unan rumah sakit, peradilan
hukum dan pemberian fatwa, memulai salam dan menjawabnya,
shalat atas orang mati dan lain sebagainya.
Jenis wajib k edua ini dinamakan wajib kifayah . Para fuqaha
telah sepakat bahwa wajib kifayah bila dilakukan oleh salah seorang
pelaku, makan tuntutan ini telah dipenuhi dan gugurlah
tanggung jawab dari orang-orang semuanya. Sebaliknya jika
diabaikan dan tidak dilakukan oleh seorang pun, maka semua orang
menanggung dosanya dan tanggung jawab nya. Sebaliknya semua
orang menanggung dosanya dan tanggungjawabnya. Jumhur ahli
ushul mengatakan, bahwa khitab itu ditunjukan kepada semua orang
secara perorangan dan mereka berdalil atas hal itu dengan dua dalil:
P ertama; Sifat umum dari khitab dalam tuntutannya seperti
firman Allah swt. “Diperintahkan kepadamu untuk berperang.” , atau
“Berperanglah dija lan Allah.”
K edua; Penimpaan dosa bagi semua orang dengan
meninggalkan perintah dan ini yaitu tanda kewajiban bagi semua
orang.
Sebagian ahli ushul berpendapat, bahwa kewajiban itu
tergantung pada seseorang, yaitu orang yang diduga kuat bahwa
yang lain tidak melakukannya. Maka mukallaf yaitu seseorang yang
tidak melakukannya di waktu khitab dan tidak ditentukan, kecuali
dengan sangkaan itu. Sehingga timbullah sanggahan yang mashyur
dari mereka, yaitu dalam hal ini ada penimpaan dosa bagi salah
seorang dari mereka dan itu tidak masuk akal, karena taklif
berkaitan dengan orang yang berat dalam dugaannya bahwa yang
lain tidak melakukannya, seakan-akan Al-Syari’ berkata : “ Aku ingin
perbuatan ini berlaku bagi umat dan Aku diwajibkan atas salah
seorang dari kamu yang menyangka bahwa yang lain tidak
melakukannya untuk melakukannya.”
Mereka berdalil bahwa taklif berlaku bagi sebagian orang
dengan dua dalil:
Pertama : Bahwa sebagian tuntutan menurut kifayah
ditunjukan kepada sebagian umat.
Kedua : Gugurnya ke wajiban dengan perbuatan sebagian
orang dan berarti gugurnya kewajiban atas mukallaf dengan
perbuatan orang lain.
Adapun pendapat bahwa wajib kifayah ditujukan kepada
sebagian tertentu di sisi Allah, maka tak adil baginya dan pendapat
ini berarti bahwa muk allaf tidak tahu apa yang dibebankan
kepadanya dan juga berarti tidak sah bagi seseorang untuk
pelaku, makan tuntutan ini telah dipenuhi dan gugurlah
tanggung jawab dari orang-orang semuanya. Sebaliknya jika
diabaikan dan tidak dilakukan oleh seorang pun, maka semua orang
menanggung dosanya dan tanggung jawab nya. Sebaliknya semua
orang menanggung dosanya dan tanggungjawabnya. Jumhur ahli
ushul mengatakan, bahwa khitab itu ditunjukan kepada semua orang
secara perorangan dan mereka berdalil atas hal itu dengan dua dalil:
P ertama; Sifat umum dari khitab dalam tuntutannya seperti
firman Allah swt. “Diperintahkan kepadamu untuk berperang.” , atau
“Berperanglah dija lan Allah.”
K edua; Penimpaan dosa bagi semua orang dengan
meninggalkan perintah dan ini yaitu tanda kewajiban bagi semua
orang.
Sebagian ahli ushul berpendapat, bahwa kewajiban itu
tergantung pada seseorang, yaitu orang yang diduga kuat bahwa
yang lain tidak melakukannya. Maka mukallaf yaitu seseorang yang
tidak melakukannya di waktu khitab dan tidak ditentukan, kecuali
dengan sangkaan itu. Sehingga timbullah sanggahan yang mashyur
dari mereka, yaitu dalam hal ini ada penimpaan dosa bagi salah
seorang dari mereka dan itu tidak masuk akal, karena taklif
berkaitan dengan orang yang berat dalam dugaannya bahwa yang
lain tidak melakukannya, seakan-akan Al-Syari’ berkata : “ Aku ingin
perbuatan ini berlaku bagi umat dan Aku diwajibkan atas salah
seorang dari kamu yang menyangka bahwa yang lain tidak
melakukannya untuk melakukannya.”
Mereka berdalil bahwa taklif berlaku bagi sebagian orang
dengan dua dalil:
Pertama : Bahwa sebagian tuntutan menurut kifayah
ditunjukan kepada sebagian umat.
Kedua : Gugurnya ke wajiban dengan perbuatan sebagian
orang dan berarti gugurnya kewajiban atas mukallaf dengan
perbuatan orang lain.
Adapun pendapat bahwa wajib kifayah ditujukan kepada
sebagian tertentu di sisi Allah, maka tak adil baginya dan pendapat
ini berarti bahwa muk allaf tidak tahu apa yang dibebankan
kepadanya dan juga berarti tidak sah bagi seseorang untuk
menunaikan kewajiban, karena ia tidak tahu apakah ia yang dibebani
taklif atau lainnya.
c . Pembagian Wajib berdasar Kadar atau Ukurannya.
Wajib terbagi atas muh addad (terbatas) dan ghairu muhaddad
(tidak terbatas). Muhaddad ialah yang ditentukan Alllah swt. kadar
ukurannya sehingga ghoiru muhaddad yang tidak ditentukan oleh
Allah swt. kadar ukurannya. Tuntutan-tuntutan Allah swt. ada
kalanya terbatas ukurannya seperti shalat wajib, zakat dan harga -
harga pembelian. Ini semua menjadi tanggung jawab mukallaf yang
wajib atas diri nya sebagai hutang hingga ditunaikan. Dalil atas
pembatasan dan penentuan itu ialah karena ia mengandung
pengertian tujuan untuk melaksanakan perbuatan yang tertentu itu,
sehingga jika dilaksanakan maka khitob itu tetap atasnya dan tidak
gugur darinya kecuali dengan alas an yang benar.
Syarat-syarat ja’liyah beserta masyrutnya ada dua macam:
1. Syarat yang menyempurnakan hikmah Allah swt. sehingga
tidak ada di dalamnya hal yang bertentangan dengan
hikmah itu, seperti persayaratan gadai, kontan dan hutang
dalam harga dan persyaratan haul dalam zakat dan
penyimpanan barang dalam pemotongan harga.
2. Syarat yang tidak sesuai dengan maksud masyrutnya dan
tidak menyempurnakan hikmahnya, akan tetapi sebagai
kebalikannya yang pertama. Sebagiamana jika disyaratkan
dalam perkawinan untuk tidak memberi nafkah kepada istri
atau syarat dalam jual-beli untuk tidak memaanfaatkan
barang yang dijual. Bagian ini juga tidak ada persoalan
dengan hikamh dari sebab itu, maka tidaklah sah untuk
menggabungkan keduanya sehingga menjadi sia-sia.
2. Mandub (Sunah)
Mandub merupakan sinonim persamaan kata dari nafilah,
sunah, tathawwu’ dan ihsan. Muhammad Abu Zahrah mendefinis ikan
mandub sebagai :
92
َلَ َٝ ُُِٚـِػَخك ُدَخؼُـ٣ خ َٓ ْٝ َأ ٍّ ِصَلَ َشـ٤ْـَؿ ًخزَـَِؽ َُِٚـْؼِـك ُعِسخَّشُح ََذَِؽ خ َٓ َٞ ُـٛ ُد ْٝ ُذـْ٘ ـ َٔ ُْ َح
ُٚـًُ ِسَخط َُذهخـَؼُـ٣158
Artinya : Mandub ialah perbuatan yang dituntut Syari’ . dengan
tuntutan yang tidak pasti, atau sesuatu yang diberi pahala
bagi pelakunya, akan tetapi tidak berdosa
meninggalkannya.
Perbuatan yang termasuk kategori sinah ini dibagi menjadi
dua, yaitu sunah muakkadah dan sunah ghairu muakkadah.
a. Sunah muakkadah yaitu sunah yang Nabi saw. Senantiasa
mengerjakannya meskipun perbuatan ini bukan hal
yang wajib. Sebagai contoh ialah shalat witir, shalat sunah 2
rakaat sebelum fajar, setelah zhuhur, setelah maghrib dan
setelah isya’.
b. Sunah ghairu muakkadah , yaitu sunah yang Nabi saw tidak
secara rutin mengerjakannya. Sebagai contoh ialah shalat
sunah 4 rakaat sebelum zhuhur, 4 rakaat sebelum ashar, 4
rakaan sebelum isya’ atau sedekah sunah dalam keadaan
darurat dan tidak ada orang lain yang sedekah.159
Sebagian ulama ushul yang lain membagi sunah menjadi 3
(tiga) macam, sebagai berikut:
a. Sunah Huda, yaitu bila pelaksanaannya sebagai pelengkap
bagi kewajiban agama, seperti adzan shalat jamaah. Orang
yang meninggalkan itu sesat dan berdosa sehingga bila
semua orang sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka
ini boleh diperangi.
b. Sunah-Sunah Tambahan, yaitu hal-hal yang dikerjakan Nabi
saw. berupa hal-hal biasa bersifat akhlak seperti dalam
makan, minum, tidur dan pakaiannya. Jika dijalani oleh
mukallaf yaitu baik, sedang bila ditinggalkannya, maka tidak
َلَ َٝ ُُِٚـِػَخك ُدَخؼُـ٣ خ َٓ ْٝ َأ ٍّ ِصَلَ َشـ٤ْـَؿ ًخزَـَِؽ َُِٚـْؼِـك ُعِسخَّشُح ََذَِؽ خ َٓ َٞ ُـٛ ُد ْٝ ُذـْ٘ ـ َٔ ُْ َح
ُٚـًُ ِسَخط َُذهخـَؼُـ٣158
Artinya : Mandub ialah perbuatan yang dituntut Syari’ . dengan
tuntutan yang tidak pasti, atau sesuatu yang diberi pahala
bagi pelakunya, akan tetapi tidak berdosa
meninggalkannya.
Perbuatan yang termasuk kategori sinah ini dibagi menjadi
dua, yaitu sunah muakkadah dan sunah ghairu muakkadah.
a. Sunah muakkadah yaitu sunah yang Nabi saw. Senantiasa
mengerjakannya meskipun perbuatan ini bukan hal
yang wajib. Sebagai contoh ialah shalat witir, shalat sunah 2
rakaat sebelum fajar, setelah zhuhur, setelah maghrib dan
setelah isya’.
b. Sunah ghairu muakkadah , yaitu sunah yang Nabi saw tidak
secara rutin mengerjakannya. Sebagai contoh ialah shalat
sunah 4 rakaat sebelum zhuhur, 4 rakaat sebelum ashar, 4
rakaan sebelum isya’ atau sedekah sunah dalam keadaan
darurat dan tidak ada orang lain yang sedekah.159
Sebagian ulama ushul yang lain membagi sunah menjadi 3
(tiga) macam, sebagai berikut:
a. Sunah Huda, yaitu bila pelaksanaannya sebagai pelengkap
bagi kewajiban agama, seperti adzan shalat jamaah. Orang
yang meninggalkan itu sesat dan berdosa sehingga bila
semua orang sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka
ini boleh diperangi.
b. Sunah-Sunah Tambahan, yaitu hal-hal yang dikerjakan Nabi
saw. berupa hal-hal biasa bersifat akhlak seperti dalam
makan, minum, tidur dan pakaiannya. Jika dijalani oleh
mukallaf yaitu baik, sedang bila ditinggalkannya, maka tidak
berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan dengan
kemakruhan dan keburukan.
c. Nafl , yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardhu
dan Sunah, seperti shalat tathawu’ . Ini menimbulkan pahala
bagi pelakunya dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang
meninggalkannya.160
3. Haram (Larangan)
Haram ialah perbuatan yang dilarang oleh Syari’ melakukannya
dengan larangan yang tegas dan pasti dan dikenakan hukuman bila
dilakukan.161 Ulama Hanafi membagi tuntutan yang menyebabkan
penolakan perbuatan menjadi 2 ( dua) bagian dengan memperhatikan
cara penetapannya.
a. Haram y ang telah tetap secara pasti (qath’i ), yaitu haram
yang berdasar nash-nash Alquran dan Sunah mutawatir
serta ijmak. Ini akibatnya yaitu tahrim yang menurut
mereka merupakan kebalikan fardlu.
b. Ha ram yang tetap secara zhann i (dugaan kuat), yaitu haram
yang dasarnya yaitu khabar- khabar ahad dan qiyas . Ini
akibatnya ialah karahah tahrim, lawan kata dari wajib. 162
Istilah mereka berbeda dalam menetapkan kadar makruh
tahrim . Berkata Muhammad: Setiap makruh ke haram yaitu
macam perbuatan yang boleh dilakukan. Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf ber pendapat bahwa makruh itu lebih dekat kepada haram.
Yang jelas mereka tidak suka menetapkan lafadh haram atas
makruh, karena jalan ketetapan yang dikehendakinya tidaklah pasti,
walaupun mereka bersepakat dengan lainnya dalam maknanya yaitu
bahwa makruh itu dihukum perbuatannya seperti haram, hanya saja
pengingkar makruh menjadi fasiq bukan kafir dan hal ini tak ada
seorang pun yang menyalahi mereka, karena suatu hal yang jalannya
berdasar zha nn (sangkaan) tidaklah dikafirkan pelanggarrnya
menurut seluruh ulama.
4. Makruh .
Makruh yaitu perbuatan yang Syari’ menuntut kepada mukallaf
untuk meninggalkannya, tetapi tuntutannya tidak tegas atau tidak
keras. Sifat tuntutan yang demikian dapat diketahui dari redaksi
nash syarak sendiri. Atau ada larangan yang disertai pernyataan
bahwa larangan ini menunjukkan hokum makruh, bukan
haram. Sebagai contoh ialah firman Allah swt.
َذـْزُـط ْٕ ِا َءَآ٤ـَْشأ ْٖ ـَػ ح ْٞ ُـَُؤـْغَـط َلَ : سذـثخـُٔح( ْْ ـ ًُ ْئُغَـط ْْ ٌُ َُ101)
Artinya : Dan janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal
yang bila diterangkan kepadamuniscaya akan
menyusahkanmu.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa boleh jadi Syari’
menuntut hal-hal di mana mukallaf diperbolehkan memilih salah
satu di antaranya dari apa yang telah ditetapkan dalam tasyri’. Sudah
barang tentu maksud khitab itu ialah larangan untuk mengumpulkan
antara keduanya dan seseorang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Akibatnya ialah larangan mengumpulkan antara keduanya
dan haruslah ia melakukan salah satunya.
5. Mubah
Mubah mengandung pengertian bahwa seseorang diberikan
kebebasan memilih oleh Syari’ antara mengerjakan atau
meninggalkannya.164 Artinya, seorang mukallaf tidaklah dituntut
untuk melakukannya dan tidak pula dituntut menjauhinya. Adapun
ia tidak dituntut menjauhinya, karena hal-hal berikut:
berdasar zha nn (sangkaan) tidaklah dikafirkan pelanggarrnya
menurut seluruh ulama.
4. Makruh .
Makruh yaitu perbuatan yang Syari’ menuntut kepada mukallaf
untuk meninggalkannya, tetapi tuntutannya tidak tegas atau tidak
keras. Sifat tuntutan yang demikian dapat diketahui dari redaksi
nash syarak sendiri. Atau ada larangan yang disertai pernyataan
bahwa larangan ini menunjukkan hokum makruh, bukan
haram. Sebagai contoh ialah firman Allah swt.
َذـْزُـط ْٕ ِا َءَآ٤ـَْشأ ْٖ ـَػ ح ْٞ ُـَُؤـْغَـط َلَ : سذـثخـُٔح( ْْ ـ ًُ ْئُغَـط ْْ ٌُ َُ101)
Artinya : Dan janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal
yang bila diterangkan kepadamuniscaya akan
menyusahkanmu.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa boleh jadi Syari’
menuntut hal-hal di mana mukallaf diperbolehkan memilih salah
satu di antaranya dari apa yang telah ditetapkan dalam tasyri’. Sudah
barang tentu maksud khitab itu ialah larangan untuk mengumpulkan
antara keduanya dan seseorang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Akibatnya ialah larangan mengumpulkan antara keduanya
dan haruslah ia melakukan salah satunya.
5. Mubah
Mubah mengandung pengertian bahwa seseorang diberikan
kebebasan memilih oleh Syari’ antara mengerjakan atau
meninggalkannya.164 Artinya, seorang mukallaf tidaklah dituntut
untuk melakukannya dan tidak pula dituntut menjauhinya. Adapun
ia tidak dituntut menjauhinya, karena hal-hal berikut:
a. Sesungguhnya mubah menurut Allah swt. yaitu perbuatan
yang disuruh pilih antara mengerjakannya dan
meninggalkannya tanpa pujian maupun celaan.
b. Jika ditetapkan kesamaan antara perbuatan dan
meninggalkannya secara syarak dalam masalah mubah, maka
bila orang yang meninggalkannya dianggap pelaku ketaatan
bolehlah pelakunya dianggap pelaku ketaatan dengan
perbuatannya dari segi perbuatan dan penolakannya yaitu
sama terhadap mubah dan ini tidak dapat, bahkan tidak masuk
akal.
c. Kesepakatan bahwa pelaku nadzar meninggalkan mubah
tidaklah lazim memenuhi nadzarnya dan andaikata penolakan
mubah ini yaitu ketaatan, lazimlah penunaian nadzarnya.
d. Andaikata meninggalkan mubah yaitu ketaatan lazimlah
penyingkiran mubah dari hukum syarak dari segi penglihatan
kepada mubah itu sendiri dan hal itu batal menurut Ijmak.
Hal itu ditentang oleh Al -Ka’bi, karena ia menyangkal mubah
dengan memandang kepada akibatnya bukan kepada perbuatan itu
sendiri. Ringkasnya yaitu kaidah ini tidak ditentang oleh
seorangpun. Ini jika memandang mubah dari segi keadaannya
sebagai mubah. Jika memandangnya dari segi penolakannya dari segi
dalih untuk hal lainnnya, maka ia memberikan hukum yang
disebabkannya. Allah swt. tidak mempunyai tujuan dalam perbuatan
mubah dengan tidak menolaknya dan bukan pula dalam
penolakannya tanpa melakukannya.
Macam -macam Mubah :
a. Mubah yang diungkapkan secara jelas untuk memilih.
Misalnya : “bila e ngkau kehendaki kerjakanlah dan bila
tidak engkau kehendaki, maka tinggalkanlah”.
b. Mubah yang tidak ada didalmnya dalil syar’i dari Allah
swt. untuk menyuruh pilih, akan tetapi Allah swt.
menjelaskan tidak aka nada kesempitan jika dikerjakan.
c. Mubah y ang tidak ada sama sekali ketentuan dari Syari’
sehingga yang berlaku yaitu hukum asalnya, yaitu
mubah.
Semua macam ini ada secara pasti, walaupun sebagian
Mu’tazilah telah menentang penamaan mubah sebagai hukum syarak
dan mereka berpendapat bahwa ini yaitu ketentuan dari Allah swt.
bagi sesuatu atas keadaan sebelumnya untuk menghilangkan
kepicikan sebagai akibat mengerjakan atau meninggalkannya.
c. Mubah y ang tidak ada sama sekali ketentuan dari Syari’
sehingga yang berlaku yaitu hukum asalnya, yaitu
mubah.166
Semua macam ini ada secara pasti, walaupun sebagian
Mu’tazilah telah menentang penamaan mubah sebagai hukum syarak
dan mereka berpendapat bahwa ini yaitu ketentuan dari Allah swt.
bagi sesuatu atas keadaan sebelumnya untuk menghilangkan
kepicikan sebagai akibat mengerjakan atau meninggalkannya. ..
Ushul fiqh yaitu ilmu pengetahuan tenta ng kaidah-kaidah
dan pembahasan- pembahasan yang dapat membawa kepada
penemuan hukum amal perbuatan manusia berdasar dalil-dalil
yang spesifik dan terperinci. Oleh karena itu objek pembahasaan
ushul fiqh ialah dalil – dalil syarak yang ada dalam Alquran dan
H adis. Hukum syarak ialah titah Sang Pencipta syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan – perbuatan orang mukallaf , yang
mengandung suatu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan,
atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
penghalang bagi adanya hukumyang lain. Sebagaimana telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, Hukum syarak dibagi menjadi 2
(dua) macam, yaitu hukum taklifi , dan hukum wadh’i . Pembahasan
tentang hukum taklifi telah dikemukakan pada bab V, dan berikut ini
akan dibahas tentang hukum wadh’i dan macam-macamnya.
A. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang memiliki tujuan untuk
menjadikan suatu hal menjadi sebab atau menjadi syarat atau
penghalang atas adanya suatu hukum. Menurut Al -Amidi, termasuk
hukum wadh’i membicarakan hukum sesuatu apakah ia sah atau
batal, ‘azimah atau rukhshah , sah atau rusak (fasid).167 Sebagai
contoh ialah, kepemilikan harta sampai batas nishab merupakan
syarat bagi [emiliknya untuk membayar zakat. Kondisi suci seorang
muslim yang baligh dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya
shalat. Pembunuhan pewaris oleh calon ahli waris merupakan sebab
gugurnya hak mewarisi.
B. Macam – Macam Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i tidak harus berhubungan langsung dengan
tingkah laku manusia, tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan
yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf yang dinamakan
hukum taklifi , baik hubungan itu dalam bentuk sebab-akibat, atau
syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan
halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada 3 macam :
1. Sabab (sebab)
Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia
, sabab disebut dengan “sebab” yang nerarti hal yang menimbulkan
terjadinya sesuatu.168 Sebab menurut jumhur ulama yaitu sesuatu
yang jelas batas-batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda
bagi adanya hukum. berdasar definisi ini, ada 2 (dua) esensi
yang terkandung di dalamnya. Pertama sesuatu itu tidak sah
dijadikan sebagai sabab keculi Allah sendiri yang menjadikannya,
karena hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah swt., maka
yang membebani yaitu Allah swt. dan jika yang membebani yaitu
Pembuat hukum ( Syari’ ), maka Dia-lah menjadikan sebab – sebab
hukum-hukumnya.
batal, ‘azimah atau rukhshah , sah atau rusak (fasid).167 Sebagai
contoh ialah, kepemilikan harta sampai batas nishab merupakan
syarat bagi [emiliknya untuk membayar zakat. Kondisi suci seorang
muslim yang baligh dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya
shalat. Pembunuhan pewaris oleh calon ahli waris merupakan sebab
gugurnya hak mewarisi.
B. Macam – Macam Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i tidak harus berhubungan langsung dengan
tingkah laku manusia, tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan
yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf yang dinamakan
hukum taklifi , baik hubungan itu dalam bentuk sebab-akibat, atau
syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan
halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada 3 macam :
1. Sabab (sebab)
Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia
, sabab disebut dengan “sebab” yang nerarti hal yang menimbulkan
terjadinya sesuatu.168 Sebab menurut jumhur ulama yaitu sesuatu
yang jelas batas-batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda
bagi adanya hukum.169 berdasar definisi ini, ada 2 (dua) esensi
yang terkandung di dalamnya. Pertama sesuatu itu tidak sah
dijadikan sebagai sabab keculi Allah sendiri yang menjadikannya,
karena hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah swt., maka
yang membebani yaitu Allah swt. dan jika yang membebani yaitu
Pembuat hukum ( Syari’ ), maka Dia-lah menjadikan sebab – sebab
hukum-hukumnya.
Kedua, sebab -sebab ini bukanlah faktor penyebab adanya
hukum taklifi , melinkan sekedar indikasi kemunculannya.
Selanjutnya mengenai “s abab” ini terbagi menjadi 2 ( dua) yaitu:
1. Sabab yang berada di luar batas kemampuan mukal laf. Sabab
yang berada di luar batas kemampuan mukal laf ialah sabab yang
dijadikan Allah swt. sebagai pertanda atas adanya hukum. Kita
tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda
hukum oleh Allah swt.
2. Sebab yang berada dalam batas kemampuan muka llaf. Sebab
yang berada dalam batas kemampuan mukal laf ialah sebab
dalam bentuk perbuatan mukal laf yang ditetapkan oleh
pembuat hukum akibat hukumnya.
3. Sebab dalam bentuk perbuatan mukllaf di atas terbagi pula
kepada tiga macam: 1) Sebab yang dituntut oleh pembuat
hukum untuk diadakan : artinya dituntut untuk
memperbuatnya; 2) Dituntut dalam bentuk tuntutan untuk
meningalkannya; 3) Diberi izin untuk melakukannya selama
berada dalam batas kemampuan mukallaf . .
Ditinjau dari segi ia menghendaki membawa maslahat dan
menghindarkan mafsadat atau kerusakan, ia berada di bawah hukum
taklifi . Ditinjau dari segi Allah menjadikannya, mengandung akibat
terhadap hukum lain, ia termasuk wilayah hukum wadh’i. Dalam
bentuk ini perlu diperhatikan beberapa hal :
1. Suatu sebab bila ada dalam bentuk tuntutan atau izin berbuat,
maka hukum diakibatkannya berbentuk hak-hak yang dapat
diterima.
2. Setiap sebab mengakibatkan sesuatu hukum yang disebut
musabab, meskipun pelaku yang melakukan sebab itu tidak
menghendaki adanya. Alasannya ialah karena sebab bukanlah
dengan sendirinya berpengaruh terhadap hukum; yang
berperan terhadap ada atau tidak adanya hukum yaitu syar’i
(pembuat hukum) sendiri.
3. Menetapkan sesuatu sebab, menuntut adanya kesengajaan yang
menetapkan kepada musabab karena kita mengetahui secara
pasti bahwa sebab itu tidak akan menjadi sebab dengan
sendirinya dari segi keberadaannya, tetapi menjadi sebab
dengan sendirinya dari segi timbulnya sesuatu yang lain sebagai
akibatnya
4. Hukum syarak sesungguhnya ditetapkan untuk mendatangkan
kemaslahatan atau menolak kerusakan. Itulah yang menjadi
musababnya secara pasti.
5. Sebab yang terlarang yaitu sebab yang akan mendatangkan
kerusakan, bukan mendatangkan kemaslahaan, sebagaimana
sebab yang ditentukan menurut syarak yaitu sebab yang akan
mendatangkan maslahat.
Kesimpulannya ialah b ahwa kerusakan yang timbul dari sebab
yang ditetapkan syarak sebenarnya bukanlah timbul dari sebab itu
sendiri; tetapi timbul dari sebab lain yang bersamaan dengan itu.
2. Syarat
Para ahli memberikan definisi yang berbeda terhadap syarat
dalam bentuk perbedaan yang tidak begitu berarti. Dari satu sisi,
syarat sama dengan sebab, yaitu bahwa hukum tergantung kepada
adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti hukum pun tidak
ada. Berbeda halnya dengan sebab, keberadaan sebab menuntut
adannya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu menuntut
adannya hukum. Oleh karena itu ulama ushul mendefinisikan syarat
sebagai :
ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُّ َذـَػ ِٚ ـ ِٓ َذـَػ ْٖ ِٓ ُّ َضـِْ َ٣ َٝ , ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ ِٚ ـ٤َْـِـَػ ُق ّـَه َٞ َـظَـ٣ ِٟزَُّح ُشـ ْٓ ََْلْح
ُؿ ُٝ ْٖ ِٓ ُّ َضـِْ َـ٣ َلَ َٝ . ِْ ٌْ ُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ ِٙ ِد ْٞ ـ172
Artinya : sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, dan pasti
jika tidak ada syarat, maka tidak akan ada hukum,
meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis aka nada
hukum.
3. Menetapkan sesuatu sebab, menuntut adanya kesengajaan yang
menetapkan kepada musabab karena kita mengetahui secara
pasti bahwa sebab itu tidak akan menjadi sebab dengan
sendirinya dari segi keberadaannya, tetapi menjadi sebab
dengan sendirinya dari segi timbulnya sesuatu yang lain sebagai
akibatnya
4. Hukum syarak sesungguhnya ditetapkan untuk mendatangkan
kemaslahatan atau menolak kerusakan. Itulah yang menjadi
musababnya secara pasti.
5. Sebab yang terlarang yaitu sebab yang akan mendatangkan
kerusakan, bukan mendatangkan kemaslahaan, sebagaimana
sebab yang ditentukan menurut syarak yaitu sebab yang akan
mendatangkan maslahat.
Kesimpulannya ialah b ahwa kerusakan yang timbul dari sebab
yang ditetapkan syarak sebenarnya bukanlah timbul dari sebab itu
sendiri; tetapi timbul dari sebab lain yang bersamaan dengan itu.
2. Syarat
Para ahli memberikan definisi yang berbeda terhadap syarat
dalam bentuk perbedaan yang tidak begitu berarti. Dari satu sisi,
syarat sama dengan sebab, yaitu bahwa hukum tergantung kepada
adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti hukum pun tidak
ada. Berbeda halnya dengan sebab, keberadaan sebab menuntut
adannya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu menuntut
adannya hukum. Oleh karena itu ulama ushul mendefinisikan syarat
sebagai :
ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُّ َذـَػ ِٚ ـ ِٓ َذـَػ ْٖ ِٓ ُّ َضـِْ َ٣ َٝ , ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ ِٚ ـ٤َْـِـَػ ُق ّـَه َٞ َـظَـ٣ ِٟزَُّح ُشـ ْٓ ََْلْح
ُؿ ُٝ ْٖ ِٓ ُّ َضـِْ َـ٣ َلَ َٝ . ِْ ٌْ ُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ ِٙ ِد ْٞ ـ172
Artinya : sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, dan pasti
jika tidak ada syarat, maka tidak akan ada hukum,
meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis aka nada
hukum.
Syarat itu ada tiga bentuk :
1. Syarat ‘aqli ; Seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat
mengetahui. Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif
atau beban hukum.
2. Syarat ‘adi ; Artinya berdasar atas kebiasaan yang berlaku;
seperti ber-sentuhnya api dengan barang yang daat terbakar
menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3. Syarat syar’ i; Syarat berdasar penetapan syarak, seperti
sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.
Syarat secara garis besarnya merupakan pelengkap bagi sebab
atau pelengkap bagi musabab. Dengan demikian, syarat itu ada dua
macam :
1. Syarat sebagai pelengkap bagi sebab; Syarat yang hikmahnya
ditetapkan sebagai penguat bagi hikmahnya sebagi sebab.
2. Syarat sebagai pelengkap bagi hukum atau musabab; Syarat yang
menguatkan hakikat musabab; artinya menguatkan rukunnya.
Syarat yang merupakan pelengkap bagi musabab sebagaimana
dikemukakan di atas berbeda dengan syarat yang menjadi pelengkap
bagi rukun; karena itu sesuatu yang menentukan adanya musabab
dan merupakan bagian darinya, tidak berada di luarnya.
Syarat dari segi hubungannya dengan masyrut h secara hukum
terbagi menjadi dua yaitu :
1. Syarat yang kembali pada hukum taklifi , baik disuruh
melakukannya, seperti bersuci bagi keperluan shalat atau
membersihkan pakaian yang merupakan syarat bagi shalat itu.
Syarat dalam bentuk ini jelas adannya kesengajaan dari pembuat
hukum.
2. Syarat yang kembali pada hukum wadh’i seperti haul atau
berlalunya tahun yang menjadi syarat bagi kewajiban zakat.
Syarat dalam bentuk ini tidak ada kesengajaan bagi pembuat
hukum atau Allah swt. Untuk menghasilk annya ditinjau dari segi
keberadaannya sebagai syarat; begitu pula tidak ada kesengajaan
untuk tidak mengadakaannya. Tetapnnya ukuran nisab itu satu
tahun hingga wajib padannya zakat bukanlah sesuatu yang
dituntut mengerjakaannya dan tidak pula di tuntut untuk
meninggalkannya.
Syarat yang kembali pada hukum wadh’i itu terbagi menjadi
dua, yaitu :
1. Syarat syar’iyah; yaitu syarat -syarat yang ditetapkan Allah untuk
terjadinnya sebab atau terjadinnya musabab.
2. Syarat ja’liyah ; ialah syarat yang diperbolehkan ol eh Syari’
dilakukan oleh pihak yang melakukan akad pada saat
melangsungkan akad untuk berlakunya hukumannya. Ia yaitu
syarat yang ditetapkan untuk terlaksannya hukum yang
dikaitkan dengan akad.
Syarat ja’liyah yang merupakan perbuatan mukalaf yang
dibolehkan Syar’i , terbagi dua :
a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini
merupakan pelengkap bagi sebab, seperti mengaitkan akad
atas syarat.
b. Syarat yang melengkapi musabab, yaitu syarat yang
beriringan dengan akad sehingga menyebabkan
kelazimaan nya atau mengekalkan kelazima itu.
Syarat ja’liyah yang dua ini dibolehkan Syari’ berlaku
dalam akad, tidak dibolehkan secara mutlak dan juga tidak
dilarang secara mutlak.
Beberapa masalah yang kembali kepada syarat ja’li itu
ialah sesuatu yang ditetapkan oleh Syari’ sebagai syarat, yang
implikasinnya yaitu :
a. Masyruth tidak mungkin terlaksana dengan adanya syarat itu,
disebut “syarat sah”;
b. Masyruth tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan
adannya syarat itu, disebut “syarat kamal”;
dituntut mengerjakaannya dan tidak pula di tuntut untuk
meninggalkannya.
Syarat yang kembali pada hukum wadh’i itu terbagi menjadi
dua, yaitu :
1. Syarat syar’iyah; yaitu syarat -syarat yang ditetapkan Allah untuk
terjadinnya sebab atau terjadinnya musabab.
2. Syarat ja’liyah ; ialah syarat yang diperbolehkan ol eh Syari’
dilakukan oleh pihak yang melakukan akad pada saat
melangsungkan akad untuk berlakunya hukumannya. Ia yaitu
syarat yang ditetapkan untuk terlaksannya hukum yang
dikaitkan dengan akad.
Syarat ja’liyah yang merupakan perbuatan mukalaf yang
dibolehkan Syar’i , terbagi dua :
a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini
merupakan pelengkap bagi sebab, seperti mengaitkan akad
atas syarat.
b. Syarat yang melengkapi musabab, yaitu syarat yang
beriringan dengan akad sehingga menyebabkan
kelazimaan nya atau mengekalkan kelazima itu.
Syarat ja’liyah yang dua ini dibolehkan Syari’ berlaku
dalam akad, tidak dibolehkan secara mutlak dan juga tidak
dilarang secara mutlak.
Beberapa masalah yang kembali kepada syarat ja’li itu
ialah sesuatu yang ditetapkan oleh Syari’ sebagai syarat, yang
implikasinnya yaitu :
a. Masyruth tidak mungkin terlaksana dengan adanya syarat itu,
disebut “syarat sah”;
b. Masyruth tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan
adannya syarat itu, disebut “syarat kamal”;
c. Mukllaf menjadikannya sebagai syarat sedangkan Syari’
menyalahinya, disebut syarat ja’li dalam artian khusus, yanga
terbagi dua sebagaimava disebutkan di atas.
Syarat – syarat dalam hubungannya dengan masyrut h
terbagi tiga, yaitu:
1. Syarat itu merupakaan pelengkap bagi hikmah sesuatu yang
disyaratkan atau hukum; dan merupakan pendukung terhadap
hukum; artinya, tidak bertentangan dengan hukum. Syarat -
syarat dalam bentuk ini tidak diragukan keabsahannya dan
bersifat mengikat terhadap hukum.
2. Syarat itu tidak sejalan dengan tujuan hukum yang
disyaratkan dan tidak pula melengkapi hikmahnnya, bahkan
berlawanan dengan hukim itu sendiri.syarat dalam bentuk ini
tidak diragukan tentang kebatalannya karena syarat itu
berlawanan dengan tujuan ditetapkannya.
3. Syarat itu tidak tampak adannya perlawanav maupun
kesejalannya dengan hukum yang disyaratkan. Syarat dalam
bentuk ini merupakan hal yang diperbincangkan dikalangan
ulama.
3. Mani’ ( penghalang ) .
Definisi mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari
sesuatu”. Secara terminologi, sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya sesuatu sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah
karena telah mencukupi syarat dan rukunnya yaitu sebagai sebab
waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewaris itu bisa terhalang di
sebabkan suami misalnya membunuh istrinya.
Dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, ada dua macam
mani’ yaitu :
1. Mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya
mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi.
Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab
atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti kepada
sebab.
2. Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak
adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan
adanya hukum
Mani’ dalam kaitannya dengan hukum taklifi terbagi
kepada dua macam :
1. Mani’ yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan
taklifi , yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal
dalam bentuknya; karena akal itu yaitu satu syarat
berlakunya taklif . Bila aka l itu hilang maka tidak mungkin ada
tuntutan.
2. Mani’ yang mungkin berkumpul dengan asal takli f. Hal ini
terbagi pula kepada dua:
a. Mani’ yang dapat bertemu dengan asal taklif , tetapi
adanya mani’ itu mengangkat asal taklif secara
menyeluruh. Mani’ ini mencabut prinsip taklifi , meskipun
taklifi pada waktu itu dapat dilaksanakan.
b. Mani’ yang dapat bertemu dengan asal taklif dan tidak
mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat
keharusannya. Dengan demikian tuntutan wajibnya tidak
berlaku lagi. Dengan tercabutnya hukum wajib taklifi itu,
maka yang berlaku selanjutnya ada dua kemunkinan yang
merupakan pencabangan dari mani’, yaitu :
1) Mani’ yang tidak mengangkat asal taklif , tetapi
mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada
kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau
tidak.
2) Mani’ yang tidak mengangkat asal taklifi ; tetapi hanya
mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada
“tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif ”. Semua
bentuk rukhshah termasuk dalam bentuk ini.
Mani’ dari segi tidak adanya kesengajaan syarak untuk
dilakukan atau ditingalkan oleh mukllaf terbagi menjadi dua :
Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab
atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti kepada
sebab.
2. Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak
adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan
adanya hukum
Mani’ dalam kaitannya dengan hukum taklifi terbagi
kepada dua macam :
1. Mani’ yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan
taklifi , yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal
dalam bentuknya; karena akal itu yaitu satu syarat
berlakunya taklif . Bila aka l itu hilang maka tidak mungkin ada
tuntutan.
2. Mani’ yang mungkin berkumpul dengan asal takli f. Hal ini
terbagi pula kepada dua:
a. Mani’ yang dapat bertemu dengan asal taklif , tetapi
adanya mani’ itu mengangkat asal taklif secara
menyeluruh. Mani’ ini mencabut prinsip taklifi , meskipun
taklifi pada waktu itu dapat dilaksanakan.
b. Mani’ yang dapat bertemu dengan asal taklif dan tidak
mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat
keharusannya. Dengan demikian tuntutan wajibnya tidak
berlaku lagi. Dengan tercabutnya hukum wajib taklifi itu,
maka yang berlaku selanjutnya ada dua kemunkinan yang
merupakan pencabangan dari mani’, yaitu :
1) Mani’ yang tidak mengangkat asal taklif , tetapi
mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada
kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau
tidak.
2) Mani’ yang tidak mengangkat asal taklifi ; tetapi hanya
mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada
“tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif ”. Semua
bentuk rukhshah termasuk dalam bentuk ini.
Mani’ dari segi tidak adanya kesengajaan syarak untuk
dilakukan atau ditingalkan oleh mukllaf terbagi menjadi dua :
1. Mani’ yang termasuk lingkup tuntutan taklifi , baik dalam
bentuk perintah atau larangan atau keizinan. Hukum ini akan
tergantung kepada tidak adanya mani’ .
2. Mani’ yang termasuk dalam lingkup hukum wadh’i . Dalam hal
ini tidak ada kesengajaan bagi Syari’ untuk menghasilkannya
dari segi ia yaitu mani’ dan juga tidak untuk tidak
menghasilkannya. Yang dimaksud oleh S yari’ dengan adanya
mani’ di sini ialah bila ada mani’ maka terangkatlah
sebab, yaitu hukum.
Ulama H anafiyah membagi mani’ menjadi lima macam,
yaitu :
1. Mani’ yang menghalani kelangsungan sebab.
2. Mani’ yang menghalangi kesempurnaan sebab pada hak pihak
yang tidak ikut dalam akad.
3. Mani’ yang menghalangi mulai berlakunya hukum.
4. Ma ni’ yang menghalangi kesempurnaan hukum.
5. Mani’ yang menghalangi kelaziman hukum.
4. Sah, Fasad dan Batal
Ditinjau dari segi hasil suatu perbuatan hukum dalam
hubungannya dengan 3 (tiga) hukum wadh’i ini , para ahli
memasukkan ke dalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu sah, fasad
dan batal. Ketiga istilah ini merupakan sifat -sifat yang
mengiringi hukum-hukum syarak, baik hukum taklifi maupun
hukum wadh’i . Sebagai conotoh yaitu shalat yang merupakan objek
hukum taklifi , akan dinilai sah bila dilaksanakan dengan
terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sahnya shalat.
Sebaliknya, shalat tidak dianggap sah bila tidak memenuhi
syarat-syaratnya atau dilaksanakan tidak sesuai waktunya.
Guna memperoleh pemahaman yang lengkap, berikut akan
dijeaskan mengenai ketiga istilah sah, fasad dan batal ini .
1. Shah ;
Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan
istilah “sah” – dipakai secara mutlak dengan dua pandangan :
Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai
pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu
mempunyai arti secara hukum.
Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu mempunyai
pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas
pahala dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan
mendapat pahala diakhirat.
Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau
akhirat, maka suatu perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu
dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar
dari segala bentuk mani’ .
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksdu dengan shah- baik dalam bidang ibadat atau muamalah –
yaitu ; telah mencapai tujuan”. Artinya tuntutan berbuat untuk
mengikuti tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan itu telah
tercapai bila hukum telah terlaksana. Pencapaian tujuan di sini
berbeda antara ibadat dan akad pada muamalah.
2. Fas ad
Fas ad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku
di kalangan jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti
yang sama dengan batal, baik dalam bidang ibadat maupun
muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama
H anafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan
antara fasid dengan batal.
Dengan demikian, ada kesamaan pendapat dalam hal
penamaan batal dengan fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan
yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum
berlaku sebab atau ada mani’ .
Dalam bidang akad atau muamalah ada kesepakataan
ulama dalam pemakaian arti sah, yaitu ;” suatu akad yang telah
memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak ada
1. Shah ;
Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan
istilah “sah” – dipakai secara mutlak dengan dua pandangan :
Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai
pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu
mempunyai arti secara hukum.
Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu mempunyai
pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas
pahala dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan
mendapat pahala diakhirat.
Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau
akhirat, maka suatu perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu
dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar
dari segala bentuk mani’ .
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksdu dengan shah- baik dalam bidang ibadat atau muamalah –
yaitu ; telah mencapai tujuan”. Artinya tuntutan berbuat untuk
mengikuti tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan itu telah
tercapai bila hukum telah terlaksana. Pencapaian tujuan di sini
berbeda antara ibadat dan akad pada muamalah.
2. Fas ad
Fas ad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku
di kalangan jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti
yang sama dengan batal, baik dalam bidang ibadat maupun
muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama
H anafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan
antara fasid dengan batal.
Dengan demikian, ada kesamaan pendapat dalam hal
penamaan batal dengan fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan
yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum
berlaku sebab atau ada mani’ .
Dalam bidang akad atau muamalah ada kesepakataan
ulama dalam pemakaian arti sah, yaitu ;” suatu akad yang telah
memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak ada
padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam menetapkan hukum tidak
sah ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama akad yang tidak sah itu hanya ada satu
macam ; tidak berbeda antara batal dan fasid, baik kekurangan pada
rukun maupun pada syarat dan sifatnya. Menurut ulama Hanafiyah
bila kekurangan atau kesalahan ada pada rukun dari suatu akad,
perbuatan itu disebut batal dan tidak memberi bekas apa-apa,
karena tidak ada sebab dan dengan sendirinya tidak membawa
akibat hukum. Dalam perkawinan umpamanya, tidak ada salah satu
pihak yang berakad.
bila kekurangannya atau kesalahan ada pada salah
satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum disebut
fasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah
menghasilkan sebagian akibat dengan telah adanya sebab bagi
hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka harus
disempurnakan kemudian. Dalam nikah umapanya belum ada
mahar. Akad nikah dapat berlangsung tetapi sesudah itu suami harus
memberikan mahar kepada istrinya.
3. Batal
Batal yang ada dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“batal” – yaitu kebalikan dari sah. Batal juga mempunyai dua arti
dilihat dari segi dalam bidang apa kata bathal itu dipakai :
a. Batal d igunakan untuk arti “tidak ber pengaruhnya perbuatan bagi
pelaku dalam kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam ibadat,
muamalah dan akad. Arti batal dalam ibadat yaitu bahwa ibadat
itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta
belum menggugurkan kewajiban qadha’ .
Ibadat dikatakan batal bila menyalahi tujuan S yari’ dalam
menetapkan amalan itu. Bertentangan dengan maksud syarak itu
terkadang mengenai materi ibadat itu sendiri, seperti tidak cukup
rukun dan syaratnya, atau ada mani’ , dan terkadang juga
mengenai sifat luar yang terlepas darinya.
Muamalah dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti
atau manfaat yang diharapkan secara hukum¸ yaitu adanya
peralihan hak milik atau menghalalkan hubungan yang semula
haram. Biasanya hal -hal yang mengenai muamalah atau akad itu
menyangkut kepentingan di dunia dan oleh karenanya pembicara
di sini dilihat dari dua hal :
1) Dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang diizinkan atau
disuruh oleh S yari’
2) Dari segi kembalinya kepentingan hamba (manusia)
b. B atal dipakai untuk tidak berpengaruhnya perbuatan itu bagi
pelaku di akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya
bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungikan
sebagai berikut :
1) perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan
orang tidur.
2) Perbuatan itu dilakukan hanya semata – mata mencari
tujuannya yaitu pahala.
3) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki
tapi dalam bentuk keterpaksaan.
4) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki
dalam bentuk ikhtiyari seperti seseorang melakukan
sesuatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu
mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan
dilakukannya.
-
haram. Biasanya hal -hal yang mengenai muamalah atau akad itu
menyangkut kepentingan di dunia dan oleh karenanya pembicara
di sini dilihat dari dua hal :
1) Dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang diizinkan atau
disuruh oleh S yari’
2) Dari segi kembalinya kepentingan hamba (manusia)
b. B atal dipakai untuk tidak berpengaruhnya perbuatan itu bagi
pelaku di akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya
bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungikan
sebagai berikut :
1) perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan
orang tidur.
2) Perbuatan itu dilakukan hanya semata – mata mencari
tujuannya yaitu pahala.
3) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki
tapi dalam bentuk keterpaksaan.
4) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki
dalam bentuk ikhtiyari seperti seseorang melakukan
sesuatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu
mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan
dilakukannya.
-.
Bagi umat Islam d alam kehidupan sehari-hari tidak boleh
hidup sekehendak hati sendiri, karena semuanya ketentuan yang
telah diatur oleh al- Hakim Allah swt. Allah lah Sang pembuat hukum
yang dititahkan kepada seluruh mukallaf , baik yang berkaitan
dengan hukum taklifi seperti wajib, sunah, haram, makruh, mubah
maupun yang terkait dengan hukum wadh’i seperti sebab, syarat,
halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah .
Objek hukum dalam ushul fiqh sering disebut dengan istilah
mahkum fih karena di dalamnya ada status hokum yang
melekat seperti hukum wajib, sunah, haram dan sebagainya.
Jelasnya, perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah
Allah swt. dinamakan mahkum fih, sedangkan seseorang yang
dikenai khitab itulah yang disebut mahkum ‘alaih ( mukallaf ).
Patut dicamkan bahwa dalam k ehidupan ini, umat Islam akan
selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syarak,
sebab hukum syarak selalu melekat pada diri seorang muslim.
Dengan demikian hukum syarak akan selalu ada sepanjang umat
muslim itu ada. Oleh karena itu, umat Islam wajib hukumnya
mempelajari dam memahami masalah-masalah yang berhubungan
dengan hukum syarak.
1. Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)
Dalam istilah ushul fiqh yang di sebut mahkum fih atau objek
hukum yaitu perbuatan mukallaf itu sendiri karena hukum Islam
memang diberlakukan pada perbuatan mukallaf .
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumhya, bahwa
hukum syarak terbagi atas 2 (dua) macam yaitu hukum taklifi dan
wadh’i. Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf
sedangkan sebagian hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan
dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincirnya matahari. Oleh
karena ia tidak terkait dengan perbuatan mukallaf, maka ia tidak
termasuk objek hukum. Menurut para ulama ushul, yang dimaksud
dengan mahkum fih yaitu objek hukum, yaitu perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul -Nya, baik
yang bersifat tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu
pekerjaan.
Firman Allah swt. Dalam QS Al -Maidah ayat 1:
ِر ح ْٞ ُـك ْٝ َأ ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ ِد ْٞ ُـوـُؼـُْ خ
Artinya : hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu
Beban kewajiban yang dapat diperoleh dari titah ayat ini
di atas berhubungan dengan perbuatan mukallaf , yaitu bahwa
menepati janji itu hukumnya wajib.
Firman Allah swt dalam QS Al-Baqarah ayat 282 :
ُٙ ْٞ ُـُزظـ ًْ َخك ٠ًّٔ ـَغـ ُٓ ٍَ ـََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َْذِـر ْْ ُظـْ٘ َـ٣حَذَـط حَِرا ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣
Artinya : Hai orang -orang yang beriman katika kamu sekalian
bertransaksi hutang sampai untuk waktu yang
ditentukan, maka catalah.
Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini
diatas yaitu terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu mencatat
hutang yang hukumnya yaitu sunah.
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumhya, bahwa
hukum syarak terbagi atas 2 (dua) macam yaitu hukum taklifi dan
wadh’i. Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf
sedangkan sebagian hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan
dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincirnya matahari. Oleh
karena ia tidak terkait dengan perbuatan mukallaf, maka ia tidak
termasuk objek hukum. Menurut para ulama ushul, yang dimaksud
dengan mahkum fih yaitu objek hukum, yaitu perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul -Nya, baik
yang bersifat tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu
pekerjaan.
Firman Allah swt. Dalam QS Al -Maidah ayat 1:
ِر ح ْٞ ُـك ْٝ َأ ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ ِد ْٞ ُـوـُؼـُْ خ
Artinya : hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu
Beban kewajiban yang dapat diperoleh dari titah ayat ini
di atas berhubungan dengan perbuatan mukallaf , yaitu bahwa
menepati janji itu hukumnya wajib.
Firman Allah swt dalam QS Al-Baqarah ayat 282 :
ُٙ ْٞ ُـُزظـ ًْ َخك ٠ًّٔ ـَغـ ُٓ ٍَ ـََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َْذِـر ْْ ُظـْ٘ َـ٣حَذَـط حَِرا ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣
Artinya : Hai orang -orang yang beriman katika kamu sekalian
bertransaksi hutang sampai untuk waktu yang
ditentukan, maka catalah.
Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini
diatas yaitu terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu mencatat
hutang yang hukumnya yaitu sunah.
Firman Allah swt dalam QS Al -An’am ayat 151 :
َّ٘ـُح حُُِٞـظـْوَـط َلَ ََٝظـْلـ ...
Artinya : Janganlah kamu sekalian membunuh jiwa ...
Keharaman yang dapat diambil dari titah ayat ini di atas
terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu membunuh jiwa yang
hukumnya yaitu haram.
Firman Allah swt dalam QS Al -Baqarah ayat 26 7 :
َٕ ْٞ ُـوِـلـْ٘ ُـط ُٚـْ٘ ـ ِٓ َغ٤ِْـزـَخُْ ح حٞـ ُٔ ـ َّٔ َـ٤َـط َلَ َٝ
Artinya : Dan janganlah amu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu
nafkahkan dari padanya
Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini
diatas yaitu terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu bersedekah
dengan harta yang berkualitas jelek yang hukumnya yaitu makruh.
Firman Allah swt dalam QS Al -Baqarah ayat 184 :
ُشـَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ـ ِّٓ ٌسَّذـِؼَـك ٍشَـلـَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼـ٣ِْشـ َٓ ْْ ٌُ ـْ٘ ـ ِٓ َٕ خ ًَ ْٖ َٔ َـك
Artinya : Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam
kedaan bepergian, maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain
Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini
diatas yaitu terkait dengan perbuatan muka llaf, yaitu bepergian
atau sakit, di mana kedua hal ini menjadi uzur syar’i bagi
diperbolehkannya seorang mukallaf tidak berpuasa pada bulan
Ramadan.
2. Macam- macam Mahkum Fih ( Objek Hukum)
Objek hukum atau perbuatan mukallaf itu terbagi menjadi 3
(tiga) macam yaitu :
a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang di
kenai taklif , seperti shalat dan puasa.
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta
benda pelaku taklif, seperti kewajiban membayar zakat .
c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan
harta dari pelaku taklif , seperti kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda,
pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian,
pembayaran zakat dapat di lakukan orang lain. Setiap takli f yang
berkaitan dengan diri pribadi harus di lakukan sendiri oleh yang
dikenai taklif dan tidak dapat di gantikan orang lain, dan setiap taklif
yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat
digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksakannya.
Beberapa kewajiban haji dapat di wakilkan kepada orang lain dalam
keadaan tidak mampu.
3. Syarat - syarat Mahkum Fih ( Objek Hukum )
Tidak semua manusia dikenai taklif atau pembebanan hokum
oleh Allah swt., melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Mukal laf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan,
sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakan.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus
mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah swt..
c. Perbuata n harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,
terkait dengan hal ini ada dengan beberapa syarat yaitu:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk
dikerjakan atau ditinggalkan.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang
di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
2. Macam- macam Mahkum Fih ( Objek Hukum)
Objek hukum atau perbuatan mukallaf itu terbagi menjadi 3
(tiga) macam yaitu :
a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang di
kenai taklif , seperti shalat dan puasa.
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta
benda pelaku taklif, seperti kewajiban membayar zakat .
c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan
harta dari pelaku taklif , seperti kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda,
pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian,
pembayaran zakat dapat di lakukan orang lain. Setiap takli f yang
berkaitan dengan diri pribadi harus di lakukan sendiri oleh yang
dikenai taklif dan tidak dapat di gantikan orang lain, dan setiap taklif
yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat
digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksakannya.
Beberapa kewajiban haji dapat di wakilkan kepada orang lain dalam
keadaan tidak mampu.
3. Syarat - syarat Mahkum Fih ( Objek Hukum )
Tidak semua manusia dikenai taklif atau pembebanan hokum
oleh Allah swt., melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Mukal laf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan,
sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakan.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus
mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah swt..
c. Perbuata n harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,
terkait dengan hal ini ada dengan beberapa syarat yaitu:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk
dikerjakan atau ditinggalkan.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang
di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3) Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan
perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4) Tercapainya syarat taklif ini , seperti iman dalam
masalah ibadah, suci dalam masalah shalat.
4. Syarat - syarat Pekerjaan yang di Taklifkan
Agar suatu perbuatan dapat ditaklifkan kepada mukallaf, maka
dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
a. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena
mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil
seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan.
Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu
belum ada dan mungkin akan terwujud.
b. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut
ukuran bisa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima
khitab itu.
c. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang
yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang
lain dengan jelas.
d. Mungkin dapat diketahui, oleh orang yang diberi tugas bahwa
pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya
mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan
yang diketahui disini ialah ada kemungkinan untuk dapat
diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan
memakai nazar.
e. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu
dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat
masuk golongan ini, kecuali dua perkara yaitu:
1) Nazar yang menyampaikan kita pada suatu kewajiban yang
tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak
diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
2) Pokok bagi iradat taat dan ikhlas, bagi yang taat dan ikhlas
terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang
dikehendaki niscaya terlaksana juga iradatnya itu.
Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana ini
di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang
tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan
olehnya.
2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah
dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi.
3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan
itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf , akan tetapi
sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar dilaksanakan
ada dua yaitu:
1) Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat
memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
2) Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat
memberatkan, hanya terasa lebih berat dari pada yang
biasa.
5. Hak Allah dan Hak Hamba .
Perbuatan mukallaf yang dituntut oleh Allah swt. dalam
kaitannya antara hak Allah dan hak hamba, terbagi menjadi 4 (empat)
macam, yaitu :
1. Pekerjaan - pekerjaan yang Dipandang Hak Allah
Perbuatan -perbuatan yang dipandang sebagai hak Allah yaitu
segala perbuatan yang kemaslahatannya itu akan terpulang kepada
warga umum, bukan untuk seseoarang tertentu saja, dan
pelaksanaanya diserahkan kepada pemerintahan yang sah.
Dikatakan sebagai hak Allah karena mengingat kepentingan yang
besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada perbuatan-
perbuatan itu. H al ini terbagi kepada beberapa bagian:
a. Perbuatan -perbuatan yang termasuk kategori ibadah mahdah
(murni), seperti iman, Islam, shalat, puasa, haji, umrah, dan
jihad. Tujuan dan hikmah dari ibadah-ibadah yang seperti ini
yaitu untuk menegakkan agama dan yang demikian sangat
Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana ini
di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang
tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan
olehnya.
2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah
dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi.
3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan
itu ada y