telah mengisi
dan mendasari sistem pemikiran Ibnu Arabi. Dr. Ibrahim Hilal
mengatakan: “Teori emanasi telah mendasri ajaran tasawuf Ibnu
Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dariPencipta .
sebab itu dapat dikatakan, sebenarnya alam ini yaitu
manifestasi Pencipta .” 38 Itulah sebabnya esensi dari alam semesta
ini yaitu Pencipta , sedang lahirnya berupa materi hanyalah
bayang-bayang, yang pada hakikatnya tidak ada. Ibnu Arabi
mengatakan, sebenarnya para muqarrabin telah menetapkan
bahwa tidak ada wujud yang sebenarnya dalam alam ini,
melainkan Pencipta semata. Kita, meskipun ada, sebenarnya
adanya kita yaitu sebab Dia. Sesuatu yang wujudnya
tergantung pada-Nya, sebenarnya sesuatu itu dihukumkan tidak
ada. Jadi, adanya makhluk yaitu bayang-bayang dan merupakan
gambar dalam cermin di mana wujud yang di luar cermin jualah
sebenarnya ada. Oleh sebab itu makhluk seluruhnya hanyalah
bayang-bayang belaka.39
Penadapat Ibnu Arabi ini tampak pula dalam gubahan lirik
syairnya sebagai berikut:
Ya Pencipta , dari diri-Mu lah asal segala sesuatu,
Engkau Pencipta , mengapa Kau jadikan semuanya satu,
Engkau jadikan barang yang takberhenti adanya,
Baik di tempat sempit maupun lapang, Kau ada di sana40
Dalam gubahan syair yang lain Ibnu Arabi bersenandung:
Wajah sebenarnya hanyalah tunggal ,wujud-Nya,
namun jika kau perbanyak cermin,banyaklah ada-Nya.41
Dalam perkembangan pemikiran tasawuf, teori Ibnu Arabi
ini mempengaruhi pemikiran Abd al-Karim al-Jili (1365-1403M)
seperti yang tertuang dalam kitabnya Al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail. Al-Jili mengatakan bahwa
proses tanazzul atau tajalli Pencipta itu ada tiga tahapan, yaitu
Ahadiyah, Huwiyah dan Iniyah. Pada tahap Ahadiyah, Pencipta
dalam keabsolutan-Nya baru keluar dari al-A’ma. Sedangkan
Huwiyah masih belum tampak dalam kenyataan, namun berada di
bawah Ahadiyah, sifat-sifat dan nama-nama Pencipta dalam bentuk
potensial. Tahap Iniyah merupakan penampakan diri Pencipta
dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya pada makhluk. Teori
penciptaan alam dengan tajalli dan tanazzul yang dikembangkan
oleh IbnuArabi dan al-Jili ini dalam sejarahnya kemudian
dikembangkan oleh seorang sufi dari Gujarat, Muhammad ibn
Fadhlillah al-Burhanfuri (w.1029 H/1620 M) dalam kitabnya AlTuhfah al-Mursalah ila (Ruh) al-Nabiy. Ia mengembangkan teori
tajalli menjadi tujuh tahapan, yang dikenal dengan istilah
Martabat Tujuh.
Martabat Tujuh dari Muhammad ibnu Fadhlillah ini
mengajarkan bahwa segala yang ada dalam alam semesta ini,
terutama manusia, yaitu aspek lahir dari suatu hakikat yang
tunggal, yaitu Pencipta . Pencipta sebagai zat mutlak tidak dapat
dikenal, baik oleh indera, akal maupun imajinasi. Diabaru dapat
dikenal sesudah bertajalli (menampakkan diri) melalui tujuh
martabat/tahapan, sehingga tercipta alam semesta beserta seluruh
isinya, termasuk manusia, sebagai aspek lahir dari zat Pencipta .
Tujuh martabat itu yaitu :
1. Ahadiyah (kesatuan mutlak);
2. Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara
keseluruhan);
3. Wahidiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terinci
batas-batas setiap sesuatu);
4. Alam Arwah (alam segala nyawa yang masih dalam
bentuk kesatuan);
5. Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara
keseluruhan);
6. Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam
kejamakan secara terinci batas-batasnya;
7. Alam Insan (alam seluruh manusia). 42
Dari tiga tajalli (Ahadiyah, Wahdahdan Wahidiyah), yang
disebut sebagai martabat batin, muncullah tiga martabat yang
merupakan aspek lahir (Alam Arwah, Alam Mitsal, dan Alam
Ajsam. Tiga martabat batin dan tiga martabat lahir ini
terkumpul dalam martabat yang ketujuh, yaitu Alam Insan. 43
B. Relasi Manusia dengan Pencipta
Seperti yang dapat dilihat dari uraian di atas bahwa satu hal
yang paling menonjol dari pandangan tasawuf tentang relasi
manusia dengan Pencipta yaitu tentang dijadikannya manusia
sebagai tujuan akhir penciptaan alam semesta. Pandangan seperti
ini telah dianut oleh Ibnu Arabi (1163-1240M), Shadr al-Din alQunyawi (w.1274 M), Jalal al-Din Rumi (1217-1273 M) dan
Abdal-Karim al-Jili (1365-1403 M).
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia
dengan buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah batang dan
ranting, namun pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk
menghasilkan buah ini . “Kalau bukan mengharap buah,
tanya Rumi, “apakah seorang petani akan menanam pohon?”
sebenarnya seorang petani menanam pohon agar dapat
menghasilkan dan mengharapkan buah dari pohon ini .
Dengan analogi seperti itu, manusia memiliki kedudukan yang
sangat tinggidalam pandangan para sufi, baik dalam kaitannya
dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya.44
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu
“buah” atau hasil akhir evolusi biologi alam seperti diuraikan di
atas. Sedangkan dalam kaitannya dengan Pencipta , manusia yaitu
wakil (khalifah) Pencipta di muka bumi, yang sangat dimuliakanNya. Sebagai khalifah, tugas manusia yaitu menyampaikan
berita dari dunia gaib agar dapat dipahami dan dirasakan
manfaatnya oleh seluruh manuaia. namun , sebab tidaksemua
manusia pada praktiknya bisa menerima pesan-pesan Ilahi ini,
makaPencipta mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk membawa
dan menyampaikan kabar ini . Oleh sebab itu, para nabi dan
rasul, yang berpuncak pada diri NabiMuhammad saw yaitu
teladan-teladan dari manusia paripurna (al-Insan al-Kamil).
saat tidak ada para nabi lagi setelah “penutup para nabi dan
rasul” yaitu Muhammad saw, peran itu akan diteruskan oleh awlia
Pencipta , ulama, dan juga para sufi.
Di antara hadis yang sering dijadikan dalil oleh orang sufi
tentang relasi manusia dengan Pencipta ini yaitu : sebenarnya
Pencipta menciptakan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Dikatakan, manusia baru secara potensial saja dapat
mencerminkan sifat-sifat Pencipta , sebab pencerminan itu baru bisa
secara aktual dicapai, hanya pada manusia yang dapat
mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya, yaitu saat
manusia ini mencapai tingkat manusia paripurna. Paham
tentang manusia paripurna (al-Insan al-Kamil) ini telah menjadi
tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibnu Arabi dan
para pengikutnya.
Manusia, menurut Ibnu Arabi, yaitu tempat tajalli Pencipta
yang paling sempurna, sebab ia yaitu al-kaun al-jami’,
iamerupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang
tercermin padanya alam besar (makrokosmos) dan tergambar
padanya sifat-sifat kePencipta an. Pada manusia terhimpun rupa
Pencipta dan rupa alam. Iayaitu sebuah cermin yang
menyingkapkan wujud Pencipta . Kita punya sifat yang kitasifatkan
dengan sifat Pencipta , wujud kita yaitu pada hakikatnya wujudNya. Pendapat Ibnu Arabi bahwa manusia yaitu tempat tajalli
(penampakan diri) Pencipta yang paling sempurna, dengan jelas
dapat dilihat dalam ungkapan syairnya:
Jika Pencipta tidak ada dan kita tidak ada,
Maka tidaklah ada semua yang ada;
Saya menyembah Pencipta yang sebenarnya,
Pencipta lah Pencipta kami yang sebenarnya ;
Ketahuilah, saya yaitu ‘ain wujud-Nya,
meskipun saya berkata, saya yaitu manusia. 45
Sekarang, yang dimaksud dengan al-Insan al-Kamil
menurut Ibnu Arabi, seperti yang ini di dalam kitabnya
Fushush, yaitu :
Ain al-Haqq, artinya manusia yaitu perwujudan dalam
bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan
segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq (Pencipta ) ‘ain segala
sesuatu, namun segala sesuatu itu bukan‘ain (zat)-Nya sebab ia
hanya perwujudan sebagian ama’-Nya, bukanPencipta bertajalli
pada sesuatu itu dalam rupa zat-Nya. Apabila engkau berkata
insan (manusia), maka maksudnya Al-Insan al-Kamil dalam
kemanusiaannya, yaitu Pencipta bertajalli dalam bentuk zat-Nya
sendiri, itulah yang disebut dengan‘ain-Nya. 46
Masalah Al-Insan al-Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi
tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur
Muhammad, seperti ditegaskan: “Ketahuilah,bukanlah yang
dimaksudkan dengan Al-Insan al-Kamil kecuali Nur Muhammad
yaitu ruh Ilahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh sebab itu,
Adam yaitu esensi kehidupan dan awal manusia.”47 Dikatakan
bahwa “Nabi Muhammad saw yaitu Al-Insan al-Kamil yang
paling sempurna. Sedang yang dimaksud di sini ialah Al-Haqiqah
al-Muhammdiyah. 48 Dengan Al-Haqiqah al-Muhammadiyah
inilah orang bisa mencapai derajat Al-Insan al-Kamil. 49
Salah seorang pengikut Ibnu Arabi yang secara khusus
menulis tentang Al-Insanal-Kamil yaitu Abd al-Karim al-Jili.
Dalam bukunya yang telah tersebar luas Al-Insanal-Kamil fi
Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail, al-Jili menjelaskan tiga macam
manifestasi yang dapat dipantulkan manusuia dari Pencipta , yaitu:
af’al, asma’ dan sifat. Pertama:Tajalli af’al, yaitu tentang
manusia yang dapat mencerminkan tindakan-tindakan Pencipta ,
sebab nya yang berlaku padadirinya yaitu tindakan-tindakan
Pencipta ,sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya,
upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang yang seperti ini tidak lah
bertindak kecuali apa yang dikehendaki Pencipta . Kedua: Tajalli
asma’, manusia sebagai cermin dari nama-nama Pencipta . Ini terjadi
saat nama-nama tertentu dari Pencipta tercerap oleh manusia dan
menggantikan namanya. Kalau ini terjadi pada seseorang, maka
terhapuslah namaorang itu dan digantikan oleh salah satu nama
Pencipta . Pada saat itu terjadi, kesadaran diri seseorang hilang dan
digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Pencipta . Pada saat itu
“aku” dan “Dia” menjadi lebur. Ketiga:Tajalli af’al, artinya
manusia sebagai cermin atau tempat bertajalli sifat-sifat Pencipta .
Al-Jili mengatakan: “Apabila sifat Pencipta bertajalli pada diri
hamba, maka hamba ini berenang dalam falak sifat ini .
Kalau sifat ilmu Pencipta yang bertajalli pada diri hamba, maka ia
akan mengetahui objek-objek ilmunya itu secara komprehensif
dari awal sampai akhir. Demikian pula jika sifat sama’ Pencipta
yang bertajalli pada seorang hamba, maka ia dapat mendengar
pembicaraan benda-benda mati dan makhluk-makhluk Pencipta
lainnya.50
Al-Insan al-Kamil yaitu quthb atau sumbu tempat
beredarnya segala sesuatu dari awal hingga akhir. Ia yaitu satusatunya untuk selamanya. Ia memiliki berbagai bentuk dan ia
muncul dalam rupa yang bermacam-macam. Untuk
menghormatinya, ia dipanggil dengan nama yang berbeda-beda.
Siapakah dia? Nama sebenarnya yaitu Muhammad. Nama
Muhammad tidak bisa diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada
Hakikat Muhammad (Al-Haqiqah al-Muhammadiyah). Dengan
demikian, saat ia muncul dalam bentuk Syibli, maka Syibli
berkata kepada muridnya: ”Saksikanlah bahwa saya yaitu utusan
Pencipta .” Muridnya ini , sebagai orang yang kasyf, berkata:
Saya bersaksi bahwasanya Anda yaitu utusan Pencipta .”51 sebab
itu, Muhammad yaitu Al-Insan al-Kamil yang dapat lahir pada
setiap orang yang dikehendaki Pencipta di mana pada diri orang itu
ada Nur Muhammad (Al-Nur al-Muhammady) atau Hakikat
Muhammad (Al-Haqiqah al-Muhammadiyah). Al-Insan al-Kamil
ini merupakan mazhar (manifestasi) dari af’al, asma, sifat,
dan zat Pencipta sendiri.
C. Relasi Manusia dengan Rasul Muhammad Saw
Bagi kaum sufi, khususnya dalam kelompok tasawuf
falsafi, Nabi Muhammad saw tidak semata dipahami seperti
diuraikan di atas. Bagi mereka, Muhammad saw tidak hanya
diyakini sebagai Nabi dan Rasul, namun juga sebagai Nur yang
mereka sebut dengan Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad
(Al-Haqiqah al-Muhammadiyah).
Menurut beberapa sumber, teori NurMuhammad ini
dimunculkan pertama kali oleh Al-Husain ibnu Mashur al-Hallaj
(858-921 M). Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, yaitu awal
yang ada yang menitisdari Pencipta dan merupakan asal atau
sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, perbuatan dan ilmu
pengetahuan. Dengan perantaraannya lah alam ini dijadikan. Di
dalam kitabnya Al-Thawasin, al-Hallaj menulis:
Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya.
Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahayacahaya itu tidak ada satu pun cahaya yang lebih cemerlang,
gemerlap dan terdahulu daricahaya pemegang kemuliaan
(Muhammad saw). Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang segala
cita-cita. Wujudnya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Juga
namanya lebih terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada
sebelum makhluk makhluk lain.
Teori Nur Muhammad yang dibawa oleh al-Hallaj ini
selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Dalam teori Ibnu
Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dengan ajaran
tentang Nur Muhammad. Dia mengatakan bahwa Nur Muhamm
adyaitu sesuatu yang pertama sekali melimpah dari Nur Ilahi.
Ibrahim Hilal, saat mengulas ajaran tasawuf Ibnu Arabi,
menceritakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan
pertama dari tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) Pencipta dalam
bentuk-bentuk wujud.53 Dengan demikian Nur Muhammad telah
ada sebelum terjadinya tahapan-tahapan tajalli dan tanazzul
Pencipta seperti disebutkan di atas.
Selain Ibnu Arabai berpendapat bahwa Nur Muhammad
yaitu sesuatu yang pertama kali melimpah dari Pencipta , dia juga
mengatakan bahwa dari Nur Muhammadlah terjadinya alam
semesta ini.54 Juga ditegaskan bahwa dari Nur Muhammad inilah
dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya, tidak ada
yang maujud di alam ini kecuali semuanya dari Nur Muhammad
atau Al-Haqiqah al-Muhammadiyah.55 Apabila dikatakan orang
Al-Haqiqah al-Muhammadiyah, maka ketahuilah bahwa ia yaitu
asal segala sesuatu.56
D. Jalan Makrifat
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau
pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah diartikan
sebagai pengetahuan mengenai Pencipta melalai hati (qalbu).
Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya itu. Abu Nasr al-Sarraj alTusi di dalam kitabnya Al-Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah itu
merupakan pengenalan hati ada obyek-obyek yang menjadi
sasarannya. 57 Inilah, menurut al-Gazali, pengetahuan yang
meyakinkan dan merupakan pengetahuan yang hakiki.
Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang
segala sesuatu, pertama-tama kata al-Gazali, haruslah diketahui
arti pengetahuan atau ilmu yang benar dan meyakinkan itu.
Dalam kitabnya al-Munqiz, al-Gazali mengatakan: “Al-’Ilm AlYaqini (ilmu yang meyakinkan) ialah tersingkapnya sesuatu
dengan jelas, sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak
mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu.” 58
Sebagai contoh kata al-Gazali: “Jika kuketahui bahwa sepuluh
lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan
bukti tongkat dapat diubahnya menjadi ular dan itu memang
terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tidak akan membuat aku
ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepluh lebih banyak dari
tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang
ini . Hal ini sama sekali tidak akan membuat aku ragu
terhadap pengetahuanku.59
Dikatakan, ma’rifah berarti mengetahui Pencipta dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Pencipta . Oleh sebab itu
orang-orang sufi mengatakan:
a) Kalau mata yang ada dalam hati sanubari manusia
terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu
yang dilihatnya hanya Pencipta .
b) Ma’rifah yaitu cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke
cermin itu, yang akan dilihatnya hanya Pencipta .
c) Yang diliha orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun
sewaktu bangun hanya Pencipta .
d) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua
orang yang melihat padanya akan mati sebab tak tahan
melihat kecantikan serta keindahannya; dan semua
cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang gemilang.60
Al-Junaid saat ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan:
“Ma’rifah yaitu hadirnya hati di antara pernyataan kebesaran
Pencipta yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya
yang tak bisa diutarakan.” Pada saat yang lain, saat dia ditanya
tentang pertanyaan yang sama, mengatakan: “Ma’rifah berarti
mengetahui bahwa apa pun yang engkau bayangkan dalam
hatimu, Pencipta merupakan kebalikannya.”61
Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf, yang dimaksud
dengan ma’rifah ialah mengenal Pencipta (ma’ifatullah). Dan ini
merupakan “tujuan utama” dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal
Pencipta dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini, Pencipta
berfirman: sebenarnya Aku ini yaitu Pencipta , tidak ada Pencipta
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk
mengingat Aku. (QS. 20:14).
Menurut Ibn Ataillah, ma’rifatullah yaitu melihat Pencipta
dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan
dengan padangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah
SAW pernah bersabda: “Hai Abu Zar, sembahlah Pencipta seakanakan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak melihat-Nya,
sebenarnya Dia melihat kamu.”62
Menurut H.M. Asywadie Syukur, bahwa setiap orang yang
telah kenal kepada Pencipta , dan pengenalannya naik setingkat
sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat, maka
pengenalan yang demikian itu dinamakan “ma’rifah”.
Imam al-Qusyairi berkata ”Ma’rifah menurut para ulama
ialah, setiap ilmu pengetahuan dinamakan ma’rifah, dan setiap
ma’rifah dinamakan ilmu. Setiap orang yang berilmu
pengetahuan dinamakan arif, dan setiap arif dinamakan alim”.
sebab itu menurut orang shufi, ma’rifah ialah sifat orang
yang mengenal asma dan sifat Pencipta dan sebagai bukti
pengenalannya ialah kedudukannya kepada Pencipta , dengan
meninggalkan sifat-sifat yang tercela, selalu ingat kepada Pencipta ,
sehingga Pencipta mencintainya dan membeikan karunia kepadanya
yang berupa kondisi mental yang tangguh, sehingga dengan
mental yang demkian itu ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun,
ke arah yang tidak diridhai Pencipta .
Dengan kondisi mental yang tangguh ia menjadi orang
yang asing di dalam hidup ini, sebab terhindar dari pelbagai
perbuatan yang kebiasaannya diperbuat orang yang lahir dari
dorongan mental yang bejat. Dengan mental yang tangguh semua
perbuatan dan tindak tanduknya bersih, pada setiap detik dan saat
hubungannya dengan Pencipta tetap dan tidak pernah terputus
sehingga Pencipta memberikan karunian-Nya yang lain lagi ialah
pengetahuannya terhadap segala yang gaib. Sikap mental yang
seperti itu dinamakan ma’rifah dan orangnya dinamakan arif.
Imam Ghazali menerangkan, “Bahwa ma’rifah menurut
pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang tidak bercampur
dengan keraguan, yang obyek pengetahuan tadi yaitu zat dan
sifat Pencipta ”.
Abu Zakariya Anshari berkata, bahwa ma’rifah menurut
pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang sampai ke tingkat
keyakinan yang mutlak dalam mengesakan Pencipta ”. Orang shufi
tidak menamakan setiap orang yang memiliki pengetahuan
dengan nama arif, melainkan orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang bersangkut-paut dengan Pencipta , Serta
memikirkan segala yang diciptakan Pencipta sebagai bukti tentang
adanya Pencipta
Ibnu Athillah juga berbicara tentang arti ma’rifah beliau
mengatakan, “Ma’rifah ialah pengenalan terhadap sesuatu, baik
zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Mengenal Pencipta yaitu merupakan ilmu pengetahuan
yang terpenting, sebab Pencipta tidak ada bandingnya, kendatipun
demikian Pencipta mewajibkan kepada setiap makhluk-Nya untuk
mengenal-Nya, baik jin, manusia, malaikat, dan setan untuk
mengenal zat asma serta sifat-sifat Pencipta , bahkan diwajibkan
kepada seluruh makhluk-Nya sesuai dengan keadaan makhluk itu
sendiri”.
Zu al-Nun al-Misri berkata, “sebenarnya ma’rifah orang
yang arif akan terus menerus bertambah, dengan bertambah
ma’rifahnya maka bertambah juga dekatnya kepada Pencipta ”.
Kemudian Zi Nun ditanya dengan apa orang mengenal Pencipta nya.
Beliau menjawab, “Kukenal Pencipta ku dengan (ni’mat) Pencipta ku,
kalaulah tidak (tidak dengan ni’mat Pencipta ku), niscaya aku tidak
mengenal Pencipta ku”.
Ibnu Athaillah membagi ma’rifah menjadi dua macam.
Beliau berkata, “Dan ia (ma’rifah) terbagi menjadi dua macam:
Pertama, ma’rifah yang umum, ialah pengenalan yang diwajib
kepada seluruh makhluk-Nya, makhluknya diwajibkan untuk
mengenal zat-Nya, kemudian memuji dengan pujian yang sesuai
dengan keadaan setiap makhluk masing-masing, serta
memberikan sifat kepada Pencipta nya, menurut yang telah
ditetapkan Pencipta sendiri.
Kedua, ma’rifah yang khusus ialah pengenalan yang lahir
dari musyahadah, maka seorang yang arif ialah orang yang telah
mengenal zat, sifat, asma dan lafal Pencipta dengan perantaraan
musyahadahnya. Sedang orang yang alim ialah orang yang
mengenal Pencipta nya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya
melalui kepercayaan biasa saja. sebab itu ada sebagian orang
yang berpendapat bahwa ma’rifah ialah seperti ilmu
pengetahuan yang didapat dari kesungguhan seseorang dalam
ibadahnya”. Dalam hal ini Imam Ghazali pernah berkata,
“Seseorang dapat mengenal Pencipta nya melalui inderanya, dan
pengenalan yang tertinggi ialah pengenaln dengan kurnia Pencipta
sendiri. sebab itu seseorang tidak akan sampai ke tingkat
ma’rifah yang sebenarnya, melainkan orang yang dikehendaki
Pencipta , ialah para nabi dan orang yang siddiq. Nabi Muhammad
sendiri pernah bersabda, “Aku tidak dapat menilai pujianku
terhadap-Mu, sebagaimana yang kau puji terhadap zat-Mu”.
Menurut Imam Ghazali ma’rifah yang khusus ini ialah
keinginan untuk mengenal zat Pencipta , sifat Pencipta dan menolak
segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi
Pencipta . Ma’rifah yang demikian itu yaitu wajib bagi setiap insan,
sesuai dengan ajaran Alqur’an, Sunnah dan Ijma Umat, dan dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama
tentang wajibnya, hanya ada perbedaan pendapat mengenai
definisinya”.
Imam Ghazali berkata, “Ma’rifah itu terbagi kepada dua
macam; ma’rifatuz zat dan ma’rifatus sifat”. Ma’rifatuz zat ialah
pengetahuan seseorang terhadap Pencipta , bahwa Pencipta ada, Maha
Esa, tidak berbilang, Ia yaitu zat yang Maha Agung, yang ada
dengan sendirinya dan tidak ada yang lain yang mirip denganNya. Sedangkan ma’rifatus sifat ialah pengetahuan bahwa Pencipta
Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar,
Maha Melihat, dan seterusnya tentang sifat-sifat kesempurnaanya.
Adapun tanda orang yang betul-betul mengenal Pencipta ,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali ialah
“hatinya selalu ingat dan memandang (musyahadah) kepada
Pencipta . sebab nya Pencipta melimpahkan karunia-Nya kepadanya
sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal zat
Pencipta nya. Dengan karunia itu Pencipta menyingkapkan sebagian
hijab yang melindungi sehingga hambanya-Nya kenal kepada
sifat dan zat Pencipta nya, dan tidaklah seluruh hijab itu
disingkapkan dan hanya sebagiannya saja.”
Abu Ali Daqaq berkata, “Sebagai tanda ma’rifah Pencipta
ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Pencipta , siapa yang
bertambah ma’rifatnya bertambah juga takutnya kepada Pencipta ”.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apakah kau
menyembah sesuatu yang kau lihat atau yang kau tidak
melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah
yang kulihat, namun bukan dengan penglihatan mata, namun
dengan penglihatan hati”.
Juga Ja’far Sadiq pernah ditanya orang, apakah ia melihat
Pencipta nya? Beliau menjawab: “Aku tidak akan menyembah
Pencipta yang tidak kulihat.” Orang bertanya, “Bagaimana kau
dapat melihatnya sedang Pencipta tidak dapat dilihat dengan mata
kepala?” Beliau menjawab, “Memang tidak dapat dilihat dengan
mata kepala, namun dapat dilihat dengan mata hati dan dengan
mata hakekat iman”.
Sebagian orang shufi berkata, “Hakekat ma’rifah ialah
musyahadah Pencipta , tanpa perantara, tidak melalui keadaan dan
tidak pula melalui perbandingan”. Dan sebagain yang lain lagi
berkata: ma’rifah yang sebenarnya ialah kosong jiwa dari segala
keinginan, meninggalkan apa yang menjadi adat kebiasaannya,
hati tenteram, menyerahkan segala urusan kepada Pencipta dan tidak
berpaling kepada yang lainnya. Namun pengenalan manusia
tidaklah sa hakekat zat Pencipta , hanya Pencipta sendiri. mpai ke
tingkat hakekat zat, dan tidak ada yang mengenal bagaimana
sebenarnya
Akhirnya Abu Bakar Razi menceritakan bahwa ia pernah
mendengar dari Abu Umar Al Antaki, beliau pernah bercerita
seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Junaidi katanya
ada sebagian orang yang mengaku dirinya ahli ma’rifah namun
mereka telah meninggalkan syariat agama, mereka meninggalkan
kewajiban-kewajiban agama yang akan mendatangkan kebajikan
dan takwa (ibadah). Junaidi menjawab: pendapat yang
mengatakan dengan meninggalkan amal-amal syariat sebagai
tanda ahli ma’rifah, bagiku lebih baik orang yang mencuri dan
berbuat zina, dari orang yang mengakui ahli ma’rifah tadi, sebab
orang yang kenal (ma’rifah) kepada Pencipta , mereka mengambil
amal ibadah itu dari Pencipta , dan mereka kerjakan untuk Pencipta ,
mereka kembalikan semua itu kepada Pencipta . Kendatipun umur
mereka sampai seribu tahun, tidaklah mereka mengurangi
kewajiban mereka terhadap Pencipta , sekalipun hanya sedetik”.
Demikianlah peranan ma’rifah dalam pembinaan mental
dan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Pencipta , dengan
bertambah ma’rifah bertambah juga takwanya kepada Pencipta , dan
bertambah dekatlah ia kepada Pencipta .
Menurut Hamka, ma’rifat artinya ialah ujung perjalanan
dari Ilmu Pengetahuan. Ilmu ialah usaha mengetahui keadaan
suatu barang, namun ma’rifat menanyakan sebabnya dan nilainya.
Misalnya kata ilmu, dua kali dua sama dengan empat. Maka
ma’rifat tidak hendak mencukupkan perjalanan sehingga itu saja.
Dia masih bertanya: “Mengapa jadi empat, dan siapa yang
menjadikan empat?”.
Orang yang mempunyai ma’rifat dinamai “Arif. Kumpulan
pengetahuannya tentang Syari’at, dengan kesediaannya
menempuh jalan (Thariqat) dan mencapainya akan Hakikat,
semuanya itulah yang Ma’rifat. Jadi Ma’rifat yaitu kumpulan
Ilmu Pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadat.
Kumpulan dari Ilmu, Filsafat dan Agama. Kumpulan dari
Manthik (Logika), Keindahan (Aestetika) dan Cinta.
Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, namun
tergantung karunia Pencipta kepada hamba-Nya. Ma’rifat yaitu
pemberian Pencipta kepada hamba-Nya yang sanggup menerima.
Dan datangnya ma’rifat itu sebab adanya kesungguhan,
kerajinan, kepaPencipta dan ketaatan menjadikan diri sebagai hamba
Pencipta dalam beramal secara lahiriyah sebagai pengabdian yang
dikerjakan oleh tubuh untuk beribadat.
Ma’rifat menurut pandangan para Ahli Tashawwuf yaitu
berarti mengenal Pencipta . Ada juga yang mengartikan mengetahui
Pencipta dari dekat dimana hati sanubari melihat Pencipta . Dalam
hubungan ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata dalam
syairnya:
Kulihat Pencipta ku dengan mata hatimu, dan akupun
berkata: Tidak syak lagi Yang Engkau itu, yaitu Engkau
Pencipta ”.
Sedangkan Imam Al Ghazali memberikan ta’rif sebagai
berikut:
المعرفة الطالع على اسرار الربوبية والعلم بترتب األمور االلهية المحيطة بكل
المجودات
“Ma’rifat ialah mengetahui akan rahasia-rahasia Pencipta
dan mengetahui peraturan-peraturan Pencipta tentang segala yang
ada”.
Oleh sebab itu selanjutnya Imam Al Ghazali mengatakan:
المعرفة النظر الى وجه هللا تعالى
“Ma’rifat ialah memandang kepada wajah Pencipta ..”
Dalam kitab Ar Risalah Al Qusyairiyah dikatakan:
المعرفة هى الغيبة عن الغيرية بشهود االحدية
“Ma’rifat itu ialah lenyap dari segala yang lain, pada saat
nampaknya Yang Maha Esa”.
Sebagian ahli-ahli Tashawwuf mengatakan:
مذ عرفت االله لم ار غيرا * وكذا لغير عندنا ممنوع
“saat aku melihat Pencipta , tidaklah melihat yang lain,
demikianlah yang lain, di sisi Kami tidak lagi dibolehkan”.
Pengertian ma’rifat dalam hubungan hamba dengan Pencipta
yaitu mempunyai arti penting dan merupakan kewajiban yang
paling pokok. Firman Pencipta :
وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
untuk menyembah kepada-Ku (untuk mengenal Aku)”.
E. Mengenal Diri Mengenal Pencipta
Seorang muslim dapat dipastikan akan mengatakan bahwa
ajaran agamanya dimulai dengan sebuah ikrar secara lisan bahwa
Asyhadu an lâ Ilâha illâ Allâh (Aku bersaksi bahwa tiada Pencipta
selain Pencipta ), yang selanjutnya diikuti dengan kalimat Wa
asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh (Dan aku bersaksi bahwa
Muhammad yaitu Utusan Pencipta ). Kedua-dua pernyataan ini
sering disebut sebagai dua kalimat persaksian atau syahâdatain.
Setelah diikrarkan dengan lisan, dua kalimat syahâdat ini wajib
diyakini dalam hati, dan dinyatakan dalam perbuatan jika seorang
mulism ingin menjadi orang mukmin dalam arti yang
sebenarnya .
Ulama sepakat mengatakan bahwa asas atau pondasi ajaran
Islam ialah keesaan Pencipta , Pencipta tidak bersekutu, tidak pula
tersamai atau terpadani Kemahakuasaan-Nya. Dia melarang siapa
pun mengubah firman-Nya atau mencampuri ketetapan-Nya.
Islam tidak mengenal Pencipta yang berinkarnasi dalam diri
makhluk-Nya, segala urusan ada pada-Nya. Sejumlah manusia
telah dipilih menjadi rasul-rasul-Nya dengan tugas menyeru
manusia untuk mengesakan-Nya baik dalam sifat (shifah),
perbuatan (af’âl), nama (asmâ’), dan wujud-Nya (dzât). Inilah
ajaran Tauhid Islam.
Ajaran tentang keesaan Pencipta ini menjadi titik sentral
semua ajaran yang berkembang dalam pemikiran Islam selama
satu abad sepeninggal Nabi Muhammad saw, baik Ilmu Kalam,
Ilmu Fiqh maupun Ilmu Tasawuf. Dari kalimat tauhid Lâ Ilâha
illâ Allâh (Tiada Pencipta selain Pencipta ) seperti disebutkan di atas,
dalam Ilmu Tasawuf lahir kalimat-kalimat turunannya, seprti Lâ
Ma’bûda illâ Allâh, Lâ Mahbûba illâ Allâh, Lâ Maujûda illâ
Allâh (Tiada Yang Disembah kecuali Pencipta , tiada Yang Dicinta
kecuali Pencipta , dan tiada Yang Ada kecuali Pencipta ).
Dalam konteks bagaimana cara mengenal Pencipta yang Esa
yang menjadi awal dan akhir seluruh aktivitas kehidupan muslim,
dalam ajaran tasawuf, orang harus mengenal lebih dulu tentang
dirinya sendiri. Katanya: “Bagaimana bisa dia mengenal Pencipta ,
sedangkan terhadap dirinya sendiri dia belum kenal?” sebab itu
katanya pula: “Kenalilah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal
kepada Pencipta .”
Memang, yang paling menonjol dari pandangan tasawuf
tentang manusuia yaitu dijadikannya manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan sebuah
hadis Qudsi yang berbunyi: Lau laka, walau laka ma khalaqtu al-
‘alam kullaha (Kalau bukan sebab engkau dan bukan sebab
engkau (ya Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta
ini). Engkau dalam hadis ini tentu saja Muhammad saw,
namun Nabi saw di sini kemudian ditafsirkan oleh para sufi
sebagai simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu
bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya.
Pandangan seperti disebutkan di atas telah dianut oleh beberapa
sufi terkenal, seperti Ibn ‘Arabi (w.1240), Jalaluddin Rami
(w.1273) Shadruddin al-Qunyawi (w.1274) dan ‘Abdul Karim alJili (w.1403).
Manusia, menurut Ibn ‘Arabi, yaitu tempat tajalli Pencipta
yang paling sempurna, sebab manusia itu yaitu al-kaun al-jami’
yakni dia merupakan sentral wujud yang dapat disebut alam kecil
(mikrokosmos), yang padanya tercermin alam semesta atau alam
besar (makrokosmos) dan tergambar padanya sifat-sifat
KePencipta an. Dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi
mengatakan bahwa benda-benda alam ini, dari yang terbesar
sampai kepada yang terkecil, selalu ada bandingannya dalam diri
manusia.63 Itulah sebabnya maka manusia disebut alam kecil dan
alam semesta disebut alam besar. Oleh sebab itulah manusia
diangkat sebagai khalifah.64
Untuk menggambarkan bagaimana manusia telah menjadi
tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia
dengan buah. Walaupun buah itu, tumbuh sesudah batang, dahan
dan ranting, namun pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk
menghasilkan buah ini . sebab , sebuah pohon tanpa buah
yaitu pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat
Rasulullah saw saat menggambarkan kesia-siaan ilmu yang
tidak diamalkan. Oleh sebab itu, manusia mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi dalam pandangan para sufi, baik dalam
kaitannya dengan alam semesta maupun dengan Pencipta nya.
Dalam kaitannya dengan alam semesta, manusia yaitu buah atau
hasil akhir evolusi biologis alam. Ia yaitu tujuan akhir
penciptaan alam sendiri, selain itu manusia mengandungi seluruh
unsur alam semesta, sebagaimana buah mengandungi seluruh
unsur pohonnya, dari mulai akar, batang, dahan, cabang, ranting,
dan daun. Oleh sebab itu, manusia dikatakan sebagai
mikrokosmos. Lebih dari itu menurut Rumi, saat manusia telah
mencapai tujuan penciptaannya, manusia bukan lagi
mikrokosmos, namun makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi
terakhir, manusia yaitu yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan
kompleksitasnya, yang dalam kitab suci kitab muslim disebut ahsani
al-taqwim. 65
Untuk mengenal diri, orang harus mengenal asal kejadian
diri. Di sini muncul ajaran tentang Nur Muhammad atau Hakikah
Muhammadiyah. Menurut al-Hallaj, Nur Muhammad yaitu asal
atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan,
dan ilmu pengetahuan. Menurut beberapa sumber, al-Hallaj lah
yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini,
termasuk manusia, pada mulanya yaitu dari Nur Muhammad.
66
Dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis:
Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahayacahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahayacahaya itu tidak ada asatu pun cahaya yang lebih cemerlang,
gemerlap dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan
(Muhammad saw). Cita-citanya lebih dahulu. Wujudnya
lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Namanya lebih dahulu
ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum
makhlukmakhluk lain.67
Paham tentang Nur Muhammad ini juga berpangkal dari
“hadis” yang sangat populer di kalangan ahli tasawuf, khususnya
tasawuf falsafi, yang artinya: “Aku berasal dari cahaya Pencipta dan
seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Paham ini kemudian
dikembangkan dan disebar luaskan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi
dan Abd al-Karim al-Jili dalam kerangka ide al-Insan al-Kamil.68
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad tampak
ada kemiripan dengan ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam,
teori terjadinya alam semesta dikenalkan oleh al-Farabi dengan
mentransfer teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus, maka
dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj
dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad
atau Hakikah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang
ada.
Makrifat Jawa
A. Pendahuluan
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati ditulis oleh
Batakesawa pada tahun 1952. 69 Naskah ini ditulis dalam
bahasa Jawa dengan tujuan untuk ikut menyumbangkan pikiran
bagi pembangunan akhlak bangsa Indonesia yang sudah bebas
dari belenggu penjajahan. Bratakesawa merasa sedih melihat
bermacam-macam perbuatan yang merugikan masyarakat dan
Negara di era setelah kemerdekaan. Bahkan, beliau melihat
banyak perbuatan masyarakat yang telah menyeleweng dari
ajaran agama yang benar sesuai ajaran rasul. Beberapa aliran
kebatinan yang tumbuh seperti jamur di musim hujan menjurus
pada sikap saling menghujat dan mencela. Kenyataan seperti itu
dikuatirkan berdampak buruk pada kehidupan sosial dalam
berbangsa dan bernegara.70
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati terdiri dari tiga bab
yang dipaparkan dalam 119 halaman. Bab pertama, membahas
tentang Hakikat Zat Wajibul Maujud. Bab kedua, membahas
tentang Azabil qabri wa yaumil qiyamah, dan Bab ketiga
nenbahas tentang makrifatullah dan ghaibul maujud. Secara
umum, naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati berisi tentang
ajaran bagaimana cara mengenal Pencipta Yang Maha Esa
berdasarkan pemahaman yang menurut penulisnya dapat
dipertanggungjawabkan sebab berdasarkan dalil naqli dan
diuraikan dengan rasional sesuai dalil aqli. Dua hal inilah yang
membedakan karya Bratakesawa dari karya kebatinan lainnya.71
Naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati diuraikan dengan
pemilihan kata yang tepat dan diperkaya dengan diksi, serta
disusun dengan kalimat yang indah. Naskah ini diuraikan dalam
bentuk soal jawab antara guru dan murid. Seluruh uraiannya
mengandung ajaran tengan Pencipta , kematian, cara untuk
mendapatkan pengetahuan tentang Pencipta , dan lain-lain tentang
sesuatu yang gaib yang harus diimani.72
B. Biografi Penulis Naskah
Penulis Kuntji Swarga Miftaul Dajanati bernama
Bratakesawa, lahir pada tahun 1897 di Wonopati, salah satu desa
di Kecamatan Suwungalur, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI
Yogyakarta. Saat masih kecil, ia lebih dikenal dengan nama Gatot
Sastrodiharjo. Secara genealogis, ia merupakan keturunan dari
Pujangga terkemuka Jawa dari Keraton Solo Raden Ngabei
Ranggawarsita (1802-1873 M) dari jalur ayah, Raden Ngabei
Wonosastro. Bratakesawa wafat pada 17 Oktober 1972 dalam
usianya yang ke-75 tahun.73
Sebagaimana pada umumnya anak-anak pribumi di masa
kolonial Belanda, Bratakesawa tumbuh berkembang dengan
hanya mencicipi bangku pendidikan tingkat dasar, Sekolah
Rendah (SR). Kendati begitu, Bratakesawa mampu memupuk
kemampuan akademisnya dengan cukup baik meski dilakukan
secara otodidak. Proses belajar demikian sangat dimungkinkan
mengingat penguasaannya terhadap beberapa bahasa asing baik
bahasa Belanda, Inggris, Bahasa Arab, termasuk bahasa
Sanskerta.
Kapasitas pengetahuan dan keluasan wawasan juga didapat
melalui kepribadiannya yang cenderung mudah berinteraksi,
bahkan dengan para akademisi yang dikenal menyandang status
guru besar bidang keilmuan tertentu. Dua diantaranya yaitu
Profesor Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967)74 dan Raden Mas
Ngabehi Poerbatjaraka. 75 Tidak hanya dengan ilmuwan,
interaksinya juga dibangun melalui keaktifannya pada sejumlah
organisasi sosial-politik-keagamaan seperti Budi Oetomo,
Teosofia, Perkumpulan Kawula Yogyakarta, Muhammadiyah,
hingga Sarekat Islam.76 Sikapnya yang cenderung mudah bergaul
dengan para ilmuwan dan keaktifannya di berbagai organisasi
memungkinkannya menyerap ilmu pengetahuan dan wawasan
secara luas.
Sementara itu, sebelum menelorkan berbagai karya
pemikiran, Bratakesawa memulai karier formalnya sebagai Guru
Bantu di Sekolah Rendah Negeri dan Pesantren Budi Luhur di
wilayah Klaten, Jawa Tengah, pada tahun 1914. Lima tahun
kemudian Bratakesawa merintis kariernya sebagai sekretaris
kedua Insulinde Surakarta.
Salah satu bakat yang cukup menonjol dalam diri
Bratakesawa yaitu tulis menulis dan jurnalistik. Bratakesawa
diriwayatkan rajin menulis kolom dan artikel di sejumlah surat
kabar baik terbitan harian, mingguan, ataupun bulanan. Bakatnya
menulis mendorongnya meniti karier sebagai jurnalis pada
sejumlah media cukup terkemuka dalam hampir sepanjang
hidupnya.
Pada tahun 1920 misalnya, Bratakesawa menjabat posisi
komisaris sekaligus pemimpin redaksi Surat Kabar Sinar Harapan
Yogyakarta. Bratakesawa juga aktif sebagai redaktur mingguan
Pengunggah Yogyakarta yang dibina oleh R.M. Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), redaktur bulanan Putri Kediri
di Kediri Jawa Timur, redaktur Setya Tama di Yogyakarta,
termasuk surat kabar mingguan Dunia Baru di Yogyakarta.77
Sejak bertugas di Klaten, Bratakesawa tercatat banyak
berinteraksi dengan berbagai kelompok pergerakan maupun
individu. Salahsatunya yaitu tokoh pergerakan sekaligus
pimpinan Sarekat Abangan pimpinan SI Delanggu,
Mangunatmaja. Interaksi dan pergulatan pemikiran serta
kemampuannya menulis mendorong produktifitas Bratakesawa
dalam menulis sejumlah karya pemikirannya.
Suwarno mencatat, sekurangnya ada sembilan karya
yang ditulis oleh Bratakesawa. Di antaranya yaitu, Bayanul
Khaliq, Bayanul Haqq, Bayaanul Iman, Bayanul Maot, Salat
Da'im Mulat Salira; Wirid Iman, Tauhid, Makrifat, Islam; Suluk
Sangkan Paran, Falsafah Suka-Sungkawa; dan Kunci Swarga
(Miftahu’l Djannati). Namun, dari seluruh buku ini , Kunci
Swarga tampaknya yang paling populer sebab cukup mewakili
pemikiran sang penulisnya. 78 Analisis Harun, pentingnya buku
ini sebab di dalamnya, Bratakesawa menyampaikan
pemikiran-pemikirannya tentang Pencipta dan manusia.
Bratakesawa sendiri menjelaskan, buku terakhir ditulis sebagai
kontribusinya bagi perbaikan moral bangsa Indonesia yang baru
lahir pasca terbebas dari kolonialisme.
Harun Hadiwijono--doktor ilmu teologi, pendeta, dan
penulis sejumlah buku tentang Kristen--memposisikan
Bratakesawa masuk ke dalam jajaran tokoh Kebatinan. Ia
membahas sosok dan ajaran Bratakesawa ke dalam salah satu
bagian dari bukunya ”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada
penilaian Imam Supardi bahwa karya Bratakesawa ”berlainan
sekali dengan tulisan-tulisan tentang kebatinan yang lain”,
Hadiwijono menyimpulkan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh
kebatinan dan ajarannya merupakan doktrin kebatinan.79
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria
(KOS), dalam buku ”Menyongsong Sang Ratu Adil:
Menyongsong Sang Ratu Adil” menempatkan ”Serat Kuntji
Swarga” karya Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan
Jawa. 80 Karya tulis Bambang Noorsena ini kurang
mengetengahkan model pembahasan yang tertib dan
argumentatif. Untuk sebuah tulisan yang berusaha mengungkap
relasi antara Kekristenan dan Kejawen, karya ini justru gagal
mendefinisikan makna ”kebatinan” maupun ”kejawen” itu
sendiri. Kegagalan terminologis ini selanjutnya secara signifikan
berpengaruh terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap
entitas yang diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Di
antara konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena
sering menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa
mengacu pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi
bagi teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas
Kristen dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud
lahir dari konsepsi Islam.
C. Terjemah Naskah
Pada sub bab ini penulis sajikan terjemahan buku Kuntji
Swarga Miftahul Djanati yang penulis adaptasi dari terjemah bebas
Pujo Prayitno. Naskah asli ditulis dengan huruf latin dalam bahasa
Jawa. Naskah penulis terjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia sesuai sistematika penulisan naskah asal, yaitu terdiri dari
tiga bab yang dinarasikan dalam bentuk dialog, tanya jawab antara
Mudadama dan Wredadama.
PRAWACANA
Bismi’llahi’ rrahmani’rrahiem
Atas asma Dalem Gusti Pencipta ingkang maha Mirah ingkang
Maha Asih.
KULA NUWUN, anggen kula cumantaka ngripta serat “Kunci
Swargo (miftahul jannati) punika, boten saking bade ngongasaken
kalangkungan kula ing babagan falsafah tuwin tashawwuf adedasar
Islam, ingkang kula pancen boten gadah kalangkungan babagan
punika, sayektosipun namung saking kaderenging achlaq, tumrap
bangsa kita ingkang sampun uwal saking penjajah punika.
Saking pamanah kula: mubalipun panindak warni-warni
ingkang mitunani masyarakat tuwin praja, ngrebdanipun panindak
nyulayani wulangan agama ingkang dipun siyaraken para Rasul,
tuwin tuwuhipun grombolan “Kabatosan” pinten-pinten ingkang sisip
sembiripun cacad-cinacad: andadosaken karingkihaning bangsa,
punika boten sanes, jalaran kita kesupen dating ingkang sinebut asma
Pencipta .
Jalaran saking punika, amila serat punika, boten sanes inggih
namung bade isi andaran iktikad ingatasipun pangeran ingkang
Maha Esa, miturut salah satunggaling paham. Pangandaripun
adedasar dalil naqli (kitabing Pangeran) tuwin dalil ‘aqli (akal
pikiran) sagadugipun ingkang ngandaraken. Punapa dene kaurutaken
wiwit saking tataran iman(percaya ingkang boten namung tiru-tiru)
dumugi tataran ma’rifat (weruh, ingkang sanes weruhing netra),
kagubah ing basa Ngoko adapur soal-jawab, dados 3 bab.
Sarehning ingkang kula andaraken punika nama satunggaling
paham, amila saupami wonten ingkang boten nyuwaweni jalaran
ngrungkebi paham sanes, nuwun inggih boten aneh. Ewadene kula
inggih ngunjukaken suka sukur kula ing Pangeran dene serat punika,
boten ketang namung panda latu sapelik, meksa wonten ingkang
rumaos kasuluhan, katitik saking datenging serat-serat saking para
maosipun “Kunci Swarga”, ingakang sami mratelaken mareming
panggalihipun.
Nalika manitra ( cap-capan I ) sinangkalan: Tri Murti Salira
Nabi 1883 Jawi = 1952 Masehi
URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT
(BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L AQIYAAMATI)
1. kartosuwiryo :
Kak, saya sangat mengharapkan pemberian penjelasan Kakak
dalam saya mohon keterangan tentang yang dimaksud dari Lafal:
“Laa ilaha ilaPencipta Muhammadun Rasuulullah: serta tentang se
Wayang yang ingin bertemu dengan yang Nanggap (Bab I No.38)
kemarin malam itu. Sebaiknya dimulai sekarang saja, senyampang
masih sore, longgar waktunya.
soebandrio :
Aku setuju saja, sekehendakmu, dimulai ya silahkan. Tapi saya
ingin bertanya terlebih dahulu, apakah kamu sudah benar-benar
mengerti penjelasan tentang “Purusha dan Isywara itu?
2. kartosuwiryo :
Menurut perasaanku sudah benar-benar mengerti, hanya saja agar
lebih paham pengertianku, seandainya “Purusha” itu disebut
“Pencipta nya setiap diri manusia” dan “Isywara” itu desbut “Pencipta nya orang umum, bagaimana?
soebandrio :
Jika kejelasan pemahamanmu harus kamu sebut demikian, juga
bisa, akan namun tidak umum, Pada umumnya seseorang
menyebutnya, serta tertulis dalam A;-Qur’an, ya hanya berbunyi
Pencipta , itu saja, tidak ada tambahan Individueel atau algemeen.
Akan namun jika mau memperhatikan, sebenarnya di Qur’an ada
kalimat yang artinya Pencipta atau Pencipta , yaitu kata “RABB”
*Rabbun), yang terperinci menjadi:
Rabbi = Pencipta ku
Rabbana = Pencipta kami (Pencipta kita)
Rabbihim = Pencipta kami (Pencipta kita)
Raabika = Pencipta mu
Rabbikum = Pencipta kamu
Rabbahu = Pencipta nya
Rabbahum = Pencipta mereka
Sehingga dalam sebetunmu tadi, walau pun tidak umum, akan
namun tidak salah. Hanya saja harus ingat, bahwa Pencipta tiap
masing-masing orang itu hanya bayangannya Alla-nya manusia
pada umumnya itu tadi. An harus memahami, bahwa sang pemilik
bayangan itu tidak terbayangkan, sehingga bayangannya juga tidak
terbayangkan. Jika masih bisa dibayangkan, jelas salah.
3. kartosuwiryo :
Iya, iya, Kak. Sekarang pemahamanku semakin terang. Jika
demikian, kalimat “Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,
waman ‘arofa rabbahu faqad jahila nafsahu” yang disampaikan di
depan (Bab I No.36) itu lebih cocok seumpama di ganti: “Waman
‘arafa Rabbahu faqad ‘arafa Pencipta u, waman ‘arafa Pencipta u fadad
jahila nafsahu” = Barangsiapa mengetahi Pencipta nya sendiri,
sebenarnya mengetahui Alalah, sing sapa mengetahui Pencipta
sungguh bodh dirinya itu.
soebandrio :
Nah, sekaran ini kamu sudah pintar. Kalimat itu sebenarnya
petikan dari Hadits, akan namun bukan hadits yang syah(shahih atau
qudsi) alias hanya ciptaanya seorang sarjana sendiri saja, sehingga
boleh saja kamu rubah seperti itu. Justru aku lebih memilih yang
kamu rubah itu, sebab, kata “nafsahu” (dirinya) yang depan itu,
jika salah pemahamannya, bisa menyebabkan sesat.
Sekarang saya akan bertanya lagi, jika kamu sudah benar-benar
mengerti tentang yang kita bicarakan ini, biasanya ada buktinya di
dalam hatimu. Yaitu merasa Tegar, Kuat, bukan percaya kepada
yang tidak ada buktinya, tidak mudah terpengaruh (Bab I No.26),
bertambah baktinya kepada Pencipta , benar tindakannya, cinta
kepada sesamanya (Bab I No.35), tenteram, longgar, selalu sabar
dan syukur, giat berikhtiar akan namun pasrah, dan sifat yang lainlainnya yang terpuji. Jika diringkas menjadi satu kata, Hidup
terkuasai oleh ....... Cinta. Sehingga benarlah kalimat yang
berbunyi God is liefd. Nah, apakah kamu sudah ada perasaan
kenikmatan yang seperti itu? Walau pun belum 100% atau 50%,
tidak mengapa. Kadang juga sudah ada buahnya saja sudah sangat
beruntung, berkembangnya akan ditemukan di belakang.
4. kartosuwiryo :
Ooo, Kakakku! Tentulah Kakak tidak akan salah terka. Menurut
perasaanku, perubahan di dalam sanubariku itu sudah ada, namun
jika diibaratkan biji baru tumbuh atau baru bersemi, entah baru
baru berapa persennya.
Namun, saya terlebih dahulu menyela untuk mohon keterangan
terlebih dahulu, tentang “Cinta” yang berkuasa itu tadi. Tentunya
akan menjadi orang passief (terserah apa adanya) dan reaksioner
(musuh perkembangan) dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan ilmu Hakikat itu, menurut yang Kakak sampaikan:
bermanfaat dan menyelamatkan di dunia dan di akhirat (Bab I
No.2). Menurut pemahamanku “Dunia” itu juga termasuk
masyarakat ini, tidak bisa bila dunia hanya diartikan sebagai
sebuah Gua bagi orang yang sedang bertapa, menjauhi kehidupan
bermasyarakat.
soebandrio :
Sudah benarlah pemahamanmu tentang kata “Dunia” . namun
tentang pemahamanmu bahwa orang yang terkuasai oleh “Cinta”
akan menjadi pasif dan reaksioner itu masih salah. sebab “Cinta”
itu seharusnya justru .... Revolusioner, bahkan kadang .... ultra
revoluisoner. Seperti halnya para Rasul saat menjadi Senopati
Perang, itu disebab kan terkuasai oleh “Cinta”, bukan
ddisebab kan menuruti hawa nafsunya.
Contohnya lagi, saat Satria Rama memebantu atas permintaan
Sugriwa untuk membunuh Subali. saat Subali hampir lepas
nyawanya, tiba-tiba mengeluarkan tuntutannya, mengapa Satria
Rama ikut campur pertengkaran antar saudara? Jawaban dari Satria
Rama: Mengapa saya membunuhmu sebab terdorong rasa “Cinta”
agarkamu tidak semakin tersesat dalam kubangan kesalahan.
Hal itu, rasakanlah! Tentunya kamu mengira itu hal yang aneh,
mengapa membunuh justru terdorong oleh rasa “Cinta”. sebab
pada umumnya membunuh itu sebab terdorong sebab marah dan
kebencian. Akan namun bagi para Rasul, bukan hal yang aneh. Jika
tidak demikian, justru sangat aneh. Seperti itulah tindakan Satria
Rama itu tadi. Oleh sebab Satria Rama itu diceritakan sebagai
titisan Awatara (Kata Sanskrit “Avatara” juga dimaknai utusan
Pencipta – Rasul).
Selanjutnya: Para pencari Hakikat, harus selalu mengoreksi dan
mengawasi “Hatinya sendiri” dan berlatih diri agar segala
tindakannya berdasarkan “Cinta” Tidak perduli saat berada di
tengah-tengah kehidupan amsyarakat, atau sedang berada di dalam
Gua. Sedangkan berada di tempat yang sepi dan kosong pun jika
tindakannya belum dilandasi rasa “CINTA”, tidak bakalan bisa
untuk bisa mencapai Ilmu Hakikat.
Sedangkan untuk mebjalankan perbuatan yang berlandaskan
“Cinta” itu tadi, jika menurut ajaran Sri Kresna kepada Sang
Harjuna, yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, dikatakan:
“Melakukan yang tidak melakukan” Dalam Bahasa Arab, singkat
saja, hanya dua suku kata, yaitu “Ikhlas. Maksudnya, tidak punya
pamrih, selain hanya sebab Pencipta , atau sebab “Cinta”.
5. kartosuwiryo :
Itu, Kak!! Walau pun bagiku baru menjadi gambaran saja, namun
sudah membuat terangnya pikiranku. Sekarang Kakak agar
berkenan memberikan penjelasan tentang Kalimat dua yang saya
mohon untuk dijelaskan kemarin itu.
soebandrio :
Untuk makna atau bahasa Indonesia, kamu tentunya sudah
mengerti, benar kan?
“Laa ilaha IllaPencipta = Tidak ada Pencipta kecuali hanya Pencipta .”
“Muhammadun Rasuulullah = Muhammad utusan Pencipta .”
Jika lafat ini ditambahi “Asyhadu anna” (Aku bersaksi
dengan sebenarnya) barulah disebut “Kalimat Syahadat” (Kalimat
persaksian).
Nah, itu di pelajaran “Aqaid, sudah diterangkan dengan jelas
tentang Sifat-Sifat Pencipta dan Sifat-sifat Rasul-Nya. Kamu
tentunya kan sudah mengetahui?
Sifat wajib Pencipta itu 20, mokalnya 20, Wenang 1, jumlahnya 41,
sudah saya jelaskan di depan (Bab I No.21,22,34)
Sedangkan sifat Rasul itu:
Sifat wajibnya 4, yaitu Sidiq + Jujur, Amanah = bisa dipercaya,
tabligh = menyampaikan perintah Pencipta , Fathanah = Bijaksana.
Mokalnya juga 4, yaitu: Kidzib + dusta, Chiyanat = berkhianat,
ingkar, Kitman = Mengurangi