Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sangkan paraning dumadi 5. Tampilkan semua postingan
sangkan paraning dumadi 5
By tuna at November 29, 2023
sangkan paraning dumadi 5
Kahar:
tegesipun misesa, ingkang misesa asmanipun, dene boten
nama sisten-sisten. Kamal: tegesipun sampurna, ingkang
sampurna punika aningalipun, dede saged gumelar
sanalika pangretinipun (pakartinipun) saking kuwasa
tanpa sangsaya.
88
Atinya :
“Islam, artinya selamat. Yang selamat hayatnya. Arti hayat:
hidup, berada pada sifat jalal, jamal, kahar, dan kamal. Jalal
artinya agung, Yang Agung itu Zat-Nya, sebab meliputi semesta
alam. Jamal artinya elok. Yang elok itu sifat-Nya, lantaran bukan
laki-laki, bukan perempuan, bukan banci, serta tidak berarah,
tidak bertempat, tidak berwarna dan tidak berupa. Kahar artinya
kuasa, yang kuasa nama-Nya, tidak bernama siapa-siapa. Kamal
artinya sempurna. Yang sempurna itu perbuatannya, sebab dapat
mencipta yang terjadi sesaat dan kuasa tanpa kesulitan.”89
.
Pencipta sebagai zat yang tidak terdefinisikan semakin
ditegaskan Bratakesawa dalam deskripsinya mengenai sifat-sifat
Pencipta dalam tulisannya yang lain, Ilmu kasunyatan, yaitu :
“Hidup tanpa ruh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak
dapat digambarkan seperti apa, tidak waktu tidak tempat, tidak
arah, tidak tempat tinggal, jauh tanpa batas, dekat tanpa
senPencipta , tidak luar tidak dalam, namun meliputi semua yang
terhampar”.
90
Terkait iman manusia terhadap Pencipta , Bratakesawa
membagi tiga tingkatan iman. Pertama, iman yang didasarkan
pada keimanan secara mayoritas atau iman orang yang ikutikutan. Kedua, iman yang berdasarkan pembacaan atas berbagai
keterangan kitab-kitab agama disebut juga iman orang ahli kitab
agama. Ketiga, imannya orang ahli makrifat yaitu iman yang
didasarkan pengetahuan dan penghayatan. Dari ketiga tingkatan
ini, iman ahli ma’rifat merupakan iman yang sebenarnya, yaitu
iman yang didasarkan pada pencarian dan penghayatan sendiri.
sebab nya, iman ini menempati posisi lebih tinggi dibanding dua
iman lainnya. Tidak hanya itu, iman juga digambarkan sebagai
kondisi yang tidak bersifat permanen, melainkan sangat dinamis,
bisa naik dan turun, bertambah atau berkurang, menguat atau
melemah.91
Mengenai konsep 20 sifat Pencipta dalam pemikiran
Bratakesawa, Suwarno melihat keidentikannya dengan 20 sifat
wajib yang ada dalam Ilmu Tauhid dalam Islam. Hal ini
menegaskan betapa besarnya pengaruh teologi Islam ortodoks
dalam pemikiran Bratakesawa. Dalam Islam, dua puluh sifat
wajib Pencipta yaitu : al-Wujud, Al-Qidam, Al-Baqa’, alMuhallafah li al-Hawadits, al-Qiyamuhu binnafsihi, al-
Wahdaniat, al-Qudrat, al-Iradat, al-‘Ilmu, a;-Hayat, al-Sama’,
al-Bashar, al-Kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayan, sami’an,
bashiran, dan mutakalliman. Selain itu, pengelompokan ke-20
sifat wajib ini juga mirip dengan pembagian 20 sifat Wajib
Pencipta dalam Ilmu Tauhid, yaitu :
a. Sifat Nafsiyah, yakni sifat yang bisa membuktikan wujud
(eksistensi) Pencipta , yaitu sifat Wujud;
b. Sifat Salbiyah, yakni kelompok sifat yang menegasikan
atau menolak sifat-sifat yang tidak mungkin bagi Pencipta
yaitu Al-Qidam, al-Baqa’, al-Muhallafah lil Hawadits,
al-Qiyamuhu binnafsihi, dan al-Wahdaniat;
c. Sifat Ma’ani, atau sifat Ma’na, yaitu sifat-sifat yang
memastikan yang disififati bersifat dengan sifat-sifat
ini . Sifat-sifat ini yaitu al-Qudrah, Al-Iradah, al-
‘Ilmu, al-Hayyah, al-Sama’, al-Bashar, dan al-Kalam.
d. Sifat Ma’nawiyah, yaitu kelompok sifat yang lazim atau
memastikan sifat-sifat ma’ani. Bahwa setiap ada sifat
ma’nawiyah, maka ada sifat ma’ani. Sifat-sifat ini yaitu
qadiran, muridan, ‘aliman, hayan, sami’an, bashiran,
dan mutakalliman92
.
Secara teologis, corak pemikiran Bratakesawa cenderung
mendekati pemikiran kalam Ahlu Sunnah atau Faham Teologi alAsy’ari. Sekurangnya, ada tiga bukti kedekatan ini .
Pertama, keyakinannya bahwa Pencipta bersifat hingga 41 sifat,
masing-masing yaitu 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat
jaiz. Kedua, pengelompokan tiga derajat keimanan manusia
terhadap Pencipta cenderung mendekati tiga derajat keimanan alGhazaly, salah satu tokoh penting dalam aliran kalam Asy’ariyah.
Ketiga, untuk membuktikan eksistensi Pencipta , selain dalil naqli,
Bratakesawa juga mendorong penggunaan dalil aqli, akal dengan
segala keterbatasannya,93
Merujuk konsep kePencipta an Bratakesawa dalam Kunci
Swarga, Harun menilai, Pencipta dalam pemikiran Bratakesawa
merupakan Pencipta sebagai oknum atau pribadi. Hal ini, katanya
terlihat pada penjelasan Bratakesawa di bagian lain, bahwa Pencipta
tidak termasuk dalam golongan makhluk, sehingga Ia tidak dapat
digambarkan baik oleh akal maupun budi manusia. Meski begitu,
pada penyifatan Pencipta dalam Ilmu kasunyatan, Bratakesawa
menggambarkan Pencipta sebagai Yang Maha Mutlak secara
filosofis, yaitu Zat Tinggi yang terbebas dari segala bentuk
hubungan yang mengandaikan ketergantungan, melainkan
menjadi sebab atas berbagai sesuatu.94
Buku Kunci Swarga menejelaskan tentang Pencipta melalui
metode dialog antara orang tua dengan pemuda. Pemuda memulai
dialog dengan pertanyaan apa dan siapa serta di mana Pencipta .
Pertanyaan ini dijawab oleh yang tua: “Pertanyaanmu
“Pencipta itu apa dan di mana?” itu pertanyaan yang terlalu jauh.
Sebaiknya kamu mengetahui sifat-sifatnya saja dulu. Sifat-sifat
Pencipta itu diterangkan dengan jelas di dalam Alquran, sudah ada
yang menghimpunnya, dan sudah disetujui orang banyak, yaitu
sebanyak 20 sifat”. Jawaban ini mengesankan suatu pemikiran
ortodok dalam perspektif pemikiran kalam dalam Islam, di mana
cara mengenali Pencipta dapat dilakukan dengan mengenali sifatsifat Pencipta yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan
1 sifat jaiz. Pemikiran yang demikian diikuti oleh mayoritas
pengikut aliran asyariyah dan maturidiyah, dimana pemikiran
tradisional dalam kalam ini berbeda dengan pemikiran aliran
Muktazilah yang rasional yang meniadakan sifat Pencipta dalam
keyakinan tauhidnya. Menurut Muktazilah, Pencipta tidak bersifat
dan apabila seseorang meyakini bahwa Pencipta itu punya sifat
maka tauhid orang ini telah tercederai. Tauhid yang benar
ialah meyakini keesaan Pencipta tanpa menambahinya dengan
keyakinan bahwa Pencipta mempunyai sifat.
Menurut jawaban yang diberikan atas pertanyaa tentang
keberadaan Pencipta ini dapat dipahami bahwa pesan yang
disampaikan oleh penulis buku Kunci Swarga menggunakan
pendekatan pemikiran tradisional, bukan rasional sesuai dengan
aliran pemikiran dalam agama Islam yang mengamalkan tanzih,
yaitu tidak mau menyamakan Pencipta dengan sesuatu, tan kena
kinaya ngapa.
95
Sesudah pertanyaannya yang demikian itu, Bratakesawa
meneruskan uraiannya dengan menyebutkan kedua puluh sifat
Pencipta . Kedua puluh sifat ini yaitu sifat yang wajib dikenakan
kepada Pencipta . Di samping kedua puluh sifat wajib ini masih ada
dua puluh sifat lagi yang tak dapat dikenakan kepada Pencipta , yaitu
sifat mustahil (mokal), dan akhirnya masih ada satu sifat yang
dapat diungkapkan di dalam kata-kata “Pencipta berhak melakukan
atau tidak melakukan sesuatu” (sifat wenang).96
Dua puluh sifat yang wajib itu, menurut Bratakesawa,
dibedakan dalam sifat nafsiyah, yaitu sifat yang dianggap tubuh,
sifat salbiyah, yaitu sifat yang menolak lawannya, sifat ma’ani,
yaitu sifat yang menempati sifat nafsiyah, dan sift ma’nawiyah,
yaitu sifat yang ditempati sifat ma’ani.97 Sesudah itu Bratakesawa
menyebutkan pembedaan sifat Pencipta seperti yang dilakukan di
dalam Serat Wirid, yaitu sifat jalal, yang artinya Mahaagung,
yang dianggap sama dengan nafsiyah, sifat jamal, yang artinya
Mahaindah, sifat kamal, yang artinya Mahasempurna, dan sifat
qahar, yang artinya Mahakuasa.98
Akhirnya, beliau menyebutkan sifat Pencipta , yang menurut
pendapatnya, biasa dikenakan kepada Pencipta oleh para ahli
kebatinan, yaitu hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal
tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa (tan kena
kinayangapa), tiada zaman tiada makan (maqam), tiada tujuan
tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa senPencipta , tiada luar
tiada dalam, namun meliputi semua yang tergelar atau terbentang
ini, dan sebagainya.99
Dapat dikatakan bahwa ajaran Bratakesawa tentang Pencipta
ini mendekati ajaran Pencipta sebagai Pribadi. Hal ini tampak juga
dalam ucapannya yang menekankan bahwa Pencipta tak termasuk
golongan makhluk, oleh sebab nya Ia tak dapat digambarkan oleh
akal atau budi. 100 Namun, kelompok sifat yang terakhir ini
menggambarkan Pencipta Pencipta sebagai yang mutlak dalam arti
falsafah, yaitu yang bebas dari segala hubungan, nisbah serta
sifat, namun yang menjadi sebab pertama dari segala sesuatu.
Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi jika kita sudah
membicarakan ajarannya tenang manusia.
3. Manusia, Shalat Ma’rifat, dan Jalan Kembali pada
Pencipta
Pandangan tentang manusia diintroduksinya dalam Kunci
Swarga sebagai berikut:
“Kowe ngertiya, sakabehing wong iku, ora pilih lanang
apa wadon, tuwa apa enom, sugih apa mlarat, ora pilih
bangsa lan agamane,…adeging uripe kedadean saka: 1)
Dijumenengi Sang Alus; 2) Badan Alus dalah pirantine
kang alus; 3) Badan wadag kang kasat-mata iki, dalah
pirantine kang uga wadag.”101
Artinya :
“Ketahuilah olehmu, semua orang, baik lelaki maupun
perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, tanpa
memandang kepada bangsa maupun agamanya….wujud hidupnya
terdiri dari : 1) disemayami Sang Halus; 2) Badan Halus dengan
peralatannya yang halus; 3) Badan Kasar (wadag) yang tampak
ini, dengan peralatannya yang kasar juga”102
Dalam introduksi ini, Bratakesawa hendak mengemukakan
pandangannya bahwa manusia terdiri dari tiga hal, yakni Badan
Kasar, Badan Halus, dan Sang Halus. Secara umum, Badan
Kasar yaitu badan yang terlihat secara kasat mata dan teraba
oleh indra. Badan Kasar juga merupakan alat yang dapat
digunakan manusia dalam keadaannya yang biasa. ada
delapan peralatan dalam Badan Kasar dengan fungsinya masingmasing; 1) hidung (irung) dengan mesinnya pencium (pangambu)
dengan tindakannya mencium; 2) telinga (kuping) dengan
peralatannya pendengaran (pangrungu) serta tindakannya
mendengar; 3) mata (mripat) dengan mesinnya penglihatan
(pandeleng) serta tindakannya melihat; 4) lidah (ilat) dengan
mesinnya pengecap (pangenyam) serta tindakannya merasakan; 5)
kulit, daging, dan tulang (kulit, daging, balung) dengan mesinnya
senPencipta (panggepok) serta tindakannya merasakan pedih, ngilu,
dan sebagainya; 6) jantung (jantung) dengan mesinnya hati (ati)
serta tindakannya berfikir, membayangkan, dan sebagainya; 7)
otak (utek) dengan mesinnya akal serta tindakannya mengingat,
berfikir, dan lain-lain; 8) kemaluan (pringsilan) dengan mesinnya
nafsu (napsu) serta tindakannya marah, berkeinginan, dan
sebagainya103
Adapun Badan Alus, kata Bratakesawa, hanya memiliki
satu alat yaitu “perasaan ingat” atau “perasaan sejati” (rasa eling
utawa rasa jati). Dengan demikian, bentuknya sangat halus sekali
dan hanya tampak saat bertindak. Sementara Sang Alus, sebagai
bagian terdalam dalam diri manusia sama sekali tidak memiliki
peralatan, sebab Sang Alus berkuasa tanpa alat (qadirun
bilalatin/kuwaos tanpa piranti).
Agar tidak difahami keliru, Bratakesawa selanjutnya
membedakan antara Badan Alus dan Sang Alus. Menurutnya,
setiap yang disebut badan--bagaimanapun sifatnya; kasar,
cenderung halus, halus, cukup halus, dan sangat halus--pasti
terbuat dari bahan dan unsur (bebakalan), sehingga otomatis tetap
memiliki bentuk (wangun). Hanya saja, berbeda dengan Badan
Kasar, Badan Alus tindakannya dinyatakan dalam olahnya yang
halus. Berbeda dengan Badan Alus, Sang Alus perbuatannya tidak
bisa dinyatakan tanpa alat (tanpa piranti) sebab tidak berbentuk
badan sehingga tidak bisa dimisalkan bentuknya (tan kena kinaya
ngapa).
105
Meski ketiga-tiganya berbeda satu sama lain, namun Badan
Kasar, Badan Alus, dan Sang Alus merupakan satu kesatuan
dalam diri manusia saat hidup. Bratakesawa menamsilkan
keberadaan tiga hal ini sebagai satu kesatuan dari tiga substansi
berbeda pada air laut (banyu segara), yakni garam (uyah), oxygen
(dat pangobong), dan hydrogen (dat banyu). Dua substansi
terakhir merupakan anasir air. Pemisahan Badan Kasar dengan
dua substansi terakhir terjadi saat manusia mati, sementara
Badan Alus dan peralatannya masih hidup sebab masih ditempati
Sang Alus. Tamsilnya yaitu air laut yang terdiri dari air dan
garam. Bila air laut ini diuapkan, maka yang tertinggal
hanya garam sebagai representasi Badan Kasar yang sudah mati.
Sementara pemisahan Badan Halus dan Sang Alus sendiri
diibaratkan seperti air yang sudah dipisahkan dari kandungan
garamnya atau yang tertinggal hanya terdiri dari oxygen dan
hydrogen, yang tersisa hanyalah oxygen sebagai Sang Alus dan
abadi keadaannya.
106
Selanjutnya, Bratakesawa mengidentifikasi Sang Alus
sebagai Ikheid atau Purusha (Saiki Sang Alus mau arani nganggo
tembung Ikheid utawa Purusha).107 Harun menduga, Sang Alus
atau Ikheid (ke-Aku-an) atau Purusha yang dimaksudnya yaitu
Super Ego Manusia, atau Aku yang lebih tinggi. Bratakesawa
mendefinisikan Purusha sebagai satu hal yang melingkupi segala
hal. Ia, bahkan meliputi batu yang tak bisa bergerak hingga
jenazah manusia yang sudah busuk bercampur tanah. Dalam
Wirid Iman, Tauhid, Makrifat, Islam, Bratakesawa menjelaskan
Purusha melingkupi segalanya sebab ia sama dengan “Nur
Muhammad, Cahaya Terpuji, Asal Segala Sesuatu”. Meski
keberadaannya memiliki sifat yang sama dengan Pencipta , yakni tak
dapat terkatakan seperti apa dan dimana (tan kena kinaya ngapa)
dan tak tergolong makhluk, namun Bratakesawa menolak
identifikasi Purusha sebagai pencipta langit dan bumi. Sementara
pencipta langit dan bumi, ia menamainya sebagai Isywara
(Absolute IK). Sementara Purusha jelasnya, tidak lain kecuali
bayang-bayang Isywara.
108
Untuk menjelaskan Sang Halus atau Purusha sebagai
bayang-bayang Pencipta atau Isywara, Baratakesawa memberikan
gambaran dengan perumpamaan 1000 (seribu) jembangan (pasu)
berisi air yang diletakan di tengah alun-alun saat matahari terik.
Dalam perumpamaan ini, matahari merepresentasikan Pencipta , air
merepresentasikan Badan Alus, sedang pantulan bayang matahari
di airnya sendiri mereperesentasikan Sang Alus. Pada tiap
jembangan ini dipastikan adanya ‘bayang-bayang’ matahari
yang terpantul dari airnya. Sekalipun ada seribu bayangan
matahari yang terpantul, tidak berarti disimpulkan bahwa ada
1000 Matahari. Dengan demikian, Sang Alus tidak berarti
diidentifikasi sebagai Pencipta .
Lebih jauh, Bratakesawa mengungkapkan, meski
bersumber dari Pencipta namun manusia senantiasa terbelenggu oleh
nafsu duniawi. Belenggu ini terakumulasi dalam bentuk
keinginan. Keinginan, bukan hanya keinginan dalam pengertian
negatif, melainkan juga keinginan-keinginan yang bersifat positif
seperti menguasai ilmu pengetahuan, menciptakan ketentraman
dunia, menjadi pemimpin umat dan berbakti kepada Pencipta . Bila
belum mampu melepaskan diri dari belenggu-belenggu keinginan
ini , maka manusia akan dilahirkan kembali (Samsara).
Gagasan kelahiran kembali (Samsara) seperti diungkapkan
Bratakesawa, dinilai mirip dengan konsepsi Samsara dalam
agama Hindu dan Budha, bahwa hidup menjadi sengsara sebab
masih adanya keinginan.109
Berbeda dengan penilaian Harun, Bratakesawa sendiri
melihat konsepsi Samsara-nya lebih mendekati pengertian
qiyamat dalam agama Islam. ada tiga argumen yang
dijadikan dasar pemikiran kedekatan ini . Pertama, bahwa
tiap orang akan diadili atas perbuatannya dan bagian tubuhnya
akan memberikan laporan. 110 Kedua, putusan tentang pahala
manusia akan disesuaikan dengan perbuatan masing-masing, ada
orang yang masuk Surga juga ada yang ke Neraka (QS an-Naziat:
36-41), selain bahwa tidak ada seorangpun manusia
menggantikan posisi pertanggungjawaban orang lain atau
sekalipun menolong mengubah putusan (QS al-Baqarah: 48).
Ketiga, akhirat kekal untuk selama-lamanya (al-Mu’minun: 39),
bahwa bapak tak berguna bagi anak juga sebaliknya (Luqman:
33), orang yang semula saling mengasihi menjadi bermusuhan
(al-Zukhruf: 67) dan tidak ditanya keturunan (al-Mu’minun: 101).
Berdasar ayat-ayat ini, Bratakesawa menyimpulkan bahwa
kebangkitan dari maut atau pengadilan hari akhir yaitu kelahiran
seorang bayi dari rahim ibunya. Selain itu, kesempurnaan atau
kondisi kebebasan ialah dicapai saat orang telah dibebaskan
dari tumimbal lahir atau dari pengadilan terakhir, sehingga orang
akan dapat kembali ke alam yang mutlak, asal mula segala
sesuatu
Untuk meraih kebebasan dari kelahiran kembali, maka
manusia harus hidup tanpa keinginan terhadap hal-hal duniawi
(wairagya dalam istilah Sanskerta atau zuhd dalam bahasa Arab).
Namun hidup tanpa keinginan harus disertai dengan pengetahuan
dan perbuatan, yakni kondisi dimana manusia bekerja dan
beramal seolah-olah ia akan hidup selamanya dan berbakti kepada
Pencipta Yang Maha Kuasa seolah-olah dia akan mati besok hari
“i’mal lidunyaka kaannaka ta’isy abada wa i’mal li akhiratika
kaannakan tamutu ghada”. Pengetahuan dan perbuatan ini
dibagi dalam tiga kelompok, yakni pengetahuan akan Pencipta ,
pengetahuan tentang ‘kembali pada Pencipta ’, dan jalan untuk
mencapai kembali pada Pencipta . Jalan kembali kepada Pencipta harus
dipelajari manusia selama hidupnya, sehingga ia bisa mencapai
ma’rifat atau pengetahuan yang sebenarnya.
112
Untuk mencapai pengetahuan ini , maka orang harus
melakukan shalat ma’rifat (penyembahan suksma). Ada empat
jenis shalat menurut Bratakesawa :
a. Shalat Syari’a, yaitu penyembahan badan yang didahului
bersuci dengan air. Penerimaan shalat ini akan
mendapatkan pengetahuan syari’at atau pengetahuan
pancaindera, seperti oleh sebab mata telah melihat dunia
maka orang akan percaya bahwa Pencipta yaitu pencipta
dunia. Sementara kepercayaannya disebut Wajibul Yaqin,
kepercayaan yang diwajibkan.
b. Salat Tariqa, yaitu penyembahan budi atau hati yang
penyuciannya terjadi melalui perantaraan pergumulan
dengan nafsu atau keinginannya. Jika diterima, shalat ini
akan memberikan pengetahuan tariqa, yaitu pengetahuan
akan pengertian atau pengetahuan akan ketiga indera
terakhir dari delapan indera (jantung, otak, dan kemaluan
atau pringsilan). Sementara kepercayaan ini disertai oleh
pengertian siapa sebetulnya Pencipta dan sekaligus
dinamakan ‘Ainul Yaqin, kepercayaan yg membuktikan.
c. Shalat Haqiqa, yaitu penyembahan dengan perantaraan
rasa jati dimana penyuciannya terjadi melalui ketenangan
batin dan kejernihan, keawasan, dan ingat (eneng ening
awa eling). Bila diterima, orang akan mendapatkan
pengetahuan haqiqa, yaitu pengetahuan rasa jati, yang
tidak terbatas pada pengertian saja. Kepercayan ini
disebut Haqqul Yaqin, yaitu kepercayaan yang benar.
Pada taraf ini segala macam selubung yg berada di antara
makhluk dan khaliq dibuka. namun taraf ini ialah taraf yg
berbahaya sekali, sebab banyaknya “pembegalan”.
d. Salat Ma’rifa; penyembuhan suksma, yaitu jiwa yang
kuasa tanpa alat. Inilah penyembahan Sang Halus atau
Purusa atau penyembahan Pencipta perorangan.
Penyusiannya terjadi dengan menegasikan seluruh
keinginan (wairagya atau suhud) atau membuang segala
macam cita-cita kecuali cita-cita berkaitan dengan Pencipta .
Bila diterima, orang akan mendapatkan Pengetahuan
Ma’rifah atau ma’rifat yang benar. Artinya bahwa
kepercayaan itu tanpa alat dan tak dapat dikatakan seperti
apa. Inilah taraf yang disebut peleburan papan dan
tulisan, taraf ketenangan. Kepercayaannya disebut Isbatul
Yaqin, kepercayaan yang sudah tetap.
113
Bratakesawa menambahkan, ada dua tahap utama
dalam melaksanakan Shalat Ma’rifat, yaitu latihan budi atau
latihan pikiran (cipta). Pertama, pemusatan cipta atau tafakur
(Arab) atau samprajnana (Sanskerta). Dalam tahap ini, cipta
dikonsentrasikan pada satu hal. Untuk itu, shalat ini disebut pula
“salat ma’rifat melalui perantaraan obyek” (salat makripat kang
mawa cakakton). Kedua, meditasi dengan mengosongkan cipta.
Bila dibarengi pelafalan kata-kata, meditasi dinamai zikr atau
asamprajna dalam istilah Sanskerta. Meditasi ini berakhir dengan
“Samadhi” atau khusuk. Dalam fase ini, orang dibebaskan dari
segala perkara duniawi dan segala dosanya di dunia, baik dosa
perbuatan, dosa pikiran, maupun dosa perkataan. Bila taraf ini
dilalui, maka orang ini akan berhasil kembali pada Pencipta
sebagai muasalnya.
114
Sebagai jawaban pertanyaan murid (saudara muda di dalam
buku itu) yang menanyakan, apakah benar orang yang beritikad
bahwa Pencipta sebenarnya tidak lain kecuali Ingsun (Aku),
Bratakesawa berkata:
“Ketahuilah olehmu, semua orang, baik lelaki maupun
perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, tanpa
memandang kepada bangsa maupun agamanya… wujud
hidupnya terdiri dari: 1) disemayami Sang Halus, 2) Badan
Halus dengan peralatannya yang halus, 3) Badan Kasar
(wadag) yang tampak ini, dengan peralatannya yang kasar
juga.”
115
Jadi menurut Bratakesawa, manusia terdiri dari tiga bagian,
yaitu Sang Halus, Badan Halus, dan Badan Kasar.
Peralatan Badan Kasar ialah segala alat yang dapat
dipergunakan oleh manusia di dalam keadaannya yang biasa yaitu
hidung dengan mesinyya yang disebut pencium serta tindakannya
mencium; telinga dengan mesinnya yang disebut pendengar serta
tindakannya mendengar; mata dengan mesinnya yang disebut
penglihatan serta tindakannya melihat; lidah dengan mesinnya
yang disebut pengecap serta tndakannya merasakan; kulit, daging,
dan tulang dengan mesinnya yang disebut senPencipta serta
tindakannya merasakan pedih dan ngilu dan sebagainya; jantung
dengan mesinnya yang disebut hati serta tindakannya memikir,
membayangkan, dan sebagainya; otak dengan mesinnya yang
disebut budi serta tindakannya mengingat, memikir dan
sebagainya; kemaluan dengan mesinnya yang disebut nafsu serta
tindakannya marah, beringin, dan sebagainya.116
Badan Halus hanya memiliki satu alat, yaitu rasa eling
atau rasa jati (rasa ingat atau rasa yang sejati), yang halus sekali
dan yang hanya kadangkala bertindak.
Sang Halus, sebagai bagian yang terdalam, tidak memiliki
suatu alat pun, sebab Sang Halus berkuasa tanpa alat (qadirun
bila alatin).
Mengenai hubungan antara ketiga bagian ini dikatakan,
bahwa hal itu tidak boleh dipandang sebagai seekor ayam jantan
yang dikurung di dalam kurungan, dan yang ditempatkan di
dalam suatu bilik, artinya gagasan seolah-olah Sang Halus
dipenjara di dalam tubuh harus dibuang.117 Hubungan di antara
ketiga bagian itu harus digambarkan sebagai hubungan antara tiga
macam substansi yang ada pada air laut, yaitu garam,
oksigen, dan hydrogen. Kedua-dua bagian yang terakhir ini
membentuk air. Jika orang mati, Sang Halus bersama-sama
dengan Badan Halus dipsahkan dari Badan Kasar. Pemisahan itu
sama dengan pemisahan air dari garam pada waktu air laut
ditiupkan dan diembunkan. Pemisahan Sang Halus dari Badan
Halus sama dengan pemisahan hydrogen dari oksigen dalam
proses kimia.
Yang ajaib ialah bahwa di dalam bukunya yang lain, yaitu
di dalam Wirid ITMI, Bratakesawa justru meneguhkan apa yang
di Kunci Swarga ditolaknya dengan keras. Sebab di dalam Wirid
ITMI beliau berkata:
“Itulah dinda, jika Pencipta orang sedunia itu saya
umpamakan lautan, manusia ini umpamanya arca garam
(Hyang Suksma yang kuasa tanpa alat) dibungkus di dalam
kapas (Jiwa = Badan Halus yang beralatkan rasa jati) lalu
dilapis dengan lilin (Badan Kasar dengan alatnya lima
indera dan lain-lainnya), jadi berupa arca lilin, yang
senantiasa ikut gelombang lautan, namun tak tertembus oleh
air laut.”118
Di sini manusia digambarkan sebagai sebuah arca lilin,
yang di dalamnya ada garam sebagai Sang Halus, terbungkus
dengan kapas. Jadi, gagasan tentang “penjara” di sini justru
dikemukakan dengan jelas. Gagasan lain yang ada di dalam
kutipan di atas bahwa Sang Halus juga disebut Hyang Suksma
yang berkuasa tanpa alat.
Uraian labih lanjut mengenai Sang Halus ada di dalam
ucapan: “Sekarang Sang Halus tadi saya sebut dengan kata Ikheid
atau Purusha, dan selanjutnya akan saya sebut demikian itu,
jangan salah paham”.
119
Sang Halus di sini disebut Ikheid (ke-Aku-an) atau
Purusha. Barangkali yang dimaksud ialah Super Ego manusia,
atau Aku yang lebih tinggi. Hal ini akan terang di belakang.
Selanjutnya dikatakan:
“Hidup (Urip) dan Yang Hidup (Sang Uring) itu hanya
sebagian dari pada sifat Purusha itu, adapun Sang Urip itu
hanya salah satu dari pada sebutan Purusha saja.
Keterangannya bahwa ketiga-tiganya itu bukan Purusha
yang sebenarnya, sebab Purusha itu bersifat meliuputi
segala yang ada ini. Sekalipun batu yang tak dapat
bergerak, sekalipun tubuh kasar manusia yang sudah busuk
bercampur dengan tanah, … juga diliputi oleh Purusha.”120
Dua gagasan baru ditambahkan di sini. Pertama, salah satu
dari sebutan Purusha yaitu Sang Urip, yang tidak boleh
disamakan dengan Purusha sendiri, dan kedua, Purusha
dipandang sebagai meliputi seluruh dunia, bahkan meliputi juga
batu yang tak bergerak dan jenazah yang sudah membusuk
bercampur dengan tanah. Purusha itu meliputi segala sesuatu
sebab Purusha yaitu sama dengan Nur Muhammad, Cahaya
Terpuji, asal segala sesuatu.121
Mengenai Hyang Suksma dikatakan bahwa Hyang Suksma
itu tidak boleh dikacaukan dengan suksma; yaitu nyawa atau roh
(jiwa). Hyang Suksma tidak tampak bagi penglihatan jasmani dan
rohani, sebab Hyang Suksma tak dapat dikatakan seperti apa (tan
kena kinayangapa) dan tidak tergolong makhluk. 122 Pernyataan
ini menunjukkan bahwa Purusha dipandang memiliki sifat yang
sama dengan Pencipta . Akhirnya dikatakan bahwa “Purusha itu
disebut Pencipta di dalam Alquran”.
123
Di dalam keterangan di atas, yaitu bahwa Purusha atau
“Super Ego” meliputi segala sesuatu di dunia ini bahwa ia
berkuasa tanpa alat bahwa ia juga disebut Hyang Suksma sebagai
sasaran kebaktian yang tak tampak, dan bahwa ia juga disebut
Pencipta , serta bahwa ia memiliki sifat yang sama dengan Pencipta ,
yaitu: tak dapat dikatakan seperti apa, dan tak tergolong makhluk,
orang akan mendapat kesan bahwa sebenarnya yang disebut
Purusha ini yaitu Pencipta sendiri, sama seperti Atman yaitu
Brahman di dalam agama Hindu, atau atma yaitu Ingsung di
dalam Serat Wirid. namun kesimpulan yang demikian ditolak oleh
Bratakesawa dengan tegas. Ia berkata: “Purusha itu bukan yang
menjadikan bumi dan langit dengan segala isinya ini”.124
Penolakan ini cukup jelas. Bukanlah keyakinan
Bratakesawa bahwa manusia pada hakikatnya yaitu Pencipta
sendiri. Untuk membedakan antara Purusha dan Pencipta ,
Bratakesawa berkata:
“Adapun yang menjadikan bumi dan langit dengan segala
isinya ini, kamu jangan salah faham, saya sebut namanya
Absolute Ik atau Isywara. Isywara itu kecuali memiliki sifat
20 yang wajib, dan 20 yang mustahil, juga memiliki satu
sifat lagi, yaitu wenang (jais). Artinya, berhak menjadikan
semua yang ada ini, juga berhak tidak menjadikannya.”125
Alkhalik yang menjadikan dunia ini disebut Absolute Ik
atau “Aku yang Mutlak”, atau “Ego yang Mutlak” atau Isywara.
Apa sebab Purusha juga disebut Pencipta di dalam Alquran,
diterangkan demikian:
“Coba bacalah dengan teliti, lalu rasa-rasakanlah dengan
pikiran yang jernih, umpamanya: yang menyebutkan Iblis
itu seteru Pencipta , bukankah itu terang Pencipta Purusha, bukan
Pencipta Isywara. Sebab hakikat Isywara tidak memiliki
seteru, sebab semuanya itu yaitu makhluk Isywara
sendiri. Bukankah demikian?”126
Demikianlah, menurut Bratakesawa, kitab muslim
mengajarkan adanya dua macam Pencipta , yaitu Pencipta sebagai
Isywara dan Pencipta sebagai Purusha. Jika kitab muslim menyebut
Iblis sebagai seteru Pencipta , maka yang dimaksud dengan Pencipta di
situ ialah Purusha, sebab Isywara tidak memiliki seteru. Iblis
yaitu seteru manusia, sebab tiap orang yang mengikuti pimpinan
Iblis tentu tidak taat kepada Purusha, Dhat yang Maha Suci.127
Suatu usaha yang lain untuk menerangkan perbedaan antara
dua macam Pencipta itu didapatkan di dalam bagian lain, di mana
disebutkan bahwa kitab muslim menyebut Pencipta juga sebagai Rabb
(Rabbun), darinya dapat dibentuk kata-kata Rabbi (Tuanku),
Rabbana (Tuan kami), Rabbika (Tuanmu), dan sebagainya. Di
sini kata Rabb menunjuk kepada Pencipta Isywara.
128 Untuk
membedakan Purusha dari Isywara dipergunakan juga sebutan
lain, yaitu Pencipta Perorangan (Pencipta e siji-sijining wong) bagi
Purusha, dan Pencipta yang Umum (Pencipta e wong umum) bagi
Isywara.
Dengan cara yang demikian ini, Bratakesawa mencoba
menerangkan perbedaan antara Purusha dan Isywara. Beliau
menerima adanya suatu “Ego” sebagai lawan dari “Ego yang
Mutlak”, atau “Super Ego” atau “Pencipta perorangan” sebagai
lawan dari “Pencipta yang Umum”, yaitu Purusha sebagai lawan
Isywara.
Bagaimana hubungan antara kedua macam Pencipta ini?
Apakah yang pertama mewujudkan suatu bagian dari yang
kedua? Gagasan yang demikian ditolak dengan tegas oleh
Bratakesawa sebab beliau berkata: “Adapun Purusha itu tak lain
yaitu … bayang-bayang Isywara. Pesanku dengan sunguhsungguh janganlah kamu salah faham: “Bayang-bayang” itu
bukan jorengan (cuwilan) atau pletikan”.130
Uraian ini jelas menunjukkan bahwa Purusha bukan bagian
dari Isywara. Kecuali itu, kutipan di atas juga menunjukkan, apa
sebenarnya Purusha itu, yaitu bayang-bayang Isywara atau
bayang-bayang Pencipta .
Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, Bratakesawa
mempergunakan perumpamaan sebagai berikut:
“Seandainya pada waktu tengah hari, di tengah alun-alun
ada 1000 jembangan yang berisi air, pada tiap jembangan
tentu ada “bayang-bayang” matahari. Bukankah
demikian? Apakah kamu lalu berkata, bahwa ada dua, tiga,
atau seribu matahari? Demikian itulah perumpamaan
Isywara dengan Purusha tadi”.131
Selanjutnya dengan perumpamaan di atas, diterangkan
bahwa segala jembangan itu menggambarkan Badan Kasar,
sedang air di dalam jembangan menggambarkan Badan Halus
atau roh manusia, dan akhirnya bayang-bayang matahari di dalam
air itu menggambarkan Sang Halus atau Purusha, atau Pencipta
Perorangan. Matahari sendiri menggambarkan Isywara.
Bayang-bayang jelas tidak sama dengan yang memiliki
bayang-bayang itu. Maka keduanya tidak boleh diidentikkan,
terlebih-lebih kedua-duanya tidak boleh dianggap sebagai
sehakikat.
Yang ajaib ialah bahwa Bratakesawa tidak berani
mengambil kesimpulan bahwa Purusha dan Isywara oleh
sebab nya mewujudkan dua kategori “keadaan” (Ingg: being)
yang berbeda sekali. Jika baliau membicarakan soal “apakah
makhluk dan khalik yaitu satu” beliau berkata bahwa jika yang
dimaksud dengan makhluk yaitu bayang-bayang matahari di
dalam jambangan yang berisi air, beliau menentukan bahwa
benarlah mereka yang berkata, bahwa makhluk dan khalik yaitu
sama. Bratakesawa berkata:
“Faham dua macam itu menurut saya sama benarnya.
Sebabnya selisih, tak lain sebab tidak dijelaskan terlebih
dahulu mana yang disebut makhluk di dalam soal yang
dibicarakan itu. Jika yang disebut makhluk di dalam uraian
ini barang yang berbentuk--baik kasar maupun halus--
maka benarlah yang beritikad bahwa makhluk dan khalik
yaitu dua, bukan satu dan tak dapat bersatu, sebab kalik
tidak berbentuk, bukan jisim bukan jirim, tak dapat dikatakan
seperti apa (tan kena kinayangapa). Adapun jika yang
dimaksud makhluk di situ Bayang-bayang matahari terhadap
jambangan yang berisi air itu, maka benarlah yang beritikad,
bahwa makhluk dan khalik yaitu satu, bukankah demikian?
Bukankah tidak keliru bahwa makhluk itu dapat bersatu
dengan khalik?”132
Keyataan ini teranglah bahwa menurut Bratakesawa Badan
Kasar dan halus bukan sehakikat dengan khalik, sebab keduanya
berbentuk, sedang khalik tidak berbentuk, tak dapat dikatakan
seperti apa. namun Purusha sebagai bayang-bayang Isywara
yaitu satu dengan Isywara, dan dapat bersatu dengan Isywara
itu. Dan yang dimaksud dengan satu di sini ternyata “kesatuan
Zat”, sebab mengenai apakah makhluk dan khalik yaitu sama
zatnya atau tidak. 133 Di sini Bratakesawa lupa bahwa bayangbayang tidak memiliki “keadaan” sendiri. Ternyata bahwa apa
yang semula ditentang kemudian dibenarkan lagi.
Di sini tampak lagi keragu-raguan Bratakesawa dengan
memberikan dua arti pada satu hal di dalam persoalan ini
mengenai pengertian “Pencipta ”. Mungkin sekali hal memberi dua
arti pada satu hal, seperti yang dilakukan oleh Bratakesawa ini,
dengan sengaja dibuat demikian, sebab cara yang demikian itu
sering terjadi pada banyak aliran kebatinan. Sebab biasanya ada
dua macam ajaran, yaiu ajaran yang untuk umum (eksoteris) dan
ajaran yang untuk “orang dalam” (esoteris). Bahwa dugaan ini
agaknya benar, hal ini jelas dari apa yang dinyatakan oleh
Bratakesawa, saat beliau menjawab pertanyaan, apakah yang
sudah diajarkan itu termasuk taraf tariqa, artinya belum hikmat
yang tertinggi. Beliau menjawab: “Segala sesuatu yang masih
dapat dibicarakan, apakah berbentuk soal-jawab, apakah
berbentuk wejangan atau wiridan, itu sudah terang baru termasuk
tingkatan tariqa saja”.134
Oleh sebab itu, kita bisa menentukan bahwa ajaran
Bratakesawa seperti yang diuraikan di dalam bukunya Kunci
Swarga itu belum ajaran yang sepenuhnya. Barangkali ajaran itu
baru ajaran yang boleh diketahui oleh umum.
Soal lain yang patut diperhatikan ialah pandangan
Bratakesawa tentang apakah Purusha itu aktif atau tidak di dalam
perbuatan manusia sehari-hari.
“Yang perlu lebih dari pada perlu ialah … beramal (berbuat),
agar air yang ada di dalam jambangan tadi jernih. Sebab jika
airnya keruh, tentu bayang-bayang matahari itu tidak
tampak. Jika jambangan itu pecah, mudah-mudahan bayangbayang matahari itu tidak melekat pada pecahan jambangan,
atau pada air yang tumpah berlimpahan.
Di sini jelas bahwa Bratakesawa menaruh perhatian pada
amal atau perbuatan baik sebagai alat untuk menjernihkan roh
atau Badan Halus manusia, agar orang dapat melihat bayangbayang di dalamnya. Yang menjadi persoalan ialah, siapa yang
harus beramal itu? Kesan yang kita terima ialah, bahwa yang
harus beramal yaitu Badan Halus dan Badan Kasar. Mungkin
lebih tepat dikatakan: Badan Halus dengan perantaraan Badan
Kasar. Kedua-duanya harus berusaha keras untuk membuat agar
Badan Halus menjadi jernih, menjadi tembus sinar (transparan),
sehingga bayang-bayang Isywara, yaitu Purusha, atau Super Ego
manusia tampak. 136 Jika orang tidak beramal, Badan Halusnya
keruh, sehingga Purusha tak tampak, namun jika orang beramal,
Badan Halusnya menjadi jernih dan menampakkan Purusha.
Bahwa memang inilah yang dimaksud Bratakesawa, jelas dari
pernyataannya yang demikian:
“Lapal waman ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu itu bagi
jambangan yang berisi air. Jikalau dapat melihat bayangbayang matahari, sudah cukup, seolah-olah sudah melihat
mataharinya. Memang hanya sekianlah pncak ilmu
makrifat.”137
Di dalam perumpamaan yang lain beliau berkata:
“Atau perumpamaan yang seperti wayang, jika dapat
bertemu dengan Ki Dalang, sudah cukup, seolah-olah
sudah bertemu dengan Yang Nanggap (yang mengadakan
pertunjukan), yang menentukan lakonnya.”138
Di dalam pertanyaan yang pertama dikatakan bahwa sudah
cukup untuk melihat bayang-bayang matahari. Jadi, bayangbayang matahari atau Purusya yaitu objek yang dilihat, bukan
yang melihat. Hal yang sama dinyatakan juga di dalam
pernyataan yang kedua, mengenai Dalang sebagai objek yang
harus ditemui. Oleh sebab itu sebenarnya bukan Purusha, bukan
Super Ego, bukan Hyang Suksma, bukan Pencipta peroranganlah
yang aktif di dalam manusia, melainkan Badan Halus. Mungkin
lebih tepat: egonya yang lebih rendah, yang bertugas untuk
memurnikan diri, agar Badan Halus atau rohnya menjadi jernih,
sehingga Purusha tampak. Fungsi Purusha di sini agaknya sama
dengan fungsi Purusha di dalam falsafah Sankhya, yaitu sebagai
penonton.139
Bratakesawa melihat adanya persamaan antara ajarannya
tentang manusia dengan ajaran agama-agama. Ia berkata:
“Kitab Taurat menyebutkan: maka Pencipta menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Pencipta
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka (Kej. 1; 27). Di dalam Injil disebutkan: Tidak
ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu
juga mengenal Bapa-Ku (Yoh. 14: 6, 7). Barang siapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa; ... Tidak percayakah
engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam
Aku? (Yoh. 14: 9, 10)”
140
Di dalam bagian ini, Bratakesawa mencoba menunjukkan
bahwa ajarannya itu tidak bertentangan dengan ajaran agama lain,
terutama ajaran agama Kristen, sebab ajarannya itu dianggap
sebagai sari dari ajaran segala agama. Menurut Bratakesawa,
segala agama yaitu lanjutan dari ajaran ma’rifatnya, itu yaitu
sari segala agama. Perbedaan antara bermacam-macam agama itu
hanya terletak pada sebutannya, bukan di dalam hakikatnya.
Itulah sebabnya, maka dalam bagian lain ia berkata bahwa jika
orang hendak mencapai ma’rifat, seyogyianya ia juga melakukan
syari’a agama yang disukainya. Perbuatan itu akan menjadi dasar
yang akan memudahkan maksudnya, sesuai dengan ukuran
kecakapannya. 141 Itulah sebabnya, maka ajarannya itu juga
dikenakan kepada ajaran Alkitab (Injil) yang mengenai manusia.
Menurut beliau, pernyataan Alkitab bahwa manusia dijadikan atas
peta Pencipta yaitu sama dengan yang diajarkannya tentang
Purusha sebagai bayang-bayang Isywara. Hal itu dipandangnya
juga cocok dengan ajaran Perjanjian Baru mengenai Anak dan
Bapa. Ungkapan di dalam Perjanjian Baru tentang Anak dan Bapa
tak boleh diberi arti biasa, namun harus diartikan secara simbolis,
seperti yang dilakukan oleh Bratakesawa. Sebab menurut alQur’an, Pencipta tidak melahirkan anak dan tidak dilahirkan sebagai
anak (al-Ikhlas 3: lam yalid wa lam yulad).
142
Kesimpulan kita terhadap ajaran Bratakesawa tentang
manusia dapat dirumuskan demikian:
1. Manusia yaitu kesatuan dari Sang Halus, Badan Halus
dan Badan Kasar. Sang Halus, yang juga disebut
Purusha, Hyang Suksma, Pencipta perorangan dan
sebagainya yaitu bayang-bayang Pencipta Pencipta sendiri.
Bahwa Sang Halus berada di dalam tubuh, di satu pihak
tidak boleh dipandang sebagai yang dipenjara, namun di
lain pihak gambaran “dipenjara” itu dipergunakan juga,
yaitu sebagai “arca garam yang dibungkus di dalam kapas
dan dilapi dengan lilin”.
2. Sebagai bayang-bayang Pencipta , Sang Halus bukan Pencipta .
Melainkan di lain pihak dikatakan juga bahwa Sang
Halus sehakikat dengan Pencipta dan satu dengan Pencipta .
3. Di dalam hidup manusia, Purusha agaknya hanya
berfungsi sebagai penonnton dari segala peristiwa rohani
dan jasmani di dalam manusia. Sebab ia bukanlah asas
yang aktif di dalam manusia itu.
2. Kelepasan
Sekarang kita akan membicarakan hidup sehari-hari
manusia. Sekalipun manusia berasal dari Pencipta , namun hidupnya
sehari-hari tidak sesuai dengan kedudukannya yang tinggi itu.
Sebab ia terikat oleh banyak belenggu duniawi. Hal ini
dinyatakan di dalam ucapan yang demikian:
“Sudah saya katakan, bahwa yang dapat bebas dari pada
hukum kodrat “bangkit dari pada maut” (Arab: qiyamat,
Snskrit: samsara atau kembali lahir di dunia lagi) tidak lain
ialah manusia yang sudah dapat bebas dari pada belenggu
dunia ini ... Terangnya yang disebut belenggu dunia ini tak
lain ialah ... keinginan.”143
Dari pernyataan di atas teranglah bahwa menurut
Bratakesawa hidup sehari-hari manusia terikat oleh belenggu
duniawi, yaitu keinginan. Keinginan menjadikan manusia
dilahirkan kembali atau di dalam Samsara. Gagasan ini
sebenarnya yaitu gagasan agama Hindu-Budha, yang
mengajarkan bahwa hidup ini yaitu sengsara sebab
keinginan.144
Bratakesawa memandang samsara sama dengan qiyamat di
dalam agama Islam. Hal ini oleh Bratakesawa diterangkan
demikian:
1. Bahwa tiap orang akan diadili atas dasar perbuatannya
sendiri (Isra: 14), dan bahwa bagian tubuhnya akan
memberikan laporannya sendiri (Yasin: 65)
2. Bahwa putusan akan hadiah-hadiahnya yaitu sesuai
dengan perbuatan masing-masing (Ali Imran: 25), artinya,
bahwa akan ada orang yang menerima Sorga atau dihukum
di Neraka (an-Naziat: 36-41), bahwa tak seorang pun akan
dapat menggantikan tempat orang lain atau menolong atau
mengubah putusan itu (al-Baqarah: 48), sehingga dapat
dikatakan bahwa dunia ini yaitu bengkel bagi akhirat
(Hadis)
3. Bahwa akhirat yaitu kekal untuk selama-lamanya (alMu’min: 39) dan bahwa pada waktu itu seorang Bapa akan
tak berguna bagi anaknya, dan seorang anak tak berguna
bagi bapanya (Luqman: 33) bahwa orang yang mula-mula
saling mengasihi menjadi musuh, kecuali orang yang takut
akan Pencipta (al-Zukhruf: 67) bahwa tak seorangpun akan
minta keterangan tentang keturunan (al-Mu’minun: 101)
Berdasarkan bahan-bahan ini Bratakesawa yakin bahwa arti
kebangkitan dari maut atau pengadilan terakhir itu pada
hakikatnya yaitu kelahiran seorangh bayi dari kandungan
ibunya.145 Seorang bayi itu sudah ditakdirkan akan menjadi baik
atau jahat (menikmati Sorga atau Neraka) sesuai dengan
perbuatannya sendiri di dalam hidupnya yang dulu. Oleh sebab
itu, zaman sekarang yaitu lanjutan dari zaman yang terdahulu,
dan juga berfungsi sebagai bengkel bagi zaman akhirat.146 Arti
pengertian “kekal” tidak lain yaitu “selama orang hidup”. 147
Bratakesawa yakin bahwa ajaran ini tidak bertentangan dengan
ajaran kitab muslim yang mengatakan bahwa tak mungkinlah bagi
roh untuk kembali ke dunia. Sebab kelahiran kembali itu berarti
bahwa orang dilahirkan lagi sebagai orang lain, bukan sebagai
orang yang sama dengan yang sudah ada dulu.148
Demikianlah, manusia ada di dalam samsara, yaitu
dilahirkan kembali. Yang menyebabkan orang ada di dalam
samsara ialah bahwa ia dibelenggu oleh belenggu duniawi.
Belenggu ini yaitu keinginan. Keinginan di sini harus diartikan
seluas-luasnya. Bukan hanya keinginan yang rendah, melainkan
juga keinginan yang tinggi, sebagai umpamanya: ingin
mengetahui segala ilmu pengetahuan, ingin menciptakan suatu
dunia yang tenteram, ingin menjadi pemimpin umat manusia di
dalam berbakti kepada Pencipta , sebagai Nabi dan Rasul. 149
Sebabnya segala keinginan yang mulia itu, sebagai umpamanya
ingin menjadi Rasul atau Nabi, mengakibatkan kelahiran kembali
ialah sebab hanya dengan dilahirkan kembali saja orang akan
dapat benar-benar mencapai keinginan yang mulia itu. Sebab satu
masa hidup biasanya belum cukup bagi pelaksanaan keinginan
yang tinggi itu.150
Berdasarkan uraian di atas, maka yang disebut kelepasan
ialah bahwa orang sudah dibebaskan dari kelahiran kembali atau
pengadilan terakhir.
“Tentang hal bebas dari pada qiyamat oleh sebab kembali
ke asal mulanya, ... memang itulah yang dikejar oleh para
orang yang mencari kasunyatan.”151
Dibebaskan dari roda kelahiran berarti pulang ke alam yang
mutlak, asal-mula segala sesuatu. Oleh sebab keinginan itulah
yang menyebabkan orang dilahirkan kembali, maka jalan untuk
dapat bebas dari kelahiran kembali itu tak lain yaitu hidup tanpa
keinginan.
“Oleh sebab yang menyebabkan kembali dijadikan di
dunia lagi itu keinginan akan hal duniawi, maka agar
supaya dapat bebas dari dijadikan lagi, tak lain ialah sudah
... tak memiliki keinginan akan hal duniawi tadi. Di dalam
bahasa Sanskerta disebut wiragya. Bahasa Arabnya zuhud,
orangnya zahid. Di dalam falsafah Kristen disebut: dapat
lepas dari pada dosa warisan Nabi Adam (makna buah
larangan), itu jika sudah dapat memikul salib-nya
sendiri”.
152
Hidup tanpa keinginan ini tidak boleh diterangkans ecara
negatif belaka, namun harus disertai dengan pengetahuan dan
perbuatan, yaitu orang harus melakukan pekerjaannya sehari-hari,
seolah-olah ia tidak akan mati selama-lamanya dan harus berbakti
kepada Pencipta , seolah-olah ia akan mati keesokan harinya. 153
Orang boleh bekerja untuk kehidupannya, asal hal itu dikerjakan
hanya untuk melangsungkan hidup badaniahnya. Sedang di dalam
hidup sehari-hari orang harus dapat tidak aktif.154
Pengetahuan dan perbuatan yang disebutkan di atas
selanjutnya diterangkan terdiri dari tiga kategori, yaitu
“pengetahuan akan Pencipta , pengetahuan akan arti “kembali kepada
Pencipta ”, dan jalan untuk mencapai tujuan kembali kepada Pencipta
itu”.
155
Mengenai kategori yang pertama, yaitu “pengetahuan akan
Pencipta ”, dikatakan bahwa Pencipta tak dapat dikatakan seperti apa,
maka segala sesuatu yang masih dapat dikatakan seperti apa,
sehingga masih dapat diperbandingkan yaitu bukan Pencipta .
Selanjutnya dikatakan bahwa Pencipta yaitu kuasa tanpa alat.
Mengenai kategori kedua, yaitu pengetahuan akan arti
“kembali kepada Pencipta ”, dikatakan bahwa oleh sebab Pencipta tak
dapat dikatakan seperti apa, maka “kembali kepada Pencipta ” berarti
bahwa orang yang sudah kembali kepada Pencipta tentu tak dapat
dikatakan seperti apa, artinya ia memiliki sifat yang sama dengan
Pencipta sendiri. Selanjutnya, oleh sebab Pencipta yaitu kuasa tanpa
alat, maka jika orang masih memperguanakan alat, sekalipun alat
yang paling halus, ia belum kembali kepada Pencipta .
Mengenai kategori yang ketiga, yaitu jalan untuk mencapai
tujuan kembali kepada Pencipta dikatakan bahwa orang harus
mempelajarinya dengan tekun selama ia masih hidup. Ia hanya
dapat dikatakan belajar dengan hasil baik, jika ia mencapai
ma’rifat yang sebanarnya.156
Jadi kembali kepada Pencipta , atau kembali kepada asalnya,
berarti bahwa orang mendapatkan sifat yang sama dengan Pencipta
sendiri. Agar orang dapat mencapai ma’rifat yang sebenarnya, ia
harus melakukan shalat ma’rifat (penyembahan suksma), yaitu
jiwa yang kuasa tanpa alat (Purusha), yang menurut Bratakesawa
sama dengan yoga.157
Ada empat macam salat, yaitu salat syari’at, penyembahan
badan, yang penyuciannya terjadi oleh air. Jika salat ini diterima
oleh Pencipta , orang akan mendapatkan pengetahuan syari’a, yang
berarti pengetahuan pancaindera, umpamanya: oleh sebab mata
sudah melihat dunia, orang percaya, bahwa Pencipta yaitu Khalik
dunia ini. Kepercayaan yang dimikian itu disebut wajibul-yaqin,
kepercayaan yang diwajibkan. Selanjutnya ada salat tariqa atau
penyembahan budi atau hati, yang penyuciannya terjadi dengan
perantaraan bergumul dengan nafsunya atau keinginannya. Jika
salat ini diterima oleh Pencipta , orang akan mendapatkan
pengetahuan tariqa, yang berarti pengetahuan akan pengertian
atau pengetahuan akan ketiga indra terakhir dari delapan indra.
Kepercayaan yang demikian itu disertai pengertian. Orang tahu
siapa sebenarnya Pencipta itu. Kepercayaan yang demikian disebut
‘ain al-yaqin, kepercayaan yang membuktikan. Slat yang ketiga
yaitu salat haqiqa atau penyembahan jiwa atau roh, yaitu
penyembahan dengan perantaraan rasa jati, yang penyuciannya
terjadi dengan ketenangan bain dan kejernihan, keawasan dan
ingat (eneng ening awas eling). Jika salat ini diterima oleh Pencipta
akan menghasilkan pengetahuan haqiqat, yaitu pengetahuan rasa
jati, yang tidak hanya terbatas kepada pengertian. Kepercayaan
ini disebut haqqul yaqin, kepercayaan yang benar. Pada taraf ini
segala macam selubung yang berada di antara makhluk dan
Khalik dibuka. namun taraf ini yaitu taraf yang berbahaya sekali
sebab “ada banyak pembegalannya”. Akhirnya, salat ma’rifa
atau penyembahan Purusha atau Pencipta perorangan. Penyuciannya
terjadi dengan keadaan yang tanpa keinginan (wairagya atau
zuhud), yang terdiri dari membuang segala cita-cita, kecuali citacita yang bersangkutan dengan Pencipta . Jika penyembahan ini
diterima oleh Pencipta , orang akan mendapatkan pengetahuan
ma’rifa atau ma’rifa yang benar, artinya bahwa kepercayaannya
yaitu tanpa alat dan tak dapat dikatakan seperti apa. Inilah taraf
yang disebut peleburan papan dan tulisan, taraf ketenangan, yang
tak dapat diuraikan, dan disebut Isbat al-Yaqin, kepercayaan yang
sudah tetap. Jika orang berhasil mencapai taraf ini sekali di dalam
seluruh hidupnya sudah cukup, sekalipun makin banyak makin
baik.158
Cara melakukan salat ma’rifat yaitu suatu latihan budi
atau pikiran (cipta), yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Pemusatan cipta, yang disebut tafakkur dalam bahasa Arab,
dan samprajnana dalam bahasa Sanskerta. Di sini cipta
dipusatkan kepada satu hal. Oleh sebab itu salat ini disebut
juga “salat ma’rifat yang dengan perantara objek” (salat
makripat kang mawa cakotan). 159 Orang diperkenankan
untuk memakai segala sesuatu sebagai objek atau cakotan,
namun objek yang terbaik yaitu Pencipta .160
2. Meditasi, di mana cipta dikosongkan. Jika meditasi ni
disertai pengucapan kata-kata disebut dhikir, yang sama
dengan asam-prajnana dalam bahasa Sanskerta.161
Akir meditasi yaitu semadi atau khusyuk dalam bahasa
Arab, di mana orang dibebaskan dari segala perkara duniawi dan
dibebaskan dari segala dosanya dalam seluruh hidupnya.162 Yang
dimaksud dengan dosa ini bukan hanya perbuatan yang berdosa,
melainkan juga dosa dengan pikiran, kata-kata dan perbuatan,
yang bersama-sama mewujudkan selubung antara makhluk dan
Khalik.163
Jika taraf ini dilalui dengan berhasil, orang akan pulang ke
asalnya atau kepada Pencipta . Taraf ini tak dapat diuraikan, sebab
taraf ini yaitu taraf dari keadaan yang tanpa alat, dan taraf ini tak
dapat dikatakan seperti apa. Paling banyak yang dapat dikatakan
ialah bahwa taraf ini sama dengan orang yang tidur nyenyak tanpa
mimpi atau sama dengan orang yang tak sadar, seperti Musa
saat di puncak Gunung Sinai.164
E. Penutup
Uraian di atas dapat kita simpulkan, pertama, jika kita
memperhatikan apa yang diajarakan oleh Bratakesawa mengenai
Pencipta , yaitu bahwa Pencipta memiliki sifat seperti yang diajarkan di
dalam agama Islam, kita mendapat kesan bahwa Pencipta oleh
Bratakesawa dipandang sebagai suatu Oknum, suatu Pribadi yang
berkehendak. namun jika kita memperhatikan keterangannya
mengenai sifat Pencipta , seperti yang diajarkan oleh Serat Wirid,
misalnya: bahwa Pencipta kuasa tanpa alat serta tak dapat dikatakan
seperti apa, kita lebih mendapat kesan bahwa Pencipta lebih
dipandang sebagai Zat yang Mutlak dalam arti falsafah, artinya
bahwa Yang Mutlak yaitu bebas dari segala hubungan, nisbah
serta sifat, sebab pertama dari segala yang ada. Akal manusia
tidak dapat menembusnya, artinya orang tak mungkin tahu apaapa tentang Pencipta ini. Sifat Pribadi Pencipta oleh sebab nya
tenggelam di dalam uraiannya tentang kemutlakan Pencipta .
Kedua, manusia dipandang sebagai makhluk Pencipta , yang
terdiri dari Sang Halus, Badan Halus, dan Badan Kasar.
Bratakesawa menolak ajaran Serat Wirid, yaitu bahwa manusia
yaitu Ingsun (Aku) dalam arti sama dengan Pencipta . Oleh
sebab nya Bratakesawa menekankan bahwa makhluk dan Khalik
yaitu dua perkara yang berlainan sekali. namun sekalipun
demikian, ia tetap mempertahankan bahwa ada kesamaan antara
manusia dan Khaliknya. Ia mencoba menunjukkan persamaan itu.
Agaknya ia tertarik kepada Ibn Arabi, yang mengajarkan
bahwa manusia yaitu gambar Pencipta atau cermin, yang
memantulkan segala kesempurnaan dan sifat Pencipta . namun
ajaran Ibn Arabi itu diartikan demikian bahwa hakikat manusia
yaitu bayang-bayang yang ada di dalam air jambangan, jadi
diartikan sebagai kediaman bayang-bayang Pencipta di dalam tubuh
manusia.
Menarik sekali untuk memperhatikan pergumulan
Bratakesawa di dalam usahanya menunjukkan perbedaan dan
kesamaan hakikat manusia, yaitu Sang Halus, Purusha, Hyang
Suksma atau Pencipta perorangan, dengan Pencipta sebagai Khaliknya.
Di satu pihak Bratakesawa menolak gagasan seolah-olah Sang
Halus dipenjarakan di dalam tubuh manusia, dengan keterangan
bahwa kehadiran Sang Halus di dalam tubuh itu sebagai suatu
proses kimia. Akan namun di lain pihak ia berkata bahwa Sang
Halus berada di dalam manusia sebagai arca garam, yang
dibungkus dengan kapas dan dilapis dengan lilin. Selanjutnya
dikatakan bahwa bayang-bayang itu bukan mataharinya,
melainkan di lain pihak lagi dikatakan bahwa jika yang dimaksud
dengan makhluk yaitu bayang-bayang di dalam air terhadap
mataharinya, maka makhluk yaitu sama dengan Khaliknya,
bahkan sehakikat dengan-Nya. Hal ini semua, menurut penulis
buku ini, menunjukkan bahwa dalam hakikatnya Bratakesawa
belum lepas dari gagasan Serat Wirid yang ditentangnya itu.
Ketiga, Purusha, sebagai intisari manusia, menurut
keterangannya berfungsi sebagai Purusha di dalam falsafah
Sankhya, yaitu sebagai penonton segala kejadian jasmani dan
rohani di dalam hidup manusia, atau sebagai penonton segala
permainan nafsu di dalam hidup manusia. Purusha lebih
dipandang sebagai objek daripada subjek kelepasan, artinya:
Purusha tidak bertindak sebagai yang melepaskan, namun sebagai
yang dilepaskan, yang harus dikasihani. Kurang dijelaskan, apa
sebabnya penonton bertanggung jawab atas apa yang ditonton. Di
dalam hal ini falsafah Samkhya lebih jelas daripada ajaran
Bratakesawa.
Keempat, sekalipun hakikat manusia yaitu bayang-bayang
Pencipta , namun di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi
permainan segala nafsunya atau keinginannya. Oleh sebab
manusia dibelenggu oleh belenggu duniawi, maka Badan
Halusnya atau rohnya dikeruhkan, sehingga alat Badan Halus,
yaitu rasa jati, yang seharusnya dapat dipergunakan untuk
menghubungkan Badan Halus dengan Purusha, tak dapat
berfungsi. Hal ini menjadikan manusia ditaklukkan pada
kelahiran kembali.
Kelima, kelepasan terdiri dari kelepasan manusia dari
permainan keinginannya. Yang harus berusaha untuk bisa
menguasai segala nafsu itu yaitu Badan Halus. Jika Badan
Halus berhasil untuk menguasai segala nafsu, maka Badan Halus
itu akan menjadi jernih. Hal itu akan mengakibatkan Purusha
yang berada di dalam manusia tampak, yang akhirnya akan dapat
dikembalikan kepada asalnya, yaitu Pencipta .
Jalan kelepasan disebut “tanpa keinginan”, yang
diterangkan sebagai “tidak aktif” pada waktu orang beraksi, serta
menyembah Pencipta dengan pengetahuan dan perbuatan.
Penyembahan kepada Pencipta terdiri dari empat pangkat, sedang
yang tertinggi yaitu shalat ma’rifa, penyembahan suksma, yaitu
jiwa yang tanpa alat. Dengan salat ini orang akan mencapai
tingkatan yang tertinggi, yaitu menjadi kuasa tanpa alat dan tak
dapat dikatakan seperti apa, artinya mendapatkan sifat yang sama
dengan Pencipta .
Keenam, Bratakesawa yakin bahwa ajarannya ini sama
dengan yang diajarkan oleh agama, baik agama Islam maupun
Kristen, dan berusaha untuk menunjukkan hal itu, baik dari alQur’an maupun dari Injil.