prahara 1965 3
By tuna at November 29, 2023
prahara 1965 3
bukan anggota Partai Komunis
Indonesia, apalagi terlibat dengan penculikan para Jenderal pada
dini hari 1 Oktober 1965. Bagaimana menjustifi kasi penangkapan
dan pemenjaraan atas seseorang hanya karena namanya sama dengan
orang yang dicari, tetapi tidak ditemukan, sebagaimana yang dialami
oleh salah seorang narasumber dalam artikel singkat ini? Bagaimana dengan
orang-orang yang dituduh sebagai “pentolan” atau “gembong” partai
komunis padahal saat ditangkap saat usia mereka baru belasan tahun?
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa yang patut
diajukan.
Dengan kata lain, berkaitan dengan Tragedi ’65—entah itu
Peristiwa 1 Oktober yang telah menewaskan tujuh orang perwira
militer yang sangat kita hormati, maupun peristiwa pembunuhan
massal atas rakyat kecil yang terjadi mulai pekan ketiga Oktober
1965—ada banyak pertanyaan tersisa yang belum terjawab. Apalagi
jika kita hanya mengandalkan narasi resmi dari penguasa Orde Baru
dengan segala kepentingannya. Sekali lagi tanpa mengatakan apakah
narasi Orde Baru itu benar atau salah, narasi seperti itu perlu dicermati
secara kritis dan perlu disandingkan dengan narasi-narasi lain tentang
hal yang sama. Narasi-narasi lain itu bisa berasal dari para peneliti
profesional yang independen (misalnya para sejarawan), namun juga
bisa berasal dari masyarakat di luar lingkaran kekuasan, dari para saksi
sejarah, atau bahkan dari para korban tragedi kemanusiaan 1965 itu
sendiri.
Dengan begitu diharapkan bahwa peristiwa kemanusiaan yang
sangat dahsyat yang terjadi pada pertengahan dekade 1960-an itu
bisa tampak lebih menyeluruh dan dapat menjadi “ruang belajar”
yang terbuka bagi siapa pun dalam rangka menimba pengalaman dari
perjalanan kolektif bangsa yang kita cintai bersama ini.
Mengingat dan Mengolah
Gagasan-gagasan di atas mendorong dihadirkannya artikel singkat yang kini
berada di tangan Anda ini. Sadar akan masih banyaknya pertanyaan
yang belum terjawab tentang Tragedi ’65 jika narasi yang ada hanyalah
narasi resmi, artikel singkat ini ingin mengajak Anda untuk membuka diri
terhadap narasi-narasi lain tentang peristiwa besar ini . Tentu saja
semuanya harus dilihat dengan pikiran kritis dan kehendak untuk
belajar bersama secara maksimal. Ada banyak artikel singkat lain yang nadanya
sama dan mengajak untuk melakukan hal serupa.24
Yang kiranya agak khusus dari artikel singkat ini adalah upaya untuk
menyampaikan narasi-narasi alternatif tentang Tragedi ’65 yang berasal
dari dua kelompok yang berbeda.Yang satu adalah kelompok korban,
dan yang lain adalah kelompok saksi. Yang dimaksud dengan korban
di sini adalah mereka yang saat Tragedi ’65 terjadi secara pribadi dan
langsung mereka mengalami dampaknya. Mereka ditangkap, dipenjara,
dan menjadi korban berbagai bentuk kekerasan fi sik maupun psikis.
Ada yang waktu itu posisisinya sebagai aktivis pembela petani, ada
yang mahasiswa biasa, ada yang anak desa belasan tahun yang sedang
mengasuh adiknya. Ada pula seorang siswi Sekolah Dasar yang pada
tahun 1965 tidak tahu-menahu tentang politik dan memang tidak
pernah ditangkap, tetapi kemudian harus banyak menderita hanya
karena ayah dan suaminya adalah mantan Tahanan Politik.
Yang dimaksud dengan kelompok saksi di sini adalah mereka
yang dalam Tragedi ’65 melihat secara sadar apa yang berlangsung di
sekitarnya, tetapi tidak terlibat dalam aksi kekerasan apa pun. Mereka
bukan pelaku, tetapi saat peristiwa itu terjadi mereka juga tidak
sedang sibuk mempertaruhkan diri untuk membela para korban.
Mereka ini ikut menyaksikan atau bahkan mengalami sendiri apa yang
berlangsung sebelum, selama, dan sesudah Tragedi ‘65, tetapi mereka
tidak terlibat dalam histeria pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
terjadi saat itu. Posisi mereka bisa dikatakan “netral”, mirip dengan
posisi seorang “pengamat” dalam sebuah peristiwa.
Apa yang disampaikan oleh para saksi dalam artikel singkat ini menarik,
karena selain kesaksian atas apa yang mereka lihat atau dengar, di sini
mereka juga menyampaikan bagaimana secara pribadi masing-masing
menanggapi, menganalisis, dan memaknai apa yang terjadi pada
tahun 1965 itu. Selain itu, mereka juga menyampaikan refl eksi mereka
tentang apa yang pada waktu, sekaligus tentang apa yang mereka lihat
sekarang, saat Tragedi ’65 telah menjadi peristiwa masa silam, tetapi
yang tetap saja menjadi bahan wacana publik.
Dengan sengaja artikel singkat ini terlebih dahulu mengajak Anda
“menjumpai” para saksi melalui narasi-narasi mereka. Maksudnya
adalah agar Anda bisa mendengarkan dan memiliki gambaran yang
lebih luas tentang apa yang terjadi waktu itu, setidaknya dari sudut
pandang mereka. Untuk itu dengan sengaja pula para narasumber
diambil dari kalangan-kalangan yang berbeda. Ada narasumber yang
berasal dari kalangan Militer, ada dari kalangan Muslim, ada dari
kalangan Katolik, dari kalangan Tionghoa, dan ada pula yang berasal
dari kalangan pemeluk Kejawen. Sama sekali tidak dimaksudkan
dalam artikel singkat ini bahwa para narasumber itu mewakili kalangan atau
kelompok masing-masing. Mereka diminta menjadi narasumber hanya
karena “kebetulan” mereka berasal dari kelompok tertentu. Pada saat
yang sama harus diakui, akan kelihatan bahwa keanggotaan mereka
dalam kelompok-kelompok itu memiliki pengaruh atas cara pandang
mereka mengenai Tragedi ’65, baik sebelum, selama, maupun sesudah
peristiwa ini terjadi.
Baru sesudah mengikuti narasi dari para saksi itu Anda akan diajak
menemui para narasumber yang adalah korban dari Tragedi ’65.
Tujuannya adalah agar Anda berkesempatan untuk mendengarkan
narasi mereka yang telah menjadi korban langung dari salah satu tragedi
kemanusiaan terbesar (di luar perang) pada abad 20 itu. Salah satu hal
penting yang perlu diingat di sini adalah bahwa para narasumber itu
merasa bersyukur, karena meskipun telah menjadi korban kekejaman
yang luar biasa mereka telah mampu survive sehingga masih bisa
menuturkan apa yang mereka alami itu kepada Anda. Mereka sadar,
pada satu sisi mereka memang telah berhasil untuk bertahan hidup,
tetapi pada sisi lain ada ratusan ribu orang-orang seperti mereka
yang terpaksa gugur sebelum waktunya. Orang-orang itu ada yang
mendadak tewas bersimbah darah di tengah brutalnya sebuah rezim
kekuasaan terhadap bangsanya sendiri. Ada pula yang menjadi gila atau
memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan terhadap siksaan
dan derita yang mereka alami dalam tahanan Orde Baru. Tentu saja
banyak pula para survivors yang telah selamat dari itu semua namun
kini telah tiada karena telah dipanggil kembali untuk menghadap
Sang Pencipta, mendahului kita semua.
Penuh Harapan
Sebagaimana akan Anda lihat, dari sudut padang sejumlah saksi,
Tragedi ‘65 merupakan kulminasi atau puncak dari keteganganketegangan politik yang telah berlangsung sebelumnya. Kehidupan
di kampus-kampus yang pada awal tahun 1960-an biasa-biasa saja,
pada pertengahan dekade itu mulai diwarnai dengan keteganganketegangan. Demikian juga yang terjadi di masyarakat di luar
kampus, seperti misalnya di Kotagede, keraton yogya . Namun demikian,
sebagaimana diuraikan oleh para narasumber kita dari kalangan saksi,
ketegangan itu tidak berarti ketegangan fi sik. Ketegangan yang ada
lebih melibatkan ketegangan-ketegangan psikologis, misalnya saling
bersaing dalam pemilihan anggota Senat Mahasiswa atau dalam
melakukan kegiatan-kegiatan sosial, budaya, dan politik di kampung.
Di antara para narasumber dari kelompok saksi ada yang bisa
menerangkannya secara umum dalam konteks politik nasional, namun
ada pula yang hanya bisa terheran-heran mengapa ketegangan yang
sifatnya lokal itu bisa berubah menjadi suatu tindakan massal yang
mengorbankan begitu banyak nyawa manusia. Apa pun pemahaman
mereka, semua narasumber saksi berusaha memaknai apa yang mereka
alami itu, sembari menarik pelajaran yang kiranya berguna untuk
masyarakat sekarang dan di masa depan.
Sementara itu, akan Anda lihat pula bahwa dari sudut padang
sejumlah korban, apa pun latar belakangnya, Tragedi ‘65 itu merupakan
sebuah tragedi pribadi yang terjadi secara acak, luar biasa kejam, dan
semena-mena. Misalnya apa yang dialami oleh orang seperti Mujilah,
salah seorang narasumber yang tadi telah kita singgung. Pada tahun
1965 dia adalah seorang gadis desa berumur 14 tahun dan tinggal
di daerah Prambanan, keraton yogya . Siang itu ia ditugaskan mengasuh
adiknya di depan rumah, karena ibunya sedang sibuk memasak di
dapur. Tiba-tiba seorang petugas datang kepadanya menanyakan
apakah namanya Mujilah. saat mengatakan iya (karena memang
begitu namanya), ia langsung dinaikkan truk untuk kemudian
dimasukkan ke penjara Wirogunan, keraton yogya , dan selanjutnya
dibuang ke penjara-perempuan lesbian Blatungan , Jawa Tengah, selama 14
tahun.25 Ia adalah korban salah tangkap. Kebetulan sekali orang yang
harusnya ditangkap adalah seorang guru yang persis sama namanya,
tetapi guru itu sedang berada di tempat lain. Apa pun alasannya,
Mujilah kehilangan 14 tahun hidupnya secara sia-sia. Dan saat ia
dibebaskan, tak sepatah kata maaf-pun terucap dari para penguasa,
apalagi ganti-rugi terhadap apa yang telah diderita dan yang telah
hilang dari hidupnya.
Hal serupa juga dialami oleh narasumber lain yang namanya juga
kita samarkan, yakni nyi tribuanatunggadewi suhartini . Ia adalah seorang mahasiswi
di keraton yogya yang tiba-tiba ditangkap karena tuduhan tertentu.
sesudah disiksa dan sebagainya, ternyata para petugas itu menyadari
bahwa mereka telah keliru tangkap dan memberi surat pembebasan
bagi suhartini . suhartini lantas berusaha hidup seperti sediakala sebagai
seorang mahasiswi. Entah mengapa, terjadi upaya penangkapan
kedua. saat suhartini mengatakan bahwa ia tidak ada hubungan
dengan tuduhan yang dilontarkan kepadanya dan menunjukkan surat
pembebasannya, para petugas justru berdalih bahwa karena ia memiliki
surat pembebasan berarti dulu pernah ditahan. Dia ditahan pasti karena
dinyatakan bersalah, demikian jalan pikiran para penangkapnya. Oleh
karena itu, para petugas memutuskan untuk secara paksa menangkap
dan menahannya lagi tanpa suhartini mampu melawan mereka. Selama
belasan tahun kemudian ia juga dijebloskan ke dalam penjara, disertai
siksaan yang nyaris di luar batas-batas perikemanusiaan.
Seorang korban lain yang oleh teman-temannya sering dipanggil
“ Al Capone” menceritakan dalam artikel singkat ini bagaimana pada usia 19
tahun ia tiba-tiba ditangkap tanpa diberi kesempatan menerangkan
diri. Ia dibuang ke Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah, sebelum
kemudian dibawa secara ramai-ramai dengan sebuah kapal yang sempat
macet berhari-hari di tengah laut dan nyaris tenggelam menuju ke
Pulau Buru. Ada banyak hal yang ia alami dan saksikan selama lebih
dari sepuluh tahun berada di kamp pembuangan di pulau terpencil
yang ada di Kepulauan Maluku itu. Ia saksikan misalnya, bagaimana
sesama tahanan disiksa dan ditembak mati seperti binatang di depan
barak mereka tanpa sedikit pun rasa kemanusiaan. Al Capone
mencoba mengingat sebanyak mungkin apa yang ia lihat dan alami
itu, untuk kemudian mencatat dan menarasikannya kembali untuk
Anda dalam artikel singkat ini.
Dengan mengikuti paparan para korban maupun non-korban,
dalam artikel singkat ini diharapkan Anda bisa terbantu untuk melihat apa
yang terjadi pada tahun 1965 dan sesudah nya. Bukan hanya sebagai
angka-angka statistik atau tebak-menebak siapa “dalang” dan siapa
“bukan-dalang” dalam peristiwa itu, melainkan sebagai sebuah
tragedi kemanusiaan yang korbannya adalah manusia-manusia biasa
yang konkret—sama seperti kita semua. Para korban ternyata juga
mempunyai nama, mempunyai tempat tinggal, mempunyai orangtua,
mempunyai kakak dan adik, mempunyai wajah dengan segala
ekspresinya, bahkan mempunyai kerinduan dan harapan sebagaimana
manusia pada umumnya. Mereka adalah manusia-manusia biasa
seperti orang-orang lain yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia ini.
Apa boleh buat, gara-gara upaya-upaya demonisasi alias “penyetanan”
yang dilakukan oleh suatu rezim kekuasaan tertentu beserta para
pengikutnya, mereka sering ditampilkan dalam benak dan ingatan
kita sebagai semacam “monster” yang menakutkan dan selalu siap
menghabisi lawan politiknya.
Salah satu hal menarik yang penting untuk dicatat ialah bahwa
betapa pun berat siksaan dan hinaan yang dialami, para korban yang
ada dalam artikel singkat ini tidak sedikit pun menyimpan rasa dendam.
Sebaliknya, mereka justru penuh harapan. Hiruk-pikuk prahara
Tragedi ’65 memang luar biasa, dengan jumlah korban yang luar biasa
pula. Penderitaan yang dialami para korban dan keluarganya nyaris
tak tertanggungkan. Namun demikian, mereka yang telah menjadi
korban tetapi bisa bertahan hidup biasanya enggan dan takut untuk
bercerita mengenai apa yang dialami. Mereka memilih bungkam.
Bahkan mereka yang tidak menjadi korban tetapi sempat menyaksikan
apa yang terjadi biasanya juga memilih untuk diam seribu bahasa.
Melalui artikel singkat ini kedua kelompok itu diberi kesempatan untuk
memperdengarkan suara mereka—suara di balik prahara yang selama
ini cenderung dibenam saja. Diharapkan bahwa suara dan narasinarasi yang ada dalam artikel singkat ini tidak akan membuat para pembacanya
termangu apalagi berhenti dalam keputusasaan, melainkan justru
melangkah dengan penuh harapan akan lebih baiknya masa depan
bangsa ini. Dengan begitu, diharapkan pula bahwa kita akan terus
berupaya agar tidak mudah melupakan masa lalu melainkan terus
mengingat dan mengolahnya supaya kita bisa bersama-sama belajar
sebagai bangsa yang semakin dewasa.
Bagaimana “sejarah” munculnya artikel singkat ini? Sudah sejak beberapa tahun
ini kami di PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata
Dharma di keraton yogya bersama sejumlah pihak lain merasa prihatin
atas bagaimana narasi sejarah bangsa ini disampaikan dan dimaknai.
Sebagai sebuah pusat studi yang berkiprah dalam kajian sejarah dan
etika politik, PUSdEP melihat adanya sejumlah keprihatinan yang
patut diamati dan dicari jalan keluarnya.
Pertama, untuk waktu yang lama—khususnya selama masa
pemerintahan Orde Baru—narasi sejarah Indonesia sangat lekat dengan kepentingan rezim kekuasaan politik. Hal ini sudah banyak kita
bicarakan di depan. Kedua, selain melarang artikel singkat -artikel singkat sejarah yang
tidak sejalan dengan kepentingannya, rezim itu juga rajin memproduksi
narasi sejarah menurut sudut pandangnya. Hal itu dilakukan baik
lewat artikel singkat , lewat fi lm, media cetak, penataran yang bersifat wajib,
atau media-media yang lain. Ketiga, banyak narasi yang muncul dari
lingkungan kekuasaan itu cenderung mengabaikan suara atau narasinarasi yang berasal dari warga masyarakat di luar kekuasaan. Padahal
sebagaimana telah kita lihat, dalam pemahaman atau penulisan sejarah
suara-suara dari masyarakat itu penting perannya.
Keempat, semakin meningkatnya minat kalangan muda untuk mengetahui sejarah bangsanya, namun keinginan itu belum
sepenuhnya terakomodasi.26 Kelima, semakin kuatnya globalisasi
ekonomi, politik, dan budaya serta banyaknya gerakan gerakan -gerakan gerakan transnasional yang kalau tidak hati-hati membuat masyarakat Indonesia
semakin lupa akan sejarah dan jati diri bangsanya sendiri. Keenam,
adanya gejala-gejala makin merosotnya etika politik dan etika publik
baik di kalangan para pengambil keputusan maupun di luarnya.
Ketujuh, makin kurang jelasnya arah bersama yang hendak dituju
oleh bangsa ini. Ada dugaan, penyebab dari situasi demikian antara
lain adalah kurang berakarnya kita pada sejarah kita sendiri, sekaligus
karena kurang terolahnya pengalaman masa lalu secara matang.
Di tengah keprihatinan-keprihatinan seperti itu kami di
PUSdEP berusaha menjalin kerja sama dengan sebanyak mungkin
pihak, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Tujuannya adalah
membantu masyarakat untuk semakin tertarik mempelajari sejarah
dan mengolah pengalaman kolektif sebagai bangsa. Banyak sudah
pihak yang bekerja sama dengan kami dalam hal ini. Salah satunya
adalah Salzburg Global Seminar yang kantor pusatnya ada di kota
Salzburg, Austria. Bagai gayung bersambut, saat kami utarakan citacita kami Salzburg Global Seminar bersedia membantu kami melalui
Institute for History, Justice, and Reconciliation ( IHJR). IHJR sendiri
semula berkantor di Salzburg, tetapi kemudian pindah ke Paris, dan
kini menetap di Den Haag, Negeri Belanda.
Kebetulan sekali IHJR sedang mengerjakan suatu upaya
internasional untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai
program“ Shared Narratives”, yakni menampilkan narasi dari dua pihak
yang sedang atau pernah berseberangan karena suatu konfl ik sosial,
politik, atau militer. Masing-masing kelompok diminta menuliskan
kisah dan pandangannya tentang konfl ik yang sedang atau telah
mereka alami, dengan maksud agar mereka bisa saling memahami
untuk kemudian terdorong melakukan proses rekonsiliasi. Di antara
pihak-pihak yang berseberangan yang diminta menuliskan narasinya
oleh IHJR itu adalah mereka yang terkait dengan konfl ik SerbiaBosnia; Turki-Armenia; dan Israel-Palestina.
Dalam kaitan dengan Indonesia, IHJR mendukung gagasan
PUSdEP untuk mendengarkan dan mencatat narasi dari pihakpihak yang secara langsung atau tak langsung terlibat dalam gemuruh
Tragedi ’65. Tujuannya sama, yakni agar tercipta sikap kritis, saling
terbuka, dan saling memahami, hingga selanjutnya saling terdorong
untuk melakukan proses rekonsiliasi. Bertolak dari dukungan IHJR
ini, PUSdEP lantas mengumpulkan sejumlah peneliti yang tertarik
dalam bidang sejarah, baik yang senior maupun yang junior, guna
menemukan, meminta, mendengarkan, mencatat dan mengolah
pengalaman para narasumber berkaitan dengan sejarah Tragedi ’65.
Bersama mereka, kami lantas membentuk sebuah tim penelitian
dengan sebutan “Komisi Sejarah PUSdEP” dan merencanakan suatu
penelitian (kualitatif) dengan mewawancarai narasumber dengan
latar belakang se-beragam mungkin agar bisa mencerminkan semangat
“shared narrative” sebagaimana diharapkan bersama.
Semula kami membagi diri untuk melakukan penelitian dengan
mewawancarai sejumlah saksi yang memiliki beragam latar belakang:
dari kalangan Muslim, Kristiani (khususnya Katolik), Kejawen,
Tionghoa, militer, dan pejuang kemerdekaan. Dalam perjalanan
selanjutnya, kami terdorong untuk memperluas cakupan penelitian
kami sehingga menjangkau mereka yang telah menjadi korban dari
Tragedi ‘65. Apalagi mengingat bahwa narasumber dari kalangan
mantan pejuang kemerdekaan ternyata adalah orang yang dulunya
ikut terlibat langsung dalam perjuangan fi sik mempertahankan
kemerdekaan, tetapi yang kemudian justru menjadi korban dalam
Tragedi ’65. Jadilah kami melibatkan para narasumber yang berasal
dari kalangan korban. Dengan begitu kami berharap agar bisa setia
pada semangat shared narratives ini .
Pada Narasinya
Narasi-narasi yang ada dalam artikel singkat ini sama sekali tidak dimaksudkan
untuk membuktikan apakah hal-hal yang dikatakan oleh para
narasumber itu benar atau tidak benar. Tujuannya lebih pada
keinginan untuk melihat bersama bagaimana Tragedi ’65 di mata para
narasumber. Di sini mereka diberi ruang untuk menghadirkan kembali
ingatan mereka tentang apa yang mereka lihat, dengar dan alami, serta
bagaimana mereka memaknai semua itu. Dalam kaitan dengan para
saksi, hal itu berarti mencermati bagaimana mereka memandang,
menganalisis, dan memberi makna atas apa yang terjadi pada tahun
1965. Dalam kaitan dengan para korban, hal itu berarti menyimak
bagaimana mereka mengalami, menganalisis, dan memaknai apa yang
mereka alami berkaitan dengan tragedi kemanusiaan nasional ini .
Dengan kata lain, artikel singkat ini bukan terutama ingin menyampaikan “apa
yang terjadi di seputar Tragedi ‘65 melainkan lebih pada “bagaimana
para narasumber mengingat dan memaknai apa yang terjadi berkaitan
dengan Tragedi ’65”.
Pada bagian ketiga dari artikel singkat ini kami sampaikan tulisan dua
anggota Komisi Sejarah PUSdEP Y. Tri Subagya M.A. dan Dr. G.
Budi Subanar, SJ. Isinya adalah laporan dan ulasan atas hasil penelitian
mereka tentang sikap sebuah lembaga agama (dalam hal ini Hirarki
Gereja Katolik) terhadap Tragedi ‘65. Sebagai bagian dari generasi
muda Indonesia yang bukan merupakan saksi ataupun korban Tragedi
’65 keduanya mewawancarai sejumlah narasumber dan membaca
sejumlah literatur berkaitan dengan tragedi ini , untuk kemudian
menyampaikan pandangan mereka. Diharapkan bahwa bagian ini
bisa memberikan dimensi lain terhadap narasi-narasi dari para saksi
maupun korban yang ada dalam dua bagian sebelumnya. Idealnya
memang ada lebih dari satu tulisan di bagian ini, namun karena
keterbatasan kami hanya satu tulisan yang bisa ditampilkan.
Kiranya perlu disampaikan pula di sini bahwa artikel singkat ini sama
sekali tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk “membersihkan” atau
“white washing” pihak-pihak yang selama ini oleh narasi versi resmi
telah dituduh sebagai pihak yang “bersalah” atas apa yang terjadi pada
tahun 1965-1966, entah itu mereka yang terkait dengan gerakan gerakan
Wanita Indonesia, para anggota Partai Komunis Indonesia, para
pendukung Presiden Sukarno atau bahkan Presiden Sukarno sendiri.
Seperti telah dikatakan, artikel singkat ini hanya bermaksud menyampaikan
narasi-narasi yang bertolak dari ingatan dan upaya pemaknaan dari
sejumlah warga masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung
telah menjadi saksi atau korban dari Tragedi Kemanusiaan ’65.
Ada beberapa cara yang telah kami tempuh dalam rangka
penelitian sejarah lisan agar bisa menyuguhkan narasi penuh ingatan
dan pemaknaan itu ke hadapan Anda. Salah satunya adalah melalui
wawancara langsung yang kemudian ditranskrip dan diolah kembali.
Ada pula yang melalui tulisan tangan dari para narasumber sesudah
mendapat penjelasan berkaitan dengan maksud dan tujuan usaha
bersama ini. Ada lagi yang dengan menggunakan wawancara lisan
yang kemudian dilengkapi dengan wawancara tertulis. Sementara itu,
ada pula yang narasinya didapatkan dari penulisan kembali atas hasil
wawancara dengan narasumber yang kemudian dilengkapi dengan
tulisan-tulisan yang narasumber hasilkan sebelumnya dalam bentuk
artikel singkat maupun makalah seminar. Sekali lagi, semua itu dihadirkan di
sini supaya dalam melihat sejarah bangsa ini, khususnya berkaitan
dengan Tragedi ’65, Anda bisa mendapatkan gambaran yang lebih
lengkap.
Sebagai tambahan catatan teknis perlu kami sampaikan di sini
bahwa hampir semua nama narasumber yang tercantum dalam
artikel singkat ini adalah nama-nama samaran. Selain demi menghormati dan
menjaga privasi para narasumber serta karena permintaan dari para
narasumber sendiri, hal ini juga dimaksudkan supaya perhatian Anda
sebagai pembaca tidak terutama terfokus pada orangnya melainkan
pada narasi yang disampaikan. Apa pun keterangannya kiranya jelas
bahwa dalam hal ini apa yang dinarasikan jauh lebih penting daripada
siapa yang menarasikannya.
Menyimak Suara
Suatu narasi sejarah tidak ditulis demi dirinya sendiri, melainkan
demi tujuan-tujuan sosial tertentu. Salah satu fungsi narasi sejarah,
sebagaimana kita lihat di awal pendahuluan ini, adalah membantu
masyarakat memahami apa yang bergerak gerak dan berkembang di
lingkungannya, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Itulah
sebabnya, setiap masyarakat dan setiap generasi merasa perlu untuk
terus-menerus menyampaikan sejarahnya ke masyarakat atau generasi
lain.
Berkaitan dengan narasi sejarah tentang Tragedi ’65, seperti yang
sudah umum diketahui, narasi mengenai tragedi itu telah didominasi
oleh narasi resmi yang sangat dekat dengan kepentingan kekuasaan
waktu itu. Akibatnya adalah bahwa cara masyarakat memahami apa
yang bergerak gerak dan berkembang di lingkungannya sangat diwarnai
oleh maksud-maksud yang terkandung di balik narasi resmi ini .
Akibat lebih jauh adalah terdistorsi atau rusaknya pandangan
masyarakat, tidak hanya dalam melihat masa lalunya, melainkan juga
dalam melihat dirinya sendiri sekarang ini dan di masa depan. Jika
distorsi-distorsi itu tidak dibenahi, tentu dampak negatif yang telah
diakibatkannya akan terus berkepanjangan.
Masih berkaitan dengan Tragedi ’65, di masa lalu upaya untuk
mendengarkan dan mencatat narasi tentang tragedi ini dari
perspektif masyarakat atau korban sering dicap sebagai upaya untuk
menyebarkan paham-paham tertentu. Terkadang bahkan dituduh ingin
membangkitkan kembali partai politik tertentu. Namun demikian,
sekarang ini kiranya masyarakat—khususnya generasi muda—sudah
tahu bahwa cap dan tuduhan seperti itu tidak lagi bisa dipertahankan.
Masyarakat semakin sadar bahwa upaya-upaya menyampaikan narasi
dari perspektif masyarakat justru penting untuk membuka ruang
dialog, supaya dengan begitu terbuka pula ruang untuk belajar
bersama tentang sejarah bangsa. Yang dimaksud tentu bukan hanya
sejarah menurut versi penguasa yang sarat dengan kepentingan—
entah itu penguasa sosial, politik maupun keagamaan—melainkan
sejarah menurut kita semua sebagai anak-anak tercinta dari bangsa
yang luhur dan mulia ini.
Dengan menyimak suara dan narasi-narasi di balik prahara
politik-kemanusiaan Tragedi ’65 yang datang dari berbagai perspektif
semoga menjadi segarlah ingatan kita akan apa yang terjadi pada
waktu itu dan sesudah nya. Dengan begitu, semoga kita akan menjadi
lebih bersemangat dan lebih dewasa dalam memperjuangkan hari-hari
depan bersama yang lebih cemerlang.
University, Washington D.C., AS. Kepada mereka berdua kami ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya atas gagasan-gagasan awal yang terus menginspirasi kami pada tahap-tahap
selanjutnya.
Kepada para anggota Komisi Sejarah PUSdEP yang lain, kami
juga ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Mereka
adalah rekan Chandra Halim yang meneliti komunitas Tionghoa;
Muhammad Subkhi Ridho yang meneliti komunitas Muslim
khususnya dari kalangan Muhammadiyah; Choirotun Chisaan yang
meneliti komunitas Muslim khususnya dari kalangan Nahdlatul
Ulama; Kiswondo yang meneliti komunitas pemeluk Kejawen; G.
Budi Subanar dan Y. Tri Subagya yang meneliti kalangan Kristiani,
khususnya Katolik; dan Tri Chandra Aprianto yang meneliti kalangan
mantan pejuang kemerdekaan. (Penulis sendiri meneliti kalangan
militer dan bertanggung jawab atas keseluruhan narasi dari para
narasumber korban). Ketekunan, diskusi-diskusi rutin serta ketekunan
rekan-rekan anggota Komisi Sejarah PUSdEP telah membuat artikel singkat
ini menjadi kenyataan.
Tidak perlu dikatakan, tentu artikel singkat ini tidak mungkin terwujud
jika tidak ada kesediaan para narasumber untuk bersusah payah
dengan kami baik dalam berpikir bersama, berpikir sendiri-sendiri,
maupun menulis, dan menjawab wawancara. Untuk itu kepada
mereka semua kami ingin mengucapkan rasa terima kasih dari lubuk
hati kami yang paling dalam. Tidak ada ungkapan balas budi yang
menurut kami paling tepat yang bisa kami haturkan selain harapan
bahwa narasi-narasi yang para narasumber sampaikan dalam artikel singkat ini
akan membantu memberi pencerahan dan semangat kepada segenap
pembacany
Telah terlibat pula dalam pertemuan-pertemuan maupun
pengerjaan teknis artikel singkat ini rekan-rekan kami di PUSdEP, khususnya
rekan Dedy Kristanto, Monica Laksono, Darwin Awat, Deddy
Hermawan, M.M. Ambarastuti,Yohana Intan Dias Sari, senior
kami Bapak Ronnie Hatley dan Dr. George Aditjondro. Begitu juga
Yohanes Setiawan, Dian Beni Yuda Ismiyati, Vina Rahayu, serta
Chekka Cuomova dari Universitas Atma Jaya Jakatya. Kepada mereka
semua kami ingin mengucapkan banyak terima kasih. Demikian
pu la kepada J. Bambang Agung serta rekan-rekan dari Komunitas
Kotak Hitam (A. Dananjaya, Kartika Pratiwi, Aquidom Adri dan
Krisdemon Sallata), kami ingin mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuannya. Untuk saudari kami Gina Donoso dari Ecuador, kami
ingin menyampaikan terima kasih atas inspirasi dan dukungannya.
Gracias, Gina. Kepada civitas academica Universitas Sanata Dharma
kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami, khususnya
kepada Romo Rektor dan Wakil Rektor Bidang Akademik yang secara
langsung maupun tak langsung telah setia mendukung tugas dan
karya-karya PUSdEP selama ini. Rasa terima kasih yang sama ingin
kami sampaikan kepada Tim Penasehat Ahli PUSdEP dan kepada
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
khususnya Dr. St. Sunardi. Tentu saja kami juga ingin beterima kasih
kepada rekan-rekan kami di Penerbit Galangpress atas kerja sama dan
kesediaannya untuk menerbitkan artikel singkat ini.
Kami berharap bahwa hasil jerih payah dan keterlibatan bersama
ini akan membawa hasil yang bermanfaat, tidak hanya bagi Anda
sebagai pembaca, melainkan juga kepada rakyat Indonesia, syukursyukur kepada masyarakat internasional pada umumnya. Sebagaimana
kita pahami, setiap peristiwa manusia selalu mengandung pelajaran
yang berguna bagi manusia lain di mana pun dan kapan pun.
Penulisan sejarah telah membantu kita untuk memetik pelajaran dari
setiap peristiwa manusia di masa lalu. Semoga artikel singkat ini menjadi salah
satu sarana bagi kita untuk bisa memetik dan mengolah pelajaran dari
peristiwa-peristiwa masa lalu bangsa yang kita cintai dan perjuangkan
bersama ini.
NARASI-NARASI yang akan Anda simak dalam Bagian I ini adalah
narasi-narasi yang berasal dari orang-orang yang dalam Tragedi
’65 tidak menjadi korban—atau setidaknya tidak menjadi korban
langsung. Dalam posisi itu mereka bisa ”mengambil jarak” dari apa
yang waktu itu terjadi, dan bisa melihatnya dalam konteks yang lebih
luas, serta mengisahkannya kepada Anda.
Narasumber yang berasal dari kalangan militer, misalnya, melihat
apa yang terjadi di seputar tahun 1965 itu sebagai puncak dari sebuah
ketegangan politik yang sudah mulai berlangsung sejak tahun 1963.
Pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 menurutnya
telah menyulut kemarahan orang-orang tertentu di kalangan militer.
Presiden Sukarno yang sama sekali tidak mau bertindak tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia (yang oleh kalangan militer dipandang
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu) membuat
wibawanya merosot. Apalagi saat Presiden menolak membubarkan
partai ini . Soeharto, menurut narasumber ini, lalu mengambil
inisiatif untuk mengendalikan situasi. Jadilah penangkapan dan
pembuangan para Tahanan Politik ke Pulau Buru menyusul turunnya
Presiden Sukarno dari kursi kepresidenan.
Narasumber lain melihat bahwa kondisi ekonomi yang sulit
waktu itu membuat masyarakat resah dan mudah terprovokasi.
Selain kondisi ekonomi yang sulit, gagasan Presiden Sukarno tentang
NASAKOM juga mendorong partai-partai politik bertegangan satusama lain dan membuat meningkatnya suhu politik waktu itu, yang
dampaknya juga dirasakan oleh masyarakat pada umumnya. Dalam
situasi demikian, berita-berita lewat media massa yang bersifat
propaganda mudah diterima begitu saja oleh masyarakat. Masyarakat
lantas membentuk opininya sendiri. Berdasarkan opini itu mereka
kemudian melakukan tindakan-tindakan kolektif tertentu. Padahal,
dikatakan oleh narasumber ini, banyak berita yang beredar waktu itu
sebenarnya sengaja dibuat untuk menyesatkan opini masyarakat tanpa
mereka sadar akan hal itu.
Ada dua narasi menarik yang datang dari dua narasumber yang
berasal dari sebuah kampung yang sama di keraton yogya . Keduanya
melihat bahwa menjelang 1965 tidak ada ketegangan sosial yang
mengkhawatirkan. Bahwa ada persaingan antara kelompok agama
tertentu dengan kelompok Pemuda Rakyat yang dekat dengan Partai
Komunis Indonesia memang benar, tetapi persaingan itu hanya
berlangsung dalam bentuk unjuk kebolehan dalam berkesenian dan
semacam “perang spanduk”. Keduanya menegaskan bahwa tak ada
kekerasan fi sik atau semacamnya. Oleh karena itu, mereka heran
mengapa pada akhir 1965 tiba-tiba bisa terjadi berbagai tindak
kekerasan kolektif yang sedemikan besar, entah itu penangkapan,
pembunuhan atau pemenjaraan. Menariknya, bertolak dari pengalaman
serupa, narasumber yang satu tidak menyetujui pembubuhan kode
“ ET” pada Kartu Tanda Pengenal para mantan Tahanan Politik,
sedang narasumber yang satunya lagi merasa tidak keberatan akan
pembubuhan kode semacam itu.
Seorang narasumber non-korban melihat bahwa bencana kemanusiaan yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an itu penyebabnya
adalah karena manusia telah melanggar aturan dari Tuhan. Padahal
setiap pelanggaran itu ada konsekuensinya. Ber tolak dari refl eksinya
atas situasi waktu itu, narasumber ini mengingatkan bahwa sesama
manusia tidak boleh saling menuduh, menculik, apalagi menghukum.
Manusia tidak punya hak untuk mengadili manusia lain. Menurutnya
yang berhak menghakimi hanyalah Tuhan sendiri.
Berbeda dengan narasumber yang melihat pelanggaran akan
aturan dari Tuhan sebagai penyebab bencana kemanusiaan 1965,
narasumber lain melihat bahwa Blok Barat dalam Perang Dingin
yang dipimpin oleh Amerika Serikat merupakan faktor penting dalam
bencana kemanusiaan ini . Amerika dan sekutunya takut bahwa
jika Bung Karno dibiarkan berkuasa, maka kepentingan mereka akan
terganggu. Sebagai “bukti”, narasumber ini menunjukkan bahwa
dalam situasi Indonesia pasca-1965 itu Amerika-lah yang paling
diuntungkan secara ekonomis.
Lepas dari apakah pengamatan-pengamatan semacam itu tepat
atau kurang tepat, kita bisa melihat bahwa dari per spektif orangorang yang tidak menjadi korban langsung atas Tragedi ‘65 itu ada
banyak kemungkinan alasan mengapa tragedi ini terjadi. Ada
yang melihat penyebabnya adalah ketegangan politis di tingkat elite,
ada yang melihat penyebabnya adalah kesulitan ekonomi yang disertai
rekayasa di tingkat pusat, ada yang melihatnya sebagai bagian dari
konfl ik kepentingan dalam konteks Perang Dingin, namun ada pula
yang melihat penyebabnya adalah pelanggaran akan aturan Tuhan. Tak
cukup dengan penjelasan mono-kausal alias penyebab tunggal. Semua
itu menunjukkan bahwa jika dilihat dari luar narasi resmi, pandangan
tentang Tragedi ’65 bisa menjadi lebih kaya dimensi.
Narasi-narasi yang kaya dimensi dalam bagian ini diharapkan bisa
merangsang Anda (dan kita semua) untuk berpikir sendiri secara kritis
dan terbuka terhadap Tragedi ’65. Demikian juga terhadap momenmomen penting lain dalam sejarah bangsa ini. Selamat menekuni
LAHIR pada tahun 1938 di Malang, Jawa Timur, Dr. Sofyan
Djaenuri (bukan nama sesungguhnya) adalah penutur narasi kita di
bawah ini. Ayahnya adalah seorang tentara. sesudah lulus pendidikan
sekolah menengah atas ia kemudian melanjutkan studinya di Universitas
Gadjah Mada di keraton yogya , sebagai mahasiswa Ikatan Dinas. Saat
menjadi mahasiswa, ia aktif dalam organisasi pergerakan gerakan kemahasiswaan.
Seusai studi di keraton yogya , ia melanjutkan studi banding di Universitas
Indonesia, Jakarta, dan kemudian bekerja di Lembaga Sejarah dan
Antropologi di kota ini . Salah satu tugas yang ia emban adalah
menjadi Asisten Peneliti di Monumen Nasional ( Monas). Selain itu,
selama 30 tahun, ia juga berkarir di bidang militer. Pada tahun 1995 ia
pensiun dan pangkat terakhir adalah Kolonel. Meskipun sudah pensiun,
ia tetap bekerja sebagai staf ahli.
Sofyan melihat bahwa sebelum tahun 1965 hubungan antar mahasiswa baik-baik saja. Ada banyak sekali organisasi pergerakan gerakan kemahasiswaan, tetapi
semua melakukan aktivitasnya dengan baik dan membina relasi satusama lain dengan baik pula. “Seneng rasanya jadi mahasiswa waktu
itu,” katanya. Meskipun demikian, mulai tahun 1963 terasa bahwa ada
peningkatan persaingan di antara kelompok-kelompok mahasiswa. Yang makin terasa waktu itu adalah adanya “atmosfi r revolusi” di antara para
mahasiswa. Artinya, mulai terjadi semacam ketegangan politik dalam
kehidupan kampus.
Sementara itu Sofyan mengamati bahwa di tingkat nasional
sedang terjadi persaingan terbuka antara Tentara dan Partai Komunis
Indonesia. Dengan menggunakan konsep “ Nasakom Bersatu” Partai
Komunis Indonesia menyerang Tentara. Tentara balik menyerang dengan
menggunakan slogan “ Nasakom Jiwaku”. Pada kubu yang satu, Tentara
mendukung Presiden Sukarno tapi anti-Partai Komunis Indonesia, pada
kubu yang lain Partai Komunis Indonesia mendukung Presiden Sukarno
tetapi anti-Tentara.
Waktu Peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi, Sofyan sudah berada di
Jakarta. Menurutnya, waktu itu Angkatan Darat tidak bisa menerima
bahwa Panglima dan kawan-kawan mereka dibunuh oleh Partai
Komunis Indonesia yang menggunakan Letnan Kolonel Untung. Soeharto
lalu meminta Presiden Sukarno agar membubarkan Partai Komunis
Indonesia, tetapi Presiden Sukarno tidak segera melakukannya. Bung
Karno malah berdalih bahwa kalau ia membubarkan partai ini
berarti ia tidak konsisten dengan Nasakom. Selain itu, Bung Karno juga
mengatakan bahwa jika dibubarkan, anggota-anggota partai ini
justru akan melakukan gerilya politik. Menanggapi kata-kata Bung
Karno itu, menurut Sofyan, Soeharto lantas berkesimpulan: “Daripada
direcokin [diganggu] oleh pemimpin-pemimpin PKI, ya tangkapi saja
itu pemimpin-pemimpin PKI, dan kader-kadernya. Kumpulkan saja
di satu tempat.” Dari situlah, menurut Sofyan, muncul ide mengenai
pembuangan para Tahanan Politik ke Pulau Buru. Tentang kedekatan
antara Soeharto dengan Letkol Untung bagi Sofyan hal itu merupakan
sesuatu yang wajar, mengingat bahwa keduanya adalah bagian dari
Tentara Revolusi. Namun demikian menurutnya Soeharto lantas sadar
bahwa Untung itu dekat dengan Partai Komunis Indonesia dan oleh
karena itu ia lawan.
Bagi Sofyan, Tragedi ’65 itu merupakan sesuatu yang rumit. Tragedi
itu melibatkan massa, sehingga menurut pemikirannya “kalau tragedi itu
dibebankan pada tentara saja ya itu tidak bisa.” Ia berpendapat bahwa
apa yang terjadi itu merupakan akibat dari perbuatan Partai Komunis
Indonesia. Dengan bertolak pada prinsip “progresif revolusioner” partai
ini menurut Sofyan telah menyakiti hati lawan-lawannya. saat
gerakan gerakan nya gagal, orang-orang yang dulu dikatakan kontra-revolusi
lantas bertindak melawan partai ini . Berkaitan dengan Tragedi
’65 sendiri, Sofyan mengatakan,” Tapi ya sudahlah, ini merupakan
sejarah bangsa kita yang memang mengerikan... ya patut disesalkan.
Namun demikian, semuanya sudah terjadi.” Ia tambahkan,“Kalau para
sejarawan ingin berkomentar ini atau itu, ya terserahlah. Tapi yang jelas
itulah sejarah kita.”
Setidaknya ada dua pelajaran penting yang menurut Sofyan bisa
ditarik dari apa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Yang pertama,
hendaknya dalam berpolitik para pemimpin partai politik jangan
membawa-bawa tentara untuk mencapai kekuasan. Berkaitan dengan
itu, dalam setiap usaha mencapai kekuasaan, hendaknya tidak dipakai
kekerasan. “Ini renungan saya sebagai orang militer,” katanya. Kedua,
untuk Tentara, ia mengatakan bahwa hendaknya Tentara tidak ikutikutan berpolitik. Mengapa? Karena akibatnya bisa fatal untuk seluruh
bangsa. “Kalau jadi tentara ya jadilah tentara, jangan ikut main politik,”
pesannya.
Narasi berikut merupakan hasil transkrip dan pengolahan kembali
wawancara penulis dengan Kol. (Purn.) Sofyan Djaenuri. Wawancara
dilakukan penulis di Museum Satria Mandala, Jakarta, sebuah museum
yang dikelola oleh Angkatan Darat.
NAMA saya Sofyan Djaenuri. Saya lahir tahun 1938 di Malang,
Jawa Timur. Pada zaman Jepang saya mulai sekolah. Tapi lalu terjadi
Revolusi mulai tahun 1945. Peristiwa itu menjadikan keluarga saya
harus berpindah-pindah, mengingat Bapak saya seorang tentara.
Namun saya tidak boleh mengaku kalau Bapak saya tentara. Kami
berpindah-pindah dari Jombang ke Ponorogo, Malang, Plaosan, dan
sebagainya [semuanya di Jawa Timur]. Saya bahkan sempat jadi “anak
yatim” karena terus-menerus ditinggal Bapak. Saya masuk asrama anak
yatim. Ayah saya selalu berpindah-pindah. Sekolah saya juga tidak bisa
ajeg [tetap], melainkan harus pindah-pindah juga. Saya lalu kembali
ke Malang, masuk SMA Negeri I di sana, SMA bagian A, yakni bagian
Sastra, sesuai dengan model pendidikan Belanda. Tahun 1958 saya
lulus SMA. Saya lalu meneruskan studi banding di keraton yogya , tepatnya di
Universitas Gadjah Mada [ UGM], sebagai mahasiswa ikatan dinas.
Mahasiswa ikatan dinas itu paling gampang: tidak usah melamar,
hanya lapor begitu saja. Tetapi sesudah lulus saya wajib bekerja untuk
pemerintah. Jumlah beasiswanya sekitar Rp 414,-
Saya kemudian bekerja di Lembaga Sejarah dan Antropologi.
Aktivitas yang saya kerjakan ada banyak sekali. Salah satu di antaranya
adalah sebagai Asisten Peneliti di Monas [Monumen Nasional], Jakarta.
Dalam dunia militer, saya bekerja lebih dari 30 tahun. sesudah Pensiun
tahun 1995 [Pangkat terakhir Sofyan Djaenuri adalah Kolonel, ed.]
saya masih bekerja sebagai staf ahli.
Kalau bicara mengenai sejarah, bagi saya Sejarah itu perubahan.
Setiap generasi punya sejarahnya sendiri. Every generation has its own
history
Sudah Mulai Panas
Tentang periode tahun 1960-an kebetulan saya mengalaminya
sendiri. Saya mengalami dengan kesadaran dan sebagai orang yang
berpendidikan. Saya sadar, karena saya sudah terdidik, sudah berpendidikan tinggi.
Saya mulai menjadi mahasiswa di keraton yogya itu tahun 1958.
Saya belajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Jurusan Sejarah,
UGM. Latar belakang saya Muslim. Oleh karena itu waktu studi banding
di UGM saya ikut menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam
[ HMI]. Ketua Komisariatnya waktu itu adalah Taufi k. Saya anggota
Komisariat HMI Fakultas Sastra.
Waktu itu hubungan antar mahasiswa ya rukun-rukun saja. Ada
organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan kemahasiswaan yang besar, seperti HMI, GMNI,
CGMI, PMKRI, GMKI, PERHIMI27 tapi hubungannya ya baik-baik
saja. Di jurusan saya ada sekitar 50-an mahasiswa dan kami rukun
bahkan merasa sebagai satu korps. Begitu. Tak ada masalah. Itu situasi
antara tahun 1958-1959. Seneng rasanya jadi mahasiswa waktu itu.
Tapi sedikit demi sedikit, suasananya menjadi makin panas,
dan makin hari makin meningkat. Khususnya mulai tahun 1963.
Kelom pok-kelompok itu mulai saling bersaing. Mulai ada persaingan
di sana-sini. Seiring dengan meningkatnya suhu politik, persaingan
antar mahasiswa mulai terasa. Apalagi atmosfer waktu itu adalah
atmosfer “revolusioner”. Persaingan antar organisasi pergerakan gerakan mahasiswa makin
meningkat.
Bagaimana mengukurnya? Dengan mengamati proses pemilihan
Ketua Senat mahasiswa. Suasana terasa hangat, lalu menjadi panas.
Terjadi konfl ik yang berat antara tokoh-tokoh dari masing-masing
kelompok. Kalau di HMI tokoh-tokoh yang maju itu antara lain
ya Taufi k itu tadi, kemudian juga Yusuf Sakir. Ini Yusuf Sakir yang
pernah menjadi anggota DPR itu. Ada juga almarhum Muhamad
Qolil. Kalau dari CGMI ada Mas Tjipto. Ini Sutjipto yang juga
dikenal sebagai Sutjipto pendek, bukan F.A. Sutjipto yang kelak
menjadi Dr. F.A. Sutjipto. Ada juga Suparto Ibnu Ruslan. Dia anggota
CGMI. Pokoknya di antara tokoh-tokoh itu terjadi persaingan.
Persaingan untuk menjadi Ketua Senat Mahasiswa. Waktu pemilihan
yang menang bukan CGMI tetapi GMNI karena lebih populer.
Pemilihannya sendiri berjalan dengan enak, tetapi situasinya sudah
mulai panas. Itu tahun 1962.
Persaingan Terbuka
Situasi panas pada waktu itu juga tergambar dengan persaingan
dan klaim “golongan” antar kelompok. Yang satu mengklaim diri
“komunis”, yang lain “nasionalis”. Sementara itu HMI disebut sebagai
“kontra revolusioner”. Tapi HMI juga berani. Pokoknya tiga-tiganya
sama-sama berani. Maklum, semua itu terdiri dari anak-anak muda.
Dalam situasi demikian, sebagai mahasiswa ikatan dinas, saya
ini “tahu diri”. Untuk mahasiswa ikatan dinas seperti saya ini ada
ketentuan-ketentuannya sendiri. Sebenarnya bebas, tapi bagaimana
pun ‘kan ada ikatan dengan pemerintah.
Selesai studi dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts [B.A.]
saya langsung mencari kerja di Jakarta. Dan sejak itu, antara tahun
1962-1965, saya tidak tahu lagi bagaimana situasi di keraton yogya .
Tapi katanya makin memanas. Di Jakarta saya bekerja sambil studi banding
di Fakultas Sastra UI [ Universitas Indonesia]. Nah, di sini ternyata
situasinya juga sama, yakni sama-sama panas.
Di UI terjadi persaingan antara CGMI, GERMINDO, PMKRI,
GMKI, dan lain-lain. Waktu itu ada juga PERHIMI. PERHIMI itu
merupakan perhimpunan mahasiswa Indonesia keturunan China.
Itu sebuah kelompok minoritas. Orientasinya “kiri”. Yang kiri itu
misalnya CGMI dan PERHIMI. GERMINDO belum ada, karena
GERMINDO itu zaman saya. Yang dianggap “kanan” itu misalnya
HMI, PMKRI, GMKI dan PMII, tapi PMII itu kecil.
saat saya di Jakarta [antara tahun 1962-65, ed.], sudah terasa
sekali adanya konfl ik yang panas antara HMI lawan mahasiswa yang
posisinya tengah tapi revolusioner, yakni GMNI. GMNI itu kekirikirian. Kalau yang kiri betul itu CGMI dan GERMINDO. Di Fakultas
Sastra UI, saya tidak melihat adanya PERHIMI. Mungkin ada, tetapi
saya tidak melihatnya.
Persaingan di antara mereka makin memanas. Bagaimana
diketahui? Ya waktu perploncoan. Itu kelihatan sekali. Di Yogya dulu
perploncoan berjalan dengan baik-baik saja. Tetapi di Fakultas Sastra
UI perploncoan itu panas. Kalau di Yogya panasnya itu hanya terjadi
saat pemilihan Ketua Senat, tapi di UI terjadi suasana panas baik
waktu pemilihan Ketua Senat maupun waktu perploncoan. Sangat
jelas. Saya tidak terlibat, tapi saya lihat sampai ada yang berkelahi
segala. Tapi saya tidak banyak terlibat, karena sejak tahun 1962 itu
saya sudah berstatus sebagai pegawai negeri.
Suasana panas di Jakarta kelihatan dari adanya demonstrasidemonstrasi di jalanan. Tahun 1962-1965 suasana memanas. Waktu
itu demonstrasi boleh. Pertentangan politik yang terjadi itu antara
yang “revolusioner” dan yang “kontra-revolusioner”. Konon situasi
memanas sejak adanya pidato Presiden Bung Karno yang berjudul
“The Rediscovery of Our Revolution” tanggal 17 Agustus 1959.
Terjadi persaingan publik antara [Partai] Murba dan Partai Komunis
Indonesia [ PKI]. Keduanya memang kiri, tapi berbeda. Kalau Murba
itu dasarnya ‘kan Materialisme, Dialektika, Logika [Madilog], tetapi
kalau PKI dasarnya adalah MDH, yakni Materialisme, Dialektika,
dan History atau Sejarah. Mereka ini satu atap, tapi berbeda. Mereka
bahkan merupakan musuh bebuyutan. Terjadi tuduh-menuduh antara
PKI dan Murba. Itu persaingan yang paling sengit, nomor satu. Yang
nomor dua adalah persaingan antara Tentara lawan PKI, atau PKI
lawan Tentara. Jadi PKI itu di satu sisi melawan Murba, tetapi di sisi
lain juga melawan Tentara. Kalau Partai Nasional Indonesia [PNI]
itu politiknya lain, mendua. Konsep mereka Marhaenis. Persaingan
terjadi antara PNI dengan Partai Indonesia [ Partindo]. Ini persaingan
terbuka yang bisa kita baca di koran-koran. Ini persaingan di bidang
politik.
Di bidang budaya dan sastra terjadi pula persaingan antara
kelompok Islam dan Lembaga Kebudayaan Rakyat [ Lekra]. Kelompok
Islam antara lain diwakili oleh Hamka, sedang kelompok Lekra
diwakili oleh Pram [ Pramoedya Ananta Toer]. Hal itu misalnya tampak
dalam persaingan antara Harian Rakyat dengan rubrik “ Bintang
Timoer”-nya yang kiri dan koran Merdeka serta Berita Indonesia dan
lain-lain. Waktu itu, koran-koran terbagi menjadi tiga kelompok,
yakni kelompok kiri, tengah, dan kanan. Di tengah ada koran yang
bernama Suluh Indonesia, yang haluannya adalah Marhaenisme. Suluh
Indonesia itu haluannya tengah tetapi agak kekiri-kirian dan dimiliki
oleh PNI. Anehnya, Ketua Redaksi Suluh Indonesia itu Sajuti Melik.
Padahal ini milik PNI. Suara Suluh Indonesia itu tidak bisa ditebak.
Tapi tujuannya jelas untuk mempertahankan Sukarnoisme.
Jadi jelasnya, waktu itu kalau yang kiri itu berhaluan Marxis
sedang yang kanan itu jelas berhaluan Islam. Nah, kalau yang tengah
itu tidak jelas. Pokoknya ingin bahwa Indonesia itu status quo dan
Sukarnois. Itu yang saya lihat. Ekonominya waktu itu tetap berdasar
pada Demokrasi Ekonomi [Dekon]. Artinya, ekonomi yang ada di
bawah kontrol langsung negara. Semua ini sifatnya terbuka, bisa dibaca
di koran-koran. Semuanya berkonfrontasi satu sama lain, dan jor-joran
[berlomba-lomba] dalam menggunakan istilah “revolusioner”.
Nah, soal persaingan terbuka yang terjadi antara Tentara dan PKI.
PKI menyerang Tentara dengan konsep “ Nasakom Bersatu” . Tentara
menjawab serangan ini dengan mengatakan “ Nasakom Jiwaku”.
Ini menjadi political issue yang serius. Tentara mendukung Sukarno,
tetapi anti- PKI. PKI mendukung Sukarno tapi anti-Tentara. Ini kan
repot. Ini juga merupakan persaingan yang terbuka pada waktu itu.
Luar Biasa
Sekarang mengenai peranan Pak Karno28, Presiden Sukarno. Pada saat
yang sama sejak 1959, Presiden Sukarno mencanangkan apa yang ia
sebut sebagai “Revolusi Baru”. Idenya mungkin dari Revolusi Perancis.
Dalam Revolusi Prancis [1789] itu kan ada dua tahap. Ada tahap
pertama revolusi, lalu disusul revolusi tahap kedua yang dipimpin
oleh Danton, Robespierre, dan Marat. Revolusi kedua ini dalam
sejarah dunia sering disebut sebagai “the second revolution”. Nah, sejak
tahun 1959 Bung Karno memiliki cita-cita mulia agar terjadi “revolusi
kedua” itu.
Sebetulnya yang menjadi keinginan dia itu sangat agung dan
mulia. Kalau dibahasakan mungkin bunyinya begini, “Saya ingin
supaya sebelum saya mati Bangsa Indonesia ini bersatu—bersatu
antara ideologi-ideologi “Nas” [ Nasionalis], “A” [Agama] dan “Kom”
[ Komunis]”. Kembalilah ke Undang-Undang Dasar ’45 yang akan
mendukung sosialisme Indonesia, sebab cita-cita revolusi adalah
terwujudnya Sosialisme Indonesia atau Keadilan Sosial. Kembalilah ke
cita-cita Revolusi.” Sukarno menilai bahwa demokrasi yang ada sejak
Konferensi Meja Bundar [ KMB] 1949 hingga tahun 1959 itu disebut
Demokrasi Liberal. Yang menyebut “ Demokrasi Liberal” itu Sukarno.
Hal ini bisa dilihat dari pidato-pidato Bung Karno waktu itu.
Bung Karno menyampaikan konsep“samen-bundelling van alle
revolutionaire krachten”—yakni menghimpun semua kekuatan sosialpolitik yang ada dalam satu kekuatan revolusioner. Cita-citanya
sangat mulia. Bung Karno mau menjungkir-balikkan nilai-nilai lama
yang sudah lapuk dengan nilai-nilai yang baru. Mirip dengan gagasan
Nietzsche. Ia mau menjungkirbalikkan nilai-nilai liberal. Untuk bisa
menjungkirbalikkan ya harus ada “samen-bundelling van alle revolutionaire krachten” itu tadi. Itu maksudnya Pak Karno.
Tingkah-laku Sukarno ini diamati baik oleh PKI maupun Tentara. Mereka setuju. Ada konsep “ Nasakom Jiwaku”, mendukung
demokrasi, dan sebagainya. PKI mengatakan itu tadi, “ Nasakom
Bersatu” dan ingin mendominasi. Dalam rangka memperoleh simpati
masyarakat dan sebagainya, PKI menyatakan ofensif revolusioner. Ini
semua dinyatakan terbuka. Kalau Anda buka koran Harian Rakyat,
akan sering Anda temukan istilah: ofensif revolusioner. Jadi semua
kekuatan dikerahkan melalui mobilisasi massa dan sebagainya untuk
tujuan ofensif revolusioner itu. Di segala bidang. Misalnya dalam
melakukan aksi sepihak
Dalam bidang budaya dan sastra, ketegangan juga terjadi.
Misalnya ketegangan antara kelompok KKPI30 lawan Lekra. KKPI
itu kemudian disebut Kelompok Manifes Kebudayaan, disingkat
Manikebu. Istilah Manikebu itu bernada peyoratif atau makian,
karena diasosiasikan dengan mani-nya kerbau. Semua ini bisa dibaca
dalam artikel singkat -artikel singkat yang membahas situasi waktu itu, misalnya artikel singkat
Sebelum Prahara karya Rosihan Anwar.
Ketegangan dalam bidang politik yang terjadi adalah pada bulan
Agustus tahun 1960. Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia [PSI]
dibubarkan oleh Presiden Sukarno [melalui UU No. 200/1960].
Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI ditangkapi semua dan dikurung,
khususnya di Wisma Jl. Keagungan, Jakarta. Ada juga yang ditahan
di tempat lain. Ini semua bisa dibaca di artikel singkat nya Pak Mochtar Lubis,
Harimau, Harimau. Terjadi pula polemik yang dilancarkan oleh
Partai Murba. Ada artikel singkat tentang itu. Polemik antara Harian Rakyat
dan Merdeka. Njoto terlibat dalam polemik ini. Ini menarik, polemik
antara Murba dan PKI , Murba dan Komunis, antara Tan Malakais dan
Komunis. Menarik. Kemudian, PKI menghimpun apa yang disebut
sebagai “Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi”, yakni ajaran-ajaran
Bung Karno. Ini mirip dengan “artikel singkat merah” yang berisi ajaran-ajaran
Mao Tze-tung. Ajaran-ajaran itu dimuat semua surat kabar.
Hal yang aneh pada waktu itu adalah tulisan di koran Suluh
Indonesia. Ada reaksi terhadap “Ajaran-ajaran Pemimpin Besar
Revolusi” itu, yakni dengan cara memuat semua tulisan dan pidato
Bung Karno dari awal sampai akhir, tiap hari. Itu dimaksudkan sebagai
reaksi terhadap tulisan-tulisan Sajuti Melik yang nama samarannya
S. Juti, yang judulnya “Memahami Sukarnoisme”. Itu reaksinya. Ini
aneh. Kok “memahami Sukarnoisme” itu pertama kali dimuat dalam
koran yang namanya Suluh Indonesia, yang adalah milik PNI. Jadi
studi tentang PNI ini penting lho, karena media massanya kok seperti
Murba, tapi kemudian kekiri-kirian.
Ini semua yang bergerak gerak di sekitar tahun 1965. Waktu itu
membaca koran itu menyenangkan. Koran-koran laris, karena semua
bicara soal politik. Tidak ada koran yang asal-asalan. Isi politiknya jelas.
Begitu sebuah koran itu terkesan bergaya “koran kuning” wah, pasti
dipandang tidak beres. Pasti tidak akan mendapat Surat Izin Terbit
( SIT). Itu yang berlangsung sampai tahun 1965, sampai terjadinya
Peristiwa gerakan gerakan 30 September [ G30S]. Itu yang namanya progresif
revolusioner. Suasana demikian juga amat terasa di Universitas
Indonesia di mana saya belajar, khususnya menyangkut masalah perlu
atau tidaknya perploncoan.
Yang juga ramai waktu itu tentu saja adalah soal Konfrontasi
dengan Malaysia. Itu tahun 1964. Itu juga ramai. Nah, situasi yang
paling ramai itu adalah pertentangan antara kelompok “revolusioner”,
istilah PKI , melawan kelompok “kontra-revolusioner”. Kalau ada
orang atau kelompok yang sampai disebut kontra-revolusioner, ya
“fi nished”, habis. Semua itu bisa dibaca di media massa.
Dalam bidang ekonomi, konsep Bung Karno itu hebat. Luar
biasa. Misalnya soal “ Berdikari” [berdiri di atas kaki sendiri]. Saya
mengagumi cita-cita Bung Karno dalam hal ini. Cita-citanya untuk
mengubah masyarakat luar biasa. Dalam istilah yang ia ciptakan, Bung
Karno ingin mengubah Indonesia dari “bangsa tempe” menjadi bangsa
yang terhormat. Bung Karno ingin menjadikan Indonesia menjadi
bangsa yang memimpin bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah.
Terhadap negara-negara yang belum maju, Bung Karno tidak mau
menyebut mereka sebagai “under-developed” melainkan “developing
countries”. Sebenarnya dalam Konferensi Colombo di Yogya masih
mau dipakai istilah “under-developed”. Tapi Bung Karno marah, lalu
minta supaya dipakai istilah “developing countries”. Kalau tak salah
konferensi itu diadakan tahun 1960-an. Para tamu konferensi yang
datang dari luar negeri tinggal di tempat yang namanya Kompleks
Colombo dan letaknya dekat dengan Kampus Universitas Sanata
Dharma di keraton yogya sekarang. Oleh karena itu, jalan di dekat situ
sekarang bernama Jalan Colombo. Konferensinya sendiri diadakan di
beberapa lokasi, termasuk di kampus Universitas Gadjah Mada.
Karirnya Bagus
Tentang apa yang terjadi pada tahun 1965 itu sumber saya ada dua,
yakni pengalaman pribadi dan dari hasil studi. Kalau pengalaman saya
pribadi itu begini. Waktu itu saya tinggal di kawasan Cikini, Jakarta
Pusat. Saya ikut tinggal bersama teman dari ayah saya. Namanya
Mukhlas Rowi. Dia itu Kepala Pusat Rohani [Pusroh] Islam. Saya ikut
dia dari tahun 1962 hingga tahun 1966. Dia menjadi semacam Bapak
saya yang kedua. Beliau itu staf-nya Pak Ahmad Yani. Kantornya tidak
jauh dari Gereja Kathedral Jakarta. saat terjadi peristiwa G30S itu
saya tidak tahu. Pak Mukhlas Rowi juga tidak tahu. Ya memang itu
kan kudeta. Jadi rahasia.
Lama kemudian saya pikir-pikir, saya lakukan studi, mengapa
banyak orang tidak tahu [tentang kudeta ini ], kecuali mereka
yang berkepentingan. Saya lalu baca artikel singkat yang judulnya The Coup
d’Etats. Isinya studi tentang kasus-kasus kudeta. Nama penulisnya saya
lupa. Tapi dia orang Amerika.Tentang Peristiwa 1 Oktober [1965] itu
sesudah saya pikir-pikir, ternyata persis dengan apa yang dikatakan
dalam artikel singkat The Coup d’Etats itu: bagaimana direncanakan, bagaimana
dilaksanakan, dan sebagainya. Pak Karno memang dikudeta. Teori
dan poin-poinnya mirip dengan yang diuraikan dalam artikel singkat itu. Ada
artikel singkat -artikel singkat lain yang juga bicara tentang kudeta. Sifat kudeta memang
rahasia.
Pertanyaannya sekarang, siapa sebenarnya pelaku kudeta itu?
Jelas bahwa kudeta itu dipimpin oleh satu kelompok, satu intrik, yang
rahasia, diketuai oleh Letnan Kolonel Untung. Tahap pertama kudeta
itu sukses, tetapi tahap keduanya gagal. Sudah ada banyak analisis
tentang ini. Bagian kedua dari kudeta ini terbuka, sehingga banyak
orang mengetahuinya. Lalu muncullah seorang tokoh, namanya
Soeharto. Perta nyaannya, mengapa Soeharto muncul sehingga Untung
harus berhadapan dengannya? Siapa sebenarnya Untung? Mengapa
dia memimpin sebuah pasukan gerakan gerakan kudeta? Apa ideologinya?
Kalau Anda baca harian Kompas, Untung itu nama aslinya
Untung Kasmuri. Bukan Samsuri. Ia adalah anggota Batalyon Digdo.
Ini adalah salah satu batalyon dari Divisi Surakarta, di bawah Brigadir
Slamet Riyadi. Pak Digdo itu lengkapnya Sudigdo Honggotirtono.
Dulu untuk memberi nama batalyon itu kan meniru zaman Jepang.
Jadi kalau ada batalyon ya dinamakan menurut komandannya. Jadi
ada Batalyon Bedjo, ada Batalyon Malau, Batalyon Mukhlas, Batalyon
Sumitro, dan sebagainya.
Pak Digdo itu mantan Pasukan Pembela Tanah Air [ PETA]. Tetapi
Pak Digdo ini berhaluan kiri. Dan dia juga terlibat dalam Peristiwa
Madiun 1948. Dia ikut berontak di Solo. Nah, salah satu anggota
Batalyon Digdo itu namanya Untung. Yang jelas dia itu kan bekas
Bintara. Kalau Bintara, zaman dulu itu, Nomor Registrasi Personil
[NRP]-nya itu enam angka. Kalau Perwira itu lima angka. Itu dulu lho
ya? Yang sekarang saya tidak tahu. NRP itu sampai mati. Kemudian
karir Untung ini naik terus sampai jadi Komandan Banteng Raiders.
Di Semarang. Kalau tak salah dia menggantikan Pak Sugijono. Ini
Letnan Kolonel Infantri Sugijono, Kepala Staf Korem 72 yang kelak
dibunuh di Yogya itu. Dia wakilnya Brigjen Katamso, Komandan
Korem 72 keraton yogya . Tapi Untung itu sebelumnya, pada zaman Pak
Harto di Trikora, dia berada dalam Kesatuan Angkatan Darat Mandala
yang diterjunkan di Irian Barat. Dan kata Ben Anderson itu, Untung
pernah jatuh di kamp Belanda, lalu ditawan atau apa... Pokoknya
nasibnya jelek-lah dia itu. Nah, dalam kemiliteran itu memang,
yes, orang ini karirnya bagus. Dia bisa naik jenjang menjadi militer
lapangan, begitu, walaupun pendidikannya kurang. Tapi saya melihat
bahwa kalau bekas Batalyon Digdo itu landasan ideologinya sudah
komunis. Mungkin kemudian ada yang berubah, ada yang tetap, dan
sebagainya. Itu hal lain.
Begitu Dekat
Nah, lalu banyak yang menanyakan bagaimana hubungan dan ikatan
antara Soeharto dengan Untung, dan sebagainya. Lha memang, dalam
Tentara itu ada ikatan-ikatan tertentu. Orang yang tidak mempelajari
militer itu sering salah menafsirkan. Dalam sejarah Tentara kita, Tentara
Nasional Indonesia [ TNI] itu berangkat dari Tentara Revolusi. Tentara
Revolusi ini merupakan bagian dari Generasi’45 dan berlangsung
sampai katakanlah sekitar tahun 1982-an. Si Katharine McGregor
[penulis artikel singkat History in Uniform, ed.] itu keliru. Dia tidak tahu
bagaimana Tentara Revolusi ini. Pada zaman Revolusi itu, kita ini kan
tidak punya tentara. Yang ada adalah tentara rakyat atau people’s army.
Waktu itu semua orang bebas, boleh angkat senjata.
Yang namanya organisasi pergerakan gerakan tentara itu ‘kan baru kemudian, yakni
sesudah tanggal 5 Oktober 1945 itu. Itu pun mulai dengan Badan
Keamanan Rakyat [ BKR]. BKR lahir karena adanya anjuran, bukan
karena dibentuk. BKR lahir karena dianjurkan oleh Pak Karno, “Hai,
kamu akan dibentuk tentara”. Tapi waktu itu rakyat kan memang
sudah sadar mau berjuang untuk kemerdekaan. Mereka lantas ada yang
masuk BKR, ada yang masuk laskar-laskar, yakni laskar-laskar dengan
segala latar belakang ideologinya. Pokoknya semuanya revolusioner.
Lalu lahirlah apa yang disebut sebagai “tentara revolusi”. Tapi untuk
paham soal “revolutionary army” ini dibutuhkan studi secara khusus.
Kalau saya sendiri, saya membandingkan Tentara Revolusi kita itu
dengan bagaimana terbentuknya tentara revolusi di Uni Soviet. Juga,
dengan bagaimana terbentuknya tentara revolusi Amerika Serikat.
Ingat, tentara Amerika itu bermula dari tentara revolusi juga. Kalau
tentara Malaysia, India, Pakistan, dan sebagainya itu bukan tentara
revolusi tapi “tentara reformasi”. Banyak artikel singkat bisa dibaca tentang hal
ini.
Jadi Tentara Revolusi itu karakternya khusus. Semua begitu.
Tentara China juga begitu. Yang pertama karakternya itu adalah
kuatnya solidaritas atau rasa persaudaraan di antara mereka. Dalam
bahasa sekarang, jiwa korps-nya sangat kuat. Yang kedua, demokratis.
Tentara Revolusi itu sifatnya demokratis. Jadi Tentara kita itu
berangkat dari ciri-ciri seperti itu. Jadinya ya demokratis. Memang
agak aneh, tentara kok demokratis. Itu kan contradictio in terminis.
Tapi ini tentara revolusi. Dan ini tidak dipahami oleh orang-orang
yang menulis tentang militer di Indonesia itu. Padahal memang
kenyataannya begitu, yakni bahwa Tentara kita berangkat dari latar
belakangnya sebagai tentara revolusi. Terjadi ikatan satu korps, satu
jiwa: ini “Bapak”-mu, yang lain anak-anaknya.
Selain itu, tentara revolusi juga merasa bahwa mereka memiliki
hak-hak politik. Mereka tidak memisahkan antara politik dan militer.
Mereka memandang diri sebagai pejuang, baik pejuang bersenjata
maupun pejuang politik. Yang melakuan pembagian antara pejuang
politik dan pejuang bersenjata itu Nugroho [Notosusanto]. Tapi yang
jelas semua mengaku diri sebagai pejuang, sebagai freedom fi ghters.
Itulah karakter dari tentara revolusi.
Tapi kalau masalah pendidikan ya jangan ditanya-lah. Waktu itu
orang buta huruf juga diterima sebagai tentara. Tapi jiwa mereka untuk
mempertahankan hak untuk merdeka itu sangat kuat. Jadi movitasi
perjuangannya itu sangat kuat. Bahkan komandan-komandan saja
hanya Sekolah Menengah Pertama [SMP] kok sekolahnya. Lihat
saja riwayat tentara-tentara itu. Memang ada yang sekolahnya
tinggi atau yang akademisi, tapi itu minoritas. Bisa dihitung dengan
jari. Misalnya Nasution. Tapi kebanyakan ya freedom fi ghters itu.
Bayangkan saja, seperti Pak Bedjo itu ‘kan buta huruf. Dia komandan
batalyon. Demikian juga Malau, Abdullah yang tukang becak, semua
itu komandan batalyon. Dan semuanya jalan. Mereka dihormati oleh
anak-buah masing-masing. Jarang, tentara kita yang mengerti politik
dan sebagainya. Tapi solidaritasnya sangat tinggi. Di Uni Soviet juga
begitu. Jadi sifat tentara revolusi yang demikian itu sifatnya universal.
Maka kita di Indonesia juga begitu. Begitu merasa satu korps, ya sudah
mereka sangat dekat.
Oleh karena itu, aneh bahwa orang menebak-nebak kedekatan
Soeharto dengan Untung. saat Soeharto datang ke pernikahan
Untung lalu ditafsirkan lain... Ya gimana sih, kan bekas komandan
batalyon-nya? Untung itu mantan komandan batalyon yang
diterjunkan di Irian. Sementara itu Pak Harto ya tentara tulen. Ada
banyak cerita tentang Pak Harto yang menyatakan bahwa Pak Harto
itu semangat korps-nya sangat kuat. Jiwa korpsnya kuat. Sementara itu
Untung adalah anak buahnya. Ini yang tidak dipahami oleh beberapa
peneliti yang non-militer. Ini tidak dipahami. Bagi Pak Harto siapa
pun yang menghadap dia yang bekas anak buahnya, tentu dia terima
dan dia bantu. Ini terjadi karena jiwa korps-nya sangat tingg
Yang seperti ini tidak hanya terjadi pada Pak Harto saja. Juga pada
Bung Tomo, misalnya. Saya pernah ke rumahnya yang terletak di Jl.
Blitar itu. Di sana saya lihat tamunya itu banyak sekali dan mereka ini
adalah anak buah Bung Tomo. Bagaimana itu mungkin kalau bukan
karena jiwa korps-nya luar biasa. Meskipun sekian tahun sudah lewat,
Bung Tomo masih menganggap saya sebagai anak buahnya, dan dia
merasa diri sebagai “bapak buah” saya. Semua itu masih berlaku pada
waktu itu, yakni di antara tentara Angkatan ’45. Jadi tidak malumalu anak buah itu meminta sesuatu kepada bekas atasannya. Kalau
sekarang, wah, lain. Beda sekali.
Dari jiwa korps yang kuat itu memang lalu lahir “bapakisme”
itu. Yang terjadi bukan soal primus inter pares, tapi hubungan “patronklien”. Para peneliti non-militer biasanya tidak memahami keadaan
para tentara revolusi ini. Bagi seorang tentara revolusi, meskipun tidak
senang pada seseorang, tetap saja akan bersikap hormat pada orang
itu, karena dia merupakan teman seperjuangan. Ini tidak dipahami
oleh beberapa peneliti non-militer.
Yang kita bicarakan tadi memang kasus Pak Harto ya. Tapi hal
serupa juga terjadi di Mesir atau di mana saja. Tentara revolusi itu
patriot, pembela negara. Pak Nasution pernah mengatakan, tentara
itu “pemilik saham utama” dari Republik ini. Itu kata Pak Nas. Hal
ini menunjukkan bahwa jiwa korps militer itu sangat kuat. Nah, ini
yang sering tidak dipahami oleh para penulis sejarah militer ini .
Kalau mau tahu bagaimana hubungan Soeharto dan Untung ya
[pahamilah] hubungan Komandan atau Panglima dan anak buah,
gimana sih? Kalau ada bekas anak buah yang menghadap bekas
Panglima, tentu sang bekas Panglima sudah tahu bahwa bekas anak
buah itu sedang ada apa-apa. Maksudnya sedang ada masalah dengan
soal kesejahteraan dan sebagainya, entah itu anaknya mau sekolah,
atau sedang ada anggota keluarga yang sakit, atau apa. Memang
hubungan kesatuan sudah putus, tapi hubungan kejiwaan kan tetap
ada. Jadi kalau ada bekas komandan memenuhi undangan bekas anak
buah itu biasa. Saya sendiri juga akan begitu. Itu merupakan suatu
kehormatan. Kehormatan yang sifatnya timbal balik antara dia dan
saya.
Jadi hubungan antara Pak Harto dengan Untung itu jangan dilihat
lain selain sebagai bagian dari karakter tentara pejuang. Hubungan
antara anak buah dengan komandan itu begitu dekat. Kalau bawahan
mengatakan “Mohon menghadap”, komandan sudah tahu, pasti
bawahan itu sedang membutuhkan sesuatu dan biasanya diberikan.
Itu biasa di antara tentara Angkatan ’45.
Pulau Buru
Tentang Pak Harto sendiri, Pak Harto itu kan berangkatnya dari
seorang kopral di KNIL,31 sebelum zaman perang. Dulu, dia masuknya
dari Gombong, Jawa Tengah. Di sana, dia mulai pelatihan prajurit.
Di sana, dia sekolah kadernya. Di sana, latihan dasarnya. Kemudian
dari sana, dia naik-naik terus pangkatnya sampai akhirnya menjadi
Jenderal.
Waktu terjadi peristiwa gerakan gerakan 30 September itu, Pak Harto
tahu siapa yang memimpin, yakni Untung, karena disiarkan di Radio
Republik Indonesia [ RRI]. Sebetulnya, Pak Harto juga sudah tahu
siapa Untung itu. Kan Untung anak buahnya. Pak Harto juga tahu
kalau Untung itu dekat dengan PKI , dengan komunis. Nah, ini yang
jarang diketahui umum. Mengapa Soeharto bertindak? Tentang hal
ini, ada banyak interpretasi. Itu pun macam-macam.
Padahal sebenarnya begini. Waktu itu di Angkatan Darat Pak Harto
kan second in command sesudah Jendral A. Yani. Ia komandan nomor
dua. Dia Panglima KOSTRAD. Komandan pertama itu namanya
Jenderal. Tahun 1962 bulan Juni, Presiden Sukarno mengadakan
reorganisasi pergerakan gerakan Angkatan Bersenjata Indonesia. Ini informasi dari hasil
studi lho ya? Dia mengubah sistem yang lama yakni sistem staff, seperti
Kepala Staff Angkatan Darat, Kepala Staff Angkatan Laut, Kepala
Staff Angkatan Udara menjadi Panglima. Yang dulu Kepala Staff itu
sekarang menjadi Panglima. Jadi sekarang ada Panglima Angkatan
Da rat, Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Udara, Panglima
Kepolisian. Dengan kata lain, yang ada sekarang adalah ke-panglimaan. Panglima-panglima angkatan ini dibawahi oleh Panglima Tertinggi,
atau Pangti. Ini commander-in-chief-nya.
Kalau di Angkatan Darat Panglimanya itu Jendral A. Yani. Di
bawah Panglima Angkatan Darat ( PANGAD) ada Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat ( KOSTRAD). Meskipun punya komando,
KOSTRAD itu hanya cadangan. Tidak punya pasukan khusus.
Pasukannya tersebar. KOSTRAD ini dipimpin PANGKOSTRAD dan
berada di bawah PANGAD. Selain membawahi PANGKOSTRAD,
PANGAD juga membawahi KODAM-KODAM beserta PANGDAMnya masing-masing.
PANGKOSTRAD tidak punya pasukan. Pasukannya tersebar.
Tersebar pada KODAM-KODAM. Untung dan Banteng Raiders itu
pasukan KOSTRAD, atau lebih tepatnya di bawah KOSTRAD. Kan
ada di Semarang? Misalnya Brigade Kujang. Itu di bawah KOSTRAD.
Tapi tempatnya ya di sana, tidak di Jakarta. Di Solo juga ada brigade.
Itu di bawah KOSTRAD. KOSTRAD sendiri tidak punya pasukan.
Nah, kalau PANGDAM itu membawahi teritorial. Waktu itu istilahnya
pakai A, B, C, dan sebagainya. Bukan pakai nomor. Misalnya Batalyon
Katamso yang di Kentungan, keraton yogya , itu batalyon teritorial. Itu
di bawah PANGDAM. Nah, soal pemeliharaan itu urusan setempat.
Jadi pembinaan itu di bawah KODAM, bukan oleh KOSTRAD.
KODAM tidak boleh menggerakkan pasukan.
Nah pemimpin tertinggi Angkatan Darat kan Yani? Kalau yang
kedua ya Soeharto, sebagai second in command. Maka, mengapa pada
tanggal 1 Oktober 1965 itu Soeharto bertindak? Karena dia tahu
bahwa komandannya dibunuh. Enam perwira tinggi Angkatan Darat
kok dibunuh. Siapa yang membunuh? Tahu-tahu Untung. Wah,
kurang ajar Untung ini. Di sini lalu muncul jiwa korps-nya yang
tinggi. Lalu dia meneliti siapa Untung itu. Kok Untung berkhianat?
Lalu siapa di belakangnya? Ternyata PKI . Selain PKI siapa lagi yang
kira-kira mendukung Untung? Ternyata Angkatan Udara. Itu ada
hasil interogasinya, memang. Pak Harto menganalisis semuanya
yang terjadi tanggal 1 Oktober itu. Cepat sekali. Soeharto memang
hebat. Harus diakui itu, kecepatannya dalam menganalisis situasi.
Siapa ini? Untung. Wah, Untung mesti PKI , begitu dia langsung
menyimpulkan.
Bagaimana Pak Harto tahu bahwa itu Untung? Tentu saja,
karena sudah kenal sebelumnya. Untung anak buahnya. Di mana
basisnya? Halim [Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma]. Siapa
di situ? Omar Dhani. Lalu dipanggillah Resimen Para Komando
Angkatan Darat [ RPKAD] untuk mengamankan situasi. Untuk
merebut kembali keadaan. Itu namanya counter- coup. Jadi ada coup
d’etat, lalu ada counter- coup untuk menggagalkannya. Lalu coup itu
gagal. Nah sekarang siapa pelakunya? PKI . PKI kan? PKI itu unsur
Nasakom. Angkatan Darat lalu bertanya kepada Bung Karno, “Pak
bagaimana PKI ini?” Bagi Angkatan Darat ini sudah jelas, “Mereka
telah membunuh rekan-rekan saya.... Jadi singkatnya bagaimana
Pak?!” Angkatan Darat atau Soeharto ini keukeuh minta supaya PKI
dibubarkan. Nah, Sukarno berada dalam cobaan.
Singkatnya saja ya? Pokoknya, Angkatan Darat itu tidak bisa
terima bahwa Panglimanya dan kawan-kawannya dibunuh oleh PKI
yang menggunakan Untung. Lalu mengadu pada Bung Karno: Pak
bagaimana ini PKI , sudah jelas, dan sebagainya. Tapi tampaknya,
Bung Karno ragu-ragu atau apa. Tapi ini tafsiran dari saya lho ya?
Berdasar pada apa yang saya baca mengenai dialog-dialog Sukarno
dengan Soeharto, pada intinya Soeharto mengatakan, “Pak, bubarkan
PKI , Pak. Nanti kalau PKI sudah dibubarkan ya kita aman, Pancasila
aman”. Ini ada dialognya. Lalu Pak Karno ya seperti biasa, “To
[maksudnya Soeharto], kita itu sudah punya Nasakom. Dan Nasakom
itu sudah saya populerkan ke seluruh dunia. Kita ini punya kesatuan
antara nasionalis, agamawan, dan komunis. Semuanya jadi satu. Lha
kalau saya bubarkan, lalu bagaimana konsep saya? Kan saya malu,
malu pada dunia.” Itu yang pertama.
Yang kedua, Pak Karno mengatakan,“Kalau PKI saya bubarkan,
pemimpin-pemimpin PKI akan melakukan gerilya politik. Kamu
akan sulit menghadapi mereka.” Nah, ini ditangkap oleh Pak Harto,
lalu dianalisis. Dia berpikir, “Kok Pak Karno, Pak Presiden, ini tidak
mau benar-benar membubarkan PKI . Hanya janjiii... saja. Janji terus.
Dia hanya delaying action.” Di mata Soeharto, pemimpin begini
sudah tidak bisa dipercaya. Pak Harto sudah tidak percaya lagi pada
Pak Karno. Pokoknya wibawa Sukarno di mata Angkatan Darat sudah
turun. Di mata Pak Harto wibawa Sukarno sudah merosot. Maka
kritislah situasinya. Di mata Angkatan Darat, Sukarno itu sudah
menjadi tidak adil. Dia menjadi sangat kiri.
Kesimpulannya, kalau begitu Bung Karno ini membela PKI . Itu
yang pertama. Yang kedua, soal gerilya politik, omongan Bung Karno itu
dianalisis juga oleh Soeharto. Soeharto berpikir, “Daripada... daripada
direcokin [diganggu] oleh pemimpin-pemimpin PKI , ya tangkapi saja
itu pemimpin-pemimpin PKI , dan kader-kadernya. Kumpulkan saja di
satu tempat.” Sehingga‘ kan lahirlah gagasan mengenai [pembuangan
ke] Pulau Buru itu. Jadi dasarnya ya perkataan Bung Karno sendiri.
Bagi Soeharto, daripada diganggu oleh gerilya politik, lebih baik
ya mengambil tindakan tertentu untuk menghindarinya. Jadi katakata Pak Karno itu diterima secara tersendiri oleh Soeharto dengan
menggunakan pikirannya sendiri. Banyak yang ditangkap, tapi itu lalu
menimbulkan problem berkaitan dengan soal memberi makanan dan
sebagainya. Susah itu. Maka perlu dikumpulkan di satu tempat. Sekali
lagi dari situ kemudian lahirlah pikiran untuk mengirim mereka ke
Pulau Buru.
Sukarno Bisa Kecolongan
Nah, sementara itu terjadi pertarungan politik, yakni pertarungan
politik antara Sukarno dan Soeharto. Pertarungan politik. Ya? Jadi
kalau Anda membaca artikel singkat B.M. Diah, dalam pertarungan politik
ini Pak Karno kalah. Mengapa Sukarno kalah? Kata B.M. Diah,
karena Sukarno berjuang sendirian. Dia sendiri! Benar-benar sendiri.
Dia sendirian dalam menghadapi tekanan dari Angkatan Darat. Ke
mana pendukung-pendukung Sukarno? Nah, sebenarnya pendukung
Sukarno dalam masa krisis ini adalah PKI . Tapi PKI sudah di-“operasi”,
sudah bubar. Secara formal belum bubar, tapi sudah kocar-kacir.
Kekuatannya sudah hancur. Baik yang di militer maupun kader-kader
sudah hancur. Selain itu, semua pembantu Sukarno sudah diisolisasi
dari Sukarno. Istilah militernya, knocking the props. Itu yang pertama.
Yang kedua, semua pembantu Sukarno sudah diisolisasi.
Terhadap Sukarno, pihak Angkatan Darat telah melakukan apa yang
sering disebut sebagai “knocking the props”, menghancurkan tiangtiang penyangganya. Bres! Bres! Bres!... Dihancurkanlah tiang-tiang
penyangganya, dan Sukarno tinggal sendirian. Tiang penyangga dia
itu kan para pendukungnya, terutama massa. Begitu ada yang knocking
the props, dok-dok-dok, hancurlah dia.
Yang ketiga, Soeharto berhasil meminiaturisasi, mengerdilkan,
menjadikan miniatur, seluruh organisasi pergerakan gerakan buatan Sukarno. Bukan
hanya yang buatan Sukarno saja, melainkan semua organisasi pergerakan gerakan yang
mendukungnya. Kalau “props” itu kan orangnya. Ini organisasi pergerakan gerakan nya.
organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan itu diminiaturkan.
Misalnya Komando Operasi Tertinggi [ KOTI]. Sebagai kepala
pemerintahan, jabatan Sukarno adalah presiden. Tetapi sebagai
Panglima KOTI dia adalah Panglima Tertinggi [Pangti]. Sebagai
Panglima KOTI, kekuasaan Sukarno luar biasa. Tapi Pak Harto
bisa meminiaturisasinya. Waktu itu kan lagi ramai-ramainya operasi
“ Ganyang Malaysia”. Pak Harto lantas mengganti KOTI menjadi
Komando Ganyang Malaysia [KOGAM]. Pak Karno tidak lagi
menjadi Pangti KOTI melainkan Pangti KOGAM saja.
Lalu mengingat bahwa pasca- gerakan gerakan 30 September, Soeharto
diperintahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban maka ia
membentuk sebuah komando yang namanya KOPKAMTIB, yakni
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Sementara
Soeharto membuat KOTI semakin kecil perannya, ia membuat
KOPKAMTIB makin berkembang perannya. KOTI dimi niaturisasi,
tapi KOPKAMTIB dibuat besar. Besaaarrr... sekali. Padahal
KOPKAMTIB itu cuma “anak”-nya KOTI. Sukarno tidak sadar kalau
ia sedang digembosi. Wessss..! Lalu Sukarno tidak bisa apa-apa lagi. Dia
hanya boleh “mengganyang Malaysia” saja. Mungkin saja, ia masih
merupakan Pangti, tapi de facto kekuasaan ada pada Soeharto. Begitu
KOTI bubar, Sukarno tidak punya kekuasaan apa-apa. Soeharto
berhasil meminiaturisasi kekuasaan Sukarno.
KOPKAMTIB itu dipakai oleh Soeharto untuk pertama-tama
membasmi PKI , tapi sekaligus untuk meminiaturisasi Sukarno. Dan
Sukarno tidak mampu melawan kekuatan Angkatan Darat yang sangat
terorganisasi pergerakan gerakan . Sukarno juga tidak mampu berbuat banyak saat ada
demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Pada satu sisi mahasiswa itu ada
unsur spontannya, tetapi pada sisi lain juga merupakan bagian dari
operasi untuk meminiaturisasi Bung Karno. Mahasiswa adalah bagian
dari operasi sosial-politik [sospol].
Dalam menghadapi lawannya, tentara revolusi itu kan
menggunakan dua “senjata” yakni senjata teknologi dan senjata sosial.
Senjata teknologi itu dipakai saat menghadapi lawan yang
bersenjata, sedang senjata sosial itu dipakai untuk menggunakan
lawan yang non-kombatan. Bentuknya bisa macam-macam: bisa tekanan, bisa fi tnah, bisa yang lain. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa
adalah bagian dari “senjata sosial” untuk melawan non-kombatan
itu.
Dan ternyata, Sukarno tidak mampu menghadapinya. Dalam
pertarungan itu, ia terus kalah. Dan puncak dari kekalahan dalam
pertarungan itu adalah munculnya Surat Perintah 11 Maret [1966]
atau Supersemar. Orang boleh tertawa, tapi adanya Supersemar itu
menunjukkan bahwa Sukarno bisa kecolongan. Supersemar berarti
“skaak-mat” untuk Soekarno. Yah, ini tafsiran saya setidaknya. Tapi
tafsiran ini berdasarkan analisis.
Sudah Habis Kekuasaannya
Yang jelas Sukarno sudah tidak bisa apa-apa lagi. Mau apa Sukarno?!
Teriak, dia sudah tidak bisa lagi. “Props”-nya sudah berjatuhan. Tak ada
lagi pendukungnya. Massa pendukung dia sudah diisolasi. Sementara
itu organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan pendukungnya telah diminiaturisasi. Ya,
kan?
Sementara itu Angkatan Darat begitu terorganisasi pergerakan gerakan . Kompak.
Angkatan Darat itu kompak, kecuali yang berpihak ke PKI . Tapi
mereka yang memihak PKI segera diserbu dengan kekuatan militer
penuh. Apalagi sesudah Bung Karno menyatakan bahwa revolusi sering
memakan anak-anaknya sendiri. Tapi ternyata revolusi tidak hanya
memakan anak-anaknya, melainkan juga “Bapak”-nya. Buktinya ya
Supersemar itu.
Tentang Supersemar memang ada berbagai versi. Tapi macammacam versi itu hanya bohong saja. Sudah jelas Sukarno itu kalah,
sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Semua kekuasaannya sudah
digembosi. Sudah hancur. Ia bahkan sempat bertanya kepada
Soeharto,“Aku iki arep kok kapakake?” [Saya ini sebenarnya mau kamu
apakan?]. Sukarno sudah hancur. Pak Harto itu tetap orang Jawa ya?
Ditanya begitu bahasanya wah, tetap halus, tetap bagus.
Dalam penyusunan naskah Supersemar itu tidak ada rekayasa.
Waktu itu Pak Harto sakit. Apakah itu sakit politik atau bukan,
saya tidak tahu. Tapi yang jelas mereka yang datang ke Istana Bogor
itu adalah orang-orang yang setia pada Pak Karno. Mereka adalah
pencinta Bung Karno sejati. Basuki Rachmat misalnya. Dia itu mantan
Sekretaris Bung Karno sebagai Panglima PEPERTI, Penguasa Perang
Tertinggi. M. Jusuf juga Sukarnois. Amir Machmud itu kalau melayani
Bung Karno ya total. Ia melayani segalanya. Umar Wirahadikusumah
apalagi. Kalau di kalangan tentara, ia bahkan dikenal sebagai “antek
Bung Karno”. Apalagi Sabur. Sabur itu ajudan Bung Karno sendiri.
Ia adalah Komandan Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Pribadi Bung
Karno sebagai Presiden. Wakilnya Maulwi Saelan. Panggabean tidak
ikut ke Istana Bogor. Ini bisa dicek di Log Book Istana.
Soal naskah Supersemar, menurut saya draft pertamanya itu
tulisan tangan yang didiktekan oleh Bung Karno ke Sabur, baru
kemudian diketik. Kalau naskah Proklamasi kan yang menulis Bung
Karno. Kalau naskah Supersemar itu yang menulis pertama adalah
Sabur. Baru kemudian diketik.
Pokoknya dengan Supersemar itu Pak Karno sudah habis
kekuasaannya. Sudah skaak mat [tak ada jalan keluar]. Dia sudah
mengalami stalemate [jalan buntu]. Kalau menurut saya begitu. Saya
ini tidak ada kepentingan untuk membela Sukarno atau Soeharto.
Menurut saya dalam penyusunan Supersemar itu tidak ada yang
berkhianat. Bagaimana mungkin? Wong menulisnya saja bertiga kok.
Jadi kalau mereka berkhianat pada Sukarno itu impossible. Apalagi itu
tentara. Tentara itu melihat komandan di atasnya saja takut. Jaraknya
seperti bumi-langit. Cintanya tentara-tentara itu pada Sukarno itu luar
biasa. Tidak ada yang berani menggantikan Sukarno. Apalagi Sukarno
itu Presiden seumur hidup ‘kan?
Melahirkan Balasan
Nah, tetapi saat Sukarno mulai dianggap tidak adil, ya tidak ada cara
lain. Bung Karno itu pemimpin, tetapi tidak bisa dipercaya. Angkatan
Darat merasa begitu. Ini kesimpulan saya. Ya, Sukarno harus diganti.
Tetapi bagaimana mengganti Sukarno itu kan susah. Siapa berani
mengganti Sukarno? Sekali lagi, ia itu Presiden seumur hidup. Dan
itu sah. Dan itu merupakan keputusan MPRS. Tapi Pak Harto kan
pinter. Dia panggil MPRS. Dia panggil sisa-sisa anggota MPRS pascapembersihan.
Kalau ingin menjatuhkan Sukarno melalui kudeta, tidak akan
bisa. Rakyat tidak akan terima. Maka Pak Harto panggil MPRS. Dia
bilang, tolong ini. Lalu Sukarno dipanggil ke MPR. Dia lalu pidato
macam-macam. Antara lain ya pidato Nawaksara itu. Pokoknya untuk
kepentingan sejarah, ia mengatakan ada orang yang tidak baik, ada
pemimpin PKI yang keblinger [tersesat], dan sebagainya.
Lalu ada interpretasi macam-macam. Tapi pertanyaan adalah
apakah Soekarno telah melaksanakan pembubaran PKI . Kalau sudah,
mengapa tidak melapor. Dari sini lalu timbul pandangan macammacam. Ada orang seperti Asvi [Dr. Asvi Warman Adam] yang
mengatakan ini kudeta merangkak, lalu ada John Roosa [Dr. John
Roosa, penulis artikel singkat Dalih Pembunuhan Massal, ed.] yang mengatakan
lain lagi, dan sebagainya. Yang jelas Pak Harto mengatakan pada
MPR, “Ini masalahnya. Terserah mau diapakan”. Kalau MPR mau
“menyodok” sendiri Sukarno ya terserah.
Nah, dalam kaitan dengan ini, ada satu Angkatan dalam militer
yang dianggap terlibat gerakan gerakan 30 September, yakni Angkatan Udara.
Kalau menurut kajian saya tentang pertanyaan apakah Omar Dhani
itu PKI , hal itu tidak pernah terbukti. Dalam bahasa Jawanya bisa
ditanyakan “Ketemu pirang perkara kok Omar Dhani terlibat PKI ?”
Artinya, mana mungkin Omar Dhani terlibat? Sebab latar belakang
Omar Dhani itu lain. Dia bangsawan. Kalau tak salah keturunan
Raden Mas kan? Iya, Raden Mas. Itu yang pertama. Yang kedua, dia
itu hidupnya kan borjuis, bukan proletar. Apalagi dia ganteng sekali
orangnya. Julukannya “Gatotkaca”. Kalau secara ilmu Komunis, apa
mungkin orang seperti dia itu bisa masuk PKI ? Orang mau masuk
PKI itu “diurut”, dicari dia itu keturunan siapa, jasanya apa, dan
sebagainya. Harus keturunan proletar. Padahal Omar Dhani kan
keturunan bangsawan, keturunan feodal. Jadi tidak bisa masuk PKI .
Dengan kata lain, impossible.
Pertanyaannya, mengapa kok sampai ada tuduhan dia terlibat
PKI ? Karena dia itu Sukarnois. Dia itu Sukarnois “tanpa reserve”
menurut istilah waktu itu. Sukarno sendiri juga merasa cocok dengan
Omar Dhani. Dalam beberapa tahun, dia cepat sekali naik pangkat.
Dia sendiri yang mengatakan pada saya. Saya kenal dengan Omar
Dhani.
Dia Sukarnois sejati. Dia itu orangnya sensitif. Bagi dia, siapa pun
yang mengganggu Sukarno akan dia lawan. Sukarno akan dia bela
sampai titik darah penghabisan. Mungkin dia mendapat informasi
atau dibisiki bahwa akan ada gerakan gerakan yang dapat membahayakan
keselamatan Pemimpin Besar Revolusi. Maka dia langsung masuk.
Tapi dia lupa bahwa dia itu Panglima dari sebuah Angkatan yang
kekuatannya sangat besar! Dan mungkin terbesar di Asia Tenggara.
Nah, oleh karena itu saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Omar
Dhani ini tidak tahu politik, tapi ikut main politik. Dia itu tentara
yang dipermainkan oleh politik. Dipermainkan. Bukan membiarkan
diri, tapi dipermainkan. Dia itu bukan orang politik. Dia itu tentara.
Dia tidak tahu politik. Tapi lalu dia mendukung gerakan gerakan 30
September dan mengeluarkan surat perintah harian segala. Bagi dia
pokoknya Sukarno. Sukarno. Dia tidak tahu bahwa Sukarno sudah
dijadikan “anak catur” oleh PKI . Tema dari gerakan gerakan 30 September itu
“menyelamatkan Sukarno” kan? Sebaliknya Soeharto dituduh kontrarevolusi dan akan membunuh Sukarno. Tapi kenyataannya Bung
Karno selamat ‘kan?
Lalu ada Supersemar itu tadi. Sejak itu Pak Harto mengambil
berbagai tindakan politis, seperti membentuk presidium, dan
sebagainya, dan Sukarno diam saja. Dia sudah tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Dia masih pidato soal “Jasmerah” [Jangan sekali-sekali
meninggalkan sejarah], tapi gemanya juga sudah tidak ada. Lha
siapa lagi “bala” atau pendukung dia? Sudah tidak ada. Kalau pun
ada, mereka ini sudah tidak akan berani menuntut Pak Harto. Kan
semua tentara yang mendukung dia dan PKI sudah dihancurkan?
Para pemimpin PKI sudah tidak tentrem [tidak tenteram]. Mereka
dikejar di mana-mana. Yang bergerak gerak cuma Sudisman yang dikenal
dengan kritik-otokritik-nya itu. Yang dia kritik kepemimpinan Aidit.
Menurutnya, Aidit sudah jadi diktator. Tidak demokratik lagi seperti
sebelumnya. Tradisi kritik-otokritik sudah dihilangkan. Sudisman
sangat mengkritik Aidit yang menurutnya berusaha menyamakan
masyarakat Indonesia dengan masyarakat China. Konsep-konsep
Partai Komunis China [ PKC] mau diterapkan di Indonesia begitu
saja. Konsep-konsep pemikiran dan perjuangan Partai Komunis China
Tiongkok mau dipakai begitu saja. Pandangan-pandangan Aidit
persis sama dengan pandangan-pandangan Mao Tze-tung. Sekadar
“fotokopian”-nya saja.
Sudisman memberi contoh, misalnya Aidit ingin menerapkan
gagasan tentang tuan tanah yang jahat. Lha di sini kan tidak ada
tuan tanah? Ada kyai, tetapi Aidit melupakan kepemimpinan sosial
para kyai. Tapi oleh Aidit mereka dituduh begitu saja sebagai tuan
tanah. Padahal ‘kan berbeda. Nah, tapi lalu diadakan gerakan gerakan Aksi
Sepihak dan sebagainya. Nah, tindakan-tindakan seperti ini nantinya
melahirkan balasan yang juga luar biasa besarnya, yang luar biasa
ngerinya.
Menjadi Gila
Pandangan saya pribadi tentang tragedi nasional [1965] itu, yah, itu
rumit ya? Yang jelas kalau tragedi itu dibebankan pada tentara saja ya
itu tidak bisa. Itu ‘kan melibatkan massa. Saya juga anu ya... sebab
itu ‘kan akibat saja. Yakni akibat dari perbuatan PKI . Pada masa yang
disebutnya sebagai “progresif revolusioner” PKI telah menyakiti hati,
menyakiti lawan-lawannya. Misalnya ya menyamakan masyarakat kita
dengan masyarakat China itu tadi. Kelihatannya masyarakat kita setuju
dan tidak mengadakan counter-offensive. Tapi begitu gagal gerakan gerakan nya,
ya rakyat yang dulu dikatakan kontra-revolusi ya bertindak...
Tapi ya sudahlah, ini merupakan sejarah bangsa kita yang memang
mengerikan.... ya patut disesalkan. Namun demikian, semuanya
sudah terjadi. Apakah kekerasan yang terjadi itu kekerasan antara
kaum feodal dengan proletar, ya tidak. Yang terjadi kan proletar lawan
proletar, petani lawan petani. Gimana sih? Apalagi saat PKI sudah
kalah itu ya, tidak ada jalan lain kecuali ....[kalimat tidak diteruskan,
ed.]. Ya sudah... [kalimat tidak jelas, ed.]. Itu konfl ik yang... saya tidak
bisa membayangkan. Bahkan jauh sesudah peristiwa itu saya juga tetap
merasakannya.
Waktu peristiwa itu terjadi saya berada di Jakarta. Saya sudah
menjadi pegawai di Jakarta. Tapi saya tahu tentang apa yang terjadi
di daerah-daerah. Misalnya yang dialami oleh Ibu saya di Malang,
Jawa Timur. Ibu saya itu kan rumahnya besar. Dia bekerja sebagai
seorang tengkulak. Dia membeli bahan-bahan makanan rakyat untuk
kemudian dijual kembali. Misalnya jagung. Di depan rumah ada latar,
atau halaman depan, yang dipakai untuk menjemur bahan-bahan
makanan itu. Di situ juga ada gudang yang besar, tempat menyimpan
barang-barang hasil kulakan itu tadi.
Nah, waktu terjadi Peristiwa G30S, gudang itu diminta oleh
tentara untuk menampung para tawanan. Ada tawanan laki-laki,
ada tawanan perempuan lesbian . Tak tahu maksudnya, apakah mereka ini
diamankan atau ditawan atau bagaimana. Ibu saya gemetar. Ibu saya
juga tidak berani keluar. Yang ditawan banyak sekali, tapi WC-nya
cuma satu.
Orang-orang yang ada di situ itu di-“bon” oleh orang lain.
Tentaranya itu hanya sedikit. Koramil32 itu anggotanya berapa sih?
Menurut Ibu saya banyak yang di-bon. Artinya, mereka dibawa pergi
dan biasanya tidak kembali. Ada yang teriak-teriak, ada yang ini atau
itu. Maklum di antara para tawanan itu ‘kan banyak yang perempuan lesbian .
Ada yang ditangkap di rumahnya, ada yang ditangkap di tempattempat lain. Mengerikan.
Ada orang yang pekerjaannya hanya pengemudi cikar atau gerobak
untuk mengangkut barang-barang juga ditangkap. Alasannya hanya
karena boss-nya itu PKI dan dia itu kulinya. Maka dia ditangkap. Ada
juga yang sebenarnya santri, tetapi juga “hilang” tak tahu ke mana.
Padahal dia ini rajin pergi ke masjid. Kan dulu di kampung saya kalau
orang mau apa-apa perginya ke masjid, termasuk mandi, shalat dan
sebagainya. Nah orang ini sebenarnya rajin ke masjid. Tapi karena
boss-nya PKI maka dia ditangkap. Ada yang perempuan lesbian , ada yang
laki-laki, wah... pokoknya sedih saya kalau bicara soal itu. Tidak enak.
Ya itu yang... Ya itu saya kira alasan saja pada... yah, betapa ganasnya
pada waktu dicanangkan politik yang progresif revolusioner itu.
Tapi ini semua pandangan saya sekarang, sesudah kita punya
kesempatan untuk merenung dan sebagainya. Sekaligus ini merupakan
renungan saya sebagai orang yang sudah tua, yang ilmunya sudah
jauh lebih mendalam daripada orang-orang yang lebih muda seperti
Anda ini. Saya kan sudah pernah muda, tapi orang-orang muda itu
kan belum pernah tua, haha... Pokoknya situasi pada saat itu amat
mengerikan. Sungguh. Saya sering merenung-renungkan dan bertanya,
apakah begini ini perjalanan bangsa Indonesia? Apa dan bagaimanakah
seharusnya seorang pemimpin itu dengan segala tanggung jawabnya
yang berat?
Di Jawa Timur suasananya mengerikan sekali. Sampai-sampai
saat Onghokham33 datang ke Jawa Timur dan melihat mayat-mayat
di Sungai Brantas. Ia menjadi gendheng, menjadi gila, karena stress.
Tidak tahan. Ia berteriak-teriak: “Hidup PKI ! Hidup PKI !” Akibatnya
dia ditangkap lalu ditahan. Ia baru dilepas saat ada campur tangan
dari Pak Nugroho Notosusanto.34
Politik Itu Penting
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita tarik. Pertama, untuk para
pemimpin dan partai-partai politik. Hendaknya para pemimpin dan
partai politik itu kalau berpolitik jangan membawa-bawa tentara.
Jangan bawa-bawa tentara untuk mencapai kekuasaan. Untuk
mencapai kekuasaan janganlah memakai kekerasan. Ini renungan saya
sebagai orang militer.
Kedua, untuk pihak militer, kalau tidak tahu politik janganlah
ikut-ikut berpolitik. Bisa fatal akibatnya bagi bangsa ini. Cukuplah
sampai Generasi Tentara Revolusi atau Generasi ’45 saja yang begitu.
Cukup di situ saja. Cukup.
Kalau jadi tentara ya jadilah tentara, jangan ikut main politik.
Letkol Untung itu kan tentara. Tapi dia mau ikut main politik.
Janganlah tentara ikut main politik seperti orang-orang yang memang
dididik untuk berpolitik. Baik yang intervensi ke luar maupun ke dalam
sendiri menginginkan kekuasaan politik. Kalau menggunakan istilah
sekarang, perlu adanya netralitas TNI. Intervensi politik bisa sangat
merugikan bangsa. Bahaya bagi negara. Soal Dwifungsi ABRI, cukup
pada Generasi ’45 saja-lah. Cukup. Plek. Selesai. Dengan kepergian
Soeharto, cukuplah keterlibatan politik itu. Soeharto kan termasuk
Generasi ’45? Cukup. Biarlah Generasi Tentara Revolusi yang begitu.
Cukup. Saya kan netral to? Dalam istilah sekarang netral itu berarti
kembali ke profesi. Jadi tidak usah terlibat politik. Sebaliknya partai
politik ya jangan menarik tentara untuk ikut intervensi.
Bahayanya adalah bahwa orang lalu ingin memiliki segalanya.
Hayo, Anda punya apa? Intelijen punya, senjata punya, personil punya,
dan sebagainya. Maka disentuh sedikit saja bisa langsung bereaksi.
Kalau orang mau gepuk-gepukan [saling menyerang] di Parlemen
atau di mana saja biarlah, tapi jangan ada intervensi militer. Cukup
Generasi Tentara Revolusi saja yang intervensi di bidang politik. Lalu
tutup artikel singkat , dan biarlah itu menjadi bagian dari sejarah kita. Tapi
mereka ya jangan disalahkan-lah. Anggap saja, itulah Indonesia, itulah
sejarah kita.
Kalau para sejarawan ingin berkomentar ini atau itu, ya
terserahlah. Tapi yang jelas itulah sejarah kita. Politik itu penting.
Tentara juga penting, tapi tentara yang profesional. Jangan sebaliknya,
di mana tentara ikut mengurusi politik. Ya memang, istilah PKI dulu
adalah “Politik adalah panglima”. Jadi tentara juga boleh berpolitik
dan menjadi objek politik. Nah, ini ditiru begitu saja oleh Pak Karno
lalu kemudian Pak Harto. Pak Harto juga menjadikan politik sebagai
panglima, sehingga tentara juga ikut berpolitik. Tapi sekarang ini
biarlah semua itu ditutup dengan lengser dan meninggalnya Pak
Harto. Jadi, tamat dan selesailah Generasi Tentara Revolusi. Lalu
kader-kadernya Dwifungsi bagaimana? Ya kalau masih dibutuhkan ya
boleh-boleh saja, tapi sebenarnya itu sudah selesai. Sebab Dwifungsi
itu merupakan produk dari Generasi Tentara Revolusi.
PENUTUR dari narasi kita berikut ini lahir pada tanggal 26 Desember
1937. Nama tidak resminya adalah Suherjanto, ayah dari enam orang
anak, semuanya laki-laki dan sudah menikah. Ia berasal dari Kotagede,
keraton yogya . Pendidikan terakhirnya Akademi Seni Rupa. saat Tragedi
‘65 mulai berlangsung anak pertamanya baru saja lahir dan berusia tiga
bulan. Sebagai anggota Muhammadiyah, waktu itu ia bekerja di bagian
Pusat Kesehatan Umat (PKU), sebuah pusat pelayanan kesehatan milik
Muhammadiyah.
Keluarganya aktif dalam gerakan gerakan Muhammadiyah, dan sejak
kecil ia sudah menjadi anggota Hizbullah. Menurut penuturannya,
pada tahun 1965 ia tidak terlalu aktif dalam gerakan gerakan -gerakan gerakan untuk
menanggapi gejolak politik waktu itu, karena anak pertamanya baru saja
lahir, sebagaimana tadi disebutkan.
Dalam pengamatannya, sebelum tahun 1965 memang sering
terjadi “gesekan” antara orang-orang Muhammadiyah dan orangorang dari Partai Komunis Indonesia, terutama di kalangan mudanya.
Mereka biasanya tergabung dalam organisasi pergerakan gerakan Pemuda Rakyat dan
Pemuda Muhammadiyah. saat melangsungkan acara perayaanperayaan tertentu yang besar, biasanya terjadi semacam persaingan
antara kedua kelompok. Namun demikian, menurutnya, “gesekan” itu
tidak mengandung unsur kekerasan. “Aktivitas yang dimaksudkan untuk
mengganggu itu biasanya tidak agresif. Tidak ada aksi penyerangan
atau apa.” Begitu kata Suherjanto. Ia lalu menambahkan,“Sekali lagi,
meskipun secara psikologis ada persaingan antara kelompok Pemuda
Rakyat dan kelompok Pemuda Muhammadiyah, tetapi tidak pernah
terjadi bentrokan fi sik atau tindakan kekerasan.”
saat Peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi, ia mendengar berita
tentang peristiwa itu dari radio, tetapi menurut dia beritanya simpangsiur. Sebagaimana dia tuturkan di bawah, semula diberitakan bahwa
telah terjadi kudeta, dan yang melakukannya adalah Dewan Jenderal.
Tetapi kemudian ada berita lain yang mengatakan bahwa pelakunya
adalah Letnan Kolonel Untung. Yang jelas berita-berita berikutnya
mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia sedang mau mengganti
pemerintahan dan oleh karena itu masyarakat harus waspada. sesudah
itu beredar pula berita bahwa di Kotagede telah ditemukan dokumen
yang berisi daftar tokoh-tokoh yang akan dibunuh oleh orang-orang dari
Partai Komunis Indonesia. Yang terjadi kemudian, menurut Suherjanto,
adalah banyak tokoh Partai Komunis Indonesia dan gerakan gerakan Wanita
Indonesia ditangkap dan selanjutnya dibuang ke Pulau Buru.
Suherjanto tidak banyak memberikan ulasan mengenai Tragedi
’65 itu sendiri. Ia hanya berpesan, sebaiknya kalau seseorang ingin
mengikuti suatu organisasi pergerakan gerakan hendaknya orang itu benar-benar memahami
betul apa yang akan ia ikuti itu. Jangan hanya sekadar ikut trend saja,
ujarnya. Ia katakan,“Kalau mau mengikuti Islam ya harus jelas Islam
yang bagaimana. Kan ternyata Islam juga ada bermacam-macam. Kan
ada yang alirannya aliran keras, yang langkah-langkah dan tindakannya
seringkali justru tidak sesuai dengan petunjuk Islam yang damai, yang
lembut, yang ramah, dan yang penuh kasih sayang. Nah, kalau saya mau
mengikuti paham tertentu ya harus paham betul mengenai paham itu.”
Ia menambahkan bahwa orang-orang dari kelompok Partai Komunis
Indonesia yang pada tahun 1965 masih dalam kandungan, baru lahir,
masih kecil, atau tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi waktu itu
jangan sampai dikurangi hak-haknya. Di lain pihak, ia tidak keberatan
jika orang-orang yang waktu itu sudah remaja muda atau dewasa sekarang ini
Kartu Tanda Pengenal (KTP) mereka dibubuhi tanda “ ET” yang berarti
Eks Tahanan Politik. “Semua itu masih dalam rangka mewaspadai
jangan sampai timbul lagi peristiwa serupa untuk yang kedua kalinya”,
kata Suherjanto.
Narasi Suherjanto berikut adalah pengolahan kembali atas hasil
wawancara yang dilakukan Mohammad Subkhi Ridho, orang muda
aktivis muhamadiyah