uthi, Al - Jami' al - Shaghir, Juz II , hlm. 176
Artinya : Pada dasarnya dalam suatu ibdah berdasar nash
(Alquran dan Hadis) dan mengikuti (teladan Rasulullah
saw.)
13 - ُْ ٣ِْشــْلَّظـُح ِعخَؼـْر ِْلْح ٠ِك َُ َْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya hukum dalam masalah kemaluan yaitu
haram.
Kaidah ini didasarkan pda firman Allah swt. sebagai berikut
:
ْضـ ٌَ ـَـِ َٓ خ َٓ ْٝ َأ ْْ ـِٜ ِؿح َٝ َْصأ ٠َِـَػ َِّلَا َٕ ْٞ ُـظـِـكخَك ْْ ِٜ ِؿ ْٝ ُشُـلِـُ ْْ ُـٛ َٖ ٣ِْز ّـَُح َٝ
َءآَس َٝ ٠َـ َـظــِْرا ْٖ َٔ َـك َٖ ـ٤ْ ِٓ ْٞ ُـِـ َٓ ُشـ٤ْـَؿ ْْ ُـٜ ّـََِٗبك ْْ ـِٜ ِـٗخ َٔ ـ٣َْأ ُْ ُـٛ َيـِـجَـَُُٝؤك َِيَُر
: ٕٞ٘ٓئُٔح ( َٕ ْٝ ُدخـَؼـُْ ح5 – 7 )
Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhdap isteri-isteri mereka atau budak yang merek
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang
tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu,
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas (Al-Mukminun : 5 – 7)
Maksud kaidah fiqhiyah di atas yaitu bahwa hukum asal
yang berkenaan dengan masalah kemaluan yaitu haram. Oleh
karena itu untuk menghalalkannya diperlukan adanya akad dan
proses yang jelas untuk itu, seperti akad perkawinan atau
melalui proses kepemilikan sebagai hamba. Demikian pula
halnya, seorang laki-laki tidak boleh mengawini seorang
perempuan yang belum jelas nasabnya, seperti dalam hal ada
kekhawatiran wanita itu masih ada hubungan darah (mahram).
Dalam kasus yang demikian, harus diusaha kan agar tidak ada
keraguan dan harus ada bukti yang jelas tentang nasab wanita
yang akan dinikahi ini .
14 – ُشَـوـ٤ِْـوـَلُْ ح ِّ َلً ٌَ ُْ ح ٠ِك َُ ْطَْلْح
Artinya : Pada dasarnya dalam memahami suatu kalimat
yaitu menurut pengertian hakikatnya.
Sebagai contoh, bila seseorang mengatakan bahwa ia
akan menyerahkan hibah kepada seseorang, maka yang
dimaksud yaitu pemberian biasa, bukan termasuk wasiat, sebab
makna hakiki dari hibah yaitu pemberian biasa, bukan wasiat
yang mempunyai konotasi yang berbeda.
Demikian juga halnya, bila dalam sebuah surat wasiat
tertulis " aku wasiatkan agar rumah yang aku tempati setelah aku
meninggal diserahkan kepada anakku yang laki-laki", maka jika
dikemudian hari ada sengketa antara anak kandung, anak
angkat dan anak tiri, maka yang dimenangkan yaitu anak
kandungnya, sebab pengertian anak yang hakiki yaitu anak
kandung, bukan anak angkat, atau anak tiri.
ada beberapa pengecualian dari pebeerlakuan kaidah
ini, dalam arti meski ragu, tapi boleh melaksanakannya, di
antaranya yaitu dalam masalah sebagai berikut :
a. Keraguan orang yang mengusap muzah , apakah waktunya
sudah habis atau belum;
b. Keraguan orang ya ng mengusap muzah , apakah masih di
rumah atau dalam perjalanan.Dalam kedua kasus ini, maka
hukum yang benar dianggap sudah habis masa waktunya;
c. Seseorang yang musafir salat dengan niat qashar makmum
kepada orang yang tak diketahui , apakah dia musafir atau
bukan, maka tidak sah qashar nya.
d. Air banyak yang dikencingi binatang, kemudian air itu
berubah, namun tidak diketahui apakah perubahannya itu
karena air kencing bintng tadi atau karena yang lain, maka
air itu dihukumi najis
7. Kaidah tentang Kesulitan da n Keringanan.
a. Rumusan kaidah.
َشـ٤ِْغ٤ْ ّـَظـُح ُِذِـ ْـ َـط ُش ّـَوـَشـ َٔ ـُْ َح
Artinya : Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan
Artinya : Pada dasarnya dalam memahami suatu kalimat
yaitu menurut pengertian hakikatnya.
Sebagai contoh, bila seseorang mengatakan bahwa ia
akan menyerahkan hibah kepada seseorang, maka yang
dimaksud yaitu pemberian biasa, bukan termasuk wasiat, sebab
makna hakiki dari hibah yaitu pemberian biasa, bukan wasiat
yang mempunyai konotasi yang berbeda.
Demikian juga halnya, bila dalam sebuah surat wasiat
tertulis " aku wasiatkan agar rumah yang aku tempati setelah aku
meninggal diserahkan kepada anakku yang laki-laki", maka jika
dikemudian hari ada sengketa antara anak kandung, anak
angkat dan anak tiri, maka yang dimenangkan yaitu anak
kandungnya, sebab pengertian anak yang hakiki yaitu anak
kandung, bukan anak angkat, atau anak tiri.
ada beberapa pengecualian dari pebeerlakuan kaidah
ini, dalam arti meski ragu, tapi boleh melaksanakannya, di
antaranya yaitu dalam masalah sebagai berikut :
a. Keraguan orang yang mengusap muzah , apakah waktunya
sudah habis atau belum;
b. Keraguan orang ya ng mengusap muzah , apakah masih di
rumah atau dalam perjalanan.Dalam kedua kasus ini, maka
hukum yang benar dianggap sudah habis masa waktunya;
c. Seseorang yang musafir salat dengan niat qashar makmum
kepada orang yang tak diketahui , apakah dia musafir atau
bukan, maka tidak sah qashar nya.
d. Air banyak yang dikencingi binatang, kemudian air itu
berubah, namun tidak diketahui apakah perubahannya itu
karena air kencing bintng tadi atau karena yang lain, maka
air itu dihukumi najis
7. Kaidah tentang Kesulitan da n Keringanan.
a. Rumusan kaidah.
َشـ٤ِْغ٤ْ ّـَظـُح ُِذِـ ْـ َـط ُش ّـَوـَشـ َٔ ـُْ َح
Artinya : Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan
b. Dasar hukum pembentukan kaidah.
Firman Allah swt.
َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ َشُْغ٤ـُْ ح ُْ ـ ٌُ ِر ُﷲ ُذـ٣ِْشـُـ٣ سشوزُح (185 )
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan
Allah menghendaki kesulitan bagi kamu sekalian.
ؾلُح ( ٍؽَشَك ْٖ ِٓ ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ْْ ٌُ ٤َِْـَػ ََ ـَؼَؿ خ َٓ َٝ7 8 )
Artinya : Allah tidak menjdikan kamu dalam agama suatu bentuk
kesempitan. (QS Al-Hajj : 78)
Rasulullah saw. bersabda :
٠َِّـَط ِﷲ ٍُ ْٞ ـُعَس ٍَ خَـه ٍَ خَـه ُٚــْ٘ ـَػ ُﷲ غاللهـِػَس رـُِٜح ِذــْزـَػ ِٖ ْر ِشِـرخَؿ ْٖ ـَػ
ٟدحذــزُح ذـ٤طخُح ٚـؿشخأ ( ِشَل ْٔ ـ َّغُح ِشـ ّـَ٤ِـلـ٤ِْـ٘ـَلُْ ِخر ُضـْؼـُِؼر : َْ ََِّع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ
ُح ٠ك ) خ٣سخظ304
Artinya : (Diriwayatkan) dari Jabir bin Abdillah, ia berkata :
Rasulullah saw. bersabda : Akun diutus untuk
membawa agama yang benar dan toleran. (HR Al -
Khathib al -Baghdadi dalam kitab Al -Tarikh)
Dalam Hadis yang lain Nabi juga bersabda :
َْ َِّـَع َٝ ِٚ ـ٤ََِْػ ُﷲ ٠َِّـَط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس َسَشـ٣َْشُـٛ ٠ِرأ ْٖ ـَػ
) ٠وـٜـ٤زُح ٙحٝس ( َُٚزَـِـَؿ َّلَا ٌذـَكأ َٖ ٣ْ ِّذُح َِذُخ َـ ُـ٣ ْٖ َُ َٝ ٌشُْغ٣ ُٖ ٣ْ ِّذَُح :305
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia berka ta :
Rasulullah saw. bersabda : agama itu mudah dan
tidak aka nada seorang pun yang dapat melawan
agama, kecuali ia akan dilawan oleh agama.(HR Al -
Baihaqi)
c . Pengertian Rukhshah dan 'A zimah.
Secara normatif Allah swt. telah memberikan beberapa
alternatif hukum bagi manusia, yakni hukum yang bersifat
positif (wajib), cenderung ke positif (sunah), netral (mubah),
cenderung ke negativ (makruh) dan negativ (haram). Dalam
pelaksanaanya, kelima alternatif hukum ini selanjutnya
dikenal dengan hukum taklifi (pembebanan) yang secara
ekstremnya dibagi menjadi dua, yakni tuntutan untuk
melaksanakan yang positive dan tuntutan untuk meninggalkan
yang negative secara konsisten dalam kondisi normal. Keharusan
melaksanakan seluruh tuntutan hukum dalam kondisi normal
disebut hukum 'azimah .
Al-Shan'ani dalam kitab Subul al -Salam mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan rukhshah dan 'azimah yaitu sebagai
berikut :
خَـِٜر ُدحَشـ ُٔ ـُْ ح َٝ َخُِِٜـرخَـوـ ُٓ ُش َٔ ٣ِْضـَؼـُْ ح َٝ ،ٍس ْزـُؼِـُ ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ِٓ َعِشُش خ َٓ ُشَظْخ ُّشَُح
ِغـَْؼر ِىْشـَـط ْٖ ِٓ ِس َّذـ ِّشـُح َذـْ٘ ـِػ ُٚـَؼ َّع َٝ َٝ ِٙ ِد خَـزـِؼِـُ َُِٚ ّـََٜع خ َٓ َخُ٘ـٛ
َٓ َّشَل ُٔ ـُْ ح ِغـَْؼر ِشَكَخرا َٝ ِصخَـزـِؿح َٞ ـُْ ح ِصخ306
Artinya : Rukhshah dalah hokum-hukum yang ditetapkan oleh
Allah karena ada suatu alasan; sedangkan 'azimah
yaitu yang sebaliknya. Maksudnya yaitu bahwa
rukhshah itu dimaksudkan oleh Allah untuk
memberikan kemudahan dan keleluasaan kepada
hamba-Nya ketika dalam kondisi kesulitan, dalam
bentuk meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban
dan membolehkan sebagian larangan-larangan.
Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah RA, ia berka ta :
Rasulullah saw. bersabda : agama itu mudah dan
tidak aka nada seorang pun yang dapat melawan
agama, kecuali ia akan dilawan oleh agama.(HR Al -
Baihaqi)
c . Pengertian Rukhshah dan 'A zimah.
Secara normatif Allah swt. telah memberikan beberapa
alternatif hukum bagi manusia, yakni hukum yang bersifat
positif (wajib), cenderung ke positif (sunah), netral (mubah),
cenderung ke negativ (makruh) dan negativ (haram). Dalam
pelaksanaanya, kelima alternatif hukum ini selanjutnya
dikenal dengan hukum taklifi (pembebanan) yang secara
ekstremnya dibagi menjadi dua, yakni tuntutan untuk
melaksanakan yang positive dan tuntutan untuk meninggalkan
yang negative secara konsisten dalam kondisi normal. Keharusan
melaksanakan seluruh tuntutan hukum dalam kondisi normal
disebut hukum 'azimah .
Al-Shan'ani dalam kitab Subul al -Salam mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan rukhshah dan 'azimah yaitu sebagai
berikut :
خَـِٜر ُدحَشـ ُٔ ـُْ ح َٝ َخُِِٜـرخَـوـ ُٓ ُش َٔ ٣ِْضـَؼـُْ ح َٝ ،ٍس ْزـُؼِـُ ِّ خ ٌَ ْكْلْح َٖ ِٓ َعِشُش خ َٓ ُشَظْخ ُّشَُح
ِغـَْؼر ِىْشـَـط ْٖ ِٓ ِس َّذـ ِّشـُح َذـْ٘ ـِػ ُٚـَؼ َّع َٝ َٝ ِٙ ِد خَـزـِؼِـُ َُِٚ ّـََٜع خ َٓ َخُ٘ـٛ
َٓ َّشَل ُٔ ـُْ ح ِغـَْؼر ِشَكَخرا َٝ ِصخَـزـِؿح َٞ ـُْ ح ِصخ306
Artinya : Rukhshah dalah hokum-hukum yang ditetapkan oleh
Allah karena ada suatu alasan; sedangkan 'azimah
yaitu yang sebaliknya. Maksudnya yaitu bahwa
rukhshah itu dimaksudkan oleh Allah untuk
memberikan kemudahan dan keleluasaan kepada
hamba-Nya ketika dalam kondisi kesulitan, dalam
bentuk meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban
dan membolehkan sebagian larangan-larangan.
d. Hikmah adanya Rukhshah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa menurut ajaran Islam,
kompetensi untuk membuat dan menentukan hukum hanyalah
milik Allah swt. dan atau Rasul -Nya, yang kemudian dalam ilmu
suhul fiqh dikenal dengan istilah Syari' . Dengan kekuasaan yang
ada pada-Nya pula, Allah swt. mampu menundukkan ketaatan
umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Hanya saja dengan
sifat R ahman-Rahim -Nya Allah swt. membuat aturan-aturan
khusus yang disesuaikan dengan kemampuan manusia, dan
diseuaikan pula dengan situasi dan kondisi pada saat ketentuan
Allah ini dilaksanakan.
Hal yang demikian sudah barang tentu dimaksudkan untuk
mendatangkan kemaslahatan, menghindari kesempitan dan
kesulitan umat manusia yang memiliki keterbatasan-
keterbatasan, sebab pada dasarnya segala pembebanan (taklif )
itu pada dasarnya memang diperuntukkan bagi kepentingan
hamba, bukan untuk kepentingan Allah swt.
Wahbah al -Zuhaili menjelaskan bahwa tidak semua tuntutan
ini dapat dilaksanakan oleh manusia, mengingat potensi
dan kemampuan manusia berbeda-beda, dan terkadang pula
situasi dan kondisi pada saat mana tuntutan itu dilaksanakan
menjadi kendala. Oleh karena itulah Allah swt. memberikan
hukum rukhshah, yakni keringanan-keringan tertentu dalam
kondisi tertentu pula. Dengan kebijakan yang demikian maka
dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melaksanakan hukum
'azimah seimbang dengan kebolehan untuk mengamalkan
hukum rukhshah. 307
Spirit hukum Islam yang demikian bersumber dari nash
Alquran dan Hadis Nabi saw. sebagai berikut :
ءخغُ٘ح ( خًـلـ٤ْـِؼَػ ُٕ خَغْٗ ِْلْح َِنِـُخ َٝ ْْ ٌُ ْ٘ ـَػ َق ّـِلـَُخ٣ ْٕ أ ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣2 8 )
Artinya : Allah menghendaki untuk memberikan keringnan
kepada kamu sekalian dan manusia diciptakan dalam
keadaan lemah (QS Al-Nisa' : 28)
سشـوـزُح ( َخَٜؼْع ُٝ ّلَا خًغْلَـٗ ُﷲ ُق ّـِِ ٌَ ُـ٣ َلَ2 86 )
Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut
kesanggupananya (QS Al-Baqa rah : 286)
ِٚ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ خؼه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ ـَػ
ُٚـ َٔ ِـثحَضـَػ ٠َطْئُـ٣ ْٕ أ ُّذُِل٣ خ َٔ ًَ َُٚظْخُس ٠َِطْئُـ٣ ْٕ َأ ُّذـِلُـ٣ ٠َُخََؼط َﷲ َّٕ ا َْ ََِّع َٝ
) ذٔكأ ٙحٝس (308
Artinya : (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda : Sesungguhnya Allah Ta'ala senang
untuk memberikan berbagai hukum keringanan,
sebagaimana Allah juga senang untuk memberikan
hukum asalnya (HR Ahmad)
Menurut Imam al -Syathibi, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah al -Zuhaili, menerangkan bahwa masyaqqah atau
kesulitan-kesulitan itu dihilangkan dari diri manusia karena dua
sebab :
a. Pertama; karena dikhawatirkan akan terputus dalam
melaksanakan ibadah, atau benci untuk beribadah dan segala
bentuk taklif serta dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan bagi jasad, harta benda maupun martabat
mukallaf, sebab inti segala taklif yaitu untuk kemaslahatan
mukallaf itu sendiri.
b. Kedua; karena khawatir akan mengurangi kegiatan -kegiatan
social yang berkaitan dengan hubungan antar sesame
manusia, beik terhdap anak, keluarga maupun warga
Artinya : Allah menghendaki untuk memberikan keringnan
kepada kamu sekalian dan manusia diciptakan dalam
keadaan lemah (QS Al-Nisa' : 28)
سشـوـزُح ( َخَٜؼْع ُٝ ّلَا خًغْلَـٗ ُﷲ ُق ّـِِ ٌَ ُـ٣ َلَ2 86 )
Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut
kesanggupananya (QS Al-Baqa rah : 286)
ِٚ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ خؼه ُْٚ٘ ـَػ ُﷲ ٠َِػَس َشـ َٔ ـُػ ِٖ ْرا ْٖ ـَػ
ُٚـ َٔ ِـثحَضـَػ ٠َطْئُـ٣ ْٕ أ ُّذُِل٣ خ َٔ ًَ َُٚظْخُس ٠َِطْئُـ٣ ْٕ َأ ُّذـِلُـ٣ ٠َُخََؼط َﷲ َّٕ ا َْ ََِّع َٝ
) ذٔكأ ٙحٝس (308
Artinya : (Diriwayatkan) dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda : Sesungguhnya Allah Ta'ala senang
untuk memberikan berbagai hukum keringanan,
sebagaimana Allah juga senang untuk memberikan
hukum asalnya (HR Ahmad)
Menurut Imam al -Syathibi, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah al -Zuhaili, menerangkan bahwa masyaqqah atau
kesulitan-kesulitan itu dihilangkan dari diri manusia karena dua
sebab :
a. Pertama; karena dikhawatirkan akan terputus dalam
melaksanakan ibadah, atau benci untuk beribadah dan segala
bentuk taklif serta dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan bagi jasad, harta benda maupun martabat
mukallaf, sebab inti segala taklif yaitu untuk kemaslahatan
mukallaf itu sendiri.
b. Kedua; karena khawatir akan mengurangi kegiatan -kegiatan
social yang berkaitan dengan hubungan antar sesame
manusia, beik terhdap anak, keluarga maupun warga
sekitar, sebab menjaga hubungan baik dengan hak-hak orang
lain merupakan ibadah pula.309
berdasar penjelasan di atas, kiranya dapat diketahui
betapa hukum Islam itu memiliki asas serta prinsip yang
berkeadilan dan sangat toleran, jauh dari kesan mempersulit
hamba-Nya yang beriman. Oleh karena itulah, di balik kesulitan
selalu muncul hukum kemudahan dan toleran.
e. Sebab-sebab diberikan rukhshah.
a. Karena perjalanan ( safar); kesulitan karena melakukan
perjalanan jauh dan melelahkan ini menimbulkan 8
macam bentuk hukum rukhshah yaitu : boleh
bertayamum sebagai pengganti wudu atau mandi wajib,
boleh mengqashar dan atau menjamak shalat wajib yang
empat rakaat, boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadan,
boleh memakai muzah lebih dari sehari semalam, boleh
meninggalkan shalat Jumat dengan mengganti shalat
zhuhur.
b. Karena sakit ( maradl ); kesulitan karena sakit
menimbulkan beberapa hukum rukhshah , di antaranya
ialah : boleh bertayamum sebagai pengganti wudu atau
mandi wajib, boleh duduk ketika shalat wajib atau
khutbah Jumat yang seharusnya dilakukan sambil berdiri,
boleh menjamak shalat wajib, boleh meninggalkan shalat
Jumat dengean mengganti shalat zhuhur, boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadan dengan pengganti membayar
fidyah atau memberi makan orang miskin, boleh berobat
dengan memakai benda yang diharamkan.
c. Karena dipaksa dan tak berdaya ( ikrah ); sebagai contoh,
boleh meninggalkan beban kewajiban, boleh merusak
harta orang lain, boleh memakan bangkai atau khamr
atau makanan haram lainnya dan boleh mengucapkan
kalimat-kalimat kufur dengan syarat hatinya tetap teguh
keimanannya kepada Allah sebagaimana disebutkan
dalam QS Al-Nahl : 106.
d. Karena lupa ( nisyan); sebagai contoh, bila seseoran g
yang sedang menjalankan ibadah puasa lupa makan dan
atau minum, maka puasanya tidak batal. Demikian juga
bila seseorang lupa belum mengerjakan shalat hingga
waktu shalat sudah berakhir, maka boleh mengerjakan
shalat setelah dia teringat.
e. Karena tidak tahu (jahl); oleh karenanya boleh
mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat yang
tidak diketahui sewaktu membeli, boleh menfasakah
perkawinan karena ada aib yang tidak diketahui
sebelumnya.
f. Karena keadaan yang sulit ( 'umum al - balwa ); oleh
karenanya dimaafkan kemungkinan terciprat benda-
benda nasjis dari kotoran di jalanan karena sulit untuk
menghindarinya, boleh beristinjak dengan batu, dan
dimaafkan pula sedikit ketidakjelasan dalam berbagai
transaksi.
g. Karena kekurangan; oleh karena itu tidak ad a
pembebanan hokum bagi orang yang tidak memiliki
kecakapan bertindak seperti anak-anak dan orang gila, di
bebaskan dari beberapa kewajiban tertentu bagi kaum
perempuan dan hamba sahaya, termasuk tidak wajib
shalat jumat dan berperang bagi kaum perempuan.310
f. Jenis -jenis Kesulitan ( Masyaqqah ) :
1. Kesulitan biasa ( masyaqqah al - mu'tadah ). Masyaqqah
yang senantiasa menyertai setiap jenis ibadah pada
umumnya, seperti rasa dingin ketika wudlu dan mandi,
susahnya puasa ketika sangat terik dan waktu siang lebih
lama daripada waktu malamnya, sulitnya perjalanan
berhaji, rasa sakit ketika diterapkan sanksi hudud dan
qisas. Jenis -jenis kesulitan yang demikian tidak dapat
keimanannya kepada Allah sebagaimana disebutkan
dalam QS Al-Nahl : 106.
d. Karena lupa ( nisyan); sebagai contoh, bila seseoran g
yang sedang menjalankan ibadah puasa lupa makan dan
atau minum, maka puasanya tidak batal. Demikian juga
bila seseorang lupa belum mengerjakan shalat hingga
waktu shalat sudah berakhir, maka boleh mengerjakan
shalat setelah dia teringat.
e. Karena tidak tahu (jahl); oleh karenanya boleh
mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat yang
tidak diketahui sewaktu membeli, boleh menfasakah
perkawinan karena ada aib yang tidak diketahui
sebelumnya.
f. Karena keadaan yang sulit ( 'umum al - balwa ); oleh
karenanya dimaafkan kemungkinan terciprat benda-
benda nasjis dari kotoran di jalanan karena sulit untuk
menghindarinya, boleh beristinjak dengan batu, dan
dimaafkan pula sedikit ketidakjelasan dalam berbagai
transaksi.
g. Karena kekurangan; oleh karena itu tidak ad a
pembebanan hokum bagi orang yang tidak memiliki
kecakapan bertindak seperti anak-anak dan orang gila, di
bebaskan dari beberapa kewajiban tertentu bagi kaum
perempuan dan hamba sahaya, termasuk tidak wajib
shalat jumat dan berperang bagi kaum perempuan.310
f. Jenis -jenis Kesulitan ( Masyaqqah ) :
1. Kesulitan biasa ( masyaqqah al - mu'tadah ). Masyaqqah
yang senantiasa menyertai setiap jenis ibadah pada
umumnya, seperti rasa dingin ketika wudlu dan mandi,
susahnya puasa ketika sangat terik dan waktu siang lebih
lama daripada waktu malamnya, sulitnya perjalanan
berhaji, rasa sakit ketika diterapkan sanksi hudud dan
qisas. Jenis -jenis kesulitan yang demikian tidak dapat
dijadikan alsan untuk menggugurkan kewajiban ibadah
sampai kapanpun.
2. Kesulitan yang tidak biasa ( ma syaqqah ghair al -
mu'tadah ); yakni kesulitan yang tidak biasa di mana
manusia tidak mampu menanggungnya dan bila
dipaksakan maka akan mengakibatkan kerusakan
danmemberatkan kehidupnya. Kesulitan -kesulitan yang
demikian sebenarnya dapat diukur dan dan diidentifikasi
dengan memakai akal sehat serta nilai-nilai filosofis
dari tujuan disyariatkan nya hukum Islam ( maqashid al-
Syari'ah ). Dalam posisi kesulitan yang semacam inilah,
manusia hamba Allah ini diperbolehkan memakai
hukum rukhshah .
g. Katag ori Masyaqqah :
a. Masyaqqah ‘azhimah , seperti kesulitan yang
membahayakan keselamatan jiwa atau fungsi anggota
badan. Dalam konteks ini, maka dituntut danya keringan,
dan bahka merupakan keharusan, sebab pertahankan
kelangsungan hidup dan keutuhan anggota bnadan guna
laksanakn perintah-perintah agama lebih penting daripada
sekedar laksanakan satu macam ibadah.
b. Masyaqqah khafifah , yakni masyaqqah yang tidak beresiko,
seperti sakit perut, sakit kepala yang sifatnya ringan Sebab
pencapaian kemaslahatan ibdah jauh lebih penting dari
pada sekedar perhatikan masyaqqah yang sedikit dan tidak
berpengaruh atau tidak mengandung resiko yang serius.
c . Masyaqqah mutawasithah , kesulitan pertengahan antara
yang berat dengan yang ringan. Maka yang lebih
mendekati kepada kesulitan berat perlu adanya rukhshah,
sedangkan jika lebih dekat kepada kesulitan ringan, tidak
perlu adanya rukhshah.
Tidak ada tolok ukur yang pasti, kecuali dikembalikan
kepada pertimbangan subyektif tiap-tiap orang dengan
pertimbangan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
atau pertimbangan, apakah akan mengganggu kekhusukan dalam
beribdah atau tidak.
h. Bentuk -bentuk rukhshah ada 6 macam yaitu :
a. Takhfif isqath ; keringanan yang menggugurkan, seperti
menggugurkan shalat jumat, ibadah haji dan umarh serta
jihad/berperang
b. Tahfif tanqish , mengurangkan, seperti 4 rakaat menjadi 2
rakaat
c. Tahfif ibdal , mengganti, seperti wudu dengan tayamum,
berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat
d. Tahfif taqdim , seperti jamak taqdim, menyegerakan bayar
zakat sebelum setahun, zzakat fitrah sebelum akhir
Ramadan
e. Tahfif ta'khir , mengakhirkan, seperti jamak ta'khir,
menunda puasa Ramadan bagi orang yang sakit atau
bepergian
f. Tahfif tarkhish , memberi kemudahan, sperti boleh
memakai benda najis atau haram untuk berobat.312
i. Sikap manusia terhadap rukhshah , ada 5 alternatif :
1) Harus dilaksanakan, seperti harus makan bangkai ketika
kelaparan sudah mengancam keselamatan jiwanya.
Deikian juga halnya, seseorang harus buka puasa ketika
ketika kelaparan yang diderita akibat puasa sudah teramt
sangat mengancam keselamatan jiwanya, meski dia tidak
sedang safar atau tidak sakit.
2) Sunah untuk dilaksanakan, seperti mengqashar salat
ketika safar, tidak puasa bagi musafir atau orang sakit,
yang jika berpuasa akan mengakibatkan kepayahan;
Tidak ada tolok ukur yang pasti, kecuali dikembalikan
kepada pertimbangan subyektif tiap-tiap orang dengan
pertimbangan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
atau pertimbangan, apakah akan mengganggu kekhusukan dalam
beribdah atau tidak.
h. Bentuk -bentuk rukhshah ada 6 macam yaitu :
a. Takhfif isqath ; keringanan yang menggugurkan, seperti
menggugurkan shalat jumat, ibadah haji dan umarh serta
jihad/berperang
b. Tahfif tanqish , mengurangkan, seperti 4 rakaat menjadi 2
rakaat
c. Tahfif ibdal , mengganti, seperti wudu dengan tayamum,
berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat
d. Tahfif taqdim , seperti jamak taqdim, menyegerakan bayar
zakat sebelum setahun, zzakat fitrah sebelum akhir
Ramadan
e. Tahfif ta'khir , mengakhirkan, seperti jamak ta'khir,
menunda puasa Ramadan bagi orang yang sakit atau
bepergian
f. Tahfif tarkhish , memberi kemudahan, sperti boleh
memakai benda najis atau haram untuk berobat.312
i. Sikap manusia terhadap rukhshah , ada 5 alternatif :
1) Harus dilaksanakan, seperti harus makan bangkai ketika
kelaparan sudah mengancam keselamatan jiwanya.
Deikian juga halnya, seseorang harus buka puasa ketika
ketika kelaparan yang diderita akibat puasa sudah teramt
sangat mengancam keselamatan jiwanya, meski dia tidak
sedang safar atau tidak sakit.
2) Sunah untuk dilaksanakan, seperti mengqashar salat
ketika safar, tidak puasa bagi musafir atau orang sakit,
yang jika berpuasa akan mengakibatkan kepayahan;
3) Mubah, seperti dalam beberapa jenis akad bermuamalah
sebaiknya ditinggalkan, seperti mengusap muzah dalam
berwudlu, menjamak, mengqashar dan tidak puasa bagi
orang yang tidak mengalami kesulitan, meskipun dalam
safar;
4) Makruh dikerjakan, seperti qashar dalam safar yang
kurang dari 3 marhalah .
Bersumber dari kaidah Asasiyah ke tiga ini, muncul beberapa
kaidah cabang yang senada, di antaranya ialah :
َمخَػ ُشـ ْٓ َْلْح َغَغ ّـَِطا حَِرا َٝ َغَغ ّـَِطا ُشـ ْٓ َْلْح َمخَػ حَِرا
Artinya : Ketika suatu perkara men jadi sempit dilapangkan, dan
ketika suatu perkara menjadi lapang dipersempit.
ِٙ ِّذـِػ ٠َُِا َظـ ٌَ ـَؼـْٗ ِا َُّٙذـَك َص َٝ خ َـ َط خ َٓ َُّ ًُ
Artinya : setiap perkara yang melampaui batasnya, ia
dikembalikan kepada yang sebaliknya.
Sebagai contoh, pada dasarnya untuk kasus-ksus tertentu saksi
itu haruslah laki-laki. Akan tetapi jika kondisi memang tidak
memungkinkan, maka boleh saksi itu dari orang perempuan.
8. K aidah tentang Kemudaratan.
a. Rumusan kaidah.
ٍُ حَضـُـ٣ ُسَش َّؼـَُح
Artinya : Kemadaratan itu d ihilangkan
b. Dasar hukum pembentukan kaidah. Sabda Nabi saw. :
َْنأ ىََضق َمَّلَسَو ِهَْيلـَع َّﷲ ىَّلَص ِ َّﷲ َلوُسَر ََّنأ ِتِما َّصلا ِنْب َةَدَاـبـُع ْنـَع
َراَرِض َلََو َرَرـَض َلَ ا ) هجام نبإ هاور (314
Artinya : “(Diriwayatkan) dari ‘Ubādah ibn al-Shāmit bahwa
Rasulullah saw. telah memutuskan agar tidak boleh
ada perbuatan yang membahayakan orang lain dan
membahayakan bagi diri sendiri”.
Beberapa contoh hukum fiqh yang sejalan dengan kaidah
ini , di antaranya ialah : pengembalian barang karena aib,
beberapa macam khiyar (hak pilih dalam jual beli), ta'zir, taflis,
syuf'ah, qishash, hudud, kifarat , ganti barang ygang rusak,
pengangkatan pemimpin (imam) dan hakim, menghukum mati
pemberontak/pembelot, fasakh nikah karena ada aib, dan lain
sebagainya.
berdasar kaidah fiqh dan sabda Nabi saw. di atas, dapat
diketahui bahwa syari’at Islam ditetapkan untuk membangun
kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena
itu bahaya harus dihilangkan (al- dharar yuzalu ) dan bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan atau melakukan
bahaya lain (al- dharar la yuzal bi al - dharar al- ghair ).
Dengan demikian segala tindakan maupun peraturan hukum
dan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya bahaya, yang mungkin akan dilakukan oleh manusia
atas manusia lainnya, dapat dibolehkan dalam Islam bahkan
dapat dianggap sebagai aturan yang didasarkan atau dilandaskan
kepada Syari’at. Atas dasar demikian, misalnya, maka tidak ada
ulama yang menentang hukum atau undang-undang lalu lintas
yang dibuat memang untuk keselamatan pengguna lalu lintas
bahkan kemaslahatan seluruh warga . Demikian pula
b. Dasar hukum pembentukan kaidah. Sabda Nabi saw. :
َْنأ ىََضق َمَّلَسَو ِهَْيلـَع َّﷲ ىَّلَص ِ َّﷲ َلوُسَر ََّنأ ِتِما َّصلا ِنْب َةَدَاـبـُع ْنـَع
َراَرِض َلََو َرَرـَض َلَ ا ) هجام نبإ هاور (314
Artinya : “(Diriwayatkan) dari ‘Ubādah ibn al-Shāmit bahwa
Rasulullah saw. telah memutuskan agar tidak boleh
ada perbuatan yang membahayakan orang lain dan
membahayakan bagi diri sendiri”.
Beberapa contoh hukum fiqh yang sejalan dengan kaidah
ini , di antaranya ialah : pengembalian barang karena aib,
beberapa macam khiyar (hak pilih dalam jual beli), ta'zir, taflis,
syuf'ah, qishash, hudud, kifarat , ganti barang ygang rusak,
pengangkatan pemimpin (imam) dan hakim, menghukum mati
pemberontak/pembelot, fasakh nikah karena ada aib, dan lain
sebagainya.
berdasar kaidah fiqh dan sabda Nabi saw. di atas, dapat
diketahui bahwa syari’at Islam ditetapkan untuk membangun
kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena
itu bahaya harus dihilangkan (al- dharar yuzalu ) dan bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan atau melakukan
bahaya lain (al- dharar la yuzal bi al - dharar al- ghair ).
Dengan demikian segala tindakan maupun peraturan hukum
dan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya bahaya, yang mungkin akan dilakukan oleh manusia
atas manusia lainnya, dapat dibolehkan dalam Islam bahkan
dapat dianggap sebagai aturan yang didasarkan atau dilandaskan
kepada Syari’at. Atas dasar demikian, misalnya, maka tidak ada
ulama yang menentang hukum atau undang-undang lalu lintas
yang dibuat memang untuk keselamatan pengguna lalu lintas
bahkan kemaslahatan seluruh warga . Demikian pula
dengan peraturan yang dibuat pemerintah berkenaan dengan
upah standar minimal untuk kaum pekerja, juga dapat
dibenarkan demi untuk kebaikan para pekerja dan pengusaha.
c. Beberapa kaidah cabang.
d.
1 – ِصحَس ْٞ ُـظـْل َٔ ُْ ح ُقـ٤ِْـزُـط ُصحَس ْٝ ُش َّؼـَُح
Artinya : Kemadaratan membolehkan sesuatu yang dilarang
Sebagai contoh, boleh memakan bangkai ketika kelaparan
yang mengancam kelangsungan hidupnya, sementara tidak ada
makanan lain kecuali bangkai itu, boleh mgnucapkan sesuatu
kalimat kufur jika dipaksa orang dan paksanaannya ini
mengancam kelangsungan hidupnya.
Dalam hal boleh melakukan sesuatu yang dilarang, maka harus :
a. Tidak berlebihan, berfoya-foya, bersenang-senang,
melainkan sekedarnya saja, tidak mengurangi keluhuran
syarak dan kemanusiaan (tidak boleh makan mayat manusia)
b. Apa yang diperbolehkan karena darurat, harus sesuai dengan
alsannya atau kebutuhannya.
2 - َخِٛس ُّزـَؼَـط ِس ْذَـوِـر ِسَس ْٝ ُشـ َّؼـُِِ َقـ٤ِْـُرأ خ َٓ
Artinya : Apa yang diperbolehkan karena darurat, disesuaikan
dengan alasan daruratnya.
Sebagai contoh, orang yang karena kelaparan dan
diperbolehkan memakan daging babi, maka maka makannya
hanya sekedar untuk menyelamatkan nyawa, tidk boleh
berlebih-lebihan, apalagi berfoya-foya.
Boleh shalat Jum'at secara bergelombang, tapi harus sesuai
dengan kebutuhan. Kalau cukup dua gelombang, tidak boleh
dilaksanakan tiga atau empat gelombang.
ada lima tingkatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia :
a. Kebutuhan primer ( dlaruriyah); dan jika aspek ini tidak
tyerpenuhi dan teratasi maka akan mengancam
kelangsungan hidup seseorang;
b. Kebutuhan sekunder ( hajiyah) ; dan seandainya aspek ini
tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam nyawa
seseorang, tetapi akan menyebabkan kepicikan atau
kepayahan. Sebagai contoh, seseorang yang lelakukan safar
yang mengandung masyaqqah, boleh tidak puasa. Kalaupun
orang ini tidak puasa, maka tidak akan mengakibatkan
kematiannya, hanya saja orang ini akan mengalami
kepayahan.
c. Kebutuhan tertier ( manfa'ah ); seperti orang yang
menginginkan makan roti, daging, susu dan lain sebagainya.
Jenis keperluan yang seperti ini dibutuhkan karena
mengandung manfaat, yakni untuk lebih menyempurnakan
kualitas gizi makanannya. Kalaupun tidak terpenuhi, maka
tidak akan mengakibatkan kepayahan, apalagi kematian.
d. Kebutuhan penunjang ( zinah ); yakni untuk kesenangan atau
kepuasan; seperti orang yang menginginkan rumah yang
mewah, kendaraan yang mahal harganya, pakaian sutra dan
sebagainya.
e. Pemenuhan kebutuhan dengan berfoya -foya atau berlebih-
lebihan (fudhulah); seperti memperbanyak makan makanan
yang syubhat.
f.
3 - ِٚ ُِح َٝ َضـِـر ََ َطَـر ٍس ْزــُِؼُ َصخَؿ خ َٓ
Artinya : Sesuatu yang diperbolehkan karena ada halangan,
menjadi batal dengan hilangnya halangan ini .
Sebagai contoh, ketika seseorang diperbolehkan
bertayamum karena tidak ada air, maka tayamumnya menjadi
batal dengan adanya air sebelum orang ini mulai shalat.
ada lima tingkatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia :
a. Kebutuhan primer ( dlaruriyah); dan jika aspek ini tidak
tyerpenuhi dan teratasi maka akan mengancam
kelangsungan hidup seseorang;
b. Kebutuhan sekunder ( hajiyah) ; dan seandainya aspek ini
tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam nyawa
seseorang, tetapi akan menyebabkan kepicikan atau
kepayahan. Sebagai contoh, seseorang yang lelakukan safar
yang mengandung masyaqqah, boleh tidak puasa. Kalaupun
orang ini tidak puasa, maka tidak akan mengakibatkan
kematiannya, hanya saja orang ini akan mengalami
kepayahan.
c. Kebutuhan tertier ( manfa'ah ); seperti orang yang
menginginkan makan roti, daging, susu dan lain sebagainya.
Jenis keperluan yang seperti ini dibutuhkan karena
mengandung manfaat, yakni untuk lebih menyempurnakan
kualitas gizi makanannya. Kalaupun tidak terpenuhi, maka
tidak akan mengakibatkan kepayahan, apalagi kematian.
d. Kebutuhan penunjang ( zinah ); yakni untuk kesenangan atau
kepuasan; seperti orang yang menginginkan rumah yang
mewah, kendaraan yang mahal harganya, pakaian sutra dan
sebagainya.
e. Pemenuhan kebutuhan dengan berfoya -foya atau berlebih-
lebihan (fudhulah); seperti memperbanyak makan makanan
yang syubhat.
f.
3 - ِٚ ُِح َٝ َضـِـر ََ َطَـر ٍس ْزــُِؼُ َصخَؿ خ َٓ
Artinya : Sesuatu yang diperbolehkan karena ada halangan,
menjadi batal dengan hilangnya halangan ini .
Sebagai contoh, ketika seseorang diperbolehkan
bertayamum karena tidak ada air, maka tayamumnya menjadi
batal dengan adanya air sebelum orang ini mulai shalat.
4 - ِدخ ٌَ ِطِْسِخر حًسَشَػ خ َٔ ُـٜ ُٔ َـظـَْػأ ٠َِػ ْٝ ُس ِٕ َخـطَذَغـْلـ َٓ َعَس خـَؼَـط حَِرا
خ َٔ ـِٜ ّـِلـََخأ
Artinya : bila ada berhadapan antara dua mafsadat, dihindari
mafsadat yang lebih besar madaratnya dengan
melaksanakan mafsadat yang lebih ringan madaratnya.
5 – ِِقُخَظ َٔ ـُْ ح ِذِْ ـَؿ ْٖ ـ ِٓ ٠َُ ْٝ َأ ِذـِعخَـلـ َٔ ـُْ ح ُءْس َد
Artinya : Menolak kemafsadatan lebih utama dari pada menarik
kemaslahatan.
6 – َغـْلـ َٓ َعَس خـَؼَـط حَر ِا ِس َذـَغـْلـ َٔ ـُْ ح ُغْكَس َّ ِّذـُـه ٌشََلِـْظـ َٓ َٝ ٌس َذ
Artinya : bila berhadapan antara mafsadat dan maslahat,
maka didahulukan untuk menghilangkan mafsadat.
berdasar uraian -uraian terdahulu tampak jelas bahwa
perhatian Allah swt. dan Rasul -Nya untuk meninggalkan
larangan lebih besar dari pada perhatian untuk melaksanakan
kewajiban, sesuai dengan inti pelajaran hukum yang terkandung
dalam sabda Nabi saw. :
َـَٜٗ حَِرا َٝ ْْ ـــ ُظـَْؼطَـظْعح خــ َٓ ُٚـــ ْ٘ ـ ِٓ ح ْٞ ـــ ُـْطَؤك ٍشـــ ْٓ ِؤر ْْ ٌُ ـــ ُطْش َٓ أ حَِرا ٍت٤ْــ َش ْٖ ـــ َػ ْْ ـــ ٌُ ُـظـ٤ْ
) سش٣شٛ ٠رأ ٖػ ٕخخ٤شُح ٙحٝس ( ُٙ ْٞ ُـزِـ٘ـَـظـْؿَخك
Artinya : Ketika Aku memerintahkan tentang sesuatu kepada
kamu sekalian maka laksanakanlah menurut
kemampuan kamu, dan bila Aku melarang kamu
sekalian tentang sesuatu maka jauhilah (HR. Bukhari
Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam redaksi Hadis di atas, ketika Allah memerintahkan
untuk melaksanakan suatu perintah, maka ada kata "sesuai
dengan kemampuan kamu sekalian", tetapi ketika
memerintahkan untuk meninggalkan larangan, maka tanpa
reserve, tanpa ada keterangan "sesuai dengan kemampuan kamu
sekalian".
Dengan dasar pemikiran yang demikianlah, maka
diperbolehkan meninggalkan sebagian kewajiban, seperti tidak
berdiri sewaktu menjalankan shalat, boleh tidak berpuasa
Ramadan b agi musafir, boleh tidak berwudu dengan
bertayamum bagi orang yang berhalangan memakai air
untuk bersuci menghilangkan hadas besar dan atau hadas kecil,
dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah swt. sama sekali tidak
memberikan dispensasi dalam hal melanggar larangan, seperti
mekaukan kemaksiatan dan kemunkaran, apalagi jika berkeitan
dengan dosa besar.
Terkadang didahulukan maslahat dan dibelakangkan
mafsadat, seperti dalam pelaksanaan ibadah shalat, pada
dasarnya tidak boleh mengabaikan syarat-syarat sahnya shalat
sebab hal yang demikian berarti meremehkan keagungan Allah
yang merupakan salah satu bentuk mafsadat, karena ketika
bermunajat kita diharuskan dalam kondisi kesucian yang prima.
Meskipun demikian, bila kurang sempurna syarat -syarat
terpenuhi, ibadah shalat harus tetap dikerjakan untuk
menggapai kemaslahatan, dengan mengabaikan tidak terpenuhi
syarat-syarat yang termasuk kemafsadatan.
Contoh yang lain ialah, bahwa kebohongan merupakan
perbuatan dosa yang dilarang dan jelas-jelas merupakan
mafsadat. Akan tetapi jika diyakini ada kemaslahatan di
balik kebohongan, maka diperbolehkan melakukan kebohongan.
Seperti kebohongan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendamaikan dua pihak yang berselisih, atau kebohongan yang
dilakukan oleh pasangan suami isteri dengan tujuan semata-
mata untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Acuan
kaidahnya yaitu : mengambil mafsadat yang lebih ringan,
menghindari mafsadat yang lebih besar.
dengan kemampuan kamu sekalian", tetapi ketika
memerintahkan untuk meninggalkan larangan, maka tanpa
reserve, tanpa ada keterangan "sesuai dengan kemampuan kamu
sekalian".
Dengan dasar pemikiran yang demikianlah, maka
diperbolehkan meninggalkan sebagian kewajiban, seperti tidak
berdiri sewaktu menjalankan shalat, boleh tidak berpuasa
Ramadan b agi musafir, boleh tidak berwudu dengan
bertayamum bagi orang yang berhalangan memakai air
untuk bersuci menghilangkan hadas besar dan atau hadas kecil,
dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah swt. sama sekali tidak
memberikan dispensasi dalam hal melanggar larangan, seperti
mekaukan kemaksiatan dan kemunkaran, apalagi jika berkeitan
dengan dosa besar.
Terkadang didahulukan maslahat dan dibelakangkan
mafsadat, seperti dalam pelaksanaan ibadah shalat, pada
dasarnya tidak boleh mengabaikan syarat-syarat sahnya shalat
sebab hal yang demikian berarti meremehkan keagungan Allah
yang merupakan salah satu bentuk mafsadat, karena ketika
bermunajat kita diharuskan dalam kondisi kesucian yang prima.
Meskipun demikian, bila kurang sempurna syarat -syarat
terpenuhi, ibadah shalat harus tetap dikerjakan untuk
menggapai kemaslahatan, dengan mengabaikan tidak terpenuhi
syarat-syarat yang termasuk kemafsadatan.
Contoh yang lain ialah, bahwa kebohongan merupakan
perbuatan dosa yang dilarang dan jelas-jelas merupakan
mafsadat. Akan tetapi jika diyakini ada kemaslahatan di
balik kebohongan, maka diperbolehkan melakukan kebohongan.
Seperti kebohongan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendamaikan dua pihak yang berselisih, atau kebohongan yang
dilakukan oleh pasangan suami isteri dengan tujuan semata-
mata untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Acuan
kaidahnya yaitu : mengambil mafsadat yang lebih ringan,
menghindari mafsadat yang lebih besar.
7 - ًش َّطخَخ ْٝ أ َْضٗخ ًَ ًشَّٓ خَػ ِسَس ْٝ ُش َّؼـُح ََشُِضـْ٘ ـ َٓ ٍُ َّضـَـ٘ـُـط ُشَؿخَلُْ َح
Artinya : Hajat itu ditempatkan pada posisi darurat, baik yang
bersifat umum maupun khusus.
Menurut ilmu fiqh, dalam setiap transaksi jual beli harus
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya yang berkenaan dengan
pemjual, pembeli, obyek jual beli maupun ungkapan dalam
akadnya itu sendiri. Untuk obyek jual beli disyaratkan bahwa
barangnya harus nyata ada dan dapat diserahterimakan. Akan
tetapi jika memang sangat diperlukan (ada hajat) dan bila
ahajat yang demikian itu tidak direalisasikan akan mendatangkan
kepicikan, diperbolehkan.
Sebagai contoh, yaitu diperbolehkan nya transaksi sewa-
menyewa atau transaksi ketenagakerjaan (al- ijarah) yang
sebenarnya tidak diatur secara langsung di dalam nash dan
beretentangan dengan prinsip-prinsip qiyas, sebab dalam
transaksi ini obyeknya yaitu manfaat suatu benda atau
tenaga orang lain yang "tidak nyata" dan tidak dapat
diserahterimakan sekaligus secara langsung. Demikian pula
halnya dengan akad jual beli dengan cara pemesanan (salam),
walaupun pada saat akad barang yang akan dibeli belum nyata-
nyata ada, tapi diperbolehkan demi memenuhi hajat manusia,
baik secara pribadi maupun untuk kepentingan warga .
Sehubungan dengan kaidah di atas, perlu kiranya dijelaskan
perbedaan antara pengertian hajiyat dengan dlaruriyat, sebagai
berikut :
1. Dlaruriyat lebih berat keadaannya, sedangkan hajiyat hanya
sekedar diperlukan.
2. Hukum dlaruriyat dapat mengubah hukum yang telah
ditetapkan, walaupun harus dibatasi waktu dan kadarnya,
seperti wajib menjadi mubah dan haram menjadi mubah.
Sedangkan hukum hajiyat tidak dapat mengubah hukum
yang telah ditetapkan oleh nash yang sudah jelas.
Mayoritas Ulama sepakat bahwa berbagai keringanan dalam
keadaan darurat atau hajat bila memenuhi criteria atau
syarat-syarat tertentu, dalam artian tetap terukur. Sedangkan
untuk adanya hajat, diperlukan adanya syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Hajat membutuhkan tidak berlakunya hukum asal karena
adanya haraj atau atau masyaqqah (kepicikan atau kesulitan)
yang tidak boleh terjadi.
2. Sesuatu yang dihajatkan memungkinkan berlakunya
pengecualian bagi orang-orang tertentu sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.
3. Hajat yang akan diperoleh merupakan hajat yang sela ras
dengan tujuan umum diberlakukannya hokum Islam
( maqashid al - syar'iyah ).
4. Kedudukan hajiyat sama dengan dlaruriyat dalam aspek
pemakaian kadar yang diperlukan.
9. Kaidah tentang Adat Kebiasaan .
a. Rumusan kaidah
ٌش َٔ ٌَّ َل ُٓ ُس َد خـَؼـُْ َح
Artinya : K ebiasaan itu dapat dianggap sebagai hokum
b. Dasar hukum pembentukan kaidah.
Firman Allah swt.
فحشػلْح ( َٖ ٤ِِْـِٛ خ َـ ُْ ح ِٖ َػ ْعِشـْػح َٝ ِفْشـُؼُْ ِخر ْش ُٓ ْأ َٝ199 )
Artinya : Dan perintahkan untuk mengerjakan kebaikan dan
berpalinglah dari orng-orang yang bodoh (QS Al-A'raf
: 199 )
Mayoritas Ulama sepakat bahwa berbagai keringanan dalam
keadaan darurat atau hajat bila memenuhi criteria atau
syarat-syarat tertentu, dalam artian tetap terukur. Sedangkan
untuk adanya hajat, diperlukan adanya syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Hajat membutuhkan tidak berlakunya hukum asal karena
adanya haraj atau atau masyaqqah (kepicikan atau kesulitan)
yang tidak boleh terjadi.
2. Sesuatu yang dihajatkan memungkinkan berlakunya
pengecualian bagi orang-orang tertentu sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.
3. Hajat yang akan diperoleh merupakan hajat yang sela ras
dengan tujuan umum diberlakukannya hokum Islam
( maqashid al - syar'iyah ).
4. Kedudukan hajiyat sama dengan dlaruriyat dalam aspek
pemakaian kadar yang diperlukan.
9. Kaidah tentang Adat Kebiasaan .
a. Rumusan kaidah
ٌش َٔ ٌَّ َل ُٓ ُس َد خـَؼـُْ َح
Artinya : K ebiasaan itu dapat dianggap sebagai hokum
b. Dasar hukum pembentukan kaidah.
Firman Allah swt.
فحشػلْح ( َٖ ٤ِِْـِٛ خ َـ ُْ ح ِٖ َػ ْعِشـْػح َٝ ِفْشـُؼُْ ِخر ْش ُٓ ْأ َٝ199 )
Artinya : Dan perintahkan untuk mengerjakan kebaikan dan
berpalinglah dari orng-orang yang bodoh (QS Al-A'raf
: 199 )
ءخغُ٘ح ( ِف ْٝ ُشـْؼ َٔ ـُْ ِخر َّٖ ُـٛ ْٝ ُشـِشخـَػ َٝ19 )
Artinya : Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan baik
(QS Al-Nisa' : 19)
Sabda Rasulullah saw. :
ﷲ َذـْ٘ ـِػ َٞ ُـَٜـك ًخَ٘غَك َٕ ْٞ ُٔ ِِْغ ُٔ ُْ ح ُٙآَس خ َٓ )ذٔكأ ٙحٝس ( ٌٖ317
Artinya : Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka
ia baik pula di sisi Allah ( HR Ahmad)
c. Pengertian 'adah dan 'urf .
Sebagian Ulama menganggap bahwa antara 'adah dan 'urf
itu memiliki pengertian yang sama, namun ada juga sebagian
Ulama yang membedakan antara keduanya. Imam Al -Jurjani
mendefinisikan 'adah u'rf sebagai berikut :
ِِغثخَـزَّطُح ُٚــْظ ّـَوَـَِـط َٝ ٍِ ْٞ ـُـوـُؼـُْ ح ِسَدخـَـَِٜشر ِٚ ٤َِْـَػ ُط ْٞ ُـل ّـُ٘ـُح ِص َّشَـوَـظِْعا خ َٓ ُفْشـُؼـُْ َح
ٌشــ ّـَ ُك َٞ ـــُٛ َٝ ٍِ ْٞ ـــُزَـوـُْ ِخر خــ َٓ ٠َــ ِٛ ُسَدخـــَؼـُْ ح َٝ ، ِْ ـــ ْٜ َـلـُْ ح ٠ــَُِا ُعَشـــَْعأ ُٚـــَّ٘ـٌِ َُ خــًؼ٣َْأ
َذـــَْؼر ًس َّشـــ َٓ ِٚ ٤ْـــَُِا ح ْٝ ُد خـــَػ َٝ ٍِ ْٞ ـــُوـُؼـُْ ح ِْ ٌْ ـــُك ٠َِـــَػ ِٚ ٤َِْـــَػ ُطخَّ٘ـــُح ِص َّشـــ َٔ َـظِْعا
َٟشــُْخأ318
Artinya : yang dimaksud dengan 'urf yaitu suatu perbuatan
yang dapat diterima oleh jiwa manusia karena masuk
akal dan dapat diterima oleh lingkungan warga ,
ia dianggap sebagai hujah karena lebih cepat untuk
dapat dimengerti. Sedangkan yang dimaksud dengan
'adah yaitu sesuatu yang secara terus menerus
dilakukan oleh orang banyak karena masuk akal dan
mereka melakukannya secara berulang-ulang.
Jalaluddin al -Suyuthi juga menyatakan bahwa adat kebiasaan
dapat diakui sebagai hukum manakala perbuatan ini
memang telah berlangsung secara terus menerus dan berulang-
ulang dan telah disepakati sebagai hal yang demikian adanya.
Tak terhingga banyaknya masalah-masalah fiqh yang dapat
dirujuk dengan memakai kaidah ini . Di antaranya
ialah hkum-hukum yang berhubungan dengan adat kebiasaan,
seperti masalah haid dan nifas, di mana untuk menghitung
durasi dan masa suci atau jeda antara satu haid dengan haid
berikutnya ada yang mendasarkan pada system kalender, tapi
ada juga yang mendasarkan pada instink atau naluri pribadi di
tiap-tiap daerah.
Demikian juga tentang tolok ukur kedewasaan ( bulugh ), usia
seorang laki-laki mengalami mimpi basah, ukuran sedikit atau
banyak dalam takaran-takaran tertentu, dan lain sebagainya.
Dalam masalah-masalah yang demikian, maka adat kebiasaan
pada suatu tempat dapat dibenarkan oleh syarak menjadi hukum
yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh
warga .
d. Syarat pemakaian 'adah dan 'urf.
Dengan memperhatikan pengertian 'adah dan 'urf
sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat kiranya dikemukakan
bahwa suatu kebiasaan yang dilakukan oleh warga dapat
diakui oleh hukum Islam bila memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1 – خًل٣ِْشَط خ ًَّظٗ ُفْشــُؼُْ ح َقِـُخَخُـ٣َلَ ْٕ َأ
2 – ْضَـزَـِـَؿ َٝ ُسَدخـَؼـُْ ح ِصَدََشطِْػا حَِرا
3 – ًّٓ خَػ ُفْشـُؼُْ ح َٕ ْٞ ـ ٌُ َ٣ ْٕ َأ ِّصخَخُْ ح ِفْشـُؼـُْ ِخر ُضُـزـْؼَـ٣ َلَ ُّ خـَؼـُْ ح ُْ ـ ٌْ ُلُْ ح َٝ
Jalaluddin al -Suyuthi juga menyatakan bahwa adat kebiasaan
dapat diakui sebagai hukum manakala perbuatan ini
memang telah berlangsung secara terus menerus dan berulang-
ulang dan telah disepakati sebagai hal yang demikian adanya.
Tak terhingga banyaknya masalah-masalah fiqh yang dapat
dirujuk dengan memakai kaidah ini . Di antaranya
ialah hkum-hukum yang berhubungan dengan adat kebiasaan,
seperti masalah haid dan nifas, di mana untuk menghitung
durasi dan masa suci atau jeda antara satu haid dengan haid
berikutnya ada yang mendasarkan pada system kalender, tapi
ada juga yang mendasarkan pada instink atau naluri pribadi di
tiap-tiap daerah.
Demikian juga tentang tolok ukur kedewasaan ( bulugh ), usia
seorang laki-laki mengalami mimpi basah, ukuran sedikit atau
banyak dalam takaran-takaran tertentu, dan lain sebagainya.
Dalam masalah-masalah yang demikian, maka adat kebiasaan
pada suatu tempat dapat dibenarkan oleh syarak menjadi hukum
yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh
warga .
d. Syarat pemakaian 'adah dan 'urf.
Dengan memperhatikan pengertian 'adah dan 'urf
sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat kiranya dikemukakan
bahwa suatu kebiasaan yang dilakukan oleh warga dapat
diakui oleh hukum Islam bila memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1 – خًل٣ِْشَط خ ًَّظٗ ُفْشــُؼُْ ح َقِـُخَخُـ٣َلَ ْٕ َأ
2 – ْضَـزَـِـَؿ َٝ ُسَدخـَؼـُْ ح ِصَدََشطِْػا حَِرا
3 – ًّٓ خَػ ُفْشـُؼُْ ح َٕ ْٞ ـ ٌُ َ٣ ْٕ َأ ِّصخَخُْ ح ِفْشـُؼـُْ ِخر ُضُـزـْؼَـ٣ َلَ ُّ خـَؼـُْ ح ُْ ـ ٌْ ُلُْ ح َٝ
Artinya :
1. 'Urf itu tidak bertentangan dengan dengan nash yang sharih.
2. bila adapt ini telah berulang-ulang terjadi dan
sudah dianggap sebagai hal yang biasa.
3. 'Urf itu merupakan hal yang umum, sebab hukum yang
umum tidak dapat ditetapkan dengan 'urf yang khusus.
Sebagian 'Ulama mengemukakan, bahwa 'adat dan 'urf itu
dapat dianggap sebagai hukum bila :
1) Perbuatan yang dilakukan dapat diterima oleh akal sehat
setiap manusia, bukan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan perbutan maksiat.
2) Perbuatan dan perkataan itu dilakukan secara berulang -
ulang dan terus menerus oleh sekelompok warga .
3) Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik dalam
Alquran maupun Hadis Nabi saw.
4) Tidak mendatangkan kemadaratan serta sejalan dengan jiwa
dan akal yang sehat-sejahtera.
berdasar penjelasan tentang criteria dan persyaratan
'adah dan 'urf di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak semua
adat kebiasaan baik itu dapat begitu saja bias diterima sebagai
hal yang sama dengan hukum Islam, melainkan harus selektif.
Dengan kata lain, 'urf itu ada yang fasid dan ada yang shahih.
'Urf yang fasid yaitu 'urf yang menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal, seperti memberikan suguhan
minuman haram kepada para tamu pada saat penyelenggaraan
resepsi. Sedangkan 'urf yang shahih yaitu yang tidak
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Sebagai contoh, ialah kebiasaan memberikan hadiah atau
sumbangan dana bantuan bagi penyelenggaraan resepsi
perkawinan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai.
Sehubungan dengan hal ini , maka ada kaidah yang
menyatakan :
ِٚ ــ٤ِْـك ُغــَؿْشـُـ٣ ِشــ َـ ُِّـُح ٠ِـك َلَ َٝ ِٚ ٤ِْـك َُُٚ َِؾرخَػَلَ َٝ خًـوَـِْط ُٓ ُعْشَّشـُح ِٚ ِر َدَس َٝ خ َٓ َُّ ًُ
ِفْشـُؼُْ ح ٠َُِا
Artinya : Segala yang telah diatur oleh syarak secara mutlak dan
tidak ada pula ketentuannya dalam agama dan atau
dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf .
Sebagai contoh, menurut syarak seorang calon suami wajib
memberikan mahar kepada calon mempelai perempuan.
Ketentuan ini berlaku secara umum, tidak dad
ketentuannya yang pasti berapa besaran mahar ini . Dalam
hal yang demikian, maka besaran mahar diserahkan kepada
kelayakan dan kebiasaan yang dianggap baik menurut
kebiasaann yang berlaku dan sesuai dengan kemampuan
seseorang serta kondisi warga yang ada.
Sehubungan dengan hal ini , maka ada kaidah yang
menyatakan :
ِٚ ــ٤ِْـك ُغــَؿْشـُـ٣ ِشــ َـ ُِّـُح ٠ِـك َلَ َٝ ِٚ ٤ِْـك َُُٚ َِؾرخَػَلَ َٝ خًـوَـِْط ُٓ ُعْشَّشـُح ِٚ ِر َدَس َٝ خ َٓ َُّ ًُ
ِفْشـُؼُْ ح ٠َُِا
Artinya : Segala yang telah diatur oleh syarak secara mutlak dan
tidak ada pula ketentuannya dalam agama dan atau
dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf .
Sebagai contoh, menurut syarak seorang calon suami wajib
memberikan mahar kepada calon mempelai perempuan.
Ketentuan ini berlaku secara umum, tidak dad
ketentuannya yang pasti berapa besaran mahar ini . Dalam
hal yang demikian, maka besaran mahar diserahkan kepada
kelayakan dan kebiasaan yang dianggap baik menurut
kebiasaann yang berlaku dan sesuai dengan kemampuan
seseorang serta kondisi warga yang ada.