lehkan berbuka atau tidak berpuasa, tanpa melihat
apakah swaktu safar ada masyaqqah (kesulitan) atau tidak.
Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau
menggantikannya pada hari yang lain.
Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya
dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak
memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada
disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah
pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar
shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan
sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu,
dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota
ataupun belum.
Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad
Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu
perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak
dipermasalahkan apakah mereka mereka telah keluar dari kota
ataupun belum.
Keterangan ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad
Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu
perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak
pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan
hukum rukhshah .
Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang
berhak mendapatkan rukhshah yaitu safar yang mubah, yakni safar
yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan
maksiat. Oleh karena itu bila seseorang yang bepergian dengan
niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak
berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak
puasa pada bulan ramadhan. Hal ini dikarenakan keringan an
hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau
membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar
itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya
mubah atau maksiat.
apakah swaktu safar ada masyaqqah (kesulitan) atau tidak.
Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau
menggantikannya pada hari yang lain.
Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya
dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak
memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada
disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah
pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar
shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan
sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu,
dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota
ataupun belum.
Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad
Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu
perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak
dipermasalahkan apakah mereka mereka telah keluar dari kota
ataupun belum.
Keterangan ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad
Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu
perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak
pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan
hukum rukhshah .
Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang
berhak mendapatkan rukhshah yaitu safar yang mubah, yakni safar
yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan
maksiat. Oleh karena itu bila seseorang yang bepergian dengan
niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak
berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak
puasa pada bulan ramadhan. Hal ini dikarenakan keringan an
hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau
membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar
itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya
mubah atau maksiat.
e. Kh atha’ (tersalah tidak sengaja)
Khatha’ yaitu perkataan atau perbuatan yang timbul dari
seseorang karena ketidaksengajaan atau tidak cermat ketika
melakukannya. Sebagai contoh, bila seseorang berkumur-kumur
dengan sengaja di dalam bulan ramadan dan tanpa disengaja air
masuk ke dalam kerongkongannya. atau menembak burung, tetapi
tertembak manusia, maka orang itu di hukum salah karena kurang
hati-hati, akan tetapi hukumanya diringankan.
Khatha’ ini menjadi alasan atau penghalang ahliyah atau
kecakapan hukum seseorang, berdasar hadis Nabi saw. :
)٠ٗحشـزطُح ٙحٝس( ِٚ ـ٤َْـَِػ ح ْٞ ُـِٛش ٌْ ُـظـْعح خـ َٓ َٝ ِٕ َخ٤ْغ ّـِ٘ـُح َٝ ِؤَطـَخُْ ح ِٖ ـَػ َغِـكُس213
Artinya : Dihilangkan (kecakapan hkumnya) dari orang yang
tersalah, lupa atau terpaksa. (HR Al -Thabrani).
berdasar hadis di atas, para fukaha telah sepakat bahwa
khatha’ ini dapat menghilangkan dosa ukhrawi, karena dalam redaksi
hadis di atas ada kata yang tersembunyi setelah kata “ rufi’a ”,
yaitu kata “ itsm ” yang berarti dosa.
Dalam pada itu harus diketahui pula, apakah pekerjaan yang
dirusakkan dengan tidak sengaja itu merupakan hak Allah ataukah
hak hamba. bila berupa hak Allah, maka dimaafkan dan puasanya
tidak rusak, karena kesilapan itu dipandang suatu uzur syarak,
asalkan kesalahan itu benar-benar terjadi. Sebaliknya jika kerusakan
itu terkait dengan hak manusia, maka orang yang silap itu tidak
dilepaskan sama sekali dari tanggung jawab. Hanya dialihkan
hukumnya dari tanggung jawab orang yang bersengaja. Jika orang
yang tertembak itu mati, ia dituntut membayar dengan seratus unta,
tidak boleh dituntut qishas (bela jiwa atau anggota) dan di suruh pula
orang yang silap untuk membayar kafarat.
f. Hu tang
Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi
dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan
orang yang mempunyai hutang. Abu Yusuf membolehkan kita
membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika
utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang
berpiutang kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu
dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang
membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau memelaratkan
pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat
Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila utang -utang itu menghabiskan
hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada
para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak.
Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.
g. Paksaan
Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau
mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh
karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak
rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah
menyatu.
Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar
dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan sesuatu atas kehendak sendiri,
sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan
yang muncul dari diri manusia yang sadar, tentu dengan
kehendaknya. Hanya saja ada kalanya kehendak itu benar, yaitu
adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim
yaitu bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan
ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu
perbuatan karena keterpaksaan.
Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua
bagian, yaitu:
f. Hu tang
Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi
dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan
orang yang mempunyai hutang. Abu Yusuf membolehkan kita
membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika
utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang
berpiutang kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu
dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang
membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau memelaratkan
pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat
Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila utang -utang itu menghabiskan
hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada
para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak.
Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.
g. Paksaan
Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau
mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh
karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak
rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah
menyatu.215
Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar
dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan sesuatu atas kehendak sendiri,
sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan
yang muncul dari diri manusia yang sadar, tentu dengan
kehendaknya. Hanya saja ada kalanya kehendak itu benar, yaitu
adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim
yaitu bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan
ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu
perbuatan karena keterpaksaan.
Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua
bagian, yaitu:
1. Paksaa n yang mematikan, yaitu sesuatu paksaan, bila
tidak dituntut binasalah jiwa atau anggota atau sesuatu
paksaan yang tidak dapat diderita.
2. Paksaan yang bila tidak dituruti tidak mengakibatkan
kematian, tidak membawa kepada hilangnya jiwa atau
rusaknya anggota badan.
Paksaan yang pertama, menghilangkan ikhtiar (kehendak) dari
ridha (kerelaan) dan paksaan yang kedua, menghilangkan ridha tidak
menghilangkan kebebasan berkehendak. Paksaan itu terjadi pada
tiga perkara: 1) Perkataan yang tak dapat difasahk an; 2) Perkataan
yang dapat difasahkan; 3) Perbuatan. Paksaan yang di bagian
pertama (yang tak dapat difasahkan), menghasilkan maksud si
pemaksa, umpamanya bila seseorang memaksa kita menceraikan
istri kita, jatuhlah talaknya. Paksaan yang di bagian ke dua (yang
dapat difasahkan) tidak mewujudkan hukum, umpamanya: bila
seseorang memaksa kita untuk menjual barang kita, maka penjualan
yang kita lakukan itu tidak sah.
Adapun paksaan pada perbuatan, maka dibagi kepada 2 ( dua)
macam, yaitu:
1. Paksaan yang ti dak mungkin bahwa pelakunya menjadi alat
atau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemaksaan.
Hukum melakukan paksa makan atau berzina, merusakkan
puasa. Hukum melakukan kesalahan di sini, tidak mengenai si
pemaksa, karena itu rusaklah puasa yang tidak puasa karena
dipaksa. Tinggal lagi karena zina itu dilakukan dengan
paksaan, ia dilepaskan dari hukum siksa.
2. P aksaan yang mungkin pelakunya menjadi alat atau ikut
sereta dalam pemaksaan. Paksaan ini ada dua macam pula.
a. Paksaan yang lazim karena mamandang s i terpaksa sebagai
alat, berganti tempat kesalahan, atau berganti yang
menerima kerusakan, maka pekerjaan yang dilakukan dengan
paksaan semacam ini, tidak dialamatkan kepada si pemaksa,
hanya kepada orang yang dipaksa sendiri. Sebagai contoh,
bila seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh
membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya
yang sedang berihram supaya membunuh binatang buruan,
padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan
ihram. Maksud si pemaksa supaya ihram orang yang ter paksa
itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang
rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan
yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu.
Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat
orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu,
membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh.
b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti
tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan
pekerjaan. Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan
ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita
dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan
kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash.
Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan
mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.
Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya kita melakukannya,
ada kalanya pekerjaan yang tetap haram selama-lamanya,tak
ada jalan untuk membolehkannya,seperti:
membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan
ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang
haram itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada
pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena
terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya.
Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita
melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah,
seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang.
Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada
uzur, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka menjadi boleh
meninggalkannya lantaran paksaan itu.
bila seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh
membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya
yang sedang berihram supaya membunuh binatang buruan,
padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan
ihram. Maksud si pemaksa supaya ihram orang yang ter paksa
itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang
rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan
yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu.
Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat
orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu,
membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh.
b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti
tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan
pekerjaan. Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan
ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita
dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan
kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash.
Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan
mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.
Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya kita melakukannya,
ada kalanya pekerjaan yang tetap haram selama-lamanya,tak
ada jalan untuk membolehkannya,seperti:
membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan
ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang
haram itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada
pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena
terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya.
Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita
melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah,
seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang.
Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada
uzur, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka menjadi boleh
meninggalkannya lantaran paksaan itu.
Demikian penetapan ushul Hanafiyah (kaidah -kaidah hukum
yang di pegang ulama Hanafiyah) tentang masalah paksaan,
sedangkan menurut ulama ushul Syafi’iyah paksaan itu ada dengan
jalan yang benar dan ada pula dengan jalan yang tidak benar.
Paksaan yang dibolehkan seperti memaksa membayar utang tetap
digabungkan kepada yang dipaksa. Paksaan yang tidak dibolehkan
ada dua macam, yaitu:
a. Pertama, paksaan melakukan pekerjaan yang dibolehkan
syarak; bagian ini tidak di golongkan kepada orang yang
terpaksa, baik perkataan maupun perbuatannya, hanya
mungkin di golongkan kepada orang yang memaksa, seperti
paksaan memusnahkan harta orang, maka wajiblah atas si
pemaksa, membayarnya. bila paksaan itu tidak dapat di
golongkan kepada si pemaksa, percumalah paksaan itu, yakni
tidak memberi bekas apa-apa. Bila kita dipaksa mentalak istri
kita, talak itu tidak jatuh: bila dipaksa kita menjual, penjualan
itu tidak sah.
b. Kedua, paksaan melakukan sesuatu perbuatan yang tidak di
bolehkan syara seperti: membunuh orang dan berzina. Maka
bagian ini tetap digolongkan kepada orang yang terpaksa,
karena ia yang melakukan walaupun yang memaksa turut di
bunuh juga. Paksaan dengan memenjarakan seumur hidup,
pukulan yang menumpahkan darah dan pembunuhan, sama
hukumnya dalam pandangan al-Syafi’i.
Dalam literatul , pada umumnya pembahasan
‘azimah dan rukhshah dibicarakan sesudah membahas hukum-
hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah
swt. yaitu sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah
ini merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada
asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa
ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung
pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan
yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf
untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang
kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt
dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :
: سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286)
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kemampuannya.
Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja
berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan yang dapat dilakukan oleh
seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain
dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada
diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak
Dalam literatul , pada umumnya pembahasan
‘azimah dan rukhshah dibicarakan sesudah membahas hukum-
hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah
swt. yaitu sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah
ini merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada
asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa
ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung
pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan
yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf
untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang
kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt
dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :
: سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286)
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kemampuannya.
Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja
berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan yang dapat dilakukan oleh
seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain
dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada
diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak
tertentu itu dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu
dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda
dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengankata lain,
ada hukum-hukum yang penerapanya sesuai dengan dalil
semula, dan ada pula hukum-hukum yang penerapannya berbeda
dengan dalil semula.
Ditinjau dari segi sesuai atau tidaknya dengan dalil semula,
hukum itu terbagi dua, yaitu: pertama ‘azimah dan kedua rukhshah.
B erikut akan diuraikan mengenai kedua istilah ini .
1. Pengertian ‘azimah dan rukhshah
Hukum ‘azimah ialah hukum yang ditetapkan oleh Allah swt.
berlaku secara umum sejak awal mulanya, dalam pengertian tidak
ada pengecualian bagi sebagian orang atau suatu keadaan.220
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘azimah yaitu hukum untuk
pertama kalinyaatau tahap awalnya dan dalam pelksanaanya tidak
menemukan kendala.221 Sedangkan pengertian hukum rukhshah
yaitu hukum yang ditetapkan karena adanya sebab yang
membolehkan untuk meninggalkan hukum asal.222
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan rukhshah yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah swt.
untuk memberi keringanan kepada mukallaf dalam keadaan tertentu
yang memang menghendaki adanya dispensasi, atau hukum itu
ditetapkan karena adanya kesulitan pada kondisi tertentu. Rukhshah
juga dapat berupa membolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang
karena adanya alas an-alasan yang dibenarkan oleh syarak.223
Dengan kata lain, rukhshah ialah hukum yang berlaku menyalahi
dalil yang ada karena adanya dalil atau “ uzur ” atau alasan yang
dibenarkan oleh syarak.
Sebagai contoh hukum ‘azimah yaitu ibadah shalat lima kali
sehari semalam pada waktu yang ditentukan yang diwajibkan secara
mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan.
Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan,
zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.
Sedangkan contoh hokum rukhshah yaitu boleh menjamak dua
shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat
shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang
musafir, dan lain sebagaianya.
berdasar penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum
taklifi yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan
hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka
namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan
demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal,
sedangkan hukum rukhshah merupakan hukum pengecualian karena
adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ .
ada sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya
hukum rukhshah , di antaranya yaitu :
e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan
yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia
serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka
bagi orang ini hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan
hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan
hidupnya.
f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh
tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -
laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses
pengobatan.
2. Macam- macam Rukhshah
a. Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi
menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah
“meninggalka n”.
mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan.
Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan,
zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.
Sedangkan contoh hokum rukhshah yaitu boleh menjamak dua
shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat
shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang
musafir, dan lain sebagaianya.
berdasar penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum
taklifi yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan
hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka
namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan
demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal,
sedangkan hukum rukhshah merupakan hukum pengecualian karena
adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ .
ada sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya
hukum rukhshah , di antaranya yaitu :
e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan
yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia
serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka
bagi orang ini hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan
hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan
hidupnya.
f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh
tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -
laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses
pengobatan.
2. Macam- macam Rukhshah
a. Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi
menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah
“meninggalka n”.
1) Rukhshah “melaksanakan” ialah keringanan untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan.
Dalam bentuk ini asal perbuatan yaitu terlarang dan haram
hukumya. Inilah hukum azimah - nya. Dalam keadaan darurat
atau hajat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh
hukumnya.
Allah SWT. berfirman dalam surah QS Al-Baqarah (2) ayat 173
ِش٣ِْضـْ٘ ـِخُْ ح َْ َْلُ َٝ َّ َّذُح َٝ ََشظ٤ْ َٔ ُْ ح ُْ ٌُ ٤َِْـَػ َّ َّشـَك خ َٔ َِّٗا خ َٓ َٝ ُأ ِﷲِش٤ْـ َـ ُِ ِٚ ِر ََّ ـِٛ
ٍدخَػ َلَ َّٝ ٍؽَخرَش٤ْـَؿ َُّشطْػح ِٖ َٔ َـك ََلًك ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu
memakan bangkai, darah dan daging babi serta
apa-apa yang disebutkan (waktu menyembelihnya)
nama selain Allah. Barang siapa yang terpaksa,
tidak ada aniaya dan tidak pula melampaui batas,
tiada dosa atasnya.
Berdasarakan ayat ini diketahui bahwa Allah swt telah
menetapkan sejumlah jenis makanan yang diharamkan, yaitu
bangkai, darah dan daging babi serta sembelihan yang tidak
sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, dalam kondisi
darurat, hanya ada barang haram ini dan bila
tidak mengonsumsi barang haram ini akan
mengakibatkan kematian, maka hukumnya menjadi tidak
haram.
2) Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk
meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘ azimah -nya
yaitu wajib atau nadb (sunah). Dalam bentuk asalnya,
hukumnya yaitu wajib atau sunah, tetapi dalam keadaan
tertentu si mukalaf tidak dapat melakukannya, dengan arti
bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya.
Dalam kondisi yang demikian ini, maka dibolehkan dia
meninggalkannya.
Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184
ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ َٕ خ ًَ ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ خ ًٓ خَّ٣َأ
Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa
diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah
ia memperhitungkannya dihari lain.
berdasar ayat ini , ada keringanan atau
rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir
untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan
bahwa orang ini harus membayarnya pada hari lain di
luar bulan Ramadan.
Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101
ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ
Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan
bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”
berdasar ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan
musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat
shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
b. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan,
maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:
1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.
2) Keringanan seperti meng -qashar shalat empat rakaat
menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan
tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri
dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat
dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan
Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184
ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ َٕ خ ًَ ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ خ ًٓ خَّ٣َأ
Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa
diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah
ia memperhitungkannya dihari lain.
berdasar ayat ini , ada keringanan atau
rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir
untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan
bahwa orang ini harus membayarnya pada hari lain di
luar bulan Ramadan.
Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101
ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ
Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan
bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”
berdasar ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan
musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat
shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
b. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan,
maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:
1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.
2) Keringanan seperti meng -qashar shalat empat rakaat
menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan
tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri
dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat
dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan
memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak
mampu berpuasa.
4) Keringanan seperti pelaksaan shalat dzuhur dalam waktu
ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
Menangguhkan pelaksaan puasa ramadhan kewaktu
sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam
perjalanan.
5) Keringanan seperti mendahulukan mengerjakan shalat ashar
pada waktu zuhur dalam jama’taqdim di perjalanan.
6) Keringanan seperti cara -cara pelaksaan shalat dalam perang
yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat
khauf .
7) Keringanan seperti membolehkan mengerjakan perbuatan
haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena ada udzur,
seperti yang telah dijelaskan di atas.
c. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku
padanya rukhshah . Maksutnya apakah masih berlaku pada waktu
itu atau tidak. Dalam hal ini ulama Hanafiyah membagi rukhshah
menjadi dua macam yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah
isqath. 226
1) Rukhshah tarfih ialah rukhshah yang meringankan dari
pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi hukum ‘azimah berikut
dalilnya tetap berlaku. Contohnya yaitu saat mengucapkan
ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum
‘azimah , itu dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan
terpaksa, selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini
ini dalam firman Allah swt. dalam QS Al-Nahl (16) ayat
106
ْٖ َٓ ْٖ ٌِ َُ َٝ ِٕ خ َٔ ٣ْ ِْلِْخر ٌّٖ ِج َٔ ْط ُٓ ُُٚزِْ َـه َٝ َِٙش ًْ ُح ْٖ َٓ َِّلَا ِٚ ِٗخ َٔ ٣ِْا ِذـَْؼر ْٖ ِٓ ِللَِّخر َشَـلـ ًَ ْٖ َٓ
َفَشَش ٌْ ٤ِْظـَػ ٌدحَزَػ ْْ َُُٜ َٝ ِﷲ َٖ ِٓ ٌذَؼـَؿ ْْ ِٜ ٤َِْـََؼك حًسْذَط ِشـْلـ ٌُ ُْ ِخر
Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya
tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara
terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan
Allah bagi mereka azab yang pedih”
2) Rukhshah isqath ialah menggugurkan hukum azimah
terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung.
Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam
perjalanan.berdasar firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’
(4) ayat 101
ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا
Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada
halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu.
Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya al- Muwafaqat
memakai bentuk lain dalam pembagian rukhshah dari segi
tingkat masyaqqah (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):
1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak
mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya.
Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun
shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir
akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan
daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia
khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu.
Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan
oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini
menurut pendapat sebagian ulama yaitu wajib. Orang yang
tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa.
2. Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar
karena secara langsung tidak akan membahayakan diri
pelakunya. Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak
hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih
Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya
tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara
terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan
Allah bagi mereka azab yang pedih”
2) Rukhshah isqath ialah menggugurkan hukum azimah
terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung.
Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam
perjalanan.berdasar firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’
(4) ayat 101
ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا
Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada
halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu.
Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya al- Muwafaqat
memakai bentuk lain dalam pembagian rukhshah dari segi
tingkat masyaqqah (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):
1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak
mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya.
Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun
shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir
akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan
daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia
khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu.
Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan
oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini
menurut pendapat sebagian ulama yaitu wajib. Orang yang
tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa.
2. Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar
karena secara langsung tidak akan membahayakan diri
pelakunya. Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak
hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih
sayang-Nya. Rukhshah dalam bentuk ini dibagi menjadi dua
bentuk yaitu:
a. B erlaku padanya tuntutan secara umum sehingga
persoalan dalam keadaan sukar atau tidak, tidak
diperhitungkan. Seperti berkumpul di Arafah untuk
sahnya perbuatan haji. Ini berlaku untuk semua
pelaksanaan ibadah haji, bahkan bagi yang tidak mampu
fasiknya pun harus ke Arafah agar sah.
b. Tidak berlaku secara khusus tuntutan, tetapi tetap
menurut asal keringanan dan menghilangkan kesulitan
hukumnya boleh. Bagi seorang mukallaf boleh mengambi
hukum asal ‘azimah meskipun ia dalam keadaan
menanggung kesulitan dan boleh mengambil rukhshah.
3. Hukum Mengamalkan Rukhshah
Hukum rukhshah yaitu “ jawaz ”, yakni boleh mengerjakannya.
Dalam posisi hukum yang demikian, maka seseorang boleh memilih
antara mengerjakan hukum asal yang ‘azimah atau mengerjakan
hukum rukhshah yang diberi keringanan. Oleh karena itu bagi
seorang musafir pada bulan Ramadan, boleh baginya memilih antara
mengerjakan hukum ‘ azimah yang asal yaitu berpuasa, atau
memanfaatkan dispensasi rukhshah untuk tidak berpuasa.
Ketentuan hukum yang demikian yaitu kare na nash syarak yang
ada dalam Alquran atau Hadis Nabi telah menempatkana
rukhshah pada posisi kebebasan memilih opsi dan memberikan
kemudahan merupakan bagian dari maqashid al - syari’ah ,
sebagaimana firman Allah swt. dalam sebagai berikut :
َؼـَؿ خ َٓ : ؾلُح( ٍؽَشـَك ْٖ ـ ِٓ ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ ََ ـ7 8)
Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan (QS Al-Hajj : 78)
: سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185)
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak
menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)
Namun dalam hal memakai hukum rukhshah bagi orang
yang telah memenuhi syarat ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan
rukhshah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan
adanya rukhshah itu. Dengan demikian, memakai hukum
rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang
tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir
seandainya tidak memakai rukhshah akan mencelakakan
dirinya. Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa
ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula
yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.
Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah yaitu
boleh atau ibahah secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -
Syathibi mengemukakan argumentasinya yang menimbulkan
polemik dengan jumhur ulama, yaitu:
Pertama; rukhshah itu asalnya hanyalah keringanan atau
mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan
dan pilihan antara memakai hukum ‘azimah atau mengambil
rukhshah hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil
juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah
swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada
halangan” meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt
dala QS An-Nisa (4) : 101
Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang
mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa”
atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah.
Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan”
dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2)
: سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185)
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak
menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)
Namun dalam hal memakai hukum rukhshah bagi orang
yang telah memenuhi syarat ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan
rukhshah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan
adanya rukhshah itu. Dengan demikian, memakai hukum
rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang
tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir
seandainya tidak memakai rukhshah akan mencelakakan
dirinya. Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa
ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula
yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.
Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah yaitu
boleh atau ibahah secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -
Syathibi mengemukakan argumentasinya229 yang menimbulkan
polemik dengan jumhur ulama, yaitu:
Pertama; rukhshah itu asalnya hanyalah keringanan atau
mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan
dan pilihan antara memakai hukum ‘azimah atau mengambil
rukhshah hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil
juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah
swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada
halangan” meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt
dala QS An-Nisa (4) : 101
Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang
mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa”
atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah.
Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan”
dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2)
َؼَش ْٖ ِٓ َس َٝ ْش َٔ ُْح َٝ ٠َل َّظُح َّٕ ِا ِٚ٤َِْـَػ َفَخ٘ـُؿ ََلًك َش َٔ َـظـْػحِٝ َأ َض٤َْـزُْ ح َّؾَك ْٖ َٔ َـك ِﷲ ِِشثخـ
خ َٔ ِٜ ِر َف َّٞ ّـَطَّ٣ ْٕ َأ
Artinya “ Bahwa sesungguhnya sa’i antara safa dan marwa itu yaitu
syiar Allah maka siapa yang haji ke baitullah atau umrah
tidak ada halangan bila i a thawaf ..
Dalam ayat ini untuk thawaf pada haji dan umrah disebut
dengan ucapan “tidak ada halangan” padahal thawaf itu hukumnya
yaitu wajib.
Kadang -kadang kata “tidak berdosa” itu berarti sunah seperti
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 203
ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا ََلًك ِٖ ٤ْ َٓ ْٞ َ٣ ٠ِك ََ ّـَ ـَؼَـط ْٖ َٔ َـك
Artinya “Siapa yang cepat menyelesaikan dua hari tiada dosa
atasnya.
Bersegera dalam dua hari dalam ayat ini dengan memakai
kata “tidak berdosa”, padahal bersegera itu hukumnya yaitu sunah
menurut ulama, bukan mubah.
Atas sanggahan ini al-Syathibi memberikan jawaban bahwa
kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” dalam
memakai dan kaidah bahasa arab bila tidak ditemukan qarinah
(keterangan) yang memberi petunjuk bahwa artinya bukan untuk itu,
hanya berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Bila tidak ada petunjuk
yang memalingkannya dari pemakaian hukum aslinya, tidak dapat
di pahami lebih dari izin.
Sebagai contoh, hukum thawaf pada haji dan umrah yaitu
wajib, tetapi hukum wajib itu tidaklah dipahami dari firman-Nya,
tetapi dari firman-Nya yang ada diujung pangkal ayat itu atau
dari petunjuk lain.
Kedua; kalau memakai rukhshah itu diperintahkan baik
dalam bentuk wajib atau sunah maka hukumnya akan berubah
menjadi ‘azimah , tidak lagi rukhshah , karena hukum wajib itu
merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain.
Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan
rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan.
Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh
jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan
memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan
celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan
bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai rukhshah
sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai ‘azimah .
Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa
mengumpulkan rukhshah dengan perintah berarti mengumpulkan
dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu mustahil. Oleh
karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal
‘azimah dan tidak kepada rukhshah itu sendiri. Bahwa seseorang
dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal
untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan
bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan
terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila tidak memakannya,
maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38
ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ
Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”
Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi
kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah karena ia kembali kepada
prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah,
dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur
ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu
yaitu sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai serta
disampaikan oleh al-Syathibi.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi
dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam
contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal
merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain.
Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan
rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan.
Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh
jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan
memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan
celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan
bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai rukhshah
sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai ‘azimah .
Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa
mengumpulkan rukhshah dengan perintah berarti mengumpulkan
dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu mustahil. Oleh
karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal
‘azimah dan tidak kepada rukhshah itu sendiri. Bahwa seseorang
dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal
untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan
bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan
terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila tidak memakannya,
maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38
ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ
Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”
Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi
kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah karena ia kembali kepada
prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah,
dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur
ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu
yaitu sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai serta
disampaikan oleh al-Syathibi.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi
dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam
contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal
untuk memenuhi kebutuhannya, ia lebih mementingkan mati
kelaparan dari pada memakan yang haram. Menurut jumhur ulama
yang membagi rukhshah itu kepada wajib, sunah, dan mubah orang
yang kelaparan itu seharusnya memakan bangkai untuk memelihara
jiwanya. Bila ia tidak memakannya lantas ia mati karenanya, maka ia
fasik atau berdosa karena meninggalkan wajib.
Al-Syathibi yang mengatakan bahwa hukum rukhshah
hanyalah ibahah, berpendapat bahwa masalah ini harus dilihat
secara rinci karena perintah untuk memelihara jiwa itu bersifat
umum. Tidak ada nash yang secara pasti mengharuskan memakan
bangkai hingga ia akan fasik atau berdosa jika meninggalkannya.
Oleh karena itu, bila ia ternyata mati karena menahan makan
bangkai, maka ia tidak fasik dan tidak berdosa, karena ia telah
berbuat sesuai dengan ketentuan hukum rukhshah .
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran
dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan
terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang
berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam
menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda
:
ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ
٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس( 231
Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu
sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunahku.
Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki
kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh
umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut
arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang
terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi yang
memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh
umatnya untuk bisa landing dalam perikehidupan. Oleh karena itu,
problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu bagaimana
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran
dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan
terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang
berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam
menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda
:
ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ
٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس( 231
Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu
sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunahku.
Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki
kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh
umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut
arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang
terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi yang
memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh
umatnya untuk bisa landing dalam perikehidupan. Oleh karena itu,
problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu bagaimana
proses interpretasi, internalisasi, dan aplikasi pesan-pesan Alquran
dan Sunah ke dalam realitas kehidupan.
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, kompetensi untu k
menetapkan dan atau memutuskan hukum ada pada pribadi
Rasulullah saw. sendiri. Dengan bimbingan wahyu. Rasulullah saw.
menjadi referensi tunggal ketika umat Islam menghadapi
permasalahan hukum. Dalam sejarah yurisprudensi hukum Islam,
periode ini dikenal sebagai periode tasyri‘ atau peletakan dan
pembentukan dasar-dasar hukum Islam.232 Namun, setelah
Rasulullah saw. wafat, otomatis wahyu terhenti dan Sunah tidak
mungkin akan muncul lagi. Sebab, Muhammad yaitu Nabi dan
Rasul terakhir yang berarti bahwa per iode tasyri‘ dalam pengertian
yang sebenarnya telah berakhir sesuai dengan firman Allah swt.
yang ada dalam Q.S. al-Ma’idah [5]: 3 sebagai berikut :
ِٖ َٔ َك ًخ٘٣ِد َّ َلًْع ِْلْح ُْ ٌُ َُ ُض٤ِػَس َٝ ٢ِظ َٔ ِْؼٗ ْْ ٌُ ٤ََِْػ ُض ْٔ َٔ َْطأ َٝ ْْ ٌُ َ٘٣ِد ْْ ٌُ َُ ُضِْ َٔ ًْ َأ َّ ْٞ َ٤ ُْ ح
ٌْ ٤ِكَس ٌسُٞلَؿ َ َّﷲ َّٕ ِ َبك ٍْ ْػ ِِلْ ٍِقٗخ َـ َظ ُٓ َش٤َْؿٍشَظ َٔ ْخ َٓ ٢ِك َُّشطْػح.
Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat -Ku, dan telah
Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Menurut Sobhi Mahmassani, set elah Alquran dan Sunah
terhenti, pada saat yang sama perilaku, budaya, dan peradaban
manusia tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini
mengandung makna bahwa akan terjadi ketidakseimbang-an antara
ayat-ayat Alquran dan Sunah yang terbatas dengan masalah-
masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas. Sebagai
konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan
dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang
tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran
dan atau Sunah.
Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris
para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘ untuk
berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.
Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah
Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di
Yaman sebagai berikut:
اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ- ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط- ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ
ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه
ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ
٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه
اللَّ ٍٞعس. 235
Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah
saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada
Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika
dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab
Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila tidak
Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab,
“berdasar Sunah Rasulullah.”
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan, dan
per-adabannya tidaklah pada satu gerak dan khittah yang tetap, melainkan berubah dan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. yaitu sebagaimana halnya
dengan manusia itu sendiri waktu dan tempat, maka keadaan itu terjadi pula pada dunia
dan negara. Sungguh bahwa sunnatullah berlaku pada hamba-Nya. Lihat Sobhi
Mahmassani, Filsafat,
masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas. Sebagai
konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan
dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang
tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran
dan atau Sunah.
Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris
para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘ untuk
berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.
Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah
Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di
Yaman sebagai berikut:
اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ- ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط- ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ
ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه
ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ
٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه
اللَّ ٍٞعس. 235
Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah
saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada
Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika
dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab
Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila tidak
Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab,
“berdasar Sunah Rasulullah.”
Rasulullah saw. bertanya lagi, “B agaimana bila tidak
engkau dapati dasarnya dalam Sunah?” Muadz menjawab,
“Saya akan berijtihad berdasar pemikiran saya.”
Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai
Rasulullah .”
Ilustrasi kisah ini menunjukkan bahwa ijtihad menempati
posisi strategis dan signifikan dalam mengawal eksistensi serta
keberlangsungan hukum Islam dalam mengatasi problem hukum
yang muncul.
1. Pengertian Ijtihad
Dalam perspektif , ijtihad diidentifikasi
sebagai berikut :
٠ِك خ َٓ ِا َٝ ِشَّ٤ِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ َْكْلْح ِىْسَد ٠ِك خ َّٓ ِا ِغْع ُٞ ُْ ح َِش٣خَؿ ٍُ َْزر َٝ ِذْٜ ُـ ُْ ح ُؽحَشـْلِـظِْعا
َخِٜو٤ِْزَْطط. 236
Artinya : Mengerah -kan segala kesungguhan dan mencurahkan
segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum
syarak atau untuk mengimplementasikannya.
Dengan kata lain, ijtihad merupakan suatu aktivitas ulama
untuk mengintroduksi dan meng-eksplorasi makna serta materi
hukum ( maqashid al - syarui‘ah ) yang terkandung dalam Alquran dan
atau Sunah. Ijtihad juga dapat dimaknai sebagai kerja secara
optimal-profesiaonal dan progresif-ilmiah guna memberikan solusi
hukum yang tepat dan benar, agar nilai-nilai normatif yang
terkandung dalam Alquran dan Sunah mampu membimbing perilaku
manusia sesuai dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi
dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan
dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan
signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum
Islam guna menemukan kepastian hukum.
2. Pengertian Mujtahid
Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘ disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid itu yaitu ahli fiqh. Meskipun tidak
dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika
dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu
pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari
dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang,
maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu seseorang yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum
syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.
Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid yaitu orang yang menguasai ilmu
Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami
makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah
hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu
melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-
problem kekinian.
3. Syarat - syarat Mujtahid
Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab
al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid yaitu : (a)
menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang
dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas
manusia sesuai dengan situasi dan kondisi.237 Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi
dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan
dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan
signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum
Islam guna menemukan kepastian hukum.
2. Pengertian Mujtahid
Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘ disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid itu yaitu ahli fiqh. Meskipun tidak
dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika
dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu
pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari
dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang,
maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu seseorang yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum
syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.
Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid yaitu orang yang menguasai ilmu
Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami
makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah
hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu
melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-
problem kekinian.
3. Syarat - syarat Mujtahid
Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab
al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid yait