• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu ushul fiqh 10. Tampilkan semua postingan

ilmu ushul fiqh 10




 uthi, Al - Jami' al - Shaghir, Juz II ,  hlm. 176  

Artinya : Pada dasarnya dalam suatu ibdah  berdasar  nash 

(Alquran dan Hadis) dan mengikuti (teladan Rasulullah 

saw.) 

 

 13 -   ُْ ٣ِْشــْلَّظـُح ِعخَؼـْر ِْلْح ٠ِك َُ َْطَْلْح 

Artinya : Pada dasarnya hukum dalam masalah kemaluan yaitu   

haram. 

 

Kaidah ini  didasarkan pda firman Allah swt. sebagai berikut 

  ْضـ ٌَ ـَـِ َٓ  خ َٓ  ْٝ َأ ْْ ـِٜ ِؿح َٝ َْصأ ٠َِـَػ َِّلَا َٕ ْٞ ُـظـِـكخَك ْْ ِٜ ِؿ ْٝ ُشُـلِـُ ْْ ُـٛ َٖ ٣ِْز ّـَُح َٝ

 َءآَس َٝ  ٠َـ َـظــِْرا ْٖ َٔ َـك َٖ ـ٤ْ ِٓ ْٞ ُـِـ َٓ ُشـ٤ْـَؿ ْْ ُـٜ ّـََِٗبك ْْ ـِٜ ِـٗخ َٔ ـ٣َْأ  ُْ ُـٛ َيـِـجَـَُُٝؤك َِيَُر

 : ٕٞ٘ٓئُٔح ( َٕ ْٝ ُدخـَؼـُْ ح5 – 7  ) 

 

Artinya :  Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali 

terhdap isteri-isteri mereka atau budak yang merek 

miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang 

tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, 

maka mereka itulah orang-orang yang melampaui 

batas (Al-Mukminun : 5 –  7)  

 

Maksud kaidah fiqhiyah di atas yaitu  bahwa hukum asal 

yang  berkenaan dengan masalah kemaluan yaitu  haram. Oleh 

karena itu untuk menghalalkannya diperlukan adanya akad dan 

proses yang jelas untuk itu, seperti  akad perkawinan atau  

melalui proses kepemilikan sebagai  hamba. Demikian pula 

halnya, seorang laki-laki tidak boleh mengawini seorang 

perempuan yang belum jelas nasabnya, seperti dalam hal ada 

kekhawatiran wanita itu masih ada hubungan darah (mahram). 

Dalam kasus yang demikian, harus diusaha kan agar tidak ada 

keraguan dan harus ada bukti yang jelas tentang nasab wanita 

yang akan dinikahi ini .  

 

  14  –  ُشَـوـ٤ِْـوـَلُْ ح ِّ َلً ٌَ ُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح 


Artinya :  Pada dasarnya dalam memahami suatu kalimat  

yaitu  menurut pengertian hakikatnya. 

 

Sebagai contoh, bila  seseorang mengatakan bahwa  ia 

akan menyerahkan hibah kepada seseorang, maka yang 

dimaksud yaitu  pemberian biasa, bukan termasuk wasiat, sebab 

makna hakiki dari hibah yaitu   pemberian biasa, bukan wasiat 

yang mempunyai konotasi yang berbeda. 

Demikian juga halnya, bila  dalam sebuah surat wasiat  

tertulis " aku wasiatkan agar rumah yang aku tempati setelah aku 

meninggal diserahkan kepada anakku yang laki-laki", maka jika 

dikemudian hari ada  sengketa antara anak kandung, anak 

angkat dan anak tiri, maka yang dimenangkan yaitu  anak 

kandungnya, sebab  pengertian anak yang hakiki yaitu  anak 

kandung, bukan anak angkat, atau anak tiri. 

ada  beberapa pengecualian dari pebeerlakuan kaidah 

ini, dalam arti  meski ragu, tapi  boleh melaksanakannya, di 

antaranya yaitu  dalam masalah sebagai berikut : 

a. Keraguan orang yang mengusap muzah , apakah waktunya 

sudah habis atau belum;  

b. Keraguan orang ya ng mengusap muzah , apakah  masih di 

rumah atau dalam perjalanan.Dalam kedua kasus ini, maka 

hukum yang benar dianggap sudah habis masa waktunya;  

c. Seseorang yang musafir salat dengan niat qashar  makmum 

kepada orang yang tak diketahui ,  apakah dia musafir atau 

bukan, maka tidak sah qashar nya. 

d. Air banyak yang dikencingi binatang, kemudian air itu 

berubah, namun tidak diketahui apakah perubahannya itu 

karena air kencing bintng tadi atau karena yang lain, maka 

air itu dihukumi najis  

 

7. Kaidah tentang Kesulitan da n Keringanan.   

a. Rumusan kaidah.  

 

 َشـ٤ِْغ٤ْ ّـَظـُح ُِذِـ ْـ َـط ُش ّـَوـَشـ َٔ ـُْ َح 

Artinya : Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan  


Artinya :  Pada dasarnya dalam memahami suatu kalimat  

yaitu  menurut pengertian hakikatnya. 

 

Sebagai contoh, bila  seseorang mengatakan bahwa  ia 

akan menyerahkan hibah kepada seseorang, maka yang 

dimaksud yaitu  pemberian biasa, bukan termasuk wasiat, sebab 

makna hakiki dari hibah yaitu   pemberian biasa, bukan wasiat 

yang mempunyai konotasi yang berbeda. 

Demikian juga halnya, bila  dalam sebuah surat wasiat  

tertulis " aku wasiatkan agar rumah yang aku tempati setelah aku 

meninggal diserahkan kepada anakku yang laki-laki", maka jika 

dikemudian hari ada  sengketa antara anak kandung, anak 

angkat dan anak tiri, maka yang dimenangkan yaitu  anak 

kandungnya, sebab  pengertian anak yang hakiki yaitu  anak 

kandung, bukan anak angkat, atau anak tiri. 

ada  beberapa pengecualian dari pebeerlakuan kaidah 

ini, dalam arti  meski ragu, tapi  boleh melaksanakannya, di 

antaranya yaitu  dalam masalah sebagai berikut : 

a. Keraguan orang yang mengusap muzah , apakah waktunya 

sudah habis atau belum;  

b. Keraguan orang ya ng mengusap muzah , apakah  masih di 

rumah atau dalam perjalanan.Dalam kedua kasus ini, maka 

hukum yang benar dianggap sudah habis masa waktunya;  

c. Seseorang yang musafir salat dengan niat qashar  makmum 

kepada orang yang tak diketahui ,  apakah dia musafir atau 

bukan, maka tidak sah qashar nya. 

d. Air banyak yang dikencingi binatang, kemudian air itu 

berubah, namun tidak diketahui apakah perubahannya itu 

karena air kencing bintng tadi atau karena yang lain, maka 

air itu dihukumi najis  

 

7. Kaidah tentang Kesulitan da n Keringanan.   

a. Rumusan kaidah.  

 

 َشـ٤ِْغ٤ْ ّـَظـُح ُِذِـ ْـ َـط ُش ّـَوـَشـ َٔ ـُْ َح 

Artinya : Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan  

b. Dasar hukum pembentukan kaidah. 

 Firman Allah swt.  

 

  َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ  َشُْغ٤ـُْ ح ُْ ـ ٌُ ِر ُﷲ ُذـ٣ِْشـُـ٣   سشوزُح (185 ) 

 

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan 

Allah menghendaki kesulitan bagi  kamu sekalian. 

 

  ؾلُح ( ٍؽَشَك ْٖ ِٓ  ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ْْ ٌُ ٤َِْـَػ ََ ـَؼَؿ خ َٓ َٝ7 8 ) 

 

Artinya : Allah tidak menjdikan kamu dalam agama suatu bentuk 

kesempitan. (QS Al-Hajj : 78)  

  

Rasulullah saw. bersabda :  

 

 ٠َِّـَط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ خَـه ٍَ خَـه ُٚــْ٘ ـَػ ُﷲ غاللهـِػَس رـُِٜح ِذــْزـَػ ِٖ ْر ِشِـرخَؿ ْٖ ـَػ

 ٟدحذــزُح ذـ٤طخُح ٚـؿشخأ ( ِشَل ْٔ ـ َّغُح ِشـ ّـَ٤ِـلـ٤ِْـ٘ـَلُْ ِخر ُضـْؼـُِؼر : َْ ََِّع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ

ُح ٠ك ) خ٣سخظ304 

 

Artinya : (Diriwayatkan) dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : 

Rasulullah saw. bersabda : Akun diutus untuk 

membawa agama yang benar dan toleran. (HR Al -

Khathib al -Baghdadi dalam kitab Al -Tarikh) 

 

   Dalam Hadis yang lain Nabi juga bersabda :  

 

   َْ َِّـَع َٝ  ِٚ ـ٤ََِْػ ُﷲ ٠َِّـَط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس َسَشـ٣َْشُـٛ ٠ِرأ ْٖ ـَػ

 ) ٠وـٜـ٤زُح ٙحٝس ( َُٚزَـِـَؿ َّلَا ٌذـَكأ َٖ ٣ْ ِّذُح َِذُخ َـ ُـ٣ ْٖ َُ َٝ  ٌشُْغ٣ ُٖ ٣ْ ِّذَُح :305 

Artinya : (Diriwayatkan) dari  Abu Hurairah RA, ia berka ta : 

Rasulullah saw. bersabda :  agama itu mudah dan 

tidak aka nada seorang pun yang dapat melawan 

agama, kecuali ia akan dilawan oleh agama.(HR Al -

Baihaqi)  

 

c .  Pengertian Rukhshah  dan 'A zimah.  

Secara normatif Allah swt. telah memberikan  beberapa 

alternatif hukum bagi manusia,  yakni hukum yang bersifat 

positif (wajib), cenderung ke positif (sunah), netral (mubah), 

cenderung ke negativ (makruh) dan negativ (haram). Dalam 

pelaksanaanya, kelima alternatif hukum ini  selanjutnya 

dikenal dengan hukum taklifi (pembebanan) yang secara 

ekstremnya dibagi menjadi dua, yakni tuntutan untuk 

melaksanakan yang positive dan tuntutan untuk meninggalkan 

yang negative secara konsisten dalam kondisi normal. Keharusan 

melaksanakan seluruh tuntutan hukum dalam kondisi normal 

disebut hukum 'azimah . 

 Al-Shan'ani dalam kitab Subul al -Salam mengemukakan bahwa 

yang dimaksud dengan rukhshah  dan 'azimah  yaitu  sebagai 

berikut : 

 

 خَـِٜر ُدحَشـ ُٔ ـُْ ح َٝ  َخُِِٜـرخَـوـ ُٓ  ُش َٔ ٣ِْضـَؼـُْ ح َٝ  ،ٍس ْزـُؼِـُ ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ِٓ  َعِشُش خ َٓ  ُشَظْخ ُّشَُح

 ِغـَْؼر ِىْشـَـط ْٖ ِٓ  ِس َّذـ ِّشـُح َذـْ٘ ـِػ ُٚـَؼ َّع َٝ  َٝ  ِٙ  ِد خَـزـِؼِـُ َُِٚ ّـََٜع خ َٓ  َخُ٘ـٛ

 َٓ َّشَل ُٔ ـُْ ح ِغـَْؼر ِشَكَخرا َٝ  ِصخَـزـِؿح َٞ ـُْ ح ِصخ306 

  

Artinya : Rukhshah  dalah hokum-hukum yang ditetapkan oleh 

Allah karena ada suatu alasan; sedangkan 'azimah  

yaitu  yang sebaliknya. Maksudnya yaitu  bahwa 

rukhshah itu dimaksudkan oleh Allah untuk 

memberikan kemudahan dan keleluasaan kepada 

hamba-Nya ketika dalam kondisi kesulitan, dalam 

bentuk meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban 

dan membolehkan sebagian larangan-larangan. 

                                                           

Artinya : (Diriwayatkan) dari  Abu Hurairah RA, ia berka ta : 

Rasulullah saw. bersabda :  agama itu mudah dan 

tidak aka nada seorang pun yang dapat melawan 

agama, kecuali ia akan dilawan oleh agama.(HR Al -

Baihaqi)  

 

c .  Pengertian Rukhshah  dan 'A zimah.  

Secara normatif Allah swt. telah memberikan  beberapa 

alternatif hukum bagi manusia,  yakni hukum yang bersifat 

positif (wajib), cenderung ke positif (sunah), netral (mubah), 

cenderung ke negativ (makruh) dan negativ (haram). Dalam 

pelaksanaanya, kelima alternatif hukum ini  selanjutnya 

dikenal dengan hukum taklifi (pembebanan) yang secara 

ekstremnya dibagi menjadi dua, yakni tuntutan untuk 

melaksanakan yang positive dan tuntutan untuk meninggalkan 

yang negative secara konsisten dalam kondisi normal. Keharusan 

melaksanakan seluruh tuntutan hukum dalam kondisi normal 

disebut hukum 'azimah . 

 Al-Shan'ani dalam kitab Subul al -Salam mengemukakan bahwa 

yang dimaksud dengan rukhshah  dan 'azimah  yaitu  sebagai 

berikut : 

 

 خَـِٜر ُدحَشـ ُٔ ـُْ ح َٝ  َخُِِٜـرخَـوـ ُٓ  ُش َٔ ٣ِْضـَؼـُْ ح َٝ  ،ٍس ْزـُؼِـُ ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ِٓ  َعِشُش خ َٓ  ُشَظْخ ُّشَُح

 ِغـَْؼر ِىْشـَـط ْٖ ِٓ  ِس َّذـ ِّشـُح َذـْ٘ ـِػ ُٚـَؼ َّع َٝ  َٝ  ِٙ  ِد خَـزـِؼِـُ َُِٚ ّـََٜع خ َٓ  َخُ٘ـٛ

 َٓ َّشَل ُٔ ـُْ ح ِغـَْؼر ِشَكَخرا َٝ  ِصخَـزـِؿح َٞ ـُْ ح ِصخ306 

  

Artinya : Rukhshah  dalah hokum-hukum yang ditetapkan oleh 

Allah karena ada suatu alasan; sedangkan 'azimah  

yaitu  yang sebaliknya. Maksudnya yaitu  bahwa 

rukhshah itu dimaksudkan oleh Allah untuk 

memberikan kemudahan dan keleluasaan kepada 

hamba-Nya ketika dalam kondisi kesulitan, dalam 

bentuk meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban 

dan membolehkan sebagian larangan-larangan. 

                                                           

d. Hikmah adanya Rukhshah.  

 Sebagaimana dimaklumi bahwa  menurut ajaran Islam, 

kompetensi untuk membuat dan menentukan hukum hanyalah 

milik Allah swt. dan atau Rasul -Nya, yang kemudian dalam ilmu 

suhul fiqh dikenal dengan istilah Syari' . Dengan kekuasaan yang 

ada pada-Nya pula, Allah swt. mampu menundukkan ketaatan 

umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Hanya saja dengan 

sifat R ahman-Rahim -Nya Allah swt. membuat aturan-aturan 

khusus yang disesuaikan dengan kemampuan manusia, dan 

diseuaikan pula dengan situasi dan kondisi pada saat ketentuan 

Allah ini  dilaksanakan.  

Hal yang demikian sudah barang tentu dimaksudkan untuk 

mendatangkan kemaslahatan, menghindari kesempitan dan 

kesulitan  umat manusia yang memiliki keterbatasan-

keterbatasan, sebab pada dasarnya segala pembebanan (taklif ) 

itu pada dasarnya memang diperuntukkan bagi kepentingan 

hamba, bukan untuk kepentingan Allah swt.  

Wahbah al -Zuhaili menjelaskan bahwa tidak semua tuntutan 

ini  dapat dilaksanakan oleh manusia, mengingat potensi 

dan kemampuan manusia berbeda-beda, dan terkadang pula 

situasi dan kondisi pada saat mana tuntutan itu dilaksanakan 

menjadi kendala. Oleh karena itulah Allah swt. memberikan 

hukum rukhshah,  yakni keringanan-keringan tertentu dalam 

kondisi tertentu pula.   Dengan kebijakan yang demikian maka 

dapat dikatakan bahwa keharusan  untuk melaksanakan hukum 

'azimah  seimbang dengan kebolehan untuk mengamalkan 

hukum rukhshah. 307  

Spirit hukum Islam yang demikian bersumber dari nash 

Alquran dan Hadis Nabi saw. sebagai berikut :  

 

 ءخغُ٘ح ( خًـلـ٤ْـِؼَػ ُٕ خَغْٗ ِْلْح َِنِـُخ َٝ  ْْ ٌُ ْ٘ ـَػ َق ّـِلـَُخ٣ ْٕ أ ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣2 8  ) 

 

Artinya : Allah menghendaki untuk memberikan keringnan 

kepada kamu sekalian dan manusia diciptakan dalam 

keadaan lemah (QS Al-Nisa' : 28)  

 

 سشـوـزُح ( َخَٜؼْع ُٝ  ّلَا خًغْلَـٗ ُﷲ ُق ّـِِ ٌَ ُـ٣ َلَ2 86 ) 

 

Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut 

kesanggupananya (QS Al-Baqa rah : 286)  

  ِٚ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه  ٍَ خؼه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ ـَػ

 ُٚـ َٔ ِـثحَضـَػ ٠َطْئُـ٣  ْٕ أ ُّذُِل٣ خ َٔ ًَ  َُٚظْخُس ٠َِطْئُـ٣ ْٕ َأ ُّذـِلُـ٣ ٠َُخََؼط َﷲ َّٕ ا َْ ََِّع َٝ

) ذٔكأ  ٙحٝس (308 

 

Artinya : (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah 

saw. bersabda : Sesungguhnya Allah Ta'ala senang 

untuk memberikan  berbagai hukum keringanan, 

sebagaimana Allah juga senang untuk memberikan 

hukum asalnya (HR Ahmad)  

 

Menurut Imam al -Syathibi, sebagaimana dikutip oleh 

Wahbah al -Zuhaili, menerangkan bahwa masyaqqah  atau 

kesulitan-kesulitan  itu dihilangkan dari diri manusia karena dua 

sebab :  

a. Pertama; karena dikhawatirkan akan terputus dalam 

melaksanakan ibadah, atau benci untuk beribadah dan segala 

bentuk taklif serta dikhawatirkan akan menimbulkan 

kerusakan bagi jasad, harta benda maupun martabat 

mukallaf, sebab inti segala taklif yaitu  untuk kemaslahatan 

mukallaf itu  sendiri.  

b. Kedua; karena khawatir akan mengurangi kegiatan -kegiatan 

social yang berkaitan dengan hubungan antar sesame 

manusia, beik terhdap anak, keluarga maupun warga  

Artinya : Allah menghendaki untuk memberikan keringnan 

kepada kamu sekalian dan manusia diciptakan dalam 

keadaan lemah (QS Al-Nisa' : 28)  

 

 سشـوـزُح ( َخَٜؼْع ُٝ  ّلَا خًغْلَـٗ ُﷲ ُق ّـِِ ٌَ ُـ٣ َلَ2 86 ) 

 

Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut 

kesanggupananya (QS Al-Baqa rah : 286)  

  ِٚ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه  ٍَ خؼه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ ـَػ

 ُٚـ َٔ ِـثحَضـَػ ٠َطْئُـ٣  ْٕ أ ُّذُِل٣ خ َٔ ًَ  َُٚظْخُس ٠َِطْئُـ٣ ْٕ َأ ُّذـِلُـ٣ ٠َُخََؼط َﷲ َّٕ ا َْ ََِّع َٝ

) ذٔكأ  ٙحٝس (308 

 

Artinya : (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah 

saw. bersabda : Sesungguhnya Allah Ta'ala senang 

untuk memberikan  berbagai hukum keringanan, 

sebagaimana Allah juga senang untuk memberikan 

hukum asalnya (HR Ahmad)  

 

Menurut Imam al -Syathibi, sebagaimana dikutip oleh 

Wahbah al -Zuhaili, menerangkan bahwa masyaqqah  atau 

kesulitan-kesulitan  itu dihilangkan dari diri manusia karena dua 

sebab :  

a. Pertama; karena dikhawatirkan akan terputus dalam 

melaksanakan ibadah, atau benci untuk beribadah dan segala 

bentuk taklif serta dikhawatirkan akan menimbulkan 

kerusakan bagi jasad, harta benda maupun martabat 

mukallaf, sebab inti segala taklif yaitu  untuk kemaslahatan 

mukallaf itu  sendiri.  

b. Kedua; karena khawatir akan mengurangi kegiatan -kegiatan 

social yang berkaitan dengan hubungan antar sesame 

manusia, beik terhdap anak, keluarga maupun warga  

sekitar, sebab menjaga hubungan baik dengan hak-hak orang 

lain merupakan ibadah pula.309   

berdasar  penjelasan di atas, kiranya dapat diketahui 

betapa hukum Islam itu memiliki  asas serta prinsip yang  

berkeadilan dan sangat toleran, jauh dari kesan mempersulit 

hamba-Nya yang beriman. Oleh karena itulah, di balik kesulitan 

selalu muncul hukum kemudahan dan toleran. 

 

e. Sebab-sebab diberikan rukhshah.  

a. Karena perjalanan ( safar); kesulitan karena melakukan 

perjalanan jauh dan melelahkan ini menimbulkan 8 

macam bentuk hukum rukhshah yaitu : boleh 

bertayamum sebagai pengganti wudu atau mandi wajib, 

boleh mengqashar dan atau menjamak  shalat wajib yang 

empat rakaat, boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadan, 

boleh memakai muzah lebih dari sehari semalam, boleh 

meninggalkan shalat Jumat dengan mengganti shalat 

zhuhur.  

b. Karena sakit ( maradl ); kesulitan karena sakit 

menimbulkan beberapa hukum rukhshah , di antaranya 

ialah : boleh bertayamum sebagai pengganti wudu atau 

mandi wajib, boleh duduk ketika shalat wajib atau 

khutbah Jumat yang seharusnya dilakukan sambil berdiri, 

boleh menjamak shalat wajib, boleh meninggalkan shalat 

Jumat dengean mengganti shalat zhuhur, boleh berbuka 

puasa pada bulan Ramadan dengan pengganti membayar 

fidyah atau memberi makan orang miskin, boleh berobat 

dengan memakai  benda yang diharamkan. 

c. Karena dipaksa dan tak berdaya ( ikrah ); sebagai contoh,  

boleh meninggalkan beban kewajiban, boleh merusak 

harta orang lain, boleh memakan bangkai atau khamr 

atau makanan haram lainnya dan boleh mengucapkan 

kalimat-kalimat kufur dengan syarat hatinya tetap teguh 

                                                          

keimanannya kepada Allah sebagaimana disebutkan 

dalam  QS Al-Nahl : 106. 

d. Karena lupa ( nisyan); sebagai contoh, bila  seseoran g 

yang sedang menjalankan ibadah puasa lupa  makan dan 

atau minum, maka puasanya tidak batal. Demikian juga 

bila  seseorang lupa belum mengerjakan shalat hingga 

waktu shalat sudah berakhir, maka boleh mengerjakan 

shalat setelah dia teringat. 

e. Karena tidak  tahu (jahl); oleh karenanya boleh 

mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat yang 

tidak diketahui sewaktu membeli, boleh menfasakah 

perkawinan karena ada aib yang  tidak diketahui 

sebelumnya. 

f. Karena keadaan yang sulit ( 'umum al - balwa ); oleh 

karenanya dimaafkan kemungkinan terciprat benda-

benda nasjis dari kotoran di jalanan karena sulit untuk 

menghindarinya, boleh beristinjak dengan batu, dan 

dimaafkan pula sedikit ketidakjelasan dalam berbagai 

transaksi. 

g. Karena kekurangan; oleh karena itu tidak  ad a 

pembebanan hokum bagi orang yang tidak memiliki 

kecakapan bertindak seperti anak-anak dan orang gila, di 

bebaskan dari beberapa kewajiban tertentu bagi kaum 

perempuan dan hamba sahaya, termasuk tidak wajib 

shalat jumat dan berperang bagi  kaum perempuan.310   

   

f. Jenis -jenis Kesulitan ( Masyaqqah ) : 

1. Kesulitan biasa ( masyaqqah al - mu'tadah ). Masyaqqah 

yang senantiasa menyertai setiap jenis ibadah pada 

umumnya, seperti rasa dingin ketika wudlu dan mandi, 

susahnya puasa ketika sangat terik dan waktu siang lebih 

lama daripada waktu malamnya, sulitnya perjalanan 

berhaji, rasa sakit ketika diterapkan sanksi hudud dan 

qisas. Jenis -jenis kesulitan yang demikian tidak dapat 

                                                           

keimanannya kepada Allah sebagaimana disebutkan 

dalam  QS Al-Nahl : 106. 

d. Karena lupa ( nisyan); sebagai contoh, bila  seseoran g 

yang sedang menjalankan ibadah puasa lupa  makan dan 

atau minum, maka puasanya tidak batal. Demikian juga 

bila  seseorang lupa belum mengerjakan shalat hingga 

waktu shalat sudah berakhir, maka boleh mengerjakan 

shalat setelah dia teringat. 

e. Karena tidak  tahu (jahl); oleh karenanya boleh 

mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat yang 

tidak diketahui sewaktu membeli, boleh menfasakah 

perkawinan karena ada aib yang  tidak diketahui 

sebelumnya. 

f. Karena keadaan yang sulit ( 'umum al - balwa ); oleh 

karenanya dimaafkan kemungkinan terciprat benda-

benda nasjis dari kotoran di jalanan karena sulit untuk 

menghindarinya, boleh beristinjak dengan batu, dan 

dimaafkan pula sedikit ketidakjelasan dalam berbagai 

transaksi. 

g. Karena kekurangan; oleh karena itu tidak  ad a 

pembebanan hokum bagi orang yang tidak memiliki 

kecakapan bertindak seperti anak-anak dan orang gila, di 

bebaskan dari beberapa kewajiban tertentu bagi kaum 

perempuan dan hamba sahaya, termasuk tidak wajib 

shalat jumat dan berperang bagi  kaum perempuan.310   

   

f. Jenis -jenis Kesulitan ( Masyaqqah ) : 

1. Kesulitan biasa ( masyaqqah al - mu'tadah ). Masyaqqah 

yang senantiasa menyertai setiap jenis ibadah pada 

umumnya, seperti rasa dingin ketika wudlu dan mandi, 

susahnya puasa ketika sangat terik dan waktu siang lebih 

lama daripada waktu malamnya, sulitnya perjalanan 

berhaji, rasa sakit ketika diterapkan sanksi hudud dan 

qisas. Jenis -jenis kesulitan yang demikian tidak dapat 

                                                           

dijadikan alsan untuk menggugurkan kewajiban ibadah 

sampai kapanpun. 

2.  Kesulitan yang tidak biasa ( ma syaqqah ghair al -

mu'tadah ); yakni kesulitan yang tidak biasa di mana 

manusia tidak mampu menanggungnya dan bila  

dipaksakan maka akan mengakibatkan  kerusakan 

danmemberatkan  kehidupnya. Kesulitan -kesulitan yang 

demikian sebenarnya dapat diukur dan dan diidentifikasi 

dengan memakai  akal  sehat serta nilai-nilai filosofis 

dari tujuan disyariatkan nya hukum Islam ( maqashid al-

Syari'ah ). Dalam posisi kesulitan yang semacam inilah, 

manusia hamba Allah ini diperbolehkan memakai  

hukum rukhshah .   

 

g. Katag ori Masyaqqah : 

a.  Masyaqqah ‘azhimah , seperti kesulitan yang 

membahayakan keselamatan jiwa atau fungsi anggota 

badan. Dalam konteks ini, maka dituntut danya keringan, 

dan bahka merupakan keharusan, sebab pertahankan 

kelangsungan hidup dan keutuhan anggota bnadan guna 

laksanakn perintah-perintah agama lebih penting daripada 

sekedar laksanakan satu macam ibadah. 

b.  Masyaqqah khafifah , yakni masyaqqah yang tidak beresiko, 

seperti sakit perut, sakit kepala yang sifatnya ringan Sebab 

pencapaian kemaslahatan ibdah jauh lebih penting dari 

pada sekedar perhatikan masyaqqah  yang sedikit dan tidak 

berpengaruh atau tidak mengandung resiko yang serius. 

c .  Masyaqqah mutawasithah , kesulitan pertengahan antara 

yang   berat dengan yang ringan. Maka yang lebih 

mendekati kepada kesulitan berat perlu adanya rukhshah, 

sedangkan jika lebih dekat kepada kesulitan ringan, tidak 

perlu adanya rukhshah. 

 

                                                           

Tidak ada tolok ukur  yang pasti, kecuali dikembalikan 

kepada pertimbangan subyektif tiap-tiap orang dengan 

pertimbangan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah 

atau pertimbangan, apakah akan mengganggu kekhusukan dalam 

beribdah atau tidak. 

h. Bentuk -bentuk rukhshah  ada  6 macam yaitu : 

a. Takhfif isqath ; keringanan yang menggugurkan, seperti 

menggugurkan shalat jumat, ibadah haji dan umarh serta 

jihad/berperang  

b. Tahfif tanqish , mengurangkan, seperti 4 rakaat menjadi 2 

rakaat 

c. Tahfif ibdal , mengganti, seperti wudu dengan tayamum, 

berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat 

d. Tahfif taqdim , seperti jamak taqdim, menyegerakan bayar 

zakat sebelum  setahun, zzakat fitrah sebelum akhir 

Ramadan  

e. Tahfif ta'khir , mengakhirkan, seperti jamak ta'khir, 

menunda puasa Ramadan bagi orang yang sakit atau 

bepergian 

f. Tahfif tarkhish , memberi kemudahan, sperti boleh 

memakai  benda najis atau haram untuk berobat.312  

  

i. Sikap manusia terhadap rukhshah , ada 5 alternatif :  

1) Harus dilaksanakan, seperti harus makan bangkai ketika 

kelaparan sudah mengancam keselamatan jiwanya. 

Deikian juga halnya, seseorang harus buka puasa ketika 

ketika kelaparan yang diderita akibat puasa sudah teramt 

sangat mengancam keselamatan jiwanya, meski dia tidak 

sedang safar atau tidak sakit. 

2)  Sunah untuk dilaksanakan, seperti mengqashar salat 

ketika safar, tidak puasa bagi musafir atau orang sakit, 

yang jika berpuasa akan mengakibatkan kepayahan;  

                                                           

Tidak ada tolok ukur  yang pasti, kecuali dikembalikan 

kepada pertimbangan subyektif tiap-tiap orang dengan 

pertimbangan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah 

atau pertimbangan, apakah akan mengganggu kekhusukan dalam 

beribdah atau tidak. 

h. Bentuk -bentuk rukhshah  ada  6 macam yaitu : 

a. Takhfif isqath ; keringanan yang menggugurkan, seperti 

menggugurkan shalat jumat, ibadah haji dan umarh serta 

jihad/berperang  

b. Tahfif tanqish , mengurangkan, seperti 4 rakaat menjadi 2 

rakaat 

c. Tahfif ibdal , mengganti, seperti wudu dengan tayamum, 

berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat 

d. Tahfif taqdim , seperti jamak taqdim, menyegerakan bayar 

zakat sebelum  setahun, zzakat fitrah sebelum akhir 

Ramadan  

e. Tahfif ta'khir , mengakhirkan, seperti jamak ta'khir, 

menunda puasa Ramadan bagi orang yang sakit atau 

bepergian 

f. Tahfif tarkhish , memberi kemudahan, sperti boleh 

memakai  benda najis atau haram untuk berobat.312  

  

i. Sikap manusia terhadap rukhshah , ada 5 alternatif :  

1) Harus dilaksanakan, seperti harus makan bangkai ketika 

kelaparan sudah mengancam keselamatan jiwanya. 

Deikian juga halnya, seseorang harus buka puasa ketika 

ketika kelaparan yang diderita akibat puasa sudah teramt 

sangat mengancam keselamatan jiwanya, meski dia tidak 

sedang safar atau tidak sakit. 

2)  Sunah untuk dilaksanakan, seperti mengqashar salat 

ketika safar, tidak puasa bagi musafir atau orang sakit, 

yang jika berpuasa akan mengakibatkan kepayahan;  

                                                           


3)  Mubah, seperti dalam beberapa jenis akad bermuamalah 

sebaiknya ditinggalkan, seperti mengusap muzah  dalam 

berwudlu, menjamak, mengqashar dan tidak puasa bagi 

orang yang tidak mengalami  kesulitan, meskipun dalam 

safar;  

4)  Makruh dikerjakan, seperti qashar dalam safar yang 

kurang dari 3 marhalah  . 

 

Bersumber dari kaidah Asasiyah ke tiga ini, muncul beberapa 

kaidah cabang yang senada, di antaranya ialah : 

 

  َمخَػ ُشـ ْٓ َْلْح َغَغ ّـَِطا حَِرا َٝ  َغَغ ّـَِطا ُشـ ْٓ َْلْح َمخَػ حَِرا 

 

Artinya : Ketika suatu perkara men jadi sempit dilapangkan, dan 

ketika suatu perkara menjadi lapang dipersempit.    

 

  ِٙ ِّذـِػ ٠َُِا َظـ ٌَ ـَؼـْٗ ِا َُّٙذـَك َص َٝ خ َـ َط خ َٓ  َُّ ًُ 

 

Artinya : setiap perkara yang melampaui batasnya, ia 

dikembalikan kepada yang sebaliknya. 

 

Sebagai contoh, pada dasarnya untuk kasus-ksus tertentu saksi 

itu haruslah laki-laki. Akan tetapi jika kondisi memang tidak 

memungkinkan, maka boleh saksi itu dari orang perempuan. 

  

8. K aidah tentang Kemudaratan.  

a. Rumusan  kaidah.  

 

 ٍُ حَضـُـ٣ ُسَش َّؼـَُح 

 

Artinya : Kemadaratan itu d ihilangkan 

b. Dasar hukum pembentukan kaidah. Sabda Nabi saw. : 

 

 َْنأ ىََضق َمَّلَسَو ِهَْيلـَع َّﷲ ىَّلَص ِ َّﷲ َلوُسَر ََّنأ ِتِما َّصلا ِنْب َةَدَاـبـُع ْنـَع

 َراَرِض َلََو َرَرـَض َلَ  ا    ) هجام نبإ هاور (314 

 

Artinya : “(Diriwayatkan) dari ‘Ubādah ibn al-Shāmit bahwa 

Rasulullah saw. telah memutuskan agar tidak boleh 

ada perbuatan yang membahayakan orang lain dan 

membahayakan bagi diri sendiri”. 

 

Beberapa  contoh hukum fiqh yang sejalan dengan kaidah 

ini , di antaranya ialah : pengembalian barang karena aib, 

beberapa macam khiyar (hak pilih dalam jual beli), ta'zir, taflis, 

syuf'ah, qishash, hudud, kifarat , ganti barang ygang rusak, 

pengangkatan pemimpin (imam) dan hakim, menghukum mati 

pemberontak/pembelot, fasakh nikah karena ada aib, dan lain 

sebagainya. 

berdasar  kaidah fiqh dan sabda Nabi saw. di atas, dapat 

diketahui bahwa syari’at Islam ditetapkan untuk membangun 

kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan, 

baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena 

itu bahaya harus dihilangkan (al- dharar yuzalu ) dan bahaya tidak 

boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan atau melakukan 

bahaya lain (al- dharar la yuzal bi al - dharar al- ghair ). 

Dengan demikian segala tindakan maupun peraturan hukum 

dan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mencegah 

terjadinya bahaya, yang mungkin akan dilakukan oleh manusia 

atas manusia lainnya, dapat dibolehkan dalam Islam bahkan 

dapat dianggap sebagai aturan yang didasarkan atau dilandaskan 

kepada Syari’at. Atas dasar demikian, misalnya, maka tidak ada 

ulama yang menentang hukum atau undang-undang lalu lintas 

yang dibuat memang untuk keselamatan pengguna lalu lintas 

bahkan kemaslahatan seluruh warga . Demikian pula 

                                                           

b. Dasar hukum pembentukan kaidah. Sabda Nabi saw. : 

 

 َْنأ ىََضق َمَّلَسَو ِهَْيلـَع َّﷲ ىَّلَص ِ َّﷲ َلوُسَر ََّنأ ِتِما َّصلا ِنْب َةَدَاـبـُع ْنـَع

 َراَرِض َلََو َرَرـَض َلَ  ا    ) هجام نبإ هاور (314 

 

Artinya : “(Diriwayatkan) dari ‘Ubādah ibn al-Shāmit bahwa 

Rasulullah saw. telah memutuskan agar tidak boleh 

ada perbuatan yang membahayakan orang lain dan 

membahayakan bagi diri sendiri”. 

 

Beberapa  contoh hukum fiqh yang sejalan dengan kaidah 

ini , di antaranya ialah : pengembalian barang karena aib, 

beberapa macam khiyar (hak pilih dalam jual beli), ta'zir, taflis, 

syuf'ah, qishash, hudud, kifarat , ganti barang ygang rusak, 

pengangkatan pemimpin (imam) dan hakim, menghukum mati 

pemberontak/pembelot, fasakh nikah karena ada aib, dan lain 

sebagainya. 

berdasar  kaidah fiqh dan sabda Nabi saw. di atas, dapat 

diketahui bahwa syari’at Islam ditetapkan untuk membangun 

kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan, 

baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena 

itu bahaya harus dihilangkan (al- dharar yuzalu ) dan bahaya tidak 

boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan atau melakukan 

bahaya lain (al- dharar la yuzal bi al - dharar al- ghair ). 

Dengan demikian segala tindakan maupun peraturan hukum 

dan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mencegah 

terjadinya bahaya, yang mungkin akan dilakukan oleh manusia 

atas manusia lainnya, dapat dibolehkan dalam Islam bahkan 

dapat dianggap sebagai aturan yang didasarkan atau dilandaskan 

kepada Syari’at. Atas dasar demikian, misalnya, maka tidak ada 

ulama yang menentang hukum atau undang-undang lalu lintas 

yang dibuat memang untuk keselamatan pengguna lalu lintas 

bahkan kemaslahatan seluruh warga . Demikian pula 

                                                           


dengan peraturan yang dibuat pemerintah berkenaan dengan 

upah standar minimal untuk kaum pekerja, juga dapat 

dibenarkan demi untuk kebaikan para pekerja dan pengusaha.  

 

c. Beberapa kaidah cabang.  

d.  

 1 –  ِصحَس ْٞ ُـظـْل َٔ ُْ ح ُقـ٤ِْـزُـط ُصحَس ْٝ ُش َّؼـَُح 

 

Artinya : Kemadaratan membolehkan sesuatu yang dilarang  

 

Sebagai contoh, boleh memakan bangkai ketika kelaparan 

yang mengancam kelangsungan hidupnya, sementara tidak ada 

makanan lain kecuali bangkai itu, boleh mgnucapkan sesuatu 

kalimat kufur jika dipaksa orang dan paksanaannya ini  

mengancam kelangsungan  hidupnya. 

Dalam hal boleh melakukan sesuatu yang dilarang, maka harus : 

a. Tidak berlebihan, berfoya-foya, bersenang-senang, 

melainkan sekedarnya saja, tidak mengurangi keluhuran 

syarak dan kemanusiaan (tidak boleh makan mayat manusia) 

b. Apa yang diperbolehkan karena darurat, harus sesuai dengan 

alsannya atau kebutuhannya. 

 

2 - َخِٛس ُّزـَؼَـط ِس ْذَـوِـر ِسَس ْٝ ُشـ َّؼـُِِ َقـ٤ِْـُرأ خ َٓ 

 

Artinya :  Apa yang diperbolehkan karena darurat, disesuaikan 

dengan alasan daruratnya. 

 

Sebagai contoh, orang yang karena kelaparan dan 

diperbolehkan memakan daging babi, maka maka makannya 

hanya sekedar untuk menyelamatkan nyawa, tidk boleh 

berlebih-lebihan, apalagi  berfoya-foya. 

Boleh shalat Jum'at secara bergelombang, tapi harus sesuai 

dengan kebutuhan. Kalau cukup dua gelombang, tidak boleh 

dilaksanakan tiga atau empat gelombang. 

    

ada  lima tingkatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia : 

a. Kebutuhan primer ( dlaruriyah); dan jika aspek ini tidak 

tyerpenuhi dan teratasi maka akan mengancam 

kelangsungan hidup seseorang;  

b. Kebutuhan sekunder ( hajiyah) ; dan seandainya aspek ini 

tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam nyawa 

seseorang, tetapi akan menyebabkan kepicikan atau 

kepayahan. Sebagai contoh, seseorang yang lelakukan safar 

yang mengandung masyaqqah, boleh tidak puasa. Kalaupun 

orang ini  tidak puasa, maka tidak akan mengakibatkan 

kematiannya, hanya saja orang ini  akan mengalami 

kepayahan. 

c. Kebutuhan tertier ( manfa'ah ); seperti orang yang 

menginginkan makan roti, daging, susu dan lain sebagainya. 

Jenis keperluan yang seperti ini dibutuhkan karena 

mengandung manfaat, yakni untuk lebih menyempurnakan 

kualitas gizi makanannya. Kalaupun tidak terpenuhi, maka 

tidak akan mengakibatkan kepayahan, apalagi kematian. 

d. Kebutuhan penunjang ( zinah ); yakni untuk kesenangan atau 

kepuasan; seperti orang yang menginginkan rumah yang 

mewah, kendaraan yang mahal harganya, pakaian sutra dan 

sebagainya.  

e. Pemenuhan kebutuhan dengan berfoya -foya atau  berlebih-

lebihan (fudhulah); seperti memperbanyak makan makanan 

yang syubhat. 

f.  

3 -  ِٚ ُِح َٝ َضـِـر ََ َطَـر ٍس ْزــُِؼُ َصخَؿ خ َٓ 

 

Artinya : Sesuatu yang diperbolehkan  karena ada halangan, 

menjadi batal dengan hilangnya halangan ini . 

 

Sebagai contoh, ketika seseorang diperbolehkan 

bertayamum karena tidak ada air, maka tayamumnya menjadi 

batal dengan adanya air sebelum orang ini  mulai shalat. 

ada  lima tingkatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia : 

a. Kebutuhan primer ( dlaruriyah); dan jika aspek ini tidak 

tyerpenuhi dan teratasi maka akan mengancam 

kelangsungan hidup seseorang;  

b. Kebutuhan sekunder ( hajiyah) ; dan seandainya aspek ini 

tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam nyawa 

seseorang, tetapi akan menyebabkan kepicikan atau 

kepayahan. Sebagai contoh, seseorang yang lelakukan safar 

yang mengandung masyaqqah, boleh tidak puasa. Kalaupun 

orang ini  tidak puasa, maka tidak akan mengakibatkan 

kematiannya, hanya saja orang ini  akan mengalami 

kepayahan. 

c. Kebutuhan tertier ( manfa'ah ); seperti orang yang 

menginginkan makan roti, daging, susu dan lain sebagainya. 

Jenis keperluan yang seperti ini dibutuhkan karena 

mengandung manfaat, yakni untuk lebih menyempurnakan 

kualitas gizi makanannya. Kalaupun tidak terpenuhi, maka 

tidak akan mengakibatkan kepayahan, apalagi kematian. 

d. Kebutuhan penunjang ( zinah ); yakni untuk kesenangan atau 

kepuasan; seperti orang yang menginginkan rumah yang 

mewah, kendaraan yang mahal harganya, pakaian sutra dan 

sebagainya.  

e. Pemenuhan kebutuhan dengan berfoya -foya atau  berlebih-

lebihan (fudhulah); seperti memperbanyak makan makanan 

yang syubhat. 

f.  

3 -  ِٚ ُِح َٝ َضـِـر ََ َطَـر ٍس ْزــُِؼُ َصخَؿ خ َٓ 

 

Artinya : Sesuatu yang diperbolehkan  karena ada halangan, 

menjadi batal dengan hilangnya halangan ini . 

 

Sebagai contoh, ketika seseorang diperbolehkan 

bertayamum karena tidak ada air, maka tayamumnya menjadi 

batal dengan adanya air sebelum orang ini  mulai shalat. 

 

4 -  ِدخ ٌَ ِطِْسِخر حًسَشَػ خ َٔ ُـٜ ُٔ َـظـَْػأ ٠َِػ ْٝ ُس ِٕ َخـطَذَغـْلـ َٓ  َعَس خـَؼَـط حَِرا

خ َٔ ـِٜ ّـِلـََخأ 

 

Artinya :  bila   ada berhadapan antara dua mafsadat, dihindari 

mafsadat yang lebih besar madaratnya dengan 

melaksanakan mafsadat yang lebih ringan madaratnya. 

 

5 –  ِِقُخَظ َٔ ـُْ ح ِذِْ ـَؿ ْٖ ـ ِٓ  ٠َُ ْٝ َأ ِذـِعخَـلـ َٔ ـُْ ح ُءْس َد 

 

Artinya : Menolak kemafsadatan lebih utama dari  pada menarik 

kemaslahatan. 

 

6 –  َغـْلـ َٓ  َعَس خـَؼَـط حَر ِا ِس َذـَغـْلـ َٔ ـُْ ح ُغْكَس  َّ  ِّذـُـه ٌشََلِـْظـ َٓ َٝ  ٌس َذ 

 

Artinya : bila  berhadapan antara mafsadat dan maslahat, 

maka didahulukan untuk menghilangkan mafsadat.  

 

berdasar  uraian -uraian terdahulu  tampak jelas bahwa 

perhatian Allah swt. dan Rasul -Nya untuk meninggalkan 

larangan lebih  besar  dari pada perhatian untuk melaksanakan 

kewajiban, sesuai dengan inti  pelajaran hukum yang terkandung 

dalam sabda Nabi saw. : 

 

 َـَٜٗ حَِرا َٝ  ْْ ـــ ُظـَْؼطَـظْعح خــ َٓ  ُٚـــ ْ٘ ـ ِٓ  ح ْٞ ـــ ُـْطَؤك ٍشـــ ْٓ ِؤر ْْ ٌُ ـــ ُطْش َٓ أ حَِرا ٍت٤ْــ َش ْٖ ـــ َػ ْْ ـــ ٌُ ُـظـ٤ْ

 ) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٕخخ٤شُح ٙحٝس ( ُٙ ْٞ ُـزِـ٘ـَـظـْؿَخك 

 

Artinya : Ketika Aku memerintahkan tentang sesuatu kepada 

kamu sekalian maka laksanakanlah  menurut 

kemampuan kamu, dan bila  Aku melarang kamu 

sekalian tentang sesuatu maka jauhilah (HR. Bukhari 

Muslim dari Abu Hurairah)  

Dalam redaksi Hadis di atas, ketika Allah memerintahkan 

untuk melaksanakan  suatu perintah, maka ada  kata "sesuai 

dengan  kemampuan kamu sekalian", tetapi ketika 

memerintahkan untuk meninggalkan larangan, maka tanpa 

reserve, tanpa ada keterangan "sesuai dengan kemampuan kamu 

sekalian".  

Dengan dasar pemikiran yang demikianlah, maka 

diperbolehkan meninggalkan sebagian kewajiban, seperti tidak 

berdiri sewaktu menjalankan shalat, boleh tidak berpuasa 

Ramadan b agi musafir, boleh tidak berwudu dengan 

bertayamum bagi orang yang berhalangan memakai  air  

untuk bersuci menghilangkan hadas besar dan atau hadas kecil, 

dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah swt. sama sekali tidak 

memberikan dispensasi dalam hal melanggar larangan, seperti 

mekaukan kemaksiatan dan kemunkaran, apalagi jika berkeitan 

dengan dosa besar. 

Terkadang didahulukan maslahat dan dibelakangkan 

mafsadat, seperti dalam pelaksanaan ibadah shalat, pada 

dasarnya tidak boleh mengabaikan syarat-syarat sahnya shalat 

sebab hal yang demikian berarti meremehkan keagungan Allah 

yang merupakan salah satu bentuk mafsadat, karena ketika 

bermunajat kita diharuskan dalam kondisi kesucian yang prima. 

Meskipun demikian, bila  kurang sempurna syarat -syarat 

terpenuhi, ibadah shalat harus tetap dikerjakan untuk 

menggapai kemaslahatan, dengan mengabaikan tidak terpenuhi 

syarat-syarat yang termasuk kemafsadatan. 

Contoh yang lain ialah, bahwa kebohongan merupakan 

perbuatan dosa  yang dilarang dan jelas-jelas merupakan 

mafsadat. Akan tetapi jika diyakini ada  kemaslahatan di 

balik kebohongan, maka diperbolehkan melakukan kebohongan. 

Seperti kebohongan yang dilakukan dengan tujuan untuk 

mendamaikan dua pihak yang berselisih, atau kebohongan yang 

dilakukan oleh pasangan suami isteri dengan tujuan semata-

mata untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Acuan 

kaidahnya yaitu  : mengambil mafsadat yang lebih ringan, 

menghindari mafsadat yang lebih besar. 

dengan  kemampuan kamu sekalian", tetapi ketika 

memerintahkan untuk meninggalkan larangan, maka tanpa 

reserve, tanpa ada keterangan "sesuai dengan kemampuan kamu 

sekalian".  

Dengan dasar pemikiran yang demikianlah, maka 

diperbolehkan meninggalkan sebagian kewajiban, seperti tidak 

berdiri sewaktu menjalankan shalat, boleh tidak berpuasa 

Ramadan b agi musafir, boleh tidak berwudu dengan 

bertayamum bagi orang yang berhalangan memakai  air  

untuk bersuci menghilangkan hadas besar dan atau hadas kecil, 

dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah swt. sama sekali tidak 

memberikan dispensasi dalam hal melanggar larangan, seperti 

mekaukan kemaksiatan dan kemunkaran, apalagi jika berkeitan 

dengan dosa besar. 

Terkadang didahulukan maslahat dan dibelakangkan 

mafsadat, seperti dalam pelaksanaan ibadah shalat, pada 

dasarnya tidak boleh mengabaikan syarat-syarat sahnya shalat 

sebab hal yang demikian berarti meremehkan keagungan Allah 

yang merupakan salah satu bentuk mafsadat, karena ketika 

bermunajat kita diharuskan dalam kondisi kesucian yang prima. 

Meskipun demikian, bila  kurang sempurna syarat -syarat 

terpenuhi, ibadah shalat harus tetap dikerjakan untuk 

menggapai kemaslahatan, dengan mengabaikan tidak terpenuhi 

syarat-syarat yang termasuk kemafsadatan. 

Contoh yang lain ialah, bahwa kebohongan merupakan 

perbuatan dosa  yang dilarang dan jelas-jelas merupakan 

mafsadat. Akan tetapi jika diyakini ada  kemaslahatan di 

balik kebohongan, maka diperbolehkan melakukan kebohongan. 

Seperti kebohongan yang dilakukan dengan tujuan untuk 

mendamaikan dua pihak yang berselisih, atau kebohongan yang 

dilakukan oleh pasangan suami isteri dengan tujuan semata-

mata untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Acuan 

kaidahnya yaitu  : mengambil mafsadat yang lebih ringan, 

menghindari mafsadat yang lebih besar. 

 

 

7 -  ًش َّطخَخ ْٝ أ َْضٗخ ًَ  ًشَّٓ خَػ ِسَس ْٝ ُش َّؼـُح ََشُِضـْ٘ ـ َٓ  ٍُ َّضـَـ٘ـُـط ُشَؿخَلُْ َح 

 

Artinya : Hajat itu ditempatkan pada posisi darurat, baik yang 

bersifat umum maupun khusus. 

  

Menurut ilmu fiqh, dalam setiap transaksi jual beli harus 

terpenuhi  rukun dan syarat-syaratnya yang berkenaan dengan 

pemjual, pembeli, obyek jual beli maupun ungkapan dalam 

akadnya itu sendiri. Untuk obyek jual beli disyaratkan bahwa 

barangnya harus nyata ada dan dapat diserahterimakan. Akan   

tetapi jika memang sangat diperlukan (ada hajat) dan bila  

ahajat yang demikian itu tidak direalisasikan akan mendatangkan 

kepicikan, diperbolehkan.    

Sebagai contoh, yaitu  diperbolehkan nya transaksi sewa-

menyewa atau transaksi ketenagakerjaan (al- ijarah) yang 

sebenarnya tidak diatur secara langsung di dalam nash dan 

beretentangan dengan prinsip-prinsip qiyas, sebab dalam 

transaksi ini   obyeknya yaitu  manfaat suatu benda atau 

tenaga orang lain yang "tidak nyata" dan tidak dapat 

diserahterimakan sekaligus secara langsung. Demikian pula 

halnya dengan akad  jual beli dengan cara pemesanan (salam), 

walaupun pada saat akad barang yang akan dibeli belum nyata-

nyata ada, tapi diperbolehkan demi memenuhi hajat manusia, 

baik secara pribadi maupun untuk kepentingan warga .  

Sehubungan dengan kaidah  di atas, perlu kiranya dijelaskan 

perbedaan antara  pengertian hajiyat dengan dlaruriyat, sebagai 

berikut : 

1. Dlaruriyat  lebih berat keadaannya, sedangkan hajiyat hanya 

sekedar diperlukan. 

2.  Hukum dlaruriyat dapat mengubah hukum yang telah 

ditetapkan, walaupun harus dibatasi waktu dan kadarnya, 

seperti wajib menjadi mubah dan haram menjadi mubah. 

Sedangkan hukum hajiyat tidak dapat mengubah hukum 

yang telah ditetapkan oleh nash yang sudah jelas.

Mayoritas Ulama sepakat bahwa berbagai keringanan dalam 

keadaan darurat atau hajat bila  memenuhi criteria atau 

syarat-syarat tertentu, dalam artian tetap terukur. Sedangkan 

untuk adanya hajat, diperlukan adanya syarat-syarat sebagai 

berikut : 

1. Hajat membutuhkan tidak berlakunya hukum asal karena 

adanya haraj atau atau masyaqqah  (kepicikan atau kesulitan) 

yang tidak boleh terjadi. 

2.  Sesuatu yang dihajatkan memungkinkan berlakunya 

pengecualian bagi orang-orang tertentu sesuai dengan adat 

kebiasaan setempat. 

3.  Hajat yang akan diperoleh merupakan hajat yang sela ras  

dengan tujuan umum diberlakukannya hokum Islam 

( maqashid al - syar'iyah ). 

4.  Kedudukan hajiyat sama dengan dlaruriyat dalam aspek 

pemakaian  kadar yang diperlukan.  

  

9. Kaidah tentang Adat Kebiasaan . 

a. Rumusan kaidah  

 

 ٌش َٔ ٌَّ َل ُٓ  ُس َد خـَؼـُْ َح 

  

Artinya : K ebiasaan itu dapat dianggap sebagai hokum 

 

b. Dasar hukum pembentukan kaidah. 

Firman Allah swt.  

 

 فحشػلْح ( َٖ ٤ِِْـِٛ خ َـ ُْ ح ِٖ َػ ْعِشـْػح َٝ  ِفْشـُؼُْ ِخر ْش ُٓ ْأ َٝ199 ) 

 

Artinya : Dan perintahkan untuk mengerjakan kebaikan dan  

berpalinglah dari orng-orang yang bodoh (QS Al-A'raf 

: 199 ) 

 

                                                          

Mayoritas Ulama sepakat bahwa berbagai keringanan dalam 

keadaan darurat atau hajat bila  memenuhi criteria atau 

syarat-syarat tertentu, dalam artian tetap terukur. Sedangkan 

untuk adanya hajat, diperlukan adanya syarat-syarat sebagai 

berikut : 

1. Hajat membutuhkan tidak berlakunya hukum asal karena 

adanya haraj atau atau masyaqqah  (kepicikan atau kesulitan) 

yang tidak boleh terjadi. 

2.  Sesuatu yang dihajatkan memungkinkan berlakunya 

pengecualian bagi orang-orang tertentu sesuai dengan adat 

kebiasaan setempat. 

3.  Hajat yang akan diperoleh merupakan hajat yang sela ras  

dengan tujuan umum diberlakukannya hokum Islam 

( maqashid al - syar'iyah ). 

4.  Kedudukan hajiyat sama dengan dlaruriyat dalam aspek 

pemakaian  kadar yang diperlukan.  

  

9. Kaidah tentang Adat Kebiasaan . 

a. Rumusan kaidah  

 

 ٌش َٔ ٌَّ َل ُٓ  ُس َد خـَؼـُْ َح 

  

Artinya : K ebiasaan itu dapat dianggap sebagai hokum 

 

b. Dasar hukum pembentukan kaidah. 

Firman Allah swt.  

 

 فحشػلْح ( َٖ ٤ِِْـِٛ خ َـ ُْ ح ِٖ َػ ْعِشـْػح َٝ  ِفْشـُؼُْ ِخر ْش ُٓ ْأ َٝ199 ) 

 

Artinya : Dan perintahkan untuk mengerjakan kebaikan dan  

berpalinglah dari orng-orang yang bodoh (QS Al-A'raf 

: 199 ) 

                                                           

 ءخغُ٘ح ( ِف ْٝ ُشـْؼ َٔ ـُْ ِخر َّٖ ُـٛ ْٝ ُشـِشخـَػ َٝ19 ) 

 

Artinya : Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan baik 

(QS Al-Nisa' : 19)  

 

Sabda Rasulullah saw. :  

 

   ﷲ َذـْ٘ ـِػ َٞ ُـَٜـك ًخَ٘غَك َٕ ْٞ ُٔ ِِْغ ُٔ ُْ ح ُٙآَس خ َٓ )ذٔكأ ٙحٝس ( ٌٖ317 

 

Artinya : Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka 

ia baik pula di sisi Allah ( HR Ahmad)  

 

c. Pengertian  'adah  dan 'urf . 

Sebagian Ulama menganggap bahwa antara 'adah  dan 'urf  

itu memiliki pengertian yang sama, namun ada juga sebagian 

Ulama yang membedakan antara keduanya. Imam Al -Jurjani 

mendefinisikan 'adah u'rf sebagai berikut :  

 

 ِِغثخَـزَّطُح ُٚــْظ ّـَوَـَِـط َٝ  ٍِ ْٞ ـُـوـُؼـُْ ح ِسَدخـَـَِٜشر ِٚ ٤َِْـَػ ُط ْٞ ُـل ّـُ٘ـُح ِص َّشَـوَـظِْعا خ َٓ  ُفْشـُؼـُْ َح

 ٌشــ ّـَ ُك َٞ ـــُٛ َٝ  ٍِ ْٞ ـــُزَـوـُْ ِخر خــ َٓ  ٠َــ ِٛ  ُسَدخـــَؼـُْ ح َٝ  ، ِْ ـــ ْٜ َـلـُْ ح ٠ــَُِا ُعَشـــَْعأ ُٚـــَّ٘ـٌِ َُ خــًؼ٣َْأ

 َذـــَْؼر ًس َّشـــ َٓ  ِٚ ٤ْـــَُِا ح ْٝ  ُد خـــَػ َٝ  ٍِ ْٞ ـــُوـُؼـُْ ح ِْ ٌْ ـــُك ٠َِـــَػ ِٚ ٤َِْـــَػ ُطخَّ٘ـــُح ِص َّشـــ َٔ َـظِْعا

 َٟشــُْخأ318 

 

Artinya :  yang dimaksud dengan 'urf yaitu  suatu perbuatan 

yang dapat diterima oleh jiwa manusia karena masuk 

akal dan dapat diterima oleh lingkungan warga , 

ia dianggap sebagai hujah karena lebih cepat untuk 

dapat dimengerti. Sedangkan yang dimaksud dengan 

'adah  yaitu  sesuatu yang secara terus menerus 

dilakukan oleh orang banyak karena masuk akal dan 

mereka melakukannya secara berulang-ulang.  

                                                          

Jalaluddin al -Suyuthi juga menyatakan bahwa  adat kebiasaan 

dapat diakui sebagai hukum  manakala perbuatan ini  

memang telah berlangsung  secara terus menerus dan berulang-

ulang dan telah disepakati sebagai hal yang demikian adanya.    

Tak terhingga banyaknya masalah-masalah fiqh yang dapat 

dirujuk dengan memakai  kaidah ini . Di antaranya 

ialah hkum-hukum yang berhubungan dengan adat kebiasaan, 

seperti masalah haid dan nifas, di mana untuk menghitung 

durasi dan masa suci atau jeda antara satu haid dengan haid 

berikutnya ada yang mendasarkan pada system kalender, tapi 

ada juga yang mendasarkan pada instink atau naluri pribadi di 

tiap-tiap daerah.  

Demikian juga tentang tolok ukur kedewasaan ( bulugh ), usia 

seorang laki-laki mengalami mimpi basah, ukuran sedikit atau 

banyak dalam takaran-takaran tertentu, dan lain sebagainya. 

Dalam masalah-masalah yang demikian, maka adat kebiasaan 

pada suatu tempat dapat dibenarkan oleh syarak menjadi hukum 

yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh 

warga . 

 

d. Syarat pemakaian  'adah  dan 'urf.  

Dengan memperhatikan pengertian 'adah  dan 'urf  

sebagaimana telah diuraikan  di atas, dapat kiranya dikemukakan 

bahwa suatu kebiasaan  yang dilakukan oleh warga  dapat 

diakui  oleh hukum Islam bila  memenuhi kriteria sebagai 

berikut : 

 

 1 – خًل٣ِْشَط خ ًَّظٗ ُفْشــُؼُْ ح َقِـُخَخُـ٣َلَ ْٕ َأ 

 2 –  ْضَـزَـِـَؿ َٝ  ُسَدخـَؼـُْ ح ِصَدََشطِْػا حَِرا 

 3 –  ًّٓ خَػ ُفْشـُؼُْ ح َٕ ْٞ ـ ٌُ َ٣ ْٕ َأ ِّصخَخُْ ح ِفْشـُؼـُْ ِخر ُضُـزـْؼَـ٣ َلَ ُّ خـَؼـُْ ح ُْ ـ ٌْ ُلُْ ح َٝ 

Jalaluddin al -Suyuthi juga menyatakan bahwa  adat kebiasaan 

dapat diakui sebagai hukum  manakala perbuatan ini  

memang telah berlangsung  secara terus menerus dan berulang-

ulang dan telah disepakati sebagai hal yang demikian adanya.    

Tak terhingga banyaknya masalah-masalah fiqh yang dapat 

dirujuk dengan memakai  kaidah ini . Di antaranya 

ialah hkum-hukum yang berhubungan dengan adat kebiasaan, 

seperti masalah haid dan nifas, di mana untuk menghitung 

durasi dan masa suci atau jeda antara satu haid dengan haid 

berikutnya ada yang mendasarkan pada system kalender, tapi 

ada juga yang mendasarkan pada instink atau naluri pribadi di 

tiap-tiap daerah.  

Demikian juga tentang tolok ukur kedewasaan ( bulugh ), usia 

seorang laki-laki mengalami mimpi basah, ukuran sedikit atau 

banyak dalam takaran-takaran tertentu, dan lain sebagainya. 

Dalam masalah-masalah yang demikian, maka adat kebiasaan 

pada suatu tempat dapat dibenarkan oleh syarak menjadi hukum 

yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh 

warga . 

 

d. Syarat pemakaian  'adah  dan 'urf.  

Dengan memperhatikan pengertian 'adah  dan 'urf  

sebagaimana telah diuraikan  di atas, dapat kiranya dikemukakan 

bahwa suatu kebiasaan  yang dilakukan oleh warga  dapat 

diakui  oleh hukum Islam bila  memenuhi kriteria sebagai 

berikut : 

 

 1 – خًل٣ِْشَط خ ًَّظٗ ُفْشــُؼُْ ح َقِـُخَخُـ٣َلَ ْٕ َأ 

 2 –  ْضَـزَـِـَؿ َٝ  ُسَدخـَؼـُْ ح ِصَدََشطِْػا حَِرا 

 3 –  ًّٓ خَػ ُفْشـُؼُْ ح َٕ ْٞ ـ ٌُ َ٣ ْٕ َأ ِّصخَخُْ ح ِفْشـُؼـُْ ِخر ُضُـزـْؼَـ٣ َلَ ُّ خـَؼـُْ ح ُْ ـ ٌْ ُلُْ ح َٝ 

Artinya :  

1. 'Urf  itu tidak bertentangan dengan dengan nash yang sharih. 

2. bila  adapt ini  telah berulang-ulang terjadi dan 

sudah  dianggap sebagai hal yang biasa. 

3. 'Urf  itu merupakan hal yang umum,  sebab hukum yang 

umum tidak dapat ditetapkan dengan 'urf  yang khusus. 

 

Sebagian 'Ulama mengemukakan, bahwa 'adat  dan 'urf  itu 

dapat dianggap sebagai hukum bila  : 

1) Perbuatan yang dilakukan  dapat diterima oleh akal sehat 

setiap manusia, bukan merupakan sesuatu yang 

berhubungan dengan perbutan maksiat. 

2)  Perbuatan dan perkataan  itu dilakukan secara berulang -

ulang dan terus menerus oleh sekelompok warga . 

3)  Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik dalam 

Alquran maupun Hadis Nabi saw.  

4)  Tidak mendatangkan kemadaratan serta sejalan dengan jiwa 

dan akal yang sehat-sejahtera.   

berdasar  penjelasan tentang criteria dan persyaratan 

'adah  dan 'urf  di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak semua  

adat kebiasaan baik itu dapat begitu saja bias diterima sebagai 

hal yang sama dengan   hukum Islam, melainkan harus selektif.  

Dengan kata lain, 'urf  itu ada yang fasid dan ada yang shahih. 

'Urf  yang fasid yaitu  'urf  yang menghalalkan yang haram 

atau mengharamkan yang halal, seperti memberikan suguhan 

minuman haram kepada para tamu pada saat penyelenggaraan 

resepsi. Sedangkan 'urf  yang shahih  yaitu  yang tidak 

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 

Sebagai contoh, ialah kebiasaan memberikan hadiah atau 

sumbangan dana bantuan bagi penyelenggaraan resepsi 

perkawinan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai.     

                                                           

Sehubungan dengan hal ini , maka ada  kaidah yang 

menyatakan : 

 

  ِٚ ــ٤ِْـك  ُغــَؿْشـُـ٣ ِشــ َـ ُِّـُح ٠ِـك َلَ َٝ  ِٚ ٤ِْـك َُُٚ َِؾرخَػَلَ َٝ  خًـوَـِْط ُٓ  ُعْشَّشـُح ِٚ ِر َدَس َٝ  خ َٓ  َُّ ًُ

 ِفْشـُؼُْ ح ٠َُِا 

 

Artinya : Segala yang telah diatur oleh syarak secara mutlak dan 

tidak ada pula ketentuannya dalam agama dan atau 

dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf . 

 

Sebagai contoh, menurut syarak seorang calon suami wajib 

memberikan mahar kepada calon mempelai perempuan. 

Ketentuan ini  berlaku secara umum, tidak dad 

ketentuannya yang pasti berapa besaran mahar ini . Dalam 

hal yang demikian, maka besaran mahar diserahkan kepada 

kelayakan dan kebiasaan yang dianggap baik menurut 

kebiasaann yang berlaku dan sesuai dengan kemampuan 

seseorang serta kondisi warga  yang ada. 

Sehubungan dengan hal ini , maka ada  kaidah yang 

menyatakan : 

 

  ِٚ ــ٤ِْـك  ُغــَؿْشـُـ٣ ِشــ َـ ُِّـُح ٠ِـك َلَ َٝ  ِٚ ٤ِْـك َُُٚ َِؾرخَػَلَ َٝ  خًـوَـِْط ُٓ  ُعْشَّشـُح ِٚ ِر َدَس َٝ  خ َٓ  َُّ ًُ

 ِفْشـُؼُْ ح ٠َُِا 

 

Artinya : Segala yang telah diatur oleh syarak secara mutlak dan 

tidak ada pula ketentuannya dalam agama dan atau 

dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf . 

 

Sebagai contoh, menurut syarak seorang calon suami wajib 

memberikan mahar kepada calon mempelai perempuan. 

Ketentuan ini  berlaku secara umum, tidak dad 

ketentuannya yang pasti berapa besaran mahar ini . Dalam 

hal yang demikian, maka besaran mahar diserahkan kepada 

kelayakan dan kebiasaan yang dianggap baik menurut 

kebiasaann yang berlaku dan sesuai dengan kemampuan 

seseorang serta kondisi warga  yang ada.