ilmu ushul fiqh 4



 saan 

meminum minuman keras dalam acara-acara hajatan, praktik-

praktik ribawi-rentenir di kalangan pedagang lemah untuk 

memperoleh modal, memperoleh kekayaan dengan cara berjudi 

togel, dan lain sebagainya.  

 

berdasar  penjelasan di atas, maka dapat diketahui 

mengenai kehujjahan ’urf , di mana para ulama berpendapat bahwa 

‘urf  yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan 

mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau 

keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum 

berdasar  perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Berarti 

menganggap apa yang ada  dalam warga  dapat dijadikan 

sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan 

syarak. 

Imam al-Syafi’i terkenal dengan qa ul q adim  dan q aul jadidnya, 

karena melihat pratik yang belaku pada warga  Bag hdad dan 

M esir yang berlainan. Sedangkan ‘ urf fasid tidak dapat diterima , hal 

itu jelas karena bertentangan dengan nash maupun ketentuan 

umum nash. 

 

4. Mas hlahah Mursalah  

Mash lahah mursalah  terdiri dari dua kata yaitu mashlahat dan 

mursalah. Pengertian m ashlahah secara etimologi yaitu  usaha  

mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat . Dari 

sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mamiliki dua terma yaitu 

adanya manfaat (يباجإ) dan menjauhkan madharat (يبلس). Terkadang 

mashlahah ini ditinjau dari aspek ijab - nya sajadan menjadi qorinah  

menghilangkan mafsadat.  

Sebagai contoh yaitu  bentuk perdagangan dengan cara indent 

atau pesan sebelumnya, model pembayaran mahar dengan cara 

kontan atau terhutang, kebiasaan pemberian hadiah oleh 

mempelai pria kepada mempelai wanita di luar mahar, dan lain 

sebagainya.  

b. ‘urf fasid ; yaitu   adat kebiasaan orang-orang yang bertentangan 

dengan ketentuan syarak. Sebagai contoh ialah kebiasaan 

meminum minuman keras dalam acara-acara hajatan, praktik-

praktik ribawi-rentenir di kalangan pedagang lemah untuk 

memperoleh modal, memperoleh kekayaan dengan cara berjudi 

togel, dan lain sebagainya.  

 

berdasar  penjelasan di atas, maka dapat diketahui 

mengenai kehujjahan ’urf , di mana para ulama berpendapat bahwa 

‘urf  yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan 

mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau 

keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum 

berdasar  perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Berarti 

menganggap apa yang ada  dalam warga  dapat dijadikan 

sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan 

syarak. 

Imam al-Syafi’i terkenal dengan qa ul q adim  dan q aul jadidnya, 

karena melihat pratik yang belaku pada warga  Bag hdad dan 

M esir yang berlainan. Sedangkan ‘ urf fasid tidak dapat diterima , hal 

itu jelas karena bertentangan dengan nash maupun ketentuan 

umum nash. 

 

4. Mas hlahah Mursalah  

Mash lahah mursalah  terdiri dari dua kata yaitu mashlahat dan 

mursalah. Pengertian m ashlahah secara etimologi yaitu  usaha  

mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat . Dari 

sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mamiliki dua terma yaitu 

adanya manfaat (يباجإ) dan menjauhkan madharat (يبلس). Terkadang 

mashlahah ini ditinjau dari aspek ijab - nya sajadan menjadi qorinah  

menghilangkan mafsadat.  

Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan 

mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” . 143   

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa mashlahah  

merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah swt. 

kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at ( maqashid al-

syari’ah ). Adapun pengertian mursalah  dipahami sebagai sesuatu 

yang mutlak ديقم ريغ yaitu mashlahah yang secara khusus tidak 

dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. 

Dengan tidak adanya qorinah  ini , maka mashlahah bisa 

menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum. 

Syarat-syarat  mashalih  al- mursalah  menurut Imam al-

Syathibi ada 3 (tiga) yaitu : 

a. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, 

maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-

perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlaha h 

mursalah;  

b. Sejalan atau sinergi dengan maqhasid syari’ah ;  

c. Menjaga prinsip dasar ( dharuri) untuk menghilangkan adanya 

kesulitan (raf’ul haraj ).  

 

Mengenai kehujahan mashalih al - mursalah, mayoritas ulama 

berpendapat, bahwasannya mashlahah mursalah  yaitu  hujjah 

syar’iyyah  yang dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum, 

dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash 

atau ijmak atau qiyas, ataupun isthisan, disayriatkan kepadanya 

hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan 

hukum atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai 

ada bukti pengakuan dari syarak”. 145   

Akan tetapi ada juga ulama yang menolak mengenai kehujahan 

mashlahah mursalah di antaranya yaitu  ulama Zhahiriyah, Syiah, 

Syafi’iyah dan Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah.   dan mereka 

                                                           

berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak memiliki bukti syar’i 

yang membuktikan terhadap pengakuan syarak terhadapnya 

maupun pembatalannya, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan 

sebagai dasar pembentukan hukum. 

Adapun terhadap kehujahan mashlahah al - mursalah , pada 

prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan 

dalam menetapkan hukum syarak, sekalipun dalam penerapan dan 

penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama 

Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al -

mursalah  sebagai dalil disyaratkan mashlahah ini  berpengaruh 

pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan 

bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan 

‘illat  (motif hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat 

yang menjadi motivasi hukum terse but dipergunakan oleh nash 

sebagai motif suatu hukum. Ulama Malikiyah dan Hanabilah 

menerima mashlahah mursalah  sebagi dalil dalam menetapkan 

hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling 

banyak dan luas menerapkannya. 

 

5.  Syar’u Man Qablana  

S yar’u man qablana  yaitu  syariat yang dibawa para Rasul 

terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi 

petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi 

Musa AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa AS dan lain 

sebaginya. P ada syariat yang diperuntukkan oleh Allah swt. bagi 

umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan syariat 

yang diperuntukkan bagi umat Muhammad saw. sebagaimana 

dinyatakan pada firman Allah Swt. : 

 

 خًكُٞٗ ِٚ ِر ٠َّط َٝ  خ َٓ  ِٖ ٣ ِّذُح َٖ ِٓ  ْْ ٌُ َُ َعَشَش َْ ٤ِٛ حَشِْرا ِٚ ِر َخ٘٤ْ َّط َٝ  خ َٓ َٝ  َي٤َُِْا َخ٘٤َْك ْٝ َأ ١ِزَُّح َٝ

/ ٟسٞشُح]   ِٚ ٤ِك حُٞه ََّشَلَظطَلَ َٝ  َٖ ٣ ِّذُح حٞ ُٔ ٤َِهأ ْٕ َأ ٠َغ٤ِػ َٝ  ٠َعُٞٓ  َٝ13[ 


berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak memiliki bukti syar’i 

yang membuktikan terhadap pengakuan syarak terhadapnya 

maupun pembatalannya, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan 

sebagai dasar pembentukan hukum. 

Adapun terhadap kehujahan mashlahah al - mursalah , pada 

prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan 

dalam menetapkan hukum syarak, sekalipun dalam penerapan dan 

penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama 

Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al -

mursalah  sebagai dalil disyaratkan mashlahah ini  berpengaruh 

pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan 

bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan 

‘illat  (motif hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat 

yang menjadi motivasi hukum terse but dipergunakan oleh nash 

sebagai motif suatu hukum. Ulama Malikiyah dan Hanabilah 

menerima mashlahah mursalah  sebagi dalil dalam menetapkan 

hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling 

banyak dan luas menerapkannya. 

 

5.  Syar’u Man Qablana  

S yar’u man qablana  yaitu  syariat yang dibawa para Rasul 

terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi 

petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi 

Musa AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa AS dan lain 

sebaginya. P ada syariat yang diperuntukkan oleh Allah swt. bagi 

umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan syariat 

yang diperuntukkan bagi umat Muhammad saw. sebagaimana 

dinyatakan pada firman Allah Swt. : 

 

 خًكُٞٗ ِٚ ِر ٠َّط َٝ  خ َٓ  ِٖ ٣ ِّذُح َٖ ِٓ  ْْ ٌُ َُ َعَشَش َْ ٤ِٛ حَشِْرا ِٚ ِر َخ٘٤ْ َّط َٝ  خ َٓ َٝ  َي٤َُِْا َخ٘٤َْك ْٝ َأ ١ِزَُّح َٝ

/ ٟسٞشُح]   ِٚ ٤ِك حُٞه ََّشَلَظطَلَ َٝ  َٖ ٣ ِّذُح حٞ ُٔ ٤َِهأ ْٕ َأ ٠َغ٤ِػ َٝ  ٠َعُٞٓ  َٝ13[ 

Artinya : “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang 

telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa telah kami 

wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan 

kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama 

dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS.Al-

syura[42]:1 3 ). 

 

Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan 

konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha  dan qadar , 

tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai 

perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda , 

hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat. 

Dalam pada itu ada pula syariat umat yang dahulu itu sama 

namanya. Tetapi berbeda pelaksaanaannya dengan syariat Nabi 

Muhammad saw.., seperti puasa yang ada  dalam  QS.Al-

Maidah[5]:32)  

 

 ْٖ ِٓ  َِ َْؿأ  َِيَُر َخَْ٘زظ ًَ ٠ََِػ ٢َِ٘ر  ََ ٤ِثحَشِْعا  ُ َّٚ َٗأ  ْٖ َٓ  ََ ََظه خًغَْلٗ  ِش٤ْ َـ ِر  َٗ ٍظْل  ْٝ َأ  ٍدخََغك ٢ِك 

 ِعَْسْلْح خ َٔ ََّٗؤ ٌَ َك  ََ ََظه  َطخَُّ٘ح خًؼ٤ ِٔ َؿ  ْٖ َٓ َٝ َخَٛخ٤َْكأ خ َٔ ََّٗؤ ٌَ َك َخ٤َْكأ  َطخَُّ٘ح خًؼ٤ ِٔ َؿ  َٝ  َْذَوُ 

 ْْ ُْٜطَءخَؿ َخُُِ٘عُس  ِصَخ ِّ٘٤َزُْ ِخر  َّْ ُػ  َّٕ ِا حًش٤ِؼ ًَ  ْْ ُْٜ٘ ِٓ  َذَْؼر  َِيَُر ٢ِك  ِعَْسْلْح   َٕ ُٞكِشْغ ُٔ َُ

سذثخُٔح[/32[ 

 

ada  3 ( tiga) macam bentuk syar’u man qablanaya itu :  

a. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, tetapi 

Alquran dan hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya 

atau mentaatkan berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw.  

b. Syariat yang diperuntukan bagi umat-umat yang sebelum kita, 

kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad  

saw.. 

c. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, 

kemudian Alquran dan hadis menerangkan kepada kita. 

Mengenai bentuk ketiga, yaitu syariat yang  diperuntukkan bagi 

umat-umat sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita 

alquran dan hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian 

ulama Hanafiah, sebagian ulama Mailikiyah, sebagian ulama 

   

Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal berpendapat bahwa syariat 

itu berlalu pula bagi umat Muhammad saw.    

 

Oleh karena itu ulama Hana fiyah berpendapat bahwa 

membunuh orang dzimi sama hukumsnnya dengan membunuh 

orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdarkan QS al-

M aidah : 45  

 

 َقـْٗ ْلْح َٝ  ِٖ ٤ْـَؼـُْ ِخر َٖ ٤ْـَؼـُْ ح َٝ  ِظـْل ّـَ٘ـُِخر َظـْل ّـَ٘ـُح َّٕ َأ َخٜـ٤ِْـك ْْ ِٜ ـ٤َْـِـَػ َخ٘ـَْزظـ ًَ  َٝ

 ٌصخَظِـه َف ْٝ ُشـ ُـ ـُْ ح َٝ  ِّٖ ـ ِّغـُِخر َّٖ ـِغُح َٝ  ِٕ ُُرْلِْخر َٕ ُُرلْح َٝ  ِقـْٗ ْلِْخر 

 : سذـثخـُٔح(45) 

 

Artinya : Dan Kami tetalh tetapkan terha dap mereka di dalamnya 

(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata 

dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan 

telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. 

 

Adapun pendapat golongan lain, menurut mereka dengan 

adanya syariat Nabi Muhammad  saw., maka syariat sebelumnya 

dinyatakan mansukh  atau tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai 

bentuk kedua , para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar 

hujjah, sedang untuk pertama ulama yang menjadikannya sebagai 

hujjah, selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad 

saw. 

 

6 .  Sadd  al- dzari’ah  

Sadd al- dzari’ah  terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan 

dzari’ah . Sadd  berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang 

dzari’ah  berarti jalan atau perantara. Maksudnya, menghambat atau 

mengahalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada 

kerusakan atau maksiat.  

Tujuan penetapan hukum syarak secara sad al- dzari’ah  ialah 

untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya 

                                                           

Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal berpendapat bahwa syariat 

itu berlalu pula bagi umat Muhammad saw.    

 

Oleh karena itu ulama Hana fiyah berpendapat bahwa 

membunuh orang dzimi sama hukumsnnya dengan membunuh 

orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdarkan QS al-

M aidah : 45  

 

 َقـْٗ ْلْح َٝ  ِٖ ٤ْـَؼـُْ ِخر َٖ ٤ْـَؼـُْ ح َٝ  ِظـْل ّـَ٘ـُِخر َظـْل ّـَ٘ـُح َّٕ َأ َخٜـ٤ِْـك ْْ ِٜ ـ٤َْـِـَػ َخ٘ـَْزظـ ًَ  َٝ

 ٌصخَظِـه َف ْٝ ُشـ ُـ ـُْ ح َٝ  ِّٖ ـ ِّغـُِخر َّٖ ـِغُح َٝ  ِٕ ُُرْلِْخر َٕ ُُرلْح َٝ  ِقـْٗ ْلِْخر 

 : سذـثخـُٔح(45) 

 

Artinya : Dan Kami tetalh tetapkan terha dap mereka di dalamnya 

(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata 

dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan 

telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. 

 

Adapun pendapat golongan lain, menurut mereka dengan 

adanya syariat Nabi Muhammad  saw., maka syariat sebelumnya 

dinyatakan mansukh  atau tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai 

bentuk kedua , para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar 

hujjah, sedang untuk pertama ulama yang menjadikannya sebagai 

hujjah, selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad 

saw. 

 

6 .  Sadd  al- dzari’ah  

Sadd al- dzari’ah  terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan 

dzari’ah . Sadd  berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang 

dzari’ah  berarti jalan atau perantara. Maksudnya, menghambat atau 

mengahalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada 

kerusakan atau maksiat.  

Tujuan penetapan hukum syarak secara sad al- dzari’ah  ialah 

untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya 

                                                           

kemungkinan terjadinya kerusakan atau terhindarnya diri dari 

kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan 

umum syariat menetapkan perintah-perintah, baik yang dapat 

dilaksanakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat 

dilaksanakan secara langsung, semua perlu ada hal yang  

dikerjaka sebelumnya.   

Inilah yang dimaksud kaidah nya ,yang artinya : 

 

 ٌذـِؿح َٝ  َٞ ـُـَٜـك ِٚ ِـر َّلَا ُذـِؿح َٞ ـُْ ح ُّْ ـِـظـَـ٣ َلَ خـ َٓ 

 

Artinya : Sesuatu yang diperlukan untuk menyempurnkan 

perbuatan wajib, maka ia wajib pula hukumnya.  

 

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima 

waktu. Seseorang hanya dapat mengerjakan shalat bila  telah 

belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat 

menggerakannya . Dalam hal ini sekilas tampaknya bahwa belajar 

shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah 

kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, maka ditetapkan hukum 

wajibbelajar shalat, sebagaaimana halnya hukum shalat itu sendiri.  

Dasar hukum sadd al- dzari’ah  ialah Alquran dan Hadis , di 

antaranya ialah firman Allah swt.. : 

 

/ ّخؼٗلْح]  ٍْ ِْ ِػِش٤ْ َـ ِر ح ًٝ ْذَػ َ َّﷲ ح ُّٞزَُغ٤َك ِ َّﷲ ِٕ ُٝد ْٖ ِٓ  َٕ ُٞػَْذ٣ َٖ ٣ِزَُّح ح ُّٞزَُغطَلَ َٝ108[ 

 

Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang 

mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan 

memaki allah dengan melampaui batas tanpa 

pengetahuan. (QS Al-An’am [6]:108).  

 

Mencaci berhala tidak dilarang oleh Allah swt., tetapi ayat ini 

melarang kaum muslimin mencaci dan menghina, karena larangan 

                                                           

ini dapat menutup kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci 

dan memaki Allah swt. secara berlebih-lebihan. 

Dalam ayat lain Allah swt. berfirman : 

 

/ سُٞ٘ح]  َّٖ ِٜ َِظ٘٣ِص ْٖ ِٓ  َٖ ٤ِلُْخ٣ خ َٓ  َْ َُِْؼ٤ُِ َّٖ ِٜ ُِِؿَْسِؤر َٖ ْرِشَْؼ٣َلَ َٝ31[ 

 

Artinya :  Dan jangan lah mereka memukulkan kakinya agar 

diketahui perhiasan mereka sembunyikan ”. (QS. Al -

Nur[24]:31). 

 

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar 

gemercing gelang kakinya dan perbuatan itu akan menarik hati laki-

laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu 

dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah 

perbuatan zina.  

Nabi M uhammad saw. bersabda ;  

“Ketahuilah,  larangan Allah yaitu  perbuatan-perbuatan yang 

diharamkannya. Barang siapa mengg embalakan (ternaknya) sekitar 

larangan ini , ia akan terjerumus kedalamnya”. (HR. Bukhari dan 

Muslim).  

Hadis ini menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang 

dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar 

kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari 

pada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. 

Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang 

mengarah kepaa perbuatan maksiat itu. 

Mengenai  objek sadd al- dzari’ah  dapat dijelaskan bahwa 

perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya 

perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang 

ini , tapi ada kalanya perbuatan itu hanya berpotensi 

menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. 

Pada kategori yang pertama tidak ada persoalan dan 

perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan 

itu sendiri dilarang.Adapun kategori yang kedua ini lah sebenarnya 

yang merupakan objek sadd al- dzari’ah , karena perbuatann ini  

ini dapat menutup kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci 

dan memaki Allah swt. secara berlebih-lebihan. 

Dalam ayat lain Allah swt. berfirman : 

 

/ سُٞ٘ح]  َّٖ ِٜ َِظ٘٣ِص ْٖ ِٓ  َٖ ٤ِلُْخ٣ خ َٓ  َْ َُِْؼ٤ُِ َّٖ ِٜ ُِِؿَْسِؤر َٖ ْرِشَْؼ٣َلَ َٝ31[ 

 

Artinya :  Dan jangan lah mereka memukulkan kakinya agar 

diketahui perhiasan mereka sembunyikan ”. (QS. Al -

Nur[24]:31). 

 

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar 

gemercing gelang kakinya dan perbuatan itu akan menarik hati laki-

laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu 

dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah 

perbuatan zina.  

Nabi M uhammad saw. bersabda ;  

“Ketahuilah,  larangan Allah yaitu  perbuatan-perbuatan yang 

diharamkannya. Barang siapa mengg embalakan (ternaknya) sekitar 

larangan ini , ia akan terjerumus kedalamnya”. (HR. Bukhari dan 

Muslim).  

Hadis ini menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang 

dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar 

kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari 

pada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. 

Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang 

mengarah kepaa perbuatan maksiat itu. 

Mengenai  objek sadd al- dzari’ah  dapat dijelaskan bahwa 

perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya 

perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang 

ini , tapi ada kalanya perbuatan itu hanya berpotensi 

menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. 

Pada kategori yang pertama tidak ada persoalan dan 

perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan 

itu sendiri dilarang.Adapun kategori yang kedua ini lah sebenarnya 

yang merupakan objek sadd al- dzari’ah , karena perbuatann ini  

sering menjadi penentu seberapa jauh perbuatan itu mendorong 

orang pelakunya untuk mengerjakannya perbuatan dosa.  

Berkenaan dengan hal ini  ada 3 (tiga) kemungkinan , 

yaitu : 

a. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya   

perbuatan terlarang (dzari’ah qawiyah  yaitu jalan yang kuat);  

b. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya 

perbuatan terlarang (dzari’ah dha’if yaitu jalan yang lemah ); dan  

c. Sama kemungkinan dikerjakan atau tidak dikrjakan perbuatan 

terlarang (dzari’ah dha’if yaitu jalan yang lemah ). 

 

7 .  Qaul shahaby  

Ketika Rasulullah saw. masih hidup, seluruh persoalan hukum 

yang muncul atau timbul dalam warga  langsung ditanyakan 

para sahabat kepada Rasul dan Rasulullah memberikan jawaban dan 

penyelesainnya. Namun setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, 

maka para sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbatkan 

hukum, telah berusaha dengn sungguh-sungguh untuk 

memecahkan persoalan ini , sehingga kaum muslimin dapat 

beramal sesuai denganm fatwa-fatwa sahabat itu. Selanjutnya 

fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it -tabi’in dan 

orang-orang yang sesudahnya seperti para perawi hadis.  

Pendapat ulama mengenai qaul sahabi dapat dijelaskan bahwa 

ada 2 (dua) macam pendapat sahabat yang dapa t dijadikan hujjah, 

yaitu : 

1. Pendapat sahabat yang diduga keras bahwa pendapat ini  

sebenarnya berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak 

atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah ra   

 

 ِٚ ـ ِّٓ ُأ ِٖ ْطَـر ٠ِك َُ ـ ْٔ َلـُْ ح ُغـٌُ ـ ْٔ َـ٣ َلَ  َُّ ِظ ٍُ َّٞ ـَلَـظَـ٣ خ َٓ  َسْذَـه ِٖ ٤َْظَـ٘ـَع ْٖ ِٓ  َشَـؼـ ًْ َأ

 ٍِ َّضـَؼـ ُٔ ُْ ح 

 

Artinya : kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam 

perut ibu, yaitu tidak akan lebih dari sepanjang bayang-

bayang benda yang ditancapkannya’. (HR. Daruquthni).  

Keter angan Aisyah ra. bahwa maksimal waktu menandung itu 

dua tahun, tidak lebih sedikitpun, bukan semata-mata hasil 

ijtihad Aisyah sendiri, melainkan bersumber dari Rasulullah saw., 

meskipun secara kasat mata itu yaitu  perkataan dan pendapat 

Aisyah.  

2.  Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang 

menentangnya seperti pendapat tentang bahwa nenek 

mendapat seperenam (1/6) harta waris, yang dikemukakan oleh 

Abu Bakar dan tidak ada sahabat  lain yang tidak sependapat 

dengannya.149  

 

Pendapat yang tidak disetujui ole h sahabat yang lain tidak 

dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiah, 

Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari 

qiyas. Bahkan Ahmad bin H anbal mendahulukan qaul sahabi dari 

hadis mursal dan hadis dha’ if. Al-Syaukani menganggap pendapat 

sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak  wajib 

umat Islam mengikutinya. 

Keter angan Aisyah ra. bahwa maksimal waktu menandung itu 

dua tahun, tidak lebih sedikitpun, bukan semata-mata hasil 

ijtihad Aisyah sendiri, melainkan bersumber dari Rasulullah saw., 

meskipun secara kasat mata itu yaitu  perkataan dan pendapat 

Aisyah.  

2.  Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang 

menentangnya seperti pendapat tentang bahwa nenek 

mendapat seperenam (1/6) harta waris, yang dikemukakan oleh 

Abu Bakar dan tidak ada sahabat  lain yang tidak sependapat 

dengannya.

Pendapat yang tidak disetujui ole h sahabat yang lain tidak 

dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiah, 

Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari 

qiyas. Bahkan Ahmad bin H anbal mendahulukan qaul sahabi dari 

hadis mursal dan hadis dha’ if. Al-Syaukani menganggap pendapat 

sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak  wajib 

umat Islam mengikutinya. 

Sebagaimana dikatakan imam al-Ghazali, bahwa mengetahui 

hukum syarak merupakan tujuan pokok mempelajari ilmu fiqh dan 

ushul fiqh. Target  kedua disiplin ilmu ini memang untuk 

mengetahui hukum syarak yang berhubungan dengan perbuatan 

orang mukallaf , meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ilmu ushul 

fiqh meninjau hukum syarak dari aspek proses metodologis dan 

sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi produk 

penggalian hukum syarak, yakni ketetapan Allah swt. yang 

berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa 

iqtidha’  (tuntutan, perintah dan larangan), takhyir  (pilihan), maupun 

berupa wadh’i  (sebab-akibat). Ketentuan Allah swt. dalam konteks 

ini yaitu  ketentuan yang diberikan oleh Allah swt. terhadap hukum 

yang berhubungan dengan orang mukallaf. Seperti hukum haram, 

makruh, wajib, sunah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan 

( mani' ) dan ungkapan lain yang merupakan objek pembahasan ilmu 

ushul fiqh. 

 

A .  Pengertian Hukum Taklifi  

Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum 

syarak pada dua macam, yaitu hukum taklifi  dan hukum wadh’i . 

Hukum  taklifi  menurut para ahli ushul fiqh yaitu  : 

    

 َٖ ـ٤َْـر ِٙ ِشـ٤ِْـ٤ـْخَـط ْٝ َأ ٍَ ـْؼِـك ْٖ ـَػ ِٚ ِّلـ ًَ  ْٝ َأ ِق ّـَِ ٌَ ـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ  ٍَ ـْؼِـك َذَـَِـؽ ٠ََؼظـِْها خ َٓ

 ُٚـْ٘ ـَػ ِّقـ ٌَ ُْ ح َٝ  َِ ـْؼِـلـُْ ح150 

 

Artinya : ketentuan-ketentuan yang menghendaki adanya tuntutan 

kepada mukallaf untuk melakukan, atau melarang untuk 

dilakukan,  atau memilih untuk melakukan atau 

tidakmelakukan.  

 

Dinamakan hukum taklifi  yaitu  karena jenis hukum-hukum  

ini  mengandung “tuntututan” , baik untuk mengerjakan atau 

untuk meninggalkan, atau untuk member alternatif memilih antara 

mengerjakan atau meninggalkannya. Dengan kata lain, hukum taklifi  

yaitu  titah atau firman Allah yang berhubungan dengan segala 

perbuatan para mukallaf, baik atas dasar tuntutan (iqtidha’)  atau atas 

dasar kebebasan memilih (takhyir ). 

Untuk memperjelas pembahasan, berikut akan disajikan 

definisi hukum wadh’i  secara ringkas.  Hal ini perlu disampaikan 

karena antara hukum taklifi  dan hukum wadh’i  mempunyai 

hubungan yang sangat erat. Hukum wadh’i  yaitu  hukum 

ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’  

(penghalang) kecakapan untuk melakukan hukum taklifi151  . 

Dengan demikian,  dapat diketahui bahwa bila   hukum 

taklifi  yaitu  ketentuan Allah swt. yang bersifat perintah, larangan 

atau pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan 

hukum wadh’i  yaitu  hukum yang menjelaskan adanya sebab, syarat 

atau penghalang adanya hukum taklifi .Sebagai contoh, jika hukum 

taklifi  menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, 

hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari 

pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang 

menunaikan shalat maghrib.  

Patut pula diketahui bahwa hukum taklifi  dengan berbagai 

macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf , 

                                                           

 َٖ ـ٤َْـر ِٙ ِشـ٤ِْـ٤ـْخَـط ْٝ َأ ٍَ ـْؼِـك ْٖ ـَػ ِٚ ِّلـ ًَ  ْٝ َأ ِق ّـَِ ٌَ ـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ  ٍَ ـْؼِـك َذَـَِـؽ ٠ََؼظـِْها خ َٓ

 ُٚـْ٘ ـَػ ِّقـ ٌَ ُْ ح َٝ  َِ ـْؼِـلـُْ ح150 

 

Artinya : ketentuan-ketentuan yang menghendaki adanya tuntutan 

kepada mukallaf untuk melakukan, atau melarang untuk 

dilakukan,  atau memilih untuk melakukan atau 

tidakmelakukan.  

 

Dinamakan hukum taklifi  yaitu  karena jenis hukum-hukum  

ini  mengandung “tuntututan” , baik untuk mengerjakan atau 

untuk meninggalkan, atau untuk member alternatif memilih antara 

mengerjakan atau meninggalkannya. Dengan kata lain, hukum taklifi  

yaitu  titah atau firman Allah yang berhubungan dengan segala 

perbuatan para mukallaf, baik atas dasar tuntutan (iqtidha’)  atau atas 

dasar kebebasan memilih (takhyir ). 

Untuk memperjelas pembahasan, berikut akan disajikan 

definisi hukum wadh’i  secara ringkas.  Hal ini perlu disampaikan 

karena antara hukum taklifi  dan hukum wadh’i  mempunyai 

hubungan yang sangat erat. Hukum wadh’i  yaitu  hukum 

ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’  

(penghalang) kecakapan untuk melakukan hukum taklifi  . 

Dengan demikian,  dapat diketahui bahwa bila   hukum 

taklifi  yaitu  ketentuan Allah swt. yang bersifat perintah, larangan 

atau pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan 

hukum wadh’i  yaitu  hukum yang menjelaskan adanya sebab, syarat 

atau penghalang adanya hukum taklifi .Sebagai contoh, jika hukum 

taklifi  menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, 

hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari 

pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang 

menunaikan shalat maghrib.  

Patut pula diketahui bahwa hukum taklifi  dengan berbagai 

macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf , 

                                                           

sedangkan hukum wadh’i  sebagaian ada yang di luar kemampuan 

manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.  

Contoh hukum taklifi  yang berisi tuntutan untuk mengerjakan, 

yaitu  perintah Allah swt. untuk mengerjakan salat sebagaimana 

tercantum pada firman Allah swt. QS Al-Baqarah : 43, dan perintah 

Allah swt. Untuk melaksanakan puasa sebagaimana tercantum pada 

QS Al-Baqarah : 183 sebagai berikut :  

 

 : سشـوزُح( َسِٞـ َّظُح حٞـ ُٔ ـ٤ِْـَهأ َٝ43) 

 

Artinya : Dan kerjakanlah oleh kamu sekaliah salat 

 

 : سشـوـزُح( ُّ َخ٤ـ ِّظـُح ُْ ٌُ ـ٤َْـِـَػ َذِـظـ ًُ183)    

 

Artinya : Telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa 

  

Contoh hukum taklifi  yang berisi larangan untuk mengerjakan, 

yaitu  larangan Allah swt membunuh tanpa alasan yang benar 

sebagaimana tercantum pada firman Allah swt QS Al-An’am : 151 dan 

larangan Allah swt untuk tidak memakan bangkai, darah dan daging 

babi sebagaimana tercantum pada QS Al-Maidah : 3 se bagai berikut :  

 

 : ّخـؼـٗلْح ( ِّنـَلـُْ ِخر َِّلَا ُﷲ َّ َّشـَك ٠ِظ ّـَُح َظـْل ّـَُ٘ح حُُِٞـظـْوَـط َلَ َٝ151) 

 

Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan 

oleh Allah (membunuhnya), kecuali dengan sesuatu 

(sebab) yang benar. 

 

 ْ٤ـ َٔ ُْ ح ُْ ٌُ ـ٤ََِْػ ْضـ َٓ ِّشـُك : سذـثخـُٔح( ِش٣ِْضـْ٘ ـِخُْ ح ُْ ـْلَـُ َٝ  ُّ َّذُح َٝ  ُضَـظـ3) 

 

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging 

babi. 

 

                                                           

152 Amir Syarifudin, Ushul FIqh 2 , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)  

80   

Contoh hukum taklifi  yang berisi kebolehan memilih antar 

mengerjakan atau meninggalkannya, ialah mengqashar salat dalam 

bepergian, sebagaimana tercantum pada firman Allah swt pada QS 

Al-Nisa’ : 101)  sebagai berikut :  

 

 ِسَلًـ َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشـُظـْوَـط ْٕ َأ ٌفخَـ٘ـُؿ ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ َظـ٤َْـَِـك ِعَْسْلْح ٠ِك ْْ ُظـْرَشـَػ حَِرا َٝ 

 : ءخغـ٘ـُح (101 ) 

 

Artinya : Dan bila  kamu bepergian di muka bumu, maka tiada 

mengapa bagimu mengqashar salatmu. 

 

B. Macam- Macam Hukum Taklifi  

Patut dikemukakan bahwa hukum taklifi  itu membicarakan 

hukum syarak dari aspek sifatnya yang memberi tuntutan atau 

pembebanan hukum kepada mukallaf. Tuntutan ini  secara 

garis besar ada 3 (tiga) macam, yaitu 1) perintah untuk dikerjakan; 2) 

larangan agar ditinggalkan; atau 3) member alternatif pilihan antara 

mengerjakan atau meninggalkan. bila  tuntutan itu tegas dan 

mengharuskan dinamakan ijab  atau wajib dan bila  tidak 

mengharuskan dinamakan nadb  atau sunah. Selanjutnya, bila  

larangan itu tegas dan mengharuskan untuk ditinggalkan dinamakan 

haram dan bila  larangan itu tidak tegas atau tidak mengharuskan 

untuk ditinggalkan dinamakan makruh. Kemudian ap abila tuntutan 

itu member alternatif atau kebebasan memilih kepada mukallaf, 

antara mengerjakan atau meninggalkan, dinamakan mubah.    

Para ulama u shul fiqh setelah memperhatikan kondisi k hithab 

(audien hukum) serta mencermatinya dengan seksama, maka 

selanjutnya menetapkan 5 (lima) macam  hukum taklifi : 

Pertama ;  Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas 

dan tegas yang dinamakan ijab . Sebagai contoh ialah firman Allah 

swt. dalam QS al-Nisa’ : 36   

 

 ْ٤َش ِٚ ِر حًُٞ ِشُْشط َلَ َٝ  َ َّﷲ حُُٝذزْػح َٝ/ ءخغُ٘ح]  ًخج36[ 

 

Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah sekutukan Dia dengan 

sesuatu. 

  

Contoh hukum taklifi  yang berisi kebolehan memilih antar 

mengerjakan atau meninggalkannya, ialah mengqashar salat dalam 

bepergian, sebagaimana tercantum pada firman Allah swt pada QS 

Al-Nisa’ : 101)  sebagai berikut :  

 

 ِسَلًـ َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشـُظـْوَـط ْٕ َأ ٌفخَـ٘ـُؿ ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ َظـ٤َْـَِـك ِعَْسْلْح ٠ِك ْْ ُظـْرَشـَػ حَِرا َٝ 

 : ءخغـ٘ـُح (101 ) 

 

Artinya : Dan bila  kamu bepergian di muka bumu, maka tiada 

mengapa bagimu mengqashar salatmu. 

 

B. Macam- Macam Hukum Taklifi  

Patut dikemukakan bahwa hukum taklifi  itu membicarakan 

hukum syarak dari aspek sifatnya yang memberi tuntutan atau 

pembebanan hukum kepada mukallaf. Tuntutan ini  secara 

garis besar ada 3 (tiga) macam, yaitu 1) perintah untuk dikerjakan; 2) 

larangan agar ditinggalkan; atau 3) member alternatif pilihan antara 

mengerjakan atau meninggalkan. bila  tuntutan itu tegas dan 

mengharuskan dinamakan ijab  atau wajib dan bila  tidak 

mengharuskan dinamakan nadb  atau sunah. Selanjutnya, bila  

larangan itu tegas dan mengharuskan untuk ditinggalkan dinamakan 

haram dan bila  larangan itu tidak tegas atau tidak mengharuskan 

untuk ditinggalkan dinamakan makruh. Kemudian ap abila tuntutan 

itu member alternatif atau kebebasan memilih kepada mukallaf, 

antara mengerjakan atau meninggalkan, dinamakan mubah.    

Para ulama u shul fiqh setelah memperhatikan kondisi k hithab 

(audien hukum) serta mencermatinya dengan seksama, maka 

selanjutnya menetapkan 5 (lima) macam  hukum taklifi : 

Pertama ;  Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas 

dan tegas yang dinamakan ijab . Sebagai contoh ialah firman Allah 

swt. dalam QS al-Nisa’ : 36   

 

 ْ٤َش ِٚ ِر حًُٞ ِشُْشط َلَ َٝ  َ َّﷲ حُُٝذزْػح َٝ/ ءخغُ٘ح]  ًخج36[ 

 

Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah sekutukan Dia dengan 

sesuatu. 

Maka perbuatan menyembah Allah ini hukumnya menjadi wajib.  

Kedua ; Tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan 

yang jelas dan pasti, dinamakan tahrim . Sebagai contoh ialah firman 

Allah swt : 

 

/ ءحشعلْح]   خ ًٔ ٣ِش ًَ  ًلَ ْٞ َه خ َٔ َُُٜ َْ ُه َٝ  خ َٔ َُْٛشْٜ٘ َط َلَ َٝ  ٍُّفأ خ َٔ َُُٜ َْ َُوط ََلًك2 3[ 

 

Artinya :  Maka janganlaah engkau berkata cih kepada keduanya dan 

janganlah engkau membentak keduanya dan berkatalah 

kepada keduanya dengan perkataan yang mulia. 

 

berdasar  ayat ini  di atas, Allah swt. melarang berkata 

“ hus” kepada kedua orang tua kita dan jangan membentak keduanya.  

Demikian pula dengan firman Allah swt. berikut : 

 

  ِر ْْ ٌُ َ٘٤َْر ْْ ٌُ َُح َٞ ْٓ َأ حُِٞ ًُ

َْؤط َلَ َٝ/ سشوزُح]  َِ ِؽَخزُْ خ188[ 

 

Artinya : Janganlah kamu saling memakan harta dengan cara yang 

batil. 

 

berdasar  ayat ini , maka dapat diketahui bahwa 

perbuatan memakan harta dengan cara yang batal hukumnya haram. 

 

Ketiga;  Tuntutan atas suatu perbuatan untuk melakukannya dengan 

tuntutan yang tidak pasti dan ketidakpastian disimpulkan dari 

qarinah - qarinah yang mengandung tuntutan kemudian mengalihkan 

dari pengertian wajibnya, dinamakan nadb  atau sunah. 

 

 َخك ٠ًّٔ َغ ُٓ  ٍَ ََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َِْذر ْْ ُظ ْ٘ َ٣حََذط حَِرا/ سشوزُح]   ُُُٙٞزظ ًْ282[ 

 

Artinya : Bila kamu melaksanakan hutang piutang hingga suatu 

waktu tertentu maka hendaklah kamu menulisnya. 

Firman Allah swt. ini dialihkan dari pengertian wajibnya oleh 

firman Allah yang lain di akhir ayat. 

 

  ُؼَْؼر َٖ ِٓ َأ ْٕ ِ َبك/ سشوزُح]   ُ َّٚرَس َ َّﷲ ِنََّظ٤ُْ َٝ  ََُٚظٗخ َٓ َأ َٖ ِٔ ُطْإح ١ِزَُّح ِّدَُئ٤ِْ َك خًؼَْؼر ْْ ٌُ283[ 

 

Artinya : bila  sebagaian dari kamu merasa aman dari sebagian 

yang lain maka hendaklah yang diberi amanat menunaikan 

amanatnya dan hendaklah ia takut kepada Allah Tuhannya. 

 

Mereka menam akan hukum ini Sunah dan menamakan sifat 

perbuatan yang merupakan pengaruh khithab juga Sunah. 

 

Keempat ;  Tuntutan atas suatu perbuatan agar jangan dilakukan 

dengan tuntutan yang tidak pasti. Ketidakpastian itu juga 

disimpulkan dari q arinah- q arinah yang mengandung tuntutan 

kemudian mengalihkannya dari pengertian haramnya, dinamakan 

makruh.  

 

/ شؼٔـُح]  َغ٤َْزُْ ح حُٝسَر َٝ  ِ َّﷲ ِش ًْ ِر ٠َُِا ح ْٞ َؼْعَخك ِشَؼ ُٔ ُـ ُْ ح ِّ ْٞ َ٣ ْٖ ِٓ  ِسَلً َّظُِِ ١َِدُٞٗ حَِرا9[ 

 

Artinya : bila  kamu dipanggil untuk melakukan shalat Jum’at 

maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan 

tinggalkanlah jual beli. 

 

Permintaan  ini sama dengan larangan jual beli dan telah 

dialihkan dari pengertian haram karena larangan itu hanya untuk 

perkara di luar perbuatan yang dilarang. Para ulama menamakan 

hukum ini sebagai karohah  dan demikian pula mereka menamakan 

sifat perbuatan yang merupakan pengaruh khithab itu. 

Kelima ;  Perbuatan yang disuruh pilih oleh Allah swt. untuk 

melakukannya atau tidak. Para ulama menamakan khitab ini sebagai 

ibahah  (kebolehan) dan demikian pula sifat perbuatan itu.

Firman Allah swt. ini dialihkan dari pengertian wajibnya oleh 

firman Allah yang lain di akhir ayat. 

 

  ُؼَْؼر َٖ ِٓ َأ ْٕ ِ َبك/ سشوزُح]   ُ َّٚرَس َ َّﷲ ِنََّظ٤ُْ َٝ  ََُٚظٗخ َٓ َأ َٖ ِٔ ُطْإح ١ِزَُّح ِّدَُئ٤ِْ َك خًؼَْؼر ْْ ٌُ283[ 

 

Artinya : bila  sebagaian dari kamu merasa aman dari sebagian 

yang lain maka hendaklah yang diberi amanat menunaikan 

amanatnya dan hendaklah ia takut kepada Allah Tuhannya. 

 

Mereka menam akan hukum ini Sunah dan menamakan sifat 

perbuatan yang merupakan pengaruh khithab juga Sunah. 

 

Keempat ;  Tuntutan atas suatu perbuatan agar jangan dilakukan 

dengan tuntutan yang tidak pasti. Ketidakpastian itu juga 

disimpulkan dari q arinah- q arinah yang mengandung tuntutan 

kemudian mengalihkannya dari pengertian haramnya, dinamakan 

makruh.  

 

/ شؼٔـُح]  َغ٤َْزُْ ح حُٝسَر َٝ  ِ َّﷲ ِش ًْ ِر ٠َُِا ح ْٞ َؼْعَخك ِشَؼ ُٔ ُـ ُْ ح ِّ ْٞ َ٣ ْٖ ِٓ  ِسَلً َّظُِِ ١َِدُٞٗ حَِرا9[ 

 

Artinya : bila  kamu dipanggil untuk melakukan shalat Jum’at 

maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan 

tinggalkanlah jual beli. 

 

Permintaan  ini sama dengan larangan jual beli dan telah 

dialihkan dari pengertian haram karena larangan itu hanya untuk 

perkara di luar perbuatan yang dilarang. Para ulama menamakan 

hukum ini sebagai karohah  dan demikian pula mereka menamakan 

sifat perbuatan yang merupakan pengaruh khithab itu. 

Kelima ;  Perbuatan yang disuruh pilih oleh Allah swt. untuk 

melakukannya atau tidak. Para ulama menamakan khitab ini sebagai 

ibahah  (kebolehan) dan demikian pula sifat perbuatan itu.

Ulama Hanafiya h menjadikan pengertian yang pasti bagi 

perbuatan yang tidak ditinggalkan dua macam menurut jalan dengan 

mana kita mengetahui khitab itu. bila  jalan itu mengandung ilmu 

(pengetahuan) seperti tawatur maka permintaan itu fardhu dan 

bila  mengandung pengertian zhann  (sangkaan) seperti khabar 

ahad, maka permintaan itu ijab . Andai kata perbedaan ini hanya 

dalam penamaan saja, niscaya kita anggap perbedaan istilah dan 

redaksi saja sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Subki dalam kitab 

Jam’ - al- Jawami’ . Akan tetapi ulama Hanafiyah men formulasikannya 

dalam kitab-kitab fiqh. Sebagaimana pendapat mereka bahwa 

meninggalkan bacaan dalam shalat akan membantalkan shalat itu 

karena perintah membaca fatihah dalam shalat yaitu  perintah 

Alquran. Meninggalkan bacaan Fatihah itu sendiri di  dalam shalat 

tidak membatalkannya karena perintah membacanya telah 

ditetapkan dengan khabar ahad dan menimbulkan zhann  (sangkaan). 

Pemisahan dengan pertimbangan ini yaitu  aneh, karena 

berdasar  pemisahan ini akal mempunyai hukum yang berbeda 

terhadap kita bagi sahabat yang meriwayatkan hadits itu dan 

disbanding kita dengan Nabi saw. Sahabat yang meriwayatkan hadis 

itu tidak menyangsikan kebenaran riwayatnya karena ia mendengar 

dari Nabi saw., sehingga perbuatan itu terhadap dirinya yaitu  

fardhu yang membatalkan shalat jika ditinggalkan dan demikian pula 

terhadap Nabi saw. Adapun terhadap kita, maka ia yaitu  wajib tidak 

membatalkan shalat bila ditinggalkan karena khabarnya tidak 

menimbulkan pengertian ilmu (pengetahun) melainkan zhann  

(sangkaan).  

Lebih dari itu ia menj adi hukum yang dipersoakan terhadap 

sahabat sendiri, maka bagi sebagian mereka yaitu  fardhu dan bagi 

yang lain yaitu  wajib. Perbedaan itu bukanlah salah satu hasil 

ijtihad sehingga diampuni, akan tetapi yaitu  perbedaan yang tidak 

dikuatkan oleh dalil, karena tidak ada pemisahan dari Al-Syari’ 

antara penyebab wajibnya perintah dan perintah itu dalam masalah 

selain haji. Imam-imam yang lain telah sepakat atas pembagian 

tuntutan yang pasti menjadi fardhu dan wajib dalam masalah haji, 

akan tetapi bukan dengan pertimbangan ini melainkan dengan 

pertimbangan dari Al-Syari’ tentang beberapa perbuatan haji 

84   

bahawa meninggalkannya berarti membatalkannya, maka dinamakan 

rukun dan dalam perbuatan lainnya bahwa meninggalkan tidak 

membatalkannya dan diganti dengan dam  (menyembelih korban), 

maka dinamakan wajib.  

Ulama Hanafiya h membagi perintah untuk meninggalkan 

suatu perbuatan yang pasti dalam 2 ( dua) bagian. Maka perkara yang 

ditetapkan dengan jalan yang pasti yaitu  tahrim  (haram) dan yang 

di tetapkan dengan jalan yang mengandung sangkaan yaitu  

k arahah tahrim . Maka hukum -hukum oleh ulama Hanafiya h dibagi 

tujuh macam. bukan lima macam. Dengan demikian maka 

perbuatan-perbuatan mukalaf   menjadi : wajib dan fardhu, mandub, 

haram , makruh, karahah tahrim, makruh tanzih da n mubah. 

Agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang 

macam-macam hukum taklifi , berikut akan diuraikan kelima macam 

hukum taklifi ini .  

 

1. Wajib  

Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau 

persamaan dari kata fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat, 

tegas atau  harus dikerjakan dan bila  ditinggalkan, maka 

pelakunya berdosa lagi tercela. Sebagai contoh yaitu  perintah 

mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dan menghormati 

kedua orang tua hukumnya wajib.  

Mukallaf yang tida k shalat atau tidak menghormati kedua 

orang tua berdosa lagi tercela akhlaknya.  

Hukum wajib ini terbagi menjadi beberapa macam, terganting 

diari sisi mana pembagiannya. Seperti pembagian berdasar  

waktu pelaksanaan, dari sifat tuntutan, dari sisi umum-khusus, atau 

dari sisi kadar yang dituntut, sebagaimana akan dijelaskan berikut 

ini. 

 

a.  Pembagian wajib bersasarkan waktu Pelaksanaan.  

berdasar  waktu pelaksanannya wajib terbagi menjadi dua, 

yaitu 1) mutlak dan 2) muqayyad. Wajib mutlak ialah wajib yang 

                                                           

bahawa meninggalkannya berarti membatalkannya, maka dinamakan 

rukun dan dalam perbuatan lainnya bahwa meninggalkan tidak 

membatalkannya dan diganti dengan dam  (menyembelih korban), 

maka dinamakan wajib.  

Ulama Hanafiya h membagi perintah untuk meninggalkan 

suatu perbuatan yang pasti dalam 2 ( dua) bagian. Maka perkara yang 

ditetapkan dengan jalan yang pasti yaitu  tahrim  (haram) dan yang 

di tetapkan dengan jalan yang mengandung sangkaan yaitu  

k arahah tahrim . Maka hukum -hukum oleh ulama Hanafiya h dibagi 

tujuh macam. bukan lima macam. Dengan demikian maka 

perbuatan-perbuatan mukalaf   menjadi : wajib dan fardhu, mandub, 

haram , makruh, karahah tahrim, makruh tanzih da n mubah. 

Agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang 

macam-macam hukum taklifi , berikut akan diuraikan kelima macam 

hukum taklifi ini .  

 

1. Wajib  

Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau 

persamaan dari kata fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat, 

tegas atau  harus dikerjakan dan bila  ditinggalkan, maka 

pelakunya berdosa lagi tercela. Sebagai contoh yaitu  perintah 

mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dan menghormati 

kedua orang tua hukumnya wajib.  

Mukallaf yang tida k shalat atau tidak menghormati kedua 

orang tua berdosa lagi tercela akhlaknya.  

Hukum wajib ini terbagi menjadi beberapa macam, terganting 

diari sisi mana pembagiannya. Seperti pembagian berdasar  

waktu pelaksanaan, dari sifat tuntutan, dari sisi umum-khusus, atau 

dari sisi kadar yang dituntut, sebagaimana akan dijelaskan berikut 

ini. 

 

a.  Pembagian wajib bersasarkan waktu Pelaksanaan.  

berdasar  waktu pelaksanannya wajib terbagi menjadi dua, 

yaitu 1) mutlak dan 2) muqayyad. Wajib mutlak ialah wajib yang 

                                                           

pelaksanannya tidak dibatasi oleh Allah swt .  dengan waktu tertentu 

dalam umur seperti pelaksanaan kafarat. Sedangkan wajib muqayyad  

ialah wajib yang pelaksanaanya dibatasi oleh Allah swt. dengan 

waktu yang tertentu seperti shalat dan puasa Ramadan.    

Mengen ai waktu tertentu bagi perbuatan wajib dibagi lagi 

menjadi 3 (tiga) macam yaitu : muwassa’  (lapang), mudhayyaq  

(sempit) dan dzu syibhain .  

 

1) W aktu muwassa’   

Muwassa’  atau yang diistilahkan oleh ulama Hanafi dengan 

dharf,   ialah waktu yang tidak lebih dari kadar yang wajib dan 

diserahkan kepada mukallaf untuk melakaukan kewajiban itu pada 

saat kapanpun yang dikehendakinya seperti waktu-waktu shalat 

lima waktu. Mereka sepakat bahwa waktu ini ialah sebab kewajiban 

di dalamnya  yaitu tanda baginya dan syarat keabsahanya maka 

tidaklah wajib sebelum masuk waktunya dan tidak sah 

mendahuluinya. Mereka sepakat juga atas kebolehan melakukan 

perbuatan wajib kapanpun yang dikehendaki mukallaf dari waktu itu 

dan harus diniatkan wajibnya. Setelah sepakat atas hal ini, mereka 

berbeda pendapat tentang bagian waktu yang menjadi sebab adanya 

kewajiban, yaitu tanda bagi pengarahan khithab Syari’  kepada 

mukallaf . Sebagain ulama berpendapat bahwa sesungguhnya awal 

bagian waktu merupakan tanda tujuan khitab. 

Maka bila  waktu suda h mulai datang, mukallaf   pun 

dituntut melakukannya dan disuruh memilih dalam seluruh bagian 

waktu itu dan ini bilamana perbuatan itu bisa dilakukan pada awal 

waktu, sedangkan bila tidak demikian maka sebabnya ialah bagian 

yang hilang halangan waktunya. Ji ka halangan itu meliputi seluruh 

bagian waktu tidaklah diarahkan suatu khitab dan tidak ada 

kewajiban.  

Dalil bahwa bagian pertama ialah alamat (tanda) bagi tujuan 

khitab ialah firman Allah swt. : 

 

  ِظـ ْٔ ـَّشُح ِى ْٞ ُـُُذِـُ َسَلً َّظُح ِْ ِـه َأ 

                                                           

Artinya : Dirikanlah shalat diwaktu tergelincirnya matahari. 

 

Tergelincirnya matahari telah dijadikan tanda bagi tujuan 

khitab dalam perkataan-Nya  “dirikanlah shalat” kepada mukallaf.  

Sebagai contoh atas hal itu yaitu  orang yang tertidur di 

seluruh waktu shalat, maka wajiblah ia menunaikan kewajiban yang 

waktunya yaitu  sesudah bangun, berdasar ijmak dan wajib pula 

sementara ia tidur tidak diarahkan kepadanya suatu khitab dan tidak 

pula ia menanggung sesuatu dengan dalil bahwa bila  ia mati 

sebelum bangun tidaklah ia berdosa menurut ijmak. Akan tetapi 

yang wajib ialah sabda Rasulullah saw. : Barang siapa tidur 

meninggalkan shalat atau lupa akan shalat hendaklah ia melakukan 

shalat itu bila ia mengingatnya karena saat itulah waktunya.”  

Ulama Hanafi yah berpendapat, sebabnya ialah bagian waktu 

yang berkaitan dengan penunaian shalat. Maka bila  tidak 

ditunaikan, ditetapkanlah bagian terakhir yang mencukupi waktu 

bagi sababiyahnya dan sesudah keluarnya waktu sababiyahnya 

dikaitkan dengan waktu yang tersisa. Bahwa orang yang dibebani 

kewajiban pada awal waktu lalu mendapati halangan taklif di 

tengah-tengahnya dan berlangsung terus hingga akhirnya, maka 

tidaklah wajib ia melakukannya.  

Seperti halnya perempuan yang haid atau mengalami nifas 

(darah kotor sehabis bersalin) di tengah-tengah waktu. Andai kata 

sebab tuntutan ialah bagian awal niscaya kewajiban itu tetap 

menjadi tanggungannya dan ia pun tidak mencurahkan perhatiannya 

untuk suatu tanggung jawab kecuali dengan melakukan kewajiban 

itu baik pada waktunya atau di luar waktunya. Bahwa seseorang jika 

tidak dibebani kewajiban pada awal waktu, lalu hilang halangannya 

pada akhirnya, maka tetaplah perbuatan itu dalam tanggungannya 

sehingga haruslah ia melaksanakannya baik pada waktunya atau di 

luar waktunya, seperti halnya seorang yang belum baligh pada awal 

waktu lalu menjadi baligh di tengah waktunya atau akhirnya.  

Bahwa mukallaf  dibolehkan melakukan shalat ashar pada 

harinya dalam waktu yang kurang yaitu waktu perubahan matahari 

dan tidak boleh meng qadha shalat ashar dari kemarinnya. Andaikata 

Artinya : Dirikanlah shalat diwaktu tergelincirnya matahari. 

 

Tergelincirnya matahari telah dijadikan tanda bagi tujuan 

khitab dalam perkataan-Nya  “dirikanlah shalat” kepada mukallaf.  

Sebagai contoh atas hal itu yaitu  orang yang tertidur di 

seluruh waktu shalat, maka wajiblah ia menunaikan kewajiban yang 

waktunya yaitu  sesudah bangun, berdasar ijmak dan wajib pula 

sementara ia tidur tidak diarahkan kepadanya suatu khitab dan tidak 

pula ia menanggung sesuatu dengan dalil bahwa bila  ia mati 

sebelum bangun tidaklah ia berdosa menurut ijmak. Akan tetapi 

yang wajib ialah sabda Rasulullah saw. : Barang siapa tidur 

meninggalkan shalat atau lupa akan shalat hendaklah ia melakukan 

shalat itu bila ia mengingatnya karena saat itulah waktunya.”  

Ulama Hanafi yah berpendapat, sebabnya ialah bagian waktu 

yang berkaitan dengan penunaian shalat. Maka bila  tidak 

ditunaikan, ditetapkanlah bagian terakhir yang mencukupi waktu 

bagi sababiyahnya dan sesudah keluarnya waktu sababiyahnya 

dikaitkan dengan waktu yang tersisa. Bahwa orang yang dibebani 

kewajiban pada awal waktu lalu mendapati halangan taklif di 

tengah-tengahnya dan berlangsung terus hingga akhirnya, maka 

tidaklah wajib ia melakukannya.  

Seperti halnya perempuan yang haid atau mengalami nifas 

(darah kotor sehabis bersalin) di tengah-tengah waktu. Andai kata 

sebab tuntutan ialah bagian awal niscaya kewajiban itu tetap 

menjadi tanggungannya dan ia pun tidak mencurahkan perhatiannya 

untuk suatu tanggung jawab kecuali dengan melakukan kewajiban 

itu baik pada waktunya atau di luar waktunya. Bahwa seseorang jika 

tidak dibebani kewajiban pada awal waktu, lalu hilang halangannya 

pada akhirnya, maka tetaplah perbuatan itu dalam tanggungannya 

sehingga haruslah ia melaksanakannya baik pada waktunya atau di 

luar waktunya, seperti halnya seorang yang belum baligh pada awal 

waktu lalu menjadi baligh di tengah waktunya atau akhirnya.  

Bahwa mukallaf  dibolehkan melakukan shalat ashar pada 

harinya dalam waktu yang kurang yaitu waktu perubahan matahari 

dan tidak boleh meng qadha shalat ashar dari kemarinnya. Andaikata 

sebab sesudah habisnya waktu ialah bagian akhir niscaya tidak ada 

halangan bagi hal itu, karena yang wajib pada waktu itu seakan-akan 

kewajiban yang kurang oleh kurangnya sebab, maka di qadha  pada 

waktu yang kurang. Agar ashal ini sesuai dengan furu’  ini mereka 

berkata, bahwa sebab kewajiban pelaksanaan ialah bagian awal, jika 

pelaksanaannya berkaitan dengan bagian awal berpindahlah 

sababiyahnya kepada yang berikutnya. 

Demikianlah hingga bila  sisa waktu tidak cukup untuk 

shalat yang dijadikan alasan, maka jika waktu habis dan tidak 

dilakukan shalat, maka dikaitkanlah sababiyah nya dengan 

keseluruhannya. Tidaklah cukup bagi kebenaran ashal hanya dengan 

mendasarkan furu’  mazhab, akan tetapi haruslah masuk akal, 

dikuatkan oleh dalil dan barangkali cabang-cabang ini berdasar  

atas kaidah-kaidah lain. Kita lihat bagaimana mereka menjadikan 

hubungan antara pelaksanaan dengan bagian waktu menunjukkan 

sababiyah nya, sehingga jadilah hubungan yang menunjukkan tujuan 

khitab dalam penjelasannya memerlukan perbuatan yang diserukan 

kepada mukallaf  untuk melakukannya dan ini yaitu  kebalikan dari 

penempatan tanda sehingga Ibnu Humam berpendapat : Perkataan 

mereka ini menjadi lebih jauh dari mazhab yang rendah yaitu bahwa 

taklif  itu bersamaan dengan perbuatan, karena mereka berpendapat 

bahwa tuntutan tidak mendahului perbuatan.  

Tidaklah mungkin bagi mereka untuk menghilangkan 

sababiyah  dari awal bagian waktu pada asalnya. Mereka berkata 

bahwa awal waktu yaitu  sebab kewajiban yang tidak dituntut. 

Tidaklah mudah memahami ini.  

 

2) Waktu  Mudhayyaq  

W aktu mu dhayyaq  yaitu waktu yang hanya berlaku bagi jenis 

kewajiban tertentu seperti bulan Ramadhan. Waktu mudhayyaq  ialah 

waktu yang bersamaan dengan wajib dan dinamakan oleh ulama 

Hanafiyah  mi’yar (takaran). 

                                                           

Sebagai contoh ialah puasa Ramadan . Allah swt. telah 

menentukan untuk menunaikan kewajiban puasa, maka tidak boleh 

di tunaikan pada waktu yang lain. dan ini telah  disepakati ulama. 

Hanya saja ulama Hanafiyah memperincinya bahwa bila puasa 

ditunaikan dengan niatnya dalam hari-hari dibulan ini, Ia pun 

berubah menjadi wajibnya Ramadan baik pelaku puasa 

meniatkannya atau meniatkan lainnya atau tidak berniat puasa 

tertentu. Mereka berkata: Hal ini karena tujuannya batal pada niat 

yang berlawanan, sehingga tinggallah puasa mutlak dan dengan itu 

dilakukan puasa wajib. Sebagai besar ulama berlawanan dengan 

mereka dalam masalah itu maka mereka warga kan niat 

menentuan, karena mengilangkan kesyariatan selain puasa tertentu 

dalam bulan Ramadan menyebabkan ketidak absahan puasa yang 

lain itu dalam bulan Ramadan jika ia meniatkannya.   

Ketidakabsahan tidak mengharuskan adanya niat puasa yang 

sah, sedang pelaku puasa mengumumkan bahwa ia tidak 

meniatkannya, sehingga bila  telah tetap puasanya dalam bulan 

Ramadhan haruslah ia menggantinya.  Maka bila  ia berniat puasa, 

tidak ada  dalil bahwa ia ingin menyalahi kehendak Allah swt. 

karena tidak adanya q arinah, bahkan q arinah menunjukan bahwa ia 

maksudkan dengan puasanya itu pelaksanaan perbuatan yang 

diwajibkan atasnya. Adapun jika ia berniat dengan niat yang 

berlawanan, maka tampaklah dari situ keinginan menyalahi sehingga 

perbuatannya tertolak (tidak sah). 

Abu Hanifah Rahimamullah berpendapat bahwa puasa 

Rama dan bisa dilaksanakan dengan niat apapun jika puasa pada 

waktu itu tidak terhalang bagi pelaku puasa. Sebaliknya, yaitu bila ia 

sakit atau dalam perjalanan, maka hukumnya berbeda. Seorang 

musafir jika berniat kewajiban lain, terjadilah menurut yang 

diniatkan, karena Allah swt. menetapkan rukhshah (keringanan) 

baginya sedang ia berada dalam kecenderungan kepada yang lebih 

ringan dan yang lebih ringan baginya ialah puasa wajib yang lain 

karena ia yaitu  hutang yang ia dilepaskan tanggung jawabnya dari 

padanya. berdasar  alasan ini jika ia berniat Sunah berpindahlah 

puasanya menjadi puasa Ramadhan, karena puasa sunah tidak lebih 

ringan, sebab tidak menggugurkan sesuatu dari tanggung jawabnya. 

Sebagai contoh ialah puasa Ramadan . Allah swt. telah 

menentukan untuk menunaikan kewajiban puasa, maka tidak boleh 

di tunaikan pada waktu yang lain. dan ini telah  disepakati ulama. 

Hanya saja ulama Hanafiyah memperincinya bahwa bila puasa 

ditunaikan dengan niatnya dalam hari-hari dibulan ini, Ia pun 

berubah menjadi wajibnya Ramadan baik pelaku puasa 

meniatkannya atau meniatkan lainnya atau tidak berniat puasa 

tertentu. Mereka berkata: Hal ini karena tujuannya batal pada niat 

yang berlawanan, sehingga tinggallah puasa mutlak dan dengan itu 

dilakukan puasa wajib. Sebagai besar ulama berlawanan dengan 

mereka dalam masalah itu maka mereka warga kan niat 

menentuan, karena mengilangkan kesyariatan selain puasa tertentu 

dalam bulan Ramadan menyebabkan ketidak absahan puasa yang 

lain itu dalam bulan Ramadan jika ia meniatkannya.   

Ketidakabsahan tidak mengharuskan adanya niat puasa yang 

sah, sedang pelaku puasa mengumumkan bahwa ia tidak 

meniatkannya, sehingga bila  telah tetap puasanya dalam bulan 

Ramadhan haruslah ia menggantinya.  Maka bila  ia berniat puasa, 

tidak ada  dalil bahwa ia ingin menyalahi kehendak Allah swt. 

karena tidak adanya q arinah, bahkan q arinah menunjukan bahwa ia 

maksudkan dengan puasanya itu pelaksanaan perbuatan yang 

diwajibkan atasnya. Adapun jika ia berniat dengan niat yang 

berlawanan, maka tampaklah dari situ keinginan menyalahi sehingga 

perbuatannya tertolak (tidak sah). 

Abu Hanifah Rahimamullah berpendapat bahwa puasa 

Rama dan bisa dilaksanakan dengan niat apapun jika puasa pada 

waktu itu tidak terhalang bagi pelaku puasa. Sebaliknya, yaitu bila ia 

sakit atau dalam perjalanan, maka hukumnya berbeda. Seorang 

musafir jika berniat kewajiban lain, terjadilah menurut yang 

diniatkan, karena Allah swt. menetapkan rukhshah (keringanan) 

baginya sedang ia berada dalam kecenderungan kepada yang lebih 

ringan dan yang lebih ringan baginya ialah puasa wajib yang lain 

karena ia yaitu  hutang yang ia dilepaskan tanggung jawabnya dari 

padanya. berdasar  alasan ini jika ia berniat Sunah berpindahlah 

puasanya menjadi puasa Ramadhan, karena puasa sunah tidak lebih 

ringan, sebab tidak menggugurkan sesuatu dari tanggung jawabnya. 

Jika penentuan puasa berasal dari manusia bukan dari Allah seperti 

waktu nadzar yang menjelaskan penunaian puasa pada waktu itu 

dengan niat mutlak dan dengan niat nafal/Sunah dan tidak 

ditunaikan dengan niat kewajiban yang lain sebagai perbedaan 

antara kekuasan Allah dan kekuasan manusia, karena kekuasaan 

Allah swt. mutlak sempurna sehingga bisa membatalkan hak hamba 

maupun kewajibannya, maka Ia pun membatalkan kesesuain 

Ramadhan untuk puasa selain puasa Ramadan.  

 

3)  Waktu dzu syibhain   

Waktu haji menyerupai takaran dari segi bahwa satu tahun 

hanya berlaku bagi satu kali haji dan menyerupai dharf dari segi 

bahwa bulan haji tidak dipenuhi oleh amalan-amalannya. Ulama 

Hanafiyah memperinci syibih awal  (keserupaan pertama) bahwa haji 

diwajibkan, ditunaikan dengan niat mutlak bagi keadaan dhohir 

mukallaf, yaitu bahwa ia menunaikan kewajiban sebelum sunah dan 

syibih tsani  (keserupaan kedua) bahwa ia berlaku sebagai nafal 

( sunah) jika diniatkan begitu.  

 

b.  Pembagian wajib berdasar  jumlah pelakunya . 

Wajib itu ada yang wajib ‘ain  (perorangan) dan ada yang wajib 

kifayah  (kolektif). Waji b ‘ain  ialah perbuatan yang dituntut 

melakukannya oleh setiap orang mukallaf  dan yang kedua perbuatan 

yang dituntut melakukannya tanpa memandang pelakunya. 

Kewajiban -kewajiban yang dibebankan oleh Alllah swt. kadang-

kadang dituntut melakukannya dari setiap orang secara khusus 

seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dinamakan wajib ‘ain . Kadang di 

tuntut melakukannya tanpa melihat pelakunya seperti perbuatan 

baik yang bermacam-macam, pembang