ilmu ushul fiqh 5




 unan rumah sakit, peradilan 

hukum dan pemberian fatwa, memulai salam dan menjawabnya, 

shalat atas orang mati dan lain sebagainya.  

 Jenis wajib k edua ini dinamakan wajib kifayah . Para fuqaha 

telah sepakat bahwa wajib kifayah  bila dilakukan oleh salah seorang 

                                                          

pelaku, makan tuntutan ini  telah dipenuhi dan gugurlah 

tanggung jawab dari orang-orang semuanya. Sebaliknya jika 

diabaikan dan tidak dilakukan oleh seorang pun, maka semua orang 

menanggung dosanya dan tanggung jawab nya. Sebaliknya semua 

orang menanggung dosanya dan tanggungjawabnya. Jumhur ahli 

ushul mengatakan, bahwa khitab itu ditunjukan kepada semua orang 

secara perorangan dan mereka berdalil atas hal itu dengan dua dalil: 

P ertama;  Sifat umum dari khitab dalam tuntutannya seperti 

firman Allah swt. “Diperintahkan kepadamu untuk berperang.” , atau 

“Berperanglah dija lan Allah.” 

K edua;  Penimpaan dosa bagi semua orang dengan 

meninggalkan perintah dan ini yaitu  tanda kewajiban bagi semua 

orang. 

Sebagian ahli ushul berpendapat, bahwa kewajiban itu 

tergantung pada seseorang, yaitu orang yang diduga kuat bahwa 

yang lain tidak melakukannya. Maka mukallaf  yaitu  seseorang yang 

tidak melakukannya di waktu khitab dan tidak ditentukan, kecuali 

dengan sangkaan itu. Sehingga timbullah sanggahan yang mashyur 

dari mereka, yaitu dalam hal ini ada  penimpaan dosa bagi salah 

seorang dari mereka dan itu tidak masuk akal, karena taklif  

berkaitan dengan orang yang berat dalam dugaannya bahwa yang 

lain tidak melakukannya, seakan-akan Al-Syari’ berkata : “ Aku ingin 

perbuatan ini berlaku bagi umat dan Aku diwajibkan atas salah 

seorang dari kamu yang menyangka bahwa yang lain tidak 

melakukannya untuk melakukannya.”  

Mereka berdalil bahwa taklif  berlaku bagi sebagian orang 

dengan dua dalil: 

Pertama : Bahwa sebagian tuntutan menurut kifayah 

ditunjukan kepada sebagian umat. 

Kedua : Gugurnya ke wajiban dengan perbuatan sebagian 

orang dan berarti gugurnya kewajiban atas mukallaf dengan 

perbuatan orang lain. 

Adapun pendapat bahwa wajib kifayah  ditujukan kepada 

sebagian tertentu di sisi Allah, maka tak adil baginya dan pendapat 

ini berarti bahwa muk allaf tidak tahu apa yang dibebankan 

kepadanya dan juga berarti tidak sah bagi seseorang untuk 

pelaku, makan tuntutan ini  telah dipenuhi dan gugurlah 

tanggung jawab dari orang-orang semuanya. Sebaliknya jika 

diabaikan dan tidak dilakukan oleh seorang pun, maka semua orang 

menanggung dosanya dan tanggung jawab nya. Sebaliknya semua 

orang menanggung dosanya dan tanggungjawabnya. Jumhur ahli 

ushul mengatakan, bahwa khitab itu ditunjukan kepada semua orang 

secara perorangan dan mereka berdalil atas hal itu dengan dua dalil: 

P ertama;  Sifat umum dari khitab dalam tuntutannya seperti 

firman Allah swt. “Diperintahkan kepadamu untuk berperang.” , atau 

“Berperanglah dija lan Allah.” 

K edua;  Penimpaan dosa bagi semua orang dengan 

meninggalkan perintah dan ini yaitu  tanda kewajiban bagi semua 

orang. 

Sebagian ahli ushul berpendapat, bahwa kewajiban itu 

tergantung pada seseorang, yaitu orang yang diduga kuat bahwa 

yang lain tidak melakukannya. Maka mukallaf  yaitu  seseorang yang 

tidak melakukannya di waktu khitab dan tidak ditentukan, kecuali 

dengan sangkaan itu. Sehingga timbullah sanggahan yang mashyur 

dari mereka, yaitu dalam hal ini ada  penimpaan dosa bagi salah 

seorang dari mereka dan itu tidak masuk akal, karena taklif  

berkaitan dengan orang yang berat dalam dugaannya bahwa yang 

lain tidak melakukannya, seakan-akan Al-Syari’ berkata : “ Aku ingin 

perbuatan ini berlaku bagi umat dan Aku diwajibkan atas salah 

seorang dari kamu yang menyangka bahwa yang lain tidak 

melakukannya untuk melakukannya.”  

Mereka berdalil bahwa taklif  berlaku bagi sebagian orang 

dengan dua dalil: 

Pertama : Bahwa sebagian tuntutan menurut kifayah 

ditunjukan kepada sebagian umat. 

Kedua : Gugurnya ke wajiban dengan perbuatan sebagian 

orang dan berarti gugurnya kewajiban atas mukallaf dengan 

perbuatan orang lain. 

Adapun pendapat bahwa wajib kifayah  ditujukan kepada 

sebagian tertentu di sisi Allah, maka tak adil baginya dan pendapat 

ini berarti bahwa muk allaf tidak tahu apa yang dibebankan 

kepadanya dan juga berarti tidak sah bagi seseorang untuk 

menunaikan kewajiban, karena ia tidak tahu apakah ia yang dibebani 

taklif atau lainnya. 

 

c .  Pembagian  Wajib berdasar  Kadar atau Ukurannya.  

Wajib terbagi atas muh addad (terbatas) dan ghairu muhaddad  

(tidak terbatas). Muhaddad  ialah yang ditentukan Alllah swt. kadar 

ukurannya sehingga ghoiru muhaddad yang tidak ditentukan oleh 

Allah swt. kadar ukurannya. Tuntutan-tuntutan Allah swt. ada 

kalanya terbatas ukurannya seperti shalat wajib, zakat dan harga -

harga pembelian. Ini semua menjadi tanggung jawab mukallaf  yang 

wajib atas diri nya sebagai hutang hingga ditunaikan. Dalil atas 

pembatasan dan penentuan itu ialah karena ia mengandung 

pengertian tujuan untuk melaksanakan perbuatan yang tertentu itu, 

sehingga jika dilaksanakan maka khitob itu tetap atasnya dan tidak 

gugur darinya kecuali dengan alas an yang benar. 

Syarat-syarat ja’liyah  beserta masyrutnya ada dua macam: 

1. Syarat yang menyempurnakan hikmah Allah swt. sehingga 

tidak ada  di dalamnya hal yang bertentangan dengan 

hikmah itu, seperti persayaratan gadai, kontan dan hutang 

dalam harga dan persyaratan haul dalam zakat dan 

penyimpanan barang dalam pemotongan harga. 

2.  Syarat yang tidak sesuai dengan maksud masyrutnya dan 

tidak menyempurnakan hikmahnya, akan tetapi sebagai 

kebalikannya yang pertama. Sebagiamana jika disyaratkan 

dalam perkawinan untuk tidak memberi nafkah kepada istri 

atau syarat dalam jual-beli untuk tidak memaanfaatkan 

barang yang dijual. Bagian ini juga tidak ada persoalan 

dengan hikamh dari sebab itu, maka tidaklah sah untuk 

menggabungkan keduanya sehingga menjadi sia-sia. 

 

2.  Mandub (Sunah)  

Mandub merupakan sinonim persamaan kata dari nafilah, 

sunah, tathawwu’  dan ihsan. Muhammad Abu Zahrah mendefinis ikan 

mandub sebagai : 

 

92   

 َلَ َٝ  ُُِٚـِػَخك ُدَخؼُـ٣ خ َٓ  ْٝ َأ ٍّ ِصَلَ َشـ٤ْـَؿ ًخزَـَِؽ َُِٚـْؼِـك ُعِسخَّشُح ََذَِؽ خ َٓ  َٞ ُـٛ ُد ْٝ ُذـْ٘ ـ َٔ ُْ  َح

 ُٚـًُ ِسَخط َُذهخـَؼُـ٣158 

 

Artinya : Mandub ialah perbuatan yang dituntut Syari’ . dengan 

tuntutan yang tidak pasti, atau sesuatu yang diberi pahala 

bagi pelakunya, akan tetapi tidak berdosa 

meninggalkannya.  

  

Perbuatan yang termasuk kategori sinah ini dibagi menjadi 

dua, yaitu sunah muakkadah  dan sunah ghairu muakkadah.  

a. Sunah muakkadah yaitu  sunah yang Nabi saw. Senantiasa 

mengerjakannya meskipun perbuatan ini  bukan hal 

yang wajib. Sebagai contoh ialah shalat witir, shalat sunah 2 

rakaat sebelum fajar, setelah zhuhur, setelah maghrib dan 

setelah isya’.  

b. Sunah ghairu muakkadah , yaitu sunah yang Nabi saw tidak 

secara rutin mengerjakannya. Sebagai contoh ialah shalat 

sunah 4 rakaat sebelum zhuhur, 4 rakaat sebelum ashar, 4 

rakaan sebelum isya’ atau sedekah sunah dalam keadaan 

darurat dan tidak ada orang lain yang sedekah.159  

  

Sebagian ulama ushul yang lain membagi sunah menjadi 3 

(tiga) macam, sebagai berikut: 

a. Sunah Huda, yaitu bila  pelaksanaannya sebagai pelengkap 

bagi kewajiban agama, seperti adzan shalat jamaah. Orang 

yang meninggalkan itu sesat dan berdosa sehingga bila  

semua orang sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka 

ini boleh diperangi. 

b. Sunah-Sunah Tambahan, yaitu hal-hal yang dikerjakan Nabi 

saw. berupa hal-hal biasa bersifat akhlak seperti dalam 

makan, minum, tidur dan pakaiannya. Jika dijalani oleh 

mukallaf yaitu  baik, sedang bila ditinggalkannya, maka tidak 

                                                           


 َلَ َٝ  ُُِٚـِػَخك ُدَخؼُـ٣ خ َٓ  ْٝ َأ ٍّ ِصَلَ َشـ٤ْـَؿ ًخزَـَِؽ َُِٚـْؼِـك ُعِسخَّشُح ََذَِؽ خ َٓ  َٞ ُـٛ ُد ْٝ ُذـْ٘ ـ َٔ ُْ  َح

 ُٚـًُ ِسَخط َُذهخـَؼُـ٣158 

 

Artinya : Mandub ialah perbuatan yang dituntut Syari’ . dengan 

tuntutan yang tidak pasti, atau sesuatu yang diberi pahala 

bagi pelakunya, akan tetapi tidak berdosa 

meninggalkannya.  

  

Perbuatan yang termasuk kategori sinah ini dibagi menjadi 

dua, yaitu sunah muakkadah  dan sunah ghairu muakkadah.  

a. Sunah muakkadah yaitu  sunah yang Nabi saw. Senantiasa 

mengerjakannya meskipun perbuatan ini  bukan hal 

yang wajib. Sebagai contoh ialah shalat witir, shalat sunah 2 

rakaat sebelum fajar, setelah zhuhur, setelah maghrib dan 

setelah isya’.  

b. Sunah ghairu muakkadah , yaitu sunah yang Nabi saw tidak 

secara rutin mengerjakannya. Sebagai contoh ialah shalat 

sunah 4 rakaat sebelum zhuhur, 4 rakaat sebelum ashar, 4 

rakaan sebelum isya’ atau sedekah sunah dalam keadaan 

darurat dan tidak ada orang lain yang sedekah.159  

  

Sebagian ulama ushul yang lain membagi sunah menjadi 3 

(tiga) macam, sebagai berikut: 

a. Sunah Huda, yaitu bila  pelaksanaannya sebagai pelengkap 

bagi kewajiban agama, seperti adzan shalat jamaah. Orang 

yang meninggalkan itu sesat dan berdosa sehingga bila  

semua orang sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka 

ini boleh diperangi. 

b. Sunah-Sunah Tambahan, yaitu hal-hal yang dikerjakan Nabi 

saw. berupa hal-hal biasa bersifat akhlak seperti dalam 

makan, minum, tidur dan pakaiannya. Jika dijalani oleh 

mukallaf yaitu  baik, sedang bila ditinggalkannya, maka tidak 

                                                           

berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan dengan 

kemakruhan dan keburukan. 

c. Nafl , yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardhu 

dan Sunah, seperti shalat tathawu’ . Ini menimbulkan pahala 

bagi pelakunya dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang 

meninggalkannya.160 

 

3.  Haram (Larangan)  

Haram ialah perbuatan yang dilarang oleh Syari’ melakukannya 

dengan larangan yang tegas dan pasti dan dikenakan hukuman bila 

dilakukan.161 Ulama Hanafi membagi tuntutan yang menyebabkan 

penolakan perbuatan menjadi 2 ( dua) bagian dengan memperhatikan 

cara penetapannya. 

a. Haram y ang telah tetap secara pasti (qath’i ), yaitu haram 

yang berdasar  nash-nash Alquran dan Sunah mutawatir 

serta ijmak. Ini akibatnya yaitu  tahrim  yang menurut 

mereka merupakan kebalikan fardlu. 

b. Ha ram yang tetap secara zhann i (dugaan kuat), yaitu haram 

yang dasarnya yaitu  khabar- khabar ahad  dan qiyas . Ini 

akibatnya ialah karahah tahrim, lawan kata dari wajib. 162  

Istilah mereka berbeda dalam menetapkan kadar makruh 

tahrim .  Berkata Muhammad: Setiap makruh  ke haram yaitu  

macam perbuatan yang boleh dilakukan. Imam Abu Hanifah dan Abu 

Yusuf ber pendapat bahwa  makruh itu lebih dekat kepada haram. 

Yang jelas mereka tidak suka menetapkan lafadh haram atas 

makruh, karena jalan ketetapan yang dikehendakinya tidaklah pasti, 

walaupun mereka bersepakat dengan lainnya dalam maknanya yaitu 

bahwa makruh itu dihukum perbuatannya seperti haram, hanya saja 

pengingkar makruh menjadi fasiq bukan kafir dan hal ini tak ada 

seorang pun yang menyalahi mereka, karena suatu hal yang jalannya 

                                                           

berdasar zha nn (sangkaan) tidaklah dikafirkan pelanggarrnya 

menurut seluruh ulama. 

 

4. Makruh .  

Makruh yaitu perbuatan yang Syari’ menuntut kepada mukallaf 

untuk meninggalkannya, tetapi tuntutannya tidak tegas atau tidak 

keras. Sifat tuntutan yang demikian dapat diketahui dari redaksi 

nash syarak sendiri. Atau ada larangan yang disertai pernyataan 

bahwa larangan ini  menunjukkan hokum makruh, bukan 

haram.  Sebagai contoh ialah firman Allah swt.  

 

 َذـْزُـط ْٕ ِا َءَآ٤ـَْشأ ْٖ ـَػ ح ْٞ ُـَُؤـْغَـط َلَ  : سذـثخـُٔح( ْْ ـ ًُ ْئُغَـط ْْ ٌُ َُ101) 

 

Artinya :  Dan janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal 

yang bila  diterangkan kepadamuniscaya akan 

menyusahkanmu.  

 

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa boleh jadi Syari’  

menuntut hal-hal di mana mukallaf diperbolehkan memilih salah 

satu di antaranya dari apa yang telah ditetapkan dalam tasyri’. Sudah 

barang tentu maksud khitab itu ialah larangan untuk mengumpulkan 

antara keduanya dan seseorang harus memilih salah satu di antara 

keduanya. Akibatnya ialah larangan mengumpulkan antara keduanya 

dan haruslah ia melakukan salah satunya. 

 

5.  Mubah  

Mubah mengandung pengertian bahwa seseorang diberikan 

kebebasan memilih oleh Syari’ antara mengerjakan atau 

meninggalkannya.164  Artinya, seorang mukallaf tidaklah dituntut 

untuk melakukannya dan tidak pula dituntut menjauhinya. Adapun 

ia tidak dituntut menjauhinya, karena hal-hal berikut: 

                                                           

berdasar zha nn (sangkaan) tidaklah dikafirkan pelanggarrnya 

menurut seluruh ulama. 

 

4. Makruh .  

Makruh yaitu perbuatan yang Syari’ menuntut kepada mukallaf 

untuk meninggalkannya, tetapi tuntutannya tidak tegas atau tidak 

keras. Sifat tuntutan yang demikian dapat diketahui dari redaksi 

nash syarak sendiri. Atau ada larangan yang disertai pernyataan 

bahwa larangan ini  menunjukkan hokum makruh, bukan 

haram.  Sebagai contoh ialah firman Allah swt.  

 

 َذـْزُـط ْٕ ِا َءَآ٤ـَْشأ ْٖ ـَػ ح ْٞ ُـَُؤـْغَـط َلَ  : سذـثخـُٔح( ْْ ـ ًُ ْئُغَـط ْْ ٌُ َُ101) 

 

Artinya :  Dan janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal 

yang bila  diterangkan kepadamuniscaya akan 

menyusahkanmu.  

 

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa boleh jadi Syari’  

menuntut hal-hal di mana mukallaf diperbolehkan memilih salah 

satu di antaranya dari apa yang telah ditetapkan dalam tasyri’. Sudah 

barang tentu maksud khitab itu ialah larangan untuk mengumpulkan 

antara keduanya dan seseorang harus memilih salah satu di antara 

keduanya. Akibatnya ialah larangan mengumpulkan antara keduanya 

dan haruslah ia melakukan salah satunya. 

 

5.  Mubah  

Mubah mengandung pengertian bahwa seseorang diberikan 

kebebasan memilih oleh Syari’ antara mengerjakan atau 

meninggalkannya.164  Artinya, seorang mukallaf tidaklah dituntut 

untuk melakukannya dan tidak pula dituntut menjauhinya. Adapun 

ia tidak dituntut menjauhinya, karena hal-hal berikut: 

                                                           

a. Sesungguhnya mubah menurut Allah swt. yaitu  perbuatan 

yang disuruh pilih antara mengerjakannya dan 

meninggalkannya tanpa pujian maupun celaan. 

b. Jika ditetapkan kesamaan antara perbuatan dan 

meninggalkannya secara syarak dalam masalah mubah, maka 

bila  orang yang meninggalkannya dianggap pelaku ketaatan 

bolehlah pelakunya dianggap pelaku ketaatan dengan 

perbuatannya dari segi perbuatan dan penolakannya yaitu  

sama terhadap mubah dan ini tidak dapat, bahkan tidak masuk 

akal. 

c. Kesepakatan bahwa pelaku nadzar meninggalkan mubah 

tidaklah lazim memenuhi nadzarnya dan andaikata penolakan 

mubah ini yaitu  ketaatan, lazimlah penunaian nadzarnya.  

d. Andaikata meninggalkan mubah yaitu  ketaatan lazimlah 

penyingkiran mubah dari hukum syarak dari segi penglihatan 

kepada mubah itu sendiri dan hal itu batal menurut Ijmak.

Hal itu ditentang oleh Al -Ka’bi, karena ia menyangkal mubah 

dengan memandang kepada akibatnya bukan kepada perbuatan itu 

sendiri. Ringkasnya yaitu  kaidah ini tidak ditentang oleh 

seorangpun. Ini jika memandang mubah dari segi keadaannya 

sebagai mubah. Jika memandangnya dari segi penolakannya dari segi 

dalih untuk hal lainnnya, maka ia memberikan hukum yang 

disebabkannya. Allah swt. tidak mempunyai tujuan dalam perbuatan 

mubah dengan tidak menolaknya dan bukan pula dalam 

penolakannya tanpa melakukannya. 

Macam -macam Mubah : 

a. Mubah yang diungkapkan secara jelas untuk  memilih. 

Misalnya : “bila  e ngkau kehendaki kerjakanlah dan bila 

tidak engkau kehendaki, maka tinggalkanlah”.  

b. Mubah yang tidak ada  didalmnya dalil syar’i dari Allah 

swt. untuk menyuruh pilih, akan tetapi Allah swt. 

menjelaskan tidak aka nada kesempitan jika dikerjakan. 

                                                           

c. Mubah y ang tidak ada  sama sekali ketentuan dari Syari’ 

sehingga yang berlaku yaitu  hukum asalnya, yaitu 

mubah. 

Semua macam ini ada secara pasti, walaupun sebagian 

Mu’tazilah telah menentang penamaan mubah sebagai hukum syarak 

dan mereka berpendapat bahwa ini yaitu  ketentuan dari Allah swt. 

bagi sesuatu atas keadaan sebelumnya untuk menghilangkan 

kepicikan sebagai akibat mengerjakan atau meninggalkannya. 

c. Mubah y ang tidak ada  sama sekali ketentuan dari Syari’ 

sehingga yang berlaku yaitu  hukum asalnya, yaitu 

mubah.166 

 

Semua macam ini ada secara pasti, walaupun sebagian 

Mu’tazilah telah menentang penamaan mubah sebagai hukum syarak 

dan mereka berpendapat bahwa ini yaitu  ketentuan dari Allah swt. 

bagi sesuatu atas keadaan sebelumnya untuk menghilangkan 

kepicikan sebagai akibat mengerjakan atau meninggalkannya. ..

Ushul fiqh yaitu  ilmu pengetahuan tenta ng kaidah-kaidah 

dan pembahasan-  pembahasan yang dapat membawa kepada 

penemuan hukum amal perbuatan manusia berdasar  dalil-dalil 

yang spesifik dan terperinci. Oleh karena itu objek pembahasaan 

ushul fiqh ialah dalil –  dalil syarak yang ada  dalam Alquran dan 

H adis. Hukum syarak ialah titah Sang Pencipta syari’at yang 

berkaitan dengan perbuatan –  perbuatan orang mukallaf , yang 

mengandung suatu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, 

atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau 

penghalang bagi adanya hukumyang lain. Sebagaimana telah 

dikemukakan pada bab sebelumnya, Hukum syarak dibagi menjadi 2 

(dua) macam, yaitu hukum taklifi , dan hukum wadh’i . Pembahasan 

tentang hukum taklifi telah dikemukakan pada bab V, dan berikut ini 

akan dibahas tentang hukum wadh’i  dan macam-macamnya. 

 

A. Pengertian Hukum Wadh’i  

Hukum wadh’i  yaitu  hukum yang memiliki tujuan untuk 

menjadikan suatu hal menjadi sebab atau menjadi syarat atau 

penghalang atas adanya suatu hukum. Menurut Al -Amidi, termasuk 

hukum wadh’i  membicarakan hukum sesuatu apakah ia sah atau    

batal, ‘azimah  atau rukhshah , sah atau rusak (fasid).167  Sebagai 

contoh ialah, kepemilikan harta sampai batas nishab merupakan 

syarat bagi [emiliknya untuk membayar zakat. Kondisi suci seorang 

muslim yang baligh dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya 

shalat. Pembunuhan pewaris oleh calon ahli waris merupakan sebab 

gugurnya hak mewarisi. 

  

B.  Macam –  Macam Hukum Wadh’i  

Hukum wadh’i  tidak harus berhubungan langsung dengan 

tingkah laku manusia, tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan 

yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf  yang dinamakan 

hukum taklifi , baik hubungan itu dalam bentuk sebab-akibat, atau 

syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan 

halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i  itu ada 3 macam :  

 

1.  Sabab (sebab)  

Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat 

menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia 

, sabab disebut dengan “sebab” yang nerarti hal yang menimbulkan 

terjadinya sesuatu.168  Sebab menurut jumhur ulama yaitu  sesuatu 

yang jelas batas-batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda 

bagi adanya hukum. berdasar  definisi ini, ada 2 (dua) esensi 

yang terkandung di dalamnya. Pertama sesuatu itu tidak sah 

dijadikan sebagai sabab keculi Allah sendiri yang menjadikannya, 

karena hukum taklifi  merupakan pembebanan dari Allah swt., maka 

yang membebani yaitu  Allah swt. dan jika yang membebani yaitu  

Pembuat hukum ( Syari’ ), maka Dia-lah menjadikan sebab –  sebab 

hukum-hukumnya. 

                                                          

batal, ‘azimah  atau rukhshah , sah atau rusak (fasid).167  Sebagai 

contoh ialah, kepemilikan harta sampai batas nishab merupakan 

syarat bagi [emiliknya untuk membayar zakat. Kondisi suci seorang 

muslim yang baligh dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya 

shalat. Pembunuhan pewaris oleh calon ahli waris merupakan sebab 

gugurnya hak mewarisi. 

  

B.  Macam –  Macam Hukum Wadh’i  

Hukum wadh’i  tidak harus berhubungan langsung dengan 

tingkah laku manusia, tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan 

yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf  yang dinamakan 

hukum taklifi , baik hubungan itu dalam bentuk sebab-akibat, atau 

syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan 

halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i  itu ada 3 macam :  

 

1.  Sabab (sebab)  

Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat 

menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia 

, sabab disebut dengan “sebab” yang nerarti hal yang menimbulkan 

terjadinya sesuatu.168  Sebab menurut jumhur ulama yaitu  sesuatu 

yang jelas batas-batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda 

bagi adanya hukum.169 berdasar  definisi ini, ada 2 (dua) esensi 

yang terkandung di dalamnya. Pertama sesuatu itu tidak sah 

dijadikan sebagai sabab keculi Allah sendiri yang menjadikannya, 

karena hukum taklifi  merupakan pembebanan dari Allah swt., maka 

yang membebani yaitu  Allah swt. dan jika yang membebani yaitu  

Pembuat hukum ( Syari’ ), maka Dia-lah menjadikan sebab –  sebab 

hukum-hukumnya. 

                                                          

Kedua, sebab -sebab ini bukanlah faktor penyebab adanya 

hukum taklifi , melinkan sekedar indikasi kemunculannya.

Selanjutnya mengenai “s abab”  ini terbagi menjadi 2 ( dua) yaitu:  

1. Sabab yang berada di luar batas kemampuan mukal laf. Sabab 

yang berada di luar batas kemampuan mukal laf ialah sabab yang 

dijadikan Allah swt. sebagai pertanda atas adanya hukum. Kita 

tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda 

hukum oleh Allah swt. 

2.  Sebab yang berada dalam batas kemampuan muka llaf. Sebab 

yang berada dalam batas kemampuan mukal laf  ialah sebab 

dalam bentuk perbuatan mukal laf  yang ditetapkan oleh 

pembuat hukum akibat hukumnya. 

3.  Sebab dalam bentuk perbuatan mukllaf di atas terbagi pula 

kepada tiga macam: 1) Sebab yang dituntut oleh pembuat 

hukum untuk diadakan : artinya dituntut untuk 

memperbuatnya; 2) Dituntut dalam bentuk tuntutan untuk 

meningalkannya; 3) Diberi izin untuk melakukannya selama 

berada dalam batas kemampuan mukallaf . .

Ditinjau dari segi ia menghendaki membawa maslahat dan 

menghindarkan mafsadat atau kerusakan, ia berada di bawah hukum 

taklifi . Ditinjau dari segi Allah menjadikannya, mengandung akibat 

terhadap hukum lain, ia termasuk wilayah hukum wadh’i.  Dalam 

bentuk ini perlu diperhatikan beberapa hal : 

1. Suatu sebab bila ada dalam bentuk tuntutan atau izin berbuat, 

maka hukum diakibatkannya berbentuk hak-hak yang dapat 

diterima. 

2.  Setiap sebab mengakibatkan sesuatu hukum yang disebut 

musabab, meskipun pelaku yang melakukan sebab itu tidak 

menghendaki adanya. Alasannya ialah karena sebab bukanlah 

dengan sendirinya berpengaruh terhadap hukum; yang 

berperan terhadap ada atau tidak adanya hukum yaitu  syar’i 

(pembuat hukum) sendiri. 

                                                           

3.  Menetapkan sesuatu sebab, menuntut adanya kesengajaan yang 

menetapkan kepada musabab karena kita mengetahui secara 

pasti bahwa sebab itu tidak akan menjadi sebab dengan 

sendirinya dari segi keberadaannya, tetapi menjadi sebab 

dengan sendirinya dari segi timbulnya sesuatu yang lain sebagai 

akibatnya 

4.  Hukum syarak sesungguhnya ditetapkan untuk mendatangkan 

kemaslahatan atau menolak kerusakan. Itulah yang menjadi 

musababnya secara pasti. 

5.  Sebab yang terlarang yaitu  sebab yang akan mendatangkan 

kerusakan, bukan mendatangkan kemaslahaan, sebagaimana 

sebab yang ditentukan menurut syarak yaitu  sebab yang akan 

mendatangkan maslahat. 

 

Kesimpulannya ialah b ahwa kerusakan yang timbul dari sebab 

yang ditetapkan syarak sebenarnya bukanlah timbul dari sebab itu 

sendiri; tetapi timbul dari sebab lain yang bersamaan dengan itu.  

 

2.  Syarat  

Para ahli memberikan definisi yang berbeda terhadap syarat 

dalam bentuk perbedaan yang tidak begitu berarti. Dari satu sisi, 

syarat sama dengan sebab, yaitu bahwa hukum tergantung kepada 

adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti hukum pun tidak 

ada. Berbeda halnya dengan  sebab, keberadaan sebab menuntut 

adannya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu menuntut 

adannya hukum. Oleh karena itu ulama ushul mendefinisikan syarat 

sebagai : 

 

 ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُّ َذـَػ ِٚ ـ ِٓ  َذـَػ ْٖ ِٓ  ُّ َضـِْ َ٣ َٝ  ,  ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ  ِٚ ـ٤َْـِـَػ ُق ّـَه َٞ َـظَـ٣ ِٟزَُّح ُشـ ْٓ ََْلْح

 ُؿ ُٝ  ْٖ ِٓ  ُّ َضـِْ َـ٣ َلَ َٝ . ِْ ٌْ ُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ  ِٙ ِد ْٞ ـ172 

 

Artinya : sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, dan pasti 

jika tidak ada syarat, maka tidak akan ada hukum, 

meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis aka nada 

hukum. 

                                                           

3.  Menetapkan sesuatu sebab, menuntut adanya kesengajaan yang 

menetapkan kepada musabab karena kita mengetahui secara 

pasti bahwa sebab itu tidak akan menjadi sebab dengan 

sendirinya dari segi keberadaannya, tetapi menjadi sebab 

dengan sendirinya dari segi timbulnya sesuatu yang lain sebagai 

akibatnya 

4.  Hukum syarak sesungguhnya ditetapkan untuk mendatangkan 

kemaslahatan atau menolak kerusakan. Itulah yang menjadi 

musababnya secara pasti. 

5.  Sebab yang terlarang yaitu  sebab yang akan mendatangkan 

kerusakan, bukan mendatangkan kemaslahaan, sebagaimana 

sebab yang ditentukan menurut syarak yaitu  sebab yang akan 

mendatangkan maslahat. 

 

Kesimpulannya ialah b ahwa kerusakan yang timbul dari sebab 

yang ditetapkan syarak sebenarnya bukanlah timbul dari sebab itu 

sendiri; tetapi timbul dari sebab lain yang bersamaan dengan itu.  

 

2.  Syarat  

Para ahli memberikan definisi yang berbeda terhadap syarat 

dalam bentuk perbedaan yang tidak begitu berarti. Dari satu sisi, 

syarat sama dengan sebab, yaitu bahwa hukum tergantung kepada 

adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti hukum pun tidak 

ada. Berbeda halnya dengan  sebab, keberadaan sebab menuntut 

adannya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu menuntut 

adannya hukum. Oleh karena itu ulama ushul mendefinisikan syarat 

sebagai : 

 

 ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُّ َذـَػ ِٚ ـ ِٓ  َذـَػ ْٖ ِٓ  ُّ َضـِْ َ٣ َٝ  ,  ِْ ٌْ ـُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ  ِٚ ـ٤َْـِـَػ ُق ّـَه َٞ َـظَـ٣ ِٟزَُّح ُشـ ْٓ ََْلْح

 ُؿ ُٝ  ْٖ ِٓ  ُّ َضـِْ َـ٣ َلَ َٝ . ِْ ٌْ ُلُْ ح ُد ْٞ ـُؿ ُٝ  ِٙ ِد ْٞ ـ172 

 

Artinya : sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, dan pasti 

jika tidak ada syarat, maka tidak akan ada hukum, 

meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis aka nada 

hukum. 

                                                           

Syarat itu ada tiga bentuk : 

1. Syarat ‘aqli ; Seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat 

mengetahui. Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif 

atau beban hukum. 

2.  Syarat ‘adi ; Artinya berdasar  atas kebiasaan yang berlaku; 

seperti ber-sentuhnya api dengan barang yang daat terbakar 

menjadi syarat berlangsungnya kebakaran. 

3.  Syarat syar’ i; Syarat berdasar  penetapan syarak, seperti 

sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. 

  

Syarat secara garis besarnya merupakan pelengkap bagi sebab 

atau pelengkap bagi musabab. Dengan demikian, syarat itu ada dua 

macam : 

1. Syarat sebagai pelengkap bagi sebab; Syarat yang hikmahnya 

ditetapkan sebagai penguat bagi hikmahnya sebagi sebab. 

2.  Syarat sebagai pelengkap bagi hukum atau musabab; Syarat yang 

menguatkan hakikat musabab; artinya menguatkan rukunnya.  

  

Syarat yang merupakan pelengkap bagi musabab sebagaimana 

dikemukakan di atas berbeda dengan syarat yang menjadi pelengkap 

bagi rukun; karena itu sesuatu yang menentukan adanya musabab 

dan merupakan bagian darinya, tidak berada di luarnya. 

Syarat dari segi hubungannya dengan masyrut h secara hukum 

terbagi menjadi dua yaitu : 

1. Syarat yang kembali pada hukum taklifi , baik disuruh 

melakukannya, seperti bersuci bagi keperluan shalat atau 

membersihkan pakaian yang merupakan syarat bagi shalat itu. 

Syarat dalam bentuk ini jelas adannya kesengajaan dari pembuat 

hukum. 

2.  Syarat yang kembali pada hukum wadh’i  seperti haul atau 

berlalunya tahun yang menjadi syarat bagi kewajiban zakat. 

Syarat dalam bentuk ini tidak ada kesengajaan bagi pembuat 

hukum atau Allah swt. Untuk menghasilk annya ditinjau dari segi 

keberadaannya sebagai syarat; begitu pula tidak ada kesengajaan 

untuk tidak mengadakaannya. Tetapnnya ukuran nisab itu satu 

tahun hingga wajib padannya zakat bukanlah sesuatu yang  

dituntut mengerjakaannya dan tidak pula di tuntut untuk 

meninggalkannya. 

  

Syarat yang kembali pada hukum wadh’i  itu terbagi menjadi 

dua, yaitu : 

1. Syarat syar’iyah; yaitu syarat -syarat yang ditetapkan Allah untuk 

terjadinnya sebab atau terjadinnya musabab. 

2.  Syarat ja’liyah ; ialah syarat yang diperbolehkan ol eh Syari’  

dilakukan oleh pihak yang melakukan akad pada saat 

melangsungkan akad untuk berlakunya hukumannya. Ia yaitu  

syarat yang ditetapkan untuk terlaksannya hukum yang 

dikaitkan dengan akad.  

Syarat ja’liyah  yang merupakan perbuatan mukalaf yang 

dibolehkan Syar’i , terbagi dua : 

a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini 

merupakan pelengkap bagi sebab, seperti mengaitkan akad 

atas syarat. 

b. Syarat yang melengkapi musabab, yaitu syarat yang 

beriringan dengan akad sehingga menyebabkan 

kelazimaan nya atau mengekalkan kelazima itu.  

 

Syarat ja’liyah  yang dua ini dibolehkan Syari’  berlaku 

dalam akad, tidak dibolehkan secara mutlak dan juga tidak 

dilarang secara mutlak.  

Beberapa masalah yang kembali kepada syarat ja’li  itu 

ialah sesuatu yang ditetapkan oleh Syari’  sebagai syarat, yang 

implikasinnya yaitu : 

a. Masyruth tidak mungkin terlaksana dengan adanya syarat itu, 

disebut “syarat sah”;  

b. Masyruth  tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan 

adannya syarat itu, disebut “syarat kamal”;  

dituntut mengerjakaannya dan tidak pula di tuntut untuk 

meninggalkannya. 

  

Syarat yang kembali pada hukum wadh’i  itu terbagi menjadi 

dua, yaitu : 

1. Syarat syar’iyah; yaitu syarat -syarat yang ditetapkan Allah untuk 

terjadinnya sebab atau terjadinnya musabab. 

2.  Syarat ja’liyah ; ialah syarat yang diperbolehkan ol eh Syari’  

dilakukan oleh pihak yang melakukan akad pada saat 

melangsungkan akad untuk berlakunya hukumannya. Ia yaitu  

syarat yang ditetapkan untuk terlaksannya hukum yang 

dikaitkan dengan akad.

Syarat ja’liyah  yang merupakan perbuatan mukalaf yang 

dibolehkan Syar’i , terbagi dua : 

a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini 

merupakan pelengkap bagi sebab, seperti mengaitkan akad 

atas syarat. 

b. Syarat yang melengkapi musabab, yaitu syarat yang 

beriringan dengan akad sehingga menyebabkan 

kelazimaan nya atau mengekalkan kelazima itu.  

 

Syarat ja’liyah  yang dua ini dibolehkan Syari’  berlaku 

dalam akad, tidak dibolehkan secara mutlak dan juga tidak 

dilarang secara mutlak.

Beberapa masalah yang kembali kepada syarat ja’li  itu 

ialah sesuatu yang ditetapkan oleh Syari’  sebagai syarat, yang 

implikasinnya yaitu : 

a. Masyruth tidak mungkin terlaksana dengan adanya syarat itu, 

disebut “syarat sah”;  

b. Masyruth  tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan 

adannya syarat itu, disebut “syarat kamal”;  

c. Mukllaf  menjadikannya sebagai syarat sedangkan Syari’  

menyalahinya, disebut syarat ja’li  dalam artian khusus, yanga 

terbagi dua sebagaimava disebutkan di atas.   

  

Syarat –  syarat dalam hubungannya dengan masyrut h 

terbagi tiga, yaitu: 

1. Syarat itu merupakaan pelengkap bagi hikmah sesuatu yang 

disyaratkan atau hukum; dan merupakan pendukung terhadap 

hukum; artinya, tidak bertentangan dengan hukum. Syarat -

syarat dalam bentuk ini tidak diragukan keabsahannya dan 

bersifat mengikat terhadap hukum. 

2.  Syarat itu tidak sejalan dengan tujuan hukum yang 

disyaratkan dan tidak pula melengkapi hikmahnnya, bahkan 

berlawanan dengan hukim itu sendiri.syarat dalam bentuk ini 

tidak diragukan tentang kebatalannya karena syarat itu 

berlawanan dengan tujuan ditetapkannya. 

3.  Syarat itu tidak tampak adannya perlawanav maupun 

kesejalannya dengan hukum yang disyaratkan. Syarat dalam 

bentuk ini merupakan hal yang diperbincangkan dikalangan 

ulama.  

 

3.  Mani’  ( penghalang ) . 

Definisi mani’  secara etimologi berarti “penghalang dari 

sesuatu”.  Secara terminologi, sesuatu yang ditetapkan syariat 

sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi 

berfungsinya sesuatu sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah 

karena telah mencukupi syarat dan rukunnya yaitu  sebagai sebab 

waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewaris itu bisa terhalang di 

sebabkan suami misalnya membunuh istrinya. 

Dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, ada dua macam 

mani’   yaitu : 

1. Mani’  yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya 

mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi. 

Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab 

atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti kepada 

sebab. 

2.  Mani’  yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak 

adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan 

adanya hukum 

Mani’  dalam kaitannya dengan hukum taklifi  terbagi 

kepada dua macam : 

1. Mani’  yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan 

taklifi , yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal  

dalam bentuknya; karena akal itu yaitu  satu syarat 

berlakunya taklif . Bila aka l itu hilang maka tidak mungkin ada 

tuntutan. 

2.  Mani’  yang mungkin berkumpul dengan asal takli f. Hal ini 

terbagi pula kepada dua: 

a. Mani’  yang dapat bertemu dengan asal taklif , tetapi 

adanya mani’  itu mengangkat asal taklif  secara 

menyeluruh. Mani’  ini mencabut prinsip taklifi , meskipun 

taklifi  pada waktu itu dapat dilaksanakan. 

b. Mani’  yang dapat bertemu dengan asal taklif dan tidak 

mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat 

keharusannya. Dengan demikian tuntutan wajibnya tidak 

berlaku lagi. Dengan tercabutnya hukum wajib taklifi  itu, 

maka yang berlaku selanjutnya ada dua kemunkinan yang 

merupakan pencabangan dari mani’, yaitu :  

1) Mani’  yang tidak mengangkat asal taklif , tetapi 

mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada 

kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau 

tidak. 

2) Mani’  yang tidak mengangkat asal taklifi ; tetapi hanya 

mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada 

“tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif ”. Semua 

bentuk rukhshah termasuk dalam bentuk ini. 

Mani’  dari segi tidak adanya kesengajaan syarak untuk 

dilakukan atau ditingalkan oleh mukllaf terbagi menjadi dua : 

Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab 

atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti kepada 

sebab. 

2.  Mani’  yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak 

adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan 

adanya hukum 

Mani’  dalam kaitannya dengan hukum taklifi  terbagi 

kepada dua macam : 

1. Mani’  yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan 

taklifi , yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal  

dalam bentuknya; karena akal itu yaitu  satu syarat 

berlakunya taklif . Bila aka l itu hilang maka tidak mungkin ada 

tuntutan. 

2.  Mani’  yang mungkin berkumpul dengan asal takli f. Hal ini 

terbagi pula kepada dua: 

a. Mani’  yang dapat bertemu dengan asal taklif , tetapi 

adanya mani’  itu mengangkat asal taklif  secara 

menyeluruh. Mani’  ini mencabut prinsip taklifi , meskipun 

taklifi  pada waktu itu dapat dilaksanakan. 

b. Mani’  yang dapat bertemu dengan asal taklif dan tidak 

mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat 

keharusannya. Dengan demikian tuntutan wajibnya tidak 

berlaku lagi. Dengan tercabutnya hukum wajib taklifi  itu, 

maka yang berlaku selanjutnya ada dua kemunkinan yang 

merupakan pencabangan dari mani’, yaitu :  

1) Mani’  yang tidak mengangkat asal taklif , tetapi 

mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada 

kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau 

tidak. 

2) Mani’  yang tidak mengangkat asal taklifi ; tetapi hanya 

mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada 

“tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif ”. Semua 

bentuk rukhshah termasuk dalam bentuk ini. 

Mani’  dari segi tidak adanya kesengajaan syarak untuk 

dilakukan atau ditingalkan oleh mukllaf terbagi menjadi dua : 

1. Mani’ yang termasuk lingkup tuntutan taklifi , baik dalam 

bentuk perintah atau larangan atau keizinan. Hukum ini akan 

tergantung kepada tidak adanya mani’ . 

2.  Mani’  yang termasuk dalam lingkup hukum wadh’i . Dalam hal 

ini tidak ada kesengajaan bagi Syari’  untuk menghasilkannya 

dari segi ia yaitu  mani’  dan juga tidak untuk tidak 

menghasilkannya. Yang dimaksud oleh S yari’  dengan adanya 

mani’  di sini ialah bila ada  mani’  maka terangkatlah 

sebab, yaitu hukum. 

Ulama H anafiyah membagi mani’  menjadi lima macam, 

yaitu : 

1. Mani’  yang menghalani kelangsungan sebab. 

2.  Mani’  yang menghalangi kesempurnaan sebab pada hak pihak 

yang tidak ikut dalam akad.  

3.  Mani’  yang menghalangi mulai berlakunya hukum. 

4.  Ma ni’ yang menghalangi kesempurnaan hukum.  

5.  Mani’  yang menghalangi kelaziman hukum.  

 

4.  Sah, Fasad  dan Batal  

Ditinjau dari segi hasil suatu perbuatan hukum dalam 

hubungannya dengan 3 (tiga) hukum wadh’i  ini  , para ahli 

memasukkan ke dalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu sah, fasad 

dan batal.   Ketiga istilah ini  merupakan sifat -sifat yang 

mengiringi hukum-hukum syarak, baik hukum taklifi  maupun 

hukum wadh’i . Sebagai conotoh yaitu  shalat yang merupakan objek 

hukum taklifi , akan dinilai sah bila  dilaksanakan dengan 

terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sahnya shalat. 

Sebaliknya, shalat tidak dianggap sah bila  tidak memenuhi 

syarat-syaratnya atau dilaksanakan tidak sesuai waktunya.   

Guna memperoleh pemahaman yang lengkap, berikut akan 

dijeaskan  mengenai ketiga istilah sah, fasad dan batal ini . 

1.  Shah ;  

Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan 

istilah “sah” –  dipakai  secara mutlak dengan dua pandangan : 

Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai 

pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu 

mempunyai arti secara hukum. 

Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu mempunyai 

pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas 

pahala dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan 

mendapat pahala diakhirat. 

Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau 

akhirat, maka suatu perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu 

dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar 

dari segala bentuk mani’ . 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang 

dimaksdu dengan shah- baik dalam bidang ibadat atau muamalah –  

yaitu  ; telah mencapai tujuan”. Artinya tuntutan berbuat untuk 

mengikuti tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan itu telah 

tercapai bila hukum telah terlaksana. Pencapaian tujuan di  sini 

berbeda antara ibadat dan akad pada muamalah. 

 

2.  Fas ad 

Fas ad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku 

di kalangan jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti 

yang sama dengan batal, baik dalam bidang ibadat maupun 

muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama 

H anafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan 

antara fasid dengan batal. 

Dengan demikian, ada  kesamaan pendapat dalam hal 

penamaan batal dengan  fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan 

yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum 

berlaku sebab atau ada  mani’ . 

Dalam bidang akad atau muamalah ada  kesepakataan 

ulama dalam pemakaian  arti sah, yaitu ;” suatu akad yang telah 

memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak ada  

  

1.  Shah ;  

Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan 

istilah “sah” –  dipakai  secara mutlak dengan dua pandangan : 

Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai 

pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu 

mempunyai arti secara hukum. 

Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu mempunyai 

pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas 

pahala dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan 

mendapat pahala diakhirat. 

Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau 

akhirat, maka suatu perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu 

dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar 

dari segala bentuk mani’ . 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang 

dimaksdu dengan shah- baik dalam bidang ibadat atau muamalah –  

yaitu  ; telah mencapai tujuan”. Artinya tuntutan berbuat untuk 

mengikuti tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan itu telah 

tercapai bila hukum telah terlaksana. Pencapaian tujuan di  sini 

berbeda antara ibadat dan akad pada muamalah. 

 

2.  Fas ad 

Fas ad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku 

di kalangan jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti 

yang sama dengan batal, baik dalam bidang ibadat maupun 

muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama 

H anafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan 

antara fasid dengan batal. 

Dengan demikian, ada  kesamaan pendapat dalam hal 

penamaan batal dengan  fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan 

yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum 

berlaku sebab atau ada  mani’ . 

Dalam bidang akad atau muamalah ada  kesepakataan 

ulama dalam pemakaian  arti sah, yaitu ;” suatu akad yang telah 

memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak ada  

padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam menetapkan hukum tidak 

sah ada  perbedaan pendapat. 

Menurut jumhur ulama akad yang tidak sah itu hanya ada satu 

macam ; tidak berbeda antara batal dan fasid,  baik kekurangan pada 

rukun maupun pada syarat dan sifatnya. Menurut ulama Hanafiyah 

bila kekurangan atau kesalahan ada  pada rukun dari suatu akad, 

perbuatan itu disebut batal dan tidak memberi bekas apa-apa, 

karena tidak ada  sebab dan dengan sendirinya tidak membawa 

akibat hukum. Dalam perkawinan umpamanya, tidak ada salah satu 

pihak yang berakad. 

bila  kekurangannya atau kesalahan ada  pada salah 

satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum disebut 

fasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah 

menghasilkan sebagian akibat dengan telah adanya sebab bagi 

hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka harus 

disempurnakan kemudian. Dalam nikah umapanya belum ada  

mahar. Akad nikah dapat berlangsung tetapi sesudah itu suami harus 

memberikan mahar kepada istrinya. 

 

3.  Batal  

Batal  yang ada dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah 

“batal” –  yaitu kebalikan dari sah. Batal juga mempunyai dua arti 

dilihat dari segi dalam bidang apa kata bathal itu dipakai  : 

a. Batal d igunakan untuk arti “tidak ber pengaruhnya perbuatan bagi 

pelaku dalam kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam ibadat, 

muamalah dan akad. Arti batal dalam ibadat yaitu  bahwa ibadat 

itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta 

belum menggugurkan kewajiban qadha’ . 

Ibadat dikatakan batal bila menyalahi tujuan S yari’  dalam 

menetapkan amalan itu. Bertentangan dengan maksud syarak itu 

terkadang mengenai materi ibadat itu sendiri, seperti tidak cukup 

rukun dan syaratnya, atau ada  mani’ , dan terkadang juga 

mengenai sifat luar yang terlepas darinya. 

Muamalah dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti 

atau manfaat yang diharapkan secara hukum¸ yaitu adanya 

peralihan hak milik atau menghalalkan hubungan yang semula    

haram. Biasanya hal -hal yang mengenai muamalah atau akad itu 

menyangkut kepentingan di dunia dan oleh karenanya pembicara 

di sini dilihat dari dua hal : 

1) Dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang diizinkan atau 

disuruh oleh S yari’  

2) Dari segi kembalinya kepentingan hamba (manusia) 

 

b. B atal dipakai  untuk tidak berpengaruhnya perbuatan itu bagi 

pelaku di akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya 

bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungikan 

sebagai berikut : 

1) perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan 

orang tidur. 

2) Perbuatan itu dilakukan hanya semata –  mata mencari 

tujuannya yaitu pahala. 

3) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki 

tapi dalam bentuk keterpaksaan. 

4) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki 

dalam bentuk ikhtiyari  seperti seseorang melakukan 

sesuatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu 

mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan 

dilakukannya. 

-

haram. Biasanya hal -hal yang mengenai muamalah atau akad itu 

menyangkut kepentingan di dunia dan oleh karenanya pembicara 

di sini dilihat dari dua hal : 

1) Dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang diizinkan atau 

disuruh oleh S yari’  

2) Dari segi kembalinya kepentingan hamba (manusia) 

 

b. B atal dipakai  untuk tidak berpengaruhnya perbuatan itu bagi 

pelaku di akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya 

bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungikan 

sebagai berikut : 

1) perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan 

orang tidur. 

2) Perbuatan itu dilakukan hanya semata –  mata mencari 

tujuannya yaitu pahala. 

3) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki 

tapi dalam bentuk keterpaksaan. 

4) Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki 

dalam bentuk ikhtiyari  seperti seseorang melakukan 

sesuatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu 

mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan 

dilakukannya. 

-.

Bagi umat Islam d alam kehidupan sehari-hari tidak boleh 

hidup sekehendak hati sendiri, karena  semuanya ketentuan yang 

telah diatur oleh al- Hakim  Allah swt. Allah lah Sang pembuat hukum 

yang dititahkan kepada seluruh mukallaf , baik yang berkaitan 

dengan hukum taklifi  seperti wajib, sunah, haram, makruh, mubah 

maupun yang terkait dengan hukum wadh’i  seperti sebab, syarat, 

halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah .  

Objek hukum dalam ushul fiqh sering disebut dengan istilah 

mahkum fih  karena di dalamnya ada  status hokum yang 

melekat seperti hukum wajib, sunah, haram dan sebagainya. 

Jelasnya, perbuatan seorang mukallaf  yang terkait dengan perintah 

Allah swt. dinamakan mahkum fih, sedangkan seseorang yang 

dikenai khitab itulah yang disebut mahkum ‘alaih  ( mukallaf ). 

Patut dicamkan bahwa dalam k ehidupan ini, umat Islam akan 

selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syarak, 

sebab hukum syarak selalu melekat pada diri seorang muslim. 

Dengan demikian  hukum syarak akan selalu ada sepanjang umat 

muslim itu ada. Oleh karena itu, umat Islam wajib hukumnya 

mempelajari dam memahami masalah-masalah yang berhubungan 

dengan hukum syarak. 

 

1.  Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)  

Dalam istilah ushul fiqh yang di sebut  mahkum fih atau objek 

hukum yaitu  perbuatan mukallaf itu sendiri karena hukum Islam 

memang diberlakukan pada perbuatan mukallaf .     

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumhya, bahwa 

hukum syarak terbagi  atas 2 (dua) macam yaitu hukum taklifi  dan 

wadh’i.  Hukum taklifi  jelas menyangkut perbuatan mukallaf  

sedangkan sebagian hukum wadh’i  ada yang tidak berhubungan 

dengan perbuatan mukallaf  seperti tergelincirnya matahari. Oleh 

karena ia tidak terkait dengan perbuatan mukallaf, maka ia tidak 

termasuk objek hukum. Menurut para ulama ushul, yang dimaksud 

dengan mahkum fih  yaitu  objek hukum, yaitu perbuatan seorang 

mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul -Nya, baik 

yang bersifat tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu 

pekerjaan.  

Firman Allah swt. Dalam QS Al -Maidah ayat 1:  

 

 ِر ح ْٞ ُـك ْٝ َأ ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ ِد ْٞ ُـوـُؼـُْ خ 

 

Artinya : hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu 

 

Beban kewajiban yang dapat diperoleh dari titah ayat ini  

di atas  berhubungan dengan perbuatan mukallaf , yaitu bahwa 

menepati janji itu hukumnya wajib. 

Firman Allah swt  dalam QS Al-Baqarah ayat 282 :  

 

 ُٙ ْٞ ُـُزظـ ًْ َخك ٠ًّٔ ـَغـ ُٓ  ٍَ ـََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َْذِـر ْْ ُظـْ٘ َـ٣حَذَـط حَِرا ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman katika kamu sekalian 

bertransaksi hutang sampai untuk waktu yang 

ditentukan, maka catalah.  

 

Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini  

diatas yaitu  terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu mencatat 

hutang  yang hukumnya yaitu  sunah. 

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumhya, bahwa 

hukum syarak terbagi  atas 2 (dua) macam yaitu hukum taklifi  dan 

wadh’i.  Hukum taklifi  jelas menyangkut perbuatan mukallaf  

sedangkan sebagian hukum wadh’i  ada yang tidak berhubungan 

dengan perbuatan mukallaf  seperti tergelincirnya matahari. Oleh 

karena ia tidak terkait dengan perbuatan mukallaf, maka ia tidak 

termasuk objek hukum. Menurut para ulama ushul, yang dimaksud 

dengan mahkum fih  yaitu  objek hukum, yaitu perbuatan seorang 

mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul -Nya, baik 

yang bersifat tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu 

pekerjaan.  

Firman Allah swt. Dalam QS Al -Maidah ayat 1:  

 

 ِر ح ْٞ ُـك ْٝ َأ ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ ِد ْٞ ُـوـُؼـُْ خ 

 

Artinya : hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu 

 

Beban kewajiban yang dapat diperoleh dari titah ayat ini  

di atas  berhubungan dengan perbuatan mukallaf , yaitu bahwa 

menepati janji itu hukumnya wajib. 

Firman Allah swt  dalam QS Al-Baqarah ayat 282 :  

 

 ُٙ ْٞ ُـُزظـ ًْ َخك ٠ًّٔ ـَغـ ُٓ  ٍَ ـََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َْذِـر ْْ ُظـْ٘ َـ٣حَذَـط حَِرا ح ْٞ ُـ٘ـ َٓ آ َٖ ٣ِْز ّـَُح َخ ُّٜ٣َأ َآ٣ 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman katika kamu sekalian 

bertransaksi hutang sampai untuk waktu yang 

ditentukan, maka catalah.  

 

Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini  

diatas yaitu  terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu mencatat 

hutang  yang hukumnya yaitu  sunah. 

Firman Allah swt dalam QS Al -An’am ayat 151 :  

 

 َّ٘ـُح حُُِٞـظـْوَـط َلَ ََٝظـْلـ  ... 

 

Artinya : Janganlah kamu sekalian membunuh jiwa ...  

 

Keharaman yang dapat diambil dari titah ayat ini  di atas 

terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu membunuh jiwa yang 

hukumnya yaitu  haram. 

Firman Allah swt dalam QS Al -Baqarah  ayat 26 7 :  

 

 َٕ ْٞ ُـوِـلـْ٘ ُـط ُٚـْ٘ ـ ِٓ  َغ٤ِْـزـَخُْ ح حٞـ ُٔ ـ َّٔ َـ٤َـط َلَ َٝ 

 

Artinya : Dan janganlah amu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu 

nafkahkan dari padanya  

 

Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini  

diatas yaitu  terkait dengan perbuatan mukallaf , yaitu bersedekah 

dengan harta yang berkualitas jelek yang hukumnya yaitu  makruh. 

Firman Allah swt dalam QS Al -Baqarah ayat 184 :  

 

 ُشـَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ـ ِّٓ  ٌسَّذـِؼَـك ٍشَـلـَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼـ٣ِْشـ َٓ  ْْ ٌُ ـْ٘ ـ ِٓ  َٕ خ ًَ  ْٖ َٔ َـك 

 

Artinya : Maka barang  siapa di antara kamu yang sakit atau dalam 

kedaan bepergian, maka (wajiblah baginya berpuasa) 

sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain 

 

Pelajaran hukum yang dapat diambil dari titah ayat ini  

diatas yaitu  terkait dengan perbuatan muka llaf, yaitu bepergian 

atau sakit, di mana kedua hal ini  menjadi uzur syar’i bagi 

diperbolehkannya seorang mukallaf tidak berpuasa pada bulan 

Ramadan.  

 

2.  Macam- macam Mahkum Fih ( Objek Hukum)  

Objek hukum atau perbuatan mukallaf  itu terbagi menjadi 3 

(tiga) macam yaitu : 

a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang di 

kenai taklif , seperti shalat dan puasa.  

b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta 

benda pelaku taklif, seperti kewajiban membayar zakat . 

c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan 

harta dari pelaku taklif , seperti kewajiban haji. 

  

Setiap taklif  yang berkaitan dengan harta benda, 

pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, 

pembayaran zakat dapat di lakukan orang lain. Setiap takli f yang 

berkaitan dengan diri pribadi harus di lakukan sendiri oleh yang 

dikenai taklif dan tidak dapat di gantikan orang lain, dan setiap taklif   

yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat 

digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksakannya. 

Beberapa kewajiban haji dapat di wakilkan kepada orang lain dalam  

keadaan tidak mampu.  

 

3.  Syarat - syarat Mahkum Fih  ( Objek Hukum )  

Tidak semua manusia dikenai taklif  atau pembebanan hokum 

oleh Allah swt., melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai 

berikut : 

a. Mukal laf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, 

sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat 

dilaksanakan. 

b. Mukallaf  harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus 

mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah swt..  

c. Perbuata n harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, 

terkait dengan hal ini ada  dengan beberapa syarat yaitu: 

1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk 

dikerjakan atau ditinggalkan. 

2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang 

di taklifkan untuk dan atas nama orang lain. 

2.  Macam- macam Mahkum Fih ( Objek Hukum)  

Objek hukum atau perbuatan mukallaf  itu terbagi menjadi 3 

(tiga) macam yaitu : 

a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang di 

kenai taklif , seperti shalat dan puasa.  

b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta 

benda pelaku taklif, seperti kewajiban membayar zakat . 

c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan 

harta dari pelaku taklif , seperti kewajiban haji. 

  

Setiap taklif  yang berkaitan dengan harta benda, 

pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, 

pembayaran zakat dapat di lakukan orang lain. Setiap takli f yang 

berkaitan dengan diri pribadi harus di lakukan sendiri oleh yang 

dikenai taklif dan tidak dapat di gantikan orang lain, dan setiap taklif   

yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat 

digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksakannya. 

Beberapa kewajiban haji dapat di wakilkan kepada orang lain dalam  

keadaan tidak mampu.  

 

3.  Syarat - syarat Mahkum Fih  ( Objek Hukum )  

Tidak semua manusia dikenai taklif  atau pembebanan hokum 

oleh Allah swt., melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai 

berikut : 

a. Mukal laf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, 

sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat 

dilaksanakan. 

b. Mukallaf  harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus 

mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah swt..  

c. Perbuata n harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, 

terkait dengan hal ini ada  dengan beberapa syarat yaitu: 

1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk 

dikerjakan atau ditinggalkan. 

2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang 

di taklifkan untuk dan atas nama orang lain. 

3) Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan 

perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia. 

4) Tercapainya syarat taklif ini , seperti iman dalam 

masalah ibadah, suci dalam masalah shalat.  

 

4.  Syarat - syarat Pekerjaan yang di Taklifkan  

Agar suatu perbuatan dapat ditaklifkan kepada mukallaf, maka 

dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat: 

a. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena 

mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil 

seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. 

Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu 

belum ada dan mungkin akan terwujud. 

b. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut 

ukuran bisa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima 

khitab itu. 

c. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang 

yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang 

lain dengan jelas. 

d. Mungkin dapat diketahui, oleh orang yang diberi tugas bahwa 

pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya 

mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan 

yang diketahui disini ialah ada kemungkinan untuk dapat 

diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan 

memakai  nazar.  

e. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu 

dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat 

masuk golongan ini, kecuali dua perkara yaitu: 

1) Nazar yang menyampaikan kita pada suatu kewajiban yang 

tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak 

diketahui wajibnya sebelum dikerjakan. 

2) Pokok bagi iradat taat dan ikhlas, bagi yang taat dan ikhlas 

terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang 

dikehendaki niscaya terlaksana juga iradatnya itu. 

Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana ini  

di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut: 

1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang 

tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan 

olehnya.  

2.  Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah 

dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. 

3.  Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan 

itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf , akan tetapi 

sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar dilaksanakan 

ada dua yaitu: 

1) Yang kesukarannya itu luar  biasa dalam arti sangat 

memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan. 

2)  Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat 

memberatkan, hanya terasa lebih berat dari pada yang 

biasa.   

 

5.  Hak Allah dan Hak Hamba . 

Perbuatan mukallaf  yang dituntut oleh Allah swt. dalam 

kaitannya antara hak Allah dan hak hamba, terbagi menjadi 4 (empat) 

macam, yaitu :  

1.  Pekerjaan - pekerjaan yang Dipandang Hak Allah  

Perbuatan -perbuatan yang dipandang sebagai hak Allah yaitu  

segala perbuatan yang kemaslahatannya itu akan terpulang kepada 

warga  umum, bukan untuk seseoarang tertentu saja, dan 

pelaksanaanya diserahkan kepada pemerintahan yang sah. 

Dikatakan sebagai hak Allah karena mengingat kepentingan yang 

besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada perbuatan-

perbuatan itu. H al ini terbagi kepada beberapa bagian: 

a. Perbuatan -perbuatan yang termasuk kategori ibadah mahdah  

(murni), seperti iman, Islam, shalat, puasa, haji, umrah, dan 

jihad. Tujuan dan hikmah dari ibadah-ibadah yang seperti ini 

yaitu  untuk menegakkan agama dan yang demikian sangat 

                                                                                                                                 

Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana ini  

di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut: 

1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang 

tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan 

olehnya.  

2.  Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah 

dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. 

3.  Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan 

itu ada y