• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 5. Tampilkan semua postingan

sangkan paraning dumadi 5

 Kahar: 
tegesipun misesa, ingkang misesa asmanipun, dene boten 
nama sisten-sisten. Kamal: tegesipun sampurna, ingkang 
sampurna punika aningalipun, dede saged gumelar 
sanalika pangretinipun (pakartinipun) saking kuwasa 
tanpa sangsaya.
88
Atinya :
“Islam, artinya selamat. Yang selamat hayatnya. Arti hayat: 
hidup, berada pada sifat jalal, jamal, kahar, dan kamal. Jalal
artinya agung, Yang Agung itu Zat-Nya, sebab  meliputi semesta 
alam. Jamal artinya elok. Yang elok itu sifat-Nya, lantaran bukan 
laki-laki, bukan perempuan, bukan banci, serta tidak berarah, 
tidak bertempat, tidak berwarna dan tidak berupa. Kahar artinya 
kuasa, yang kuasa nama-Nya, tidak bernama siapa-siapa. Kamal
artinya sempurna. Yang sempurna itu perbuatannya, sebab  dapat 
mencipta yang terjadi sesaat  dan kuasa tanpa kesulitan.”89
.
Pencipta  sebagai zat yang tidak terdefinisikan semakin 
ditegaskan Bratakesawa dalam deskripsinya mengenai sifat-sifat 
Pencipta  dalam tulisannya yang lain, Ilmu kasunyatan, yaitu :
“Hidup tanpa ruh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak 
dapat digambarkan seperti apa, tidak waktu tidak tempat, tidak 
arah, tidak tempat tinggal, jauh tanpa batas, dekat tanpa 
senPencipta , tidak luar tidak dalam, namun  meliputi semua yang 
terhampar”.
90
Terkait iman manusia terhadap Pencipta , Bratakesawa 
membagi tiga tingkatan iman. Pertama, iman yang didasarkan 
pada keimanan secara mayoritas atau iman orang yang ikut￾ikutan. Kedua, iman yang berdasarkan pembacaan atas berbagai 
keterangan kitab-kitab agama disebut juga iman orang ahli kitab 
agama. Ketiga, imannya orang ahli makrifat yaitu iman yang 
didasarkan pengetahuan dan penghayatan. Dari ketiga tingkatan 
ini, iman ahli ma’rifat merupakan iman yang sebenarnya, yaitu 
iman yang didasarkan pada pencarian dan penghayatan sendiri. 
sebab nya, iman ini menempati posisi lebih tinggi dibanding dua 
iman lainnya. Tidak hanya itu, iman juga digambarkan sebagai 
kondisi yang tidak bersifat permanen, melainkan sangat dinamis, 
bisa naik dan turun, bertambah atau berkurang, menguat atau 
melemah.91
Mengenai konsep 20 sifat Pencipta  dalam pemikiran 
Bratakesawa, Suwarno melihat keidentikannya dengan 20 sifat 
wajib yang ada  dalam Ilmu Tauhid dalam Islam. Hal ini 
menegaskan betapa besarnya pengaruh teologi Islam ortodoks 
dalam pemikiran Bratakesawa. Dalam Islam, dua puluh sifat 
wajib Pencipta  yaitu  : al-Wujud, Al-Qidam, Al-Baqa’, al￾Muhallafah li al-Hawadits, al-Qiyamuhu binnafsihi, al-
Wahdaniat, al-Qudrat, al-Iradat, al-‘Ilmu, a;-Hayat, al-Sama’, 
al-Bashar, al-Kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayan, sami’an, 
bashiran, dan mutakalliman. Selain itu, pengelompokan ke-20 
sifat wajib ini  juga mirip dengan pembagian 20 sifat Wajib 
Pencipta  dalam Ilmu Tauhid, yaitu :
a. Sifat Nafsiyah, yakni sifat yang bisa membuktikan wujud 
(eksistensi) Pencipta , yaitu sifat Wujud;
b. Sifat Salbiyah, yakni kelompok sifat yang menegasikan 
atau menolak sifat-sifat yang tidak mungkin bagi Pencipta  
yaitu Al-Qidam, al-Baqa’, al-Muhallafah lil Hawadits, 
al-Qiyamuhu binnafsihi, dan al-Wahdaniat;
c. Sifat Ma’ani, atau sifat Ma’na, yaitu sifat-sifat yang 
memastikan yang disififati bersifat dengan sifat-sifat 
ini . Sifat-sifat ini yaitu  al-Qudrah, Al-Iradah, al-
‘Ilmu, al-Hayyah, al-Sama’, al-Bashar, dan al-Kalam. 
d. Sifat Ma’nawiyah, yaitu kelompok sifat yang lazim atau 
memastikan sifat-sifat ma’ani. Bahwa setiap ada sifat 
ma’nawiyah, maka ada sifat ma’ani. Sifat-sifat ini yaitu  
qadiran, muridan, ‘aliman, hayan, sami’an, bashiran, 
dan mutakalliman92
Secara teologis, corak pemikiran Bratakesawa cenderung 
mendekati pemikiran kalam Ahlu Sunnah atau Faham Teologi al￾Asy’ari. Sekurangnya, ada  tiga bukti kedekatan ini . 
Pertama, keyakinannya bahwa Pencipta  bersifat hingga 41 sifat, 
masing-masing yaitu 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat 
jaiz. Kedua, pengelompokan tiga derajat keimanan manusia 
terhadap Pencipta  cenderung mendekati tiga derajat keimanan al￾Ghazaly, salah satu tokoh penting dalam aliran kalam Asy’ariyah. 
Ketiga, untuk membuktikan eksistensi Pencipta , selain dalil naqli, 
Bratakesawa juga mendorong penggunaan dalil aqli, akal dengan 
segala keterbatasannya,93
Merujuk konsep kePencipta an Bratakesawa dalam Kunci 
Swarga, Harun menilai, Pencipta  dalam pemikiran Bratakesawa 
merupakan Pencipta  sebagai oknum atau pribadi. Hal ini, katanya 
terlihat pada penjelasan Bratakesawa di bagian lain, bahwa Pencipta  
tidak termasuk dalam golongan makhluk, sehingga Ia tidak dapat 
digambarkan baik oleh akal maupun budi manusia. Meski begitu, 
pada penyifatan Pencipta  dalam Ilmu kasunyatan, Bratakesawa 
menggambarkan Pencipta  sebagai Yang Maha Mutlak secara 
filosofis, yaitu Zat Tinggi yang terbebas dari segala bentuk 
hubungan yang mengandaikan ketergantungan, melainkan 
menjadi sebab atas berbagai sesuatu.94
Buku Kunci Swarga menejelaskan tentang Pencipta  melalui 
metode dialog antara orang tua dengan pemuda. Pemuda memulai 
dialog dengan pertanyaan apa dan siapa serta di mana Pencipta . 
Pertanyaan ini  dijawab oleh yang tua: “Pertanyaanmu 
“Pencipta  itu apa dan di mana?” itu pertanyaan yang terlalu jauh. 
Sebaiknya kamu mengetahui sifat-sifatnya saja dulu. Sifat-sifat 
Pencipta  itu diterangkan dengan jelas di dalam Alquran, sudah ada 
yang menghimpunnya, dan sudah disetujui orang banyak, yaitu 
sebanyak 20 sifat”. Jawaban ini mengesankan suatu pemikiran 
ortodok dalam perspektif pemikiran kalam dalam Islam, di mana 
cara mengenali Pencipta  dapat dilakukan dengan mengenali sifat￾sifat Pencipta  yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 
1 sifat jaiz. Pemikiran yang demikian diikuti oleh mayoritas 
pengikut aliran asyariyah dan maturidiyah, dimana pemikiran 
tradisional dalam kalam ini berbeda dengan pemikiran aliran 
Muktazilah yang rasional yang meniadakan sifat Pencipta  dalam 
keyakinan tauhidnya. Menurut Muktazilah, Pencipta  tidak bersifat 
dan apabila seseorang meyakini bahwa Pencipta  itu punya sifat 
maka tauhid orang ini  telah tercederai. Tauhid yang benar 
ialah meyakini keesaan Pencipta  tanpa menambahinya dengan 
keyakinan bahwa Pencipta  mempunyai sifat.
Menurut jawaban yang diberikan atas pertanyaa tentang 
keberadaan Pencipta  ini  dapat dipahami bahwa pesan yang 
disampaikan oleh penulis buku Kunci Swarga menggunakan 
pendekatan pemikiran tradisional, bukan rasional sesuai dengan 
aliran pemikiran dalam agama Islam yang mengamalkan tanzih, 
yaitu tidak mau menyamakan Pencipta  dengan sesuatu, tan kena 
kinaya ngapa.
95
Sesudah pertanyaannya yang demikian itu, Bratakesawa 
meneruskan uraiannya dengan menyebutkan kedua puluh sifat 
Pencipta . Kedua puluh sifat ini yaitu  sifat yang wajib dikenakan 
kepada Pencipta . Di samping kedua puluh sifat wajib ini masih ada 
dua puluh sifat lagi yang tak dapat dikenakan kepada Pencipta , yaitu 
sifat mustahil (mokal), dan akhirnya masih ada satu sifat yang 
dapat diungkapkan di dalam kata-kata “Pencipta  berhak melakukan 
atau tidak melakukan sesuatu” (sifat wenang).96
Dua puluh sifat yang wajib itu, menurut Bratakesawa, 
dibedakan dalam sifat nafsiyah, yaitu sifat yang dianggap tubuh, 
sifat salbiyah, yaitu sifat yang menolak lawannya, sifat ma’ani, 
yaitu sifat yang menempati sifat nafsiyah, dan sift ma’nawiyah, 
yaitu sifat yang ditempati sifat ma’ani.97 Sesudah itu Bratakesawa 
menyebutkan pembedaan sifat Pencipta  seperti yang dilakukan di 
dalam Serat Wirid, yaitu sifat jalal, yang artinya Mahaagung, 
yang dianggap sama dengan nafsiyah, sifat jamal, yang artinya 
Mahaindah, sifat kamal, yang artinya Mahasempurna, dan sifat 
qahar, yang artinya Mahakuasa.98
Akhirnya, beliau menyebutkan sifat Pencipta , yang menurut 
pendapatnya, biasa dikenakan kepada Pencipta  oleh para ahli 
kebatinan, yaitu hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal 
tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa (tan kena 
kinayangapa), tiada zaman tiada makan (maqam), tiada tujuan 
tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa senPencipta , tiada luar 
tiada dalam, namun  meliputi semua yang tergelar atau terbentang 
ini, dan sebagainya.99
Dapat dikatakan bahwa ajaran Bratakesawa tentang Pencipta  
ini mendekati ajaran Pencipta  sebagai Pribadi. Hal ini tampak juga 
dalam ucapannya yang menekankan bahwa Pencipta  tak termasuk 
golongan makhluk, oleh sebab nya Ia tak dapat digambarkan oleh 
akal atau budi. 100 Namun, kelompok sifat yang terakhir ini 
menggambarkan Pencipta  Pencipta  sebagai yang mutlak dalam arti 
falsafah, yaitu yang bebas dari segala hubungan, nisbah serta 
sifat, namun yang menjadi sebab pertama dari segala sesuatu.
Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi jika kita sudah 
membicarakan ajarannya tenang manusia.
3. Manusia, Shalat Ma’rifat, dan Jalan Kembali pada 
Pencipta 
Pandangan tentang manusia diintroduksinya dalam Kunci 
Swarga sebagai berikut:
“Kowe ngertiya, sakabehing wong iku, ora pilih lanang 
apa wadon, tuwa apa enom, sugih apa mlarat, ora pilih 
bangsa lan agamane,…adeging uripe kedadean saka: 1) 
Dijumenengi Sang Alus; 2) Badan Alus dalah pirantine 
kang alus; 3) Badan wadag kang kasat-mata iki, dalah 
pirantine kang uga wadag.”101
Artinya :
“Ketahuilah olehmu, semua orang, baik lelaki maupun 
perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, tanpa 
memandang kepada bangsa maupun agamanya….wujud hidupnya 
terdiri dari : 1) disemayami Sang Halus; 2) Badan Halus dengan 
peralatannya yang halus; 3) Badan Kasar (wadag) yang tampak 
ini, dengan peralatannya yang kasar juga”102
Dalam introduksi ini, Bratakesawa hendak mengemukakan 
pandangannya bahwa manusia terdiri dari tiga hal, yakni Badan 
Kasar, Badan Halus, dan Sang Halus. Secara umum, Badan 
Kasar yaitu  badan yang terlihat secara kasat mata dan teraba 
oleh indra. Badan Kasar juga merupakan alat yang dapat 
digunakan manusia dalam keadaannya yang biasa. ada  
delapan peralatan dalam Badan Kasar dengan fungsinya masing￾masing; 1) hidung (irung) dengan mesinnya pencium (pangambu) 
dengan tindakannya mencium; 2) telinga (kuping) dengan 
peralatannya pendengaran (pangrungu) serta tindakannya 
mendengar; 3) mata (mripat) dengan mesinnya penglihatan 
(pandeleng) serta tindakannya melihat; 4) lidah (ilat) dengan 
mesinnya pengecap (pangenyam) serta tindakannya merasakan; 5) 
kulit, daging, dan tulang (kulit, daging, balung) dengan mesinnya 
senPencipta  (panggepok) serta tindakannya merasakan pedih, ngilu, 
dan sebagainya; 6) jantung (jantung) dengan mesinnya hati (ati) 
serta tindakannya berfikir, membayangkan, dan sebagainya; 7) 
otak (utek) dengan mesinnya akal serta tindakannya mengingat, 
berfikir, dan lain-lain; 8) kemaluan (pringsilan) dengan mesinnya 
nafsu (napsu) serta tindakannya marah, berkeinginan, dan 
sebagainya103
Adapun Badan Alus, kata Bratakesawa, hanya memiliki 
satu alat yaitu “perasaan ingat” atau “perasaan sejati” (rasa eling 
utawa rasa jati). Dengan demikian, bentuknya sangat halus sekali
dan hanya tampak saat bertindak. Sementara Sang Alus, sebagai 
bagian terdalam dalam diri manusia sama sekali tidak memiliki 
peralatan, sebab Sang Alus berkuasa tanpa alat (qadirun 
bilalatin/kuwaos tanpa piranti).
Agar tidak difahami keliru, Bratakesawa selanjutnya 
membedakan antara Badan Alus dan Sang Alus. Menurutnya, 
setiap yang disebut badan--bagaimanapun sifatnya; kasar, 
cenderung halus, halus, cukup halus, dan sangat halus--pasti 
terbuat dari bahan dan unsur (bebakalan), sehingga otomatis tetap 
memiliki bentuk (wangun). Hanya saja, berbeda dengan Badan 
Kasar, Badan Alus tindakannya dinyatakan dalam olahnya yang 
halus. Berbeda dengan Badan Alus, Sang Alus perbuatannya tidak 
bisa dinyatakan tanpa alat (tanpa piranti) sebab  tidak berbentuk 
badan sehingga tidak bisa dimisalkan bentuknya (tan kena kinaya 
ngapa).
105
Meski ketiga-tiganya berbeda satu sama lain, namun Badan 
Kasar, Badan Alus, dan Sang Alus merupakan satu kesatuan 
dalam diri manusia saat hidup. Bratakesawa menamsilkan 
keberadaan tiga hal ini sebagai satu kesatuan dari tiga substansi 
berbeda pada air laut (banyu segara), yakni garam (uyah), oxygen 
(dat pangobong), dan hydrogen (dat banyu). Dua substansi 
terakhir merupakan anasir air. Pemisahan Badan Kasar dengan
dua substansi terakhir terjadi saat  manusia mati, sementara 
Badan Alus dan peralatannya masih hidup sebab  masih ditempati 
Sang Alus. Tamsilnya yaitu  air laut yang terdiri dari air dan 
garam. Bila air laut ini  diuapkan, maka yang tertinggal 
hanya garam sebagai representasi Badan Kasar yang sudah mati. 
Sementara pemisahan Badan Halus dan Sang Alus sendiri 
diibaratkan seperti air yang sudah dipisahkan dari kandungan 
garamnya atau yang tertinggal hanya terdiri dari oxygen dan 
hydrogen, yang tersisa hanyalah oxygen sebagai Sang Alus dan 
abadi keadaannya.
106
Selanjutnya, Bratakesawa mengidentifikasi Sang Alus
sebagai Ikheid atau Purusha (Saiki Sang Alus mau arani nganggo 
tembung Ikheid utawa Purusha).107 Harun menduga, Sang Alus
atau Ikheid (ke-Aku-an) atau Purusha yang dimaksudnya yaitu  
Super Ego Manusia, atau Aku yang lebih tinggi. Bratakesawa 
mendefinisikan Purusha sebagai satu hal yang melingkupi segala 
hal. Ia, bahkan meliputi batu yang tak bisa bergerak hingga 
jenazah manusia yang sudah busuk bercampur tanah. Dalam 
Wirid Iman, Tauhid, Makrifat, Islam, Bratakesawa menjelaskan 
Purusha melingkupi segalanya sebab  ia sama dengan “Nur 
Muhammad, Cahaya Terpuji, Asal Segala Sesuatu”. Meski 
keberadaannya memiliki sifat yang sama dengan Pencipta , yakni tak 
dapat terkatakan seperti apa dan dimana (tan kena kinaya ngapa) 
dan tak tergolong makhluk, namun Bratakesawa menolak 
identifikasi Purusha sebagai pencipta langit dan bumi. Sementara 
pencipta langit dan bumi, ia menamainya sebagai Isywara
(Absolute IK). Sementara Purusha jelasnya, tidak lain kecuali 
bayang-bayang Isywara.
108
Untuk menjelaskan Sang Halus atau Purusha sebagai 
bayang-bayang Pencipta  atau Isywara, Baratakesawa memberikan 
gambaran dengan perumpamaan 1000 (seribu) jembangan (pasu) 
berisi air yang diletakan di tengah alun-alun saat matahari terik. 
Dalam perumpamaan ini, matahari merepresentasikan Pencipta , air 
merepresentasikan Badan Alus, sedang pantulan bayang matahari 
di airnya sendiri mereperesentasikan Sang Alus. Pada tiap 
jembangan ini  dipastikan adanya ‘bayang-bayang’ matahari 
yang terpantul dari airnya. Sekalipun ada seribu bayangan 
matahari yang terpantul, tidak berarti disimpulkan bahwa ada 
1000 Matahari. Dengan demikian, Sang Alus tidak berarti 
diidentifikasi sebagai Pencipta .
Lebih jauh, Bratakesawa mengungkapkan, meski 
bersumber dari Pencipta  namun manusia senantiasa terbelenggu oleh 
nafsu duniawi. Belenggu ini  terakumulasi dalam bentuk 
keinginan. Keinginan, bukan hanya keinginan dalam pengertian 
negatif, melainkan juga keinginan-keinginan yang bersifat positif 
seperti menguasai ilmu pengetahuan, menciptakan ketentraman 
dunia, menjadi pemimpin umat dan berbakti kepada Pencipta . Bila 
belum mampu melepaskan diri dari belenggu-belenggu keinginan 
ini , maka manusia akan dilahirkan kembali (Samsara). 
Gagasan kelahiran kembali (Samsara) seperti diungkapkan 
Bratakesawa, dinilai mirip dengan konsepsi Samsara dalam 
agama Hindu dan Budha, bahwa hidup menjadi sengsara sebab  
masih adanya keinginan.109
Berbeda dengan penilaian Harun, Bratakesawa sendiri 
melihat konsepsi Samsara-nya lebih mendekati pengertian 
qiyamat dalam agama Islam. ada  tiga argumen yang 
dijadikan dasar pemikiran kedekatan ini . Pertama, bahwa 
tiap orang akan diadili atas perbuatannya dan bagian tubuhnya 
akan memberikan laporan. 110 Kedua, putusan tentang pahala 
manusia akan disesuaikan dengan perbuatan masing-masing, ada 
orang yang masuk Surga juga ada yang ke Neraka (QS an-Naziat: 
36-41), selain bahwa tidak ada seorangpun manusia 
menggantikan posisi pertanggungjawaban orang lain atau 
sekalipun menolong mengubah putusan (QS al-Baqarah: 48). 
Ketiga, akhirat kekal untuk selama-lamanya (al-Mu’minun: 39), 
bahwa bapak tak berguna bagi anak juga sebaliknya (Luqman: 
33), orang yang semula saling mengasihi menjadi bermusuhan 
(al-Zukhruf: 67) dan tidak ditanya keturunan (al-Mu’minun: 101). 
Berdasar ayat-ayat ini, Bratakesawa menyimpulkan bahwa 
kebangkitan dari maut atau pengadilan hari akhir yaitu  kelahiran 
seorang bayi dari rahim ibunya. Selain itu, kesempurnaan atau 
kondisi kebebasan ialah dicapai saat  orang telah dibebaskan 
dari tumimbal lahir atau dari pengadilan terakhir, sehingga orang 
akan dapat kembali ke alam yang mutlak, asal mula segala 
sesuatu
Untuk meraih kebebasan dari kelahiran kembali, maka 
manusia harus hidup tanpa keinginan terhadap hal-hal duniawi 
(wairagya dalam istilah Sanskerta atau zuhd dalam bahasa Arab). 
Namun hidup tanpa keinginan harus disertai dengan pengetahuan 
dan perbuatan, yakni kondisi dimana manusia bekerja dan 
beramal seolah-olah ia akan hidup selamanya dan berbakti kepada 
Pencipta  Yang Maha Kuasa seolah-olah dia akan mati besok hari
“i’mal lidunyaka kaannaka ta’isy abada wa i’mal li akhiratika 
kaannakan tamutu ghada”. Pengetahuan dan perbuatan ini  
dibagi dalam tiga kelompok, yakni pengetahuan akan Pencipta , 
pengetahuan tentang ‘kembali pada Pencipta ’, dan jalan untuk 
mencapai kembali pada Pencipta . Jalan kembali kepada Pencipta  harus 
dipelajari manusia selama hidupnya, sehingga ia bisa mencapai 
ma’rifat atau pengetahuan yang sebenarnya.
112
Untuk mencapai pengetahuan ini , maka orang harus 
melakukan shalat ma’rifat (penyembahan suksma). Ada empat 
jenis shalat menurut Bratakesawa : 
a. Shalat Syari’a, yaitu penyembahan badan yang didahului 
bersuci dengan air. Penerimaan shalat ini akan 
mendapatkan pengetahuan syari’at atau pengetahuan 
pancaindera, seperti oleh sebab  mata telah melihat dunia 
maka orang akan percaya bahwa Pencipta  yaitu  pencipta 
dunia. Sementara kepercayaannya disebut Wajibul Yaqin, 
kepercayaan yang diwajibkan. 
b. Salat Tariqa, yaitu penyembahan budi atau hati yang 
penyuciannya terjadi melalui perantaraan pergumulan 
dengan nafsu atau keinginannya. Jika diterima, shalat ini 
akan memberikan pengetahuan tariqa, yaitu pengetahuan 
akan pengertian atau pengetahuan akan ketiga indera 
terakhir dari delapan indera (jantung, otak, dan kemaluan 
atau pringsilan). Sementara kepercayaan ini disertai oleh 
pengertian siapa sebetulnya Pencipta  dan sekaligus 
dinamakan ‘Ainul Yaqin, kepercayaan yg membuktikan. 
c. Shalat Haqiqa, yaitu penyembahan dengan perantaraan 
rasa jati dimana penyuciannya terjadi melalui ketenangan 
batin dan kejernihan, keawasan, dan ingat (eneng ening 
awa eling). Bila diterima, orang akan mendapatkan 
pengetahuan haqiqa, yaitu pengetahuan rasa jati, yang 
tidak terbatas pada pengertian saja. Kepercayan ini 
disebut Haqqul Yaqin, yaitu kepercayaan yang benar. 
Pada taraf ini segala macam selubung yg berada di antara 
makhluk dan khaliq dibuka. namun  taraf ini ialah taraf yg 
berbahaya sekali, sebab  banyaknya “pembegalan”. 
d. Salat Ma’rifa; penyembuhan suksma, yaitu jiwa yang 
kuasa tanpa alat. Inilah penyembahan Sang Halus atau 
Purusa atau penyembahan Pencipta  perorangan. 
Penyusiannya terjadi dengan menegasikan seluruh 
keinginan (wairagya atau suhud) atau membuang segala 
macam cita-cita kecuali cita-cita berkaitan dengan Pencipta . 
Bila diterima, orang akan mendapatkan Pengetahuan
Ma’rifah atau ma’rifat yang benar. Artinya bahwa 
kepercayaan itu tanpa alat dan tak dapat dikatakan seperti 
apa. Inilah taraf yang disebut peleburan papan dan 
tulisan, taraf ketenangan. Kepercayaannya disebut Isbatul 
Yaqin, kepercayaan yang sudah tetap.
113
Bratakesawa menambahkan, ada  dua tahap utama 
dalam melaksanakan Shalat Ma’rifat, yaitu latihan budi atau 
latihan pikiran (cipta). Pertama, pemusatan cipta atau tafakur
(Arab) atau samprajnana (Sanskerta). Dalam tahap ini, cipta 
dikonsentrasikan pada satu hal. Untuk itu, shalat ini disebut pula 
“salat ma’rifat melalui perantaraan obyek” (salat makripat kang 
mawa cakakton). Kedua, meditasi dengan mengosongkan cipta. 
Bila dibarengi pelafalan kata-kata, meditasi dinamai zikr atau 
asamprajna dalam istilah Sanskerta. Meditasi ini berakhir dengan 
“Samadhi” atau khusuk. Dalam fase ini, orang dibebaskan dari 
segala perkara duniawi dan segala dosanya di dunia, baik dosa 
perbuatan, dosa pikiran, maupun dosa perkataan. Bila taraf ini 
dilalui, maka orang ini  akan berhasil kembali pada Pencipta  
sebagai muasalnya.
114
Sebagai jawaban pertanyaan murid (saudara muda di dalam 
buku itu) yang menanyakan, apakah benar orang yang beritikad 
bahwa Pencipta  sebenarnya tidak lain kecuali Ingsun (Aku), 
Bratakesawa berkata:
“Ketahuilah olehmu, semua orang, baik lelaki maupun 
perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, tanpa 
memandang kepada bangsa maupun agamanya… wujud 
hidupnya terdiri dari: 1) disemayami Sang Halus, 2) Badan 
Halus dengan peralatannya yang halus, 3) Badan Kasar
(wadag) yang tampak ini, dengan peralatannya yang kasar 
juga.”
115
Jadi menurut Bratakesawa, manusia terdiri dari tiga bagian, 
yaitu Sang Halus, Badan Halus, dan Badan Kasar.
Peralatan Badan Kasar ialah segala alat yang dapat 
dipergunakan oleh manusia di dalam keadaannya yang biasa yaitu 
hidung dengan mesinyya yang disebut pencium serta tindakannya 
mencium; telinga dengan mesinnya yang disebut pendengar serta 
tindakannya mendengar; mata dengan mesinnya yang disebut 
penglihatan serta tindakannya melihat; lidah dengan mesinnya 
yang disebut pengecap serta tndakannya merasakan; kulit, daging, 
dan tulang dengan mesinnya yang disebut senPencipta  serta 
tindakannya merasakan pedih dan ngilu dan sebagainya; jantung 
dengan mesinnya yang disebut hati serta tindakannya memikir, 
membayangkan, dan sebagainya; otak dengan mesinnya yang 
disebut budi serta tindakannya mengingat, memikir dan 
sebagainya; kemaluan dengan mesinnya yang disebut nafsu serta 
tindakannya marah, beringin, dan sebagainya.116
Badan Halus hanya memiliki satu alat, yaitu rasa eling
atau rasa jati (rasa ingat atau rasa yang sejati), yang halus sekali 
dan yang hanya kadangkala bertindak.
Sang Halus, sebagai bagian yang terdalam, tidak memiliki 
suatu alat pun, sebab Sang Halus berkuasa tanpa alat (qadirun 
bila alatin).
Mengenai hubungan antara ketiga bagian ini dikatakan, 
bahwa hal itu tidak boleh dipandang sebagai seekor ayam jantan 
yang dikurung di dalam kurungan, dan yang ditempatkan di 
dalam suatu bilik, artinya gagasan seolah-olah Sang Halus
dipenjara di dalam tubuh harus dibuang.117 Hubungan di antara 
ketiga bagian itu harus digambarkan sebagai hubungan antara tiga 
macam substansi yang ada  pada air laut, yaitu garam, 
oksigen, dan hydrogen. Kedua-dua bagian yang terakhir ini 
membentuk air. Jika orang mati, Sang Halus bersama-sama 
dengan Badan Halus dipsahkan dari Badan Kasar. Pemisahan itu 
sama dengan pemisahan air dari garam pada waktu air laut 
ditiupkan dan diembunkan. Pemisahan Sang Halus dari Badan 
Halus sama dengan pemisahan hydrogen dari oksigen dalam 
proses kimia.
Yang ajaib ialah bahwa di dalam bukunya yang lain, yaitu 
di dalam Wirid ITMI, Bratakesawa justru meneguhkan apa yang 
di Kunci Swarga ditolaknya dengan keras. Sebab di dalam Wirid 
ITMI beliau berkata:
“Itulah dinda, jika Pencipta  orang sedunia itu saya 
umpamakan lautan, manusia ini umpamanya arca garam 
(Hyang Suksma yang kuasa tanpa alat) dibungkus di dalam 
kapas (Jiwa = Badan Halus yang beralatkan rasa jati) lalu 
dilapis dengan lilin (Badan Kasar dengan alatnya lima 
indera dan lain-lainnya), jadi berupa arca lilin, yang 
senantiasa ikut gelombang lautan, namun  tak tertembus oleh 
air laut.”118
Di sini manusia digambarkan sebagai sebuah arca lilin, 
yang di dalamnya ada garam sebagai Sang Halus, terbungkus 
dengan kapas. Jadi, gagasan tentang “penjara” di sini justru 
dikemukakan dengan jelas. Gagasan lain yang ada  di dalam 
kutipan di atas bahwa Sang Halus juga disebut Hyang Suksma
yang berkuasa tanpa alat.
Uraian labih lanjut mengenai Sang Halus ada  di dalam 
ucapan: “Sekarang Sang Halus tadi saya sebut dengan kata Ikheid
atau Purusha, dan selanjutnya akan saya sebut demikian itu, 
jangan salah paham”.
119
Sang Halus di sini disebut Ikheid (ke-Aku-an) atau 
Purusha. Barangkali yang dimaksud ialah Super Ego manusia, 
atau Aku yang lebih tinggi. Hal ini akan terang di belakang. 
Selanjutnya dikatakan:
“Hidup (Urip) dan Yang Hidup (Sang Uring) itu hanya 
sebagian dari pada sifat Purusha itu, adapun Sang Urip itu 
hanya salah satu dari pada sebutan Purusha saja.
Keterangannya bahwa ketiga-tiganya itu bukan Purusha
yang sebenarnya, sebab  Purusha itu bersifat meliuputi 
segala yang ada ini. Sekalipun batu yang tak dapat 
bergerak, sekalipun tubuh kasar manusia yang sudah busuk 
bercampur dengan tanah, … juga diliputi oleh Purusha.”120
Dua gagasan baru ditambahkan di sini. Pertama, salah satu 
dari sebutan Purusha yaitu  Sang Urip, yang tidak boleh 
disamakan dengan Purusha sendiri, dan kedua, Purusha
dipandang sebagai meliputi seluruh dunia, bahkan meliputi juga 
batu yang tak bergerak dan jenazah yang sudah membusuk 
bercampur dengan tanah. Purusha itu meliputi segala sesuatu 
sebab  Purusha yaitu  sama dengan Nur Muhammad, Cahaya 
Terpuji, asal segala sesuatu.121
Mengenai Hyang Suksma dikatakan bahwa Hyang Suksma
itu tidak boleh dikacaukan dengan suksma; yaitu nyawa atau roh 
(jiwa). Hyang Suksma tidak tampak bagi penglihatan jasmani dan 
rohani, sebab Hyang Suksma tak dapat dikatakan seperti apa (tan 
kena kinayangapa) dan tidak tergolong makhluk. 122 Pernyataan 
ini menunjukkan bahwa Purusha dipandang memiliki sifat yang 
sama dengan Pencipta . Akhirnya dikatakan bahwa “Purusha itu 
disebut Pencipta  di dalam Alquran”.
123
Di dalam keterangan di atas, yaitu bahwa Purusha atau 
“Super Ego” meliputi segala sesuatu di dunia ini bahwa ia 
berkuasa tanpa alat bahwa ia juga disebut Hyang Suksma sebagai 
sasaran kebaktian yang tak tampak, dan bahwa ia juga disebut 
Pencipta , serta bahwa ia memiliki sifat yang sama dengan Pencipta , 
yaitu: tak dapat dikatakan seperti apa, dan tak tergolong makhluk, 
orang akan mendapat kesan bahwa sebenarnya yang disebut 
Purusha ini yaitu  Pencipta  sendiri, sama seperti Atman yaitu  
Brahman di dalam agama Hindu, atau atma yaitu  Ingsung di 
dalam Serat Wirid. namun  kesimpulan yang demikian ditolak oleh 
Bratakesawa dengan tegas. Ia berkata: “Purusha itu bukan yang 
menjadikan bumi dan langit dengan segala isinya ini”.124
Penolakan ini cukup jelas. Bukanlah keyakinan 
Bratakesawa bahwa manusia pada hakikatnya yaitu  Pencipta  
sendiri. Untuk membedakan antara Purusha dan Pencipta , 
Bratakesawa berkata:
“Adapun yang menjadikan bumi dan langit dengan segala 
isinya ini, kamu jangan salah faham, saya sebut namanya 
Absolute Ik atau Isywara. Isywara itu kecuali memiliki sifat 
20 yang wajib, dan 20 yang mustahil, juga memiliki satu 
sifat lagi, yaitu wenang (jais). Artinya, berhak menjadikan 
semua yang ada ini, juga berhak tidak menjadikannya.”125
Alkhalik yang menjadikan dunia ini disebut Absolute Ik
atau “Aku yang Mutlak”, atau “Ego yang Mutlak” atau Isywara. 
Apa sebab Purusha juga disebut Pencipta  di dalam Alquran, 
diterangkan demikian:
“Coba bacalah dengan teliti, lalu rasa-rasakanlah dengan 
pikiran yang jernih, umpamanya: yang menyebutkan Iblis 
itu seteru Pencipta , bukankah itu terang Pencipta  Purusha, bukan 
Pencipta  Isywara. Sebab hakikat Isywara tidak memiliki 
seteru, sebab  semuanya itu yaitu  makhluk Isywara
sendiri. Bukankah demikian?”126
Demikianlah, menurut Bratakesawa, kitab muslim  
mengajarkan adanya dua macam Pencipta , yaitu Pencipta  sebagai 
Isywara dan Pencipta  sebagai Purusha. Jika kitab muslim  menyebut 
Iblis sebagai seteru Pencipta , maka yang dimaksud dengan Pencipta  di 
situ ialah Purusha, sebab Isywara tidak memiliki seteru. Iblis 
yaitu  seteru manusia, sebab tiap orang yang mengikuti pimpinan 
Iblis tentu tidak taat kepada Purusha, Dhat yang Maha Suci.127
Suatu usaha yang lain untuk menerangkan perbedaan antara 
dua macam Pencipta  itu didapatkan di dalam bagian lain, di mana 
disebutkan bahwa kitab muslim  menyebut Pencipta  juga sebagai Rabb 
(Rabbun), darinya dapat dibentuk kata-kata Rabbi (Tuanku), 
Rabbana (Tuan kami), Rabbika (Tuanmu), dan sebagainya. Di 
sini kata Rabb menunjuk kepada Pencipta  Isywara.
128 Untuk 
membedakan Purusha dari Isywara dipergunakan juga sebutan 
lain, yaitu Pencipta  Perorangan (Pencipta e siji-sijining wong) bagi 
Purusha, dan Pencipta  yang Umum (Pencipta e wong umum) bagi 
Isywara.
Dengan cara yang demikian ini, Bratakesawa mencoba 
menerangkan perbedaan antara Purusha dan Isywara. Beliau 
menerima adanya suatu “Ego” sebagai lawan dari “Ego yang 
Mutlak”, atau “Super Ego” atau “Pencipta  perorangan” sebagai 
lawan dari “Pencipta  yang Umum”, yaitu Purusha sebagai lawan 
Isywara.
Bagaimana hubungan antara kedua macam Pencipta  ini? 
Apakah yang pertama mewujudkan suatu bagian dari yang 
kedua? Gagasan yang demikian ditolak dengan tegas oleh 
Bratakesawa sebab beliau berkata: “Adapun Purusha itu tak lain 
yaitu  … bayang-bayang Isywara. Pesanku dengan sunguh￾sungguh janganlah kamu salah faham: “Bayang-bayang” itu 
bukan jorengan (cuwilan) atau pletikan”.130
Uraian ini jelas menunjukkan bahwa Purusha bukan bagian 
dari Isywara. Kecuali itu, kutipan di atas juga menunjukkan, apa 
sebenarnya Purusha itu, yaitu bayang-bayang Isywara atau 
bayang-bayang Pencipta .
Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, Bratakesawa 
mempergunakan perumpamaan sebagai berikut:
“Seandainya pada waktu tengah hari, di tengah alun-alun 
ada 1000 jembangan yang berisi air, pada tiap jembangan 
tentu ada  “bayang-bayang” matahari. Bukankah 
demikian? Apakah kamu lalu berkata, bahwa ada dua, tiga, 
atau seribu matahari? Demikian itulah perumpamaan 
Isywara dengan Purusha tadi”.131
Selanjutnya dengan perumpamaan di atas, diterangkan 
bahwa segala jembangan itu menggambarkan Badan Kasar, 
sedang air di dalam jembangan menggambarkan Badan Halus
atau roh manusia, dan akhirnya bayang-bayang matahari di dalam 
air itu menggambarkan Sang Halus atau Purusha, atau Pencipta  
Perorangan. Matahari sendiri menggambarkan Isywara.
Bayang-bayang jelas tidak sama dengan yang memiliki 
bayang-bayang itu. Maka keduanya tidak boleh diidentikkan, 
terlebih-lebih kedua-duanya tidak boleh dianggap sebagai 
sehakikat.
Yang ajaib ialah bahwa Bratakesawa tidak berani 
mengambil kesimpulan bahwa Purusha dan Isywara oleh 
sebab nya mewujudkan dua kategori “keadaan” (Ingg: being) 
yang berbeda sekali. Jika baliau membicarakan soal “apakah 
makhluk dan khalik yaitu  satu” beliau berkata bahwa jika yang 
dimaksud dengan makhluk yaitu  bayang-bayang matahari di 
dalam jambangan yang berisi air, beliau menentukan bahwa 
benarlah mereka yang berkata, bahwa makhluk dan khalik yaitu  
sama. Bratakesawa berkata:
“Faham dua macam itu menurut saya sama benarnya. 
Sebabnya selisih, tak lain sebab  tidak dijelaskan terlebih 
dahulu mana yang disebut makhluk di dalam soal yang 
dibicarakan itu. Jika yang disebut makhluk di dalam uraian 
ini  barang yang berbentuk--baik kasar maupun halus--
maka benarlah yang beritikad bahwa makhluk dan khalik 
yaitu  dua, bukan satu dan tak dapat bersatu, sebab kalik 
tidak berbentuk, bukan jisim bukan jirim, tak dapat dikatakan 
seperti apa (tan kena kinayangapa). Adapun jika yang 
dimaksud makhluk di situ Bayang-bayang matahari terhadap 
jambangan yang berisi air itu, maka benarlah yang beritikad, 
bahwa makhluk dan khalik yaitu  satu, bukankah demikian? 
Bukankah tidak keliru bahwa makhluk itu dapat bersatu 
dengan khalik?”132
Keyataan ini teranglah bahwa menurut Bratakesawa Badan 
Kasar dan halus bukan sehakikat dengan khalik, sebab  keduanya 
berbentuk, sedang khalik tidak berbentuk, tak dapat dikatakan 
seperti apa. namun  Purusha sebagai bayang-bayang Isywara
yaitu  satu dengan Isywara, dan dapat bersatu dengan Isywara
itu. Dan yang dimaksud dengan satu di sini ternyata “kesatuan 
Zat”, sebab mengenai apakah makhluk dan khalik yaitu  sama 
zatnya atau tidak. 133 Di sini Bratakesawa lupa bahwa bayang￾bayang tidak memiliki “keadaan” sendiri. Ternyata bahwa apa 
yang semula ditentang kemudian dibenarkan lagi.
Di sini tampak lagi keragu-raguan Bratakesawa dengan 
memberikan dua arti pada satu hal di dalam persoalan ini 
mengenai pengertian “Pencipta ”. Mungkin sekali hal memberi dua 
arti pada satu hal, seperti yang dilakukan oleh Bratakesawa ini, 
dengan sengaja dibuat demikian, sebab cara yang demikian itu 
sering terjadi pada banyak aliran kebatinan. Sebab biasanya ada 
dua macam ajaran, yaiu ajaran yang untuk umum (eksoteris) dan 
ajaran yang untuk “orang dalam” (esoteris). Bahwa dugaan ini 
agaknya benar, hal ini jelas dari apa yang dinyatakan oleh 
Bratakesawa, saat  beliau menjawab pertanyaan, apakah yang 
sudah diajarkan itu termasuk taraf tariqa, artinya belum hikmat
yang tertinggi. Beliau menjawab: “Segala sesuatu yang masih 
dapat dibicarakan, apakah berbentuk soal-jawab, apakah 
berbentuk wejangan atau wiridan, itu sudah terang baru termasuk 
tingkatan tariqa saja”.134
Oleh sebab  itu, kita bisa menentukan bahwa ajaran 
Bratakesawa seperti yang diuraikan di dalam bukunya Kunci 
Swarga itu belum ajaran yang sepenuhnya. Barangkali ajaran itu 
baru ajaran yang boleh diketahui oleh umum.
Soal lain yang patut diperhatikan ialah pandangan 
Bratakesawa tentang apakah Purusha itu aktif atau tidak di dalam 
perbuatan manusia sehari-hari.
“Yang perlu lebih dari pada perlu ialah … beramal (berbuat), 
agar air yang ada di dalam jambangan tadi jernih. Sebab jika 
airnya keruh, tentu bayang-bayang matahari itu tidak 
tampak. Jika jambangan itu pecah, mudah-mudahan bayang￾bayang matahari itu tidak melekat pada pecahan jambangan, 
atau pada air yang tumpah berlimpahan.
Di sini jelas bahwa Bratakesawa menaruh perhatian pada 
amal atau perbuatan baik sebagai alat untuk menjernihkan roh 
atau Badan Halus manusia, agar orang dapat melihat bayang￾bayang di dalamnya. Yang menjadi persoalan ialah, siapa yang 
harus beramal itu? Kesan yang kita terima ialah, bahwa yang 
harus beramal yaitu  Badan Halus dan Badan Kasar. Mungkin 
lebih tepat dikatakan: Badan Halus dengan perantaraan Badan 
Kasar. Kedua-duanya harus berusaha keras untuk membuat agar 
Badan Halus menjadi jernih, menjadi tembus sinar (transparan), 
sehingga bayang-bayang Isywara, yaitu Purusha, atau Super Ego 
manusia tampak. 136 Jika orang tidak beramal, Badan Halusnya 
keruh, sehingga Purusha tak tampak, namun  jika orang beramal, 
Badan Halusnya menjadi jernih dan menampakkan Purusha. 
Bahwa memang inilah yang dimaksud Bratakesawa, jelas dari 
pernyataannya yang demikian:
“Lapal waman ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu itu bagi 
jambangan yang berisi air. Jikalau dapat melihat bayang￾bayang matahari, sudah cukup, seolah-olah sudah melihat 
mataharinya. Memang hanya sekianlah pncak ilmu 
makrifat.”137
Di dalam perumpamaan yang lain beliau berkata:
“Atau perumpamaan yang seperti wayang, jika dapat 
bertemu dengan Ki Dalang, sudah cukup, seolah-olah 
sudah bertemu dengan Yang Nanggap (yang mengadakan 
pertunjukan), yang menentukan lakonnya.”138
Di dalam pertanyaan yang pertama dikatakan bahwa sudah 
cukup untuk melihat bayang-bayang matahari. Jadi, bayang￾bayang matahari atau Purusya yaitu  objek yang dilihat, bukan 
yang melihat. Hal yang sama dinyatakan juga di dalam 
pernyataan yang kedua, mengenai Dalang sebagai objek yang 
harus ditemui. Oleh sebab itu sebenarnya bukan Purusha, bukan 
Super Ego, bukan Hyang Suksma, bukan Pencipta  peroranganlah 
yang aktif di dalam manusia, melainkan Badan Halus. Mungkin 
lebih tepat: egonya yang lebih rendah, yang bertugas untuk 
memurnikan diri, agar Badan Halus atau rohnya menjadi jernih, 
sehingga Purusha tampak. Fungsi Purusha di sini agaknya sama 
dengan fungsi Purusha di dalam falsafah Sankhya, yaitu sebagai 
penonton.139
Bratakesawa melihat adanya persamaan antara ajarannya 
tentang manusia dengan ajaran agama-agama. Ia berkata:
“Kitab Taurat menyebutkan: maka Pencipta  menciptakan 
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Pencipta  
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan￾Nya mereka (Kej. 1; 27). Di dalam Injil disebutkan: Tidak 
ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak 
melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu 
juga mengenal Bapa-Ku (Yoh. 14: 6, 7). Barang siapa telah 
melihat Aku, ia telah melihat Bapa; ... Tidak percayakah 
engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam 
Aku? (Yoh. 14: 9, 10)”
140
Di dalam bagian ini, Bratakesawa mencoba menunjukkan 
bahwa ajarannya itu tidak bertentangan dengan ajaran agama lain, 
terutama ajaran agama Kristen, sebab ajarannya itu dianggap 
sebagai sari dari ajaran segala agama. Menurut Bratakesawa, 
segala agama yaitu  lanjutan dari ajaran ma’rifatnya, itu yaitu  
sari segala agama. Perbedaan antara bermacam-macam agama itu 
hanya terletak pada sebutannya, bukan di dalam hakikatnya. 
Itulah sebabnya, maka dalam bagian lain ia berkata bahwa jika 
orang hendak mencapai ma’rifat, seyogyianya ia juga melakukan 
syari’a agama yang disukainya. Perbuatan itu akan menjadi dasar 
yang akan memudahkan maksudnya, sesuai dengan ukuran 
kecakapannya. 141 Itulah sebabnya, maka ajarannya itu juga 
dikenakan kepada ajaran Alkitab (Injil) yang mengenai manusia. 
Menurut beliau, pernyataan Alkitab bahwa manusia dijadikan atas 
peta Pencipta  yaitu  sama dengan yang diajarkannya tentang 
Purusha sebagai bayang-bayang Isywara. Hal itu dipandangnya 
juga cocok dengan ajaran Perjanjian Baru mengenai Anak dan 
Bapa. Ungkapan di dalam Perjanjian Baru tentang Anak dan Bapa 
tak boleh diberi arti biasa, namun  harus diartikan secara simbolis, 
seperti yang dilakukan oleh Bratakesawa. Sebab menurut al￾Qur’an, Pencipta  tidak melahirkan anak dan tidak dilahirkan sebagai 
anak (al-Ikhlas 3: lam yalid wa lam yulad).
142
Kesimpulan kita terhadap ajaran Bratakesawa tentang 
manusia dapat dirumuskan demikian:
1. Manusia yaitu  kesatuan dari Sang Halus, Badan Halus
dan Badan Kasar. Sang Halus, yang juga disebut 
Purusha, Hyang Suksma, Pencipta  perorangan dan 
sebagainya yaitu  bayang-bayang Pencipta  Pencipta  sendiri. 
Bahwa Sang Halus berada di dalam tubuh, di satu pihak 
tidak boleh dipandang sebagai yang dipenjara, namun  di 
lain pihak gambaran “dipenjara” itu dipergunakan juga, 
yaitu sebagai “arca garam yang dibungkus di dalam kapas 
dan dilapi dengan lilin”.
2. Sebagai bayang-bayang Pencipta , Sang Halus bukan Pencipta . 
Melainkan di lain pihak dikatakan juga bahwa Sang 
Halus sehakikat dengan Pencipta  dan satu dengan Pencipta .
3. Di dalam hidup manusia, Purusha agaknya hanya 
berfungsi sebagai penonnton dari segala peristiwa rohani 
dan jasmani di dalam manusia. Sebab ia bukanlah asas 
yang aktif di dalam manusia itu.
2. Kelepasan
Sekarang kita akan membicarakan hidup sehari-hari 
manusia. Sekalipun manusia berasal dari Pencipta , namun  hidupnya 
sehari-hari tidak sesuai dengan kedudukannya yang tinggi itu. 
Sebab ia terikat oleh banyak belenggu duniawi. Hal ini 
dinyatakan di dalam ucapan yang demikian:
“Sudah saya katakan, bahwa yang dapat bebas dari pada 
hukum kodrat “bangkit dari pada maut” (Arab: qiyamat, 
Snskrit: samsara atau kembali lahir di dunia lagi) tidak lain 
ialah manusia yang sudah dapat bebas dari pada belenggu 
dunia ini ... Terangnya yang disebut belenggu dunia ini tak 
lain ialah ... keinginan.”143
Dari pernyataan di atas teranglah bahwa menurut 
Bratakesawa hidup sehari-hari manusia terikat oleh belenggu 
duniawi, yaitu keinginan. Keinginan menjadikan manusia 
dilahirkan kembali atau di dalam Samsara. Gagasan ini 
sebenarnya yaitu  gagasan agama Hindu-Budha, yang 
mengajarkan bahwa hidup ini yaitu  sengsara sebab  
keinginan.144
Bratakesawa memandang samsara sama dengan qiyamat di 
dalam agama Islam. Hal ini oleh Bratakesawa diterangkan 
demikian:
1. Bahwa tiap orang akan diadili atas dasar perbuatannya 
sendiri (Isra: 14), dan bahwa bagian tubuhnya akan 
memberikan laporannya sendiri (Yasin: 65) 
2. Bahwa putusan akan hadiah-hadiahnya yaitu  sesuai 
dengan perbuatan masing-masing (Ali Imran: 25), artinya, 
bahwa akan ada orang yang menerima Sorga atau dihukum 
di Neraka (an-Naziat: 36-41), bahwa tak seorang pun akan 
dapat menggantikan tempat orang lain atau menolong atau 
mengubah putusan itu (al-Baqarah: 48), sehingga dapat 
dikatakan bahwa dunia ini yaitu  bengkel bagi akhirat 
(Hadis)
3. Bahwa akhirat yaitu  kekal untuk selama-lamanya (al￾Mu’min: 39) dan bahwa pada waktu itu seorang Bapa akan 
tak berguna bagi anaknya, dan seorang anak tak berguna 
bagi bapanya (Luqman: 33) bahwa orang yang mula-mula 
saling mengasihi menjadi musuh, kecuali orang yang takut 
akan Pencipta  (al-Zukhruf: 67) bahwa tak seorangpun akan 
minta keterangan tentang keturunan (al-Mu’minun: 101) 
Berdasarkan bahan-bahan ini Bratakesawa yakin bahwa arti 
kebangkitan dari maut atau pengadilan terakhir itu pada 
hakikatnya yaitu  kelahiran seorangh bayi dari kandungan 
ibunya.145 Seorang bayi itu sudah ditakdirkan akan menjadi baik 
atau jahat (menikmati Sorga atau Neraka) sesuai dengan 
perbuatannya sendiri di dalam hidupnya yang dulu. Oleh sebab 
itu, zaman sekarang yaitu  lanjutan dari zaman yang terdahulu, 
dan juga berfungsi sebagai bengkel bagi zaman akhirat.146 Arti 
pengertian “kekal” tidak lain yaitu  “selama orang hidup”. 147
Bratakesawa yakin bahwa ajaran ini tidak bertentangan dengan 
ajaran kitab muslim  yang mengatakan bahwa tak mungkinlah bagi 
roh untuk kembali ke dunia. Sebab kelahiran kembali itu berarti 
bahwa orang dilahirkan lagi sebagai orang lain, bukan sebagai 
orang yang sama dengan yang sudah ada dulu.148
Demikianlah, manusia ada di dalam samsara, yaitu 
dilahirkan kembali. Yang menyebabkan orang ada di dalam 
samsara ialah bahwa ia dibelenggu oleh belenggu duniawi. 
Belenggu ini yaitu  keinginan. Keinginan di sini harus diartikan 
seluas-luasnya. Bukan hanya keinginan yang rendah, melainkan 
juga keinginan yang tinggi, sebagai umpamanya: ingin 
mengetahui segala ilmu pengetahuan, ingin menciptakan suatu 
dunia yang tenteram, ingin menjadi pemimpin umat manusia di 
dalam berbakti kepada Pencipta , sebagai Nabi dan Rasul. 149
Sebabnya segala keinginan yang mulia itu, sebagai umpamanya 
ingin menjadi Rasul atau Nabi, mengakibatkan kelahiran kembali 
ialah sebab  hanya dengan dilahirkan kembali saja orang akan 
dapat benar-benar mencapai keinginan yang mulia itu. Sebab satu 
masa hidup biasanya belum cukup bagi pelaksanaan keinginan 
yang tinggi itu.150
Berdasarkan uraian di atas, maka yang disebut kelepasan 
ialah bahwa orang sudah dibebaskan dari kelahiran kembali atau 
pengadilan terakhir.
“Tentang hal bebas dari pada qiyamat oleh sebab  kembali 
ke asal mulanya, ... memang itulah yang dikejar oleh para 
orang yang mencari kasunyatan.”151
Dibebaskan dari roda kelahiran berarti pulang ke alam yang 
mutlak, asal-mula segala sesuatu. Oleh sebab  keinginan itulah 
yang menyebabkan orang dilahirkan kembali, maka jalan untuk 
dapat bebas dari kelahiran kembali itu tak lain yaitu  hidup tanpa 
keinginan.
“Oleh sebab  yang menyebabkan kembali dijadikan di 
dunia lagi itu keinginan akan hal duniawi, maka agar 
supaya dapat bebas dari dijadikan lagi, tak lain ialah sudah 
... tak memiliki keinginan akan hal duniawi tadi. Di dalam 
bahasa Sanskerta disebut wiragya. Bahasa Arabnya zuhud,
orangnya zahid. Di dalam falsafah Kristen disebut: dapat 
lepas dari pada dosa warisan Nabi Adam (makna buah 
larangan), itu jika sudah dapat memikul salib-nya 
sendiri”.
152
Hidup tanpa keinginan ini tidak boleh diterangkans ecara 
negatif belaka, namun  harus disertai dengan pengetahuan dan 
perbuatan, yaitu orang harus melakukan pekerjaannya sehari-hari, 
seolah-olah ia tidak akan mati selama-lamanya dan harus berbakti 
kepada Pencipta , seolah-olah ia akan mati keesokan harinya. 153
Orang boleh bekerja untuk kehidupannya, asal hal itu dikerjakan 
hanya untuk melangsungkan hidup badaniahnya. Sedang di dalam 
hidup sehari-hari orang harus dapat tidak aktif.154
Pengetahuan dan perbuatan yang disebutkan di atas 
selanjutnya diterangkan terdiri dari tiga kategori, yaitu 
“pengetahuan akan Pencipta , pengetahuan akan arti “kembali kepada 
Pencipta ”, dan jalan untuk mencapai tujuan kembali kepada Pencipta  
itu”.
155
Mengenai kategori yang pertama, yaitu “pengetahuan akan 
Pencipta ”, dikatakan bahwa Pencipta  tak dapat dikatakan seperti apa, 
maka segala sesuatu yang masih dapat dikatakan seperti apa, 
sehingga masih dapat diperbandingkan yaitu  bukan Pencipta . 
Selanjutnya dikatakan bahwa Pencipta  yaitu  kuasa tanpa alat.
Mengenai kategori kedua, yaitu pengetahuan akan arti 
“kembali kepada Pencipta ”, dikatakan bahwa oleh sebab  Pencipta  tak 
dapat dikatakan seperti apa, maka “kembali kepada Pencipta ” berarti 
bahwa orang yang sudah kembali kepada Pencipta  tentu tak dapat 
dikatakan seperti apa, artinya ia memiliki sifat yang sama dengan 
Pencipta  sendiri. Selanjutnya, oleh sebab  Pencipta  yaitu  kuasa tanpa 
alat, maka jika orang masih memperguanakan alat, sekalipun alat 
yang paling halus, ia belum kembali kepada Pencipta .
Mengenai kategori yang ketiga, yaitu jalan untuk mencapai 
tujuan kembali kepada Pencipta  dikatakan bahwa orang harus 
mempelajarinya dengan tekun selama ia masih hidup. Ia hanya 
dapat dikatakan belajar dengan hasil baik, jika ia mencapai 
ma’rifat yang sebanarnya.156
Jadi kembali kepada Pencipta , atau kembali kepada asalnya, 
berarti bahwa orang mendapatkan sifat yang sama dengan Pencipta  
sendiri. Agar orang dapat mencapai ma’rifat yang sebenarnya, ia 
harus melakukan shalat ma’rifat (penyembahan suksma), yaitu 
jiwa yang kuasa tanpa alat (Purusha), yang menurut Bratakesawa 
sama dengan yoga.157
Ada empat macam salat, yaitu salat syari’at, penyembahan 
badan, yang penyuciannya terjadi oleh air. Jika salat ini diterima 
oleh Pencipta , orang akan mendapatkan pengetahuan syari’a, yang 
berarti pengetahuan pancaindera, umpamanya: oleh sebab  mata 
sudah melihat dunia, orang percaya, bahwa Pencipta  yaitu  Khalik 
dunia ini. Kepercayaan yang dimikian itu disebut wajibul-yaqin,
kepercayaan yang diwajibkan. Selanjutnya ada salat tariqa atau 
penyembahan budi atau hati, yang penyuciannya terjadi dengan 
perantaraan bergumul dengan nafsunya atau keinginannya. Jika 
salat ini diterima oleh Pencipta , orang akan mendapatkan 
pengetahuan tariqa, yang berarti pengetahuan akan pengertian 
atau pengetahuan akan ketiga indra terakhir dari delapan indra. 
Kepercayaan yang demikian itu disertai pengertian. Orang tahu 
siapa sebenarnya Pencipta  itu. Kepercayaan yang demikian disebut 
‘ain al-yaqin, kepercayaan yang membuktikan. Slat yang ketiga 
yaitu  salat haqiqa atau penyembahan jiwa atau roh, yaitu 
penyembahan dengan perantaraan rasa jati, yang penyuciannya 
terjadi dengan ketenangan bain dan kejernihan, keawasan dan 
ingat (eneng ening awas eling). Jika salat ini diterima oleh Pencipta  
akan menghasilkan pengetahuan haqiqat, yaitu pengetahuan rasa 
jati, yang tidak hanya terbatas kepada pengertian. Kepercayaan 
ini disebut haqqul yaqin, kepercayaan yang benar. Pada taraf ini 
segala macam selubung yang berada di antara makhluk dan
Khalik dibuka. namun  taraf ini yaitu  taraf yang berbahaya sekali 
sebab  “ada banyak pembegalannya”. Akhirnya, salat ma’rifa
atau penyembahan Purusha atau Pencipta  perorangan. Penyuciannya 
terjadi dengan keadaan yang tanpa keinginan (wairagya atau 
zuhud), yang terdiri dari membuang segala cita-cita, kecuali cita￾cita yang bersangkutan dengan Pencipta . Jika penyembahan ini 
diterima oleh Pencipta , orang akan mendapatkan pengetahuan 
ma’rifa atau ma’rifa yang benar, artinya bahwa kepercayaannya 
yaitu  tanpa alat dan tak dapat dikatakan seperti apa. Inilah taraf 
yang disebut peleburan papan dan tulisan, taraf ketenangan, yang 
tak dapat diuraikan, dan disebut Isbat al-Yaqin, kepercayaan yang 
sudah tetap. Jika orang berhasil mencapai taraf ini sekali di dalam 
seluruh hidupnya sudah cukup, sekalipun makin banyak makin 
baik.158
Cara melakukan salat ma’rifat yaitu  suatu latihan budi 
atau pikiran (cipta), yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Pemusatan cipta, yang disebut tafakkur dalam bahasa Arab, 
dan samprajnana dalam bahasa Sanskerta. Di sini cipta 
dipusatkan kepada satu hal. Oleh sebab  itu salat ini disebut 
juga “salat ma’rifat yang dengan perantara objek” (salat 
makripat kang mawa cakotan). 159 Orang diperkenankan 
untuk memakai segala sesuatu sebagai objek atau cakotan, 
namun  objek yang terbaik yaitu  Pencipta .160
2. Meditasi, di mana cipta dikosongkan. Jika meditasi ni 
disertai pengucapan kata-kata disebut dhikir, yang sama 
dengan asam-prajnana dalam bahasa Sanskerta.161
Akir meditasi yaitu  semadi atau khusyuk dalam bahasa 
Arab, di mana orang dibebaskan dari segala perkara duniawi dan 
dibebaskan dari segala dosanya dalam seluruh hidupnya.162 Yang 
dimaksud dengan dosa ini bukan hanya perbuatan yang berdosa, 
melainkan juga dosa dengan pikiran, kata-kata dan perbuatan, 
yang bersama-sama mewujudkan selubung antara makhluk dan 
Khalik.163
Jika taraf ini dilalui dengan berhasil, orang akan pulang ke 
asalnya atau kepada Pencipta . Taraf ini tak dapat diuraikan, sebab 
taraf ini yaitu  taraf dari keadaan yang tanpa alat, dan taraf ini tak
dapat dikatakan seperti apa. Paling banyak yang dapat dikatakan 
ialah bahwa taraf ini sama dengan orang yang tidur nyenyak tanpa 
mimpi atau sama dengan orang yang tak sadar, seperti Musa 
saat  di puncak Gunung Sinai.164
E. Penutup
Uraian di atas dapat kita simpulkan, pertama, jika kita 
memperhatikan apa yang diajarakan oleh Bratakesawa mengenai 
Pencipta , yaitu bahwa Pencipta  memiliki sifat seperti yang diajarkan di 
dalam agama Islam, kita mendapat kesan bahwa Pencipta  oleh 
Bratakesawa dipandang sebagai suatu Oknum, suatu Pribadi yang 
berkehendak. namun  jika kita memperhatikan keterangannya 
mengenai sifat Pencipta , seperti yang diajarkan oleh Serat Wirid, 
misalnya: bahwa Pencipta  kuasa tanpa alat serta tak dapat dikatakan 
seperti apa, kita lebih mendapat kesan bahwa Pencipta  lebih 
dipandang sebagai Zat yang Mutlak dalam arti falsafah, artinya 
bahwa Yang Mutlak yaitu  bebas dari segala hubungan, nisbah 
serta sifat, sebab pertama dari segala yang ada. Akal manusia 
tidak dapat menembusnya, artinya orang tak mungkin tahu apa￾apa tentang Pencipta  ini. Sifat Pribadi Pencipta  oleh sebab nya 
tenggelam di dalam uraiannya tentang kemutlakan Pencipta .
Kedua, manusia dipandang sebagai makhluk Pencipta , yang 
terdiri dari Sang Halus, Badan Halus, dan Badan Kasar. 
Bratakesawa menolak ajaran Serat Wirid, yaitu bahwa manusia 
yaitu  Ingsun (Aku) dalam arti sama dengan Pencipta . Oleh 
sebab nya Bratakesawa menekankan bahwa makhluk dan Khalik 
yaitu  dua perkara yang berlainan sekali. namun  sekalipun 
demikian, ia tetap mempertahankan bahwa ada kesamaan antara 
manusia dan Khaliknya. Ia mencoba menunjukkan persamaan itu. 
Agaknya ia tertarik kepada Ibn Arabi,  yang mengajarkan 
bahwa manusia yaitu  gambar Pencipta  atau cermin, yang
memantulkan segala kesempurnaan dan sifat Pencipta .  namun  
ajaran Ibn Arabi itu diartikan demikian bahwa hakikat manusia 
yaitu  bayang-bayang yang ada di dalam air jambangan, jadi 
diartikan sebagai kediaman bayang-bayang Pencipta  di dalam tubuh 
manusia.
Menarik sekali untuk memperhatikan pergumulan 
Bratakesawa di dalam usahanya menunjukkan perbedaan dan 
kesamaan hakikat manusia, yaitu Sang Halus, Purusha, Hyang 
Suksma atau Pencipta  perorangan, dengan Pencipta  sebagai Khaliknya. 
Di satu pihak Bratakesawa menolak gagasan seolah-olah Sang 
Halus dipenjarakan di dalam tubuh manusia, dengan keterangan 
bahwa kehadiran Sang Halus di dalam tubuh itu sebagai suatu 
proses kimia. Akan namun  di lain pihak ia berkata bahwa Sang 
Halus berada di dalam manusia sebagai arca garam, yang 
dibungkus dengan kapas dan dilapis dengan lilin. Selanjutnya 
dikatakan bahwa bayang-bayang itu bukan mataharinya, 
melainkan di lain pihak lagi dikatakan bahwa jika yang dimaksud 
dengan makhluk yaitu  bayang-bayang di dalam air terhadap 
mataharinya, maka makhluk yaitu  sama dengan Khaliknya, 
bahkan sehakikat dengan-Nya. Hal ini semua, menurut penulis 
buku ini, menunjukkan bahwa dalam hakikatnya Bratakesawa 
belum lepas dari gagasan Serat Wirid yang ditentangnya itu. 
Ketiga, Purusha, sebagai intisari manusia, menurut 
keterangannya berfungsi sebagai Purusha di dalam falsafah 
Sankhya, yaitu sebagai penonton segala kejadian jasmani dan 
rohani di dalam hidup manusia, atau sebagai penonton segala 
permainan nafsu di dalam hidup manusia. Purusha lebih 
dipandang sebagai objek daripada subjek kelepasan, artinya: 
Purusha tidak bertindak sebagai yang melepaskan, namun  sebagai 
yang dilepaskan, yang harus dikasihani. Kurang dijelaskan, apa 
sebabnya penonton bertanggung jawab atas apa yang ditonton. Di 
dalam hal ini falsafah Samkhya lebih jelas daripada ajaran 
Bratakesawa.
Keempat, sekalipun hakikat manusia yaitu  bayang-bayang 
Pencipta , namun di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi 
permainan segala nafsunya atau keinginannya. Oleh sebab  
manusia dibelenggu oleh belenggu duniawi, maka Badan 
Halusnya atau rohnya dikeruhkan, sehingga alat Badan Halus, 
yaitu rasa jati, yang seharusnya dapat dipergunakan untuk 
menghubungkan Badan Halus dengan Purusha, tak dapat 
berfungsi. Hal ini menjadikan manusia ditaklukkan pada 
kelahiran kembali.
Kelima, kelepasan terdiri dari kelepasan manusia dari 
permainan keinginannya. Yang harus berusaha untuk bisa 
menguasai segala nafsu itu yaitu  Badan Halus. Jika Badan 
Halus berhasil untuk menguasai segala nafsu, maka Badan Halus
itu akan menjadi jernih. Hal itu akan mengakibatkan Purusha
yang berada di dalam manusia tampak, yang akhirnya akan dapat 
dikembalikan kepada asalnya, yaitu Pencipta .
Jalan kelepasan disebut “tanpa keinginan”, yang 
diterangkan sebagai “tidak aktif” pada waktu orang beraksi, serta 
menyembah Pencipta  dengan pengetahuan dan perbuatan. 
Penyembahan kepada Pencipta  terdiri dari empat pangkat, sedang 
yang tertinggi yaitu  shalat ma’rifa, penyembahan suksma, yaitu 
jiwa yang tanpa alat. Dengan salat ini orang akan mencapai 
tingkatan yang tertinggi, yaitu menjadi kuasa tanpa alat dan tak 
dapat dikatakan seperti apa, artinya mendapatkan sifat yang sama 
dengan Pencipta .
Keenam, Bratakesawa yakin bahwa ajarannya ini sama 
dengan yang diajarkan oleh agama, baik agama Islam maupun 
Kristen, dan berusaha untuk menunjukkan hal itu, baik dari al￾Qur’an maupun dari Injil.