saan
meminum minuman keras dalam acara-acara hajatan, praktik-
praktik ribawi-rentenir di kalangan pedagang lemah untuk
memperoleh modal, memperoleh kekayaan dengan cara berjudi
togel, dan lain sebagainya.
berdasar penjelasan di atas, maka dapat diketahui
mengenai kehujjahan ’urf , di mana para ulama berpendapat bahwa
‘urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasar perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Berarti
menganggap apa yang ada dalam warga dapat dijadikan
sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
syarak.
Imam al-Syafi’i terkenal dengan qa ul q adim dan q aul jadidnya,
karena melihat pratik yang belaku pada warga Bag hdad dan
M esir yang berlainan. Sedangkan ‘ urf fasid tidak dapat diterima , hal
itu jelas karena bertentangan dengan nash maupun ketentuan
umum nash.
4. Mas hlahah Mursalah
Mash lahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu mashlahat dan
mursalah. Pengertian m ashlahah secara etimologi yaitu usaha
mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat . Dari
sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mamiliki dua terma yaitu
adanya manfaat (يباجإ) dan menjauhkan madharat (يبلس). Terkadang
mashlahah ini ditinjau dari aspek ijab - nya sajadan menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat.
Sebagai contoh yaitu bentuk perdagangan dengan cara indent
atau pesan sebelumnya, model pembayaran mahar dengan cara
kontan atau terhutang, kebiasaan pemberian hadiah oleh
mempelai pria kepada mempelai wanita di luar mahar, dan lain
sebagainya.
b. ‘urf fasid ; yaitu adat kebiasaan orang-orang yang bertentangan
dengan ketentuan syarak. Sebagai contoh ialah kebiasaan
meminum minuman keras dalam acara-acara hajatan, praktik-
praktik ribawi-rentenir di kalangan pedagang lemah untuk
memperoleh modal, memperoleh kekayaan dengan cara berjudi
togel, dan lain sebagainya.
berdasar penjelasan di atas, maka dapat diketahui
mengenai kehujjahan ’urf , di mana para ulama berpendapat bahwa
‘urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasar perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Berarti
menganggap apa yang ada dalam warga dapat dijadikan
sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
syarak.
Imam al-Syafi’i terkenal dengan qa ul q adim dan q aul jadidnya,
karena melihat pratik yang belaku pada warga Bag hdad dan
M esir yang berlainan. Sedangkan ‘ urf fasid tidak dapat diterima , hal
itu jelas karena bertentangan dengan nash maupun ketentuan
umum nash.
4. Mas hlahah Mursalah
Mash lahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu mashlahat dan
mursalah. Pengertian m ashlahah secara etimologi yaitu usaha
mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat . Dari
sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mamiliki dua terma yaitu
adanya manfaat (يباجإ) dan menjauhkan madharat (يبلس). Terkadang
mashlahah ini ditinjau dari aspek ijab - nya sajadan menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat.
Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” . 143
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa mashlahah
merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah swt.
kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at ( maqashid al-
syari’ah ). Adapun pengertian mursalah dipahami sebagai sesuatu
yang mutlak ديقم ريغ yaitu mashlahah yang secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan.
Dengan tidak adanya qorinah ini , maka mashlahah bisa
menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalih al- mursalah menurut Imam al-
Syathibi ada 3 (tiga) yaitu :
a. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal,
maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-
perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlaha h
mursalah;
b. Sejalan atau sinergi dengan maqhasid syari’ah ;
c. Menjaga prinsip dasar ( dharuri) untuk menghilangkan adanya
kesulitan (raf’ul haraj ).
Mengenai kehujahan mashalih al - mursalah, mayoritas ulama
berpendapat, bahwasannya mashlahah mursalah yaitu hujjah
syar’iyyah yang dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum,
dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash
atau ijmak atau qiyas, ataupun isthisan, disayriatkan kepadanya
hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan
hukum atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai
ada bukti pengakuan dari syarak”. 145
Akan tetapi ada juga ulama yang menolak mengenai kehujahan
mashlahah mursalah di antaranya yaitu ulama Zhahiriyah, Syiah,
Syafi’iyah dan Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah. dan mereka
berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak memiliki bukti syar’i
yang membuktikan terhadap pengakuan syarak terhadapnya
maupun pembatalannya, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembentukan hukum.
Adapun terhadap kehujahan mashlahah al - mursalah , pada
prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syarak, sekalipun dalam penerapan dan
penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al -
mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah ini berpengaruh
pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan
‘illat (motif hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum terse but dipergunakan oleh nash
sebagai motif suatu hukum. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
menerima mashlahah mursalah sebagi dalil dalam menetapkan
hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling
banyak dan luas menerapkannya.
5. Syar’u Man Qablana
S yar’u man qablana yaitu syariat yang dibawa para Rasul
terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi
petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi
Musa AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa AS dan lain
sebaginya. P ada syariat yang diperuntukkan oleh Allah swt. bagi
umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan syariat
yang diperuntukkan bagi umat Muhammad saw. sebagaimana
dinyatakan pada firman Allah Swt. :
خًكُٞٗ ِٚ ِر ٠َّط َٝ خ َٓ ِٖ ٣ ِّذُح َٖ ِٓ ْْ ٌُ َُ َعَشَش َْ ٤ِٛ حَشِْرا ِٚ ِر َخ٘٤ْ َّط َٝ خ َٓ َٝ َي٤َُِْا َخ٘٤َْك ْٝ َأ ١ِزَُّح َٝ
/ ٟسٞشُح] ِٚ ٤ِك حُٞه ََّشَلَظطَلَ َٝ َٖ ٣ ِّذُح حٞ ُٔ ٤َِهأ ْٕ َأ ٠َغ٤ِػ َٝ ٠َعُٞٓ َٝ13[
berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak memiliki bukti syar’i
yang membuktikan terhadap pengakuan syarak terhadapnya
maupun pembatalannya, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembentukan hukum.
Adapun terhadap kehujahan mashlahah al - mursalah , pada
prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syarak, sekalipun dalam penerapan dan
penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al -
mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah ini berpengaruh
pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan
‘illat (motif hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum terse but dipergunakan oleh nash
sebagai motif suatu hukum. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
menerima mashlahah mursalah sebagi dalil dalam menetapkan
hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling
banyak dan luas menerapkannya.
5. Syar’u Man Qablana
S yar’u man qablana yaitu syariat yang dibawa para Rasul
terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi
petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi
Musa AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa AS dan lain
sebaginya. P ada syariat yang diperuntukkan oleh Allah swt. bagi
umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan syariat
yang diperuntukkan bagi umat Muhammad saw. sebagaimana
dinyatakan pada firman Allah Swt. :
خًكُٞٗ ِٚ ِر ٠َّط َٝ خ َٓ ِٖ ٣ ِّذُح َٖ ِٓ ْْ ٌُ َُ َعَشَش َْ ٤ِٛ حَشِْرا ِٚ ِر َخ٘٤ْ َّط َٝ خ َٓ َٝ َي٤َُِْا َخ٘٤َْك ْٝ َأ ١ِزَُّح َٝ
/ ٟسٞشُح] ِٚ ٤ِك حُٞه ََّشَلَظطَلَ َٝ َٖ ٣ ِّذُح حٞ ُٔ ٤َِهأ ْٕ َأ ٠َغ٤ِػ َٝ ٠َعُٞٓ َٝ13[
Artinya : “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang
telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa telah kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS.Al-
syura[42]:1 3 ).
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan
konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan qadar ,
tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai
perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda ,
hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syariat umat yang dahulu itu sama
namanya. Tetapi berbeda pelaksaanaannya dengan syariat Nabi
Muhammad saw.., seperti puasa yang ada dalam QS.Al-
Maidah[5]:32)
ْٖ ِٓ َِ َْؿأ َِيَُر َخَْ٘زظ ًَ ٠ََِػ ٢َِ٘ر ََ ٤ِثحَشِْعا ُ َّٚ َٗأ ْٖ َٓ ََ ََظه خًغَْلٗ ِش٤ْ َـ ِر َٗ ٍظْل ْٝ َأ ٍدخََغك ٢ِك
ِعَْسْلْح خ َٔ ََّٗؤ ٌَ َك ََ ََظه َطخَُّ٘ح خًؼ٤ ِٔ َؿ ْٖ َٓ َٝ َخَٛخ٤َْكأ خ َٔ ََّٗؤ ٌَ َك َخ٤َْكأ َطخَُّ٘ح خًؼ٤ ِٔ َؿ َٝ َْذَوُ
ْْ ُْٜطَءخَؿ َخُُِ٘عُس ِصَخ ِّ٘٤َزُْ ِخر َّْ ُػ َّٕ ِا حًش٤ِؼ ًَ ْْ ُْٜ٘ ِٓ َذَْؼر َِيَُر ٢ِك ِعَْسْلْح َٕ ُٞكِشْغ ُٔ َُ
سذثخُٔح[/32[
ada 3 ( tiga) macam bentuk syar’u man qablanaya itu :
a. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, tetapi
Alquran dan hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya
atau mentaatkan berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw.
b. Syariat yang diperuntukan bagi umat-umat yang sebelum kita,
kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad
saw..
c. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita,
kemudian Alquran dan hadis menerangkan kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syariat yang diperuntukkan bagi
umat-umat sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita
alquran dan hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian
ulama Hanafiah, sebagian ulama Mailikiyah, sebagian ulama
Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal berpendapat bahwa syariat
itu berlalu pula bagi umat Muhammad saw.
Oleh karena itu ulama Hana fiyah berpendapat bahwa
membunuh orang dzimi sama hukumsnnya dengan membunuh
orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdarkan QS al-
M aidah : 45
َقـْٗ ْلْح َٝ ِٖ ٤ْـَؼـُْ ِخر َٖ ٤ْـَؼـُْ ح َٝ ِظـْل ّـَ٘ـُِخر َظـْل ّـَ٘ـُح َّٕ َأ َخٜـ٤ِْـك ْْ ِٜ ـ٤َْـِـَػ َخ٘ـَْزظـ ًَ َٝ
ٌصخَظِـه َف ْٝ ُشـ ُـ ـُْ ح َٝ ِّٖ ـ ِّغـُِخر َّٖ ـِغُح َٝ ِٕ ُُرْلِْخر َٕ ُُرلْح َٝ ِقـْٗ ْلِْخر
: سذـثخـُٔح(45)
Artinya : Dan Kami tetalh tetapkan terha dap mereka di dalamnya
(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya.
Adapun pendapat golongan lain, menurut mereka dengan
adanya syariat Nabi Muhammad saw., maka syariat sebelumnya
dinyatakan mansukh atau tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai
bentuk kedua , para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar
hujjah, sedang untuk pertama ulama yang menjadikannya sebagai
hujjah, selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad
saw.
6 . Sadd al- dzari’ah
Sadd al- dzari’ah terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan
dzari’ah . Sadd berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang
dzari’ah berarti jalan atau perantara. Maksudnya, menghambat atau
mengahalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada
kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum syarak secara sad al- dzari’ah ialah
untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal berpendapat bahwa syariat
itu berlalu pula bagi umat Muhammad saw.
Oleh karena itu ulama Hana fiyah berpendapat bahwa
membunuh orang dzimi sama hukumsnnya dengan membunuh
orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdarkan QS al-
M aidah : 45
َقـْٗ ْلْح َٝ ِٖ ٤ْـَؼـُْ ِخر َٖ ٤ْـَؼـُْ ح َٝ ِظـْل ّـَ٘ـُِخر َظـْل ّـَ٘ـُح َّٕ َأ َخٜـ٤ِْـك ْْ ِٜ ـ٤َْـِـَػ َخ٘ـَْزظـ ًَ َٝ
ٌصخَظِـه َف ْٝ ُشـ ُـ ـُْ ح َٝ ِّٖ ـ ِّغـُِخر َّٖ ـِغُح َٝ ِٕ ُُرْلِْخر َٕ ُُرلْح َٝ ِقـْٗ ْلِْخر
: سذـثخـُٔح(45)
Artinya : Dan Kami tetalh tetapkan terha dap mereka di dalamnya
(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya.
Adapun pendapat golongan lain, menurut mereka dengan
adanya syariat Nabi Muhammad saw., maka syariat sebelumnya
dinyatakan mansukh atau tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai
bentuk kedua , para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar
hujjah, sedang untuk pertama ulama yang menjadikannya sebagai
hujjah, selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad
saw.
6 . Sadd al- dzari’ah
Sadd al- dzari’ah terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan
dzari’ah . Sadd berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang
dzari’ah berarti jalan atau perantara. Maksudnya, menghambat atau
mengahalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada
kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum syarak secara sad al- dzari’ah ialah
untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
kemungkinan terjadinya kerusakan atau terhindarnya diri dari
kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan
umum syariat menetapkan perintah-perintah, baik yang dapat
dilaksanakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat
dilaksanakan secara langsung, semua perlu ada hal yang
dikerjaka sebelumnya.
Inilah yang dimaksud kaidah nya ,yang artinya :
ٌذـِؿح َٝ َٞ ـُـَٜـك ِٚ ِـر َّلَا ُذـِؿح َٞ ـُْ ح ُّْ ـِـظـَـ٣ َلَ خـ َٓ
Artinya : Sesuatu yang diperlukan untuk menyempurnkan
perbuatan wajib, maka ia wajib pula hukumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima
waktu. Seseorang hanya dapat mengerjakan shalat bila telah
belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat
menggerakannya . Dalam hal ini sekilas tampaknya bahwa belajar
shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah
kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, maka ditetapkan hukum
wajibbelajar shalat, sebagaaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Dasar hukum sadd al- dzari’ah ialah Alquran dan Hadis , di
antaranya ialah firman Allah swt.. :
/ ّخؼٗلْح] ٍْ ِْ ِػِش٤ْ َـ ِر ح ًٝ ْذَػ َ َّﷲ ح ُّٞزَُغ٤َك ِ َّﷲ ِٕ ُٝد ْٖ ِٓ َٕ ُٞػَْذ٣ َٖ ٣ِزَُّح ح ُّٞزَُغطَلَ َٝ108[
Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. (QS Al-An’am [6]:108).
Mencaci berhala tidak dilarang oleh Allah swt., tetapi ayat ini
melarang kaum muslimin mencaci dan menghina, karena larangan
ini dapat menutup kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci
dan memaki Allah swt. secara berlebih-lebihan.
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman :
/ سُٞ٘ح] َّٖ ِٜ َِظ٘٣ِص ْٖ ِٓ َٖ ٤ِلُْخ٣ خ َٓ َْ َُِْؼ٤ُِ َّٖ ِٜ ُِِؿَْسِؤر َٖ ْرِشَْؼ٣َلَ َٝ31[
Artinya : Dan jangan lah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan mereka sembunyikan ”. (QS. Al -
Nur[24]:31).
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemercing gelang kakinya dan perbuatan itu akan menarik hati laki-
laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu
dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah
perbuatan zina.
Nabi M uhammad saw. bersabda ;
“Ketahuilah, larangan Allah yaitu perbuatan-perbuatan yang
diharamkannya. Barang siapa mengg embalakan (ternaknya) sekitar
larangan ini , ia akan terjerumus kedalamnya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang
dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari
pada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepaa perbuatan maksiat itu.
Mengenai objek sadd al- dzari’ah dapat dijelaskan bahwa
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya
perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
ini , tapi ada kalanya perbuatan itu hanya berpotensi
menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Pada kategori yang pertama tidak ada persoalan dan
perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan
itu sendiri dilarang.Adapun kategori yang kedua ini lah sebenarnya
yang merupakan objek sadd al- dzari’ah , karena perbuatann ini
ini dapat menutup kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci
dan memaki Allah swt. secara berlebih-lebihan.
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman :
/ سُٞ٘ح] َّٖ ِٜ َِظ٘٣ِص ْٖ ِٓ َٖ ٤ِلُْخ٣ خ َٓ َْ َُِْؼ٤ُِ َّٖ ِٜ ُِِؿَْسِؤر َٖ ْرِشَْؼ٣َلَ َٝ31[
Artinya : Dan jangan lah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan mereka sembunyikan ”. (QS. Al -
Nur[24]:31).
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemercing gelang kakinya dan perbuatan itu akan menarik hati laki-
laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu
dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah
perbuatan zina.
Nabi M uhammad saw. bersabda ;
“Ketahuilah, larangan Allah yaitu perbuatan-perbuatan yang
diharamkannya. Barang siapa mengg embalakan (ternaknya) sekitar
larangan ini , ia akan terjerumus kedalamnya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang
dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari
pada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepaa perbuatan maksiat itu.
Mengenai objek sadd al- dzari’ah dapat dijelaskan bahwa
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya
perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
ini , tapi ada kalanya perbuatan itu hanya berpotensi
menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Pada kategori yang pertama tidak ada persoalan dan
perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan
itu sendiri dilarang.Adapun kategori yang kedua ini lah sebenarnya
yang merupakan objek sadd al- dzari’ah , karena perbuatann ini
sering menjadi penentu seberapa jauh perbuatan itu mendorong
orang pelakunya untuk mengerjakannya perbuatan dosa.
Berkenaan dengan hal ini ada 3 (tiga) kemungkinan ,
yaitu :
a. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang (dzari’ah qawiyah yaitu jalan yang kuat);
b. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang (dzari’ah dha’if yaitu jalan yang lemah ); dan
c. Sama kemungkinan dikerjakan atau tidak dikrjakan perbuatan
terlarang (dzari’ah dha’if yaitu jalan yang lemah ).
7 . Qaul shahaby
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, seluruh persoalan hukum
yang muncul atau timbul dalam warga langsung ditanyakan
para sahabat kepada Rasul dan Rasulullah memberikan jawaban dan
penyelesainnya. Namun setelah Rasulullah saw. meninggal dunia,
maka para sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbatkan
hukum, telah berusaha dengn sungguh-sungguh untuk
memecahkan persoalan ini , sehingga kaum muslimin dapat
beramal sesuai denganm fatwa-fatwa sahabat itu. Selanjutnya
fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it -tabi’in dan
orang-orang yang sesudahnya seperti para perawi hadis.
Pendapat ulama mengenai qaul sahabi dapat dijelaskan bahwa
ada 2 (dua) macam pendapat sahabat yang dapa t dijadikan hujjah,
yaitu :
1. Pendapat sahabat yang diduga keras bahwa pendapat ini
sebenarnya berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak
atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah ra
ِٚ ـ ِّٓ ُأ ِٖ ْطَـر ٠ِك َُ ـ ْٔ َلـُْ ح ُغـٌُ ـ ْٔ َـ٣ َلَ َُّ ِظ ٍُ َّٞ ـَلَـظَـ٣ خ َٓ َسْذَـه ِٖ ٤َْظَـ٘ـَع ْٖ ِٓ َشَـؼـ ًْ َأ
ٍِ َّضـَؼـ ُٔ ُْ ح
Artinya : kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam
perut ibu, yaitu tidak akan lebih dari sepanjang bayang-
bayang benda yang ditancapkannya’. (HR. Daruquthni).
Keter angan Aisyah ra. bahwa maksimal waktu menandung itu
dua tahun, tidak lebih sedikitpun, bukan semata-mata hasil
ijtihad Aisyah sendiri, melainkan bersumber dari Rasulullah saw.,
meskipun secara kasat mata itu yaitu perkataan dan pendapat
Aisyah.
2. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang
menentangnya seperti pendapat tentang bahwa nenek
mendapat seperenam (1/6) harta waris, yang dikemukakan oleh
Abu Bakar dan tidak ada sahabat lain yang tidak sependapat
dengannya.149
Pendapat yang tidak disetujui ole h sahabat yang lain tidak
dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiah,
Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari
qiyas. Bahkan Ahmad bin H anbal mendahulukan qaul sahabi dari
hadis mursal dan hadis dha’ if. Al-Syaukani menganggap pendapat
sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak wajib
umat Islam mengikutinya.
Keter angan Aisyah ra. bahwa maksimal waktu menandung itu
dua tahun, tidak lebih sedikitpun, bukan semata-mata hasil
ijtihad Aisyah sendiri, melainkan bersumber dari Rasulullah saw.,
meskipun secara kasat mata itu yaitu perkataan dan pendapat
Aisyah.
2. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang
menentangnya seperti pendapat tentang bahwa nenek
mendapat seperenam (1/6) harta waris, yang dikemukakan oleh
Abu Bakar dan tidak ada sahabat lain yang tidak sependapat
dengannya.
Pendapat yang tidak disetujui ole h sahabat yang lain tidak
dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiah,
Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari
qiyas. Bahkan Ahmad bin H anbal mendahulukan qaul sahabi dari
hadis mursal dan hadis dha’ if. Al-Syaukani menganggap pendapat
sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak wajib
umat Islam mengikutinya.
Sebagaimana dikatakan imam al-Ghazali, bahwa mengetahui
hukum syarak merupakan tujuan pokok mempelajari ilmu fiqh dan
ushul fiqh. Target kedua disiplin ilmu ini memang untuk
mengetahui hukum syarak yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf , meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ilmu ushul
fiqh meninjau hukum syarak dari aspek proses metodologis dan
sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi produk
penggalian hukum syarak, yakni ketetapan Allah swt. yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
iqtidha’ (tuntutan, perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadh’i (sebab-akibat). Ketentuan Allah swt. dalam konteks
ini yaitu ketentuan yang diberikan oleh Allah swt. terhadap hukum
yang berhubungan dengan orang mukallaf. Seperti hukum haram,
makruh, wajib, sunah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
( mani' ) dan ungkapan lain yang merupakan objek pembahasan ilmu
ushul fiqh.
A . Pengertian Hukum Taklifi
Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum
syarak pada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i .
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh yaitu :
َٖ ـ٤َْـر ِٙ ِشـ٤ِْـ٤ـْخَـط ْٝ َأ ٍَ ـْؼِـك ْٖ ـَػ ِٚ ِّلـ ًَ ْٝ َأ ِق ّـَِ ٌَ ـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ ٍَ ـْؼِـك َذَـَِـؽ ٠ََؼظـِْها خ َٓ
ُٚـْ٘ ـَػ ِّقـ ٌَ ُْ ح َٝ َِ ـْؼِـلـُْ ح150
Artinya : ketentuan-ketentuan yang menghendaki adanya tuntutan
kepada mukallaf untuk melakukan, atau melarang untuk
dilakukan, atau memilih untuk melakukan atau
tidakmelakukan.
Dinamakan hukum taklifi yaitu karena jenis hukum-hukum
ini mengandung “tuntututan” , baik untuk mengerjakan atau
untuk meninggalkan, atau untuk member alternatif memilih antara
mengerjakan atau meninggalkannya. Dengan kata lain, hukum taklifi
yaitu titah atau firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf, baik atas dasar tuntutan (iqtidha’) atau atas
dasar kebebasan memilih (takhyir ).
Untuk memperjelas pembahasan, berikut akan disajikan
definisi hukum wadh’i secara ringkas. Hal ini perlu disampaikan
karena antara hukum taklifi dan hukum wadh’i mempunyai
hubungan yang sangat erat. Hukum wadh’i yaitu hukum
ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’
(penghalang) kecakapan untuk melakukan hukum taklifi151 .
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bila hukum
taklifi yaitu ketentuan Allah swt. yang bersifat perintah, larangan
atau pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan
hukum wadh’i yaitu hukum yang menjelaskan adanya sebab, syarat
atau penghalang adanya hukum taklifi .Sebagai contoh, jika hukum
taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam,
hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari
pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat maghrib.
Patut pula diketahui bahwa hukum taklifi dengan berbagai
macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf ,
َٖ ـ٤َْـر ِٙ ِشـ٤ِْـ٤ـْخَـط ْٝ َأ ٍَ ـْؼِـك ْٖ ـَػ ِٚ ِّلـ ًَ ْٝ َأ ِق ّـَِ ٌَ ـ ُٔ ُْ ح َٖ ِٓ ٍَ ـْؼِـك َذَـَِـؽ ٠ََؼظـِْها خ َٓ
ُٚـْ٘ ـَػ ِّقـ ٌَ ُْ ح َٝ َِ ـْؼِـلـُْ ح150
Artinya : ketentuan-ketentuan yang menghendaki adanya tuntutan
kepada mukallaf untuk melakukan, atau melarang untuk
dilakukan, atau memilih untuk melakukan atau
tidakmelakukan.
Dinamakan hukum taklifi yaitu karena jenis hukum-hukum
ini mengandung “tuntututan” , baik untuk mengerjakan atau
untuk meninggalkan, atau untuk member alternatif memilih antara
mengerjakan atau meninggalkannya. Dengan kata lain, hukum taklifi
yaitu titah atau firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf, baik atas dasar tuntutan (iqtidha’) atau atas
dasar kebebasan memilih (takhyir ).
Untuk memperjelas pembahasan, berikut akan disajikan
definisi hukum wadh’i secara ringkas. Hal ini perlu disampaikan
karena antara hukum taklifi dan hukum wadh’i mempunyai
hubungan yang sangat erat. Hukum wadh’i yaitu hukum
ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’
(penghalang) kecakapan untuk melakukan hukum taklifi .
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bila hukum
taklifi yaitu ketentuan Allah swt. yang bersifat perintah, larangan
atau pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan
hukum wadh’i yaitu hukum yang menjelaskan adanya sebab, syarat
atau penghalang adanya hukum taklifi .Sebagai contoh, jika hukum
taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam,
hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari
pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat maghrib.
Patut pula diketahui bahwa hukum taklifi dengan berbagai
macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf ,
sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan
manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.
Contoh hukum taklifi yang berisi tuntutan untuk mengerjakan,
yaitu perintah Allah swt. untuk mengerjakan salat sebagaimana
tercantum pada firman Allah swt. QS Al-Baqarah : 43, dan perintah
Allah swt. Untuk melaksanakan puasa sebagaimana tercantum pada
QS Al-Baqarah : 183 sebagai berikut :
: سشـوزُح( َسِٞـ َّظُح حٞـ ُٔ ـ٤ِْـَهأ َٝ43)
Artinya : Dan kerjakanlah oleh kamu sekaliah salat
: سشـوـزُح( ُّ َخ٤ـ ِّظـُح ُْ ٌُ ـ٤َْـِـَػ َذِـظـ ًُ183)
Artinya : Telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa
Contoh hukum taklifi yang berisi larangan untuk mengerjakan,
yaitu larangan Allah swt membunuh tanpa alasan yang benar
sebagaimana tercantum pada firman Allah swt QS Al-An’am : 151 dan
larangan Allah swt untuk tidak memakan bangkai, darah dan daging
babi sebagaimana tercantum pada QS Al-Maidah : 3 se bagai berikut :
: ّخـؼـٗلْح ( ِّنـَلـُْ ِخر َِّلَا ُﷲ َّ َّشـَك ٠ِظ ّـَُح َظـْل ّـَُ٘ح حُُِٞـظـْوَـط َلَ َٝ151)
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
oleh Allah (membunuhnya), kecuali dengan sesuatu
(sebab) yang benar.
ْ٤ـ َٔ ُْ ح ُْ ٌُ ـ٤ََِْػ ْضـ َٓ ِّشـُك : سذـثخـُٔح( ِش٣ِْضـْ٘ ـِخُْ ح ُْ ـْلَـُ َٝ ُّ َّذُح َٝ ُضَـظـ3)
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging
babi.
152 Amir Syarifudin, Ushul FIqh 2 , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)
80
Contoh hukum taklifi yang berisi kebolehan memilih antar
mengerjakan atau meninggalkannya, ialah mengqashar salat dalam
bepergian, sebagaimana tercantum pada firman Allah swt pada QS
Al-Nisa’ : 101) sebagai berikut :
ِسَلًـ َّظُح َٖ ِٓ ح ْٝ ُشـُظـْوَـط ْٕ َأ ٌفخَـ٘ـُؿ ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ َظـ٤َْـَِـك ِعَْسْلْح ٠ِك ْْ ُظـْرَشـَػ حَِرا َٝ
: ءخغـ٘ـُح (101 )
Artinya : Dan bila kamu bepergian di muka bumu, maka tiada
mengapa bagimu mengqashar salatmu.
B. Macam- Macam Hukum Taklifi
Patut dikemukakan bahwa hukum taklifi itu membicarakan
hukum syarak dari aspek sifatnya yang memberi tuntutan atau
pembebanan hukum kepada mukallaf. Tuntutan ini secara
garis besar ada 3 (tiga) macam, yaitu 1) perintah untuk dikerjakan; 2)
larangan agar ditinggalkan; atau 3) member alternatif pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan. bila tuntutan itu tegas dan
mengharuskan dinamakan ijab atau wajib dan bila tidak
mengharuskan dinamakan nadb atau sunah. Selanjutnya, bila
larangan itu tegas dan mengharuskan untuk ditinggalkan dinamakan
haram dan bila larangan itu tidak tegas atau tidak mengharuskan
untuk ditinggalkan dinamakan makruh. Kemudian ap abila tuntutan
itu member alternatif atau kebebasan memilih kepada mukallaf,
antara mengerjakan atau meninggalkan, dinamakan mubah.
Para ulama u shul fiqh setelah memperhatikan kondisi k hithab
(audien hukum) serta mencermatinya dengan seksama, maka
selanjutnya menetapkan 5 (lima) macam hukum taklifi :
Pertama ; Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas
dan tegas yang dinamakan ijab . Sebagai contoh ialah firman Allah
swt. dalam QS al-Nisa’ : 36
ْ٤َش ِٚ ِر حًُٞ ِشُْشط َلَ َٝ َ َّﷲ حُُٝذزْػح َٝ/ ءخغُ٘ح] ًخج36[
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah sekutukan Dia dengan
sesuatu.
Contoh hukum taklifi yang berisi kebolehan memilih antar
mengerjakan atau meninggalkannya, ialah mengqashar salat dalam
bepergian, sebagaimana tercantum pada firman Allah swt pada QS
Al-Nisa’ : 101) sebagai berikut :
ِسَلًـ َّظُح َٖ ِٓ ح ْٝ ُشـُظـْوَـط ْٕ َأ ٌفخَـ٘ـُؿ ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ َظـ٤َْـَِـك ِعَْسْلْح ٠ِك ْْ ُظـْرَشـَػ حَِرا َٝ
: ءخغـ٘ـُح (101 )
Artinya : Dan bila kamu bepergian di muka bumu, maka tiada
mengapa bagimu mengqashar salatmu.
B. Macam- Macam Hukum Taklifi
Patut dikemukakan bahwa hukum taklifi itu membicarakan
hukum syarak dari aspek sifatnya yang memberi tuntutan atau
pembebanan hukum kepada mukallaf. Tuntutan ini secara
garis besar ada 3 (tiga) macam, yaitu 1) perintah untuk dikerjakan; 2)
larangan agar ditinggalkan; atau 3) member alternatif pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan. bila tuntutan itu tegas dan
mengharuskan dinamakan ijab atau wajib dan bila tidak
mengharuskan dinamakan nadb atau sunah. Selanjutnya, bila
larangan itu tegas dan mengharuskan untuk ditinggalkan dinamakan
haram dan bila larangan itu tidak tegas atau tidak mengharuskan
untuk ditinggalkan dinamakan makruh. Kemudian ap abila tuntutan
itu member alternatif atau kebebasan memilih kepada mukallaf,
antara mengerjakan atau meninggalkan, dinamakan mubah.
Para ulama u shul fiqh setelah memperhatikan kondisi k hithab
(audien hukum) serta mencermatinya dengan seksama, maka
selanjutnya menetapkan 5 (lima) macam hukum taklifi :
Pertama ; Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas
dan tegas yang dinamakan ijab . Sebagai contoh ialah firman Allah
swt. dalam QS al-Nisa’ : 36
ْ٤َش ِٚ ِر حًُٞ ِشُْشط َلَ َٝ َ َّﷲ حُُٝذزْػح َٝ/ ءخغُ٘ح] ًخج36[
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah sekutukan Dia dengan
sesuatu.
Maka perbuatan menyembah Allah ini hukumnya menjadi wajib.
Kedua ; Tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan
yang jelas dan pasti, dinamakan tahrim . Sebagai contoh ialah firman
Allah swt :
/ ءحشعلْح] خ ًٔ ٣ِش ًَ ًلَ ْٞ َه خ َٔ َُُٜ َْ ُه َٝ خ َٔ َُْٛشْٜ٘ َط َلَ َٝ ٍُّفأ خ َٔ َُُٜ َْ َُوط ََلًك2 3[
Artinya : Maka janganlaah engkau berkata cih kepada keduanya dan
janganlah engkau membentak keduanya dan berkatalah
kepada keduanya dengan perkataan yang mulia.
berdasar ayat ini di atas, Allah swt. melarang berkata
“ hus” kepada kedua orang tua kita dan jangan membentak keduanya.
Demikian pula dengan firman Allah swt. berikut :
ِر ْْ ٌُ َ٘٤َْر ْْ ٌُ َُح َٞ ْٓ َأ حُِٞ ًُ
َْؤط َلَ َٝ/ سشوزُح] َِ ِؽَخزُْ خ188[
Artinya : Janganlah kamu saling memakan harta dengan cara yang
batil.
berdasar ayat ini , maka dapat diketahui bahwa
perbuatan memakan harta dengan cara yang batal hukumnya haram.
Ketiga; Tuntutan atas suatu perbuatan untuk melakukannya dengan
tuntutan yang tidak pasti dan ketidakpastian disimpulkan dari
qarinah - qarinah yang mengandung tuntutan kemudian mengalihkan
dari pengertian wajibnya, dinamakan nadb atau sunah.
َخك ٠ًّٔ َغ ُٓ ٍَ ََؿأ ٠َُِا ٍٖ ٣َِْذر ْْ ُظ ْ٘ َ٣حََذط حَِرا/ سشوزُح] ُُُٙٞزظ ًْ282[
Artinya : Bila kamu melaksanakan hutang piutang hingga suatu
waktu tertentu maka hendaklah kamu menulisnya.
Firman Allah swt. ini dialihkan dari pengertian wajibnya oleh
firman Allah yang lain di akhir ayat.
ُؼَْؼر َٖ ِٓ َأ ْٕ ِ َبك/ سشوزُح] ُ َّٚرَس َ َّﷲ ِنََّظ٤ُْ َٝ ََُٚظٗخ َٓ َأ َٖ ِٔ ُطْإح ١ِزَُّح ِّدَُئ٤ِْ َك خًؼَْؼر ْْ ٌُ283[
Artinya : bila sebagaian dari kamu merasa aman dari sebagian
yang lain maka hendaklah yang diberi amanat menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia takut kepada Allah Tuhannya.
Mereka menam akan hukum ini Sunah dan menamakan sifat
perbuatan yang merupakan pengaruh khithab juga Sunah.
Keempat ; Tuntutan atas suatu perbuatan agar jangan dilakukan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Ketidakpastian itu juga
disimpulkan dari q arinah- q arinah yang mengandung tuntutan
kemudian mengalihkannya dari pengertian haramnya, dinamakan
makruh.
/ شؼٔـُح] َغ٤َْزُْ ح حُٝسَر َٝ ِ َّﷲ ِش ًْ ِر ٠َُِا ح ْٞ َؼْعَخك ِشَؼ ُٔ ُـ ُْ ح ِّ ْٞ َ٣ ْٖ ِٓ ِسَلً َّظُِِ ١َِدُٞٗ حَِرا9[
Artinya : bila kamu dipanggil untuk melakukan shalat Jum’at
maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.
Permintaan ini sama dengan larangan jual beli dan telah
dialihkan dari pengertian haram karena larangan itu hanya untuk
perkara di luar perbuatan yang dilarang. Para ulama menamakan
hukum ini sebagai karohah dan demikian pula mereka menamakan
sifat perbuatan yang merupakan pengaruh khithab itu.
Kelima ; Perbuatan yang disuruh pilih oleh Allah swt. untuk
melakukannya atau tidak. Para ulama menamakan khitab ini sebagai
ibahah (kebolehan) dan demikian pula sifat perbuatan itu.
Firman Allah swt. ini dialihkan dari pengertian wajibnya oleh
firman Allah yang lain di akhir ayat.
ُؼَْؼر َٖ ِٓ َأ ْٕ ِ َبك/ سشوزُح] ُ َّٚرَس َ َّﷲ ِنََّظ٤ُْ َٝ ََُٚظٗخ َٓ َأ َٖ ِٔ ُطْإح ١ِزَُّح ِّدَُئ٤ِْ َك خًؼَْؼر ْْ ٌُ283[
Artinya : bila sebagaian dari kamu merasa aman dari sebagian
yang lain maka hendaklah yang diberi amanat menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia takut kepada Allah Tuhannya.
Mereka menam akan hukum ini Sunah dan menamakan sifat
perbuatan yang merupakan pengaruh khithab juga Sunah.
Keempat ; Tuntutan atas suatu perbuatan agar jangan dilakukan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Ketidakpastian itu juga
disimpulkan dari q arinah- q arinah yang mengandung tuntutan
kemudian mengalihkannya dari pengertian haramnya, dinamakan
makruh.
/ شؼٔـُح] َغ٤َْزُْ ح حُٝسَر َٝ ِ َّﷲ ِش ًْ ِر ٠َُِا ح ْٞ َؼْعَخك ِشَؼ ُٔ ُـ ُْ ح ِّ ْٞ َ٣ ْٖ ِٓ ِسَلً َّظُِِ ١َِدُٞٗ حَِرا9[
Artinya : bila kamu dipanggil untuk melakukan shalat Jum’at
maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.
Permintaan ini sama dengan larangan jual beli dan telah
dialihkan dari pengertian haram karena larangan itu hanya untuk
perkara di luar perbuatan yang dilarang. Para ulama menamakan
hukum ini sebagai karohah dan demikian pula mereka menamakan
sifat perbuatan yang merupakan pengaruh khithab itu.
Kelima ; Perbuatan yang disuruh pilih oleh Allah swt. untuk
melakukannya atau tidak. Para ulama menamakan khitab ini sebagai
ibahah (kebolehan) dan demikian pula sifat perbuatan itu.
Ulama Hanafiya h menjadikan pengertian yang pasti bagi
perbuatan yang tidak ditinggalkan dua macam menurut jalan dengan
mana kita mengetahui khitab itu. bila jalan itu mengandung ilmu
(pengetahuan) seperti tawatur maka permintaan itu fardhu dan
bila mengandung pengertian zhann (sangkaan) seperti khabar
ahad, maka permintaan itu ijab . Andai kata perbedaan ini hanya
dalam penamaan saja, niscaya kita anggap perbedaan istilah dan
redaksi saja sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Subki dalam kitab
Jam’ - al- Jawami’ . Akan tetapi ulama Hanafiyah men formulasikannya
dalam kitab-kitab fiqh. Sebagaimana pendapat mereka bahwa
meninggalkan bacaan dalam shalat akan membantalkan shalat itu
karena perintah membaca fatihah dalam shalat yaitu perintah
Alquran. Meninggalkan bacaan Fatihah itu sendiri di dalam shalat
tidak membatalkannya karena perintah membacanya telah
ditetapkan dengan khabar ahad dan menimbulkan zhann (sangkaan).
Pemisahan dengan pertimbangan ini yaitu aneh, karena
berdasar pemisahan ini akal mempunyai hukum yang berbeda
terhadap kita bagi sahabat yang meriwayatkan hadits itu dan
disbanding kita dengan Nabi saw. Sahabat yang meriwayatkan hadis
itu tidak menyangsikan kebenaran riwayatnya karena ia mendengar
dari Nabi saw., sehingga perbuatan itu terhadap dirinya yaitu
fardhu yang membatalkan shalat jika ditinggalkan dan demikian pula
terhadap Nabi saw. Adapun terhadap kita, maka ia yaitu wajib tidak
membatalkan shalat bila ditinggalkan karena khabarnya tidak
menimbulkan pengertian ilmu (pengetahun) melainkan zhann
(sangkaan).
Lebih dari itu ia menj adi hukum yang dipersoakan terhadap
sahabat sendiri, maka bagi sebagian mereka yaitu fardhu dan bagi
yang lain yaitu wajib. Perbedaan itu bukanlah salah satu hasil
ijtihad sehingga diampuni, akan tetapi yaitu perbedaan yang tidak
dikuatkan oleh dalil, karena tidak ada pemisahan dari Al-Syari’
antara penyebab wajibnya perintah dan perintah itu dalam masalah
selain haji. Imam-imam yang lain telah sepakat atas pembagian
tuntutan yang pasti menjadi fardhu dan wajib dalam masalah haji,
akan tetapi bukan dengan pertimbangan ini melainkan dengan
pertimbangan dari Al-Syari’ tentang beberapa perbuatan haji
84
bahawa meninggalkannya berarti membatalkannya, maka dinamakan
rukun dan dalam perbuatan lainnya bahwa meninggalkan tidak
membatalkannya dan diganti dengan dam (menyembelih korban),
maka dinamakan wajib.
Ulama Hanafiya h membagi perintah untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang pasti dalam 2 ( dua) bagian. Maka perkara yang
ditetapkan dengan jalan yang pasti yaitu tahrim (haram) dan yang
di tetapkan dengan jalan yang mengandung sangkaan yaitu
k arahah tahrim . Maka hukum -hukum oleh ulama Hanafiya h dibagi
tujuh macam. bukan lima macam. Dengan demikian maka
perbuatan-perbuatan mukalaf menjadi : wajib dan fardhu, mandub,
haram , makruh, karahah tahrim, makruh tanzih da n mubah.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang
macam-macam hukum taklifi , berikut akan diuraikan kelima macam
hukum taklifi ini .
1. Wajib
Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau
persamaan dari kata fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat,
tegas atau harus dikerjakan dan bila ditinggalkan, maka
pelakunya berdosa lagi tercela. Sebagai contoh yaitu perintah
mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dan menghormati
kedua orang tua hukumnya wajib.
Mukallaf yang tida k shalat atau tidak menghormati kedua
orang tua berdosa lagi tercela akhlaknya.
Hukum wajib ini terbagi menjadi beberapa macam, terganting
diari sisi mana pembagiannya. Seperti pembagian berdasar
waktu pelaksanaan, dari sifat tuntutan, dari sisi umum-khusus, atau
dari sisi kadar yang dituntut, sebagaimana akan dijelaskan berikut
ini.
a. Pembagian wajib bersasarkan waktu Pelaksanaan.
berdasar waktu pelaksanannya wajib terbagi menjadi dua,
yaitu 1) mutlak dan 2) muqayyad. Wajib mutlak ialah wajib yang
bahawa meninggalkannya berarti membatalkannya, maka dinamakan
rukun dan dalam perbuatan lainnya bahwa meninggalkan tidak
membatalkannya dan diganti dengan dam (menyembelih korban),
maka dinamakan wajib.
Ulama Hanafiya h membagi perintah untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang pasti dalam 2 ( dua) bagian. Maka perkara yang
ditetapkan dengan jalan yang pasti yaitu tahrim (haram) dan yang
di tetapkan dengan jalan yang mengandung sangkaan yaitu
k arahah tahrim . Maka hukum -hukum oleh ulama Hanafiya h dibagi
tujuh macam. bukan lima macam. Dengan demikian maka
perbuatan-perbuatan mukalaf menjadi : wajib dan fardhu, mandub,
haram , makruh, karahah tahrim, makruh tanzih da n mubah.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang
macam-macam hukum taklifi , berikut akan diuraikan kelima macam
hukum taklifi ini .
1. Wajib
Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau
persamaan dari kata fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat,
tegas atau harus dikerjakan dan bila ditinggalkan, maka
pelakunya berdosa lagi tercela. Sebagai contoh yaitu perintah
mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dan menghormati
kedua orang tua hukumnya wajib.
Mukallaf yang tida k shalat atau tidak menghormati kedua
orang tua berdosa lagi tercela akhlaknya.
Hukum wajib ini terbagi menjadi beberapa macam, terganting
diari sisi mana pembagiannya. Seperti pembagian berdasar
waktu pelaksanaan, dari sifat tuntutan, dari sisi umum-khusus, atau
dari sisi kadar yang dituntut, sebagaimana akan dijelaskan berikut
ini.
a. Pembagian wajib bersasarkan waktu Pelaksanaan.
berdasar waktu pelaksanannya wajib terbagi menjadi dua,
yaitu 1) mutlak dan 2) muqayyad. Wajib mutlak ialah wajib yang
pelaksanannya tidak dibatasi oleh Allah swt . dengan waktu tertentu
dalam umur seperti pelaksanaan kafarat. Sedangkan wajib muqayyad
ialah wajib yang pelaksanaanya dibatasi oleh Allah swt. dengan
waktu yang tertentu seperti shalat dan puasa Ramadan.
Mengen ai waktu tertentu bagi perbuatan wajib dibagi lagi
menjadi 3 (tiga) macam yaitu : muwassa’ (lapang), mudhayyaq
(sempit) dan dzu syibhain .
1) W aktu muwassa’
Muwassa’ atau yang diistilahkan oleh ulama Hanafi dengan
dharf, ialah waktu yang tidak lebih dari kadar yang wajib dan
diserahkan kepada mukallaf untuk melakaukan kewajiban itu pada
saat kapanpun yang dikehendakinya seperti waktu-waktu shalat
lima waktu. Mereka sepakat bahwa waktu ini ialah sebab kewajiban
di dalamnya yaitu tanda baginya dan syarat keabsahanya maka
tidaklah wajib sebelum masuk waktunya dan tidak sah
mendahuluinya. Mereka sepakat juga atas kebolehan melakukan
perbuatan wajib kapanpun yang dikehendaki mukallaf dari waktu itu
dan harus diniatkan wajibnya. Setelah sepakat atas hal ini, mereka
berbeda pendapat tentang bagian waktu yang menjadi sebab adanya
kewajiban, yaitu tanda bagi pengarahan khithab Syari’ kepada
mukallaf . Sebagain ulama berpendapat bahwa sesungguhnya awal
bagian waktu merupakan tanda tujuan khitab.
Maka bila waktu suda h mulai datang, mukallaf pun
dituntut melakukannya dan disuruh memilih dalam seluruh bagian
waktu itu dan ini bilamana perbuatan itu bisa dilakukan pada awal
waktu, sedangkan bila tidak demikian maka sebabnya ialah bagian
yang hilang halangan waktunya. Ji ka halangan itu meliputi seluruh
bagian waktu tidaklah diarahkan suatu khitab dan tidak ada
kewajiban.
Dalil bahwa bagian pertama ialah alamat (tanda) bagi tujuan
khitab ialah firman Allah swt. :
ِظـ ْٔ ـَّشُح ِى ْٞ ُـُُذِـُ َسَلً َّظُح ِْ ِـه َأ
Artinya : Dirikanlah shalat diwaktu tergelincirnya matahari.
Tergelincirnya matahari telah dijadikan tanda bagi tujuan
khitab dalam perkataan-Nya “dirikanlah shalat” kepada mukallaf.
Sebagai contoh atas hal itu yaitu orang yang tertidur di
seluruh waktu shalat, maka wajiblah ia menunaikan kewajiban yang
waktunya yaitu sesudah bangun, berdasar ijmak dan wajib pula
sementara ia tidur tidak diarahkan kepadanya suatu khitab dan tidak
pula ia menanggung sesuatu dengan dalil bahwa bila ia mati
sebelum bangun tidaklah ia berdosa menurut ijmak. Akan tetapi
yang wajib ialah sabda Rasulullah saw. : Barang siapa tidur
meninggalkan shalat atau lupa akan shalat hendaklah ia melakukan
shalat itu bila ia mengingatnya karena saat itulah waktunya.”
Ulama Hanafi yah berpendapat, sebabnya ialah bagian waktu
yang berkaitan dengan penunaian shalat. Maka bila tidak
ditunaikan, ditetapkanlah bagian terakhir yang mencukupi waktu
bagi sababiyahnya dan sesudah keluarnya waktu sababiyahnya
dikaitkan dengan waktu yang tersisa. Bahwa orang yang dibebani
kewajiban pada awal waktu lalu mendapati halangan taklif di
tengah-tengahnya dan berlangsung terus hingga akhirnya, maka
tidaklah wajib ia melakukannya.
Seperti halnya perempuan yang haid atau mengalami nifas
(darah kotor sehabis bersalin) di tengah-tengah waktu. Andai kata
sebab tuntutan ialah bagian awal niscaya kewajiban itu tetap
menjadi tanggungannya dan ia pun tidak mencurahkan perhatiannya
untuk suatu tanggung jawab kecuali dengan melakukan kewajiban
itu baik pada waktunya atau di luar waktunya. Bahwa seseorang jika
tidak dibebani kewajiban pada awal waktu, lalu hilang halangannya
pada akhirnya, maka tetaplah perbuatan itu dalam tanggungannya
sehingga haruslah ia melaksanakannya baik pada waktunya atau di
luar waktunya, seperti halnya seorang yang belum baligh pada awal
waktu lalu menjadi baligh di tengah waktunya atau akhirnya.
Bahwa mukallaf dibolehkan melakukan shalat ashar pada
harinya dalam waktu yang kurang yaitu waktu perubahan matahari
dan tidak boleh meng qadha shalat ashar dari kemarinnya. Andaikata
Artinya : Dirikanlah shalat diwaktu tergelincirnya matahari.
Tergelincirnya matahari telah dijadikan tanda bagi tujuan
khitab dalam perkataan-Nya “dirikanlah shalat” kepada mukallaf.
Sebagai contoh atas hal itu yaitu orang yang tertidur di
seluruh waktu shalat, maka wajiblah ia menunaikan kewajiban yang
waktunya yaitu sesudah bangun, berdasar ijmak dan wajib pula
sementara ia tidur tidak diarahkan kepadanya suatu khitab dan tidak
pula ia menanggung sesuatu dengan dalil bahwa bila ia mati
sebelum bangun tidaklah ia berdosa menurut ijmak. Akan tetapi
yang wajib ialah sabda Rasulullah saw. : Barang siapa tidur
meninggalkan shalat atau lupa akan shalat hendaklah ia melakukan
shalat itu bila ia mengingatnya karena saat itulah waktunya.”
Ulama Hanafi yah berpendapat, sebabnya ialah bagian waktu
yang berkaitan dengan penunaian shalat. Maka bila tidak
ditunaikan, ditetapkanlah bagian terakhir yang mencukupi waktu
bagi sababiyahnya dan sesudah keluarnya waktu sababiyahnya
dikaitkan dengan waktu yang tersisa. Bahwa orang yang dibebani
kewajiban pada awal waktu lalu mendapati halangan taklif di
tengah-tengahnya dan berlangsung terus hingga akhirnya, maka
tidaklah wajib ia melakukannya.
Seperti halnya perempuan yang haid atau mengalami nifas
(darah kotor sehabis bersalin) di tengah-tengah waktu. Andai kata
sebab tuntutan ialah bagian awal niscaya kewajiban itu tetap
menjadi tanggungannya dan ia pun tidak mencurahkan perhatiannya
untuk suatu tanggung jawab kecuali dengan melakukan kewajiban
itu baik pada waktunya atau di luar waktunya. Bahwa seseorang jika
tidak dibebani kewajiban pada awal waktu, lalu hilang halangannya
pada akhirnya, maka tetaplah perbuatan itu dalam tanggungannya
sehingga haruslah ia melaksanakannya baik pada waktunya atau di
luar waktunya, seperti halnya seorang yang belum baligh pada awal
waktu lalu menjadi baligh di tengah waktunya atau akhirnya.
Bahwa mukallaf dibolehkan melakukan shalat ashar pada
harinya dalam waktu yang kurang yaitu waktu perubahan matahari
dan tidak boleh meng qadha shalat ashar dari kemarinnya. Andaikata
sebab sesudah habisnya waktu ialah bagian akhir niscaya tidak ada
halangan bagi hal itu, karena yang wajib pada waktu itu seakan-akan
kewajiban yang kurang oleh kurangnya sebab, maka di qadha pada
waktu yang kurang. Agar ashal ini sesuai dengan furu’ ini mereka
berkata, bahwa sebab kewajiban pelaksanaan ialah bagian awal, jika
pelaksanaannya berkaitan dengan bagian awal berpindahlah
sababiyahnya kepada yang berikutnya.
Demikianlah hingga bila sisa waktu tidak cukup untuk
shalat yang dijadikan alasan, maka jika waktu habis dan tidak
dilakukan shalat, maka dikaitkanlah sababiyah nya dengan
keseluruhannya. Tidaklah cukup bagi kebenaran ashal hanya dengan
mendasarkan furu’ mazhab, akan tetapi haruslah masuk akal,
dikuatkan oleh dalil dan barangkali cabang-cabang ini berdasar
atas kaidah-kaidah lain. Kita lihat bagaimana mereka menjadikan
hubungan antara pelaksanaan dengan bagian waktu menunjukkan
sababiyah nya, sehingga jadilah hubungan yang menunjukkan tujuan
khitab dalam penjelasannya memerlukan perbuatan yang diserukan
kepada mukallaf untuk melakukannya dan ini yaitu kebalikan dari
penempatan tanda sehingga Ibnu Humam berpendapat : Perkataan
mereka ini menjadi lebih jauh dari mazhab yang rendah yaitu bahwa
taklif itu bersamaan dengan perbuatan, karena mereka berpendapat
bahwa tuntutan tidak mendahului perbuatan.
Tidaklah mungkin bagi mereka untuk menghilangkan
sababiyah dari awal bagian waktu pada asalnya. Mereka berkata
bahwa awal waktu yaitu sebab kewajiban yang tidak dituntut.
Tidaklah mudah memahami ini.
2) Waktu Mudhayyaq
W aktu mu dhayyaq yaitu waktu yang hanya berlaku bagi jenis
kewajiban tertentu seperti bulan Ramadhan. Waktu mudhayyaq ialah
waktu yang bersamaan dengan wajib dan dinamakan oleh ulama
Hanafiyah mi’yar (takaran).
Sebagai contoh ialah puasa Ramadan . Allah swt. telah
menentukan untuk menunaikan kewajiban puasa, maka tidak boleh
di tunaikan pada waktu yang lain. dan ini telah disepakati ulama.
Hanya saja ulama Hanafiyah memperincinya bahwa bila puasa
ditunaikan dengan niatnya dalam hari-hari dibulan ini, Ia pun
berubah menjadi wajibnya Ramadan baik pelaku puasa
meniatkannya atau meniatkan lainnya atau tidak berniat puasa
tertentu. Mereka berkata: Hal ini karena tujuannya batal pada niat
yang berlawanan, sehingga tinggallah puasa mutlak dan dengan itu
dilakukan puasa wajib. Sebagai besar ulama berlawanan dengan
mereka dalam masalah itu maka mereka warga kan niat
menentuan, karena mengilangkan kesyariatan selain puasa tertentu
dalam bulan Ramadan menyebabkan ketidak absahan puasa yang
lain itu dalam bulan Ramadan jika ia meniatkannya.
Ketidakabsahan tidak mengharuskan adanya niat puasa yang
sah, sedang pelaku puasa mengumumkan bahwa ia tidak
meniatkannya, sehingga bila telah tetap puasanya dalam bulan
Ramadhan haruslah ia menggantinya. Maka bila ia berniat puasa,
tidak ada dalil bahwa ia ingin menyalahi kehendak Allah swt.
karena tidak adanya q arinah, bahkan q arinah menunjukan bahwa ia
maksudkan dengan puasanya itu pelaksanaan perbuatan yang
diwajibkan atasnya. Adapun jika ia berniat dengan niat yang
berlawanan, maka tampaklah dari situ keinginan menyalahi sehingga
perbuatannya tertolak (tidak sah).
Abu Hanifah Rahimamullah berpendapat bahwa puasa
Rama dan bisa dilaksanakan dengan niat apapun jika puasa pada
waktu itu tidak terhalang bagi pelaku puasa. Sebaliknya, yaitu bila ia
sakit atau dalam perjalanan, maka hukumnya berbeda. Seorang
musafir jika berniat kewajiban lain, terjadilah menurut yang
diniatkan, karena Allah swt. menetapkan rukhshah (keringanan)
baginya sedang ia berada dalam kecenderungan kepada yang lebih
ringan dan yang lebih ringan baginya ialah puasa wajib yang lain
karena ia yaitu hutang yang ia dilepaskan tanggung jawabnya dari
padanya. berdasar alasan ini jika ia berniat Sunah berpindahlah
puasanya menjadi puasa Ramadhan, karena puasa sunah tidak lebih
ringan, sebab tidak menggugurkan sesuatu dari tanggung jawabnya.
Sebagai contoh ialah puasa Ramadan . Allah swt. telah
menentukan untuk menunaikan kewajiban puasa, maka tidak boleh
di tunaikan pada waktu yang lain. dan ini telah disepakati ulama.
Hanya saja ulama Hanafiyah memperincinya bahwa bila puasa
ditunaikan dengan niatnya dalam hari-hari dibulan ini, Ia pun
berubah menjadi wajibnya Ramadan baik pelaku puasa
meniatkannya atau meniatkan lainnya atau tidak berniat puasa
tertentu. Mereka berkata: Hal ini karena tujuannya batal pada niat
yang berlawanan, sehingga tinggallah puasa mutlak dan dengan itu
dilakukan puasa wajib. Sebagai besar ulama berlawanan dengan
mereka dalam masalah itu maka mereka warga kan niat
menentuan, karena mengilangkan kesyariatan selain puasa tertentu
dalam bulan Ramadan menyebabkan ketidak absahan puasa yang
lain itu dalam bulan Ramadan jika ia meniatkannya.
Ketidakabsahan tidak mengharuskan adanya niat puasa yang
sah, sedang pelaku puasa mengumumkan bahwa ia tidak
meniatkannya, sehingga bila telah tetap puasanya dalam bulan
Ramadhan haruslah ia menggantinya. Maka bila ia berniat puasa,
tidak ada dalil bahwa ia ingin menyalahi kehendak Allah swt.
karena tidak adanya q arinah, bahkan q arinah menunjukan bahwa ia
maksudkan dengan puasanya itu pelaksanaan perbuatan yang
diwajibkan atasnya. Adapun jika ia berniat dengan niat yang
berlawanan, maka tampaklah dari situ keinginan menyalahi sehingga
perbuatannya tertolak (tidak sah).
Abu Hanifah Rahimamullah berpendapat bahwa puasa
Rama dan bisa dilaksanakan dengan niat apapun jika puasa pada
waktu itu tidak terhalang bagi pelaku puasa. Sebaliknya, yaitu bila ia
sakit atau dalam perjalanan, maka hukumnya berbeda. Seorang
musafir jika berniat kewajiban lain, terjadilah menurut yang
diniatkan, karena Allah swt. menetapkan rukhshah (keringanan)
baginya sedang ia berada dalam kecenderungan kepada yang lebih
ringan dan yang lebih ringan baginya ialah puasa wajib yang lain
karena ia yaitu hutang yang ia dilepaskan tanggung jawabnya dari
padanya. berdasar alasan ini jika ia berniat Sunah berpindahlah
puasanya menjadi puasa Ramadhan, karena puasa sunah tidak lebih
ringan, sebab tidak menggugurkan sesuatu dari tanggung jawabnya.
Jika penentuan puasa berasal dari manusia bukan dari Allah seperti
waktu nadzar yang menjelaskan penunaian puasa pada waktu itu
dengan niat mutlak dan dengan niat nafal/Sunah dan tidak
ditunaikan dengan niat kewajiban yang lain sebagai perbedaan
antara kekuasan Allah dan kekuasan manusia, karena kekuasaan
Allah swt. mutlak sempurna sehingga bisa membatalkan hak hamba
maupun kewajibannya, maka Ia pun membatalkan kesesuain
Ramadhan untuk puasa selain puasa Ramadan.
3) Waktu dzu syibhain
Waktu haji menyerupai takaran dari segi bahwa satu tahun
hanya berlaku bagi satu kali haji dan menyerupai dharf dari segi
bahwa bulan haji tidak dipenuhi oleh amalan-amalannya. Ulama
Hanafiyah memperinci syibih awal (keserupaan pertama) bahwa haji
diwajibkan, ditunaikan dengan niat mutlak bagi keadaan dhohir
mukallaf, yaitu bahwa ia menunaikan kewajiban sebelum sunah dan
syibih tsani (keserupaan kedua) bahwa ia berlaku sebagai nafal
( sunah) jika diniatkan begitu.
b. Pembagian wajib berdasar jumlah pelakunya .
Wajib itu ada yang wajib ‘ain (perorangan) dan ada yang wajib
kifayah (kolektif). Waji b ‘ain ialah perbuatan yang dituntut
melakukannya oleh setiap orang mukallaf dan yang kedua perbuatan
yang dituntut melakukannya tanpa memandang pelakunya.
Kewajiban -kewajiban yang dibebankan oleh Alllah swt. kadang-
kadang dituntut melakukannya dari setiap orang secara khusus
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dinamakan wajib ‘ain . Kadang di
tuntut melakukannya tanpa melihat pelakunya seperti perbuatan
baik yang bermacam-macam, pembang